Upload
leliana-saleh
View
257
Download
24
Embed Size (px)
Citation preview
DISKUSI TOPIK
DIARE DAN KONSTIPASI
disusun oleh :
dr. Farid Kurniawan
Moderator :
dr. Marcellus Simadibrata, Sp.PD-KGEH
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
DIARE DAN KONSTIPASI
PENDAHULUAN
Diare dan konstipasi merupakan keluhan yang cukup sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari.
Keduanya merupakan penyebab morbiditas yang cukup signifikan, hilangnya produktivitas kerja, dan
peningkatan pembiayaan kesehatan.1 Di Amerika Serikat, sekitar 100 juta orang menderita diare
akut setiap tahunnya, separuhnya harus membatasi aktivitas, 10% harus berkonsultasi dengan
dokter, 250.000 memerlukan perawatan di rumah sakit, sekitar 3000 meninggal (terutama pada
orang lanjut usia).1, 2 Beban ekonomi setiap tahunnya diperkirakan mencapai lebih dari 20 milyar
dolar. Karena sanitasi yang buruk dan terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan, diiare akut
karena infeksi masih menjadi salah satu penyebab tersering kematian di negara-negara berkembang,
khususnya pada anak-anak, menyumbang 5 – 8 juta kematian setiap tahun.1 Di Indonesia data dari
Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menunjukkan 7,52 % pasien rawat inap dan 2,34 % dari
pasien rawat jalan disebabkan diare atau gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi tertentu .3
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 prevalensi nasional diare (berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 9,0 %.4
Angka statistik untuk populasi yang menderita diare kronik dan konstipasi tidak terlalu jelas,
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dalam definisi dan pelaporan. Berdasarkan survei populasi
di Amerika Serikat, prevalensi untuk diare kronik antara 2,0 – 7,0 % dan untuk konstipasi berkisar
antara 3,0 – 17,0 %. Walaupun diare dan konstipasi lebih banyak hanya menyebabkan gangguan
ringan, tetapi keduanya dapat berlangsung cukup parah atau merupakan gejala dari penyakit yang
mengancam nyawa.1
DIARE
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat) dengan berat tinja lebih dari 200 gram atau kandungan air tinja lebih dari 200 ml per hari.
Definisi lain dengan menggunakan kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per
hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1, 2
Berdasarkan lama berlangsungnya, diare dapat dibagi menjadi diare akut dan diare kronik. Disebut
diare akut apabila lama berlangsungnya kurang dari 2 minggu (15 hari). Sedangkan diare kronik
apabila berlangsung lebih dari 15 hari. Istilah diare persisten banyak dipakai di luar negeri,
menunjukkan lama diare yang berlangsung antara 15 – 30 hari (dalam hal ini patokan diare kronik
yang digunakan adalah 30 hari).2 Berdasarkan mekanisme patofisiologinya, macam-macam diare
dapat dibagi menjadi2, 5 :
1. Diare osmotik
a. Diare yang disebabkan karena sejumlah besar bahan makanan yang tidak dapat
diabsorbsi dalam lumen usus sehingga terjadi hiperosmolaritas intra lumen yang
menimbulkan perpindahan cairan dari plasma ke dalam lumen.
b. Terjadi pada malabsorbsi karbohidrat, penggunaan garam magnesium ataupun bahan
yang bersifat laksansia.
c. Dikatakan diare osmotik bila osmotic gap feses > 125 mosmol/kg (normal <50
mosmol/kg).
d. Diare berhenti bila pasien puasa.
2. Diare sekretorik
a. Diare yang terjadi bila ada gangguan transpor elektrolit baik absorbsi yang berkurang
maupun sekresi yang meningkat melalui dinding usus. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri.
b. Biasanya dengan volume banyak, cair, tidak ada pus/darah.
c. Diare sekretorik terjadi misalnya pada kasus kolera (toksin), pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek atau penggunaan laksansia non-osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin, vasoactive intestional polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
d. Diare tetap berlangsung walaupun pasien dipuasakan.
3. Diare eksudatif
a. Diare yang terjadi akibat proses inflamasi/peradangan yang menyebabkan kerusakan
mukosa baik usus halus maupun usus besar.
b. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun bersifat non infeksi
seperti gluten sensitive enteropathy, penyakit usus inflamasi (inflammatory bowel
disease) atau akibat radiasi.
c. Oleh karena terjadi kerusakan dinding usus, feses dapat mengandung pus, darah atau
mukus.
d. Pada diare eksudatif terjadi juga peningkatan beban osmotik, hipersekresi cairan akibat
peningkatan prostaglandin dan terjadi hiperperistaltik.
4. Diare hiperperistaltik/hipermotilitas
a. Diare tipe ini terjadi akibat gangguan motilitas yang menyebabkan waktu transit usus
menjadi lebih cepat.
b. Pada usus halus menyebabkan waktu paparan untuk absorbsi berkurang.
c. Tipe ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, penyakit usus iritabel (irritable bowel
syndrome), diabetes melitus, dan pasca gastrektomi (dumping syndrome).
Diare dapat terjadi melalui lebih dari satu mekanisme patofisiologi. Misalnya, pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja yaitu peningkatan sekresi dan penurunan absorbsi
usus.
DIARE AKUT
Definisi. Seperti telah disebutkan di atas, diare akut diartikan sebagai diare yang berlangsung kurang
dari 2 minggu (15 hari). Menurut World Gastroenterology Organisation practice guideline 2008, diare
akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal,
berlangsung kurang dari 14 hari.6
Etiopatogenesis. Lebih dari 90% kasus diare akut disebabkan oleh infeksi, dimana kasus seperti ini
gejala diare dapat disertai gejala muntah, demam, dan nyeri perut. Infeksi pada diare akut dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit (gambar 1). Sisa 10% kasus diare akut disebabkan
oleh efek obat-obatan, keracunan makanan, iskemia, dan lain-lain (tabel 1).1, 2
Gambar 1. Beberapa agen infeksi penyebab diare akut6
Tabel 1. Etiologi Diare Akut2
Infeksi1. Enteral
Bakteri : Shigella sp, E. Coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, V. parahaemoliticus, Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus, dll.
Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, cytomegalovirus (CMV), echovirus, HIV.
Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporodium parvum, Balantidium coli.
Worm/cacing : A. lumbrocoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, S. Stercoralis, cestodiasis dll. Fungus/jamur : kandida/moniliasis
2. Parenteral : Otitis media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diarrhea, E. Coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica dll.
Makanan1. Intoksikasi makanan : makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung
bakteri/toksin : Clostridium perfringens, B. cereus, S. aureus, Streptococcus anhaemolyticus, dll.2. Alergi : susu sapi, makanan tertentu3. Malabsorbsi/maldigesti :
Karbohidrat : monosakarida (glukosa, laktosa, galaktosa) Lemak : rantai panjang, trigliserida Protein : asam amino tertentu, celiac sprue, gluten malabsorption, protein intolerance, cows milk Vitamin dan mineral
Imunodefisiensi : hipogamaglobulinemia, panhipogamaglobulinemia (Bruton), penyakit granulomatosa kronik, defisiensi IgA, imunodefisiensi IgA heavycombination.
Terapi obat : antibiotik, kemoterapi, antasid, dll
Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi
Lain-lain : Sindroma Zollinger-Ellison, neuropati anatomik (neuropati diabetik)
Sebagian besar agen infeksi penyebab diare masuk ke dalam tubuh akibat transmisi fekal-oral
melalui kontak langsung atau yang lebih sering, melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi kuman patogen dari kotoran manusia atau binatang (tabel 2).1 Terjadinya diare akut
pada seseorang terjadi karena peranan dua faktor, yaitu faktor pejamu (host) dan faktor kausal
(agent). Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme
yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya atau lingkungan internal saluran
cerna, antara lain : keasaman lambung, enzim-enzim pencernaan, sekresi mukus, motilitas usus,
imunitas, dan lingkungan mikroflora usus. Faktor kausal yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel
mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus, serta daya
lekat kuman.1, 2
Tabel 2. Epidemiologi Diare Infeksi2
Perantara (vehicle) Patogen klasikAir (termasuk sampah makanan pada air tersebut)
Makanan PoultrySapiBabiMakanan laut dan shell fish (termasuk sushi dan ikan mentah)KejuTelurMakanan dan krim mengandung mayonnaisePie
Binatang ke manusia (binatang piaraan dan livestock)
Manusia ke manusia (termasuk kontak seksual)Pusat perawatan harian
Rumah sakit, antibiotik atau kemoterapiKolam renangBepergian/melancong ke luar negeri
Vibrio cholerae, Norwalk agent, Giardia lamblia, dan Cryptosporidium species
Salmonella, Campylobacter, dan Shigella spEnterohemorrhagic E. coli, Taenia saginataCacing pitaVibrio cholerae, Vibrio parahaemolitycus, dan Vibrio vulnicus, Salmonella sp, cacing pitaListeria spSalmonella spStaphylococcus dan Clostridium, SalmonellaSalmonella, Campylobacter, Cryptosporidium, dan Giardia sp
Kebanyakan bakteri enterik, virus, dan parasit
Shigella, Campylobacter, Cryptosporidium, dan Giardia sp, virus, Clostridium difficileClostridium difficileGiardia dan Cryptosporidium spE. coli berbagai tipe, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Giardia dan Cryptosporidium sp,Entamoeba histolytica
Patogenesis diare karena infeksi bakteri/parasit terdiri atas2 :
Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Bakteri yang tidak merusak mukosa misal V. cholerae Eltor, Enterotoxigenic E. coli (ETEC), dan
C. perfringens. Cholerae Eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus 15 –
30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan berlebihan
nikotinamid adenin dinukleoida (NAD) pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar
adenosin 3’, 5’-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion
klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natrium dan kalium.
