Upload
ariasmi
View
911
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
KOLERA
Kolera merupakan diare sekretori akut yang disebabkan oleh bakteri gram negative Vibrio
cholerae serogroup O1 atau O139. Penyakit ini menjadi endemic di 50 negara serta pernah
menyebabkan wabah yang cukup besar. Diare termasuk kolera merupakan penyebab kedua
mortalitas anak usia <5 tahun, serta merupakan salah satu penyebab utama morbiditas.
Kolera juga merupakan penyebab terbanyak kasus diare dengan dehidrasi berat pada
dewasa.1
Agen Penyebab1
Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif, famili Vibrionaceae yang sering
ditemukan di pesisir pantai dan muara. Organisme ini dapat berkembang baik pada
lingkungan yang kaya akan kandungan garam, atau lingkungan dengan kadar garam rendah
yang memiliki suhu optimal (hangat) dan mengandung nutrien organik yang cukup.
Vibrio cholera telah diklasifikasikan dalam lebih dari 200 serogroup berdasarkan
antigen O pada lipopolisakarida. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya
serogroup O1 dan O139 yang dapat menyebabkan epidemic kolera. Vibrio cholerae O1
diklasifikasikan dalam 2 biotypes, yakni classical dan El Tor. Sedangkan Vibrio cholera
O139 merupakan derivate Vibrio cholera O1 El Tor yang mengalami transfer lateral, tetapi
hingga saat ini Vibrio cholera O139 lebih identik dikenal dengan Vibrio cholera O1 El Tor.
Vibrio cholera O139 dan beberapa O1 El Tor yang telah diisolasi memiliki elemen SXT
bawaan yang dianggap memediasi resistensi pada cotrimoxazole dan streptomycin.
Patogenesis dan Patofisiologi
Kemampuan Vibrio cholera menyebabkan penyakit bergantung pada banyak faktor yang
mempengaruhi proses kolonisasi pada epitel usus halus dan produksi enterotoxin yang
berdampak pada perubahan transport ion.2 Masuknya Vibrio cholerae pada saluran
pencernaan, terlebih dahulu akan dihadapi oleh asam lambung, hingga pada akhirnya
beberapa bakteri yang mampu bertahan akan menguraikan toxin kolera yang merupakan
protein exotoxin. Protein ini mengandung satu subunit A (CTA) yang berperan dalam
perubahan transport Cl melalui aktifasi adenilat siklase dan lima subunit B (CTB) yang
mengikat helotoxin dengan reseptor gangliosida GM1 pada sel eukariot.1,2
1
Epidemiologi
Kejadian kolera sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk serta
rendahnya higienitas. Penyakit ini tersebar hingga Asia Selatan serta beberapa bagian
Afrika dan Amerika. Kematian akibat kolera di seluruh dunia yang diungkapkan oleh
Cokee di tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 120.000 jiwa dengan kejadian terbanyak
pada anak-anak. Pandemic kolera yang ketujuh bermula di Indonesia pada tahun 1961,
Afrika pada tahun 1970 dan Amerika latin pada tahun 1999.2 DI tahun 2010 kolera kembali
menjadi pandemic di Haiti, hal ini diperkirakan terjadi semakin parah akibat kepadatan
populasi, sanitasi buruk dan infrastruktur yang tidak memadai, serta kendala logistik yang
pada akhirnya sangat mempengaruhi proses keberlangsungan manajemen kasus kolera.
Peningkatan epidemic kolera juga diperkirakan berkaitan dengan kejadian banjir, serta
bencana alam seperti angin topan dan gempa bumi.1
Cara Penularan1
Secara garis besar penularan kolera dioengaruhi oleh konsentrasi Vibrio cholerae O1 dan
O139 pada feses, perbedaan kemampuan infektif antara sel planktonic dan agregat feses,
kecepatan penyebaran organism antara manusia satu dengan yang lain, keberadaan
bakteriofag lytic di feses dan air, serta konsentrasi viable environtment cell pada air yang
memungkinkan terjadinya transmisi dari lingkungan ke manusia. Pasien infeksi kolera yang
asimptomatik pada umumnya memiliki kemungkinan penularan hanya dalam waktu
beberapa hari, sedangkan kemungkinan penularan dari pasien simptomatik dapat
berlangsung lebih lama, dengan kisaran 2 hari-2 minggu. Pada pemeriksaan feses
ditemukan gambaran Vibrio cholera dalam bentuk sel panktonic tunggal atau agregat
menyerupai biofilm.
Puncak epidemic kolera seringkali didahului oleh peningkatan prevalensi strain
pathogenic pada suatu lingkungan. Bakteriofag Vibrio cholera O1 dan O139 yang lytic juga
sering ditemukan di feses serta air pada lingkungan pasien.
Manifestasi Klinis1
Manifestasi klinis kolera bergantung pada keadaan endemic atau epidemic. Pada keadaan
endemic, infeksi kolera yang asimptomatik mencapai 40-80% dengan kasus penderita
terbanyak pada anak-anak dan tampak sebagai diare sedang yang tidak dapat dibedakan
2
dengan diare akibat infeksi enteropatogen lain. Sedangkan pada keadaan epidemic, angka
kejadian kolera dengan kondisi berat sebanding antara dewasa dan anak-anak. Penampakan
klinis Vibrio cholera O1 dan O139 kurang lebih sama, antara lain:
1. Watery diarrhea yang masif (mencapai 1 L per jam, diare menyerupai air cucian
beras, painless, tanpa disertai tenesmus, pada beberapa kasus dapat dijumpai rasa
tidak enak pada perut atau keram perut akibat bowel distension)
2. Muntah, biasanya terjadi pada awal penyakit.
3. Jika dijumpai demam, dicurigai akibat infeksi sekunder.
4. Dehidrasi dan abnormalitas elektrolit yang ditandai oleh keadaan lemas, mata
cekung, bibir kering, kulit dingin, penurunan turgor kulit, kaki dan tangan keriput.
5. Kussmaul, asidosis akibat kehilangan bikarbonat melalui feses dan lactic asidosis
akibat penurunan perfusi.
6. Nadi teraba cepat dan lemah. Bahkan dapat terjadi kesulitan dalam palpasi nadi
akibat penurunan tekanan darah.
7. Produksi urin menurun.
8. Keram otot akibat kehilangan elektrolit dan perubahan komposisi ion dalam tubuh
(terutama potassium dan calcium).
9. Pada anak-anak dapat terjadi hipoglikemia akibat deplesi cadangan glikogen dan
glukogenesis yang inadekuat. Hal ini terlihat dari keadaan anak yang tampak
kehilangan kesadaran, bahkan koma.
Diagnosis1
1. Pasien usia >5 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan atau
tanpa disertai riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya.
2. Pasien usia <2 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan disertai
riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya.
3. Jika tersedia fasilitas mikrobiologi dapat dilakukan isolasi mikroorganisme melalui
feses pada media selektif, yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan biochemical,
serogrouping, dan serotyping dengan menggunakan antibody spesifik.
4. Pemeriksaan feses dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x dapat ditemukan
adanya vibrio-cell shaped dengan ciri motilitas yang cepat.
3
5. Pemeriksaan immunoassay untuk mendeteksi toxin kolera atau lipopolisakarida Vibrio
cholera O1 dan O139.
