16

Click here to load reader

Dirgantara - Sketsa - Proposal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

learning about what you thinking before your hand starts to sketching, try your visual motor work with visual rendering and learn what that phase passed

Citation preview

Page 1: Dirgantara - Sketsa - Proposal

abstrakSketsa memiliki peran penting dalam pendidikan

dan praktek arsitektur terutama di Indonesia. Meskipun media digital dan teknologi semakin pesat berkembang dan telah melahirkan perangkat desain baru yang semakin setara dengan sketsa. Tapi perlu dikaji lebih dalam bahwa sketsa tetap memberikan kapabilitas vital dan unik bagi para desainer dalam bidangnya sebagai perangkat penting yang digunakan untuk menyelidiki solusi maupun potensial untuk berbagai masalah.

Maka dari itu perlu diadakan penelitian untuk memahami apakah teknologi digital tersebut benar lebih baik dari media sketsa terutama jika dilihat dalam menyampaikan ide arsitek kepada klien, yang pasti terjadi dalam setiap proses desain. Sehingga penelitian ini nantinya akan memiliki tujuan untuk mengidentifikasi pengaruh penggunaan sketsa arsitektur terhadap efisiensi dalam penyampaian ide arsitek kepada klien.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kuantitatif yang dalam pelaksanaannya menggunakan 2 metode analisis yaitu metode analisis deskriptif dan metode analisis korelasi komparatif. Pada tahapan analisis deskriptif dilakukan pengumpulan dan pengolahan data baik primer maupun sekunder mengenai pengaruh penggunaan sketsa dalam perancangan arsitektur. Data ini kemudian dijadikan tolak ukur keberadaan sketsa dalam metode perancangan arsitektur. Metode analisis korelasi komparatif dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara penggunaan sketsa dalam penyampaian ide arsitek terhadap klien yang akan dibandingkan dengan metode tanpa penggunaan sketsa. Dalam penelitian ini akan diambil 10 orang arsitek yang memiliki biro konsultan dan yang menggunakan sketsa dalam proses desainnya. Arsitek yang dicari adalah arsitek yang memakai sketsa sebagai media pemecahan masalah yang memiliki pandangan berbeda satu sama lainnya.

Hipotesis dalam penelitian ini bahwa sketsa ternyata memiliki peran penting dalam suatu perancangan, yang mampu memberikan efisiensi biaya, mutu dan waktu lebih baik daripada media digital terutama dalam penyampaian ide arsitek kepada klien.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan arsitek untuk tetap mengasah kemampuan sketsa sebagai media pemecahan masalah dan melihat dengan sudut pandang berbeda bahwa sketsa memiliki nilai-nilai yang tidak dimiliki media digital.

Kata kunci : sketsa, digital, efisiensi, arsitektur,penyampaian pesan

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Desain tidak pernah lepas dari proses kreatif. Menurut Kneller (1965), desain disepakati menjadi salah satu tahapan proses kreatif yang apabila dijabarkan dapat diklasifikasikan menjadi 5 tahapan, tahap pertama adalah First Insight. Pada tahap ini desainer dihadapkan dengan segala permasalahan dan isu sehingga pada tahap ini terjadi pendataan dan pengelompokan permasalahan. Tahap kedua adalah Preparation. Permasalahan yang sudah dikelompokkan dalam tahap satu kemudian diselidiki untuk kemudian ditemukan solusinya. Tahap ketiga adalah Incubation. Setelah permasalahan dan solusi ditemukan pada tahap ini secara tidak sadar desainer akan mengosongkan pikiran. Tahap keempat adalah Ilumniation . Pada tahap ini ide-ide baru mulai muncul dan tentunya sudah dikaitkan dengan isu dan permasalahan. Dan tahap terakhir adalah verification. Pada tahap ini desainer kembali menguji antara ide yang muncul, solusi dan masalah. Pengujian tersebut terjadi secara berulang-ulang sehingga pengembangan desain ke tahap perancangan bisa dilaksanakan.

