19
1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2018-2019 Masa Persidangan : I Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Komisi I dengan Pejabat Pemerintah (Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI, Jaksa Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, dan Divisi Hukum Mabes Polri) Hari, Tanggal : Senin, 15 Oktober 2018 Pukul : 13.00 WIB – 14.39 WIB Sifat Rapat : Terbuka Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Ketua Rapat : H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Acara : Pandangan/Masukan Pakar terkait pembahasan RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab mengenai Extradisi (Treaty between The Republic of Indonesia and The United Arab Emirates on Extradition Hadir : PIMPINAN: 1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Ir. Bambang Wuryanto, M.B.A. (F-PDI Perjuangan) 3. Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. (F-PG) 4. Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-Gerindra) 5. H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. (F-PAN) ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN (F-PDIP) 6. Ir. Rudianto Tjen 7. Dr. Effendi MS Simbolon, MIPol. 8. Charles Honoris 9. Andreas Hugo Pareira 10. Junico BP Siahaan 11. Yadi Srimulyadi 12. Drs. Ahmad Basarah, MH FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 13. Meutya Viada Hafid 14. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., C.F.E. 15. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 16. Bambang Atmanto Wiyogo 17. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn. 18. Dr. Jerry Sambuaga FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 19. H. Ahmad Muzani 20. Martin Hutabarat 21. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M. 22. Rachel Maryam Sayidina

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · 2018-11-19 · Rapat Dengar Pendapat Komisi I dengan Pejabat Pemerintah ... Pandangan/Masukan Pakar terkait pembahasan RUU tentang

Embed Size (px)

Citation preview

1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI

Tahun Sidang : 2018-2019 Masa Persidangan : I

Jenis Rapat :

Rapat Dengar Pendapat Komisi I dengan Pejabat Pemerintah (Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI, Jaksa Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, dan Divisi Hukum Mabes Polri)

Hari, Tanggal : Senin, 15 Oktober 2018 Pukul : 13.00 WIB – 14.39 WIB Sifat Rapat : Terbuka

Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270

Ketua Rapat : H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP.

Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI

Acara : Pandangan/Masukan Pakar terkait pembahasan RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab mengenai Extradisi (Treaty between The Republic of Indonesia and The United Arab Emirates on Extradition

Hadir : PIMPINAN: 1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Ir. Bambang Wuryanto, M.B.A. (F-PDI Perjuangan) 3. Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. (F-PG) 4. Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-Gerindra) 5. H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. (F-PAN) ANGGOTA:

FRAKSI PDI-PERJUANGAN (F-PDIP) 6. Ir. Rudianto Tjen 7. Dr. Effendi MS Simbolon, MIPol. 8. Charles Honoris 9. Andreas Hugo Pareira 10. Junico BP Siahaan 11. Yadi Srimulyadi 12. Drs. Ahmad Basarah, MH FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 13. Meutya Viada Hafid 14. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., C.F.E. 15. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 16. Bambang Atmanto Wiyogo 17. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn. 18. Dr. Jerry Sambuaga

FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 19. H. Ahmad Muzani 20. Martin Hutabarat 21. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M. 22. Rachel Maryam Sayidina

2

23. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. 24. Andika Pandu Puragabaya, S.Psi, M.Si, M.Sc. 25. Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si.

FRAKSI PARTAI DEMOKRAT (F-PD) 26. Teuku Riefky Harsya, B.Sc., M.T. 27. Dr. Sjarifuddin Hasan, S.E., M.M., M.B.A 28. H. Darizal Basir 29. Ir. Hari Kartana, M.M. 30. KRMT Roy Suryo Notodiprojo

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL (F-PAN) 31. Zulkifli Hasan, S.E., M.M. 32. Ir. Alimin Abdullah 33. Budi Youyastri 34. H.M. Syafrudin, S.T., M.M.

FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (F-PKB) 35. Drs. H. A. Muhaimin Iskandar, M.Si. 36. Drs. H.M. Syaiful Bahri Anshori, M.P. 37. Arvin Hakim Thoha 38. H. Cucun Ahmad Syamsurijal, S.Ag 39. Drs. H. Taufiq R. Abdullah

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) 40. Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. 41. H. Sukamta, Ph.D.

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP) 42. Moh. Arwani Thomafi 43. Hj. Kartika Yudhisti, B.Eng., M.Sc. 44. H. Syaifullah Tamliha, S.Pi., M.S. FRAKSI PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (F-NASDEM) 45. Prof. Dr. Bachtiar Aly, M.A. 46. Prananda Surya Paloh 47. Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra 48. Drs. Y. Jacki Uly, M.H

FRAKSI PARTAI HATI NURANI RAKYAT (F-HANURA) 49. Ir. Nurdin Tampubolon, M.M. 50. Mohamad Arief Suditomo, S.H., M.A. 51. Lalu Gede Syamsul Mujahidin, S.E.

Anggota yang Izin : 1. Dr. Evita Nursanty, M.Sc. (F-PDI PERJUANGAN) 2. Venny Devianti, S. Sos. (F-PG) 3. Dr. H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A. (F-PKS)

Undangan

: 1. Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Direktorat Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI, Rijal Al Huda.

2. Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Direktur Hukum dan Perjanjian Politik Keamanan Kementerian Luar Negeri RI, Ricky Suhendar.

3. PLT. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI, Cahyo Rahadian Muzhar, S.H., L.L.M.

4. Jaksa Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Dr. Noor Rochmad, S.H., M.H.

5. Divisi Hukum Mabes Polri, Brigjen Pol Dr.Agung Makbul, S.H.,M.H.

6. Beserta jajaran.

3

Jalannya Rapat: KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semuanya, Selamat datang kepada para Bapak Kepala Divisi Hukum Polri, Jaksa Agung Tindak Pidana Umum, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu dan juga Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri dan seluruh jajaran yang hadir. Sebelum kita memasuki agenda utama kita pada siang hari ini, saya perlu menyampaikan bahwa melalui informasi dari Sekretariat ada 7 Fraksi sudah hadir dan sambil mengalir akan datang untuk hadir diruangan ini, sehingga kuorum terpenuhi dan kita bisa mulai Rapat Dengar Pendapat ini. Sebelum saya mulai saya meminta kesepakatan dari para peserta apakah Rapat Dengar Pendapat kita ini akan kita gelar secara terbuka atau tertutup? PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.):

Izin Pimpinan, dari Pemerintah kami menghendaki kiranya dapat dilakukan terbuka jika itu juga menjadi perkenan dari Komisi I DPR RI. Terima kasih. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terbuka ya Bapak dan Ibu. Kita sepakati terbuka dan dengan demikian Rapat Dengar Pendapat pada siang hari ini kita mulai dari dinyatakan terbuka.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 13.00 WIB)

Pada hari ini Bapak dan Ibu semua, Komisi I DPR RI akan menggelar Rapat Dengar Pendapat dan baru saja kita buka, yaitu mengenai RUU tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab mengenai Extradisi (Treaty between The Republic Of Indonesia and The United Arab Emirates on Extradition). Jadi Rapat Dengar Pendapat ini dalam rangka untuk mendapatkan masukan dari Bapak-bapak semua dan seluruh instansi yang terkait yang hadir pada siang hari ini. Kami perlu menyampaikan secara ringkas bahwa 8 Agustus 2018 Bapak Presiden Republik Indonesia telah mengirimkan surat kepada DPR RI tentang Rancangan Undang-Undang ini. Dan kemudian dilanjutkan pada tanggal 6 September 2018 dengan rapat konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah antara Pimpinan DPR RI dan seluruh Fraksi. Dan kemudian dilanjutkan pada tanggal 17 September 2018 untuk diadakan pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang ini dan dimulai dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat untuk mendapatkan masukan dari Bapak-bapak semua. Secara singkat nanti kami ingin mendengar paparan Bapak-bapak semua. Saya kira dengan mempersingkat waktu saya persilkan dari yang pertama Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri untuk menyampaikan paparannya. Silakan Pak. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera, Selamat siang. Yang kami hormati Pimpinan Komisi I DPR RI, Beserta Anggota Dewan yang terhormat Anggota Komisi I DPR RI. Menyampaikan izin Pak, untuk Pemerintah akan diwakili oleh kami sebagai Plt Dirjen AHU untuk dari instansi dan Kementerian terkait lainnya masing-masing ada di wakili oleh Kejaksaan Agung Bapak Jampidun Bapak Nurohmat. Kemudian tadi sebagaimana disampaikan oleh Bapak Pimpinan untuk Dirjen Aspasaf hari ini diwakili Bapak Pimpinan. Oleh karena itu, dengan perkenan Bapak Pimpinan, kami akan membacakan atau menyampaikan keterangan Pemerintah, jika disetujui Pak. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Bismillahirahmanirahim.

4

Salam sejahtera bagi kita semua, Selamat siang. Yang kami hormati Pimpinan Komisi I DPR RI beserta seluruh Anggota Komisi I DPR RI, Pejabat eselon I dari Kementerian dan Lembaga terkait. Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI yang telah menyelenggarakan agenda Rapat Dengar Pendapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab tentang Extradisi. Hal ini menunjukkan komitmen dan kepedulian serta tanggungjawab Indonesia terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorganisasi dan korupsi yang memerlukan kerja sama yang baik antara negara ditataran bilateral, regional dan multilateral. Pada kesempatan ini izinkanlah kami menyampaikan secara singkat pandangan kami Pemerintah terkait dengan Rancangan Undang-Undang dimaksud. Pimpinan dan Anggota Dewan yang saya hormati. Hubungan Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab terus berkembang di berbagai bidang sejak dibukanya hubungan diplomatic antara kedua negara pada tahun 1976. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat mobilitas orang dan barang antara kedua negara. Sebagai salah satu negara yang menjadi pusat keuangan dunia, Persatuan Emirat Arab memiliki potensi besar dijadikan tempat pelarian pelaku kejahatan yang dilakukan di Indonesia. Untuk itu, penting kiranya menyediakan instrument hukum yang mendasari kedua negara dalam melakukan upaya untuk mengatasi berbagai persoalan hukum yang timbul, sehingga tidak mengganggu hubungan persabahatan yang telah dibangun sejak lama. Yang kami hormai Pimpinan dan Anggota Dewan. Perjanjian internasional merupakan salah satu landasan kerja sama antar negara yang mengatur berbagai bentuk serta persoalan sengketa antar negara. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi suatu negara untuk mempunyai perjanjian dengan negara lain baik ditataran bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kaitan ini persetujuan antara Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab tentang extradisi akan menjadi kerja sama yang efektif bagi Indonesia dalam pemberantasan pelaku tindak pidana seperti penyelundupan, perdagangan manusia, tenaga kerja, terorisme dan tindak pidana lainnya. Mengingat Indonesia terletak dipersimpangan lalu lintas internasional. Melalui pembentukan persetujuan dimaksud kerja sama bidang hukum antar kedua negara akan terlembagakan dan didasari pada prinsip-prinsip kehormatan, kedaulatan, kesetaraan dan saling menguntungkan. Lebih jauh kedua negara dapat menghadirkan para pelaku tindak pidana yang melarikan diri keluar negeri untuk menghindari proses hukum di Indonesia. Perjanjian extradisi antara Republik Indonesia dan Persatuan Emirat Arab pada prinsipnya memuat asas-asas dan syarat-syarat antara lain:

1. Tindak pidana yang dapat diextradisikan adalah tindak pidana yang dapat dihukum berdasarkan hukum kedua pihak dengan tentunya memperhatikan asas prinsip dual criminality dengan hukuman penjara paling sedikit 1 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat.

