Upload
others
View
27
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DINAMIKA RELASI KEPALA DESA DAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)
(Studi Kasus di Desa Wonomulyo)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Prasyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)
Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dengan Minat Utama Inovasi Pemerintahan
Oleh :
Dina Dwi Rahayu
135120600111036
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PERSTUJUAN
DINAMIKA RELASI KEPALA DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
(BPD)
(STUDI KASUS DESA WONOMULYO)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Dina Dwi Rahayu
NIM 135120600111036
Telah Disetujui Oleh Pembimbing
Pembimbing Utama
Ahmad Zaki Fadlur Rohman, S.IP., MA
NIK -
Pembimbing Utama
Ratnaningsih Damayanti, S.IP., M.EcDevst
NIK. 2014058609212001
LEMBAR PENGESAHAN
DINAMIKA RELASI KEPALA DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
(BPD)
(STUDI KASUS DESA WONOMULYO)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Dina Dwi Rahayu
135120600111036
Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana Ilmu Politik Pada tanggal 28 Juli 2017
Tim Penguji
Ketua Majelis Penguji
Fathur Rahman, S.IP., MA
NIK. 2011098204291001
Sekretaris Majelis Penguji
Barqah Prantama, S.AP., M.AP
NIK. -
Anggota Majelis Penguji 1
Ahmad Zaki Fadlur Rahman,S.IP., MA
NIK. -
Anggota Majelis Penguji 2
Ratnaningsih Damayanti, S.IP., M.EcDevst
NIK. 2014058609212001
Malang, 30 Agustus 2017
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prof.Dr. Unti Ludigdo., SE., M.Si, Ak
NIP.196908141994021001
PERNYATAAN
Nama : Dina Dwi Rahayu
NIM : 135120600111036
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Dinamika Relasi
Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Studi Kasus Desa wonomulyo”
adalah benar- benar karya sendiri. Hal- hal yang bukan merupakan karya saya dalam
skripsi tersebut telah diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam lembar Daftar Pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya
peroleh dari skripsi tersebut.
Malang,
Yang Memberi Pernyataan,
Dina Dwi Rahayu
135120600111036
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis atas rahmat dan nikmat Allah SWT
limpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dinamika
Relasi Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Studi Kasus Desa
Wonomulyo”. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan menempuh gelar Strata 1 (S1)
pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Brawijaya.
Skripsi ini merupakan sebuah karya yang tidak sempurna, maka dari itu selama
proses penyelesaian penulis telah banyak mendapat masukan. Masukan- masukan yang
penulis terima berupa matiriil ataupun non- materiil yang tanpa hal- hal tersebut karya
ini merupakan sesuatu yang sangat tidak ada artinya. Maka dari itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Bapak Tumiran dan Ibu Poniyem sebagai Ibu dan Bapak saya, juga Bapak
Mahmud Kariman dan Ibu Sulaimah sebagai orangtua saya. Beliau adalah
aktor dibalik setiap kesuksesan dari usaha saya yang merupakan donatur
utama atas pendidikan saya sekaligus pendukung utama atas pembangunan
karakter saya.
2. Ahmad Zaki Fadlur Rohman, S.IP, MA, atau Pak Zaki, sebagai dosen
pembimbing utama saya. Pak Zaki merupakan dosen pembimbing yang selalu
bersedia direpotkan atas kesulitan dalam kepenulisan skripsi saya. Tanpa Pak
Zaki skripsi ini mungkin tidak terselesaikan dengan baik dan penulis hanya
sebagai fakir ilmu yang masih membutuhkan banyak masukan dari beliau
3. Ratnaningsih Damayanti, S.IP, M.EcDevst, atau Bu Ratna sebagai dosen
pembimbing kedua saya dalam kepenulisan skripsi ini. Ketlatenan beliau
merupakan semangat saya dalam menulis dan lebih disiplin dalam
kepenulisan. Beliau memberikan masukan atas kekurangan saya dselama
menulis skripsi ini dan akan terus belajar dari kesalahan.
4. Fathur Rahman, S.IP., MA, dan Pak Barqah sebagai dosen yang telah
menyempatkan menjadi dosen penguji yan telah memberi masukan dan
rekomendasi yang sangat bagus untuk kualitas skripsi saya yang semakin baik
5. Almamater kebanggaan saya Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Rayon Pancasila, FISIP, Universitas Brawijaya secara
khusus dan PMII secara umum sebagai organisasi pergerakan saya yang telah
memberikan kontribusi besar atas kematangan berfikir saya dan kematangan
emosi saya. Organisasi ini merupakan keluarga kedua saya sebagai rumah
tempat untuk berbagi dan tempat saya untuk kembali mengabdikan ilmu dan
pengetahuan.
6. Teman- teman saya dalam keluarga “Gembong” yang anggotanya terdiri dari
Cahya Andi Purwanto, Acik Mei Prayuni, Bretta Agistasari, Dannis Pristika,
Anindita, Veni Nuritasari dan secara khusus teman sekamar saya Anggun
Melisa yang tela bersedia menjadi teman berbagi dalam keadaan lapar
maupun kenyang. Bersedia berbagi dalam suasana hati senang ataupun sedih.
Mereka merupakan aset besar dalam hidup saya selain keluarga dan saudara-
saya.
7. Teman- teman “Griya Kost Putri Simerah” yang sangat saya sayangi
diantaranya Adiba Yamani, Clara Nellie, Queen Niken El Firdhausy, Pinky
Sandra, dan masih banyak lagi.
8. Keluarga besar Kopi Tuang, sebagai tempat saya dalam mempelajari kopi
sebagai minuman favorit saya lebih dalam lagi. Mereka adalah Mas Can, Mas
Ojik, Mbak Putri, Cak Jon, Cak Tuki, Amir, Ilham, Agung, Erik, Hendro,
Echa, Kak Zaki, Mas Iza, Ekik, dan Dharmo.
9. Keluarga Besar Warung Pasta Malang, yang telah memberikan pengalaman
yang luarbiasa dalam how to manage restoran, memasak, dan menjadi
karyawan yang disiplin juga beretos kerja tinggi.
10. Keluarga Averroes Comunity, yang telah bersedia menampung saya dalam
agenda diskusi. Bersedia menjadi tempat dalam meminjam buku dan mencari
jaringan wifi.
11. Secara khusus kepada Guy Peters yang telah memberikan pemaparan yang
luar biasa dalam buku Institutional Theory in Political Science: The ‘New
Institutionalism’ dan telah memberikan kontribusi besar dalam kualitas kepenulisan
saya pada pembangunan kerangka teoritik skripsi ini. Terimakasih juga saya
sampaikan kepada mas Mahalli yang telah banyak membantu dalam menafsirkan
buku Guy Peter dan dalam proses menulis skripsi ini.
Penulis menyadari benar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan oleh sebab itu, penulis memohon maaf kepada semua pihak apabila terjadi
kesalahan. Saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca adalah sesuatu yang sangat
penulis harapkan. Semoga skripsi mampu bermanfaat dan memberikan kontribusi
besar dalam reproduksi ilmu pengetahuan secara umum dan Ilmu Pemerintahan
secara khusus.
Malang, 29 Agustus 2017
Penulis
ABSTRAK
Dina Dwi Rahayu, (2017). Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang. Dinamika Relasi Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) Studi Kasus Desa Wonomulyo. Dosen Pembimbing:
Ahmad Zaki Fadlur Rohman, S.IP, MA, Ratnaningsih Damayanti, S.IP., MecDevst
BPD merupakan lembaga representasi politik masyarakat dalam tatanan pemerintahan
desa. Secara kelembagaan dinamika relasi BPD dan Kepala Desa dipengaruhi dengan
adanya kelembagaan BPDseperti Badan Musyawarah Desapraja, Lembaga
Musyawarah Desa, BPD (Badan Perwakilan Desa), dan BPD (Badan Permusyawaratan
Desa). Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai representasi politik masyarakat desa,
pengaruh transformasi kelembagaan terhadap relasi politiknya dengan Kepala desa
sebelumnya tidak pernah dilakukan. Penelitian skripsi ini menggunakan metode studi
kasus dengan pendekatan kualitatif. Fokus dari penelitian ini pada relasi kelembagaan
BPD dan Kepala Desa di Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten
Malang. Kerangka teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori
Historical Institutionalism dan konsep relasi eksekutif oleh Hanta Yudha. Penulis
menemukan pola relasi yang terjadi di desa Wonomulyo adalah relasi efektif dan relasi
konfrontatif. Relasi konfrontatif tersebut terjadi karena personal kepala desa dan BPD
di Wonomulyo yang kuat sementara sistem yang institusional diantara keduanya masih
lemah. Relasi konfrontatif juga terjadi karena diantara BPD dan Kepala Desa berasal
dari platform yang berbeda.
Kata kunci : dinamika, relasi, BPD, Kepala Desa
ABSTRACT
BPD is a public political representation institution in the village governance arrangement.
Institutionally the dynamics of BPD relation and village heade are influenced by the
institution of BPD such as the Badan Musyawarah Desapraja, Lembaga Musyawarah
desa, BPD (Badan Perwakilan Desa), and BPD (Badan Permusyawaratan Desa). As an
institution that serves as a political representation of the village community, the influence
of institutional transformation on its political relations with the previous village head has
never been done. This thesis research using case study method with qualitative approach.
The focus of this research is on the institutional relations of BPD and the Village Head in
Wonomulyo Village, Poncokusumo Sub District, Malang. The theoretical framework that
the author uses in this research is the theory of Historical Institutionalism and the concept
of executive relations by Hanta Yudha. The authors found the pattern of relationships that
occurred in the village of Wonomulyo is an effective relationship and confrontational
relations. The confrontational relationship occurs because the personal head of the village
and BPD in Wonomulyo are strong while the institutional system between them is weak.
Confrontational relations also occur because between the BPD and the Village Head
comes from different platforms.
Keyword: dynamic, relation,BPD, Village Head.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI........................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................11
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................11
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................12
1.4.1 Manfaat Akademis ................................................................................. 12
1.4.2 Manfaat Praktis ...................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
2.1 Studi Terdahulu ............................................................................................13
2.2 Kerangka Teori.............................................................................................18
2.2.1 Teori Historical Institutionalism (Institusional Historis)....................... 18
2.2.2 Konsep Relasi Eksekutif dan Legislatif................................................. 25
2.3 Alur Pikir Penelitian.....................................................................................29
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 31
3.1 Jenis Penelitian .............................................................................................31
3.2 Fokus dan Lokasi Penelitian ........................................................................37
3.3 Jenis Data dan Sumber Data.........................................................................38
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..........................................................................39
3.4.1 Wawancara ............................................................................................ 39
3.4.2 Dokumentasi .......................................... Error! Bookmark not defined.
3.5 Teknik Analisa Data .....................................................................................43
4.2 Pemerintahan Desa Wonomulyo ..................................................................47
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Desa Wonomulyo ......................50
BAB V DINAMIKA RELASI KEPALA DESA DAN BPD ............................. 54
5.1 Analisis Historical Institutionalism dalam Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa Wonomulyo ..................................................................................................54
5.1.1 Path dependency Pada Pengaturan dan Transformasi Kelembagaan BPD dalam
Pemerintahan Desa ................................................................................ 55
5.2 Dinamika Relasi Kelembagaan BPD dan Kepala Desa Wonomulyo ..........98
BAB VI ................................................................................................................ 113
PENUTUP........................................................................................................... 113
6.1 Kesimpulan.................................................................................................113
6. 2 Rekomendasi .............................................................................................114
DAFTAR PUTAKA ........................................................................................... 116
LAMPIRAN........................................................................................................ 120
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian .................................................................................................. 30 Bagan 2. Bagan Penelitian Kualitatif ........................................................................................ 34
Bagan 3. Teknik Analisis Data Kualitatif Studi Kasus ............................................................. 45 Bagan 4: Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa .......................................... 87 Bagan 5: Critical Juncture Relasi BPD Dan Kepala Desa Melalui UU NO. 22/1999 .............. 93
Bagan 6: Critical Juncture Relasi BPD dan Kepala Desa melalui UU No. 32 Tahun 2014 ..... 97 Bagan 7: Pola Relasi BPD dan Kepala Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 ............................. 98
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Luas wilayah tanah Poncokusumo ......................................................10
Tabel 2. Penelitian Terdahulu ............................................................................16
Tabel 3. Daftar Informan Penelitian ..................................................................42
Tabel 4. Pola Relasi BPD dan Kepala Desa Wonomulyo .................................110
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Gerbang Desa Wonomulyo .................................................................................... 47
Gambar 2: Bapak Kaminto Mantan Ketua BPD Poncokusumo ............................................ 120 Gambar 3: Bapak Yanto Mantan Kepala Desa Poncokusumo .............................................. 120
Gambar 4: Purnomo Edi Anggota BPD ................................................................................. 121 Gambar 5: Bapak Suminto Kepala Dusun Ngrobyong ......................................................... 121 Gambar 6: Bapak Slamet, Sesepuh Desa Wonomulyo .......................................................... 122
Gambar 7: Bapak Yanto, Mantan Ketua BPD Wonomulyo .................................................. 122 Gambar 8: Bapak Khusairi, Direktur LSM Pro Desa ............................................................ 122
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Desa telah memberikan
warna baru dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam penelitian ini secara khusus
mengenai penegasan posisi BPD (Badan Perwakilan Desa) yang berganti menjadi Badan
Permusyawaratan Desa. Sebagai lembaga perwakilan masyarakat desa yang mempunyai
fungsi mengawasi kinerja kepala desa dalam pelaksanaan sistem check and balances.
Sebelum UU No. 32 Tahun 2004 lahir, BPD keanggotaannya dilipilih melalui pemilihan
langsungseperti kalanya memilih kepala desa. Pada kenyataannya di Desa Wonomulyo
sistem itu membuat BPD adalah lembaga yang dipolitisasi dan membuat fungsi kelembagaan
itu tidak berjalan efektif. Hal tersebut kemudian membuat relasi yang konfrontatif terjadi
diantara dua elit desa ini yang seharusnya secara kelembagaan mereka bersinergi. Kondisi
tersebut membuat evaluasi besar pemerintah yang kemudian setelah UU No.32 tahun 2004
berganti menjadi BPD sebagai Badan Permusyawaratan Desa yang anggotanya dipilih
langsung oleh kepala desa. Dapat diasumsikan bahwa peraturan ini dibuat untuk
menyembuhkan dinamikapersaingan antara kepala desa dan BPD yang sangat menghambat
pembangunan.
Secara sosiologis desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat
atau komunitas penduduk yang bertampat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka
(masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen
serta banyak bergantung pada alam. Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang
menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat
dilindungi dan dikembangkan, atau suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu
masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri.1
Dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi
kekuasaan. Maksud dari hal tersebut, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau
organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur
pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini desa dipilah dalam beberapa unsur penting:
(1) Adanya orang-orang atau kelompok orang; (2)Adanya pihak-pihak yang menjadi
“penguasa” atau pemimpin, (3) Adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan, (4)
Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teretori penyelenggara kekuasaan; dan (5)Adanya
mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan
keputusan.2
Melalui analisis pendekatan historicalinstitutionalism,penulis akan mengamati
transformasi kelembagaan mulai dari sejarah BPD sebagai bentuk perwakilan masyarakat
dalam pemerintahan desa. Melalalui pengamatan transformasi kelembagaan BPD tersebut
nantinya akan dapat dilihat bagaimana perkembangan kelembagaan BPD dan bagaimana
dinamika relasi diantara keduanya. Dimulai dengan pengamatan yang menggambarkan
perubahan BPD dan perubahan kekuasaan kepala desa sebagai proses politik yang berurutan.
Lembaga wakil masyarakat seperti BPD ini yang secara resmi pada masa orde baru bernama
LMD dimana keanggotanya dipilih oleh kepala desa melalui perwakilan- perwakilan
golongan. Kemudian pascapada UU No. 22 tahun 1999 Lembaga Masyarakat Desa berganti
menjadi Badan Perwakilan Desa dalam prosesnya demokratisasi mulai diterapkan. Adanya
demokratisasi setelah rezim yang represif rupanya belum mampu diterima oleh masyarakat
secara dewasa. Pada masa ini relasi BPD dan Kepala Desa secara umum saling menentukan
1Soetardjo Kartohadikoesoemo, (2002), Desa, Yogyakarta,
2 Pambudi, (2003), Desa Baru Regulasi Baru, hlm 5-6
sikap oposisi yang kemudian pada tahun 2004 “Perwakilan” pada BPD diganti menjadi
“Permusyawaratan”. Hal ini lah yang kemudian melatarbelakangi penulis menuliskan
“Dinamika” pada judul penelitian.
Pada Orde Lama institusi formal yang memiliki gagasan sama dengan BPD sebagai
perwakilan masyarakat desa dalam pemerintahan desa dikenal sebagai Badan Musyawarah
Desapraja. Pasca orde lama runtuh dan digantikan oleh era Soeharto yang atau orde baru,
lembaga perwakilan masayarakat desa tersebut diganti dengan Lembaga Masyarakat Desa.
Rezim orde baru Soeharto dijalankan berjalan secara sentralistis membuat seluruh lembaga
pemerintahan di Indonesia penuh intervensi. Intervensi tersebut dilakukan dengan
menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang secara
legal rasional desa bukan merupakan satuan wilayah namun sebagai wilayah bagian kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dimana kekuatan desa disini dilemahkan dan tidak diakui sebagai
wilayah yang otonom.
Kemudian setelah UU No. 5/1979 berjalan selama 19 tahunseiring bergantinya rezim
aturan mengenai pemerintahan desa terjadi perubahan yang subtansial dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut merupakan pengganti dari UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perubahan
itu dibuatdengan alasan bahwa kedua undang-undang yang dijadikan landasan penyelenggara
pemerintahan daerah tersebut sudah tidak mampu lagi menampung dinamika perkembangan
masyarakat. Selain itu, undang-undang tersebut juga sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan
prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis, efektif dan efisien serta belum
mampu mengakomodasikan keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan berkembang
di daerah dalam pelaksanaan pembangunan. UU ini juga merupakan sebagai kran pembuka
arus demokratisasi desa yang seluas- luasnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemerintahan desa adalah
pelaksana kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang terendah langsung di bawah
pemerintahan kecamatan. Pemerintahan desa terdiri atas, kepala desa, BPD dan perangkat
desa yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 64 Tahun 1999 telah memberikan peluang dan kesempatan bagi desa dalam
memberdayakan masyarakat desa, untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan
tujuan membangun relasi yang demokratis (desentralisasi dan demokrasi lokal) melalui
perluasan ruang partisipasi politik pada masyarakat desa, untuk menghapus dan mengakhiri
sentralisasi dalam mewujudkan suatu masyarakat yang otonom (desa otonom ).3Struktur
pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdiri atas pemerintahan
desa dan BPD. Dalam konteks ini, pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
mencantumkan keberadaan dan pembentukan Badan Perwakilan Desa merupakan lembaga
legislasi desa, yang berfungsi sebagai pengayom adat istiadat, bersama kepala desa membuat
Peraturan Desa, penyalur aspirasi masyarakat desa, dan pengawas penyelenggaraan
pemerintahan desa.
Dalam skema kelembagaan yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi
Pemerintahan Desa. Keberadaan desa berada langsung di bawah kontrol pemerintah
Kabupaten. Selain itu terdapat suatu pemisahan kekuasaan antara eksekutif (kepala desa) dan
legislatif (BPD). Pelaksanaan tugas kepala desa yang selama Orde Baru di luar kontrol
rakyatkini diawasi secara ketat oleh BPD. Kepala desa tidak lagi sebagai pusat kekuasaan di
desa dan pengambilan kebijakan tidak lagi menjadi wewenang mutlak kepala desa, melainkan
3 Sutoro, Desa di Tengah Perubahan, http://www.Ireyogya.org/sutoro/jurnal/desaditengahperubahan.pdf diakses
pada 22 Desember 2016
beralih kepada BPD, pertanggungjawaban kepala desa diberikan pada BPD, serta BPD
memberikan laporan kepada bupati.
Kehadiran BPD sebagai tuntutan regulatif untuk menjadi aktor baru di desa sebagai
lembaga kemasyarakatan dan kekuatan pemerintahan desa, BPD berpeluang secara luas
sebagai roda penggerak masyarakat politik di tingkat desa. Hal ini menandakan perubahan
signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, bahwa BPD dirancang untuk terlibat
pada everyday life politics desa, dan menciptakan demokratisasi lokal serta merupakan roda
penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dalam praktiknya, konsep
pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 ini ditemukan adanya
sisa-sisa pola patron-klien di kalangan masyarakat desayang terbentuk pada masa Orde Baru.
Sisa kultur patronase desa ini membuat posisi kepala desa yang sebelumnya tanpa kontrol
merasa kurang siap ketika menghadapi demokratisasi pada masa reformasi yang
menyebabkan adanya gesekan- gesekan politik. Alhasil, banyak prodak- prodak desa yang
seharusnya mampu dilaksanakan oleh kepala desa sebagai kepala pemerintahan untuk
mempercepat pembangunan menjadi terhambat.
Sebuah kebijakan yang bersifat penyeragaman tentang setiap daerah harus
membentuk BPD Telah menimbulkan dilema. Hal ini dikarenakan tidak semua desa siap
dengan adanya pewajiban pembentukan BPD. Dalam sudut pandang lain, dapat ditemukan
banyak kasus BPD hanya dibentuk secara formalitas dan minim fungsi. Aturan perundangan
cenderung melakukan generalisasi terhadap keadaan heterogenitas masayarakat di desa- desa
di Indonesia dan kondisi lokal yang setiap daerah berbeda.
Pada kasus Desa Wonomulyo pada masa pengimplementasian UU No. 22 tahun 1999
BPD dan Kepala Desa tidak mempu menjalankan fungsinya secara profesional. Permasalahan
yang muncul ke permukaan adalah adanya konflik saling menjegal diantara keduanya. BPD
menjadi lembaga yang dipolitisi mengingat keputusan yang dikeluarkan cenderung
merupakan upaya untuk menggagalkan pemerintahan kepala desa. Hal tersebut dikarenakan
adanya wewenang pada BPD yang menyatakan dapat mengusulkan pemberhentian kepala
desa kepada bupati. Wewenang itu kian membuat BPD adalah lembaga yang overcapacity
dan posisi desa cenderung kepada legislative heavy. Relasi tidak baik antara BPD dan Kepala
Desa ini dikonfirmasi dengan adanya permasalahan antara BPD dan Kepala Desa yang
berdasarkan permasalahan pribadi dari masing- masing individu. Seperti yang diungkapkan
oleh Khusairi;
“Dulu (sebelum UU No. 32 Tahun 2004) antara kepala desa dan BPD terjalin seperti layaknya kayak anak kecil. Mereka berpolitik dengan tidak
dewasa. Ketika berbeda pendapat saling menjatuhkan dan saling mengancam. Karena BPD sendiri merasa dipilih oleh rakyat. Sebenarnya
konsep BPD ini lebih bagus yang dulu karena checks and ballances itu berjalan. Ketika pemerintah desa mulai melenceng ada yang mengingatkan. Cuma ternyata ketika kran demokrasi dibuka, ternyata masyarakat tidak
sepenuhnya siap. Kehidupan desa dimana konflik pribadi sering dicampur adukkan ke dalam kepentingan lembaga untuk menjatuhkan”4
Dalam peneletian Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa, penulis mengambil kasus
empiris di Desa Wonomulyokarena Desa Wonomulyo adalah desa yang menampakkan kasus
ketidak harmonisan BPD dan Kepala Desa di permukaan. Salah satu kasus yang sangat
mencolok terjadi pada tahun 2002 dimana BPD mengajukan perkara sampai kepengadilan.
Meskipun hal tersebut masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan hal ini dapat menjadi
indikasi bahwa fungsi “pengawasan” yang dilaksanakan oleh BPD terlampau kebablasan.
Reformasi merupakan titik balik perpolitikan Desa Wonomulyo. Titik balik tersebut
dapat dilihat melalui dengan semakin ramainya demokrasi desa bersama dengan adanya BPD.
Masyarakat desa lebih lantang menyuarakan ketidaksependapatan mereka dengan penguasa
yang selama ini mereka memilih diam. Cita- cita tentang kemajuan desa tersebut sangat mulia
namun pada kenyataannya “kontrol” yang dilakukasn masyarakat melalui BPD tidak
4 Wawancara pribadi dengan Kusairi dari LSM Pro Desa pada 20 Mei 2017
dilaksanakan dengan obyektif. Bahkan keputusan BPD bukanlah keputusan yang dilandaskan
oleh kepetningan masyarakat, namun berdasarkan keegoisan pribadi. Hal tersebut mendesak
keberadaan BPD ini perlu di evaluasi kemudian lahirlah UU No. 32 tahun 2004 sebagai titik
perubahan BPD signifikan di Wonomulyo selanjutnya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai upaya
lebih meredakan pertikaian di masyarakat menggantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 secara eksplisit mendegradasi fungsi BPD. Undang-Undang ini disinyalir memberikan
wacana dan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana kualitas
pelayanan masyarakat dapat lebih cepat terwujud. Pada Undang-undang ini Kepala Desa
lebih diwenangkan untuk melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan
secara mandiri sedangkan BPD dari Badan Permusawaratan Desa menjadi panitia dalam
segala musyawarah kepentingan desa. Aturan ini dibuat agar penyelenggaraan Pemerintahan
Desa sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, juga keadilan dan posisi BPD
sejajar dengan Kepala Desa yang dapat diasumsikan keberadaan BPD dan Kepala Desa
dalam pemerintahan adalah partner.
Undang- undang tersebut berdampak membaiknya relasi Kepala Desa dan BPDdi
Wonomulyo, namun pada kenyataannya membaiknya relasi BPD dan Kepala Desa tersebut
diakarenakan fungsi BPD yang telah diamputasi. Keberadaan BPD pada masa itu
menyebabkan BPD hanya sebagai lembaga formalitas dan minim fungsi. Setelah itu, lahirlah
UU No. 6 Tahun 2014 yang membuat paradigma baru BPD adalah lembaga desa bersama
kepala desa. UU ini seperti menjadi perundang- undangan penengah diantara UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur BPD tidak melampaui batas namun
juga tidak sebagai lembaga yang useless. Bentuk penegasan itu terlihat dari BPD sebagai
lembaga desa bersama kepala desa yang kedudukannya sejajar hanya berbeda menurut
fungsi. Maka dari itu, partisipasi masyarakat perlu adanya secara maskimal melalui
kelembagaan BPD ini namun tetap berelasi baik dengan kepala desa. Relasi dinamis antara
BPD dan Kepala Desa di Wonomulyo ini kemudian yang mendorong penulis untuk
melakukan penelitian tentang dinamika relasi BPD dan Kepala Desa.
