Upload
vuduong
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DINAMIKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Mirzan Insani NIM: 201033200785
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul DINAMKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 12 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S-1) pada program Study Ilmu Politik.
Jakarta 12 Maret 2010
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota,
Wiwik Siti Sadjaroh, MA NIP. 196902101994032004.
Anggota,
Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA NIP: 19540605 2001121001
Penguji I Penguji II
Dra. Haniah Hanafie, M,Si Drs. Agus Nugraha, M,Si NIP. 196105242000032002 NIP. 196808012000031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Maret 2010
Mirzan Insani
iii
KATA PENGANTAR
”Ma… jika malam gelap Simpan tangismu dalam sehelai sapu tangan besok pagi jadikan merpati…
Menengadahlah pelangi sedang menapak dimuara amarahmu Genggam satu saja kau lempar ke wajah aku..
Ma, bendung air matamu dengan kata-kata Pertama untaikan dalam sajak besok pagi jadikan bait puisi..
Tengoklah hujan sedang menyirami bara risaumu Biarkan melaut untuk menguap kembali menjadi awan”
Syukur terhatur kehadhirat Allah Tuhan yang Maha Ghafur atas segala
rakhmat yang meruang dan mewaktu dengan segala ketakziman yang ada.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke-haribaan Muhammad SAW,
keluargamu, sahabat-sahabatmu, dan siapapun yang mengikutimu, seperti curah
hujan atas bumi, seperti pancaran matahari pada semesta raya.
Akhirnya, skripsi ini selesai. Ada proses panjang yang sebelumnya
memang harus dilalui. Di sana, penulis mengalami banyak peristiwa dan bertemu
dengan nama-nama. Entah kenapa, peristiwa dan nama-nama itu seperti fase-fase
yang tanpa terasa membawa penulis pada fase terakhir studi. Kehidupan memang
memiliki aturan sendiri yang mungkin lepas dari logika manusia.
Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Dekan, Pembantu Dekan, dan seluruh Bapak serta Ibu Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pengajaran selama masa belajar penulis.
2. Ibu Wiwik St Syajaroy, MA selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik
Islam, Bapak Rifki Mukhtar, Ketua Program Ushuluddin dan Filsafat
iv
3. Bapak Dr. Siradjuddin Ali, MA., selaku pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi ini.
4. Sungkem Sujudku kepada Kedua orang tua tercinta, Bapak Sujono
dan Ma Royanah atas keikhlasan, do’a serta airmata restu mereka.
Tanpa keduanya penulis tidak akan berada di dunia dan menjalani
kehidupan yang merupakan sekolah yang tidak pernah menawarkan
ijazah.
5. Saudara-saudaraku, Kakakku tercinta Mas Aan Raekhan dan Yu Dewi,
Adikku Lukman Effendi dan Endang serta sikecil Keyla Zahra
Lazuardani sebagai bagian dalam satu niscaya yang tak terpisahkan
menuju doa yang sempurna. Tak lupa para Lilik, Budhe, sepupu, Um,
Bulik, untuk kerukunan dan remojongannya. Bayu, Tegar (Mas Dang
saged Lulus)
6. Teruntuk mata telagaku Juwita Ratna Wulan yang menemani dan
banyak membantu menyelesaikan penulisan dan support yang
membangun untuk keoptimisan dalam penyelesaian studyku, serta
ketabahanmu
7. Untuk doamu kepadaku Rokhana semoga segalanya ada jawaban
pangampurane Nok.
8. Bambang Prihadi guruku diteater atas inspirasi kebersahajaannya.
9. Keluarga Besar UKM Teater Syahid dan Lab Teater Syahid banyak
memberikan pembelajaran yang tak ternilai.
10. Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Daerah Ciputat
memperkenalkanku tentang bagaimana menangis yang baik dan bijak.
v
11. Saudara sehatiku Mas Kirno, Sub, Agus, Bapa Sakim yang
menyelamiku dalam makna yang bernama “diam”
12. Kleng Pablo atas teriakan dan tepukan punggung untuk terus maju
menyelesaikan study ini.
13. Keluarga Bani Solikhin Mba Zizah, Mas Untung, Mas Joyo, Mba
Endah, tak lupa Bonis atas cita yang sepadan
14. Ozhy Tatu teman diskusi dan layout selama dalam penulisan
15. Kang Gino dan Sokhibi pijakan pertemanan awalku memasuki kota
Jakarta dan Studyku di IISIP.
16. Bapak Utomo Dananjaya demikian banyak keakraban tentang
memeluk kehidupan yang selalu dianggap hijau.
17. Mas Radhar Pancadahana dan FTI (Federasi Teater Indonesia) atas
transfer pengetahuan dalam mencari celah kemungkinan
18. Temen-temen seperjuangan semua kang Aseng tralala, Wong Zdolim,
Bang Echo Chotib, Mas Aris, Sir Ilham, Olief, Julung, Jula, Lina,
Yuni, Yanche, Alam, Yova, Kancil, Parto, Widi, Akbar, Rendi, Big
Dady, Washadi, Welda, Bangkit, Iman, Dimas, Kis, Wilda, Uswah,
Dien, dan temen-temen yang tidak saya sebutkan satu persatu.
Trimakasih semuanya
12 Maret, 2010.
PENULIS.
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… iii-v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………………… 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………………… 9
D. Metode Penelitian…………………………………………………………….. 10
E. Sistematika Penulisan………………………………………………………… 11
BAB II. LATAR BELAKANG PENDIRIAN, PEMBENTUKAN DAN
PENGKADERAN
A. Keadaaan Umat islam Paska Kemerdekaan………………………………….. 12
B. Motovasi Dasar Pendirian Pelajar Islam …………………………………….. 21
C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia …………………………………… 24
D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan………... 33
E. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia…………………………………………... 35
F. Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Demokrasi………………………….. 38
BAB III. KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
A. Setting Politik Orde Baru ……………………………………………………. 41
vii
A. 1. Politik dalam Masa Peralihan……………………………… 42
B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI……………... 43
B. Pengetatan Struktur Politik ………………………………………………….. 47
C. Implikasi Setting Politik Orde Baru Terhadap Islam………………………… 50
BAB IV. DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DENGAN
PEMERINTAH ORDE BARU
A. Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985: Puncak Pertentangan………….. 56
B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan……………………………. 62
C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang Keormasan…. 65
D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir dan Tunduk pada Undang-
undang Keormasan…………………………………………………………. 76
E. Sumbangan Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan Nasional………. 81
E.1. PII dan Gerakan Amal Sholeh……………………………………………... 82
E.2. PII dan Masa Depan Kepemimpinan Nasional……………………………. 83
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………… 85
B. Saran-Saran……………………………………………………………………… 86
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umumnya para analis bersepakat, bahwa pasang surut hubungan Islam
dengan negara di Orde Baru telah memasuki babak baru sejak pertengahan tahun
1980-an dan makin jelas pada era 1990-an. Afan Gaffar menganggap, fenomena
tersebut sebagai fenomena politik akomodasi setelah sebelumnya hubungan itu
berada dalam suasana yang antagonistik.1Hubungan yang demikian ini ditandai
oleh dua hal. Pertama, di kalangan kekuatan-kekuatan politik Islam, persoalan
formalitas ideologi Islam dalam negara tampaknya tidak lagi menjadi ide atau
gagasan yang perlu dikedepankan. Gagasan itu adalah mendirikan negara Islam
atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tampaknya terjadi perubahan
persepsi di kalangan generasi baru Islam. Mereka ini tidak lagi membicarakan
bagaimana membangun negara Islam atau bagaimana membangun suatu negara
yang menerapkan kaidah-kaidah (syari’ah) politik Islam dalam kehidupan
kenegaraan di Indonesia. Perubahan persepsi ini, menurut Afan, tidak dapat
dilepaskan dari makin banyaknya kelompok Islam yang terpelajar sebagai salah
satu hasil dari pembangunan Orde Baru.2 Kedua, di tingkat kenegaraan,
pemerintah tampak melakukan akomodasi terhadap berbagai kepentingan
1 Afan Gaffar, ”Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat”
(Ulumul Qur’an, 1993) Vol. IV, hal-2 2 Afan Gaffar, “ Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat”
Vol. IV, hal-2
1
2
(aspirasi) umat Islam. Berbagai indikator dapat ditunjukkan untuk mendukung
pernyataan ini:
1). Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan,
kebijakan pendidikan mulai berubah. Misalnya, pemberlakuan kembali
liburan puasa dan pelajar muslimah boleh memakai jilbab di sekolah-
sekolah umum/negeri.
2). Pendidikan yang bersesuaian dengan ajaran Islam diakomodasi dalam
beberapa pasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan
Nsional.
3). Undang-undang tentang peradilan Agama yang mengakui
pemberlakuan syari’ah Islam digolongkan dalam Pengadilan Agama di
Indonesia.
4). Pengiriman seribu da’i ke berbagai daerah oleh Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila sekaligus dengan pembiayaannya.
5). Pengangkatan berbagai tokoh/intelektuan yang dianggap dekat dengan
Islam ke dalam kabinet pemerintah maupun lembaga DPR/MPR.
6). Berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).
Penjelasan terhadap munculnya fenomena akomodasi terhadap Islam oleh
Negara ini umumnya dilakukan secara makro. Umat Islam dalam hal ini
dipandang sebagai suatu entitas yang keseluruhannya melibatkan diri dalam arus
besar gerak politik Orde Baru. Dengan kata lain, berbagai penjelasan mengenai
pasang naiknya hubungan Islam dengan Negara sejak pertengahan era 1980-an
masih menyisakan satu pertanyaan besar. Pertanyaan itu ialah apakah fenomena
politik akomodasi di atas menyentuh kelompok-kelompok yang dianggap berada
3
di luar mainstream, baik secara formal maupun substansial? Pertanyaan ini juga
menurut penjelasan mengenai bagaimanakah perjalanan dan perkembangan
persepsi serta respon kelompok-kelompok Islam terhadap negara.
Dengan demikian, pada dasarnya umat Islam mengambil dua sikap. Sikap
utama atau yang menjadi main stream adalah menerima kebijakan tersebut.
Sedangkan sikap menolak adalah sikap yang dapat digolongkan sebagai sikap
diluar main stream. Lebih tegasnya, sebagai kelompok yang menolak kebijakan
itu, Pelajar Islam Indonesia dapat dikatakan telah berada di luar kerangka politik
formal Orde Baru.
Selain itu kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan ide
tentang penyeragaman asas bagi segenap organisasi politik dan kemasyarakatan
dengan menggunakan asas Pancasila, pertama kali disampaikan oleh Presiden
Soeharto dalam pidato kenegaraan tahunannya pada tanggal 16 Agustus 1982.
Untuk organisasi kemasyarakatan, ide ini- setelah melalui berbagai proses-
akhirnya diwujudkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Keormasan dan diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 2638 tanggal 17
Juni 1985.3 Salah satu pasal dalam Undang-Undang itu mewajibkan setiap
organisasi kemasyarakatan agar mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi
dan tidak ada asas lain selain itu.4 Setiap organisasi kemasyarakatan ketika itu
diberi batas waktu hingga 17 Juni 1987 untuk menyesuaikan asasnya dan
mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri.5
3 Tempo, Nomor 46 Tahun 1988. 4 Undang-Undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 5 Lihat, Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen
Agama, 1993), Jilid III, hal,922 bandingkan dengan Tempo, Nomer 46 Tahun 1988
4
Sejak awal pencetusan ide tentang penyeragaman asas organisasi
kemasyarakatan ini, respon atau sikap ini nampak konsisten. Pernyataan-
pernyataan resmi PII selama tenggang waktu lima tahun (1982-1987) menunjukan
adanya konsistensi ini.
PII merupakan organisasi pelajar tertua yang lahir setelah kemerdekaan
Indonesia,6 bergerak di bidang sosial-pendidikan dan dakwah. PII didirikan di
Yogyakarta tanggal 4 Mei 1947. Meskipun organisasi ini bernama pelajar, namun
yang terhimpun di dalamnya tidak hanya pelajar dalam arti formal. Di PII juga
akan ditemui mahasiswa (sarjana dan pascasarjana), juga pemuda-pemuda yang
sudah bekerja. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat PII mendefenisikan
“pelajar” dalam arti luas dan longgar, mengacu kepada pengertian bahwa belajar
itu sepanjang hayat.
Sebagai organisasi yang lahir pada masa mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan, PII telah menunjukan komitmennya yang besar terhadap
keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Bahkan pada awal-awal
pergerakannya, sesuai dengan konteks ketika itu, gerak PII lebih banyak diwarnai
oleh keikutsertaannya- bersama komponen bangsa yang lain- mempertahankan
kemerdekaan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat salah satu motivasi berdirinya
PII bertolak dari tanggungjawab sebagai organ bangsa yang ketika itu sedang
mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kolonial Belanda dengan agresi
militernya.7
6 Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen Agama,
1993), Jilid III, hlm.922 7 Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia” Jilid III, hal, Ibid
5
Pengakuan atas peran PII itu antara lain tercermin dalam amanat
almarhum Jendral Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI) pada resepsi
hari bangkit (HARBA) I PII, tanggal 4 Mei 1948 :
“Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anak PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara.Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anaku Pelajar Islam Indonesia. Negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”.8
Di samping motivasi kebangsaan, motivasi pertama yang melandasi
pendirian PII adalah motivasi yang berasal atau bertitik tolak dari ajaran agama.9
Ayat al-Qur’an yang menjadi rujukan motivasi ini adalah Surat Ali Imran (3) ayat
104 yang memberi isyarat agar ada diantara sekelompok orang (organisasi) Islam
yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Motivasi ini sangat
mempengaruhi kepribadian kader-kader PII pada umumnya. Segenap warga PII
berkeyakinan bahwa eksistensi organisasi bukanlah sekedar memenuhi social
need, melainkan merupakan perangkat fardhu kifayah ( kewajiban secara
kelompok) dalam rangka pengembangan dakwah Islam.
Dengan dasar motivasi itu, sebagai organisasi Islam PII telah menunjukan
komitmen dan kepedulian yang tinggi dan konsisten kepada Islam. Perjalanan
historis PII telah membawanya pada posisi yang dianggap sebagai kelompok kritis
(kadang dianggap radikal) dan sangat dekat dengan Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi M. Natsir). M. Rusli Karim menggambarkan PII sebagai
organisasi massa-pelajar yang sangat konsisten mengamalkan ajaran Islam dan
8 Documenta Selecta Pelajar Islam Indonesia, PB PII. Telah disesuaikan dengan ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). 9 Tim IAIN Syahid Jakarta, “Ensiklopedi Islam Indonesia” (Jakarta: Djambatan 1992)
Jilid I, hal, 759.
6
pandangan politiknya sering disamakan dengan Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi).10 Jadi, tidaklah mengherankan kalau di tingkat kehidupan
berbangsa dan bernegara PII menjadi sangat peduli dan kritis pada kebijakan-
kebijakan pemerintah terutama yang menyangkut kepentingan Islam dan umat
Islam.
Untuk membahas masalah ini secara nasional setidaknya PII telah
melaksanakan empat kali pertemuan. Pembahasan pertama dilakukan dalam
Muktamar Nasional ke-16 di Jakarta pada tahun 1983. Pembahasan kedua pada
tahun1984 di Jawa Barat lewat acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas).
Tahun berikutnya melalui Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di Bandar
Lampung. Akhirnya, pada Muktamar Nasional ke-17 tahun 1986,PII tetap
mempertegas sikapnya sebagaimana tercermin dalam Pokok-Pokok Pikiran
Pengurus Besar (PB) PII tentang penyusunan Undang-undang Keormasan yang
merupakan hasil Rapimnas tahun 1984 :
1. Menolak setiap perangkat atau hukum yang secara sengaja atau tidak
sengaja akan mengeliminir atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat
dari Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama
yang bernafaskan islam.
2. Mengakui Al-Islam sebagai satu-satunya asas bagi berorganisasi
kemasyarakatan yang bernafaskan Islam dalam melaksanakan kegiatan-
kegiatannya.
10 M. Rusli Karim, HMI, hal, 127-128
7
3. Menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara birokratis-
administratif akan membatasi nilai-nilai Islam.11
Pokok-pokok pikiran tersebut dengan jelas menunjukan analisa dan
prediksi PII yang memandang Undang-undang Keormasan sebagai perangkat
ideologis pemerintah untuk mengeliminasi Islam dari bumi Indonesia.
Sejak itulah legalitas formal PII sebagai organisasi kemesyarakatan tdak
diakui lagi. Sejak itu pula sesungguhnya PII secara kelembagaan telah berada
diluar kerangka politik formal Orde Baru. Akan tetapi, di sini pula kita melihat
adanya pola hubungan yang unik antara pemerintah Orde Baru dengan PII sebagai
salah satu Kelompok Masyarakat. Pengurus dan kader PII sendiri tidak mau
menganggap organisasinya ilegal karena terbukti seluruh kegiatan utama mereka
dapat tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Mereka menyebut situasi ini
“informal”.12 Dengan istilah itu mereka ingin mengatakan, bahwa kegiatan-
kegiatan PII tetap berlangsung, meskipun tidak dipublikasikan dan tentu saja
mengalami berbagai penurunan baik kualitas maupun kuantitas. Kegiatan terbuka
PII yang terakhir sebetulnya adalah muktamar di Surabaya (1-7 Januari 1980).13
Setelah itu, kegiatan PII tidak dipublikasikan. Pada dasarnya pemerintah
mengetahui aktivitas PII, tetapi membiarkan saja.14
Ketiadaan legalitas formal ternyata tidaklah mengurangi dinamika di
dalam tubuh PII. Pada tahun 1995 melalui Muktamar Nasional PII yang ke-20 di
11 PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan”,
Jakarta: Rapimnas, 1984. 12 Lihat, PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang
Keormasan”, Jakarta: Rapimnas, 1984. 13 PII, Jakarta: Rapimnas, 1984. 14 Keterangan Hartono Mardjono, S.H (ketika itu Wakil Ketua DPA RI ) pada acara
“Advanced Leadership Training PII” (Jakarta, Juni 1991)
8
Cisalopa, Jawa Barat, PII secara kompak berketetapan hati untuk menerima asas
tunggal Pancasila dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri .15
Alasan yang dikemukakan adalah , 1) Pancasila bagi umat Islam dan bsgi
PII sudah tidak perlu dipermasalahkan; dan 2) mengingat kondisi obyektif para
pelajar (terutama pelajar sekolah menengah umum), maka PII perlu
megoptimalisasikan perannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa memakai
jalur formal.
Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, pada tanggal 9 Desember 1996
secara resmi PII mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri sebagai salah
satu tahap akhir upaya formalisasinya.16 Untuk mendukung peresmian kembali
PII ini, dilakukanlah lobby yang cukup intensif hingga mereka mengantongi
rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama,
Majelis Ulama Indonesia, ABRI (sekarang TNI ), dan dari tokoh-tokoh
masyarakat.17 Dukungan yang jelas juga diberikan oleh Menteri Negara Riset dan
Teknologi.18 Bahkan PII telah pula berkirim surat langsung kepada Soeharto
sebagai presiden orde baru di masanya.
Perkembangan PII di era 1980-an dan 1990-an seperti telah diuraikan
tersebut dapat menunjukkan dua hal yang masing-masing memuat dua fenomena
yang tampak bertentangan. Pertama, pada tahun 1985 PII menyatakan diri
menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila, sedangkan sepuluh tahun setelah
itu yakni tahun 1995, PII menyatakan sebaliknya. Kedua, pada tahun 1985 alasan
PII menolak asas tunggal Pancasila bersifat ideologis, sedangkan tahun1995 saat
15 Hasil Muktamar Nasional ke-20 PII, (Jakarta, 1995). 16 Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997. 17 Suara Merdeka, 4 Mei 1996. Juga Berkas Registrasi PII, Jakarta: PB PII, 1997. 18 Ummat.
9
mereka mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri alasannya pragmatis.
Kedua fenomena yang tampak bertentangan ini tentunya menarik untuk dikaji.
