10
PENDAHULUAN I. Latar Belakang Arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Setelah terpuruk di bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia pun memasuki babak baru. Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan pemerintahan yang memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan mandiri. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kota serta kabupaten yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya merupakan perpanjangan tangan dari pusat di daerah. Dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis Besar Haluan Negara. Secara teknis, masih terdapat sejumlah persiapan besar yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan aplikatif. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, peraturan Pemerintah Nomor 84 Thaun 2000, selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 104,105,106,107,108,109 da 110 Tahun 2000, terakhir Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 dan ketentuan lainnya yang relevan. 1 Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan 1. Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman 2.

"Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Setelah terpuruk di

bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia pun memasuki babak baru.

Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan pemerintahan yang

memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan mandiri.

Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

pemerintah pusat, provinsi dan kota serta kabupaten yang menurut Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974 hanya merupakan perpanjangan tangan dari pusat di daerah. Dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi

pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam

pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri.

Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian pelayanan antara pemerintah pusat,

provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis maupun teknis. Secara politis,

desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu

tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis Besar Haluan Negara. Secara teknis,

masih terdapat sejumlah persiapan besar yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian

kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan aplikatif.

Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan pada

prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang

Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, peraturan Pemerintah Nomor 84 Thaun 2000, selanjutnya

Peraturan Pemerintah Nomor 104,105,106,107,108,109 da 110 Tahun 2000, terakhir Undang

Undang Nomor 23 tahun 2014 dan ketentuan lainnya yang relevan.1

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa

dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai

kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan

1. Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers.

Halaman 2.

Page 2: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Untuk mendukung penyelenggaran otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata

dan bertanggungjawab di daerah secara proposional dan berkeadilan, jauh dari praktik-

praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah

pusat dan daerah. Setelah itu arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru.

Makin terpuruknya di bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia pun

memasuki babak baru. Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan

pemerintahan yang memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan

mandiri.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa

baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila

tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya masyarakat di

luar pulau Jawa.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah konkret

pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu caranya dengan

adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya otonomi daerah

ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi beberapa kali revisi

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang Nomor 9 tahun

2015 dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada perubahan yang signifikan

yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam otonomi daerah. Hal ini

menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di Indonesia walaupun

menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri.

Terbukti setelah adanya Otonomi Daerah pembangunan di berbagai daerah baik secara

struktural dan non struktural terus meningkat walaupun akibatnya terjadinya desentralisasi

korupsi akibat dari berlakunya Otonomi daerah ini. Permasalahan pun muncul apakah peran

DPRD dalam mengawasi pembangunan daerah belum maksimal sehingga permasalahan

desentralisasi korupsi ini terjadi. 2

2. Widjaja HAW. ibid

Page 3: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

II. Rumusan Masalah

1. Mengapa sistem otonomi daerah di indonesia cenderung mengesampingkan

pembangunan real baik yang diinginkan minoritas pejabat daerah dan mayoritas

masyarakat daerah?

2. Apakah blue print dari otonomi daerah di indonesia dewasa ini sudah dapat dikatakan

dalam klasifikasi berhasil baik struktural dan nonstruktural?

PEMBAHASAN

Peran DPRD dalam mengawasi alur APBD dalam kerangka aspirasi masyarakat

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan

nuansa baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut

apabila tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat

dan masyarakat di luar pulau Jawa.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah

konkret pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu

caranya dengan adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya

otonomi daerah ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi

beberapa kali revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang

Nomor No.9 tahun 2015. Dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada

perubahan yang signifikan yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam

otonomi daerah. Hal ini menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di

Indonesia walaupun menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri.

Dalam perspektif GDJ.Hewing, diungkapkan bahwa: akibat kebijakan Orde Baru yang

sentralistis secara langsung berimbas pada ketimpangan yang dahsyat antara pusat dan

daerah, antara Jawa dan diluar pulau Jawa, dan hal ini hampir terjadi dalam segala lini

kehidupan.

Setelah pasca Reformasi memuat kebijakan yang menjadikan otonomi daerah sebagai

salah satu agenda penting yang perlu dilansir oleh pemerintah pasca Orde Baru. Undang-

Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa baru dan

Page 4: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila tidak

ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat dan

masyarakat di luar pulau Jawa.

Desentralisasi sebenarnya telah lama dianut dalam negara Indonesia. Secara historis,

asas Desentralisasi itu telah dilaksanakan di zaman Hindia Belanda dengan adanya Undang-

Undang Desentralisasi (Decentrakisatie Wet) tahun 1903. Undang-Undang Nomor 22 tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah telah mengubah paradigma sentaralisasi kekuasaan

pemerintah ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan

bertanggung jawab kepada daerah. Namun demikian, kita tidak boleh mengabaikan bahwa

ada prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom, yaitu :

Pertama, adanya kesiapan SDM aparatur yang berkeahlian

Kedua, adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah.