Penatalaksanaan
1. Rehidrasi merupakan penatalaksanaan utama pada pasien kolera. Prosedur rehidrasi
disesuaikan dengan keadaan dehidrasi pasien serta riwayat gastroenteritis yang
mengalami kehilangan elektrolit jauh lebih banyak dibanding pasien non-cholera
gastroenteritis.1
2. Pasien dengan gejala hipogikemia dapat diberikan 0.25-0.50g/Kg glukosa secara
intravena hingga terlihat perbaikan klinis dari gejala hipoglikemia dan pasien mampu
menerima rehidrasi oral.1
3. Pemberian antibiotik bagi pasien kolera dengan dehidrasi ringan sampai sedang atau
dengan dehidrasi berat mampu mempersempit durasi diare dan menurunkan volume
feses hingga 50%.1 Keraguan dalam pemberian antibiotik seringkali muncul pada
pasien kolera yang disertai muntah hebat dan gejala infeksi. Umumnya muntah akan
segera berakhir beberapa jam setelah pasien mendapatkan rehidrasi, dan pemberian
antibiotik sebaiknya ditunda hingga pasien mampu mengkonsumsi makanan dan
minuman tanpa diikuti muntah.3
4. Pengaturan asupan nutrisi dengan diet energy tinggi mulai dilaksanakan setelah masalah
kekurangan cairan dapat teratasi. Pengaturan asupan tersebut dilakukan untuk
mencegah terjadinya malnutrisi dan komplikasi seperti hipokalemia dan hipoglikemia.
Bagi balita, asupan ASI merupakan pilihan utama dalam pelaksanaan rehidrasi oral.
Pada negara berkembang dianjurkan penambahan suplementasi vitamin A.1
5. Suplementasi zinc berguna untuk mengurangi durasi diare dan volume feses anak
penderita kolera, serta mengurangi kemungkinan kejadian diare selama beberapa bulan
kedepan (2-3 bulan). Pemberian zinc bagi usia <6 bulan sebanyak 10 mg/hari dan 20
mg/hari selama 10 hari untuk usia 6 bulan-5 tahun.1
6. Pemberian obat antimotility dan antiemetics dianggap tidak menguntungkan dan bahkan
terancam memperpanjang durasi infeksi atau memberikan efek sedative yang nantinya
akan turut mempengaruhi efektifitas terapi rehidrasi oral.1
4
Tabel Prosedur Rehidrasi1
Tanpa Dehidrasi
(<5%)
Dehidrasi Ringan-
Sedang (5-10%)
Dehidrasi Berat
(>10%)
Manifestasi Klinis pada Derajat Dehidrasi
Penampakan
Umum
Baik, sadar Gelisah, rewel Lemas atau tak sadar
Mata Normal Mata cekung Mata cekung
Rasa Haus Minum dengan
normal
Haus, minum dengan
sangat kuat
Lemah dan tidak ingin
minum
Turgor Kulit Kembali dengan
cepat pasca cubitan
Kembali dalam
waktu lebih lambat
pasca cubitan (<2
detik)
Kembali dalam waktu
sangat lambat pasca
cubitan (>2 detik)
Nadi Normal Cepat, lemah Lemah atau tidak
teraba
Rehidrasi*
Penggantian
cairan
Sesuai dengan
jumlah cairan yang
hilang
75 ml/kg selain
penggantian cairan
yang hilang
100 ml/kg selain
penggantian cairan
yang hilang
Rute rehidrasi Oral** Oral atau intravena intravena
Waktu Setiap kali merasa
haus
Penggantian cairan
setiap 3-4 jam
Secepat mungkin
hingga sirkulasi
kembali normal,
lengkapi rehidrasi
dalam waktu 3 jam
5
Pemantauan Observasi hingga
cairan yang hilang
dapat benar-benar
tergantikan oleh
pemberian ORS
Observasi setiap 1-2
jam hingga semua
tanda dehidrasi
teratasi atau pasien
berkemih
Observasi setiap 1-2
jam
ORS=Oral Rehidration Solution
*pasien dengan gangguan comorbid seperti malnutrisi berat, komplikasi, balita dan lansia
perlu menyesuaikan dengan kondisi spesifik pasien
**penggunaan oral tidak efektif jika cairan yang hilang lebih dari 10ml/kg per jam
Tabel Antibiotik untuk Pasien Kolera1
Dosis Pediatric Dosis Dewasa Keterangan
Tetracyclines
Tetracycline 12.5 mg/kg per
dosis, 4 kali sehari
selama 3 hari
500 mg, 4 kali sehari
selama 3 hari
Tidak dianjurkan
bagi wanita hamil,
anak-anak usia <8
tahun karena
beresiko
menyebabkan
perubahan warna
gigi secara
permanen
Doxycycline 4-6 mg/kg, dosis
tunggal
300 mg, dosis
tunggal
Fluoroquinolones
Ciprofloxacin 15 mg/kg per dosis,
4 kali sehari selama
3 hari
500 mg, 2 kali sehari
selama 3 hari
Macrolides
Erythromycin 12.5 mg/kg per
dosis, 4 kali sehari
selama 3 hari
250 mg, 4 kali sehari
selama 3 hari
Azithromycin dosis
tunggal pada anak-
anak lebih
dianjurkan, karena Azithromycin 20 mg/kg, dosis 1 g, dosis tunggal
6
tunggal pada beberapa
Negara
membuktikan
azithromycin jauh
lebih efektif
daripada
ciprofloxacin
Komplikasi
Kolera seringkali dapat menyebabkan dehidrasi berat dan abnormalitas elektrolit dalam
waktu beberapa jam. Keadaan hipotensi yang ditemui pada pasien kolera dapat berdampak
pada stroke (terutama pada lansia), renal compromise dan muntah yang dikhawatirkan
dapat menyebabkan aspiration pneumonia. Tetapi kolera merupakan infeksi akut yang
tidak pernah menampakkan gejala kronik.
Pencegahan
1. Menjaga kebersihan lingkungan.1
2. Menggunakan air yang aman dan tidak berbahaya.3
3. Membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti rutin mencuci tangan
menggunakan sabun.1
4. Pada daerah yang beresiko tinggi diperlukan adanya tambahan edukasi mengenai
penggunaan rehidrasi oral secara sederhana dan informasi mengenai ketersediaan
layanan kesehatan apabila terjangkit penyakit tersebut.3
5. Vaksinasi.1
Dosis Interval
Pemberian
Dosis
Volume
Dosis
Booster Efikasi Keterangan
Dukoral
Usia 2-5
tahun
3 14 hari
(toleransi
7-42)
3 ml vaksin
dan 75 ml
buffer
Setiap 6
bulan
60-85%
terlindungi
selama 6 bulan,
kemudian
Dianjurkan oleh
WHO, memiliki
lisensi di banyak
Negara, aman
7
menurun selama
24-36 bulan
digunakan oleh
penderita HIV,
Usia > 6
tahun
2 14 hari
(toleransi
7-42)
Shanchol
> 1
tahun
2 14 hari 1-5 ml Setiap 2
tahun
60-70%
memberikan
proteksi selama
24-36 bulan
Dianjurkan oleh
WHO, lebih
terjangkau, tidak
memerlukan buffer
dalam
penggunaannya,
ESCHERICHIA COLI
Diare menjadi salah satu penyebab yang paling umum dari morbiditas dan kematian pada
bayi dan anak-anak, terutama di negara-negara berkembang. Etiologi diare mencakup
berbagai virus, bakteri dan parasit. Di antara bakteri patogen, diarrheagenic Escherichia coli
(DEC) adalah patogen tersering penyebab diare di seluruh dunia.4
Strain DEC secara dibagi menjadi enteropathogenic E. coli (EPEC),
enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), Shiga toxin-producing E.