Kemudian, bila diletakkan dalam konteks hubungan Islam dan Negara
Indonesia, fenomena PII juga menarik. Pertama, apakah dinamika PII sejalan
dengan dinamika hubungan Islam dan Negara ataukah sebaliknya, dan
bagaimanakah menjelaskan fenomena yang tampak bertentangan dalam tubuh PII
itu? Kedua, apakah politik akomodasi dapat menjelaskan fenomena PII pada satu
dasawarsa terakhir ini? Pertanyaan seperti ini akan berimpliksi kepada penjelasan
mengenai pola hubungan Negara denagn PII sebagai kelompok yang secara
formal berada di luar kerangka politik formal Orde Baru akibat penolakannya
terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila tahun 1985. Ketiga, fenomena
upaya PII memformalkan dirinya kembali ini mengingatkan kita pada upaya
Masyumi merehabilitasi dirinya pada awal Orde Baru. Meski di sisi lain dalam
beberapa hal dapat dibenarkan. Misalnya, dari segi afiliasi politik, PII dikenal
dekat dengan Masyumi. Bahkan, PII dikenal sebagai “Masyumi bercelana
pendek”.19
Di samping itu, ada perubahan suasana dari yang bersifat antagonistik
kepada suasana yang akomodatif dari era 1980-an hingga 1990-an. Kemudian, ada
lobby yang cukup intensif yang dilakukan PII kepada pihak-pihak pemerintah
yang sedang berkuasa. Upya mencermati lobby PII ini akan membawa kita kepada
kesimpulan yang menarik tentang peran masyarakat dalam berhubungan dengan
negara.
19 Istilah ini antara lain dipakai oleh AM. Fatwa. Lihat Republika, 10 Juli 1997.
10
B. Pembatasan dan Perumusan masalah
Pembatasan dalam penulisan ini berkisar tentang Hubungan dan
Pergerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan pemerintahan Orde Baru.
Adapun perumusan masalahnya adalah:
1. Dimanakah posisi PII dalam dinamika hubungan Isalam dan Negara dari
tahun 1980 hingga 1995?
2. Mengapa terjadi perubahan sikap PII dari menolak asas tunggal Pancasila
pada tahun 1985 menjadi menerima pada tahun 1995.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola
hubungan yang terjadi antara negara di era Orde Baru dan PII serta, meletakkan
dan menjelaskan posisi PII sebagai kelompok kaum muda Islam yang kritis, di
dalam dinamika politik Orde Baru.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi tersebut adalah:
1. Melihat kembali pola hubungan antara negara dan masyarakat di Indonesia
yang secara teoritik telah terkonstruksi.
2. Sebagai bahan pelengkap informasi mengenai pergerakan Islam di
Indonesia kontemporer, terutama pergerakan kaum mudanya.
D. Metode Penelitian
Data diperoleh melaui studi kepustakaan (library research) sebagai
sumbernya yaitu buku-buku, artikel, jurnal, majalah, internet, dan dokumentasi-
dokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan, dalam pembahasan
Dinamika hubungan dengan pemerintah Orde Baru, wawancara mendalam dengan
11
key information. Untuk sumber primer sebagi acuan penulis menggunakan Buku
karya Djayadi Hanan “Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara
Studi kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997.
Penelitian ini bersifat kualitatif. Maksudnya, mendekati perjalanan PII
dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau menginterprestasikan
fenomena PII sesuai dengan pemaknaan yang diberikannya.20 Data yang
digunakan juga bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang biasa berbentuk
kata-kata, bukan angka-angka.21
Selain itu, untuk pedoman penulisan skripsi ini, berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan
oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Demi mempermudah penelitian, pembahasan, dan penulisan skripsi ini,
maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I. Merupakan Pendahuluan yang membahas Latar Belakang, Tujuan dan
Kegunaan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Methodologi
Pembahasan, terakhir Sistematika Penulisan.
Bab II. Menelusuri dan melihat keadaan keadaan umat Islam Indonesia pasca-
kemerdekaan hingga lahirnya PII, dan bagaimana PII berkiprah hingga
menjadi sangat sering bersentuhan dengan politik.
20 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Loncoln,“Entering The Field of Qualitative
Research” (Handbook of Qualitative Research, California; SAGE Publication, Inc., 1994), hal, 2. 21 Mathew B. Miles, A. Michael Huberman, “Qualitative Data Analysis” (California:
SAGE Publicatyin, Inc., 1996), hal, 1.
12
Bab III. Adalah mengkonsepsikan peran dalam setting politik Orde Baru dan
bagaimana implikasi setting poltik Orde baru terhadap Islam
Bab IV. Merupakan pandangan atau ide-ide yang berkembang dan dikembangkan
di PII berkaitan dengan ideologi, kekuasaan, dan Negara (pemerintahan)
serta berbagai proses perkembangannya.
Bab V. Adalah Bab Penutup yang menyajikan Kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
LATAR BELAKANG PENDIRIAN, PEMBENTUKAN DAN
PENGKADERAN
A. Keadaan Umat Islam Pasca kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, memberikan tiga warisan kepada bangsa Indonesia. Warisan itu adalah
keadaan yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima
puluh tahun, warisan pemerintahan fasis Jepang, dan situasi internal bangsa
Indonesia akibat gabungan dari hal tersebut. Bagi Umat Islam, kemerdekaan yang
ada memang merupakan hal yang sangat disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat
Islam memang memiliki legitimasi historis untuk merasa paling berkepentingan
dengan kemerdekaan tersebut:1
1. Sebagian besar wilayah Nusantara dihuni oleh umat Islam dan hamper
disemua wilayah yang mayoritas Islam terjadi perlawanan yang sangat
gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang di daerah Jawa
pada umumnya, perang di Kesultanan Palembang, Kesultanan
Banjarmasin, Kerajaan Gowa dan Tallo, Kerajaan di daerah Ternate dan
Tidore, dan lain-lain.
2. Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan pelaksanaan syariat Islam
secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa umat
Islam harus memiliki kemerdekaan dan tanah air sendiri yang berdaulat.
1Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta :
Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976) hal, 5-7
12
13
3. Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelas-jelas dalam pandangan
Islam adalah kafir. Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah
sebuah jihad yang demikian besar dan mulia.
4. Umat Islam berjumlah mayoritas sehingga apabila kemerdekaan
dipandang sebagai penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islam-
lah yang akan mendapatkan kebaikan yang lebih banyak. Pemahaman
yang paling fundamental bagi umat Islam menunjukkan, bahwa penjajah
adalah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam dan fitrah manusia.
Di manapun dan kapanpun penjajah harus diperangi dan dibasmi.2
Penjajah Belanda yang bercokol demikian lama di Indonesia memiliki
kebijakan khusus berkenaan dengan Islam. Hal ini terjadi karena Belanda
menyadari sepenuhnya, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam
dan berarti pengaruh Islam merupakan variable yang tidak boleh dan tidak dapat
diabaikan. Pemerintah kolonial Belanda sejak lama sebetulnya sudah
mengkhawatirkan kekuatan Islam. Ajaran Islam yang utama dalam kehidupan
sosial yakni, amar ma’ruf dan nahiy munkar sangat berdimensi revolusioner.3
Pada dasarnya, dalam setiap agama manapun terlebih Islam mengajak
pemeluknya untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk
keburukan dan kejahatan dalam hidup. Belanda melihat bahwa Islam-lah yang
paling berkepentingan untuk menentang berbagai bentuk eksploitasi yang mereka
lakukan terhadap bangsa Indonesia. Dalam perspektif ini, Belanda beranggapan
bahwa ajaran Islam pada hakekatnya memang suatu revolusi yakni, revolusi
2lihat misalnya, Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”,
(Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6-7. 3 Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta :
Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6.
14
dalam menghapuskan dan menentang segala bentuk eksploitasi seperti
kapitalisme, imperialisme, komunisme, atau fasisme.4
H. Aqib Suminto5 menyimpulkan, bahwa Belanda melakukan tiga jenis
kebijakan politik terhadap Islam; Pertama. Kebijakan netral terhadap agama.
Kebijakan ini dalam prakteknya ternyata berbeda. Sampai tahun-tahun terakhir
kekuasaannya, pemerintah Belanda lebih banyak campur tanggan terhadap agama.
Kesulitan pemerintah Belanda bersikap netral karena politik-identitas antara Islam
dan Kristen. Pada umumnya, pemeluk Islam pasti orang bumiputra, sedangkan
Kristen pada umumnya dianut juga oleh penjajah.
1. Politik asosiasi kebudayaan. Inti politik ini menghendaki agar di bidang
kemasyarakatan bumiputra menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Belanda. Jalan yang ditempuh adalah melalui asosiasi dan pemanfaatan
adat serta asosiasi pendidikan.
2. Memberikan perhatian secara khusus dan serius pada perkembangan
paham tarekat dan pan-Islamisme. Bagi Belanda, dua gerakan paham ini
sangat potensial untuk menimbulkan fanatisme di kalangan umat Islam.
Ketiga kebijakan ini kemudian diadministrasikan oleh kantoor voor
Islandsche zaken, yakni suatu institusi yang berwenang memberikan
nasihat kepada pemerintah dalam masalah-masalah bumiputra.6
Sementara itu, menurut Adaby Darban inti kebijakan pemerintah kolonial
Belanda adalah melakukan usaha-usaha untuk menghalangi perkembangan dan
4 Mohammat Natsir, “Capita Selecta”, (Jakarta : Pustaka Pendis, 1957) hal, 23. 5 H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, (Jakarta : LP3ES, 1986) hal, 19. 6 H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, hal, 21
15
kebangkitan agama Islam dengan cara yang halus. Kebijakan ini ditempuh dengan
melakukan beberapa hal sebagai berikut:7
1. “Kristening politik’” yaitu, suatu usaha untuk melemahkan kekuatan
bumiputra dengan jalan memasukkan pengaruh agama lain dari tanah
jajahan. Menurut Stoddard,8 tindakan seperti ini dilaksanakan dengan
menggunakan kesucian agama untuk kepentingan busuk kolonialisme di
Indonesia. Hal ini dilakukan Belanda pada masa kekuasaan Gubernur
Jendral Idenburg. Pada masa inilah politik pengkristenan terhadap seluruh
penduduk Nusantara dilakukan sedikit demi sedikit secara teratur dan
terencana. Stoddard menambahkan, bahwa politik ini pada intinya
bukanlah untuk memperkuat kekuasaan penjajah di bumi Nusantara dalam
waktu selama mungkin. Politik model ini memang memungkinkan bila
mengingat perimbangan kekuatan penjajah yang kalah terhadap mayoritas
umat Islam. Atas dasar itu, maka pemerintah Kolonial Belanda
memberikan bantuan pembinaan dan pengembangan agama Kristen.
Melalui restu Ratu Belanda sejak tahun 1901, dibukalah Zending Kristen
untuk beroperasi di Indonesia. Tindak lanjut dari hal ini adalah dengan
mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Sekolah-sekolah Kristen inilah yang
memberikan andil yang cukup besar dalam menyokong perkembangan
agama Kristen di Indonesia, dan terutama dalam menyuksekan politik
pemerintah Kolonial Belanda.
7Bandingkan dengan, Drs. H. Ahmad Adaby Darban, S. U, “Refleksi Kilas Balik
Berdirinya PII” dalam HM. Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 229-239.
8 Lihat F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” (Jakarta : Gunung Agung, 1966), hal, 295.
16
2. Politik-asosiasi (associatie politik), yakni politik untuk menghubungkan
antara dunia Barat dan Timur. Dengan politik ini diharapkan kebudayaan
Barat akan mudah masuk ke Nusantara. Implikasi berikutnya tentu akan
membuat Belanda makin lama bercokol di Nusantara karena pengaruh
kedekatan kabudayaan tersebut. Politik ini dilaksanakan dengan
mengambil sebagian dari bumiputera untuk dididik dengan kehidupan dan
gaya budaya Barat. Selanjutnya, kelompok ini akan dijadikan sebagai
pegawai pemerintah atau orang-orang yang memegang kekuasaan guna
membantu pemerintah kolonial.9
Tokoh utama politik-asosiasi ini adalah Prof. Dr. Christian Snouck
Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang paham agama Islam. Melalui
pendidikan, para pelajar diupayakan untuk mulai jauh dan terpisah dari ajaran
agama mereka. Juga diupayakan agar para pelajar tidak akrab dengan nilai-nilai
patriotisme. Kecintaan akan segala hal yang berbau dan berpola Barat sangat
ditanamkan, khususnya yang berhubungan dengan Belanda. Dalam hal ini,
Belanda menundukkan kaum bumiputera yang mayoritas umat Islam.
Sementara itu, penjajahan Jepang selama sekitar tiga setengah tahun juga
meninggalkan berbagai persoalan yang banyak menimpa umat Islam pasca-
kemerdekaan. Pemerintah Jepang memang datang dengan mulut manis dan janji-
janji yang menyejukkan bagi bangsa Indonesia ketika itu. Pendaratan Jepang pada
tanggal 1 Maret 1942 yang disusul dengan penyerahan kedaulatan dari Gubernur
Jenderal Garda van Starkenborgh Stachhouwern, kepada Jenderal Imamura pada 8
Maret 1942 mulanya disambut dengan antusias oleh bangsa Indonesia. Dengan
9 F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” hal, 295-296
17
semboyan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon
Pelindung Asia), Jepang segera menarik simpati sebagian besar masyarakat
bumiputra.10
Dalam perjalanan selanjutnya, simpati masyarakat kapada Jepang itu
semakin memudar hingga akhirnya berbalik manjadi antipati. Ada tiga langkah
dan kebijakan yang dibuat Jepang hingga membuat rakyat menarik simpatinya
kembali.
1. Segera setelah berkuasa, Jepang memaksakan kehendak untuk mengubah
segala corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak
Jepang dan menghimbau PII untuk mematuhi akan larangan melanjutkan
segala bentuk kegiatannya. Pemuda dan pelajar dididik secara militer.
Mereka ini kemudian dimobolisasi ke dalam berbagai barisan militer
seperti Seinendan (untuk remaja), Keibondan (untuk pemuda), Fujinkai
(untuk pemudi), dan Hanco (untuk kalangan dewasa). Ringkasnya,semua
diberi corak Jepang.
2. Jepang melaksanakan kerja paksa (romusha) dan menjerat kaum
perempuan Indonesia menjadi budak seks (jugun ianfu) bagi tentara
Jepang. Di zaman Belanda, rakyat mengenal kerja rodi yang juga
merupakan kerja paksa. Para romusha ditempatkan di berbagai pangkalan
militer dan kubu-kubu pertahanan. Untuk menghadapi perlawanan rakyat,
maka dibentuk Kempei Tai (Polisi Militer) yang sangat terkenal sebagai
algojo-algojo Jepang super kejam.
10 F.L. Stoddard, “Dunia Baru Islam” hal, 295
18
3. Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan
sekere yakni penyembahan Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap pagi
dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang. Secara aqidah, umat Islam
tidak dapat menerima hal itu karena sama dengan mengantarkan orang
untuk cenderung berbuat musyrik, yaitu salah satu dosa besar yang ada
dalam ajaran Islam.11
Selain ketiga perilaku kejam yang telah dilakukan Jepang, masih ditambah
lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Pemerintah Bala Tentara
Jepang. Undang-undang ini berisi larangan terhadap segala pembicaraan dan
pergerakan, serta anjuran yang bersifat propaganda.
Melihat perilaku Jepang yang semula memberi harapan ini, akhirnya
rakyat Indonesia-terutama umat Islam berkesimpulan, bahwa bangsa berkulit
kuning ini tidak kalah jahatnya dengan bangsa penjajah terdahulu. Bahkan,
terkesan lebih biadab. Inilah yang menyebabkan rakyat menjadi sangat antipati
terhadap Jepang.
Apa yang dilakukan Belanda dan Jepang terhadap Indonesia itu
menghasilkan reaksi yang sama dari umat Islam. Dengan semangat amar-ma’ruf
nahiy munkar umat Islam bangkit sekalipun harus bergerilya dengan segala
tantangan dan kesulitan. Di sini ada anggapan, bahwa pembinaan agama Islam
menjadi factor yang sangat penting hingga kemudian bangsa Indonesia dan umat
Islam memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945.12
11Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII
Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 231-239.
12 Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” hal, 229-239.
19
Secara internal, di kalangan umat Islam sendiri ada berbagai masalah
serius yang harus diselesaikan. Perjuangan umat Islam di Indonesia telah sejak
lama dilakukan. Terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
kedua bangsa penjajah yang bercokol sangat lama. Perjuangan umat Islam
terutama dalam kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai komunitas politik
mulai menghebat sejak awal abad ke-20 dengan munculnya berbagai organisasi.
M. Rusli Karim13 membagi perjuangan itu kedalam era sebelum dan sesudah
merdeka. Pada era sebelum merdeka terdapat tiga jenis organisasi Islam yakni;
1) Syarikat Islam.
2) Muhammadiyah dan
3) Nahdlatul Ulama.
Di samping itu, keberadaan organisasi ini digolongkan sebagai fase awal
perjuangan umat Islam. Selanjutnya, perjuangan umat memasuki fase ideologis
yakni, saat adanya elaborasi berbagai pandangan tentang Negara Islam dan
perjuangan idoelogis pada masa pendudukan Jepang. Fase perjuangan ideologis
ini menurut M. Rusli Karim, berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka
yang dapat dibagi ke dalam tahap:14
1) Perjuangan tahun 1945.
2) Perjuangan pada fase demokrasi liberal.
3) Perjuangan pada fase demokrasi terpimpin.
4) Perjuangan-perjuangan setelah atau pascademokrasi terpimpin.
Polemik ini memunculkan pola-pola perjuangan yang diidentifikasikan
oleh M. Rusli Karim menurutnya, itu tidak lepas dari adanya berbagai perbedaan
13 M. Rusli Karim, HMI MPO “Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1997), hal, 53-54.
14 M. Rusli Karim, HMI MPO “Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, hal, 54.
20
pandangan dan pengalaman di kalangan umat Islam. Perbedaan itu umumnya
berkenaan dengan masalah khilafiyah yang sering kali dibesar-besarkan.15 Tidak
jarang justru membawa perpecahan. Seperti telah diuraikan di muka, Belanda
dengan strategi polotiknya berhasil memperbesar perbedaan dan perpecahan itu.
Bahkan, memelihara dan meningkatkan intensitasnya.
Sisi lain, umat Islam yang telah terpecah-belah dikemudian hari berupaya
untuk bersatu. Dan gagasan ini mewujud pada tanggal 21 September 1937 dengan
terbentuknya Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Akan tetapi, MIAI ini tidak
berumur panjang karena para anggotanya tidak kompak atau menyatu.
Dengan konteks ini keberadaan umat Islam yang telah diuraikan di atas,
maka umat Islam pasca kemerdkaan menghadapi keadaan sebagai berikut:
1) Umat Islam tetap terpecah-belah ke dalam berbagai organisasi dan
golongan berdasarkan kategori mazhab atau aliran tertentu.
2) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya harus bersiap-
siap menghadapi kembalinya para penjajah ke tanah air melalui berbagai
cara. Padahal, tugas berat dan utama yang harus segera diselesaikan oleh
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka adalah menyiapkan
pengelolaan Negara secara politis maupun secara social dan
administratif.16
3) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya belum memiliki
kesiapan yang memadai untuk mengelola Negara. Keadaan ini terutama
15 Lihat Habibullah,”Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah
Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah” makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986).
16 Habibullah, makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986).
21
disebabkan oleh kondisi pendidikan bangsa Indonesia yang masih sangat
memprihatinkan.17
B. Motivasi Dasar Pendirian Pelajar Islam Indonesia
Dengan dilatarbelakangi keadaan bangsa sebelum kemerdekaan, pendirian
organisasi Pelajar Islam Indonesia dimotivasi oleh dua hal.
1) Motivasi ke-Islam-an.
2) Motivasi Kebangsaan.
Adapun, kebijakan politik Belanda dan Jepang terhadap umat Islam dan
bangsa Indonesia sangat berpengaruh kepada generasi muda, utamanya para
pelajar. Akibat politik-asosiasi, misalnya, banyak pelajar Indonesia yang
mendapat pendidikan kurikulum Belanda. Terdapat perbedaaan antara pelajar
didikan Belanda dengan pelajar hasil didikan Tradisional di Indonesia yang
mengutamakan pendidikan Pesantren. Para pelajar didikan Barat umumnya
memiliki pandangan dunia yang lebih luas (rasional) terutama berkenaan dengan
dunia Barat. Di samping itu, mereka juga cenderung banyak meniru Barat dalam
pola hidup maupun budaya pribadi, seperti terlihat pada cara berpakaian, bersikap,
dan tingkah laku sehari-hari. Umumnya, pandangan dan rasa keagamaannya
terkikis seiring dengan perubahan cara berfikir dan cara menyikapi agama. Bagi
17 Lihat habibullah, makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember
1986). dan bandingkan dengan, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-
bayang Negara” (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006) hal, 54.