Ketiga, Tersedianya fasilitas pendukung pelaksaaan pemerintah daerah.

Keempat, bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam koridor

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah suatu proses yang

berlangsung secara terus-menerus dengan corak dan intensitas dan prestasi yang berbeda-

beda sesuai dengan kapabilitas aparatur dan tersedianya sumber daya. Keberhaslan

pencapaian tujuan negara akan ditentukan oleh “semangat para penyelenggara negara” seperti

yang digariskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

Anggaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan

pelayanan ublik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang

luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar dapa

mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman

daerah.

Otonomi Daerah yang mulai berlaku sejak di sahkan dalam Undang Undang Nomor 23

Tahun 2014 membuka peluang untuk setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali untuk dapat

menentukan nasib daerah mereka sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak pusat yang

berlebihan. Namun tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi

Page 5: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan

bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan

Indonesia.

Masalah-masalah tersebut antara lain :

1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap

3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan

otonomi daerah

5. Korupsi di Daerah

6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Problem lainnya yang juga menjadi sebab tidak optimalnya otonomi daerah yaitu

Kesenjangan antara otonomi daerah dengan NKRI ternyata dijembatani oleh demokrasi,

Tanpa diperantarai oleh demokrasi yang kuat maka otonomi daerah tidak bisa membantu

memperkuat keIndonesiaan, dan demikian juga sebaliknya. Otonomi daerah seluas-luasnya

terlaksana dengan pemanfaatan sumberdaya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Selain hal-hal diatas kebijakan otonomi daerah juga belum mencapai harmonisasi

pendelegasian wewenang antara pusat dengan daerah, dan ditambah juga terdapat hambatan

operasionalisasi perundang-undangan terkait maupun kendala-kendala praktis.

Pelaksanaan pembangunan di daerah yang pembangunan kembali menunjukan

kecenderungan resentralistik dalam arti program pembaungan direncanakan secara terpusat

oleh Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan,

karakteristik dan spesifikasi masing-masing daerah, dan mengasumsikan kebutuhan dan

permasalahan yang dihadapi setiap daerah adalah sama. Hal ini membawa dampak negative

bagi daerah, seperti hilangnya kreativitas daerah , tidak terpenuhinya kebutuhan masyrakat,

dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat

daerah. Kewenangan daerah dalam mengembangkan dunia usaha juga sangat terbatas karena

banyak kebijakan dan regulasi berada pada Pemerintah Pusat. Berbagai perizinan masih

diputuskan oleh Pemerintah Pusat.

Seharusnya melalui desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintah kepala daerah

otonom, daerah akan mempunyai kewenangan yang luas dan utuh seperti :

1. Untuk mengatur dan mengelola aspirasi/tuntutan masyarakatnya

2. Untuk merencanakan dan mengelola pelaksanaan pemabngunan di daerahnya

Page 6: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

Dengan demikian pemerintah daerah dapat mengembangkan kreativitas dalam

menggali dan mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk dimanfaatkan seoptimal

mungkin bagi pembangunan daerah dan pengembangan usaha di daerah.

Otonomi daerah ditujukan untuk memudahkan adanya pembangunan yang bersifat adil

dan membawa kesejahteraan bagi daerah. Namun pada realitanya banyak sekali kasus korupsi

dalam pembangunan di daerah dalam berbagai sektor yang memiliki kaitan erat dengan

berlakunya Otonomi Daerah. Terbukti dengan survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada

tahun 2003 sebelum diberlakukan Otonomi Daerah sebesar 2,2 kemudian setelah berlakunya

Otonomi Daerah meningkat menjadi pada 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011

dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat

menjadi 3,4. Hal ini membuktikan bahwa Otonomi Daerah membuka peluang besar bagi

pemerintah daerah yang mungkin saja sudah bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam

pusat, berbagai departemen daerah untuk merancang manipulasi anggaran yang seharusnya di

alokasikan ke dalam sektor pembangunan riel yang membawa manfaat bagi masyarakat

daerah. Ironisnya lagi, untuk menutup kesalahan dalam mark up harga sebagai salah satu cara

untuk melakukan aksi korupsi, oknum-oknum ini cenderung menutupinya dengan

memanipulasi data-data penerimaan sehingga terlihat bahwa pemerintahannya berprestasi dan

tidak patut dicurigai padahal realitanya anggaran-anggaran yang seharusnya menjadi

infrastruktur hilang dalam jumlah persentase yang tidak sedikit yang pada akhirnya membuat

daerah-daerah terutama daerah tertinggal yang menjadi perhatian pemerintah pusat sulit

untuk berkembang (menurut survei ICW, NTT yang termasuk daerah tertinggal dan menjadi

perhatian pusat merupakan provinsi terkorup nomor 2 di Indonesia) kami ambil contoh di

