Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DEWAN ETIK HAKIM KONSTITUSI
Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi Dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik
Oleh:
Prof. Dr. Bintan Regen Saragih, S.H.
ANGGOTA DEWAN ETIK HAKIM KONSTITUSI PERIODE 2017-2020
PERAN LEMBAGA ETIK DALAM MENGAWASI DAN MENJAGA PERILAKU ETIK
PEJABAT PUBLIK1
Oleh:
Prof. Dr. Bintan Regen Saragih., S.H.2
I. PENDAHULUAN
1. Pengantar
Masih banyaknya pejabat-pejabat publik baik pada lembaga eksekutif, yudikatif dan
legislatif yang mengalami persoalan hukum, mendorong Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menyelenggarakan
Seminar Nasional ini. Melalui masukan-masukan dari peserta Seminar Nasional ini, MKD DPR
RI dapat menyusun suatu kerangka acuan untuk meningkatkan peran lembaga etik dalam
mengurangi adanya pejabat-pejabat publik yang tersangkut masalah-masalah hukum ke masa
yang akan datang.
Perlu diketahui juga bahwa bila lembaga-lembaga etik dapat berperan menjaga dan
menegakan kehormatan dan kode etik pejabat publik di lembaganya, maka lembaga etik
tersebut telah juga berperan melaksanakan tujuan dari lembaganya dan telah turut serta
mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Secara umum suatu lembaga etik pada lembaga-lembaga negara dapat disebut
berperan bila lembaga-lembaga negara itu berfungsi dengan baik. Tidak ada gejolak, tidak
ada penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh pejabat publiknya atau out put
(keluaran) dari lembaga negara itu disambut baik atau diterima masyarakat dan kritik
terhadapnya hanya bersifat normatif saja dan lembaga etiknya tidak banyak “diekspos” keluar
atau diberitakan dalam media masa atau sosial. Bila ada pelanggaran kode etik oleh pejabat
publiknya lembaga etiknya cepat tanggap dan cepat menyelesaikan masalahnya sesuai
kewenangannya, sehingga tidak timbul gejolak dalam penyelesaian oleh lembaga etik itu,
walaupun dibahas dan diberitakan oleh media massa tetapi dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam rangka itu pula, sebagai Anggota Dewan Etik Hakim Konstitusi, kami menyambut
baik penyelenggaran Seminar Nasional ini dan berusaha memberikan masukan sesuai tema
1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi Dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI pada tanggal 8 Oktober 2018 bertempat di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV MPR, DPR dan DPD RI.
2 Anggota Dewan Etik Hakim Konstitusi Periode 2017-2020.
1
dan sub tema Seminar Nasional. Untuk itu materi makalah yang kami sampaikan bukan lagi
mengenai Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstitusi dan kewenangannya, tetapi fokus pada
Kode Etik Hakim Konstitusi dan Lembaga yang menjaga dan menegakkan Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi.
2. Pengertian-Pengertian (Konsep-Konsep)
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak. Etika pada mulanya
merupakan salah satu dari tiga bahasan utama filsafat, dimana dua lainnya adalah logika dan
estetika. Etika dalam filsafat adalah mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk,
logika adalah apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah, sedangkan estetika adalah
apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek. Kemudian filsafat berkembang dan
banyak cabangnya seperti filsafat politik, hukum, dan lain sebagainya, dan etika pun menjadi
salah satu cabangnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi pengertian pada etika sebagai ilmu
tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Dari pengertian di atas ini dapat dikatakan
bahwa etika itu dipelajari secara lisan, dipahami secara lisan dan dipatuhi secara lisan. Agar
etika itu dapat dipelajari, dipahami dan dipatuhi serta diterima sanksinya maka etika itu perlu
dibuat dalam bentuk tertulis dan kemudian diberi nama “Kode Etik”. Karena dibuat dalam
bentuk tertulis maka mudah dijadikan pedoman dan mudah diketahui pelanggarannya dan
mudah pula dirumuskan sanksinya.