22
mereka, hidup haruslah diorientasikan pada dunia, bukan pada Tuhan (religion)
yang hanya berorientasi pada akhirat.18
Terdapat sisi positifnya yang dapat diambil dari hasil pendidikan Barat,
misalnya pada metode penggunaan gaya modern, misalnya memakai kurikulum
dan kelas. Metode ini dapat memberikan keteraturan dan kedinamisan. Sementara
sisi negatifnya terletak pada kemerosotan rasa patriotisme dan masuknya paham
sekularisme ke dalam pikiran para pelajarnya. Dari sisi pekerjaan, umumnya
pelajar hasil pendidikan gaya Belanda ini menjadi pegawai rendahan pada
pemerintah kolonial Belanda. Keadaan seperti ini tentu saja akan mengancam
perkembangan bangsa dan umat Islam ke depan.19
Di satu sisi, untuk mempertemukan dan menyatukan kedua kutub pelajar,
agar terjalin keharmonisan antara keduanya sebagai sesama Muslim. Atas dasar
ini yang menjadi salah satu latar belakang pendirian organisasi Pelajar Islam
Indonesia.
Sementera itu, pada zaman Jepang, akibat adanya tekanan-tekanan
terhadap kemurnian aqidah oleh pemerintahan Jepang (terutama karena adanya
keharusan melakukan sekerei sebagai keinginan Jepang), maka umat Islam pun
menggencarkan pendalaman aqidah bagi para pelajar Islam. Gerakan ini
dilakukan terutama di kampung-kampung dan di sekolah-sekolah melalui
pendidikan agama dan pelaksanaan shalat fardhu secara barjamaah. Adanya
aktivitas keagamaan di sekolah inilah yang turut memberikan andil bagi
18Seperti dituturkan Amin Syahri kepada Bapak Ahmad Adaby Darban, tanggal 11
September 1975 di Kompleks Mu’allimin Jalan Patangpuluhan. Lihat Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 11.
19 Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 11.
23
kelancaran dan keberhasilan ide pendirian PII.20 Akan tetapi, ada hal yang
berhubungan langsung sebagai latar belakang berdirinya PII, yakni berdirinya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).21 Sejak HMI didirikan pada 5 Februari
1947, Anton Timur diminta oleh Lafran Pane (pendiri HMI) menjadi Sekretaris
Jendral hingga Kongres I. Anggota-anggota HMI umumnya menempuh
pendidikan menengah pada zaman Belanda. Dengan demikian, mereka lebih
memiliki dasar-dasar tradisi akademik dari pada para santri. Mereka lebih siap
masuk ke Perguruan Tinggi Umum daripada ke Perguruan Tinggi Islam. Dari
HMI inilah Anton Timur, sebagai Pendiri PII mengaku memperoleh tradisi
berpikir akademik yang kemudian dapat digunakan sebagai pisau analisis. Ia pun
merasa lebih terarah dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an.22
Dari uraian di atas, terlihat bahwa motivasi ke-Islam-an yang mendorong
pendirian PII didasari oleh keprihatinan terhadap keadaan umat Islam, yang bila
dibiarkan seperti saat itu akan mengalami kebekuan. Sementar itu, motivasi
kebangsaan muncul dari keprihatinan para pendiri PII terhadap nasib bangsa
Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan yang sangat lama. Dalam jangka
pendek dan panjang, menurut mereka, bangsa ini pasti memerlukan wadah yang
dapat menjadi penjaga keutuhannya sekaligus penyedia kader-kader pengganti
para pimpinannya.
20 Seperti dituturkan oleh Anton Timur Djaelani dalam wawancara pada tanggal 30 April
1997, di Kramat Raya Nomor 9 Jakarta Pusat. 21 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke
Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997. 22 Lihat Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 10-11.
24
C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia
Pada tanggal 25 Februari 1947, Yoesdi Ghozali sedang beri’tikaf di
Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Ketika itu, dalam pikirannya terlintas gagasan
untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi
segenap lapisan pelajar Islam yang saat itu belum terkoordinasi. Gagasan tersebut
disampaikannya kepada kawan-kawannya saat pertemuan di gedung SMP Negeri
2 Sekodiningratan, Yogyakarta. Selain Yoesdi Ghozali, hadir juga Anton Timur
Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasyi, dan Noersyaf. Semua yang hadir ini
sepakat untuk mendirikan organisasi Pelajar Islam.23
Di sisi lain, dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang
dilaksanakan pada tanggal 30 Maret hingga 1 April 1947, Yoesdi Ghozali
mengemukakan gagasan tersebut kepada para peserta kongres. Setelah melalui
proses perdebatan karena perbedaan pandangan, akhirnya peserta yang menyetujui
ide ini lebih banyak. Oleh karena itu, kongres kemudian memutuskan untuk
melepas GPII sayap pelajar guna bergabung ke organisasi Pelajar Islam yang akan
dibentuk. Utusan Kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta
untuk memperlancar berdirinya organisasi khusus Pelajar Islam.24
Kemudian, Ahad tanggal 4 Mei 1947 digelar pertemuan di kantor GPII,
jalan Margomulyo No. 8 Yogyakarta. Dalam pertemuan itu hadir Anton Timur
Djaelani dan Amin Syahri mewakili GPII sayap pelajar yang siap untuk dilebur ke
dalam organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Di sana juga telah hadir
Yoesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan wakil-wakil organisasi Pelajar Islam lokal
yang telah ada. Mereka adalah Yahya Ubeid dari persatuan Pelajar Islam
23 Lihat, Lihat misalnya, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 57.
24Djayadi Hanan, hal 57-59
25
Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari penggabungan Kursus Islam
Sekolah Menengah (PERSIKEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA
dari perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Dalam pertemuan
yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itulah diputuskan berdirinya organisasi
Pelajar Islam Indonesia (PII). Tepatnya pada pukul 10.00 WIB tanggal 4 Mei
1947.25
Dalam pertemuan anggota GPII, maka ditetapkan Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PII. Juga ditetapkan susunan pengurus
Besar PII periode pertama, yang terdiri atas Yoesdi Ghozali sebagai ketua umum,
Thoha Mashudi sebagai Wakil I, Mansur Ali sebagai Wakil II, Ibrahim Zarkasyi
sebagai Sekretaris Jenderal, Karnoto sebagai Bendahara, Amin Syahri sebagai
Bagian Pendidikan, dan Anton Timur Djaelani sebagai penanggung jawab Bagian
Penerangan.26
Yoesdi Ghozali sebagai penggagas berdirinya PII ternyata juga telah
menyiapkan lambing organisasi ini.27 Usulan Yoesdi Ghozali pun langsung
disetujui oleh peserta yang hadir dalam pertemuan itu tanpa memerlukan
perdebatan panjang. Demikianlah tampaknya dunia pelajar. Sedangkan hadirin
yang lebih tua, termasuk Anton Timur Djaelani yang saat itu telah menjadi
mahasiswa juga menyetujui.
25 Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 58-60 26 Muzakkir, “Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia” (Yogyakarta,
1979), hal, 55. 27 Lihat juga HM Joesdi Ghozali, S.H., “Dunia Pelajar Islam Indonesia”; “Dasa Warsa
PII”; dan Lagu-lagu PII,” dalam Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 19-34; 114-115; 116-120.
26
Lambang PII ketika itu terdiri dari warna hijau yang menunjukkan, bahwa
dalam mencapai cita-citanya, Islam dijadikan sebagai lambing perdamaian. Lalu,
ada warna biru yang melambangkan kesetiaan PII kepada cita-citanya itu. Warna
merah putih menunjukkan lambing kebangsaan Indonesia. Bulan-bintang
menunjukan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperjuangkan PII, dan kubah
yang tinggi membumbung dengan lengkungan membusung melambangkan
keagungan dan kebesaran Islam. Jadi, lambing PII itu berupa bangunan yang
menunjukkan bahwa PII mendirikan organisasinya di atas landasan yang kokoh-
kuat. Intinya, lambing PII itu merupakan implikasi dari motivasi dan orientasi
pendiriannya.28
Pada dasarnya, orientasi awal berdirinya PII bersifat jangka panjang di
didang pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, segera setelah berdirinya
organisasi ini langsung menghadapi kenyataan lain. Bersama komponen umat
Islam dan bangsa Indonesia lainnya PII harus ikut terjun kedalam revolusi fisik
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada sisi lain, berdirinya PII mendapatkan reaksi dan IPI (Ikatan Pelajar
Indonesia), yaitu organisasi pelajar yang bersifat umum dan telah ada sebelumnya.
Mereka menilai bahwa pendirian PII akan menimbulkan perpecahan dikalangan
pelajar. Oleh karena itu, diadakanlah pertemuan antara Pelajar Islam Indonesia
(PII) dan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung
Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hasil pertemuan ini dituangkan
dalam “Piagam Malioboro” yang isinya antara lain tentang pengakuan hak hidup
PII oleh IPI. Penandatanganan piagam tersebut adalah Sekjen PB IPI Busono
28 Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa
Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 116-120.
27
Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasy. Selanjutnya, di mana ada IPI, maka
di situ akan didirikan PII. Keberadaan IPI ketika itu sudah terdapat di seluruh
wilayah Indonesia, khususnya di semua sekolah menengah. Anggota IPI yang
beragama Islam Kemudian membantu berdirinya PII. Sebaliknya, PII juga
bersedia bekerjasama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan secara
kolektif dan bersifat nasional. Dalam perjalanan kedua organisasi itu kemudian
terlihat perkembangan yang menunjukkan kemajuan PII lebih pesat daripada IPI.
IPI kemdian berubah nama menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan
lebih berorientasi pada soal kepemudaan hingga belakangan mulai terpengaruh
paham komunis. Atas dasar itu, PII tidak lagi melanjutkan kerjasama dengan IPPI,
terutama sejak dipimpin oleh Suyono Atmo.29
PII selanjutnya melakukan konsolidasi. Guna menggalang persatuan
seluruh elemen anggota dalam organisasinya, PII menyelenggarakan Kongres I di
Solo pada tanggl 14-16 Juli1947. Hair antara lain utusan dari Jakarta, Aceh,dan
beberapa daerah di Pulau Jawa. Keputusan pentingnya adalah pengesahan
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan pemilihan
Pengurus Besar PB (PII). Susunan pengurus besar yang terpilih adalah Noersyaf
(Ketua Umum), Yoesdi Ghozali (Ketua I), Tedjaningsih (Ketua II), Ibrahim
Zarkasy (Sekretaris Jenderal), Karnoto (Bendahara), Anton Timur Djaelani
(Bagian Penerangan), dan Amin Syahri (Bagian Pendidikan).
Selang beberapa hari setelah Kongres PII digelar, terjadi agresi militer
Belanda I tanggal 21 Juli 1947. Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun,
kembali harus menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya, PB PII tidak dapat
29 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.
28
melanjutkan konsolidasi kepengurusannya. Ketua umum PB PII Noorsyaf pulang
ke Bandung untuk bergerilya. Pengurus-pengurus PII yang lain juga pulang
kampung untuk melakukan hal yang sama. Anggota-anggota PII pun banyak yang
bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar,
Mujahidin, Angkatan Perang Sabil dan sebagainya. Kesemuanya dimaksudkan
untuk membantu perjuangan untuk mengusir tentara Belanda. Kondisi inilah yang
menandai perubahan model perjuangan PII dari model perjuangan yang
menggunakan pena menjadi model perjuangan yang menggunakan bedil di medan
tempur.30
Di satu sisi, keikutsertaan PII dalam revolusi fisik ini menunjukkan, bahwa
PII adalah organisasi pelajar yang lahir dalam kobaran api revolusi. Pena dan
bangku sekolah ditinggalkan sementara dan beralih ke pemanggulan senjata untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Namun, perubahan cara berjuang yang dipengaruhi oleh situasi nasional
ini melatarbelakangi terbentuknya Brigade PII. Keputusannya ditetapkan dalam
konferensi Besar I tanggal 4-6 November 1947 di Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur.31 Konferensi ini diselenggarakan untuk meninjau ulang beberapa program
PII hasil kongres I beberapa bulan sebelumnya, terutama yang berhubungan
dengan pertahanan Negara. Konferensi Besar I inilah yang terkenal sebagai
konferensi perjuangan dengan acara pokok “sumbangan PII dalam pertahanan dan
pembelaan nagara”. Peserta yang menghadiri konferensi terbatas ini hanyalah
daerah-daerah yang secara de Facto di kuasai Republik Indonesia. Keputusan
penting Konferensi Besar I adalah membentuk sayap bersenjata dalam organisasi
30 Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V di Kediri, Kedai PII (Ngabean, Yogyakarta), hal, 9. 31 Lihat HA. Halim MA Tuasikal,” Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres,” majalah
Berita Pelajar Islam Indonesia, (Tahun II Nomor 1, Januari 1956).
29
PII dan dinamakan Brigade PII. Komandannya yang pertama adalah Abdul Fatah
Permana dan dibantu oleh beberapa orang staf. Fungsi Brigade PII adalah untuk
menyalurkan “bakat ketentaraan” anggota-anggota PII. Anggota-anggota PII yang
sebelumnya berada di kesatuan Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah,
Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan lain-lain, diminta untuk
menggabungkan diri dari kesatuan Brigade PII. Tugas mereka adalah melakukan
fungsi-fungsi brigade dan berhubungan dengan pemerintah melalui Biro
Perjuangan Kementrian Pertahanan.
Meskipun, PII telah berpengalaman menghadapi Agresi Militer I Belanda,
namun ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, PB PII tetap kalang kabut
juga. Satu sisi, saat pembentukan pemerintah Darurat R.I. di sumatera pimpinan
Mr. Syarifuddin Prawiranegara, PB PII juga membentuk pimpinan darurat di
Sewugalur, Kulon Progo, Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena Gedung Kamar
Bola sebelah timur kantor PB PII dibakar. Untuk pengamanan organisasi,
dokumen-dokumen PII juga dibakar, sedangkan anggota-anggota PB PII ikut
bergerilya ke pelosok-pelosok daerah mengikuti Panglima Besar Jenderal
Soedirman. A. Fatah Permana (Komandan Brigade PII) dan Anwar Haryono
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia/GPII) saat itu telah menjai kurir Jenderal
Soedirman.32 Meski demikian, Jenderal Soedirman telah menjadi bagian dalam
salah satu saksi sekaligus pemberi legitimasi keterlibatan PII dalam pergerakan
dan perjuangan kemerdekaan bangsa.
32 Penghargaan dan rasa terima kasih Paak Dirman atas partisipasi PII ini diilustrasikan oleh ucapan Pak Dirman pada hari ulang tahun PII yang pertama. Ucapan itu berbunyai : “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII. Sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang diberikan PII kepada Negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII. Negara kita adalah Negara baru, yang didalamnya penuh onak dan duri. Kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”. Lihat Yoesdi Ghozali, “ Tiga Tahun Berorganisasi,” artikel lepas, (Yogyakarta, 1950), hal, 5.
30
Keterlibatan PII dalam pergulatan politik bangsa Indonesia kembali
intensif ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September
1948. Bagi PII, tindakan PKI ini merupakan tikaman dari belakang pada saat
bangsa Inonesia sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan
Belanda. Dengan demikian, PII ikut terpanggil menumpas pemberontakan PKI
ini. Komandan Brigade PII madiun, Suryosugito33 adalah yang gugur sebelim
pasukan TNI Divisi Siliwangi tiba.
Di bagian lain, pada tanggal 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta
dilangsungkan Kongres Muslimin Indonesia. Kongres ini adalah kongres ke-15
umat Islam. Empat belas kongres sebelumnya dilaksanakan pada zaman Belanda.
Kongres ini berhasil membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)34
yang bersifat federatif. Terpilih Gaffar Ismail sebagai Sekretaris Jenderal dan
Anwar Haryono serta Wali Al-Fattah sebagai wakil. Yoesdi Ghozali (PII) juga
aktif dalam BKMI ini. Akan tetapi, perkembangan politik berikutnya tidak
memungkinkan BKMI ini dapat eksis lebih lama.
Berkaitan dengan Kongres Musllimin Indonesia di atas, PII telah
mengadakan kongres pendahuluan pada tanggal 21-23 Desember 1949 di tempat
yang sama dan dihadiri oleh utusan berbagai daerah. Lalu, dalam Kongres
Muslimin Indonesia itu PII mengambil peran penting dengan mencetuskan Panca
Cita yang berisi lima butir pernyataan tekad dan keyakinan yakni;
1) Partai Politik Islam hanya satu yaitu Masyumi
33 Pengakuan Peran PII dalam menghadapi PKI di Madiun Affar ini juga diberikan oleh
Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Lihat A.H. Nasution, “Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal,” artikel yang ditulis untuk penerbitan buku Sejarah PII, 27 Juni 1997.
34 Taufik Ismail, “ Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965.” Artikel untuk penerbitan buku Lima Puluh Tahun PII, 1998, hlm.3.
31
2) Organisasi Pemuda Islam hanya satu yaitu GPII
3) Organisasi Mahasiswa Islam hanya satu yaitu HMI
4) Organisasi Pelajar Islam hanya satu yaitu PII
5) Organisasi Pemandu Islam hanya satu yaitu Pandu Islam Indonesia.35
Dalam Panca Cita ini kemudian menjadi semacam ikatan moral yang
sangat kuat dan menjadi salah satu dasar pemersatu berbagai komponen umat
Islam untuk bergerak di segala arena. Dalam perkembangan berikutnya, pada
Kongres VIII PII di Cirebon tanggal 20-25 Juli 1960, disepakati pula satu
keputusan penting berkaitan dengan formulasi tujuan PII. Semula tujuan PII
berbunyi,“kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam”. Di
samping itu ditambah dengan kata-kata “dan umat manusia”.36
Pada masa kepengurusan PB PII periode Kongres inilah tekanan-tekanan
dari situasi politik eksternal seperti dari penguasa rezim Demokrasi Terpimpin
mulai menguat. Ketika tekanan-tekanan dan intimidasi yang dialami PII dari
rezim Demokrasi Terpimpin itu makin lama makin keras, maka pada tanggal 4
September 1963 PII masuk Front Nasional dan mengurus Moh. Husnie Thamrin
sebagai wakilnya. Situasi politik eksternal di atas justru mendorong PII untuk
menegaskan jatidirinya sebagai organisasi perjuangan. Lantas, pada Konferensi
Besar VI PII di Jakarta (Juli 1961) tercetuslah Ikrar Jakarta yang menyatakan
secara tegas bahwa “PII adalah mata rantai perjuangan umat Islam Indonesia”.37
Situasi politik eksternal PII yang dimaksud adalah makin luas dan
kokohnya dominasi PKI dalam berbagai sektor kehidupan social politik
35____ “Berita Pelajar Islam Indonesia” (Januari 1956), hal, 20. 36___ “Berita Pelajar Islam Indonesia” PB PII Bagian Penerangan, 1960, hal, 5. 37 Lihat Sri Syamsiar Issom, Korps PII Wati, “ Upaya Mobilisasi Kader PII Putri
Menjawab Tantangan Situasi,” makalah untuk penulisan Sejarah PII, (Jakarta, 31 Maret 1998).
32
masyarakat. Dengan dilatarbelakangi hal ini dan situasi intern PII ketika itu, maka
PB PII periode Ahmad Djuwaeni (hasil Muktamar IX di Medan tahun 1962)
mengeluarkan Khittah Perjuangan PII. Khittah ini memberikan semacam rambu-
rambu agar garis perjuangan yang dilakukan PII kian jelas karena bersifat jangka
panjang, sementara pengurusnya selalu berganti-ganti sesuai batas periode
kepengurusan.38
Pada Konferensi Besar VII PII tanggal 13-18 Oktober 1963 di Bandung,
PII secara nasional sepakat menolak Manifesto Politik (manipol) yang menjadi
garis politik pemerintah karena bertentangan dengan Islam dan berorientasi paham
komunis. Sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan PII terhadap rezim ketika itu
makin memperluas jurang perbedaan antara PII dengan pemerintah.39
Hal-hal ini yang kemudian mengantarkan PII ke peran yang lebih besar
dalam menumbangkan Orde Lama. Dengan demikian, bagi Pelajar Islam
Indonesia (PII), kewajiban pelajar itu tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu duniawi
(umum), tetapi juga ilmu-ilmu ukhrowi. Atau, ilmu-ilmu mengenai batin dan
ilmu-ilmu mengenai zahir, yang rasional dan menggunakan otak. Jadi, dalam
organ pelajar Islam itu terkumpul lengkap dua macam kepentingan ilmu yaitu
ilmu-ilmu rohani dan ilmu-ilmu jasmani.
Di satu sisi berangkat dari pemahaman penulis bahwa, kata “siswa” tidak
digunakan karena berasal dari bahasa Sansekerta, dan munculnya kata itu pun
karena ada kata “mahasiswa”.40 Jadi, pada waktu berdirinya PII, kata “siswa”
38 Ahmad Djuwaeni, “ Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya
Menegaskan Missi,” makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni 1997). 39 Ahmad Djuwaeni, makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni
1997). 40 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke
Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.
