63
DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU (Skripsi) Oleh FERI KURNIAWAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2019

DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU …digilib.unila.ac.id/59067/2/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · lembaga yang tetap dan memperkuat kewenangan yang fokus mengawasi

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU

    (DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA

    PEMILU

    (Skripsi)

    Oleh

    FERI KURNIAWAN

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2019

    http://www.kvisoft.com/pdf-merger/

  • ABSTRAK

    DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU

    (DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA

    PEMILU

    Oleh

    FERI KURNIAWAN

    Pemilihan umum merupakan salah satu proses untuk memperjuangkan

    kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap lahirnya wakil rakyat

    dan pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena pemilihan umum

    merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan

    rakyat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan. Pemilihan

    umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang

    berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh UUD

    1945.

    DKPP merupakan lembaga penyempurna yang lahir berdasarkan Undang-Undang

    Nomor. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, semula adalah DK KPU

    yang hanya bersifat ad hoc, dan merupakan suatu lembaga yang dikhususkan

    untuk mengimbangi dan mengawasi kinerja dari KPU dan Bawaslu. Semakin

    meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu

    menodorong perbaikan kelembagaan sehingga menjadikan DKPP sebagai

    lembaga yang tetap dan memperkuat kewenangan yang fokus mengawasi

    penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Jenis penelitian yang dilakukan

    adalah penelitian hukum normatif,atau sering dikenal dengan istilah pendekatan

    yuridis normati. Penelitian hukum adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

    mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan

    bahan hukum sekunder

    Hasil penelitian ini terlihat bahwa dalam kelembagaan DKPP telah terjadi

    dinamika yang semula ad hoc berubahan menjadi lembaga yang tetap. Putusan

    DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum

    lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak

    ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk

    umum.

    Kata Kunci : Dinamika, Penyelenggara Pemilu, Integritas

  • ABSTRACT

    DYNAMIC BOARD OF ELECTORAL HUMAN RESOURCES (DKPP) IN

    ENFORCING ELECTORAL INTEGRITY

    By

    FERI KURNIAWAN

    General election is one of the processes to fight for political interests in the form

    of a selection process for the birth of people's representatives and leaders in the

    context of the realization of democracy, because the election is a series of

    political activities to accommodate the interests of the people, which are then

    formulated in various forms of policy. Elections are a means of democracy to

    form a system of state power that is sovereign of the people and the deliberation

    of representation outlined by the 1945 Constitution.

    DKPP is a perfection institution that was born based on Law Number. 22 of 2007

    concerning Election Organizers, originally the KPU DK which was only ad hoc in

    nature, and is an institution devoted to compensating and overseeing the

    performance of the KPU and Bawaslu. Increasing public distrust of the electoral

    organizer encourages institutional improvement to make DKPP a permanent

    institution and strengthens the authority that focuses on overseeing the election

    code of conduct. This type of research is normative legal research, or often known

    as the normative juridical approach. Legal research is research conducted by

    studying and examining library materials in the form of primary legal materials

    and secondary legal materials

    The results of this study indicate that in the DKPP institution there has been a

    dynamic that was originally ad hoc turned into a permanent institution. DKPP

    decisions are final and binding. Final means that no other legal remedies or

    further remedies are available after the enactment of the DKPP decision since it

    has been determined and pronounced in an open plenary session DKPP is open to

    the public.

    Keywords: Dynamics, Election Organizer, Integrity

  • DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU

    (DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA

    PEMILU

    Oleh

    FERI KURNIAWAN

    Skipsi

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

    SARJANA HUKUM

    Pada

    Bagian Hukum Tata Negara

    Fakultas Hukum Universitas Lampung

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2019

  • Judul Skripsi : DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN

    PENYELENGGARA PEMILU (DKPP)

    DALAM MENEGAKKAN INTEGRITAS

    PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

    Nama Mahasiswa : Feri Kurniwan

    No. Pokok Mahasiswa : 1512011173

    Bagian : Hukum Tata Negara

    Fakultas : Hukum

    MENYETUJUI

    1. Komisi Pembimbing

    Yulia Neta, S.H., M.SI., M.H. Ahmad Saleh, S.H., M.H.

    NIP 19640716 1987032 002 NIP 19780925 200801 1 015

    2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara

    Dr. Budiyono, S.H., M.H.

    NIP 19741019 200501 1 002

  • MENGESAHKAN

    1. Tim penguji

    Ketua : Yulia Neta, S.H., M.SI., M.H ..................

    Sekretaris/Anggota : Ahmad Saleh, S.H., M.H. ..................

    Penguji Utama : Dr. Candra Perbawati, S.H., M.H ..................

    2. Dekan Fakultas Hukum

    Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H.

    NIP 19600310 198703 1 002

    Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 3 September 2019

  • PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya:

    1. Bahwa skripsi dengan judul “Dinamika Dewan Kehormatan

    Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dalam menegakkan Integritas

    Penyelenggara Pemilihan Umum” adalah hasil karya saya sendiri dan saya

    tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan karya penulis lain dengan

    cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam

    masyarakat akademik dan hukum yang berlaku atau yang disebut

    plagiarisme;

    2. Bahwa hak intelektual atas karya ilmiah ini, saya serahkan sepenuhnya

    kepada Universitas Lampung.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari

    ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat

    dari sanksi yang diberikan kepada saya, dan saya bersedia dan sanggup dituntut

    sesuai dengan hukum yang berlaku.

    Bandar Lampung, 23 Agustus 2019

    Pembuat Pernyataan

    Feri Kurniawan

    NPM. 1512011173

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Desa Sukadana Selatan , Kecamatan

    Sukadana Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 11 Juni

    1997. Merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari

    pasangan Ayahanda Milhadi Nurjati dan Ibu Maryani.

    Penulis mengenyam pendidikan awal di Sekolah Dasar 4

    Sukadana Tahun 2003. Tahun 2009 melanjutkan pendidikan di Sekolah

    Menengah Pertama PGRI 1 Sukadana dan lulus Tahun 2012. Pada Tahun yang

    sama melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA NEGERI 1

    Sukadana, kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

    Universitas Lampung melalui jalur PMPAP pada Tahun 2015.

    Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di internal maupun eksternal kampus. Di

    internal kampus penulis aktif di Barisan Intelektual Muda (BIM FH) menjabat

    sebagai anggota Dinas Agitasi Propaganda dan Jurnalistik periode 2015-2016,

    Staf Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Dinas Kajian

    Penelitian dan Pengembangan periode Tahun 2016-2017, Kepala Bidang Agitasi

    Propaganda dan Jurnalistik BEM FH periode 2017-2018, Sekretaris Himpunan

    Mahasiswa Hukum Tata Negara 2018-2019. Penulis aktif pula di eksternal

    kampus, Penulis aktif sebagai kader di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam

    Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum Unila, menjabat sebagai

    Departemen Transparansi dan Anggaran Dana periode 2016-2017. Pada Tahun

  • 2018-2019 penulis juga aktif dalam Panitia Pengawas Pemilihan Umum

    Kecamatan Sukarame (Panwascam) sebagai Staff Divisi Penindakan Pelanggaran,

    Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2018 di Tiyuh

    Cahyow Randu Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.

    Penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

    Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  • Motto

    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan

    tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan

    diminta pertanggungjawabannya” (surah al-isra ayat 36)

    “Adil ialah menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan

    yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di

    atasnya. Berani menegakkan keadlian, walaupun mengenai diri sendiri, adalah

    puncak segala keberanian”

    (Buya Hamka)

    “Jika penguasa menggunakan materi serta kekuasaanya untuk mendapatkan

    sesuatu, maka aku akan menggunakan ilmu serta pengetahuanku untuk

    memperjuangkan keadilan”

    (Feri Kurniawan)

  • PERSEMBAHAN

    Dengan rasa syukur kepada Allah Swt. yang tiada henti, kupersembahkan sebuah

    karya ini kepada:

    Bapak dan Ibu tercinta

    Milhadi Nurjati dan Maryani

    Kakak-kakakku

    Tamami, Hamami, S.H., Yessy Angguman, S.Pd.

    Seluruh sahabat seperjuangan

    Almamater tercinta

    Universitas Lampung

  • SANWACANA

    Puji Syukur penulis kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

    penulis dapat menyelesaikan Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar Strata satu Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

    berjudul “Dinamika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

    Dalam Menegakkan Integritas Penyelenggara Pemilu”

    Penulis menyadari banyak pihak yang sudah terlibat dalam proses penyelesaian

    skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan

    ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan niat tulus dan ikhlas yang

    sebesar-besarnya kepada:

    1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

    Universitas Lampung.