2. Apabila permintaan extradisi berkaitan dengan seseorang yang dicari untuk pelaksanaan hukuman penjara atau perampasan kebebesan yang dikenakan atas tindak pidana yang dapat diextradisikan. Extradisi hanya dapat dikabulkan apabila sisa masa hukumannya yang dijalani sekurang-kurangnya 6 bulan.

Yang menjadi permasalahan apakah hukum kedua belah pihak menempatkan dalam katagori tindak pidana yang

sama atau merumuskan tindak pidana dalam terminology yang sama. Apabila extradisi atas orang yang dicari atas tindak pidana yang terkait dengan perpajakan, bea cukai, pengawasan volute asing atau masalah pendapat lainnya extradisi tidak dapat ditolak dengan dasar bahwa hukum negara pihak diminta tidak membebankan jenis pajak atau biaya yang sama atau tidak memuat peraturan tentang pajak, bea cukai atau volute asing yang sama dengan hukum pihak peminta. Pimpinan dan Anggota Dewan yang saya hormati. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perlu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat khusus untuk beberapa perjanjian secara substantive mengatur masalah politik, perdamaian, pertahanan, keamanan, perubahan wilayah, kedaulatan negara dan hak asasi manusia. Perjanjian antara Indonesia dan Persatuan Emirat Arab tentang Extradisi ditetapkan oleh Undang-Undang karena berkenaan dengan kedaulatan negara dan hak asasi manusia. Pengesahan Rancangan Undang-Undang ini akan melengkapi perjanjian kerja sama yang dimiliki oleh Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab yang telah ditandatangani pada tahun 2014, yaitu Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pimpinan dan Anggota Dewan yang saya hormati.

5

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada Komisi I DPR RI atas kesempatan yang diberikan kepada kami. Dan kami berharap agar DPR RI dan Pemerintah dapat berikhtiar guna melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang dimaksud. Terima kasih. Wabillahi Taufiq Walhidayah, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bapak Cahyo. Selanjutnya dari Dirjen Kemenlu. Silakan Pak. DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL, DIREKTUR HUKUM DAN PERJANJIAN POLITIK KEAMANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI (RICKY SUHENDAR): Izin Pimpinan. Informasi yang kami sampaikan sudah disampaikan oleh Bapak Dirjen, mungkin nanti kami menambahkan dalam sesi tanya jawab. Terima kasih Bapak Ketua. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Jadi Bapak Cahyo semua dari Kementerian Lembaga ini semua satu paparan tadi itu ya. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Satu paparan dan nanti dalam sesi tanya jawab akan dari Kejaksaan Agung maupun dari Polri dan Kemlu akan saling melengkapi dalam memberikan penjelasan. Jika itu dapat diterima dan diperkanankan. Terima kasih. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Saya persilakan kalau begitu dari Bapak-bapak Komisi I DPR RI apabila ada hal yang saya kira perlu untuk didalami lebih lanjut berkaitan dengan extradisi ini karena urusan extradisi ini menyangkut kedaulatan hukum internasional masing-masing negara. Tetapi ketika diimplementasikan itu harus ada muncul understanding yang output-nya juga muncul benefit terkait dengan penegakan hukum di kedua negara. Dan urusan ini urusan hukum, jadi mungkin juga sedikit banyak hal menjadi urusan yang sensitive. Kita pernah punya pengalaman juga ketika merancangan untuk meratifikasi sebuah Undang-Undang terkait extradisi dengan negara tetangga teryata gagal, karena terlalu bersikukuh sehingga tidak ada muncul understanding padahal sudah bertetangga. Nah, ini saya harap kesempatan pada siang hari ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk melakukan pertanyaan atau pendalaman yang lebih lanjut lagi. Saya persilakan Bapak-bapak. Silakan Bapak Jacki. F-NASDEM (Drs. Y. JACKI ULY, M.H.): Pimpinan rapat yang saya hormati, Rekan-rekan dari Departemen ataupun lembaga yang ada di tempat ini yang saya banggakan. Pertama, saya membaca mengenai perjanjian extradisi disini. Konotasi kita kalau extradisi ini kebanyakan adalah ada persoalan hukum didalamnya, kebanyakan yang saya tahu. Sedang kita selama ini mempunyai badan namanya Interpol, apakah perlu perjanjian extradisi ini kita tandatangani kalau kerja sama Interpol itu sudah bagus. Sebab saya tahu kebanyak kalau terjadi suatu tindak pidana kita bisa memakai right notice itu melalui Interpol. Karena apa? Kalau memang alasannya memang benar extradisi ini diperlukan ini jalannya panjang, karena dasar hukum yang dianut oleh negara-negara yang akan melakukan perjanjian dengan kita itu kadang-kadang berbeda. Jadi untuk itulah saya meminta penjelasan dari Polri bagaimana hubungan selama ini kalau terjadi suatu tindak pidana menyangkut antara negara-negara Emirat Arab dengan kita yang selama ini kita lakukan. Sehinga kita mesti sekarang bertindak untuk extradisi, suatu perjanjian khusus untuk extradisi orang dari satu negara ke negara lain. Saya rasa itu saja, terima kasih.

6

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bapak Jacki. Kita akan tampung dulu, dari Ustad Hidayat silakan. F-PKS (Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.): Rekan-rekan Pimpinan, rekan-rekan Anggota Komisi I DPR RI, Bapak-bapak dari Kemenkumham, dari Kemenlu, maupun Kepolisian dan Kejaksaan yang saya hormati. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Tentu saja sebagai negara yang mempunyai hubungan yang sangat baik dengan negara-negara yang lain termasuk dengan Emirat Arab. Pastilah kita sangat penting juga untuk melakukan hubungan yang sangat baik dalam hal kaitannya dengan penegakan hukum. Inilah saya kira saling menghormati itu penting untuk muncul dari kedua belah pihak dari kita menghormati hukum Emirat dan kita Emirat juga menghormati hukum yang ada di Indonesia. Agar kemudian masalah ini betul-betul bisa terlaksana dengan baik dan karenanya masa extradisi ini nati benar-benar bisa kita kaji dengan semestinya.

Sangat penting tadi juga sudah disampaikan tentang bahwa bangunan hukum di Uni Emirat Arab dan bangunan hukum di Indonesia itu dalam tanda kutib mengena sisi-sisi yang memang bisa kemudian ditemukan atau disamakan dan tidak terjadi kontradiksi, misalnya tentang definisi yang terkait dengan masalah women trafficking atau yang terkait dengan masalah drug, atau yang terkait dengan masalah terorisme misalnya ataupun dengan hal-hal yang lain yang memang kemudian sangat memungkinkan untuk terjadinya saling extradisi atau perjanjian extradisi ini. Jadi menurut saya kami perlu mendapatkan informasi yang meyakinkan bahwa beragam hal yang nanti akan kita sepakati atau akan dimasukkan dalam point-point terkait dengan Undang-Undang Extradisi ini benar-benar kita sudah dalam satu platform yang sama. Jangan sampai definisi antara kita berbeda, sehingga nanti akan berdampak ketika kita akan mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Extradisi ternyata definisinya berbeda. Jadi bagaimana akan dilakukan extradisi kalau ternyata pemahaman atau praktek hukumnya berbeda. Jadi saya ingin mendapatkan informasi yang valid dan meyakinkan bahwa ketentuan yang diberlakukan di Indonesia itu sejenis, kalau sama pasti tidak sama, tapi sejenis atau senapas atau satu irama dengan yang diberlakukan di Emirat. Jangan sampai kalau ternyata nanti nilai hukumnya tidak sama dan definisinya pun ternyata sangat berbeda, saya kira memang memerlukan sebuah kajian tentang masalah extradisi ini. Tapi kalau ternyata sama untuk mencegah terjadinya kejahatan lintas negara terkait dengan perdagangan manusia, narkoba, terorisme dan sebagainya ya saya kira sudah sangat sewajarnya kita kerja sama. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Mohon maaf, ada sedikit yang ingin saya sampaikan agak sedikit menyimpang tetapi saya kira mumpung disini juga ada Dirjen Asia dan Afrika Pak. Ada agak sedikit kemiripan, yaitu ketika kemarin di Oman ada 178 warga Indonesia yang semula tertahan tidak bisa masuk ke Yaman karena ada pemahaman dari pihak Oman bahwa mereka tidak bisa mengizinkan warga non Oman untuk masuk ke Yaman, kecuali dengan izin dari Kementerian Luar Negeri. Jadi saya harus sampaikan terima kasih kepada Ibu Menlu dan kepada Duta Besar kita di Yaman dan juga di Oman yang setelah dikomunikasikan oleh Pimpinan Komisi I DPR RI agar Kemenlu segera melakukan advokasi, alhamdulillah Ibu Menlu segera mengutus Bapak Muhammad Iqbal Direktur Perlindungan Warga Indonesia di luar negeri dan segera berangkat ke Oman dan kemudian bisa meyakinkan bahwa kalau Malaysia saja mengizinkan pastilah Indonesia mengizinkan, karena memang mereka tidak berada di daerah konflik, mereka tidak belajar terorisme, mereka tidak kemudian layak untuk mendapatkan permasalahan yang membuat mereka tidak bisa melanjutkan perkuliahannya.

Alhamdulillah mereka sudah masuk dan terima kasih untuk itu dan kami berharap ini menjadi kebijakan yang permanen untuk kemudian mengizinkan warga belajar ke Yaman itu belajar ideologi NU Persis Pak, tidak ada terorisme disana, tidak ada radikalisme disana. Dan daerah itu sangat jauh dari daerah konflik, karena saya pernah juga sana dan mereka tidak tersentuh dengan daerah konflik.

Jadi sekali lagi saya sampaikan terima kasih dan saya berharap ini menjadi kebijakan yang permanen. Justru untuk memudahkan anak-anak kita belajar ke daerah-daerah yang mempelajari ahlu sunah aljamahah seperti itu. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Ustad Hidayat. Bapak Supiadin silakan.

