34
TERAPI DIALISIS ” DIALYTIC THERAPIES” R BELLOMO Pembimbing : dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An Disusun Oleh : Prima Aditya Wicaksana G1A212067 Syifa’u Rakhmi G1A212068 SMF ANESTESIOLOGI REANIMASI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2012

Dialytic Therapies

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dialytic Therapies

TERAPI DIALISIS

” DIALYTIC THERAPIES”

R BELLOMO

Pembimbing :dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An

Disusun Oleh :

Prima Aditya Wicaksana G1A212067

Syifa’u Rakhmi G1A212068

SMF ANESTESIOLOGI REANIMASI

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2012

Page 2: Dialytic Therapies

TERAPI DIALISIS

Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki peranan penting dalam

tubuh setiap individu. Ginjal berfungsi untuk membuang sampah metabolisme dan

zat toksik tubuh dalam bentuk urin / air seni, yang kemudian dikeluarkan dari

tubuh. Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh,

konsentrasi-konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potasium, dan

keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ketika ginjal mengalami gangguan dan tidak

dapat menjalankan fungsinya maka kan mengakibatkan komplikasi yang bersifat

sistemik. Oleh karena itu, diperlukan adanya pencucian (dialisa) untuk

mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.

Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

menurunnya fungsi ginjal. Salah satu fungsi ginjal yang penting adalah

mengekskresikan zat-zat sisa metabolisme dalam tubuh. Seiring dengan

berkembangnya ilmu kedokteran maka telah ditemukan terapi untuk

menggantikan fungsi ginjal, yaitu dengan terapi dialisis. Berbagai macam metode

telah berkembang seperti dialisis peritoneal, hemodialysis intermittent dan

hemofiltasi kontinyu / hemodiafiltasi yang memungkinkan air dan zat-zat sisa

metabolisme melewati membran semipermeabel untuk dikeluarkan dari dalam

tubuh.

Sejak tahun 1960, hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti

ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal termal. Hemodialisa

merupakan terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney

atau dialyzer). Di Indonesia, hemodialisa biasanya dilakukan 2 kali seminggu.

Setiap kali hemodialisa, dibutuhkan waktu selama kurang lebih 5 jam. Di

beberapa pusat dialisa lainnya ada yang dilakukan hemodialisa sebanyak 3 kali

seminggu dengan lama durasi dialisa selama 4 jam.

Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan zat-zat metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan

air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan

dialisat melalui membran semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal.

Terapi hemodialisa ini sering disebut dengan terapi cuci darah yang terbukti

Page 3: Dialytic Therapies

bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal.

Dalam suatu proses hemodialisa, darah penderita dipompa oleh suatu mesin ke

dalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer ini mengandung ribuan serat

atau fiber sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam

lubang serat tersebut, sedangkan cairan dialisis yaitu dialisat mengalir

diluar serat. Dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat

terjadinya proses ultrafiltrasi yaitu dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik

melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam

kompartemen dialisat. Hal ini dapat bermanfaat untuk menyedot kelebihan cairan

tubuh dan sampah-sampah sisa hasil metabolik.

I. Prinsip-Prinsip Terapi Dialisis1-5

1. Pembuangan Air (Water Removal)

Air dibuang selama prosedur dialisis oleh suatu mekanisme yang

disebut ultrafiltasi. Proses ini pada dasarnya terdapat pada glomerulus

di ginjal, dimana dibutuhkan kekuatan pendorong (tekanan hidrostatik)

untuk memindahkan cairan melewati membran semipermeabel. Cairan

tersebut biasanya akan dipertahankan dalam sirkulasi darah oleh

tekanan onkotik pasien. Di dalam ginjal buatan, tekanan yang setara

dengan tekanan hidrostatik dicapai dengan cara :

a. Menerapkan tekanan negatif ke sisi non-darah dari membran,

seperti pada hemodialisis

b. Menggunakan larutan hiperosmolar, seperti pada dialisis peritoneal

c. Menggunakan tekanan darah pasien (atau tekanan pompa-

dependen) dan membran permeabel, seperti pada hemofiltrasi

kontinyu/hemodiafiltrasi.

2. Pembuangan Cairan (Solute Removal)

Jika menggunakan membran permeabel dari selulosa, konveksi zat

terlarut terkait dengan proses ultrafiltrasi akan menghasilkan sedikit

elektrolit, serta molekul lainnya akan dihilangkan. Akibatnya,

pembuangan zat terlarut yang efektif hanya dapat dicapai jika gradien

elektrokimia dihasilkan oleh aliran yang berlawanan dengan cairan

Page 4: Dialytic Therapies

dialisis (dialisat). Cairan ini harus memiliki konsentrasi yang tepat dari

elektrolit dan tidak ada zat terlarut limbah yang memerlukan ekstraksi.