Sketsa memiliki peran penting dalam praktik arsitektur. Meskipun media digital dan teknologi komunikasi yang berkembang telah menghasilkan berbagai perangkat desain yang baru, sketsa bebas tetap memberikan kapabilitas vital dan unik bagi para arsitek dan desainer dalam bidang yang mereka tekuni. Menurut Paul Laseau seorang seniman, arsitek dan penulis berkebangsaan Eropa (Laseau, 1986, p. 7) sketsa bebas adalah suatu perangkat penting yang digunakan untuk menyelidiki solusi. Berbeda dengan yang dikatakan (T.White, 1977, p. 4) sketsa merupakan media presentasi dalam suatu profesi. Sehingga jika dilihat secara keseluruhan sketsa merupakan media presentasi dalam menyelidiki suatu solusi.

Jika dikaitkan sketsa dengan proses desain terdapat beberapa tahap yang terkait dimana sketsa sebagai penyelidik solusi. Antara lain adalah tahap first insight dan tahap preparation. Pada tahap first insight dilakukan penyelidikan masalah sehingga jika dikaitkan dengan suatu proses perancangan yang melibatkan klien dan arsitek, penyampaian segala permasalahan tersebut dituangkan dalam sketsa. Seperti yang ditulis dalam jurnal karangan (Carins,

AR6195 Pra ThesisProgram Studi Arsitektur, Institut Teknologi Bandung

Pengaruh Penggunaan Sketsa Terhadap Efisiensi Penyampaian Interpretasi Arsitek Kepada Klien

I Ketut Dirgantara - 25209038 [email protected]

1

Page 2: Dirgantara - Sketsa - Proposal

2006, p. 6), dalam suatu sketsa terjadi siklus generasi interpretasi antara klien dan arsitek. Siklus tersebut terjadi secara berulang-ulang ketika arsitek dan klien mengemukakan interpretasinya terhadap desain yang sedang dibicarakan. Sehingga sketsa bisa dikatakan sebagai media presentasi interpretasi dalam menemukan masalah. Pada tahap kedua yaitu preparation, sketsa berfungsi untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini tetap terjadi siklus interpretasi hanya lebih ke arah mencari solusi. Sketsa tetap berperan hingga akhir tahap sampai solusi telah ditemukan.

Proses desain arsitektur memanfaatkan komputer sejalan dengan perkembangan kemampuan komputer. Saat komputer generasi baru mampu memperhitungkan proses berat seperti arsitektur 3D, maka dunia arsitektur menanggapi dengan sangat antusias. Para arsitek yang terkena imbas dari media digital di Indonesia adalah angkatan 1990 ke atas. Ketika pertengahan tahun 1999 pertama kalinya Satwiko seorang professor dari Yogyakarta memperkenalkan konsep penggabungan kesusasteraan dengan teknologi komputer untuk pendidikan arsitektur Indonesia. Penggunaan sketsa mulai kurang diminati dalam proses belajar, sehingga keluaran arsitek dari tahun ke tahun, penguasaan sketsanya semakin buruk. Hal tersebut juga dibahas oleh (Purwanto, 1991, p. 11) bahwa mahasiswa arsitektur mengalami kesulitan dalam penyampaian ide-ide yang biasanya muncul manakala mahasiswa dihadapkan pada penjabaran konsep-konsep perancangan ke dalam suatu gambar. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap kualitas arsitek yang nantinya akan berhadapan dengan dunia kerja, apalagi persaingan global sudah masuk ke Indonesia.