Diare karena bakteri/parasit invasif (enteroinvasif)
Bakteri yang merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E. coli (EIEC), Salmonella, Shigella,
Yersinia, C. perfringens tipe C. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis
dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan
darah. Walau demikian infeksi kuman-kuman ini dapat juga bermanifestasi sebagai diare
koleriformis. Penyebab parasit yang sering yaitu E. histolytica dan G. liamblia.
Terdapat beberapa kondisi dan kelompok risiko tinggi yang mungkin mengalami diare akut akibat
infeksi, yaitu1, 2 :
1. Pelancong/orang yang bepergian ke negara-negara berkembang seperti Asia, Afrika, atau
Amerika Latin, sekitar 40% akan mengalami yg disebut traveller’s diarrhea. Termasuk juga
orang-orang yang sering berkemah atau melakukan kegiatan di alam bebas.
2. Makanan atau keadaan makanan yang tidak biasa : makanan laut dan shell fish, terutama
yang mentah. Restoran dan rumah makan cepat saji (fast food), banquet, dan piknik.
3. Individu dengan imunodefisiensi : primary immunodeficiency, AIDS.
4. Individu yang dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang.
Diagnosis. Penegakan diagnosis diare akut berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinis tergantung
penyebab penyakit dasarnya.2 Pada anamnesis dapat ditanyakan kepada pasien : onset, durasi,
frekuensi, progresivitas, dan kualitas diare; muntah; lokasi dan karakteristik nyeri perut; riwayat
penyakit dahulu termasuk juga penyakit komorbid; dan petunjuk epidemiologi (daerah endemik,
Kejadian Luar Biasa/KLB).5 Keputusan untuk melakukan evaluasi terhadap kejadian diare akut
seorang pasien tergantung pada tingkat keparahan, lamanya penyakit, dan pertimbangan berbagai
faktor pejamu. Sebagian besar episode diare akut gejalanya ringan dan self limited sehingga tidak
memerlukan tindakan diagnostik atau intervensi farmakologis yang akan meningkatkan biaya
kesehatan dan mungkin dapat menimbulkan morbiditas yang lain.1 Indikasi-indikasi yang
memerlukan dilakukannya evaluasi lebih lanjut terhadap suatu episode diare akut antara lain1 :
1. Diare dengan jumlah tinja yang sangat banyak disertai dehidrasi
2. Diare dengan tinja berdarah yang cukup banyak
3. Demam ≥ 38,5o C
4. Lamanya > 48 jam tanpa adanya perbaikan
5. Kejadian luar biasa (new community outbreaks)
6. Diare disertai nyeri perut berat pada pasien > 50 tahun
7. Orang lanjut usia atau pasien immunocompromised
Diare karena penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, sering berhubungan dengan
malabsorpsi, dan dehidrasi sering didapatkan. Diare karena kelainan kolon seringkali berhubungan
dengan tinja berjumlah kecil tetapi sering, bercampur darah, dan ada sensasi ingin ke belakang.2
Gejala-gejala klinis yang dirasakan pasien dapat membantu dalam menentukan kemungkinan agen
penyebab infeksi. Diare berair dalam jumlah yang sangat banyak akibat dari hipersekresi usus halus
biasanya disebabkan oleh ingesti dari toksin bakteri preformed, bakteri yang menghasilkan
enterotoksin, dan patogen enteroadheren. Diare yang disebabkan oleh toksin bakteri preformed
atau akibat bakteri yg menghasilkan enterotoksin biasanya disertai gejala muntah-muntah hebat
tetapi tanpa atau hanya sedikit demam. Sedangkan patogen enteroadheren akan menyebabkan
diare dengan gejala muntah tidak terlalu berat, nyeri perut dan kembung lebih dominan, serta
demam lebih tinggi. Mikroorganisme invasif dan yang menghasilkan sitotoksin menyebabkan
demam tinggi dan nyeri perut. Bakteri invasif dan Entamoeba histolytica sering menyebabkan diare
berdarah (disentri). Yersinia menginvasi mukosa ileum terminalis dan kolon bagian proksimal, dapat
menyebabkan nyeri perut yang berat disertai nyeri tekan, menyerupai gejala apendisitis akut. 1
Giardiasis mungkin berhubungan dengan steatorea ringan, perut bergas dan kembung (gambar 2).2
Diare akut karena infeksi dapat berkaitan dengan beberapa manifestasi sistemik. Infeksi
Campylobacter jejuni sering bermanifestasi sebagai diare, demam, dan kadangkala kelumpuhan
anggota badan (sindrom Guillain Barre). Sindrom hemolitik uremik dan purpura trombositopenik
trombotik (TTP) dapat timbul pada infeksi dengan Shigella dan E. coli enterohemoragik (serotipe
O157 : H7), terutama pada anak kecil dan orang tua. Infeksi Yersinia dan beberapa bakteri enterik
lain dapat disertai sindrom Reiter (artritis, uretritis, dan konjungtivitis), tiroiditis, perikarditis, atau
glomerulonefritis. Demam enterik, disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi,
merupakan penyakit sistemik yang salah satu gejalanya dapat berupa diare.2
Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah,
terutama pada anak-anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang
meningkat, berkurangnya jumlah air kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan
perubahan ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan
status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala. Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat
dibagi atas tiga tingkatan : dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat (tabel 3).2, 5
Gambar 2. Mode transmisi dan gejala-gejala klinis beberapa patogen penyebab diare.7
Pemeriksaan-pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien-pasien diare akut, antara lain5 :
1. Keadaan umum, kesadaran, status gizi, tanda vital (tekanan darah, nadi, laju respirasi, suhu).
2. Status hidrasi.
3. Kualitas nyeri perut (untuk menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang bermanifestasi diare
akut).
4. Colok dubur dianjurkan dilakukan pada semua kasus diare dengan feses berdarah, terutama
pada usia > 50 tahun.
5. Identifikasi penyakit komorbid.
Tabel 3. Derajat dehidrasi5
Gejala Derajat dehidrasiMinimal (< 3% dari berat badan)
Ringan sampai sedang (3-9% dari berat badan)
Berat (> 9% dari berat badan)
Status mental Baik, sadar penuh Normal, lemas, atau gelisah, iritabel
Apatis, letargi, tidak sadar
Rasa haus Minum normal, mungkin menolak minum
Sangat haus, sangat ingin minum
Tidak dapat minum
Denyut jantung Normal Normal sampai meningkat Takikardi, pada kasus berat bradikardi
Kualitas denyut nadi
Normal Normal sampai menurun Lemah atau tidak teraba
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekungAir mata Ada Menurun Tidak adaMulut dan lidah Basah Kering Pecah-pecahTurgor kulit Baik < 2 detik > 2 detik Isian kapiler Normal Memanjang Memanjang, minimalEkstremitas Hangat Dingin Dingin Urine output Normal sampai menurun Menurun Minimal
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare berlangsung lebih dari
beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain
pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar
elektrolit serum, ureum dan kreatinin, gula darah, serta pemeriksaan tinja. Bila perlu dilakukan
pemeriksaan analisa gas darah.2, 5
Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal
atau limfositosis. Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang invasif ke mukosa,
memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neutropenia dapat timbul pada
salmonellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan
tubuh.2 Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukkan
adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa. Apabila diperlukan, dapat dilakukan
immunoassay terhadap toksin bakteri (C. difficile), antigen virus (rotavirus), dan antigen protozoa
(Giardia, E. histolytica). Pada kasus-kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan kultur bakteri, misal
pada infeksi oleh E. coli enterohemoragik, Vibrio spesies, atau Yersinia.1, 2
Pemeriksaan struktural mukosa usus dengan sigmoidoskopi, kolonoskopi, atau CT-scan abdomen
mungkin diperlukan pada pasien-pasien yang toksik atau dengan diare akut persisten yang tidak khas
untuk menyingkirkan adanya suatu inflammatory bowel disease (IBD). Dapat juga sebagai
pemeriksaan awal pada pasien-pasien diare akut yang diduga non infeksi seperti kolitis iskemik,
divertikulitis, atau obstruksi usus parsial.1
Tatalaksana. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang adalah tatalakasana yang paling penting
pada pasien diare akut. Bila pasien keadaan umum baik dan tidak dehidrasi, asupan cairan yang
adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan (teh), sari buah, atau sup. Bila pasien kehilangan
cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau
rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula (starch) harus diberikan. Terapi
rehidrasi oral murah, efektif, dan lebih praktis daripada cairan intravena. Pada pasien dengan
dehidrasi ringan/sedang dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali apabila
terdapat kontraindikasi. Larutan yang dapat dipakai antara lain larutan sesuai formulasi WHO, oralit,
pedialit, atau renalit. Apabila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus
pembuluh darah, dapat digunakan cairan seperti ringer laktat atau ringer asetat. Prinsip jumlah
cairan yang diberikan dapat ditentukan dengan beberapa rumus, antara lain rumus skor Daldiyono,
rumus berdasarkan berat jenis plasma, atau rumus berdasarkan central venous pressure (CVP).2, 5
Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat. Pasien dianjurkan minum
minuman sari buah, teh, minuman tidak bergas, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi,
keripik, dan sup. Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien. Minuman
berkafein dan alkohol harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.2
Beberapa obat anti diare dapat diberikan untuk mengurangi gejala. Obat anti motilitas dan anti
sekretorik seperti loperamid dapat diberikan, tetapi hanya pada pasien diare yang tidak demam dan
tinja tidak disertai darah. Pemberian bismuth subsalisilat dapat mengurangi gejala diare dan muntah
tetapi harus dihindari penggunaannya pada pasien immunocompromised karena dapat
menyebabkan ensefalopati bismuth. Obat-obatan yang mengeraskan tinja seperti attapulgite atau
smectite juga dapat diberikan.1, 2
Karena sebagian besar kasus diare akut merupakan kasus yang ringan dan self limiting disease akibat
infeksi virus atau bakteri non invasif maka terapi antimikroba empirik tidak dianjurkan diberikan
pada semua pasien. Pengobatan empirik diberikan pada pasien-pasien yang diduga mengalami
infeksi bakteri invasif, traveler’s diarrhea, atau pada pasien immunocompromised.2 Dalam beberapa
tahun terakhir, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan
dua antimikroba baru untuk pengobatan diare akut, yaitu nitazoxanide dan rifaximin. Nitazoxanide
mempunyai aktivitas antimikroba terhadap protozoa (Cryptosporidium), bakteri anaerob, dan
beberapa virus. Rifaximin merupakan agen antimikroba yang tidak diserap oleh usus dan banyak
digunakan pada traveler’s diarrhea terutama yang disebabkan oleh E. coli non invasif.6 Beberapa
contoh terapi antimikroba empirik dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Terapi empirik antimikroba pada patogen-patogen tertentu penyebab diare akut.7
Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnosis dan tatalaksana pada diare akut.1
DIARE KRONIK
Definisi. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.8 Terdapat literatur yang
menentukan batasan waktu lebih dari 4 minggu.1
Etiopatogenesis. Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan kelainan
pada usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronik antara lain kelainan endokrin, kelainan
hati, kelainan pankreas, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Etiologi terbanyak dari diare kronik di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah infeksi. Hal ini berbeda dengan etiologi
terbanyak pada negara maju yaitu penyakit usus inflamatorik. Walaupun telah diusahakan secara
maksimal, diperkirakan sekitar 10 – 15% penderita diare kronik tidak dapat ditetapkan etiologinya,
mungkin disebabkan kelainan sekresi atau mekanisme neuro endokrin yang belum diketahui.8
Berdasarkan etiologi infeksi atau tidak, diare kronik dapat dibagi atas infektif dan non infektif.