Yang pertama membuat “Kode Etik” untuk organisasinya pada zaman modern ini adalah
anggota profesi kedokteran, kemudian pengacara, wartawan, hakim, pegawai negari dan lain
sebagainya, dimana mereka itu semua adalah sebagai profesional. Secara umum profesional
adalah mereka yang bekerja pada suatu lembaga atau individu yang tergabung dalam suatu
organisasi yang didasarkan pada keahlian mereka yang didukung oleh suatu sertifikat dan
lebih baik lagi oleh suatu ijazah. Pekerjaannya itu adalah satu-satunya pekerjaannya
setidaknya pekerjaan utamanya, dari hasil pekerjaanya itulah dia membiayai hidupnya dan
keluarganya. Mereka yang seprofesi itu ingin menjaga dan menegakkan kehormatan profesi
mereka, dan tidak mau ada diantara anggotanya yang merusak atau mencemarkan profesi
mereka sehingga mereka membuat “Kode Etik” untuk profesi mereka. Biasanya anggota
profesi sangat menjunjung tinggi Kode Etik mereka. Anggota profesi seperti ini biasanya tidak
takut kehilangan pekerjaan mereka biasanya mengerti bahkan ada yang menguasai politik
praktis, tetapi tidak berniat memasuki dunia politik praktis.
2
Sekarang ini bukan hanya para profesional yang mempunyai Kode Etik, pejabat-pejabat
publik pada lembaga-lembaga negara sudah dikawal oleh suatu Kode Etik. Hal tersebut sesuai
dengan amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, karena
itu Indonesia pun sekarang ini lembaga-lembaga negara di Indonesia seperti DPR, DPD, BPK,
MA dan MK mempunyai Kode Etik.
II. POLA REKRUTMEN DAN JUMLAH PEJABAT PUBLIK PADA LEMBAGA NEGARA
DAN PENGARUHNYA PADA LEMBAGA ETIKNYA
Lembaga-lembaga utama yang diatur oleh Undang-Undang Dasar mempunyai aturan
tersendiri mengenai rekrutmen dan jumlah anggotanya. DPR RI anggotanya 575 orang dan
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Karena itu Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) dibentuk disesuaikan dengan jumlah dan pola rekrutmen anggota
DPR RI. Anggota BPK berjumlah 9 orang, dipilih oleh DPR RI dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Sudah barang tentu jumlah dan pola
rekrutmen anggota BPK ini berpengaruh pada pembentukan lembaga etik BPK yang sebut
Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial
(KY) kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan oleh
Presiden sebagai Hakim Agung. Jumlah anggota Hakim Agung sekarang ini lebih dari 45
orang. Pengangkatan dan jumlah anggota MA seperti itu tentu berpengaruh pada
pembentukan lembaga etik di MA yang disebut Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Beda lagi
dengan pola rekrutmen Hakim Konstitusi. Hakim Konstitusi berjumlah 9 orang, 3 orang
diajukan oleh Mahkamah Agung (Lembaga Yudikatif), 3 orang diajukan oleh DPR (Lembaga
Legislatif), dan 3 orang diajukan oleh Presiden (Lembaga Eksekutif), kemudian ditetapkan
oleh Presiden sebagai Hakim Konstitusi. Pola rekrutmen seperti itu tentu berpengaruh kepada
pembentukan lembaga etik di Mahkamah Konstitusi.
Pola rekrutmen dan jumlah anggota masing-masing ke empat lembaga negara tersebut,
yang utama mempengaruhi pembentukan lembaga etiknya. Disamping itu fungsi, kedudukan
dan kewenangan lembaga-lembaga tersebut juga mempengaruhi pembentukan lembaga
etiknya. Dalam rangka itu berikut ini kami uraikan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,
dan lembaga etik pada Mahkamah Konstitusi.
III. KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI
Kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi ditetapkan melalui Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
3
Konstitusi yang ditetapkan pada tanggal 1 Desember 2006. Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi terdiri dari 7 (tujuh) prinsip yaitu :
1. Prinsip pertama Independensi dengan 6 (enam) butir penerapan;
2. Prinsip kedua Ketakberpihakan (Imparsialitas) dengan 5 (lima) butir penerapan;
3. Prinsip ketiga Integritas dengan 4 (empat) butir penerapan;
4. Prinsip keempat Kepantasan dan Kesopanan dengan 11 (sebelas) butir penerapan;
5. Prinsip kelima Kesetaraan dengan 5 (lima) butir penerapan;
6. Prinsip keenam Kecakapan dan Keseksamaan dengan 5 (lima) butir penerapan;
7. Prinsip ketujuh Kearifan Kebijaksanaan dengan 5 (lima) butir penerapan.
Ketujuh prinsip dengan masing-masing penerapannya itu, menjadi pedoman bagi Hakim
Konstitusi dan tolok ukur untuk menilai perilaku Hakim Konstitusi secara terukur dan terus
menerus. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk membantu masyarakat pada umumnya
termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan lain agar lebih memiliki penjelasan,
terhadap fungsi Mahkamah Konstitusi.
IV. LEMBAGA ETIK PADA MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Struktur, Keanggotaan dan Mekanisme Kerja
Lembaga etik pada Mahkamah Konstitusi ada 2 (dua) yaitu : Dewan Etik Hakim
Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan ketentuan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
1. Dewan Etik
Dewan Etik Hakim Konstitusi selanjutnya disebut Dewan Etik adalah perangkat yang
dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan kode etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan informasi
mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
yang disampaikan oleh masyarakat.Dewan Etik bersifat tetap dengan masa jabatan 3
(tiga) tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
a) Tugas dan Wewenang Dewan Etik
1) Tugas Dewan Etik:
a. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim
serta kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim Konstitusi
tidak melakukan pelanggaran;
4
b. Memeriksa Hakim Terlapor, yaitu Hakim Konstitusi yang masih aktif yang diduga
melakukan pelanggaran berdasarkan laporan yang diperoleh Dewan Etik dari
masyarakat secara tertulis, dan memeriksa Hakim Terduga yaitu Hakim
Konstitusi yang masih aktif yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan
informasi yang diperoleh Dewan Etik melalui pemberitaan media massa, baik
cetak maupun elektronik, serta dari masyarakat.
c. Mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis
Kehormatan dan membebaskan sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
sebagai Hakim Konstitusi apabila Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga
melakukan pelanggaran berat;
2) Wewenang Dewan Etik adalah sebagai berikut:
a. Dewan Etik berwenang memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang diduga melakukan pelanggaran, untuk memberikan penjelasan
dan pembelaan termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti;
b. Memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan atau pihak lain yang
terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga;
c. Menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang terbukti melakukan pelanggaran ringan;
d. Mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis
Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat
dan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali dan
mengusulkan pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tersebut.
Perlu diberi catatan, bahwa Dewan Etik tidak berwenang memproses dan memeriksa
laporan dari masyarakat yang meminta Dewan Etik menganulir putusan Mahkamah
Konstitusi.
b) Keanggotaan Dewan Etik
Keanggotaan Dewan Etik berjumlah 3 (tiga) orang, yang terdiri dari 1 (satu) orang
berasal dari mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru Besar (akademisi) dalam
bidang hukum, dan 1 (satu) orang tokoh masyaraka. Ke 3 (tiga) Anggota Dewan
Etik tersebut dipilih oleh Panitia Seleksi yang dipilih dalam Rapat Permusyawarahan
5
Hakim yang bersifat tertutup. Keanggotaan Dewan Etik ditetapkan melalui
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
c) Mekanisme Kerja
1. Rapat Pemeriksaan Dewan Etik
Rapat pemeriksaan Dewan Etik dilaksanakan untuk :
Melakukan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
Mendengarkan keterangan Pelapor;
Mendengarkan keterangan saksi dan/atau ahli;
Memeriksa alat bukti;
Mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga; dan
Mengambil keputusan Dewan Etik.