Secara umumDesa Wonomulyo terletak di kecamatan Poncokusumo yang merupakan
salah satu diantara tiga puluh tiga (33) kecamatan di Kabupaten Malang. Menurut informasi
dari websiteresmi kecamatan Poncokusumo, secara admisnistratifKecamatan Poncokusumo
terdiri dari 17 desa yang diantaranya Desa Dawuhan, Karanganyar, Sumberejo, Jambesari,
Pandansari, Wonomulyo, Ngadireso, Pajaran, Wonorejo, Argosuko, Karangnongko, Belung,
Wringinanom, Poncokusumo, Ngebruk, Gubugklakah dan Desa Ngadas. Mayoritas
penduduknya berprofesi sebagai petani yang mencapai tujuh puluh persen (70%) dari total
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kondisi geografis Kecamatan Poncokusumo berupa
hamparan pegunugan dan tanah persawahan.
Tabel 1. Luas wilayah tanah Poncokusumo
Keterangan Luas
Perumahan dan pekarangan 1.810 Ha
Tanah sawah 1.736 Ha
Pertanian tanah kering, ladang dan
tegalan
6.803 Ha
Hutan Negara 9.376 Ha
Hutan rakyat 850 Ha
Lain-lain 57 Ha
Sumber: poncokusumo.malangkab.go.id
Kondisi geografis dan sosiologis Desa Wonomulyojika dideskripsikan secara
sederhana terletak di sebelah selatanKabupaten Malang. Desa ini merupakan desa penyuplai
kebutuhan sayur kubis di pasar sekitar Poncokusumo dan Pasar Induk Gadang. Total
produksi kubis pertahun dariDesa Wonomulyo mencapai 21.000 ton per tahun. Dapat
disimpulkan bahwa bertani manjadi mata pencaharian andalan dan sumberdaya alam sangat
diandalkan untuk menopang kekuatan ekonomi masyarakat. Selain dikarenakan potensi
wilayah memang sangat mendukung dalam sektor pertanian, kondisi mata pencaharian
penduduk tersebut juga dipengaruhi karena latar belakang pendidikan yang masih minim.
Meskipun gambaran secara umum Desa Wonomulyo ini tidak memberikan pemaparan
inklusif tentang BPD di Wonomulyo, namun keterangan tentang Desa Wonomulyo ini
penting adanya untuk memberikan gambaran keadaan Desa lokasi penulis melakukan
penelitian.
Atas pemaparan tentang kondisi desa Desa Wonomulyo yang telah tertulis diatas
melatar belakangi desa tersebut untuk dijadikan lokasi dalam penelitian bertujuan mengetahui
dinamika relasi BPD dan Kepala Desa. Latar belakang terebut diperkuat dengan penelitian
dengan masalah serupa belum pernah di angkat dalam sebuah studi kasus sehingga penelitian
ini mampu memberikan sumbangan pengetahuan tentang studi komparasi desa. Oleh karena
alasan- alasan itu,dalam penelitian inipenulis mengambil judul “Dinamika Relasi BPD dan
Kepala Desa Studi Kasus Desa Wonomulyo dan Desa Poncokusumo”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh peneliti diatas maka,penelitian
ini adalah upaya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana dinamika relasi BPD dan Kepala
Desa di Desa Wonomulyo?”
1.3 Tujuan Penelitian
Kajian mengenai dinamika relasi kelembagaan BPD dan kepala desa sebenarnya
adalah studi mengenai analisis relasi eksekutif dan legislatif pada skala desa. Selain itu
penelitian ini merupakan penelusuran sejarah transformasi kelembagaan kedua lembaga agar
dapat memberikan pemaparan tentang masalah yang terjadi diantara relasi kedua lembaga
tersebut. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas,
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui transformasi kelembagaan BPD dan Kepala Desa.
2. Mengetahui dinamika yang terjadi antara BPD dan Kepala Desa mulai awal
pembentukan BPD dan implikasinya terhadap kelembagaan BPD dan Kepala Desa
3. Mengambarkan dan mendeskirpsikan polarelasi BPD dan Kepala Desa pada Desa
Wonomulyo.
1.4Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh
peneliti dengan dilakukannya penelitian ini ada dua. Yaitu, berupa manfaat akademis dan
manfaat praktis yang meliputi,
1.4.1 Manfaat Akademis
a) Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi baru mengenai relasi
BPD dan Kepala Desa
b) Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber wawasan
keilmuan baru yang dalam studi dinamika relasi antar kelembagaan desa.
c) Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai dasarataupun bahan
perbandingan bagi peneliti yang akan mengangkat studi tentang dinamika
kelembagaan desa.
1.4.2 Manfaat Praktis
a) Sebagai salah satu bahan referensi ataupun bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan terkait hubungan antar kelembagaan di desa sesuai
dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan dan kebutuhan yang dimiliki oleh
masyarakat, bukan hanya berdasarkan perspektif ataupun kebaikan-kebaikan
berdasarkan kacamata yang digunakan oleh pemerintah.
b) Untuk memberikan gambaran yang nyata, baik bagi masyarakat ataupun pemerintah
terkait fenomena hubungan antar kelembagaan.
c) Sebagai bahan acuan ataupun referensi pemerintah desa dalam menjalankan
pemerintahan desa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam analisis relasi kelembagaan antara BPD dan kepala desa, peneliti
akan menjelaskan tentang penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan, kerangka
konsep, dan alur pikir penelitian. Penelitian terdahulu tersebut penulis gunakan
sebagai salah satu bahan acuan dalam menganalisis kondisi konflik elit desa yang
berhubungan antara BPD dan kepala desa di Wonomulyo dan Poncokusumo
secara lebih riil dan komprehensif. Pemaparan penelitian terdahulu pada bab ini
juga bertujuan untuk membuktikan orisinalitas penelitian yang akan peneliti
lakukan. Selain penelitian terdahulu, hal lain yang dijelaskan dalam bab ini yang
akan dijadikan penulis sebagai kaca mata dasar dalam menganalisis hubungan
BPD dan kepala desa di Wonomulyo dan Poncokusumo adalah kerangka konsep
dan alur pikir penelitian. Alur pikir penelitian dapat digunakan sebagai acuan
berpikir dalam penelitian yang akan mempermudah penulis ataupun pembaca
dalam memahami hasil penelitian.
2.1 Studi Terdahulu
Pada bagian ini, peneliti akan menjelaskan mengenai penelitian atau studi
terdahulu yang pernah mengkaji terkait kontestasi elit yang ada di desa. Isu
tentang desa merupakan isu yang sangat menarik namun, padaumumnya isu yang
diangkat dengan objek desa adalah mengenai tata kelola keuangan desa, kinerja
kepala desa, atau mengenai pengelolaan organisasidesa. Sedangkan penelitian
yang mengangkat isu tentang konflik desa secara spesifik mengenai hubungan
BPD dan kepala desa belum banyak dilakukan.
Penelitian tentang hubungan kelembagaan desa dan BPD sebagai referensi
peneliti yang pertama adalah hasil penelitian berjenis skripsi dariAgus Bahrudin
berjudul “Pola Hubungan Pemerintahan Desa dan Parlemen Desa Menuju Good
Governance”.1Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Good Governance. Pada
penelitian ini, Baharudin memaparkan bahwa dinamika pola hubungan
pemerintah desa dan desa parlemen terbentuk berikut kebijakan politik dan
peraturan yang disusun oleh pemerintah. Berdasarkan tata pemerintahan yang baik
perspektif, upaya strategis dalam membangun pola hubungan dan pembaharuan
organisasi pemerintah desa. Pertama, pemerintah desa (bersama dengan kepala
desa dan BPD) harus peka dan menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi dan tanggap dalam pemerintahan, kebijakan, keuangan dan pelayanan
publik. Kedua, memperkuat kapasitas (capacity building) pemerintah desa dalam
mengelola kebijakan, keuangan, pembangunan pedesaan dan pelayanan
publik.Ketiga, kapasitas memberdayakan BPD sebagai agen artikulasi
kepentingan, pembuat kebijakan dan kontrol pemerintah ke desa. Keempat,
memperkuat partisipasi warga desa dalam rembug desa melalui desa wadah
MUSRENGBANG. Kelima, membangun kemitraan antara pemerintah desa, BPD
dan. Keenam, Menerapkan "desa membangun"dan"Membangun Desa"yang
terintegrasi dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Kemudian penelitian selanjutnya adalah skripsidariStefani Manganang
yang berjudul “Kemitraan Pemerintah Desa dengan BPD dalam Pemerintahan di
1 Agus Bahrudin (2015),“Pola Hubungan Pemerintahan Desa dan Parlemen Desa Menuju Good
Governance”, Semarang: Jurnal Ilmiah UNTAG.
Desa Kalaseyi Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa”.2Penelitian ini
merupakan penelitian dengan metode kualitatif. Stefani dalam penelitian ini
menganalisis pola kemitraan BPD dan Kepala Desa dalam pemerintahan desa
dengan menggunakan teori kemitraan. Pada skripsi ini Stefani memaparkan
bahwa kemitraan BPD dan Kepala Desa di Desa Kalaseyi berjalan tidak baik. Hal
tersebut dikarenakan adanya kendala diantara kedua belah pihak yang berdampak
pada menghambat berjalannya suatu sistem pemerintahan di Desa Kalaseyi.
Kendala- kendala yang dipaparkan oleh Stefanie diantaranya adalah sikap mental,
sosialisasi tentang tugas dan fungsi BPD, ketergantungan terhadap adat istiadat/
tradisi.
Selanjutnya penulis menggunakan referensi penelitian dari tesis karya
Iberamsjah berjudul “Elit desa dalam perubahan politik: kajian kasus
pengambilan keputusan di Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada masa awal penerapan otonomi daerah
2000-2001”.3Sesuai yang tertuliskan dalam judul penelitian ini, metode dalam
penelitian ini merupakan kualitatif studi kasus. Penelitian ini mempunyai tujuan
untuk menjelaskan terjadinya perubahan peran alit desa dalam perubahan politik
yang terjadi sejak penerapan otonomi daerah tahun 2000 di Desa Gede Pangrango.
Penelitian yang penulis gunakan sebagai bahan dalam penelitian BPD dan
Kepala Desa yang terdahulu selanjutnya adalah jurnal penelitian dari Tatik
Rohmawati berjudul “Dinamika Politik Pedesaan dalam Pemilihan Kepala Desa
2 Stefani Manganang,(2013), “Kemitraan Pemerintah Desa dengan BPD dalam Pemerintahan di
Desa Kalaseyi Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa”, Manado: Jurnal Ilmiah Unsrat 3 Iberamsjah,(2002),“Elit desa dalam perubahan politik: kajian kasus pengambilan keputusan di
Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada masa
awal penerapan otonomi daerah 2000-2001”,Jakarta:UI Press
Masin Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah”.4Penelitian ini merupakan
penelitian dengan metode kualitatif. Tatik menganalisa hubungan antar aktor
dalam pemilihan kepala desa Masin dan dinamika yang terjadi diantaranya dengan
menggunakan konsep demokrasi dari Ina E. Slamet. Hasil dalam penelitian yang
telah dipaparkan Tatik adalah bahwa hubungan antar aktor politik di Desa Masin
tidak terjadi dengan ideal karena pemain- pemainnya masih dalam ikatan
persaudaraan. Selain itu Tatik memberikan asumsi bahwa pemilihan kepala desa
yang dimainkan oleh para aktor di desa Masin juga tidak berjalan secara
demokratis karena mengandung adanya proses money politics.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Metode Deskripsi Penelitian
1 Agus Bahrudin (2015)
“Pola Hubungan
Pemerintahan Desa dan
Parlemen Desa Menuju
Good Governance”.
Kualitatif Pada penelitian ini, Baharudin memaparkan
bahwa dinamika pola hubungan pemerintah
desa dan desa parlemen terbentuk
berdasarkan kebijakan politik dan peraturan
yang disusun oleh pemerintah. Berdasarkan
tata pemerintahan yang baik perspektif,
upaya strategis dalam membangun pola
hubungan dan pembaharuan organisasi
pemerintah desa. Pertama, pemerintah desa
(bersama dengan kepala desa dan BPD.
Kedua, memperkuat kapasitas (capacity
building. Ketiga kapasitas memberdayakan
BPD sebagai agen artikulasi kepentingan,
pembuat kebijakan dan kontrol pemerintah ke
desa. Keempat, memperkuat partisipasi
warga desa dalam rembug desa melalui desa
wadah MUSRENGBANG. Kelima,
membangun kemitraan antara pemerintah
desa, BPD dan. Keenam, Menerapkan "desa
membangun "dan" Membangun Desa "yang
terintegrasi dalam perencanaan Pembangunan
4 Tatik Rohmawati,(2004),“Dinamika Politik Pedesaan dalam Pemilihan Kepala Desa Masin
Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah”,Bandung:UNIKOM Press
Desa.
.
2 Stefani Manganang
(2013) “Kemitraan
Pemerintah Desa dengan
BPD dalam Pemerintahan
di Desa Kalaseyi
Kecamatan Mandolang
Kabupaten Minahasa”
Kualitatif Pada skripsi ini Stefani memaparkan bahwa
kemitraan BPD dan Kepala Desa di desa
Kalaseyi berjalan tidak baik. Hal tersebut
dikarenakan adanya kendala diantara kedua
belah pihak yang berdampak pada
menghambat berjalannya suatu sistem
pemerintahan di desa Kalaseyi. Kendala-
kendala yang dipaparkan oleh Stefanie
diantaranya adalah sikap mental, sosialisasi
tentang tugas dan fungsi BPD,
ketergantungan terhadap adat istiadat/ tradis.
3 Iberamsjah (2002) “Elit
desa dalam perubahan
politik: kajian kasus
pengambilan keputusan di
Desa Gede Pangrango,
Kecamatan Kadudampit,
Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat, pada masa
awal penerapan otonomi
daerah 2000-2001”
Kualitatif
Studi
Kasus
Menjelaskan terjadinya perubahan peran alit
desa dalam perubahan politik yang terjadi
sejak penerapan otonomi daerah tahun 2000
di Desa Gede Pangrango.
4 Tatik Rohmawati berjudul
(2004) “Dinamika Politik
Pedesaan dalam
Pemilihan Kepala Desa
Masin Kabupaten Batang
Provinsi Jawa Tengah”.
Kualitatif
Sudi Kaus
Hasil dalam penelitian yang telah dipaparkan
Tatik adalah bahwa hubungan antar aktor
politik di desa Masin tidak terjadi dengan
ideal karena pemain- pemainnya masih dalam
ikatan persaudaraan. Salian itu Tatik
memberikan asumsi bahwa pemilihan kepala
desa yang dimainkan oleh para aktor di desa
Masin juga tidak berjalan secara demokratis
karena mengandung adanya proses money
politics.
Sumber: Hasil Data Olahan Penulis(2017)
Berdasarkan hasil pemaparan tentang penelitian sejenis yang pernah dilakukan,
penulis menyimpulkan bahwa penilitian berjudul “Dinamika Relasi BPD dan
Kepala (Studi Kasus Desa Wonomulyo)” merupakan penelitian yang masih baru.
Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting adanya untuk dilakukan lebih lanjut.
Konflik yang ada di Desa Wonomulyo mengenai relasi BPD dan Kepala Desa
adalah penelitian yang menarik karena pada penelitian tentang konflik desa yang
sebelumnya pernah dilakukan belum ada yang membahas tentang hal yang sama.
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Teori Historical Institutionalism (Institusional Historis)
Satu kerangka konseptual yang sangat penting untuk diperhatikan adalah
mengenai bagaimana relasi yang dimaksud? Dalam konteks ini siapa sebenarnya
yang disebut? Hal ini penting sekali untuk membangun kesepahaman dalam
kerangka analisis pada karya ini sehingga tidak mengakibatkan generalisasi yang
berlebihan.
Dalam analisis dinamika relasi BPD dan kepala desa, penulis
mengguankan teori Historical institutionalism yang dikemukakan oleh Guy Peter
(1999). Historical Institutionalism adalah tradisi penelitian yang mengkaji
bagaimana proses dan peristiwa temporal mempengaruhi asal usul transformasi
sebuah institusi yang menata hubungan politik dan ekonomi.5Historical
Institutionalism melihat politik sebagai proses yang terstruktur, yang secara tidak
langsung mengandaikan eksistensi waktu dan ruang sebagai momen.6 Jadi,
institusi politik dalam bentuk apapun, dalam pandangan Historical
Institutionalism, bukanlah sesuatu yang natural keberadaannya.
5Orfeo Fioretos, Tulia G. Falleti, and Adam Sheingate,
Historical Institutionalism in Political Science, The Oxford Handbook of Historical
Institutionalism. hlm 4. 6 Peter A. Hall, Politics as a Process Structured in Space and Time , dalam Orfeo Fioretos, Tulia
G. Falleti, and Adam Sheingate (Eds.),(2016), The Oxford Handbook of Historical
Institutionalism, Oxford: Oxford University Press.
Pertumbuhan historis organisasi tertentu sangat penting dalam
mengidentifikasi tingkat pelembagaan. Sejarah kelembagaan memungkinkan kita
memahami asal mula institusi dan jalur yang telah dikembangkannya (Berman
1983). Setiap institusi memiliki sejarah tersendiri; Garis perkembangannya yang
bergantung pada waktu dan bagaimana sistem sosial berkembang, beroperasi dan
mempengaruhi struktur dan kapasitasnya untuk bertindak (Scott 1995).
Pelembagaan adalah sesuatu yang terjadi pada organisasi dari waktu ke waktu,
yang mencerminkan sejarah khas organisasi sendiri, orang-orang yang telah
berada di dalamnya, kelompok-kelompok yang digabungkan dan kepentingan
pribadi yang telah mereka ciptakan dan bagaimana hal itu dapat diatasi dengan
lingkungan. Perjalanan organisasi seperti BPD sebagai institusi yang mempunyai
otoritas politik juga mengalami beberapa perkembangan dan perubahan. Melalui
historical institutionalism perkembangan yang terjadi dapat dituliskan menjadi
sebuah peristiwa yang runtut.
Institusionalis historis melihat institusi sebagai kontinuitas. Seperti yang
mereka tunjukkan, institusi dimaksudkan untuk menjadi sebuah alat yang dapat
melestarikan suatu kultur atau kebijakan. Penekanan path dependency adalah cara
lain untuk mengatakan bahwa dalam melakukan reformasi suatu lembaga selalu
membutuhkan biaya transaksi yang sangat tinggi, walaupun kondisi yang ekstrim
dapat mengurangi biaya perubahan marjinal. Dapat dikatakan juga jika institusi
tentang pelestarian, maka politik adalah tentang manipulasi dan kepemimpinan
adalah tentang menjungkirbalikkan hambatan.Penulis percaya bahwa pendekatan
historical institusionalism yang komperhensif membantu dalam ekstrapolasi
argumen yang meyakinkan. Pada awalnya, historical institusionalism berfokus
pada pengembangan kelembagaan dan perubahan yang terdiri dari alat eksogen
analitis (critical juncture dan path dependences).
a. Path dependency
Ide dasar dari Historical Institutionalism adalah bahwa sebuah kebijakan
mulai ditentukan ketika institusi didirikan, atau ketika kebijakan tersebut
diinisiasi, lalu menelusuri seberapa berpengaruh kebijakan itu di masa berikutnya
hingga sekarang. Inilah yang dikenal dengan path dependency; ketika kebijakan
pemerintah atau organisasi mulai dijalankan maka ia akan cenderung tidak
berubah dan seperti pada permulaannya. Meskipun ia sedikit berubah, perubahan
tersebut mensyaratkan kondisi politik yang dapat mendorong perubahan itu
sendiri.7
Dalam banyak hal, Historical Institutionalism memang cenderung sulit
dibedakan dengan teori insititusi lainnya. Contohnya adalah bagaimana Steinmo,
Thelen, dan Longstreth menggunakan Rational Choice Institutionalism dan
membedakan diri mereka dari para Institutionalist yang berasal dari rumpun Ilmu
Ekonomi.Historical institutionalism adalah versi pertama yang muncul dari New
Institutionalism dalam disiplin Ilmu Politik. Sebelumnya, Historical
7 B. Guy Peters,(1999), Institutional Theory in Political Science: The „New Institutionalism‟,
London: Continumm, hlm 63
Institutionalism digunakan untuk melihat keberpengaruhan kondisi ekonomi pada
pembentukan kebijakan.8
Thelen dan Steinmo (1992) memberikan contoh seperti apa itu institusi,
yaitu mulai dari struktur formal pemerintahan hingga lembaga hukum sampai
institusi sosial yang tak berbentuk seperti kelas sosial. Semua komponen aparatus
lembaga ini mereka tempatkan dalam kerangka analisis ilmu politik. Bagi mereka,
yang menarik dari institusi adalah posisinya sebagai penengah antara negara dan
perilaku individu.Pemberian contoh seperti di atas akan lebih mudah dipahami
daripada memberikan karakter denotative untuk mendefinisikan apa itu institusi.
Keluasan definisi ini memperlihatkan bahwa institusi bisa diberi ciri yang sangat
luas, mulai dari bentuk spesifik struktur pemerintahan hingga lingkup struktur
Negara, sampai tertib sosial Negara.
Pierson mendefinisikan jalur ketergantungan dalam dua kategori, yaitu
definisi umum dan khusus. Umumnya, jalan ketergantungan dipahami sebagai apa
yang terjadi pada titik sebelumnya dalam waktu akan mempengaruhi hasil yang
mungkin dari urutan peristiwa yang terjadi. Secara khusus, jalan ketergantungan
didefinisikan sebagai hasil yang meningkat yang berarti bahwa lembaga politik
akan selalu meningkatkan dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, dan
berdampak tidak hanya inti dari lembaga tetapi juga aspek-aspek lain yang terkait
satu sama lain.9 Jalan plastisitas adalah perubahan kelembagaan yang disebabkan
oleh aturan lembaga. James Mahoney dan Kathleen Thelen menyatakan bahwa
ada empat jenis modal perubahan:
8 Ibid., hlm 64
9 Pierson, Paul. (1996). The New Politics of The Welfare State. World Politics, 48 (2). Hlm 143-
179
a. perpindahan (munculnya lembaga baru sebagai tantangan untuk
lembaga tua),
b. layering (munculnya aturan baru sebagai jalan aturan lama),
c. drift (perubahan pengaturan yang lebih luas terhadap lembaga internal)
dan
d. konversi (perubahan kelembagaan karena pemindahan strategis).10
Perubahan BPD dari waktu kewaktu merupakan suatu proses yang tidak
terlepaskan dengan proses poltik di dalamnya. Mulai pada zaman pemerintahan
presiden Soekarno dimana lembaga serupa dinamai dengan Lembaga Sosial Desa
yang dilanjutkan dengan Pemerintahan Soeharto yang mengganti istilah Lembaga
Sosial Desa menjadi Lembaga Masyarakat Desa yang mana keberadaannya sarat
akan intervensi. Setelah rezim Soeharto runtuh BPD kemudian diganti lagi
menjadi Badan Perwakilan Desa meskipun bentuk dan kewenangannya
sebenarnya dapat dilihat masih terpengaruh dengan konstruksi Lembaga Sosial
Desa. Kemudian BPD sebagai Badan Perwakilan Desa yang berganti lagi menjadi
Badan permusyawaratan Desa, yang mana banyak pihak mengatakan ini adalah
upaya dalam melemahkan kewenangan BPD. Hal tersebut dapat dimaknai lain
bahwa merupakan suatu upaya untuk mempertahankan lembaga dengan
mengurangi potensi pergerakan politik yang mungkin akan terjadi sehingga BPD
hanya sebagai suatu badan yang dibentuk untuk mewadahkan proses musyawarah.
b. Critical juncture
10
Kuyper, J. (2014) Transformative Pathways To World Government: A Historical Institutionalist
Critique, Cambridge Review of International Affairs, 28(4)
Ketika melihat perubahan institusional, Historical Institutionalism
menggunakan salah satu dari dua sudut pandang, yaitu punctuated equilibria atau
critical junctures.11 Punktuasi dalam ekuilibrium diasumsikan terjadi ketika ada
perubahan besar pada institusi yang setelah itu diikuti dengan periode panjang
ketidakberubahan. Sebagai contoh: Sejak didirikan pada 1979, LMD mengalami
masa panjang ketidakberubahan selama 19 tahun lamanya hingga 1999. Sejak
1999 itu ia menjadi BPD (Badan Perwakilan Desa) dan secara hukum mengalami
desakan perubahan. UU Desa Tahun 1999 ini bisa menjadi penanda ekuilibrium
(titik keseimbangan) dari lembaga legislasi di desa. Cara lain untuk menjelaskna
perubahan oleh historical institutionalism adalah melalui memahamigagasan
critical juncture. Critical juncture bisa dilihat dari bagaimana individu-individu di
dalam institusi tersebut tidak menginginkan adanya perubahan meskipun ada
konstelasi internal politik yang memaksa. Collier dan Collier mendefinisikan
critical juncture sebagai periode perubahan signifikan yang terjadi dengan cara
berbeda di wilayah yang berbeda dan menghasilkan hukum yang berbeda
pula.12Suatu rezim yang besar dan bertahan dalam waktu yang panjang dapat
mengakibatkan adanya stagnansi pada institusi- institusinya. Kecuali Stagnansi ini
dapat berubah jika dalam internal tersebut mampu membentuk kekuatan gerakan
politik secara bersama- sama. Artinya, suatu gerakan politik perubahan pada
stagnansi tersebut tetap tidak akan mampu berubah jika kekuatan- kekuatan
perubahan dibangun secara individu.13Critical Juncture jika dideskripsikan
kedalam sebuah kasus akan seperti meski sudah ada ketentuan baru terkait fungsi
11
Opcit Peters., hal 68-69. 12
B. Guy Peters,(1999), Institutional Theory in Political Science: The „New Institutionalism‟,
London: Continumm, hal. 9-23. 13
Ibid.,
legislasi desa dari pemerintah pusat, ada kecenderungan yang tetap dan tak
berubah meski ada dorongan secara hukum melalui undang-undang.
Jika kita ingat bahwa kekuatan gagasan publik (public ideas)adalah bagian
sentral institutionalisme historis, maka untuk membentuk perubahan itu harus
seperti apakah gagasan itu dibangun? Reich dalam Peters (1990) menjawab bahwa
suatu institusi pasti mengalami suatu evaluasi yang dijadikan pengalaman dalam
menentukan gagasan instusinya kedepan. Namun Reich menambahkan bahwa
evalusasi pembelajaran itu tidak seharusnya hanya meneliti pada bingkasi isu
kebijakan, tetapi juga terkait pembenahan ulang institusi terkait. Seperti yang
dikemukakan Paul Sabatier (1998) yang membahas titik tengah suatu konflik yang
dialami institusi tersebut sebagai proses politik untuk menyelesaikan proses
politik pada masyarakat. Dalam hal ini dapat dikatakan suatu intitusi sah- sah saja
melakukan beberapa kompromi- kompromi politik jika terjadi pihak yang
bertentangan dengan intitusinya sebagai bentuk mempertahankan eksistensi
intitusi tersebut. Hal ini didasarkan pada definisi Capoccia bahwa critical juncture
dikonsepsikan sebagai momen ketidakpastian struktural yang memungkinkan
adanya perubahan atau inovasi institusi.14
Tititk kritis (critical juncture) adalah jangka waktu tertentu yang memecah
ketergantungan jalan tersebut dan menciptakan yang baru, konsep ini berkaitan
dengan proses pembangunan institusi seperti yang ditunjukan oleh peneliti
14
Giovanni Capoccia, Critical Junctures, dalam Orfeo Fioretos, Tulia G. Falleti, and Adam
Sheingate (Eds.), (2016), The Oxford Handbook of Historical Institutionalism, Oxford: Oxford
University Press. Hlm. 102.
historical institusionalism.15 Pada perubahan institusi seperti BPD yang
mengalami banyak dinamika dapat dikatakan bahwa yang membuat hal tersebut
terjadi adalah adanya proses politik yang besar. Proses politik tersbut seperti
perubahan rezim misalnya, dimana pada masa Soeharto BPD adalah LMD yang
mempunyai relasi kompromis antara LMD dan Kepala desa. Kemudian pada awal
pergerakan rezim reformasi menuju demokratisasi seluruh sistem politik di desa
juga diadakan perubahan. BPD yang kemudian dipilih langsung oleh rakyat
seperti Kepala Desa. Pada masa ini sperti titik pemecahan status quo kepala desa
yang minim intervensi dari masyarakat yang mana kekuasaannya di desa sering
bersifat tunggal dan monopoli kemudian didistribusikan dengan adanya BPD yang
sama-sama dipilih oleh rakyat.
