21
PERAN ETIKA: DIMENSI AKSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Khairul Umam, M.Pd. Pendahuluan Pada tataran ontologis, konsep mengenai pendidikan Islam itu belum ada kata sepakat, tetapi fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam selalu berintegrasi dan beradaptasi, bahkan mengadopsi system dan lembaga pendidikan lainnya tanpa kehilangan identitas dan karakteristik dasarnya, sebagaimana dinyatakan oleh Sayed Hossein Nasr: “...by the power of integration inherent within Islam, many of these institutions were muslimized and absorbed into the structure of muslim society so that they lost their foreign attributes.” 1 Realitas tersebut menjadikan jati diri pendidikan Islam itu autentik dengan bertumpu pada prinsip keterpaduan antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris). 2 Berbeda dengan pendidikan barat yang hanya bertumpu pada peran manusia yang berakal dan bersosialisasi dengan lingkungannya, pendidikan Islam mengupayakan penanaman nilai-nilai karena keseluruhan ajaran agama Islam itu sarat dengan nilai-nilai (value-bond), perintah mengucapkan 1 Sayed Hossein Nashr. Islamic Life and Thought. London; Goeorge Allan &Uniwin. 1981. h.4 2 Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif . Jakarta; Rajawali Pers. 2011h. 219 1

Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dimensi-dimensi aksiologis dari praktek pendidikan Islam

Citation preview

Page 1: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

PERAN ETIKA: DIMENSI AKSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Khairul Umam, M.Pd.

Pendahuluan

Pada tataran ontologis, konsep mengenai pendidikan Islam itu belum ada kata

sepakat, tetapi fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam selalu berintegrasi dan

beradaptasi, bahkan mengadopsi system dan lembaga pendidikan lainnya tanpa

kehilangan identitas dan karakteristik dasarnya, sebagaimana dinyatakan oleh Sayed

Hossein Nasr: “...by the power of integration inherent within Islam, many of these

institutions were muslimized and absorbed into the structure of muslim society so that

they lost their foreign attributes.”1 Realitas tersebut menjadikan jati diri pendidikan

Islam itu autentik dengan bertumpu pada prinsip keterpaduan antara dimensi

ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).2

Berbeda dengan pendidikan barat yang hanya bertumpu pada peran manusia

yang berakal dan bersosialisasi dengan lingkungannya, pendidikan Islam

mengupayakan penanaman nilai-nilai karena keseluruhan ajaran agama Islam itu sarat

dengan nilai-nilai (value-bond), perintah mengucapkan dua kalimat syahadat,

misalnya, yang merupakan syarat awal masuknya seseorang ke dalam Islam,

mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-

nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus

diarahkan untuk selalu mendapat keridhaan-Nya. Perintah shalat ditujukan agar

terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar3. Perintah zakat ditujukan untuk

menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian4. Perintah ibadah haji

ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan

1 Sayed Hossein Nashr. Islamic Life and Thought. London; Goeorge Allan &Uniwin. 1981. h.42 Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari

Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta; Rajawali Pers. 2011h. 2193 Lihat QS. Al Ankabut, 1834 Lihat Q.S. Al-Taubah,103

1

Page 2: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

bermusuh-musuhan.5 Tipikal pendidikan Islam ini menjadikannya sebagai model

pendidikan yang ideal.6

Lebih jauh Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran

normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-

Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan7 atau nilai.

Sehubungan dengan nilai itu, konsep dasar dan landasan pendidikan Islam

dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari sumber ajaran agama Islam, yaitu

Al-Qur’an dan Al Hadits. Sementara konsep operasionalnya dapat dipahami dari

proses pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran agama, budaya dan

peradaban Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan secara praktis dapat dipahami

dari proses pembinaan dan pengembangan pribadi muslim kaffah pada setiap generasi

dalam sejarah umat Islam atas dasar falsafahnya.8

Dalam makalah yang terbatas ini, penulis mencoba memaparkan beberapa

pandangan filosofis mengenai peran etika sebagai salah satu dimensi aksiologis

dalam konsep pendidikan Islam yang integratif-interkonektif.