Terkait dengan pengaruh masuknya digital penguasaan sketsa semakin berkurang, padahal jika dilihat dari beberapa sumber, penyampaian ide pada fase awal suatu perancangan sangat berkaitan dengan sketsa (Carins, 2006, p. 4). Dalam sketsa terjadi proses melakar dan berpikir gambar, dimana jika kita memulai dengan sketsa, secara tidak langsung kita sudah melatih kegiatan visual motor yang mengkoordinasi visi dengan gerakan tubuh (Laseau,1986). Dalam tahap tersebut melibatkan visual rendering dalam hal menghasilkan foto dari model yang ada didalam pikiran kita. Apabila kita sudah terlatih dengan kegiatan tersebut, penyampaian ide akan terpresentasi dengan sangat efisien melalui sketsa bebas. Jika dibandingkan dengan penggunaan media digital pada fase ini, hal tersebut masih menjadi pertanyaan melihat efisiensi menjadi kunci dari suksesnya penyampaian ide tersebut.

Dalam dunia kerja, tidak bisa dihindari klien merupakan orang yang paling menentukan hasil akhir desain selain arsitek. Dalam hal ini, media penyampaian ide dan proses berpikir arsitek perlu diperhatikan. Penyampaian ide secara tepat dan

efisien bisa menjadi kunci utama desain mudah dipahami oleh klien, sebaliknya penyampaian ide kurang efisien dan tidak tepat guna dapat membuat klien salah paham sehingga terjadi miss communication antara arsitek dan klien. Media penyampaian ide tersebut dibagi menjadi beberapa komunikasi verbal dan visual (Laseau, 1986). Yang sangat berkaitan dengan arsitektur adalah presentasi interpretasi yang tentunya bisa dilihat secara visual. Media presentasi tersebut dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu media secara digital dan secara sketsa bebas. Efisien dan pemahaman menjadi kunci pemilihan kedua media tersebut.

Sehingga, untuk menemukan jawaban dalam kasus tersebut, penelitian ini diperlukan dimana media sketsa akan dibandingkan dengan media digital terutama pada tahap-tahap awal perancangan yaitu tahap presentasi interpretasi yang akan dilihat dari segi efisiensi hingga klien dinyatakan paham terhadap ide tersebut.

Kajian seperti ini sudah pernah dilakukan banyak peneliti, antara lain Pierre P. Leclercq (1994), melakukan penelitian dengan cara mempertemukan dua arsitek besar sebagai objek utama. Ketika arsitek tersebut disarankan untuk memecahkan masalah dari suatu desain Pierre memberikan media digital dan peralatan untuk mensketsa. Kedua arsitek tersebut memilih menggunakan sketsa bahkan dengan pena yang mereka bawa sendiri. Hal tersebut menjadi dasar apa yang menyebabkan mereka memilih sketsa. Dan hal tersebut dikaji oleh Pierre ternyata digital memiliki beberapa kekurangan antara lain media digital terlalu sempurna dalam menginterpretasikan ide awal. Detail yang seharusnya belum dipikirkan sudah tertuang di media digital seperti material, fasad yang terukur, cahaya yang muncul, dll. Hal itu hanya akan membatasi ide awal arsitek. Sebaliknya dengan menggunakan sketsa arsitek lebih leluasa menuangkan idenya, tanpa perlu menyelesaikan detail yang belum perlu dipikirkan

Penelitian juga dilakukan oleh Dr Brock Craft dan Dr Paul Cairns dari University of York dimana dalam penelitian tersebut membahas keuntungan dari penguasaan sketsa dalam suatu pemecahan masalah dan kreatifitas.

Penelitian Piere membandingkan arsitek dalam memecahkan masalah memilih menggunakan sketsa atau digital sedangkan penelitian Dr Brock membandingkan orang yang menguasai sketsa dan orang yang tidak menguasai sketsa dalam memecahkan suatu masalah sehingga penelitian yang akan dilakukan ini lebih kearah penggabungan dari kedua penelitian tersebut. Yaitu penelitian yang membandingkan antara penggunaan sketsa dan digital dalam memecahkan suatu masalah dimana perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan piere adalah penggunaan sketsa dan digital dilakukan secara bersamaan sedangkan penelitian yang dilakukan piere,

2

Page 3: Dirgantara - Sketsa - Proposal

media digital menjadi sesuatu yang pasif tanpa perlawanan. Untuk aplikasi yang lebih nyata, penelitian ini dilakukan dalam dunia kerja dimana klien dan arsitek dihadapkan dengan permasalahan yang berbeda satu sama lainnya. Presentasi tidak hanya dilihat dari hasil jadi tetapi juga dilihat dari pemahaman klien dan efisiensi dalam proses tersebut.

