23
DINAMIKA KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI TERKAIT KEBIJAKAN PENGENDALIAN TEMBAKAU Disusun sebagai Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Kepemimpinan dan Komunikasi Dosen: Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP, M.Si Disusun oleh: Dian Budi Santoso 13/354377/PKU/13898 PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT 1

Diferensiasi Strategi Komunikasi Terkait Implementasi Kebijakan Pengendalian Tembakau

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Diferensiasi Strategi Komunikasi Terkait Implementasi Kebijakan Pengendalian Tembakau

Citation preview

DINAMIKA KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI TERKAIT KEBIJAKAN PENGENDALIAN TEMBAKAU

Disusun sebagai Tugas Akhir SemesterMata Kuliah Kepemimpinan dan Komunikasi

Dosen: Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP, M.Si

Disusun oleh:Dian Budi Santoso13/354377/PKU/13898

PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKATPEMINATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KESEHATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS GADJAH MADA2013

1

DINAMIKA KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI TERKAIT KEBIJAKAN PENGENDALIAN TEMBAKAU

Indonesia merupakan surga bagi para perokok dan industri rokok. Menurut laporan terakhir WHO (2011), angka prevalensi merokok di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia dengan 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan sebagai perokok. Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah. Meskipun faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 200.000 (Barber dkk, 2008) kematian per tahunnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau. Dari hal tersebut dapat diketahui sikap pemerintah yang masih tarik ulur terkait kebijakan pengendalian tembakau. Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis, di satu sisi industri rokok merupakan penopang ekonomi negara karena cukainya merupakan sumber pendapatan yang besar, di sisi lain kita semua tahu bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, baik itu perokok aktif, maupun perokok pasif di sekitarnya.Pengendalian tembakau membutuhkan pendekatan secara intensif kepada berbagai pihak baik itu industri rokok, petani tembakau, maupun masyarakat sebagai konsumen rokok. Diferensiasi teknik komunikasi dibutuhkan agar pesan positif yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masing-masing pihak terkait.

Alternatif kebijakan pengendalian tembakau di IndonesiaPengendalian produk tembakau di Indonesia mungkin tidak akan mengalami kemajuan sampai pemerintah mengevaluasi dan memperkuat peraturan yang sudah ada, mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan baru yang ketat, dan mengembangkan sistem peraturan untuk penegakan hukum semua peraturan (Aditama dkk, 2006). Serangkaian usulan kebijakan tersedia bagi pemerintah yang berniat mengendalikan penggunaan produk tembakau, termasuk kebijakan yang mempengaruhi sisi permintaan dan persediaannya. Berikut ini adalah beberapa alternatif kebijakan yang tersedia:1. Menaikkan harga cukai rokokKenaikan pajak rokok adalah metode intervensi yang paling efektif untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau. Pajak yang dibebankan dengan membuat harga rokok lebih tinggi 10% dari harga normal akan mengurangi kegiatan merokok sebesar 4% pada negara maju dan sebesar 8% pada negara miskin dan berkembang (Jha dan Chaloupka, 2000). Dengan naiknya harga cukai rokok maka perokok dengan daya beli rendah akan dipaksa untuk mengurangi konsumsi rokoknya sehingga diharapkan konsumsi rokok yang terutama ada pada masyarakat dengan kelas ekonomi menegah ke bawah dapat ditekan.2. Kepedulian masyarakat, pendidikan, dan program berhenti merokokProgram peningkatan kepedulian masyarakat penting artinya karena memungkinkan perokok dapat membuat pilihan-pilihan berdasarkan informasi yang ia peroleh dalam masyarakat. Walaupun hubungan antara merokok dan kanker paru-paru dan penyakit-penyakit lainnya sudah jelas, banyak perokok masih belum peduli akan bahaya merokok terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya yang terkena asap rokok (Barber, 2008). Dibutuhkan kesadaran dan kepedulian dari seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha mengurangi kebiasaan merokok. Beberapa contoh program peningkatan kepedulian masyarakat, pendidikan, dan program berhenti merokok adalah sebagai berikut:a. Program di masyarakat dengan membuat iklan layanan masyarakat berupa serangan balik terhadap iklan rokok. b. Program di sekolah terkait larangan merokok dan pengetahuan tentang bahaya merokok; c. Ketersediaan program berhenti merokok untuk mendukung perokok yang ingin berhenti merokok. Usaha-usaha yang dilakukan dan langsung berinteraksi dengan masyarakat diharapkan dapat memberikan efek yang lebih mengena di masyarakat sehingga kebiasaan merokok dapat dicegah sejak dini dan bagi yang sudah terlanjur merokok diharapkan dapat berhenti dengan bantuan program berhenti merokok di daerahnya masing-masing.

