55
BAB I PENDAHULUAN Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada anak- anak paling sering muncul sebagai akibat adanya transmisi dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT) (Willacy 2011). Mother-to-child transmission menyebabkan terjadinya infeksi HIV perinatal yang merupakan infeksi virus yang ditransmisikan dari ibu HIV-positif kepada anaknya selama kehamilan, persalinan, atau setelah melahirkan (selama menyusui). Anak yang lahir dari ibu dengan HIV-positif akan terpajan virus, tetapi pada kenyataannya tidak secara otomatis mentransfer virus kepada anaknya (Schleiter 2009). Diperkirakan hanya 1,5-2% dari MTCT terjadi transplasenta selama kehamilan. Sebagian besar terjadi karena transmisi darah maternofetal selama proses kelahiran atau setelah kelahiran yaitu pada saat menyusui. Tes HIV maternal yang negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi neonatal, infeksi maternal dan serokonversi dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dan menyusui. Oleh sebab itu, diperlukan deteksi dini infeksi HIV yang dapat mengurangi transmisi HIV melalui langkah-langkah pencegahan yang efektif (Willacy 2011). Pemeriksaan prenatal dini HIV pada ibu merupakan langkah awal yang penting dalam mengurangi penularan 1

Deteksi dini HIV pada bayi (3-5-14).docx

  • Upload
    elfiqi

  • View
    33

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada anak-anak paling sering muncul sebagai akibat adanya transmisi dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT) (Willacy 2011). Mother-to-child transmission menyebabkan terjadinya infeksi HIV perinatal yang merupakan infeksi virus yang ditransmisikan dari ibu HIV-positif kepada anaknya selama kehamilan, persalinan, atau setelah melahirkan (selama menyusui). Anak yang lahir dari ibu dengan HIV-positif akan terpajan virus, tetapi pada kenyataannya tidak secara otomatis mentransfer virus kepada anaknya (Schleiter 2009). Diperkirakan hanya 1,5-2% dari MTCT terjadi transplasenta selama kehamilan. Sebagian besar terjadi karena transmisi darah maternofetal selama proses kelahiran atau setelah kelahiran yaitu pada saat menyusui. Tes HIV maternal yang negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi neonatal, infeksi maternal dan serokonversi dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dan menyusui. Oleh sebab itu, diperlukan deteksi dini infeksi HIV yang dapat mengurangi transmisi HIV melalui langkah-langkah pencegahan yang efektif (Willacy 2011).Pemeriksaan prenatal dini HIV pada ibu merupakan langkah awal yang penting dalam mengurangi penularan vertikal HIV secara bermakna yaitu dengan memberikan terapi antiretrovirus (antiretroviral therapy, ART) kepada ibu hamil yang terinfeksi HIV selama kehamilan dan persalinan, dan juga untuk bayi pada periode neonatal (Lo 2000). Selain itu, diagnosis dini infeksi HIV pada bayi dan anak-anak juga penting untuk memastikan inisiasi ART sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang umumnya terjadi di kalangan bayi dan anak-anak yang terinfeksi HIV dan tidak menerima pengobatan. Perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulan pertama kehidupan bayi yang terinfeksi perinatal, inisiasi dini ART telah terbukti secara signifikan dapat mengurangi risiko mortalitas. Bayi dan anak-anak dengan penyakit sudah lebih lanjut memiliki prognosis yang jauh lebih buruk bahkan jika saat itu memulai ART. Maka dari itu, penting untuk mendiagnosis sedini mungkin bayi yang terinfeksi HIV sehingga dapat memulai pengobatan untuk penyelamatan jiwa (The Interagency Task Team (IATT) Laboratory & Child Survival Working Group 2012).Pemeriksaan serologi yang bisa mendeteksi antibodi HIV pada orang dewasa tidak dapat diandalkan untuk mengkonfirmasi diagnosis HIV pada bayi, karena hasil pemeriksaan yang positif masih mungkin disebabkan karena adanya antibodi HIV ibu pada bayi yang dapat bertahan selama 18 bulan (meskipun biasanya terjadi pembersihan dalam darah berkisar 9-12 bulan). Adanya program ASI (air susu ibu) juga dapat meningkatkan risiko bayi untuk mendapatkan HIV dari ibu selama periode ASI eksklusif. Sebagian besar bayi yang terinfeksi HIV meninggal di bawah 2 tahun dan sekitar 33% meninggal di bawah 1 tahun. World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan dengan tes virologis seperti pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) DNA HIV dan/atau RNA HIV (PCR atau metode lainnya) pada bayi usia 6 minggu atau setelahnya. Meningkatnya efektivitas dan cakupan intervensi pencegahan transmisi dari ibu ke anak (prevention of mother-to-child transmission, PMTCT) menunjukkan bahwa mayoritas anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dapat terhindar dari infeksi (dengan intervensi antiretrovirus, ARV/ART yang efektif melebihi 90%). Adanya pengenalan status HIV pada ibu dan anak yang terinfeksi sebelum mereka menunjukkan gejala klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan diagnostik rutin yang idealnya dilakukan pada layanan PMTCT atau kesehatan ibu dan anak (World Health Organization (WHO) 2010a). Tujuan penulisan dari tinjauan kepustakaan ini yaitu untuk mengetahui berbagai pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu deteksi dini HIV pada bayi.

BAB IIHIV PADA BAYI DAN ANAK

Infeksi human immunodeficiency virus ( HIV) pada anak-anak di seluruh dunia tahun 2008 diperkirakan sebanyak 430.000 (240.000-610.000) kasus baru dan 90% infeksi diperoleh melalui transmisi HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Sebanyak 280.000-360.000 dari 430.000 kasus infeksi baru tersebut diperoleh selama persalinan dan pada periode pra-partum. Sebagian besar sisanya diperoleh pada saat menyusui. Progresifitas penyakit pada bayi yang terinfeksi HIV pada saat perinatal terjadi sangat cepat dalam beberapa bulan pertama kehidupan dan sering menyebabkan kematian. Profilaksis antiretrovirus (ARV) harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, oleh karena itu perlu menentukan status pajanan HIV pada saat lahir. Tidak semua ibu menjalani pemeriksaan HIV, sehingga sangat sedikit bayi yang terpajan HIV yang sudah diketahui status HIV-nya dan sangat sedikit juga bayi yang mendapatkan akses untuk dapat didiagnosis secara dini sehingga dapat dilakukan inisiasi terapi antiretrovirus (ART) yang tepat waktu. Saat ini, diperkirakan hanya 15% dari seluruh bayi yang terpajan HIV yang diperiksa dalam waktu dua bulan pertama kehidupannya (World Health Organization (WHO) 2010b).World Health Organization/Joint United Nations Programme on HIV/AIDS/United Nations Childrens Fund (WHO / UNAIDS / UNICEF) tahun 2008 dan update epidemiologis UNAIDS/WHO tahun 2009 memperkirakan bahwa secara global, jumlah anak-anak di bawah 15 tahun yang hidup dengan HIV meningkat dari 1,6 juta (1,4-2,1 juta) tahun 2001 menjadi 2,1 juta (1,9-2,3 juta) pada tahun 2008. Hampir 90% dari anak-anak ini tinggal di sub-Sahara Afrika.. Pada tahun 2008 didapatkan 280.000 (150.000-410.000) anak meninggal karena AIDS. World Health Organization melaporkan bahwa secara global, lebih dari 4 juta (3,7 juta-4,36 juta) dewasa dan anak-anak saat ini menjalani ART, tetapi pemberian ARV kurang sukses pada bayi dan anak-anak dibandingkan dengan pada remaja. Analisis kohort observasional menunjukkan bahwa walaupun memulai ART terlambat, respon terhadap ART sangat baik. Kelangsungan hidupnya adalah sekitar 93-95% pada anak-anak yang memulai ART pada 12 bulan dan 91-92% pada 24 bulan. Pemberian ART pada bayi dan anak-anak dengan HIV dengan klinis atau imunologi yang berat, memiliki hasil akhir yang buruk. Dalam rangka identifikasi bayi yang akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal infeksi HIV diperlukan, maka WHO mengkaji rekomendasi untuk pemeriksaan diagnostik pada bayi dan anak-anak. Rekomendasi baru ini dirancang untuk meningkatkan upaya program identifikasi dini anak-anak yang terpajan HIV dan yang terinfeksi. (WHO 2010b)2.1 TransmisiSebagian besar anak terinfeksi HIV melalui transmisi perinatal dari ibu yaitu pada saat dalam kandungan dan saat persalinan atau sesudah lahir melalui ASI. Infeksi HIV pada anak-anak yang lebih besar dan remaja terjadi melalui hubungan seksual (pelecehan seksual oleh orang dewasa yang terinfeksi HIV), parenteral yaitu penggunaan obat-obatan intravena (WHO 2010b) dan melalui transfusi produk darah yang terkontaminasi HIV (Lujan-Zilbermann 2006).2.2 HIV pada Masa Kehamilan dan PersalinanTransmisi ibu ke anak diperkirakan menyebabkan lebih dari 90% infeksi di seluruh dunia pada bayi dan anak-anak. Transmisi ini dapat terjadi saat akhir kehamilan atau selama persalinan. Walaupun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti, para ahli berpendapat bahwa HIV ditransmisikan saat darah ibu masuk ke dalam sirkulasi fetus atau oleh mukosa fetus yang terpapar virus saat persalinan.(National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) 2008)Risiko transmisi ibu ke anak secara signifikan meningkat apabila ibu memiliki penyakit HIV dengan tahap yang sudah lanjut, peningkatan kadar HIV pada peredaran darah ibu atau jumlah yang rendah dari sel-sel sistem imun yaitu sel T CD4 yang merupakan target utama dari HIV. Faktor lainnya adalah penggunaan narkoba ibu (NIAID 2008), infeksi HIV primer terjadi selama kehamilan, co-existing dengan adanya penyakit menular seksual, inflamasi berat dari membran fetus (chorioamnionitis), membran ruptur terutama jika persalinan lebih dari 4 jam setelah membran ruptur, persalinan pervaginam, tindakan invasif intrapartum seperti vakum dan forceps, bayi yang pertama lahir dari kehamilan kembar pada ibu yang terinfeksi HIV, kelahiran prematur (Willacy 2011).