Prinsip pengeluaran cairan ini adalah difusi. Tingkat difusi untuk

molekul kecil selama hemodialisis tergantung pada laju aliran darah,

laju aliran cairan dialisis, durasi gradien, prosedur konsentrasi dialitik

melintasi membran dan ukuran membran.

Untuk molekul yang besar (>500 Da), difusinya akan buruk.

Ekstraksi molekul-molekul besar tersebut hanya dapat terjadi di

membran yang berpori banyak (highly porous). Meskipun begitu,

difusi cairan relatif buruk karena ketebalan membran tersebut,

sehingga diperlukan konveksi. Ketika susatu teknik seperti

hemofiltrasi diterapkan (dimana pembuangan zat terlarut tergantung

pada produksi ultrafiltrat bersih), dapat dikatakan bahwa pembuangan

zat terlarut tersebut terjadi secara konveksi. Ekstraksi konvektif

melalui membran yang berpori banyak digunakan untuk hemofiltrasi

semua molekul sampai dengan ukuran membran sekitar 30 kDa berat

molekul.

Pada dialisis peritoneal, molekul yang lebih besar (seperti

albumin) disingkirkan, karena permeabilitas yang besar dari

peritoneum. Namun, karena terbatasnya kontak aliran darah untuk

dialisat dan penurunanan gradien produk limbah secara cepat dalam

membran alami ini, maka penyingkiran zat terlarut jauh kurang efisien.

Inilah sebabnya mengapa dialisis peritoneal sering dilakukan secara

terus menerus.

II. Indikasi Untuk Terapi Dialisis Di ICU

Beberapa teknik di bawah ini biasanya digunakan di dalam ICU

untuk menangani pasien gagal ginjal. Selain itu juga diindikasikan untuk

kondisi lainnya (Tabel 1.1).

Page 5: Dialytic Therapies

Tabel 1.1 Indikasi Terapi Dialisis

Gagal ginjala. Hemofiltrasi berkelanjutanb. Hemodiafiltrasi berkelanjutanc. Hemodialisa intermitend. Dialisis peritoneal

Edema pulmonala. Hemofiltrasi berkelanjutanb. Ultrafiltrasic. Dialysis peritoneal

Detoksifikasia. Hemoperfusib. Hemodialisis intermitenc. Hemofiltrasi

Penyakit hati (hepar)a. Hemofiltrasi berkelanjutanb. Hemoperfusic. Hemodiabsorbsi

Sepsisa. Hemofiltrasi berkelanjutanb. Hemoperfusic. Hemodiabsorbsi dengan polimiksin B

A. Gagal Ginjal

Seorang pasien mungkin memerlukan terapi dialisis karena

menderita gagal ginjal akut, atau pada stadium akhir gagal ginjal dan telah

masuk ke ICU. Biasanya, beberapa prinsip manajemen sebagai berikut

diterapkan pada pasien:

1. Penyebab gagal ginjal akut harus ditetapkan dengan jelas (kecuali

obstruksi ginjal) 

2. Perfusi ginjal harus dioptimalkan dan dipertahankan pada tingkat

fisiologis yang aman

3. Sepsis apapun harus diobati dengan baik

4. Dosis obat harus diubah sesuai dengan tingkat disfungsi ginjal dan

jenis terapi pengganti ginjal yang sedang digunakan. Konsep lain yang

dianut di masa lalu termasuk pembatasan asupan air, natrium dan

protein. Konsep seperti ini sudah tidak diterapkan di ICU dimana

hemofiltrasi lah yang digunakan secara terus-menerus sebagai teknik

dialisis pilihan.

Page 6: Dialytic Therapies

B. Indikasi Lain Untuk Terapi Dialisis

Terkadang pasien dengan gagal jantung dan disfungsi ginjal

tidak dapat merespon obat-obat diuretik berdosis tinggi. Dalam

keadaan ini, pemindahan cairan dapat mudah dicapai dengan

hemofiltrasi berkelanjutan. Teknik ini memiliki toleransi hemodinamik

yang baik, dan dengan mengurangi dilatasi ventrikel kiri dapat

meningkatkan hemodinamik. Dalam semua kasus, pembuangan garam

dan air dicapai dengan target fisiologis yang diinginkan tanpa

konsekuensi yang merugikan.

Terapi dialisis telah digunakan dalam pengelolaan overdosis

suatu obat dan untuk membuang beberapa zat toksik dalam tubuh,23

tetapi tanpa adanya laporan peningkatan kelangsungan

hidup. Meskipun begitu, dampak langsung terhadap konsentrasi obat

atau zat toksik dalam darah, serta kemampuan mereka untuk

membuang zat-zat tersebut menjadikan terapi dialisis ini satu-satunya

pilihan terapi yang layak dilakukan disamping terapi lainnya. Pada

hemodialisis untuk menghapus obat dan racun, substansi yang

diberikan tidak harus berikatan dengan protein, zat-zat tersebut harus

memiliki berat molekul di bawah 500 Da, dan harus larut dalam air. 

