Upload
hadung
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP DERAJAT
INFLAMASI INTESTINAL TIKUS PUTIH SEPSIS
INDUKSI CECAL INOCULUM
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
DEVIKA YULDHARIA
G0008079
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 10 Januari 2012
DEVIKA YULDHARIA
NIM. G0008079
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Devika Yuldharia, G0008079, 2011, Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Intestinal Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi intestinal tikus putih sepsis induksi cecal inoculum. Metode: Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan the post test only control group design. Hewan uji adalah 40 ekor tikus putih jantan yang dibagi dalam lima kelompok, masing-masing delapan ekor. Kelompok K1 sebagai kontrol, K2 (Kelompok Sepsis) diberi material c.i. 1 ml/tikus putih/hari/i.p., K3 (Kelompok Sepsis+Propolis 100mg) diberi material c.i. 1 ml/tikus putih/hari/i.p. dan propolis dosis 0,5 ml/tikus putih/hari/oral, K4 (Kelompok Sepsis+Propolis 200mg) diberi material c.i. 1 ml/tikus putih/hari/i.p. dan propolis dosis 1 ml/tikus putih/hari/oral, dan K5 (Kelompok Sepsis+Cefepime) diberi material c.i. 1ml/tikus putih/hari/i.p. dan cefepime dosis 0,4 ml/tikus putih/hari/i.p. Pada hari ke-8 semua tikus putih dikorbankan, diambil intestinalnya, kemudian dibuat preparat histologisnya dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin untuk menentukan derajat inflamasinya. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney, menggunakan program SPSS for Windows Release 17.0. Perbedaan dikatakan signifikan bila p < 0,05. Hasil: Penelitian menunjukkan derajat inflamasi intestinal pada kelompok K1 yaitu grade 0 (25%), grade 1 (50%), dan grade 2 (25%). Kelompok K2 yaitu grade 3 (37,5%), dan grade 4 (62,5%). Kelompok K3 yaitu grade 1 (37,5%), grade 2 (37,5%), dan grade 3 (25%). Kelompok K4 yaitu grade 1 (25%), grade 2 (12,5%), dan grade 3 (62,5%). Sedangkan kelompok K5 yaitu grade 0 (12,5%), grade 1 (50%), dan grade 2 (37,5%). Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok K1 dan K2 (p = 0,001), kelompok K1 dan K4 (p = 0,011), kelompok K2 dan K3 (p = 0,002), kelompok K2 dan K4 (p = 0,005), kelompok K2 dan K5 (p = 0,001), dan kelompok K4 dan K5 (p = 0,024). Simpulan: Ekstrak etanol propolis dapat menurunkan derajat inflamasi intestinal tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.
Kata kunci : Propolis, derajat inflamasi, sepsis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Devika Yuldharia, G0008079, 2011, The Effect of Ethanol Extract of Propolis with Intestinal Inflammation Grade in White Mouse Sepsis Model Cecal Inoculation, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective : This experiment was aimed to know the effect of ethanol extract of propolis with intestinal inflammation grade in white mouse sepsis model cecal inoculation. Methods: This research is experimental laboratory with post test only control group design. The subject is 40 male white mouse that were divided into five groups with eight white mouse each group. K1 Group as control. K2 Group (Sepsis) was given cecal inoculums material 1 ml/white mouse/day/i.p. K3 Group (Sepsis+Propolis 100 mg) was given cecal inoculums material 1 ml/white mouse/day/i.p. and propolis with doses 0,5 ml/white mouse/day/oral. K4 Group (Sepsis+Propolis 200 mg) was given cecal inoculums material 1 ml/white mouse/day/i.p. and propolis with doses 1 ml/white mouse/day/oral. And K5 Group (Sepsis+Cefepime) was given cecal inoculums material 1 ml/white mouse/day/i.p. and Cefepime with doses 0,4 ml/white mouse/day/i.p. On day 8, subjects were sacrificed to take their intestines, were made histology slides by haematoxylin eosin staining for determining grading inflammation. Statistical analysis was performed with SPSS for Windows Release 17.0. The data was analyzed with Kruskal-Wallis method continued by Mann-Whitney method to determine significant differences, values of p < 0,05 were considered statistically significant. Results: The study showed that K1 Group were grade 0 (25%), grade 1 (50%), and grade 2 (25%). K2 Group were grade 3 (37,5%), and grade 4 (62,5%). K3 Group were grade 1 (37,5%), grade 2 (37,5%), and grade 3 (25%). K4 Group were grade 1 (25%), grade 2 (12,5%), and grade 3 (62,5%). While K5 Group were grade 0 (12,5%), grade 1 (50%), and grade 2 (37,5%). There was significant difference among K1 group and K2 group (p = 0,001), among K1 group and K4 group (p = 0,011), among K2 group and K3 group (p = 0,002), among K2 group and K4 group (p = 0,005), among K2 group and K5 group (p = 0,001), and among K4 group and K5 group (p = 0,024). Conclusion: This study concluded that propolis can decrease the inflammation grade of intestinal in white mouse sepsis model cecal inoculation.
Keywords: Propolis, inflammation grade, sepsis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan segala karunia dan rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Intestinal Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun, berkat semua bimbingan dan bantuan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran UNS yang telah mengijinkan penulis untuk menyusun skripsi ini. 2. Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah
membantu dan meluangkan waktunya, kesabaran dalam memberi arahan, saran, koreksi, serta diskusi yang sangat bermanfaat kepada penulis.
3. Sarsono, Drs., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis.
4. R.P. Andri Putranto, dr., M.Si. selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji sekaligus memberikan banyak saran, masukan, dan juga koreksi bagi penulis.
5. Sri Hartati H., Dra., Apt., S.U. selaku Anggota Penguji yang telah berkenan menguji serta memberikan kririk dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Bagian Biokimia FK UNS atas kerjasama selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Bagian Histologi FK UNS atas kerjasama dan bantuan yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik
selalu terbuka demi sebuah perbaikan di masa datang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tapi juga bagi dunia kedokteran pada umumnya dan pembaca pada khususnya. Amin.
Surakarta, Januari 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i PENGESAHAN SKRIPSI............................................................................ ii PERNYATAAN........................................................................................... iii ABSTRAK.................................................................................................... iv ABSTRACT................................................................................................. v PRAKATA................................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix DAFTAR TABEL........................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xi BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Perumusan Masalah..................................................................... 3 C. Tujuan Penelitian......................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian....................................................................... 4 BAB II. LANDASAN TEORI.................................................................... 5 A. Tinjauan Pustaka........................................................................ 5
1. Propolis.............................................................................. 5 a. Definisi Propolis............................................................. 5 b. Komposisi Kimia Propolis.............................................. 6 c. Aktivitas Biologis dan Farmakologis Propolis............... 7 d. Efek Samping Propolis................................................... 13
2. Histologi Intestinal............................................................... 13 3. Sepsis................................................................................... 17
a. Definisi Sepsis............................................................... 17 b. Etiologi Sepsis............................................................... 18 c. Patofisiologi Sepsis........................................................ 18 d. Penatalaksanaan Sepsis.................................................. 21
4. Hewan Coba Model Sepsis.................................................. 22 a. Cecal Inoculum............................................................. 22 b. Cecal Ligation and Puncture (CLP)............................. 23 c. Lipopolisakarida (LPS)................................................. 25
B. KERANGKA PEMIKIRAN....................................................... 27 1. Kerangka Pikiran Konseptual............................................... 27 2. Kerangka Pikiran Teoritis..................................................... 28 3. Hipotesis............................................................................... 30
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................. 31 A. Jenis Penelitian........................................................................ 31 B. Lokasi Penelitian..................................................................... 31 C. Subjek Penelitian..................................................................... 31 D. Teknik Sampling...................................................................... 31 E. Variabel Penelitian................................................................... 32 F. Skala Variabel.......................................................................... 32 G. Definisi Operasional................................................................ 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
H. Induksi Hewan Coba Model Sepsis........................................ 38 I. Rancangan Penelitian............................................................... 39 J. Alat dan Bahan Penelitian........................................................ 40 K. Cara Kerja............................................................................... 41 L. Teknik Analisis Data............................................................... 43 BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................. 44
A. Hasil Penelitian....................................................................... 44 B. Analisis Data........................................................................... 50
BAB V. PEMBAHASAN.......................................................................... 51 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN........................................................ 56 A. Simpulan................................................................................. 56 B. Saran........................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Struktur Molekul CAPE........................................................... 10 Gambar 2.2. Struktur Molekul Kuersetin...................................................... 11 Gambar 2.3. Gambaran Histologis Intestinal................................................ 16 Gambar 2.4. Gambaran Histologis Intestinal................................................ 16 Gambar 2.5. Skema Kerangka Pemikiran Konseptual.................................. 27 Gambar 3.1. Gambaran Histologis Neutrofil................................................ 35 Gambar 3.2. Gambaran Histologis Basofil................................................... 36 Gambar 3.3. Gambaran Histologis Eosinofil................................................ 36 Gambar 3.4. Gambaran Histologis Limfosit................................................. 37 Gambar 3.5. Gambaran Histologis Monosit................................................. 37 Gambar 3.6. Skema Rancangan Penelitian................................................... 39 Gambar 3.7. Skema Alur Penelitian.............................................................. 42 Gambar 4.1. Gambaran Histologis Intestinal Grade 0 pada Kelompok K1.. 45 Gambar 4.2. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K1.. 45 Gambar 4.3. Gambaran Histologis Intestinal Grade 3 pada Kelompok K2.. 46 Gambar 4.4. Gambaran Histologis Intestinal Grade 4 pada Kelompok K2.. 46 Gambar 4.5. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K3.. 47 Gambar 4.6. Gambaran Histologis Intestinal Grade 2 pada Kelompok K3.. 47 Gambar 4.7. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K4.. 48 Gambar 4.8. Gambaran Histologis Intestinal Grade 3 pada Kelompok K4.. 48 Gambar 4.9. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K5.. 49 Gambar 4.10.Gambaran Histologis Intestinal Grade 2 pada Kelompok K5.. 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis......................................................... 7 Tabel 4.1. Jumlah dan Prosentase Derajat Inflamasi Intestinal pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan....................................... 44 Tabel 4.2. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok.................. 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Jadwal Penelitian Lampiran 2. Hasil Uji Analisis Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney dengan
Program SPSS 17.0 for Windows Lampiran 3. Tabel Konversi Dosis Manusia dan Hewan Lampiran 4. Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat
Diberikan pada Berbagai Hewan Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepsis merupakan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit (James et al., 2005;
Edwin et al., 2003). Overproduksi sitokin inflamasi sebagai hasil aktivasi
nuclear factor-κB (NF-κB) akan menyebabkan pelepasan mediator sekunder
(seperti Reactive Oxygen Species/ROS) yang selanjutnya akan memperkuat
inflamasi dan menyebabkan SIRS yang menginduksi terjadinya apoptosis
maupun nekrosis jaringan, multi organ failure (MOF), syok septik serta
kematian (Rittirsch et al., 2008; Elena et al., 2006; Javier et al., 2005).