    2. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata

    Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

    dukungan dan masukan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat

    terselesaikan.

    3. Ibu Yulia Neta, S.H., M.Si., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

    sabar memberikan bimbingan ilmu, waktu yang berharga, nasihat serta

    motivasi dan dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

  • 4. Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H. selaku Pembimbing II terima kasih atas

    kesabaran dan ketulusannya yang luar biasa dalam mendengarkan setiap

    keluhan penulis, sehingga berkat nasehat dan bimbingannya secara

    komprehensif menjadi inspirasi agar skripsi ini dapat penulis selesaikan.

    5. Ibu Dr. Candra Perbawati, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah

    memberikan masukan-masukan yang berharga demi layaknya skripsi ini

    untuk dijadikan sebagai karya ilmiah penulis.

    6. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara

    Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai Pembahas II yang

    telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat guna

    layaknya skripsi ini.

    7. Dosen-Dosen Bagian Hukum Tata Negara, ibu Dr. Yusnani Hasyim Zum,

    S.H., M.H., bapak Yhannu Setyawan, S.H., M.H., bapak Rudy, S.H.,

    LL.M., LL.D., bapak Dr. Muhtadi, S.H., M.H., Dr. Zulkarnain Ridlwan,

    S.H., M.H., M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Siti Khoiriah, S.H., M.H.,

    Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H., Malicia Evendi, S.H., M.H.

    8. Seluruh Civitas Akademica Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

    penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis

    serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh

    studi.

    9. Pakde Marji, Pakde Narto, Kiyai Jamroni, dan Bang Ofal yang telah

    menjadi Bapak dan Abang bagi penulis. Terima kasih atas segala nasehat

    dan motivasi yang diberikan juga kopi hitam kental yang selalu tersaji

    disela-sela diskusi.

  • 10. .Kedua orang tua, Bapak Milhadi Nurjati (ah) dan Ibu Maryani (emak),

    dan kakakku Tamami (engku), Hamami, S.H., (aden) dan Yessy

    Angguman, S.Pd (imbayan) yang selalu sabar mendidik serta yang tak

    pernah berhenti untuk selalu memberikan Do’a dan dukungan kepada

    Penulis. Keluarga tercinta tempat penulis diberikan kehidupan. Penuh rasa

    syukur kepada Allah SWT, penulis lahir di dunia dengan kedua orang tua

    yang demikian berjuang untuk penulis dan atas semua yang mereka

    berikan pada saat ini,. Berbagai bentuk pengorbanan telah dilakukan

    sehingga penulis telah menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat Sarjana

    Hukum (S.H.). Bentuk kasih sayang mereka luar biasa melalui do’a-

    doanya, serta kerja keras demi melihat anaknya atau saudara menjadi

    sarjana. Semoga Allah SWT akan selalu memberikan jalan terbaik bagi

    penulis dalam menjalani kehidupan. Hal ini semata-mata untuk membuat

    mereka bahagia, bangga, dan bersyukur atas apa yang penulis lakukan.

    Mereka penyemangat penulis untuk kehidupan dunia akhirat yang lebih

    baik dan berada dijalur Allah SWT kehendaki umat-Nya. Sarjana Hukum

    (S.H.) hanya sebagai salah satu bentuk rekayasa kehidupan dan ini hanya

    sebuah pijakan awal untuk langkah kaki menuju jalan yang panjang dalam

    kehidupan. Besar harapan dan selalu berdoa untuk kebahagiaan,

    kebanggaan, dan kesehatan kedua orang tua dan keluarga besar lainnya.

    11. Terima kasih kepada pak Purwanto, mak Suhahtati, Dina R Oktarini, S.Pd,

    dan Sugeng Riadi, kalian adalah keluarga yang selalu memberikan

    dorongan dan bantuan yang sangat luar biasa, terima kasih atas segalanya.

  • 12. Kurnia Novita Alhadi, S.Tr.Keb Perempuan yang selalu menemani sejak

    awal dan memberikan dorongan agar selalu bangkit dari keterpurukan,

    terima kasih atas waktu serta motivasi yang telah diberikan tanpa henti.

    13. Mentor sekaligus abang, Bang Yefri, Bang Sumaindra, Bang Kujang,

    Bang Imin, Bang Fiqi, Bang Adit, Bang Arif Triwibowo, Bang RB, Bang

    James, Bang Apip, Bang Bayu, Bang Ridwan, Bang Hendi, Bang Indra,

    Bang Prima, Bang Nay, Bang Sulung, dan Bang Lay, terimakasih atas

    bimbingannya.

    14. Kanda, Yunda, dan Adinda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

    Komisariat Hukum Unila, terimakasih atas dedikasinya dan dinamika yang

    telah kita bentuk selama ini dan menjadikan kita sebagai insan yang siap

    dan tangguh dalam berbagai hal, sehingga penulis dapat membuka

    cakrawala berpikir dan terus belajar menuju insan paripurna, dan semoga

    silaturahmi kita selalu terjaga, tidak terhenti sampai disini. Yakusa!

    15. Kader HMI KHU 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

    kalian semua kader yang luar biasa, kader yang tangguh yang selalu

    ditempa agar menjadikan diri kita menjadi insan yang kamil, insan yang

    paripurna serta telah banyak momentum serta dinamika yang kita torehkan

    bersama pada masa kita berjuang anggaplah itu adalah bagian dari

    perndewasaan diri agar dapat saling menghargai satu sama lain. Yakinlah

    bahwa hidup kita tidak hanya berenti di Komisariat, Berpisah untuk

    berjuang bersatu untuk memukul. YAKUSA!!!

    16. Fr Arena, Bahara Rizki, S.H., Achmad Fadli, S.H., Ebi, Erwin Gumara,

    S.H., Gandi, Ismi, Ragil, Satria, Ridwan Saputra, S.H., Rio Fahni, S.H.,

  • Saptori, S.H., Andika Hidayatullah, S.H., Hedy Andre, S.H., Aji

    Almagribi, S.H.

    17. Kiyai Bowo, Masum, Iqbal, Darwin, Gian, Rexsi, Alif, Ungkas, Agung,

    Aryanto dan Atu Ika, Popy serta adinda Ebi, Ismi, Satria, Karim, Rio JF,

    Ragil, Gandi, Irawan, Mahendra, Boy, Ardan, dan Dea, kawan-kawan

    perjuangan UKM-F MAHKAMAH, terimakasih atas pembelajaran dan

    kebersamaannya, sehingga membuat penulis terpacu untuk selalu diskusi

    hukum, dan semoga di lain kesempatan dapat berdialektika kembali.

    Bersama Yakin Bisa!

    18. Rekan yang selalu memantik dan menggugah hasrat diskusi Erwin

    Gumara, S.H., Ridwan Saputra, S.H., Saptori, S.H.

    19. Saudara Dero Imazi Afriano sebagai sehabat yang selalu punya cara untuk

    melepaskan hiruk pikuk masalah dunia.

    20. Abang, adek, dan teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH

    Unila, terimakasih atas prosesnya, yang selalu sibuk rapat dan berkegiatan,

    baik tataran konsep maupun teknis di dalam ruangan, maupun di lapangan.

    21. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara, Indah, Lisma,

    Eva, Chaidir, Mujib, Habibi, Hadiyan, Kusmanto, Kharisma, Decky, dan

    Adriansyah, terimakasih atas perjuangannya dalam proses studi, baik

    didalam kelas maupun diluar kelas.

    22. Mak Sari, terima kasih karena telah menjadi solusi terbaik bagi penulis

    untuk terus survive di saat keuangan penulis defisit masih dapat menikmati

    kopi hitam yang pekat dan Rokok Suryamu selalu menjadi solusi.

  • 23. Kawan-kawan KKN Desa Cahyow Randu, Kecamatan Pagar Dewa,

    Kabupaten Tulang Bawang Barat Dieky, Fatry, Samuel, Heni, Desi.

    24. Karang Taruna Tiyuh Cahyow Randu, Ayeng Pawari, Abang Hen, dan

    segenap aparatur Tiyuh, Bapak Sudir dan Ibu Linda serta yang lainya yang

    tidak dapat sebutkan satu persatu.