2.3 Masa MenyusuiHuman immunodeficiency virus juga dapat ditransmisikan melalui ASI kepada bayinya. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI dapat menambah risiko transmisi HIV kurang-lebih 10-14% di antara ibu dengan infeksi HIV kronis. Di negara berkembang, diperkirakan sepertiga sampai setengah dari seluruh infeksi HIV ditransmisikan melalui pemberian ASI (NIAID 2008). Tanpa adanya intervensi, sekitar 5-20% bayi dari ibu dengan HIV-positif menjadi terinfeksi melalui menyusui (WHO 2010a).World Health Organization merekomendasikan untuk memberi konseling terhadap semua wanita mengenai risiko dan manfaat pemberian ASI bagi bayi mereka sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik. Pada negara-negara yang sudah menyediakan alternatif yang aman sebagai pengganti ASI, hendaknya alternatif ini lebih digalakkan lagi. Pada negara-negara berkembang dimana alternatif terhadap pemberian ASI belum tersedia, manfaat pemberian ASI untuk mengurangi penyakit dan kematian akibat penyakit menular lainnya jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi risiko penularan HIV (NIAID 2008).Diagnosis dini dapat membantu pengambilan keputusan mengenai pemberian ASI. Ibu yang HIV-positif dengan bayi yang tidak terinfeksi HIV dapat diberi nasehat dan dukungan untuk menghentikan pemberian ASI jika makanan pengganti dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe, AFASS). Apabila bayi terinfeksi HIV, maka ibunya dapat diberi nasehat dan dukungan untuk terus menyusui (WHO 2010a).2.4 Klasifikasi HIVHuman immunodeficiency virus merupakan lentivirus dan termasuk dalam keluarga retrovirus pada manusia, terdapat dua tipe yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). HIV memiliki genom RNA yang dikelilingi oleh viral capsid dan lipid envelope seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 2.1 Gambar skematik virion HIV-1 (Lujan-Zilbermann 2006)

Gambar 2.1 menunjukkan protein antigenik utama. Envelope (env) mengandung 2 protein utama virus yaitu gp41 dan gp120. Protein inti utama (core protein) virus adalah p24. Seperti virus RNA lainnya, isolat HIV-1 dan HIV-2 berbeda secara genetik karena pola replikasi yang sangat aktif dan tingkat mutasi yang tinggi. Diagnosis HIV menjadi lebih rumit karena adanya banyak subtipe HIV-1 dan HIV-2 di seluruh dunia. Dua grup utama dari HIV-1 adalah M dan O. Grup M mencakup beberapa subtipe atau clades yaitu A sampai H. Clade B merupakan subtipe dominan HIV-1 di negara maju, termasuk Amerika Serikat. Pemeriksaan virologi molekuler telah dikembangkan untuk mendeteksi clade B, namun pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi clades lain yang ada dalam grup M (Lujan-Zilbermann 2006).2.5 Diagnosis HIVDiagnosis infeksi HIV biasanya ditegakkan berdasarkan deteksi antibodi terhadap HIV-1/HIV-2 atau deteksi antibodi terhadap HIV-1/HIV-2 dan antigen p24 sekaligus. Pemeriksaan serologis tersebut umumnya diklasifikasikan sebagai uji tapis (screening assays) yang disebut juga sebagai pemeriksaan lini pertama atau pemeriksaan tambahan (supplemental assays)/ pemeriksaan konfirmasi yang disebut juga sebagai pemeriksaan lini ke-2 atau ke-3. Pemeriksaan lini pertama dapat mengidentifikasi sampel yang reaktif oleh karena itu sensitivitasnya harus tinggi. Pemeriksaan tambahan/konfirmasi digunakan untuk mengkonfirmasi apakah sampel yang reaktif pada uji tapis tersebut mengandung antibodi spesifik untuk HIV-1 dan HIV-2 dan/atau antigen HIV sehingga harus mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi (WHO 2013).2.5.1 Pemeriksaan Diagnostik pada Bayi yang Terpajan HIV-1 Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi yang tidak menerima ASI yang terpajan HIV (HIV-1) saat perinatal adalah dengan menggunakan pemeriksaan virologis yang dilakukan pada usia 1 bulan dan pada hampir semua bayi yang terinfeksi yang berusia 4 bulan. Beberapa tahun terakhir, para peneliti menunjukkan pemeriksaan yang cukup akurat dalam mendiagnosis infeksi HIV pada anak-anak usia 6 bulan, salah satu tekniknya disebut polymerase chain reaction (PCR) yang dapat mendeteksi jumlah yang sangat kecil dari virus dalam darah bayi. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV termasuk pemeriksaan rapid test yang terbaru, tidak membuktikan adanya infeksi HIV pada bayi karena transfer antibodi maternal terhadap HIV secara transplasental, oleh karena itu, untuk penegakkan diagnosis harus menggunakan pemeriksaan virologis. Hasil pemeriksaan virologis yang positif (deteksi HIV dengan pemeriksaan PCR DNA atau RNA) mengindikasikan adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pertama harus dikonfirmasi sesegera mungkin dengan mengulang pemeriksaan virologis pada sampel kedua, karena hasil positif palsu dapat terjadi dengan pemeriksaan DNA dan RNA (AIDSinfo 2012; NIAID 2008).Kultur HIV tidak digunakan untuk pemeriksaan diagnostik rutin HIV, walaupun kultur HIV memiliki sensitivitas sebanding dengan PCR DNA HIV. Kultur HIV merupakan pemeriksaan yang cukup rumit dan mahal dibandingkan pemeriksaan PCR DNA atau RNA dan mungkin membutuhkan 2-4 minggu untuk hasil definitif dan umumnya tidak tersedia selain di laboratorium yang digunakan untuk penelitian. Pemeriksaan antigen p24 HIV yang baru-baru ini diakui, tidak direkomendasikan untuk diagnosis pada bayi di Amerika Serikat karena sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan yang dilakukan pada bulan pertama kehidupan bayi lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan virologis HIV lainnya. Bayi yang diketahui memiliki antibodi positif pada saat uji tapis tetapi status HIV ibu belum diketahui harus dinggap bayi tersebut terpajan HIV dan menjalani pemeriksaan diagnostik HIV (AIDSinfo 2012).Saat ini, pemeriksaan PCR atau teknik kultur HIV dapat mengidentifikasi sekitar sepertiga dari seluruh bayi pada saat lahir yang akhirnya terbukti terinfeksi HIV. Teknik-teknik ini, dapat mengidentifikasi sekitar 90% bayi yang terinfeksi HIV pada usia 2 bulan, dan 95 % pada usia 3 bulan. Salah satu pendekatan baru yang inovatif untuk pemeriksaan PCR RNA dan DNA yaitu dengan menggunakan sampel dried blood spot (DBS) yang lebih sederhana dalam hal pengumpulan dan penyimpanan sampel di lapangan (NIAID 2008).2.5.2 Diagnosis Infeksi HIV-1 Nonsubtipe BVirus HIV-1 subtipe B merupakan subtipe yang dominan ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan virus nonsubtipe B cukup banyak dijumpai di belahan dunia lainnya, seperti subtipe C di daerah Afrika dan India, sedangkan subtipe circulating recombinant form (CRF) 01 paling banyak di Asia Tenggara. Sensitivitas pemeriksaan PCR DNA HIV untuk mendeteksi HIV nonsubtipe B saat ini menurun dan hasil negatif palsu pernah dilaporkan pada bayi yang terinfeksi HIV nonsubtipe B. Pada sebuah penelitian pada bayi didiagnosis terinfeksi perinatal di New York, pada tahun 2001-2002 didapatkan 16,7% bayi terinfeksi strain HIV nonsubtipe B dibandingkan pada tahun 1998-1999 didapatkan 4,4% bayi. Beberapa pemeriksaan PCR RNA yang sudah ada telah meningkatkan sensitivitasnya dalam mendeteksi HIV nonsubtipe B, terutama subtipe HIV yang lebih jarang seperti grup O (IATT Laboratory & Child Survival Working Group 2012).2.5.3 Diagnosis Infeksi HIV-2Infeksi HIV-2 endemik di Angola, Mozambique, Afrika Barat termasuk Cape Verde, Ivory, Coast, Gambia, Guinea-Bissau, Mali, Mauritania, Nigeria, Sierra Leone, Benin, Burkina Faso, Ghana, Guinea, Liberia, Niger, Nigeria, Sao Tome, Senegal dan Togo dan sebagian dari India. Adanya infeksi HIV-2 harus dicurigai pada ibu hamil (atau pasangannya) yang berasal dari negara endemik tipe ini dan pada uji tapis antibodi HIV-1 dengan ELISA memberikan hasil yang positif, dan yang telah berulang kali memberikan hasil yang indeterminate atau nonreaktif pada pemeriksaan western blot HIV-1 dan jumlah viral load RNA HIV-1 berada pada batas bawah deteksi atau di bawah batas bawah deteksi. Koinfeksi HIV-1 dan HIV-2 juga mungkin terjadi sehingga mempersulit pentapan diagnosis (NYSDOH AIDS Institute 2011).Mayoritas uji tapis antibodi HIV komersial yang tersedia dapat mendeteksi kedua tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2, namun tidak dapat membedakanya. Pemeriksaan antibodi yang sudah diakui oleh FDA yang dapat membedakan HIV-1 dengan HIV-2 adalah Bio-Rad Laboratories Multispot HIV-1/HIV-2. Jika infeksi HIV-2 dicurigai, maka dapat dikonfirmasi dengan menggunakan pemeriksaan suplemental seperti HIV-2 immunoblot atau Western blot spesifik HIV-2. Pemeriksaan HIV-2 immunoblot hanya tersedia pada laboratorium komersial dan belum ada pemeriksaan untuk diagnosis HIV-2 yang diakui oleh FDA. Semua kasus HIV-2 harus dilaporkan ke program pegawasan HIV departemen kesehatan negara atau lokal, yang kemudian dapat direncanakan untuk pemeriksaan konfirmasi tambahan untuk HIV-2 oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (IATT Laboratory & Child Survival Working Group 2012).