33
belum digunakan. Sementara, kata “pelajar“ mempunyai arti yang lebih luas dan
mendalam. “Pelajar” yang dimaksudkan di sini adalah kelompok yang belajar
mulai dari tingkat ibtid’iyah (SD), tsanawiyah (SLTP) hingga ‘aliyah (SMU).
Sementara, belajar merupakan kewajiban bagi semua orang. Sedangkan kelompok
yang telah memasuki perguruan tinggi memang namanya “mahasiswa” dan
“pelajar“ dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni student
sehingga secara implisit PII menamakan semuanya sebagai “pelajar“. Akan tetapi,
PII memang lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok anak Sekolah
Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk pelajar sekolah persiapan.
Pengurus PII bisa saja telah menjadi mahasiswa, tetapi tidak diprioritaskan karena
sudah ada HMI yang mewadahinya dan lebih dulu berdiri.
D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan
Seorang Muslim meyakini bahwa sumber kekuasaan yang mutlak adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai kholifah, manusia hanya diberi mandat oleh
Allah untuk mengelola bumi dengan petunjuk dan kehendak-Nya. Pemanfaatan,
pengembangan, dan pendistribusian kekuasaan (allocation of power) harus berada
dalam kerangka pengabdian kepada Allah.41 Sumber-sumber hukum yang
mengatur kekuasaan ini secara hirerarkis adalah al-Qur’an, Sunah Rosul, dan
ijtihat dalam produk-produk hukum yang dikembangkan manusia dengan
bersandar pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunah Rosul (al-hadits).42
Kekuasaan atau posisi seseorang di tengah masyarakat sangat terikat pada
hirerarki ketaatan kepada Allah dan Rasul, dan lalu ketaatan pada pemimpin dan
41 Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 100
42 Lihat, Djayadi Hanan, hal 100. Lihat juga, Q.s. Adz-Dzaariyat, ayat 56
34
pemegang kekuasaan lainnya.43 Oleh karena itu, legimitasi (keabsahan) pemegang
kekuasaan dalam masyarakat atau Negara diukur sjauh tetap berlandaskan pada
ajaran Allah. Bila kekuasaan seseorang telah abash menurut aqidah dan qaidah
Islam, maka setiap muslim wajib mendukung dengan memberikan ketaatan,
kepatuhan, dan partisipasi sekaligus control berdasarkan ajaran al-Qur’an pula.
Apabila kekuasaan seseorang itu secara terang-terangan atau terselubung
menentang syari’ah Allah, maka secara otomatis pemegangnya kehilangan hak
ketaatan dari rakyat. Terhadap penguasa yang telah melakukan pelanggaran hak
dan kezaliman yang berat pada rakyat, umat Islam wajib melakukan perubahan
sesuai potensi dan kemampuan masing-masing. Siapapun yang tidak setuju
dengan kezaliman dan kekuasaan sewenang-wenang itu, baik secara terang-
terangan maupun diam-diam, terbebas dari tanggungjawab di akhirat. Sebaliknya,
bagi siapapun yang setuju atau mendukung kezaliman dan kesewenagan ini, akan
menanggung siksa di akhirat.44
Berkaitan dengan siapa yang harus ditaati setelah Allah dan Rasul, ada
penekanan husus yaitu kepada para pemimpin “diantaara kamu” (minkum), bukan
“diantara mereka” (minhum).45 Berarti, pemimpin itu haruslah dari kalangan
orang-orang beriman yakni orang yang memiliki komitmen pada Allah dan atuan-
Nya.
43 Menurut Al-Quran, apabila engkau berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul. Lihat., materi-materi training PII, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan idiologi.
44 Lihat., materi-materi training PII 45 Lihat, Mutamimul Ula, “Kepemimpinan Dalam Islam” (Jakarta: STDI RISKA, 1986)
hal, 5
35
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang melarang penyerahan kepemimpinan
itu pada orang di luar Islam46 seperti larangan mengikuti jalan (metode) di luar
orang beriman; larangan menjadikan setan menjadi penolong; larangan
menjadikan orang kafir sebagai wali; larangan menjadikan sanak-saudara dan para
orang tua yang condong kepada kekufuran sebagai pemimpin orang beriman;
larangan tunduk kepada manusia secara berlebihan; dan sebagainya.
Sikap PII terhadap pemerintah digariskan dalam Khittah Perjuangan yang
menyebutkan, bahwa “Pelajar Islam Indonesia (PII) bersedia atau dapat
membantu kebijaksanaan pemerintah secara paratisipatif, korektif, dan konstruktif
selama menguntungkan Islam dan umat Islam.”47 Garis besar dasar-dasar
pandangan PII terhadap kekuasaan ini tercermin sikap-sikapnya pada situasi
tertentu dari zaman ke zaman.
E. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia
PII bertipologi sebagai organisasi kader sekaligus sebagai organisasi
massa (pelajar). Dalam pembangunan pemikiran, sikap, dan watak organisasi PII,
proses kaderisasi memegang peranan yang sangat penting. Hal ini juga ditunjang
oleh pengembangan sistem kaderisasi yang dilakukan secara terus-menerus
dengan kurikulum yang selalu dikembangkan.
Pengembangan sistem kaderisasi PII telah dimulai sejak tahun 1952
dengan nama Latihan Kader. Kegiatannya dilaksanakan secara sederhana tanpa
konsepsi yang terencana dan tanpa standarisasi yang baik. Pola kaderisasi ini terus
46 Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara”
(Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 102 47 Lihat, Khitah Perjuangan PII, bandingkan dengan Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda
Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 103
36
dikembangkan baik dari segi sistem, kurikulum, maupun pelaksanaannya. Dari
segi pengembangan konsep, kaderisasi PII dapat dibagi ke dalam dua periode
yaitu sebelum 1990-an dan sesudah 1990-an. Sedangkan dari segi pelaksanaannya
dapat dibagi menjadi masa sebelum 1985, masa 1985 hingga awal 1990-an, dan
masa sesudah 1990-an.
Pengembangan konsep kaderisasi PII sebelum 1990-an mendapatkan
bentuk yang sesuai sejak tahun 1979 hingga berbentuk panduan dan silabus pada
tahun 1985. konsep ini ditinjau dan diperbarui kembali pada tahun 1997, dan
diberi nama Takdib.48
Sesuai tujuannya, kegiatan kaderisasi merupakan bagian dari usaha
pendidikan PII. Pada hakikatnya kader adalah seseorang yang disiapkan untuk
mengemban tugas masa depan dengan kemampuan, kualitas, dan kualifikasi
tertentu. Kader adalah anggota inti organisasi dan diharapkan mampu bersikap
idealis sekaligus realistik.56 “Idealis” di sini berarti senantiasa berusaha mengubah
keadaan yang ada ke arah kondisi yang lebih baik dan ideal, serta tidak boleh
putus asa menghadapi realitas yang pahit sekalipun. Sedangkan “realistis” berarti
mampu melihat realitas dan berpijak tegar di atasnya.
Jadi, kaderisasi adalah kebulatan proses yang mengarah pada terciptanya
kader-kader atau anggota inti organisasi yang berlangsung mulai dari rekrutmen
anggota, pembinaan hingga pelaksanaan tugas-tugas, atau dalam bentuk seluruh
kegiatan PII yang ada hubungannya dengan kegiatan anggota.49 Oleh karena itu,
ada dua jenis kader yang mengikuti dan menggerakan organisasi PII. Pertama,
kader material yakni mereka yang melakukan usaha dan program kerja dengan
48 Lihat, Muhamad Jauhari, “Konsep Kader PII” (Jakarta: Panitia CIN, 1982) 49 Taufik DAhlan, “Sistem Kaderisasi PII” (Jakarta: Panitia CIN, 1982) hal, 1
37
atau tanpa melalui training-training formal. Kedua, kader formal yaitu kader yang
telah mengikuti dan mempunyai piagam training formal PII. Seluruh kegiatan PII
sesungguhnya merupakan proses kaderisasi, namun secara khusus kegiatan
kaderisasi dilangsungkan melalui training. Melalui kaderisasi inilah diharapkan:50
a. Tumbuh dan berkembangnya suasana untuk berjuang di jalan Allah
sehingga melembaga menjadi suatu norma.
b. Berkembangnya kesadaran untuk senantiasa melaksanakan ajaran
Islam hingga menjadi norma kelompok.
c. Tumbuh dan suburnya hasrat untuk selalu sukses-studi sehingga setiap
kader senantiasa berusaha untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan.
d. Berkembangnya sikap saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan
kesabaran, keikhlasan, dan keterbukaan.
e. Setiap kesadaran diikuti dengan usaha-usaha yang nampak seperti
kegiatan kelompok belajar, pengabdian social, kegiatan kemanusiaan,
dan lain-lain
Adapun jenis dan jenjang training PII terbagi sebagai berikut:51
1) Training kepemimpinan (leadership training) yang terdiri atas
Ledership Basic Training (LBT) dan Leadership Advance Training (LAT).
2) Training keagamaan yang dikenal sebagai Mental Training (Mentra).
3) Training sosial kemasyarakatan yang disebut Perkampungan Kerja
Pelajar (PKP).52
50 Lihat PB PII, “Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-21 PII”
(Jakarta:,1998) hal, 120-121. 51 Muchil Abdi, “ Pengaruh Training PII Terhadap Kepribadian Muslim” dalam skripsi
sarjana S-1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 1987.
38
LBT merupakan jenjang training PII yang pertama. Aktivitas kader yang
telah mengikuti LBT ini ialah di Pengurus Komisariat (PK). Anggota yang aktif
dapat mengikuti jenjang training kedua yaitu Mentra atau PKP. Setelah itu, kader
dapat diangkat ke pengurus Daerah (PD). Setelah aktif di Pengurus Daerah maka
kader dapat mengikuti jenjang LAT. Namun, karena alasan-alasan khusus dan
tanpa perlu melewati Mentra atau PKP.
Selain training formal, di PII juga ada training-training khusus. Training
ini terdiri atas Training Centre kepengurusan dan Training Badan Otonom yang
terdiri atas: training PII-wati (berkaitan dengan persoalan-persoalan
kemuslimahan), training Brigade (diorientasikan pada aspek-aspek ketahanan
organisasi; dan Coaching Instruktur (training untuk menyediakan tenaga-tenaga
instruktur).
F. Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Berdemokrasi
Tiga tingkat training di PII (Basic,Mental/Intermediate, Advance)
merupakan kunci mutlak bagi karir seorang kader di pengurusan. Kunci mutlak
yang dimaksud di sini tidak berkaitan dengan prestasi atau promosi administrative
kader dalam kepengurusan, melainkan berkaitan dengan kemampuan kader
menginternalisasi ajaran Islam sebagai sikap atau prinsip, dan lalu
mengeksternalissasinya sebagai tindakan keseharian.
Sebagian besar materi atau wacana dalam training PII di atas bersifat
terbuka yang ditandai oleh metode andragogi, dinamika kelompok, debat, dan
dialog. Pemandu atau instruktur tidak berfungsi sebagai komandan atau sumber
52 Lihat, Paduan Training PII, Jakrta: POIN, 1979.
39
kebenaran, melainkan sebagai fasilitator yang merangkum berbagai
perkembangan pemikiran setiap peserta. Ciri utama yang menandai setiap forum
training adalah penekanan sikap demokratis dan kebebasan berpendapat pada
setiap peserta sehingga berwatak mandiri dan percaya diri. Pada setiap akhir
materi, tidak ada kesimpulan yang bulat oleh pemandu atau instruktur sebab
peserta memang diharapkan menemukan tafsir-tafsir kritis baru. Dalam kacamata
modernis, training-training PII ini lebih bersifat semacam achievement motivation
training atau training yang memotivasi kepeloporan dan kepemimpinan secara
Islam.
Jadi, dapat dikatakan bahwa training-training PII merupakan wahana
pengetahuan untuk belajar berdemokrasi. Selain karena peserta training PII
diambil dari unsure-unsur Pesantren (sekolah Islam) dari sekolah umum yang
wacana keilmuan masing-masing berbeda, juga karena sifat federatif struktur
organisasi PII dari pusat hingga wilayah/daerah propinsi lainnya kadang-kadang
berbeda jauh, terutama dalam memandang ilmu dan pengetahuan, politik dan
ideologi dalam konteks Negara. Dengan demikian, ada kader PII yang sangat
menekankan sikap keagamaan (ibadah formal) sebagai nilai yang mengatasi
persoalan-persoalan seperti ilmu dan pengetahuan, politik, dan ideologi, tetapi ada
juga yang menekankan sikap politik dan akademis (ibadah social) sebagai nilai
yang justru harus muncul dari sikap religius. Perbedaan ini sesungguhnya tipis,
tetapi akan tampak tajam dalam hal-hal yang bersifat praktis seperti dalam hal
memilih studi, organisasi pasca PII, profesi, karir, atau peran dalam kegiatan
kemasyarakatan.53
53 Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara”
(Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal,105-107
40
Hasil training yang beragam itulah yang membuat PII meningkat, baik
secara internal (dalam organisasi atau kepengurusan) maupun secara eksternal
(dalam masyarakat) seperti soal pilihan politik masing-masing kader. Intinya,
tidak ada penyeragaman pilihan secara politis, kecuali dalam hal etika dan prinsip-
prinsip keislaman.
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
A. Setting Politik Orde Baru
Berakhirnya Demokrasi Terpimpin yang sekaligus menandai kelahiran
Orde Baru dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan politik. Kondisi ekonomi saat
itu sangat buruk namun kita tidak akan membahas lebih dalam,yang akan dikaji
lebih luas adalah dari segi politik.
Dari segi politik, percobaan kudeta melalui G-30-S pada tahun 1965
beserta pukulan balik yang menyertainya telah membawa korban bagi para
perwira Angkatan Darat dan lebih dari setengah juta penduduk.1 Faksi-faksi yang
ada di tubuh militer, potensial untuk meledakkan perang saudara. Di samping itu,
kelompok Soeharto juga mendapat tekanan dari para perwira radikal dalam tubuh
Angkatan Darat serta komponen-komponen kekuatan politik Islam yang berada di
kesatuan-kesatuan aksi dan parlemen untuk menyeret Soekarno ke pengadilan.
Padahal, jika tuntutan ini dipenuhi justru akan menimbulkan perang saudara.
Berdasarkan kondisi politik dan perekonomian yang kurang baik ini, maka
secara sederhana dapat dimaklumi kalau yang terpikir oleh pemerintah adalah
bagaimana mengatasi krisis dalam kedua bidang itu. Siapapun yang tampil
memerintah pasti dihadapkan pada sedikit pilihan. Pilihannya adalah mencegah
agar krisis tidak makin memburuk dengan menerapkan suatu strategi stabilitas
1Lihat juga Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe
Tat, Pembantu Presiden Soekarno, (Jakarta : Hasta Mitra), 1995, hal,52
41
42
politik dan ekonomi.2 Lantas, yang dilakukan Soeharto adalah membangun
serangkaian struktur dan proses politik yang memungkinkan penanganan dua hal
sekaligus. Pertama, memberikan dukungan bagi transformasi ekonomi. Kedua,
mengendalikan akibat-akibat krisis, terutama dengan menjinakkan dan mencegah
oposisi agar tidak mengganggu program ekonomi pemerintah.
A. 1. Politik dalam Masa Peralihan
Sebagian besar pendukung Orde Baru meyakini bahwa penyebab krisis
adalah konflik politik yang diwarnai oleh pertarungan ideology. Karena itu,
mereka percaya bahwa masa depan Indonesia seharusnya bebas dari politik yang
bebas dari ideology. Konflik ideologis merupakan konflik yang tak berkesudahan,
dan di zaman Soekarno mengimbas pada keruntuhan ekonomi nasional. Aktor
dalam konflik-konflik itu adalah partai-partai politik yang di dalamnya terdapat
banyak politisi sipil.3 Pemerintah Orde Baru kemudian merancang suatu
mekanisme yang dapat meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan
produktivitas ekonomi.4 Ialah mekanisme ketertiban politik untuk menjamin
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang cepat, dan efisien. Langkah lanjutan
dan mekanisme ini adalah :
1. Menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis, berdasarkan
ketertiban dan kesepakatan (konsensus). Langkah ini menghasilkan
penyederhanaan partai-partai politik yang semula multipartai menjadi tiga
2 Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat,
Pembantu Presiden Soekarn, hal, 21. 3 Lihat Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1994, hlm. 36-37. 4 Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, hal, Ibid
43
partai, dan penyederhanaan badan perwakilan serta penerapan “politik
berdasarkan konsensus”.
2. Membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat diarahkan
terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh elit
politik.5
Di sisi lain, rumusan dasar strategi yang akan ditempuh itu membenarkan
“penundaan” terhadap pelaksanaan demokrasi karena pendekatan stabilitas lebih
dikedepankan dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Penekanan pada
masalah ketertiban ini terdapat dalam pernyataan politik para pemimpin Orde
Baru. Versi yang paling mencolok terdapat dalam tulisan-tulisan Ali Moertopo.
Gagasan-gagasan tentang penyempitan partisipasi politik dengan pembatasan
politik-kepartaian ini banyak dikembangkan terutama oleh para intelektual sipil di
sekeliling Ali Moertopo. Ali Moertopo adalah orang kepercayaan Soeharto.
Karena menguatnya kedudukan kelompok ini, maka dengan cepat mereka dapat
memperoleh posisi yang sangat berpengaruh selama awal kekuasaan Orde Baru.6
B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI
Akar pemikiran sosial politik yang melandasi setting politik Orde Baru
dapat ditelusuri pada konsep pemikiran tentang developmentalisme
(pembangunanisme) yang pada masa itu sedang popular di seluruh dunia,
terutama di Negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Pemikiran-pemikiran
tentang peran militer dalam suatu Negara termasuk di bidang politik, juga menjadi
5 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1980, hlm. 47. 6 Mochtar Mas’oed, Ekonomi, hal, 146.
44
relevan karena dapat dikatakan bahwa militerlah yang berkuasa selama perjalanan
Orde Baru.
Di lain tempat, jauh sebelum Orde Baru lahir, telah ada sejumlah
intelektual awal abad ke-20 yang berpendidikan Barat. Kebanyakan mereka
dipengaruhi oleh pemikir sosialis Eropa.7 Sepanjang 1950-1960-an intelektual ini
berkumpul secara informal di sekitar pemimpin bertipe administrator seperti
Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan yang terpenting bahwa mereka juga berada
di sekitar politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Para intelektual ini mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan
pada nilai-nilai modernis-sekuler, pragmatisme, rasionalisme, dan
internasionalisme.8 Contoh pernyataan ideologis mereka yang berpengaruh pada
Orde Baru sebagaimana dikutip oleh Liddle ialah:
“Suatu perekonomian industrial, suatu masyarakat yang egaliter, dan suatu Negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan asas-asas demokrasi.”9 Sarana untuk mencapai tujuan itu didasarkan pada pandangan yang elitis dan pragmatis: Pencapaian tujuan ini… akan memerlukan pendirian sebuah partai yang kuat yang terdiri dari kader-kader sosialis yang akan mampu menolak bujukan komunisme totaliter, menghancurkan warisan-warisan feodalistik…melalui pendidikan serta menciptakan iklim ketertiban dan efisiensi pragmatis sehingga perencanaan ekonomi yang rasional bisa dilakukan”.10
Melalui nilai-nilai modernis-sekuler ini tetap hidup di sekitar intelektual
dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang 1960-an sekalipun PSI
sudah dibubarkan sejak pemerintahan Orde Lama (tahun 1960). Ketika Orde Baru
lahir, pada saat bersamaan pikiran-pikiran ini sedang memperoleh kekuatan
7 Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 8Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 9 R. William Liddle, Modernizing Indonesian Politics,” dalam R. William Liddle (ed.),
Political Participation in Modern Indonesia, New Haven, Conn: Yale University Southeast Asian Studies, 1973, hlm. 179.
10 Sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed dari Liddle. Negara. Hal, 39.
45
baru.11 Pertama, kembalinya sejumlah intelektual berpikiran reformis yang baru
saja memperoleh derajat doctor dari berbagai universitas di Amerika Serikat.
Kedua, tersedianya teori-teori sosial baru yang mendukung perjuangan para
intelektual itu. Ada tiga teori utama yang berpengaruh ketika itu, ialah :
1. hipotesis dari Lipset yang menyatakan, bahwa demokrasi polotik
umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi.
Persyaratannya tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.12
2. Adanya argumen Daniel Bell tentang “matinya ideologi” (the end of
ideology). Politik Ideologi menurut Bell, tidak ada lagi dan digantikan oleh
politik konsensus.13 Dengan kata lain, Bell menyatakan bahwa intensitas
politik ideology telah berkurang seiring dengan peningkatan pembangunan
ekonomi.