Konsep Aksiologi

Secara harfiah term aksiologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu

axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Atas dasar perpaduan dua kata itu

kemudian aksiologi dimengerti sebagai teori tentang nilai.9 Dalam definisi yang lain

secara etimologis berasal dari kata axia; nilai, value, dan logos; perkataan, pikiran,

ilmu.10 Dari definisi tersebut kemudian diambil kesimpulan bahwa Aksiologi berarti

5 Lihat lihat Q.S. al-Baqarah,2:197, dan lihat Imam al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1954, h.231

6 Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam... h. 224 7 Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998, h. 4078 Muhaimin et. al. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifksn Pendidikan Agama Islam di

Sekolah. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2004. h. 30. Lihat juga Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat. Jakarta; Gema Insani Press.1995. h. 28

9 Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta; Reneka cipta. 1997. h. 168

10 Ainurrakhman Hidayat, M. Hm, Buku Ajar Filsafat Ilmu.Pamekasan; STAIN Press.2006. h. 44

2

Page 3: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut

pandang kefilsafatan.11

Secara sederhana, aksiologi berarti nilai guna.12 Sedangkan dalam kajian filsafat

istilah aksiologi biasanya diartikan suatu bidang (filsafat) yang menyelidiki nilai-nilai

(values), termasuk di dalamnya tentang tujuan memperoleh pengetahuan.13 Ia

merupakan salah satu objek filsafat murni yang berfungsi untuk menilai hakikat

sesuatu yang berkaitan dengan nilai, baik etika, logika maupun estetika.14 Aksiologi

ilmu berarti menilai maslahat-mudharat pengembangan sains. Dalam sains modern,

nilai sains bersifat pragmatis-utilitarian dan mengambil bentuk pemuasan kebutuhan-

kebutuhan materialistis, atau malah nilai sains modern adalah ketiadaan nilai-nilai itu

sendiri alias sains untuk sains.15

Yang menjadi perhatian aksiologi yaitu ilmu dan moral, maka secara tegas

dapat dikatakan bahwa ilmu dan moral merupakan dua bagian yang tidak dapat

dipisahkan karena perkembangan ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari aspek

moral. Dengan demikian maka setiap ilmuan harus memiliki prinsip-prinsip moral.

Prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat mewarnai setiap kegiatan keilmuan (ilmiah)

yang dilakukan.

Berangkat dari pengertian aksiologi di atas maka terdapat tiga hal yang dibahas

dalam aksiologi; (1) tujuan ilmu, (2) ilmu dan moral, dan (3) ilmuan dan tanggung

jawab sosial. Secara sederhana ilmu bertujuan untuk menjawab permasalahan

kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh manusia, dan digunakan untuk menawarkan

berbagai kemudahan kepadanya16

11 Tim IKIP Semarang. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang; IKIP Press. 1991. h. 11112 Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.Jakarta;Pustaka Sinar

Harapan.2002. h. 22713 Syamsul Arifin et. al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta:SIPRES.

1996. h. 14714 Redja Mudyahardjo. Filsfat Ilmu Pendidikan. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2001 h. 315 Mahdi Ghulsyani. Filsafat-Sains menurut al-Qur’an. Jakarta; Mizan. 1998. h.33

16 Syamsul Arifin et. al. Spiritualisasi Islam ... h. 147

3

Page 4: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

Konsep Nilai

Nilai adalah suatu kualitas tertentu yang mempunyai keberhargaan yang harus

diapresiasikan dan dimiliki manusia, baik individu maupun sosial. Nilai tersebut

bersifat normatif, objektif dan universal.17 Menurut Paul Edwards18 dalam bukunya

The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai

yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit

seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit.

Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk

merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.

Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada

suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di

mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan

dinilai.

Dalam pandangan Young, nilai diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak

dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan hal-hal yang penting,

sedangkan Green memandang nilai sebagai kesadaran yang secara relative

berlangsung dengan disertai emosi terhadap objek, ide, dan perseorangan.

Louis O. Katstoff19 berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik

dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah

terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk,

benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih

kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya

akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.

Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai

setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita

namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi 17 M. Suyudi. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta; 2005. h.18518 dikutip oleh Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu. Jakarta; Rajawali Pers. 2004, h.164-

16519 Louis O. Katstoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta; Tiara Wacana. 2004. h.320-321

4

Page 5: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah

perbuatan penilaian.