    25. Kawan-kawan seperjuangan Future Leader baik dikampus maupun diluar

    kampus, Nabel Ockari, S.T.P, M. Iqbal Marino Kusumo, S.H., Deni

    Kurniawan, S.H., Hendi Oktavianda, S.H., M. Daniansyah, Amd.TG.,

    Ramanda Baherda P, S.H., Indra Putra Bangsawan, S.STP, Agustiandro,

    S.H., Diki, S.H.

    26. Rekan-Rekan sendari awal masuk kuliah Himapan, Saptori, S.H., Chan

    Fadli, S.H., Danang Pratama, S.H., Akbar Radinal, S.H., Irfan Mahdialla,

    S.H., Reza Zikri Fauzian, S.H., Aji Pandu, S.H., Reza Fahlepi, S.H.,

    Dragon, S.H., Mega Sopiandi, S.H., Doni, S.H., Erwin Syaputra, S.H., M.

    Hadidi, S.H., dan Agung Purnama, S.H., tetap solid hindari perpecahan.

    27. Komisioner serta jajaran Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan

    Sukarame, Arwan Afriyanto, A. Zulfikar, M.S.Ag, Aswan Abdulrachman,

    S.H, Tri Novalinda, Mba Wulan, Arum, Wanda, Jemy, Checep, Om Nasir,

    Bang Dedi, Mba Ani, Bang Yulis, Mba Ayu, teruslah kawal demokrasi

    agar terciptanya pemilu yang jujur dan adil.

    28. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

    membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi

    kita semua. Aamiin.

  • Bandar Lampung, 22 Agustus 2019

    Feri Kurniawan

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL

    ABSTRAK

    HALAMAN PERSETUJUAN

    HALAMAN PENGESAHAN

    PERNYATAAN

    RIWAYAT HIDUP

    MOTTO

    PERSEMBAHAN

    SANWACANA

    DAFTAR ISI Halaman

    I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

    A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................... 10 C. Ruang Lingkup .......................................................................................... 10 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 10

    a. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10

    b. Kegunaan Penelitian.............................................................................. 11

    II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 12

    A. Demokrasi ................................................................................................. 12 B. Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah ...................................... 14

    a. Pemilihan Umum ................................................................................... 14

    b. Pemilihan Kepala Daerah ...................................................................... 16

    C. Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum .............................................. 23 a. Komisi Pemilihan Umum (KPU) .......................................................... 27

    b. Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) ............................... 29

    c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ............................ 32

    III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 35

    A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 35 B. Pendekatan Masalah .................................................................................. 35 C. Sumber Data .............................................................................................. 35 D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 37

  • ii

    E. Metode Pengolahan Data .......................................................................... 37 F. Analisis Data ............................................................................................. 37

    IV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 39

    A. Dinamika Pengaturan ................................................................................. 39

    a. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu ... 39

    b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu ... 49

    B. Penegakan Etik ........................................................................................... 66

    V. PENUTUP ..................................................................................................... 72

    A. Kesimpulan ................................................................................................ 72

    B. Saran ........................................................................................................... 73

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    A.Latar Belakang

    Negara merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia tentang pola

    hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan

    sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai tujuan

    bersama. Terbentuknya sebuah Negara berasal dari tujuan dan cita-cita pendiri

    bangsa. Menurut J.J Rousseau Negara adalah perserikatan dari rakyat bersama-

    sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta

    benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka.1

    Negara Indonesia sendiri memiliki tujuan dan cita-cita bangsa yang tercantum

    dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945. Salah satu cita-cita yang telah dirumuskan, dalam pembukaan Undang-

    Undang Negara Republik Indonesia 1945 adalah Negara yang berdaulat. Sebagai

    bentuk realisasi kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah

    terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) secara regular dengan prinsip yang

    langsung umum bebas rahasia jujur dan adil atau biasa disingkat luberjurdil.

    Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kedaulatan tertinggi berada

    di tangan rakyat. Adapun, secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa

    1 Yulia Neta, S.H,M.H. Ilmu Negara, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, Hlm. 4

  • 2

    Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti

    kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan rakyat berkuasa atau

    “government or rule by the people” (pemerintahan oleh rakyat).

    Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat,

    oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap

    paling ideal saat ini. Keikut sertaan rakyat dalam kehidupan bernegara di dalam

    negara demokrasi adalah hal yang sangat penting karena rakyat yang memegang

    kekuasaan tertinggi. Pemilihan umum merupakan salah satu proses untuk

    memperjuangkan kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap

    lahirnya wakil rakyat dan pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena

    pemilihan umum merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung

    kepentingan rakyat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan.

    Pemilihan umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan

    negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang

    digariskan oleh UUD 1945 Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah

    kekuasaan yang lahir dari bawah, menurut kehendak rakyat dan dipergunakan

    sesuai dengan keinginan rakyat begitu juga dengan pemilihan kepala daerah

    maupun legislatif.

    Salah satu cernin negara demokratis adalah pemerintah yang menjalankan sistem

    pemilu dengan baik. Setiap Pemerintah yang mengaku demokratis hendaknya

    mampu menyelenggarakan Pemilu secara demokratis pula karena Pemilu

    demokratis merupakan pilar penting dalam sistem demokratis modern. Sejalan

    dengan pemahaman tersebut, Internasional of Jurist dalam sebuah konferensinya

    di Bangkok tahun 1965 memberikan definisi mengenai pemerintahan dengan

  • 3

    model representative goverment sebagai “a goverment derivering its power and

    authority are exercised through representstive Freely chosen and responsible to

    them‟‟. Bahkan untuk menekankan adanya “Representative goverment under the

    Rule of Law”, konfrensi tersebut menghasilakan suatu kesepakatan mengenai

    pentingnya Pemilihan Umum yang bebas.2

    Pemilihan kepala daerah adalah pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur,

    bupati dan wali kota sebagai pemimpin daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan

    kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan

    umum merupakan konsekuensi logis yang dianut prinsip kedaulatan rakyat

    (Demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi prinsip dasar

    kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut

    aktif dalam proses politik.

    Sebagai bentuk realisasi kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah

    terselanggaranya Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat Pemilu) secara regular

    dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu merupakan

    mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini

    memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan

    hak-hak politiknya dalam Pemilu. Pemilu sebagai salah satu praktek

    berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan harus berdasarkan prinsip-prinsip

    hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari

    negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat

    dalam mengekspresikan kedaulatannya.

    2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2009, hlm. 417

  • 4

    sementara hak untuk menikmati kebebasan dalam berserikat dinyatakan warga

    dalam bentuk berbagai organisasi termasuk partai politik. Sedengkan hak

    menikmati kebebasan pers diartikulasikan sebagai kebebasan suatu media dalam

    menyampaikan informasi tentang pengetahuan termasuk pendidikan partai politik

    tanpa diintimidasi rezim, namun setiap informasi yang disampaikan tentu

    memiliki standar etika dan moralitas sosial kemasyarakatan yang ada berdasarkan

    budaya suatu bangsa. Pers bebas menyampaikan informasi politik sepanjang tidak

    memberikan pesan maupun kesan menghina, mencaci, menghujat, atau hal-hal

    yang bermuatan merusak sendi-sendi kebersamaan dalam bernegara.

    Kebebasan masyarakat menggunakan public opinion sebagai cara

    mengkomunikasikan kepentingan mereka dalam pengambilan keputusan ini

    merupakan sesuatu yang baik karena melalui public opinion rakyat akan ikut

    memberikan sumbangan pemikiran mengenai apa yang seharusnya pemikiran

    mengenai aturan main frepensi dalam Pemilu. Karena pendapat umum pada

    dasarnya merupakan pendapat rata-rata individu dalam masyarakat, sebagai hasil

    diskusi langsung atau tidak langsung yang diilakukan memecahkan persoalan

    sosial.3

    Salah satu prinsip dasar dari negara hukum demokratis adalah adanya jaminan

    yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatannya. Istilah

    demokrasi secara singkat dapat dipahami sebagai pemerintahan atau kekuasaan

    dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sebagai dasar hidup

    bernegara diartikan bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan

    3 Anwar Arifin, Pencitraan Dalam Politik (Strategi pemenangan pemilu dalam Perspektif

    komunikasi politik), Jakarta: Pustaka Indonesia, 2006, hlm. 14

  • 5

    dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam

    menentukan kehidupan rakyat.4

    Di era modern ini dunia mengalami kegoncangan nilai dan norma yang cukup

    kuat. Krisis moral dan etika kehidupan berbangsa terutama krisis nilai pada aspek

    politik begitu terasa. Penyimpangan etika privat dan etika public dalam bernegara

    mengalami peningkatan dan kekacauan norma seakan-akan terus terjadi dalam

    praktik pengelolaan negara sehingga dalam suasana globalisasi kita gamang

    menghadapinya, dengan sikap responsive5. Karena rumusan etika itu mengisi

    ranah kode etik. Kode etik merupakan aturan tertulis yang secara sistematik

    sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang

    dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam

    tindakan yang secara logika rasional umum common sense dinilai menyimpang

    dari kode etik6. Tindakan politik yang senantiasa mendasarkan pada etika tentu

    akan selalu menghasilkan kebaikan-kebaikan bersama yang lebih besar daripada

    sekedar tindakan politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat. Karena

    etika pada hakikatnya memiliki landasan pemikiran kritis berkaitan dengan ajaran-

    ajaran maupun pandangan-pandangan tentang moral dalam konteks kehidupan

    sebagai umat manusia yang memiliki potensi kebaikan.