BAB IIIPEMERIKSAAN HIV PADA BAYI DAN ANAK

Metode laboratorium untuk diagnosis infeksi HIV-1 dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan serologis dan virologis. Pemeriksaan imunologis mendeteksi respon antibodi terhadap HIV. Pemeriksaan virologis mendeteksi materi genetik atau komponen HIV. Pemeriksaan serologis terdiri dari pemeriksaan untuk uji tapis seperti enzyme immunoassay (EIA), rapid diagnostic tests (RDTs) / rapid test dan pemeriksaan konfirmasi seperti western blot dan line immunoassay (LIA). Kombinasi RDT dan EIA juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi (pemeriksaan lini ke-2/ke-3). Pemeriksaan vilorogis disebut juga nucleic acid amplification techniques (NAAT) meliputi PCR DNA atau RNA, nucleic acid sequence-based amplification (NASBA) dan branched-DNA (bDNA) (Adebimpe 2013; WHO 2013) 3.1 Pemeriksaan SerologisPemeriksaan serologis dapat mengidentifikasi antigen dan/atau antibodi HIV yang terbentuk karena respon imun terhadap infeksi HIV. Berbagai macam teknik atau metode pemeriksaan yang telah dikembangkan, namun tidak satupun dari pemeriksaan tersebut dapat mendeteksi HIV itu sendiri, melainkan mendeteksi respon imun terhadap virus HIV dan karenanya memerlukan waktu agar antibodi tersebut berkembang dan memberikan hasil yang reaktif (atau positif) setelah terinfeksi HIV (WHO 2010b).Pemeriksaan serologi untuk HIV dikategorikan berdasarkan generasi yang diklasifikasikan berdasarkan antigen dan/atau konjugat yang digunakan. Generasi pertama EIA dibuat dengan menggunakan lysate virus sebagai sumber antigen yang relatif sensitif tetapi kurang spesifik sehingga sangat rentan memberikan hasil yang reaktif palsu. Enzyme immunoassay generasi ke-2 kemudian dikembangkan dalam rangka meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas. Generasi ke-2 ini menggunakan peptida sintetis sebagai antigen dan bukan lysate. Enzyme immunoassay generasi ketiga dikembangkan dengan menggunakan protein rekombinan dan antigen berlabel antigen sebagai konjugat sehingga meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas lebih baik lagi. Tiga generasi pertama pemeriksaan ini hanya mendeteksi antibodi terhadap HIV. sedangkan generasi terbaru dari pemeriksaan ini yaitu generasi ke-4 dapat mendeteksi antigen HIV dan antibodi terhadap HIV sekaligus sehingga meningkatkan sensitivitas diagnostik (WHO 2013).World Health Organization menjelaskan strategi umum pemeriksaan berdasarkan tujuan pemeriksaan HIV dan prevalensi dari penyakit tersebut. Strategi ini menguraikan beberapa kombinasi dari pemeriksaan serologis (EIA dan/atau rapid assays atau kombinasinya) yang digunakan utuk mendiagnosis status HIV. Algoritma pemeriksaan menjelaskan beberapa kombinasi dan urutan dari pemeriksaan spesifik HIV dan menunjukkan bahwa kombinasi dari beberapa EIA atau kombinasi dari beberapa rapid assay atau kombinasi EIA dan rapid assay dapat memberikan hasil yang reliable dan pada beberapa kejadian dapat memberikan hasil yang lebih reliable dibandingkan dengan kombinasi tradisionalnya yaitu kombinasi EIA/WB (WHO 2010b).Populasi dengan prevalensi HIV yang tinggi, hasil pemeriksaan yang reaktif harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua, yaitu dengan pemeriksaan lini ke-2 yang berbeda dengan pemeriksaan pertama pada sampel yang sama. Dua hasil pemeriksaan yang reaktif maka dilaporkan sebagai HIV positif. Sampel dengan hasil yang tidak sesuai, contohnya hasil pemeriksaan pertama reaktif tetapi pemeriksaan kedua non-reaktif, maka sampel tersebut harus diperiksa lagi dengan kedua pemeriksaan tadi. Apabila hasil masih tetap sama (tidak sesuai), maka diperiksa dengan alat ketiga yang berbeda dari kedua alat sebelumnya. Hasil non-reaktif pada pemeriksaan ketiga, dianggap HIV negatif. Hasil reaktif pada pemeriksaan ketiga maka dilaporkan hasil tidak meyakinkan (inconclusive) dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti yang digambarkan pada skema berikut (gambar 3.1). Pemeriksaan A1, A2 dan A3 adalah 3 pemeriksaan yang berbeda (dari setiap format pemeriksaan), 1Untuk individu yang baru didiagnosis, hasil positif harus dikonfirmasi dengan sampel kedua untuk menyingkirkan kesalahan laboratoris, 2pemeriksaan ulang harus dilakukan pada spesimen kedua yang diambil 14 hari untuk menyinkirkan serokonversi, 3Jika A1 adalah pemeriksaan deteksi antigen/antibodi dan A2 atau A3 hanya pemeriksaan deteksi antibodi, pemeriksaan ulang harus dilakukan pada spesimen kedua yang diambil setelah 14 hari (WHO 2013).