Provinsi berbeda lagi, kasus Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag)

Pemkot Medan, Syahrial Arif, didakwa melakukan korupsi dalam proyek revitalisasi Pasar

Kapuas Belawan sebesar Rp 200 juta. Yang mana berdasarkan survey yang dilakukan ICW

(Indonesia Corruption Watch) Provinsi terkorup nomor 1 di Indonesia adalah provinsi

Sumatera Utara. Kasus itu merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi

daerah, dan kebetulan kasus yang kami berikan contoh tidak meraup uang triliyunan yang

biasanya merupakan anggaran pembangunan infrastruktur namun dikarenakan adanya

‘manipulasi data’ infrastruktur ini tadi tidak menjadi maksimal. Bisa jadi hasilnya terlambat,

mudah rusak dan membahayakan masyarakat, bahkan paling parah tidak selesai. Menurut

KPK, Jumlah kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi terus bertambah. Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, selama 11 tahun terakhir, sudah ada 64 kasus

korupsi yang menyangkut para kepala daerah di negeri ini. Dari 64 kasus tadi, sebanyak 51

Page 7: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

kasus sudah diputuskan pengadilan. KPK juga melihat, modus kepala daerah untuk korupsi

juga berkembang. Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto

Seno Adji mencontohkan, salah satu modus yang dipakai adalah menyuruh pengacara

memberikan sejumlah uang ke hakim untuk memenangkan gugatannya.

Undang-undang Otonomi Daerah telah mengalami beberapa kali revisi. Yaitu, Undang

Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang Undang

Nomor 23 Tahun 2004, dan yang terakhir Undang Undang Nomor 9 Tahun 2015. Sayangnya,

dalam revisi beberapa kali yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir hanya mengatur

perihal pemilihan kepala daerah, serta hal-hal teknis lainnya yang berhubungan dengan

pemilihan atau penggantian jabatan. Dan sama sekali tidak memuat pasal baru yang berguna

untuk mengatur regulasi kewenangan pejabat daerah ataupun pengawasan lebih dalam perihal

anggaran yang kerap kali dikhawatirkan sebagai ladang korupsi yang subur bagi para oknum

baik pejabat maupun para ‘pembantu’ di belakangnya untuk melancarkan niat korupsi

mereka.3

Discretion of official menjadi kunci utama pencegahan penyelewengan otonomi daerah

Korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah suatu korupsi yang terjadi secara kebetulan

dalam pengelolaan uang negara oleh oknum-oknum penyelenggara negara/instansi

Pemerintahan/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), melainkan adalah suatu korupsi yang sudah terencana dengan matang jauh-jauh

hari. Prof. Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa tingkat kebocoran dalam

pengelolaan keuangan negara mencapai 30%. Tingkat korupsi yang begitu tinggi dalam

pengelolaan anggaran terjadi secara berkesinambungan inilah yang menyulitkan para

pengendali dan pengawas keuangan negara untuk menanggulangi masalah ini.

Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power)

disini membuktikan bahwa pimpinan memiliki kekuatan penuh dalam memanipulasi data

bawahannya untuk melancarkan aksinya, ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki

seseorang (discretion of official) kekuasaan tadi membuat permintaan dari pejabat kerap kali

sulit untuk di tolak kemudian tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas

(minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.4

“ Otonomi daerah yang mulanya diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk

lebih memberdayakan masyarakat dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam

Page 8: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

daerah, ternyata juga dijadikan “ lahan basah “ dimana praktik tindak pidana korupsi

berlangsung. Dari harapan – harapan otonomi daerah kita akan merasakan kehidupan

masyarakat sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang luar biasa tapi nyatanya, dibalik itu

semua sudah muncul tindak –tindakan kriminologi seperti : kondisi tindak pidana korupsi “

ungkap Agus sudaryanto, aktivis Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Pengawasan

terhadapa pelaksanaan dari otonomi daerah itu sendiri pun menjadi kunci utama dalam

pelaksaaan otonomi daerah yang bersih dan jujur namu dewasa ini indonesia terlah

terbelenggu menjadi satu bagian yang sama dalam kerangka nepotisme dan korupsi itu

sendiri. Upaya upaya penyesuaian yang terjadi mulai dari tahun 2004 sampai dengan detik ini

masih banyak sistem otonomi daerah yang harus dibenahi dalam hal kekuasaaan monopoli

yang menjurus kepada pertanyaan dimana kah kredibilitas dan akuntabilitas dari pejabat

daerah apabila ada kasus terkait dengan penyelewengan biaya biaya pembangunan daerah.