    Menurut Frans Magnis Suseno, etika adalah suatu ilmu yang membahas tantang

    bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau

    bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan

    dengan berbagai ajaran moral, Magnis juga membagi etika dalam dua bentuk,

    4 Deliar Noer,. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: CV. Rajawali, 1983, hlm.207.

    5 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, raja grafindo, Jakarta,2013 hlm

    22, dan 29-30 6 Adams , dkk, Etika Profesi, (Jakarta: Gramedia,2007), hlm 112

  • 6

    pertama etika bersifat umum dan kedua etika bersifat khusus. Etika bersifat umum

    adalah prisip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika

    khusus dibagi lagi menjadi etika individu yang menerangkan tentang bagaimana

    kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri.

    Selain etika individu, juga yang kita ketahui ialah etika sosial. Etika sosial

    merupakan sebuah prinsip yang mengajarkan tentang bagaimana manusia

    menempatkan kewajiban terhadap manusia lain disekitarnya dalam kehidupan

    sehari-hari yang itu tidak lain merupakan kesatuan dari etika yang bersifat khusus.

    Dalam konteks politik, termasuk politik penyelenggaraan Pemilu juga sejatinya

    setiap masyarakat ataupun aktor yang menjadi penyelenggara harus menjadikan

    nilai-nilai kebaikan universal tadi sebagai pedoman dalam melihat, menilai, dan

    bertindak atau sederhananya dalam proses pengambilan keputusan. Karena tanpa

    disadari dengan nilai-nilai kebaikan pada diri seseorang dalam proses

    pengambilan keputusan maka secara otomatis penempatan istilah indepedensi atau

    netralitas sebagai pihak penengah tidak akan terbangun dengan baik.

    maka dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan

    kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal

    proses penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilukada diseluruh Indonesia,

    Institusi ini dibentuk dalam praktik demokrasi modern di Indonesia.

    DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya

    penyelenggaraan pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik

    tersendiri bagi setiap proses perubahan menuju kearah yang lebih baik dan oleh

    karena begitu mahalnya pemilu maka dibentuklah lembaga khusus secara

  • 7

    permanen guna melakukan penegakan kode etik agar tujuan menghasilkan pemilu

    yang tidak saja Luber Jurdil tapi menciptakan iklim proses dan hasil yang

    berintegritas sehingga dengan demikian bangsa ini bisa memilih pemimpin yang

    berkualitas dan bermartabat.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu sebagai dua

    lembaga yang memiliki kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan Pemilu

    terikat oleh kode etik penyelenggara Pemilu. Kode etik tersebut merupakan

    pedoman perilaku diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam

    setiap tindakan dan ucapan mereka sebagai satu-kesatuan norma, etis, dan

    filosofis.

    Dalam rangka menjaga kemandirian penyelenggara pemilu tersebut, maka perlu

    dibentuklah peraturan yang mengatur tentang Kode Etik penyelenggara pemilu.

    Kode Etik ini bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh penyelenggara pemilu.

    Kode Etik ini berisikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang luber dan

    jurdil sebagaimana diatur oleh konstitusi dan undang-undang dan sifat-sifat moral

    yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, untuk memeriksa

    adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,

    maka pada tahun 2008 dibentuk Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum

    (DK KPU), yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dugaan pelanggaran

    Kode Etik yang dilakukan oleh KPU. (DK KPU) saat itu bersifat ad hoc dan

    diberi wewenanang hanya mengawasi perilaku anggota KPU yang menyimpang

    dari aturan sistem penyelenggaraan pemilu. Perubahan Undang-Undang Nomor

    22 Tahun 2007 ternyata membawa konsekuensi logis yang cukup berarti, dimana

    status DK KPU dinaikan jadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

  • 8

    Perubahan fundamental ini terlihat jelas dari semula ad hoc jadi permanen, dan

    tidak lagi bergantung pada pleno KPU.

    Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP

    adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara

    Pemilu.7 DKPP bertugas memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan

    adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.

    DKPP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 109

    tentang Penyelenggara Pemilu. DKPP resmi dibentuk pada 12 Juni 2012, terdiri

    dari 7 anggota yang berasal dari unsur KPU dan Bawaslu masing-masing satu

    orang, serta dari unsur tokoh masyarakat yang diajukan

    oleh DPR dan Pemerintah, bahkan DKPP menurut amanat Undang-Undang

    Nomor 15 Tahun 2011 tidak saja memanggil dan memeriksa anggota KPU, tetapi

    juga anggota Bawaslu yang secara instusi sebagai penyelenggara Pemilu dimana

    masing-masing tingkatan.

    Keberadaan DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara Pemilu

    merupakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi Undang-

    undang Nomor 15 Tahun 2011. Sebelum DKPP menjadi lembaga yang permanen,

    penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu ditangani oleh Dewan

    Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) dan Dewan Kehormatan KPU

    Provinsi serta Dewan Kehormatan Bawaslu. Sejak diundangkannya Undang-

    Undang Nomor 15 Tahun 2011, maka seluruh kewenangan penyelesaian

    pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, ditangani atau

    diselesaikan oleh DKPP. Dengan Penanganan dan Penyelesaian oleh lembaga

    7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Kode_etik_profesihttps://id.wikipedia.org/wiki/Pemiluhttps://id.wikipedia.org/wiki/DPRhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia

  • 9

    DKPP, maka pemanggilan, pemeriksaan, dan persidangan lebih memastikan dan

    memenuhi keadilan para pencari keadilan (Justice seekers).

    Sejak terbentuknya DKPP 12 Juni 2012, telah banyak kasus pelanggaran kode etik

    yang telah ditangani oleh DKPP. Selain memberikan efek jera, DKPP juga telah

    memberikan kejelasan pada para pencari keadilan yang menyebabkan seseorang

    berada dalam posisi tersandera atau berada dalam posisi tertuduh melakukan

    pelanggaran atau berada dalam posisi dicurangi tanpa ada keputusan apapun.

    DKPP sebagai lembaga peradilan etik telah menangani pelanggaran kode etik

    penyelenggara Pemilu, baik agenda Pemilu yang diselenggarakan lima tahun

    sekali yaitu Pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi,

    DPRD Kabupaten/Kota maupun Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

    Pemilukada 2015 yang diselenggarakan secara serentak di 269 daerah, 9 provinsi

    dan 224 kabupaten dan 36 kota, merupakan Pemilukada yang pertama dalam

    sejarah kepemiluan di Indonesia. Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo

    penyelenggaraan Pemilukada secara serentak memiliki beberapa alasan8. Gagasan

    Pemilu serentak lahir dari imajinasi untuk meretas praktik demokrasi yang tak

    kunjung keluar dari kebuntuan politik. Karena masih terperangkap dalam rutinitas

    seremonial Pemilu yang melelahkan, tapi tidak kunjung membawa perubahan9.

    8 Zaman, R.K. (2016). Perjalanan Panjang Pilkada Serentak. Jakarta: Expose (PT Mizan Publika).

    hlm. 12 9 Suharizal.(2012). Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang. Depok: PT

    Rajagrafindo Persada hlm. 136

  • 10

    B. Rumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan DKPP yang

    menarik untuk dibahas lebih lanjut dan agar lebih fokus kajian masalah dalam

    penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

    1. Bagaimana dinamika pengaturan DKPP dalam Undang-Undang

    penyelenggara Pemilu ?