2. Putusan Dewan Etik
1. Menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti
melakukan pelanggaran;
2. Menyimpulkan terdapat pelanggaran ringan yang dilakukan oleh Hakim
Terlapor atau Terduga dan menjatuhkan sanksi berupa Teguran Lisan;
3. Menyimpulkan terdapat dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Hakim Terduga atau Hakim Terlapor
telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali, Dewan Etik
mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga diduga melakukan pelanggaran berat.
3. Sifat Keputusan Dewan Etik
Keputusan Dewan Etik bersifat final dan mengikat. Keputusan Dewan Etik
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Dewan Etik.
Dalam hal Dewan Etik mengambil keputusan Hakim Terduga atau Hakim
Terlapor melakukan pelanggaran berat, maka Dewan Etik mengajukan usul
kepada Ketua Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan dan
usul pembebasan tugas sementara sebagai Hakim Konstitusi kepada Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga.
6
4. Sifat Rapat Dewan Etik
Rapat pemeriksaan Dewan Etik seperti disebutkan di atas bersifat tertutup
untuk umum.
2. Majelis Kehormatan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut Majelis
Kehormatan adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan kode etik Hakim
Konstitusi terkait dengan pelaporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh
Dewan Etik.
a) Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan
1. Tugas Majelis Kehormatan
a. Melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan
oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan
oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan
sebanyak 3 (tiga) kali;
b. Menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah
Konstitusi.
2. Wewenang Majelis Kehormatan
a. Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
diajukan oleh Dewan Etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan,
termasuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
b. Memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi, dan/atau pihak lain.
Yang terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga untuk dimintai keterangan termasuk
untuk dimintai dokumen atau alat bukti lainnya;
c. Menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
b) Keanggotaan Majelis Kehormatan bersifat ad hoc (Sementara)
Keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri atas 5 (lima) orang yang terdiri dari
unsur Hakim Konstitusi 1 (satu) orang, 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial,
1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang
hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
7
Calon Anggota Majelis Kehormatan dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang
bersifat tertutup (Rapat Permusyawarahan Hakim) dan ditetapkan dengan
keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
c) Mekanisme Kerja Majelis Kehormatan
1. Persidangan Majelis Kehormatan
Persidangan Majelis Kehormatan terdiri atas :
a) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
b) Sidang Pemeriksaan Lanjutan; dan
c) Rapat Pleno Majelis Kehormatan.
a. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan ini melakukan pemeriksaan
pendahuluan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
diduga melakukan pelanggaran berat dan membacakan Keputusan
Majelis Kehormatan terkait dengan pemeriksaan tersebut.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan ini tertutup untuk umum, sidang
pembacaan Keputusan Majelis Kehormatan terbuka untuk umum.
Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan ini Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran maka Majelis
Kehormatan mengambil Keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Apabila Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan
pelanggaran ringan maka Majelis Kehormatan mengambil keputusan
bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan
pelanggaran ringan. Keputusan Majelis Kehormatan tersebut memuat
penjatuhan sanksi terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
berupa teguran lisan.
Dalam hal Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan Pelanggaran Berat,
Majelis Kehormatan mengambil keputusan melanjutkan pemeriksaan
terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang
8
Pemeriksaan Lanjutan, disertai rekomendasi pemberhentian
sementara.
b. Sidang Pemeriksaan Lanjutan
Sidang Pemeriksaan Lanjutan ini melakukan pemeriksaan lanjutan
terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, yang diduga
melakukan pelanggaran berat, melakukan pemeriksaan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan
sebanyak 3 (tiga) kali dan membacakan Keputusan Majelis
Kehormatan terkait dengan pemeriksaan pada sidang pemeriksaan
lanjutan tersebut.
Sidang pemeriksaan lanjutan tertutup untuk umum sedang sidang
pemeriksaan lanjutan untuk membacakan keputusan Majelis
Kehormatan terbuka untuk umum.
Dalam hal sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran Majelis
Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan memberikan usul
merehabilitasi yang bersangkutan. Rehabilitasi ditetapkan dengan
Keputusan Presiden atas permintaan Mahkamah Konstitusi.