Morbiditas dan mortalitas sepsis di Indonesia masih sangat tinggi (Guntur,
2008), sehingga sepsis masih merupakan masalah klinis yang penting
meskipun telah terjadi kemajuan terapi (Xiao et al., 2006), keadaan ini
diperparah oleh meningkatnya kuman yang multiresisten terhadap antibiotik
seperti methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-
resistant enterococci (VRE), penicillin-resistant pneumococci, extended-
spectrum betalactamase (ESBL) producing Klebsiella pneumonia,
carbapenem-resistant Acinetobacter baumannii, dan multiresistant
Mycobacterium tuberculosis (Stevenson et al., 2005; Guzman-Blanco et al.,
2000), sehingga berbagai penyakit akan menjadi lebih sulit diobati. Oleh
sebab itu, diperlukan kombinasi antibiotik dalam penatalaksanaan sepsis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Keadaan ini menyebabkan waktu rawat di rumah sakit lebih lama dan
memerlukan terapi yang lebih rumit, dan biaya pengobatan yang jauh lebih
mahal serta angka kematian yang meningkat (Hadi, 2009).
Banyak usaha telah dilakukan dalam menanggulangi sepsis agar tidak
berkembang menjadi severe sepsis, syok septik dan MOF, namun masih
belum berhasil secara baik dan pasien sepsis masih cendrung berakhir dengan
kematian.
Proses patologik yang utama pada sepsis adalah apoptosis dari sel-sel
efektor imunologi termasuk limfosit maupun apoptosis saluran pencernaan.
Kematian sel mukosa yang berlebihan akan menyebabkan perusakan dan
gangguan fungsi pertahanan mukosa saluran pencernaan (Alscher et al.,
2001), sehingga akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam respon imun.
Di dalam intestinal, infeksi menyebabkan hipoperfusi intestinal berupa
gangguan mikrosirkulasi serta inflamasi intestinal. Inflamasi ini dapat dilihat
dalam derajat inflamasi berupa adanya infiltrasi sel-sel radang ke dalam
lapisan intestinal (Chang & Miller, 2006).
Propolis sebagai bahan alam non-toksik telah digunakan sebagai obat
secara umum, namun mekanisme maupun bukti-bukti ilmiah belum banyak
(Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).
Propolis memiliki aktivitas biologis sebagai antimikrobial terhadap gram
negatif, gram positif (Lotfy, 2006), MRSA (Boukraâ & Sulaiman, 2009;
Onlen et al., 2007) dan VRE (Boukraâ & Sulaiman, 2009), antifungal,
antiprotozoa, antiparasit (El-Bassuony & Abouzid, 2010; Lotfy, 2006; Koo et
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
al., 2002). Selain itu, propolis juga memiliki aktivitas biologis sebagai
imunomodulator, antioksidan dan antiinflamasi (El-Bassuony & Abouzid,
2010; Lotfy, 2006; Ahn et al., 2004; Koo et al., 2002).
Belum adanya bukti-bukti ilmiah penggunaan propolis untuk sepsis,
mendorong dilakukannya penelitian ini. Berdasarkan sejumlah aktivitas
biologis yang ditunjukkan oleh propolis tersebut, maka propolis memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi terapi adjuvan untuk dikombinasikan
dengan antibiotik dalam penatalaksanaan sepsis. Sehingga akan menurunkan
resistensi antibiotik, waktu rawat, mahalnya biaya dan menurunkan angka
kematian akibat sepsis.
B. Perumusan Masalah
Adakah pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi
intestinal tikus putih sepsis induksi cecal inoculum?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat
inflamasi intestinal tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti-bukti empiris atau
informasi tentang pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat
inflamasi intestinal tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk
penelitian lebih lanjut dan kajian ilmiah sehubungan dengan khasiat
ekstrak etanol propolis sebagai terapi adjuvan pada kasus sepsis dalam
pelayanan kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Propolis
a. Definisi Propolis
Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro berarti
pertahanan dan polis berarti kota, sehingga propolis bermakna
pertahanan kota (atau sarang lebah). Propolis atau lem lebah adalah
nama generik yang diberikan untuk bahan resin yang dikumpulkan
oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan, terutama dari
bagian kuncup dan daun tumbuhan tersebut. Lebah kemudian
mencampur bahan resin ini dengan enzim yang disekresikan dari
kelenjar mandibula lebah, meskipun demikian komponen yang
terdapat di dalam propolis tidak mengalami perubahan (Sabir, 2005).
Lebah menggunakan propolis untuk: (1) memperkuat sarang
lebah; (2) sebagai bahan pelapis untuk melindungi sarangnya dari
faktor pengganggu dari luar, misalnya serangga, kumbang, atau
tikus; (3) meratakan dinding sarang lebah; (4) sebagai bahan pengisi
lubang atau celah dan perekat keretakan yang terdapat pada sarang
lebah; (5) melindungi sel sarang tempat ratu lebah menetaskan
telurnya sehingga larva lebah terlindungi dari penyakit; dan (6)
sebagai antibakteri (Sabir, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
b. Komposisi Kimia Propolis
Komposisi propolis sangat bervariasi dan erat hubungannya
dengan jenis dan umur tumbuhan di mana propolis tersebut berasal.
Umumnya propolis terdiri dari: campuran resin dan getah 39–53%,
polifenol 1,2–17%, polisakarida 2–3%, lilin (wax) 19–35%, dan
bahan lain 8–12%. Penelitian terhadap propolis yang berasal dari 15
daerah yang berbeda di Rusia menunjukkan hasil yang hampir sama,
yaitu: resin 50–55%, lilin (wax) maksimal 30%, minyak esensial ±
8–10%, dan bahan padat ± 5%. Jenis senyawa kimia yang terdapat
pada propolis sangat kompleks. Berdasarkan analisis terhadap
propolis yang dihimpun oleh lebah menunjukkan bahwa propolis
mengandung berbagai macam senyawa, yaitu: asam amino, asam
alifatik dan esternya, asam aromatik dan esternya, alkohol, aldehida,
khalkon, dihidrokhalkon, flavanon, flavon, hidrokarbon, keton, dan
terpenoid (Sabir, 2005). Komposisi kimia propolis disajikan pada
tabel 2.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis (diambil dari Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).
Kelas komponen
Jumlah Grup komponen
Resin 45-55 % Flavonoid, asam fenolat dan esternya
Lilin dan asam lemak
25-53% Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman
Minyak esensial
10% Senyawa volatile
Protein 5% Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas
Senyawa organik dan mineral lainnya
5% 14 macam mineral, yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vitamin B3.
c. Aktivitas Biologis dan Farmakologis Propolis
Propolis telah digunakan sejak dahulu kala sebagai obat
tradisional, yaitu sebagai bio-kosmetik dan makanan untuk
kesehatan (Castaldo & Capasso, 2002; Bankova et al., 2000).
Penelitian di bidang kesehatan terhadap propolis telah banyak
dilakukan di luar negeri, baik secara in vitro maupun in vivo.