Dalam pandangan aliran-aliran pendidikan pada umumnya, pemahaman

mengenai nilai yaitu :

1. Menurut aliran progresivisme, dalam proses pendidikan tidak ada nilai baku

karena nilai hanyalah sebuah instrumen yang bersifat empiris yang

berkaitan dengan nilai sosial (sebatas nilai insaniyah) dan belum menyentuh

nilai etik, apalagi religius.20

2. Menurut aliran esensialisme, dalam proses pendidikan ada tiga nilai yang

diinternalisasikan pada peserta didik, yaitu; nilai etik, logik dan estetik.21

3. Menurut aliran perenialisme, dalam proses pendidikan nilai yang harus

diinternalisasikan adalah nilai etik, logik, estetik dan nilai transenden.

Menurut pandangan aliran ini nilai-nilai abadi adalah internalisasi nilai

utama dari pendidkan itu sendiri.

4. Menurut pendidikan Islam. Seperti halnya perennialisme, nilai dalam proses

pendidikan Islam meliputi etik, logik, estetik, dan nilai transenden, namun

berbeda dengan pandangan perennialisme yang nilai keabadiannya

bersumber dari nilai keabadian kultural22 dan hal ini masih bersifat sosio-

antroposentris23. Dalam pendidikan Islam, nilai keabadian itu bersumber

dari wahyu.

Sementara itu ada beberapa karakteristik nilai dalam teori nilai, yaitu :

1. Nilai objektif atau subjektifNilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subject yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.24

20 Lihat M. Suyudi. Pendidikan dalam Perspektif...h.18621 Ibid. h. 18622 Lihat Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara. 1995. h. 2823 Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan...h.22624 Risieri Forndisi, Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka Belajar. 2001. h. 20

5

Page 6: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

2. Nilai absolut atau berubahSuatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.25

Adapun tingkatan/hierarki nilai terdapat beberapa pandangan:

1. Kaum IdealisMereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).

2. Kaum RealisMereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab nilai membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.

3. Kaum PragmatisMenurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.26

Dalam pandangan Brubacher sebagaimana dikutip Muhaimin bahwa nilai itu

tak terbatas ruang lingkupnya. Nilai tersebut sangat erat dengan pengertian dan

aktivitas manusia yang komplit sehingga sulit ditentukan batasannya. Nilai adalah

seluas potensi kesadaaran manusia. Variasi kesadaran sesuai dengan individualitas

dan keunikan kepribadiannya.27

Peran Nilai Etika: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, ethos artinya adat kebiasaan. Dalam

istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu mores, kata jamak

dari Mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Arab disebut akhlaq berarti budi

pekerti dan dalam bahasa Indonesia dapat dinamakan tata susila. Etika adalah ilmu

yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal

perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal fikiran. Tujuan beretika adalah

untuk mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di tempat manapun juga

dan dalam waktu kapanpun juga mengenai penilaian baik dan buruk.28 Sementara

25 Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta CV. 2007. h. 38-3926 Ibid. h. 39-4027 Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Persepektif Filosofis. Pamekasan; STAIN Press. 2009. h. 4828 Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta; Aksara Baru. 1985 h. 63.

6

Page 7: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

persoalan nilai etika adalah persoalan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik

individu, maupun masyarakat, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan

sesama manusia dan dirinya, maupun dengan alam sekitarnya, baik dalam bidang

sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.29

Antara ilmu dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa

dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk

menemukan dan mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.30

Nilai etika dalam pandangan Islam bersifat universal karena bersumber atas

wahyu, sama halnya dengan pandangan esensialisme yang memandang nilai suatu ide

bersifat permanen, namun nilai menurut esensialisme ataupun perennialisme hanya

terbatas pada aspek rasio, ide, dan kultural bukan wahyu.31

Dalam system pendidikan Islam peran nilai etika sangat urgen kaitannya dalam

proses pembelajaran ataupun pendidikan. Al Abrasyi menyebutkan bahwa pendidik

Islam telah bersepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah

memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu, tetapi mendidik akhlak dan

jiwa mereka,32 sehingga tujuan dari pendidikan Islam adalah menekankan pada tujuan

akhir, yakni menghasilkan manusia baik dan sempurna (al insan al kamil), dan bukan

masyarakat seperti dalam peradaban Barat.33

Konsekuensi dari penjelasan di atas adalah bahwa dalam memperoleh ilmu

pengetahuan, sebagai bekal kehidupan duniawi dan ukhrawi, bagi umat Islam tidak

hanya sekedar mengandalkan kapabilitas rasional yang bernuansa antroposentris,

yang menganggap nilai etika senantiasa mengalami perkembangan, tetapi ilmu

pengetahuan diperoleh juga melalui riyadhah dan mujahadah34 untuk mendekatkan

29 Musa Asy’arie. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta; LESFI.2008.h.9330 Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ... h.23531 Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam... h. 224. Bandingkan dengan Musa Asy’arie.