3. Pengemasan dan pelabelanSaat ini pada kemasan rokok yang beredar di Indonesia hanya tertera tulisan peringatan bahaya merokok. Namun banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efektifitas peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok seperti dengan menampilkan dampak dari merokok berupa organ yang rusak jika kita terus menerus mengkonsumsi rokok. Mencantumkan akibat yang lebih ganas bagi perokok pasif, mengingatkan para perokok bahwa keluarga mereka juga memiliki resiko penyakit akibat perilaku merokok.4. Larangan menyeluruh terhadap iklan dan sponsorInvasi perusahaan rokok di Indonesia terhitung sangat massive, selain sebagai salah satu sumber pemasukan negara yang besar perusahaan rokok juga menopang banyak kegiatan di masyarakat sebagai bagian dari promosinya. Hal ini membuat merk rokok begitu dikenal di masyarakat sehingga seolah tidak ada dampak negatif dari produk rokok tersebut di mata masyarakat. Oleh karena itu harus dibuat kebijakan yang melarang perusahaan rokok untuk beriklan di media, selain itu segala bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan rokok juga harus didistribusikan ke masyarakat tanpa mencantumkan merk rokok.5. Denda bagi orang yang merokok di area publikPemerintah Indonesia sebenarnya sudah menerapkan larangan merokok di tempat umum selain pada tempat khusus yang telah disediakan sesuai Peraturan Pemerintah 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Selain itu juga tertera di Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 115 ayat 2 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk menetapkan kawasan tanpa rokok, tetapi implementasi dari regulasi-regulasi tersebut masih jauh dari harapan. Para perokok seolah tidak mengindahkan karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap bentuk pelanggaran regulasi tersebut. Padahal jika semua perokok mematuhi regulasi ini maka pencemaran asap rokok di area publik dapat ditekan.

6. Menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control)Indonesia belum menjadi anggota FCTC sementara 176 negara atau mewakili 88% populasi dunia telah menjadi bagian dari FCTC (WHO, 2011). Apabila Indonesia tidak segera menantangani konvensi tersebut dan berkomitmen terhadap pengendalian tembakau maka epidemi tembakau dunia akan terkonsentrasi di Indonesia dan hal ini akan membawa bangsa Indonesia kepada kehancuran karena beban ekonomi yang tinggi dari produk tembakau dan berbagai penyakit yang ditimbulkannya.Alternatif kebijakan di atas dapat dipertimbangkan pemerintah untuk dapat diimplementasikan guna usaha pegendalian tembakau di Indonesia. Namun kembali lagi dibutuhkan komunikasi yang intensif dan komprehensif antara pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan atau berkaitan langsung dengan tembakau. Menurut Dunn (2000), efektivitas kebijakan tergantung komunikasi kebijakan baik verbal maupun non verbal kepada publik.