    2. Bagaimana perubahan kewenangan berdasarkan Undang-Undang

    Penyelenggara Pemilu?

    C. Ruang Lingkup

    Berdasarkan rumusan maslah, maka ruang lingkup penelitian ini adalah kajian

    bidang hukum tata negara (HTN), yang secara khusus meneliti lembaga DKPP

    dalam peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum dari substansi yang

    dikaji meliputi Kedudukan DKPP dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan

    kewenangan DKPP dalam pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara

    Pemilihan Umum.

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    a. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah :

    1. Mengetahui dan menganalisis bagaimana dinamika pengaturan lembaga

    DKPP

    2. Untuk mengetahui bagaimana perubahan kewenangan DKPP.

  • 11

    b. Keguanaan Penelitan

    Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara Teoritis maupun Praktis,

    yaitu:

    1. Secara Teoritis

    a. Kegunaan teoritis penelitian ini untuk memberikan masukan

    sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

    ilmu hukum tata negara yang berkenaan dengan lembaga negara.

    b. Sebagai informasi awal bagi kajian-kajian tentang lembaga negara

    yang akan datang.

    2. Secara Praktis

    a. Sumbangan pikiran kepada para pemangku kepentingan (pejabat dan

    petinggi negara) dalam hal pembentukan lembaga penyelenggara

    Pemilu dan pelaksanaan fungsinya di dalam sistem ketatanegaraan

    Indonesia.

    b. Dapat dijadikan bahan informasi bagi DPR dalam pengembagan dan

    pemantapan kedudukan dan hasil putusan DKPP dalam peraturan

    perundang-undangan dimasa yang akan datang.

  • 12

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Demokrasi

    Demokrasi adalah sebagai suatu bentuk peyelenggaraan pemerintahan, artinya

    demokrasi dipandang sebagai suatu bentuk dan cara penyelenggaraan

    pemerintahan yang terbaik. Dengan demikian, kedaulatan rakyat merupakan suatu

    konsep yang bersifat statis, sedangkan demokrasi adalah konsep yang dinamis,

    akan berubah-ubah warnanya sesuai dengan falsafah yang dianut dan kebutuhan

    dari tiap-tiap negara.

    Dapat juga dikatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat memperoleh bentuk yang

    konkret ke dalam apa yang disebut dengan demokrasi.10

    Demokrasi dipandang

    sebagai pengejawatahan yang paling tepat dan ideal untuk semua sistem

    organisasi politik dan sosial modern. Sebagai dasar hidup bernegara pada

    umumnya demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat

    memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai

    kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakasanaan pemerintahan negara oleh

    karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.

    Negara demokrasi merupakan negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak

    dan kekuasaan rakyat sama halnya bahwa rakyat turut serta dalam segala

    10

    Sodikin, Hukum Pemilu Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Bekasi : Gramata Publishing,

    2014, hlm 17

  • 13

    perbuatan pemerintah, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti sebagai

    suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas

    persetujuan rakyat karena kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat.11

    Menurut R.

    Kranenburg dalam buku “Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap”,

    kata demokrasi terbentuk dari dua kata pokok yang artinya adalah cara

    memerintah oleh rakyat.12

    Jika ditinjau lebih jauh lagi, demokrasi adalah cara pemerintahan Negara yang

    disebut “autocratie” atau “oligarchie”, yaitu pemerintahan yang dilakukan oleh

    segolongan kecil manusia, yang menganggap dirinya sendiri berhak untuk

    mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat. Menurut M.

    Durverger dalam buku “les regimes politicues”, demokrasi termasuk cara

    pemerintahan dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah

    adalah sama dan tidak terpisahkan. Artinya satu sistem pemerintahan Negara,

    dalam pokoknya, semua orang (rakyat) berhak sama untuk memerintah dan

    diperintah.13

    Prof. Hertz14

    dalam buku Political Realism and Political Idealism menyatakan

    bahwa:

    ”Demokrasi adalah semacam pemerintahan dimana tidak ada seorang

    anggota masyarakat atau kelompok yang mempunyai hak prerogatif (hak

    yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun) atas orang lain.

    (democracy is a from of government in wich no one member, has political

    prerogative over any other. Government is thus the rule of all over all in

    the common, as apposed to the individual or separate group interest).

    11

    Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.

    2. 12

    Ni‟matul Huda mengutip Koencoro Poerbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi,

    Bandung, Eresco. hlm. 6. 13

    Ibid 14

    Sukarna,Sistem Politik, Alumni, Bandung, 1981. hlm.37

  • 14

    Demokrasi menghendaki atau menuntut pertanggungjawaban dari orang yang

    memerintah kepada yang diperintah. Antara pemerintah dan yang diperintah

    dalam demokrasi adalah sama, yang membedakan hanya fungsinya.

    Plamenantz menyatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan oleh orang-orang

    yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab terhadap yang diperintah

    (Democracy means government by person freely chosen by and responsible to the

    governed).

    Jimly Asshidiqie menerjemahkan makna demokrasi dalam 4 (empat) ciri besar:

    1) kekuasaan berasal dari rakyat;

    2) rakyat menentukan seluruhnya arah sesungguhnya serta

    menyelenggarakan kehidupan kenegaraan;

    3) keseluruhan sistem penyelenggaraan negara diperuntukkan untuk

    rakyat; dan

    4) negara yang ideal bahkan diselenggarakan bersama-sama dengan

    rakyat.15

    Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara pada dasarnya diperuntukan bagi

    seluruh rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik diidealkan dengan

    diselenggarakannya negara bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan

    melibatkan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.

    B. Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah

    a. Pemlihan Umum

    Pemilihan Umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankn

    kedaulatannya sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

    Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi yang memilih

    anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD, yang pada

    gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah, menetapkan politik

    15

    Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika,

    2011, hlm. 293.

  • 15

    dan jalannya pemerintahan negara16

    . Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suryo

    Untoro dalam memberikan batas pemilu, yaitu:

    “Bahwa Pemilihan Umum (yang selanjutnya disingkat Pemilu) adalah suatu

    pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mempunyai hak

    pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan Perwakilan

    Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).”

    Kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut

    sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi

    tidak langsung (indirect democracy).

    Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah

    para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau

    biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama

    rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya

    pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam

    jangka waktu yang pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang

    dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui kehendak

    hukum (volunte generale)17

    .

    Beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk

    dilaksanakan secara berkala18

    . Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan

    selalu sama untuk jangka waktu yang panjang dalam artian bahwa kondisi

    kehidupan rakyat itu bersifat dinamis sehingga aspirasi mereka akan aspek

    16

    Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974, hlm. 61. 17

    Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Jakarta : Visimedia,, 2009, hlm.

    46. 18

    Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan

    Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 170.

  • 16

    kehidupan bersama juga akan berubah seiring berjalannya waktu, K.C Wheare

    menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki aspek

    pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi. Kedua, disamping

    pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu , kondisi kehidupan

    bersama dalam masyarakat dapat pula berubah baik karena dinamika internasional

    maupun karena dinamika dalam negeri sendiri. Ketiga, perubahan aspirasi dapat

    juga disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa.

    Mereka itu, terutama pemilih baru (nem voter), dan pemilih pemula belum tentu

    memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Keempat, dengan

    maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang

    kekuasaan eksekutif maupun di cabang kekuasaan legislatif.

    b. Pemilihan Kepala Daerah

    Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada

    atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil

    kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang

    memenuhi syarat.

    Menurut Sartono, ada 4 (empat) tujuan pilkada, antara lain yakni:

    a. Pilkada sebagaimana pemilu merupakan institusi pelembagaan publik.

    Dengan pilkada masyarakat lokal mengintegrasikan kepentingannya dalam

    prosedur yang etis dan damai. Pilkada didesain untuk meredam konflik-

    konflik apalagi yang berbau kekerasan, guna mencapai tujuan demokrasi

    dan pengisian jabatan politik daerah.

  • 17

    b. Pilkada sebagai sarana pencerdasan dan penyadaran politik warga. Sikaf

    pastisipatif lambat laun akan mendorong masyarakat untuk dapat berfikir

    politik secara bijaksana. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin

    karena omong kosong janji yang bertebaran dimana-mana, memberikan

    bahan-bahan pemikiran bagi masyarakat untuk bersikap atau tidak

    bersikap sesuatu politik.

    c. Mencari sosok pemimpin yang kompeten dan komunikatif. Idealnya,

    mereka yang terpilih adalah orang yang profesional, berjiwa

    kepemimpinan yang membela nasib rakyat.

    d. Menyusun kontrak sosial baru, artinya tidak hanya untuk mendapatkan

    pemipin yang baru, melainkan sirkukasi komunikasi yang membuat

    perjanjian-perjanjian calon pemimpin sebelum menjadi pemenang dituntut

    untuk merealisasikan secara nyata.