Hasilnya menunjukkan bahwa propolis memiliki beberapa aktivitas
biologis dan farmakologis, antara lain: (1) bersifat antibakteri baik
terhadap bakteri gram positif maupun negatif; (2) bersifat
antiinflamasi; (3) memiliki aktivitas antijamur, terutama terhadap
spesies dermatofita dan kandida; (4) propolis meningkatkan
regenerasi jaringan tulang dan kartilago; dan (5) propolis bersifat
antioksidan karena mampu menangkap radikal bebas. Selain itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
propolis juga berfungsi sebagai imunomodulator, antivirus dan
antikarsinogenik (Sabuncuoglu et al., 2007; Sabir, 2005).
1) Antibakteri
Sifat antibakteri dari propolis bukan semata-mata
disebabkan karena senyawa tunggal, namun karena efek sinergis
dari beberapa senyawa pada propolis yang bersifat antibakteri
yakni: flavonoid, asam ferulat, ester asam fenol, asam sinamat,
dan berbagai ester asam kafeat (Sabir, 2005).
Mekanisme propolis dalam menghambat pertumbuhan
bakteri belum sepenuhnya diketahui, namun demikian penelitian
sebelumnya melaporkan adanya beberapa komponen yang
terdapat pada propolis yang mampu mengabsorbsi sinar
ultraviolet sehingga menghambat kerja enzim polimerase
ribonucleic acid (RNA) bakteri untuk melekat pada
deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga replikasi DNA bakteri
tidak terjadi. Selain itu, komponen tersebut juga menghambat
kerja dari enzim endonuklease restriksi sehingga tidak terjadi
transkripsi pada RNA dan hal ini mengakibatkan pembelahan
sel bakteri tidak terjadi karena terganggunya sintesis protein
(Sabir, 2005). Mekanisme lain dikemukakan oleh Takaisi-
Kikuni dan Schilcher dalam Sabir (2005) yang pada
penelitiannya mendapatkan bahwa Ekstrak Etanol Propolis
(EEP) bersifat antibakteri terhadap bakteri Streptococcus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
agalactiae melalui beberapa mekanisme, yakni dengan
mencegah pembelahan sel bakteri dengan cara menghambat
replikasi DNA sehingga menyebabkan terbentuknya
Streptococcus pseudo-multicellular. Selain itu EEP juga
menyebabkan terjadinya disorganisasi dari sitoplasma, membran
sitoplasmik, serta dinding sel yang semuanya mengakibatkan
bakteriolisis parsial dan penghambatan sintesis protein, sehingga
dikatakan bahwa mekanisme antibakteri propolis terhadap
bakteri sangat kompleks dan tidak dapat dianalogikan dengan
cara kerja antibiotik klasik.
2) Antiinflamasi
Ekstrak etanol propolis menunjukkan aktivitas antiinflamasi
baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan
100 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi
kronik, sedangkan dosis 200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan
aktivitas antiinflamasi akut pada hewan coba model. Efek
antiinflamasi ini ditunjukkan oleh kandungan yang ada di
propolis lebah yaitu Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE)
(Lotfy, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Gambar 2.1. Struktur Molekul CAPE (diambil dari Scapagnini et al., 2002)
Caffeic acid phenethyl ester menunjukkan aktivitas
imunosupresif baik pada tahap awal dan lanjut pada aktivasi
yang dimediatori sel limfosit T. Secara spesifik CAPE
menghambat transkripsi ataupun sintesis interleukin-2 (IL-2).
CAPE menghambat aktivitas pengikatan DNA dan transkripsi
NF-kB serta faktor transkripsi nuclear factor of activated cells
(NFAT), dan activator protein-1 (AP-1), tanpa mempengaruhi
degradasi protein penghambat NF-kB yang berada di
sitoplasma. Sehingga propolis memiliki aktivitas sebagai
imunomodulator dan antiinflamasi (Ang et al., 2009; Marquez et
al., 2004).
3) Antivirus
Flavonoid dan CAPE yang terdapat dalam propolis
mengganggu replikasi Human Immunodefficiency Virus (HIV)
dan menghambat integrasi enzim HIV. Senyawa dengan gugus
molekul caffeic acid dianggap sebagai keluarga baru dari
senyawa antivirus alam (Xu et al., 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
4) Antifungal
Mekanisme antifungal dari propolis melibatkan zat-zat
polifenol seperti flavonoid dengan penggumpalan protein DNA
jamur sehingga kemampuan pertumbuhan jamur dihambat.
Pinocembrin pada propolis menghambat pertumbuhan jamur
melalui aktivitas pembungkusan konidia jamur yang selanjutnya
menghambat pertumbuhan jamur secara keseluruhan (Sforcin et
al., 2001). Senyawa kuersetin menghambat sintesa DNA gyrase
sehingga pertumbuhan jamur dihambat (Cushnie & Lamb,
2005).
Gambar 2.2. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos et al., 2008)
5) Antiprotozoa dan helminthes patogen
Propolis memiliki aktifitas antiprotozoa dan helminthes
patogen. EEP efektif melawan Trypanosoma cruzi dalam
penelitian secara In Vitro. Selain itu, penelitian In Vitro di Brazil
menyebutkan bahwa EEP juga efektif melawan proliferasi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
diferensiasi Leishmania donovani. Penelitian terhadap babi
guinea yang terinfeksi Ascaris suum dan diobati dengan propolis
menunjukkan terjadinya penurunan jumlah larva dibandingkan
kelompok kontrol (De Castro, 2001).
6) Antioksidan
Propolis dapat berfungsi sebagai antioksidan kuat, yang
dapat mencegah timbulnya senyawa-senyawa radikal bebas.
Radikal bebas merupakan penyebab utama munculnya sel-sel
kanker atau menimbulkan berbagai gejala penyakit akibat
gangguan fisiologi sel tubuh. Propolis juga berfungsi sebagai
penetral racun karena berbagai kandungan di dalam propolis
dapat membersihkan polutan dan racun di dalam tubuh,
sehingga metabolisme sel dapat berlangsung optimal kembali
(Kumuzawa et al., 2004).
7) Imunomodulator
Aktivitas imunomodulator dari propolis telah banyak diteliti
secara In Vivo maupun In Vitro. Pada penelitian In Vivo
didapatkan bahwa propolis dapat menstimulasi mekanisme
pertahanan melalui stimulasi fagositosis oleh makrofag dan IL-
1. Pada penelitian In Vitro ditemukan bahwa propolis dapat
menghambat jalur klasik dan jalur alternatif komplemen.
Propolis juga meningkatkan sitotoksisitas dari NK-cell dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menstimulasi produksi antibodi (De Castro, 2001; Orsi et al.,
2000).
d. Efek Samping Propolis
Selama 2500 tahun penggunaan propolis oleh berbagai
masyarakat dari berbagai kebudayaan tidak tercatat adanya efek
negatif yang serius dari propolis. Adapun efek ringan yang sering
dirasakan oleh pasien adalah mulut dan tenggorokan terasa kering
setelah mengkonsumsi propolis dan kulit yang terasa hangat setelah
diolesi propolis. Propolis terbukti tidak menimbulkan efek toksik.
Propolis sebaiknya tidak digunakan kepada orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap pollen (serbuk sari) (Menniti-Ippolito et al.,
2008; Burdock, 1998).
2. Histologi Intestinal
Dinding intestinal terdiri atas empat lapisan utama yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna, dan serosa.
a. Mukosa Intestinal
Mukosa intestinal terdiri atas tiga lapisan, yaitu epitelium, lamina
propria, dan muskularis mukosa.
1) Epitelium
Sel yang terdapat di bagian epitelium adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a) Sel-sel absorbtif
Berbentuk silindris tinggi, pada permukaan apeks terdapat
striated border, tidak menghasilkan mukus, hanya berfungsi
absorbtif.
b) Sel-sel goblet
Menghasilkan mukus, mengandung glikoprotein asam,
sebagai pelindung asam dan pelumas. Berbentuk seperti
piala dan mengandung butir-butier zymogen.
c) Sel paneth
Hanya terdapat pada bagian basal kripte intestinal,
berbentuk piramid, dengan basal melebar dan puncak
menyempit. Berperan sebagai penghasil lisosom, yaitu
suatu enzim yang berperan mencerna dinding sel bakteri
dan dapat memfagosit bakteri-bakteri tertentu.
d) Sel stem
Terletak pada bagian basal glandula intestinal, sebagai
sumber sel-sel yang lain, baik dalam kripte maupun dalam
vili.
e) Argentaffine cell atau Enterochromaffine cell.
Terdapat di antara sel-sel yang melapisi vili dan kripte.
Sitoplasmanya bersifat mudah mengambil Ag dan garam-
garam chromium sehingga berwarna coklat kekuningan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
2) Lamina Propria
Terdiri atas jaringan pengikat longgar dengan banyak
serabut retikuler, kelenjar-kelenjar, dan kelompok limfosit.
Lamina propria ikut membentuk plika semisirkularis kerkringi
dan vili.