3. Teori dari Hutington tentang akibat negatif dari mobilisasi sosial yang tak
terkendali pada masyarakat sedang berkembang. Oleh karena itu, menurut
Huntington partisipasi politik harus disalurkan secara tertib.14
Di kalangan militer terdapat pula perkembangan yang serupa. Kaum
militer dapat menerima dasar berpikir modernisasi-politik seperti ini karena dua
hal:
1) Memang sebagai orientasi pemikiran para intelektual dalam merespon
ekonomi terpimpin Soekarno.
11 Mochtar Mas’oed dari Liddle, Negara. Hal, 39. 12 Lihat Seymour Martin Lipset, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City,
New York: Anchor Books, 1963, bab 2. 13 Lihat Daniel Bell, The end of Ideology, New York: Collier, 1960, hlm. 397. 14 Lihat Samuel Huntington, Political Development and Political Decay, World Politics,
1965, vol. 17 No. 3 (April). Lihat juga Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Drs. Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, terutama Bab III
46
2) Kalangan elit militer yang menjadi actor dominant Orde Baru memang
sebelumnya telah akrab dengan pemikiran diatas. Mereka mengenal
pemikiran-pemikiran itu sejak menempuh pendidikan di Sekolah Staf
Komando Angkatan Darat (Seskoad) Bandung. Tentu saja karena sebagian
besar para pengajar di Seskoad adalah para intelektual yang telah
menempuh pendidikan ekonomi di Amerika Serikat. (Mayor Jendral)
Soeharto bahkan mengundang para ahli ekonomi ini untuk menjadi tim
penasehatnya.15
Di samping itu, kecenderungan umum pemerintahan militer adalah selalu
menjadikan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai parameter strategis untuk
memperoleh sumber legitimasi dalam memerintah. Hal ini dilakukan karena
pemerintahan militer umumnya tidak cukup punya keabsahan untuk
memerintah.16
Selain menerima ide-ide developmentalism yang berakar pada nilai-nilai
modernitas sekuler Barat, militer juga berupaya mencari rumusan yang bisa
memberinya legitimasi untuk berpolitik. Usaha ini dimulai pada tahun-tahun
1950-an dan 1960-an.17 Pada akhir 1950-an, rumusan ini ditemukan dalam suatu
system perwakilan fungsional dan suatu ideology yang pada masa Orde Baru
disebut Dwifungsi ABRI. Untuk pengembangan gagasan ini, TNI AD menjadikan
Seskoad sebagai think-thank-nya.18
15 Bruce Glassburner, “ Political Economy and The Soeharto Regime”, BIES, Vol. XIV,
No. 3 Nov. 1978, hlm. 33. 16 Lihat Yahya Muhaimin, “ Kemana Mobilitas Sosial”, makalah seminar HIPIS di
Palembang, Maret 1984. 17 Mochtar Mas’oed, Negara, hal 41. 18 Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian
Studies, vol. 31, No. 2 (februari)
47
Gabungan antara pembangunan pemikiran ekonomi dan ketertiban militer
inilah yang menjadikan proyek modernisasi di Indonesia berwujud ideology
“developmentalisme yang direvisi”. Revisi ini merupakan hasil pengembangan
yang dilakukan para intelektual sipil di sekitar Ali Moertopo. Oleh karena itu,
nilai-nilai pembangunan ekonomi tetap dipertahankan seperti soal pembuatan
kebijakan public yang rasional, efisiensi, efektivitas, dan pragtisme. Dengan
ringkas dapat dikatakan, bahwa pada akhir 1960-an di Indonesia telah
berkembang ideology yang memberi pembenaran pada pengorbanan politik demi
pembangunan ekonomi.
Kerangka pemikiran pembangunan ekonomi itulah yang dijadikan
landasan terkuat Orde Baru dalam melakukan berbagai re-organisasi sehingga
kemudian tercipta suatu struktur politik yang sangat kuat dan dominant dalam
kehidupan masyarakat.
B. Pengetatan Struktur Politik
Dalam seluruh aspek kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan tidak
ada yang luput dari re-organisasi atau re-strukturisasi yang dilakukan oleh rezim
Orde Baru. Sumber utama pemikiran Orde Baru adalah sekelompok perwira dan
intelektual yang ada di sekitar Ali Moertopo. Kelompok perwira dan intelektual
ini berfungsi sebagai dapur cabinet (kitchen cabinet).19 Mereka diangkat sebagai
staf pribadi (Spri) Presiden Soeharto. Cara kerja seperti ini ternyata sangat efektif.
Kemudian, untuk menjamin implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah, maka
perwira-perwira ABRI ditempatkan (dikaryakan) ke dalam jabatan-jabatan sipil
19 Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian
Studies, vol. 31, No. 2 (februari), hlm. 50.
48
sambil mengintensifkan jaringan intelejen atau dengan metode-metode
konvensional guna meningkatkan sentralisasi dan efisiensi birokrasi. Selanjutnya,
dibuat pula pola-pola pengendalian melalui perwakilan kepentingan di badan
legislative sehingga badan itu lebih mencerminkan kepentingan pemerintah.
Metode yang digunakan Soeharto ialah dengan membujuk sendiri para
pendukungnya dan membuat mekanisme undang-undang yang sesuai. Kebijakan
pengendalian badan legislative ini merupakan lanjutan dari taktik yang pernah
dilakukan oleh Soekarno.
Pengendalian juga dilakukan pada kelompok-kelompok dan organisasi-
organisasi sosial-kemasyarakatan melalui pola korporatisasi. Prinsip
restrukturisasi melalui pola korporatisasi organisasi-organisasi sosial-
kemasyarakatan ini dilakukan agar perwakilan kepentingan hanya tersalur lewat
wadah tunggal berdasarkan kategori kepentingan masing-masing. Perwakilan
tunggal itu kemudian diletakkan di bawah payung Golongan Karya (Golkar).
Lantas, terbentuklah berbagai asosiasi seperti Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), Sentral Organisasi Kekaryaan Sawadiri Indonesia
(SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), Dharma Wanita, Karang Taruna, dan lain-lain. Selain
itu, dilakukan pula peningkatan jumlah perwira militer dan teknokrat sipil di
dalam departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Sementera,
jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah diupayakan pula diisi oleh (titipan)
“orang pusat”, terutama oleh perwira ABRI.
49
Hasil konkret dari langkah-langkah di atas adalah birokrasi sipil yang
sangat terkendali di bawah pemerintah (presiden). Dengan demikian, semua
proses pembuatan kebijakan public yang vital dilakukan secara tersentralisasi.
Salah satu contohnya adalah dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang semuanya ditentukan oleh pusat (Jakarta) termasuk
pendistribusiannya ke daerah-daerah.
Selain pengendalian birokrasi sipil, Orde Baru juga melakukan integrasi
Angkatan Bersenjata. Hal ini dilakukan agar konflik-konflik antar-angkatan tidak
terulang seperti pernah terjadi di era Soekarno. Dengan begitu, sekaligus seluruh
kekuatan ABRI pun terkendali.
Tindakan berikutnya adalah penyederhanaan politik kepartaian. Hal ini
dilakukan dengan mereorganisasi Sekretariat Golongan Karya (Sekber Golkar),
dan “memaksa” partai-partai politik peserta Pemilihan Umum melakukan fusi.
Cara pengendalian terhadap partai politik ini dilakukan melalui berbagai modus.
Pertama, melalui mekanisme recall. Kedua, mengintrodusir persyaratan bagi
setiap anggota partai politik yang ingin duduk sebagai pimpinan sehingga harus
seizin pemerintah. Ketiga, mengintervensi partai politik melalui kongres,
musyawarah, atau muktamarnya. Keempat, mengupayakan monoloyalitas pegawai
negeri hanya pada golongan karya. Kelima, menciptakan konsep massa
mengambang (floating mass) dengan melarang partai politik beraktivitas di
pedesaan, kecuali bila akan Pemilihan Umum.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa setting politik yang dibangun oleh
Orde Baru telah berfungsi sangat efektif, walaupun otoriter. Afan Gaffar
50
menyebut system politik Orde Baru ini sebagai “extremely strong state”.20 Sistem
politik yang demikian tentu saja sangat memusat pada lembaga kepresidenan
sehingga presiden sendiri dapat mengontrol semua sumber kekuatan politik.
Sumber-sumber itu mencakup political recruitment, proses pembuatan dan
pelaksanaan anggaran, dan sumber-sumber legitimasi konstitusional yang melekat
pada sumber-sumber itu.
C. Implikasi Setting Politik Orde Baru terhadap Islam
Pada awal Orde Baru, umat Islam berharap banyak pada rezim yang telah
terbentuk agar diberi peran yang lebih besar dalam politik maupun bidang
kenegaraan lainnya. Harapan ini sangat wajar mengingat peran besar yang
dimainkan umat Islam menjelang kelahiran Orde Baru, sebagaimana telah
digambarkan dalam Bab II.
Akan tetapi, segera umat Islam mengalami kekecewaan yang bertubi-tubi.
Berbagai harapan dan tuntutan itu ditolak satu-persatu oleh penguasa Orde Baru
karena dicurigai bertentangan dengan terminologi “pembangunanisme” Negara
yang mengedepankan pragmatisme, rasionalisme, deideologisasi, depolitisasi,
pendekatan teknokratis, program oriented, ekonomi sebagai panglima, dan
sebagainya.
Orde Baru memandang politisi-politisi Islam selalu menjadi sumber
konflik politik pada masa Soekarno. Jadi, politik Islam dianggap tidak cocok
dengan kredo utama Orde Baru yakni pembangunan eonomi dan stabilitas politik.
20 Lihat Afan Gaffar, “Public Policy and Income Distribution, An Indonesian Case
Study”, makalah pada AIDCOM International Seminar on “Economic Development and Liberal Democracy: Compatibility or Conflict?”, Penang, Malaysia, 4-5 Desember 1996.
51
Kecurigaan dan penolakan atas politik Islam juga disebabkan karena elit Orde
Baru yakni militer dikuasai oleh kelompok abangan dan priyayi-sekuler.21
Perseteruan golongan santri dengan kelompok ini memang telah terjadi
sejak pra-kemerdekaan.22 Dalam perkembangan selanjutnya, dapur pemikiran
politik Orde Baru lebih banyak dikuasai oleh kelompok Tanah Abang (Centre For
Strategic and International Studies) yang kebanyakan terdiri dari intelektual
secular dan beragama katolik.23
Pada masa Orde Baru, Islam ditempatkan sama seperti agama (religion)
seperti konsep Barat. Karena itu, agama dan politik dianggap sebagai dua hal yang
berbeda dan tak ada hubungannya. Kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam pun
mirip dengan siasat Snouck Hurgronje yang menganjurkan pendekatan “toleransi
kembar” yakni membiarkan perkembangan ibadah ritual Islam sembari melarang
kegiatan-kegiatan yang secara politis membahayakan.24
Secara khusus, pandangan pemerintah terhadap Islam ini
diimplementasikan melalui Departemen Agama. Pada masa Soekarno,
Departemen Agama ini biasanya diisi oleh tokoh berlatar belakang akademis dan
cenderung pragmatis seperti Prof. Dr. Mukti Ali, atau tokoh militer seperti
Alamsyah Ratuperwiranegara, atau diplomat seperti Munawir Sjadzali. Melalui
Departemen Agama inilah pemerintah menghendaki agar pembangunan agama
diletakkan sebagai bagian dari prinsip pembanguna ekonomi.25 Dalam konsep
21 Lihat Harold Crouch, hlm. 35. 22 Lihat Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Mizan, 1986, hlm. 79. 23 Lihat Aminuddin., hlm. 75-81. 24 Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Juga Lihat Kenneth E. Ward, The 1971 Election in Indonesia, An East Java Case Study, Monash Centre of South East Asian Studies, 1974, hlm. 198.
25 TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985. hlm. 58.
52
wawasan nusantara, misalnya, agama dianggap sebagai salah satu dari nilai
kesatuan bangsa, kesatuan politik dan kesatuan budaya.26
Kebijakan Orde Baru untuk pembangunan agama sangat berorientasi fisik-
material. Untuk agama Islam, pembangunan ini sangat dititikberatkan pada sarana
kehidupan dan peningkatan pelayanan ibadah. Dana aktivitas pembangunan
masjid disediakan hamper dua kali lipat disbanding dana untuk sector
pendidikan.27 Juga masih ditambah dengan dana dan penunjang lain baik dari
Departemen Agama sendiri, maupun dari Instruksi Presiden (Inpres) atau Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila (YAMP).28 Pemerintah juga mendirikan atau
memprakarsai pendirian berbagai lembaga Islam seperti Perguruan Tinggi
Dakwah Islam Indonesia (PTDII), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam
(GUPPI), Dewan Masjid Indonesia (DMI-1972), Majelis Ulama Indonesia (MUI-
1975), dan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI-1978). Lembaga-lembaga ini
berfungsi sebagai pagar untuk mengarahkan kehidupan sosial umat Islam atau
sebagai instrument korporatis Negara Orde Baru.
Sementara itu, untuk mengendalikan penyebaran dan sosialisasi ajaran
Islam dibuatlah peraturan yang berkaitan dengan materi dan cara-cara berceramah
atau berkhotbah. Intinya, tidak boleh menceramahkan atau mengkhotbahkan
masalah-masalah politik.29 Untuk mengawasi dan menindas pelanggaran atas
kebijakan ini digunakanlah Instrumen Komando Pemulihan Keamanan dan
26 TAP MPR RI 1983, Deppen RI, hlm. 54. 27TAP MPR RI 1983, Deppen RI,. 28 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-
1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991, hlm. 100-102. 29 Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981, hlm. 95-97.
53
Ketertiban (Kopkamtib) sehingga keterlibatan aparat militer menjadi sengat
efektif.30
Menurut Abdul Munir Mulkhan, modus pandangan pemerintah dalam
bentuk kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam di Indonesia itu dilatarbelakangi
oleh lima hal.31
1. Agama didekati sebagai variable di luar variable sosial dan politik.
2. Perilaku umat dipandang sebagai perilaku individual.
3. Agama ditempatkan dalam kedudukan yang sacral dan transeden tanpa
hubungan structural dan fungsional dengan kehidupan keimanan di tingkat
praktik.
4. Dalam batas-batas tertentu, secara politis agama ditempatkan sebagai
legitimasi atas kebijakan konsep pembangunan.
5. Seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan dengan Pancasila sebagai
ideologi sosial-politik dan sistem kebangsaan.
Latar belakang kebijakan pemerintah terhadap Islam ini sangat bersesuaian
dengan orientasi pemikiran politik penjaga dapur Orde Baru yang dikenal sebagai
kelompok Tanah Abang. Kelompok ini pada awalnya adalah staf pribadi (Spri)
Soeharto yang kemudian memiliki hubungan erat dengan Centre for Strategic and
International Studies (CSIS).32
CSIS didirikan oleh Ali Moertopo dan kawan-kawannya pada tahun 1971
sebagai alat untuk mengekspresikan kepentingannya.33 Belakangan, CSIS menjadi
kelompok kepentingan politik yang berperan besar bagi pemerintah Orde Baru
30 Lihat Crouch., Op. cit., hlm. 250. 31 Mulkhan., Op. cit., hlm. 108. 32 Aminuddin., Op. cit., hlm. 78-79. 33 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES,
1992, hlm. 33.
54
dan menduduki berbagai tempat di Golongan Karya.34 Kelompok ini terdiri atas
para purnawirawan militer, intelektual-intelektual sekuler, dan orang-orang
Katolik yang sangat tidak bersimpati kepada kaum muslim. Bagi mereka, Islam
merupakan potensi yang sangat membahayakan bila diberi kesempatan berkuasa.
Karena Islam cenderung dipandang dalam kacamata “Darul Islam”, maka mereka
cenderung ingin menghancurkan Islam.35 Bahkan agen-agen intelijen yang berada
di bawah pengaruh Ali Moertopo menempatkan kelompok Islam sebagai
sasaran/target utama dari rangkaian operasi mereka.36 Dengan demikian, tidak
heran bila kebijakan politik Orde Baru banyak merugikan Umat Islam. Kebijakan
ini merupakan perpaduan dari orientasi pemikiran sosial-politik Orde Baru dengan
kepentingan kelompok konseptor dan operator kebijakan tersebut.
Beberapa rencana kebijakan pemerintah yang anti nilai-nilai agama terlihat
dari usaha Golongan Karya dalam menghapuskan mata pelajaran agama di
sekolah untuk diganti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), penghapusan
Departemen Agama, dan sekulerisasi undang-undang Perkawinan. Usaha
penghapusan pelajaran agama bisa ditolak karena ditolak karena dikecam sendiri
oleh ulama Golongan Karya.37 dibatalkan setelah mendapat protes keras umat
Islam, dan lalu direvisi.
34 Merupakan kenyataan yang ironis bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia
adalah muslim namun sebagian besar posisi-posisi pemerintahan ketika itu dipegang oleh non-muslim atau muslim abangan. Kaum non-muslim terutama adalah Katolik, dan kebanyakan mereka berada di bawah pengaruh CSIS.
35 Afan Gaffar, “Partai Politik, Elite, dan massa Dalam Pembangunan Nasional”, dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek Dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 22.
36 Lihat Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hlm. 130-131.
37 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hlm. 218.
55
Sebagai partai besar tentunya Golongan Karya sangat kecewa. Bahkan,
salah seorang tokohnya menyatakan:
“Hukum perkawinan seharusnya tidak mengikuti ajaran-ajaran suatu agama. Negara kita bukanlah negar agama, mengapa kita harus memperhatikan prinsip-prinsip agama dalam membuat hukum.” Selanjutnya, tokoh ini menyatakan:”…memang rancangan itu mendukung ketetapan yang bertentangan ajaran agama Islam mengenai perkawinan…kalau kita selalu memperhatikan ajaran agama, kita tidak akan pernah maju”.38
Pada sisi lain, CSIS dalam buku Master Plan Pembangunan Bangsa
menyampaikan asumsi dasar yang menyatakan bahwa bangsa ini terhambat
kemajuannya karena terbelenggu oleh nilai-nilai Islam. Menurut mereka, yang
perlu dikikis bukanlah orang Islam Indonesia, tetapi nilai-nilai yang melekat pada
orang Islam yang merintangi pembangunan. “Kita tidak memusuhi orangnya,
tetapi ajaran-ajaran yang bisa membahayakan pembangunan. Kan orang Islam itu
bangsa kita juga? Tak mungkin kita memusuhinya,” demikian kata Liem Bian Kie
yang menjadi kepala proyek Master Plan Pembangunan Bangsa itu. Lalu, Liem
menegaskan, bahwa adanya korban merupakan hal yang tak terhindarkan.39
38 Diungkapkan oleh Drs. Sugiharto, ketua utusan Golkar dalam suatu rapat. Lihat
Zyrlirosa Jamil, Sikap Politik PII Dalam Menolak Asas Tunggal. Faktor-faktor yang menyebabkannya, skripsi FISIPOL UI, 1991.
39 Sebagaimana dikutip A.Q. Djaelani, Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Ummat Islam Indonesia, Sebuah Pembelaan, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1985,hlm. 122.
BAB IV
DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA
DENGAN PEMERINTAH ORDE BARU
A. Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985: Puncak Pertentangan
Salah satu cara Orde Baru memantapkan kekuasaan dan mengeliminasi
Islam-politik ialah dengan mengembangkan ideologi Pancasila. Bila sebelumnya
Pancasila hanya dikenal sebagai konsensus nasional, maka pada zaman Orde
Baru mulai dijadikan sumber dari segala sumber hukum, jiwa seluruh rakyat
Indonesia, kepribadian dan pandangan hidup yang telah diuji kebenaran,
keampuhan dan kesaktiannya, serta penuntun dan pegangan hidup bagi sikap
dan tingkah-laku setiap manusia Indonesia.1 Pancasila juga dianggap sebagai
anugrah Tuhan berdasarkan kodrat manusia, dan bukan pemberian negara,
masyarakat atau golongan.2
Keinginan pemerintah menyeragamkan tafsiran mengenai Pancasila
merupakan motivasi dari pencanangan asas tunggal bagi seluruh organisasi
politik (orpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Pemerintah khawatir
pada pihak yang masih “ragu-ragu” terhadap Pancasila mengingat masih ada
identitas atau asas lain selain Pancasila di dalam Anggaran Dasar
(AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) ormas dan orpol. Sikap pemerintah ini
juga tidak terlepas dari gerak perlawanan umat Islam ketika MPR membahas
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Aliran Kepercayaan
1 Lihat naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, bagian Pendahuluan. 2 Kalimat-kalimat ini antara lain dapat kita temukan pada buku-buku pelajaran SMP
untuk SLTA yang di terbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
56
57
untuk dimuat ke dalam GBHN pada tahun 1978. Dalam pidato tanpa teksnya di
Pekanbaru tanggal 27 Maret 1980 Soeharto menyatakan:
“Dari perkembangan pembentukan Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR masih membuktikan pula akan keragu-raguan daripada Pancasila, terutama proses dari ketetapan MPR No. II mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walk out. Begitu pula dari penyelesaian Undang-undang Pemilihan Umum, perubahan atau perbaikan Undang-undang Pemilihan Umum, dan yang akhir-akhir ini juga masih belum menampakkan usaha bersama dan kesepakatan kita. Dan ada yang walk out pula. Karena itulah… kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan memilih patner, kawan, teman yang benar-benar mempertahankan Pancasila dan tidak sedikit pun ragu-ragu terhadap Pancasila itu”3 Ketika itu, fraksi Partai Persataun Pembangunan (PPP) melakukan walk
out dari sidang. Jadi, tampaknya pemerintah benar-benar menginginkan agar
Pancasila dijadikan tolak ukur segala sesuatu, termasuk oleh agama.