Filsafat Islam....h.9532 Lihat Ibid. h.225. bandingkan dengan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan

Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers. 2002. h.3433 Syed Muhammad al Naquib al-Attas. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir

Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar Baqir. Bandung; Mizan. 1987. h.834 Lihat Mahmud Arif. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakart; LkiS. 2008. h.262

7

Page 8: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

diri kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta alam semesta, di mana hal ini tidak

dapat dicapai maupun ditransmisikan lewat proses pendidikan dan pembelajaran

ekplanasi, penalaran maupun kritisisme intelektual. Terkait dengan hal ini menarik

untuk dikemukakan argumen Imam Al Ghazali mengenai ilmu pengetahuan,

menurutnya bukanlah kebenaran itu karena rangkaian dalil dan susunan kalam atau

logika, tetapi karena nur yang ditempatkan Allah di dalam dada (hati); nur itu

merupakan anak kunci kebanyakan ma’rifat. Barang siapa mengira bahwa kasf hanya

tergantung pada rangkaian dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit rahmat

Allah yang amat luas.

Pada dasarnya titik kunci dari perbedaan pola pandang, paradigma ataupun

world view mengenai pendidikan Islam dan Barat terletak pada masalah yang bersifat

filosofis. Menurut Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, falsafah pendikan Islam adalah

falsafah al-hadhariyah, yaitu falsafah yang tidak hanya berpijak pada nilai-nilai

kemanusiaan, tetapi sekaligus ketuhanan. Falsafah hadhariyah mengakui adanya

alam nyata sekaligus ghaib, fisik dan metafisik, sementara falsafah lainnya dibatasi

pada gejala yang tampak. Falsafah hadhariyah memandang penting peranan wahyu,

nilai moral dan spiritual serta menilai perolehan ilmu untuk mencapai keridaan Ilahi

sementara yang lain hanya sebatas peranan akal, budaya dan nilai-nilai sosial serta

ilmu untuk ilmu.35 Permasalahan mengenai nilai dalam perspektif pendidikan Islam

dan barat jelas sangat berbeda dengaan demikian. Jika pendidikan Islam lebih

condong pada esensi realitas yang sarat dengan nilai spiritualitas, maka barat lebih

cendrung dengan sekularisasi realitas.

Pandangan mengenai falsafah hadhariyah tersebut ingin menjelaskan bahwa

nilai etika bukan hanya terbatas pada etika yang bersinggungan dengan manusia dan

kehidupannya, yang hanya berpijak atas nilai-nilai sosial, kultural, kemanusiaan yang

serba antroposentris, tetapi juga nilai etika yang berhubungan dengan etika manusia

terhadap Tuhannya. Nilai etika dalam pendidikan Islam adalah nilai etika yang

antroposentris sekaligus teosentris, yaitu nilai etika yang bersumber dari nilai

35 Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam.... h.220

8

Page 9: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

kemanusiaan (insaniyah) dan nilai ketuhanan (Ilahiyah dan ruhiyah). Nilai

kemanusiaan berasal dari potensi dasar manusia yaitu daya cipta, rasa dan karsa yang

bersifat dinamis dan temporal (nilai relatif), sedangkan nilai ketuhanan bersumber

dari wahyu (kalamullah) dan tanda-tanda ciptaan-Nya (kauni), yaitu nilai yang kekal

(nilai absolute) dan bisa diterapkan di semua tempat dan waktu (shalih fi kulli zaman

wa makan).

Selanjutnya menurut Mulyadi Kartanegara, melalui hasil analisisnya terhadap

karya Ibnu Miskawaih, Tartib al-Sa’adah, nilai etika dalam Islam memberikan

dampak kebahagiaan tertinggi di banding kebahagiaan yang dicapai oleh pendidikan

lainnya. Kebahagiaan dalam hal ini merupakan tujuan akhir dan umum yang ingin

dicapai oleh manusia, baik Islam maupun non Islam.