Prinsip yang sama berlaku jika menggunakan terapi

hemofiltrasi berkelanjutan/hemodiafiltrasi. Meskipun begitu,

hemoperfusi dapat menghapus senyawa larut lemak dan senyawa yang

berikatan dengan protein, serta lebih efektif daripada hemodialisis

dengan senyawa seperti barbiturat, anti-depresan trisiklik, teofilin, dan

beberapa zat toksik (contoh : parathion, organofosfat, benzena, dan

paraquat). Hemodialisis tetap diindikasikan untuk pasien dengan

intoksikasi alkohol, ethylene glycol dan salisilat yang dapat

mengancam jiwa.

Faktor-faktor lainnya dapat mempengaruhi pembuangan obat

dan zat toksik dari tubuh. Obat dengan volume distribusi yang besar

akan membutuhkan pencucian darah yang panjang. Dengan semacam

Page 7: Dialytic Therapies

senyawa (contoh : lithium), terapi terus menerus bisa menjadi lebih

utama.24 Ikatan protein dan juga menentukan tingkat pemindahan obat,

pengikatan protein menghambat pembuangan dengan teknik dialisis,

kemudian disfungsi organ hati (hepar) dan ginjal sangat mempengaruhi

pembuangan beberapa obat.

Dialisis dan teknik pencucian darah juga telah diterapkan pada

pasien dengan penyakit hati (hepar) akut, namun sampai saat ini belum

ada indikasi yang jelas untuk penggunaan hemoperfusi untuk keadaan

tersebut. Hemodiafiltrasi menjadi teknik pilihan pada pasien dengan

penyakit hati (hepar) akut,25-26 tidak seperti teknik dialitis lainnya

karena teknik ini tidak menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

Saat ini sedang dikembangkan hati (hepar) biologis dan non-

biologis buatan. Hati (hepar) biologis buatan mengandalkan kombinasi

teknologi membran dan imobilisasi hepatosit pada berbagai jenis

matriks, termasuk dialisis membran serat berongga. Hingga saati ini,

hati (hepar) buatan non-biologis dapat menggabungkan fitur dari kedua

hemodiafiltrasi dan hemoperfusi arang dalam teknik yang dikenal

sebagai hemodiabsorbsi.29

III. Inisiasi Dan Frekuensi Dialisis

Dialisis harus dimulai pada awal perjalanan penyakit pasien karena

secara fisiologis tidak benar jika menunggu sampai timbul keadaan uremia

pada pasien. Kewaspadaan pada awal dialisis penting dilakukan karena

akibat buruk dari hemodialisis intermiten standar dengan membran

cuprophane dimana mempengaruhi hemodinamik, fungsi paru-paru, sistem

kekebalan tubuh dan ginjal itu sendiri. 6-9

Tidak ada kriteria yang ditetapkan secara ilmiah untuk memulai

dialisis. Kriteria waktu hanya diberlakukan pada pasien dengan komplikasi

gagal ginjal (dengan edema pulmonal, hiperkalemia berat, asidosis

metabolik kronis, dan konsentrasi plasma urea di atas 35 mmol / L). Di ICU,

rumatan (maintanance) homeostasis adalah tujuan terapi utama sehingga

Page 8: Dialytic Therapies

kriteria tersebut tidak tepat untuk dilakukan. Kriteria untuk memulai terapi

dialisis di ICU disajikan dalam tabel 1.2.

Tabel 1.2 Kriteria Untuk Inisiasi Terapi Dialisis di ICU*

Oliguria (urin yang keluar <5 ml/kg per hari)

Anuria (tidak ada urin yang keluar dalam 12 jam)

Konsentrasi plasma urea >35 mmol/L

Konsentrasi serum kreatinin > 600 µmol/L

Hiperkalemia (konsentrasi serum k >6,5 mmol/L)

Edema pulmonalis

Asidosis metabolic (pH <7,2)

Ensefalopati uremia

Perikarditis uremia

Neuropati uremia

*2 dari 10 kriteria di atas mengindikasikan perlunya terapi dialisis

Mayoritas klinisi berusaha untuk menjaga konsentrasi plasma urea di

bawah 30 mmol / L. Untuk mencapainya, hemodialisis intermiten mungkin

harus diterapkan setiap hari dengan durasi dan frekuensi yang sebagian

bergantung pada tingkat keparahan katabolisme dan asupan gizi nitrogen.