Sebetulnya masalah asas Pancasila dalam organisasi kemasyarakatan
telah dibahas sejak tahun 1966 dalam paket Rancangan UU Kepartaian,
Keormasan, dan Kekaryaan. Namun, karena tidak ada kesamaan pendapat
diantara fraksi di DPR-Gotong Royong saat itu, maka pembahasannya ditunda.4
Pemerintah sadar bahwa negara belum kuat sehingga perhatian lebih
dipusatkan pada konsolidasi di tingkat suprastruktur terutama lembaga legislatif
dan eksekutif. Setelah Pemilihan Umum 1971 berlangsung sukses, pemerintah
mempersoalkan lagi asas Pancasila ini. Akan tetapi, hanya berhasil
mendesakkannya pada organisasi-organisasi politik dengan tetap membiarkan
ciri asas masing-masing.5 Berdasarkan legitimasi dari Pemilihan Umum 1971,
pemerintah melanjutkan pembinaan struktur politik dengan menata kekuatan
3 Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta,: Grasindo, 1991, hlm. 47. Lihat juga P. Bambang Siswoyo, Sekitar Petisi 50, Solo: CV Mayasari, 1983.
4 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974, hlm. 55. 5 Lihat UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
58
infrastruktur yakni organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan sukses hingga
Pemilihan Umum 1977. Setelah itu, pemerintah pun memasyarakatkan Pancasila
melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang
telah dimasukkan ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sembari
terus memikirkan gagasan asas tunggal untuk tahun berikutnya.6
Akan tetapi, karena masyarakat dianggap belum siap, maka Rancangan
UU Keormasan ini batal diajukan. Apalagi pemerintah sedang dikejar persiapan
Pemilihan Umum 1982. Setelah Pemilu 1982, tepatnya pada Sidang Umum
MPR 1983, pemerintah memperoleh legitimasi kembali untuk merealisasikan
gagasan tentang asas tunggal bagi organisasi politik (orpol) dan organisasi
kemasyarakatan (ormas).7
Hal penting yang perlu dikemukakan berkaitan dengan pengembangan
Pancasila ini ialah menyangkut dasar-dasar yang dipakai pemerintah Orde Baru
dalam memaknai hingga menetapkannya sebagai asas tunggal. Pancasila yang
lahir kurang lebih satu jam dari pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 telah
menjadi konsensus nasional sejak kemerdekaan Indonesia. Masing-masing
golongan masyarakat di Indonesia dapat menerima konsep Pancasila dalam
pidato Soekarno itu dengan alasan bahwa sila-silanya sesuai dengan nilai-nilai
yang mereka anut. Umat Islam juga dapat menerimanya, rneskipun kecewa
dengan pencoretan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila sebagaimana
tertuang dalam Piagam Jakarta. Umat Islam berharap dapat mewarnai Pancasila
6 Departemen Dalam Negeri RI, “Pokok-Pokok Pikiran yang Melandasi Penyusunan
RUU Organisasi Kemasyarakatan,” makalah, 17 Agustus 1979. 7 Sabar Simatupang memaparkan proses pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985 ini
dalam skripsinya berjudul “Peranan dan Interaksi Kekuatan-Kekuatan Politik di DPR RI: Studi Kasus Proses Pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985,” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Jakarta, 1990.
59
terutama melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena dianggap mengandung
inti ajaran Islam yaitu prinsip Tauhid. Permasalahan pun timbul ketika
menyinggung soal penjabaran Pancasila yang akan diterapkan dalam kehidupan
bernegara. Dalam sidang Konstituante 1955, Pancasila dibicarakan kembali
karena memang memungkinkan. Kelompok yang dikenal sebagai nasionalis
Islam menunjukkan berbagai kekurangan Pancasila sebagai ideology dan
mengajukan Islam sebagai alternatifnya.8
Sebagaimana diketahui, debat tentang hal ini berlangsung berlarut-larut
hingga dihentikan oleh Soekarno dengan sebuah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959. Dekrit itu menyatakan pemberlakuan kembali Pancasila yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta sebagai dasar negara.
Jadi, dengan penerimaan kelompok Islam terhadap rumusan ini, maka persoalan
Pancasila sebagai dasar negara dianggap selesai.9
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno berupaya mengembalikan
Pancasila kepada gagasan lamanya. Bagi Soekarno, Pancasila dapat diperas
menjadi Trisila dan lalu menjadi Ekasila yakni Gotong Royong. Soekarno juga
mengeluarkan pelengkap dan penjabar Pancasila yang ia sebut sebagai
Manifesto-Politik, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia (Manipol-
Usdek) yang memuat nilai-nilai Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
Untuk menjelaskan hubungan Pancasila dengan Manipol-Usdek, Soekarno
8 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996. 9Endang Saefuddin Anshori “Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan Hasil
Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama RI: Jakarta, 1985, hlm. 58.
60
mengutip qiyas dalam Islam. Menurutnya, Pancasila itu semacam al-Qur'annya
sedangkan Manipol-Usdek adalah Al-haditsnya.10
Selanjutnya, Soekarno mengharuskan organisasi sosial politik
menyesuaikan diri pada Manipol-Usdek sebagai tanda kesetiaan terhadap
revolusi yang telah menjadi mitos gerakan kebangsaan ketika itu. Usaha-usaha
Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin itu oleh Orde Baru dipandang telah
menyelewengkan Pancasila. Sebenarnya, Orde manakah yang paling
menyeleweng? Apakah Orde Soekarno yang dianggap mengkhianati konsensus
tentang Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta seperti dikemukakan oleh
kelompok Islam? Ataukah Orde Soeharto? Ternyata, rujukan Orde Baru tidak ke
Orde Soekarno karena Orde Soeharto membentuk sendiri (Panitia Pancasila)
yang anggotanya terdiri dari para mantan (Panitia Sembilan) yang masih hidup.
Panitia Pancasila inilah yang bertugas menafsirkan Pancasila sejak 10 Januari
1975 hingga menghasilkan butir-butir (Uraian Pancasila) yang ditandatangani
tanggal 18 Maret 1975 dan diserahkan ke Presiden Soeharto pada tanggal 23
Juni 1975. Naskah (Uraian Pancasila) ini ternyata ditolak karena tidak sesuai
dengan aspirasi elit Orde Baru.11
Sebagai gantinya, maka dibentuklah Tim (Perumus) yang diketuai oleh
Roeslan Abdulgani (juru bicara Manipol-Usdek di zaman Soekarno). Tim inilah
yang menghasilkan butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) yang diberi nama Ekaprasetia Pancakarsa. Seperti telah diuraikan di muka,
P4 ini kemudian dimasukkan ke dalam GBHN Tahun 1978 bersamaan dengan
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
10 Ketetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun, hlm. 87
11 Muhammad Hatta, dkk, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1978.
61
Bila semangat dan nilai yang dibawa rumusan P4 hasil Tim Perumus ini
dicermati, maka tentu berbeda dengan rumusan Pancasila sebelumnya. Nilai-
nilai tradisional Jawa tampak amat kental mewarnainya. Menurut Soeharto,
Pancasila itu berasal dari ajaran nenek-moyang kita jauh sebelum Hindu, Budha,
Islam, dan Kristen datang ke Indonesia.”12 Ajaran nenek moyang itu kini lebih
dikenal dengan sebutan Elmu Klenik atau Kejawen. Elmu ini mengandung tiga
prinsip yakni kasunyatan (kenyataan hidup), sangkan paraning dumadi (dari
mana asal kejadian manusia dan akan ke mana akhir hidupnya), dan
kasumparning hurip (kesempurnaan hidup).
Nilai-nilai kejawen memang mengalami perkembangan pesat pada era
Orde Baru. Bila pada tahun 1950 tercatat 75 aliran kebatinan, maka pada tahun
1972 jumlahnya menjadi 644 buah.13 Bahkan, Konferensi Pekerja Golongan
Karya yang pertama pada tanggal 13-17 Maret 1972 menghasilkan antara lain
sekretariat umum bagi aliran-aliran kepercayaan sebagai satu wadah tunggal
untuk semua organisasi kebatinan. Kemudian, dalam Musyawarah Nasional
Golongan Karya tanggal 8 September 1973 di Surabaya istilah
“Kebatinan/Kejawen” diganti dengan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa”. Pada tahun 1973 itu pula Pemerintah menjelaskan program
penayangan rutin Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di Televisi RI yang
muatannya sangat bernuansa Kejawen.14
Perubahan istilah “Kebatinan” menjadi “Aliran Kepercayaan” merupakan
upaya pemerintah mencari dasar hukum agar dapat dimasukkan ke dalam GBHN
12 Amanat Presiden Soeharto, Surakarta: Yayasan Pendukung Bapak Pembangunan,
1982, hlm. 11 13 Lihat N. Daldjoeni, “Buku Tentang Kebatinan,” Kompas, 25 Agustus 1973. 14 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim,
Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hlm. 187.
62
sebab kata “Tuhan Yang Maha Esa” dan “Kepercayaan” memang termuat dalam
Pasal 29 UUD 1945, walaupun tidak ada hubungannya dengan Kebatinan.
Meskipun pemerintah tidak memaksudkan Aliran Kepercayaan ini sebagai suatu
“agama”, namun kenyataannya disejajarkan dengan agama. Hal ini terlihat jelas
dalam buku-buku Pendidikan Moral Pancasila untuk Sekolah Dasar dan
Menengah. Tidak heran kalau kemudian menimbulkan keresahan dan protes dari
berbagai tokoh Islam. Di samping itu, Aliran Kepercayaan ini juga mendapat
jatah yang sama dalam acara Mimbar Agama di TVRI, sejajar dengan agama
Islam, Kristen (Protestan/Katolik), Hindu, dan Budha.
Dengan demikian, pada tahun 1980-an Orde Baru memang sudah
mempunyai “segala hal” untuk tampil perkasa di depan rakyat sehingga apapun
yang diinginkan elit penguasanya akan dapat dipaksakan ke seluruh lapisan
masyarakat. Bagi umat Islam, orientasi sosial-politik negara Orde Baru seperti
modernisasi (nilai-nilai modernitas sekuler), pendekatan keamanan dan
stabilitas, dan hegemoni ideologi melalui Pancasila atau aparatur
birokrasi/militer ternyata sangat banyak merugikan umat Islam. Hegemoni
ideologi asas tunggal Pancasila, misalnya, mau tidak mau akan menimbulkan
perdebatan di kalangan umat Islam hingga ke wilayah teologis (aqidah) yaitu
wilayah yang esensial dalam ajaran Islam.
B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan
Penyikapan umat Islam terhadap Undang-undang Nomor 8/1985 tentang
Keormasan umumnya terfokus pada masalah asas tunggal Pancasila. Sebetulnya
asas tunggal Pancasila hanyalah salah satu pasal saja dari sejumlah pasal Undang-
63
undang Keormasan itu. Sikap umat Islam di sini umumnya dapat dibagi dalam
beberapa kategori. Dalam penafsiran terhadap Pancasila, tentu saja terdapat
banyak perbedaan persepsi antara umat Islam dengan pemerintah. Umat Islam
menempatkan Pancasila dalam perspektif agama Islam, sedangkan pemerintah
meletakkan konsep sosial Islam justru dalam perspektif Pancasila.15
Keberatan kalangan umat Islam dengan pemberlakuan asas tunggal
Pancasila ini berkait erat dengan beberapa pokok masalah. Pertama, menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal dianggap bertentangan dengan agama (Islam) oleh
sejumlah umat Is1am.16 Deliar Noer bahkan membuat satu buku yang khusus
mengupas hubungan Islam dengan asas tunggal Pancasila ini.17 Asas tunggal yang
hakiki bagi umat Islam adalah Dienul Islam. Deliar Noer juga mengungkapkan,
bahwa penafsiran Pancasila itu tidak boleh tunggal (hanya versi pemerintah saja)
sebab setiap perbedaan penafsiran tidak berarti bertentangan. Kedua, menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal berarti juga menyeleweng atau bertentangan
dengan UUD 1945 sendiri, terutama Pasal 29. Argumen ini antara lain
dikemukakan oleh K.H. Noer Ali dan Syafruddin Prawiranegara.18 Ketiga,
konsep asas tunggal itu bersifat a-historis dan berarti mengkhianati perjuangan
para tokoh pendiri bangsa Indonesia. Hal ini antara lain dikemukakan A. Qadir
Djaelani. Menurutnya:
15 Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
16 Tokoh yang mendukung argument ini antara lain adalah K.H. Noer Ali (BKSPP), KH. Malik Ahmad (Muhammadiyah), KH. A.R. Fachruddin (Muhammadiyah), Moh. Natsir (DDII), Syarifuddin Prawiranegara, Deliar Noer, dan Abdul Qadir Jaelani.
17 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1983.
18 Pokok-Pokok Pikiran BKSPP mengenai Asas Tunggal dan RUU Organisasi Kemasyarakatan, 6 September 1984. Lihat juga surat terbuka Syafruddin Prawiranegara kepada Soeharto tanggal 7 Juli 1983.
64
“Penguasa colonial Belanda maupun Jepang yang kejam itu tidak pernah melarang penggunaan Islam sebagai asas partai maupun organisasi social kemasyarakatan. Oleh karena itu, satu sikap pengkhianatan dan sadis, apabila sesudah Republik Indonesia ini berdiri dan berkuasa, melarang partai dan organisasi-organisasi Islam untuk mempergunakan “Asas Islam”. Padahal, dengan asas Islam itu partai dan organisasi-organisasi Islam medirikan dan membesarkan Negara Republik Indonesia”. 19 Di samping itu, konsep asas tunggal itu bersifat politis untuk
meminggirkan umat Islam. Tokohtokoh Islam yang keberatan ini umumnya
menyepakati dan menerima bahwa posisi Pancasila yang sesungguhnya adalah
sebagai dasar negara, bukan sebagai asas.
Selain tokoh yang keberatan dengan penerapan Pancasila sebagai asas
tunggal ini, ada pula tokoh atau kelompok Islam yang secara verbal menyatakan
bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Argumen yang diajukan umumnya
berangkat dari kesimpulan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan Islam
sejauh masih tertera sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi, Pancasila juga
merupakan hasil perjuangan umat Islam. Khusus Nahdlatul Ulama (NU),
penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila dilakukan dengan menggunakan
kaidah-kaidah darurat yang dibenarkan oleh agama Islam.
Secara khusus, sesungguhnya ada satu persoalan yang mengganjal dan
dilematis dalam memilih/menerima Pancasila sebagai asas tunggal ini. Ada
kesenjangan persepsi terhadap Pancasila itu sendiri. Penerimaan umat Islam selalu
disandarkan pada Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta, sedangkan yang
dimaksudkan sebetulnya oleh pemerintah Orde Baru adalah Pancasila yang telah
diberi muatan/ tafsir seperti dalam butir-butir Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Jadi, penerimaan ini seolah-olah hanya untuk
19 Lihat Abdul Qadir Djaelani, “Pancasila dengan Segala Pengertiannya,” dalam Noor
M.D., Pancasila Pandangan Tokoh-tokoh Islam, Bogor, 1990.
65
menghibur diri bahwa Pancasila asas tunggal itu adalah Pancasila yang tetap
berada dalam cahaya agama (Islam). Sekali lagi, hal ini sebetulnya membuktikan
bahwa rakyat tidak berdaya saat berhadapan dengan hegemoni negara yang
sedemikian kuat. Bahkan, ketika kebijakan negara itu menjurus kepada
pengaturan atas isi kepala setiap orang agar patuh melahap suatu ideologi.20
Ketidakberdayaan rakyat semakin terlihat ketika asas tunggal Pancasila
telah menjadi kebijakan politik-hukum melalui Undang-undang Keormasan
Nomor 8 Tahun 1985. Semua organisasi, termasuk yang pada awalnya menolak
dengan gigih, akhirnya terpaksa menerima dan menyesuaikan diri pada UU
Keormasan. Tentu saja dengan segala alasan dan legitimasi politisnya.
C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang
Keormasan
Strategi PII menghadapi Manipol-Usdek pada masa Orde Lama ternyata
kurang utuh dan kompak dibanding ketika menghadapi pembahasan hingga
pemberlakuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Pada masa Orde Lama, PB PII Periode 1962-1964 yang
dipimpin Ahmad Djuwaeni telah menyiapkan berbagai kemungkinan seandainya
PII betul-betul dibubarkan karena menentang Manipol-Usdek. Salah satu bentuk
persiapan PB PII itu antara lain ialah mendirikan yayasan-yayasan di daerah-
daerah untuk alternatif wadah kegiatan. Antisipasi seperti ini tidak terlihat atau
20 Guillermo O’Donnell menyebutkan hal ini sebagai “consensus diam-diam”. Antara
pemerintah dan masyarakat sebetulnya masih ada persoalan, tetapi karena kepentingan keamanan persoalan itu dianggap selesai. Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm. 78.
66
kurang mendapatkan perhatian PB PII Periode 1983-1986 di bawah pimpinan
Mutamimul Ula.
Dalam periode Mutamimul Ula sebenarnya ada pengondisian secara
sistematis terhadap PII se-Indonesia. Jalur utama yang dipakai adalah training
konvensional. Bila diperhatikan pada buku-buku panduan training yang dipakai
mulai periode ini nampak, bahwa muatan ideologis dalam setiap materi di setiap
jenjang training sangat kental. Opini yang sangat dominan muncul di setiap lokal
pen-training-an PII ketika itu adalah tentang ketidaksetujuan menggunakan asas
tunggal Pancasila yang termaktub dalam salah satu pasal Rancangan Undang-
undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Akan tetapi, pendapat dan sikap yang
muncul dari para peserta dalam training itu tetap beragam. Hal ini bisa terjadi
karena efek dari pengkondisian training, kemahiran instruktur dalam
menggunakan metode training yang dikenal sebagai dynamic group, atau
pendapat pribadi para peserta training yang memang tidak akan dibantah.21
Sikap PB PII periode 1983-1986 terhadap Rancangan UU Keormasan
dituangkan dalam sebuah pernyataan tentang Pokok-Pokok Pikiran PB PII
Tentang Rancangan Penyusunan Undang-undang Keormasan yang dikeluarkan
tanggal 25 Maret 1984. Ada tiga butir penting dari pernyataan itu. Pertama,
menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara sengaja atau tidak
sengaja, akan mengeliminasi atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari
Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang
bernafaskan Islam. Kedua, menolak setiap perangkat aturan dan atau hukum yang
secara birokratis-administratif akan membatasi hak-hak asasi manusia terutama
21 Ahmad Marzoeki, “Reformalisasi PII dari Deklarasi Cisarua ke Persetujuan Cibubur,”
tulisan untuk buku 50 tahun PII, tanpa tahun.
67
dalam mengembangkan nilai-nilai Islam. Ketiga, mengakui al-Islam sebagai satu-
satunya asas bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Dari tiga butir pemikiran PB PII di atas, nampak bahwa persoalan yang
hendak dikemukakan berkaitan dengan UU Keormasan, sebetulnya tidaklah
semata akan menghadapkan PII kepada Pancasila. Persoalan penting yang hendak
diangkat ialah menyangkut hak asasi manusia (HAM), khususnya berkaitan
dengan kebebasan memeluk agama dan melaksanakan kewajiban agamanya itu.
Selain masalah ini dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, juga telah disepakati
masyarakat internasional sebagai hak asasi manusia yang paling asasi. Akan
tetapi, ketika itu persoalan HAM dan demokratisasi memang belum populer di
Indonesia sehingga sering secara sederhana masalah PII ini disimpulkan sebagai
“penolakan PII terhadap asas tunggal Pancasila” atau lebih ekstrem lagi yaitu
“penolakan PII terhadap Pancasila”.