Peters menjelaskan bahwa sebenarnya Historical Institutionalism tidak
terlalu memperhatikan peranan individu dalam institusi. Menurutnya, ada asumsi
eksplisit yang menyatakan bahwa ketika seseorang masuk dan berpartisipasi
dalam sebuah institusi, berarti ia secara tidak langsung bersedia menerima segala
aturan yang berlaku di dalamnya. Relasi struktur-agensi yang umum dibicarakan
dalam ilmu sosial perlu memberikan pandangan yang berbeda. Semisal dengan
mempertanyakan bagaimana institusi dibentuk oleh individu.16 Dalam hal ini,
sejauh apa ide berperan dalam pembentukan perilaku individu? Institusi yang baik
itu memiliki adaptabilitas dan kemampuan menerjemahan gagasan dasar menjadi
praktik.17
15
Peters, B.G., Jon, Pierre, & Desmond, S. King The Politics of Path Dependency: Political
Conflict in Historical Institutionalism, The Journal Of Politics, hlm 67 16
B. Guy Peters,(1999), Institutional Theory in Political Science: The „New Institutionalism‟,
London: Continumm, hal. Hlm. 71. 17
ibid, Hlm. 73.
2.2.2 Konsep Relasi Eksekutif dan Legislatif
Kehadiran BPD dalam tatanan pemerintahan Desa adalah upaya
mengenalkan gagasan pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam
tatanan pemerintah desa. Seperti penegasan dalam UU no. 6 Tahun 2014 yang
menyebutkan bahwa BPD adalah lembaga desa bersama Kepala Desa dan
kedudukan keduanya dalam pemerintahan desa adalah sejajar. Hanya saja BPD
dan Kepala Desa memiliki fungsi yang berbeda, dimana Kepala Desa sebagai
eksekutif desa dan BPD adalah lembaga pengawas pemerintahan. Untuk
menganalisa pola relasi itu, penulis menggunakan gagasan Relasi Eksekutif dan
Legislatif Hanta Yudha18. Hanta Yudha dalam bukunya berjudul
“Presidensialisme Setengah Hati” mengungkapkan konsep pemisahan kekuasaan
di negara Presidensialisme dengan sistem kepartaian multi partai, akan melahirkan
beberapa kemungkinan pola relasi. Ada beberapa pola kompromi yang akan
muncul dengan adanya kombinasi presidensialisme dengan multipartai.
Diantaranya adalah kompromi eksternal dan kompromi internal.
Potensi kompromi eksternal antara lain; pertama, adanya intervensi parpol
terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap kepentingan parpol.19
Dalam kasus BPD dan Kepala Desa, tentu keberadaan partai politik ini tidak ada.
Logika yang dipakai dalam hal ini adalah adanya intervensi kelompok atau
golongan pendukung kepala desa yang akan menyebabkan adanya beberapa
kompromi dengan golongannya. Hal tersebut menyebabkan Kepala Desa tidak
mengeluarkan keputusan secara umum, namun lebih kepada kepentingan
18
Hanta Yudha, (2010) Presidensialisme Setengah Hati, , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
hlm 235 19
Ibid., hlm236
golongan. Kedua, munculnya polarisasi koalisi partai di parlemen dan karakter
koalisi yang terbangun cenderung cair dan rapuh.20Ketiga, kontrol parlemen
terhadap pemerintah cenderung berlebihan atau kebablasan (legislative heavy).21
Logika ini dapat digunakan dalam melihat sejauh mana legislatif desa dalam hal
ini adalah BPD menjalankan fungsi pengawasan kepada kepala desa. Kompromi
ini muncul karena ketidak berdayaan Kepala Desa atas BPD dikarenakan peran
BPD dan golongan masyarakat BPD lebih dominan daripada kekuasaan kepala
desa. Hal ini yang kemudian yang dimaksud dalam legislative heavy dimana peran
BPD lebih kuat dibandingkan dengan kepala desa.
Sementara itu ada potensi kompromi internal yang dapat digunakan dalam
menganalisa hubungan antara perangkat desa dan elit desa dalam hal ini BPD dan
Kepala Desa. Meskipun menteri tidak sama dengan kepala desa namun,
pemakaian logika menteri adalah pejabat pembantu tugas presiden dapat
disamakan dengan perangkat desa sebagai pembantu tugas kepala desa.
Kompromi diantara kepala desa yang pertama adalah tereduksinya hak kepala
desa dalam pemilihan perangkat- perangkat desa, dan pejabat vital desa lainnya.
Kedua, perangkat desa yang melaksanakan tugas pemerintahan desa adalah hasil
kolusi beberapa golongan. Ketiga, adanya potensi dualisme loyalitas. Dualisme
loyalitas ini sangat mungkin dilakukan oleh birokrat desa maupun masyarakat
mengingat desa dikuasai oleh dua elit yang bertolak belakang.
Potensi kompromi yang muncul dalam relasi kelembagaan BPD dan
Kepala Desa tersebut akan menghambat efektifitas kinerja masing- masing
20
Ibid., 21
Ibid,
lembaga. Berdasarkan dimensi institutional akan terdapat empat pola relasi dalam
kelembagaan presidensialisme. Presidensialisme ini namun oleh penulis akan
diadaptasi ke dalam sistem pemerintahan desa. Pola tersebut diantaranya adalah
efektif, akomodatif, kompromistis, reduktif (setengah hati)22
Pertama, relasi efektif adalah kondisi dimana aspek institutional maupun
non institutional maupun non institutionalnya kuat.23Relasi efektif ini dapat
tercipta bila Eksekutif (kepala desa) dan legislatif (BPD) mampu bersinergi dan
ditopang gaya kepemimpinan kepala desa yang kuat pula. Selain ditopang
personalitas Kepala Desa yang kuat, struktur konstitusi pendukung pun juga kuat.
Kontrol parlemen dalam juga berjalan dengan kuat dan sesuai proporsi yang
amanat peundang- undangan yang mengatur. Pada situasi relasi efektif ini,
dinamika pemerintahan akan mengarah pada menguatnya kelembagaan.
Kedua, relasi akomodatif adalah kondisi dimana aspek institutionalnya
kokoh, tetapi aspek non institutionalnya lemah.24Bentuk relasi ini terbentuk bila
terjadi seorang eksekutif yang memiliki personal yang lemah, namun masih
mampu diperkuat dengan adanya konstitusi yang kuat dan kelompok pendukung
yang kuat. kondisi relasi akomodatif ini juga terjadi apabila kontrol parlemen
berjalan proporsional dan sesuai konstitusi. Ikatan diantara kedua belah pihak
jugaterikat dengan baik karena diikat dengan ideologi dan platform yang sama.
Kecenderungan dari relasi ini meskipun akomodatif namun tetap memungkinkan
pemerintahan berjalan secara efektif.
22
Ibid., 23
Ibid., 24
Ibid., hlm237
Ketiga, relasi konfrontatif adalah kondisi ketika aspek institusionalnya
(konstruksi, desain institusi politik dan sistem kepartaian) masih rapuh tetapi
personalitas dan gaya kepemimpinan eksekutif kuat.25Situasi ini adalah situasi
dimana personalitas eksekutif kuat namun tidak didukung dengan desain
institutional yang kuat sedangkan kontrol dari legislatif sangat kuat (legislative
heavy) sehingga mengganggu stabilitas pemerintahan.26 Konfrontasi ini terjadi
dalam relasi BPD dan Kepala Desa bila keduanya berasal dari golongan dan
ideologi serta platform yang berbeda atau mengamokomodasi kepentingan yang
berbeda. Pada relasi ini rentan adanya pemakzulan atas kedudukan eksekutif.
Keempat, relasi reduktif adalah kondisi institutionalnya lemah dan
didukung dengan personal seorang eksekutif juga lemah. Kondisi lemahnya
personal,konstitusi, konstruksi dan sistem yang lemah terhadap eksekutif dan
legislatif ini kemudian membuat kontrol dari legislatif menjadi sangat kuat.
Kondisi ini mirip dengan kondisi kosnfrontatif, bilamana konfrotatatif
menampakkan kondisi eksekutif yang cenderung kuat meskipun konstitusi nya
lemah, namun reduktif ini terjadi karna personal eksekutif juga lemah. Jadi posisi
legislatif sangat dominan (legislatif heavy). Relasi keduanya juga tidak
dilandaskan dengan ikatan ideologi yang kuat.
2.3 Alur Pikir Penelitian
Pada bagian ini penulis akan menggambarkan mengenai bagaimana
penelitian ini akan dilaksanakan? Bagaimana runtutan analisa dari kasus yang
diteliti? Dan bagaimana penulis memberikan pembatasan pemahaman dalam
25
Ibid, 26
Ibid.,
penelitian ini. Alur pikir ini merupakan gambaran bagaimana penelitian ini
dilakukan. Melalui apa yang digambarkan, penulis mengharapkan apa yang
dimaksudkan oleh penulis dapat diterima secara lebih jelas oleh pembaca.
Gambaran alur pikir tersebut tertulis dalam bagan 2.1 berikut.
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian
Sumber: Data Olahan Pribadi Penulis(2017)
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini dibahas mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penulis.
Adapun bagian-bagian tersebut terdiri dari jenis penelitian, fokus dan lokasi penelitian, jenis
data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan sistematika penulisan. Bagian-bagian
tersebut nantinya akan digunakan oleh peneliti dalam menyusun penelitian maupun penulisan
hasil penelitian
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif sendiri dapat diartikan sebagai sebuah penelitian yang mencoba
memahami suatu fenomena dalam seting dan konteks naturalnya (bukan di dalam
laboratorium) dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati.1
Selain itu, penelitian kualitatif juga dapat diartikan sebagai sebuah penelitian dengan
pendekatan yang lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan
induktif serta pada analisis terhadap dinamika antar hubungan yang diamati, dengan
menggunakan logika ilmiah.2 Kemudian Taylor dan Bogdan dalam Lexy J. Moleong3
mengartikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif merupakan sebuah peneitian
yang mengamati suatu fenomena yang kompleks secara langsung dan menterjemahkannya
data-data deskriptif ataupun lisan yang didapatkan dengan menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk menggali dan memahami
pemaksanaan akan kebenaran yang berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda. Metode ini
1 Samiaji Sarosa,(2012), “Penelitian Kualitataif : Dasar-Dasar”, Jakarta : PT. Indeks, Hlm. 7.
2 Saifuddin Azwar, (2001) , “Metode Penelitian”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 5.
3 Lexy J Moleong, (2012), “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung : Remaja Rosdakarya, Hlm. 4.
dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami apa yang terjadi di balik sebuah
fenomena yang sebelumnya belum diketahui kebenarannya sama sekali. Terlebih karena
obyek yang digunakan dalam penelitian kualitatif merupakan obyek yang alamiah (natural
setting), yang masih apa adanya, tidak dimanipulasi sedikitpun oleh peneliti, sehingga kondisi
pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan setelah meninggalakan objek
relativ sama atau tidak berubah sama sekali.4
Tujuan utama dilakukannya penelitian kualitatif ini adalah untuk mendapatkan data
secara mendalam serta mengandung makna. Dalam hal ini, penelitian kualitatif menganggap
bahwa realitas merupakan hasil dari bentukan pikiran manusia. Yang mana, segala sesuatu
yang melibatkan manusia akan bersifat kompleks dan multi dimensi, terlebih jika didalamnya
melibatkan sekelompok manusia dan interaksinya. Kompeksitas tersebut akan sangat sulit
diukur dan direduksikan dalam angka-angka.5
Hasil akhir yang ingin dicapai oleh penelitian kualitatif adalah peneliti berusaha
memahami kompleksitas fenomena yang diteliti dan kemudian menginterpretasikan dan
melaporkannya sebagai sebuah fenomena yang runtut. Tidak hanya itu, untuk semakin
memperkuat hasil dari penelitiannya, dalam penelitian kualitatif, peneliti juga berusaha
memahami fenomena tersebut tidak hanya dari sudut pandangnya saja, tetapi juga dari sudut
pandang pelaku yang ada di dalamnya. Tujuannya adalah hasil pengamatan tersebut dapat
saling melengkapi dan akhirnya peneliti mampu menjelaskan kompleksitas fenomena yang
diamati tersebut dengan sebenar-benarnya.6 Karena peneliti kualitatif berusaha menyelami
dan memahami secara empatik apa yang dirasakan dan dipersepsikan oleh para pelaku suatu
fenomena.
4 Sugiyono, (2010) , “Memahami Penelitian Kualitatif”, Bandung: Alfabeta, Hlm. 2.
5 Samiaji Sarosa, Op. Cit., Hlm. 9.
6Ibid.
Creswell dalam bukunya yang berjudul “Qualitative Inquiry And Research Design”
mengungkapkan lima tradisi penelitian, yaitu: biografi, fenomenologi, grounded theory study,
studi kasus dan etnografi. Salah satu tradisi yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah studi
kasus yang telah lama dipandang sebagai metode penelitian yang “amat lemah”. Para peneliti
yang menggunakan studi kasus dianggap melakukan “keanehan” dalam disiplin akademisnya
karena tingkat ketepatannya (secara kuantitatif), objektivitas dan kekuatan penelitiannya
dinilai tidak memadai.7Walaupun demikian, studi kasustetap dipergunakan secara luas dalam
penelitian ilmu-ilmu sosial, baik dalambidang psikologi, sosiologi, ilmu politik, antropologi,
sejarah dan ekonomimaupun dalam bidang ilmu-ilmu praktis seperti pendidikan, perencanaan
wilayahperkotaan, administrasi umum, ilmu-ilmu manajemen dan lain sebagainya.Bahkan
sering juga diaplikasikan untuk penelitian evaluasi yang menurutsebagian pihak merupakan
bidang metode yang sarat dengan kuantitatifnya.Semuanya ini merupakan suatu fenomena
yang menarik untuk dipertanyakanbahwa apabila studi kasus itu memiliki kelemahan,
mengapa para penelitimenggunakannya.
Creswell memulai pemaparan studi kasus dengan gambar tentang kedudukan studi
kasus dalam lima tradisi penelitian kualitatif yang dikemukakan Foci berikut ini:
Bagan 1. Bagan Penelitian Kualitatif
7 Robert K. Yin, (1989), “Case Study Research Design and Methods”.Washington : COSMOS Corporation,
hlm.1
Dari gambar di atas dapat diungkapkan bahwa fokus sebuah biografi adalah
kehidupan seorang individu, fokus fenomenologi adalah memahami sebuah konsep atau
fenomena, fokus suatu teori dasar adalah seseorang yang mengembangkan sebuah teori,
fokus etnografi adalah sebuah potret budaya dari suatu kelompok budaya atau suatu individu,
dan fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup
individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan.8 Lebih lanjut Creswell
mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : (1) mengidentifikasi
“kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh
waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam
pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang
respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti
“menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus.9
8 Gambar diambil dari buku John W.Creswell, (1998), “Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing
Among Five Tradition”. London: SAGE Publications, hlm. 37-38 9 Ibid, hlm. 36-37
Sumber: John W.Creswell(1998) “Qualitative Inquiry and Research Design
Berdasarkan paparan di atas, dapat diungkapkan bahwa studi kasus digunakan dalam
penelitian ini karena studi kasus merupakan sebuah eksplorasi dari “suatu sistem yang
terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan
data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang “kaya” dalam suatu
konteks. Sistem terikat ini diikat oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari
suatu program, peristiwa, aktivitas atau suatu individu.10 Dengan perkataan lain, studi kasus
merupakan penelitian dimana dalam penelitian ini menggali fenomena dinamika yang terjadi
pada relasi BPD dan Kepala Desa.
Pada penelitian yang berjudul Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa yang akan
dilakukan oleh penulis ini metode studi kasus penulis digunakan karena penulis ingin
meneliti lebih dalam tentang suatu fenomena tentang relasi BPD dan Kepala Desa yang ada
di Desa Wonomulyo dan Poncokusumo. Metode studi kasus ini penulis gunakan untuk
menganalisis sejauh mana relasi BPD dan Kepala desa yang ada di kedua desa tersebut
terjadi. Pada penelitian ini dengan menggunakan metode studi kasus atau case study penulis
akan menganalisa asal- usul, proses, hingga dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa
tersebut sehingga terjadi sebuah fenomena kasus hubungan kedua lembaga yaitu BPD dan
Kepala Desa yang dalam implementasinya mengalami berbagai dinamika.
Selanjutnya Creswell mengungkapkan bahwa dalam penggunaan studi dalam stuatu
kasus, dapat dipilih dari beberapa program studi atau sebuah program studi dengan
menggunakan berbagai sumber informasi yang meliputi: observasi, wawancara, materi audio-
visual, dokumentasi dan laporan. Konteks kasus dapat “mensituasikan” kasus di dalam
settingnya yang terdiri dari setting fisik maupun setting sosial, sejarah atau setting ekonomi.
Sedangkan fokus di dalam suatu kasus dapat dilihat dari keunikannya, memerlukan suatu
studi (studi kasus intrinsik) atau dapat pula menjadi suatu isu (isu-isu) dengan menggunakan 10
Ibid, hlm. 61
kasus sebagai instrumen untuk menggambarkan isu tersebut (studi kasus instrumental).
Ketika suatu kasus diteliti lebih dari satu kasus hendaknya mengacu pada studi kasus
kolektif.11Untuk itu Lincoln Gubamengungkapkan bahwa struktur studi kasus terdiri dari
masalah, konsteks, isudan pelajaran yang dipelajari.12
Menurut Creswell, pendekatan studi kasus lebih disukai untukpenelitian kualitatif.
Seperti yang diungkapkan oleh Patton bahwa kedalamandan detail suatu metode kualitatif
berasal dari sejumlah kecil studi kasus.13 Olehkarena itu penelitian studi kasus membutuhkan
waktu lama yang berbedadengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu dalam penelitian ini,
peneliti mengembangkan penelitian studi kasus yang pertama-tama,mempertimbangan kasus
“Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa” menjadi kasus yang tepat. Kasus tersebut penulis
kolektif kan dengan mengomparasikan kasus Dinamika Relas BPD dan Kepala Desa yang
ada di Desa Wonomulyo dan Poncokusumo.Dalam memilih kasus yang diteliti peneliti
mengkaji dari berbagai aspekseperti beragam perspektif dalam permasalahannya dan
bagaimana prosesnya.
3.2 Fokus dan Lokasi Penelitian
dalam pendekatan studi kasus diperlukan nya batasan kasus yang disebut dengan
fokusan masalah.14 Hal ini dilakukan untuk mengarahkan penelitian, terperinci dan tidak
menyimpang dari konsep awal yang telah dibuat, dengan tujuan tersebut penulis menentukan
fokus penelitian ini berada pada dua aspek besar; pertama, dinamika relasi BPD dan Kepala
Desa. Fusi BPD dan Kepala Desa sejak pra kolonial memunculkan indikasi bahwa Negara
membuat aturan tentang BPD, tidak selalu memeprhatikan historis kelembagaan tersebut.
aspek sejara berdasarkan asumsi tersebut penulis ingin melihat bagaimana relasi BPD dan
11
Ibid, hlm. 61-62 12
Ibid, hlm. 36 13
Michael Quinn Patton, (1991), “How to Use Qualitative Methods in Evaluation”,London: SAGE
Publications, hlm. 23 14
Opcit., hlm 67
Kepala desa. Penelitian ini berfokus pada dinamika yang terjadi pada pola relasi BPD dan
Kepala Desa. Elit desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah elit BPD dan Kepala.
Kasus yang difokuskan pada penelitian ini adalah relasi BPD dan Kepala Desa Wonomulyo
3.3 Jenis Data dan Sumber Data
Dalam sebuah penelitian, dapat dikatakan bahwa data merupakan salah satu perbekalan
yang sangat penting. Data merupakan segala keterangan (informasi) mengenai semua hal
yang berkaitan dengan tujuan penelitian.15 Sehingga tidak semua informasi atau keterangan
merupakan data. Dapat dikatakan bahwa data hanyalah sebagian saja dari informasi, yakni
yang hanya berkaitan dengan penelitian. Pengertian yang lain menyatakan bahwa data
merupakan keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang dikumpulkan dari suatu populasi
atau bagian populasi yang akan digunakan untuk menerangkan ciri-ciri populasi yang
bersangkutan.16 Sedangkan subyek yang memberikan atau memiliki data tersebut disebut
sebagai informan atau sumber data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data pimer merupakan data yang diperoleh dari tangan pertama. Artinya data ini
diperoleh langsung oleh peneliti dari subjek penelitian (sumber asli/ informan/ langsung)
dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek
sebagai sumber informasi yang dicari.17 Adapun data primer yang nantinya didapatkan oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah data-data yang didapatkan peneliti secara langsung
melalui dokumentasi objek, wawancara dan observasi atau pengamatan langsung di lapangan.
Sedangkan data sekunder, atau yang disebut juga dengan data tangan kedua atau data
yang diperoleh dari sumber kedua (bukan orang pertama, bukan asli) yang memiliki
informasi data tersebut. Data ini merupakan data yan diperoleh melalui pihak lain, atau
15
Muhammad Idrus, (2009), “Metode Penelitian Ilmu Sosial”, Jakarta: Erlangga, Hlm. 61. 16
Richard Lungan, (2006), “Aplikasi Statistika dan Hitung Peluang”, Yogyakarta: Graha Ilmu,Hlm. 13. 17
Saifuddin Azwar, Op. Cit., Hlm. 91.
dengan kata lain data tersebut tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya.18 Data sekunder yang nantinya akan diperoleh misalnya adalah dokumentasi
yang ada di desa ataupun data-data laporan yang sudah tersedia di lapangan, termasuk
regulasi-regulasi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk mendapatkan data.19 Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, dan dokumentasi.
Penjelasan lebih lanjut terkait teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
3.4.1Wawancara
Menurut Black dan Champion dalam Nurul20 wawancara atau interview merupakan
teknik penelitian yang paling sosiologis dari semua teknik penelitian sosial. Hal ini karena
bentuknya yang berasal dari interaksi verbal anatar peneliti dengan responden. Proses
interaksi dan komunikasi verbal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informai
penting yang diinginkan. Proses pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Wawancara
sendiri dapat dilakukan dengan tatap muka secara langsung (personal interview) dan secara
tidak langsung (dilakukan melalui telepon).21 Keuntungan dari dilakukannya teknik
pengumpulan data ini adalah jaminan bahwa peneliti mendapatkan informasi selengkap dan
setepat mungkin.
18
Ibid. 19
Sugiyono, Op. Cit., Hlm. 62. 20
Nurul Zuriah, Op. Cit., Hlm. 179 21
Ibnu Subiyanto, (2000), “Metodologi Penelitian : Manajemen dan Akuntansi”, Yogyakarta : UPP AMP
YKPN, Hlm. 66.
Menurut S. Margono dalam Nurul22 wawancara dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu:
a. Wawancara terstruktur, yang mana dalam wawancara ini pertanyaan dan alternative
jawabannya telah ditetapkan terlebih dahulu. Wawancara ini bertujuan untuk mencari
jawaban dari hipotesis dan pertanyaannya sudah disusun secara ketat. Dalam situasi
ini, seluruh sampel yang representative ditanyai dengan pertanyaan yang sama.
Wawancara dengan metode ini jarang sekali mengadakan pendalaman pertanyaan
yang mengarahkan narasumber untuk tidak berdusta.23 Oleh karena itu, jawaban yang
diperoleh sangat mudah untuk dikelompokan dan dianalisis. Namun, kelemahannya,
pendekatan ini sangat kaku untuk dilakukan, dapat meningkatkan reliabilitas
wawancara, dan dapat menurunkan kemampuan peneliti dalam mendalami suatu
masalah.
b. Wawancara tidak terstruktur, wawancara ini sifatnya lebih informal. Pertanyaan
dapat diajukan secara bebas dan tidak disusun terlebih dahulu, karena disesuaikan
dengan keadaan dan ciri unik dari responden. Cirinya kurang diinterupsi dan abiter.
Wawancara tak terstruktur dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut, yaitu :
bila pewawancara berhubungan dengan orang penting, ingin menanyakan sesuatu
yang sifatnya mendalam pada seorang subjek tertentu, apabila pewawancara ingin
mendapatkan sebuah penemuan dan tertarik untuk mempersoalkan sesuatu yang tidak
normal, tertarik untuk berhubungan langsung dengan salah satu responden dan
mengungkapkan motivasi, maksud, atau penjelasan dari responden, termasuk
22
Nurul Zuriah, Op. Cit., Hlm. 180. 23
Nasrowi dan Suwandi, (2008) , “Memahami Penelitian Kualitatif”, Jakarta : Rineka Cipta, Hlm. 130.
mencoba untuk mengungkapkan pengertian suatu peristiwa, situasi, atau keadaan
tertentu.24
Berdasarkan penjelasan diatas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
wawancara tidak terstruktur. Hal ini karena dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti
mencerminkan keadaan –keadaan yang sama dengan keadaan-keadaan dilakukannya
wawancara tidak terstruktur seperti yang sudah di jelaskan diatas. Terlebih karena peneliti
ingin mendapatkan sebuah penemuan dari wawancara mendalam dengan narasumber dan
menjelaskan peristiwa yang terjadi terkait konflik Relasi BPD dan Kepala Desadi Desa
Wonomulyo.
Meskipun metode wawancara yang digunakan oleh peneliti merupakan metode
wawancara tidak terstruktur, namun peneliti tetap menggunakan pedoman-pedoman
pertanyaan, agar tidak ada satupun fakta/ informasi penting yang terlewat dan penelitian yang
dilakukan lebih terarah, namun tetap dikembangkan secara bebas, tetapi arah pembicaraan
tetap tidak boleh melompat jauh dari topic yang sedang dibahas. Adapun beberapa alternative
infornal yang diwawancarai oleh penulis adalah:
24
Ibid, Hlm. 131.