Nilai etika bukan hanya diarahkan agar manusia itu menjadi bermoral baik (ber-

akhlaq karimah) sebagaimana dipahami juga oleh beberapa aliran pendidikan

lainnya, tetapi dengan moral yang baik itu diharapkan umat Islam mencapai

kebahagiaan tertinggi, yaitu kebahagiaan yang tidak hanya sebatas kebahagiaan fisik,

mental, logik, moral tetapi juga kebahagiaan spiritual, 36 yang menjadikan manusia

bisa mengalami ektase hidup melalui kebersatuan dan ke-ma’rifahan dirinya dengan

Tuhannya.

Kebahagiaan fisik atau sensual adalah kebahagiaan yang dicapai melalui

pemenuhan kebutuhan fisik-material. Aristoteles pernah mengatakan bahwa

kebahagiaan material adalah kebahagiaan mendasar manusia, yang bila tidak

diperoleh akan tidak bisa terbayangkan untuk memperoleh kebahagiaan lainnya.

Kebahagiaan semacam ini dalam pandangan pendidikan Islam tidak menjadi masalah

selama diperoleh dan digunakan dengan baik dan benar, terutama baik menurut nilai

ajaran Islam itu sendiri. Agama Islam tidak melarang memperoleh harta, asal harta

tersebut diperoleh dengan cara yang baik dan tidak menjadikan pemiliknya buta akan

kebahagiaan lain.

36 Lihat Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu. Panorama Filsafat Islam. Bandung; Mizan. 2005. h. 70-75

9

Page 10: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

Kebahagiaan pada jenjang selanjutnya (lebih tinggi dari kebahagiaan fisik)

adalah kebahagiaan mental yaitu kebahagiaan yang bersifat abstrak. Kebahagiaan ini

memang masih ada kaitannya dengan indra lahir, tetapi utamanya dengan indra batin.

Manusia tidak hanya merasa bahagia dengan makanan ataupun harta, tetapi juga

dengan lukisan, nyanyian, melihat pemandangan indah dan lainnya. Kebahagiaan

mental ini juga berupa kebahagiaan imajiner, yang menurut para filosof muslim

adalah kebahagiaan imajinasi yang bersumber dari indra batin.

Pada jenjang yang lebih tinggi ada kebahagiaan logik atau intelektual, yaitu

kebahagiaan yang diperoleh dari ilmu pengetahuan. Menurut Aristoteles kebahagiaan

intelektual itu merupakan kebahagiaan manusia yang tertinggi.37 Manusia akan

merasa bahagia ketika tahu akan sesuatu, misalnya, ketika manusia berada dalam

ketersesatan di hutan belantara, tidak ada yang mampu menggantikan

kebahagiaannya kecuali dia tahu akan jalan pulang.

Jenjang kebahagiaan selanjutnya adalah kebahagiaan moral, yang menurut

Mulyadhi ini adalah kebahagiaan penyempurna dari kebahagiaan lainnya.

Kebahagiaan moral dalam hal ini menurut al Farabi adalah ketika manusia mampu

menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik kehidupan, yaitu ketika kita

tahu mengenai sabar dan syukur kemudian kita mampu mengamalkannya. Terlihat

dalam hal ini bahwa ilmu dan amal adalah dua entitas yang tidak terpisahkan yang

akan membawa manusia pada kebahagiaan sempurna.

Namun bagi Ibnu Miskawaih, kebahagiaan moral saja ternyata tidak cukup.

Orang baik secara moral akan memperoleh kebahagiaan yang besar, tetapi barangkali

tidak kebahagiaan yang paling tinggi, yaitu kebahagiaan spiritual. Orang Islam tidak

hanya cukup bermoral baik dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, tetapi

ia juga butuh untuk mengerjakan shalat, yang dengannya seorang muslim dapat

melakukan kontak dengan Allah Swt. Seorang muslim masih membutuhkan syariat

agama untuk dijalankan. Syariat dalam hal ini bukan hanya berarti ibadah mahdhah

dan ghairu mahdhah seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan moralitas,

37 Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi. Menembus Batas Waktu..h.72

10

Page 11: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

intelektualitas, jasmani, estetika, tetapi juga syariat yang berkaitan dengan upaya

untuk kembali, mendekat, rindu, cinta sekaligus menyatu dengan Allah Swt.