Gambar 3.1 Strategi pemeriksaan HIV pada populasi dengan prevalensi tinggi (WHO 2013)

Gambar 3.2 Strategi pemeriksaan HIV pada populasi dengan prevalensi rendah (WHO 2013)Strategi pemeriksaan HIV pada populasi dengan prevalensi rendah digambarkan secara skematik pada gambar 3.2. Hasil nonreaktif pada pemeriksaan pertama dapat dilaporkan sebagai HIV negatif. Hasil reaktif pada pemeriksaan pertama harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua. Hasil pemeriksaan kedua nonreaktif maka pemeriksaan harus diulang dengan menggunakan sampel yang sama dan dua alat yang sama. Hasil yang reaktif pada pemeriksaan pertama tapi nonreaktif pada pemeriksaan yang kedua dianggap HIV negatif. Pada sampel ini, nilai ramal positif akan rendah untuk hasil pemeriksaan pertama, namun nilai ramal positif utuk pemeriksaan kedua akan tinggi. Jika A1 adalah pemeriksaan deteksi antigen/antibodi dan A2 hanya pemeriksaan deteksi antibodi, maka hasil tidak meyakinkan (inconclusive) dan pemeriksaan ulang harus dilakukan pada spesimen kedua yang diambil setelah 14 hari. Hasil reaktif pada pemeriksaan pertama dan kedua harus dilakukan pemeriksaan ketiga dengan menggunakan alat yang berbeda pada sampel yang sama untuk mengkonfirmasi hasil seropositif tersebut. Hasil pemeriksaan pertama dan kedua reaktif dan pemeriksaan ketiga non-reaktif, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dalam 3 minggu. Kombinasi terpilih dari rapid test yang berbeda memiliki nilai ramal positif dan negatif yang sebanding dengan kombinasi EIA (WHO 2013).World Health Organization (WHO)/Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) menyatakan epidemi HIV umum apabila prevalensinya 1% pada pengunjung klinik antenatal, namun untuk tujuan strategi pemilihan pemeriksaan HIV, ambang batas prevalensi 5% pada populasi target yang menjalani pemeriksaan dianggap sebagai ambang batas yang direkomendasikan untuk menggunakan strategi dua pemeriksaan serial untuk mendiagnosis HIV. Alat pemeriksaan yang digunakan harus memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Pemeriksaan serologis dapat dilakukan secara serial atau paralel. Pemeriksaan serial yaitu pemeriksaan kedua dilakukan setelah didapatkan hasil yang reaktif dari pemeriksaan pertama. Pemeriksaan paralel yaitu dua pemeriksaan dengan alat yang berbeda dilakukan pada waktu yang bersamaan. WHO merekomendasikan untuk menggunakan pemeriksaan serial kecuali pada keadaan yang membutuhkan hasil yang segera (pada kamar bersalin) maka dilakukan pemeriksaan paralel (WHO 2010b).3.1.1 Pengumpulan SampelPemeriksaan serologi dengan metode EIA dirancang untuk menggunakan sampel serum atau plasma yang membutuhkan persiapan sebelumnya dari darah vena dan penggunaan reagen yang membutuhkan suhu tertentu. Penggunaan darah vena/kapiler juga lebih praktis karena tidak membutuhkan proses dan alat tambahan seperti alat sentrifugasi (WHO 2010b).3.1.2 Waktu Pemeriksaan Serologis pada BayiSerologi merupakan metode diagnostik yang dianjurkan untuk diagnosis infeksi HIV-1 dan HIV-2 pada anak-anak usia lebih dari 18 bulan. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk diagnosis bayi yang terpajan HIV karena adanya transfer antibodi ibu melalui plasenta. Pada bayi yang terinfeksi juga akan memproduksi antibodi terhadap HIV. Umumnya, sebagian besar pemeriksaan serologi HIV tidak dapat membedakan antara antibodi HIV maternal dan antibodi HIV yang diproduksi oleh bayi sendiri, sehingga hasil reaktif pemeriksaan serologis HIV pada bayi sulit diinterpretasi. Hanya 20-40% bayi yang lahir dari ibu dengan HIV-positif akan terinfeksi, namun, hampir 100% bayi akan menghasilkan pemeriksaan antibodi yang positif saat lahir (Lujan-Zilbermann 2006).Antibodi HIV maternal adalah imunoglobulin G (IgG) yang secara pasif dapat ditransfer melewati plasenta selama masa kehamilan yang kemudian kadarnya akan menurun. Tingkat penurunan antibodi maternal telah dipastikan oleh berbagai analisis penelitian mengenai deteksi antibodi HIV pada anak-anak yang tidak diberi ASI. Antibodi maternal akan tetap terdeteksi selama 6 bulan pertama kehidupan dan secara signifikan menghilang pada usia 9-12 bulan. Sebagian besar anak-anak yang tidak terinfeksi HIV tidak memiliki antibodi yang terdeteksi pada usia 12 bulan. Para ahli mengkonfirmasi tidak adanya infeksi HIV pada bayi dengan hasil pemeriksaan virologis negatif dengan mengulangi pemeriksaan serologis pada usia 12-18 bulan untuk mengkonfirmasi bahwa antibodi maternal HIV telah hilang. Proporsi bayi yang serokonversi pada usia 15-18 bulan mendekati100% dan pada usia 12 bulan sekitar 95%. Faktor yang dapat mempengaruhi serokonversi ini termasuk tingkat penyakit ibu dan sensitivitas pemeriksaan. Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak usia kurang dari 18 bulan membutuhkan pemeriksaan yang dapat mendeteksi virus atau komponen dari virus itu sendiri yang disebut sebagai pemeriksaan virologis. Pada anak-anak usia 18 bulan ke atas, pemeriksaan serologis dapat diperiksa dengan perlakuan seperti pada orang dewasa (WHO 2010b; AIDSinfo 2012).3.1.3 Metode Pemeriksaan Serologis3.1.3.1 Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) / Enzyme immunoassay (EIA)Enzyme immunoassay merupakan teknik imunologi yang umum dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV. Sebagian besar EIA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan dapat mendeteksi HIV-1/HIV-2 dan varian HIV. Enzyme immunoassay diproduksi untuk uji tapis sejumlah besar sampel (sekitar 90 atau lebih setiap kali periksa), paling sesuai dipakai untuk pemeriksaan dengan sampel dalam jumlah banyak (batch testing) yaitu minimal 40 sampel setiap hari, sehingga biaya yang dikeluarkan juga cukup efektif. Pemeriksaan ini sesuai digunakan pada centralized surveillance dan pelayanan transfusi darah tetapi kurang sesuai untuk tempat dengan fasilitas yang lebih rendah. Enzyme immunoassay biasanya membutuhkan waktu 2 jam, oleh karena itu laboratorium dengan jumlah pemeriksaan yang besar dapat mengeluarkan hasil pemeriksaan dalam hari yang sama. Laboratorium dengan jumlah pemeriksaan yang terbatas biasanya akan menunggu sampai didapatkan minimal 40 sampel untuk dilakukan suatu prosedur pemeriksaan (1/2 plate EIA + kontrol), hal ini akan menyebabkan hasil tidak dapat segera diperoleh. Namun, EIA juga membutuhkan peralatan yang canggih dan membutuhkan pipet otomatis, inkubator, alat pencuci, alat pembaca dan sumber listrik yang konstan. Peralatan tersebut juga harus dipelihara atau dikontrol untuk memastikan keakuratan hasil pemeriksaan. Validitas hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh tenaga ahli dalam hal persiapan reagen yang dibutuhkan dengan tepat, memipet dengan akurat dan mengoperasikan peralatan (WHO 2010b). Prinsip pemeriksaannya berdasarkan ELISA indirek nonkompetitif, dimana antigen HIV mengikat antibodi immunoglobulin (Ig) yang spesifik HIV dalam sampel pemeriksaan. Antibodi yang terikat akan terdeteksi setelah membuat kompleks dengan antihuman IgG, yang mengkatalisis substrat berwarna menjadi produk berwarna. Perubahan warna dibaca secara spektrofotometri sebagai densitas optik. Pemeriksaan saat ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih besar dari 99%. Hasil positif palsu dikaitkan dengan beberapa kondisi seperti penyakit autoimun, kehamilan berulang, individu dengan transfusi berulang, dan imunisasi hepatitis B, rabies, dan influenza (Lujan-Zilbermann 2006).