Tabel 1. Daftar Informan Penelitian
No. Nama Jabatan
1. Slamet
Ramin
Kepala Desa Wonomulyo
2. Slamet Sesepuh Desa
3. Nurhasan Sesepuh desa, mantan kepala desa.
4 Suminto Kepala Dusun Ngrobyong
5 Sunari Mantan Kepala Desa
6 Yanto Mantan ketua BPD
7 Khusairi LSM Pro Desa
8 Purnomo
Edi
Anggota BPD
9 Kaminto Sesepuh desa Poncokusumo, mantan ketua BPD
10 Yanto Mantan Kepala Desa Poncokusumo (desa tetangga
Wonomulyo)
Sumber : Data diolah oleh penulis(2017)
Informan yang dipilih oleh peneliti bukan tanpa alasan. Karena peneliti mengaharapkan
sumber-sumber informasi yang terpercaya untuk menambah nilai dalam penelitian ini, maka
peneliti memilih jajaran stakeholder ataupun shareholder dalam relasi BPD dan Kepala Desa
yang terjadi antara BPD dan Kepala Desa. Aktor-aktor ini adalah aktor yangmempunyai
intensitas interaksi yang tinggi secara langsung dengan para elit desa tersebut dan pasti
mengetahui seperti apa pemerintahan desa dilaksanakan dan bagaimana relasi antara BPD
dan Kepala Desa terjadi terjadi.
3.4.2Dokumentasi
Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi merupakan teknik pengambilan data
yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang sifatnya cenderung merupakan data
sekunder, namun bisa juga merupakan data primer. Dokumen sendiri merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu yang bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen-dokumen inilah yang disebut sebagai data sekunder,
karena didapatkan melalui arsip, bukan secara langsung.25
Menurut Lexy J. Moleong ada dua jenis dokumen yang dapat dijadikan sebagai bahan
studi dalam studi dokumentasi, yaitu dokumentasi pribadi dan dokumen resmi.26 Dokumen
pribadi/ dokumen pribadi dapat berupa buku harian, surat pribadi dan otobiografi.
Dokumentasi pribadi penulis juga dapat digunakan sebagai sumber, yang mana ini dapat
digolongkan sebagai data primer. Dokumen pribadi ini dapat digunakan oleh peneliti untuk
mengetahui tentang situasi sosial di sekitar subyek penelitian. Dokumen resmi terdiri atas
dokumen internal dan dokumen eksternal. Adapun dokumen internal dapat berupa memo,
pengumuman, isntruksi, ataupun aturan suatu lembaga masyarakat. sedangkan dokumen
eksternal dapat berupa majalah, buletin, pernyataan dan berita yang disiarkan di media massa.
Teknik pengumpulan data ini digunakan oleh peneliti agar dapat memperoleh data resmi dari
BPMPD ataupun BUMDesa yang menjadi obyek penelitian penulis.
3.5 Teknik Analisa Data
Stake mengungkapkan empat bentuk analisis data beserta interpretasinya dalam
penelitian studi kasus, yaitu:
(1) Pengumpulan kategori, peneliti mencari suatu kumpulan dari contoh-contoh data serta
berharap menemukan makna yang relevan dengan isu yang muncul;
25
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Op. Cit., Hlm. 73. 26
Lexy J. Moleong. Op. Cit., Hlm 217.
(2) Interpretasi langsung, peneliti studi kasus melihat pada satu contoh serta menarik makna
darinya tanpa mencari banyak contoh. Hal ini merupakan suatu proses dalam menarik data
secara terpisah dan menempatkannya kembali secara bersama-sama agar lebih bermakna;
(3) Peneliti membentuk pola dan mencari kesepadanan antara dua atau lebih kategori.
Kesepadanan ini dapat dilaksanakan melalui tabel 2x2 yang menunjukkan hubungan
antara dua kategori;
(4) Peneliti mengembangkan generalisasi naturalistik melalui analisa data, generalisasi ini
diambil melalui orang-orang yang dapat belajar dari suatu kasus, apakah kasus mereka
sendiri atau menerapkannya pada sebuah populasi kasus. Lebih lanjut Creswell
menambahkan deskripsi kasus sebagai sebuah pandangan yang terinci tentang kasus.
Dalam studi kasus “peristiwa penembakan”, kita dapat menggambarkan peristiwa itu
selama dua minggu, menyoroti pemain utamanya, tempat dan aktivitasnya. Kemudian
mengumpilkan data ke dalam 20 kategori dan memisahkannya ke dalam lima pola. Dalam
bagian akhir dari studi ini kita dapat mengembangkan generalisasi tentang kasus tersebut
dipandang dari berbagai aspek, dibandingkan, dibedakan dengan literatur lainnya yang
membahas tentang kekerasan di kampus.
Bagan 2. Teknik Analisis Data Kualitatif Studi Kasus
Pegumpulan Kategori
Interpretasi Langsung
Membentuk Pola
Generalisasi Naturalistik
Sumber: Crasswel (1991) How to Use Qualitative Methods in Evaluation
Dari paparan di atas dapat diuraikan bahwa “persiapan terbaik” untuk melakukan
analisis studi kasus adalah memiliki suatu strategi analisis. Tanpa strategi yang baik, analisis
studi kasus berlangsung sulit karena peneliti “bermain dengan data” yang banyak dan alat
pengumpul data yang banyak pula. Untuk Robert K. Yin merekomendasikan enam tipe
sumber informasi seperti yang telah dikemukakan pada bagian pengumpulan data. Tipe
analisis dari data ini dapat berupa analisis holistik, yaitu analisis keseluruhan kasus atau
berupa analisis terjalin, yaitu suatu analisis untuk kasus yang spesifik, unik atau ekstrim.27
Lebih lanjut Yin membagi tiga teknik analisis untuk studi kasus, yaitu (1) penjodohan pola,
yaitu dengan menggunakan logika penjodohan pola. Logika seperti ini membandingkan pola
yang didasarkan atas data empirik dengan pola yang diprediksikan (atau dengan beberapa
prediksi alternatif). Jika kedua pola ini ada persamaan, hasilnya dapat menguatkan validitas
internal studi kasus yang bersangkutan; (2) pembuatan eksplanasi, yang bertujuan untuk
menganalisis
data studi kasus dengan cara membuat suatu eksplanasi tentang kasus yang bersangkutan dan
(3) analisis deret waktu, yang banyak dipergunakan untuk studi kasus yang menggunakan
pendekatan eksperimen dan kuasi eksperimen.28
Creswell mengemukakan bahwa dalam studi kasus melibatkan pengumpulan data
yang banyak karena peneliti mencoba untuk membangun gambaran yang mendalam dari
suatu kasus. Untuk diperlukan suatu analisis yang baik agar dapat menyusun suatu deskripsi
yang terinci dari kasus yang muncul. Seperti misalnya analisis tema atau isu, yakni analisis
suatu konteks kasus atau setting dimana kasus tersebut dapat menggambarkan dirinya sendiri.
Peneliti mencoba untuk menggambarkan studi ini melalui teknik seperti sebuah kronologi
peristiwa-peristiwa utama yang kemudian diikuti oleh suatu perspektif yang terinci tentang
27
Crasswell, (1991), “How to Use Qualitative Methods in Evaluation”,London: SAGE Publications, hlm 63 28
Robert K. Yin, hlm. 140-150
beberapa peristiwa. Ketika banyak kasus yang dipilih, peneliti sebaiknya menggunakan
analisis dalam-kasus yang kemudian diikuti oleh sebuah analisis tematis di sepanjang kasus
tersebut yang acapkali disebutanalisis silang kasus untuk menginterpretasi makna dalam
kasus.
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESA WONOMULYO DAN DESA PONCOKUSUMO
Pada bagian ini penulis menjelaskan secara singkat tentang keadaan desa lokasi
penulis melakukan penelitian tentang dinamika relasi kelembagaan BPD dan Kepala Desa
yaitu Desa Wonomulyo, Kabupaten Malang. Secara umum Desa Wonomulyo penulis
jelaskan dalam bab ini. Penjelasan tentang Wonomulyo tersebut diantaranya Desa
Wonomulyo dalam sejarah, pemerintahan Desa Wonomulyo dalam sejarah, dan kondisi
sosial masyarakat Desa Wonomulyo. Aspek sejarah penulis masukkan dalam penjelasan ini
karena hal tersebut mendukung tentang informasi yang penulis gali mengenai transformasi
kelembagaan BPD dan Kepala Desa di Wonomulyo.
Gambar 1: Gerbang Desa Wonomulyo
Sumber: Dokumentasi penulis (2017)
4.2 Pemerintahan Desa Wonomulyo
Sebelum pada akhirnya bergabung menjadi satu desa bersama desa Wates, desa
Ngrobyong merupakan desa yang membentuk satuan hukum sendiri. Satuan hukum sendiri
itu yang membuat desa ini kemudian menjadi satu desa dengan satu pemerintahan yang
mereka laksanakan dan aturannya mereka tetapkan sendiri pula. Sebagai desa tua yang
47
menjadi cikal bakal Desa Wonomulyo, desa Ngrobyong lebih kaya sejarah. Sejarah
Ngrobyong tersebut juga mampu melengkapi bagaimana proses berdirinya sebuah
pemerintahan desa di desa Ngrobyong yang kemudian menjadi Wonomulyo.
Pemerintahan desa Ngrobyong sebelum mengenal istilah pemilihan kepala desa, desa
ini dipimpin oleh orang yang kuat pada masa itu. Pemimpin desa di desa Ngrobyong
dinamakan Petinggi. Orang kuat ini dimaksudkan orang yang memiliki kapasitas untuk
mengendalikan masyarakat desa yang komunal. Meskipun kondisi sosial masyarakat desanya
masih cenderung sederhana danbelum bercampur oleh budaya- budaya dari luar. Kondisi
itulah yang membuat posisi Petinggi desa menjadi tokoh sentral yang sulit terbantahkan oleh
masyarakat lain. Namun bukan berarti bahwa Petinggi desa pada masa itu bersifat autokratis,
karena meskipun yang ditetapkan sebagai Petinggi adalah masyarkat yang kuat,
penetapannya tetap berjalan berdasarkan musyawarah bersama masyarakat. Seperti yang kita
ketahui bahwa musyawarah mufakat merupakan kerifan lokal bangsa Indonesia yang telah
berlangsung beratus- ratus tahun lamanya.
Masa jabatan seorang Petinggi pada masa itu bersifat tidak mengikat, kepemimpinan
dapat berganti berdasarkan kesadaran individu Petinggi desa tersebut. Kepemimpinan desa
biasanya diturunkan kepada keturunannya karena trah pemimpin telah dianggap mampu
mengalir menurut darah daging. Jadi, anak seorang pemimpin desa pada umumnya telah
memperoleh legitimasi secara instan. Bukan berarti masyarakat desa apatis dengan
pemerintahan desa pada saat itu, jikalau keadaan keturunan pemimpin desa dianggap tidak
mampu meneruskan kepemimpinan maka tokoh desa lain yang dianggap mampu akan
ditetapkan secara musyawarah. Pada masa itu semua keputusan kepemimpinan
Petinggidilaksanakan secara musyawarah.
Meskipun penulis mengungkapkan sebagai pemerintahan desa, namun pemerintahan
desa pada saat itu tidak seperti pemerintahan desa yang terlaksana secara formal seperti yang
kita bayangkan saat ini. Hal itu dikarenakan kuantitas masyarakat desa yang pada saat itu
masih sangat sedikit dan antara warga desa satu dan desa lain mempunyai ikatan emosional
yang sangat kuat. Pemimpin desa menjadi pemerintah tunggal dan tidak pernah mengangkat
perangkat desa lain karena asas gotong royong, musyawarah, dan kepercayaan mampu
menyelesaikan segala permasalahan yang ada di desa.
Setelah kolonial mengenalkan sistem pemilihan umum, barulah kepemimpinan desa
didemokratisasi. Secara substansi pemilihan dilaksanakan pada zaman dahulu sampai saat ini
cenderung sama. Menurut keterangan Slamet sebagai pemuka agama Desa Wonomulyo
sekaligus sesepuh desa,pada masa lampau sistem pemilihan dengan memasuki bilik- bilik
sudah terlaksana. Pelaksanaan pemilihan kepala desa namun dilakukan dengan sederhana,
bilik yang dipergunakan adalah kamar rumah warga yang kemudian bambu sebagai kotak
suara. Teknis pelaksanaannya sangat mirip dengan pemilihan umum pada saat ini penduduk
datang kemudian mengantri untuk memilih. Berbeda dengan saat ini, suara yang digunakan
untuk memilih adalah batang lidi kemudian dimasukkan kedalam kotak suara yang telah
terbuat dari bambu. Jika calon kepala desa lebih dari dua maka, kotak suara dibedakan
menggunakan lembang- lambang sederhana. Lambang yang digunakan seperti buah nanas,
semangka, atau buah yang lain dan dipilih berdasarkan kesepakatan.
Petinggi pertama yang terpilih di desa Ngroboyong pada saat itu adalah mbah Panud.
Istilah memanggil petinggi sebagai mbah adalah suatu bentuk menghormati petinggi sebagai
seorang tokoh yang disegani, meskipun pada saat menjadi Petinggi usianya belum memasuki
tahap tua. Petinggi setelah mbah Panud yang terpilih kemudian Mbah Tun, Mbah Kamid,
Mbah Syariah kemudian dilanjutkan Mbah Yam.1
Mbah Yam merupakan saksi awal kepemimpinan Desa Wonomulyo sekaligus kepala
desa terakir sebagai desa Ngrobyong. Sedangkan desa Wates pada saat itu dipimpin oleh
mbah Derun. Pada awal masa penggabungan desa Ngrobyong dan Wates menjadi Desa
Wonomulyo, warga kedua desa sepakat bahwa pemilihan Petinggi dilaksanakan. Pelaksanaan
pemilihan kepala desa tersebut dengan menjadikan kedua petinggi desa tersebut sebagai
kandidat dalam pemilihan kepala desa. Setelah dilaksanakan pemilihan kepala desa kemudian
keluar pak Yamin sebagai kepala desa pertama di wilayah administrasi Desa Wonomulyo.
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Desa Wonomulyo
Secara umum, Desa Wonomulyo merupakan desa yang mayoritas tanahnya terdiri
dari area persawahan dan perkebunan. Area perkebunan itu kemudian membuat mayoritas
masyarakat Desa Wonomulyo bekerja sebagai petani yang menurut data statistik kecamatan
Poncokusumo mencapai angka 70%.2 Sisanya, mata pencaharian masyarakat Desa
Wonomulyo adalah pedagang sebesar 12%, jasa 15%, dan pegawai negeri sipil atau abdi
negara sebesar 3%.3 Masyarakat Wonomulyo bertani mengingat tanah pertanian sangat subur
di desa ini dan masyarakatnya sangat sedikit yang berminat menjadi masayrakat urban.
Komoditas pertanian yang menjadi andalan masyarakat Desa Wonomulyo adalah
Jagung. Komoditas jagung hasil pertanian Wonomulyo bahkan telah menjalani ikatan
kerjasama bersama PT. Pioneer. Komoditas lain yang menjadi andalan Desa Wonomulyo
diantaranya cabai, tomat, kubis, dan cabai merah.4 Hasil sayuran yang telah dipanen dari
Desa Wonomulyo ini selain dipasarkan di pasar lokal juga dipasarkan di pasar Gadang.
1 Disampaikan oleh Bapak Slamet pada wawancara pribadi
2 Profil Kecamatan Poncokusumo diakses di http://poncokusumo.malangkab.go.id/?page_id=5 pada 9 Juli 2017
pukul 01.18 WIB. 3 Ibid,
4 Ibid,
Melihat kondisi Desa Wonomulyo yang seperti itu, Wonomulyo dapat dikatakan kontributor
besar dalam ketahanan pangan Kabupaten Malang dan sekitarnya.
Sebagai desa dengan karunia kesuburan tanah dan potensi perkebunan yang
melimpah, Desa Wonomulyo juga mengembangkan hasil perekbunan dengan bentuk olahan
lain. Olahan- olahan yang banyak diproduksi masyarakat Desa Wonomulyo diantaranya
adalah sari apel, keripik singkong, dan tahu. Masyarakat yang mempunyai usaha bisinis
olahan makanan dan minuman jadi dari Desa Wonomulyo ini dikelola serius oleh pemerintah
desa dengan mendaftarkan mereka ke departemen kesehatan dan badan produksi obat dan
makanan (POM).
Bahan baku olahan- olahan makanan jadi yang diproduksi oleh UKM Wonomulyo
semuanya berasal dari hasil tanah Desa Wonomulyo. Hal tersebut merupakan upaya
pemerintah desa bersama masyarakat Desa Wonomulyo untuk mengangkat dan
mengembangkan hasil bumi desa mereka. Proses produksi yang dilaksanakan masayakat
meskipun berbentuk usaha rumahan namun sudah dilengkapi oleh alat yang semi modern.
Alat- alat tersebut merupakan hasil hibah pemerintah desa maupun hasil hibah pemerintah
kabupaten. Melalui cara- cara seperti itu, masyarakat desa lebih mampu mandiri dan mampu
memberdayakan sesama tanpa harus melalui proses urbanisasi seperti kultur masyarakat desa
berkembang saat ini.
Hal yang tak kalah penting dalam membahas kondisi sosial masyarakat Desa
Wonomulyo adalah situasi pendidikan dan kesehatan. Wonomulyo merupakan desa yang
masih cenderung rendah dalam angka pendidikan. Pendidikan terakhir mayoritas masyarakat
Desa Wonomulyo tempuh sampai tahun 2017 ini adalah SD (Sekolah Dasar). Angka lulusan
SD sebagai pendidikan terakhir di Desa Wonomulyo mencapai 34%. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan di Desa Wonomulyo belum sepenuhnya baik. Kondisi pendidikan tersebut
diperburuk dengan masyarakat desa sisanya yang mencapai angka 28% bahkan tidak
menyelesaikan SD. Lebih sedikit sisanya sebesar 16% adalah lulusan SMP, 7% SMA, 4,7 %
SMK, dan 1,7 sisanya S1. Selain pendidikan, sesuatu yang tidak baik dan memerlukan
perbaikan di Desa Wonomulyo adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan desa yang
membuka praktik secara swasta hanya dalam angka 1 orang yang sangat kurang jika
dibandingkan dengan kebutuhan kesehatan masyarakatnya.
Hal tersebut diatas merupakan kondisi sosial dan ekonomi yang ada di Desa
Wonomulyo. Meskipun desa ini merupakan desa yang masih berkembang dan banyak
kekurangan, namun upaya dari pemerintah desa untuk itu tidak lah sedikit. Upaya- upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terus diupayakan oleh pemerintah Desa
Wonomulyo. Hal tersebut membuat desa ini sangat eksotis dan akan menjadi desa yang
bergeliat dalam membangun ketahanan pangan.
BAB V
DINAMIKARELASI KEPALA DESA DAN BPD
Bab ini merupakan pembahasan mengenai dinamika relasi kelembagaan BPD dan
Kepala Desa Wonomulyo. Melalui metode analisis historical institutionalism penulis akan
menelusuri bagaimana transformasi kelembagaan BPD dan Kepala Desa dan seperti apa
mereka berelasi. Dalam bab ini penulis juga membahas tentang dinamika relasi keduanya
dianalisis menggunakan konsep relasi eksekutif dan legislatif. Bab ini merupakan tubuh dari
tulisan penulis berjudul “Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa” dengan studi kasus Desa
Wonomulyo.
5.1 Analisis Historical Institutionalism dalam Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa
Wonomulyo
Melalui analisis Historical Institutionalism,penulis mengkaji bagaimana proses dan
peristiwa temporal mempengaruhi asal usul transformasi BPDdalam Desa dan memiliki relasi
kepada Kepala Desa.Proses politik pembentukan BPD sebagai proses yang terstruktur, yang
secara tidak langsung mengandaikan eksistensi waktu dan ruang sebagai momen. Jadi,
institusi politik dalam bentuk apapun, dalam pandangan Historical Institutionalism, bukanlah
sesuatu yang natural keberadaannya.
Sebagai bentuk penjelasan kontinuitas pembentukan kelembagaan BPD penulis akan
menjelaskan proses sejarah dari BPD tersebut . Seperti yang peneliti historical
institutionalism lakukan, institusi dimaksudkan untuk menjadi sebuah alat yang dapat
melestarikan suatu kultur atau kebijakan. Penekanan path dependency adalah cara lain untuk
mengatakan bahwa dalam melakukan perubahan dalam sebuah institusi perlu
dilakukanadanya reformasi. Penulis berasumsi bahwa pendekatan historical institusionalism
yang komperhensif membantu dalam ekstrapolasi argumen yang meyakinkan. Historical
54
institusionalism berfokus pada pengembangan kelembagaan dan perubahan yang terdiri dari
alat eksogen analitis (critical juncture dan path dependences).
5.1.1 Path dependencyPada Pengaturan dan Transformasi Kelembagaan BPD dalam
Pemerintahan Desa
Historical Institutionalismmemiliki gagasan dasar bahwa sebuah kebijakan mulai
ditentukan ketika institusi didirikan, atau ketika kebijakan tersebut diinisiasi, lalu menelusuri
seberapa berpengaruh kebijakan itu di masa berikutnya hingga sekarang. Inilah yang dikenal
dengan path dependency; ketika kebijakan pemerintah atau organisasi mulai dijalankan,
kebijakan tersebut akan cenderung tidak berubah dan seperti pada gagasan awalnya.
Kemunculan institusi publik sebagai otoritas politik pada suatu desa dapat dipahami dengan
memperhatikan sejarah dan perkembangannya. Keberadaan suatu lembaga sarat akan pola
yang sudah tertanam sebagai konstruksi oleh masa lalu. Kemunculan institusi baru dalam
desa dipicu karena perubahan waktu yang kemudian membuat kebutuhan dalam
pemerintahan desapun bertambah. Kenyataan tersebut sudah menjadi ketentuan natural yang
pasti dalam mendorong kemunculan satu lembaga yang memiliki otoritas dengan harapan
mampu mengatasi permasalahan dan persoalan. Lembaga tersebut diekspektasikan mampu
merealisasikan aspirasi masyarakat yang semakin berkembang pula. Berdasarkan yuridis
formal dan informal maka perkembangan BPD di Indonesia dapat ditelusuri melalui
implementasi berbagai produk perundang- perundangan yang mengatur tentang desa mulai
dari masa lampau hingga sampai hari ini.
5.1.1.1 Desa Pada Masa Pra Kolonial
Dalam memahami desa, dapat dimulai dengan memahami periwayatan pembentukan
desa yang menurut Soetardjo1mengemukakan bahwa sebenarnya kata desa ini hanya ada di
Jawa, Madura dan Bali. Di daerah Aceh masyarakat menyebut kesatuan hukum paling bawah
1 Soetardjo Kartohadikoesoemo, (1984), Desa,Jakarta: Balai Pustaka hlm 18-19
“pedesaan” dengan gampong dan menasah. Berbeda lagi dengan daerah- daerah di
Minangkabau yang menyebut wilayah pedesaan dengan nama nagari, yang mana dilakukan
juga penggabungan- penggabungan wilayah nagari tersebut bernama luha. Pada daerah lain
seperti contoh di daerah Batak dusun digunakan untuk mengenal wilayah perdukuhan.
Sedangkan bentuk wilayah masyarakat hukum yang mirip desa ini dinamakan kuta, uta atau
huta.2 Pendukuhan lain yang merupakan masyarakat pertanian dinamakan banjar atau
jamban. Maka, di wilayah Simelungun, desa sebagai daerah hukum telah terdesak mati.
Desa dapat diartikan sebagai suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu
masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.3Dapat diartikan dalam
mendirikan sebuah desa adanya masyarakat dan wilayah tempat mereka diami merupakan
sesuatu yang mutlak. Alasan- alasan masyarakat tertentu berkumpul dan tinggal bersama
dapat ditelusuri melalui penamaan desa tersebut seperti desa Bonang, yang mana di daerah itu
banyak memproduksi Bonang. Istilah pembentukan desa itu dapat dikategorikan dengan desa
yang berdiri atas dasar bertempat tinggal bersama atau teritoriale rechtgemeenschappen.
Adalagi desa yang berdiri berdasarkan garis keturunan atau genealogische
rechtgemeenschappen. Istilah genealogische rechtgemeenschappen ini banyak ditemui di
daerah Batak dan Sulawesi dimana di Jawa, Bali, dan Madura hampir tidak pernah ada.
Kemudian secara politis desa ini merupakan wilayah yang seharusnya bersifat otonom
yang melakukan pemerintahannya sendiri yang dipimpin oleh seseorang yang berkuasa.
Berkumpulnya orang- orang menjadi suatu masyarakat dengan sendirinya menimbulkan
akibat- akibat lain. Hal ini kemudian membuat masyarakat desa sebenarnya membutuhkan
suatu hukum atau aturan yang mengatur mereka dalam bermasyarakat. Hidup bersama untuk
mengusahakan dan mempertahankan kepentingan bersama dalam masyarakat tentu memiliki
2 Ibid, hlm 19
3 Ibid.
dinamika tersendiri. Agar hal tersebut tetap berjalan dengan baik, adanya persetujuan positif
yang harus disengaja ditetapkan bersama atau aturan yang terjadi karena suatu kelumrahan
atau disebut dengan tata krama.
Pemahaman tentang pola relasi kuasa di desa pada masa pra kolonial imulai dengan
memahami pemahaman kekuasaan oleh masyarakat Jawa itu sendiri. Menurut Bannedict
Anderson budaya Jawa mengonsepsikan kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, homogen,
jumlah keseluruhannya selalu tetap, serta tidak mempersoalkan keabsahan.4 Konsep
kekuasaan dalam kejawen5 ini penting dipahami karena untuk mendasari pemahaman
“keyakinan” yang terdapat pada masyarakat Jawa tentang kekuasaan.
Bagi orang Jawa, kekuasaan itu adalah sesuatu realitas yang benar- benar ada.
Meskipun mereka memahami kekuasaan ini terletak dari luar tubuh mereka tapi mereka tetap
meyakininya. Oleh karena itu, kekuasaan itu dapat terwujud sebagai apapun yang berasal dari
alam seperti terdapat pada batu, pohon, awan, tanah, api, angin. Segalanya dari alam diluar
dirinya dipercaya mampu memiliki suatu kuasa yang hebat. Budaya jawa memahami dengan
mengkonversikan bentuk kekuasaan itu dalam bentuk energi, daya, tenaga atau kekuatan
yang tidak bisa diraba.6 Oleh karena itu kekuasaan juga bersifat misterius, sebab kekuasan
juga mengandung sifat ketuhanan yang dapat menghidupkan alam semesta.