    Sejarah kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah (termasuk

    didalamnya mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah) diatur dalam sejumlah

    undang-undang,19

    yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang

    Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang

    Nomor 18 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang

    Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang 32 Tahun 2004, Undang-Undang 22

    Tahun 2007, Undang-Undang 12 Tahun 2008, Undang-Undang 15 Tahun 2011,

    Undang-Undang 22 Tahun 2014,Undang-Undang 23 Tahun 2014, Perppu Nomor

    1 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 2015.

    19

    Suharizal,Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT. RajaGrafindo,

    2011, hlm.15.

  • 18

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala daerah

    dilakukan Dewan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 1948 kepala

    daerah dipilih oleh pemerintah pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD,

    dalam hal ini DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah

    kepada pemerintah pusat. Setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada belum

    mengalami perubahan yang signifikan, antara lain sebagai berikut:20

    1. Kepala daerah dipilih oleh DPRD

    2. Kepala daerah Tingkat 1 diangkat dan diberhentikan oleh presiden

    3. Kepala daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam

    Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD

    yang bersangkutan.

    Setelah era reformasi, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

    1999 pemilihan kepala daerah dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi

    tidak langsung dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas

    desentralisasi yang kuat21

    , sementara pemerintah hanya menapatkan dan melantik

    kepala daerah berdasarkan hasil pemilu yang dilakukan oleh DPRD.

    Hasil perubahan UUD RI Tahun 1945 telah membawa pengaruh besar pada

    sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan tersebut memberikan jaminan

    konstitusional bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia, berdasarkan jaminan

    tersebut maka sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dikenal ada tiga macam

    pemilu, yaitu:

    20

    Ibid. hlm. 16. 21

    Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, „‟Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD

    dan Kepala Daerah. Bandung:PT. Alumni. 2004, hlm.115.

  • 19

    a. Pemilu legislatif, yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan

    DPRD

    b. Pemilu presiden, yaitu pemilihan untuk memilih presiden dan wakil

    presoden

    c. Pemilihan kepala daerah, yaitu pemilihan untuk memilih kepala daerah.

    Ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut kemudian

    telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah dan kemudian dirubah dalam Undang-Undang Nomor 12

    Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun

    2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah.

    Perkembangan ketatanegaraan telah memunculkan adanya daya tarik ulur

    kepentingan dalam pemilihan kepala daerah, pembentukan Undang-Undang

    Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang

    mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mewarnai

    proses pemilihan kepala daerah sebelum dikeluarkanya Peraturan Pemerintah

    pengganti Undang-Undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan

    Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang yang dikeluarkan oleh

    presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sekaligus membatalkan Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

    Walikota dan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah secara

    langsung oleh rakyat. Lebih lanjut kemudian pada tanggal 2 Februari tahun 2015

    Presien Joko Widodo telah mengesahkan pembentukan Undang-Undang Nomor 1

  • 20

    Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi

    Undang-Undang. Sementara pengaturan terbaru tentang pemilihan Kepala Daerah

    saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun.

    Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Gubernur dan wakil Gubernur

    untuk provinsi, Bupati dan wakil Bupati untuk kabupaten, Walikota dan wakil

    walikota untuk daerah kota. pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung

    sejalan dengan upaya pengembangan dan penguatan sarana demokrasi kedaulatan

    rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila

    dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat

    yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

    rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara. Pergeseran bentuk

    pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diikuti dengan diaplikasikannya

    nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan

    demokrasi di indonesia untuk tataran nasional dilaksanakan bersamaan dengan

    yang berada pada tataran lokal (daerah), hal ini merupakan konsekuensi dari

    pelaksanaan desentralisasi politik. Salah satu manifestasi dari proses tersebut

    adalah dilaksanakanya pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih

    gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota debagai amanat dari

    undang-undang pemerintah daerah22

    .

    22

    Gamawan Fauzi, Sengketa Pemilukada, Putusan MK, dan Pelaksanaan Putusan MK, dalam

    Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Op.Cit, hlm. 31.

  • 21

    Tuntutan reformasi menghendaki agar Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945 diubah. Hasil dari amandemen atau perubahan Undang-

    Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem

    ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian

    jabatan kepala daerah yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 194523

    .

    Dikatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa “Gubernur, Bupati dan

    Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan

    kota dipilih secara demokratis.” Frasa “dipilih secara demokratis” bersifat luwes,

    sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat

    ataupun oleh DPRD seperti yang pada umumnya pernah dipraktikkan di daerah-

    daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku24

    .

    Pemiihan kepala daerah secara langsung juga dinilai dengan semangat otonomi

    daerah, bahwa daerah berhak menguruh rumah tangganya sendiri termasuk dalam

    menetukan secara langsung siapa pemimpin yang dikehendaki. Semangat

    menumbuhkan demokrasi tingkat lokal tersebut juga diperkuat dengan asumsi

    bahwa:

    a. pemilihan kepala daerah untuk meningkatkan kualitas dan akuntabilitas

    lokal, termasuk kepala-kepala daerah.

    b. pemilihan kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik

    dan efektifitas pemerintahan.

    23

    Pasal 18 hadir dalam amandemen kedua padal tanggal 7-18 Agustus 2000 dalam sidang tahunan

    MPR. Amandemen kedua dilakukan sebanyak 7 bab dan 25 pasal. Perubahan meliputi Pasal 18,

    Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bb IXA, Pasal

    25 E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B,

    Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28H, Pasal 28J, Bab XII,

    Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C. FX. Sumarja, Hasil dan Prospek

    Amandemen UUD 1945, Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum Universitas Lampung Volume III

    Nomor 2 November 2011, hlm. 12. 24

    Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat

    Studi Hukum Tata Negara UI, 2002, hlm. 22.

  • 22

    c. pemilihan kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas

    seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka bagi munculnya

    pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah (daerah). Hal ini

    sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi atau otonomi daerah yaitu

    dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.

    d. pemilihan kepala daearah merupakan wadah masyarakat lokal dalam

    menyalurkan aspirasi politiknya untuk memilih kepala daerah sesuai

    dengan hati nuraninya masing-masing tanpa intervensi25

    .

    Menurut Kant dikutip oleh Sartono dalam bukunya Nasib Demokrasi Lokal di

    Negeri Bardar bahwa:26

    “Pilkada yang demokratis sebagai salah satu bentuk konsep yang harus

    didukung dengan tertib hukum dan partisipasi manusia secara keseluruhan

    yang menjadi keselarasan yang ditentukan sebelumnya (harmonia

    praestabilita) sebagai etika yang asasi yang berasal dari perasaan dan

    kepercayaan. Sedangkan, teori demokrasi menjadi bingkai pendukung

    terhadap pengembangan konsep politik yang mengarahkan pilkada

    yang jujur dan adil sebagai budaya demokratis suatu negara”.

    Pilkada secara demokratis dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat memang

    untuk rakyat Indonesia sebagaimana prinsip demokrasi sesungguhnya.

    Pemilukada langsung menjadi momentum penting bagi pembangunan politik aras

    lokal ke arah yang lebih demokratis. Ini yang disebut oleh Brian C. Smith dan

    Robert Dahl sebagai local accountability, politicalequality, dan local

    responsiveness, yang menjadi pertaruhan setiap daerah. Ketiganya menjadi tolak

    ukur untuk melihat sejauh mana pemerintahan di daerah berjalan27

    .

    25

    Ridlwan, Zulkarnain, Model Pengawasan Pemilukada Berbasis Pelibatan Masyarakat, dalam:

    Jurnal Konstitusi, Vol III No. 1. Juni 2011, Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 26

    Rudy dan Charlyna S. Purba, Dinamika Sengketa Pemilukada Di Indonesia, Nagakusuma Media

    Kreatif, Jakarta, 2014, hlm. 14. 27

    Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Expose, Jakarta, 2016, hlm. 38.

  • 23

    Berkaitan dengan pemerintah lokal setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa

    pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dipilih secara demokratis.