Gambar 3.3 ELISA generasi ke-4 (Maughan 2012).

Pemeriksaan serologi akan menjadi positif 22-27 hari setelah infeksi akut. Hasil negatif palsu juga dapat terjadi di akhir penyakit saat produksi antibodi rendah. Metode virologi diperlukan untuk mendiagnosis infeksi HIV akut yang terjadi selama window period yaitu dari infeksi sampai serokonversi. Jika pemeriksaan serologi awal positif, maka kemudian dilakukan pemeriksaan kedua dengan menggunakan ELISA atau EIA pada sampel yang sama. Jika pemeriksaan kedua juga positif, maka pemeriksaan konfirmasi diindikasikan, umumnya dengan Western blot HIV-1 atau pemeriksaan indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) HIV-1 (Lujan-Zilbermann 2006).3.1.3.2 Metode Rapid TestMetode rapid diagnostic test untuk HIV yaitu immunochromatographic (lateral-flow tests) dan immunofiltration (flow-through tests) yang dapat mendeteksi adanya antibodi HIV-1/2 dan/atau antigen p24 HIV-1. Sampel (whole blood dari fingerstick/kapiler, whole blood vena, serum, plasma, cairan oral) ditambahkan ke alat pemeriksaan dengan alat transfer sampel atau pipet. Pemeriksaan immunochromatographic dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 30 menit dan pemeriksaan immunofiltration dalam waktu kurang dari lima menit dan keduanya secara umum disebut sebagai pemeriksaan diagnostik cepat, rapid diagnostic tests (RDT). WHO merekomendasikan penggunaan RDT untuk situasi dengan sumber daya terbatas karena lebih sederhana, hemat biaya dan turn around time (TAT) yang cepat dibandingkan dengan EIA dan Western blotting pada laboratorium diagnostik konvensional. Selain itu, petugas kesehatan dan staf non-laboratorium lainnya dapat melakukan pemeriksaan RDT HIV dengan akurasi dan kehandalan yang tinggi dengan adanya pelatihan. Penggunaan RDT dapat menurunkan ketergantungan pada teknik laboratoris (WHO 2013).Sebagian besar rapid test tersedia sudah termasuk reagennya dan biasanya tidak membutuhkan alat maupun reagen tambahan lagi. Prosedurnya lebih mudah dengan tahapan yang cukup sederhana sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 10-30 menit dan dapat langsung diinterpretasi pada anak-anak yang berusia lebih dari 18 bulan. Sebagian besar rapid test sudah dilengkapi dengan pemantapan mutu internal yang membuktikan validasi hasil pemeriksaan (kontrol penambahan sampel atau penambahan reagen). Penelitian klinik menunjukkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas dari rapid test HIV sebanding dengan pemeriksaan EIA jika digunakan sebagai pemeriksaan untuk uji tapis (sensitivitas minimal 99% dan spesifisitas >98%). Hanya rapid test yang tervalidasi sebagai bagian algoritma pemeriksaan nasional oleh Laboratorium Rujukan Nasional (National Reference Laboratory) atau laboratorium lainnya yang dirancang untuk melakukan pemeriksaan ini yang dapat digunakan (WHO 2010b).Seperti uji tapis pada umumnya, hasil rapid HIV test yang reaktif memiliki nilai ramal positif yang rendah pada populasi dengan prevalensi HIV yang rendah. Pada populasi dengan prevalensi HIV yang tinggi, rapid test memiliki nilai ramal negatif untuk uji tapis yang tinggi. Rapid test digunakan sebagai alat pemeriksaan untuk uji tapis, oleh karena itu setiap hasil yang positif harus dikonfirmasi dengan metode diagnostik lainnya seperti WB ataupun IFA. Penggunaan rapid test kini diimplementasikan di unit persalinan di seluruh Amerika. Wanita yang bersalin tanpa riwayat pernah diperiksa HIV harus diperiksa dengan rapid test untuk menentukan status dan menerima terapi profilaksis dengan antiretrovirus untuk mencegah adanya transmisi HIV ibu kepada anak (Lujan-Zilbermann 2006). Saat ini terdapat 7 alat rapid HIV test yang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat (AS) untuk digunakan di AS, yaitu seperti pada tabel berikut.Tabel 3.1 Karakteristik rapid test HIV yang diakui oleh FDA Amerika Serikat(New York State Department of Health (NYSDOH) AIDS Institute 2011)

Setiap alat memiliki karakteristik tersendiri, walaupun demikian, semuanya memiliki kesamaan yaitu teknik interpretasinya secara visual dan tidak membutuhkan instrumen khusus. Antigen HIV terfiksasi pada carik tes (test strip) atau membran. Apabila terdapat antibodi terhadap HIV pada sampel, maka akan mengikat antigen HIV yang terfiksasi tadi. Penambahan reagen kolorimetri akan mengikat immunoglobulin atau antibodi yang berikatan dengan antigen terfiksasi dan menghasilkan indikator warna yang dapat dideteksi secara visual. Semua rapid test HIV membutuhkan kontrol eksternal secara berkala (Lujan-Zilbermann 2006).Pemeriksaan serologis HIV menggunakan EIA atau rapid assay yang secara komersial tersedia, dapat dilakukan untuk: Mediagnosis infeksi HIV pada anak-anak mulai usia 18 bulan Mengidentifikasi bayi yang terpajan HIV Mengidentifikasi bayi yang tidak terinfeksi HIV diantara bayi-bayi yang tidak pernah diberi ASI atau telah mendapatkan susu sapi selama paling tidak 6 minggu Mengidentifikasi anak-anak terpajan HIV usia 9-18 bulan yang tetap memiliki hasil pemeriksaan HIV seropositif dan anak-anak yang mungkin terinfeksi HIV dan membutuhkan pemeriksaan virologis (WHO 2010b).3.1.3.3 Western BlotWestern Blot (WB) merupakan pemeriksaan konfirmasi HIV dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi tetapi mebutuhkan banyak tenaga, lebih mahal, dan membutuhkan keahlian teknis yang lebih dibandingkan dengan pemeriksaan ELISA. Sebagian besar laboratorium secara otomatis akan melakukan pemeriksaan WB untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan antibodi HIV yang positif. Western blot mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap protein HIV-1 yang terdenaturasi yang telah dipisahkan dengan elektroforesis pada gel (Lujan-Zilbermann 2006). Antigen HIV dari berat molekul yang tinggi sampai rendah terpasang dan tersusun pada carik (strips) nitroselulosa. Saat sampel diinkubasi dengan carik yang berisi antigen tersebut, maka setiap antibodi HIV yang ada pada sampel akan berikatan dengan antigen HIV. Adanya penambahan enzim, maka enzim tersebut akan mengikat kompleks antigen-antibodi. Tahap akhir ditambahkan substrat yang akan mengubah warna jika bersentuhan dengan lapisan antigen-antibodi-enzim (WHO 2010b). Reaksi yang positif dinyatakan dalam bentuk pita-pita pada lokasi yang spesifik. Hasil WB yang reaktif harus mengandung dua dari tiga pita utama yaitu anti-gp160 = anti-gp 120, anti-p41 dan anti-p24 seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4 Tidak adanya pita yang terbentuk menunjukkan hasil yang negatif atau nonreaktif (Lujan-Zilbermann 2006).Hasil pemeriksaan dianggap tidak dapat ditentukan (indeterminate) jika pola pita tidak memenuhi kriteria untuk hasil yang positif, tetapi memperlihatkan satu atau lebih pita virus yang spesifik. Penyebab dari WB yang indeterminate bisa diakibatkan adanya infeksi HIV dini (awal serokonversi) pada saat pemeriksaan dilakukan dan adanya reaksi silang dengan antibodi yang nonspesifik. Pemeriksaan harus diulang 3 minggu kemudian dengan sampel yang berbeda (WHO 2010b). Jika hasilnya masih tidak dapat ditentukan, maka dianjurkan melakukan pemeriksaan virologis. Western blot konvensional mengkonfirmasi adanya antibodi spesifik hanya terhadap HIV-1 (Lujan-Zilbermann 2006). Metode WB membutuhkan peralatan yang canggih dan keahlian dalam menginterpretasi hasil. Adanya peningkatan kinerja karakteristik pemeriksaan serologis dan virologis, pemeriksaan WB tidak lagi penting untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan HIV untuk orang dewasa atau anak-anak (WHO 2010b).