Pembatasan ruang gerak industri rokokIndustri rokok memegang peranan cukup penting dalam sendi kegiatan kemasyarakatan di Indonesia. Banyak event atau kegiatan yang disponsori oleh perusahaan rokok, bahkan banyak klub olahraga dan atlit nasional yang operasionalnya dibiayai oleh perusahaan rokok. Tentu tidak mudah untuk merubah itu semua dan membuat peraturan yang langsung membatasi ruang gerak perusahaan rokok. Menutup pabrik rokok juga tidak mungkin dilakukan karena akan langsung berakibat pada kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Para aktifis pro tembakau mengklaim bawha pengendalian tembakau akan berdampak negatif pada ekonomi negara karena akan berimbas pada banyaknya pekerja pabrik rokok yang kehilangan mata pencaharian (Simkhada dan Peabody, 2003).Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menaikkan harga cukai rokok. Dengan naiknya harga cukai rokok sebenarnya akan memberikan keuntungan pada semua pihak, angka pembelian rokok akan menurun dan perusahaan rokok juga tidak dirugikan karena meski penjualan menurun tetapi keuntungan yang diperoleh tetaplah setara. Apalagi usia memulai kebiasaan merokok di Indonesia relatif tergolong muda. Survei Global Youth Tobacco 2006 menemukan bahwa di antara siswa usia 13-15 tahun, 24 persen laki-laki dan 4 persen perempuan mempunyai kebiasaan merokok. Di antara mereka yang pernah mencoba merokok, sekitar 1 dari 3 laki-laki dan 1 dari 4 perempuan mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum berusia 10 tahun (WHO, 2009). Jika cukai rokok dinaikan maka perokok usia muda yang rata-rata masih usia sekolah dan belum memiliki pendapatan pribadi akan kesulitan untuk membeli rokok sehingga dapat mengurangi konsumsi rokok di kalangan usia muda.Jika langkah pertama sudah dilakukan, maka langkah berikutnya adalah dengan membatasi iklan rokok di media cetak dan elektronik. Pemasangan banner dan baliho rokok di tempat umum dilarang, kemudian iklan yang muncul di media elektronik seperti televisi juga harus didibatasi di jam-jam tertentu saja sehingga dapat meminimalisir efek dari iklan tersebut terutama bagi anak-anak dan remaja. Jika ruang gerak industri rokok sudah dibatasi maka bersmaan dengan itu harus dilakukan juga edukasi terhadap masyarakat terutama petani tembakau dan para konsumen rokok.

