Upload
alsa-indonesia
View
229
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Â
Citation preview
DILEMATISASI PERTUMBUHAN PEMBANGUNAN
DAN INDIKASI KASUS KORUPSI
OLEH :
PUTU ANANTHA PRAMAGITHA 1503005117 2015
NI MADE RIT MEIDYANA 1503005134 2015
PUTU AYU OSSI WIDIARI 1503005145 2015
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan
pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam pasal 18 ayat
(2) yaitu pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal tersebut juga telah diatur
secara implisit dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah yaitu pelimpahan tugas dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi daerah menganut asas desentralisasi yaitu
penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepala daerah otonom dalam kerangka Negara
kesatuan republik Indonesia. Dalam hal ini, daerah otonom merupakan suatu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara kesatuan
Republik Indonesia. Sehingga otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil yang memegang kendali
kebijakan penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan
tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Dengan otonomi seluas-luasnya, maka
segala kebijakan dikendalikan oleh pemerintah daerah. Namun dalam pelaksanaannya masih
menyisakan berbagai persoalan yang belum terselesaikan, diantaranya kasus korupsi di daerah,
penyalahgunaan wewenang, tidak tercapainya pembangunan yang diprioritaskan oleh masyarakat,
tumpang tindih kekuasaan yang diakibatkan kurang dijabarkannya kewenangan, hak dan
kewajiban antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kurangnya pelayanan publik serta
masih banyak lagi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Political and Economy Risk
Consultancy (PERC) tahun 2010, Kasus korupsi di Indonesia menduduki posisi tertinggi dari 16
negara yang berada di Asia Pasifik dan posisi pertama dari tujuh Negara ASEAN yaitu sebesar 8,
32 %. Survei ini diperkuat dengan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2010 yang
mengungkapkan salah satu penyumbang kerugian Negara tertinggi adalah korupsi keuangan
daerah yang dilakukan oleh sejumlah oknum Kepala Daerah dan DPRD.1 Tetapi tidak sedikit juga
pemerintah yang khawatir dalam hal penyerapan anggaran pemerintah daerah karena takut
berurusan dengan hukum. Sehingga menimbulkan suatu dilema pemerintah untuk menjalankan
program pembangunan.
Berdasarkan data pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2015, dana
sebesar Rp 20,766,200,000 merupakan total nasional dari rincian dana desa menurut kabupaten
kota.2 Namun, permasalahan saat ini adalah data yang terhimpun pada 30 juni 2015, penyerapan
anggaran sangat berjalan lamban, rata-rata untuk kabupaten kota baru 24,95% sementara provinsi
hanya 25,95%.3 Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri menyebutkan Rp 672 triliun
telah ada di daerah yang disalurkan melalui dana perimbangan daerah namun daya serapnya masih
sangat lamban. Padahal ditengah kemerosotan rupiah, perekonomian Negara yang masih berjalan
pelan dan semakin mencekik, serta pengangguran yang semakin meningkat, pemerintah daerah
harus segera mengambil keputusan dalam hal percepatan penyerapan anggaran daerah agar
perekonomian tidak jalan ditempat dan program pembangunan segera terlaksana.
Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, juga sempat berpendapat bahwa disatu sisi Indonesia
sukses memberantas korupsi namun disisi lain masih terdapat kendala dalam hal pergerakan
perekonomian yaitu terhambatnya pelaksanaan perekonomian Negara akibat tidak terlaksananya
pembangunan karena ketakutan para pejabat dalam penggunaan anggaran daerah. Salah satu faktor
yang menyebabkan hal tersebut adalah ketidakjelasan definisi korupsi seperti yang telah termuat
dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Terkait hal ini, penegakan
hukum dirasa masih mengganggu jalannya pembangunan sehingga menimbulkan ketakutan
terhadap sanksi hukum oleh para pejabat karena tidak adanya kepastian hukum. Menanggapi
permasalahan tersebut, tentunya para penegak hukum serta aparat pemerintahan sebagai satu
1 Marzuki Laica, 2007, Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta. 2 Dikutip dari www.kemenkeu.go.id, 2015, Rincian dana transfer ke daerah dan dana APBN tahun anggaran 2015, Diakses
pada tanggal 2 Januari 2016, (15.05 WITA)
3 Sumbar.antaranews, 2015, Dilema Percepatan Anggaran dan Risiko Hukum,
http://sumbar.antaranews.com/berita/157019/dilema-percepatan-penyerapan-anggaran-dan-risiko-hukum.html, Diakses
pada tanggal 2 Januari 2016 (11.10 WITA)
kesatuan dapat bersama-sama mengkaji ulang untuk menemukan solusi yang tepat dari
permasalahan ini.