Berkaitan dengan pemahaman, sangat dipengaruhi oleh persepsi visual seseorang, sehingga bidang tersebut menjadi penting dalam hal keilmuan yang mendukung penelitian ini. Persepsi visual sangat banyak dibicarakan seperti yang disebutkan (H.Ittelson, 1969, p. 9) bahwa isyarat utama persepsi visual yang paling terlihat dan mudah untuk ditemukan adalah mereka yang berlaku sebagai artis, yang dapat menerjemahkan ukuran, bentuk, perspektif, lapisan, warna, cahaya, bayangan dan posisi dalam sebuah bidang. Hal tersebut seperti apa yang dilakukan arsitek dalam mensketsa ide. Dilain pihak, (Pettinari, 1995) menyebutkan bagaimana persepsi visual dari pihak desainer, bagaimana pola pikir desainer dalam merancang dengan visual semua tergantung dari pengamtan desainer dalam dunianya. Deddy Halim (2005) dalam bukunya Psikologi Arsitektur lebih membicarakan persepsi visual dari suatu proses dalam arsitektur, dimana indera menjadi aspek utama sedangkan kode-kode visual mempengaruhi persepsi.

Pemahaman klien tersebut berpengaruh terhadap efisiensi media sketsa dan digital, dilihat dari proses kegiatan yang dilalui, sehingga penelitian ini nantinya akan berguna untuk mengetahui proses apa yang ada dibalik sketsa yang tidak bisa diikuti oleh media digital. Hal tersebut berpengaruh terhadap minat arsitek untuk menguasai sketsa beriringan dengan media digital. Dari penguasaan sketsa, arsitek akan dilatih untuk menggunakan visual motor yang melibatkan visual rendering secara cepat dan efisien yang nantinya berpengaruh terhadap daya nalar arsitek sebagai desainer. Apabila sketsa sudah dikuasai, produk desain yang dihasilkan akan jauh lebih baik dan efisien jika dibandingkan apabila hanya menggunakan media digital.

I.2. Rumusan Masalah

Setelah dilihat dari latar belakang kedudukan sketsa di Indonesia, dapat dirumuskan beberapa permasalahan mendasar yang nantinya dapat menunjang hasil akhir dari penelitian ini, antara lain :

Apakah penyampaian interpretasi arsitek melalui media sketsa lebih efisien daripada melalui media lain?

Apakah yang mempengaruhi efisiensi media sketsa dan digital dalam hal penyampaian interpretasi arsitek kepada klien?

I.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini akan mengidentifikasi pengaruh penggunaan sketsa arsitektur terhadap

efisiensi dalam penyampaian ide arsitek kepada klien yang nantinya akan berguna sebagai acuan bahwa sketsa harus dikuasai oleh arsitek.

I.4. Metode penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kuantitatif yang dalam pelaksanaannya menggunakan dua metode analisis yaitu metode analisis deskriptif dan metode analisis korelasi komparatif. Pada tahapan analisis deskriptif dilakukan pengumpulan dan pengolahan data baik primer maupun sekunder mengenai pengaruh penggunaan sketsa dalam perancangan arsitektur. Data ini kemudian dijadikan tolak ukur keberadaan sketsa dalam proses desain arsitektur.