7

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA): Terima kasih Pimpinan. Terima kasih dari pihak Kejaksaan Agung, Polri maupun dari Kumham. Pertama yang ingin saya tanyakan Bapak-bapak sekalian, apakah sejak tahun 2014 perjanjian ini ditandatangani yang kemudian harus dilakukan ratifikasi sudah ada kasus masalah yang menyangkut extradisi warga negara kita itu. Kalau ada berapa kali dan apakah ada persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam persoalan ini. Itu yang pertama. Yang kedua, karena ini perjanjian extradisi antar negara maka kita menganut 3 prinsip, bahwa setiap perjanjian bilateral antara dua negara harus memperhatikan 3 prinsip. Satu, prinsip kesetaraan resi prokal. Yang kedua, prinsip saling menghormati. Yang ketiga, prinsip saling menguntungkan. Nah, saya kira ketiga prinsip ini harus tetap menjadi acuan kita di dalam menindaklanjuti perjanjian itu menjadi sebuah Undang-Undang disini. Dua atensi itu saja yang saya minta perhatian dari pihak Pemerintah. Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bapak Supiadian. Dari kiri ada? Bapak Sjarif silakan. F-PD (Dr. SJARIFUDDIN HASAN, S.E., M.M., M.B.A.): Terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Para pejabat yang saya hormati. Perjanjian extradisi ini yang akan kita tandatangani saya pikir sudah mendapatkan tempat yang sangat prioritas di lingkungan legislative. Namun, dari sisi eksekutif kami ingin satu pandangan bahwa di antara negara-negara yang khususnya Asia Tenggara dan negara-negara di Arab lainnya apakah masih ada negara yang sebenarnya yang harus menjadi prioritas untuk pembahasan perjanjian extradisi yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam hal ini legislative DPR RI. Jangan sampai sebenarnya masih ada satu negara yang lebih urgent untuk kita melakukan pembahasan dan persetujuan extradisi dibandingkan dengan United Emirat Arab ini. Nah, kalau ada tolong kami disampaikan secara gamblang karena ini juga demi kepentingan bangsa dan negara khususnya dalam hal penegakan hukum. Saya pikir pandangan Bapak-bapak semuanya sangat bermanfaat buat kami dalam hal mengambil prioritas untuk pembahasan Undang-Undang selanjutnya. Saya pikir itu saja Bapak Ketua. Terima kasih atas pandangan yang akan diberikan, semoga inisiatif yang akan kita lakukan Bersama ini bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara. Terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bapak Sjarif Hasan. Ada yang lain lagi? Selamat datang Bapak Elnino, lama tidak berjumpa. Kalau tidak ini sebelum kepada Pemerintah dari meja Pimpinan. Silakan Bapak Asril Tanjung. F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.): Terima kasih Pimpinan. Bapak-bapak sekalian yang saya muliakan, dari Kumham, dari Kementerian Luar Negeri, Polri, Jaksa Agung Muda. Ada sedikit yang perlu saya ketahui, 2017 saya waktu itu memimpin kontingen DPR RI ke Abu Dhabi. Bertemu dengan parlemen Uni Emirat Arab waktu itu tahun 2017. Bisa minta nanti pendapatnya. Yang namanya ratifikasi RUU ini berarti sudah adalah MoU antara Pemerintah, boleh Presiden, boleh Menteri kan begitu di bawa ke DPR RI untuk mengesahan menjadi Undang-Undang. Waktu kami bertemu dengan parlemen Uni Emirat Arab ada sedikit mereka memberikan informasi, bahwa waktu kalau tidak salah revolusi Iran, ada 3 pulau yang diklaim oleh Iran waktu itu yang punya Emirat Arab antara lain adalah Pulau Abu Musa, ada 3 pulau kalau tidak salah. Waktu itu mereka masih menuntut, saya mengatakan apa anda sudah menyampaikan ini kepada PBB yang lebih berhak.

8

Di dalam namanya Undang-Undang atau kerja sama ini pasti kita saling mendukung, kan begitu. Ada tidak ini nanti pengaruh, mereka minta bantuan kepada Indonesia supaya mengklaim Iran, dengan Iran kita juga punya hubungan yang baik. Jadi ada 3 pulau gugusan kalau tidak salah, nama pulau salah satunya Abu Musa, ada 3 pulau sejak revolusi Iran sampa sekarang itu belum dikembalikan kepada Uni Emirat Arab. Padahal disana memang penduduknya campuran, malah lebih banyak orang dari Persatuan Emirat Arab. Ini tolong mungkin nanti apa dari Kumham atau juga mungkin dari Polisi, apa perlu ada penjelasan lebih lanjut sehingga kami di DPR RI yakin bahwa tidak ada masalah. Biasanya ratifikasi ini tidak ada masalah karena para Pemerintah kita sudah MoU, sudah tandatangan. Mungkin ada perkembangan-perkembangan diluar itu, itulah kewajiban DPR RI untuk melihatnya agar ada sinkronisasi dalam penyiapan RUU ini menjadi Undang-Undang. Itulah kita kerjakan Bersama-sama. Jadi nanti mohon penjelasan mungkin dari Deplu, bagaimana ini karena mereka minta kasarnya minta bantuan kita, tolong Indonesia bantu kita itu Iram belum mau mengembalikan pulau kami ada 3, kalau tidak salah sejak revolusi Iran itu sampai sekarang. Mereka minta tolong sama kita untuk mediasi. Saya bilang kenapa kalian tidak lapor kepada PBB, waktu itu jawabanya sudah tapi belum ada tanggapan. Mungkin ini menjadi pemikiran kami juga di DPR RI bagaimana ini. Kita Indonesia sebagai sahabat dua negara ini pasti sama-sama adil, kita juga bantu Iran, kita juga bantu Persatuan Emirat Arab. Ini yang kami sampaikan mungkin tadinya saya tidak tahu apakah itu sudah dikaji sebagai latar belakang untuk pembuatan RUU ini menjadi Undang-Undang. Demikian saya kembalikan. Terima kasih. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bapak Asril. Oke, saya kira kepada Pemerintah silakan menjawab beberapa pertanyaan dari para Anggota terlebih dahulu. Nanti apabila masih ada akan ditanyakan juga akan ada kesempatan berikutnya dan Bapak juga kita minta untuk menjawab. Silakan Bapak Cahyo atau yang lain yang diberikan mandate. Silakan. DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL, DIREKTUR HUKUM DAN PERJANJIAN POLITIK KEAMANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI (RICKY SUHENDAR): Bapak Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI yang saya hormati. Saya akan coba untuk menjawab satu per satu atau memberikan tanggapan terhadap pertanyaan ataupun pandangan yang disampaikan oleh Anggota Dewan yang kami hormati. Tentunya nanti untuk detailnya kami akan jika diperkenankan akan meminta masing-masing perwakilan dari instansi terkait untuk juga melengkapi pernyataan yang akan kami sampaikan. Yang pertama adalah dari yang kami hormati Anggota Dewan Komisi I DPR RI Bapak Jacki Uli. Mohon maaf jika saya salah menyebutkan nama Bapak Jacki Uli ya Pak, izin Pak. Tentunya extradisi tidak merupakan satu-satu mekanisme untuk pengambalian seorang tersangka atau terpidana untuk menjalani proses hukum di negara yang meminta permohonan atau bantuan extradisi. Nah, disini memang kita ketahui ada mekanisme melalui Interpol, kerja sama Interpol yaitu melalui right notice. Tentu disamping mekanisme extradisi kita juga mendukung kerja sama penegakan hukum yang sifatnya agency to agency dalam hal ini police to police. Right notice Interpol nanti bisa ditambahkan oleh rekan dari Polri bahwa mekanisme tersebut treatment dari setiap negara terhadap suatu right noties itu berbeda-beda. Artinya, ada negara yang responsive terhadap permintaan right notice seperti Indonesia, Polri Indonesia sangat responsive dalam arti begitu right notice ditayangkan oleh Interpol di Liong itu kemudian akan direspon untuk dilakukan penangkapan dan penahanan oleh pihak Interpol. Ini juga negara-negara lain juga menyikapinya demikian akan tetapi ada juga negara-negara yang memang Interpol right notice itu tidak direspon sebagaimana mestinya tergantung dari peraturan perundang-undangan nasional masing-masing. Nah, right notice Interpol itu berfungsi pada tahap awal, yaitu mencari dan melakukan penangkapan kemudian untuk ditahan. Kalau memang bisa dilakukan penyerahan police to police itu akan lebih baik, artinya merespon kekhawatiran proses extradisi akan memakan waktu yang mungkin cukup lama. Oleh karena itu, police to police dalam bentuk right notice Interpol itu tahap awal, kemudian yang biasanya ditindaklanjuti dengan permohonan extradisi dari negara yang memposting right noties Interpol tersebut di dalam website Interpol Liong. Jadi ini tahap pertama, dua tahap Pak, bisa dilakukan pada saat police to police penyerahan kalau itu dimungkinkan, tapi kalau tidak berarti harus kemudian dilakukan mulai mekanisme mungkin pertama tahapannya dilakukan professional arest kemudian akan ditindaklanjuti dengan proses extradisi. Mungkin untuk right noties ditambahkan dulu kemudian kami akan melanjutkan kepada pertanyaan berikutnya. Silakan Bapak. DIVISI HUKUM MABES POLRI (BRIGJEN POL DR.AGUNG MAKBUL, S.H., M.H.): Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