Berkaca dari data yang dirilis KPK sebanyak 47 tersangka kasus korupsi dalam dua
semester adalah kepala daerah.4 Hampir 50% pejabat di Bali terlibat kasus korupsi, contohnya di
Kota Denpasar terjadi kasus korupsi yang melibatkan 2 pejabat Pemprov Bali dalam kasus Korupsi
Taman Budaya senilai 6 miliar, di Kabupaten Badung sendiri Kepala Pajak Kabupaten Badung
sudah divonis selama 6,5 tahun akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Mantan Bupati
Buleleng juga tak luput dari kasus korupsi setelah diduga menggelapkan uang senilai 11 miliar,
bukan hanya di Kabupaten Buleleng, mantan bupati Kabupaten Bangli, Jembrana, Karangasem
dan Klungkung juga tersangkut kasus korupsi yang mencapai angka diatas 40 miliar. Kabupaten
Gianyar bahkan harus menangani kasus korupsi senilai 2,2 miliar yang dilakukan oleh pihak
PDAM Kabupaten Gianyar dan Kabupaten terakhir yang tak luput dari kasus korupsi adalah
Kabupaten Tabanan dengan dugaan Mark Up lahan RS Internasional yang akan di bangun di
Tabanan.5
Oleh karena itu, di Provinsi Bali sendiri kasus korupsi merupakan salah satu momok yang
mengakibatkan pembangunan daerah terhambat sehingga pembangunan dinilai lambat oleh
masyarakat. Lemahnya penegakan korupsi di Indonesia juga disebabkan karena penyalahgunaan
kekuasaan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi (abuse of power),
sehingga menimbulkan ketakutan pemerintah daerah dalam mengambil suatu kebijakan yang
bersifat pembangunan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana efektivitas dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia?
2. Apa dampak Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pembangunan daerah?
3.
4 Dikutip pada laman http://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan, Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 (14.50 WITA)
5 Diakses pada laman http://infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=308&l=bali , pada tanggal 10 Januari 2016 (15.00 WITA)
PEMBAHASAN
I. Efektivitas dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah didasari oleh tiga tujuan utama yaitu
tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Tujuan politik otomi daerah adalah untuk
meningkatkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah serta mewujudkan demokratisasi politik
melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tujuan administratif yaitu pembagian urusan
pemerintahan pusat dan daerah, serta tujuan ekonomi yang hendak dicapai adalah mendorong,
memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Otonomi daerah pada awalnya dimaksudkan untuk
menghindari adanya pemusatan pembangunan di daerah tertentu saja tetapi berusaha untuk
memajukan daerah melalui pemberian wewenang kepada daerah untuk melakukan pembangunan
segala bidang yang tidak bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan tujuan diadakannya otonomi daerah perlu dilihat bagaimana penerapannya di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini mengingat masih banyak daerah tertinggal yang
pembangunannya tidak mengalami peningkatan berarti. Di Bali contohnya menurut data yang
dikeluarkan Bappeda sebanyak 82 desa memiliki jumlah keluarga miskin diatas 35% yang tersebar
di 20 Kecamatan dengan empat Kabupaten terbanyak, yang paling banyak terdapat di kabupaten
Buleleng (33 desa) disusul Kabupaten Karangasem (31 desa), Bangli (10 desa) dan Klungkung (8
desa).6
Adanya pembangunan yang tidak merata sangat disayangkan mengingat dana yang
dikeluarkan pemerintah daerah Bali untuk pembangunan bukanlah dana yang sedikit, berdasarkan
data yang dimuat Dinas PU Provinsi Bali, dana APBD daerah Bali mencapai Rp 389 miliar tetapi
faktanya kehidupan masyarakat di Bali tidak merata seluruhnya.7 Di daerah Karangasem angka
putus sekolah siswa SD mencapai 238 siswa sedangkan yang terendah Kabupaten Jembrana
6 Diakses pada laman http://balicaringcommunity.org/bali-simpan-82-desa-miskin.html , pada tanggal 8 Januari 2016. (22.02
WITA) 7 Laporan APBD bulan februari 2014, 2014, Dinas PU Provinsi Bali, hal. 1.