Sebelum Islam dan agama- agama samawi7 masuk ke pedalaman Jawa, sudah ada
orang yang meninggalkan sinkretisme ortodoks untuk menekuni aliran ritual baru, dan
mengagungkan tokoh- tokoh penyelamat.8Pada masa lampau, aturan- aturan yang kemudian
menjadi hukum ini dilegitimasi oleh penguasa, namun mereka tetap tidak mengabaikan
4 Maryam Budiaro, hlm 51-52
5Istilah yang digunakan untuk sesuatu yang kental dengan budaya Jawa
6 Syahbudin Latif, (2000) , Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo hlm
10 7 Agama yang dipercayai sebagai mukjizat yang turun dari langit. Agama ini dipercaya ajaran - ajarannya
merupakan suatu keniscayaan yang turun langsung dari Tuhan. 8Denys Lombard (1996) Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan- Kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia
Pustaka hlm 24
legitimasi atas nama kepercayaan atau Tuhan. Pengertian tentang Tuhan dan tentang Dia
yang berkuasa atas semesta merupakan sesuatu pemahaman yang fundamental yang
dipahami. Nilai- nilai ketuhanan tersebut yang kemudian membuat suatu keyakinan akan
kebaikan, keadilan, belas kasih yang disampaikan oleh orangtua mereka. Penyampaian ajaran
Tuhan yang diajarkan oleh orang tua pada masa lampau cenderung berbentuk suatu
pengekangan yang kemudian lama kelamaan menjadi mitos atau takhayul yang berkembang
di suatu masyarakat tertentu.
Melalui pemahaman tentang kekuasaan yang bersifat konkret dan berasal dari luar
dirinya itulah yang kemduian kekuasaan merupakan sesuatu yang manifes, terwujud dan ada.
Pemahaman itu disinyalir membentuk sikap masyarakat Jawa yang kemudian membentuk
sikap rakyat yang sangat loyal kepada raja. Hal tersebut dikemukakan sampai menjadi sebuah
pepatah jawa “nderek karsa dalem” yang berarti terserah dengan apa yang dikehendakkan
raja. Sehingga bukan sebuah kekeliruan jika dikatakan bahwa raja- raja Mataram adalah
pembentuk undang- undang, pelaksana undang- undang, dan hakim sekaligus.9 Menurut
Moedjanto kekuasan raja sangat besar itu biasanya dinyatakan dalam istilah “wenang wisesa
ing sanagari”.
Budaya jawa juga memahami Raja yang pada saat itu adalah sebgai wakil Tuhan.
Keyakinan bahwa seorang raja adalah wakil Tuhan yang ada di bumi ini kemudian membuat
kekuasaan raja bersifat absolut. Seperti contoh pada masa kerajaan Mataram dimana Senapati
yang merupakan pendiri kerajaan Mataram adalah keturunan langsung Nabi Adam ke 52.
Klaim tersebut dilakukan jelas merupakan upaya religius agar keberadaannya mendapatkan
sebuah legitimasi yang bersifat spiritual dan legitimasi tertinggi berasal dari Tuhan. Menurut
Moedjanto tindakan itu perlu dilakukan Senapati karena dirinya menyadari bahwa dirinya
9 Syahbudin Latif (2000), “ Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa”, Kogjakarta: Media Pressindo hlm 11
sesunguhnya hanyalah keturunan petani, keturunan kebanyakan rakyat jelata.10 Oleh karena
itu agar dapat diterima banyak orang dirinya membuat cerita seolah- olah dia adalah utusan
pemegang segala kuasa diatas semua kuasa yaitu Tuhan.
Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan yang mempengaruhi secara tidak lansung
masyarakat Poncokusumo. Pada masa kerajaan Mataram Islam para penguasa lokal (bekel
atau kepala desa) diwajibkan menyerahkan upeti kepada raja sebagai penguasa pusat. Bentuk
upeti ini bisa berupa uang , barang- barang maupun tenaga. Sementara seorang kepala desa
juga memperoleh upeti dari rakyatnya berupa bantuan tenaga kerja untuk kepentingan pribadi
kepala desa, seperti kuduran. Selanjutnya jika seorang raja dikelilingi oleh para patih,
bendahara, sentana, serta punggawa kerajaan. Maka kepala desa pun memiliki pembantu-
pembantu yang dikenal akrab dengan istilah cari, kamituwo, ulu- ulu, kebayan, modin, dan
lain- lainnya.
5.1.1.2 Masa Kolonial
Supaya pemerintahan Belanda dapat menjalankan penarikan pajak yang memperluas
penerapan hukum mereka, kampung- kampung kecil yang sebelumnya berdiri sendiri
dikelompokkan menjadi suatu kepemimpinan yang terpusat.11 Pada tahun 1809 Gubernur
Jendral Daendels sebagai utusan Belanda tertinggi di tanah Jawa memerantahkan agar suatu
wilayah desa yang besar terbagi menjadi 10 rumah tangga, tidak boleh memiliki lebih dari
dua pemimpin, satu Koewu atau Mantri (Sekretaris) dan satu Prentas, Petinggi, atau Loerat
(Kepala Desa).12 Hal tersebut dapat menjadikan gambaran bagaimana pemerintahan Belanda
pada masa itu. Seluruh pejabat desa tersebut dipilih oleh Belanda berdasarkan strata sosial.
Pada masa itu seorang peladang dan petani selamanya tetap menjadi buruh tani yang tenaga
10
Moedjanto, (1987) hlm 26 11
Ibid, 12
Opcit Klein dalam Hans Antlov, hlm 28
nya diperas yang mempercuram ketidakadilan sosial yang sebenarnya sudah terjadi sejak
masa kerajaan.
Seperti adanya di tiap- tiap negeri yang dijajah oleh bangsa asing, maka di Inondesia
sejak datangnya kekuasaan Belanda timbulah perjuangan antara hukum asli dan hukum
asing.13 Manusia di Indonesia secara khusus di Jawa pra kolonial meskipun tidak pernah
teradministrasi, namun nalurinya dalam hidup bermasyarakat tetap berkehendak meskipun
dengan caranya sendiri. Hal demikian sudah berlangsung selama berabad- abad lamanya.
Sedangkan bangsa Belanda yang memplokamirkan penguasa baru atas tanah Jawa.
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus mengikuti tata- cara yang telah ditetapkan
oleh Belanda dimana hukum yang telah mereka tetapkan di negerinya kemudian dibawa ke
tanah Jawa dengan segala represifnya.
Pada masa permulaan waktu Vereenigde Oost Indische Companie(VOC) masih
berkuasa di Jawa mereka hanya menjalin hubungan dengan para reganten (bupati) tidak
langsung dengan pemerintah desa. Barulah oleh Gubernur Jendral Daendels pemerintahan
desa disebutkan dalam surat tentang sataat der N.O.I Bezittingen bahwa “pemerintah desa
terdiri dari distrik- distrik dan desa- desa yang besar di pegang oleh demang atau groot
mantrie dan pemerintahan atas desa- desa yang kurang penting diserahkan kepada mantri
sedang desa- desa yang kecil pemerintahannya diserahkan kepada klein mantrie atau lurah
yang memegang kekuasaan yang tidak berarti”. Dalam surat itu disebutkan juga bahwa
kepala desa berganti setiap setahun sekali. Kemudian Daendels mengeluarkan surat pada 17
November 1808 kepada minister van Koophandel en Koloniel (menteri urusan daerah
jajahan)yang bermaksud ingin merubah pengangkatan seluruh pejabat yang mengepalai
pemerintahan masyarakat terkecil langsung oleh gubernur jendral.
13
Opcit Soetardjo Hadikusumo., hlm 111
Dimulai pada abad 18 bangsa Belanda memaksa bangsa Jawa untuk menanam
kopi.Pertanian kopi ini dilaksanakan oleh para petani yang dibawah pengawasan langsung
pejabat pribumi dan bangsawan. Para petani Jawa dipaksa meladeni kebutuhan pasar bangsa
Eropa. Kopi yang pada umumnya tidak dapat tumbuh di lahan padi, maka penanaman kopi
jauh dari pemukiman dimana hutan yang letaknya tinggi belum dimanfaatkan. Hutan ini
kemudian dibuka menjadi lahan pertanian dan ditanami secara kolektif namun tidak secara
komunal. Tanam paksa ini mendatangkan sukses yan besar karena pertanian kopi adalah
sektor yang paling gemuk dalam pemasukan bangsa Hinda- belanda. Adanya tanam paksa ini
namun juga memberikan sejumlah dampak di kehidupan desa dan pemerintahan di desa.
Tanam paksa membuat kekuasaan para bangsawan lokal dan elit desa semakin
meningkat. Penarikan pajak dan pertanian kopi merupakan tanggung jawab para bangsawan
dan bawahan mereka. Para pejabat desadiberi hak mengontrol pertanian kopi, menarik pajak
dalam bentuk uang maupun barang, dan memerintah penduduk mengikuti kerja paksa. Para
pejabat desa seringkali dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Kepala desa memiliki
penghasilan dari berbagai sumber seperti zakat, pajak tanah, keuntungan kerja paksa, dan
presentasi dari panen kopi. Kepala desa dan bangsawan lokal dinyatakan sebagai wakil
pemerintah kepada seluruh penduduk masyarakat14. Bila terjadi benturan antara pemerintah
dan masyarakat, para pejabat desa seringkali membela kepentingan penguasa dan Belanda.
Hal tersebut membuat para pejabat desa sering terlibat permusuhan dengan penduduk.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa keadaan birokrasi pada saat itu sangat berpihak dan
menyatukan diri dengan para penguasa yang lebih tinggi untuk memepermudah dalam
memperoleh legitimasi kekuasaanya.
Kepemimpinan resmi di tingkat desa seringkali menghadapi banyak kesulitan dalam
menggalang kerjasama antar kampung. Menjalankan kekuasaan desa adalah sama sekali tidak
14
Ibid,
gampang. Desa hanya merupakan unit administrasi dan peran kepala desa adalah untuk
menjalankan keputusan- keputusan para penguasa yang disalurkan melalui para birokrat
bumiputra.15 Pada umumnya sangat sukar mendirikan mendirikan satu dewan yang mewakili
seluruh desa.16 Setiap kampung yang terdiri dari beberapa rumah tangga mempunyai
wakilnya sendiri- sendiri yang terdiri dari para bumi dibawah bimbingan sesepuh kampung.
Hingga bangsawan dengan kekuatan kekuasaan yang bersumber dari penguasa yang lebih
tinggi. Adalah dewan dan para sesepuh di masing- masing kampung yang merupakan wakil
para penduduk.
Pada masa tradisional dimana institusi publik yang memiliki kapasitas secara politik
menjadi “wakil” masyarakat dalam tatanan pemerintahan desa belum terinstitusi secara
formal. Namun sebagai masyarakat yang komunal wakil dari masyarakat ini tetap dibutuhkan
entah sebagai wakil yang sesungguhnya atau sebagai alat dalam pelegitimasi kekuasaan
penguasa lokal. Dapat di identifikasikan bahwa sesepuh desa dan pada saat itu adalah wakil
masyarakat itu. Meskipun posisinya lebih eksklusif dan cenderung berpatron, namun adanya
dewan desa dapat ditelusuri mulai dari sini hingga terbentuklah aturan formal yang mengatur
perilaku masyarakat yang menjadi institusi itu.
Baru pada masa kolonial di bawah kepemimpinan Raffles diperkenalkanlah sistem
pemilihan umum untuk memilih kepala desa. Pemerintahan Raffles berlangsung selama 15
tahun yang dimulai pada tahun 1811 hingga 1816. Masa tersebut adalah masa peralihan awal
pemerintah dari Belanda ke Inggris. Inggris dibawah kepemimpinan Raffles
kemudianmengadakan penelitian lebih lanjut tentang sifatnya pemerintahan desa yang
hasilnya sangat dikagumi oleh Inggris. Dalam Revenue Instruction yang diterbitkan Inggris
pada tanggal 11 Februari 1814, Inggris menekankan beberapa hal yang sebelumnya telah
15
Van Marle dalam Antlov hlm 31 16
Ibid Van Vollenhoven dalam Antlov
dilakukan di Jawa dan perlu adanya penegasan lebih lanjut.17 Diantaranya kepala desa adalah
kepala pemerintahan yang dipilih berdasarkan kepercayaan penduduk sekitar atau dipilih
secara langsung dan segala upaya Inggris berkomitmen untuk memperkuat sistem itu.
Pada hasil itu kepala desa adalah seseorang yang mengepalai struktur pemerintahan
desa. Selain menjalankan kekuasaan secara adminitratif dan politik dalam sehari- hari kepala
desa juga memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan masyarakat dan adat istiadat
lokal. Selain itu kekuasaan pemerintahan desa juga diwewenangkan kepada dewan, dimana
anggotanya berdasarkan bagian dari lapisan masyarakat yang lain. Inggris menemukan fakta
bahwa kondisi ini yang sebenarnya adalah kearifan lokal desa yang mereka bentuk sendiri
jauh sebelum kolonial ada. Sistem yang sudah cenderung rapi dan dapat mensejahterakan
tersebut itulah yang Inggris anggap perlu untuk lebih ditata dan dikuatkan secara sistem.
Dalam aturan yang bernama reglement op het beter beleid der Justitie yang ditetapkan pada
tanggal yang sama juga mengatur bahwa kepala desa juga sebagai polisi negeri.
Dalam revenue instructionyang disebutkan dalam pasal 14 yang berbunyi sebagai
berikut; “Demikianlah maka kepala desa18 diserahi kewajiban yang berkenaan dengan
pendapatan dalam desanya, dan kewajiban yang dapat ia kerjakan lebh baik dari siapapun
juga, berhubungan dengan pengaruh pribadinya dan pengertiannya tentang keadaan khusus
penduduk desanya”. Adapun kepala desa itu ditaruh di bawah perintah districtshoofd.
Districtshoofd adalah kepala desa yang memakai nama jabatan wedono. Kepala daerah
kordinasi desa yang memakai nama jabatan penatus dikemudian hari namanya diganti
menjadi asisten-wedana dan daerahnya dinamakan onderdistrik. Menurut bentuk asli daerah
yang dinamakan onderdistrik ini adalah wilayah yang sebelumnya dinamakan monco-pat dan
monco-limo desa.
17
Ibid Soetardjo, hlm 185 18
Berlaku juga dengan jabatan tinggi yang dikenal dengan istilah lain seperti bekel, lurah atau lain- lain
tergantung penamaan yang diberikan oleh tiap adat
Setelah kolonial Inggris menyerahkan tanah jajahannya kembali kepada Belanda,
kemudian Belanda memperkuat sistem itu. Meskipun tidak diterapkan secara utuh namun
aturan itu tetap menjadi pegangan Belanda. Salah satu aturan yang menjadi produk Belanda
adalah bahwa penetapan kepala desa harus disahkanoleh “residen”. Untuk menjaga agar
residen tidak berlaku sewenang- wenang maka dibuat lagi aturan jika residen menelok sebuah
pengesahan dengan suatu masalah tertentu, maka maslaah tersebut bisa dilaporkan langsung
kepada gubernur jendral.
Proses pemilihan dilakukan dengan berbagai cara- cara sederhana mulai dari tunjuk
jari hingga proses yang dinamakan wiwinan.19 Proses pemilihan terbuka model ini dibuat
agar para calon pemimpin mengetahui secara nyata kesetiaan rakyatnya. Para rakyatpun tidak
dimungkinkan berhianat atau membelot dalam pemilihan karena ada proses pengawasan yang
disaksikan secara langsung. Sesuai penelusuran kebudayaan Jawa bahwa seorang yang telah
menyatakan dirinya menghamba pada seseorang entah pada raja atau orang kaya mereka akan
sangat loyal. Pada masa kolonial berhasil memenangkan posisi kepala desa adalah suatu
pencapaian yang sangat bergengsi.
Persamaan itu mempunyai kecenderungan bahwa seorang pengusa baik raja ataupun
kepala desa selalu mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan
dirinya secara genealogis dengan pemegang kekuasaan lebih tinggi.20 Pada usaha untuk
memperoleh kekuasaan apa yang diyakini mereka mempunyai kekuatan akan didatangi.
Dalam usaha memperoleh kekuasaan apa yang dilakukan oleh raja- raja dahulu tetap
dilakukan oleh para calon kepala desa. Selain bentuk fisik yang berupa dukungan dari
masyarakat dukungan spiritual tetap mereka percaya sebagai invisible hand yang memiliki
kekuatan diluar kebatasan manusia. Usaha tersebut dapat didapat melalui kegiatan yang
19
Proses penentuan dalam istilah jawa dimana suaranya dilakukan dengan cara rakyat duduk dibelakang calon
pemimpinnya masing-masing mebentukan sebuah barisan. Barisan yang paling panjanglah yang pada akhirnya
akan menang dan menjadi pemimpin desa tersebut selanjutnya. 20
Syahbudin Latif (2000), “Persaingan calon Kepala Desa”, Jogjakarta: Media Pressindo hlm 14
berbentuk puasa, bersemedi khusyuk hingga tidak tidur (lek- lekan), dan mempersembahkan
berbagai sesaji yang telah dibacakan mantra tertentu. Bentuk sesaji tersebut dapat berupa
makanan atau sesembahan yang diyakini dapat menambah nilai kekhusyukkan akan “ibadah”
yang mereka lakukan.21
Pergantian kepemimpinan melalui pemilihan kepala desa merupakan titik awal nafas
demokratisasi desa dihembuskan namun, dalam implementasinya banyak dinamika yang
terjadi dalam hal memperebutkan kekuasaan. Persaingan dalam pencalonan kepala desa pada
masa itu di Jawa terjadi sangat ketat. Segala upaya dilakukan oleh para calon kepala desa
dalam rangka mengumpulkan partisipan sebagai membesarkan suara. Bahkan kekerasan pun
diupayakan yang kemudian membutuhkan modal yang cukup tinggi. Hal tersebutlah yang
membuat tidak semua orang mampu mencalonkan diri sebagai kepala desa yang membuat
desa kembali dikuasai oleh para elit.
Pada masa kolonial Inggris yang dipimpin Raffles pemilihan kepala desa yang
dilaksanakan secara langsung ini sebenarya adalah upaya untuk membuka peluang seluruh
lapisan masyarakat masuk dalam perpolitikan desa. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
sebelumnya desa dibawah kekuasaan bangsawan dan birokrat pribumi justru malah menindas
masyarakat umum. Dibawah pembodohan kolonial Belanda, hal tersebut dilakukan demi
mempermudah pengawasan masyarakat yang telah dikuasi pribumi di bawah patron mereka.
Oleh karena itu, pemilihan langsung diterapkan agar kondisi sosial jawa dapat berubah
menjadi lebih sejahtera melalui upaya demokratisasi tersebut. Pejabat desa beserta
birokratnya pun diharapkan berwenang sebagai “wakil” masyarakat.
Mekipun sejak Letnan Gubernur Jendral Raffles pada tahun 1817 telah membuat
kebijakan bahwa desa- desa di utara pula Jawa22 menjalankan hak otonomi penuh dengan
21
Anderson, (1987) hlm 53 22
Atau dalam kondisi saat ini adalah desa desa di Pantai Utara Jawa (Pantura)
berkuasa memilih kepalanya sendiri. Setelah kekuasaan Ingris jatuh pada Belanda kembali
hal tersebut baru di sahkan menjadi perundang- undangan pemerintah setelah tiga puluh tujuh
tahun (37) kemudian. Perundang- undangan tersebut baru disahkan pada tahun 1854.
Pada pengertian otonomi menurut tradisi hukum tatanegara Eropa, maka desa di
Indonesia sebagai daerah hukum paling tua menjalankan otonomi yang sangat luas. Bahkan
lebih luas dari wilayah hukum diatasnya yang menyusul dikemudian hari baik desa yang
dibentuk secara sukarela maupun desa yang pembentukannya atas paksaan pihak yang lebih
kuat. Meskipun demikian desa di seluruh Indonesia masih berwenang menentukan mati
hidupnya desa mereka sendiri. Berwenang menetapkan wilayah dan batas- batas desa mereka
sendiri. Juga berwenang menetapkan tata pemerintahannya sendiri.
Pada zaman itu Pemerintahan Desa terdiri dari kepala desa yang dibantu oleh parentah
desa.23 Parentah desa ini jika diadaptasi dengan bahasa Indonesia merupakan pemerintah
desa. Hal tersebut diatur dalam undang- undang tahun 1906 yang menatur pemerintahan desa
di Jawa dan Madura. Satu hal yang perlu dimaknai bahwa pemerintah desa yang terjadi pada
sat itu bukan merupakan pemerintah desa yang terstruktur dan terlembaga seperti saat ini.
Mereka tidak lain merupakan para orang- orang desa yang terpandang dan
dianggapberkapasitas dan tentunya mempunyai kekerabatan oleh kepala desa. Parentah desa
ini memiliki status sosial yang tinggi diantara masyarakat desa yang lainnya. Kedudukannya
merupakanwakil dari kepala desa yang tidak mungkin mampu mengatasi persoalan desa
secara individu.
Pada struktur sosial desa, parentah desa memiliki akses- akses istimewa yang tidak
mungkin didapatkan oleh masyarakat biasa. Diantara contoh akses istimewa tersebut salah
satunya adalah adanya sawah yang dikelola secara giliran (comunal) dengan parentah desa
lain. Namun pengaruhnya lebih besar daripada mayarakat yang memiliki hak tanah secara 23
Ibid Soetardjo, hlm 191
perorangan yang menjadi pertanda tingkat klasifikasi sosial masyarakat di tanah Jawa pada
umumnya. Jumlah parentah desa pada tiap desa berbeda- beda namun biasanya tidak lebih
dari sepuluh anggota. Menjadi anggota parentah desa sebenarnya hanya merupakan suatu
bentuk kebanggaan dan kehormatan atas individu yang menjabatnya. Hal tersebut
dikarenakan untuk bergabung bersama parentah desa ini harus mampu menerima konsekuensi
atas beban tanggung jawab yang tidak berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat.
Warga desa penuhadalah warga desa yang mereka mempunyai pekarangan dengan
rumah dan tanah pertanian (sawah). Mereka dikatakan warga desa penuh karena mereka telah
memegang hak dan kewajiban secara penuh. Mereka yang berasal golongan penuh dan
kemudian termasuk keturunannya yang berhak atas tanah tersebut di desa akan disebut
pinitua atau Tetuo Deso. Tetuo deso bisa juga disebut dewan pertimbangan dalam
pemerintahan. Disebut dengan dewan pertimbangan karena meskipun kepala pemerintahan
dipegang oleh seorang kepala desa, kepala desa selalu meminta pertimbangan dalam
mengambil keputusab strategis.
Tetuo Desodalam desa lain juga disebut dewan morokaki ini juga memiliki wewenang
untuk melakukan pengadilan desa. Konflik desa yang telah menjadi hal yang klasik seperti
konflik sengketa pertanahan, pembagian air irigasi adalah hal yang sangat wajar. Anggota
Tetuo Deso ini dipilih berdasarkan mereka yang mempunyai pengalaman dalam urusan tanah,
air dan pertanian. Oleh karena itu mereka dianggap ahli dan berkapasitas pada urusan- urusan
tersebut. Urusan mereka tentang hal- hal tentang tanah, perairan, dan hal- hal yang riskan
sengketa di desapusan sudah dianggap selesai. Jadi mereka dianggap sebagai golongan yang
bisa netral karena sudah tidak memiliki kepentingan yang lain.
Kehadiran dewan morokaki atau tetuo desa ini dapat diasumsikan sebagai adanya
dewan dalam masyarakat yang terinstitusi. Meskipun institusinya masih terinstitusi secara
tidak formal, namun keberadaan mereka mirip seperti keberadaan BPD sebagai badan
permusyawaratan. Dewan tetuo desa ini berwenang memberi pertimbangan dalam hal
pemerintahan yang kemudian diputuskan dengan permusawarahan atau rapat desa. Hasil
permusyawarahan itu yang kemudian menjadi keputusan tertinggi yang harus dihormati oleh
warga desa.
Penyelenggaraan rapat desa ini dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada di
desa. Diantara susunan rapat desa tersebut adalah;24
Pertama : Kepala Desa
Ketua : Tetuo Deso
Ketiga : Parentah Desa
Keempat : Warga Desa
Kelima : Mantan- mantan kepala desa yang turun secara terhormat
Keenam : Orang- orang penting (kyai, guru agama dan lain sebagainya)
Struktur rapat desa ini dapat diperhatikan adalah sebagai suatu majelis yang menjadi
suatu forum tertinggi pada pemerintahan desa. Sebagai desa yang terbentuk secara tradisonal
dan tidak teradministratif sebenarnya telah didasarkan pada proses yang berasaskan
demokrasi. Dapat dikatakan kepala desa sebagai pemegang wewenang dalam melaksanakan
pemerintahan sebagai lembaga eksekutif. Kemudian Tetuo Deso sebagai lembaga yang
memutuskan suatu sengketa atau konflik dapat diartikan sebagai lembaga yudikatif. Undang-
undang yang pada negara demokrasi dilakukan oleh lembaga legislatif, sedangkan di desa
rapat desa adalah legislatif itu.
Jika dianalisis menggunakan sistem pemerintahan desa saat ini, rapat desa ini adalah
lembaga permusyawaratan yang saat ini bernama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
24
Soetardjo Kartihadikoesoemo, (1984), Desa, Jakarta: Balai Pustaka
Meskipun dalam sistem Jawa lampau rapat desa ini tidak terlembagakan, atau tidak dibentuk
suatu lembaga khusus yang berkapasitas dalam mewadai suatau musyawarah, BPD pada
masa itu adalah masyarakat dari berbagai lapisan itu. Tidak adanya suatu lembaga khusus
yang dibentuk untuk menjadi wadah dalam bermusyawarah ini karena kepercayaan mereka
dengan tokoh desa masih sangat tinggi. Sesepuh atau tetuo deso yang dianggap mampu
menjadi penengah dalam segala konflik ini meskipun dapat diartikan sebagai lembaga
peradilan, namun keberadaannya dalam memberi keputusan dan memberi kontrol oleh kepala
desa adalah konkrit. Lalu bagaimana orang desa yang kuno dan tradisional mampu mengenal
prinsip pemisahan kekuasaan seperti yang di kemukakan oleh Montesquiue? Menurut uraian
diatas dapat dikatakan bahwa warga desa di Jawa kuno menggunakan prinsip demokrasi yang
dilandaskan langsung atas kepercayaannya dengan nlai- nilai ketuhanan.
Masa pemerintahan kolonial Belanda, rapat desa diatur dalam Staatsblad tahun 1903
nomor 83.25 Dalam aturan tersebut memberi keharusan kepada kegiatan- kegiatan penting
yang berkenaan dengan rumah tangga desa wajib diadakan rapat desa dan jika yang dibahas
mengenahi perdukuhan diadakan rapat dukuh. Menurut aturan ini pula bahwa seluruh warga
desa berhak hadir dalam rapat desa ini. Oleh karena itu rapat desa ini harus bersifat gratis dan
bebas pungutan apapun agar masyarakat bersedia hadir dan menyampaikan pendapat mereka.
Jadi rapat desa ini berjalan semestinya bukan hanya kepala desa dan parentah desa. Lacuelle
menyampaikan bahwa yang menentukan keputusan sebenarnya bukan kepala desa namun
rapat desa yang telah dihadiri kepala desa sendiri.