    Pertama, pemerintahan lokal yang demokratis membuka ruang bagi masyarakat

    untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal (political

    equality). Kedua, pemerintahan lokal yang demokratis mengedepankan pelayanan

    kepada kepentingan publik (local accountability). Ketiga, pemerintahan lokal

    yang demokratis meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang

    berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsiveness). Ketiga hal

    tersebut menjadi acuan pokok dalam upaya menggulirkan wacana pemilhan

    langsung agar arah pengembangannnya memiliki sandaran yang kokoh28

    .

    C. Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum

    Peran penyelenggara pemilu sangat penting dalam pelaksanaan Pemilu. Dinamika

    penyelenggara pemilu telah bergulir mulai dari Pemilu 1955 hingga saat ini. Awal

    pelaksanaan Pemilu hingga masa Orde Baru, penyelenggaranya tidak dapat

    terlepas dari partai politik dan pemerintah. Tetapi setelah memasuki gerbang

    Reformasi penyelenggara pemilu dibentuk sebagai suatu lembaga yang bersifat

    independen diluar dari pengaruh partai politik dan pemerintah.

    Amandemen UUD 1945 sebagai salah satu proyek Reformasi yang berdampak

    banyak munculnya lembaga negara baru yang dibentuk sesuai dengan

    perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Salah satu lembaga yang dibentuk

    setelah amandemen tersebut yaitu komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara

    28 Wahyu Widodo, Pelaksanaan Pilkada Berdasarkan Asas Demokrasi Dan Nilai-Nilai Pancasila, Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume V, No 1, Januari 2015, hlm. 682.

  • 24

    pemilu di Indonesia. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas

    dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta

    memiliki kompleksitas nasional menuntut perlu adanya penyelenggara pemilihan

    umum yang professional dan memiliki kredibilitas yang dapat

    dipertanggungjawabkan.

    Dalam rangka menyelenggarakan serta mengawal terwujudnya pemilihan umum

    yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu

    lembaga agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan

    asas pemilihan umum sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan

    perundangundangan.

    Penyelengara pemilu sendiri dibentuk dengan tujuan untuk:29

    a. memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;

    b. mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;

    c. menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;

    d. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengahrran

    pemilu; dan

    e. meurujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

    Lembaga penyelenggara pemilu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945

    pasca amandeman, dikatakan dalam Pasal 22E ayat (5) tentang pemilu bahwa

    pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat

    nasional, tetap, dan mandiri dapat disampaikan beberapa hal30

    . Pertama, bahwa

    penyelenggaraan pemilu mencakup kewenangan yang luas sebagaimana fungsi

    29

    Lihat Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu. 30

    Lihat UUD 1945 Pasal 22E Ayat (5)

  • 25

    manajemen moderen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,

    dan pengawasan yang bersifat internal-vertikal dan melekat. Kedua, bahwa

    terminologi “suatu komisi pemilihan umum” yang ditulis dengan huruf kecil

    menunjuk pada suatu fungsi dan bukan suatu nama lembaga (nomenklatur).

    Ketiga, bersifat nasional dimaksudkan untuk menegaskan lingkup wilayah tugas

    dan kewenangannya yang meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

    Indonesia. Keempat, bersifat tetap dimaksudkan untuk menegaskan bahwa

    lembaga penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang bersifat permanen dan

    bukan bersifat ad hoc. Kelima, bersifat mandiri dimaksudkan untuk melindungi

    penyelenggara pemilu dari intervensi berbagai kekuatan politik dan/atau dari

    pengaruh pemerintah31

    . Namun perlu ditegaskan bahwa bersifat mandiri juga

    bermakna terbatas dalam hal pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Karena itu

    kemandirian tersebut mencakup kemandirian kelembagaan, dalam arti bahwa

    lembaga penyelenggara pemilu bukan merupakan bagian dari suatu lembaga

    Negara lainnya, dan kemandirian dalam proses penentuan kebijakan/pengambilan

    keputusan dalam arti bebas intervensi dari pihak manapun32

    .

    Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Undang- Undang

    Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang tertuang dalam

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU/VIII/2010 memberikan

    pertimbangan hukumnya yaitu bahwa Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan

    ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

    31

    Indra Pahlevi, Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum Di Indonesia: Berbagai

    Permasalahannya, Politica Vol. 2, No. 1, Juni 2011, Hlm. 56-57. 32

    Ibid.

  • 26

    Secara de facto dan de jure, Undang-Undang 22 Tahun 2007 telah mengatur dan

    merumuskan bahwa suatu komisi pemilihan umum yang menyelenggarakan

    pemilihan umum dimaksud meliputi, kesatu, lembaga penyelenggara pemilihan

    umum yang dikenal sebagai KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; dan

    kedua, lembaga pengawasan pemilu yang dikenal sebagai Badan Pengawas

    Pemilihan Umum, Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/ Kota33

    . Pandangan

    Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan penekanan bahwa keberadaan

    lembaga penyelenggara pemilu memang harus ada dengan tiga komponen utama

    yaitu KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan. Oleh karena, itu tentu akan

    menjadi perhatian dalam pengaturan tentang penyelenggara pemilu harus

    memenuhi tiga unsur tersebut meskipun disadari pengawasan tidak harus bersifat

    eksternal-horisontal. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

    Pemilihan Umum telah merumuskan keberadaan KPU, Bawaslu dan DKPP dalam

    satu nafas harmonis sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Ketiga

    lembaga ini telah diamanatkan undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu

    menurut fungsi, tugas, dan kewenangannya masing-masing. Setelah adanya

    perubahan undang-undang penyelenggara Pemilu dari Undang-Undang Nomor 15

    Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang telah diubah menjadi

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum, dinyatakan

    dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

    Pemilihan Umum bahwa:

    “Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang

    terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan

    33

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010.

  • 27

    Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggara

    Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan

    Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.”

    a. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggara Pemilihan Umum sejak Pemilu

    1971 hingga Pemilu 1997 menjadi tanggung jawab Lembaga Pemilihan Umum

    (LPU). Namun, sejak era Reformasi bergulir maka, yang menjadi penanggung

    jawab penyelenggaraan Pemilu adalah KPU. Komisi Pemilihan Umum yang

    pertama (1999 – 2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun

    1999, beranggotakan 53 orang yang terdiri dari unsur pemerintah 5 (lima) orang

    dan partai politik 48 orang. KPU pertama dilantik oleh Presiden BJ. Habibie.98

    Komisi Pemilihan Umum jika ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam konteks

    cabang-cabang kekuasaan negara termasuk katergori menjalankan kekuasaan

    eksekutif, yakni untuk membantu presiden dalam penyelengaraan pemilihan

    umum di Indonesia. Oleh karena itu secara fungsional Komisi Pemilihan Umum

    termasuk organ penunjang (auxiliary organs) atas tugas organ utama yakni

    presiden. Dengan demikian, sesungguhnya organ utamanya (primary

    constitutional organs) dari penyelenggara Pemilu di Indonesia adalah presiden,

    yang lebih lanjut oleh Undang-Undang Dasar 1945 diatribusikan kepada komisi

    pemilihan umum34

    . Namun, KPU bukan merupakan lembaga negara yang

    34

    Ibramsyah Amirudin, Hukum Kelembagaan Negara Kedudukan KPU Dalam Struktur

    Ketatanegaraan Republik Indonesia, Laksbang Grafika:Yogyakarta, 2016, hlm. 51.

  • 28

    kewenangannya diatur langsung dalam UUD 1945. Karena yang diatur dalam

    UUD 1945 adalah fungsinya, tidak menyangkut pada lembaganya. Maka dari itu

    dalam UUD 1945 tersebut, perkataan komisi pemilihan umum ditulis dengan

    huruf kecil karena nama lembaga penyelenggara pemilu itu tidak diharuskan

    bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU)35

    .

    Secara konstitusional KPU sebagai penyelenggara Pemilu diatur dalam Pasal 22E

    ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum

    diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,

    dan mandiri. Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah nama yang diberikan oleh

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

    untuk lembaga penyelenggara pemilu36

    . Komisi Pemilihan Umum yang

    selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat

    nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. KPU terdiri atas: (a)

    KPU; (b) KPU Provinsi; (c) KPU kabupaten/Kota; (d) PPK; (e) PPS; (f) PPLN;

    (g) KPPS; dan (h) KPPSLN37

    .