dengan jumlah 2 siswa.8 Dilihat dari kepadatan penduduknya, Kabupaten Badung dengan luas 418
km2 memiliki kepadatan penduduk sebanyak 1.277 penduduk/km2 sedangkan Kabupaten Buleleng
yang terluas di Bali (1365 km2) hanya memiliki kepadatan penduduk sebanyak 457 penduduk/km2
hal ini membuktikan adanya ketidakmerataan penyebaran penduduk sehingga menyebabkan
kemacetan dan kurangnya lahan untuk pertanian di Kabupaten Badung.
Hal ini menunjukan bahwa otonomi daerah di Bali belum terlaksana seutuhnya karena
konsep pembangunan secara merata masih sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan maraknya
kasus korupsi yang terjadi di daerah, Henderson dan Kuncoro (2004) mengemukakan bahwa
setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, penyuapan yang terjadi pada tingkat pemerintahan daerah
meningkat sejalan dengan makin banyaknya aturan yang diterbitkan oleh pemerintahan daerah,
terutama aturan soal pajak, retribusi dan berbagai perizinan serta kebijakan di daerah.9 Menurut
hasil kajian Komisi Pelaksanaan Otonomi Daerah (2005) dari 3.844 Perda yang muncul hanya
14% yang tidak bermasalah sehingga masalah birokrasi pelaksanaan otonomi daerah paling utama
adalah korupsi dari pemerintah daerah yang memiliki akuntabilitas lemah.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Bappedan dan BPS Bali, Nilai Indeks Kinerja
Pembangunan (IKP) Tahun 2013 secara umum mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
2012.10 Faktor yang menyebabkan turunnya IKP adalah turunnya nilai Aspek Pelayanan Umum
(APU) dan Aspek Daya Saing (ADSD) yang disebabkan karena turunnya nilai dari komponen
ekonomi daerah dan sumber daya manusia. Melihat dari data tersebut, pertumbuhan pembangunan
di daerah masih belum maksimal sehingga pelaksanaan otonomi daerah juga dianggap belum
mencapai tujuannya.
Faktor yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan otonomi daerah adalah kurangnya
akuntabilitas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan daerah serta lemahnya kontrol
terhadap pemerintahan sehingga menimbulkan adanya korupsi di pemerintahan. Studi yang di
lakukan oleh Huntingtin (1968), Myrdal (1970), Krueger (1974), Lui (1985), Bardhan
(1987;1997), Mauro (1995), Klitgaard (1998), Lambsdorff (1999), Rose-Ackerman (2000), Bareto
8 Bali Membangun 2013, 2013, pemerintah provinsi bali badan perencanaan dan pembangunan daerah, hal. 196 9 Riyanto, korupsi dalam pembangunan wilayah: suatu kajuan ekonomi politik dan budaya, 2008, Institut Pertanian Bogor, hal 6 10 Dikutip dari laman http://www.bappeda.baliprov.go.id/id/Indeks-Kinerja-Pembangunan, Diakses pada tanggal 10 Januari
2016 (12.40 WITA)
(2000), Kuncoro (2002;2006), Henderson dan Kuncoro (2004; 2005) dan World Bank (2006)
menelaah kaitan antara korupsi dan pembangunan ekonomi di negara berkembang, bahwa titik
awal terjadinya korupsi adalah awal perumusan regulasi atau Perda itu sendiri.11
Korupsi memiliki makna yang sangat luas dan kompleks sehingga korupsi masih rancu
(ambigu) serta susah untuk dibedakan. Contohnya adalah korupsi politik dan korupsi ekonomi
dalam kasus apakah usaha untuk keuntungan pribadi termasuk merancang kebijakan dengan tujuan
untuk meningkatkan peluang bertahan di pemerintahan termasuk jenis korupsi yang mana. Selain
itu dalam perumusan kebijakan diluar rencana kegiatan apakah termasuk penyalahgunaan
wewenang atau tidak. Hal ini disebabkan karena kekaburan norma yang merupakan salah satu
faktor penyebab terhambatnya pelaksanaan otonomi daerah.