3) Muskularis Mukosa
Tersusun oleh lapisan dalam berbentuk sirkuler atau spiral
dan bagian luar berbentuk longitudinal. Muskularis mukosa
merupakan otot-otot polos yang membentuk plika semisirkularis
yang berfungsi mendekatkan mukosa dengan makanan sehingga
absorbsi lebih sempurna (Nugroho, 1998).
b. Submukosa
Terdiri atas jaringan pengikat longgar yang lebih padat dengan
banyak serabut elastis dan sedikit jaringan lemak (Nugroho, 1998).
Terdapat persarafan parasimpatis, yaitu pleksus meisner (Gartner &
Hiatt, 2007).
c. Muskularis Eksterna
Terdiri atas dua lapisan, yaitu sirkular pada bagian dalam dan
longitudinal pada bagian luar. Di antara kedua lapisan terdapat
pleksus myentericus auerbach (Nugroho, 1998).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
d. Serosa
Merupakan lapisan terluar dinding intestinal yang terdiri atas
jaringan pengikat longgar dan tertutup oleh peritonium (Gartner &
Hiatt, 2007; Nugroho, 1998).
Gambar 2.3. Gambaran Histologis Intestinal (diambil dari Eroschenko,
2003)
Gambar 2.4. Gambaran Histologis Intestinal (diambil dari Eroschenko,
2003)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
3. Sepsis
a. Definisi Sepsis
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya
respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Sepsis merupakan sindroma klinik yang ditandai
dengan: hipertermia (suhu tubuh lebih dari 38°C) atau hipotermia
(suhu tubuh kurang dari 35,6°C), takipnea (frekuensi respirasi lebih
dari 20 kali/menit), takikardia (denyut jantung lebih dari 100
kali/menit), leukositosis (>12.000/mm3), leukopoenia (<4.000/mm3),
atau 10% sel imatur, dengan atau tanpa ditemukan bakteremia
(Guntur, 2008).
Derajat sepsis yaitu (Guntur, 2008):
1) Systemic Inflammatory Response Syndrome, ditandai dengan
lebih dari atau sama dengan dua gejala, yaitu hipertermia/
hipotermia (> 38,3°C/ < 35,6°C), takipnea (respirasi >20
kali/menit), takikardia (denyut jantung >100 kali/menit),
leukositosis >12.000/mm atau leukopenia < 4.000/mm, 10 % sel
imatur.
2) Sepsis, yaitu infeksi disertai SIRS.
3) Sepsis berat, yaitu sepsis yang disertai Multi Organ Dysfunction
Syndrome (MODS), hipotensi, oligouri, bahkan anuria.
4) Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik > 40 mmHg).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
5) Syok septik, adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan
sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati
telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi
jaringan.
b. Etiologi Sepsis
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif, bakteri gram
positif, jamur, virus, dan parasit (Guntur, 2006). Proporsi infeksi
yang disebabkan bakteri gram negatif antara 30-80% dan bakteri
gram positif antara 6-24% dari jumlah kasus sepsis (Jessen et al.,
2007). Stimulus dari sepsis adalah mikroorganisme atau substansi
(zat) yang dikeluarkannya (seperti eksotoksin dan enterotoksin) atau
komponen mikroorganisme (seperti endotoksin terutama lipid A dari
bakteri gram negatif, peptidoglikan dari bakteri gram positif dan
antigen jamur atau virus) (Munford, 2005). Faktor yang paling
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS) atau
endotoksin glikoprotein kompleks dan dinyatakan sebagai penyebab
sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS dapat
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan septikemia (Guntur, 2006).
c. Patofisiologi Sepsis
Sepsis merupakan penyebab utama kematian di antara pasien
yang sakit kritis. Selama sepsis, bakteri patogen memicu pelepasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ratusan mediator peradangan, termasuk sitokin, kemokin, molekul
adhesi, ROS, dan Reactive Nitrogen Species. Walaupun molekul ini
penting untuk respon pertahanan host terhadap bakteri patogen yang
menyerang, produksi berlebihan dari mediator ini akan
menyebabkan peradangan sistemik dan kerusakan jaringan yang
mengarah kepada koagulasi, cedera endotel, kebocoran
mikrovaskuler, dan disfungsi multiorgan (Ye et al., 2008).
Faktor yang paling berperan penting terhadap sepsis adalah LPS.
LPS bersifat stabil dalam panas, mempunyai berat molekul antara
3000 dan 5000 (lipooligosakarida) sampai beberapa juta
(lipopolisakarida). Dalam aliran darah LPS akan terikat pada protein
yang bersirkulasi kemudian berinteraksi dengan reseptor makrofag,
limfosit, dan monosit serta sel lain pada sistem retikuloendotelial.
Hal ini akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan pengaktifan jalur
komplemen dan koagulasi. Runtutan peristiwa tersebut dapat diamati
secara klinis sebagai demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi,
syok, koagulasi intravaskuler hingga kematian karena disfungsi
organ (Kang et al., 2004).
Patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
proses infeksi kuman patogen, inflamasi, dan jalur koagulasi
(Russell, 2006) yang dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan
antara sitokin proinflamasi (seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interferon-γ (IFN-γ), IL-1β, dan IL-6) dengan sitokin antiinflamasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
(seperti IL-4 dan IL-10). Overproduksi sitokin inflamasi
menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada
paru-paru, hati, ginjal, usus, dan organ lainnya yang mempengaruhi
permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan
metabolik sehingga menyebabkan nekrosis jaringan, MOF, serta
kematian (Elena et al., 2006). SIRS tidak terkendali merupakan
dasar patologis penting dalam terjadinya sepsis, sedangkan disfungsi
barier intestinal berkontribusi bagi pengembangan SIRS. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa disfungsi barier intestinal dapat
berhubungan dengan penurunan fungsi kekebalan mukosa intestinal
(Jiang et al., 2010).
Proses patologik yang utama pada sepsis adalah terjadinya
apoptosis dari sel-sel efektor imunologi, termasuk limfosit dan sel
dendrit maupun apoptosis saluran pencernaan (Chang & Miller,
2006; Alscher et al., 2001). Disfungsi endotel, inflamasi, dan cedera
semakin diakui sebagai suatu mekanisme patogen penting dari
berbagai kondisi patologis, termasuk sepsis (Venet, 2008; Ye et al.,
2008). Disfungsi saluran pencernaan akan mengakibatkan hilangnya
pertahanan mukosa, peningkatan permeabilitas mukosa, dan
translokasi dari produk-produk bakteri ke dalam sirkulasi darah,
yang kemudian akan meningkatkan respon inflamasi pada organ
yang lebih jauh, sehingga dapat terjadi disfungsi multiorgan dan
kematian. Apoptosis saluran pencernaan dan kematian sel mukosa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
yang berlebihan akan mendukung terjadinya atrofi, perusakan dan
gangguan fungsi pertahanan mukosa saluran pencernaan (Jiang et
al., 2010; Alscher et al., 2001).
d. Penatalaksanaan Sepsis
Penatalaksanaan sepsis pada umumnya terdiri atas pemberian
antibiotika dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya (underlying
diseases), serta eliminasi pusat infeksi dan sumber infeksi. Selain
memberikan antibiotika, mempertahankan hemodinamika tetap
normal, pengobatan adjuvan kortikosteroid, intravenous
immunoglobulin (IVIG), protein C, serta imunonutrisi juga cukup
bermanfaat dan dapat memelihara pasokan oksigen yang adekuat ke
seluruh organ dan usus (Guntur, 2008; Jurgen et al., 2006).
Prinsip pengelolaan sepsis dan syok septik (Sumarmo dkk.,
2002):
1) Pengendalian infeksi
Segera setelah diagnosis ditegakkan penderita harus diberi
antibiotik inisial. Antibiotik yang dipilih harus mempunyai
spektrum luas yang diperkirakan bisa mengatasi bakteri gram
positif atau negatif yang paling sering menyebabkan sepsis. Bila
telah didapatkan hasil biakan dan uji kepekaan, jenis antibiotik
dapat diubah atau dipertahankan sesuai dengan hasil tersebut
dan atau dengan respons klinis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
2) Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi
asam basa dan pemberian farmakoterapi kardiovaskular seperti
dopamin dan dobutamin pada keadaan syok septik.
3) Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain
dengan pemberian oksigen dan mengusahakan agar jalan nafas
tetap terbuka.
4) Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut.
5) Kortikosteroid dinyatakan bermanfaat bila diberikan pada
stadium dini sepsis.
4. Hewan Coba Model Sepsis
Untuk menginduksi sepsis pada hewan coba, dapat dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya adalah dengan Cecal Inoculum, Cecal
Ligation and Puncture, serta Lipopolisakarida.
a. Cecal Inoculum
Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya
sepsis. Cecal inoculum adalah suatu model yang mampu
menggambarkan dengan baik keadaan sepsis mirip dengan keadaan
klinis peritonitis yang disebabkan oleh infeksi polimikroba. Infeksi
tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap
organisme polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan.