Dalam catatan yang disampaikan Laceulle hal ini juga mencegah adanya keputusan
sewenang- wenang (autokratis) yang terjadi pada kepala desa. Ketentuan yang tertuang dalam
25
Ibid Soetardjo Kartohadikoesoemo, hlm 221
Indische Gementee Ordonnantie (IGO).26 Pada kenyataannya aturan IGO ini hanya memutar
usaha untuk memutar balikkan isu tentang sebuah kesewenang- wenangan. Seperti yang telah
disampaikan diatas bahwa sesungguhnya kepala desa itu bukan seorang atau individu yang
kemudian dicetak menjadi seorang yang autokratik, namun kemudian adanya tekanan yang
sangat besar dari Belanda. Tekanan dari Belanda atas penduduk kepada kepala- kepala tidak
hanya kepala desa saja termasuk juga bupati. Tindak tanduk mereka serba diawasi olehaparat
Belanda seperti tentara- tentara dan para polisi. Maka para kepala- kepala itu lambat laun
menjelma menjadi perseorangan yang autokratis terhadap masyarakat dan terhadap
kekuasaan mereka.
Sebagai kesimpulan sederhana kondisi pemerintahan pada masa kolonial pemisahan
kepala desa dari penduduk desa mengakibatkan munculnya kekuasaan yang administratis dan
otoriter.27 Kekuasaan para kepala desa tidak terletak pada kontrol terhadap tanah komunal,
tidak pada penguasaan simbol- simbol sumberdaya yang penting, dan juga tidak pada posisi
sebagai sesepuh desa. Kepala desa tidak lebih sebagai posisi yang hanya merepotkan dirinya
sendiri sebagai orang yang berkewajiban mengurus keperluan- keperluan administratif
penduduk desa. Kepemimpinan lebih bersifat otoriter dari pada moralistik. Lebih pada sistem
administratif dari pada kepentingan komunal, dan didasarkan pada hubungan dengan
penguasa yang lebih tinggi bukannya pada penduduk.
5.1.1.3 Masa Orde Lama
Pasca Indonesia merdeka pada tahun 1945 meskipun desa sudah ada namun,
pengaturan formal yang bersisat konstitutif belum termuat. Pengaturan tentang desa tidak
memperoleh pengaturan secara eksplisit yang membuat desa- desa di Indonesia tidak mampu
mengelola desanya dengan teratur, kecuali pada desa yang sudah mempunyai kesatuan
26
Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO), (1960), pada dasarnya bukanlah dasar dalam pembentukan desa
otonom, kecuali bentuk pengakuan atas entitas khas yang telah ada sebelumnya. Pengaturan inipun bersifat
terbatas bagi wilayah Jawa dan Madura 27
Ibid Antlov., hlm 32
masyarakat hukum adat yang tumbuh kembangnya jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal
tersebut memberikan konsekuensi UU yang membahas desa menempatkan desa sebagai lokus
otonomi tingkat tiga. UU yang dimaksud UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun
1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 dengan argumen bahwa desa dan segala entitasnya
adalah bagian dari sendi- sendi negara yang perluasan dan kedinamisan desa dibutuhkan
untuk mengupayakan kemajuan negara yang bersifat umum. Dengan dibentuknya UU Nomor
19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja, semua peraturan perundangan yang berlaku sebelumnya
seperti IGOdan IGOB28dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun yang dimaksud dengan desa
praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak
mengurus rumah tangganya sendiri memiliki penguasa dan mempunyai harta benda sendiri.
Badan musyawarah desa praja adalah sebagai badan perwakilan dari masyarakat desa praja
dan cara pemilihan dan pengangkatan anggotanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I.29
Sekalipun keinginan untuk meningkatkan desa memperoleh pijakan yang cukup,
namun keadaan sosiologis masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan masih belum
sepenuhnya siap. Terlebih isu komunismeyang menyebabkan konflik antara negara dan
masyarakat yang pada saat itu sangat mengganggu kestabilan secara umum seperti gerakan
30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI). Tidak dipungkiri bahwa konflik
tersebut menghambat upaya terwujudkannya desa sebagai entitas otonom selain daerah
otonom tingkat satu dan dua. Pada akhirnya UU No. 19 Tahun 1965 ditinjau ulang selaras
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 1966 tentang Penundaan Realisasi
Pembentukan Desa Praja.
28
Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) merupakan revisi dari IGO yang meliputi pengaturan
desa-desa di luar Jawa dan Madura pada tahun 1938. Inilah yang kemudian menjadi dasar dalam konstitusi
dimana negara pada akhirnya mengakui dan menghormati satuan-satuan khusus yang telah ada jauh sebelum
Indonesia terbentuk. 29
Dasril Radjab,(2005), Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, hlm. 144-145
Undang- undang nomor 19 tahun 1965 sebagai bentuk upaya pemerintah dalam
mempercepat terwujudnya daerah tingkat III. Seperi yang termuat dalam pasal satu (1) yang
menjelaskan tentang desapraja, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas- batas
daerahnya, berhak mengrus rumah tangganya sendiri dan mempunyai harta bendanya sendiri.
Jika dianalisis melalui bunyi pasal 1 ini terjelaskan bahwa Soekarno telah menyiapkan desa
sebagai desa yang mampu mengurus rumah tangganya secara otonom. Undang- undang ini
memberikan definisi yang lebih konkret dari apa yang telah ditentukan undang- undang
sebelumnya undang- undang nomor 22 tahun 1948. Pada undang- undang ini desa diberikan
pendefinisan yang lebih jelas tentang hak nya dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Pada masa orde lama, kelengkapan desapraja terdiri atas kepala desapraja, badan
musyawarah desapraja, petugas desapraja, pamong desapraja, panitera desa prajam dan badan
pertimbangan desa praja.30 Sebagai seorang kepala, kepala desa dari masa kolonial ke masa
Soekarno ini tetap merupakan seorang yang berfungsi utama sebagai penyelenggara rumah
tangga desapraja dan merukapan alat pemerintahan pusat. sedangkan badan musyawarah
desapraja merukan perwakilan dari masyarakat desapraja. Badan musyawarah desapraja ini
ditetapkn oleh daerah tingkat II atau pemerintah kabupaten. Dalam pengambilan keputusan,
kepala desa harus mendapat persetujuan dari Badan Musyawarah Desa Praja ini.
Kepala desa diatur menjabat maksimal selama delapan tahun sedangkan Badan
Musyawarah Desa menjabat selama empat tahun. Selama satu masa jabatan kepemimpinan
kepala desa di dampingi oleh dua kali masa jabatan Badan Musyawarah Desa. Keanggotaan
Badan Musyawarah Desa dalam satu kepengurusan tidak boleh lebih dari 25 orang dan
setidaknya merupakan wakil dari dusun- dusun yang ada di desa tersebut. Badan
Musyawarah Desa ini adalah lembaga yang independen jadi diantara keanggotaannya tidak
boleh dari perangkat lain.Perangkat desa lain diantara Kepala Desapraja dan Badan
30
Undang- Undang Nomor 19 tahun 1965
Musyawarah Desa adalah Pamong Desapraja. Pamong Desapraja ini berfungsi sebagai
pembantu Kepala desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Pamong Desapraja ini
adalah kepala- kepala dusun yang mana masa jabatannya sama seperti masa jabatan kepala
desa. Pemilihan Kepaladusun ini sama seperti pda pemilihan kepala desa dimana masa yang
mempunyai hak pilih adalah anggota masyarakat dusun tersebut.
Undang- undang desa yang pada masa Seokarno ini tidak mengatur secara jelas
tentang sistem pemilihan Badan Musyawarah Desa. Menurut redaksional yang termuat dalam
Undang- undang pasal 17 angka lima, Badan Musyawrah Desapraja dipilih secara langsung
oleh masyarakat yang sudah berumur 18 tahun atau masyarakat yang sudah pernah menikah.
Undang- undang ini memberi kesempatan masyarakat untuk memilih perwakilannya secara
langsung, namun hal tersebut disesuaikan juga dengan kondisi sosial masyarakat pada
masing- masing desa. Anggota Badan Musyawarah Desa terpilih kemudian ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah tingkat I.
Hal lain yang diatur pada undang- undang ini adalah mengenai syarat- syarat sesorang
dapat dipilih sebagai anggota BPD. Undang- undang ini memberikan pengaturan secara rinci
tentang hal tersebut. Diantara aturan- aturan itu adalah sekurang- kurangnya berusia 21 tahun,
bertempat tinggal secara pokok pada desapraja yang bersangkutan, cakap menulis dan
membaca dalam huruf latin, tidak terlibat kasus hukum, dan bukan anggota atau mantan
anggota organisasi terlarang.31
Peraturan- peraturang yang termuat dalam UU No. 19 Tahun 1965 ini banyak
mempertegaskan tentang nilai- nilai ke Indonesiaan dan Nasionalisme. Soekarno pada saat itu
memahami benar bahwa desa di Indenesia ribuan jumlahnya dan memiliki keragaman latar
belakang. Maka dari itu, untuk membuat aturan yang bersifat seragam tentu merupakan hal
yang utopis. Maka dari itu, dalam pembuatan peraturan yang menyangkut pemilihan Badan 31
Undang- Undang Nomor 19 tahun 1965
Musyawarah Desapraja pemerintah pusat tidak terlalu memaksa keadaan desa untuk memilih
Badan Musyawarah Desapraja yang terlalu baku. Hal terpenting yang harus ditanamkan dan
ditumbuh di desa pada pasca kemerdekaan adalah tentang semangat cinta tanah air dan
semangat turut memajukan bangsa dengan berkomitmen mengamalkan nilai- nilai Undang-
undang dasar 1945.
Hubungan antara kepala desa dan Badan Musyawarah Desapraja pada zaman
Soekarno ini mengalami relasi akomodatif. Dapat dikatakan akomodatif karena posisi kepala
desa yang masih sangat kuat pada masa rezim ini. Kuatnya posisi kepala desa ini dikarenakan
lemahnya konstruksi dan konstitusi yang mengatur adan Musyawarah Desapraja disisi lain
personal Kepala Desa yang sangat kuat. Kuatnya personal kepala desa ini disebabkan karena
konstruksi masa lalu tentang kepala desa yang sudah ada lamanya sejak sebelum pra kolonial
sehingga seorang kepala desa tentu cenderung berkarakter personal kuat. Selain itu, Badan
Musyawarah Desapraja adalah lembaga baru yang kewenangannya tidak tertuang dan diatur
secara eksplisit yang membuat lembaga ini hanya sebagai formalitas.
Desa, adalah tetap desa sekalipun aturan hukum tata negara dan perundang- undangan
berganti- ganti menurut penguasa pusatnya, namun perubahan itu hanya terjadi di pusat. pada
kenyataannya desa pada masa orde lama adalah tetap desa seperti kalanya zaman dahulu kala.
Meskipun ada yang berubah dalam kondisi desa, yaitu kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dan mengikuti berbagai partai politik atau organisasi keagamaan. Pada tatanan
pemerintahan desa, meskipun telah terkenalkan lembaga seperti Badan Musyawarah
Desapraja, oleh masyarakat desa lembaga itu tidak lebih dari sekedarsatu lembaga yang
diberi nama tertentu, tanpa tahu esensi dari itu. Hal itulah yang menyebabkan adanya relasi
antara kepala desa dan Badan Musyawarah Desa tidak mengalami dinamika yang berarti.
Kepala desa tetap penguasa sentral, yang justru perannya lebih kuat karena tidak lagi diberi
aturan memberi sejumlah pungutan pajak.
5.1.1.4 Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan Soeharto atau yang lebih dikenal era orde baru pemerintah
membentuk undang- undang tentang pemerintahan desa yaitu UU No. 5 tahun 1979. Undang-
undang ini cenderung mengatur desa seperti tatanan pemerintahan nasional. Tatanan
pemerintahan nasional yang dibawa ke desa yang dimaksud adalah pemerintah berusaha
membawa semangat pancasila ke lini desa dengan membentuk suatu lembaga yang bersifat
perwakilan. Lembaga tersebut bernama Lembaga Masyarakat Desa (LMD).
Dalam UU No. 5 Tahun 1979, kedudukan Kepala Desa adalah sebagai kepala
pemerintahan yang menjadi penanggung jawab utama desa pada pejabat pemerintah melalui
camat. Selain itu, kepala desa juga berwewenang melaksanakan pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan. Dapat digaris bawahi bahwa dalam UU No. 5
Tahun 1979 ini, kepala desa bukan diartikan sebagai kepala pemerintahan desa namun,
sebagai penanggung jawab pemerintahan desa. Bahwa kepala desa dapat juga didefinisikans
sebagai alat penyelenggara pemerintahan yang tidak memiliki fungsi yang superpower
namun dibebani tugas sebagai “penangung jawab”. Kemudian laporan pertanggung jawaban
yang telah dilaksanakan oleh kepala desa wajib di laporkan kepada LMD.
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1979 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari
kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga musyawarah
atau permufakatan antar elite pemerintahan desa dengan tokoh masyarakat desa.32Hal
demikian disebutkan dalam UU pemerintahan desa pada saat itu yang mengatur keanggotaan
BPD adalah kepala- kepala dusun, pimpinan lembaga- lembaga kemasarakatan, dan pemuka
masyarakat setempat. Meskipun secara tekstual pemerintahan desa ini dibuat sedemokratis
32
Irine H. Gayatri, Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis? Diakses di
http://interseksi.org/archive/publications/essays/articles/demokrasi_lokal_quo_vadis.html pada 02 Juni 2017 pk
11.35
mungkin karena memasukkan unsur masyarakat sebagai representasi pemerintahan namun,
demokrasi itu seolah- olah masih abu- abu. Pada dasarnya semangat yang dibangun oleh
pemerintah masih semangat mengupayakan kekuasaan tidak terdistribusi.
Pada masa rezim Orde Baru yang berkarakter represif secara politik untuk mendukung
„pembangunan ekonomi‟, aktivitas ekonomi desa terseret dalam pusaran modernisasi
sektoral.33 Kebijakan ini memiliki penekanan untuk mempermudah pemerintah pusat dalam
hal “kontrol”. Hubungan antara kepala desa dan LMD pada masa orde baru cenderung stabil
dan tidak mengalamirelasi yang dinamis. Hubungan antara LMD dan kepala desa cenderung
stabil juga dapat diasumsikan karena keanggotaan LMD yang masih bagian dari pilihan
kepala desa. Jadi, pemerintahan desa masih dikuasi oleh elit- elit lokal yang masih dalam
golongan yang sama yang sangat kompromistis.
Adanya LMD sebagai institusi yang menjadi representasi masyarakat dalam
pemerintahan desa menjadi terindikasi tidak efektif. Pemaknaan desa yang hanya sebagai
konsep administratif yang meletakkan desa dibawah struktur kecamatan, telah disebutkan
diatas bahwa desa bukan merupakan kesatuan wilayah. Keberadaan LMD pun seperti hanya
menjadi proyek politik karena meskipunsecara tekstual merupakan wakil dari masyarakat
namun pada kenyataannya lembagaga ini membuat pemerintahan desa hanya dikuasai oleh
elit yang bisa dikatakan “itu itu saja”. Didukung dengan tugas, pokok dan fungsi yang
tertuang pada UU No. 5/1979 yang mengatur bahwa kepala desa dan LMD bertenggung
jawab kepada pejabat supra desa bukan kepada masyarakat. Desa menjadi seperti mesin
birokrasi yang hanya menjadi pemanjangan tangan kekuasaan pemerintahan pusat.
Logika utama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 bertujuan untuk mewujudkan
dua pilar agenda pembangunan ekonomi Orde Baru dan stabilitas nasional yang dapat dicapai
jika pemerintah pusat menguasai sepenuhnya pedesaan. Desain kebijakan ini cenderung 33
Ibid.,
menggunakan masyarakat lokal sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan
tersebut.34Sehingga untuk mewujudkan agenda pembangunan Negara, sistem yang
berkembang di dalam masyarakat lokal harus disederhanakan dan selaras dengan kepentingan
Negara.35 Masyarakat terstandarisasi melalui penyeragaman bentuk pemerintahan desa
dengan mewajibkan seluruh bentuk pemerintahan terendah harus berbentuk desa serta
memiliki struktur kepala desa dan majelis permusyawaratan desa. 36Undang- undang Nomor
5 tahun1979 secara jelas mendefinisikan sifat desa sebagai tingkat terendah dibawah
kecamatan, sementara sisi lain kebijakan undang-undang tersebut menyatakan bahwa desa
memiliki hak untuk mengelola urusannya sendiri.
Kebijakan administratif batas wilayah sebagaimana yang di atur dalam Undang-.
Penetapan desa menjadi unit pemerintahan terendah atau desa telah membatasi secara
administratif potensi sumberdaya (manusia, alam, sosial), sehingga pada umumnya desa tidak
mampu mengurus dirinya sendiri dan lebih banyak mengandalkan ketergantungan pada
pemerintah.37 Pola ketergantungan ini yang diinginkan oleh kebijakan politik Orde Baru, agar
rakyat bisa dikontrol dan diarahkan. Kebijakan ini secara efektif cenderung merusak struktur
pemerintahan tradisional yang berkembang.38Seiring dengan melanggengnya kekuasaan masa
orde baru, implementasi undang- undang ini juga langgeng selama 19 tahun yang kemudian
digantikan dengan undang- undang No. 22/1999.
5.1.1.5 BPD Pada Awal Reformasi
Kehadiran undang- undnag No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah
memberi warna baru dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Perubahan ini membawa
34
Hans Antlov. (2003). Village Government and Rural Development In Indonesia: The New Democratic
Framework. London: Routledge. Hlm 02 35
Ibid, hlm 03 36
Hans Antlöv, (1999), „The New Rich and Cultural Tensions in Rural Java‟, in Michael Pinches (ed.), Culture
and Privilege in Capitalist Asia, Routledge, London: 188–207 37
Ibid, 38
Ibid,
paradigma baru dalam memandang demokratisasi desa. Undang- undang ini dianggap
memberikan kontribusi positif dalam kemajuan pemerintahan desa.Secara khusus tentang
kehadiran lembaga baru ditingkat desa sebagai upaya dalam mewujudkan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lembaga baru itu salah satunya adalah Badan
Perwakilan Desa (BPD) yang secara tekstual merupakan wakil dari masyarakat yang dipilih
langsung oleh masyarakat pula.
Lahirnya lembaga seperti BPD ini jika dilihat merupakan sebuah bentuk transformasi
LMD yang sebelumnya telah memberikan kesempatan masyarakat untuk melibatkan diri
dalam pemerintahan desa. Perubahan BPD menjadi LMD ini namun bukan sebatas tentang
tekstual nama kelembagaan,tetapi juga tugas dan fungsinya. LMD yang pada masa orde lama
merupakan lembaga yang mewakili masyarakat berdasarkan usul kepala desa, setelah
bertransformasi menjadi BPD kini dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan
umum. Hal inilah yang disebut- sebut sebagai upaya konkrit dalam demokratisasi desa.
UU No.22/1999 memberi penegasan bahwa BPD adalah lembaga yang sejajar dengan
kepala desa dan BPD mempunyai hak untuk menetapkan kepala desa. Kepala Desa juga
dapat diberhentikan oleh Bupati atas usul BPD. Meskipun BPD dan Kepala Desa adalah
setara, namun kewenangan BPD yang kian kuat ini membuat BPD seolah- olah adalah
lembaga yang lebih tinggi dari kepala desa. Keberadaan BPD juga sarat akan ketidak
harmonisan dengan Kepala Desa.
Pasca Soeharto dapat diidentifikasi bahwa negara telah membuat sebuah kebijakan
yang merupakan kebijakan berbentuk penyeragaman. Hal tersebut adalah adanya keharusan
desa membentuk lembaga bernama BPD sebagai upaya desentralisasi kekuasaan dan upaya
otonomi desa. Pada kenyataannya kebijakan ini cenderung dipaksakan akrena tidak semua
desa telah siap dengan model demokrasi yang seperti ini. Demokrasi yang dikenalkan oleh
pemerintah pasca Soeharto adalah demokrasi keterwakilan yang rupanya masyarakat belum
terbiasa dengan hal ini. Masyarakat desa adalah masyarakat yang sudah nyaman
menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah desa atau musyawarah adat.
Relasi yang ada pada masa awal reformasi di Wonomulyo adalah relasi Konfrontatif.
Kondisi konfrontatif tersebut karena adanya personal Kepala Desa yang kuat namun tidak
dibarengi dengan pendukung Kepala Desa yang kuat. Disisi lain, BPD berperan kuat dan
menjalankan fungsinya secara dominan diatas kepala desa. BPD berperan sangat arogan dan
melemahkan Kepala Desa melalui kewenangannya yang dapat mengontrol kepala desa yang
sebenarnya telah salah dipahami.
5.1.1.6 Pengaruh UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2014 terhadap Kelembagaan
BPD
Undang- undang No. 32 tahun 2004 memberikan perubahan signifikan terhadap
kelembagaan BPD. Perubahan itu dapat dilihat mulai dari kata penyusun BPD yang
sebelumnya adalah Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan desa. Badan
permusyawaratan Desa adalah salah satu alat kelengkapan pemerintah desa dalam
menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Organ ini mempunyai fungsi pokok untuk
menyelenggarakan agenda musyawarah pada desa. Pada pasal 1 angka 4 dalam UU tentang
Desa menjelaskan bahwa BPD atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan sejenis
merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintaham dimana anggotanya adalah
wakil dari penduduk desa. Keterwakilan ini dapat diartikan melalui perwakilan seluruh
golongan, wilayah, maupun agama yang dipilih berdasarkan upaya yang demokratis.
Dalam proses masuknya RUU Desa ke meja DPR, Pemerintah telah mengakui bahwa
BPD telah diatur dalam perundang- undangan sebelumnya yaitu UU 32 tahun 2004. Hal
tersebut berkaitan dengan fungsi BPD misalnya, telah diatur dalam pasal 209 UU No. 32
tahun 2004 yang berbunyi “BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala,
menampung, dan menyalurkan aspirasi masyarakat”. Naskah akademik RUU Desa masih
menggunakan istilah Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi artikulasi dan
agregasi kepentingan masyarakat desa sebagaimana termuat dalam fungsi legislasi, fungsi
budgeting, dan fungsi controlling. Penyusun naskah akademik tentu mempunyai kecemasan
bahwa BPD jika di degradasi fungsinya akan menjadi sebuah lembaga yang hanya sebagai
pekerjaan sambilan. BPD yang diduduki oleh masyarakat secara sambilan artinya tidak dapat
secara penuh menjalankan amanatnya, maka dari itu naskah akademik itu dibuat agar BPD
tetap mampu dikerjakan masyarakat yang mendudukinya secara penuh.
Hal lain yang diatur dalam UU Desa adalah tentang keanggotaan BPD. Ada
perubahan rumusan UU Desa jika dibandingkan dengan rumusan UU No. 32 Tahun 2004.
Pasal 210 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan anggota BPD adalah wakil dari
penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Kini, di
UU Desa masuk redaksional baru ‟berdasarkan keterwakilan‟, dan rumusan ‟musyawarah dan
mufakat‟ diganti dengan ‟dilakukan secara demokratis‟.Pada UU No.32/2004 tidak mengatur
secara eksplisit mengenai syarat untuk menjadi anggota BPD. Hal itu kemudian dilengkapkan
pada UU Desa secara lebih terperinci.
UU No. 32 Tahun 2014 merupakan titik penyembuhan bagi traumatis masyarakat
desa tentang keberadaan BPD. Dalam wewenang sebelumnya BPD memiliki aturan yang
membuat BPD dapat memberhentikan Kepala Desa. Persaingan politik sangat kental bahkan
hal tersebut bukan lagi permasalahan yang laten namun banyak pula yang muncul ke
permukaan. BPD yang memiliki ketidaksenangan terhadap Kepala Desa dapat menggunakan
wewenang tersebut untuk menggulingkan kekuasaan. Alhasil pemerintahan desa justru
berjalan secara tidak efektif.
Isu gender atau keterwakilan perempuan di desa ini adalah hal yang baru dari
pembahasan BPD. Hal ini tidak lain dikarenakan aktivis perempuan dan pemerhati
perempuan memandang bahwa pemerintahan desa selama ini masih didominasi kaum
maskulin. Arti maskulin tersebut adalah bahwa meskipun desa dikepalai oleh seorang
perempuan, namun mereka masih dalam underbow suami atau kakak mereka yang
sebelumnya menjabat sebagai kepala desa. BPD juga meskipun pada masa orde baru ketika
namanya masih LMD anggotanya sangat banyak yang mencapai dua puluh lima (25) orang,
namun tidak satupun perempuan diangkat. Perempuan dianggap telah mempunyai wadah
perekembangannya sendiri yaitu PKK. Asumsi itu yang kemudian ingin dihilangkan. Aktor
perempuan yang terlibat dalam pembahasan keterwakilan gender ini diantaranya adalah
organisasi Bina Desa.
Untuk menyelenggarakan UU No. 6 Tahun 2014, pemerintah memperkuat dan
memberi penegasan beberapa mekanisme dalam musyawarah- musyawarah desa. Penegasan
tersebut melalui Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015. Hal – hal yang dibahas dalam
musyawarah desa adalah isu strategis desa, yang dalam Permen Desa No. 5 Tahun 2015
disebutkan isu strategis tersebut adalah; a) Penataan desa, b) Perencanaan Desa, c) Kerja
sama Desa, d) Rencana investasi yang masuk ke Desa, e) pembentukan BUM Desa, f)
penambahan dan pelepasan aset Desa, dan g)Kejadian luar biasa.39 Mekanisme pengambilan
keputusan desa jika digambarkan dalam sebuah bagan adalah sebagai berikut:
39
Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015
Musyawarah desa yang dilaksanakan desa merupakan forum dengan musyawarah dan
hasil mufakat sebagai keputusan tertinggi yang harus dihormati. Musyawarah dilaksanakan
dengan demokratis sebagaimana setiap masyarakat yang hadir memiliki hak suara yang sama.
Pemerintah desa bersama BPD dan Kepala Desa hanya mempersiapkan pembahasan
musyawarah yang akan dalam musyawrah sesuai dengan isu strategis desa. Intervensi Kepala
Desa hanya sebatas pada rencana dan penyusunan rencana muyawarah. Sesuai dengan prinsip
demokrasi apapun hasil forum adalah sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dengan
mempertimbangkan unsur keterwakilan kelompok yang diakomodir dalam desa.