coli (STEC), diffusely adherent E. coli, dan enteroaggregative E. Coli.6
Patogenesis
Enteropathogenic E. coli (EPEC) terdiri atas antigen oligosakarida (O), flagela (H), dan
kapsuler (K). Mereka terkait dengan wabah diare pada anak-anak dalam negara
berkembang. Biasanya bersifat self limited dan rehidrasi adalah pengobatan yang paling
efektif. Penggunaan antibiotik kurang penting dan telah dikritik atas dasar toksisitas obat
dan risiko meningkatnya resistensi.6
8
Enteropathogenic E. coli (EPEC) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tEPEC dan
EPEC atipikal (aEPEC). Properti yang membedakan keduanya adalah adanya faktor
plasmid, yang hanya ditemukan di tEPEC. tEPEC dan aEPEC memiliki kesamaan
kemampuan untuk membentuk lesi A/ E, yang merupakan mekanisme patogenik utama di
kedua kelompok.7
Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab utama morbiditas
terutama pada anak di bawah 5 tahun. Infeksi ETEC berasal dari air yang tercemar atau
makanan, dan inokulum yang relatif tinggi diperlukan untuk menghasilkan infeksi (> 108
CFU). infeksi ETEC memiliki manifestasi khas yaitu gejala muncul 3 hari setelah invasi
organisme, dapat menimbulkan gejala gastrointestinal mulai dari ringan sampai diare berat,
dengan atau tanpa demam dan muntah, biasanya tanpa leukosit feses atau darah. Meskipun
dapat sembuh dalam 1-3 hari, penyakit ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada
anak-anak dan lansia.5
ETEC mengeluarkan dua enterotoksin, heat labile (LT) dan heat stablel (ST). LT
adalah racun yang sama AB5 toksin kolera yang akhirnya mengarah pada peningkatan
siklik AMP. ST adalah peptida kecil yang mengaktifkan guanylyl adenilat mengarah ke
peningkatan produksi siklik GMP. Hasil bersih dari LT dan ST adalah perubahan sinyal
beberapa jalur dari enterosit, sehingga sekresi klorida meningkati dan akhirnya terjadi diare
berair.5
Patogenesis EIEC sangat mirip dengan Shigella. EIEC menembus dan berkembang
biak dalam sel epitel usus menyebabkan kerusakan sel luas. Sindrom klinis identik dengan
disentri Shigella dan termasuk diare disentri dengan demam. EIEC ternyata kurang
adhesins fimbrial tetapi memiliki suatu adhesin spesifik yang, seperti dalam Shigella, EIEC
merupakan organisme invasif. Mereka tidak menghasilkan LT atau toksin ST. Tidak ada
reservoir hewan diketahui untuk EIEC. Oleh karena itu sumber utama untuk EIEC
tampaknya adalah manusia yang terinfeksi. Setidaknya 106 organisme EIEC diperlukan
untuk menyebabkan penyakit pada orang dewasa yang sehat.7
Transmisi utama Shiga toxin-producing E. coli (STEC) adalah makanan, karena
terjadi peningkatan konsumsi sayuran segar dan buah-buahan. Virulensinya diketahui 9
mampu menginfeksi walaupun jumlah yang meninvasi manusia sedikit kemudian dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan hemolitik uremik sindrom. Asam lambung merupakan
mekanisme pertama untuk patogen yang tertelan namun telah dilaporkan bahwa organisme
ini resisten terhadap asam lambung. Meskipun mekanisme yang mendasari untuk hal ini
tidak sepenuhnya dipahami, produksi toksin shiga merupakan penentukan virulensinya.8
Fitur yang membedakan strain enteroaggregative E. Coli (EAEC) adalah
kemampuan mereka untuk menempel pada sel kultur jaringan secara agregatif. Strain ini
berhubungan dengan diare persisten pada anak-anak. Mereka menyerupai ETEC strain dan
menyebabkan diare tidak berdarah tanpa menyebabkan atau menyebabkan peradangan. Ini
menunjukkan bahwa organisme menghasilkan enterotoksin. Pentingnya strain EAEC dalam
penyakit manusia masih kontroversial.
Manifestasi klinis 4,6,7,8
EPEC Biasanya mengenai anak-anak, diare berair dengan darah, peradangan, tidak
demam, gejala mungkin terjadi terutama dari invasi daripada toxigenesis
ETEC Rapid onset watery diare, tidak ada inflamasi, tidak demam, nyeri abdomen,
malaise, mual, dan muntah. Diare dan gejala lainnya berhenti secara spontan
setelah 24 sampai 72 jam.
EIEC disentri-like diare (lendir, darah), peradangan, demam berat
STEC diare pediatrik, perdarahan berlebihan (hemoragik colitis), respon inflamasi yang
intens, komplikasi berupa uremia hemolitik
EAE
C
persisten diare pada anak-anak tanpa peradangan atau demam
Diagnosis 5,6,7,8
Diagnosis didasarkan atas gambaran klinis dan dikonfirmasi dengan kultur tinja.
Serotyping dan tes untuk faktor virulensi kadang-kadang dilakukan jika terjadi outbreaks.
Tatalaksana 5,6,7,8
1. Atasi dehidrasi sesuai dengan tingkat dehidrasi10
2. Trimethoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) harus diberikan jika diare sedang
atau berat dicatat. Antibiotik parenteral generasi kedua atau generasi ketiga
cephalosporin diindikasikan untuk komplikasi sistemik. Pengobatan antibiotik
diindikasikan untuk bayi berusia kurang dari 3 bulan dengan EPEC dan pasien
yang tetap bergejala
SALMONELLA SPP.
Salmonella merupakan agen yang paling sering dalam menyebabkan penyakit
gastroenteritis yang merupakan self-limiting hingga penyakit sistemik yaitu demam
typhoid. Penyakit yang ditimbulkan berdasarkan pada serotype-nya. Namun yang paling
sering terjadi secara global ataupun di Negara berkembang dan pada seseorang dnegan
immunodeficiency ialah Salmonella enteric serovar Paratyphi B yang menjadi penyebab
primer dari gastroenteritis.9,10
Ada lebih dari sekitar 2000 yang merupakan pathogen bagi mausia, dimana bayi dan
orang tua merupakan resiko utama yang paling tersering terkena infeksi salmonella ini.
Salmonella sendiri berasal dari hewan seperti tikus yang merupakan reservoir major.
Adapun gejala klinisnya antara lain:13
1. Tidak terdapat onset akut seperti mual, muntah.
2. Diare dapat terjadi watery diarrhea, ataupun bloody diarrhea.
3. Demam dapat terjadi pada 70% anak.
4. Demam yang terjadi juga dapat sebagai enteric fever yang diakibatkan oleh
Salmonella typhy atau parathypi A, B, C atau biasa dikenal dengan demam fever.