Jika dilakukan pemberian nutrisi berupa asam amino, dialisis peritoneal

secara kontinyu biasanya tidak cukup untuk mempertahankan kontrol kadar

urea. Di sisi lain, hemofiltrasi kontinyu atau hemodiafiltrasi dapat

mengontrol uremia pada semua pasien, jika jumlah ultrafiltrat yang

diproduksi adekuat (>20 ml/menit) atau jumlah dialisat yang diproduksi

bersama ultrafiltrat juga adekuat (>20 ml/menit).11-14

IV. Teknik Dialisis 

Pilihan antara dialisis peritoneal, hemodialisis intermiten dan

hemofiltrasi berkelanjutan / hemodiafiltrasi tergantung pada sumber daya

lokal dan sumber daya manusia yang melakukannya. Sejauh ini belum ada

penelitian yang telah dilakukan untuk membandingkan ketiga teknik dialisis

ini pada pasien gagal ginjal akut.15 Dengan tidak adanya perbandingan

Page 9: Dialytic Therapies

langsung, terdapat beberapa pendapat yang mendukung teknik hemofiltrasi

berkelanjutan / hemodiafiltrasi yaitu: 

1. Stabilitas hemodinamik lebih besar;16

2. Kemampuan untuk mengeluarkan cairan lebih baik;

3. Menggunakan membran biokompatibel; 

4. Menghindari gangguan asam-basa; 

5. Mencegah edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial; 

6. Pemberian nitrogen dan nutrisi lebih mudah;19

7. Penambahan blood purification berpengaruh pada sepsis.20-22

Jenis Terapi Dialisis30

A. Dialisis Peritoneal

Terapi dialisis peritoneal menggunakan peritoneum sebagai alat

filtrasi pengganti glomerulus karena peritoneum  mengandung  kapiler

dalam jumlah yang sangat  besar dan berhubungan langsung dengan

rongga peritoneum. Hubungan ini  memungkinkan  terjadinya pertukaran 

antara cairan dialisat  yang dimasukkan ke dalam rongga peritoneum 

dengan  kapiler-kapiler  darah yang  mengandung zat-zat toksik.

Dikenal dua bentuk  dialisis peritoneal  yaitu dialisis  peritoneal 

klasik  dan  dialisis  peritoneal  mandiri berkesinambungan. Dialisis

peritoneal  klasik dilakukan dengan  memakai  kateter yang  selalu  harus 

diganti, sedangkan  dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan 

menggunakan  kateter  yang  terpasang tetap  dalam  rongga abdomen

tanpa  harus  selalu  mengganti kateter seperti  cara  dialisis  peritoneal 

sebelumnya. Dialisis  yang  dilakukan  bersifat sementara dan merupakan 

pengobatan  peralihan  untuk  menuju transplantasi  ginjal, yang

dilakukan  bila  keadaan  dan  fasilitas  memungkinkan.

Cairan dialisis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui

catheter tunchoff, kemudian didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam)

dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeabel untuk

mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah. Osmosis,

difusi dan konveksi akan terjadi dalam rongga peritoneum. Setelah dwell

Page 10: Dialytic Therapies

time selesai  cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui

catheter yang sama, proses ini berlangsung 3 – 4 kali dalam sehari selama

7 hari dalam seminggu.

Sebelum melakukan dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai

tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari

dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang

“ditanam” di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu

sedikit di bawah pusar.  Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari

dalam perut disebut “exit site”.

1) Kelebihan

a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja

b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri

c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.

d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah

sakit sebagaimana HD

e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil

f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas

g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung

h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun

pertama.

2) Kekurangan

a) Resiko infeksi

b) Peritonitis

c) Exit site

d) Tunnel

e) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi

3) Indikasi

Gagal ginjal akut tanpa komplikasi

4) Komplikasi

a) Perdarahan di tempat pemasangan selang atau perdarahan di dalam

perut

b) Perforasi organ dalam pada saat memasukkan selang

Page 11: Dialytic Therapies

c) Kebocoran cairan di sekitar selang atau ke dalam dinding perut

d) Penyumbatan aliran cairan oleh bekuan darah

e) Infeksi, baik pada peritoneum maupun di kulit tempat selang

terpasang (menyebabkan terbentuknya abses). Infeksi biasanya

terjadi karena prosedur dialisa yang kurang steril. Untuk mengatasi

infeksi diberikan antibiotik.

f) Hipoalbuminemia

g) Sklerosis peritonealis (pembentukan jaringan parut di peritoneum),

yang      mengakibatkan penyumbatan parsial usus halus

h) Hipotiroidisme

i) Hiperglikemia, sering terjadi pada penderita kencing manis

j) Hernia perut dan selangkangan

k) Sembelit.

B. Hemodialisa Intermiten

Hemodialisa intermiten merupakan teknik dialis yang biasa digunakan

untuk terapi gagal ginjal akut, dan merupakan bentuk dominan dari

terapi pengganti ginjal. Akses vaskular saat ini hampir selalu kateter

vena double-lumen pusat, seperti dalam veno-vena hemofiltrasi.