9

Yang saya hormati Pimpinan Rapat, Rekan-rekan dari Pemerintah dan DPR RI. Akan saya tambahkan dari pertanyaan senior saya yang juga sama-sama dulu di widyaiswara di Lembang. Terima kasih Bapak Jacki Uli yang telah memberikan pertanyaan kepada Polri. Dalam hal pertanyaan yang diberikan kepada Polri memang awalnya adalah yang akan tampil di dalam tindakan itu dari NCB Interpol dalam hal untuk melakukan suatu penangkapan dan sebagainya, sesuai dengan SOP yang telah ada di dalam regulasi untuk melakukan suatu tindakan. Akan tetapi apabila hanya sebatas dengan tindakan yang sifatnya untuk penangkapan dan penahanan yang sesuai yang diatur tapi apabila tidak diatur dengan dalam bentuk regulasi atau dalam hal ini adalah Rancangan Undang-Undang, itu mungkin tidak kuat Bapak. Dalam hal ini karena kita juga menyangkut kepada masalah hak asasi manusia, itu kaitannya banyak. Kemudian juga ada berkaitan dengan masalah apakah yang bersangkutan juga terkait dengan tadi sudah disinggung apakah police to police. Oleh karenanya, bahwa ini juga berdasarkan ketentuan di dalam perjanjian Pasal 21 Tahun 2014 mengatakan bahwa harus diratifikasi dan diberlakukan dikedua belah pihak. Nah, berangkat dari Pasal 21 itu maka kerja sama pelaksanaan ratifikasi merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Negara Republik Indonesia yang telah menandatangani persetujuan tersebut. Jadi salah satu komitmen kita yang sudah berada di Pasal 21. Oleh karena itu, bahwa berdasarkan perjanjian tersebut maka tetaplah diperlukan Undang-Undang untuk pengesahan tentang masalah extradisi. Mungkin demikian Pak, tambahan dari Polri. Terima kasih. JAKSA MUDA BIDANG TINDAK PIDANA UMUM KEJAKSAAN AGUNG RI (DR. NOOR ROCHMAD, S.H., M.H.): Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pimpinan Rapat yang saya hormati dan para Anggota. Saya ingin tambahkan beberapa hal terkait extradisi ini, mungkin perspektifnya adalah Kejaksaan. Saya sampaikan disini bahwa terkait dengan permintaan extradisi ini ada dua hal. Yang pertama, ketika ada permintaan dari luar negeri masuk dalam kita, meminta kepada kita untuk membantu penyerahan borunan tiu, maka ini menjadi komitmen dari Kejaksaan dalam rangka untuk menangani permasalahannya. Nah, Tupoksi yang dilakukan adalah memproses, menyidangkan permohonan ini setelah ada hasil penyidikan dari penyidik yang menyidik perkara extradisi. Dalam proses persidangan itu pada akhirnya diputuskan oleh pengadilan dan akhirnya dibawa kepada Presiden apakah dikabulkan atau tidak. Nah, ketika dikabulkan ini ada eksekusi penyerahan pengiriman keluar negeri ke negara yang bersangkutan. Nah, ketika Pemerintah RI meminta bantuan kepada negara lain tentunya adalah dalam hal Kejaksaan manakala itu buronan Kejaksaan yang sedang dicari. Nah, kalau ini terjadi maka mekanismenya adalah Kejaksaan meminta kepada International Otority untuk diteruskan kepada negara yang diminta. Ini dua hal yang ingin saya sampaikan. Kemudian terkait dengan perjanjian yang telah ditandatangani ini, saya pikir ini sudah ditandatangani tinggal pengesahannya. Nah, terkait dengan Emirat Arab memang sampai hari ini Kejaksaan belum ada buronan yang kesana. Begitu juga Emirat Arab yang kesini, sehingga memang dari sisi persoalannya belum ada. Namun demikian, apabila payung hukum ini sudah ada saya pikir ada payung hukumnya maka sekali pun police to police sudah bagus tapi kalau ada payung hukumnya akan lebih mudah dalam rangka untuk mempasalkanya. Oleh karena itu, rancangan yang sudah disusun oleh Kementerian Kum HAM dalam hal ini Pemerintah sampai hari ini menurut hemat kami belum ada masalah. Artinya, bahwa kami sepakat dari Kejaksaan untuk mendukung yang disampaikan oleh Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan rancangan pengesahan perjanjian tersebut. Demikian dari Kejaksaan. Terima kasih. DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL, DIREKTUR HUKUM DAN PERJANJIAN POLITIK KEAMANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI (RICKY SUHENDAR): Terima kasih Pimpinan. Hanya menambahkan saja Pimpinan Dewan, mengapa Indonesia memandang penting adanya perjanjian bilateral terkait dengan extradisi dengan negara-negara mitra kita. hal ini tidak lain adalah untuk menjembatani adanya perbedaan sistem hukum. Seperti diketahui bahwa di beberapa negara common law perjanjian bilateral extradisi itu menjadi syarat utama apabila kita menginginkan seseorang yang berada di wilayahnya tanpa adanya perjanjian bilateral maka extradisi tersebut tidak bisa dilakukan. Itu satu. Kedua, juga untuk lebih menjamin adanya proses hukum yang lebih memandai, artinya beberapa negara maju selalu mengaitkan dengan aspek HAM apabila proses permintaan orang, pengambilan orang tidak melalui proses hukum yang jelas tanpa suatu dasar perjanjian yang jelas, mereka selalu mempertanyakan hal-hal tersebut. Sehingga dengan demikian perjanjian bilateral extradisi memang merupakan suatu kebutuhan. Demikian Pak, terima kasih.

10

PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Pimpinan, jika kami diizinkan untuk melanjutkan respon pertanyaan-pertanyaan setelahnya. Terkait dengan scoop dari tindak pidana, tadi juga sekaligus mungkin saya akan merespon terkait dengan 3 prinsip dalam menentukan suatu perjanjian yaitu prinsip resi procal, saling menghormati dan saling menguntungkan. Jadi kalau kita lihat scoop perjanjian ini jelas bahwa perjanjian ini berlaku bagi kedua belah pihak yang menandatanganinya. Artinya berlaku sama bagi Republik Indonesia maupun Persatuan Emirat Arab. Nah, dan disini kalau kita lihat tadi merespon pertanyaan apakah perjanjian ini juga mengcover lingkupnya tindak pidana yang memang menjadikan concern dari Indonesia maupun Persatuan Emirat Arab. Ini sudah ada dalam pasal-pasal dalam perjanjian dimana kalau kita lihat Pasal 2 adalah tindak pidana yang dapat di extradisikan, yaitu tindak pidana yang dapat dihukum berdasarkan hukum kedua belah pihak dengan hukuman penjara paling sedikit 1 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat. Jadi itu merupakan threshold-nya dari perjanjian ini. Kemudian juga kalau kita lihat dari Pasal 2 Ayat (2) untuk yang dalam hal untuk permintaan extradisi terhadap seorang terpidana maka harus sudah masih terdapat sisa masa hukuman yang perlu dijalani sekurang-kurangnya 6 bulan. Dan kemudian juga Ayat (3) kalau boleh saya coute dalam menentukan sebuah tindak pidana dapat dihukum atau tidak berdasarkan hukum kedua belah pihak tidak menjadi faktor persoalan apabila hukum para pihak menempatkan tindakan atau pembiaran yang menyebabkan tindak pidana dalam katagori tindak pidana yang sama atau menambahkan tindak pidana tersebut dalam terminology yang sama. Misalnya katagori sama itu adalah kejahatan keuangan atau kejahatan finansial. Terus kemudian juga misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dan juga Ayat (3) huruf B disitu juga disebutkan bahwa berdasarkan hukum para pihak unsur-unsur tindak pidana tersebut berbeda dengan pemahaman keseluruhan tindakan atau pembiaran yang diajukan oleh pihak peminta merupakan tindak pidana yang dapat diextradisikan berdasarkan hukum pihak di minta. Jadi disini unsur-unsurnya harus ada, saya ambil contoh misalnya tindak pidana korupsi, tipikor, kemudian disitu ada unsur-unsur yang terpenuhi ada perbuatan melawan hukum, kerugian negara dan orang yang diperkaya berdasarkan tindak pidana tersebut. Dan tentunya juga disitu kita harus memperhatikan prinsip dual of criminality, jadi bahwa tindak pidana dasar dari permintaan extradisi adalah untuk tindak pidana yang juga merupakan suatu tindak pidana yang di negara yang diminta. Jadi itu terkait dengan lingkup dari treaty ini dan juga mencermati, memastikan bahwa perjanjian ini juga bersifat resi procal, saling menghormati dan saling menguntungkan.

Terkait dengan prioritas penentuan pembentukan perjanjian, jadi tentunya kalau kita melihat bahwa proses pembentukan perjajian itu cukup memakan biaya dan juga resources yang tentunya Pemerintah harus menetapkan prioritas. Dan prioritasnya adalah tentu negara-negara yang lalu lintas warga negaranya cukup banyak. Terus kemudian juga negara-negara yang menjadi pusat keuangan dunia yang berpotensi untuk menempatkan hasil-hasil tindak pidana. Sebagaimana kita ketahui bahwa Persatuan Emirat Arab merupakan salah satu financial center dunia. Oleh karena itu, disitulah kebutuhan kita untuk membuat perjanjian dengan Uni Emirat Arab.

Kalau tadi dipertanyakan mengenai prioritas lain, kita Pemerintah Indonesia baru saja menyelesaikan perjanjian extradisi dengan Rusia, karena Rusia dianggap sebagai salah satu negara yang semakin meningkat intensitas hubungan antar negaranya termasuk juga disitu movement of people sangat tinggi, bisnisnya semakin tinggi dan kemudian tentunya juga potensi terjadinya tindak pidana juga semakin besar. Dan disamping itu Rusia kita anggap sebagai salah satu negara yang masih punya pengaruh atau network kerja sama di bidang penegakan hukum dengan negara-negara Uni Soviet dan juga negara-negara Eropa Timur. Itu adalah beberapa pertimbangan Pemerintah dalam menentukan prioritas pembentukan perjanjian atau memulai negosiasi, perjanjian extradisi dengan negara-negara lain.

Kemudian terkait dengan pertanyaan dari parlemen Uni Emirates Arab kami dapat menyampaikan bahwa untuk perjanjian extradisi adalah suatu murni perjanjian kerja sama penegakan hukum, meskipun kita ketahui bahwa tetap tidak bisa kita pungkiri bahwa perjajian extradisi atau pelaksanaan dari perjanjian extradisi juga sangat tergantung dari hubungan bilateral dari negara-negara yang menjadi pihak. Apalagi tentunya banyak negara dalam hal ini juga Indonesia titik berat dari keputusan berada di pihak eksekutif atau keputusan terakhir ada pada Presiden, sehingga di beberapa negara ini menjadi suatu political tool juga dalam konteks hubungan luar negeri.

Nah, jika dikaitkan dengan masalah Pulau Abu Musa, ini kami melihatnya rezim yang berbeda rezim masalah wilayah, sehingga ini berbeda dengan perjanjian extradisi. Tapi kami mengerti, memahami concern, kekhawatiran atau perhatian dari Anggota Dewan yang terhormat bahwa seringkali kita tentunya dalam hubungan bilateral kita saling dukung. Dalam hal ini, ini ada permintaan dari PEA sementara waktu tadi Bapak juga mengidentifikasi bahwa kita punya hubungan yang baik juga dengan Iran. Oleh karena itu, perlu ini dilihat secara lebih luas artinya hubungan bilateral harus ditimbang-timbang RI-PEA, RI-Iran sehingga kita bisa melihat juga dalam konteks dukungan-dukungan di bidang lain Pak, misalnya masalah trade, kemudian masalah investment dan juga masalah kerja sama penegakan hukum. Mungkin kalau dalam kaitan dengan kewilayahan saya dengan seizin Bapak Pimpinan ingin mengundang Kementerian Luar Negeri untuk menyampaikan pandangannya.

Terima kasih.

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA): Bapak Pimpinan.

11

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Silakan Bapak Supiadin. F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA): Dari Kumham saya minta dua atensi Pak. Pertama, apabila nanti sudah disepakati tolong segera ini dibentuk dalam satu Undang-Undang tadi ya. Yang kedua, saya minta atensi aturan turunan Pak, aturan turunan dari Undang-Undang ini jangan terlalu lama. Ini pengalaman kami kemarin Pak, membuat RUU tentang Pemberantasan Terorisme. Disitu kami Pansus dan Pemerintah sepakat. Pertama, semua Peraturan Pemerintah yang menyangkut Undang-Undang Terorisme tidak boleh lebih dari 100 hari harus sudah jadi. Dan itu tidak ada dalam Undang-Undang yang lain hanya ada dalam Undang-Undang Terorisme kita batasi. Yang kedua, Perpres yang menyangkut pelibatan TNI dalam Undang-Undang ini kami batasi satu tahun. Peraturan Pemerintah-nya kami batasi 100 hari dan Perpresnya kami batasai setahun. Dengan maksud apa? Pengalaman kita punya Undang-Undang TNI, saya ambil contoh Undang-Undang TNI saja. 2004 disahkan hari ini sudah 14 tahun saya boleh nyatakan belum ada satupun Undang-Undang atau aturan turunan yang menjabarkan Undang-Undang TNI. Akibatnya apa? TNI tidak bisa melaksanakan 14 tugas pokok diluar tugas perang itu. Akhirnya apa yang dilakukan? Terpaksa TNI bikin MoU dengan Menteri Perhubungan, bikin MoU dengan Menteri Pertanian dan TNI tidak bisa langsung mengatasi aksi sparatisme, terorisme, pemberontakan, karena tidak ada payung hukumnya. Akhirnya kita lihat bagaimana coba, OPM berlarut-larut sampai hari ini.