Oleh karena itu secara nyata, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum mencapai
tujuannya untuk meratakan pembangunan kerena ada tiga faktor yaitu kurangnya akuntabilitas
pemerintah serta pengawasan kinerja pemerintah sehingga memicu banyaknya kasus korupsi yang
terjadi sedangkan kekaburan norma dalam peraturan perundang-undangan mengenai korupsi
masih terjadi dan menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran.
II. Dampak Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pembangunan daerah
Korupsi yang telah masuk keperbendaharaan Bahasa Indonesia berasal dari kata Latin
corruption yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak
bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (The
Lexicon : 1978) .Tindak pidana korupsi di Indonesia terlihat seperti sebuah kejahatan yang telah
menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Budaya korupsi ini disebabkan karena adanya faktor
seperti yang pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh “ada empat faktor
dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum yang masih
lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan `political will.` "
11 Riyanto, korupsi dalam pembangunan wilayah: suatu kajuan ekonomi politik dan budaya, 2008, Institut Pertanian Bogor, h. 10
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebenarnya telah diatur sejak tahun 1971 yang
diaplikasikan ke dalam UU nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(PTPK), yang telah dirubah sebanyak dua kali hingga saat ini yaitu pada UU 30 Tahun 1999 dan
dirubah lagi pada tahun 2002 diaplikasikan dalam UU 20 tahun 2001 yang berlaku sampai saat ini
dan menjadi hukum positif Indonesia tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Diaturnya Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang membuktikan bahwa Indonesia
sangat menyadari bahwa pentingnya memberantas para koruptor demi memperlancar jalannya
pemerintahan dan mempercepat proses pembangunan guna mencapai tujuan NKRI yang dimuat
dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4, Namun selain membawa dampak positif, UU PTPK
juga membawa dampak negatif dalam proses pembangunan daerah karena dalam Undang-Undang
terdapat kata-kata yang tidak jelas atau bermakna ganda hingga menyebabkan salah penafsiran,
Kesalahan penafsiran ini menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum
dalam penanganan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan diterapkannya ajaran sifat melawan
hukum material yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU (PTPK). Ketentuan pasal
2 ayat (1) UU PTPK menyatakan tindak pidana korupsi adalah :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tersebut, maka rumusan
tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang” itu menunjuk pada subjek hukum pidana. Menurut ketentuan pasal 1
angka 3 UU PTPK yang dimaksud dengan setiap orang adalah perseorangan atau
termasuk korporasi.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada pasal 2 ayat (1) UU PTPK
adalah:
- Secara melawan hukum
- Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
- Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Rumusan mengenai unsur “melawan hukum” yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK
ditafsirkan dengan pandangan luas yang diperkenalkan oleh Molengraaff, yang menyatakan bahwa
seseorang melakukan perbuatan melawan hukum: (seseorang yang berbuat kepada orang lain,
yang tidak patut menurut lalu lintas pergaulan masyarakat) atau ditafsirkan sesuai MARI
(Mahkamah Agung Republik Indonesia) tanggal 15 Desember 1983, No 275 K/Pid/1982 dalam
perkara Korupsi di Bank Bumi Daya (Raden Sonson Natalegawa) Majelis Hakim dalam perkara
tersebut memberikan penjelasan hukum bahwa ‘Wederrechtlijkheid” yaitu perbuatan melawan
hukum itu tidaklah diartikan secara formil saja, tetapi meliputi pengertian “Materiele wede-
rechtelijkheid”, suatu perbuatan yang mencakup ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, bahkan tegasnya suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat.