Komunikasi kepada petani tembakauPetani tembakau memegang peranan penting dalam berkembangnya industri rokok di Indonesia. Tembakau dianggap merupakan komoditi yang memberikan keuntungan besar bagi petani, namun kenyataanya tidaklah demikian. Berikut beberapa fakta terkait petani tembakau di Indonesia menurut Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI, 2012): Jumlah petani tembakau tahun 2005 adalah 684.000 orang, 1,6% dari jumlah tenaga sektor pertanian dan 0,7% dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia. Laporan dari beberapa negara mencatat bahwa petani tembakau seringkali dipakai sebagai alasan menolak legislasi pengendalian tembakau. Alasan utama memilih pertanian tembakau adalah kebiasaan turun temurun, dan tidak memiliki opsi tanam lahan kering lainnya selain tembakau. Petani tembakau mempersepsikan pendapatan kotor sebagai keuntungan yang lebih besar dari usaha lain. Sebagian besar petani mulai bertanam tembakau dengan modal pinjaman. Hal ini diakui petani memberatkan ketika harga tembakau turun. Petani tembakau hampir tidak memiliki posisi tawar karena kualitas dan harga tembakau ditetapkan oleh pembeli. Harga daun tembakau ditetapkan oleh grader berdasarkan kualitas yang mereka tetapkan sendiri. Masing-masing perusahaan memiliki grader yang akan menentukan grade. Keputusan tentang grade tidak diketahui oleh petani. Empat dari sepuluh petani pengelola mempunyai pembeli tetap, 43% adalah pabrik rokok dan hampir seluruhnya (91,7%) memiliki kontrak jual beli. Separuh dari kontrak dibuat untuk jangka waktu 3 tahun. Ini menguntungkan industri rokok karena menjamin ketersediaan stok tembakau dalam waktu yang cukup, sementara bagi petani tidak selalu karena ketika harga di pasaran tinggi petani tidak bebas menjual ke pembeli lain. Harga dalam kontrak ditetapkan oleh pabrik rokok. Posisi tawar petani tembakau sangat lemah, terutama yang berkaitan dengan penentuan kualitas tembakau di luar pengetahuan mereka.Berdasarkan fakta tersebut sebenarnya petani tembakau dirugikan dari sisi ekonomi, tetapi membuat mereka beralih ke komoditi lain juga bukan merupakan hal yang mudah. Dibutuhkan pendekatan dan penyampaian informasi yang baik agar tidak terjadi resistensi di kalangan pentani tembakau. Solusi harus diberikan, misalkan dengan memberikan bantuan modal dengan syarat petani harus menanam komoditi lain, tentu dengan pendampingan dari pihak-pihak yang dapat membantu petani beralih dari komoditi tembakau.Selain dirugikan dari sisi ekonomi, petani tembakau juga dirugikan dari sisi kesehatan. Ada jenis penyakit yang sering diderita oleh petani tembakau, penyakit ini dikenal dengan nama Green Tobacco Sickness (GTS). Gejala GTS diantaranya adalah mual, muntah, sakit kepala, dan lemah otot (McBride dkk, 1998). Gejala ini akan timbul dalam waktu 12-48 jam setelah petani bekerja, GTS tidak mengancam kejiawaan tapi dalam kondisi yang parah penderita dapat mengalami dehidrasi dan berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Penyakit ini menimbulkan ketidaknyamanan dan kehilangan produktivitas (McKnight dan Spiller, 2005).GTS disebabkan oleh nikotin dari permukaan daun tembakau yang terserap tubuh. Hal ini rentan pada petani yang sedang memanen tembakau, nikotin dapat larut pada air embun, hujan, dan keringat. Dalam 100 ml embun dapat terlarut 9 mg nikotin (McBride dkk, 1998). Apalagi jika petani memanen tembakau tanpa pengaman seperti pakaian yang terutup rapat termasuk masker dan sarung tangan, nikotin akan sangat mudah masuk dan terakumulasi di dalam tubuh.Kerugian secara eknomi dan kesehatan ini mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh petani tembakau, terutama para buruh tani kalangan ekonomi lemah. Informasi ini harus dapat dikomunikasikan dan diterima dengan baik oleh petani tembakau agar cara pandang mereka terbuka untuk segera beralih ke komoditi lain atau minimal mereka dapat mengantisipasi dampak negatif tembakau bagi kesehatan mereka. Komunikasi yang baik dan intensif, adanya bantuan modal pertanian, serta adanya pendampingan penyuluh pertanian diharapkan dapat mendorong petani tembakau untuk segera beralih ke komoditi lain selain tembakau yang selama ini memang membuat para petani terjerat dalam siklus bisnis yang merugikan. Apabila hal ini dapat dilakukan maka laju produksi tembakau di Indonesia akan dapat dikendalikan.

Komunikasi kepada masyarakatInformasi mengenai bahaya rokok sebenarnya sudah disebarluaskan, bahkan di kemasan rokok ada label yang memberitahukan bahwa rokok dapat menyebabkan penyakit jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin. Namun masyarakat terutama para perokok seolah acuh dengan peringatan tersebut. Program edukasi dan promosi yang dilakukan pada masyarakat belum menunjukkan dampak yang efektif.