Secara umum perbedaan gejala dapat terlihat pada tabel berikut:
11
Tabel 1. Clinical features of infection with selected diarrheal pathogens5
Dalam menegakkan diagnosis diare yang disebabkan oleh Salmonella, dapat dilakukan
dengan cara “Selective enrichment fecal cultures”, yaitu dengan cara Dacron steril swab
digunakan untuk menyuntikkan material feses ke dalam 10 ml mannitol selenite yang
kemudian diinkubasikan pada suhu 37 derajat selsius selama semalam. Selanjutnya di
masukkan ke dalam xylose lactose deoxycholate agar dan diinkubas kembali pada suhu 37
derajat selsius semalaman. Dugaan koloni salmonella yang terbentuk kemudian di taruh ke
dalam agar darah dan diinkubasi kembali pada suhu dan dan durasi yang sama, lalu di tes
dengan menggunakan commercial salmonella latex agglutination kit.11
Setelah diagnosis ditegakkan dengan melihat gejala klinis ataupun dengan menunggu hasil
kultur baketei, terapi yang digunakan antara lain:
12
Tabel 2. Penggunaan Antibiotika pilihan dan kecendrungan resistensi terhadap
Salmonella.12
CAMPYLOBACTER JEJUNI 14
Campylobacteriosis adalah penyakit diare yang ditularkan melalui makanan dan air yang
disebabkan oleh bakteri dari genus Campylobacter, dengan sebagian besar kasus
disebabkan oleh C. jejuni. Spesies Campylobacter memiliki distribusi di seluruh dunia, dan
merupakan penyebab utama diare akut campylobakteriosis dan enterokolitis seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, sekitar 1 juta gejala infeksi Campylobacter terjadi setiap tahun.
Sebagian besar infeksi Campylobacter diperoleh melalui rute oral setelah pemeliharaan
unggas atau mengkonsumsi unggas matang.
Epidemiologi
Lebih dari 16 spesies Campylobacter telah diidentifikasi, tetapi kebanyakan infeksi klinis
terjadi pada orang dewasa yang imunokompeten terhadap C. jejuni. Campylobacters
berkoloni di usus besar domba pertanian dan hewan domestik, termasuk ternak khususnya
kambing, babi, dan unggas, yang berfungsi sebagai sumber utama infeksi pada manusia. 13
Dalam survei mikrobiologis produk daging mentah, ayam broiler muncul menjadi sumber
umum dari kontaminasi dengan C.jejuni yang dideteksi pada 31% sampai 83% dari sampel.
Kejadian infeksi Campylobacter bervariasi seluruh dunia tetapi tampaknya mulai
menurun di negara negara industri karena perbaikan pada pengolahan unggas.
Epidemiologi dan manifestasi klinis penyakit akibat C. jejuni berbeda tajam pada negara
berkembang. Infeksi terjadi tanpa variabilitas musiman di iklim hangat, dan C. jejuni sering
ditemukan dengan kopatogen lainnya. Gejala penyakit ini muncul paling sering pada anak-
anak, dan isolasi organisme Campylobacter pada orang tua. Campylobacter juga
merupakan penyebab penting dari traveller diare. Dalam sebuah studi dari 322 pengunjung
ke Jamaika yang menderita diare, C. jejuni menyumbang 6% dari kasus.Campylobacter
menyumbang 9% dari bakteri penyebab diare pada 328 ekspatriat ke Nepal dan 64% dalam
pasukan militer AS di Thailand. Spesies Campylobacter telah dilaporkan sebagai penyebab
enterik menular seksual Infeksi pada pria homoseksual. Laporan kasus menggambarkan
transmisi perinatal ibu ke bayi dan nosokomial tersebar di rumah sakit.
Morfologi
Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora dan
sangat motil dan berflagella. Semua spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase-
14
positif dan tumbuh pada 37°C. C. Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C.
Campylobacters tumbuh lambat, dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48
jam. Organisme ini juga umumnya rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan,
keasaman, dan disinfektan.
Patogenesis
Campylobacters menyebabkan inflamasi enteritis akut nonspesifik yang melibatkan usus
besar dan usus kecil; edema dari daerah yang terinfeksi yang terdiri dari neutrofil dan sel
mononuklear dilihat secara histologis. Setelah ingesti oral, patogen bergerak melalui
lapisan lendir usus melalui flagelnya dan bermultiplikasi di ileum distal dan kolon.
Campylobacters menyebabkan diare dengan merusak sel epitel usus baik secara langsung
dengan menyerang sel-sel atau tidak langsung dengan memulai respon inflamasi. Dosis
infektif C. jejuni bervariasi tergantung pada strain tetapi mungkin serendah 500 organisme
dalam susu. Dalam penelitian yang melibatkan 111 sukarelawan dewasa, dosis infektif C.
jejuni berkisar 800 sampai 2 × 109 organisme. Tingkat infeksi meningkat sesuai dosis,
tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dosis dan perkembangan penyakit, dengan 10%
sampai 50% dari sukarelawan menjadi demam dan / atau diare pada dosis tersebut.
Manifestasi Klinis
15
Banyak orang dengan infeksi Campylobacter adalah asimtomatik. Tingkat infeksi
asimtomatik bervariasi menurut umur dan daerah. Dalam penelitian yang dilakukan
pada 2 rumah sakit akademik besar di Baltimore dan New Haven, Campylobacter diisolasi
dari 0,9% individu yang sehat dari segala usia tanpa gejala diare tetapi tidak ditemukan
dalam kontrol subyek dewasa yang sehat dalam penelitian yang dilakukan di Swedia. Pada
gejala individual, timbulnya penyakit klinis terjadi 1 sampai 7 hari setelah menelan bakteri.
Diare akut adalah yang paling umum, terjadi pada 98% sampai 99% dari pasien disentri.
Gejala klasik mungkin terjadi pada tinja berlendir dengan volume sedikit yang mengandung
okultisme atau darah kotor. Namun, cairan dengan volume yang banyak tanpa disentri juga
dapat terjadi. Pada pasien imunokompeten, gejala menonjol lainnya termasuk perut kram,
mual, muntah, demam, sakit kepala, dan mialgia. Demam dan gejala gastrointestinal,
termasuk kram perut dan mual, tetapi tanpa diare juga telah dilaporkan. Penyakit dengan
diare berat, sakit perut, atau demam tinggi adalah pertimbangan untuk masuk rumah sakit
dan replacement.
Penyakit gastrointestinal berat, termasuk diare kronis, bakteremia dengan atau tanpa
diseminasi ekstraintestinal, dan sindrom pascainfeksi yang jarang terlihat pada pasien yang
sehat. Penyakit yang berkepanjangan dan parah lebih sering terjadi pada individu dengan
sindrom imunodefisiensi, termasuk HIV / AIDS. Pada 38 pasien dengan HIV dan infeksi
Campylobacter, sebagian besar pasien mengalami diare akut, demam, dan nyeri perut,
namun 4 pasien (11%) mengalami bakteremia, dan 8 pasien (21%) mengalami diare kronis.