Dalam hal sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan,
Keputusan Majelis Kehormatan menyatakan Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan dan
Keputusan tersebut memuat penjatuhan sanksi terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga berupa teguran lisan.
Dalam hal sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis
Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat. Keputusan Majelis
Kehormatan tersebut memuat penjatuhan sanksi berupa teguran
tertulis atau pemberhentian tidak dengan hormat. Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga. Bila dalam Keputusan Majelis Kehormatan
tersebut memuat penjatuhan sanksi berupa pemberhentian tidak
9
dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, Mahkamah
Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan
hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam
jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya Keputusan Majelis
Kehormatan oleh Mahkamah Konstitusi.
c. Rapat Pleno Majelis Kehormatan
Rapat Pleno Majelis Kehormatan dilaksanakan untuk mengambil
keputusan Majelis Kehormatan. Sifat rapat pleno Majelis Kehormatan
tertutup untuk umum.
B. Tata Cara Pengambilan Keputusan Dewan Etik Dan Majelis Kehormatan
a. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan pada rapat atau sidang-sidang Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan dilakukan secara musyawarah mufakat dalam rapat
tertutup untuk umum. Apabila dalam pengambilan keputusan tidak tercapai
mufakat keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Apabila melalui
suara terbanyak keputusan tidak dapat diambil, maka suara terakhir Ketua
Dewan Etik atau Majelis Kehormatan menentukan.
b. Kuorum
Rapat Dewan Etik atau Majelis Kehormatan untuk mengambil keputusan
dihadiri oleh seluruh anggota. Apabila kuorum tidak tercapai, maka rapat
ditunda paling lama 2 (dua) jam. Apabila setelah ditunda 2 (dua) jam kuorum
tetap belum tercapai, rapat dilanjutkan untuk mengambil keputusan, dengan
ketentuan maksimal dihadiri 2 (dua) orang anggota untuk Dewan Etik dan 3
(tiga) orang anggota untuk Majelis Kehormatan.
C. Prinsip Dalam Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Dewan Etik Dan
Majelis Kehormatan
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara;
10
2. Prinsip Objektivitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya menggunakan kriteria, paramater, data, informasi, dan fakta yang
dapat dipertanggungjawabkan;
3. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya tidak memihak kepada siapapun dan kepentingan apapun;
4. Prinsip Penghormatan kepada Profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib menjaga kehormatan
dan keluhuran martabat Hakim Konstitusi;
5. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dianggap tidak
bersalah sampai dengan dibuktikan sebaliknya berdasarkan Keputusan Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan;
6. Prinsip Tranparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi, Keputusan Dewan
Etik, dan Keputusan Majelis Kehormata, kecuali hal-hal yang ditentukan lain dalam
Peraturan ini; dan
7. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang.
V. OPTIMALISASI PERAN PENEGAKAN ETIK SEBELUM PENEGAKAN HUKUM
Adanya pendapat atau usulan bila terjadi hal-hal yang beririsan antara pelanggaran
hukum dan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang pejabat publik,
agar proses peradilan etik didahulukan, menurut kami usulan tersebut perlu dipelajari dan
dibahas secara mendalam.
Seperti telah kami sampaikan di atas bahwa perbedaan perekrutan dan jumlah pejabat
publik di masing-masing lembaga negara membuat keberadaan tugas dan wewenang
lembaga etik di masing-masing lembaga agak berbeda satu sama lain. Belum ditambah
dengan perbedaan fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut, membuat
perbedaan masing-masing lembaga etik itu semakin menonjol. Perlu juga dipahami bahwa
ada kalanya pelanggaran etik belum tentu merupakan pelanggaran hukum, tetapi umumnya
pelanggaran hukum biasanya merupakan pelanggaran etik juga. Kemungkinan juga
pelanggaran etik di satu lembaga etik belum tentu merupakan pelanggaran etik pada lembaga
etik lainnya.
11
Karena itu kami setuju dengan ajakan panitia seminar agar optimalisasi peran
penegakan etika sebelum penegakan hukum perlu didiskusikan bersama, dan kami
mendukung dan menghargai semua ini.