    Terdapat perubahan dalam struktur keanggotaan KPU dalam Undang- Undang

    Nomor 15 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 6

    dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, jumlah

    anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang;

    dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Sedangkan dalam Undang-

    Undang Nomor 7 Tahun 2017 jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang;

    35

    Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisian Anggota Badan Pengawas Pemilu buku Charles

    Simabura yang berjudul Pengawas Pemilu Di Indonesia dalam Pengisian Jabatan Pempinan

    Lembaga Negara Independen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 303. 36

    Ibramsyah Amirudin, Op.Cit, hlm. 51 . 37

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu.

  • 29

    KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang; dan KPU Kabupaten/Kota

    sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Penetapan jumlah anggota KPU Provinsi

    dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada Undang- Undang Nomor

    7 Tahun 2017 didasarkan pada kriteria, jumlah penduduk, luas wilayah, dan

    jumlah wilayah administratif pemerintahan.

    b. Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU)

    Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955

    belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di

    seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang

    dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai

    Konstituante. Panitia pengawas Pemilu baru dikenal dalam Pemilu Tahun 1982

    masa Orde Baru Pada tahun 1982 dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan

    Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang dibentuk sesuai amanat Undang-

    Undang Nomor 2 Tahun 1980 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4

    Tahun 197538

    .

    Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes protes atas

    banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh

    para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan

    pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas

    direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya

    muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan

    38

    Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisia Anggota Badan Pengawas Pemilu, Loc.Cit.

  • 30

    'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju

    untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu,

    pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam

    urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

    Selain adanya Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu pada masa Orde Lama di

    tahun 1996 pada akhir bulan Januari, gabungan dari sejumlah lembaga swadya

    masyarakat dan individu-individu yang menginginkan pelaksanaan pemilihan

    umum yang lebih bebas dan adil pada tahun 1997 membentuk suatu Komisi

    Independen Pemantau Pemilu (KIPP), namun sangat disayangkan keberadaan

    lembaga ini tidak terlalu eksis dikarenakan besarkan kontrol pemerintah pada

    Orde Lama.

    KIPP merupakan lembaga yang ikut memantau jalannya pelaksanaan Pemilihan

    Umum di Indonesia. Pada era Reformasi pemerintah membentuk lembaga

    penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi

    Pemilihan Umum (KPU), selain itu era reformasi juga memberikan dampak pada

    panitia pengawas Pemilu. Lembaga pengawas pemilu juga berubah nomenklatur

    dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selanjutnya

    perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru

    dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut undang-

    undang ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu yang dibentuk oleh KPU yang

    terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia

    Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.

    Berdasarkan amanat undang-undang di atas Panwaslu pertama dibentuk

  • 31

    berdasarkan S.K KPU No 88 Tahun 2003 tentang Panwas panitia pengawas

    dibentuk dan bertanggungjawab sepenuhnya kepada KPU.39

    Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang- Undang

    Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah

    lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu

    dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 pada ketentuan Pasal 1

    Angka (15) dan Angka (16) menyatakan bahwa: Bawaslu adalah badan yang

    bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan

    Republik Indonesia dan panitia pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas

    Pemilu kabupaten/Kota adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk

    mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah Provinsi dan Kabupaten /kota.

    Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUUVII/ 2010 tentang pengujian Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang diajukan oleh anggota Bawaslu, Bawaslu

    muncul sebagai lembaga negara. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

    dikatakan bahwa :40

    Klausul “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945

    tidak menunjuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi

    penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasiona, tetap dan mandiri.

    Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum

    tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi

    termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas

    Pemiliha Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan

    pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sebagai kelanjutan

    39

    Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisia Anggota Badan Pengawas Pemilu, Loc.Cit. 40

    Ibid.

  • 32

    atas putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tersebut diterbitkanlah

    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

    Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya

    lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan

    Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Undang-Undang Nomor 15 Tahun

    2011 juga menegaskan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu yang semula hanya

    dimiliki oleh KPU kini bertambah dengan adanya Bawaslu sebagai satu kesatuan

    lembaga penyelenggara Pemilu. Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya

    disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara pemilu yang mengawasi

    Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Bawaslu terdiri atas Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,

    Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Panwaslu

    TPS. Jumlah anggota Badan Pengawas Pemilu terdiri atas (a) Bawaslu sebanyak 5

    (lima) orang; (b) Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang; (c)

    Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tga) atau 5 (lima) orang; dan (d) Panwaslu

    Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.41

    c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

    Pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan pemilu, pada pemilu 2009

    mengenal Kode Etik dan Dewan Kehormatan berdasarkan ketentuan Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kode

    41

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Pemilu

  • 33

    Etik dan Dewan Kehormatan disusun bersama antara KPU dan Bawaslu, serta

    Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc.

    Dewan Kerhormatan saat itu terdiri atas Dewan Kehormatan KPU dan Dewan

    Kehormatan Bawaslu. Dewan Kehormatan adalah institusi ethic difungsikan

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk

    menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara. Namun, saat

    itu wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil,

    memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan

    bersifat ad hoc.

    DK KPU 2008-2011 dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dari

    aspek struktural kurang seimbang karena didominasi oleh penyelenggara Pemilu.

    DK KPU beberapa kali dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dan

    prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan DPR

    memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota

    KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk salah satu mantan anggota KPU 2010

    memberi harapan baru bagi publik pada perubahan. Dari prestasi yang baik dan

    dengan menampilkan performa kelembagaan DK KPU yang produktif di mata

    publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP.

    Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu

    sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan

    memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU

    tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan lewat produk hukum Undang-Undang Nomor

    15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Oleh karena itu, Dewan

  • 34

    Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dibentuk berdasarkan ketentuan

    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 untuk pemilu 2014 merupakan kelanjutan

    dari Dewan Kehormatan yang berasal dari pemilu 2009 berdasarkan Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 2007.42

    DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya

    dugaan pelanggaran kode etik yang, dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU

    provinsi, anggota, KPU Kabupaten Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu

    Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. DKPP dibentuk paling lama 2

    (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji.

    Anggota DKPP berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang ex

    offtcio dari unsur KPU; 1 (satu) orang ex offio dari unsur Bawaslu; dan 5 (lima)

    orang tokoh masyarakat. Anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat

    diusulkan oleh Presiden sebanyak 2 (dua) orang dan diusulkan oleh DPR

    sebanyak 3 (tiga) orang. Kemudian usul keanggotaan DKPP dari setiap unsur

    diajukan kepada Presiden. DKPP hanya melakukan penyelidikan terkait

    pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP hanya menyusun dan

    menetapkan kode etik, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan

    penyelenggara pemilu dan memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu apabila

    terbukti melanggar kode etik, mulai dari sanksi pemberhentian secara definitif,

    bahkan juga dan merehabilitasi anggota. Sehingga, objek perkara yang ditangani

    DKPP hanya pada masalah perilaku pribadi penyelenggara pemilu, bukan

    mengurusi masalah keputusan yang telah diambil oleh penyelenggara pemilu.

    42

    Sodikin, Hukum Pemilu Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,Op.Cit, hlm. 83.

  • 35

    III. METODE PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif,atau sering

    dikenal dengan istilah pendekatan yuridis normatif43

    . Penelitian hukum adalah

    penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan

    pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

    B. Pendekatan Masalah

    Pendekatan yang digunakan terhadap permasalahan yang ada dalam penelitian ini

    adalah dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan yang

    dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan

    dengan pokok masalah penelitian. Pendekatan kasus (case appoarch) dilakukan

    dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

    yang dihadapi dan menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

    hukum tetap.

    C. Sumber Data

    Data yang digunakan adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum

    primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

    43

    Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta, 2013, hlm. 54.

  • 36

    1. Bahan hukum primer (primary law material), yaitu bahan hukum yang

    memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum (perundang-

    undangan) atau mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak

    yang berkepentingan yang bersumber dari dokumen hukum, dan

    putusan hakim44

    .

    a. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

    1945.

    b. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

    c. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua

    atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

    Daerah

    d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    e. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum

    Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan

    Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

    f. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum

    Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman

    Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

    2. Bahan hukum sekunder (secunder law material)

    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

    terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

    digunakan antara lain:

    44

    Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2004,

    hlm. 2.

  • 37

    a. Doktrin atau pendapat ahli hukum ketatanegaraan yang terdapat

    pada buku, jurnal, hasil riset;

    b. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah berupa Kamus Besar

    Bahasa Indonesia.

    D. Metode Pengumpulan Data

    Pegumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan studi

    kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mempelajari,

    menelaah, dan menafsirkan dari berbagai literatur, dokumen-dokumen dan

    pera