Oleh karena itu, saya pesan segera ini agar nanti pelaksana tugas dilapangan bisa cepat menangani kalau ada masalah-masalah yang berkaitan dengan extradisi. Dia tidak boleh mengatakan “Pak, kami belum ada payung hukum”, padahal sudah 3 tahun Undang-Undang disahkan. Ini atensi saya Pak, dua hal itu jadi segera kalau sudah disahkan segera diundangkan Pak. Setelah diundangkan tolong segera ditindaklanjuti dengan pembuatan aturan-aturan turunannya agar segera bisa pasal-pasal yang memang memerlukan aturan langsung bisa operasional.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Pak Supiadian.

Sebelum Pemerintah menjawab dari meja Pimpinan Bapak Satya silakan.

F-PG/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.): Terima kasih Bapak Ketua Rapat. Ibu dan Bapak sekalian Anggota Komisi I DPR RI yang saya hormati, Dan yang hadir mewakili Pemerintah. Saya ingin menanyakan satu menyangkut masalah mekanisme Pak, mekanisme dari ratifikasi. Inikan saya beberapa waktu yang lalu juga memimpin rapat mengenai ratifikasi perjanjian Uni Arab dengan Indonesia dalam masalah pertahanan. Itukan seakan-akan Pak, Pemerintah sudah melakukan terlebih dahulu, sudah deal baru dibawa kepada DPR RI untuk diketok. Kok saya merasa sebagai Anggota Dewan seakan-akan mau tidak mau harus menyetujui itu Pak. Itu proses, kita berbicara proses ratifikasi, tidak ada room buat kita untuk melakukan improvement di dalam subtansi daripara ratifikasi. Itu saya pikir kita mesti, Pemerintah mesti memikirkan, kan tidak lucu juga kalau orang melihat seakan-akan kita hanya stempel. Walaupun substansinya kita tidak ada masalah, tetapi saya melihat dari mekanisme. Itu yang pertama. Lantas yang kedua, sedikit nyambung dengan Bapak Supiadin tadi sampaikan. UEA itu saya malah berpendapat bahwa tidak hanya masalah ekonomi murni Pak, akan tetapi justru sekarang ini di dalam aspek terorisme yang kita khawatirkan kalau kita jelas-jelas melihat ada tokoh atau siapa yang mendanai kegiatan daripada terorisme yang berasal dari sana menggunakan sistem perbankan yang disana. Bahkan dia adalah bangsa UEA dan ada sebagian misalkan bangsa Indonesia yang disana juga melakukan aktifitas. Di dalam Undang-Undang Terorisme yang baru disahkan itu, kalau kita mengindikasikan bahwa ada komunikasi intensif, baik orang Indonesia maupun orang UEA disana yang menyangkut masalah teroris itu kita sudah bisa lakukan aksi, ini bedanya dengan Undang-Undang yang sebelumnya. Nah, saya ingin melihat apakah extradisi ini antara Indonesia dengan UEA itu bisa lebih mempercepat daripada yang diamanahkan dalam Undang-Undang Terorisme. Maksud saya, mestinya tanpa treaty ini kita sudah bisa action orang itu bangsa kita kok yang ada disana. Nah, ini yang saya perlu mendapatkan satu klarifikasi dan juga penjelasan supaya kita juga bisa memaknai ini bahwa ini adalah betul-betul strategis dan penting. Yang ketiga, menyangkut masalah sampai hari ini Pemerintah belum melaporkan paling tidak kepada Komisi I DPR RI itu hasil-hasil daripada ratifikasi ini, apa sih dampaknya. Dari sekian ratifikasi, seperti misalkan Indonesia dengan Papua Nugini. Jelas-jelas ada pengusaha kita yang dengan dia berganti kewarganegaraan di Papua Nugini sampai sekarang juga masih oke-oke saja. Dan kita merasa apa hasil daripada ratifikasi ini. Mungkin Kementerian Hukum dan HAM mestinya bikin matrik, walaupun tidak dalam forum sekarang supaya kita ngerti, ini loh hasil daripada ratifikasi ini. Hasilnya apa? Bangsa Indonesia yang betul-betul dia salah sudah melanggar tindak pidana di Indonesia dan dia lari berganti warga negara kita bisa ambil disini. Membuat kita pun juga menghibur diri, walaupun kita juga sebagai. Kira-kira

12

hasilnya ada ini dari semua apa yang paling tidak setengah hari kita membahas itu yang ujung-ujungnya tidak ada satu pasal pun, kecuali yang kemarin ahli tata bahasa saja yang memberikan koreksi, titik, koma dan lain sebagainya, tapi tidak dalam masalah substansi. Jadi saya juga mohon dikoreksi untuk Anggota Komisi I DPR RI yang sudah lebih lama daripada saya disini. Saya kok merasa yang baru ini kok merasa seakan-akan ya kita kalau ratifikasi begini nasibnya Pak. Jadi hanya sebagai istilahnya mekanisme yang harus ditempuh oleh Pemerintah karena ini mau diundangkan. Saya rasa itu Bapak Ketua, mudah-mudahan bisa mendapatkan penjelasan. Terima kasih. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Jadi Bapak Satya ini menyuarakan keresahan kolekyif, kira-kira begitu ya Pak. Kita ada RUU yang diajukan oleh Pemerintah terkait dengan kerja sama pertahanan, terkait extradisi juga pernah, mungkin beberapa rancangan ratifikasi yang lain. Tetapi setiap kali ada perdebatan yang sifatnya substantive sekali pun kita tidak bisa merubah. Akhirnya kalaupun harus merubah itu setuju atau menolak itu, sebagian kita setuju tetapi sebagian kita akhirnya menolak. Menolak kan juga Pemerintah juga pasti kemudian akan dipersepsi oleh negara yang bersepakat menjadi kurang baik juga begitu. Jadi lalu apa nilai kekuatan hukumnya atau bahkan politiknya kalau semua pengajuan ratifikasi itu sekedar diketok saja, kan ini jadi kayak mekanik, mesin yang memang harus sudah jalan. Sementara saya kira kan kita, kita inikan tidak bisa seperti itu. Dan saya menggarisbawahi Pak, begini dulu betul waktu itu kalau tidak salah saya pas yang memimpin ratifikasi perjanjian extradisi dengan Papua Nugini. Waktu itu kasus salah seorang buron Indonesia yang kemudian lari ke Papua Nugini itu diharapkan bisa diselesaikan melalui mekanisme yang sudah kita ratifikasi ini Pak. Itu 2015, jadi periode ini, DPR RI ini, Komisi I DPR RI ini sudah meratifikasi 2 extradisi yaitu dengan Nugini dan Vietnam. Dengan Papua Nugini itu harapannya waktu itu seperti yang disampaikan Bapak Satya, saya ingat itu bisa selesai buronnya itu, ditangkap dan kemudian diadili selanjutnya untuk diproses hukum di Indonesia sesuai hukum kita ini. Tapi nyatanya kan tidak, sehingga kalau salah satu output dari perjanjian extradisi yang sesimple itu saja tidak dilakukan lantas kita mau ratifikasi perjanjian extradisi yang baru lagi itu seolah-olah tidak bermakna. Hanya rapat ketok palu-rapat ketok palu tapi efektifitasnya itu kemudian bisa diragukan oleh publik. Nah, kita tidak ingin kalau yang ratifikasi yang sebelumnya saja belum ada hasil yang kita harapkan Bersama pada waktu itu ngapain kita ratifikasi lagi yang berikutnya. Jadi saya kira itu akhirnya menjadi pertimbangan. Nah yang kedua Pak, waktu kita ini meratifikasi extradisi dengan Hongkong, kebetulan saya juga waktu yang memimpin itu otoritas pusatnya berbeda Pak. Nanti bisa dikoreksi kalau saya salah, tapi sependek sepengetahuan saya yang Hongkong itu Jaksa Agung, yang Indonesia itu Kumham. Nah, menurut pengetahuan saya, saya bukan orang hukum tapi secara sepintas logikanya adalah karena extradisi ini kaitannya dengan secara text to menangkap, menahan orang itukan mestinya menjadi kewenangannya lembaga proyustisia Pak. Dan Yustisia disini itu Cuma 3, kalau tidak pengadilan, Jaksa Agung, Polisi. Kenapa kemudian malah Kumham, ini kritik Pak, saya perlu jawaban juga. Di kasus Hongkong itu otoritas pusatnya berbeda tapi bisa jalan. Jadi kebetulan disini sama-sama, disini namanya Menkumham disana namanya Menteri Kehakiman. Saya kira secara tipologi itu sama, tetapi sebenarnya extradisi ini soal menangkap orang dan itukan penegak hukum. Dan saya kira Kumham tidak bisa sebagai penegak hukum kan. Yang Jaksa Agung ketawa-ketawa saja ini. Nah, saya minta penjelasan itu Pak, saya persilakan Pak. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Terima kasih Bapak Pimpinan. Saya akan bicara soal otoritas pusat dulu, karena tadi Bapak Jampidum sudah noel saya juga. Jadi begini Pak, simple sebenarnya Bapak Pimpinan. Undang-Undang 179 mengatakan bahwa si A adalah Menteri Kehakiman. Argumentasi panjang Pak, Menteri Kehakiman dulu fungsinya sekarang berbeda dengan Menkumham. Kalau kita bicara soal apakah itu proyustisia atau tidak Pak, yang memintakan extradisi itu tidak hanya dari Kejaksaan tapi dari Polri juga bisa meminta extradisi. Tergantung dari sistem hukumnya Pak, karena di berbagai negara juga si A nya juga beda-beda Pak, bahkan ada di Kementerian Luar Negeri apalagi Kementerian Luar Negeri tidak merupakan lembaga penegak hukum. Jadi tentu kalau perdebatan ini bisa kita perpanjang. Kalau bagi kami yang paling penting adalah nanti Pak Noor Rochmad senior kami, kami juga lama menjadi anggota tim beliau dibawah pengarahan beliau. Jadi Undang-Undangnya saja dirubah Pak, itu akan selesai masalahnya, tinggal dirubah Undang-Undangnya. Kita tahu bahwa itu harus dirubah Undang-Undangnya, jadi sebenarnya arah kalau memang mau dirubah ya harus diusulkan untuk dilakukan perubahan atas Undang-Undangnya. Dimana pun apakah itu dilembaga penegak hukum atau non penegak hukum fungsinya administrative Pak. Tapi kalau mau bicara soal prosesnya bagaimana, itu mungkin perlu sesi tersendiri akan tetapi basicnya memang sudah ada urgency untuk segera merubah kita harus mulai dengan diskusi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 179. Namanya Kementerian Hukum dan HAM Pak, Kementerian maupun lembaga kita kalau namanya Undang-Undang kita harus ikuti Pak, taat hukum. artinya, kalau Undang-Undang sudah dirubah tentu kita akan ikuti apa yang diatur, apa yang dimandatkan, diamanahkan oleh Undang-Undang kalau nanti dirubah Undang-Undangnya. Kemudian juga yang terkait dengan perjanjian extradisi RI dengan PNG, rekan kami dari Kementerian Luar Negeri akan dapat menyampaikan terkait dengan prosedur pemberlakuan perjanjian internasional khususnya terkait dengan deposit instrument ratification.