Sumber: Demographic Institute (2010)Grafik 1. Prevalensi perokok Indonesia kategori dewasa

Sumber: Demographic Institute (2010)Grafik 2. Prevalensi perokok Indonesia kategori remaja

Prevalensi perokok di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya baik kategori dewasa maupun remaja, hal ini dapat dilihat pada Grafik 1 dan Grafik 2. Jika tidak dikendalikan, tren ini akan terus naik dan sangat merugikan masyarakat Indonesia karena bahaya dari rokok itu sendiri. Beberapa mitos tentang rokok yang berkembang di masyarakat menurut TSCS-IAKMI (2009) diantaranya:1. Merokok menenangkan pikiran dan meningkatkan daya konsentrasiFaktanya, perokok pemula merasa mual, pusing, batuk, dan mulut tak enak. Pengaruh nikotin akan membuat perokok kecanduan. Saat itu nikotin mulai menyerang otak dan secara berangsur akan membuat kecanduan. Pecandu rokok menjadi gelisah, berkeringat dingin dan sakit perut bila tidak merokok. Saat menghisap rokok, nikotin menyentuh otaknya lagi sehingga pecandu akan merasa tenang dan dapat berkonsentrasi kembali. Jadi merokok memang bisa menenangkan pada orang yang sudah kecanduan.2. Merokok adalah hak individu yang tidak dapat diganggu gugatFaktanya, merokok adalah ketidakberdayaan melawan adiksi nikotin dan efek negatif pada kesehatannya. Perokok bahkan tidak punya hak lagi untuk memilih merokok atau tidak karena dia sudah kecanduan sehingga mau tidak mau ia akan terus merokok. Perlu ditanamkan pengetahuan dan rasa tanggunggjawab sehingga para perokok tidak membawa risiko gangguan kesehatan akibat rokok pada anggota keluarga yang disayanginya. 3. Nikotin tidak menimbulkan kecanduanFaktanya, pada tahun 1964, Departemen Kesehatan Amerika Serikat menyatakan bahwa nikotin merupakan zat adiktif. Studi berikutnya mengindikasikan bahwa ketagihan rokok adalah kondisi yang patologis seperti ketagihan narkoba.4. Polusi udara oleh asap mobil lebih berbahaya dari asap rokokFaktanya, asap knalpot mobil menyebar di udara terbuka, sedangkan asap rokok sepenuhnya masuk ke paru-paru perokok dan orang di dekatnya. Ada 4000 bahan kimia di asap rokok, 69 diantaranya karsinogenik, sedangkan zat racun seperti nikotin, arsen, dan ammonia tidak ada di asap mobil.

5. Iklan rokok tidak mencari perokok baru tetapi agar perokok beralih ke produk baruFaktanya, bagi pecandu rokok dengan atau tanpa iklan pun ia akan tetap mencari rokok. Jadi iklan rokok lebih ditujukan mencari perokok baru terutama anak-anak dan remaja yang seringkali mudah terjerat rokok dan seterusnya akan menjadi perokok. Hal ini yang harus kita sadari bersama kenapa iklan rokok seharusnya dibatasi atau dihilangkan.6. Peningkatan harga rokok akan menurunkan penerimaan negara dari cukai tembakau karena berkurangnya konsumsiFaktanya, penerimaan cukai tembakau naik 13 kali lipat antara tahun 1994-2007 padahal saat itu harga rokok naik tinggi. Studi Bank Dunia juga menunjukkan bahwa peningkatan cukai akan menaikkan penerimaan negara karena lambat dan sedikitnya penurunan konsumsi rokok. Peningkatan penerimaan cukai tembakau akibat naiknya harga jauh lebih tinggi dari turunnya penerimaan akibat turunnya konsumsi. Pada tahun 2005, penerimaan negara dari cukai rokok mencapai 32,6 triliun rupiah tetapi pengeluaran negara dan rakyat untuk pengobatan akibat rokok mencapai 167,1 triliun rupiah (Kosen, 2008). Tentu hal ini dapat dijadikan evaluasi dan dasar bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait penaikan harga cukai rokok.Fakta dari mitos-mitos di atas hendaknya dapat dikomunikasikan kepada masyarakat dengan baik agar tidak timbul resistensi terhadap kebijakan pengendalian tembakau di masyarakat. Di samping mitos-mitos di atas, pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dari kebiasaan merokok hendaknya dapat dikomunikasikan dengan baik pula. Disinilah peran penting bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya promosi kesehatan yang harus mampu mengadvokasi semua pihak yang terkait dengan tembakau baik itu pemerintah, industri rokok, petani maupun masyarakat. Hal ini merupakan law enforcement yang dapat memaksa masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Maulana, 2007). Pemahaman efek negatif rokok bagi kesehatan merupakan elemen penting bagi keberhasilan pengendalian perilaku merokok dalam masyarakat.