Pembangunan daerah yang paling diimpikan adalah pemerataan pembangunan infrastruktur

pendidikan dan kesehatan terutama di daerah terpencil menelitik dari keinginan tersebut

banyak yang meragukan sistem otonomi daerah yang selama ini dianggap dapat memperkecil

kemungkinan korupsi itu sendiri namun dari segi realitas pembangunan di daerah terpencil

dan tidak merata menunjukkan ketdak berhasilan dari sistem tersebut walau sudah sering

direvisi bagian dan wewenang dari sistem otonomi daerah.

PENUTUP

Kesimpulan

Kondisi korupsi di Indonesia pasca reformasi bukan semakin menurun melainkan

meningkat ke segala aspek kehidupan dan di semua bidang penyelenggaraan negara, baik di

lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, bidang politik maupun sektor swasta.

Kuantitasnya pun beragam mulai dari pungli di jalanan hingga jual beli perkara di pengadilan

baik dalam lingkungan pemerintahan pusat, daerah, lembaga negara, maupun

BUMN/BUMD. Korupsi ini pun tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang

matang dan jauh-jauh hari yang juga melibatkan beragam pihak dalam satu tindakan korupsi.

Ditambah lagi dengan pemberantasannya yang cenderung diulur-ulur dan banyak permainan

serta dijadikan komoditas politik. Padahal setiap tahunnya, korupsi di negara Indonesia sudah

meraup ratusan triliyun rupiah yang apabila di realisasikan dalam bentuk pembangunan

dalam berbagai sektor justru akan menambah kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang

diatur dalam UUD 1945.

Page 9: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

Otonomi daerah merupakan langkah baru dari sistem reformasi Indonesia, yang

bertujuan pembagian kekuasaaan dari sentralistik ke desentralisasi. Guna pengaturan

kebijakan agar tidak terpusat pada pemerintah pusat, dan kebijakan pengelolaan daerah

masing-masing dipegang oleh kepala daerah yang lebih mengetahui kondisi daerahnya itu

sendiri. Tetapi dalam perkembangannya, otonomi sistem desentralisasi tersebut mengalami

beberapa problema atau masalah-masalah yang baru muncul.

Salah satunya yaitu eksploitasi pendapatan daerah, korupsi di daerah, SDM yang

belum siap, potensi munculnya konflik antar daerah dan lain sebagainya. Tetapi kedepannya,

ternyata otonomi daerah mempunyai banyak keuntungan atau prospek kedepan, yaitu antara

lain : memperkokoh sendi-sendi perkeonomian daerah, demokratisasi tata kelola pemerintah,

kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-

fungsi pelayanan esekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan

standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan negara dan daerah,

serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam,

pajak dan retribusi juga pinjaman daerah.

Saran

Regulasi dan kebijakan otonomi daerah ke depan harus dirancang dengan mengacu

pada konsepsi strategis, antara lain:

1. Penguatan dan implementasi otonomi daerah yang bertanggung jawab memenuhi asas

keadilan dan keselarasan dalam bingkai NKRI. Kecenderungan politik untuk

melemahkan paradigma desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik melalui

komunikasi wacana yang bermuatan ‘pemikiran-pemikiran resentralistik’ maupun

regulasi termasuk materi muatan dalam undang-undang yang secara faktual berpotensi

mengubah hubungan-hubungan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

harus segera ditinggalkan.

2. Akselerasi pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi dengan

memperhatikan konektivitas antar wilayah guna mencapai tujuan pemerataan

pembangunan nasional.

3. Kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah yang segera dapat dioperasionalkan untuk

menghadapi perkembangan dalam kerja sama ekonomi.

4. Peningkatan upaya-upaya untuk terus membanguna tata kelola pemerintahan yang baik,

melalui peningkatan kapasitas kepemerintahan.

Page 10: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

5. Regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal harus ditata guna mewujudkan alokasi

sumberdaya nasional yang efisien dan efektif melalui pola hubungan keuangan pusat dan

daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Peningkatan pembangunan daerah

yang tidak tersentral pada pulau-pulau di jawa, akan memudahkan proses otonomi daerah

yang sehat, kebijakan nasional yang mementingkan potensi daerah dan sekaligus

menjaga kelestarian daerah tersebut, regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal per

daerah, dan regulasi ketentuan pembentukan peraturan daerah yang tepat guna.

DAFTAR PUSTAKA

Niwanto Andhi D, Otonomi Daerah Versus Desentralisasi Korupsi. Aneka ilmu,

Semarang:2013

Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Rajawali Pers, Jakarta: 2007