16
Komplikasi Pasca Infeksi
Komplikasi pascainfeksi yang terkait dengan infeksi Campylobacter termasuk sindrom
Guillain-Barré, arthritis reaktif, sindrom pasca infeksi iritasi usus, dan berpotensi
Immunoproliferative Small Intestinal Disease (IPSID).
Diagnosis
Infeksi Campylobacter harus dicurigai pada pasien dengan demam dan diare akut, terutama
diare yang disertai dengan tinja berdarah dan berlendir, termasuk wisatawan internasional.
Karena presentasi klinis mirip dengan yang terlihat denganbakteri patogen umum lainnya
seperti Salmonella, Shigella, Yersinia, Clostridium difficile, dan E. coli, sehingga diduga
diagnosis berdasarkan presentasi klinis tidak bisa dibuat.
17
Diagnosa dibuat dengan mengisolasi campylobacters dari sampel tinja. Spesimen
untuk kultur harus memiliki eksposur oksigen minimal dan akan diproses dalam waktu 24
jam. Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora
dan sangat motil. Pewarnaan Gram tinja diare menunjukkan bakteri melengkung atau
berbentuk spiral gram negatif batang. Diagnosis pasti didasarkan pada kultur tinja dalam
kondisi mikroaerofilik (5%-10% oksigen, 1%-10% karbon dioksida, 85% nitrogen). Semua
spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase-positif dan tumbuh pada 37°C. C.
Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C. C. jejuni sendiri dapat dibedakan menurut
kemampuan untuk menghidrolisis kenaikan hippurate. Campylobacters tumbuh lambat,
dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48 jam. Organisme ini juga umumnya
rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan, keasaman, dan disinfektan.
Pengobatan
Kebanyakan kasus campylobakteriosis adalah self limiting pada pasien
imunokompeten tanpa tanda-tanda infeksi sistemik, hanya membutuhkan perawatan
suportif dengan hidrasi yang memadai. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa
pengobatan antibiotik menguntungkan bila mulai dari awal, mengurangi durasi diare serta
memperpendek durasi mikrobiologis. Bagaimanapun juga, tidak ada tanda klinis yang
mendukung penggunaan antibiotik, seperti yang tercantum saat ini pada pedoman untuk
pengelolaan menular diare. Dua uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan manfaat
dari antibiotik dalam pemberantasan pengangkutan tinja tetapi tidak menunjukkan
perubahan dalam durasi penyakit. Karena tidak ada standar perawatan yang jelas untuk
pengobatan individu imunokompeten, penilaian klinis harus digunakan untuk memutuskan
apakah untuk mengobati dengan antibiotik atau tidak. Kebijaksanaan penggunaan antibiotik
akan menguntungkan pasien apabila darah terlihat dalam tinja, demam, dan / atau
memburuknya gejala, seperti peradangan diare lainnya. Ibu hamil dan individu dengan
kondisi medis imunosupresif, termasuk HIV / AIDS, juga harus menerima antibiotik. C.
jejuni telah sensitif terhadap macrolides, tetrasiklin, fluoroquinolones, aminoglikosida,
imipenem, dan kloramfenikol tetapi tahan terhadap trimethoprim. Eritromisin pilihan
utama terapi. Dengan diperkenalkannya fluoroquinolones, ciprofloxacin menjadi andalan
empirik pengobatan untuk diare akut dan diare travellers.
18
Di Amerika Serikat, resistensi siprofloksasin naik dari 0% pada tahun 1989 menjadi
19% pada tahun 2001 dan telah mencapai 90% di Thailand. Saat ini, antibiotik macrolide
adalah pengobatan pilihan untuk pasien rawat jalan dengan infeksi Campylobacter yang
didapat di Amerika Serikat yang membutuhkan terapi: eritromisin (500 mg dua kali sehari
selama 5 hari) atau azithromycin (500 mg oral setiap hari selama 3 hari). Azitromisin harus
digunakan untuk diare travellers akibat infeksi Campylobacter dan empiris di mana
resistensi kuinolon harus diantisipasi. Pada personel militer AS di Thailand, azitromisin
terbukti seefektif ciprofloxacin dalam memperpendek penyakit bergejala dan tingkat
kesembuhan mikrobilogis. Penyakit sistemik dapat diobati dengan berbagai antibiotik
intravena, termasuk sefotaksim, imipenem, ampisilin, dan parenteral aminoglikosida, tetapi
sensitivitas antimikroba harus selalu diperiksa.
Pencegahan
Pencegahan infeksi Campylobacter melibatkan perhatian untuk menangani unggas mentah
dan konsumsi unggas matang serta air dan makanan terkontaminasi. Antara 50% dan 70%
dari infeksi sporadis yang disebabkan oleh unggas; pembersihan menyeluruh dari papan
pemotong, memasak yang tepat (170°F-180°F) dan mencuci tangan setelah penanganan
ayam harus dilaksanakan di rumah. Wisatawan internasional, individu imunokompromise,
dan wanita hamil harus mengikuti tindakan pencegahan umum untuk melindungi terhadap
diare,
termasuk konsumsi air minum yang bersih, menghindari susu yang tidak dipasteurisasi dan
daging matang, dan perhatian yang lebih untuk kebersihan tangan.
CAUSA AEROMONAS SP 15
Diare yang di sebabkan oleh bakteri saat berpergian atau travelling, bakteri yang
menginfeksi memiliki empat biotipe dari bakteri aeromanas sp yaitu biotipe A. veronii
biotype sobria A. caviae A. jandaei A. hydrophila.
Etiologi dan Epidemiologi
Diare ini di sebabkan oleh aeromonas sp, dengan biotipe A. veronii biotype sobria A.
caviae A. jandaei A. hydrophila. Penyakit ini biasanya di sebabkan karena berpergian
19
biasnya akibat makan sembarangan. Biasanya akibat mengkonsumsi sayuran yang di cuci
atau yang di masak tidak matang. Penyebaran dan kondisi geografis dari penyebaran
penyakit yang di sebabkan oleh biotipe aromonas sp.
Menifestasi Klinis
Terapi
20
Dari hasil studi yang dilakukan terpai medikamentosanya yaitu amoxicillin plus clavulanic
Acid. Kemudian untuk diare yang persisten dapat di berikan antibiotic seperti norfloxacin,
ciprofloxacin, trimethoprim-sulfamethoxazole.