5.1.2Critical Juncture dalam Dinamika Relasi BPD dan Kepala Desa Wonomulyo
BPD pada keberadaannya mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan itu terjadi
pada struktur kelembagaan maupun nama dari BPD itu sendiri. Hal yang mempengaruhi
perubahan yang terjadi pada BPD salah satunya adalah pergantian suatu rezim. Seiring
Bagan 1: Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa
Kepala Desa
Anggota masyarakat:
Musyawarah desa terencana*
Musywaraha desa mendadak* BPD
(Pimpinan)
Musyawarah desa terencana: telah dipersiapkan
oleh BPD pada tahun anggaran sebelumnya
Musyawarah mendadak dalah musyawarah sesuai
kondisi objektif diadakannya musyaarah desa
Pembahasan
dilaksanakan bersama
masyarakat, bila terjadi
ketidaksepakatan
keputusan didasarkan
suara terbanyak
Sumber: diolah penulis (2017)
dengan perkembangan politik di Indonesia, berubah pula aturan yang mengatur desa dan
mengatur BPD secara lebih khusus. Jika diruntutkan, ide dasar keberadaan BPD ini adalah
pengenalan perwakilan masyarakat kedalam struktur pemerintahan desa yang sebelumnya
logika keterwakilan ini telah dipakai dalam struktur pemerintahan pusat. Runtutan
kelembagaan BPD itu adalah Badan Musyawarah Desapraja era Soekarno, Lembaga
Masyarakat Desa era Soeharto, kemudian berganti menjadi BPD sebagai perwakilan desa,
berlanjut BPD sebagai badan permusyawaratan desa hingga saat ini. Meskipun sebelum
kolonial dan selama masa kolonial desa telah menerapkan sistem keterwakilan menurut cara
mereka sendiri dan tidak terlembaga secara formal.
Menurut penjelasan historical institutionalism, critical junctures adalah peristiwa
besar yang berpengaruh pada keseimbangan politik dan ekonomi yang ada dalam satu atau
banyak masyarakat. Dalam sejarah politik desa Wonomulo, ada beberapa catatan peristiwa
yang dapat dijadikan sebagai tanda titik masa kritis (critical juncture) kelembagaan BPD.
Critical juncture pada perubahan BPD dapat ditandai dengan peristiwa; a) Reformasi yang
melahirkan UU No. 22 Tahun 1999. b) Kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 bahwa BPD bukan
lagi perwakilan melainkan permusyawaratan.
5.1.3.1 Critical juncture pada relasi BPDdan Kepala Desa melalui UU No. 22 tahun 1999
Undang- undang No. Tahun 1999 adalah saksi awal bentuk pemerintahan Desa
Wonomulyo yang digadang- gadang akan lebih maju dan demokratis daripada era
sebelumnya. Undang- undang ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat Indonesia
terhadap rezim sentralistis Soeharto. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Soeharto
melanggengkan kekuasaannya selama kurang lebih 30 tahun yang membuat budaya yang
telah diciptakannya dalam kalangan birokrat desa mengakar. Sebelum ada UU No. 22 Tahun
1999 yang mengatur adanya BPD, desa telah mempunyai UU No. 19 tahun 1975 yang
dikeluarkan masa kekuasaan Soeharto. Salah satu produk dari Undang- undang itu adalah
adanya lembaga desa yang bernama Lembaga Masyarakat Desa dengan gagasan yang sama.
Pola relasi BPD dan Kepala desa yang terjadi pada masa orde baru di Wonomulyo
adalah relasi akomodatif. Hal tersebut dikarenakan mengingat LMD adalah anggota
masyarakat perwakilan golongan yang dipilih berdasarkan keputusan kepala desa. LMD dan
Kepala Desa dapat dikatakan merupakan dua lembaga yang berasal dari satu kesepemahaman
dan satu ideologi. Relasi keduanya sangat akomodatif dan malah justru mekanism controlling
tidak dapat berjalan secara efektif. Ketidak efektifan lembaga itu dikarenakan LMD yang
berideologi dan berpaham sama dengan kepala desa menjadi dua lembaga yang kompromis.
Jadi, LMD yang seharusnya merupakan perwakilan masyarakat desa dalam struktur
pemerintahan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan benar. Keadaan politik desa
rentan terjadi oligarki kekuasaan. Seperti yang diungkapkan Slamet sebagai sesepuh desa dan
merupakan ahli sejarah Desa Wonomulyo:40
“ Kalau jaman Orde Baru kan Kepala Desa memilih anggota LMD dan
anggota LPMD sendiri. Jadi yang dipilih ya cuma teman- temannya atau golongannya saja. Meskipun ada anggota yang dari luar itu (luar platform
kepala desa) suaranya itu tidak pernah didengar. Jadi keberadaannya seperti tidak pernah dianggap. Itu terjadi pas saya masih remaja hal seperti itulah yang terjadi”
Hal demikian meskipun bukan merupakan sistem demokrasi yang secara tekstual
diterapkan Indonesia, pada kenyataannya tetap terjadi. Kondisi tersebut membuat
kejengahan masyarakat Indonesia kemudian menuntut regulasi baru yang lebih adil dan
merata. Titik perubahan (critical juncture) itu dinamakan masa reformasi yang dapat
ditandai dengan keruntuhan rezim Soeharto.
UU No. 22 tahun 1999 merupakan satu undang- undang yang memberikan kontribusi
besar kepada sejarah BPD Wonomulyo. Pada masa ini lembaga BPD yang memiliki gagasan
40
Wawancara pribadi dengan Slamet sesepuh desa Wonomulyo sekaligus mantan anggota LMD pada 20 Juni
2017 pukul 13.22 WIB
utama perwakilan masyarakat desa dipilih berdasarkan pemilihan umum. Tata cara pemilihan
ini sama dengan cara pemiliha Kepala Desa. Syarat yang dipakai dalam pencalonan BPD pun
sama seperti syarat pemilihan Kepala Desa. Aturan ini membawa perubahan besar dalam
sejarah perpolitikan Desa Wonomulyo. Perubahan yang terjadi secara signifikan adalah
gagasan wakil masyarakat dalam struktur pemerintahan desa yang sebelumnya dipilih
berdasarkan musyawarah kemudian menurut undang-undang ini dipilih oleh masyarakat
secara langsung. Hal tersebut membuat asumsi baru tentang BPD dan Kepala Desa yang
dapat dikatakan adanya dualisme kekuasaan.
Permasalahan yang penting berikutnya adalah upaya konsolidasi internal BPD agar
lembaga itu mampu maksimal dalam perannya. Pangkal persoalan pada begitu besarnya
kewenangan kekuasaan BPD. Kekuasaan BPD dapat mengusulkan kepada bupati tentang
tindakan pemberhentian Kepala Desa. Di Desa Wonomulyo mendorong politisasi lembaga
BPD oleh ketuanya. Hal tersebut secara psikologis menimbulkan adanya ketidaksenangan
dan memancing rekasi penolakan oleh Kepala Desa. Konflik kemudian berlarut tentang
adanya perbedaan penafsiran peran “pengawasan” yang dimiliki oleh BPD. BPD cenderung
bukan hanya mengawasi namun berlanjut kepada mematai kinerja Kepala Desa.
Di Desa Wonomulyo BPD sedari awal terbentuk nuansa politisasi lembaga sangat
terlihat. Posisi BPD yang mestinya menjadi pelengkap Kepala Desa dalam menjalankan
pemerintahan desa melenceng menjadi “tandingan” Kepala Desa. BPD cenderung
melaksanakan perannya secara over capacity. Masalah tersebut dapat terlihat jelas karena
terkait pelaksanaan program pembangunan adalah kewenangan Kepala Desa, BPD
seharusnya berwenang sebatas memberikan pendapat dan masukan. Pengawasan yang tidak
menyebabkan kerugian desa tidak semestinya kemudian dibesar- besarkan oleh BPD.
Pengecualian jika ada penyelewengan dibidang pelaksanaan peraturan desa dan anggaran
desa. Penelitian di Desa Wonomulyo pada masa pembentukan awal BPD membenarkan
asumsi bahwa politisasi elit politik BPD telah mengurangi efektifitas lembaga tersebut dalam
menjalankan sebuah fungsi “pengawasan” yang efektif.
Kenyataan di Desa Wonomulyo memberikan pemaparan bahwa BPD adalah lembaga
“perwakilan” yang membawa aspirasi masyarakat tidak sepenuhnya benar. Pada
kenyataannya BPD memperlihatkan dirinya sebagai lembaga yang bertindak sesuai kemauan
pribadi dan ke egeoisan individu bukan bergerak sebagai wakil dari masyarakat. Fungsi
pengawasan yang dilaksanakan oleh BPD lebih cenderung kepada power struggle dalam
rangka menjatuhkan rival politiknya. Asumsi tersebut semakin kuat ketika konflik diantara
keduannya didasarkan pada konflik yang dilatar belakangi konflik pribadi. Kenaggotaan BPD
yang dipilih langsung membuat suasana persaingan dan rivalitas pada politik Desa
Wonomulyo semakin kental, berlarut- larut dan tidak progresif untuk kemajuan desa.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang fungsi BPD dapat dikatakan justru telah memberikan
kontribusi kacau pada tatanan masyarakat desa. Masyarakat desa yang selalu menjunjung
asas kepercayaan, toleransi, musyawarah, harmoni dan keselarasan hilang dan cenderung
membuat masyarakat berlaku secara individu. UU ini memberikan kekuasaan begitu besar
kepada BPD yang membuat desa jatuh kepada titik legislative heavy. BPD memerankan
dirinya sebagai legislatif pada tatanan desa mengikuti logika pemerintahan pusat yang
memiliki keistimewaan politik. Hal tersebut kemudian membawa evaluasi besar pada jajaran
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga Indonesia yang memiliki tugas untuk
membuat undang- undang. Evaluasi itu kemudian melahirkan titik critical juncture kedua
pada perjalanan kelembagaan BPD. Critical juncture kedua yaitu pada masa dikeluarkannya
UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan perubahan signifikan terhadap tugas dan fungsi
pada BPD.
sumber: diolah penulis (2017)
Permasalahan yang penting berikutnya adalah upaya konsolidasi internal BPD agar
lembaga itu mampu maksimal dalam perannya. Pangkal persoalan pada begitu besarnya
kewenangan kekuasaan BPD. Kekuasaan BPD dapat mengusulkan kepada Bupati tentang
tindakan pemberhentian kepala desa. Di Desa Wonomulyo mendorong politisasi lembaga
BPD oleh ketuanya. Hal tersebut secara psikologis menimbulkan adanya ketidaksenangan
dan memancing rekasi penolakan oleh kepala desa. Menurut analisis kompromi relasi
eksekutif dan legislatif hal ini menimbulkan kompromi internal yang menyebabkan keretakan
terselubung antara BPD dan Kepala Desa. Konflik kemudian berlarut tentang adanya
perbedaan penafsiran peran “pengawasan” yang dimiliki oleh BPD. BPD cenderung bukan
hanya mengawasi namun berlanjut kepada mematai kinerja kades.
Di Desa Wonomulyo BPD sedari awal terbentuk nuansa politisasi lembaga sangat
terlihat. Posisi BPD yang mestinya menjadi pelengkap kepala desa dalam menjalankan
pemerintahan desa melenceng menjadi “tandingan” kepala desa. BPD cenderung
melaksanakan perannya secara Over capacity. Masalah tersebut dapat terlihat jelas karena
terkait pelaksanaan program pembangunan adalah kewenangan Kepala Desa, BPD
seharusnya berwenang sebatas memberikan pendapat dan masukan. Pengawasan yang tidak
BPD
MASYARAKAT DESA
KEPALA
DESA
PEMAKZULAN
PENGAWASAN
Bagan 2: Critical Juncture Relasi BPD Dan Kepala Desa
Melalui UU NO. 22/1999
menyebabkan kerugian desa tidak semstinya kemudian dibesar- besarkan oleh BPD.
Pengecualian jika ada penyelewengan dibidang pelaksanaan peraturan desa dan anggaran
desa. Penelitian di Desa Wonomulyo pada masa pembentukan awal BPD membenarkan
asumsi bahwa politisasi elit politik BPD telah mengurangi efektifitas lembaga tersebut dalam
menjalankan sebuah fungsi “pengawasan” yang efektif.
Kenyataan di Desa Wonomulyo memberikan pemaparan bahwa BPD adalah lembaga
“perwakilan” yang membawa aspirasi masyarakat tidak sepenuhnya benar. Pada
kenyataannya BPD memperlihatkan dirinya sebagai lembaga yang bertindak sesuai kemauan
pribadi dan ke egeoisan individu bukan wakil dari masyarakat. Fungsi pengawasan yang
dilaksanakan oleh BPD lebih cenderung kepada power struggle dalam rangka menjatuhkan
rival politiknya. Asumsi tersebut semakin kuat ketika konflik diantara keduannya didasarkan
pada konflik yang dilatar belakangi pribadi. Keanggotaan BPD yang dipilih langsung
membuat suasana persaingan dan rivalitas pada politik Desa Wonomulyo semakin kental,
berlarut- larut dan tidak progressif untuk kemajuan desa.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang fungsi BPD dapat dikatakan justru telah memberikan
kontribusi kacau pada tatanan masyarakat desa. Masyarakat desa yang selalu menjunjung
asas kepercayaa, toleransi, musyawarah, harmoni dan keselarasan hilang dan cenderung
membuat masyarakat berlaku secara individu. UU ini memberikan kekuasaan begitu besar
kepada BPD yang membuat desa jatuh kepada titik legislative heavy. BPD memerankan
dirinya sebagai legislatif pada tatanan desa mengikuti logika pemerintahan pusat yang
memiliki keistimewaan politik. Pola dinamika relasi BPD dan Kepala Desa.
5.1.3.2 Critical Juncture pada UU No. 32 Tahun 2004
Setelah UU No. 32 Tahun 2004 keluar, BPD bukan lagi sebagai Badan Perwakilan
Desa melainkan Badan Permusyawaratan Desa. Keanggotaan BPD yang dipilih langsung
oleh masyarakat dianggap tidak efektif. Demokratisasi yang di upayakan pemerintah pada
masa awal reformasi dianggap berlebihan dan justru tidak efektif. Hal tersebut kemudian
mendorong “reformasi” pada kelembagaan BPD dan kemudian undang- undang ini lahir.
Undang- undang ini dilahirkan tidak lain merupakan satu upaya untuk menjaga stabilitas
politik desa yang berdampak pula kepada Desa Wonomulyo.
Seperti apa yang diungkapkan historical institutionalism bahwa suatu perubahan pada
sebuah institusi adalah sesuatu bentuk upaya dalam mempertahankan gagasan inti pada
institusi tersebut tanpa harus mengganti dengan institusi yang baru. Perubahan kelembagaan
BPD dari perwakilan menjadi permusyawaratan adalah bentuk mengembalikan esensi dari
lembaga yang pada gagasan utamanya adalah perwakilan masyarakat. Keterwakilan
masyarakat sebenarnya telah dikenal masyarakat Desa Wonomulyo namun dalam cara yang
mereka pahami sendiri. Cara itu dilakukan dengan cara musyawarah mufakat melalui forum-
forum desa dimana masyarakat yang dianggap mampu semuanya berhak mengikuti
musyawarah tersebut. Hal inilah yang dipahami masyarakat Desa Wonomulyo sebagai
keterwakilan. Kemudian konsep itu diadaptasi dan dilembagakan menjadi BMD, LMD yang
masing- masing masih berasaskan musyawrah. Setelah itu konsep musyawarah ini diganti
dengan konsep yang lebih demokratis dengan cara adanya lembaga yang dipilih langsung
oleh masyarakat. Pada kenyataannya hal tersebut tidak terlaksana dengan baik di desa. Jadi
perwakilan masyarakat desa tidak harus dipilih langsung oleh masyarakat secara langsung
namun bisa diselesaikan dengan musyawarah. Mengganti BPD menjadi badan
permusyawaratan adlah suatu bentuk menyelamatkan gagasan asli dari BPD itu sendiri.
Perubahan BPD di Desa Wonomulyo itu penting terjadi, karena pada kenyataannya
mampu memberikan dampak signifikan terhadap kondisi politik di desa. Dapat kita
bayangkan jika BPD tetap menjadi lembaga yang berkonfrontasi dengan kepala desa,
lembaga ini nantinya akan bertransformasi sebagai lembaga yang transaksional. Politisasi
lembaga akan sangat riskan terjadi dan keberadaannya justru menjadi lembaga yang tidak
efektif. Adanya undang- undang No. 32 Tahun 2004 ini sebagai titik penyembuhan kontestasi
dua elit antara BPD dan Kepala Desa di Wonomulyo. Mengabaikan tentang adanya potensi
kompromi yang lain, tapi upaya untuk menyelamatkan eksistensi dan gagasan utama pada
institusi BPD di Wonomulyo cenderung lebih penting.
Setelah adanya perubahan peraturan yang mengatur BPD, pola relasi BPD dan Kepala
Desa Wonomulyo juga mengalami perubahan. Dapat dikatakan bahwa perilaku individu pada
kelembagaan BPD dapat berubah seiring wewenangnya dalam BPD tersebut. Institusi dalam
hal ini BPD mampu mempengaruhi signifikan individu. Perubahan itu juga mampu
menyelamatkan BPD dari fase ketidak berkembangan yang cukup lama. Fase ketidak
berkembangan ini historical institutionalism mengistilahkannya dengan punctuated
aquilibria. Suatu stagnansi yang ada pada BPD yang berjalan secara tidak efektif selama
masa BPD sebagai perwakilan ternyata mampu diatasi dengan sedikit merubah fungsi dari
BPD tersebut.
Sumber: diolah penulis (2017)
Selain merubah nama dan mekanisme pemilihan, BPD juga mengalami perubahan
wewewnangnya. Undang- undang ini memang menyembuhkan relasi konfrontatif antara
BPD KEPALA DESA
MASYARAKAT DESA
Bagan 3: Critical Juncture Relasi BPD dan Kepala Desa
melalui UU No. 32 Tahun 20014
Kepala Desa dan BPD namun pada kenyataannya yang terjadi pada BPD adalah
pengamputasian tugas dan fungsi. Pada pasal 209 hanya terjelaskan bahwa BPD merupakan
penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, namun tidak jelas mekanisme pengambilan
keputusan BPD dan relasinya idealnya kepada Kepala Desa. Undan- undang ini hanya
merupakan sebagai bentuk pelemahan demokrasi desa yan sebelumnya telah diupayakan.
Pengimplementasian demokratisasi desa melalui UU No.22 Tahun 1999 tentang BPD sebagai
perwakilan di Desa Wonomulyo memang menghasilkan sebuah kegagalan, namun UU No.
32 tahun 2004 justru melemahkan BPD. Demokrasi desa menjadi demokrasi tekstual dan ini
merupakan bentuk stagnansi BPD yang sama- sama tidak efektifnya. Kemudian keberadaan
BPD ini direvisi pada UU No. 6 tahun 2014. Melalui UU No. 6 tahun 2014 kemudian
melahirkan relasi sebagai berikut:
Sumber: diolah penulis (2017)
Penulis berpendapat bahwa hal tersebut lebih baik, daripada membuat lembaga baru
ditiingkat desa yang pada dasarnya serupa. Pada kenyataan kondisi di Desa Wonomulyo
untuk mengikuti “kemauan” pusat membentuk- membentu lembaga sebenarnya adalah hal
yang sederhana. Pertanyaan yang muncul setelah itu, apakah desa mampu dan sumberdaya
desa bisa? Meskipun maksud dari pengenalan demokrasi secara utuh ke masyarakat adalah
BPD KEPALA
DESA PENGAWASAN
MASYARAKAT DESA
Bagan 4: Pola Relasi BPD dan Kepala Desa Pasca UU
No. 6 Tahun 2014
cita- cita yang sangat baik, namun kondisi riil di Desa Wonomulyo justru sebaliknya.
Keadaan- keadaan itu akan terselesaikan dengan adanya perubahan besar yang disebut
critical juncture.
5.2 Dinamika Relasi Kelembagaan BPD dan Kepala Desa Wonomulyo
Masa awal reformasi adalah momentum untuk reorganisasi struktur pemerintahan
pusat maupun pemerintahan lokal. Kewenangan yang dahulunya tersentral kemudian
didistibusikan ke daerah sampai tingkat paling lokal. Upaya demokratisasi terus
didengungkan melalui kebijakan di berbagai lini pemerintahan. Demokratisasi pada tingkat
desa seperti yang terjadi pada pemilihan BPD. Pada masa itu BPD merupakan Badan
Perwakilan Desa. Lembaga ini merupakan lembaga yang keanggotaanya dipilih berdasarkan
pemilihan umum seperti kalanya pemilihan kepala desa. Hal tersebut membuat pada awal
reformasi merupakan masa dimana antara kepala desa dan BPD sering terjadi kompetisi
perebutan legitimasi kekuasaan yang membuat relasi diantaranya tidak berjalan harmonis.
Seperti yang terjadi di Desa Wonomulyo bahwa reformasi merupakan suatu titik perubahan
demokrasi yang ada di desa. Konflik diantara masyarakat terjadi dan justru menimbulkan
perpecahan diantara golongan masyarakat.
Pasca rezim Soeharto berakhir, desa menemukan nafas baru dalam berdemokrasi.
Agenda pemerintahan pusat dalam membawa desa menjadi desa yang adil dari rakyat, dan
oleh rakyat. Semangat tersebut terus didengungkan hingga membawa sugesti baru kepada
masyarakat desa bahwa merekalah ujung dari pemerintahan desa sebenarnya. Masyarakat
dibangun kesadaran mereka mampu memberikan perubahan yang konkrit untuk kemajuan
desa. Tidak ada lagi kolusi dan nepotisme diantara pemerintah desa sehingga semua dianggap
mampu dan berkesempatan sama dalam menduduki kursi pemrintahan. Semangat yang
dibawa pemerintahan pada masa itu memberikan perubahan yang signifikan di Desa
Wonomulyo. Pemilihan kepala desa yang pertama setelah rezim Soeharto turun terjadi pada
tahun 2000. Pada masa itu pula pertama kalinya ada prangkat desa lain yang dipilih
berdasarkan pemilihan umum selain kepala desa. Jika pada tahun- tahun sebelumnya
pemilihan kepala desa merupakan arena kontestasi politik lokal yang sentral, maka pada awal
reformasi di Indonesia BPD merupakan sarana kontestasi politik baru.
Pemerintah pada awal reformasi mengeluarkan Undang- undang No. 22 tahun 1999
yang didalamnya mengatur tentang bagaimana pemerintahan desa dijalankan. Dijelaskan
bahwa ada lembaga baru yang bernama Badan Perwakilan Desa (BPD) dimana ketua dari
lembaga tersebut dipilih secara langsung oleh masyarakat. Nama “perwakilan” digunakan
jika dianalisis ini merupakan logic pemisahan kekuasaan pemerintahan pusat dimana ada
eksekutif, dan legislatif. Kepala desa sebagai pelaksana eksekutif, BPD adalah lembaga
legislatif itu. Keberadaan BPD sejajar dengan posisi Kepala Desa ditingkat pemerintahan
desa. Dapat diasumsikan bahwa BPD adalah jabatan elit yang menggiurkan.
Pada tahun 2000 Desa Wonomulyo menyelenggarakan pemilihan kepala desa untuk
pertama kali setelah rezim orde baru resmi dinyatakan runtuh. Akhir masa orde baru terjadi
pada tahun 1998 yang artinya ada kekosongan kekuasaan Desa Wonomulyo selama dua tahun
pada masa itu pemerintahan desa masih diteruskan oleh kepala desa yang sebelumnya
menjabat yaitu Bapak Nurhasim. Pemilihan kepala desa pada saat itu terjadi sangat sengit
diantaranya calonnya adalah Bapak Slamet Ramin, Bapak Yanto, dan Bapak Nurhadi. Pada
saat itu, Bapak Slamet Ramin merupakan kepala desa terpilih. Setelah dua bulan kemudian
pemilihan diadakan namun dalam rangka pemilihan ketua BPD. Pemilihan ketua BPD ini
seperti oase di tengah gurun diantara calon- calon kepala desa yang gagal dalam berupaya
mendapatkan kekuasaan di desa. Pencalonan BPD ini kembali diperebutkan oleh aktor- aktor
yang sama dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Pada saat itu, ketua BPD terpilih adalah
Bapak Yanto.
UU No. 22/1999 merupaka titik dimana logic pemisahan kekuasaan pemerintah pusat
diterapkan desa. Maksud dalam penerapan UU ini adalah adanya trauma mendalam diantara
masyarakat tentang kediktatoran dan sentralistik yang terjadi cukup lama. Trauma ini
membawa semangat bahwa pemerintah bukan lagi dewa yang harus di takuti diantara
masyarakat desa. Siapapun mampu menjadi pemimpin dan siapapun bisa dan mampu
menyampaikan apa yang menjadi kehendak mereka demi kepentingan publik. Semangat-
semangat ini kemudian melahirkan BPD sebagai bentuk “perwakilan”.
Dalam konstelasi politik pedesaan, kepala desa selama ini adalah elit sentral dalam
pemerintahan desa, setelah adanya BPD sebagai “pengontrol” hal tersebut dianggap sebagai
sebuah gangguan. Secara kultural, kepala desa adalah elit tertinggi di desa yang bisa jadi
belum siap dengan keberadaan BPD. Kepala desa sekian lama jika dilihat dalam prosesnya
sejak sebelum masa kolonial yang telah dijelaskan penulis di bagian 5.1 merupakan pejabat
yang tidak pernah mendapat kontrol secara langsung. Asas kepercayaan dari masyarakat
dijunjung tinggi, maka dari itu adanya BPD dianggap sebagai suatu upaya yang merendahkan
tingkat wibawa kepala desa. Kelahiran BPD pada struktur desa tidak lagi menjadikan kepala
desa sebagai penguasa sentral. Hal tersebut kemudian melahirkan pola relasi yang tidak
harmonis.
Pada kasus Desa Wonomulyo dimana Kepala Desa dan BPD berhadapan secara
antagonis. BPD pada fungsi yang termuat dalam UU No. 22/1999 sepertinya telah menjadi
lembaga yang sangat instrumental. Dikatakan sebagai lembaga yang instrumental karena
keberadaannya justru dijadikan alat pertarungan antar elit. Desa Wonomulyo telah
memberikan suatu kasus konkrit tentang adanya rivalitas kekuasaan dan memanfaatkan BPD
sebagai lembaga baru menjadi arena politik.
Sebagaimana yang termuat dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah bahwa BPD boleh mengusulkan pemberhentian kepala desa jika dianggap tidak sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya. Wewenang ini disebut- sebut sebagai wewenang yang
membuat BPD adalah elit baru diatas kepala desa. Secara struktural kedua lembaga ini
merupakan lembaga yang sejajar namun seorang BPD di Desa Wonomulyo mempunyai
anggapan bahwa dirinya adalah lembaga yang lebih tinggi. Sebagai individu yang menduduki
institusi politik lokal, tentu kedewasaan berpolitik seharusnya mampu diterapkan secara baik.
Pada kenyataannyakeberadaan BPD justru membuat kinerja kepala desa semakin terhambat.