Peritonitis secara klinis dimulai dari adanya kerusakan dari organ
abdomen, seperti perforasi intestinal akut yang akan berkembang
menjadi sepsis dan akan mengakibatkan tingginya morbiditas dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
mortalitas baik pada hewan coba ataupun pasien (Remick et al.,
2002).
Inokulum merupakan bahan yang dipakai dalam inokulasi.
Inokulasi adalah pemasukan mikroorganisme, bahan infektif, serum,
dan substansi lain ke dalam jaringan organisme hidup atau media
biakan. Cecum adalah bagian pertama dari usus besar, membentuk
kantong yang secara distal melebar ke ileum dan proksimal ke arah
kolon, serta melepaskan apendiks vermiformis (Dorland, 2002).
Model sepsis yang dibuat dari cecal inoculum diperoleh dari isi
cecal tikus putih donor (Brahmbhatt et al., 2005) yang dimasukkan
ke dalam kavitas peritoneal (Alejandra et al., 2004). Dari model
inokulum ini didapat strain Escheriacia coli (E. coli) yang
bercampur dengan material cecal yang lain untuk meniru peritonitis
pada manusia (Edwin et al., 2003).
Cecal inoculum menyebabkan hipoperfusi intestinal berupa
gangguan mikrosirkulasi mukosa intestinal, disfungsi barier
intestinal dengan peningkatan permeabilitas intestinal, invasi bakteri
patogen dan toksinnya ke dalam sirkulasi sistemik dan pelepasan
sitokin inflamasi yang merupakan tanda reaksi inflamasi (Jurgen et
al., 2006).
b. Cecal Ligation and Puncture (CLP)
Ligasi adalah aplikasi pengikat. Puncture merupakan perbuatan
menusuk dengan benda atau alat yang tajam, atau dapat diartikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
sebagai luka yang ditimbulkan oleh penusukan tersebut (Dorland,
2002).
Cecal Ligation and Puncture pada hewan tikus telah menjadi
model yang paling banyak digunakan untuk penelitian sepsis dan
saat ini dianggap sebagai gold standard untuk penelitian sepsis
(Rittirsch et al., 2007; Deitch, 2005; Buras et al., 2005; Remick et
al., 2000). Setelah dikembangkan selama lebih dari 30 tahun yang
lalu, model CLP dianggap menjadi model yang realistis untuk sepsis
induksi polimikrobial dalam penelitian untuk mempelajari
mekanisme terjadinya sepsis (Rittirsch et al., 2007; Remick et al.,
2000). Secara singkat, CLP menampilkan ligasi di bawah katup
ileocecal setelah midline laparotomy, diikuti dengan pungsi jarum
pada cecum. Karena cecum merupakan sumber endogen kontaminasi
bakteri, maka perforasi pada cecum akan menyebabkan peritonitis
bakterial, yang diikuti oleh terjadinya translokasi bakteri enterik ke
dalam kompartemen darah. Pada awal sepsis, terjadi bakteremia
yang memicu aktivasi respon inflamasi sistemik, syok septik, MOF
dan akhirnya kematian. Ketika CLP digunakan pada hewan tikus,
mereka menunjukkan pola penyakit dengan gejala khas sepsis atau
syok septik, seperti hipotermia, takikardi dan takipnea (Rittirsch et
al., 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
c. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida adalah kompleks lipid dan polisakarida dan
merupakan komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. LPS
merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang penting
(antigen O). Molekul LPS terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Lipid A,
suatu glikolipid yang bertanggung jawab terhadap aktivitas
endotoksik, yang terkait secara kovalen pada rantai
heteropolisakarida yang mempunyai dua bagian; (2) inti polisakarida
yang konstan dalam strain terkait, dan (3) rantai spesifik-O yang
sangat bervariasi. LPS dari Eschericia coli sangat sering
menggunakan mitogen sel B (aktivator poliklonal) dalam
laboratorium imunologi (Dorland, 2002).
Lipopolisakarida merupakan faktor patogenik utama pada sepsis
gram negatif, yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi
multiorgan. Respons terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan
meningkatnya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, NF-кB,
IL-1, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda asing
yang memiliki dampak positif dan negatif. Produksi sitokin
proinflamasi dan induksi mediator seluler yang lebih distal, platelet
activation factor (PAF), dan prostaglandin menyebabkan hipotensi,
perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang berhubungan dengan
MODS. Status proinflamasi ini didefinisikan sebagai SIRS. LPS
disuntikkan secara intraperitoneal pada hewan coba yang sensitif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
terhadap LPS dengan dosis 20 mg/kg BB (Wright et al., 2002; Favier
et al., 2001; Oberholzer et al., 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
B. Kerangka Pikiran
1. Kerangka Pikiran Konseptual
Gambar 2.5. Skema Kerangka Pemikiran Konseptual
Keterangan: : memacu : menghambat
Sitokin Anti Inflamasi IL-4, IL-10
IL-10
Agen
Makrofag
Virus Parasit Jamur Bakteri
NF-κB
PROPOLIS (Ekstrak Etanol Propolis)
IFN-γ
CD4+ / Th0
Th1 Th2
Sitokin Pro Inflamasi IL-1β, IL-8, TNF-α, IFN-γ
SIRS
Mediator sekunder (ROS)
Penekanan sistem imun Kerusakan epitelial dan endotelial (barrier dysfunction)
Apoptosis sel epitelial gastrointestinal
Sepsis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2. Kerangka Pikiran Teoritis
Agen-agen penginfeksi (virus, parasit, jamur, bakteri) akan
menginvasi sel tubuh melalui Toll Like Receptor (TLR) masuk ke
makrofag sebagai Antigen Precenting Cell (APC) dan akan memicu
aktivasi dari NF-κB. Dengan aktivasi NF-κB maka akan mengaktivasi
protein-protein (sitokin dan survival agent), sehingga protein-protein
agen akan didegradasi di dalam makrofag menjadi peptida untuk
selanjutnya dipresentasikan kepada sel T-Cluster of Differentiation 4
(CD4) atau T-helper 0 (Th0), kemudian akan berdiferensiasi menjadi
CD4+ Th1 dan CD4+ Th2. Th1 akan memproduksi sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-1β, IL-8, TNF-α, serta IFN-γ. Sebaliknya, Th2
akan mensekresikan sitokin-sitokin antiinflamasi. Pada sepsis terjadi
perubahan keseimbangan dimana Th1 lebih dominan daripada Th2
sehingga sitokin proinflamasi akan lebih dominan.
Tumor necrosis factor-α merupakan sitokin proteolitik yang akan
mendegradasi protein-protein sel yang ada dalam tubuh, termasuk sel
endotel, sel gastrointestinal, maupun sel imunokompeten lainnya seperti
sel limfosit, sehingga sel-sel tersebut akan mengalami lisis. Lisisnya sel-
sel dalam tubuh akan menghasilkan debris. Sel-sel ini akan bersifat
sebagai oksidan yang akan memicu timbulnya ROS. Banyaknya ROS
atau stres oksidatif akan memicu terjadinya inflamasi secara sistemik
yang disebut SIRS. Kejadian ini akan memicu banyaknya apoptosis sel-
sel gastrointestinal. Dengan terjadinya disfungsi barier gastrointestinal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
maka sistem imunitas di traktus gastrointestinal akan mengalami
penurunan sehingga akan lebih mempermudah terjadinya invasi agen-
agen tersebut. Selain itu, karena terjadi immunocompromised, kuman-
kuman komensal akan menjadi kuman-kuman patogen. Keadaan ini akan
memperparah terjadinya sepsis, syok sepsis, sampai kematian.
Propolis memiliki berbagai aktivitas biologis yang bisa dimanfaatkan
dalam penatalaksanaan sepsis, antara lain (1) anti agen infeksius, seperti
antibakteri, antivirus, antifungal, antiprotozoa, dan anti patogen lainnya.
Sebagai antibakteri, propolis mampu menghambat bakteri MRSA, VRE,
serta ESBL yang pada saat ini sudah banyak terjadi resistensi antibiotik,
sehingga dapat digunakan pada penatalaksanaan sepsis; (2) antioksidan,
karena pada sepsis banyak terjadi peningkatan produk radikal bebas
(ROS), maka propolis bisa dimanfaatkan sebagai penatalaksanaan sepsis
yang akan menurunkan inflamasi (SIRS); (3) antiinflamasi, dimana
sepsis merupakan SIRS dengan infeksi, maka popolis dapat dimanfaatkan
sebagai penatalaksanaan sepsis; dan (4) imunomodulator, dimana
propolis akan menstimulasi fagositosis oleh makrofag serta menurunkan
produksi sitokin TNF-α, selain itu propolis juga mampu menghambat
komplemen, baik jalur klasik maupun jalur alternatif. Propolis juga
meningkatkan efek sitotoksisitas dari NK-cell dan mampu menstimulasi
produksi antibodi. Efek ini memperlihatkan bahwa propolis lebih
meningkatkan aktivitas sel CD4+ Th2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Dengan berbagai aktivitas biologis yang dimiliki oleh propolis
tersebut diharapkan pemberian EEP mampu mencegah terjadinya
inflamasi traktus gastrointestinal sehingga dapat mencegah terjadinya
sepsis.