Semakin canggih mesin hemodilisis maka semakin bervariasi

konsentrasi elektrolit dialisat lebih bervariasi dan sekarang tersedia alat

untuk memantau hematokrit pasien.

C. Hemoperfusi

Prinsip detoksifikasi dengan cara ini sama dengan dialysis peritoneal.

Hemoperfusi merupakan metode baru, yaitu darah penderita dialirkan

melalui suatu kolom resin yang dinamakan coated charcoal column

yang akan membersihkan darah penderita dari zat toksik (racun)

dengan cara mengikatnya dalam kolom tersebut, kemudian darah yang

keluar diinfuskan kembali ke dalam tubuh penderita. Karena afinitas

dan kapasitas absorbsi yang kuat dari material yang ada di dalam

kolom, beberapa zat kimia yang ikatannya kuat dengan protein plasma

Page 12: Dialytic Therapies

dapat digeser untuk dikeluarkan dari tubuh. Efek samping dari

hemoperfusi ini adalah berkurangnya kadar trombosit dalam darah.

D. Hemofiltrasi

Metode hemofiltrasi dilakukan dengan cara ekstrakorporeal,

yaitu dengan memasang kateter pada arteri dan/atau vena. Darah

dipindahkan dari kateter lumen arteri atau vena dengan pompa

peristaltic darah dan didorong melalui sebuah membran semipermeabel

sebelum dipompakan kembali ke dalam tubuh pasien melalui kateter

lumen vena yang ditempatkan pada vena subklavia, vena jugular

interna, atau vena femoralis.ketika darah melewati membran

(hemofilter atau dialyzer), elektrolit dan sampah-sampah berukuran

kecil dan sedang dikeluarkan dari darah dengan cara konveksi dan

difusi. Terapi ini menyerupai fungsi ginjal dalam mengatur air,

elektrolit, dan sisa metabolisme secara kontinyu secara perlahan-lahan

dalam 24 jam. Pemindahan cairan yang lambat ini dalam volume kecil

ini ideal bagi pasien karena dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik

dibandingkan dengan hemodialisa intermiten.

1) Keuntungan

a. Mengeluarkan cairan dengan kecepatan rendah menyebabkan

keseimbangan cairan menetap pada kondisi hemodinamik tidak

stabil

b. Kontrol yang baik terhadap azotemia, elektrolit dan

keseimbangan asam basa.

c. Efikasi dalam pengeluaran cairan pada kondisi tertentu seperti

edema paru pasca bedah, ARDS.

d. Membantu pemberian nutrisi parenteral dan obat-obatan dan

obat-obatan intravena seperti vasopresor atau inotropik.

e. Menurunkan TIK bila dibandingkan dengan hemodialisis

intermitent

f. Pengeluaran mediator proinflamasi

2) Kerugian

Page 13: Dialytic Therapies

a. Membutuhkan pemantauan hemodinamik dan keseimbangan

cairan

b. Infus dialisat regular

c. Antikoagulan yang kontinyu

d. Pasien imobilisasi

e. Biaya yang cukup mahal

3) Indikasi

a. Kelebihan cairan

b. Uremia

c. Tekanan Tinggi Intra Kranial

d. Syok

e. Overdosis obat

f. Gangguan elektrolit

g. Nutrisi

4) Komplikasi

a. Perdarahan

b. Trombosis

c. Infeksi dan sepsis

d. Reaksi alergi

e. Hipotermia

f. Kehilangan nutrisi

g. Hipotensi

h. Aritmia

i. Malfungsi akses vaskuler

Hemofiltrasi Berkelanjutan (Hemodiafiltrasi)17-19

Merupakan teknik paling umum dari terapi pengganti ginjal di ICU

Australia dan Eropa saat ini. Teknik ini telah mengalami perbaikan teknis

sejak pertama kali dilaporkan menggunakan prinsip membran permeabel

sebagai glomerulus buatan, dengan dorongan tekanan hidrostatik

ultrafiltrasi spontan. Ultrafiltrasi mengakibatkan hilangnya sejumlah besar

air dan zat terlarut (termasuk urea dan produk-produk limbah lainnya).

Page 14: Dialytic Therapies

1. Continous Arteriovenous Hemofiltration (CAVH)

CAVH adalah bentuk sederhana dari hemofiltrasi

berkelanjutan. Dalam CAVH, darah didorong melalui filter dengan

tekanan darah pasien sendiri, baik melalui arteri dari shunt

arteriovenosa Scribner, atau melalui jarum besar kanula arteri

femoralis. Darah melintasi membran biokompatibel dan sangat

permeabel (polysulphone atau membran poliakrilonitril), kemudian

mengalami ultrafiltrasi dan kembali ke sirkulasi melalui vena

tungkai dari shunt atau kanula vena femoralis. Meskipun

sederhana, CAVH membutuhkan shunt bedah atau penyisipan dua

kanula femoralis, dan dalam hal ini relatif terjadi komplikasi

vaskuler.31 Selain itu, clearance zat terlarut cukup memadai hingga

20% dari tubuh pasien, dan hemodialisa tambahan harus

diterapkan.  Dengan menggunakan teknik CAVH ini, stabilitas

hemodinamik baik dan pembuangan cairan juga cukup.