Berdasarkan ada/tidaknya kelainan organik pada pemeriksaan, diare kronik dibagi atas organik dan
fungsional. Berdasarkan karakteristik tinja, diare kronik dapat dibagi atas steatore, diare berdarah,
dan diare dengan tinja tidak berdarah tidak steatore.8 Pembagian oleh American Gastroenterological
Association (AGA) berdasarkan karakteristik tinja antara lain watery diarrhea yang meliputi diare
osmotik dan diare sekretorik; inflamatorik; dan lemak.
Diare tipe sekretorik
Diare sekretorik disebabkan adanya transpor cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus
menyeberangi mukosa sel-sel enterokolon. Dicirikan dengan diare cair dengan volume yang cukup
besar, biasanya tanpa nyeri, dan diare tetap berlanjut walaupun berpuasa. Karena tidak terdapat
solute yang malabsorpsi, maka osmolalitas feses ditentukan oleh elektrolit endogen tanpa adanya
fecal osmotic gap.1
Toksin dan efek samping dari penggunaan teratur beberapa obat tertentu adalah penyebab diare
kronik sekretorik yang cukup sering. Kebiasaan menggunakan pencahar stimulan (seperti : senna,
cascara, bisacodyl, castor oil) juga dapat menjadi menyebab. Konsumsi etanol kronik dapat
menyebabkan diare sekretorik karena adanya kerusakan enterosit. Masuknya toksin tertentu seperti
arsenik akan lebih menyebabkan diare yang kronik daripada akut. Beberapa infeksi bakteri dapat
menetap dan menyebabkan diare kronik sekretorik.1
Reseksi usus, kerusakan mukosa usus, atau fistula enterokolon dapat menyebabkan diare kronik
sekretorik karena luas permukaan usus untuk menyerap sekresi cairan dan elektrolit yang tidak
adekuat. Penyakit Crohn dan reseksi ileum terminalis < 100 cm akan menyebabkan malabsorpsi dari
asam empedu, yang akan menstimulasi sekresi air dan elektrolit dari kolon, disebut cholerheic
diarrhea.1, 9, 10 Obstruksi usus parsial, striktur ostium, dan impaksi feses secara paradoks malah dapat
menyebabkan peningkatan keluarnya feses karena adanya mekanisme hipersekresi.1
Walaupun jarang dijumpai tetapi contoh klasik dari diare sekretorik adalah diare yang diperantarai
hormon. Metastatic gastrointestinal carcinoid tumors atau primary bronchial carcinoids dapat
menyebabkan diare cair tersendiri atau sebagai bagian dari sindrom karsinoid yang meliputi flushing
episodik, wheezing, dispnea, dan right-sided valvular heart disease. Diare terjadi karena massa
tumor melepaskan potent intestinal secretagogue ke dalam sirkulasi, seperti serotonin, histamin,
prostaglandin, dan beberapa kinin. Gastrinoma, salah satu tumor neuroendokrin paling sering, akan
menyebabkan sindrom Zollinger Ellison. Sindrom dengan manifestasi paling sering adalah ulkus
peptikum refrakter, tetapi diare dapat ditemukan pada sepertiga kasus, dan pada sekitar 10%
pasien, diare adalah satu-satunya manifestasi klinis yang terlihat. Diare disebabkan karena
dilepaskannya intestinal secretagogue oleh massa tumor dan maldigesti lemak akibat inaktivasi
enzim pankreas oleh pH intraduodenal yang rendah. VIPoma, suatu tumor non sel β pankreas,
mensekresi vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan hormon peptida lain seperti pancreatic
polypeptide, secretin, gastrin, gastrin-inhibitory polypeptide, neurotensin, kalsitonin, dan
prostaglandin menyebabkan timbulnya diare hipokalemi aklorhidria yang disebut pancreatic cholera.
Pasien dengan tumor ini, 70% mengalami diare dengan volume > 3 L/hari dan semua pasien
mengalami diare dengan volume > 700 mL/hari. Dapat terjadi dehidrasi yang mengancam nyawa,
hipokalemi yg dapat disertai gangguan neuromuskular, dan asidosis. Karsinoma tiroid tipe meduler
dapat menyebabkan diare cair yang diperantarai oleh kalsitonin, peptida sekretori yang lain, atau
prostaglandin. Tumor ini timbul secara sporadis atau pada 25 – 50% kasus merupakan bagian dari
multiple endocrine neoplasia (MEN) tipe II bersama dengan feokromositoma dan
hiperparatiroidisme. Tumor lain yang dapat bermanifestasi diare kronik adalah colorectal villous
adenoma, dan systemic mastocytosis.1, 10
Diare tipe osmotik
Diare osmotik terjadi apabila terdapat solut osmotik aktif dan tidak mudah diserap yang menarik
cukup banyak cairan ke dalam lumen usus sehingga melewati kapasitas resorpsi usus besar. Diare
osmotik berhenti dengan puasa atau penghentian intake oral dari agen/zat yang menyebabkan.
Konsumsi antasid mengandung magnesium, suplemen multimineral/multivitamin, atau pencahar
dapat menyebabkan diare osmotik dengan osmotic gap < 290 mosm/kg. Pencahar anionik yang
mengandung natrium sulfat dan natrium fosfat dapat menyebabkan diare osmotik tanpa adanya
osmotic gap.1, 10
Malabsorbsi karbohidrat akibat gangguan pada disakaridase dan enzim-enzim yang lain baik
kongenital atau didapat, dapat menyebabkan diare osmotik dengan pH rendah. Salah satu penyebab
diare kronik pada orang dewasa adalah defisiensi laktase yang ditemukan pada tiga perempat
populasi non Kaukasia di seluruh dunia dan 5 – 30% populasi Amerika Serikat. Salah satu karbohidrat
yang tidak diserap, sorbitol, yang banyak digunakan sebagai pemanis pada beberapa makanan,
permen, permen karet, atau pelarut obat juga dapat menyebabkan diare osmotik. Diare juga dapat
terjadi pada orang dewasa yang meminum jus buah atau minuman ringan yang menggunakan
pemanis sirup jagung mengandung fruktosa. Laktulosa, yang digunakan untuk mengasamkan feses
pada pasien dengan gagal hati juga menyebabkan diare osmotik.1, 10
Diare tipe steatore
Malabsorbsi lemak dapat menyebabkan diare dengan massa feses yang terlihat berminyak, berbau
tidak sedap, dan sulit untuk dibersihkan (difficult to flush), sering berhubungan dengan penurunan
berat badan dan defisiensi nutrien akibat dari malabsorbsi asam amino dan vitamin yang
mengikutinya. Secara kuantitatif, dikatakan steatorea jika lemak feses > 7 g/hari; dapat 15 – 25 g per
hari pada penyakit usus halus, dan sering > 40 g pada insufisiensi eksokrin pankreas. Penyebab
steatorea dapat diklasifikasikan menjadi maldigesti intraluminal, malabsorbsi mukosa, dan obstruksi
limfatik postmukosa.1, 10
Maldigesti intraluminal paling sering disebabkan oleh insufisiensi fungsi eksokrin pankreas, dimana
terjadi apabila > 90% fungsinya hilang. Pankreatitis kronik, biasanya akibat dari penyalahgunaan
etanol, merupakan penyebab tersering insufisiensi pankreas. Penyebab lainnya adalah cystic fibrosis.