Putusan Mahkamah Agung tersebut selanjutnya diikuti oleh berbagai putusan lainnya yang
menggunakan perbuatan melawan hukum material dan juga formil dalam memutus perkara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Padahal menurut Komariah Emong Sapradjaja “Bahwa fungsi perbuatan hukum positif
material ini, menurut ajaran hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan
asas legalitas”. Artinya praktek penerapan perbuatan melawan hukum material positif jelas
bertentangan dengan asas legalitas, penerapan penggunaan perbuatan melawan hukum material
membuat Ir. Dawud Djatimiko, yang tersangkut kasus perkara dugaan korupsi dalam Jakarta Outer
Ring Road melakukan Permohonan Pengujian (judicial review) UU No 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD
1945 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Menanggapi hal itu MK
menilai memang terdadat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat penjelasan pasal 2 ayat (1)
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
menerbitkan Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya
menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran sifat melawan hukum material dalam tindak
pidana korupsi.
Terbitnya putusan MK yang menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran sifat
melawan hukum material bertolak belakang dengan praktik peradilan yang diterapkan sampai saat
ini aparat penegak hukum, temasuk hakim pada Mahkamah Agung tetap dengan pendiriannya
mengimplementasikan ajaran sifat melawan hukum material yang memperkenankan adanya
penafsiran, dan hal ini pun tercemin dari putusan-putusan Mahkamah Agung dalam memutus
perkara tindak pidana korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Implikasi dari pandangan
Mahkamah Agung memperkenankan adanya penafsiran dalam menentukan perbuatan hukum
tersebut, pada akhirnya diterapkan pula oleh aparat penegak hukum lainnya, baik itu polisi, jaksa
maupun penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum material positif dalam perkara Tindak Pidana
Korupsi inilah yang membuat para Pemerintah daerah takut mengeluarkan kebijakan-kebijakan
baru karena takut terindikasi kasus korupsi seperti contoh kasus Johanes Kennedy Aritonang
dalam pembelian mesin turbin oleh PLN, di dalam kasusnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan PLTGU Borang di Palembang Sumatera Selatan, PT PLN (persero) telah membeli
mesin turbin seharga US$ 27.174.700 dari PT Guna Cipta Mandiri (CGM) yang diwakili oleh
Joanes Kennedy Aritonang sebagai direktur CGM. Perjanjian ini dengan system kontrak sewa beli,
dimana PT PLN Persero akan membayarnya selama jangka waktu 48 bulan. Hal ini dimungkinkan
karena PLN tidak cukup dana untuk membangun sendiri pembangkit baru di daerah itu. Untuk
pembelian mesin turbin dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung, mengingat saai itu
menjelang event nasional PON XVI dan adanya ancaman terkena denda/pinalti take or pay
terhadap PLN dari perusahaan pemasok gas alam di Borang. Mengingat waktu yang tersedia
sangat singkat (3-4 bulan), maka dilakukanlah pembelian dengan cara penunjukan langsung.
Namun demikian berdasarkan penyidik Mabes Polri, dalam pengadaan mesin turbin ini, negara
diduga telah dirugikan sebesar US$ 13.164.680. dasar penghitungannya adalah “draft temuan
BPK” yang menghitung mengenai harga pasar mesin turbin itu. Padahal, pada saat itu, pejabat
BPK sendiri menyatakan BPK tidak mengenal istilah “draft temuan BPK” atas dugaan ini penyidik
Mabes Polri menangkap dan menahan Johanes dengan menetapkan statusnya sebagai tersangka.