Promosi kesehatan harus dibekali dengan ilmu komunikasi yang memadai. Komunikasi kesehatan masyarakat difokuskan pada bagaimana agar masyarakat mengetahui efek perilaku sehari-hari terhadap status kesehatan mereka sendiri (Hornick, 2002). Komunikasi kesehatan membantu merubah kebiasaan dari sejumlah audiens terkait masalah kesehatan sepesifik pada suatu periode (Elayne dan Vicki, 1995). Contohnya, jika ada pasien yang datang ke dokter dengan keluhan yang berhubungan dengan pernapasan atau paru-paru hendaknya dokter menanyakan kebiasaan merokoknya atau apakah ada anggota keluarganya yang merokok agar tertananam dalam mindset pasien bahwa merokok memang membawa akibat buruk bagi kesehatannya. Sampaikan juga bahwa semakin cepat cepat ia berhenti merokok maka semakin cepat ia akan sembuh (Edwards, 2004). Ancaman atau pesan dari dokter pada umumnya akan dipercaya oleh pasien. Hal ini sesuai dengan teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response) dimana stimulus diberikan oleh dokter kepada pasien untuk menghasilkan respon positif berupa kesadaran untuk berhenti merokok (Effendy, 2003). Hovlan dkk, dalam Azwar (2000) berpendapat bahwa pesan verbal dan non verbal yang dirancang merupakan obyek stimulus bagi sikap individu. Sumber pesan erat kaitannya dengan perubahan sikap individu. Karena itu penting sumber pesan atau pengirim pesan memiliki karakteristik yang memadai, agar bisa diperhatikan, dipahami dan diterima. Sumber pesan adalah pihak yang berinisiatif dan mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber pesan boleh jadi seseorang individu, kelompok, perusahaan dan bahkan suatu pemerintahan. Kebutuhan untuk berkomunikasi bervariasi mulai dari pemberian informasi, kebutuhan penanaman ideologi, sampai merubah perilaku orang lain. Komunikasi sebagai suatu proses yang digunakan oleh sumber pesan atau pengirim pesan untuk menyampaikan stimulus (yang biasanya dalam bentuk ucapan) guna merubah perilaku orang lain (Effendy, 2003). Karena itu diperlukan sumber komunikasi yang dapat membawa efek perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi jika komunikasi mengandung unsur dapat dipercaya, sesuai bidang keahlian, status pribadi, dan popularitas (Brehm dan Kassin, 1990). Dokter adalah orang yang tepat sebagai pemberi pesan kepada pasien dengan tujuan merubah perilaku pasien agar dapat berhenti merokok.

PenutupAlternatif kebijakan dalam rangka pengendalian tembakau telah tersedia bagi pemerintah. Kunci keberhasilan dari implementasi kebijakan tersebut adalah keefektifan komunikasi dengan pihak terkait serta ketegasan dalam penegakan peraturan. Dibutuhkan sikap tegas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Ilmu kesehatan masyarakat dalam hal ini bidang promosi kesehatan memegang peranan penting untuk melakukan komunikasi kepada masyarakat dalam rangka mendukung kebijakan pengendalian tembakau. Elemen masyarakat yang terkait atau berkepentingan dengan tembakau seperti petani tembakau dan para perokok harus diedukasi dengan pendekatan yang baik sehingga informasi yang disampaikan terkait dampak negatif tembakau dari sisi ekonomi dan kesehatan dapat diterima dengan baik dan membuat mereka sadar untuk secara sukarela ikut melaksanakan kegiatan yang mendukung pengendalian tembakau di Indonesia.