Metode analisis korelasi komparatif dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara penggunaan sketsa dalam penyampaian ide arsitek terhadap klien yang akan dibandingkan dengan penggunaan media digital. Tolak ukur yang dipakai adalah dari segi efisiensi biaya, mutu dan waktu.

II. KAJIAN PUSTAKA

II.1 Proses DesainProses desain tidak pernah lepas dari desainer

dan arsitek. Kerangka kerja yang teratur dapat menjadi acuan proses desain. Proses desain"terlalu kompleks dan beragam untuk dijelaskan dalam setiap universal atau secara umum, " (Lowgren dan Stolterman, 2004, h.15). Sehingga untuk penjelasan kerangka kerja proses desain sangat sulit dapat diaplikasikan kepada semua kalangan di segala tempat. Arsitek dan desainer membutuhkan kerangka tersebut untuk mengatur dan mengevaluasi pekerjaan mereka. Namun dalam penerapannya, desainer dan arsitek menggunakan teori dan model sebagai acuan. Desainer dan arsitek memilih secara kritis teori dan model tersebut sehingga dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan masalah yang akan dipecahkan. Hal tersebutlah yang dikatakan proses desain. Jadi proses desain adalah kondisi dimana seorang desainer menyusun suatu rencana kerja dengan mengandalkan teori dan model untuk memecahkan masalah sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi.

Proses desain terdiri dari aspek-aspek yang secara berulang menyangkut masalah perbagian secara detail ataupun keseluruhan. Pada tahap tersebut terjadi lompatan-lompatan antara ide-ide abstrak dan batasan realitas (Hegeman, 2010). Sedangkan dilain pihak, dilemma menjadi salah satu tanda terjadinya proses desain. dilemma tersebut akan ditanggulangi dengan lompatan kreatif (Lowgren dan Stolterman, 2004,hal 17). Sehingga bisa dikatakan bahwa lompatan kreatif merupakan aspek fundamental dari desain proses. Tahap-tahap dalam proses berpikir kreatif tersebut dijelaskan oleh Kneller (1965) dibagi menjadi lima fase. Fase-fase tersebut yaitu : First Insight, pada tahap ini terjadi perumusan masalah.

3

Page 4: Dirgantara - Sketsa - Proposal

Segala macam masalah yang muncul dilihat secara detail sehingga beberapa masalah dapat digabungkan sebagai suatu masalah yang lebih umum. Tahap ini juga sering disebut problem framing. Tahap kedua adalah Preparation. Pada tahap kedua lebih kearah memecahkan masalah tersebut dengan cara mencari solusi secara berulang-ulang sehingga ditemukan reformulasi masalah. Kedua tahap tersebut sering disebut period of intense. Setelah kedua fase tersebut, fase ketiga adalah Incubation. Pada tahap ini, keadaan kembali menjadi lebih santai dimana tidak ada upaya sadar untuk memecahkan masalah, meskipun beberapa orang berspekulasi bahwa pikiran terus bekerja secara tidak sadar. Tahap keempat adalah illumination. Dalam tahap ini ketika suatu titik dimana muncul suatu ide secara tidak terduga. Tahap terakhir adalah verification. Pada tahap terakhir ini lebih mengarah ke pengujian dan pengembangan gagasan.

diagram 1 lima proses kreatif , Kneller, G.F (1965)

II.2 SketsaHipotesis penelitian ini adalah mengungkap

apa yang menyebabkan sketsa lebih efisien daripada media lain dimana dalam hal ini diambil media digital. Sehingga yang perlu kita ketahui dari suatu sketsa bukanlah bagaimana cara mensketsa, tetapi lebih kearah bagaimana proses mensketsa karena jika kita meneliti tentang proses sketsa, kita akan tahu isi dalam dari sketsa seperti misalnya pola pikir, cara berpikir atau cara menerapkannya sedangkan apabila kita lihat dari cara mensketsa, kita akan lebih membahas secara visual sketsa sebagai hasil jadi. Hal tersebut akan semakin sulit untuk dibedakan melihat dalam desain akhir digital juga terdapat hal yang sama.