Gambar 3.4 Hasil pemeriksaan Western Blot (MP Biomedical 2013)

3.1.3.4 Pemeriksaan imunofluoresensi antibodi indirek (Indirect Immunofluorescent Antibody Assay, IFA) dan Line immunoassay (LIA)Pemeriksaan imunofluoresensi antibodi indirek merupakan pemeriksaan konfirmasi yang unggul untuk HIV. Hasilnya dapat diperoleh dalam hitungan jam (cukup singkat), lebih terjangkau dan hanya memerlukan sampel darah yang sedikit. Sampel dievaluasi dengan menggunakan mikroskop fluoresens bersama-sama dengan kontrol positif dan negatif yang sudah diketahui kadarnya (Lujan-Zilbermann 2006).Limfosit-T yang terinfeksi HIV yang berasal dari pasien leukemia difiksasi pada sebuah slide, kemudian ditambahkan plasma atau serum yang akan diperiksa. Apabila tedapat antibodi, maka akan terikat pada antigen virus yang terfiksasi pada slide tersebut. Ditambahkan antibodi yang sudah dikonjugasi dengan FITC (fluorokrom) untuk mendeteksi antibodi yang berikatan dengan antigen, kemudian diinkubasi dan dicuci. Apabila sampel berisi antibodi terhadap HIV, membran sel akan berfluoresensi saat dilihat di bawah mikroskop fluoresensi. Pemeriksaan ini umumnya mudah dilakukan, namun membutuhkan mikroskop fluoresensi yang terawat dengan baik dan interpretasi hasilnya subjektif (NYSDOH AIDS Institute 2011).

Gambar 3.5 Pemeriksaan imunofluoresensi antibodi indirek(NYSDOH AIDS Institute 2011)