3. Hipotesis
Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi intestinal tikus
putih sepsis induksi cecal inoculum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan the post test
only control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar
jantan dengan berat badan 200 gram dan berumur empat sampai enam
minggu. Tikus putih diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan
Universitas Setya Budi, Surakarta. Bahan makanan tikus putih yang
digunakan adalah BR I.
D. Teknik Sampling
Pengelompokan sampel menggunakan teknik purposive random
sampling. Besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan Rumus Federer
(Federer, 1959), yaitu:
Dimana (t) adalah kelompok perlakuan, dan (n) adalah jumlah sampel per
kelompok perlakuan.
(t – 1) (n – 1) > 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Dalam penelitian ini subjek dibagi menjadi lima kelompok, sehingga
dengan rumus tersebut diperoleh besar sampel :
(t – 1) (n – 1) > 15
(5- 1) (n – 1) > 15
4(n – 1) > 15
4n > 19
n > 5
Minimal hewan coba yang digunakan adalah lima ekor. Karena tingkat
mortalitas sepsis cukup tinggi, peneliti mengambil sampel sejumlah delapan
ekor tikus putih untuk tiap kelompok.
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas: ekstrak etanol propolis
2. Variabel terikat: derajat inflamasi intestinal
3. Variabel perancu
a. Dapat dikendalikan : makanan, minuman, genetik, jenis
kelamin, umur, berat badan.
b. Tidak dapat dikendalikan: variasi kepekaan tikus putih
terhadap suatu zat.
F. Skala Variabel
1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal
2. Derajat inflamasi intestinal : skala ordinal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
G. Definisi Operasional
1. Ekstrak Etanol Propolis (EEP)
Propolis pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di daerah
Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah.
Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi dengan alat perkolator.
Sekitar 1 gram (akurasi penimbangan sampai 0,0001 gram) bubuk
propolis mentah diekstraksi dengan 10 mL cairan penyari etanol 80%.
Bubuk propolis diletakkan di tengah bejana silinder yang bagian
bawahnya diberi sekat berpori kemudian etanol 80% dialirkan dari atas
ke bawah melalui bubuk propolis tersebut. Etanol 80% akan melarutkan
zat aktif sel-sel yang dilalui sampai keadaan jenuh. Dari proses tersebut
dihasilkan perkolat yang nantinya akan dipekatkan dengan alat
evaporator. Perkolat yang sudah kental dibuat hingga 25 mL dengan
etanol 80% dan disimpan dalam botol sampai analisis (Fu et al., 2005).
Ekstrak etanol propolis dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan 100 mg/kg
BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi kronik, sedangkan
dosis 200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi akut
pada hewan coba model (Lotfy, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh
Sabuncuoglu (2007) menggunakan dosis 100 mg/kg BB/hari untuk setiap
tikus putih. Sehingga dalam penelitian ini digunakan dosis 100 mg/kg
BB/hari/oral dan 200 mg/kg BB/hari/oral untuk setiap tikus putih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Dengan berat badan tikus putih kurang lebih 200 gram maka dosis
yang digunakan adalah: 200gr1000gr쵐 200mg 40mg/tikusputih/hari/oral Dosis maksimal pemberian secara oral pada tikus putih dengan berat
200 gram adalah 10,0 mL (Suhardjono, 1995). Pada penelitian ini dalam
25 mL EEP terkandung 1 gram propolis, sehingga dosis pemberian EEP
secara oral yang digunakan adalah sebagai berikut: 1000mg25mL 40mgx
x 40mg쵐 25mL1000mg
x = 1 mL
Sehingga setiap 1 mL EEP mengandung 40 mg propolis. Untuk dosis
200 mg/kg BB/hari/oral setiap tikus putih akan mendapatkan dosis 1 mL
EEP/hari/oral. Sedangkan untuk dosis 100 mg/kg BB/hari/oral, maka
setiap tikus putih akan mendapatkan dosis 0,5 mL EEP/hari/oral.
2. Derajat Inflamasi Intestinal
Derajat inflamasi intestinal ditentukan dengan adanya infiltrasi sel-
sel radang, yaitu neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit ke
dalam lapisan dinding intestinal yang dinyatakan dengan derajat
inflamasi. Skala pengukuran variabel ini adalah skala ordinal.
Penentuan tingkatan inflamasi intestinal (Chang & Miller, 2006):
Grade 0 : tidak ada infiltrasi sel radang (jaringan normal).
Grade 1 : infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel dari mukosa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Grade 2 : infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa dan
sedikit infiltrasi ke lapisan submukosa.
Grade 3 : infiltrasi sel radang sampai ke lapisan submukosa.
Grade 4 : infiltrasi sel radang sampai ke lapisan muskularis.
Sel-sel radang yang diamati antara lain:
a. Neutrofil
Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama bila ada
kerusakan jaringan atau bila ada benda asing yang masuk. Granula
yang terdapat dalam sitoplasma neutrofil bereaksi baik dengan zat
warna asam maupun basa. Pada pewarnaan wright granula tersebut
membentuk warna netral atau biru. Pada sel yang matang, kromatin
inti memadat membentuk gumpalan atau lobus, yang dihubungkan
satu dengan yang lain oleh benang-benang halus. Sel ini disebut
leukosit polimorfonuklear karena bentuk intinya bermacam-macam
(Widdman, 1995).
Gambar 3.1. Gambaran Histologis Neutrofil (diambil dari
Eroschenko, 2003)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
b. Basofil
Jumlah basofil dalam sirkulasi hanya 1% dari jumlah leukosit.
Pada pewarnaan yang bereaksi basa, granula sel ini tampak kasar dan
berwarna biru, sedangkan pada pewarnaan metakromatik akan
berwarna terang (Widdman, 1995).
Gambar 3.2. Gambaran Histologis Basofil (diambil dari Eroschenko, 2003)
c. Eosinofil
Eosinofil merupakan granulosit dengan inti yang terbagi
menjadi 2 lobus dengan sitoplasma bergranula kasar, refraktil, dan
berwarna merah tua oleh zat warna yang bereaksi asam yaitu eosin
(Widdman, 1995). Eosinofil dipandang sebagai tanda penyakit alergi
(Bellanti, 1993). Pada keadaaan normal jumlahnya hanya 2-4% dari
leukosit darah (Eroschenko, 2003).
Gambar 3.3. Gambaran Histologis Eosinofil (diambil dari Eroschenko, 2003)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
d. Limfosit
Limfosit merupakan leukosit mononuklear. Ukurannya
bervariasi. Pada pewarnaan wright tidak memiliki granula
sitoplasma. Inti limfosit berbentuk bulat atau oval sampai berbentuk
tapal kuda (Eroschenko, 2003). Bentuk kromatin inti sarat dengan
jala-jala yang berhubungan di dalam (Sylvia & Lorraine, 1995).
Gambar 3.4. Gambaran Histologis Limfosit (diambil dari Eroschenko, 2003)
e. Monosit
Jumlah monosit dalam sirkulasi 5-8% dari jumlah leukosit. Sel
ini berukuran besar (16-20 µm), kromatin inti jelas, inti memanjang
berlekuk atau terlipat dan sitoplasmanya benyak, berwarna biru
keabu-abuan dan tembus pandang (Widmann, 1995).
Gambar 3.5. Gambaran Histologis Monosit (diambil dari
Eroschenko, 2003)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
3. Variabel Perancu
a. Dapat dikendalikan
1) Makanan tikus putih berupa makanan standar (BR I) yang
diberikan dua kali sehari, setiap pagi dan sore.
2) Variasi genetik subjek penelitian dipersempit dengan
penggunaan spesies hewan coba yang sama, yaitu tikus putih
(Rattus norvegicus) strain Wistar.
3) Jenis kelamin tikus putih adalah jantan.
4) Umur tikus putih yang menjadi kriteria inklusi adalah empat
sampai enam minggu.
5) Berat badan tikus putih yang digunakan adalah 200 gram.
b. Tidak dapat dikendalikan
Variasi kepekaan tikus putih terhadap suatu zat.
H. Induksi Hewan Coba Model Sepsis
Cara menginduksi hewan coba model sepsis dalam penelitian ini
digunakan cecal inoculum dimana agen penyebab sepsis berasal dari fokus
infeksi polimikrobial dalam rongga abdomen diikuti oleh translokasi bakteri
ke dalam kompartemen darah yang kemudian memicu respon inflamasi
sistemik (SIRS).