13

Silakan Bapak Ricky jika diperkenankan Pak Pimpinan. DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL, DIREKTUR HUKUM DAN PERJANJIAN POLITIK KEAMANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI (RICKY SUHENDAR): Terima kasih Bapak Pimpinan. Pimpinan Komisi I DPR RI yang saya hormati beserta Anggota Komisi I DPR RI. Terima kasih Bapak Satya yang terhormat atas pertanyaannya. Memang pemberlakuan suatu perjanjian internasional, baik multilateral maupun bilateral memang perjanjian itu sendiri yang mensyaratkan adanya prosedur pengesahan. Artinya, apabila para pihak sepakat dan mengamanatkan perjanjian itu harus diratifikasi maka harus melalui pengesahan, baik itu melalui prosedur keparlemenan ataupun prosedur langsung, sederhan. Nah, kembali permasalahan ratifikasi. Dalam konteks perjanjian kita dengan pihak PNG memang mengsyaratkan adanya pengesahan. Di pihak Indonesia kita sudah selesai mengesahkan. Dan yang disayangkan memang pihak PNG yang sampai sekarang masih dalam proses pengesahan. Komunikasi kami terakhir kebetulan memang ditanyakan, kami sudah berkomunikasi dengan KBRI kita di PNG. Pihak PNG sudah menyelesaikan dalam tahap akhir. Tahap akhir inilah yang kita tunggu saat ini, karena tanpa pemberitahuan atau notifikasi resmi dari pihak PNG maka perjanjian bilateral ini belum bisa kita laksanakan. Artinya, kita menunggu dari pihak PNG-nya. Sama juga apabila dari pihak Indonesia sekarang belum meratifikasi maka perjanjian itu belum bisa kita lakukan. Kembali apakah perjanjian ini akan efektif atau tidak, saya kira tadi diawal saya sampaikan, saya berpandangan tetap positif akan efektif Pak, karena sampai saat ini tidak ada satu konvensi internasional apapun yang mengatur mengenai extradisi. Hanya ada 3 konvensi yang secara terpisah mengatur hal yang sama, yaitu Nited Nation Convention On Against Corruption, United Nation Convention Transnational Organized Crime dan yang ketiga mengenai Protocol Firearm. Tapi tidak secara khusus ada konvensi yang mengatur mengenai extradisi akan tetapi 3 konvensi ini mengatur mengenai mekanisme bagaimana bisa terjadi satu kejahatan yang dilakukan oleh warga negara tertentu yang negara lain berkeinginan untuk melakukan bisa menggunakan mekanisme extradisi. Oleh karena itu, secara bilateral maka disarankan memang oleh PBB kita untuk melakukan secara bernegara. Jadi dengan kata lain adalah kita terus akan mendorong peningkatan kerja sama bilateral dibidang penegakan hukum guna adanya efektifitas dalam pencegahan khususnya dalam konteks kerja sama lintas batas negara Pak. F-PG/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.): Saya interupsi sebentar Pak Ketua. Jadi begini Pak, kalau misalkan seperti kasus Indonesia dengan Papua Nugini, itukan terkesan seakan-akan pada waktu Pemerintah Indonesia berbicara awal dengan Papua Nugini itu tidak matang, karena Papua Nugini buktinya dia proses ratifikasinya molor di internal mereka sendiri. Sehingga seakan-akan ini menjadi tidak bisa kita berlakukan, kan begitu Pak. Nah, saya ingin sebetulnya di dalam forum yang baik ini. Apabila ada satu perjanjian ratifikasi itu Bapak bicara dengan DPR RI Pak, sebelum deal dengan sana. Karena seakan-akan kita juga punya hak dong untuk istilahnya memperbaiki atau menajamkan point-point atau pasal-pasal yang akan diratifikasi dengan suara parlemen tentunya. Karena setelah parlemennya sangat baik seperti parlemen Indonesia ini Papua Nugininya malah molor-molor dan tidak bisa ngapa-ngapain juga kita, padahal kita sudah kerja keras Pemerintah dalam hal ini parlemen melengkapi itu. Saat inikan prosedurnya seperti itu. Nah, kalau misalkan seperti sekarang ini kita dengan Uni Emirates Arab itu juga dimatangkan disana Pak. Jadi jangan sampai ada kejadian seperti Papua Nugini itu. Bukan berarti kita menghambat tetapi kita ingin ada deal yang fair, jangan sampai nanti kita sudah meratifrikasi, sudah segalanya terus setahun kemudian Bapak masih bilang waduh UEA yang sampai hari ini mereka masih belum melakukan ratifikasi. Sehingga niat baik tadi yang hasil pembicaraan awal antara Pemerintah kita dengan Pemerintah UEA tadi tidak ter-follow up dengan baik. Nah, ini bagaimana ininya, kita bisa bicara kalau kita menggunakan forum parlemen Pak. Kita ketemu sama parlemen UEA, kita bertemu sama parlemen Papua Nugini dalam beberapa kesempatan. Itu bisa juga kita gunakan kan mekanisme, jadi kita berbicara juga dengan parlemen. Kalau saya tidak tanya Bapak-bapak tidak pernah cerita bahwa Papua Nugini sebetulnya hambatannya di dalam proses ratifikasi yang ada di internal mereka. Padahal kita ketemu pada waktu baru-baru ini saja di Bali itu pertemuan speaker of the house dengan beberapa ketua parlemen yang ada di Pasifik Selatan juga berjalan disana, kita tidak pernah memasukkan item ini. Jadi karena mekanismenya menurut saya fast track sekali ini. Nah, kalau misalnya bisa dibetulkan mekanismenya itu supaya parlemen juga berfungsi disana. Kita juga pada waktu mau meratifikasi begini kita juga kontak dengan parlemen sana, pada parlemen yang bersangkutan. Bagaimana gue mau ratifikasi ini, anda bagaimana, iya kita siap. Nah, baru kita bisa sama-sama siap juga begitu. Sehingga marwah daripada ratifikasi itu juga punya wibawa gitu Pak. Kalau seperti sekarang ini saya merasa Indonesia menjadi atau kita mengiba-iba kepada mereka. Sementara mungkin mereka negara yang masih bisa relative governance-nya kurang, kalau di Papua Nugini jadi masih diatur oleh beberapa kelompok, mungkin begitu. Ini menjadi menurut saya coba kedepan ini kita saling pikirkan tentunya nanti bicara dengan kementerian semuanya disini untuk supaya hal-hal ini baik untuk semuanya. Jadi kita niatnya baik ini Pak, hanya saya menyayangkan saja gitu.

14

Dan jujur saja hasil fungsi legislasi kita memang banyak sekali hasil ratifikasi dibandingkan Undang-Undangnya, Bapak Kementerian Hukum dan HAM pastinya mencatat itu. Yang kita telorkan Undang-Undang di DPR RI inikan tidak secepat seperti yang kita harapkan. Tapi hasil ratifikasi luar biasa Pak, tidak lama lah disini pasti langsung kita sahkan. Tapi kita kan tidak ingin mengurangi kualitas daripada fungsi legislasi kita. Jadi itu Pak, mudah-mudahan coba kita pikirkan Pak Ketua, untuk supaya kedepannya ini kita punya wibawa untuk meratifikasi seperti ini. Terima kasih Pak. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Silakan Pak, tadi mau melanjutkan mau memberikan tanggapan dari Bapak Satya. JAKSA MUDA BIDANG TINDAK PIDANA UMUM KEJAKSAAN AGUNG RI (DR. NOOR ROCHMAD, S.H., M.H.): Terima kasih Pimpinan. Kami catat dan saya kira sangat baik sekali pelibatan hal ini, nanti kita akan bahas di tingkat Pemerintah kepada depan. Terima kasih. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Ada lagi Bapak-bapak? Sektor kiri? Bapak Sukamta silakan. F-PKS (H. SUKAMTA, Ph.D.): Terima kasih. Apa yang disampaikan Bapak Satya tadi itukan kegelisahan kita sejak 2015 ya. Jadi memang ini persoalan serius akan tetapi kan jawabnya selalu itu menjadi catatan. Tapi itu juga berlangsung sampai hari ini, sampai hampir selesai ini parlemen. Maksud saya apa yang bisa kita lakukan agar apa yang menjadi catatan itu bisa menjadi lebih konkrit. Apakah misalnya ada peraturan yang perlu kita usulkan untuk direvisi dalam hal seperti ini. Atau ada peraturan baru yang kira-kira itu bisa mengubah situasi ini dengan yang tadi kita diskusikan. Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Ya, saya juga belum tahu jawabannya ini Mas Kamta ya. Tapi kegelisahan ini jangan disepelekan, karena kalau semakin terakumulasi mungkin nanti parlemen juga punya pandangan yang mungkin juga bisa kolektif bahwa kalau sekedar sifatnya mekanisme dan dari extradisi sebelumnya juga belum terlihat secara jelas konkrit efektifitasnya. Kita bisa jadi mungkin tidak dulu melakukan ratifikasi untuk extradisi negara-negara lain juga. Atau kalau usulan revisi itu bisa diterima oleh Pemerintah itu artinya prosesnya bisa lebih panjang, karena kan ini kalaupun ada revisi kan harus secara bilateral diganti direvisi oleh kedua belah pihak juga. Padahal inikan yang membuat MoU itu Pemerintahan yang sebelumnya, inikan 2 Februari 2014. Dan beberapa ratifikasi yang diajukan ke Komisi I DPR RI pun juga rata-rata demikian. Sudah ditandatangani Mou-nya di Pemerintahan sebelumnya bahkan tahun-tahun sebelumnya tapi kemudian baru diajukan itu sekarang. Mungkin masih agak logis kalau periode ini yang memang menginisiasi MoU langsung diajukan untuk ratifikasi. Tapi itupun juga dengan harapan Pak, tadi kalau kita menandatanganinya itu secara bilateral MoU-nya asas prioritasnya juga harus dijamin. Kalau kasus dari PNG itu tadikan kita sama-sama tandatangan, kita maunya ratifikasi ternyata jomplang. Kita sudah lancar-lacar saja ratifikasi disana dipending, entah karena situasi internal atau mungkin ada kepentingan politik. Nanti kalau buronnya ditangkap investasi yang dia sudah terlanjur tanamkan di Papua Nugini nanti berhenti. Kalau berhenti nanti menganggu hubungan bilateral lantas kemudian Papua Nugini tidak punya sikap yang friendly terhadap Indonesia terkait isu-isu kedaulatan atau isu yang lain, bisa jadi semacam itu. Jadi saya pikir ini perlu perhatian dari Pemerintah yang serius bukan sekedar catatan akan tetapi lebih progresif apa yang harus dilakukan supaya ratifikasi ini sifatnya tidak sekedar mekanistik atau istilah Orde Baru itu DPR RI hanya jadi stempel, Cuma dak-dok ketok palu lantas dibacakan mungkin habis itu pengajuan lagi dan seterusnya. Jadi saya pikir kita harus menjadikan ini sebagai sebuah perhatian yang serius dan kita tunggu ada progress apa dari Pemerintah terkait dengan rencana ratifikasi-ratifikasi selanjutnya ini. Silakan Bapak Sukamta. F-PKS (H. SUKAMTA, Ph.D.): Terima kasih Pimpinan. Untuk kasus perjanjian dan aplikasinya, kalau perjanjian yang dibuat ini normative selama inikan saya membahasakan mungkin normative, akan tetapi persoalan barangkali lebih kepada aplikasinya. Kalau aplikasi mungkin itu