Obstruksi duktus biliaris akibat kanker pankreas dapat menyebabkan steatorea akibat insufisiensi
enzim pankreas dan garam empedu. Overgrowth dari bakteri di usus halus menyebabkan steatorea
dengan mendekonjugasi garam empedu dan merubah formasi misel yang berperan dalam proses
digesti lemak. Terdapat insidens 25 – 100% steatorea ringan pada pasien dengan sirosis. 1, 10
Malabsorbsi mukosa terjadi akibat berbagai enteropati tetapi yang paling sering dan mewakili adalah
celiac sprue. Gluten-sensitive enteropathy ini dicirikan dengan atrofi vili dan hiperplasia kripta pada
usus halus bagian proksimal yang menyebabkan diare berlemak dan sering berkaitan dengan
defisiensi nutrien multipel. Dapat terjadi pada semua umur. Tropical sprue dapat menyebabkan
sindrom klinis dan gambaran histologis yang hampir sama tetapi terjadi pada pasien yang tinggal di
atau bepergian ke daerah beriklim tropis; onset tiba-tiba dan adanya respon terhadap antibiotik
menunjukkan kemungkinan infeksi sebagai etiologinya. Penyebab infeksi yang lain adalah
Treponema whippleii atau Mycobacterium avium-intracellulare complex pada pasien AIDS. Protozoa
seperti Giardia, Isospora, atau Cryptosporidium juga dapat menyebabkan diare. Beberapa obat dapat
menjadi penyebab steatorea seperti kolkisin, neomisin, paraaminosalicylic acid (PAS), NSAID
tertentu, dan kolestiramin. 1, 10
Obstruksi limfatik postmukosa dapat disebabkan oleh congenital intestinal lymphangiectasia atau
sekunder terhadap trauma, tumor atau infeksi. Akibatnya adalah malabsorbsi lemak disertai
hilangnya protein dan limfosit usus yang langsung masuk ke dalam sirkulasi portal. 1, 10
Terdapat beberapa penyebab steatorea yang melibatkan lebih dari satu mekanisme terjadinya diare.
Sindrom stasis (bacterial overgrowth) pada pasien penyakit Crohn, small bowel diverticulosis, dan
gangguan motilitas pada orang tua, dapat menyebabkan steatorea sekaligus diare tipe inflamatorik
dan sekresi. Sindrom usus pendek (short bowel syndrome) terjadi pada pasien yang mengalami
reseksi usus ekstensif dimana sisa panjang jejunum-ileum < 200 cm, merupakan penyebab lain
steatorea multifaktor. Penyakit-penyakit seperti tirotoksikosis, insufisiensi adrenal, sindrom
poliglandular autoimun, malnutrisi protein-kalori, dan puasa berkepanjangan dapat menyebabkan
diare melalui berbagai mekanisme. 1, 10
Diare tipe inflamatorik
Diare tipe inflamatorik biasanya diikuti gejala nyeri perut, demam, perdarahan, atau manifestasi
inflamasi yang lain. Mekanisme terjadinya diare mungkin tidak hanya karena eksudasi tetapi
tergantung lesinya, dapat mencakup malabsorbsi lemak, gangguan absorbsi cairan/elektrolit, dan
hipersekresi atau hipermotilitas akibat dari sitokin-sitokin atau mediator inflamasi yang lain.
Gambaran yang ditemukan pada analisa feses adalah ditemukannya leukosit atau protein yang
berasal dari leukosit seperti calprotectin. Pada inflamasi yang berat, kehilangan protein akibat proses
eksudasi dapat menyebabkan anasarka. Individu usia pertengahan atau lebih tua dengan diare
kronik tipe inflamatorik, terutama apabila mengandung darah, harus dievaluasi untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya tumor usus atau kolorektal. 1
Inflammatory bowel disease (IBD) yang meliputi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, adalah
penyebab organik paling sering dari diare kronik pada orang dewasa. Spektrum klinis penyakit ini
dari yang ringan, fulminan, sampai mengancam nyawa. Diare pada kedua penyakit tersebut dicirikan
dengan volume tinja biasanya < 1 L/hari, kadang-kadang membaik dengan puasa. Terjadi penurunan
absorbsi natrium, klorida, dan air atau peningkatan sekresi di usus halus dan kolon pasien IBD. Pada
pasien dengan kolitis ulseratif berat dapat terjadi sekresi air dan elektrolit pada daerah usus halus
yang tidak terkena, menunjukkan adanya sekeratagog yang beredar di sirkulasi. Kondisi ini makin
diperparah oleh adanya kerusakan epitel permukaan yang menyerap cairan dan bahkan diikuti
bocornya plasma atau darah ke dalam lumen usus. 1, 10
Infiltrasi eosinofil pada lapisan mukosa, muskularis, atau serosa dari traktus gastrointestinal dapat
menyebabkan diare, nyeri perut, muntah-muntah atau ascites. Pasien yang terkena biasanya
mempunyai riwayat atopi dan dapat ditemukan eosinofilia pada 50 – 75% pasien. Steatorea dan
protein-losing enteropathy ditemukan pada 10 – 30% pasien. Penyebab lain dari diare kronik tipe
inflamatorik meliputi microscopic colitis, radiation enterocolitis, chronic graft vs host disease,
Behcet’s syndrome, atau akibat alergi protein susu dan kedelai. 1, 10
Diare tipe dismotilitas.
Waktu transit yang cepat dapat terjadi pada banyak diare sebagai faktor sekunder. Dismotilitas
memperlihatkan diare sekretorik tetapi steatorea ringan sampai 14 g/hari dapat dihasilkan dari
maldigesti akibat waktu transit yang cepat. Hipertiroidisme, sindroma karsinoid, dan obat-obat
tertentu (prostaglandin, agen prokinetik) dapat menimbulkan hipermotilitas yang berakibat diare.
Diare diabetik, sering disertai neuropati otonom perifer dan generalisata, dapat terjadi karena
dismotilitas usus. Penyebab lain adalah irritable bowel syndrome (IBS) yang cukup banyak ditemukan
di populasi, dicirikan dengan terganggunya respon motorik dan sensorik dari usus dan kolon
terhadap berbagai rangsangan. Gejala diare biasanya berhenti pada malam hari (saat tidur), periodik
bergantian dengan konstipasi, disertai nyeri perut yang akan berkurang dengan defekasi, dan sangat
jarang menyebabkan penurunan berat badan. 1
Diare karena sebab facticial
Ditemukan pada sekitar 15% pasien dengan diare yang tidak dapat dijelaskan yang dirujuk ke pusat
pelayanan kesehatan sekunder atau tersier. Pada 25% pasien yang mengalami diare sekretorik
ternyata ditemukan mengkonsumsi secara sembunyi-sembunyi pencahar (laksatif) atau diuretik.
Terdapat lima kategori pasien yang mengalami diare facticious berkaitan dengan penyalahgunnaan
pencahar :
Pasien dengan kelainan makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia
Pasien histerikal
Pasien yang didorong oleh masalah emosional
Pasien dengan sindrom Munchausen (menipu atau melukai diri sendiri untuk mendapatkan
keuntungan sekunder)
Sindrom Polle, anak-anak yang sengaja diberikan pencahar oleh orang tuanya untuk
memperoleh keuntungan sekunder
Lebih dari 90% pasien dengan diare tipe ini adalah wanita dan cukup banyak juga pasien yang
merupakan pekerja di layanan kesehatan. Dapat terjadi hipotensi, hipokalemia, dan asidosis pada
pasien-pasien ini. 1, 9, 10
Secretory causesExogenous stimulant laxatives Chronic ethanol ingestion Other drugs and toxins Endogenous laxatives (dihydroxy bile acids) Idiopathic secretory diarrhea Certain bacterial infections Bowel resection, disease, or fistula ( absorption) Partial bowel obstruction or fecal impaction Hormone-producing tumors (carcinoid, VIPoma, medullary cancer of thyroid, mastocytosis, gastrinoma, colorectal villous adenoma) Addison's disease Congenital electrolyte absorption defectsOsmotic causes Osmotic laxatives (Mg2+, PO4
–3, SO4–2)
Lactase and other disaccharide deficiencies Nonabsorbable carbohydrates (sorbitol, lactulose, polyethylene glycol)Steatorrheal causes Intraluminal maldigestion (pancreatic exocrine insufficiency, bacterial overgrowth, bariatric surgery, liver disease) Mucosal malabsorption (celiac sprue, Whipple's disease, infections, abetalipoproteinemia, ischemia) Post-mucosal obstruction (1° or 2° lymphatic obstruction)
Inflammatory causes Idiopathic inflammatory bowel disease (Crohn's, chronic ulcerative colitis) Lymphocytic and collagenous colitis Immune-related mucosal disease (1° or 2° immunodeficiencies, food allergy, eosinophilic gastroenteritis, graft-vs-host disease) Infections (invasive bacteria, viruses, and parasites, Brainerd diarrhea) Radiation injury Gastrointestinal malignanciesDysmotile causes Irritable bowel syndrome (including post-infectious IBS) Visceral neuromyopathies Hyperthyroidism Drugs (prokinetic agents) PostvagotomyFactitial causes Munchausen Eating disordersIatrogenic causes Cholecystectomy Ileal resection Bariatric surgery Vagotomy, fundoplication