Apabila kita meneliti proses mensketsa kita akan tahu pola-pola pikir yang tidak ada ketika kita mendesain dengan media digital dan poin-poin tersebut akan digunakan sebagai penunjang ketika penelitian dilaksanakan. Keterkaitan antara poin-poin dalam sumber akan diuji dilapangan dan akan dilihat apakah seorang arsitek yang mensketsa melaksanakan pola pikir tersebut sesuai dengan poin-poin yang ada.

II.2.1 Pengertian sketsaSeseorang yang dapat dikatakan sebagai pakar

yang meneliti proses berpikir dalam mensketsa dan dijadikan acuan banyak penelitian adalah Paul Laseau. Seorang arsitek , seniman dan penulis berkebangsaan Eropa. Buku-buku karangan Paul ada tiga buah yaitu sketsa bebas yang diterjemahkan dari buku aslinya free hand sketching, Berpikir Gambar Bagi Arsitek Dan Perancang yang diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Graphic Thinking For Architects and

Designers, dan Visual Notes. Dari ketiga buku tersebut yang paling berkaitan dengan proses sketsa adalah Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang sedangkan Sketsa bebas merupakan tahap presentasi sketsa.

Menurut Paul (2004,hal:7), sketsa merupakan suatu perangkat penting yang digunakan untuk menyelidiki solusi dan problem yang ada di lingkungan fisik, seperti kurangnya ruang sosial public yang digunakan atau tidak terorganisirnya pergerakan mobil dan pejalan kaki. Solusi desain tersebut dijabarkan dalam sketsa dimana nantinya sketsa tersebut menjadi dialog yang produktif antara desainer dan kliennya serta aplikasi dalam lingkungan tersebut. Dialog tersebut sangat tergantung dari kemampuan berkomunikasi yang lancar baik secara verbal maupun secara visual. Kecepatan dan keluwesan sketsa mendukung suatu percakapan yang lebih relaks dan hal ini akan mendukung kepercayaan dan kontribusi klien terhadap suatu proyek yang hasilnya sukses.

Orang kedua yang juga membicarakan bagaimana proses pemikiran arsitek hingga mewujudkan hasil visual adalah Ron Kasprisin dan James Pettinari (1995) dalam bukunya yang berjudul Visual Thinking For Architects and Designers. Dia menyebutkan bahwa sketsa adalah hasil pemikiran visual sebagai jalan untuk berbicara segala bahasa yang memungkinkan para arsitek dan desainer tidak hanya menampilkan ide tetapi membantu struktur untuk mengatur gagasan dalam prosess desain.

Orang yang tidak kalah pentingnya dalam hal proses mensketsa hingga menjadi alat komunikasi visual adalah Edward T.White (1995) dalam bukunya yang berjudul Strategi Presentasi dalam Arsitektur, diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Presentation Strategy in Architecture. Menurut Edward (1995,hal:3), sketsa merupakan suatu media presentasi yang paling efisien dimana sketsa sebagai pemikiran awal presentasi yang sukses. Orang yang menguasai sketsa akan memiliki daya presentasi yang berbeda dari satu sama lainnya sehingga sketsa akan sangat menunjang suatu kesuksesan presentasi.

Sedangkan Francis D.K Ching (1996) dalam bukunya yang berjudul Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan lebih menjelaskan bahwa sketsa adalah sebuah ringkasan mengenai energi kinetic yang menggerakan sebuah titik menjadi garis bidang dan ruang.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sketsa adalah suatu perangkat komunikasi visual paling efisien, yang bertujuan untuk menyelidiki solusi dan masalah yang muncul, dimana dalam prosesnya terdapat dialog produktif antara pemberi dan penerima yang ditampilkan dalam media presentasi berupa gambar. Sehingga jelas dapat dibedakan perbedaan gambar dan sketsa. Sketsa sudah pasti suatu gambar tetapi gambar belum tentu merupakan sketsa. Yang

4

Page 5: Dirgantara - Sketsa - Proposal

membedakan adalah dalam sketsa terdapat dasar-dasar pemikiran, dialog produktif dan efisensi sedangkan dalam gambar hanya dilihat dari segi tampilan visual dan bukan sebagai suatu pemecahan masalah.