Gambar 1.1 CAVH

2. Continuous Ateriovenous Hemodiafiltration (CAVHD) 

Untuk meningkatkan clearance larutan, sirkuit CAVH telah

dimodifikasi dalam beberapa cara. Jika alat pengisap diterapkan ke

port ultrafiltrasi dari filter, ultrafiltrasi yang lebih besar dicapai

Page 15: Dialytic Therapies

dengan peningkatan terkait dalam pembuangan zat terlarut. Jika

cairan pengganti yang diberikan proksimal ke filter (contoh:

predilusi), tekanan onkotik berhenti dan ultrafiltrasi serta ekstraksi

larutan meningkat. Cara yang paling efektif mengingkatkan

clearance zat terlarut adalah menambah aliran dialisat yang

berlawanan untuk proses yang didorong oleh gradien elektrokimia.

Teknik ini disebut sebagai Continuous Ateriovenous

Hemodiafiltration (CAVHD). Namun, CAVHD masih memerlukan

penyisipan kanula ke dalam vena maupuin arteri di sirkulasi darah.

Gambar 1.2 CAVHD

3. Continous Venovenous Hemofiltration (CVVH) and

Hemodiafiltration (CVVHD)

Dalam rangka untuk mengurangi morbiditas terkait dengan

kanulasi arteri, pompa teknik hemofiltrasi berkelanjutan kini telah

dikembangkan dan diterapkan. Akses ke sirkulasi diperoleh

melalui kateter double-lumen yang dimasukkan ke dalam vena

sentral (femoralis, subklavia, atau jugularis). Darah kemudian

dipompa oleh pompa peristaltik rol pada tingkat yang ditetapkan

(100-200 ml/m) ke dalam filter dan kembali ke sirkulasi melalui

vena tungkai dari kateter double-lumen. Pompa biasanya

menggabungkan beberapa fitur keamanan yang wajib, seperti

perangkap udara, monitor tekanan dan alarm. Teknik ini disebut

Page 16: Dialytic Therapies

Continous Venovenous Hemofiltration (CVVH). Jika lawan aliran

dialisat ditambahkan seperti pada CAVHD, untuk meningkatkan

clearance, teknik ini kemudian disebut Continuous venovenous

hemofiltration (CVVHD).

Gambar 1.3 CVVH

4. Slow Continous Ultrafiltration With Dialysis (SCUF-D)

Dengan CVVH dan CVVHD, invasi minimal dicapai dengan

uremia yang terkontrol penuh. Sejumlah besar cairan dibuang,

sehingga perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan tekanan

intravaskular. Produksi ultrafiltrat yang tidak terkontrol juga

mengharuskan setidaknya pengukuran kehilangan cairan tiap

jamnya. Pompa volumetrik sering digunakan untuk mengontrol

kehilangan cairan tersebut. Oleh karena itu, pompa volumetrik

sering digunakan untuk mengontrol produksi ultrafiltrat pada

tingkat 1,0, 1,5 atau 2,0 L/jam. Penggantian cairan juga dihasilkan

pada tingkat yang sama, dan dapat pula diganti dengan

menggunakan cairan lainnya (contoh : nutrisi, obat, darah, dan

produk darah).