Cecal inoculum dibuat baru setiap hari dari tikus putih donor yang
dikorbankan dengan mensuspensikan 200 mg material cecal pada 5 mL
dextrose water 5% (D5W) steril (Brahmbhatt et al., 2005). Pada penelitian
Chopra & Sharma (2007) hewan coba diinjeksi cecal inoculum 5 mL/kg BB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
secara intraperitoneal. Pada penelitian ini hewan coba tikus putih dengan
berat badan 200 gram diinjeksi cecal inoculum 40 mg/tikus putih yang
diberikan dalam 1 mL D5W steril, dengan perhitungan sebagai berikut:
5mL1000gr v200gr200mg5mL x1mL
v 5mL쵐 200gr1000g 1mLx 200mg쵐 1mL5mL 40mg
I. Rancangan Penelitian
Gambar 3.6. Skema Rancangan Penelitian
Keterangan :
X : Jumlah tikus putih yang digunakan
K1: Kelompok kontrol
K2: Kelompok sepsis
K3: Kelompok sepsis + propolis dosis 100 mg/kg BB/hari/oral
K4: Kelompok sepsis + propolis dosis 200 mg/kg BB/hari/oral
K5: Kelompok sepsis + cefepime 80 mg/kg BB/hari/i.p.
G1: Grading inflamasi kelompok kontrol
X
G1
Grading inflamasi semua
kelompok dibandingkan
dengan Uji Kruskal-Wallis
dilanjutkan dengan Uji
Mann Whitney
antarkelompok
G3
G2
G4
G5
K3
K2
K4
K5
K1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
G2: Grading inflamasi kelompok sepsis
G3: Grading inflamasi kelompok sepsis + propolis100 mg/kg BB/hari/oral
G4: Grading inflamasi kelompok sepsis + propolis 200 mg/kg BB/hari/oral
G5: Grading inflamasi kelompok sepsis + cefepime 80 mg/kg BB/hari/i.p.
J. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat penelitian
a. Kandang hewan penelitian
b. Timbangan
c. Spuit injeksi
d. Sonde
e. Beaker glass
f. Minor set
g. Pipet ukur
h. Mikroskop cahaya
i. Alat-alat pembuatan preparat histologis
2. Bahan penelitian
a. Bahan perlakuan: hewan uji (40 ekor tikus putih), material cecal tikus
putih donor, propolis, aquabides, dextrose water 5% steril, alkohol,
makanan standar hewan uji (BR I).
b. Bahan pembuatan preparat: organ intestinal tikus putih setelah
perlakuan dan organ intestinal tikus putih kontrol, formalin 10%,
alkohol 96%, toluol, xylol, parafin, pewarna Hematoksilin-Eosin,
aquades.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
K. Cara Kerja
1. Sebelum Perlakuan
a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian
selama kurang lebih satu minggu.
b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi lima kelompok.
Masing-masing kelompok terdiri atas delapan ekor tikus putih.
2. Pemberian Perlakuan
Hewan coba model sepsis pada penelitian ini digunakan model cecal
inoculum setiap hari sampai hari ke tujuh. Masing-masing kelompok
diberi diet standar dan diberi perlakuan yang berbeda.
3. Setelah Perlakuan
Pada hari ke delapan, tikus putih dikorbankan untuk kemudian
diambil intestinalnya, lalu dibuat preparat histologis menggunakan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin untuk menentukan grading inflamasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
4. Alur Penelitian
Gambar 3.7. Bagan alur penelitian
Gambar 3.7. Skema alur penelitian
Tikus putih 40 ekor
Adaptasi 7 hari
Random Sampling
Hari ke 1-7 + Cecal
Inoculum 40 mg/tikus putih/i.p.
Hari ke 1-7 + Cecal
Inoculum 40 mg/tikus putih/i.p.
Hari ke 1-7 + Cecal
Inoculum 40 mg/tikus putih/i.p.
Hari ke 1-7 + Cecal
Inoculum 40 mg/tikus putih/i.p.
Hari ke 1-7 + cefepime 80mg/kgBB
/hari/i.p.
Penentuan grading inflamasi intestinal dengan melihat sel-sel radang
Hasil dianalisis dengan uji statistik Kruskal-Wallis dilanjutkan dengan uji statistik Mann Whitney
Hari ke-8, tikus putih dikorbankan
Hari ke 1-7 + propolis
100mg/kgBB/hari/p.o.
Hari ke 1-7 + propolis
200mg/kgBB /hari/p.o.
Kelompok K1 (8 ekor)
Kelompok K3 (8 ekor)
Kelompok K2 (8 ekor)
Kelompok K4 (8 ekor)
Kelompok K5 (8 ekor)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
L. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik
nonparametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney.
Uji Kruskal-Wallis merupakan analisis varian satu arah berdasarkan
peringkat pada data skala ordinal. Uji ini untuk mengetahui adanya perbedaan
dalam seluruh kelompok populasi. Hasil yang diharapkan adalah adanya
perbedaan yang bermakna pada gambaran histologis intestinal kelompok K1,
K2, K3, K4 dan K5.
Uji Mann-Whitney merupakan uji nonparametrik untuk menilai dua
sampel independen pada distribusi yang sama. Uji ini untuk mengetahui letak
adanya perbedaan dalam populasi. Hasil yang diharapkan adalah mengetahui
antara kelompok mana yang mempunyai perbedaan bermakna.
Data akan diolah dengan menggunakan software program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 17.0 for Windows sehingga akan
diperoleh nilai dari uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Tikus putih dikorbankan dengan cara dislokasi servikal. Kemudian
preparat intestinal dari masing-masing tikus putih dibuat menggunakan
pengecatan Hematoksilin Eosin. Tiap kelompok dibuat delapan gambaran
histologis intestinal. Preparat diamati dengan mikroskop cahaya
menggunakan perbesaran 1000 kali. Masing-masing intestinal dinilai derajat
inflamasinya menggunakan sistem grading modifikasi (Chang et al., 2006).
Data hasil pengamatan mikroskopis terhadap derajat inflamasi intestinal pada
kelompok kontrol (K1), kelompok sepsis (K2), kelompok sepsis + propolis
100 mg (K3), kelompok sepsis + propolis 200 mg (K4), dan kelompok sepsis
+ cefepime 80 mg dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jumlah dan Prosentase Derajat Inflamasi Intestinal pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan
Grade K1 K2 K3 K4 K5
S % S % S % S % S % 0 2 25 0 0 0 0 0 0 1 12,5 1 4 50 0 0 3 37,5 2 25 4 50 2 2 25 0 0 3 37,5 1 12,5 3 37,5 3 0 0 3 37,5 2 25 5 62,5 0 0 4 0 0 5 62,5 0 0 0 0 0 0
(Sumber: data primer, 2011)
Gambaran hasil pengamatan mikroskopis derajat inflamasi intestinal
pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada gambar 4.1, gambar 4.2,
gambar 4.3, gambar 4.4, dan gambar 4.5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Kelompok K1 terdapat grade 0 sebanyak dua preparat, grade 1 sebanyak
empat preparat, dan grade 2 sebanyak dua preparat. Gambaran histologis
intestinal kelompok K1 dengan perbesaran 1000 kali sebagai berikut:
Gambar 4.1. Gambaran Histologis Intestinal Grade 0 pada Kelompok K1 Keterangan: tidak ditemukan infiltrasi sel radang
Gambar 4.2. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K1 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa,
ditunjukkan dengan arah panah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Kelompok K2 terdapat grade 3 sebanyak tiga preparat dan grade 4
sebanyak lima preparat. Gambaran histologis intestinal kelompok K2 dengan
perbesaran 1000 kali sebagai berikut:
Gambar 4.3. Gambaran Histologis Intestinal Grade 3 pada Kelompok K2 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan submukosa, ditunjukkan
dengan arah panah
Gambar 4.4. Gambaran Histologis Intestinal Grade 4 pada Kelompok K2 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan muskularis, ditunjukkan
dengan arah panah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Kelompok K3 terdapat grade 1 sebanyak tiga preparat, grade 2 sebanyak
tiga preparat, dan grade 3 sebanyak dua preparat. Gambaran histologis
intestinal kelompok K3 dengan perbesaran 1000 kali sebagai berikut:
Gambar 4.5. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K3 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa,
ditunjukkan dengan arah panah
Gambar 4.6. Gambaran Histologis Intestinal Grade 2 pada Kelompok K3 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa dan sedikit
infiltrasi ke lapisan submukosa, ditunjukkan dengan arah panah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Kelompok K4 terdapat grade 1 sebanyak dua preparat, grade 2 sebanyak
satu preparat, dan grade 3 sebanyak lima preparat. Gambaran histologis
intestinal kelompok K4 dengan perbesaran 1000 kali sebagai berikut:
Gambar 4.7. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K4 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa,
ditunjukkan dengan arah panah
Gambar 4.8. Gambaran Histologis Intestinal Grade 3 pada Kelompok K4 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan submukosa, ditunjukkan
dengan arah panah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Kelompok K5 terdapat grade 0 sebanyak satu preparat, grade 1 sebanyak
empat preparat, dan grade 2 sebanyak tiga preparat. Gambaran histologis
intestinal kelompok K5 dengan perbesaran 1000 kali sebagai berikut:
Gambar 4.9. Gambaran Histologis Intestinal Grade 1 pada Kelompok K5 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa,
ditunjukkan dengan arah panah
Gambar 4.10. Gambaran Histologis Intestinal Grade 2 pada Kelompok K5 Keterangan: infiltrasi sel radang sampai ke lapisan epitel mukosa dan sedikit
infiltrasi ke lapisan submukosa, ditunjukkan dengan arah panah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
B. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dianalisis
menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
rerata lebih dari dua kelompok dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney
(α = 0.05) menggunakan program SPSS 17.0 for Windows.