Tabel 4. Berbagai penyebab diare kronik.1
Diagnosis. Pendekatan diagnosis pada diare kronik tidak terlalu mudah, mengingat etiologi yang
sangat beragam dan banyak. Tetapi para ahli tetap menyatakan bahwa 75 – 80% diagnosis diare
kronik dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan teliti,
digabungkan dengan beberapa pemeriksaan laboratorium skrining dan terfokus. Sisa sekitar 25%
pasien dengan diare yang berat atau sulit ditegakkan etiologinya mungkin akan memerlukan
perawatan di rumah sakit dan pemeriksaan penunjang yang banyak.10
Seorang dokter harus berhati-hati dalam memilih macam pemeriksaan yang akan dilakukan untuk
menegakkan etiologi diare kronik. Diusahakan pemeriksaan harus cost effective. Dokter juga harus
berhati-hati dalam membuat kesimpulan etiologi diare kronik karena dalam satu kasus diare kronik
dapat ditemukan dua atau lebih etiolpgi dan/atau patofisiologi penyakit. Misalnya diare kronik yang
disebabkan kanker kolon disertai infeksi amoeba dan malabsorbsi lemak, karbohidrat.8
Pemeriksaan dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaan awal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah sederhana, tinja serta
urin. Tujuan pemeriksaan tahap awal yaitu membedakan penderita menjadi diare organik atau
fungsional. Apabila dengan pemeriksaan awal ini belum membantu menunjukkan diagnosis pasti,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan dapat dilakukan selama berobat jalan atau
rawat inap di rumah sakit, tergantung keadaan umum penderita.8
Pemeriksaan Awal (Dasar)
1. Anamnesis (tabel 4), meliputi :
Waktu dan frekuensi diare : diare pada malam hari atau sepanjang hari, tidak intermiten, diare
yang timbul mendadak, atau lama diare kronik kurang dari 3 bulan, mengarahkan adanya
penyakit organik. Perasaan ingin buang air besar yang tidak bisa ditahan mengarah ke
penyakit inflamatorik. Diare yang terjadi pada pagi hari lebih banyak berhubungan dengan
stres, hal ini biasanya mengarah ke irritable bowel syndrome (IBS).8
Bentuk tinja : bila terdapat minyak dalam tinja atau tinja pucat (steatorea) menunjukkan
adanya insufisiensi pankreas atau kelainan proksimal ileosekal. Tinja yang mengambang pada
air toilet dan berbau asam disertai dengan flatus berlebihan menunjukkan adanya malabsorpsi
karbohidrat. Pada kolitis infektif dan kolitis ulseratif diare disertai dengan perdarahan. Pasien
dengan diare air > 1 L/hari disebabkan oleh penyakit usus halus atau kombinasi penyakit kolon
dan usus halus. 8
Keluhan lain yang menyertai diare : nyeri abdomen, demam, mual dan muntah, penurunan
berat badan, mengedan pada saat defekasi. 8
Obat-obatan yang dikonsumsi : pencahar (laksatif), antibiotik, anti kanker, anti depresan, anti
hipertensi (ACE inhibitor, beta blocker), anti konvulsan (asam valproat), obat penurun
kolesterol (kolestiramin), obat diabetes melitus (biguanide), obat saluran cerna (antasida
mengandung magnesium, antagonis reseptor H2, kolkisin, diuretika, prostigmin, dll. 8
Makanan/minuman tertentu : makanan dapat menimbulkan tertentu melalui mekanisme
osmotik yang berlebihan atau proses alergi. Diare dan mual yang menyertai minum susu
menunjukkan dugaan kuat adanya intoleransi laktosa dan IBS. Seperti halnya obat-obatan,
terhentinya diare setelah penghentian bahan makanan yang dicurigai (puasa per oral) dapat
menunjang diagnosis. Diare yang tidak membaik setelah puasa mengarahkan pada penyakit
enteropati eksudatif (IBD) atau keadaan hipersekretorik. Alkohol merupakan penyebab diare
yang umum di negara berat (terutama pada penimum berat). 8
Lain-lain : adanya penurunan berat badan yang signifikan (> 5 kg) mengarah pada penyebab
organik. Faktor-faktor yang memperberat atau yang memperingan diare juga perlu
ditanyakan. Diare setelah radiasi menunjukkan adanya kolitis radiasi atau malabsorbsi. Daire
berupa air yang sangat hebat tanpa gejala yang jelas ke arah infeksi dapat disebabkan oleh
tumor endokrin penyebab diare. Adanya anggota keluarga lain yang menderita merupakan
petanda adanya infeksi sebagai faktor penyebab diare. Perlu juga ditanyakan adanya penyakit
sistemik yang lain seperti : hipertiroid, diabetes melitus, penyakit kolagen vaskular, dan HIV-
AIDS.8, 10
Tabel 5. Riwayat anamnesis dan kaitannya dengan etiologi diare kronik11
2. Pemeriksaan Fisik
Pada sebagian besar kasus diare kronik, hasil pemeriksaan fisik normal atau non-diagnostik.
Gejala klinik yang ditemukan tidak spesifik dan menunjukkan adanya malabsorbsi nutrien dan
defisiensi vitamin/elektrolit. Terdapat beberapa gejala klinik tertentu sebagai petunjuk yang
mengarahkan pada penyakit tertentu seperti adanya ulkus mulut, tanda-tanda aterosklerosis,
limfadenopati, tanda-tanda kegagalan otonom, ruam, flushing, atau hiperpigmentasi kulit. Yang
paling penting dalam pemeriksaan fisik adalah menentukan status volume cairan tubuh pasien :
dalam semua kondisi mengoreksi dehidrasi dan kekurangan elektrolit lebih utama daripada
menentukan diagnosis definitif.8, 11
3. Pemeriksaan Tinja (analisis feses)
Analisis feses dapat diambil dari sampel yang acak (random) atau pada waktu-waktu tertentu
(misal sampel 24, 48, 72 jam). Harus diperhatikan benar apakah tinja berbentuk air/cair, setengah
cair/lembek, berlemak atau bercampur darah. Contoh tinja harus segera diperiksa untuk melihat
adanya leukosit, eritrosit, parasit (amoeba, giardia, cacing/telur cacing). Adanya gelembung
lemak memberi dugaan kearah malabsorbsi lemak. Adanya amilum yang banyak dalam tinja
menunjukkan adanya maldigesti karbohidrat. Eritrosit dalam tinja menunjukkan adanya luka,
kolitis ulseratif, polip, atau keganasan dalam usus, atau kadang infeksi juga. Leukosit dalam tinja
menunjukkan adanya kemungkinan infeksi atau inflamasi usus. Pemeriksaan pH tinja perlu
dilakukan bila ada dugaan malabsorbsi karbohidrat, dimana pH tinja dibawah 5,5 (asam) disertai
hasil tes reduksi positif. Bila pH diantara 6,0 – 7,5 mengarah pada sindrom malabsorbsi asam
amino dan asam lemak. Pewarnaan dengan gram perlu dikerjakan untuk mencari kemungkinan
infeksi oleh bakteri atau jamur.8
Pemeriksaan stool osmotic gap dapat dilakukan untuk membedakan diare osmotik dengan
sekretorik. Pada diare osmotik, akan ditemukan stool osmotic gap > 50 mosm/kg tinja sedang
pada diare sekretorik < 50 mosm/kg tinja. Pemeriksaan osmolalitas cairan tinja mungkin berguna
untuk kasus diare yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Osmolalitas tinja yang rendah (< 290
mosm/kg) menunjukkan kontaminasi tinja dengan air, urine, atau adanya fistula gastrokolika, dan
terminumnya cairan hipotonik. Osmolalitas tinja > 290 mosm/kg sering disebabkan metabolisme
bakterial dari karbohidrat. 8, 11
Untuk melihat adanya steatorea perlu dilakukan pengukuran kadar lemak dalam tinja 24 jam atau
72 jam secara kuantitatif dan pemeriksaan kualitatif lemak tinja dengan pewarnaan Sudan.
Jumlah lemak tinja yang berhubungan dengan diet orang Amerika normal adalah ≤ 7 gram/24
jam. Bila penderita menghasilkan > 14 gram/24 jam berarti mengalamai steatorea. Jika
kandungan lemak tinja antara 7 – 13 gram, steatorea merupakan akibat sekunder dari etiologi
diare yang lain. 8, 11
Pemeriksaan tinja untuk Giardia penting untuk dilakukan tetapi pemeriksaan sitopatologi sering
memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan untuk Giardia saat ini sudah banyak digantikan
dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang mendeteksi antigen spesifik. Seringkali
pengobatan percobaan (trial) dengan metronidazol menolong dan dapat mendiagnosis giardiasis.