VI. PENUTUP
Melalui penyajian makalah kami dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI ini, kami telah berupaya menjelaskan keberadaan
Lembaga Etik Mahkamah Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan. Penjelasan
tersebut baru secara umum saja mengenai struktur dan pola rekrutmen keanggotaan, tugas
dan kewenangan, mekanisme kegiatannya dan kode etik perilaku Hakim Konstitusiitu sendiri.
Dari uraian dan penjelasan kami tersebut. Seminar Nasional ini dapat mengkaji mana
yang ada manfaatnya bagi tujuan seminar ini, juga melalui uraian kami ini para peserta
seminar dapat mempelajari dan memahami kenapa Lembaga Etik Mahkamah Konstitusi
keberadaannya seperti sekarang ini.
Sudah barang tentu melalui paparan dari narasumber peserta seminar nasional ini kami
juga mempelajari keberadaan lembaga etik lembaga-lembaga negara kita, dan dapat memetik
manfaat darinya, mana yang dapat dipakai untuk meningkatkan peran lembaga etik
Mahkamah Konstitusi ke masa depan ini.
Demikian uraian kami, selamat berseminar.
12
Daftar Bacaan Selektif
Benveniste, Guy, 1991, Birokrasi, diterjemahkan oleh Sahat Simamora, Jakarta, Rajawali Pers.
Kumorotomo, Wahyudi, 1992, Etika Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers.
Jimly Asshiddiqie, 2016, Penguatan Sistem Norma Etika Dalam Rangka Penegakan Kode Etik,
dalam Menjaga Kehormatan Lembaga Perwakilan, Agustus 2016, halaman 42-76,
Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI.
Suriasumantri, Jujun S, 1995, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan.
Yusuf, 2017, Peran Etika Dalam Peningkatan Kinerja Anggota DRP RI, dalam “Dinamika Dan
Tantangan Kinerja Lembaga Perwakilan, 1 Oktober 2017, halaman 81-90, Mahkamah
Kehormatan Dewan DPR RI.
13
1
MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA NOMOR 09/PMK/2006
TENTANGPEMBERLAKUAN
DEKLARASI KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hakim konstitusi sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat;
b. bahwa untuk menegakkan integritas dan kepribadian hakim konstitusi yang adil dan tidak tercela sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu disusun dan ditetapkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi;
2
c. bahwa Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana termuat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 07/PMK/2005 tanggal 18 Oktober 2005 telah disempurnakan;
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a, b, dan c di atas, perlu ditetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang telah disempurnakan.
Mengingat : 1. Pasal 24C Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002;
3. Pasal 15 dan Pasal 86 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
Memperhatikan : Hasil Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 November 2006;
3
MEMUTUSKANMenetapkan : P E R AT U R A N M A H K A M A H K O N S T I T U S I
REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PEMBERLAKUAN DEKLARASI KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI
Pasal 1(1) Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana
dideklarasikan pada tanggal 17 Oktober 2005, yang disempurnakan pada tanggal 1 Desember 2006, ditetapkan sebagai Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
(2) Naskah Deklarasi Hakim Konstitusi yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud Ayat (1) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Konstitusi ini.
Pasal 2Tata cara penegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 1 Ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 3Menyatakan tidak berlaku Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 07/PMK/2005, tanggal 18 Oktober 2005, tentang Pemberlakukan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi beserta lampirannya.
Pasal 4Peraturan Mahkamah Konstitusi ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 1 Desember 2006
Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaKetua,
ttdProf. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
4
DEKLARASI HAKIM KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA
TENTANGKODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA (SAPTA KARSA HUTAMA)
PEMBUKAAN
Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan sumber hukum tertinggi, menyatakan Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, yang mengakui, menghormati, melindungi, memajukan, dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Bahwa asas negara hukum yang demokratis serta menjamin pemenuhan hak asasi manusia itu menyatakan segala warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
Bahwa dalam rangka perwujudan negara hukum yang demokratis dan penegakan hak asasi manusia, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu keniscayaan.