Persaingan politik diantara BPD dan kepala desa pada masa awal reformasi disinyalir
karena pengarus utamaan demokrasi yang kurang siap diterima masyarakat desa. Egoisme
diantara elit politik desa membuat lembaga ini tidak mampu berfungsi seperti yang
seharusnya. Seperti contoh persaingan politik diantara BPD dan kepala desa di Desa
Wonomulyo terjadi pada saat laporan pertanggung jawaban (LPJ). Pada masa ini LPJ
dilakukan oleh kepala desa kepada BPD sebelum akhirnya sampai kepada Bupati. LPJ
merupakan momen dimana kedua elit ini sering menunjukkan ketegangannya sebagai bentuk
tidak sependapat atas kinerja masing- masing lembaga. Hal tersebut telah terkonfirmasi
seperti yang disampaikan oleh bapak Yanto:41
“Dulu saya memang sering tidak sependapat dengan kepala desa. Karena saya hanya membenarkan apa yang salah. Dulu tidak seperti sekarang dimana
kepala desa kalau LPJ nya tidak benar bisa dilakukan revisi. Jadi menurut saya apa yang salah harus dibenarkan dan tidak bisa dibiarkan. Hal itu yang membuat saya dan kepala desa sering terjadi kesalah pahaman”
Kepemimpinan oleh kepala desa Slamet Ramin pada masa- masa jabatannya
mengalami banyak dinamika. Proses pembangunan desa seringkali terhambat karena tidak
mendapat persetujuan oleh BPD. Yanto selaku ketua BPD pada saat itu berasumsi bahwa
BPD hanya memposisikan diri sebagai pihak yang mempunyai kewajiban dalam mengontrol
41
Hasil wawancara dengan Bapak Yanto mantan ketua BPD masa jabatan 2000- 2007 pada 16 Juni 2017 pukul
13.41
pemerintah yaitu kepala desa. Yanto tidak menerima segala kompromi yang berkaitan dengan
kepentingan kepala desa. BPD pada saat itu memiliki pendapat bahwa keberadaan kepala
desa akan baik jika BPD nya adalah baik. masalah yang timbul antara BPD dan kepala desa
terjadi akibat adanya ketidak cocokan pola komunikasi diantara keduanya.
Pada relasi BPD dan kepala desa di awal reformasi menunjukan adanya sifat
konfrontatif diantara keduanya. Sikap konfrontasi ini jika menurut pandangan masyarakat
merupakan suatu bentuk ketidak dewasaan kedua elit desa tersebut dalam berpolitik. Hal
tersebut dikarenakan masih memasukan ambisi- ambisi pribadi yang dimasukkan kedalam
kepentingan publik.
Relasi tidak harmonis antara kepala desa dan BPD di Desa Wonomulyo disebabkan
karena adanya persaingan dari Yanto sebagai ketua BPD terpilih adalah calon kepala desa
pada pemilihan kepala Desa Wonomulyo yang gagal pada tahun 2000. Runtutan peristiwa
yang menyebablan ketidakharmonisan itu kemudian dimulai dari kegagalan tersebut berusaha
ditebus dengan berupaya memperoleh jabatan ketua BPD mengingat fungsi BPD pada saat itu
sangat menggiurkan. Setelah posisi BPD berhasil direbutkan oleh Yanto sebagai ketua BPD
keresahan Slamet Ramin dimulai. Dalam logika mekanisme pemisahaan kekuasaan, kepala
desa adalah eksekutif dan BPD adalah legislatif, BPD sebagai legislatif menentukan
keberhasilan kepala desa dalam melaksanakan berbagai program dan proses pembangunan.
Maka adalah sesuatu yang berbahaya jika kepala desa dan BPD berhadapan secara
berseberangan.
Kecemasan kepala desa pada saat itu benar saja terjadi, bahwa menjabat sebagai
kepala desa tidak seindah yang diceritakan pada zaman dahulu. Kepala Desa masa jabatan
Slamet ramin adalah masa tersulit yang dihadapi kepala desa sepanjang sejarah Desa
Wonomulyo berdiri. Kepala desa mampu di usulkan pemberhentiannya oleh BPD adalah
sesuatu yang sangat menakutkan. Persetujuan dari BPD pada setiap laporan pertanggung
jawaban dan setiap usulan program oemerintahan mampu menjatuhkan wibawa kepala desa.
Maka Slamet Ramin sebagai kepala desa terpilih juga mempunyai ego untuk tetap menjadi
sentral kekuasaan. Kepala desa tetap menolak untuk memulai komunikasi harmonis dengan
BPD karena Kepala desa menganggap BPD bukan lembaga yang harus diperlakukan secara
sendiko dawuh. Kepala desa sebagai pemimpin merasa bahwa dirinya merupakan sentral
dalam kekuasaan pemerintahan.
BPD yang dijabat oleh rival kepala desa dalam masa pencalonan dibawa ke ranah
pemerintahan yang lebih panjang selama masa jabatan. Adanya ambisi antara BPD dan
kepala desa yang sama- sama merasa sebagai elit penguasa desa membuat kecenderungan
perbedaan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh dalam pembangunan beberapa
insfrastruktur desa. BPD memiliki keyakinan bahwa kepala desa tidak boleh bersikap arogan
dalam mengambil keputusan, karena kekuasaannya sekarang terbatas dan apapun itu harus
disetuji oleh BPD. Dalam kasus pembangunan kantor polisi sektor poncokusumo yang
terletak di Desa Wonomulyo. BPD yang dijabat oleh Yanto tidak memberikan persetujuan
kepada Kepala Desa dan ini kemudian membuat relasi diantara keduanya semakin buruk.
Bicara tentang demokratisasi desa berarti bicara tentang kemajuan. Kemajuan sering
didentikan dengan apa yang telah dicapai oleh masyarakat dari “barat”. Kemajuan itu
berbentuk dalam ilmu pengetahuan, kecerdasan berfikir yang melahirkan cara baru dalam
mengorganisir negara. Mampu mengorganisir masyarakat dan wilayahnya lebih baik daripada
sebelumnya. Kemudian pokok persoalnnya adalah apakah memberikan hak otonomi yang
“modern” kepada masyarakat yang selalu hidup dengan tradional di desa desa adalah sesuatu
yang wajar? Kehidupan orang barat telah dikonfrontasikan kedalam kehidupan orang desa
yang masih banyak mengandalkan kebatinan. Maka kalau pemerintah tidak mempunyai
maksud dalam membinasakan nilai- nilai nasional seperti apa yang telah terjadi di kota- kota
maka demokratisasi tersebut seharusnya tidak diterapkan dengan gegabah.
Desa merupakan entitas penduduk yang erat kaitannya dengan konservatif, dan
semangat persatuan. Aturan yang membawa desa ke dalam demokrasi, segala usaha
kemakmuran, semua didasarkan kepada beban hidup perseorangan. Segala kemajuan diukur
dengan material dan kepentingan kemakmuran atas capaian dirinya sendiri. Semakin lama
akan mendorong manusia di desa kehilangan nilai nasional yang mereka genggam dan
pertahankan hanya karena niat yang sebenarnya baik dan mulia itu.
Pada tahun 2007 Desa Wonomulyo kembali melaksanakan pemilihan kepala desa.
Pemilihan kepala desa itu menunjukkan bahwa BPD berganti pula namun BPD pada masa
pemerintahan desa pada tahun ini bukan lagi sebagai Badan Perwakilan Desa tetapi Badan
Permusyawaratan desa. BPD sebagai panitia musyawarah di desa yang mana keberadaannya
dengan kepala desa sekarang lebih kepada partner dalam menjalankan pemerintahan desa.
Meskipun sebenarnya BPD sebagai Badan Perwakilan menjadikan BPD bukan parter namun,
sepertinya ada evaluasi besar diantara pemerintah pusat dalam menyikapi BPD yang
bertransfromasi menjadi lembaga yang powerfull dan merasa menjadi lembaga yang unggul.
Masyarakat seperti gagal paham dalam mengasumsikan “perwakilan” dalam BPD maka dari
itu dalam upaya menjaga kestabilan masyarakat desa BPD hadir dan bertransfromasi menjadi
badan permusyawaratan.
Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, BPD kini dipilih berdasarkan rekomendasi
yang dikeluarkan oleh kepala desa yang kemudian disetujui oleh bupati. Hal tersebut adalah
upaya pencegahan adanya dualisme kekuasaan yang ada di desa. BPD diaharapkan mampu
menjadi mitra kepala desa yang dapat menjalan visi dan misi dalam satu frame tanpa tendensi
kepentingan masing- masing golongan. BPD sebagai badan permusyawaratan merupakan
lembaga yang dipercaya dapat mengkordinasikan masyarakat pada kepentingan musyawarah.
BPD menurut undang- undang ini tidak mampu lagi memberikan usulan pemberhentian
kepala desa
Setelah penerapan undang- undang yang baru ini, Desa Wonomulyo menjalankan
pemerintahannya seperti biasa. BPD pada saat itu di ketuai oleh Suminto dan kepala desa
terpilih adalah Sunari. Keterpilihan Suminto sebagai ketua BPD pada masa itu merupakan
hasil perundingan kepala desa bersama kepala dusun dan perangkat desa lain. Upaya ini dapat
menjadi upaya yang lebih demokratis menurut masyarakat desa dan tidak menimbulkan
persaingan antar golongan diantara masyarakat desa. Meskipun muncul ketakukan pada
bentuk struktur kelembagaan dua elit desa ini menimbulkan pemerintahan kepala desa yang
autokratik, namun pemikiran itu nampaknya harus dihilangkan. Masyarakat nampaknya telah
terlatih percaya dengan kepala desa mereka sejak ratusan tahun yang lalu. Masyarakat justru
tidak menikmati kondisi elit desa terjadi dualisme kekuasaan di desa dan hal tersebut
mempercuram gesekan antar golongan masyarakat desa.
Relasi BPD dan Kepala Desa pada masa pemerintahan Sunari tidak terjadi suatu
masalah yang begitu berarti yang artinya relasi antara kedua lembaga ini berjalan secara
harmonis. Melalui perubahan tugas dan fungsi kelembagaan pada BPD hal tersebut membuat
perubahan signifikan diantara relasi BPD dan Kepala Desa. Sunari selaku kepala desa lebih
nyaman dalam menyelenggarakan pemerintahan karena BPD tidak lagi memposisikan diri
sebagai lembaga yang super power dalam desa.
Pada awal adanya BPD sebagai badan permusyawaratan muncul kecemasa-
kecemasan diantara Sunari selaku Kepala Desa dan tim pendukungnya. Tim pendukung
Sunari merasa bertanggung jawab atas ketahanan kekuasaan pemerintahan desa yang
dilaksanakan oleh Sunari. Kecemasan itu adalah suatu bentuk trauma dengan adanya BPD
sebagai badan “perwakilan”. Masyarakat desa memiliki trauma akan terjadi gesekan politik
yang serupa pada masa kepimpinan kepala desa sebelumnya yang dapat mengancam
eksistensi kekuasaan Sunari selaku kepala desa terpilih.
Kecemasan yang terjadi diantara masyarakat desa rupanya tidak pernah terjadi lagi
setelah adanya transformasi kelembagaan BPD. Desa telah menemukan kembali jati dirinya
bahwa segala permasalahan terselesaikan dengan jalan musyawarah. UU No. 32 tahun 2004
rupanya telah mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berpolitik dan menyikapi
masalah yang terjadi di Desa Wonomulyo. Masyarakat desa menilai bahwa setiap
permasalahan tentu dapat didiskusikan, dan hal itu sangat sesuai dengan kearifan lokal
mereka.
Relasi BPD dan Kepala Desa hingga saat ini memasuki tahun 2017 tetap berjalan
secara harmoni. Jika meninjau aspek sejarah desa, desa memang selalu memberikan
kepercayaan yang tinggi kepada pemimpin mereka. Kembali kepada konsep nderek kersa
ndalem. Mereka meyakini bahwa pemimpin yang terpilih juga merupakan suatu bentuk
ketangan panjangan dari Tuhan yang mereka yakini. Mempercayai usaha dan mendukung
upaya yang pemimpin mereka lakukan merupakan suatu benetuk keimanan. Jika ayat- ayat
islam menyatakan bahwa mempercayai pemerintah merupakan uatu bentuk sunnah yang
dapat diartikan sebagai ullil amri’. Begitu pula masyarakat Wonomulyo, sebagai masyarakat
yang menjaga kearifan lokal masyarakat Jawa pada umumnya. Ambisi sering mereka
hilangkan demi kepentingan bersama,itulah orang Jawa. Terlebih pada saat ini tersedia
forum- forum yang dapat secara resmi menyelesaikan permasalahan dan ataupun terjadi
sengketa berkepanjangan. Kultur ini telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya.
Setelah Sunari, Desa Wonomulyo kembali dikuasai Slamet Ramin hingga pada saat
ini. Atas keberhasilan Sunari dalam membina komunikasi diantara masyarakat, BPD dan
perangkat desa lain, Slamet Ramin memiliki optimisme baru dalam memimpin desa.
Transformasi kelembagaan BPD rupanya telah membawa dampak signifikan terhadap
psikologis dan perilaku politik masayarakat desa. Mereka memaknai sebuah kekuasaan
sebagai proses untuk menyampaikan kehendak masyarakat kedalam berbagai bentuk
kebijakan tanpa ada penghambat yang mengacaukan proses pembangunan. Kompetisi
hanyalah ada pada saat pemilihan kepala desa, ketika ada pihak yang kalah semua harus
mempunyai komitmen untuk tetap mendukung pemerintahan dan saling bahu membahu
dalam mewujudkan kemajuan.
Pasca UU no. 32 dikeluarkan, pemerintah merevisi undang- undang desa lagi dengan
mengeluarkan UU No. 6 tahun 2014. Peran BPD dalam UU No. 32 Tahun 2014 menuju ke
UU No.6/2014 tidak mengalami perubahan signifikan karena perubahan hanya terjadi pada
desa terkait pemisahan desa dan desa adat dan keberadaan desa secara umum. BPD dan
Kepala Desa mampu memposisikan diri sebagai mitra satu sama lain. Desa Wonomulyo pada
akhirnya sampai saat ini mampu menjalankan pemerintahan desa secara normal dan ideal.
Pembangunan- pembangunan desa seperti jalan, pasar, dan infrastruktur lain tidak mengalami
hambatan. Seperti keterangan yang diujarkan pemuka agama Wonomulyo:42
“Sekarang masyarakat desa sudah tidak mau lagi mempermasalahkan hal- hal yang tidak penting, apalagi yang hanya menyangkut kepentingan
golongan saja. Desa yang sudah ada seharusnya dibangun menjadi lebih baik dan lebih maju. Perseorangan yang mempunyai ambisi tidak akan
menjadi pemimpin yang sukses dalam Desa Wonomulyo”
Pola relasi BPD dan Kepala Desa jika dipetakan dalam sebuah tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pola Relasi BPD dan Kepala Desa Wonomulyo
Waktu Relasi BPD dan Kepala Desa
Pra Kolonial - Kepala Desa yang pada saat itu disebut Petinggi
adalah penguasa sentral Desa Wonomulyo. Pemilihan dilaksanakan berdasarkan kekuatan
42
Hasil wawancara dengan Slamet pemuka agama desa Wonomulyo pada tanggal 20 Juni 2017 pada pukul
13.20 WIB.
dalam memberikan pengaruh kepada masyarakat dan berdasarkan keturunan.
- Pemerintahan desa dikontrol masyarakat secara
umum. Kepala desa adalah wakil dari masyarakat itu, seluruh kepercayaan disandarkan
kepada kedudukan kepala desa. - Keputusan- keputusan yang bersifat vital yang
menyangkut kepentingan desa dilaksanakan
dengan musyawarah desa.
Kolonial Belanda - Petinggi dipilih berdasarkan pemilihan masyarakat secara umum untuk pertama kalinya
pada tahun 1927. - Masyarakat belum mengenal istilah
keterwakilan, keterwakilan menurut mereka telah termuat dalam agenda musayawarah desa yang dilaksanakan oleh Petinggi bersama
masyarakat.
Pasca Kemerdekaan
(Orde Lama)
- Desa telah diberi otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan undang- undang
Desapraja. - Kepala desa dipilih berdasarkan pemilihan
langsung oleh masyarakat.
- Masyarakat mengenal istilah keterwakilan pada pemerintah desa bernama Badan Musyawarah
Desapraja. - Keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja
berdasarkan musyawarah desa.
- Badan Musyawarah Desapraja adalah bentuk wakil masyarakat dalam pemerintahan desa,
bersama Kepala Desa Badan Musyawarah Desa melaksanakan pemerintahan secara mitra.
Orde Baru - Kepala Desa kembali dikuatkan kinerja dan fungsinya dengan intervensi pemerintah pusat.
- Mengenal Lembaga Masyarakat Desa sebagai lembaga perwakilan masyarakat adalah bentuk
lain dari Badan Musyawarah Desapraja meskipun dalam aturan yuridisnya tidak menyebutkan secara eksplisit tentang itu.
- Lembaga Masyarakat Desa dipilih oleh kepala desa berdasarkan perwakilan golongan yang ada
di desa. - Relasi keduanya sarat akan kolusi dan nepotisme
karena masyarakat desa selain kepala desa tidak
mendapat kesempatan untuk mencampuri urusan pemerintah desa.
Reformasi (masa UU
No.22 tahun 1999)
- Kepala Desa dan BPD dipilih berdasarkan
pilihan langsung dari masyarakat. - BPD terpilih adalah rival politik kepala desa. - Keberadaan BPD dipolitisasi untuk sarana
menjatuhkan kekuasaan Kepala Desa.
- Musyawarah Desa tidak lagi dilaksanakan dengan khidmat mengingat kepentingan golongan semakin jelas terlihat.
- Keberadaan BPD justru tidak efektif dan menghambat proses pembangunan.
UU No. 32 Tahun
2014
- Kepala desa dipilih oleh masyarakat secara umum sedangkan BPD dipilih berdasarkan
rekomendasi kepala desa. - Undang- undang ini menjadi titik penyembuh
ketegangan hubungan antara BPD dan Kepala
Desa. - Kepala desa dan BPD memiliki relasi yang baik,
pada kenyataannya berkaitan dengan fungsi BPD yang diaputasi.
- Desa adalah wilayah politik heavy executive dan
keberadaan BPD di Wonomulyo hanya sebagai bentuk formalitas.
-
UU No. 6 tahun 2014
tentang desa
- Kepala Desa tetap berdasarkan pemilihan masyarakat secara langsung dan BPD adalah bagian pemerintah desa yang pemilihannya
berdasarkan rekomendasi Kepala Desa. - Secara konstitusi posisi BPD dikuatkan namun
kenyataannya BPD tetap sebagai lembaga formalitas karena kinerjanya tidak maksimal namun relasi keduanya berjalan dengan baik.
Sumber : data diolah penulis (2017)
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian terhadap dinamika relasi BPD dan Kepala desa melalui
perubahan- perubahan pengaturan BPD penulis memiliki kesimpulan bahwa:
1. Pada perjalanan kelembagaan BPD di Desa Wonomulyo penulis menemukan
gagasan utama pembentukan BPD ini adalah sebuah keterwakilan masyarakat
pada struktur pemerintahan desa. Konsep keterwakilan ini sebenarnya sudah
diterapkan oleh masyarakat Desa Wonomulyo sejak masa pra kolonial dengan alur
musyawarah mufakat dan kepala desa adalah penguasa sentral desa. Setelah pasca
kemerdekaan Indonesia barulah Indonesia mengenalkan sistem keterwakilan
masyarakat desa berbentuk lembaga formal. Lembaga formal itu memiliki
beberapa kali transformasi yang pertama adalah BMD, LMD, BPD (Badan
Perwakilan Desa), BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pada dasarnya mekipun
memiliki beberapa kali perubahan dari segi struktur kelembagaan atau penamaan
lembaga, gagasan yang dibawa meskipun telah berganti- ganti rezim tetap sama
yaitu “perwakilan masyarakat desa”
2. Kelembagaan BPD pada perjalanannya mengalami beberapa dinamika terhadap
relasinya dengan kepala desa. Dinamika itu terjadi seperti pada masa awal
pembentukannya di masa Soekarno, BPD yang pada saat itu bernama BMD tidak
memiliki kewenangan yang eksplisit membuat lembaga ini hanya formalitas
menjadikan relasi keduanya baik- baik saja. Selanjutnya pada masa Soeharto
lembaga ini bernama LMD dimana relasi keduanya sangat bernuansa kolusi dan
nepotisme. Dilanjutkan pada fase reformasi, dimana Indonesia mengusung
111
113
semangat demokrasi secara utuh dengan penuh kegegabahan. Sebagai wujud
demokrasi, BPD dipilih langsung oleh masyarakat yang membuat adanya
pertarungan elit antara kepala desa dan BPD yang bermaksud saling menjatuhkan.
BPD dan Kepala Desa berhadapan secara antagonis dan fungsi BPD justru tidak
berjalan secara efektif. Selanjutnya pada masa UU No. 32 tahun 2004 hingga saat
ini kewenangan BPD dipangkas, tidak dapat mengusulkan pemberhentian kepala
desa membuat BPD tidak lagi bertindak arogan. Pemilihan BPD juga dilaksanakan
dengan musyawarah seperti dahulu yang membuat relasinya dengan Kepala Desa
harmonis.
3. Pola relasi BPD dan Kepala Desa di Wonomulyo secara umum adalah baik namun
karena adanya peraturan yang membuat suatu individu mampu berkuasa secara
berlebihan membuat BPD cenderung bertindak over capacity. Perbedaan pola
relasi ini disebabkan karena kontribusi pergantian rezim yang membuat
perombakan- perombakan pada pemerintahan desa di Wonomulyo.
6. 2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, rekomendasi akademis yang dapat penulis
berikan setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya yang fokus dan tertarik pada isu relasi
BPD dan Kepala Desa menggunakan pendekatan analisis historical institusionalism
lebih dapat mengidentifikasi secara mendalam asal usul munculnya kelembagaan
tersebut. Hal tersebut penting dalam upaya revitalisasi kelembagaan di era negara
modern tidak selalu didasari dengan kepentingan mengembalikan entitas
masyarakat desa sesuai dengan musyawarah yang merupakan kearifan masyarakat
desa.
2. Peneliti selanjutnya dapat menganalisis perilaku dan tabi’at hukum formal,
kekuasaan, aktor, sikap dan perilaku politik yang dihasilkan oleh negara dalam
menyikapi demokratisasi desa. Hendaknya peneliti selanjutnya dapat memetakan
per-periode rezim dalam kepentingan kepengaturan yang dihasilkan dan dampak
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap lembaga BPD. Sehingga dapat
menyimpulkan bagaimana relasi BPD dan Kepala Desa seharusnya terjadi dan
kenyataan di lapangan dan apakah relasi tersebut beruhubungan dengan konstitusi
yang mengatur.
3. Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan pola relasi yang terjadi diantara BPD
dan Kepala Desa secara lebih rinci atau dapat membandingkan dengan desa lain
yang lebih ideal. Jadi studi relasi BPD dan Kepala Desa dapat dilakukan secara
komparatif.
DAFTAR PUTAKA
Anonim. (1997). Kumpulan Istilah-istilah Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Indonesia.
Antlov, H. (1999). The New Rich and Cultural Tensions in Rural Java. In M. Pinches (Ed.),
Culture and Privilege in Capitalist Asia (pp. 189-208). London: Routledge.
Antlov, H. (2002). Negara dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta:
Lappera Pustaka Utama.
Antlöv, H. (2003). Village Government and Local Development in Indonesia: The New
Democratic Framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 193-214.
Astuti, T. W. (2015). Pengaruh Elit Berkuasa Terhadap Pembangunan Desa. Bogor:
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Azwar, S. (2001). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bottomore, T. (2006). Elite dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tanjung Institute.
Creswell, J. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Tradition. London: SAGE Publications.
Eko, S. (2010, Juni 1). Desa di Tengah Perubahan. Retrieved Desember 22, 2016, from
HIMACITA: https://himacita.wordpress.com/2010/06/01/desa-di-tengah-perubahan/
Gayatri, I. H. (2007, April 16). Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis? Retrieved from The
Interseksi Foundation:
http://interseksi.org/archive/publications/essays/articles/demokrasi_lokal_quo_vadis.ht
ml
Harsono, D. (2012). Pendekatan Baru Memahami Institusi di Indonesia. Retrieved from Staff
Site Universitas Negeri Yogyakarta:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dwi%20Harsono,%20S.Sos.,%20MP
A,%20MA/Artikel%20FISTRANS%202012.pdf
Haryanto. (1990). Elit, Massa dan Konflik. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Sosial,
UGM.
Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga.
Jary, D., & Jary, J. (1991). The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York:
HarperPerennial.
Kartohadikoesoemo, S. (2002). Menyoal (kembali) Otonomi Desa. Yogyakarta.
Latif, S. (2000). Persaingan Calon Kepala Desa. Yogjakarta: Media Pressindo.
Lombard, D. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris
(Jilid III). Jakarta: Gramedia Pustaka.
Lungan, R. (2006). Aplikasi Statistika dan Hitung Peluang. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mas'oed, M., & MacAndrews, C. (2001). Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Moleong, L. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nasrowi, & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Patton, M. Q. (1991). How to Use Qualitative Methods in Evaluation. London: SAGE
Publications.
Peter, B. (1999). Institutionalism Theory in Political Sciences: the New Institutionalism.
London: Pinter.
Peters, B. G., Pierre, J., & King, D. S. (2005). The Politics of Path Dependency: Political
Conflict in Historical Institutionalism. The Journal of Politics, 67(4), 1275–1300.
doi:10.1111/j.1468-2508.2005.00360.x
Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta : PT. Indeks.
Steinmo, S. (2014, August 24). Historical Institutionalism and Experimental Methods. APSA
2014 Annual Meeting Paper. Retrieved from https://ssrn.com/abstract=2455247
Subiyanto, I. (2000). Metodologi Penelitian : Manajemen dan Akuntansi. Yogyakarta : UPP
AMP YKPN.
Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Usman, H., & Akbar, P. S. (2000). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Yin, R. K. (1989). Case Study Research Design and Methods. Washington : COSMOS
Corporation.
Yudha, H. (2010). Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zuriah, N. (2005). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi. Jakarta
: Bumi Aksara.
Sumber Internet
Dwi Harsono,Memahami Institusi Baru Indonesia bisa diakses
staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/.../Artikel%20FISTRANS%202012.pdf
http://www.Ireyogya.org/sutoro/jurnal/desa ditengah perubahan.Pdf diakses pada 22
Desember 2016
Irine H. Gayatri, Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis? Diakses di
http://interseksi.org/archive/publications/essays/articles/demokrasi_lokal_quo_vadis.html
Sumber Wawancara
Hasil wawancara dengan Khusairi Direktur LSM Pro Desa pada 20 Mei 2017
Hasil wawancara dengan Yanto, Mantan Ketua BPD Desa Wonomulyo, pada 14 Juni 2017
Hasil wawancara dengan Sunari, Mantan Kepala Desa Wonomulyo, pada 14 Juni 2017
Hasil wawancara dengan Slamet Ramin, Kepala Desa Wonomulyo, pada 14 Juni 2017
Hasil wawancara dengan Yanto, Mantan Kepala Desa Poncokusumo, pada 14 Juni 2017
Hasil wawancara dengan Kaminto, Mantan Ketua BPD desa Poncokusumo, pada 14 Juni
2017
Hasil wawancara dengan Nurhasim, Mantan Kepala Desa Wonomulyo, pada 14 Juni 2017
Hasil wawancara dengan Slamet, sesepuh Desa Wonomulyo pada 20 Juni 2017