15

tergantung kepada kemauan dari pelaksana yang diberikan kekuasaan extradisi. Karena untuk kasus PNG kasus yang kita bicarakan ini yang waktu kami delegasi parlemen berkunjung ke PNG yang bersangkutan itu justru diberikan fasilitas yang luar biasa oleh Pemerintah PNG. Disana diberikan ruang untuk membangun mall yang terbesar di Port Moresby, diberikan kekuasaan untuk membangun kondomunium dan seterusnya. Inikan sebetulnya seolah-olah pelecehan pada kita Pak, kita punya pelarian lari kesana, kita punya perjanjian extradisi tapi yang bersangkutan diperlakukan seperti penghuni surga disitu, diberikan fasilitas hebat, dikasih ruang yang sangat luar biasa, digelarkan karpet merah, sehingga Pemerintah Indonesia diberikan jawaban ini belum diratifikasi oleh parlemen selesai. Nah, ini sebetulnya masalahnya ini betul-betul hanya ada di parlemen Papua Nugini atau sebetulnya ada pada level kemauan baik kita untuk mengambil orang yang sudah dijadikan buronan itu oleh Pemerintah. Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Saya perlu tanggapan dari Pemerintah. Silakan Pak. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Baik, terima kasih. Pertama, terkait dengan mencatat Pak, jadi kami setuju bahwa Pemerintah tidak sekedar hanya mencatat. Dan tentu ada mekanisme yang kita lakukan yaitu dengan secara terus-menerus kita mempertanyakan proses ratifikasi itu sendiri. Kami juga tentunya akan mengambil langkah-langkah lebih aktif lagi untuk mempertanyakan proses ratifikasi di parlemen Papua Nugini sendiri. Memang masalah buronan kita ini sudah kita mulai bahkan permintaan extradisinya sudah kita mulai dan bahkan sebelum dibuatnya perjanjian extradisi. Dan waktu itu memang pihak PNG selalu mencari tentunya alasan mengapa mereka tidak dapat extradisikan yang bersangkutan karena pertama non existant dari suatu perjanjian bilateral. Terus kemudian juga ini masalah sedikit saya kembali, masalah proses internal di PNG sendiri untuk mengetahui apakah yang bersangkutan ini telah menjadi warga negara atau tidak. Dan proses verifikasinya karena pada saat itu juga terjadi pergantian Pemerintahan yang tadi disebutkan bahwa diberikan kemudahan dan diberikan fasilitas itu juga memang menjadi bagian dari tahapan Pemerintah Indonesia ingin memintakan extradisi dari yang bersangkutan. Tentunya menyambut tadi apa yang disampaikan oleh Pimpinan dari Komisi I DPR RI terkait dengan kita bisa buat mekanisme dimana Pemerintah dapat menyampaikan update berkala Pak Pimpinan mengenai langkah-langkah yang sudah diambil. Jadi disitu mungkin bisa kelihatan langkah-langkah apa yang sudah diambil oleh Pemerintah dan kedepannya dibuat semacam time line dan kemudian ini akan selalu bisa kita diskusikan dengan pihak Komisi I DPR RI, jika itu dapat disetujui. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Pak, saya punya pertanyaan sederhana saja Pak. Dari berbagai perjanjian extradisi ini menurut Bapak ukuran efektifnya atau ukuran keberhasilannya itu apa Pak. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Yang pertama Pak, ada negara-negara yang berdasarkan hukum nasionalnya tidak dapat melakukan extradisi dengan negara lain tanpa adanya perjanjian. Jadi ukuran keberhasilan pertama adalah bahwa adanya suatu legal basis, dasar hukum berupa treaty yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan kerja saam extradisi, itu pertama benefitnya Pak. Terus ukuran yang kedua adalah dari permintaan extradisi yang diajukan. Apakah permintaan extradisi itu dapat diterima, tentunya pertama melalui tahapan secara administrative apakah memenuhi legal requirement dari baik itu treaty itu sendiri maupun hukum nasional dari negara yang kita mintakan extradisinya. Memang itu kami harus tested, harus diuji seperti contoh salah satu perjanjian yang paling efektif adalah dengan Australia Pak, karena memang banyaknya permintaan extradisi dan itu dapat dilaksanakan. Tentunya untuk perjanjian yang baru itu memang harus kemudian diuji dengan jalannya waktu dan dilihat dari permintaan-permintaan yang kemudian ditindaklanjuti. Terima kasih Bapak Pimpinan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Ada yang lain lagi? Cukup ya. Terima kasih Bapak-bapak, saya kira penjelasan…. F-PDIP (Dr. EFFENDI MS SIMBOLON, MIPOL): Sedikit Bapak Ketua.

16

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Silakan Bapak Effendi Simbolon. F-PDIP (Dr. EFFENDI MS SIMBOLON, MIPOL): Ini mungkin agak keluar sedikit. Saya ingin menanyakan mengenai Bapak-bapak yang punya kewenangan memberi akses consuler di airport. Jadi apakah Kumham lewat imigrasinya, Kejaksaan, Polri saya kira ini threeparted ini yang paling di depan. Saya perhatikan di airport itu terlalu mudah, hampir seluruh kedutaan besar bisa masuk ke pintu pesawat Pak. Ini negara kita berdaulat atau tidak sih, itu kayak dia ke terminal Kampung Rambutan saja itu. Ini negara apa gitu loh, kita itu tidak usahlah jauh-jauh ke negara sana, ke Singapura tidak bisa begitu Pak. Artinya anaknya juga tidak urusan gitu. Kita kenapa boleh Pak, saya perhatikan kayak pasar Pak, ini bukan terminal 3 loh ini terminal 2. Ini negara apa gitu loh Pak, apa sudah tidak melek lagi ini para Bapak-bapak yang punya kewenangan ini. Ini kita bikin ratifikasi atau apalah tidak ada gunanya kalau akses tanah yang di negara kita saja kita tidak bisa lindungi.

Saya perhatikan mereka baik antar maupun jemput itu kayak orang lagi arisan Pak, saya perhatikan ini apa, di Jakarta loh Pak. Orang lagi pintu-pintu masuk seperti di Manado, di internasional lainnya jangan-jangan sampai pesawat itu Pak. Nah, ini kalau mau ditarik benangnya dari mana ini, kita mau tarik benangnya darimana Pak. Apakah leading sector-nya dimana, apakah di Kepolisian apa Kumham cq Keimigrasian, atau di Kepolisian cq apa ini Pak. Demikian juga barang-barangnya bisa masuk Pak, ini tidak resi procal kita tidak perlu menuntut resi procal ke negara-negara luarlah. Kita untuk di negeri kita sendiri dululah. Kalau di Singapura sudah pasti tidak bisa, mau Bapak Jampidun kenal sama Perdana Menterinya juga tidak ada urusan, hukum adalah hukum disana. Dan negeri itulah memberikan kepastian hukum begitu. Nah, bagaimana kita di-certain area itu orang pakai handphone, pakai apa, photo-photo, kita kalau di Australia diambil, disitu itu Pak. Mungkin ini saya agak keluar tapi masih karena kaitannya dengan Bapak-bapak yang mungkin punya kewenangan saya mohon ini bisa dijelaskan juga Pak, agar kita itu berdaulat di negeri kita. Mohon dari siapa yang bisa menjawabnya. Silakan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Silakan Pak. PLT. DIREKTUR JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (CAHYO RAHADIAN MUZHAR, S.H., L.L.M.): Izin Pak. Kami dapat memahami pesan yang disampaikan. Dan kebetulan izin Pak, kami semua pejabat disini mohon koreksi teman-teman dari Kejaksaan Agung, Polri, Kemlu, maupun dari Kumham. Tidak ada pejabat yang membawahi isu yang Bapak sampaikan. Imigrasi ada Ditjen Imigrasi, kemudian Kemlu ada Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler yang memang terus kemudian ada otorita bandara Pak.Jadi tentunya tidak dalam posisi kami untuk berbicara soal keimigrasian Pak, karena kami administrasi hukum umum.

Dan yang kedua Pak, masalah tadi barang itu memang itu kewenangan dari Kementerian Keuangan untuk bea cukai. Tentunya kami juga akan menyampaikan kepada Pimpinan kami masing-masing terhadap concern ini dan mudah-mudahan nanti bisa ditindaklanjuti dengan penjelasan dari pihak Pemerintah terkait dengan apa yang diamati dan terjadi di bandara khususnya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat perwakilan asing.

Kami mohon maaf Pak, karena kewenangan tidak ada di kami jadi kami belum bisa dapat menyampaikan jawaban yang ditanyakan oleh Bapak.

Terima kasih Pak.

F-PDIP (Dr. EFFENDI MS SIMBOLON, MIPOL): Oke, terima kasih. Kalau Kepolisian jawabannya sama Pak, ini sekalian ya untuk yang ganjil genap untuk diplomat asing itu ya, tidak jelas juga itu. Maksudnya ke Kumham tadi sekalian ini masukan untuk kita dapat jawabannya ya Pak. Silakan Pak. DIVISI HUKUM MABES POLRI (BRIGJEN POL DR.AGUNG MAKBUL, S.H., M.H.): Baik, terima kasih atas pertanyaan yang diberikan kepada Kepolisian. Tadi Bapak mengatakan bahwa kalau kita tarik benang merahnya dimana. Kalau kita amati jujur saja bahwa di bandara itu adalah kewenangan dari Angkasa Pura. Nah, di dalam Angkasa Pura ada suatu regulasi atau SPO yang berlaku dari internal dia. Jadi dalam hal ini tadi pertanyaan Bapak tentang masalah kedutaan yang seperti kayak pasar dan sebagainya. Mungkin dari pengamatan Kepolisian sendiri tidak banyak Anggota yang hilir mudik itu sampai ke pesawat, kecuali dia mempunyai ID dan ID pun terbatas, ptotokoler. Jadi oleh karenanya, dalam hal ini mungkin Bapak bisa tarik dari Angkasa Pura, dimana Angkasa Pura itukan BUMN ya, sehingga bisa ditertibkan seperti yang Bapak inginkan.