Bahwa citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku para hakim konstitusi dalam melaksanakan amanah untuk memeriksa,
5
mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahwa guna menjaga, memelihara, dan meningkatkan integritas pribadi, kompetensi dan perilaku hakim konstitusi perlu dirumuskan dan disusun kode etik dan perilaku, sebagai pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus menerus. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk membantu masyarakat pada umumnya termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan lain, agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Mahkamah.
Bahwa penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku.
Bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai hakim konstitusi.
6
Bahwa prinsip yang termuat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dimaksudkan untuk melengkapi dan bukan untuk mengurangi ketentuan hukum dan perilaku yang sudah ada, yang mengikat hakim konstitusi.
PERTAMAPRINSIP INDEPENDENSI
Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
Penerapan:1. Hakim konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secara
independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak
7
langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
2. Hakim konstitusi harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.
3. Hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4. Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim konstitusi harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5. Hakim konstitusi harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun kelembagaan.
6. Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah.
KEDUAPRINSIP KETAKBERPIHAKAN
Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan
8
Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.
Penerapan:1. Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa
prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.
2. Hakim konstitusi harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim konstitusi dan Mahkamah.
3. Hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara.
4. Hakim konstitusi dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim konstitusi lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas putusan.
5. Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai
prasangka terhadap salah satu pihak; dan/ataub. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya
mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;
9
KETIGAPRINSIP INTEGRITAS
Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
Penerapan:1. Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari
sudut pandang pengamatan yang layak.2. Tindak tanduk dan perilaku hakim konstitusi harus memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa Mahkamah. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak dilaksanakan.
3. Hakim konstitusi dilarang meminta atau menerima dan harus menjamin bahwa anggota keluarganya tidak meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat atau janji untuk menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat dari pihak yang berperkara atau pihak lain yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksa yang dapat memengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya.
10
4. Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan pegawai Mahkamah atau pihak lain yang berada di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangannya untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman atau imbalan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim konstitusi berkenaan dengan pelaksanaan tugas Mahkamah.
KEEMPATPRINSIP KEPANTASAN DAN KESOPANAN
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
Penerapan:1. Hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang
tidak pantas dalam segala kegiatan.
11
2. Sebagai abdi hukum yang terus menerus menjadi pusat perhatian masyarakat, hakim konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta bertingkahlaku sejalan dengan martabat Mahkamah.
3. Dalam hubungan pribadi dengan anggota-anggota profesi hukum lainnya yang beracara di Mahkamah, hakim konstitusi harus menghindari keadaan yang menurut penalaran yang wajar dapat menimbulkan kecurigaan atau memperlihatkan sikap berpihak.
4. Hakim konstitusi tidak akan mengizinkan tempat tinggalnya untuk digunakan oleh anggota suatu profesi hukum lain sebagai tempat untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
5. Sebagaimana warga negara pada umumnya, hakim konstitusi berhak atas kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan berkumpul, sepanjang dalam menggunakan hak-hak tersebut, hakim konstitusi selalu menjaga martabat Mahkamah, prinsip ketakberpihakan dan independensi Mahkamah.
6. Hakim konstitusi harus menginformasikan secara terbuka tentang keadaan kekayaan pribadi dan keluarganya atas kesadaran sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Hakim konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarganya dan/atau relasi sosial lainnya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara.
8. Hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim konstitusi dilarang memberikan kesempatan kepada
12
orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunyai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya.
9. Keterangan rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya dilarang dipergunakan atau diungkapkan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan tugas Mahkamah.
10. Dengan tetap mengutamakan dan terikat pada aturan-aturan tentang tugas-tugasnya di bidang peradilan serta dengan tetap mempertahankan prinsip independensi dan ketakberpihakan, hakim konstitusi boleh:a. Menulis, memberi kuliah, mengajar, dan turut serta dalam
kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengannya;
b. Atas persetujuan pimpinan, tampil dalam forum dengar pendapat umum di hadapan suatu lembaga resmi berkenaan dengan hal-hal yang terkait dengan hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengannya;
c. Atas persetujuan pimpinan, berperan sebagai penasihat pemerintah, atau dalam suatu kepanitiaan, komite, atau komisi tidak tetap lainnya; atau
d. Melakukan kegiatan lain sepanjang tidak mengurangi martabat Mahkamah atau mengganggu pelaksanaan tugas Mahkamah.