Diare pada pasien HIV dengan/tanpa AIDS biasa disebabkan infeksi di usus, oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan organisme yang jarang seperti Cryptosporidium
atau Isospora belli. Kultur feses tidak rutin dilakukan tetapi dapat dipertimbangkan kultur untuk
Aeromonas dan Pleisomonas.8, 11
Analisis tinja untuk mendeteksi adanya penggunaan laksatif sebagai penyebab diare faktisius
perlu dilakukan apabila tidak ditemuka penyebab. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
mendeteksi adanya phenolphthalein, emetin, bisacodyl, dan metabolit yg lain dengan tes
kromatografi atau kimia (alkalinisasi). Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya insufisiensi pankres yaitu pemeriksaan elastase tinja. Tidak ada satu pemeriksapun yang
dapat mengidentifikasi penderita dengan kasus IBS, sehingga eksklusi kelainan patologi lain
setelah semua pemeriksaan hasilnya negatif akan menunjang diagnosis. 8, 11
4. Pemeriksaan laboratorium lain
Darah : laju endap darah (LED) yang tinggi, kadar hemoglobin yang rendah, dan kadar albumin
yang rendah menunjukkan adanya penyakit organik. LED dan c-reactive protein (CRP) yang
tinggi ditemukan pada IBD. Pada anemia (hemoglobin yang rendah) perlu diperiksa apakah
ada defisiensi asam folat, vitamin B12, atau defisiensi besi karena gangguan absorbsi. Kadar
asam folat yang rendah mengarah pada celiac sprue. Kadar B12 rendah menunjukkan
pertumbuhan bakteri berlebihan (bacterial overgrowth) dalam usus halus. Leukositosis
mengarahkan pada adanya inflamasi. Sedangkan eosinofilia ditemukan pada neoplasma,
alergi, penyakit kolagen vaskuler, infestasi parasit, dan gastroenteritis atau kolitis
eosinofilik.8,11
Kadar albumin yang rendah menunjukkan kehilangan protein dari peradangan di ileum,
jejunum, kolon, dan pada sindrom malabsorbsi. Untuk mengetahui fungsi kelenjar tiroid, perlu
diperiksa kadar TSH darah, serum T4, dan T3 uptake. Pemeriksaan gula darah perlu dilakukan
bila ada kecurigaan penyakit diabetes melitus. Elektrolit, nitrogen urea darah (BUN), dan
kreatinin perlu juga diperiksa. 8, 11
Bila didapatkan ulkus duodenum bersamaan dengan diare yang mengarah pada gastrinoma
(sindrom Zollinger Ellison), perlu diperiksa kadar gastrin dalam darah. Jika diare lebih dari 1
liter per hari dan terlebih ada hipokalemia, maka diperlukan pemeriksaan kadar vasoactive
intestinal polypeptide (VIP), kalsitonin, dan glukagon. Kadar VIP yang tinggi menunjukkan
adanya tumor VIPoma. Kalsitonin untuk mendiagnosis karsinoma tiroid meduler, glukagon
untuk mendiagnosis glukagonoma. 8, 11
Bila dicurigai infeksi Campylobacter jejuni maka dapat dilakukan pemeriksaan serologi (IgG)
terhadap kuman tersebut. Pemeriksaan serologi lain yang berguna untuk menunjang
diagnosis antara lain : antinuclear antibody untuk mendeteksi adanya vaskulitis, skleroderma,
celiac sprue, atau enteropati autoimun; antibodi antigliadin IgA dan IgG serat antibodi
antiendomysial untuk diagnosis dan evaluasi pengobatan celiac sprue; antibodi cytoplasmic
antineutrophil perinuclear untuk mendeteksi adanya kolitis ulseratif; pemeriksaan tipe HLA-DR
untuk konfirmasi diagnosis celiac sprue, sprue yang refrakter dan tidak terklasifikasikan,
mungkin pada penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Jika dicurigai menjadi penyebab maka
dapat dilakukan skrining pemeriksaan antibodi terhadap HIV. Pengukuran titer antibodi
terhadap Entamoeba histolytica diperlukan untuk mendiagnosis amoebiasis kolon dan/atau
hati. 8, 11
Urin : untuk menunjang diagnosis sindrom/tumor karsinoid dapat dilakukan pemeriksaan
kadar 5-hydroxyindole acetic acid (5-HIAA) urin 24 jam. Pengukuran vanillylmandelic acid
(VMA) atau metanefrin urin untuk mendeteksi adanya feokromositoma; histamin urin untuk
penyakit sel mast dan karsinoid usus proksimal. Pemeriksaan urin juga membantu
mengidentifikasi penyalahgunaan pencahar (laksatif). Pengukuran kadar elektrolit urin dapat
menentukan apakah konservasi ginjal terhadap natrium dan kalium sesuai. Jika kadar
keduanya dalam urin terlalu tinggi, terdapat kemungkinan penyalahgunaan diuretik yang
dapat juga mengarah bersamaan dengan penggunaan laksatif. 8, 11
Pemeriksaan Lanjutan8, 11
1. Pemeriksaan anatomi usus
Barium enema kontras ganda (colon in loop) dan foto polos abdomen (BNO)
Kolonoskopi dan ileoskopi
Barium follow through dan/atau enteroclysis
Gastroduodeno-jejunoskopi
Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Sidik 111Indium leukosit
Ultrasonografi abdomen
CT-scan abdomen
Arteriografi/angiografi mesenterika superior dan inferior
Enteroskopi
Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP)
Endosonographi atau endoscopic ultrasound (EUS)
2. Fungsi usus dan pankreas
Tes fungsi ileum dan jejunum : tes D-xylose
Tes fungsi eksokrin pankreas : tes sekretin-kolesistokinin, tes bentiromide (PABA/p-amino
benzoic acid), tes kimotripsin feses, pengukuran enzim elastase feses menggunakan ELISA.
Tes napas (breath test) : pengukuran 14C setelah pemberian 14C-xylosa dan 14C-glycocholate
dapat membantu menunjukkan adanya pertumbuhan berlebih bakteri di usus halus.
Pengukuran H2 udara napas membantu menunjukkan adanya defisiensi enzim laktase atau
pertumbuhan berlebih bakteri di usus halus, pengukuran 14C setelah pemberian 14C-triolein
dapat membantu mengevaluasi fungsi eksokrin pankreas.
Tes kehilangan protein (protein-losing enteropathy) : pengukuran bersihan tinja α1-antitripsin
atau radiolabelled albumin.
Tes malabsorbsi asam empedu : pengukuran turnover asam empedu yang dilabel radioisotop
(mengukur feacal recovery dari 14C-glycocholate dalam tinja selama 48 – 72 jam setelah
menelan secara oral marker tersebut), pengukuran serum metabolit asam empedu (mengukur
fraksi yang tersisa dari asam empedu sintesis yang sudah dilabel, selena-homocholic acid
conjugated with taurine, 75Se-HCAT). Untuk menghindari penggunaan zat radioaktif, dapat
diukur zat intermediate dalam sintesis asam empedu, 7α-hydroxy-4-cholesten-3-one.
Tes small and large bowel transit time, sering disebut oroceacal transit time (OCTT), metode
yang digunakan antara lain : rontgen usus dengan barium, scintigraphy radionuclide, dan
lactulose hydrogen breath test.
Pemeriksaan Lain8, 11
1. Petanda tumor : pemeriksaan carcino embryonic antigen (CEA) untuk mengetahui keganasan
pankreas dan kolon. Pemeriksaan Ca 19-9 untuk mengetahui keganasan pankreas.
2. Pemeriksaan thin-layer chromatography urin : untuk memeriksa adanya pemakaian obat
pencahar bisacodyl, phenolphtalein, atau anthraquinones.
3. Pemeriksaan ELISA tinja, menentukan adanya antigen giardia.
4. Tes untuk alergi makanan gastrointestinal
Gambar 5. Pendekatan diagnosis pada diare kronik.11
Tatalaksana. Agen antidiare dapat dibagi menjadi dua kategori, agen yang bermanfaat pada diare
ringan sampai sedang dan agen yang bermanfaat pada diare yang lebih berat. Kekurangan dari
antidiare yang terdapat saat ini adalah beberapa tidak memiliki efek anti sekretorik, seperti agen
pengeras feses (psyllium, metilselulosa, polikarbosil) hanya meningkatkan konsistensi feses tanpa
ada efek lain terhadap diarenya. Sebagian besar agen antidiare yang ada saat ini bekerja dengan
mempengaruhi motilitas usus. Bismuth subsalisilat, loperamide, klonidin, fenotiazin, dan
somatostatin mempunyai efek antisekretorik ringan, tetapi juga menyebabkan pelebaran dari usus
halus dan kolon serta mengurangi peristaltik. Opiat juga menyebabkan kontraksi usus besar bagian
distal menjadi tidak teratur dan meningkatkan tonus sfingter anal. Akumulasi dari efek ini adalah
menjebak cairan di dalam usus dan meningkatkan waktu kontak dengan mukosa usus,
memungkinkan absorbsi yang lebih lengkap.10
Agen proabsorptif terbaru yang ditemukan termasuk inhibitor enkefalinase dan preparat terbaru
amylase-resistant starch (pektin). Inhibitor enkefalinase, racecadotril (Acetorphan), menghambat
pemecahan opiat endogen (enkefalin) oleh epitel usus. Agen ini terbukti efektif pada diare sekretorik
eksperimental dan efek proabsorptifnya dihambat oleh nalokson, menandakan adanya peran opiat
endogen pada efek proabsorptifnya. Pektin tidak dihidrolisis oleh amilase sehingga tidak diserap
oleh usus dan diubah oleh bakteri kolon menjadi asam lemak rantai pendek. Asam-asam lemak
rantai pendek ini akan menstimulasi absorpsi cairan dan elektrolit. Agen antisekretorik baru lainnya
adalah antagonis reseptor 5-HT3 dan antagonis neurotransmiter sistem saraf usus seperti
antisubstance P atau VIP.10
Penatalaksanaan pada diare kronik tergantung etiologi spesifiknya dan dapat bersifat kuratif,
supresif, atau empiris. Jika penyebabnya dapat dieradikasi maka sifat tatalaksananya kuratif seperti
reseksi usus pada karsinoma kolorektal, pemberian antibiotik pada Whipple’s disease, atau
penghentian obat-obatan yang menyebabkan diare. Pada sebagian besar kondisi kronik, diare dapat
dikontrol dengan terapi supresi terhadap mekanisme yang mendasarinya. Misalnya penghindaran
laktosa dalam diet pasien dengan insufisiensi laktase atau gluten pada celiac sprue, penggunaan
glukokortikoid atau agen anti inflamasi yang lain pada IBD idiopatik, agen absorptif seperti
kolestiramin pada malabsorbsi asam empedu, proton pump inhibitors seperti omeprazole untuk
hipersekresi lambung pada gastrinoma, analog somatostatin (octreotide) pada tumor karsinoid,
inhibitor prostaglandin (indometasin) pada karsinoma medular tiroid, dan penggantian enzim
pankreas pada insufisiensi pankreas. Apabila pada diagnosis diare kronik tidak ditemukan penyebab
atau mekanisme spesifiknya, terapi empiris dapat bermanfaat. Opiat ringan seperti difenoksilat atau
loperamide sering dapat membantu meringankan gejala pada diare berair ringan atau sedang. Pada
diare yang berat, kodein atau opium tinktur dapat bermanfaat. Agen antimotilitas di atas harus
dihindari pada IBD karena dapat mempresipitasikan timbulnya toksik megakolon pada kolitis
ulseratif yang berat. Klonidin, agonis α2-adrenergik, mungkin dapat mengontrol diare diabetik. Pada
semua pasien dengan diare kronik, penggantian cairan dan elektrolit selalu merupakan bagian
penting dalam tatalaksana. Penggantian vitamin-vitamin larut lemak mungkin diperlukan pada
pasien dengan steatorea kronik.1
KONSTIPASI
Konstipasi adalah gejala yang cukup banyak dikeluhkan pasien, mempengaruhi sekitar 2 – 27%
populasi di negara-negara barat. Di Amerika Serikat menyebabkan 2,5 juta kunjungan pasien ke
dokter, 92.000 perawatan di rumah sakit, dan penggunaan laksatif (pencahar) sampai ratusan juta
dolar setahun.12 Konstipasi lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (rasio 2,1 : 1), non
kulit putih dibanding kulit putih (1,68 : 1), pada anak-anak dibanding orang dewasa, pada orang tua
dibanding orang dewasa yang lebih muda.12, 13Beberapa faktor risiko terjadinya konstipasi antara
lain : inaktivitas fisik, tingkat penghasilan rendah, latar belakang pendidikan rendah, riwayat
kekerasan seksual, dan gejala depresi.12
Walaupun gejala yang berkaitan dengan konstipasi sifatnya sering intermiten dan ringan, tetapi pada
sebagian pasien dapat bersifat kronik, sulit untuk diobati, dan mengganggu. Pemahaman terhadap
proses fisiologis yang terlibat dalam transit kolon dan defekasi sangat penting dalam tatalaksana
konstipasi yang efektif.