Line immunoassay (LIA) merupakan pemeriksaan berdasarkan protein rekombinan dan/atau peptida sintetis yang dapat mendeteksi antibodi terhadap protein rekombinan spesifik HIV-1 dan/atau HIV-2 dan telah sering digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi HIV. Line immunoassay juga telah menggantikan WB di banyak situasi dan miliki tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tambahan mengenai pola aktivitas serologi. Namun, Adanya peningkatan kinerja pemeriksaan serologis dan virologis, maka pemeriksaan konfirmasi HIV untuk dewasa atau anak-anak tidak lagi dibutuhkan (WHO 2010b).3.1.4 Interpretasi Hasil Pemeriksaan SerologisHasil pemeriksaan serologis yang negatif pada bayi menurut algoritma pemeriksaan yang telah direkomendasikan secara nasional, mengindikasikan bahwa: Bayi tidak terpajan HIV, atau Bayi terpajan HIV tetapi telah mengalami serokonversi, atau Apabila bayi tidak pernah diberi ASI atau tidak mengkonsumsi ASI dalam 6 minggu terakhir, maka bayi dinyatakan tidak terinfeksi HIV.Hasil pemeriksaan serologis yang positif pada bayi, mengindikasikan bahwa bayi terpajan HIV, dan/atau bayi mungkin terinfeksi HIV dan pada bayi yang umurnya lebih tua, semakin besar kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Apabila bayi masih menerima ASI, maka hasil pemeriksaan serologis yang negatif belum dapat menyingkirkan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan serologis rapid test atau EIA pada bayi yang menerima ASI lebih dapat dipercaya dan direkomendasikan dilakukan setelah penghentian pemberian ASI minimal 6 minggu (WHO 2010b). 3.2 Pemeriksaan VirologisInfeksi HIV pada bayi didiagnosis dengan mendeteksi adanya asam nukleat virus (contoh: RNA virus atau DNA virus) sering disebut sebagai pemeriksaan asam nukleat (nucleic acid testing, NAT) atau produk dari virus seperti antigen p24. Nucleic acid testing meliputi ekstraksi, amplifikasi dan deteksi asam nukleat HIV dan dapat dinyatakan secara kualitatif (mendeteksi adanya asam nukleat, ya/tidak) atau kuantitatif (menghitung jumlah asam nukleat). Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) telah sering digunakan bahkan pada kondisi dengan sumber daya yang terbatas baik untuk tujuan diagnosis dan pemantauan (WHO 2010b). Pemeriksaan ini digunakan untuk identifikasi dini infeksi HIV, menentukan tipe, grup dan subtipe dari HIV (NYSDOH AIDS Institute 2011).Metode deteksi RNA bermacam-macam dan dapat menghitung RNA HIV yang digunakan untuk memantau progresifitas penyakit HIV dan respon terapi antiretrovirus pada anak-anak dan dewasa. Metode pemeriksaan lainnya selain PCR seperti nucleic acid sequence-based amplification (NASBA), branched DNA (b-DNA) dan transcription-mediated amplification (TMA) merupakan teknologi yang dapat diandalkan untuk mendeteksi dan/atau menghitung RNA HIV dari sampel plasma tanpa sel darah (blood cell-free plasma). Pada kondisi dengan fasilitas laboratorium terbatas, penggunaan pemeriksaan antigen p24 bisa menjadi alternatif deteksi DNA atau RNA untuk diagnosis HIV-1 pada bayi dan anak-anak. Metode ini berdasarkan EIA dan dapat dilakukan pada setiap laboratorium. Isolasi HIV pada kultur sel tidak lagi direkomendasikan untuk diagnosis infeksi HIV karena alasan biaya, kerumitan dan keamanan (WHO 2010b).3.2.1 Pengumpulan SampelSampel darah (vena atau kapiler) dari bayi dan anak-anak dapat diperiksa oleh semua metode pemeriksaan virologis dan serologis. Masing-masing pemeriksaan ini membutuhkan volume dan jenis sampel yang berbeda. pengambilan sampel darah vena dari bayi dan anak-anak lebih sulit dibandingkan dengan pengambilan dari orang dewasa dan hanya boleh dilakukan oleh tenaga yang terlatih. Pengambilan sampel dengan teknik menusuk tumit atau jari (prick) untuk persiapan DBS biasanya lebih mudah dibandingkan dengan metode lain untuk flebotomi pada bayi. Umumnya pemeriksaan virologis membutuhkan paling tidak 500-1000 l plasma atau serum untuk dapat dilakukan suatu pemeriksaan. Pemeriksaan dengan menggunakan DBS membutuhkan 25-100 l whole blood. Biasanya, laboratorium secara keseluruhan meminta sekitar 1-3 ml darah vena untuk persiapan spesimen dan pemeriksaan penanda klinis lain dan pemantauan kondisi pasien (WHO 2010b).3.2.1.1 Kegunaan Sampel Dried Blood Spots (DBS)Spesimen darah yang dikumpulkan pada kertas filter dikenal dengan sebutan dried blood spot, sampel ini memiliki banyak keuntungan dalam diagnosis infeksi HIV pada bayi. Whole blood kapiler untuk DBS dapat diperoleh dengan menggunakan lanset steril sekali pakai pada jari untuk anak-anak atau pada tumit untuk bayi, yang diteteskan pada kertas penyerap sampel (kertas filter). Prosedur ini lebih tidak traumatis daripada venepuncture, menggunakan volume darah yang sedikit dan dapat diandalkan untuk pengambilan sampel yang aman dan pengiriman dengan biaya yang lebih rendah. Sampel membutuhkan pengeringan menyeluruh selama minimal empat jam sebelum pengemasan atau pengiriman untuk kemudian dilakukan pemeriksaan, dan harus terlindung dari kelembaban biasanya dengan menggunakan zat pengering (dessicant agent). Kertas filter yang telah mengering dapat disimpan pada suhu kamar untuk sementara waktu dan lebih mudah diangkut ke fasilitas pemeriksaan pusat. Sampel kering mempunyai risiko biohazard yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel cair. Sampel DBS dapat digunakan untuk pemeriksaan virologis (DNA HIV atau RNA HIV dan antigen p24), beberapa pemeriksaan serologis, dan pemeriksaan resistensi obat HIV (Kishore, Cunningham & Menon 2009).Waktu antara pengambilan sampel dan pemeriksaan perlu diperhatikan karena asam nukleat virus dapat terdegradasi seiring berjalannya waktu, terutama jika disimpan pada suhu lingkungan yang tinggi (misalnya selama transportasi ke laboratorium) atau kelembaban yang tinggi dalam waktu yang lama. Sampel DBS (untuk pemeriksaan DNA dan RNA HIV) dapat digunakan pada keadaan dengan sumber daya terbatas untuk memudahkan pengumpulan dan pengangkutan sampel. Sampel DBS dikumpulkan dan dapat diangkut ke laboratorium diagnostik melalui pos, kurir atau transportasi lokal, dan kemudian hasil pemeriksaannya dapat dikirim melalui email, telepon, SMS, kurir, transportasi lokal, atau sistem informasi yang terkomputerisasi. Pemeriksaan virologis pada darah vena atau kapiler, dalam bentuk sampel dried blood spot (DBS) ditujukan untuk memeriksa DNA virus yang ada pada sel-sel mononuklear darah perifer (peripheral blood mononuclear cells, PBMCs) yang dapat diamplifikasi dan dideteksi serta berkontribusi terhadap hasil viral load. Umumya batas deteksi untuk DBS adalah 3000 salinan/ml (lebih besar dibandingkan dengan menggunakan sampel plasma). Penggunaan DBS lebih banyak diterapkan untuk memperbaiki akses terhadap pemeriksaan virologis dalam berbagai keadaan dengan sumber daya terbatas. (WHO 2010b). 3.2.2 Metode Pemeriksaan Asam Nukleat3.2.2.1 PCR DNA HIV-1 Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) DNA HIV kualitatif saat ini banyak digunakan sebagai metode standar untuk diagnosis infeksi HIV pada bayi dan merupakan suatu pemeriksaan yang biasanya menjadi pembanding terhadap pemeriksaan lainnya dalam suatu penelitian (WHO 2010b). Pemeriksaan ini dapat mendeteksi DNA HIV-1 dalam sel-sel mononuklear darah perifer (PBMCs). HIV-1 subtipe B merupakan subtipe dominan di Amerika Serikat dengan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan PCR DNA HIV-1 mendekati 96% dan 99% apabila diperiksa pada usia 28 hari. Alat ini kurang sensitif untuk mendeteksi subtipe non-B dan hasil tes negatif palsu PCR DNA pernah dilaporkan untuk bayi yang terinfeksi virus subtipe non-B. PCR RNA HIV atau pemeriksaan branched DNA (bDNA), harus diperiksa pada bayi yang diduga terpajan subtipe non-B pada masa perinatal. PCR DNA HIV-1 mendeteksi infeksi pada PBMC dan tidak pada plasma sehingga dengan adanya highly active antiretroviral therapy (HAART) tidak menyebabkan hasil negatif palsu, sebaliknya PCR RNA HIV-1 dan kultur HIV dapat tidak terdeteksi akibat adanya HAART. Prosedur pengumpulan dan pengolahan sampel yang tepat penting untuk validitas hasil yang diperoleh. Sampel untuk tes PCR DNA HIV-1 adalah whole blood yang dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) atau acid citrate dextrose. Tabung berisi heparin tidak sesuai untuk pemeriksaan PCR DNA HIV-1 (Lujan-Zilbermann 2006). 3.2.2.2 Pemeriksaan RNA HIVPemeriksaan RNA HIV mendeteksi RNA virus dalam plasma dengan berbagai tingkat sensitivitas. Saat ini terdapat tiga metode pemeriksaan RNA HIV-1 yang tersedia, yang diakui FDA yaitu:1. Reverse transcriptase (RT) quantitative PCR (RT-PCR) assay (Amplicor HIV-1 Monitor1 test, version 1.5, Roche Diagnostics).2. Nucleic acid sequence-based amplification (NASBA) (NucliSens1 HIV-1 QT, BioMerieux).3. Branched DNA atau bDNA assays, (Versant1 HIV-1 RNA 3.0 assay [bDNA]).Sebagian besar metodologi ini digunakan untuk menghitung RNA dan memantau perkembangan penyakit HIV atau respon terhadap ART (WHO 2010b). Dua alat pertama memiliki batas bawah deteksi 50 salinan RNA-HIV/ml, sedangkan pemeriksaan bDNA memiliki batas bawah deteksi 75 salinan RNA-HIV/ml. Tingkat deteksi yang dilaporkan juga bervariasi menurut jenis test kit. Pemeriksaan RT-PCR memiliki rentang yang dilaporkan 400-750.000 salinan RNA-HIV/ml plasma, sedangkan metode ultrasensitif memiliki rentang 50-75.000 salinan RNA-HIV/ml. Pemeriksaan NASBA memiliki rentang deteksi 40-10.000.000 salinan RNA HIV/ml. Pemeriksaan bDNA memiliki rentang deteksi 50-500.000 salinan RNA-HIV/ml (Lujan-Zilbermann 2006).Roche Amplicor HIV-1 Monitor Version 1.5 dan Roche Amplicor HIV-1 Monitor Ultrasensitive Version 1.0 (RT-PCR) sudah diakui oleh FDA untuk menghitung RNA HIV-1 dalam plasma dan dilaporkan dalam salinan/mL. Prosedur pemeriksaannya yaitu RNA HIV-1 diisolasi dari plasma, kemudian menggunakan RT untuk mentranskripsi RNA target menjadi DNA komplementer (cDNA). DNA komplementer ini kemudian diamplifikasi dengan menggunakan primer oligonukleotida yang sangat spesifik yaitu urutan 142 basa target dari gen gag HIV-1 yang mengkode grup antigen tertentu atau protein struktural inti virion. Hasil amplifikasi cDNA tersebut dihibridisasi dengan probe yang spesifik dan dideteksi dengan alat kolorometri ((Lujan-Zilbermann 2006; NYSDOH AIDS Institute 2011).Nucleic acid sequence-based amplification merupakan pemeriksaan berdasarkan metode amplifikasi selektif RNA target melaui produksi isothermal dari DNA intermediate dengan enzim RT. Dalam hal ini DNA berperan sebagai cetakan (template) dari amplifikasi RNA dengan menggunakan RNA polimerase. Probe berlabel fluoresen dihibridisasi pada RNA baru yang disintesis dan perhitungan dilakukan dengan membandingkan fluoresensi target dengan standart internal. Probe berlabel yang telah dihibridisasi tersebut yang proporsional dengan jumlah amplicon yang sesuai dengan jumlah RNA HIV yang terdapat pada sampel. Sistem ini menarget daerah gen gag HIV. Sistem ini hanya tervalidasi untuk sampel HIV-1 subtipe B dan umumnya tidak sensitif untuk mendeteksi RNA HIV-2 (WHO 2010b; Lujan-Zilbermann 2006).Pemeriksaan bDNA didasarkan pada amplifikasi sinyal dan dapat menghitung RNA HIV-1 lebih dari rentang 75-500.000 salinan RNA HIV-1/ml. Pemeriksaan ini telah divalidasi untuk sampel plasma yang mengandung grup M subtipe A-G. Metode ini berbeda dari PCR standar, RT-PCR, dan NASBA yaitu dalam hal tidak menggunakan target amplifikasi. Pemeriksaannya menggunakan prosedur hibridisasi asam nukleat sandwich yang terdiri dari 1) Sentrifugasi plasma untuk melepaskan virion HIV; 2) Penangkapan RNA dalam microwell yang dilapisi oleh probe yang dapat menangkap oligonukleotida komplementer spesifik (capture probe); 3) Target probe dihibridisasi dengan RNA virus dan preamplifier probe; 4) Hibridisasi amplifier probe dan preamplifier probe membentuk kompleks DNA cabang (branched DNA, bDNA) dan 5) penambahan substrat & deteksi chemiluminescence. Jumlah cahaya emisi proporsional terhadap jumlah RNA virus pada sampel dan perhitungan berdasarkan perbandingan sampel dengan standart. Pemeriksaan bDNA mendeteksi hibridisasi pada beberapa urutan basa, yang berasal dari beberapa subtipe yang menjangkau hampir sepanjang 2.700 bp dari gen pol (Lujan-Zilbermann 2006).