Berkas perkara ini kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, dan Jaksa
Penuntut Umum juga telah meningkatkan status Johanes Kennedy Aritonang sebagai terdakwa
dan dilakukan penahanan terhadap yang bersangkutan. Perbuatan terdakwa Johanes Kennedy
Aritonang dianggap melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 378 KUHP.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah tindak pidana korupsi dan penipuan.12
Kasus Johanes Kennedy Aritonang yang melakukan pembelian dengan cara penunjukan
langsung yang maksudnya untuk mempercepat dan terhindar dari denda terhadap PLN dari
perusahaan pemasok gas alam di Borang mengakibatkan dirinya harus ditangkap dan ditahan oleh
penyidik Mabes Polri, walaupun akhirnya Johanes Kennedy Aritonang telah dibebaskan dengan
dikeluarkannya SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) oleh Kejaksaan. Melihat kasus
Johanes Kennedy Aritonang dan penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum dalam
penerapan ajaran sifat melawan hukum material yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. Hal inilah
yang mengakibatkan pemerintah daerah dilema dalam melakukan penggunaan angaran pemerintah
daerah antara mempercepat pembangunan dan tuduhan korupsi.
12 Girrsang, Juniver, 2012, Abuse Of Power : Penyalahgunaann Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi, hal. 216
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Pelaksanaan otonomi daerah didasari oleh tiga tujuan utama yaitu tujuan politik,
tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Namun, faktanya pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia tidak berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan karena diakibatkan oleh beberapa
faktor seperti penyerapan anggaran daerah yang lambat, korupsi oleh pemerintah daerah dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum disebabkan karena
diterapkannya ajaran sifat melawan hukum yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1)
UU PTPK yang dipandang secara luas. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 15 Desember 1983, No 275 K/Pid/1982 menjelaskan bahwa perbuatan
melawan hukum itu tidaklah diartikan secara formil saja, tetapi meliputi pengertian “materiele
wede-rechtelijkheid”, suatu perbuatan yang mencakup ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, bahkan tegasnya suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh
masyarakat. Putusan Mahkamah Agung tersebut selanjutnya diikuti oleh berbagai putusan
lainnya yang menggunakan perbuatan melawan hukum material dan juga formil dalam
memutus perkara Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah daerah dilema dalam melakukan
penggunaan angaran daerah antara mempercepat pembangunan dan tuduhan korupsi. Hal ini
pula yang yang memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan masyarakat lainnya,
sehingga sangat sulit mengembangkan potensi daerah untuk mewujudkan pemerataan serta
menjamin kesejahteraan bagi masyarakat.
II. SARAN
Perlunya perubahan UU PTPK No 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan diikutinya Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006
tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran
sifat melawan hukum material dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.
Sederhananya, jika tidak ada “kongkalikong” dalam pelaksanaannya, tentunya tidak akan
ada pasal yang dapat mempermasalahkan dan membawa mereka ke ranah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Diakses pada laman www.otda.kemendagri.go.id. Perlunya revisi UU Otonomi Daerah. pada
tanggal 3 Januari 2016. (14.00 WITA)
A. Hamzah. 1984. Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta : AKADEMIKA
PRESSINDO
Isra, Saldi. 2009. Kekuasaan dan Perilaku Korupsi. Jakarta : KOMPAS
Jangan Bunuh KPK : Perlawanan terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi. 2009. Jakarta :
KOMPAS
Girsang, Juniver. 2012. Abuse Of Power : Penyalahgunaann Kekuasaan Aparat Penegak Hukum
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : JG Publishing
Wididana, Gede Ngurah. 2005. Politik & Korupsi. Denpasar : Visi Media Pak Oles
Diakses pada laman http://www.bappeda.baliprov.go.id/id/Data-Bali-Membangun3. tanggal 10
Januari 2016 (12.40 WITA)
Diakses pada laman http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54febb754288e/icw--jumlah-
tersangka-kasus-korupsi-ribuan-di-periode-2014 pada tanggal 10 Januari 2016 (13.05
WITA)
Diakses pada laman http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40968. Diakses pada tanggal
10 Januari 2016 (13.05 WITA)
Web Dispu Provinsi Bali. http://www.dispu.baliprov.go.id/id/Laporan-Fisik-Keuangan-APBD-
20142 . Diakses pada tanggal 12 Januari 2016 (14.00 WITA)