II.2.2 Sketsa dalam proses desainPosisi sketsa dalam proses desain terdapat

pada tiap tahapan tetapi yang sangat berpengaruh adalah pada tahap-tahap awal perancangan. Kalau dilihat dari kneller (1965) , sketsa sangat berpengaruh pada tahap First Insight dan Preparation. Hal tersebut juga dikatakan oleh Dr Brock Craft dan Dr Paul Cairns (2006,hal:6) bahwa sketsa aktif pada fase awal desain. Penelitian yang dilakukan menyimpulkan tentang penggunaan sketsa sebagai pemecahan masalah, dimana sketsa membantu dalam memperbaiki desain kearah yang lebih baik. Sketsa mampu merekam data pola pikir kita ketika memecahkan masalah sehingga tidak terjadi pengulangan pemecahan masalah dan terus kearah pemecahan yang lebih baru. Sketsa juga membantu kolaborasi dalam memecahkan suatu masalah dimana hal tersebut terlihat bahwa pemakai sketsa dapat berkomunikasi rekannya dengan cara visual rendering yang memiliki pemahaman lebih cepat dibandingkan dengan jika hanya dijelaskan secara verbal. Sketsa juga membantu kreatifitas dengan siklus generasi interpretasi, dimana ketika kita mensketsa, interpretasi kita tertuang lebih nyata dan hal tersebut memancing interpretasi pihak lawan sehingga terjadi adu interpretasi secara berulang-ulang dan mungkin saja hasil akhir, sketsa akan tercipta banyak coretan sebagai jejak generasi interpretasi.

II.2.3 Proses sketsaProses sketsa menurut Paul Laseau (1980,

h.19) terdapat dua tahap. Tahap pertama terjadi percakapan dengan diri sendiri yakni berkomunikasi dengan pikiran sedangkan tahap kedua adalah berkomunikasi dengan tangan dan mata. Ketika kita berkomunikasi dengan ide, kita bisa melihat benda yang ada dalam pikiran kita melalui pikiran. Benda itu direkam sedemikian rupa kemudian otak mengisyaratkan kepada tangan untuk menggambar sedangkan mata sebagai pengawas gambar hasil dengan gambar yang ada di pikiran.

Gambar1 proses sketsa menurut (Laseau, 1986, p. 9)

Pikiran hanya mampu merekam gambar beberapa menit sehingga akan terjadi titik henti tangan tidak bergerak, dan kembali melihat gambar

yang ada di pikiran kemudian tangan melanjutkan lagi untuk bekerja dan secara berulang-ulang hingga sketsa jadi. Semakin orang menguasai sketsa maka waktu jeda antara tangan dan kertas akan semakin cepat dan sampai hilang sama sekali. Ketika sudah tidak ada jeda antara pergerakan tangan terhadap gambar yang dibuat, dalam otak sudah terjadi over laping antara perekaman gambar ke pikiran dan ke kertas.

Menurut Dr.Brock (1996,h.5) proses sketsa terdapat tiga tahap. Tahap pertama adalah permunculan ide. Tahap kedua adalah pengeluaran ide dari kepala sehingga kita dapat melihat ide tersebut. Tahap ketiga adalah penyalinan ide tersebut dalam sketsa dan setiap muncul ide baru disalin dalam sketsa.

Permasalahan yang muncul ketika proses mensketsa dijelaskan oleh Edward (1995, h.4) bahwa kesalahan-kesalahan ketika menciptakan presentasi sketsa lebih besar terdapat pada kepala dibandingkan dengan tangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika proses mensketsa, lebih baik matangkan dulu gambar yang akan kita lihat di dalam kepala setelah matang baru dituangkan ke dalam gambar untuk menghasilkan presentasi yang sukses.