17

Demikian Pak, terima kasih. F-PDIP (Dr. EFFENDI MS SIMBOLON, MIPOL): Pimpinan. Pak, kalau sepengetahuan saya Angkasa Pura itu hanya pengelolaan manajemennya saja Pak. Tapi otoritas untuk custome beda, Imigrasi beda, kalau ada tindak pidana itu Kepolisian. Tidak ada kaitannya Pak, Angkasa Pura itu hanya me-manage urusan AC, urusan taman, urusan toilet bagus, tapi si warga negara asing masuk dijmeput di pintu oleh yang punya ID dan kedutaan-kedutaan di Indonesia itu sebenarnya menurut saya pelanggaran Pak. Dia hanya boleh menjemput di depan Pak, tidak di pintu depan pesawat Pak. Kita akan sudah terbiasa semua instansi di Indonesia inikan semua punya protokoler, makanya airport kita itukan kelihatan ramai, sebenarnya ramai sama penjemput sama pengantar. Kalau kita ke Singapura kan sepi, orang tidak ada, pesawatnya lebih banyak dari Indonesia. Tapi kita kan yang berangkat satu yang mengantar 10 orang Pak. Bayangkan kalau yang berangkat 100 berarti 1000, ini Indonesia tidak apa-apa Pak. Tapi persoalannya kenapa perlakukan itu juga diberikan kepada mereka yang berwarga negara asing. Dengan dalih apapun Pak, tidak boleh mereka masuk ke area yang belum passing gate untuk keluar dia menjadi warga yang sudah boleh diizinkan masuk permit Indonesia. Jadi jawaban Bapak Kepolisian tadi ya seolah-olah itu tanyakan saja ke Angkasa Pura. Tidak Pak, Angkasa Pura itu urusan parkir, urusan taman, ac, catering. Urusan yang namanya bea cukai tidak ada urusannya Angkasa Pura Pak. Kemudian urusan penerbangan bukan urusan Angkasa Pura Pak, itu ICAO Pak, tidak ada urusannya sama regulasi Indonesia Pak, diatur di Canada disana Pak. Saya jadi belum dapat jawaban walaupun ini bukan pertanyaan kepada Bapak-bapak pribadi. Tapi ini mohon pertanyaan ini saya hanya lontarkan menurut saya sih keprihatinan kita bukan saya pribadi. Kok bisa akses ke suatu negara, saya lihat di Sri Langka saja yang begitu karut-marut masih lebih rapih Pak. Kalau kita keluar kebetulan barang kita ketinggalan didalam kita bisa masuk lagi dari pintu keluar itu Pak, itu Indonesia Pak. Kalau mereka tidak, izin lagi sama kayak kita kalau sudah keluar dari WA Group itukan tidak boleh lagi masuk. Apa seperti itu kita Pak, ini bukan kepada Bapak-bapak akan tetapi ini ya saya ingin menyampaikanlah agar masukan ini bisa dibahas di internal instansi Bapak, walaupun bukan Bapak yang disitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih Bang Effendi Simbolon. Saya lihat ada keresahan dan kegelisahan yang menurut saya, itu tandanya orang itu sedang berpikir Pak, makanya dia gelisah. Karena look hole semacam itu mungkin hanya puncak gunung es dari sebuah atau dari banyak kejadian. Yang terakhir saja ada pengusaha dan juga yang diduga dibantu oleh pengacaranya untuk kasus yang ada kaitannya dengan KPK itu, itu juga dia keluar masuk Indonesia pergi ke Malaysia, di deportasi karena ada masalah Keimigrasian masuk ke Soekarno Hatta dia mau pergi ke Kamboja itu tanpa jejak Imigrasi Pak. Kasus yang Lippo Group itu dan itu melibatkan Imigrasi bahkan juga KBRI kita di Malaysia, karena masa ada dideportasi tidak ngasih tahu. Jadi saya kira yang disampaikan Bang Effendi termasuk kejadian mutakhir itu mungkin perlu kita bahas secara lebih mendalam dan terpisah. Tentu saya kira disini Bapak-bapak yang kaitannya dengan hukum tidak dalam ranahnya akan tetapi saya kira hasil dari pembicaraan kita siang dan sore ini bisa juga disampaikan kepada para Pimpinan masing-masing bahwa ada keresahan terkait dengan look hole perbatasan internasional kita ini terutama bandara-bandara itu. Jadi yang disampaikan Bang Effendi termasuk kejadian lolos ke luar negera tanpa cap Imigrasi, tanpa jejak itu menjadi sebuah preseden buruk buat penjagaan kedaulatan kita ini. Jadi mohon disampaikan Pak, jadi saya kira dua hal pertama tadi ini yang sifatnya tentu urusannya dengan protokoler dan Imigrasi. Dan yang pertama tadi Pak, saya kira Bapak bisa menangkap suasana kebatinan teman-teman disini bahwa kembali soal ratifikasi tadi itu yang diperlukan tidak sekedar catatan tapi ada kebijakan yang lebih progresif terkait hasil-hasil extradisi sebelumnya apa, sehingga kita di DPR RI kalau mau menyetujui itu juga sama mantapnya dengan Pemerintah keinginan untuk meratifikasi ini. Kalau Bapak mantab kitanya ragu-ragu kan bertepuk sebelah tangan ratifikasi itu. Bisa jadi kemudian akhirnya tertolak, jadikan percuma kalau kita rapat bersama tapi kemudian tidak ada hasilnya, tidak jadi produktif. Oleh karena itu, mohon disampaikan tentu ini menjadi kalau kesimpulan bukanlah karena kita bukan Rapat Kerja, tapi menjadi perhatian Bapak-bapak untuk disampaikan kepada Pimpinan masing-masing. Dan supaya kegelisahan ini juga tidak semakin lama semakin melebar terkait khususnya perjanjian extradisi ini. F-PKS (Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.): Pimpinan. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Silakan Ustad Hidayat.

18

F-PKS (Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.): Tadi saya menyampaikan tentang tambahan karena terkait juga disini ada Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu dan juga dari Dirjen Asia Pasifik dan Afrika dari Kementerian Luar Negeri. Terkait dengan saya Dapil Luar Negeri Pak, dan karenanya saya advokasi konstituen saya itu para mahasiswa yang akan belajar ke Yaman tadi itu. Tadi saya sampaikan terima kasih karena mereka sudah bisa terbantu untuk masuk ke Yaman. Tapi saya berharap penyelesaian ini penyelesaian yang bersifat permanen Pak, sehingga dengan demikian mereka tidak harus nanti sudah menunggu disana balik lagi ke Indonesia, padahal tidak ada masalah. Karena sekali lagi bandingannya sangat jelas Malaysia mengizinkan, Thailand yang mayoritas beragama Budha pun mengizinkan untuk mereka belajar di Yaman. Dan sekali lagi belajar di Yaman itu adalah tempat yang aman sama sekali jauh dari tempat-tempat konflik itu dan mereka disana tidak pernah diajarkan teroris, radikalisme, mereka hanya diajarkan ahli sunah waljamaah. Jadi saya perlu mendapatkan penegasan dari pihak Kemenlu tentang hal ini. Terima kasih Pak. KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Terima kasih. Saya kira itu penekanan dari Ustad Hidayat terkait dengan suara konstituen ya. Kemlu diminta untuk memberikan penegasan. Silakan. DIREKTORAT JENDERAL ASIA PASIFIK DAN AFRIKA, DIREKTORAT TIMUR TENGAH KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI (RIJAL AL HUDA): Terima kasih. Yang terhormat Bapak Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat. Memang ranah untuk perlindungan WNI ada di Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler. Dan kebetulan memang atas perintah Ibu Menlu, Bapak Direktur Perlindungan WNI sendiri yang menangani langsung penanganan kasus pelajar-pelajar kita yang ingin kembali masuk ke Yaman. Dan memang kendala yang kami hadapi pada saat ini perwakilan RI untuk Yaman yang sebelumnya sementara berlokasi di perbatasan antara Oman dan Yaman, yaitu di Salalah itu sudah diminta untuk ditutup oleh Pemerintah Oman dan dalam tahap diintegrasikan atau disatukan dengan KBRI di Muskab. Dan prosesnya sudah berlangsung dan selama ini memang KBRI kita di sana yang dialihkan ke Salalah itu di wilayah Oman itu menangani untuk masalah perizinan keluar masuk WNI di perbatasan antara Yaman dan Oman. Dan kendalanya ketika sudah harus dipindahkan seluruh urusan untuk pelayanan WNI di Muskab yang cukup jauh itu memang agak sedikit menyulitkan dan mungkin konsen tentang supaya ada perhatian khusus dan ada menjadi sebuah ketetapan bahwa WNI yang ingin kembali masuk ke Yaman untuk belajar itu diberikan izin dan menjadi ditetapkan sebagai prosedur yang harus dilayani oleh KBRI kita di Muskab akan kami laporkan kepada Pimpinan dan kepada Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler. Terima kasih. F-PKS (Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.): Karena mereka tidak sedikit Pak, kemarin ada 178 itu sangat besar. Yang kedua, keberangkatan dari Dirjen Perlindungan WNI diluar negeri itu juga sesungguhnya memang betul perintah dari Ibu Menlu, tapi karena desakan dari Ketua Komisi I DPR RI kami tahu persis, karena kami komunikasi langsung. Artinya, karena desakan dari DPR RI kemudian ada solusi ini. Mereka sudah complain kepada kami dan mereka secara pribadi maksud saya melalui para orang tuanya dan para ulama itu mereka coba komunikasi ke Kemenlu tapi tidak berhasil. Kemudian masalah ini disampaikan kepada kami dan kemudian kami segera untuk melakukan komunikasi dan cepatlah dalam waktu 2-3 hari itu kemudian teratasi. Jadi kalau itu kemudian bisa kita jadikan patokan maka masalah ini bisa diselesaikan cepat Pak. Karena toh begitu kemudian komunikasi dari Komisi I DPR RI melalui Bapak Ketua, Ibu Menlu dan kemudian Ibu Menlu langsung memerintahkan kepada Bapak Dirjen, Dirjennya berangkat hari Selasa, Rabu pagi itu sudah selesai masalah. Artinya, sebenarnya tidak ada masalah yang sangat serius-serius amat itu. Dan mereka masuknya tidak dari sana dari Yaman, ini masuknya dari Oman karena itu daerah terdekat memang. Kalaupun misalnya Yaman itu dalam posisi aman mereka tidak masuk dari Yaman juga Pak, karena jauh sekali dari sana itu. Jadi yang paling dekat memang melalui jalur Muskab, kemudian jalur darat, kemudian masuk ke Yaman karena sudah perbatasan. Jadi kalau melihat pengalaman sekarang bisa diselesaikan dalam waktu 2 hari itu artinya ini bukan masalah yang sangat serius. Kami itu hanya memerlukan kepastian ke depan tidak ada masalah lagi. Dan saya yakin tadi saya sampaikan kalau Malaysia bisa mengizinkan, Thailand mengizinkan mestinya Indonesia tidak ada masalah untuk mengizinkan. Jumlahnya sangat besar dan mereka itu sekali lagi sama saja yang diajarkan disana dengan yang diajarkan di pesantren-pesantren yang ada di NU. Terima kasih Pak.

19

KETUA RAPAT (H.A. HANAFI RAIS, S.IP., M.PP.): Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus. Saya kira demikian agenda Rapat Dengar Pendapat kita ini, kita cukupkan. Dan terima kasih penjelasan dari Bapak-bapak semua keseluruhan instansi dari Polri, dari Kejaksaan Agung, Kumham dan juga Kemenlu dan seluruh Bapak-bapak Anggota Komisi I DPR RI yang terhormat. Jadi tadi pesannya disampaikan kepada Pimpinan untuk menjadi perhatian khusus hasil rapat kita pada sore hari ini. Terima kasih. Dengan demikian rapat saya tutup. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 14.39 WIB)

Jakarta, 15 Oktober 2018

a.n. KETUA RAPAT SEKRETARIS RAPAT,

TTD.

SUPRIHARTINI, S.IP., M.Si. NIP. 19710106 199003 2 001