YERSINIA ENTEROCOLITICA DAN YERSINIA PSEUDOTUBERCULOSIS
Epidemiologi
Foodborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui makanan merupakan masalah
kesehatan yang luas ditemukan di negara maju dan berkembang. Salah satunya yaitu
yersiniosis karena infeksi dengan bakteri Yersinia enterocolitica yang sering dilaporkan
zoonotic gastrointestinal disease setelah campylobakteriosis dan salmonellosis di banyak
negara maju, terutama di negara-negara subtropis. Di Negara maju, insiden yersiniosis dan
wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan yang tampaknya lebih rendah di Amerika
Serikat daripada banyak negara Eropa. Di negara Eropa jumlah kasus yang dilaporkan di
Inggris dan Wales lebih rendah dibandingan dinegara-negara eropa lain di mana kurang
dari 0,1 kasus per 100.000 orang yersiniosis dilaporkan di Inggris pada tahun 2005, berbeda
dengan 12.2 di Finlandia dan 6,8 di Jerman. Di sisi lain, tingginya prevalensi penyakit
pencernaan, termasuk kasus fatal akibat yersiniosis juga diamati di banyak negara
berkembang seperti Bangladesh, Irak, Iran, dan Nigeria, yang menunjukkan masalah utama
keamanan pangan di negara-negara yang pemsukannya rendah. Di seluruh dunia, infeksi Y.
enterocolitica terjadi paling sering pada bayi dan anak-anak dengan gejala umum seperti
demam, sakit perut, dan diare, yang sering berdarah. Anak-anak dan dewasa muda tidak
keluar dari resiko. Gejala dominan dalam kelompok-kelompok usia adalah nyeri perut pada
sisi kanan dan demam, kadang-kadang disalah artikan dengan appendisitis. Adapun
komplikasi Y. enterocolitica seperti ruam kulit, nyeri sendi, atau penyebaran bakteri ke
aliran darah juga dapat terjadi.16
Etiologi
Yersiniosis biasanya merupakan self-limiting disease, merupakan penyakit
gastrointesintestinal yang menjadi perhatian global. Agen penyebab yang dikenal yaitu
21
Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis (sangat jarang).17 Y. enterocolitica
merupakan anggota dari genus Yersinia yang meliputi kumpulan heterogen bakteri
fakultatif anaerob yang termasuk dalam keluarga Enterobacteriaceae. Dari 11 spesies dalam
genus ini, hanya tiga, Y. pestis, Y. pseudotuberculosis, dan Y. enterocolitica dianggap
sebagai patogen bagi manusia sedangkan Y. ruckeri adalah patogen ikan, dan Y.
enterocolitica-seperti organisme Y. krirtensenii, Y intermedia,. Y. mollaretii, Y. dan Y.
frederiksenii bercovieri belum teridentifikasi peran dalam penyakit manusia.18 Yersinia
enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis adalah bakteri gram negative yang tidak
memfermentasikan laktosa serta bersifat urease-positif dan oksidase-negatif. Bakteri ini
tumbuh paling baik pada suhu 25° C dan tidak dapat bergerak pada suhu 37° C. Baktei ini
dapat ditemukan pada saluran intestinal berbagai jenis binatang, yang dapat menyebabkan
penyakit, dan dpat ditularkan ke manusia yang dapat menyebabkan berbagai macam
sindrom klinis. Yersinia enterocolitica telah diisolasi dari binatang penggerat dan binatang
domestic (misalnya domba, sapi, babi, anjing, dan kucing) serta dari air yang
terkontaminasi. Transmisi ke manusia mungkin terjadi melalui kontaminasi makanan,
minuman atau benda-benda yang terkontaminasi dan dapat berperan dalam transimisi
organism terebut. Yersinia pseudotuberculosis terdapat pada hewan piaraan dan sawah
serta burung. Infeksi pada manusia mungkin disebabkan oleh konsumsi bahan yang
terkontaminasi dengan feses binatang.19
Pathogenesis
Patogenesis Y. enterocolitica ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan isolasi Y.
enterocolitica dari bahan makanan atau klinis memiliki salah satu dari dua sifat patogen.
Pertama adalah kemampuan untuk menembus dinding usus, yang diduga dikendalikan oleh
virulensi plasmid 70-kb (pyv / PCD) gen, yang tidak ada dalam strain avirulen, kedua
adalah produksi heat-stable enterotoxin yang dikendalikan oleh gen kromosom (Ysta, ystB,
dan ystC).18 Yersinia biasanya tertelan secara tidak langsung dengan makanan. Meskipun
jauh lebih jarang, Infeksi juga dapat terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan
yang sakit. Bakteri memasuki saluran usus yang lebih rendah, menembus mukosa dan
diangkut dengan makrofag ke getah bening mesenterika. Peristiwa utama dari pathogenesis
22
yersinia adalah melakukan kolonisasi pada saluran usus khususnya usus kecil bagian distal
(terminal ileum) dan usus proksimal. Dengan demikian sebagain besar efek patologis dan
manifestasi klinis terjadi pada lokasi ini.19
Keterangan:19
1. Sel yersinia melintasi epitel usus melalui sel epitel pada submucosa.
2. Pada submukosa makrofag memfagositosis patogen dan masuk ke dalam sistem
limfatik
sehingga mencapai MLN (mesenterika kelenjar getah bening) yang memicu respon
peradangan dan menyebabkan sakit perut.
3. Atau, bakteri dapat ditelan oleh sel M.
4. Setelah di Peyer’s patches (PP). Yersinia membentuk mikrokoloni dan mulai
replikasi.
5. Akhirnya, Sel-sel bakteri yang terletak di MLN dan bersama-sama dapat terbentuk
mikrokoloni untuk memungkinkan replikasi.
Manifestasi Klinis:
23
Gambar 1. Pathogenesis yersinia19
Gejala awalnya meliputi demam, nyeri abdomen, dan diare. Diare bervariasi dari cair
sampai berdarah dan dapat terjadi akibat enterotoksin atau invasi mukosa. Kadang-kadang
nyeri abdomen yang terjadai dapat parah dan berada di kuadran kanan bawah,
menimbulkan kecurigaan apendisitis. Satu sampai dua minggu awitan penyakit, beberapa
pasien mengalami atralgia, arthritis, dan eritema nodosum, yang diduga terjadi akibat rekasi
imunologik terhadap infeksinya. Infeksi yersinia sangat jarang menyebabkan pneumonia,
meningitis, atau sepsis, pada kebanyakan kasus, penyakit ini dapat sembuh dengan
sendirinya.16,17
Diagnosis
Gold standart dalam mendiagnosis pasti yersinia adalah dengan kultur dengan
menggunakan media agar MacConkey. Reaksi aglutinasi, ELISA atau uji imunoblot dapat
digunakan untuk mendeteksi antibodi.19-20
Penatalaksanaan
Sebagian besar daire yang disebabkan infeksi yersinia dapat sembuh dengan sendirinya,
dan manfaat terapi antimikroba masih belum diketahui . Y enterocolitica secara umum
sensitive terhadap aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, tripmetropin-
sulfametoksazol, piperasilin, sefalosporin generasi ketiga, dan flurokuinolon; bakteri ini
secara khas resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin generasi pertama. Sepsis atau
meningitis yersinia yang sudah terbukti memliki laju mortalitas yang tinggi, tetapi kematian
terutama terjadi pada pasien imunokompromais. Sepsis yersinia dapat diobati dengan
sukses menggunakan sefalosporin generasi ketiga (mungkin dalam kombinasi dengan
aminoglokosida) atau florokuinolon (mungkin dalam kombinasi dengan antibiotika lain).