Gambar 3.6 Prinsip pemeriksaan branched DNA (bDNA) (Diacarta 2009)

Pemeriksaan PCR RNA HIV-1 digunakan secara rutin untuk memantau perkembangan penyakit HIV-1 dan respon terhadap pengobatan antiretrovirus. Penanganan sampel sangat penting dan dapat mempengaruhi hasil. Sampel whole blood harus dikumpulkan dalam tabung EDTA. Tidak dapat menggunakan tabung berheparin, karena menyebabkan RNA HIV rusak lebih cepat. Tabung dengan acid citrate dextrose juga menyebabkan tingkat kerusakan RNA HIV lebih tinggi dibandingkan dengan tabung EDTA, meskipun tidak setinggi tabung berheparin. Sampel harus diproses dalam waktu 6 jam dari pengumpulan sampel tersebut untuk mendapatkan hasil yang akurat. Alat awalnya dirancang untuk menarget virus dari clade B yang merupakan clade dominan di Amerika Serikat. Namun, pasien yang terinfeksi terdapat di berbagai wilayah dunia dan ada sejumlah kecil pasien di Amerika Serikat terinfeksi oleh clades lainnya. Saat ini, konfigurasi kit komersial mampu mendeteksi dan mengukur semua subtipe virus (Lujan-Zilbermann 2006).3.2.3 Pemeriksaan Antigen p24 HIVPengukuran antigen (inti) p24 HIV-1 telah terbukti berguna untuk mendeteksi HIV yang bersirkulasi, replikasi, dan HIV yang mati. Saat ini, pengukuran antigen p24 dilakukan dengan modifikasi ini meningkatkan sensitivitas pemeriksaan secara signifikan (Cohen et al. 2010).3.2.3.1 Pemeriksaan Ultrasensitif Antigen p24 HIVPemeriksaan antigen p24 mengukur protein inti p24 HIV dalam whole blood, serum atau plasma, baik dalam bentuk bebas atau terikat oleh antibodi anti-p24. Saat antibodi terhadap HIV terdeteksi, seringkali antigen p24 tidak lagi didapatkan, mungkin karena adanya perkembangan kompleks antigen-antibodi dalam aliran darah. Pemeriksaan yang menggunakan metode ultrasensitif, termasuk prosedur disosiasi antibodi-antigen (kompleks imun) dan amplifikasi sinyal untuk antigen p24 memungkinkan deteksi jumlah yang sedikit dari antigen p24. Adanya perbaikan teknis memungkinkan pemeriksaan ultrasensitif antigen p24 dengan metode disosiasi kompleks imun memiliki kinerja sebaik PCR DNA HIV untuk diagnosis HIV pada bayi. Beberapa pemeriksaan modifikasi antigen p24 ini telah dievaluasi dalam penelitian klinis dan dibandingkan dengan metode PCR yang paling sensitif yang tersedia. Pemeriksaan ultrasensitif antigen p24 telah divalidasi di negara-negara di mana HIV subtipe A, B, C, D, C dan F mendominasi. Beberapa karakteristik dari pemeriksaan ini adalah sebagai berikut (WHO 2010b): Pemeriksaan ini lebih tidak kompleks dan dalam beberapa kasus bahkan lebih murah dibandingkan dengan deteksi asam nukleat dan dapat dilakukan pada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan EIA; Pemeriksaan dapat dilakukan pada whole blood, plasma dan serum. Tidak perlu melakukan ekstraksi asam nukleat dan sampel umumnya stabil. Persyaratan minimum untuk laboratorium yaitu dapat melakukan pemeriksaan dengan teknologi EIA. Pemeriksaan ultrasensitif antigen p24 juga dapat dilakukan dengan menggunakan sampel whole blood vena/kapiler dalam bentuk DBS. Data saat ini menunjukkan bahwa ultrasensitif antigen p24 dapat digunakan sampai usia 18 bulan, meskipun ada kekhawatiran bahwa sensitivitas dapat menurun dengan bertambahnya usia dan mungkin berkorelasi dengan viral load.Penggunaan deteksi ultrasensitif antigen p24 mungkin dipengaruhi juga oleh ARV atau ART pada ibu atau bayi yang dilakukan untuk mengurangi MTCT. Disarankan untuk menggunakan pemeriksaan alternatif apabila bayi dalam masa ART (WHO 2010b). Semua sampel dengan hasil yang positif harus dikonfirmasi. Pengukuran antigen p24 berguna untuk deteksi dini infeksi pada neonatus dan dapat digunakan sebagai penanda progresifitas penyakit dan respon terapi. Semakin majunya PCR RNA HIV, aplikasi ini telah menggantikan penggunaan antigen p24 (Lujan-Zilbermann 2006).3.2.4 Waktu untuk Pemeriksaan VirologisBayi dan anak-anak dapat terinfeksi HIV selama kehamilan, saat persalinan dan post partum melalui ASI, atau melalui pajanan seksual atau parenteral. Bayi yang terinfeksi dalam kandungan (in utero) biasanya memiliki HIV yang terdeteksi saat lahir dan lebih cepat berkembang menjadi penyakit. Bayi yang terinfeksi di atau sekitar persalinan (peripartum) dalam waktu yang singkat juga dapat terdeteksi adanya virus. Oleh karena itu, sensitivitas NAT tergantung pada waktu saat tertular infeksi dan waktu saat dilakukan pemeriksaan. Sensitivitas dari semua metode pemeriksaan virologis menjadi yang lebih rendah saat lahir. Pada bayi dengan infeksi in utero, DNA dan RNA HIV dapat dideteksi pada sampel darah vena yang diperoleh dalam waktu 48 jam setelah kelahiran. Pada bayi yang terinfeksi HIV intrapartum, DNA dan RNA HIV tidak terdeteksi pada sampel darah vena yang dini, tetapi menjadi terdeteksi pada atau setelah usia 1 sampai 2 minggu. (AIDSinfo 2012)Bayi dan anak-anak dari ibu yang terinfeksi HIV yang menerima ASI beresiko untuk mendapatkan infeksi HIV sehingga hasil pemeriksaan virologis yang negatif sulit untuk diinterpretasi jika bayi masih menerima ASI. Setelah ASI benar-benar dihentikan, pemeriksaan virologis dilakukan setidaknya enam minggu setelah penghentian ASI dianggap dapat memberikan status infeksi HIV yang benar (window period untuk pemeriksaan virologi setelah penghentian ASI adalah sampai enam minggu). Hal ini berlaku untuk semua metode pemeriksaan virologis yang tersedia saat ini. Hasil yang positif dari pemeriksaan virologis yang dilakukan saat bayi masih menerima ASI menunjukkan infeksi dan harus segera diperiksa dengan pemeriksaan konfirmasi biasa. Hasil pemeriksaan virologis yang negatif tidak dapat menyingkirkan tidak adanya infeksi (WHO 2010b).Bayi dengan hasil pemeriksaan virologis yang negatif sebelum berusia 1 bulan harus diperiksa kembali pada saat usia 1-2 bulan. Bayi dengan hasil pemeriksaan virologis yang negatif pada saat usia 14 hari dan 1 bulan dapat dianggap tidak terinfeksi dengan asumsi bayi tidak memiliki bukti laboratoris (hasil pemeriksaan virologis negatif atau jumlah CD4 yang rendah) dan klinis HIV. Bayi yang terpajan HIV dengan hasil pemeriksaan virologis saat usia 14-21 hari dan 1-2 bulan yang negatif, tidak ada bukti klinis infeksi HIV dan tidak menerima ASI harus diperiksa lagi saat usia 4-6 bulan untuk menyingkirkan adanya infeksi HIV (AIDSinfo 2012).

Tabel 3.2 Ringkasan Pemeriksaan yang Direkomendasikan (WHO 2010b)KategoriPemeriksaan yang dibutuhkanTujuanTindakan

Bayi terpajan HIV, klinis baikPemeriksaan virologis pada usia 4-6 mingguMendiagnosis HIVMemulai ART jika terinfeksi HIV

Bayi dengan status pajanan tidak diketahui Pemeriksaan serologis HIV maternal atau bayiMengidentifikasi atau mengkonfirmasi pajanan HIVMembutuhkan pemeriksaan virologis jika terpajan HIV

Bayi terpajan HIV usia 9 bulan, klinis baikPemeriksaan serologis HIV (saat imunisasi terakhir, umumnya saat 9 bulan)Mengidentifikasi bayi dengan antibodi HIV yang menetap atau telah serokonversi HIV seropositif memerlukan pemeriksaan virologis dan tindak lanjut HIV negatif, asumsi tidak terinfeksi, memerlukan pemeriksaan ulang jika masih menerima ASI

Bayi/anak dengan tanda & gejala kecurigaan HIVPemeriksaan serologis HIVMengkonfirmasi adanya pajananPemeriksaan virologis jika usia 9 bulan dan