Dalam masalah yang berkaitan dengan UU Keormasan khususnya pada
ormas-ormas Islam, biasanya hanya difokuskan pada persoalan asas tunggal.
Sedangkan bagi PII, asas tunggal merupakan salah satu permasalahan saja dari
UU Keormasan. Permasalahan lain yang juga sangat penting adalah
independensi organisasi. Kehadiran UU Keormasan juga dipandang bisa
memperlemah independensi organisasi PII sehubungan dengan adanya
“pembinaan dari pemerintah” (Bab VI Pasal 11 UUK). Apalagi dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU
Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 Bab VI Pasal 14 dinyatakan:
“Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, pembinaan organisasi kemasyarakatan diupayakan untuk berhimpun dalam wadah
68
pembinaan dan pengembangan yang sejenis agar lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya.” Pada Bab III buku ini telah dinyatakan bahwa persoalan independensi
bagi PII lebih penting untuk dipertahankan. Pada tahun 1973, misalnya, PII tidak
menyetujui pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang
mengindikasikan adanya gejala monolitik dalam pembinaan generasi muda agar
terarah pada jalur politik pemerintah. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan
“youth culture” dan akan mematikan kreativitas generasi muda. Adalah fakta
bila kemudian keberadaan KNPI juga mendapatkan gugatan di sana sini,
termasuk oleh Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) pendukungnya
seperti terjadi dalam Kongres VIII KNPI tanggal 28 Oktober - 4 Nopember 1996
di Jakarta.22
Ketika UU Keormasan resmi diundangkan pada tanggal 17 Juni 1985,
PB PII masih tetap belum mengubah sikapnya. Walaupun demikian, dalam masa
transisi penyesuaian terhadap UU Keormasan itu nampaknya PB PII belum
menyiapkan lembaga alternatif. Bahkan, sampai dengan pelaksanaan Muktamar
XVII pada tanggal 18-21 September 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII masih
tetap mempertahankan sikapnya yang tidak mau menyesuaikan diri pada UU
Keormasan.
PB PII periode 1983-1986 ini lebih mengutamakan intensifikasi
sekaligus ekstensifikasi proses kaderisasi dalam menghadapi berbagai
kemungkinan yang bakal dihadapi PII sehubungan dengan pemberlakuan UU
Keormasan. Dalam kata lain, proses kaderisasi lebih pokok daripada eksistensi
dan formalitas lembaga. Pilihan ini memang sesuai dengan suasana pergerakan
22 Kompas, 30 Oktober 1996
69
di kalangan umat Islam Indonesia ketika itu. Apalagi kaum pergerakan
Indonesia, khususnya generasi muda Islam, mulai banyak berhubungan dan
mempelajari pergerakan Islam internasional seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir
dan keberhasilan Revolusi Islam di Iran. Banyak pergerakan Islam di Indonesia
yang hanya kelihatan aktivitasnya, tetapi sulit mengetahui nama dan kelompok
afiliasinya. Dari fenomena inilah langkah PB PII periode 1983-1986 dapat
diteropong karena arah bergeraknya memang condong ke sana.
Meskipun berada dalam suasana yang belum menentu karena polemik
UU Keormasan, aktivitas PII tetap berjalan. Pada tanggal 17-21 Februari 1985,
misalnya, PB PII menyelenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di
Bandar Lampung. Musyawarah Instruktur Nasional ini menghasilkan Buku
Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbarui dan terdiri dari
panduan Basic Training, Mental Training, Perkampungan Kerja Pelajar, dan
Advance Training. Namun, sistem training yang digunakan tetap mengacu pada
hasil Pekan Orientasi Instruktur Nasional (POIN) tanggal 1-6 April 1979 di
Cibubur, Jakarta. Musyawarah Instruktur Nasional juga menetapkan program
kaderisasi yang disebut Sebelas Bintang, Satu Matahari plus Rembulan. Program
Sebelas Bintang terdiri dari training-training alternatif yang meliputi Studi Islam
Awal Mula (SIAM), Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK), Latihan
Hubungan Antar Manusia (Labungsia), dan training konvensional. Program Satu
Matahari adalah Leadership Advance Training (LAT) dan ditambah program
Satu Rembulan pasca-LAT.
Kemudian, pada bulan Desember 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII
melaksanakan Muktamar ke-17. Acara yang dilaksanakan tanpa izin dari aparat
70
keamanan ini akhirnya memilih Chalidin Yacob sebagai Ketua Umum setelah
mengalahkan Dindin Syafruddin. Chalidin Yacob tampaknya berbeda dengan
Mutamimul Ula yang intensif menekuni dunia pergerakan Islam dan proses
pengkaderan. Akibatnya, di tangan Chalidin Yacob program Sebelas Bintang,
Satu Matahari plus Rembulan tidak berjalan serius. Dalam hal ini, Dindin
Syafruddin sebetulnya lebih tepat melanjutkan rencana yang dirintis oleh
Mutamimul Ula itu. Kapasitas dan intensitas Dindin memang lebih besar
dibanding Chalidin Yacob ketika itu. Akan tetapi, menjelang Muktamar PII ke-
17 sudah beredar suara-suara yang kurang mendukung Dindin sebagai kandidat
Ketua PB PII, khususnya suara dari Keluarga Besar (KB)23 PII yang masih
memiliki pengaruh di PII. Chalidin Yacob sendiri banyak mendapatkan
dukungan dari sejumlah Pengurus Wilayah PII dari luar Jawa sebab ia memang
sering dikirim/ditugaskan oleh PB PII ke kader-kader PII di luar Jawa.
Chalidin Yacob juga nampaknya lebih cenderung menginginkan PII
menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Kesan inilah yang ditangkap oleh
beberapa Keluarga Besar (alumni) PII yang ditemui Chalidin Yacob. Namun,
arus bawah di PII secara nasional tidak menghendaki PII menyesuaikan diri
pada UU Keormasan sehingga Chalidin pun harus tunduk dan melaksanakan
aspirasi nasional tersebut. Belakangan ada pula kader PII yang menyayangkan
tidak terpilihnya Dindin sebagai pengganti Mutamimul Ula.
Untuk menetapkan sikap, arah, dan strategi PII dalam menghadapi UU
Keormasan yang masa toleransi (registrasi persetujuannya) hampir habis, PB PII
menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada tanggal 10-14
23 Keluarga Besar atau KB PII adalah sebutan untuk mantan-mantan anggota atau alumni PII. Saat ini para anggota KB ini telah membentuk suatu wadah yang diberi nama Perhimpunan Keluarga Besar PII disingkat Perhimpunan KB PII.
71
Mei 1987 di Cisarua, Bogor. Dalam arena Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas)
inilah lahir Deklarasi Cisarua yang menyatakan sikap istiqomah PII hingga tetap
tidak bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan Nomor 8 Tahun 1985.
Sesungguhnya, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ini tidak
berlangsung semulus yang terlihat dari luar karena ada satu catatan penting yang
disepakati untuk tidak diekspos ke publik/pers. Dari 18 Pengurus Wilayah PII
yang hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) itu, hanya Pengurus
Wilayah PII Yogyakarta Besar yang tidak setuju pada sikap penolakan PII
terhadap UU Keormasan. Namun, demi pertimbangan untuk menjaga keutuhan
organisasi PII secara nasional, Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Yogyakarta
Besar periode 1986-1988, Ananta Heri Pramono,24 akhirnya ikut
menandatangani Deklarasi Cisarua. Deklarasi Cisarua inilah yang menjadi
ketetapan pertama dari forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dengan
Nomor TAP/Rapimnas-PII/1987. Deklarasi Cisarua ini pun disepakati hanya
bersifat intern, atau tidak akan dipublikasikan ke pihak luar.
Lahirnya Deklarasi Cisarua menunjukkan bahwa semangat persatuan
untuk menjaga keutuhan jamaah benar-benar dijaga oleh para aktivis PII ketika
itu. Sikap dan pandangan tetap berbeda, namun segala hal yang menyangkut
persoalan bersama harus dipikul bersama pula. Adalah suatu konsekuensi yang
tak bisa dihindari bila suatu saat kehendak mayoritas harus diikuti tanpa
bermaksud menafikan aspirasi minoritas. Watak ini sering ditanamkan pada para
kader PII sebagaimana digariskan oleh Rasulullah SAW: “Inna ummatii laa
lajtami’u ‘ala dhalal faidzaa roatum ikhtilaafan fa’alaikum bissawaadil
24 Sebagaimana diceritakan pada saat TC dan Raker I PB PII Periode 1995-1998.
72
a’zhami” (Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka jika kamu
melihat perselisihan ikutilah kelompok yang terbanyak).25
Sehari setelah penandatanganan Deklarasi Cisarua; Mohammad Natsir
(mantan pimpinan Masyumi) memberikan ceramah kepada para peserta Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas). Dalam ceramah itu M. Natsir menyodorkan
alternatif Anggaran Dasar PII yang sudah disesuaikan dengan UU Keormasan.
Sebetulnya sejak awal M. Natsir telah meminta kesempatan berbicara khusus di
forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) itu sebelum keputusan diambil. M.
Natsir tampaknya berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
dijadikan pertimbangan oleh peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PII
dalam menyikapi Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985. Akan tetapi, saran
M. Natsir ini ditolak sehingga ia hanya diberi kesempatan tampil setelah
keputusan diambil.26 Tentu saja hal ini terlambat karena sehari sebelumnya
Deklarasi Cisarua telah ditandatangani. Menurut Agus Salim27 (kelak menjadi
Ketua Umum PB PII 1989-1992, pengganti Chalidin Yakob), seandainya M.
Natsir menyampaikan ceramahnya sebelum penandatanganan Deklarasi
Cisarua, maka hasilnya mungkin lain atau mungkin tidak ditandatangani.
Tanggal 15 Juni 1987, dua hari menjelang berakhirnya masa toleransi
penyesuaian organisasi kemasyarakatan (ormas) pada UU Keormasan, forum
Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pun dilanjutkan di Jakarta dan diikuti oleh
utusan dari 9 Pengurus Wilayah PII. Karena situasinya dipandang sangat
mendesak dan ada pula perbedaan kemampuan masing-masing Pengurus
25 HR. Ibnu Majah II: 1330, dan Ahmad IV: 978. 26 Wawancara dengan Asmara Hadi Usman, Februari 2010, di Jakarta. 27 Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2
Nopember 1997.
73
Wilayah PII dalam mengonsolidasikan aktivitas kader di tiap-tiap wilayahnya,
maka forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) mengeluarkan ketetapan
Nomor TAP/2/Rapimnas-PII/1987 yang berisi lima butir keputusan yaitu:
1. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII untuk
mengeluarkan Maklumat Ekstern tentang sikap PII yang tidak bisa
menyesuaikan diri pada UU No. 8 Tahun 1985.
2. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII atau Pengurus
Wilayah PII untuk membekukan/memvakumkan kepengurusan PII di
bawahnya.
3. Memberikan hak kepada Pengurus Wilayah PII dan Pengurus Daerah
PII untuk membekukan diri secara kelembagaan.
4. Memberikan hak kepada personal Pengurus Wilayah PII atau
Pengurus Daerah PII untuk mengundurkan diri dari kepengurusan
PII.
5. Pelaksanaan butir 2, 3, dan 4 dalam ketetapan ini dipilih oleh
pengurus yang bersangkutan berdasarkan kondisi masing-masing.
Butir keputusan nomor 1 yang bersifat kewenangan itu dapat
dilaksanakan dan dapat pula tidak, mengingat situasi sosial-politik nasional
masih panas. Ketika itu, Pemilihan Umum 1987 baru saja dilaksanakan. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami penggembosan oleh sebagian tokoh-
tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Kejadian ini sangat memukul aspirasi umat Islam
karena:
1. Kondisi PPP masih lebih tepat dianggap sebagai representasi umat
Islam Indonesia dibanding Golongan Karya (Golkar) atau Partai
74
Demokrasi Indonesia (PDI), meskipun saat itu semua partai politik
sudah sama-sama berasaskan Pancasila.
2. Mayoritas umat Islam berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU),
meskipun secara administratif tidak terdaftar sebagai anggota.
Melalui peristiwa penggembosan PPP itu tampak bahwa secara
umum kondisi umat Islam sedang mengalami “keretakan” ukhuwah.
Pada saat yang sama, sebagian organisasi kemasyarakatan Islam sudah
menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Hal inilah yang menjadi bahan
pertimbangan PB PII sehingga tidak mempublikasikan Maklumat Ekstern
mengenai sikap PII terhadap UU Keormasan. Juga karena dipandang tidak
menyelesaikan masalah, di samping akan memancing polemik yang sia-sia di
kalangan umat Islam.
Secara eksternal, Deklarasi Cisarua sebenarnya dimaksudkan untuk
memicu solidaritas lembaga atau organisasi kemasyarakatan Islam lainnya.28
Para aktivis PII menganalogikan situasi yang dihadapinya itu sama dengan
situasi pada masa Orde Lama ketika PII menolak Nasakom dan Manipol-Usdek.
Ketika itu, PII menyediakan diri sebagai benteng terakhir dalam
mempertahankan asas Islam. Ternyata analogi ini salah karena tidak ada satu
pun organisasi kemasyarakatan Islam yang berani mendukung sikap PII dalam
menolak UU Keormasan itu.
Mau tidak mau ada yang berubah di PII setelah Rapat Pimpinan Nasional
(Rapimnas) yang melahirkan Deklarasi Cisarua. Meski secara kelembagaan
PII sudah mengambil sikap tegas, namun secara individual setiap aktivis PII
28 Suara Hidayatullah, 08/VIII/Desember 1994
75
masih meraba-raba dalam menafsirkan tindakan pemerintah terhadap PII
sekaligus konsekuensi-konsekuensi politik yang akan menimpa para kadernya.
Bagaimanapun, hal itu akan berkaitan dengan masa depan para kader PII yang
masih panjang.
Akibat kondisi di atas, kegiatan kaderisasi PII setiap liburan sekolah
semakin minim publikasi (samar-samar). Pendekatan personal menjadi satu-
satunya cara dalam rekruitmen anggota dan kadang juga terkesan “mengelabui”
calon kader. Kenyataan ini sering pula diungkapkan oleh mantan-mantan peserta
Leadership Basic Training (LBT). Seringkali peserta LBT mengira akan diajak
mengikuti pesantren kilat. Bahkan, ada yang mengira akan diajak piknik.
Institusi PII pun baru diketahui pada saat pelaksanaan LBT itu. Oleh karena itu,
banyak juga kader yang telah mengikuti LBT malas aktif di PII. LBT sendiri
secara tidak resmi sering dipandang sebagai batas minimal seseorang telah
berstatus menjadi anggota PII.
Meski masih ada jalur perekrutan lain yaitu dari putra-putri alumni PII
(Keluarga Besar PII), namun langkah ini terbukti tidak juga membawa banyak
hasil. Problemnya, banyak juga alumni PII yang tidak setuju dengan sikap
penolakan PII terhadap UU Keormasan. Di samping itu, tidak selalu pula putra-
putri alumni atau Keluarga Besar PII berminat menjadi aktivis PII. Keluarga
Besar PII yang mendukung sikap PII pun tidak selalu mengarahkan putra--
putrinya menjadi kader PII. Alasan para alumni yang sering dikemukakan ialah
demi memberikan kebebasan kepada putra-putrinya dalam beraktivitas sehingga
tidak ada paksaan atau tekanan. Alasan ini cukup logis, tetapi tampak ambivalen
karena setidaknya putra-putri mereka dikondisikan mengenal PII. Ternyata
76
memang tidak semua alumni atau Keluarga Besar PII mau dan mampu
melakukannya.
Dengan demikian, bukan hanya anggota PII yang menyusut, tetapi juga
personal di segenap institusi kepengurusan. Selain itu, kualitas personal
pengurus PII juga mengalami penurunan karena pemilihan seseorang menjadi
pengurus tidak lagi berdasarkan kemampuan dan karakter, melainkan
berdasarkan kemauan saja. Inilah yang menyebabkan metode penyeleksian
pengurus menjadi lemah.
D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir Tunduk pada
Undang-undang Keormasan
Tanggal 17 Juni 1987, ketika batas waktu penyesuaian organisasi
kemasyarakatan terhadap UU Keormasan telah habis, PB PII tetap tidak
membuat pernyataan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Dari Departemen
Dalam Negeri (Mendagri) sendiri belum ada isyarat tindakan yang akan
dikenakan kepada PII. Akan tetapi, pada tanggal 21 Juli 1987, seusai rapat kerja
dengan Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Supadjo Rustam
menyatakan bahwa sampai tanggal 17 Juni 1987 masih ada dua organisasi
kemasyarakatan yang belum mendaftarkan diri yaitu PII dan GPM (Gerakan
Pemuda Marhaenis). Oleh karena itu, kedua organisasi ini dianggap tidak ada
atau telah membubarkan diri. Pernyataan Mendagri ini dilansir oleh berbagai
media cetak harian tanggal 22 Juli 1987.29 Namun sehari kemudian, tanggal 23
Juli 1987, Direktorat Jenderal Sosial Politik Depdagri membuat dan
29 Jawa Pos, 22 Juli 1987
77
mengirimkan surat panggilan kepada PB PII. Terkesan ada dualisme sikap di
Depdagri terhadap PII. Surat panggilan dari Direktorat Jenderal Sosial Politik
Depdagri secara tidak langsung justru mengakui keberadaan PII, dan berbanding
terbalik dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Supadjo Rustam yang
menganggap PII sudah tidak ada/bubar.
Menurut Agus Salim,30 untuk pertemuan tanggal 23 Juli 1987 memang
pihak Departemen Dalam Negeri yang mengundang dalam rangka
mengkonfirmasi PB PII sehubungan dengan keberadaan PII. Undangan itu
dikirim justru karena adanya suara-suara yang menyatakan bahwa PII telah
membubarkan diri. Delegasi PB PII yang terdiri dari Chalidin Yacob, Muchlis
Abdi, Agus Salim, Shaleh Hamid, dan Abdul Baqir Zein diterima dan berdialog
dengan Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri. Dalam dialog
itu, Moch Barir mengatakan, bahwa bila belum mendaftarnya PB PII ke
Departemen Dalam Negeri karena lupa, maka PB PII harus meminta maaf dan
kemudian secepatnya mendaftarkan diri. Sinyalemen Moch. Barir ini dibantah
dan diuraikan oleh Muchlis Abdi yang mengatakan bahwa registrasi ke Depdagri
dalam persepsi PB PII hanya berlaku untuk organisasi kemasyarakatan yang
sudah menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Karena hingga detik itu PII
belum bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan, maka PB PII pun tidak
wajib melakukan registrasi ke Depdagri. Apalagi batas waktu yang ditetapkan
Depdagri untuk melakukan registrasi sudah terlampaui. PII sendiri belum bisa
menyesuaikan diri pada UU Keormasan karena belum ada ketetapan dari forum
30 Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2
Nopember 1997.
78
Muktamar PII yang memang belum diselenggarakan. Forum Muktamar sendiri
adalah forum tertinggi di PII untuk pengambilan kebijakan tingkat nasional.
Kepada delegasi PB PII itu, Moch. Barir menyampaikan empat hal.
a) Depdagri mengundang PB PII karena ingin mengecek kepastian PII yang
akan membubarkan diri. Menurut informasi yang diperoleh Depdagri,
keputusan PII diambil dalam rapat tanggal 17 Juni 1997 di Warung
Buncit, Jakarta Selatan.31 Peristiwa ini menunjukkan adanya penurunan
kemampuan intelijen para aktivis PII. Informasi yang seharusnya bersifat
sangat rahasia ternyata bisa bocor keluar dalam waktu yang relatif cepat.
b) Bahwa setiap pemimpin, menurut Moch. Barir, harus berani menanggung
resiko. Oleh karena itu, menurutnya, PB PII harus berani mengambil
keputusan menyesuaikan diri pada UU Keormasan tanpa harus
menunggu pelaksanaan Muktamar. Ketiga, pemerintah tidak akan
membubarkan PII karena dikhawatirkan menimbulkan reaksi yang
mengarah pada tindak kekerasan. Pembubaran PII hanya akan
menimbulkan anggapan bahwa umat Islam memiliki kesalahan kepada
pemerintah.
c) Pemerintah masih memberi peluang kepada PII untuk melakukan
registrasi ke Depdagri, meski batas waktu yang ditetapkan telah lewat.
Akan tetapi, ada catatan bahwa PII harus mengubah kata “Pelajar”
dengan nama atau kata yang lain, meskipun singkatannya tetap PII.