Pada kasus-kasus yang gejalan klinisnya mengarah jelas pada apendisitis atau adenitis
mesenteric, eksplorasi pembedahan harus dilakukan kecuali pada beberapa kasus yang
muncul secara simultan mengindikasikan danya kemungkinan infeksi yersinia.19
24
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Staphylococcus aureus merupakan penyebab penting infeksi yang didapat dari komunitas
dan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Beberapa studi menunjukkan kolonisasi
pada saluran pencernaan pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki banyak implikasi
terhadap kolonisasi tersebut.21
Mekanisme kolonisasi dari S.aureus, dapat menginduksi peningkatan risiko infeksi
staphylococcal masih belum diketahui. Squire et al menyatakan bahwa kolonisasi
interstinal oleh S.aureus dapat berasosiasi dengan peningkatan frekuensi dari kontaminasi
atau kolonisasi pada bagian kulit, oleh karenanya meningkatkan risiko kontaminasi dari
peralatan, luka, atau membran mukus. Selain itu, untuk memfasilitasi infeksi, besarnya
jumlah S.aureus dari feses ke kulit dan permukaan lingkungan secara potensial
berkontribusi terhadap transmisi nosocomial.21
Faktor risiko multipel untuk AAD (antibiotic associated diarrhea) telah
dideskripsikan termasuk meningkatnya umur, perpanjangan waktu di rumah sakit, dan
pemberian spektrum luas sefalosporin, spektrum luas penisilin, dan klindamisin. Risiko
yang berkaitan dnegan prosedur pemberian makan melalui tabung, enemas, endoskopi.
S.aureus menghasilkan enterotoksin A, C, D, dan toksik sindrom shock.22
Meticilin resistant S.aureus (MRSA) telah menjadi infeksi yang signifikan
terhadap infeksi nosokomial. Kemudian strain baru community acquired MRSA (CA-
MRSA), telah menjadi infeksi yang terjadi di luar rumah sakit. CA-MRSA dan hospital
acquired MRSA (HA-MRSA) dibedakan berdasarkan pada tempat pelayanan kesehatan.
Untuk strain CA-MRSA membawa gen Panton-Valentine leukocidin (PVL),
staphylococcal chromosomal cassette mec (SCCmec) tipe IV. Bakteri ini bisa terjadi pada
daging yang kurang dimasak.23
Saat ini, pada studi prospektif 2 tahun di rumah sakit di Perancis diidentifikasi 60
kasus AAD Staphylococcus aureus. Studi yang dilakukan Asha (2006) mendapati 735
patogen AAD pada 4.659 sampel feses, didapati 0,2% sekitar 10 sampel yang terinfeksi
25
S.aureus.22 Keberadaan S.aureus terutama strain enterotoksigenik berkaitan dengan
perkembangan AAD, kontaminasi lingkungan, rekolonisasi pada pasien dan perkembangan
sindrom syok toksik. Resistensi luas pada penggunaan antibiotik menyebabkan penyebaran
luas dari patogen ini, dimana flora normal pada usus tereliminasi karena antibiotic.24 Dalam
penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses. Pengobatan dengan
mupirocin (bactoban) tampaknya efektif dalam mengeliminasi MRSA dari hidung karier
sehat, tetapi dekolonisasi (menterapi pasien untuk menghilangkan bakteri) tidak
direkomendasikan.25
LISTERIA MONOCYTOGENES26
Listeria monocytogenes merupakan patogen yang berbahaya pada orang hamil, neonatus,
orang tua, dan individu dengan keadaan immunocompromised. Selain itu, pasien kanker
juga berisiko tinggi terkena infeksi listeria.
Manusia tertular kuman Leisteria monositogene, dari makanan yang tercemar.
Makanan tercemar kuman, karena di lingkungan banyak hewan yang mengandung kuman
di dalam saluran cernanya, meskipun hewan yang mengandung kuman tidak menunjukkan
gejala. Kuman Listeria terdapat di seluruh dunia dan hidup di dalam usus hewan seperti
burung, binatang berkulit keras (crustacea) dan hewan arachnoidea (laba-laba).
Kuman Listeriasecara alami terdapat pada tanah dan air serta sayur dan rerumputan.
Listeria telah ditemukan di berbagai jenis makanan mentah (bahkan seafood), tetapi
terutama dalam daging, sayuran, dan keju. Ia bahkan telah ditemukan dalam makanan
olahan karena kontaminasi selama atau setelah pengolahan. Setelah makanan yang
terkontaminasi atau cairan telah tertelan, mungkin diperlukan waktu hingga tiga minggu
untuk organisme menyebabkan gejala.
Janin dapat terinfeksi setelah ibu terpapar organisme, bakteri ternyata mencapai
janin melalui aliran darah. Bayi baru lahir dapat memperoleh bakteri selama prosedur
bedah caesar atau terkena mereka saat melintasi vagina.
26
Epidemiologi
Wanita usia subur yang umumnya terkena. Frekuensi infeksi L monocytogenes di Amerika
Serikat adalah 9,7 kasus per juta penduduk. Setiap tahun, 2500 kasus dilaporkan, dengan
tingkat insiden yang lebih tinggi selama musim panas. 27% dari semua kasus adalah wanita
hamil, dan sebagian besar terjadi selama trimester ketiga. Tujuh puluh persen dari semua
infeksi nonperinatal terjadi pada pasien immunocompromised. Terapi kortikosteroid
merupakan faktor predisposisi yang paling penting pada pasien yang tidak hamil. Faktor
risiko lain termasuk usia lanjut dan pasien kemoterapi.
Manifestasi klinis
Seseorang dengan listeriosis biasanya mengalami demam dan nyeri otot, sering didahului
dengan diare atau gejala gastrointestinal lainnya. Hampir semua orang yang didiagnosis
dengan listeriosis mengalami infeksi invasif (yang berarti bahwa bakteri menyebar dari
usus ke aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya). Beberapa orang dapat
mengembangkan lebih gejala berat seperti meningitis, perubahan mental, abses otak, atau
bahkan kematian.
Gejala bervariasi dengan orang yang terinfeksi:
Orang berisiko tinggi selain wanita hamil: Gejalanya bisa berupa nyeri otot demam,,
sakit kepala, leher kaku, kebingungan, kehilangan keseimbangan, dan kejang-
kejang.
Wanita hamil: Wanita hamil biasanya hanya mengalami gejala ringan berupa flu
like sindrom. Namun, infeksi selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran,
infeksi, persalinan prematur lahir mati, atau mengancam nyawa bayi yang baru
lahir.
Orang yang sebelumnya sehat: Orang-orang yang sebelumnya sehat tapi terkena
Listeria dapat mengembangkan penyakit non-invasif (yang berarti bahwa bakteri
27
belum menyebar ke dalam aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya). Gejalanya
bisa berupa diare dan demam.
Pathogenesis
L. monocytogenes adalah bakteri motil, basil gram positif yang memiliki karakteristik
aerobik dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tumbuh terbaik pada pH netral sampai sedikit
basa dan mampu tumbuh pada berbagai temperatur, 1-45 ° C. L.monocitogenes adalah
bakteri beta-hemolitik dan memiliki warna biru-hijau pada darah agar bebas.
Sebagian besar infeksi terjadi setelah konsumsi makanan yang tercemar bakteri L.
monocytogenes, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik setelah penetrasi di usus.
Perlindungan terhadap Listeria dimediasi melalui aktivasi sel T limfokin pada makrofag
dan dengan interleukin-18. Infeksi SSP dapat bermanifestasi sebagai meningitis,
meningoencephalitis, atau abses. Infeksi lokal dapat bermanifestasi sebagai septic arthritis,
osteomyelitis, dan, pneumonia.