Definisi. Tidak ada definisi tunggal untuk konstipasi. Keluhan konstipasi dirasakan/didefinisikan
berbeda untuk setiap populasi, setiap pasien, atau bahkan untuk setiap profesional kesehatan.
Sebagian besar pasien mendefinisikan konstipasi sebagai satu atau lebih gejala berikut ini : feses
yang keras, defekasi yang jarang (biasanya kurang dari 3 kali dalam seminggu, kebutuhan untuk
mengejan keras, rasa evakuasi isi usus yang tidak lengkap, dan waktu lama yang dihabiskan untuk di
dalam toilet atau untuk defekasi yang tidak berhasil. Sebuah studi epidemiologi di Amerika Serikat
memperoleh data yang mengartikan konstipasi sebagai ketidakmampuan untuk mengevakuasi feses
secara lengkap dan spontan tiga atau lebih dalam satu minggu. Konsensus mengenai
definisi/batasan konstipasi dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini.12
Faktor psikososial juga berperan penting dalam mempengaruhi persepsi pasien tentang konstipasi.
Seseorang yang orang tuanya sangat menganggap penting buang air besar tiap hari, akan sangat
merasa terganggu apabila dia melewatkan satu hari tidak buang besar; beberapa anak menahan
fesesnya untuk mendapatkan perhatian; dan beberapa orang dewasa terlalu sibuk atau terlalu malu
menangguhkan pekerjaannya apabila terasa ingin buang besar.1
Etiopatogenesis. Defekasi seperti juga berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan
kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik, dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat buang air besar. Defekasi dimulai
dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses
masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk
menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna
dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi olef saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk buang besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga
Tabel 6.
rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani.14
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor dan dapat sebagai akibat dari penyakit sistemik atau
neurologis atau obat-obatan. berdasarkan penyebabnya, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
dua, konstipasi onset baru (recent onset) dan konstipasi kronik (tabel 7).1
Tabel 7. Penyebab konstipasi pada orang dewasaTipe konstipasi dan penyebab ContohOnset baru (recent onset)
Obstruksi kolon
Spasme sfingter anusObat-obatan
KronikIrritable bowel syndromeObat-obatanPseudo-obstruksi kolon
Kelainan pada evakuasi rektum
EndokrinopatiKelainan psikiatriKelainan neurologisGeneralized muscle disease
Neoplasma, striktur, iskemik, divertikel, inflamatorikFisura ani, hemoroid yang nyeri
Predominan konstipasi, berselang-seling dengan diareCa2+ blockers, antidepresanKonstipasi waktu transit melambat (slow transit constipation), megakolon (Hirschsprung’s, Chagas)Pelvic floor dysfunction, anismus, descending peritoneum syndrome, prolaps mukosa rektum, rectoceleHipotiroidisme, hiperkalsemia, kehamilanDepresi, gangguan makan, obat-obatanParkinson, multipel sklerosis, trauma saraf spinalProgressive systemic sclerosis
Berdasarkan patofisiologi terjadinya konstipasi, dapat diklasifikasikan menjadi tiga : normal-transit
constipation, slow-transit constipation, dan gangguan pada proses defekasi atau evakuasi rektum.
Pada penelitian terhadap lebih dari 1000 pasien dengan konstipasi kronik, yang paling banyak adalah
normal-transit (59%), dikuti gangguan proses defekasi (25%), slow-transit (13%), dan kombinasi
gangguan defekasi dengan slow transit (3%).12
Normal-Transit Constipation
Sering disebut juga konstipasi fungsional. Pada pasien dengan gangguan ini, tinja melewati usus
besar dengan kecepatan normal dan frekuensi buang besar juga normal, tetapi pasien tetap merasa
bahwa mereka mengalami konstipasi. Kemungkinan disebabkan oleh perasaan sulit dalam
mengevakuasi feses atau adanya tinja yang keras. Pasien mungkin mengalami kembung/begah atau
nyeri perut dan dapat terjadi peningkatan distres psikososial.12
Gangguan Proses Defekasi
Paling sering disebabkan oleh gangguan pada dasar panggul atau sfingter anus. Ketakutan terhadap
rasa sakit akibat adanya feses yang besar dan keras; fisura ani atau hemoroid dapat menyebabkan
gangguan proses defekasi karena pasien selalu berusaha untuk menahan buang air besar.
Abnormalitas struktur seperti intususepsi rektum, rectocele, obstructing sigmoidocele, dan excessive
perineal descent adalah penyebab jarang gangguan proses defekasi. Beberapa pasien mempunyai
riwayat kekerasan fisik atau seksual atau gangguan makan. Kegagalan rektum dalam mengevakuasi
feses secara lengkap dapat disebabkan gangguan koordinasi dari abdomen, rectoanal, dan otot-otot
dasar panggul pada saat proses defekasi.12
Slow-Transit Constipation
Sering terjadi pada wanita dengan frekuensi buang air besar yang jarang (dapat sekali seminggu atau
kurang). Biasanya dimulai pada saat pubertas. Gejala yang dirasakan antara lain : rasa/keinginan
untuk defekasi jarang, kembung, dan nyeri atau tidak nyaman di perut. Terdapat suatu kondisi,
inersia kolon, yang dicirikan dengan slow colonic transit dan kurangnya peningkatan aktivitas motor
setelah makan atau setelah pemberian bisakodil, agen kolinergik, atau antikolinesterase seperti
neostigmin. Studi histopatologi pada pasien dengan slow transit constipation memperlihatkan
adanya perubahan pada jumlah neuron pleksus mienterikus yang menghasilkan substansi P, suatu
neurotransmiter eksitatorik; abnormalitas pada transmiter inhibitorik vasoactive intestinal peptide
dan nitric oxide; dan berkurangnya jumlah sel intestinal Cajal, yang dianggap berperan dalam
mengatur motilitas saluran cerna. Penyakit Hirschsprung’s adalah bentuk ektstrem dari slow-transit
constipation. Tidak terdapat sel ganglion di usus bagian distal akibat dari kegagalan migrasi dari sel-
sel neural crest pada saat perkembangan embrionik. Akibatnya usus menyempit pada bagian yang
tidak terdapat sel ganglion tersebut.walaupun sebagian besar pasien dengan kelainan ini muncul
pada saat bayi atau anak-anak, tetapi pada beberapa pasien dengan segmen usus yang terkena
relatif pendek dapat timbul bergejala pada saat dewasa.12
Diagnosis. Anamnesis yang teliti harus dilakukan tentang gejala yang dialami pasien dan
dikonfirmasikan apakah pengertian konstipasi yang di alami berdasarkan frekuensi (misal kurang dari
3 kali seminggu), konsistensinya (keras), mengedan berlebihan, waktu buang air besar yang lama,
perlunya menopang perineum atau dengan bantuan tangan. Pada sebagian besar kasus tidak ada
sebab yang mendasarinya dan konstipasi berespons baik dengan hidrasi yang baik, olah raga, dan
suplementasi serat (15-25 gr/hari). Anamnesis yang baik tentang pola makan, riwayat obat-obatan,
dan aspek psikososial sangat diperlukan.1
Pemeriksaan fisik yang terutama dilakukan pada pasien konstipasi adalah pemeriksaan rektal.
Pertama daerah perianal diperiksa adanya luka, fistula, fisura, atau adanya hemoroid eksternal.
Selanjutnya diperhatikan daerah perineum pada waktu istirahat dan pada waktu mengedan untuk
menentukan penurunan perineum, normal sekitar 1 – 3,5 cm. Berkurangnya penurunan perineum
menandakan ketidakmampuan untuk merelaksasikan otot-otot dasar panggul pada waktu defekasi.
Sedangkan penurunan berlebihan (melebihi 3,5 cm) menandakan kelemahan perineum, yang
biasanya diakibatkan proses kelahiran atau mengejan berlebihan pada waktu defekasi dalam jangka
waktu yang lama dan dapat menyebabkan evakuasi feses yang tidak lengkap. Peregangan dari otot-
otot dasar panggul dengan penurunan berlebihan perineum dapat melukai nervus sakral,
mengurangi sensasi rektum, dan menyebabkan inkontinensia. Terakhir pemeriksaan digital rektum
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya impaksi fekal, striktur anus, atau massa pada rektum.