11. Hakim konstitusi dapat ikut serta dalam perkumpulan sosial atau profesional yang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai hakim konstitusi.
13
KELIMAPRINSIP KESETARAAN
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.
Penerapan:1. Hakim konstitusi harus menyadari dan memahami kemajemukan
dalam masyarakat serta perbedaan-perbedaan yang timbul berdasarkan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan politik.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, baik dengan perkataan maupun tindakannya, hakim konstitusi dilarang berpurbasangka atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasan-alasan yang tidak relevan.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim konstitusi harus memperhatikan dengan selayaknya semua orang yang berhubungan dengan Mahkamah, seperti para pihak, saksi, ahli, advokat atau kuasa hukum, staf Mahkamah atau rekan sejawat hakim konstitusi, dengan tidak membeda-bedakan tanpa alasan yang relevan.
4. Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan staf Mahkamah atau pihak-pihak lain yang berada di bawah
14
pengaruh, petunjuk atau pengawasannya untuk membeda-bedakan para pihak yang terkait dengan perkara yang diadili oleh hakim konstitusi atas alasan yang tidak relevan.
5. Hakim konstitusi harus mewajibkan para advokat atau kuasa hukum dalam persidangan untuk tidak memperlihatkan purbasangka atau bias, baik dengan perkataan maupun perbuatan, tanpa alasan yang relevan.
KEENAM:PRINSIP KECAKAPAN DAN KESEKSAMAAN
Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan.
Penerapan:1. Hakim konstitusi mengutamakan tugas Mahkamah di atas
segala kegiatan lainnya.2. Hakim konstitusi harus mendedikasikan diri untuk pelaksanaan
tugas-tugasnya, baik dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab Mahkamah maupun tugas-tugas lain yang berhubungan dengan hal itu.
3. Hakim konstitusi harus senantiasa meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan pribadi lainnya melalui berbagai sarana dan media yang tersedia yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Mahkamah yang baik.
15
4. Hakim konstitusi harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum nasional dan internasional yang relevan, termasuk konvensi-konvensi dan perangkat-perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
5. Hakim konstitusi harus menjamin penyelesaian perkara secara efisien, baik dan tepat waktu, termasuk pengucapan dan penyampaian putusan kepada pihak-pihak.
KETUJUHPRINSIP KEARIFAN DAN KEBIJAKSANAAN
Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar, tetapi tegas dan lugas.
Penerapan:1. Hakim konstitusi harus menjaga tata tertib persidangan,
santun, dan menghargai semua pihak dalam persidangan, sebagaimana para pihak menghormati hakim konstitusi sesuai dengan tata tertib persidangan.
2. Hakim konstitusi harus mendengar keterangan para pihak dengan sabar.
3. Hakim konstitusi harus menjawab dengan sikap penuh pengertian (empathy).
4. Hakim konstitusi harus bersikap tenang (sober) dalam mememeriksa dan memutus setiap perkara.
5. Hakim konstitusi harus bersikap penuh wibawa dan bermartabat (dignity).
16
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini, yang disebut SAPTA KARSA HUTAMA, dideklarasikan dan ditandatangani oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi pada tanggal 17 Oktober 2005 dan disempurnakan pada tanggal 1 Desember 2006.
Hakim Konstitusi Republik Indonesia
ttdProf. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
ttdProf.Dr.H.M.Laica Marzuki, S.H.
ttdProf.H.A.Mukthie Fadjar,S.H., M.S.
ttdH. Achmad Roestandi, S.H.
ttdProf.H.A.S.Natabaya,S.H., LL.M.
ttdDr. Harjono, S.H., M.C.L.
ttdI Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
ttdMaruarar Siahaan, S.H.
ttdSoedarsono, S.H.