Daftar Pustaka

Aditama, T.Y., J., Pradono, K, Rahman, C.W Warren, N R Jones, S, Asma, and J. Lee, 2006. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia. http://209.61.208.233/LinkFiles/GYTS_Indonesia-2006.pdf. [Diakses tanggal 20 Desember 2013]

Azwar, S. (2000). Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran. Yogyakarta : Liberty.

Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A., Setynoaluri D., 2008. Tobacco economics in Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. http://www.tobaccofreeunion.org/assets/Technical%20Resources/Economic%20Reports/Tobacco%20Economics%20in%20Indonesia%20-%20EN.pdf. [Diakses tanggal 19 Desember 2013]

Brehm, Sahron S., Kassin, Saul M. 1990. Social Psychology. Houghton Mifflin.

Clift, Elayne dan Freimuth, Vicki. 1995. Health Communication: What Is It and What Can It Do for You?. Journal of Health Education, volume 26 number 2 page 68-74 Mar-Apr 1995.

Demographic Institute. 2010. Boocklet of Tobacco Economics in Indonesia. http://whoindonesia.healthrepository.org/bitstream/123456789/643/1/Booklet%20of%20Tobacco%20Economics...(INO%20FFC%20011%20XK%2008%20SE-09-228726).pdf. [Diakses tanggal 19 Desember 2013]

Dunn, William N. 2000. Analisa Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra Wibawa dkk., Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Edwards, Richards. 2004. The Problem of Tobacco Smoking. British Medical Journal 2004 Januari 24; 328(7433): 217-219.

Effendy, O.U. 2003. Ilmu, teori dan filsafat komunikasi. Bandung : PT citra aditya bakti.

Hornick, Robert C. 2002. Public Health Communication: Evidence for Behavior Change. NJ: Lawrence Erlbaum Associates Inc.

Jha, Prabhat dan Chaolupka, Frank J. 2000. The Economics of Global Tobacco Control. British Medical Journal 2000 August 5; 321(7257): 358-361.

Kosen, Soewarta. 2008. Dampak Kesehatan dan Ekonomi Perilaku Merokok di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume 11 Nomor 3 Juli 2008.

Maulana, Heri D.J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

McBride, Jeffry S., Altman, David G., Klein, Melissa., White, Wain. 1998. Green Tobacco Sickness. Tobacco Control 1998;7:294-298.

McKnight, Robert H dan Spiller, Henry A. 2005. Green Tobacco Sickness in Children and Adolescents. Public Health Rep. 2005 Nov-Dec; 120(6): 602-606.

Simkhada, Riti dan Peabody, Jhon W. 2003. Tobacco Control in India. Bulletin of the World Health Organization 2003; 81: 48-52.

TSCS-IAKMI. 2009. Fact Sheet Mitos dan Fakta tentang Tembakau. http://tcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Fact_Sheet_Mitos_Dan_Fakta_Tentang_Tembakau.pdf [Diakses tanggal 22 Desember 2013]

TCSC-IAKMI. 2012. Fact Sheet Petani Tembakau di Indonesia. http://tcsc-indonesia.org/wpcontent/uploads/2012/08/Fact_Sheet_Petani_Tembakau_Di_Indonesia.pdf. [Diakses tanggal 20 Desember 2013]

WHO (World Health Organisation) , 2009. Indonesia (Ages 13-15), Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Fact Sheet. http://www.searo.who.int/entity/noncommunicable_diseases/data/ino_gyts_fs_2009.pdf. [Diakses tanggal 19 Desember 2013]

WHO (World Health Organisation), 2011. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. http://www.who.int/tobacco/global_report/2011/en/index.html. [Diakses tanggal 19 Desember 2013]