Hasil perhitungan statistik dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai
p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara lima
kelompok perlakuan.
Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan, maka
dilakukan analisis dengan Post Hoc Test yaitu uji Mann-Whitney. Dari hasil
uji Mann-Whitney (α = 0,05), didapatkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok K1 dengan K2, K1 dengan K4, K2 dengan K3, K2 dengan K4, K2
dengan K5, dan K4 dengan K5. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
p < 0,05 (tabel 4.2).
Tabel 4.2. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok
Kelompok Perlakuan p value Keterangan K1 dengan K2 0.001 Signifikan K1 dengan K3 0.058 Tidak signifikan K1 dengan K4 0.011 Signifikan K1 dengan K5 0.492 Tidak signifikan K2 dengan K3 0.002 Signifikan K2 dengan K4 0.005 Signifikan K2 dengan K5 0.001 Signifikan K3 dengan K4 0.238 Tidak signifikan K3 dengan K5 0.158 Tidak signifikan K4 dengan K5 0.024 Signifikan
(Sumber: data primer, 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
BAB V
PEMBAHASAN
Sepsis menurut Guntur (2008) adalah suatu sindroma klinik yang terjadi
karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme yang ditandai dengan: hipertermia atau hipotermia, takipnea,
takikardia, leukositosis, leukopoenia, dengan atau tanpa ditemukan bakteremia.
Menurut Russell (2006) patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari
interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi, dan jalur koagulasi yang
dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi (seperti
TNF-α, IFN-γ, IL-1β, dan IL-6) dengan sitokin antiinflamasi (seperti IL-4 dan IL-
10). Berdasarkan Elena et al. (2006), overproduksi sitokin inflamasi menyebabkan
aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus,
dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan
menginduksi perubahan metabolik sehingga menyebabkan nekrosis jaringan,
MOF, serta kematian.
Penelitian ini menggunakan propolis sebagai bahan uji. Propolis berfungsi
sebagai antibakteri, antioksidan, dan antiinflamasi. Propolis juga meningkatkan
efek sitotoksisitas dari NK-cell dan mampu menstimulasi produksi antibodi.
Sehingga pemberian EEP mampu mencegah terjadinya inflamasi traktus
gastrointestinal dan dapat mencegah terjadinya sepsis.
Kelompok K1 menunjukkan gambaran histologis intestinal yang normal
(grade 0) sebanyak dua preparat, empat preparat kelompok K1 menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
gambaran histologis intestinal dengan grade 1, dan dua preparat kelompok K1
yang lainnya menunjukkan gambaran histologis intestinal dengan grade 2.
Adanya gambaran histologis intestinal dengan grade 1 dan grade 2 mungkin
karena terdapat variabel luar yang tidak dapat dikendalikan seperti kepekaan tikus
terhadap suatu zat, kondisi psikologis tikus, maupun kondisi awal intestinal tikus.
Pemberian material cecal inoculum pada kelompok K2 menyebabkan
meningkatnya derajat inflamasi intestinal tikus secara bermakna (Tabel 4.2).
Sebanyak lima preparat menunjukkan gambaran histologis intestinal dengan
grade 4 (Tabel 4.1). Hal ini sesuai dengan protokol pembuatan model sepsis oleh
Chopra dan Sharma (2007). Injeksi cecal inoculum menggambarkan keadaan
klinis peritonitis yang disebabkan infeksi polimikroba, adanya infeksi kuman
patogen tersebut pada subjek penelitian merupakan patofisiologi kompleks dari
sepsis. Pada hewan coba juga terdapat piloereksi. Menurut Alscher et al. (2001)
dan Jurgen et al. (2006) bahwa proses patologik yang utama pada sepsis adalah
apoptosis dari saluran pencernaan, termasuk intestinal. Proses ini menyebabkan
hipoperfusi intestinal berupa gangguan mikrosirkulasi mukosa intestinal, disfungsi
barrier intestinal dengan peningkatan permeabilitas usus, invasi bakteri patogen
dan translokasi toksinnya ke dalam sirkulasi darah serta pelepasan sitokin
inflamasi yang berlebihan seperi TNF-α, IFN-γ, IL-1β dan IL-6 yang merupakan
tanda reaksi inflamasi.
Pemberian EEP dosis 100 mg/kg BB (kelompok K3) dapat menurunkan
derajat inflamasi intestinal secara signifikan (tabel 4.2). Kelompok ini
memperlihatkan grade 1 (tiga preparat), grade 2 (tiga preparat) dan grade 3 (dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
preparat) (Tabel 4.1). Hasil ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Takaisi-Kikuni dan Schilcher dalam Sabir (2005) yang menyatakan bahwa EEP
menyebabkan terjadinya disorganisasi dari sitoplasma, membran sitoplasmik,
serta dinding sel yang semuanya mengakibatkan bakteriolisis parsial dan
penghambatan sintesis protein sehingga bersifat antibakteri.
Berdasarkan Ang et al. (2009) dan Marquez et al. (2004), kandungan CAPE
dalam propolis mampu menghambat aktivitas pengikatan DNA dan transkripsi
NF-kB serta faktor transkripsi NFAT, dan AP-1, tanpa mempengaruhi degradasi
protein penghambat NF-kB yang berada di sitoplasma. Sehingga propolis
memiliki aktivitas sebagai imunomodulator dan antiinflamasi.
Menurut De Castro (2001) dan Orsi et al. (2000) propolis akan menstimulasi
fagositosis oleh makrofag serta menurunkan produksi sitokin TNF-α, selain itu
propolis juga mampu menghambat komplemen, baik jalur klasik maupun jalur
alternatif. Propolis juga meningkatkan sitotoksisitas dari NK-cell dan
menstimulasi produksi antibodi. Sehingga propolis berfungsi sebagai
imunomodulator.
Kumuzawa et al. (2004) menyatakan bahwa propolis juga dapat berfungsi
sebagai antioksidan kuat, yang dapat mencegah timbulnya senyawa-senyawa
radikal bebas dimana pada sepsis banyak terjadi peningkatan produk radikal bebas
(ROS) sehingga propolis bermanfaat dalam penatalaksanaan sepsis. Propolis juga
berfungsi sebagai penetral racun karena berbagai kandungan di dalam propolis
dapat membersihkan polutan dan racun di dalam tubuh, sehingga metabolisme sel
dapat berlangsung optimal kembali. Mekanisme-mekanisme tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
menyebabkan terhambatnya apoptosis sel epitel intestinal yang berpengaruh pada
menurunnya derajat inflamasi intestinal.
Pemberian EEP dosis 200 mg/kg BB (kelompok K4) juga dapat menurunkan
derajat inflamasi intestinal bila dibandingkan dengan kelompok K2 (tabel 4.2).
Kelompok ini memperlihatkan grade 1 (dua preparat), grade 2 (satu preparat) dan
grade 3 (lima preparat) (Tabel 4.1). Bila dibandingkan dengan kelompok K3 yang
diberi propolis dosis 100 mg/kg BB, kelompok K3 memberikan hasil yang lebih
baik dibanding kelompok K4. Hal ini mungkin disebabkan karena dosis
200 mg/kg BB sudah kurang optimal untuk penatalaksanaan sepsis sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis optimal propolis.
Pemberian antibiotik cefepime 80 mg/kg BB (kelompok K5) mampu
menurunkan derajat inflamasi intestinal secara signifikan (tabel 4.2). Kelompok
ini memperlihatkan grade 0 (satu preparat), grade 1 (empat preparat), dan grade 2
(tiga preparat) (Tabel 4.1). Menurut Yunus (2010) cefepime merupakan
sefalosporin generasi empat yang mempunyai struktur kimia yang dapat
mempercepat penetrasinya ke dinding sel bakteri. Cefepime mempunyai spektrum
yang luas, lebih stabil terhadap enzim beta laktamase sehingga mempunyai
potensi untuk mengatasi bakteri patogen yang telah resisten terhadap sefalosporin
generasi sebelumnya. Cefepime menghambat sintesis dinding sel bakteri, dan
berefek bakterisidal (membunuh bakteri). Efektivitas cefepime telah teruji secara
klinis dan dari segi keamanan, cefepime dapat ditoleransi dengan baik. Oleh
karena itu, cefepime digunakan sebagai antibiotik dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Kelemahan pada penelitian ini yaitu adanya perbedaan kekebalan pada tiap
tikus serta adanya variabel luar yang tidak dapat dikendalikan seperti kepekaan
tikus terhadap suatu zat maupun kondisi awal intestinal tikus sehingga dapat
mempengaruhi hasil preparat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak
etanol propolis dapat menurunkan derajat inflamasi intestinal tikus putih
sepsis induksi cecal inoculum.
B. SARAN
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam
pilihan terapi sepsis dengan menggunakan variasi dosis yang lebih rendah
karena propolis memiliki kemampuan dalam menurunkan derajat inflamasi
intestinal.