Diagnosis
Diagnosis awal biasanya didasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, terutama
setelah pasien memberikan riwayat kemungkinan paparan sumber makanan yang
terkontaminasi Listeria. Tanpa informasi ini, diagnosis sulit untuk memilah-milah dari
banyak penyakit lainnya, situasi ini dapat berakibat pada penundaan pengobatan sebagai
dokter mungkin melakukan tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti
salmonellosis, shigellosis, botulisme dan infeksi E. coli. Diagnosis definitif listeriosis
adalah dengan kultur bakteri Listeria monocytogenes dari darah pasien, cairan
serebrospinal, atau cairan ketuban, biasanya pada media yang selektif untuk Listeria
(misalnya, RAPID'L mono agar). Saat ini, tidak ada tes yang dapat diandalkan yang
tersedia untuk mendeteksi bakteri pada tinja, juga, tidak ada tes serologis yang tersedia (tes
yang dapat mengidentifikasi protein spesifik yang berhubungan dengan bakteri atau
antibodi terhadap bakteri).
28
Tatalaksana
Sebagian besar orang dengan infeksi Listeria sembuh spontan dalam waktu sekitar tujuh
hari. Namun, pasien pada peningkatan risiko, terutama wanita hamil, biasanya
membutuhkan pengobatan segera antibiotik IV untuk mencegah, menghentikan, atau
memperlambat perkembangan penyakit yang lebih parah. Sebagai contoh, perawatan
antibiotik dini yang efektif dari perempuan hamil mungkin menyelamatkan nyawa bagi
janin.
Secara umum, lama pengobatan antibiotik meningkat dengan tingkat keparahan
infeksi. Meningitis diobati selama tiga minggu sementara abses otak dirawat selama enam
minggu. Pilihan awal antibiotik biasanya IV ampisilin. Bactrim (trimetoprim-
sulfametoksazol) juga telah berhasil digunakan. Namun, pengobatan setiap pasien harus
individual untuk hasil yang optimal, banyak dokter merekomendasikan konsultan menular-
penyakit akan terlibat, dan jika pasien hamil, dokter kandungan dan spesialis anak harus
membantu mengelola rencana pengobatan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Haris JB, et al. Cholera. Division of Infectious Diseases, Massachusetts General
Hospital, Boston, MA, USA. Lancet vol 379 (2012); 30 (6); 2466-2473.
2. Olaniran AO, et al. Toxigenic Escherichia coli and Vibrio cholerae: Classification,
Pathogenesis and Virulence Determinants. Discipline of Microbiology, School of
Biochemistry, Genetics and Microbiology, Faculty of Science and Agriculture,
University of KwaZulu-Natal (Westville Campus), Durban, Republic of South Africa.
Biotechnology and Molecular Biology Review Vol. 6 (2011); (4); 94-100.
3. Nelson EJ, et al. Antibiotics for Both Moderate and Severe Cholera. Lucile Packard
Children’s Hospital, Standford University, Palo Alto, CA. The New England Journal
Medicine 364 (2011); 6 (1); 5-6.
4. Bueris V, et al. ‘Detection of Diarrheagenic Escherichia coli from hildren with and
without diarrhea in Salvador, Bahia, Brazil’, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro,
Vol. 102 (2007); hh. 839-844
5. Nunes, et al. ‘Enterotoxigenic Escherichia coli in children with acute diarrhoea and
controls in Teresina ⁄ PI, Brazil: distribution of enterotoxin and colonization factor
genes’, Journal of Applied Microbiology, vol. 111 (2011); hh. 224-232.
6. Behiry, et al. ‘Enteropathogenic Escherichia coli Associated with Diarrhea in Children
in Cairo, Egypt’, the scientific world JOURNAL, vol. 11 (2011); hh. 2613–2619.
7. Hernandes TR, et al. ‘An overviewofatypical enteropathogenicEscherichia coli’,
European Microbiological Societies Published by Blackwell Publishing, vol. 297
(2009); hh.137-149.
8. Collins, et al. ‘Review of the Pathophysiology and Treatment of Shiga Toxin Producing
E. Coli Infection’ , Practical Gastroentrology, 2010; hh. 41-50
9. Bodhidatta, et al. Case-Control Study of Diarrheal Disease Etiology in Remte Rural
Area in Western Thailand. Thailand: The American Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 2010: 83(5):1106-08.
10. Jantch, et al. Immunological Reviews: Cellular aspects of imunity to intracellular
Salmonella enteric. Germany: John Wiley & Sons A/S. 2011: 240:185.
30
11. Izzo, et al. Prevalence of Major enteric pathogens in Australian dairy calves with
diarrhea: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(5):167-68.
12. Izzo, et al. Antimicrobial susceptibility of Salmonella isolates recovered from calves
with diarrhea in Australia: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(10):402-
04.
13. World Gastroenterology Organization. Acute diarrhea. United Kingdom: WGO. 2008,
Pp: 6-9.
14. Olayinka A, et al. Campylobacter jejuni Infections: Update on Presentation, Diagnosis,
and Management. 2008. Hospital Physician: Burlington. [Accesed 28 October 2012].
15. Vila J. Aeromonas spp. and Traveler’s Diarrhea: Clinical Features and Antimicrobial
Resistance., Vol. 9. [Accesed 27 Oktober 2012].
16. Rahman A, et al. Yersinia enterocolitica : Epidemiological Studies and Outbreaks.
Journal of Pathogens. 2011.
17. Galindo CL, et al. Pathogenesis of Y. enterocolitica and Y. pseudotuberculosis in
Human Yersiniosis. Journal of Pathogens. 2011.
18. Sabina Y, et al. Yersinia enterocolitica :Mode of Transmission,Molecular Insights of
Virulence, and Pathogenesis of Infection. Journal of Pathogens. 2011.
19. Fàbrega A, et al.. Yersinia enterocolitica: Pathogenesis, virulence and antimicrobial
resistance. Department of Microbiology University of Barcelona : Elsevier Espa˜na.
2011.
20. Lamps LW. Infective disorders of the gastrointestinal tract. Department of Pathology,
University of Arkansas for Medical Sciences, Little Rock, AR, USA. 2007.
21. Bhalla A, et al. Staphylococcus aureus intestinal colonization is associated with
increased frequency of S. aureus on skin of hospitalized patients. BMC Infectious
Diseases 2007, 7:105.
22. Asha NJ, et al. Comparative Analysis of Prevalence, Risk Factors, and Molecular
Epidemiology of Antibiotic-Associated Diarrhea Due to Clostridium difficile,
Clostridium perfringens, and Staphylococcus aureus. Department of Microbiology,
31
Leeds Teaching Hospitals & University of Leeds. Journal Of Clinical Microbiology,
Aug. 2006, p. 2785–91.
23. Ogata K, et al. Commercially Distributed Meat as a Potential Vehicle for Community-
Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Appl. Environ. Microbiol, 2012,
78(8):2797.
24. Lis E, et al. Enterotoxin gene content inStaphylococcus aureus fromthe human
intestinal tract. FEMS Microbiol Lett 296 (2009) 72–77.
25. Shiel, W. 2012. Staphylococcus Infection. Available at .
http://www.medicinenet.com/staph_infection/page3.htm#what_is_the_treatment_for_st
aph_infections. [accessed 29 October 2012]
26. Terence Zach. Listeria Infection. 2012. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/965841-overview. [Accesed 27 Oktober 2012].
32