Dengan derajat kontrol yang tersedia, beberapa variasi teknis

lebih lanjut telah digunakan. Salah satunya berdasarkan pada arus

dialisat yang lebih tinggi (contoh: 2,0 L/jam), ultrafiltrasi

Page 17: Dialytic Therapies

dikendalikan minmal (100-200 ml/jam), dan tidak syarat khusus

untuk cairan penggantinya. Teknik ini lebih tepat disebut dengan

ultrafiltrasi kontinyu lambat dengan dialisis (SCUF-D) dimana

dapat melakukan pembuangan cairan dengan berat molekul rendah

sekalipun yang berbasis pada difusi. Secara signifikan, teknik ini

tidak dapat digunakan untuk melakukan pembuangan cairan

dengan dengan berat molekul 500 Da). Teknik convective

clearance seperti CVVH mungkin lebih tepat untuk pasien sepsis.32-

33

Gambar 1.4 SCUF-D

V. Pencucian Darah Pada Sepsis20

Teori humoral baru mengenai sepsis mendukung efek beberapa

mediator terlarut pada berbagai organ target. Mediator-mediator tersebut

adalah kelompok heterogen molekul yang meliputi sitokin, faktor

pengaktif trombosit (platelet activating factor), leukotrien, prostanoid,

histamin, bradikinin, tromboksan, dll. Sebagian besar pembuangan

molekul kecil hingga molekul sedang dari peredaran darah oleh teknik

hemofiltrasi kini telah terbukti. Beberapa penelitian eksperimental

menunjukkan bahwa hemofiltrasi berkelanjutan (kontinyu) dapat menjadi

suatu terapi pada hewan coba yang memiliki sepsis. Akibatnya, ada minat

Page 18: Dialytic Therapies

yang tumbuh dalam menggunakan teknik pencucian darah pada penderita

sepsis. Selain hemofiltrasi, teknik tersebut akan mencakup penghapusan

endotoksin extracorporeal dengan cara polimixyn B-bound polystyrene

fibers, polimixyn adsorbent acrylic particles, atau hemoperfusi.

VI. Komplikasi30

Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang

rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum

berupa hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis),

mual dan muntah (5-15%dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis),

nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang (2-5% dari dialisis), rasa

gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis).

Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi

adalah sindrom disequilibrium, aritmia, tamponade jantung, perdarahan

intrakaranial, hemolisis dan emboli paru. Komplikasi

akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi,

kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,

gatal, demam dan menggigil. Komplikasi lainnya dapat dilihat pada tabel

1.3 berikut :

Tabel 1.3 Komplikasi dari renal replacement theraphy

Komplikasi Hemodialisa Dialisis Peritoneal

Kardiovaskular a. Air embolismb. Anginac. Arrytmiad. Cardiac tamponadee. Hypotension

a. Arrytmiab. Hipotensionc. Pulmonary

edema

Infeksi a. Bacterimia a. Catheter exit

Page 19: Dialytic Therapies

b. Colonization of temporarycentral venous cateters

c. Endocarditisd. Meningitise. Osteomyelitisf. Sepsisg. Vascular access celulitis

or absess

sitreinfectionb. Pritonitis

Mekanik a. Obstruksi pada arterivena,terbentuk fistul trombosisatau infeksi

b. Stenosis atau trombosis padavena subklavia atau superior vena cava dan intern vena jugular

a. Catheter obstruction by clots, fibrin,omentum, or fibrousencasement

b. Dialysate leakage around the catheter 

c. Dissection of fluid into the abdominal wall

d. Hematoma in the pericatheter tract

e. Perforation of aviscus by the catheter

Metabolik a. Hipoglikemi pada orang diabetik yang memakai insulin

b. Hipokalemic. Hiponatremi dan

hipernatremi

a. Hipoalbuminb. Hiperglikemic. Hipertrigliseridd. Obesitas

Pulmonal a. Dispnea sampai reaksi anafilasis oleh membran hemodialisa

b. Hipoksia

a. Atelectasisb. Efusi pleurac. Pneumonia

KESIMPULAN

Terapi dialisis merupakan salah satu terapi penting untuk pasien dengan

gangguan faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan zat-zat metabolisme

protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Terdapat berbagai

jenis terapi dialisis, yaitu :

1. Dialisis peritoneal

2. Hemodialisa intermiten

Page 20: Dialytic Therapies

3. Hemoperfusi

4. Hemofiltrasi

Selain itu, terapi dialisis juga dapat digunakan untuk penatalaksanaan

penderita sepsis.

Daftar Pustaka

1. Sargen, J and F Gotch (1989). Principles and Biophysics of Dialysis. In : Maher J (ed.) Replacement of Renal Function by Dialysis. Dordrecht : Kluwer Academic Publisher, p. 87.

2. Henderson L (1989) Biophysis of Ultrafiltration and Hemofiltration. In : Maher j (ed.) Replacement of Renal Function by Dialysis. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers, p. 300.

Page 21: Dialytic Therapies

3. Nolph KD (1986) Peritoneal dialysis. In : Brenner BM and Rector FC (eds) Tehe Kidney, 3rd edn. Philadelphia : WB Saunders, pp. 1791-1845.

4. Henderson LW (1976) Hemodialysis : rationale and physical principles. In : Brenner BM and Rector FC (eds) The Kidney 1st edn. Philadelphia : WB Saunders, pp. 1643-1671.

5. Colton CK, Smith KA and Merril W (1971) Diffusion of Urea in Flowing Blood. Am inst Chem End J 17 : 800-808.

6. Korchik WP, Brown DC and De Master EG (1978) Hemodialysis Induced Hypotension, Int J Artif Intern Organs 1 : 151-156.

7. Aurigemma NM, Feldman NT, Gottlieb M, Ingram RH, Lazarus JM and Lowrie EG (1977) Arterial Oxygenation During Hemodialysis. N Engl J Med 279 : 871-875.