Perubahan semacam ini telah dilakukan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU) yang menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan
31 Rapat yang dimaksud ini agaknya lanjutan Rapimnas di Pasar Jum’at yang menghasilkan Ketetapan Rapimnas Nomor TAP/2/Rapimnas-PII/1987 sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
79
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang menjadi Ikatan Remaja
Muhammadiyah (IRM).32 Kemudian, pada hari Senin, 27 Juli 1987,
Ketua Umum PB PII Chalidin Yakob kembali lagi ke kantor Departemen
Dalam Negeri guna membicarakan masalah eksistensi PII dan ia diterima
lagi oleh Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri.33
Berpijak dari situasi dan kondisi serta untuk menanggapi pernyataan
jajaran elit Departemen Dalam Negeri di atas, Chalidin Yacob meminta
wartawan agar tidak mendramatisasi keadaan. Lalu, Chalidin Yacob
menegaskan bahwa sesuai dengan Anggaran Dasar, PII hanya bisa dibubarkan
melalui Muktamar. Sekaligus dijelaskannya pula mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan ketentuan perundangan yang masih berlaku, tetap dalam proses
pembahasan. Meskipun situasinya demikian, roda organisasi PII tetap berjalan.
Data ketika itu menunjukkan bahwa PII memiliki 26 Pengurus Wilayah dan
1.080 Pengurus Daerah dengan anggota aktif sekitar 4,5 juta orang.34
Sementara bagi aktivis dan mantan aktivis PII lainnya, persoalan
pembubaran PII tidak dipandang sebagai masalah yang serius. Misalnya mantan
Ketua Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar, dr. M. Thoyibi yang
menyatakan, bahwa bukan merupakan masalah bila pemberlakuan UU
Keormasan membuat PII dianggap tidak ada. Menurutnya, perjuangan
menyuarakan aspirasi tidak harus melalui sebuah wadah yang formal. Jadi,
kader PII harus bisa memisahkan antara membela wadah dan aspirasi. Bagi dr.
M. Thoyibi, sebuah aspirasi tidak harus disalurkan melalui wadah sebab hal itu
32 Catatan pribadi Agus Salim. 33 Tempo,1 Agustus 1987 34 Terbit, 30 Juli 1987
80
lebih banyak tergantung pada kemampuan berkomunikasi.35 Lain halnya bagi
Sekretaris Umum Pengurus Wilayah PII Aceh, Jamaluddin Tami, dan Ketua
Umum Pengurus Wilayah PII Jawa Tengah, Zubair Syafawi yang mengatakan,
bahwa bukan merupakan suatu masalah andaikata PII bubar. Namun begitu,
keduanya memandang penting adanya wadah baru semacam PII yang tetap
berasaskan Islam.36
Di tengah polemik tentang keberadaan PII berkaitan dengan ketentuan
UU Keormasan, di Jawa Timur justru pemerintah daerahnya memperpanjang
batas akhir pendaftaran ulang organisasi kemasyarakatan hingga selama dua
tahun berikutnya. Menurut Kepala Direktorat Sosial Politik Jawa Timur, Hasril
Harun, kebijakan ini diambil dengan tujuan memberikan kesempatan kepada
organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar agar mempersiapkan diri. Di
Jawa Timur sendiri, menurutnya, ada 250 buah organisasi kemasyarakatan,
tetapi yang mendaftarkan diri ke Direktorat Sosial Politik hingga bulan Agustus
1987 baru 207 organisasi. Ketika batas akhir pendaftaran jatuh tempo tanggal 17
Juni 1987 berdasarkan ketentuan UU Keormasan, jumlah yang mendaftar baru
125 organisasi kemasyarakatan. Menurut Hasril Harun, sebagian besar
organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar itu disebabkan karena belum
memiliki kelengkapan seperti layaknya organisasi. Juga karena belum
mencantumkan asas tunggal Pancasila di dalam Anggaran Dasar (AD)/Anggaran
Rumah Tangga (ART).37 Kondisi di Jawa Timur ini dengan sendirinya menjadi
penggagal pernyataan Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam di Jakarta pada
tangga121 Juli 1987.
35 Eksponen, No. 43 Th. XV 23 Agustus 1987 36 Tempo, 1 Agustus 1987 37 Jawa Pos, 27 Agustus 1987
81
E. Sumbangsih Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan
Nasional
Kiprah dan Pergerakannya telah teruji dan memberi kontribusi yang besar
bagi ummat dan bangsa. Gagasan untuk mendirikan PII adalah upaya untuk
menutup adanya jurang pemisah yang sekian lama diciptakan oleh penjajah antara
pelajar umum (hasil didikan pola belanda) dengan santri (pelajar Islam) hasil
didikan pesantren yang sesungguhnya adalah sama-sama “pelajar” dari keluarga
muslim. Adalah Seorang Pelajar bernama Joesdi Ghozali yang menjadi inspirator
pembentukan wadah bagi para pelajar Islam yang ketika itu belum terkoordinasi,
cita-cita itu dirintis dalam pertemuan di Gedung SMP Negeri II Secodiningratan,
Jalan Senopati Yogyakarta dengan dihadiri oleh Joesdi Ghozali, Anton Timur
Djaelani, Amir Syahri, Ibrahim Zarkasji dan Noorsjaf yang menghasilkan
kesepakatan pembentukan yang akan diusulkan dalam forum kongres Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dilangsungkan pada tanggal 30 Maret – 1
April 1947 di Gedung Muallimin, Yogyakarta.
Dalam Kongres GPII itulah Anton Timur Djaelani yang menjabat sebagai
Pimpinan Pusat GPII bagian pelajar mengemukakan masalah GPII bagian pelajar
dan pada saat itulah Joesdi Ghozali mengemukakan ide tentang perlunya
organisasi pelajar yang terpisah sehingga kemudian timbullah diskusi diantara
para utusan kongres yang sebagian besar akhirnya menyetujui lepasnya GPII
bagian pelajar untuk dilebur menjadi Organisasi Pelajar Islam Indonesia. Dalam
Kongres itu juga disusun draft AD/ART PII yang dibagikan kepada semua utusan
untuk dibahas di daerahnya masing-masing. Pada Hari Ahad, 4 Mei 1947
82
diadakan pertemuan di Gedung GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta yang
secara resmi menetapkan AD/ART dan Mendeklarasikan penggabungan beberapa
organisasi pelajar seperti Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta (PPII),
Gerakan Pemuda Islam Indonesia Bagian Pelajar, Persatuan Pelajar Islam
Surakarta (PPIS) dan Persatuan Kursus Islam Sekolah Menengah Surabaya
(Perkisem) atas dasar kesamaan azas dan cita – cita. Pada tanggal 4 Mei itulah
Pengurus Besar PII Pertama terbentuk dan sejak itulah tanggal 4 Mei dijadikan
Hari Kebangkitan PII, disingkat HARBA PII, hari lahirnya kesadaran dan
tanggung jawab sebagai Pelajar Islam terhadap agama, nusa dan bangsa.38
E.1. PII dan Gerakan Amal Sholeh
Setelah PKI Bubar dan pemerintahan beralih dari orde lama ke orde baru
maka PII mengubah haluannya yakni tidak lagi terjun ke kancah politik praktis
dengan kembali kepada ideologi perjuangan semula sebagai organisasi pelajar
dengan mengaktulisasikan diri dalam Program GAS (Gerakan Amal Sholeh) yang
terkenal dengan slogan Kembali ke Masjid, kembali ke Bangku Sekolah dan
Kembali ke Kampung. GAS merupakan usaha PII untuk ikut menanggulangi
krisis moral yang melanda generasi muda sekaligus mengarahkan PII untuk
bergiat dalam pendidikan dalam rangka membangun bangsa dan negara yang
diridhoi Allah SWT.
38Lihat, Badrut Tamam Gaffas dan Badriyah Handayani, “Pak Timur Menggores Sejarah”, (Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan I tahun 1997)
83
Sebagai organisasi massa sosial dan pendidikan, PII telah mempunyai
suatu sistem latihan yang efektif bagi generasi muda yaitu :
1. Latihan Kepemimpinan (Leadership Training) bagi para anggotanya dari
mulai tingkat dasar sampai tingkat lanjutan
2. Latihan Kejiwaan (Mental Training) dan pesantren kilat yang terbuka
untuk semua generasi muda.
3. Latihan Kerja Kemasyarakatan (Perkampungan Kerja Pelajar/Pemuda) dan
Brigade Pembangunan yang terbuka untuk semua generasi muda.
E.2. PII dan Masa Depan Kepemimpinan Nasional
Pergerakan Pelajar Islam Indonesia dengan pemberdayaan potensi pelajar
dan generasi muda yang senantiasa diperjuangkannya, menjadikan PII membuka
jalan bagi mempersiapkan kader – kader pemimpin yang berkepribadian dan
berperadaban Islam. Jadi tidaklah berlebihan jika kini banyak nama – nama
alumni PII yang berkiprah dan berperan strategis di berbagai bidang termasuk
juga dalam hiruk pikuk pentas politik negeri ini. Meski PII memiliki kedekatan
sejarah dan emosional dengan Partai Masyumi yang dikenal sebagai Keluarga
Besar Bulan Bintang namun PII maupun Keluarga Besar PII tetap independen dan
tidak ber-afiliasi pada salah satu partai politik tertentu. Kendati sebagian besar
mantan petinggi PII melabuhkan pilihan politiknya kepada PBB (Partai Bulan
Bintang / Partai Bintang Bulan) diantaranya Dr. Anwar Haryono, Hussein Umar,
Abdul Qodir Djaelani, Hartono Marjono, dan banyak yang tidak tersebutkan
namun tidak sedikit mantan aktivis PII yang berkiprah di partai lain seperti AM
84
Saefuddin dan Husni Thamrin di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abdul
Hakam Naja dan AM Fatwa di Partai Amanat Nasional (PAN) dan beberapa
diantaranya juga menjadi deklarator dan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) seperti Mutammimul Ula. Dan beberapa alumni PII yang kini banyak
menjabat sebagai menteri-menteri dalam kabinet beberapa periode kebelakang
setelah reformasi, dalam bidang kebudayaan kita punya tokoh seorang Taufik
Ismail, Kuntowidjoyo. Di bidang pendidikan banyak tokoh-tokoh yang
memberikan kontribusi dalam pengembangan lembaga-lembaga pendidikan di
tanah air seperti Dr Arief Rahman, Utomo Dananjaya, dan beberapa alumni yang
ada didaerah-daerah dipelosok tanah air.39
Maka jelas bahwa, dibalik fakta ini PII sebagai organisasi pelajar dituntut
untuk tampil independen dan tidak larut dalam pragmatisme politik sebab PII
dengan Gerakan Amal Sholeh-nya senantiasa dinanti kiprah dan sumbangsih-nya
dalam mempersiapkan kader-kader ummat dan bangsa yang berkepribadian
Islami.
39Badrut Tamam Gaffas dan Badriyah Handayani, “Pak Timur Menggores Sejarah”,
(Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan I tahun 1997)
BAB V
KESIMPULAN
Tak terejawantahkan lagi sebagai organisasi yang lahir pada masa
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, PII telah menunjukan komitmennya
yang besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Bahkan pada
awal-awal pergerakannya, sesuai dengan konteks ketika itu, gerak PII lebih
banyak diwarnai oleh keikutsertaannya- bersama komponen bangsa yang lain-
mempertahankan kemerdekaan
Sebagaimana telah dijelaskan pada setiap bab dalam skripsi ini dapat
disimpulkan, bahwa kehadiran PII tidak dapat dilepaskan dari konteksnya sebagai
bagian dari gerakan Islam pada umumnya dan pergerakan yang berorientasi ke-
Indonesia-an pada khususnya. Dengan latar belakang dan motivasi ke-Islam-an
PII coba mensikapi apa yang terjadi di bumi Nusantara atas segala
keterpecahbelahan umat Islam. Hingga lahirlah apa yang di kenal dengan pelajar
umum dan pelajar santri, kemudian berkembang memberi motivasi yang lebih
lugas, sebagai respon atas modernisasi yang dijalankan negara Orde Baru.
Sebagaimana organisasi Islam lainnya, PII di sisi lain berupaya memoderenkan
umat Islam sekaligus mensikapi modernisasi yang berjalan akibat persentuhan
umat Islam dengan nilai-nilai Barat. Dalam hal ini di kenal dengan sebutan
developmentalism (pembangunanisme), atau tepatnya developmentalism yang
direvisi.
Sudah umum di ketahui bahwa setiap organisasi apapun bentuk visi dan
misinya, dalam perjalanannya akan mengalami pasang surut hal ini terjadi karena
69
86
adanya pengkaderan. Pengkaderan menjadi model yang dikembangkan PII dalam
perjalanannya ternyata bertentangan dengan model masyarakat yang diinginkan
oleh negara Orde Baru. Pertentangan itu berada pada dua level. Pertama, dari sisi
pandangan keagamaan dan ideologi, Orde Baru mengembangkan nilai-nilai
modernis-sekuler sehingga agama cenderung dipandang sebagai variabel yang
terlepas jauh dari politik dan kenegaraan. Bahkan, agama (Islam) dianggap
sebagai ancaman. Orientasi pembangunan ekonomi Orde Baru juga tidak memberi
tempat yang cukup bagi agama kecuali bila dapat direkayasa untuk kepentingn
politik pembangunannya. Kedua, dari sisi hubungan negara dengan masyarakat,
Orde Baru mengembangkan pola hubungan yang hegemonik sebagaimana telah
ditunjukkan pada berbagai model kepolitikan Orde Baru di Bab I, II, dan III.
Untuk merespon hubungan yang hegemonik ini PII lebih mengembangkan sikap,
oposisi secara kritis seperti tampak dalam dua dekade awal perjalanan negara
Orde Baru.
SARAN-SARAN
Akhir dari studi ini penulis berupaya mengkrucutkannya secara spesifik,
bahwa PII sebagai kelompok yang secara terus menerus mengembangkan
penguatan independensi dan nilai-nilai demokrasi ternyata tetap tidak berdaya
berhadapan dengan Negara atau rezim Orde Baru yang mengembangkan pola
hubungan hegemonik terhadap rakyatnya. Hal ini berlangsung justru bersamaan
dengan penguatan nilai-nilai PII yang didasarkan pada prinsip-prinsip pokok
seperti aqidah dan ideologi Islam.
Meski demikian saran yang dapat penulis sampaikan, bahwa kita sebagai
87
warga dan bangsa Indonesia yang mencintai tanah airnya hendaklah tidak
melupakan sejarah, walau di dalamnya mengandung sebuah nilai kejahatan atau
kebaikan, apapun peninggalannya, keduanya mengandung nilai pembelajaran dan
pengetahuan, sebagai wawasan untuk generasi berikutnya agar tidak melupakan
sejarah sebuah bangsa. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, Muchil., Pengaruh Training PII Terhadap Kepribadian Muslim, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1987.
Adi Prasetyo, Stanley, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno,
Jakarta: Hasta Mitra, 1995.
Cahyono, Heru, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1992.
Darban, Adby, Ahmad, Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta :
Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976.
Djaelani, A.Q., Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Ummat Islam
Indonesia, Sebuah Pembelaan, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press,
1985.
Djuwaeni , Ahmad, Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya
Menegaskan Missi, Jakarta, 12-13 Juni 1997.
Effendy, Bachtar., Merambah jalan baru Islam, Rekontruksi Pemikiran Islam
Indonesia masa Orde Baru, Bandung: Mizan,1986.
Gaffar Affan, Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang
Tepat, Ulumul Qur’an, Vol. IV, 1993.
HA. Halim MA Tuasikal, Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres, Tahun II Nomor
1, Januari 1956.
74
75
Habibullah, Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah
Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah,
Jakarta, Desember 1986.
Hanan, Djayadi, Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara,
Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006.
Hassan, Kamal, Muhammad, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan
Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Hatta, Muhammad, Uraian Pancasila, Jakarta, Mutiara, 1978.
Ismail, Taufik, Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965,
Artikel Lima Puluh Tahun PII, 1998.
J. Benda, Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Jauhari, Muhamad., Konsep Kader PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.
Kamal Hasan, Muhammad, Modenisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim,
Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, 1987.
Lukman, S.H, Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan
Bangsa, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Ma’roov (eds.), Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam
Indonesia, Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998.
Mardjono, Hartono, S.H Advanced Leadership Training PII , Jakarta, Juni 1991.
Martin, Lipset, Seymour, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City,
New York: Anchor Books, 1963.
76
Mas’oed, Mochtar, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1994.
Muhaimin, Yahya, Kemana Mobilitas Sosial, makalah seminar HIPIS di
Palembang, Maret 1984.
Mulkhan, Munir, Abdul, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991.
Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974,
Muzakkir, Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia, Yogyakarta,
1979.
Nasution, A.H. Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi
Seorang Jenderal, PII, 27 Juni 1997.
Natsir, Mohammad, Capita Selecta, Jakarta : Pustaka Pendis, 1957.
Nelson, Joan, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Jakarta: Rineka
Cipta, 1994.
Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan
Pengkhidmatan, 1983.
Rahrdjo, M. Dawam, Basis Sosial pemikiran Islam di Indonesia sejak Orde Baru,
Prisma No. 3, Maret 1981.
Saefuddin Anshori, Endang, Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan
Hasil Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama
Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama
RI: Jakarta, 1985.
77
Sri Syamsiar Issom, Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan
Situasi, Jakarta, 31 Maret 1998.
Stoddard, F.L., Dunia Baru Islam , Jakarta : Gunung Agung, 1966.
Suminto, Aqib, H, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1986.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta:
LP3ES, 1992.
Syafii Maarif, Ahmad, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996.
Taufik Dahlan., Sistem Kaderisasi PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.
Timur Djaelani , Anton, Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke
Organisasi, 30 April 1997.
Ula, Mutamimul., Kepemimpinan Dalam Islam, Jakarta: STDI RISKA, 1986.
________, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama,
Jilid III 1993. ________, Documenta Selecta, Pelajar Islam Indonesia, PB PII. ________, Tim IAIN Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, Jilid
I, 1992. ________, Tempo, Nomor 46 Tahun 1988. ________, Undang-Undang Keormasan, Nomor 8 Tahun 1985. ________, PII, Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-
Undang Keormasan, Jakarta: Rapimnas, 1984. ________, Muktamar Nasional ke-20 PII, Jakarta, 1995.
78
________, Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997. ________, Suara Merdeka, 4 Mei 1996. ________, Berita Pelajar Islam Indonesia, PB PII Bagian Penerangan,
1960. ________, Berita Pelajar Islam Indonesia, Januari 1956. ________, Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V, Ngabean, Yogyakarta. ________, HMI MPO Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung :
Mizan, 1997. ________, Paduan Training PII, Jakarta: POIN, 1979. ________, PB PII, Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional
ke-21 PII, Jakarta,1998. ________, Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981. ________, TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985. ________, UU No.3 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, 1975
BIODATA CALON WISUDA 1. Nama : Mirzan Insani 2. Tempat, Tanggal lahir : Tegal, 12 maret 1981 3. NIM : 201033200785 4. Jurusan/Prodi : Study Ilmu politik 5. Program : Strata Satu (S.1) 6. Judul skripsi : DINAMIKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM
INDONESIA DI ERA ORDE BARU 7. Pembimbing : Dr. Sirojuddin Aly, MA 8. Penguji : Dra. Haniah Hanafie, M,Si Drs. Agus Nugraha, M,Si 9. Tanggal lulus : 12 Maret 2010 10. Nomor Ijazah : 11. Indeks Prestasi/yudisium : 3, 22/ Amat Baik 12. Jabatan dalam oraganisasi
Kemahasiswaan : 1. Ketua Pelajar Islam Indonesia Daerah Ciputat (2005-2007)
2. Ketua UKM Teater Syahid (2006-2008) 3. Ketua Bela Diri Pernapasan “MAHATMA” cabang UIN (2008-sekarang)
13. Alamat Asal : RT/RW: 03/08 Desa: Jatilaba
Kecamatan: Margasari Kabupaten: Tegal - Jawa Tengah 52463 Telp: 081808694311 14. Alamat Sekarang : JL Abdul Ghani komplek
Perkebunan No. 46 Cempaka Putih Ciputat Timur- Tangerang Selatan-Banten Telp: 081808694311
15. Nama Ayah : Sujono 16. Pendidikan Terakhir Ayah : D2 pendidikan 17. Pekerjaan Ayah : Kepala Sekolah Dasar Negeri Jatilaba 03 18. Nama Ibu : Royanah 19. Pendidikan Terakhir Ibu : SD 20. Pekerjaan Ibu : Dagang Jakarta, 18 Maret 2010
Calon Wisudawan
Mirzan Insani NIM: 201033200785