Kebersatuan manusia dalam konteks pendidikan dapat diartikan sebagai kebersatuan

sifat ke-Tuhan-an ke dalam sifat kemanusiaannya agar ia mampu berproses untuk

menjadi makhluk yang sebaik-baik penciptaan (fi ahsani taqwim) dan mencapai citra

manusia yang sempurna (al insan al kamil).38

Penutup

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sumber dan strukturnya

berbeda dengan pendidikan lainnya yang hanya fokus pada upaya internalisasi nilai-

nilai absolut maupun relatif yang berasal dari nilai kultural dan sekular.

Dari segi aksiologinya, pendidikan Islam tidak hanya menghendaki manusia

sekedar memahami dan mengamalkan nilai etika yang bersumber dari peradaban

manusia itu sendiri (antroposentris), tetapi juga bersumber atas wahyu. Dengan

sumber wahyu itulah manusia akan memiliki kemampuan untuk mengenal diri dan

Tuhannya (ma’rifatullah), sehingga dengan itu ia mencapai predikat al insan al kamil

(manusia sempurna), yaitu manusia yang sempurna secara etika.

Etika dalam hal ini bukan hanya sebatas moral yang bernilai relatif yang

senantiasa berubah, tetapi etika yang abadi yang bersumber atas wahyu. Etika inilah

yang akan mampu mengantarkan manusia untuk ‘berkomunikasi’ dan ‘berjumpa’

dengan Tuhannya. Sehingga dengan demikian peran etika (spiritual) dalam

pendidikan Islam itu menempati tempat yang penting sebagai tujuan akhir dari segala

bentuk usaha yang dilakukan di atas dunia ini.

Dari penjelasn singkat di atas, dapat kita ketahui bahwa peran etika dalam

pendidikan Islam sangat sentral demi kebutuhan masyarakat Islam untuk mencapai

kebahagiaannya. Moral dalam hal ini bukanlah terbatas pada pengertian moral yang

38 Kesempurnaan menurut Murthada Muthahhari tidak dimaknai lengkap sebab lengkap lebih condong kepada hal yang empirik, sementara sempurna lebih lebih cenderung untuk mewakili hal-hal yang abstrak dan ruhi. Untuk itu maka implikasi kesempurnaan manusia mengarahkan pada esensi manusia atau hakikat manusia itu sendiri, bahwa ia adalah makhluk beresensi ruh.

11

Page 12: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

bersumber pada nilai-nilai kemanusiaan, tetapi moral spiritual (yang tidak sekedar

spiritual normatif), yaitu moral yang mengatur hubungan manusia dengan diri,

sesama, alam dan dengan pencipta-Nya.

Wallahu a’lamu bisshowab…

12

Page 13: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam Khairul Umam

DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, Syed Muhammad al Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar Baqir. Bandung; Mizan. 1987

al-Kahlani, Imam. Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1954An Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat.

Jakarta; Gema Insani Press.1995Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakart; LkiS. 2008Arifin, Syamsul et. al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan.

Yogyakarta:SIPRES. 1996Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan

Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta; Rajawali Pers. 2011Asy’arie, Musa. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta; LESFI.2008Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta; Rajawali Pers. 2004Forndisi,Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka Belajar. 2001Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains menurut al-Qur’an. Jakarta; Mizan. 1998Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998Hidayat,,Ainurrakhman Buku Ajar Filsafat Ilmu.Pamekasan; STAIN Press.2006Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu. Panorama Filsafat Islam. Bandung;

Mizan. 2005Katstoff, Louis O.. Pengantar Filsafat. Yogyakarta; Tiara Wacana. 2004Mudyahardjo, Redja. Filsfat Ilmu Pendidikan. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2001Muhaimin et. al. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifksn Pendidikan

Agama Islam di Sekolah. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2004 Nashr, Sayed Hossein. Islamic Life and Thought. London; Goeorge Allan &Uniwin.

1981Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.

Jakarta; Ciputat Pers. 2002Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta CV. 2007Salam, Burhanuddin. Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta; Reneka

cipta. 1997Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Persepektif Filosofis. Pamekasan; STAIN Press.

2009Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.Jakarta;Pustaka

Sinar Harapan.2002Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta; Aksara Baru. 1985Suyudi, M.. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta; 2005Tim IKIP Semarang. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang; IKIP Press. 1991Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara. 1995

13