8. Goldblum SE and Reed WP (1980) Host Defenses and Immunologic Alterations Associated With Chronic Hemodialysis. Ann Intern Med 93 : 597-613.

9. Schulman G, Fogo A, Gung A, Badr K and Hakim R (1991) Complement activation retards resolution of Ischemic Renal Failure in The Rat. Kidney Int. i40 : 1069-1074.

10. Howdieshell TR, Blalock WE, Bowen PA, Hawkins ML and Hess C (1992) Management of Post-Traumatic Acute Renal Failure With Peritoneal Dialysis. Am Surg 6 : 378-382.

11. Canaud B, Garred LJ, Christol JP, Anbas S, Beraud JJ and Mion C (1988) Pump-Assisted Continuous Venovenous Hemofiltration For Treating Acute Uremia. Kidney Int 33 : 154-156.

12. Bellomo R, Parkin G, Love J and Boyce N (1992) Management of Acute Renal Failure in The Critically Ill with Continuous Veno-venosus Hemodiafiltration. Renal Fail 14 : 183-186.

13. Barton IK, Hilton PJ, Taub NA et al. (1993) Acute Renal Failure treated by Hemofiltration: Factors Affecting Outcome. Q J Med 86 : 81-90.

14. Bellomo R and Boyce N (1993) Acute Continuous Hemodiafiltration : A Prospective Study of 110 Patients and A Rivew Of The Literature. Am J Kidney Dis 21 : 508-518.

15. Bellomo R and Boyce n (1991) Does Continuous Hemodiafiltration Improve Survival In Acute Renal Failure? Semin Dial 6 : 16-19.

16. Paganini E (1993) Continuous Renal Replacement Is The Preffered Treatment For All Acute Renal Failure Patients Receiving Intensive Care. Semin Dial 6 : 176-179.

Page 22: Dialytic Therapies

17. Arieff Al (1994) Dialysis DisequilibriumSyndrome : Current Concepts on Pathogenesis and Prevention. Kidney Int 45 : 629-635.

18. Devenport A, Will E J and Davidson AM (19930 Improved Cardiovascular Stability During Continuous Modes of Renal Replacement Theraphy in Critically Ill Patients with Acute Hepatic and Renal Failure. Crit Care med 21 : 328-338.

19. Bellomo R, Martin H, Parkin G, love j, Kearly Y and Boyce N (1991) Continuous Arteriovenous Hemodiafiltration in The Critically Ill : Influence on Major Nutrient Balances. I9ntensive Care Med 17 : 399-402.

20. Gomez A, Wang R, Unruh H et al. (1990) Hemofiltration Reverses Left Ventricular Function During Sepsis in Dogs. Anesthesiology 73 : 671-685.

21. Grootendorst A F, Van Bommel E F H, Van Der Hoven B, Van Leengoed L A M G and Van Osta A L M (1992) High Volume Hemofiltration Improves Right Ventricular Function in Endotoxin-Induced Shock in The Pig. Intensive Care Med 18 : 235-240.

22. Ossenkoppele G J, Van Der Muelen J, Bronsveld W and Thijs L G (1985) Continuous Arteriovenous Hemofiltration as An Adjunctive Therapy For Septic Shock. Crit Care Med 13 : 102-104.

23. Garella S (1988) Extracorporeal Techniques in The Treatment of Exogenous Intoxications. Kidney int 33 : 735-754.

24. Bellomo R and Boyce N (1992) Current Approaches to The Treatment of Severe Lithium Intoxication. Lithium 3 : 245-248.

25. Silk D B A, Trewby P N, Chase R A et al. (1977) Treatment of Fulminant Hepatic Failure by Polyacrylonitrile-membrane Haemodialysis. Lancet ii : 1-3.

26. O’Grady J G, Gimson A E S, O Brien C J, Pucnell A, Hughes R D and Williams R (1988) Controlled Trials of Charcoal Hemoperfusion and Prognostic Factors in Fulminant Hepatic Failure. Gastroenterology 94: 186-1192.

27. Devenport A, Will E and Davison A M (1993) Effect of Renal Replacement Therapy on Patients with Combined Acute Renal Failure and Fulminant Hepatic Failure. Kidney Int. 43 : 245-251.

28. Devenport A, Will E and Davison A M (1993) Improved cardiovascular Stability During Continuous Modes of Renal Replacement Therapy in Critically Ill Patients with Acute Hepatic and Renal Failure. Crit Care Med 21 : 328-338.

29. Shinichi Kasai, Masyuki Sawa and Michio Mito. Is The Biological Artificial Liver Clinically Applicable? A Histiric Review of Bilogical Artificial Liver Support Systems. Artificial Organs. 18 : 348-354.

Page 23: Dialytic Therapies

30. Mandang, Jenny Sarah (2011) Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan. Majalah Kedokteran Terapi Intensif 1 : 19-23.