Kesulitan dalam memasukkan jari pada kanal anal atau bahkan sampai tidak bisa masuk
menandakan adanya peningkatan tekanan dari sfingter anus pada saat istirahat atau terdapat
striktur anus. Nyeri tekan pada bagian posterior rektum menandakan adanya spasme dasar
panggul.12
Adanya penurunan berat badan, perdarahan rektal, atau anemia dengan konstipasi mengharuskan
untuk dilakukan pemeriksaan sigmoidoskopi dengan barium enema atau kolonoskopi, terutama
pada pasien berumur > 40 tahun, untuk menyingkirkan adanya kelainan struktural seperti kanker
atau striktur. Pengukuran kalsium serum, kalium, dan thyroid stimulating hormone juga perlu
dilakukan untuk mendeteksi kelainan metabolisme yang mendasari konstipasinya.1
Sejumlah kecil pasien mungkin mengalami apa yang disebut sebagai konstipasi berat
atau“intractable” , atau konstipasi yang tidak dapat membaik dengan terapi biasa. Pemeriksaan yang
lebih teliti dan mendalam mungkin dapat menemukan penyebab yang terlewatkan seperti gangguan
evakuasi feses, penggunaan laksatif yang berlebihan, atau kelainan psikologis. Pada pasien-pasien
sulit ini dapat dilakukan pemeriksaan fisiologis dari kolon dan dasar panggul serta pemeriksaan
status psikologis untuk membantu menunjang diagnosis dan tatalaksana.1 Pemeriksaan-pemeriksaan
fisiologis yang dapat dilakukan antara lain :
Pengukuran waktu transit kolon
Pemeriksaan transit marker radioopaque mudah dilakukan, pada umumnya aman, tidak mahal,
dapat diandalkan, dan highly applicable untuk menilai konstipasi pada pasien dalam praktek klinik.
Marker radioopaque ditelan dan dilakukan foto polos abdomen 5 hari kemudian. Normalnya, 80%
marker akan sudah keluar dari kolon. Kekurangan tes ini adalah tidak memberikan informasi
mengenai waktu transit di lambung dan usus halus. Pemeriksaan radioscintigraphy dapat
memberikan informasi waktu transit lambung, usus halus, maupun kolon dengan paparan radiasi
yang lebih rendah tetapi dengan biaya yang lebih mahal.1
Balon expulsion test
Uji pengeluaran balon (balloon expulsion) adalah uji sederhana yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi adanya gangguan defekasi. Setelah memasukkan balon lateks ke dalam rektum, 50 mL
air dimasukkan kedalam balon dan pasien diminta untuk mengeluarkan balon di toilet.
Ketidakmampuan untuk mengeluarkan balon dalam waktu 2 menit menandakan adanya gangguan
proses defekasi.12
Manometri anorektal
Manometri anorektal dapat memberikan informasi yang berguna pada pasien dengan konstipasi
berat dengan mengukur tekanan pada sfingter anus (predominan sfingter ani interna) pada saat
istirahat dan kontraksi volunter maksimal dari sfingter ani eksterna, ada atau tidaknya relaksasi dari
sfingter ani interna selama peregangan balon (anorectal inhibitory reflex), sensasi rektum, dan
kemampuan sfingter ani untuk relaksasi pada saat mengedan. Tidak adanya anorectal inhibitory
reflex menandakan kemungkinan penyakit Hirschsprung’s. Tingginya tekanan anus pada saat
istirahat dan adanya nyeri rektum menunjukkan kemungkinan adanya fisura ani atau anismus.12
Defecography
Dilakukan dengan memasukkan barium yang dikentalkan ke dalam rektum. Dalam posisi pasien
duduk, film radiografik atau video diambil selama tindakan fluoroskopi dimana pasien disuruh
istirahat, mengkontraksikan sfingter anus, atau mengejan untuk defekasi. Tujuan pemeriksaan ini
untuk menentukan apakah pengosongan lengkap rektum dapat dicapai, untuk mengukur sudut
anorektal dan penurunan perineum, serta untuk mendeteksi adanya kelainan struktural yang dapat
mengganggu defekasi, seperti rectocele, prolaps mukosa internal, atau intususepsi.12
Tatalaksana. Setelah etiologi diagnosis dapat ditegakkan, pilihan terapi dapat ditentukan.
Meningkatkan intake cairan dan aktivitas fisik sepertinya tidak memperbaiki konstipasi kronik,
kecuali pada pasien dehidrasi. Pasien dengan normal-transit atau slow-transit constipation
dianjurkan meningkatkan konsumsi serat 20 – 25 g/hari dengan cara mengubah diet atau
mengkonsumsi suplemen serat komersial. Pasien yang tidak berespon dengan terapi serat dapat
dicoba dengan pencahar osmotik seperti susu magnesium, sorbitol, laktulosa, atau polietilen glikol.
Pencahar stimulan seperti bisakodil atau turunan senna; agen prokinetik seperti tegaserod, suatu
parsial agonis reseptor 5-hidroksitriptamin, sebaiknya hanya digunakan pada pasien dengan
konstipasi berat yang tidak berespon dengan terapi serat atau pencahar osmotik. Pembedahan
jarang diperlukan. Pasien dengan gangguan proses defekasi harus menjalani latihan proses evakuasi
feses dibantu dengan bantuan terapi biofeedback. Pasien dengan impaksi feses harus mengeluarkan
feses tersebut secara manual atau jika perlu, dengan enema. 12
Serat
Terdiri dari serat tidak larut (bran) dan serat larut (metilselulosa, psyllium). Kepatuhan pasien
terhadap penggunaan suplemen serat masiumh rendah karena adanya beberapa efek samping,
seperti sering kentut, kembung, begah, dan rasa yang tidak enak. Untuk meningkatkan kepatuhan,
pasien dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi serat sampai 20 – 25 g/hari dengan cara bertahap
satu sampai dua minggu. Terapi serat paling bermanfaat dan memberi efek pada tipe normal-transit
constipation.12, 13
Pencahar (laksatif)
Pencahar osmotik adalah molekul yang tidak atau sedikit diabsorbsi dan bekerja dengan menarik air
ke dalam lumen usus untuk menjaga isotonisitas antara isi usus dengan serum. Contoh pencahar
osmotik : polyethylene glycol, natrium fosfat, magnesium hidroksida, magnesium sitrat, laktulosa
dan sorbital, dan glycerin. Sebagian besar pencahar osmotik memerlukan waktu beberapa hari untuk
bekerja. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau gangguan fungsi jantung, pencahar osmotik
dapat menyebabkan gangguan elektrolit, kelebihan cairan, atau dehidrasi.
Pencahar stimulan meningkatkan gerakan dan sekresi usus. Bekerja dalam beberapa jam dan dapat
menyebabkan kram perut. Diberikan pada pasien konstipasi dimana terapi dengan serat dan
pencahar osmotik tidak membantu. Terdapat risiko penyalahgunaan pencahar ini terutama pada
pasien dengan adanya kelainan psikiatri yang mendasari atau pasien dengan gangguan makan. Pada
pasien yang mengkonsumsi pencahar laksatif mengandung anthraquinon, dapat timbul melanosis
coli, pigmentasi coklat kehitaman pada mukosa kolon.12, 13
Agen prokinetik
Tegaserod adalah agen prokinetik kolon yang dapat memperbaiki frekuensi dan konsistensi feses
pada wanita dengan irritable bowel syndrome yang dicirikan dengan konstipasi.12
Terapi biofeedback
Pasien konstipasi menerima feedback visual dan auditorik terhadap fungsi sfingter anus dan otot-
otot dasar panggul. Dapat digunakan untuk melatih pasien merelaksasikan otot-otot dasar panggul
pada saat mengejan kemudian mengkoordinasikan dengan kontraksi perut untuk memudahkan
keluarnya feses ke rektum. Tingkat kesuksesan terapi ini 70 – 80% pada pasien dengan gangguan
dasar panggul.1, 12
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahlquist DA, Camilleri M. Diarrhea and constipation. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL, eds. Harrison's principles of internal medicine. 16 ed. Singapore:
McGraw-Hill; 2005:224-233.
2. Simadibrata M, Daldiyono. Diare akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006:410-415.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta. 2007.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta. 2008.
5. Makmun D, Simadibrata M, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A. Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta. 2009.
6. Farthing M, Lindberg G, Dite P et al. World Gastroenterology Organisation practice guideline :
Acute Diarrhea. March 2008.
7. Thielman, NM, Guerrant, RL. Clinical practice. Acute infectious diarrhea. N Engl J Med 2004;
350:38-47.
8. Simadibrata M. Pendekatan diagnostik diare kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:357-365.
9. Donowitz M, Kokke FT, Saidi R. Current concepts. Evaluation of patients with chronic diarrhea.
NEJM 1995; 725-29.
10.Powell DW. Approach to the patient with diarrhea. In : Yamada T, ed. Textbook of
gastroenterology. 4 ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003:859-894.
11.AGA Technical Review on the Evaluation and Management of Chronic Diarrhea. Gastroenterology
1999;116:1464–86.
12.Lembo A, Cammileri M. Current concepts. Chronic constipation. Review Article. N Eng J Med
2003;349:1360-8.
13.Foxx-Orenstein AE, McNally MA, Odunsi ST. Update on constipation : one treatment does not fit
all. Cleve Clin J Med 2008;75:813-24.
14.Pranarka R, Andayani R. Konstipasi dan inkontinensia alvi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:877-83.
DISKUSI TOPIK