Sehingga apabila dilihat dari pengertian diatas, sebenarnya ada suatu keterkaitan dari proses sketsa masing-masing individu. Jika dijabarkan secara detail, tahapan proses sketsa dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahap pertama adalah permunculan gambar. Tahap ini lebih kearah menerjemahkan ide kedalam suatu gambar dasar

2. Tahap kedua adalah melihat. Gambar tersebut diletakkan pada suatu tempat diluar kepala kira sehingga kita bisa melihat gambar tersebut secara jelas.

3. Perekaman gambar. Pada tahap ini dilakukan perekaman terhadap gambar yang kita lihat didalam pikiran kita.

4. Uji coba permasalahan. Ketika kita melihat gambar tersebut di dalam pikiran kita, dengan tidak sengaja sudah muncul pemikiran-pemikiran atas resiko yang terjadi dan pemikiran tersebut memodifikasi gambar dasar tersebut. Ketika pikiran sudah tidak bisa menerjemahkan ide tambahan tersebut, maka

5

Page 6: Dirgantara - Sketsa - Proposal

otak diputuskan untuk mengkoordinasikan kepada tangan.

5. Menggambar. Ketika diputuskan untuk menggerakkan tangan untuk menggambar ide tersebut, secara tidak langsung tangan sudah memulai menggambar dan mata mulai mencocokkan hasil gambar tangan dengan gambar di dalam pikiran.

6. Berhenti . Tahap ini dilakukan ketika otak lupa akan gambar yang telah dibuat di dalamnya sehingga akan terjadi waktu jeda tangan tidak bergerak untuk menggambar.

7. Tahap 6 dan 7 akan terjadi secara berulang-ulang hingga sketsa jadi.

II.2.4 Sketsa sebagai media komunikasiDialog komunikasi antara arsitek dan

klienmerupakan olah kemampuan komunikasi yang lancer, baik secara visual maupun secara verbal. Kecepatan dan keluwesan sketsa mendukung suatu percakapan yang rileks dan tenang. Menurut (Laseau,1986, p. 12) komunikasi seorang arsitek agar menjadi suatu presentasi yang berhasil didukung oleh beberapa aspek yaitu :

1. Harus memahami unsur dasar komunikasi komunikator, penerima atau pendengar.

2. Harus mengembangkan bahasa gambar agar dapat membuat karya yang mudah dimengerti.

3. Jangan menganggap proses komunikasi tersebut memang harusnya berjalan sedemikian rupa tapi lebih kea rah menilai diri sendiri.

Sedangkan menurut (T.White, 1977, p. 38) kelancaran presentasi tersebut dipengaruhi oleh

1. Ketelitian dalam menguraikan faktor-faktor kritis yang menyengkut isi presentasi

2. Perbendaharaan kita dalam menanggapai permasalahan yang mempengaruhi presentasi.

3. Kepekaan kita dalam mensintesiskan seluruh strategi dalam satu paket yang masuk akal.

Sehingga, keterlibatan sketsa di dalam proses komunikasi antara arsitek dan klien terjadi ketika kita harus mengembangkan bahasa gambar sebagai perbendaharaan kita dalam menanggapi permasalahan yang mempengaruhi presentasi. Penguasaan sketsa menjadi suatu hal yang sangat penting, mengingat penyampaian pesan arsitek kepada klien dilakukan dengan presentasi komunikasi berupa sketsa.Adapun elemen-elemen dasar sketsa sebagai media presentasi yang harus dikuasai arsitek (Kliment, p. 19) antara lain :

1. Perpaduan antara bentuk dan garis2. Perpaduan antara garis dan tekstur3. Ketebalan garis pena4. Memerintah pergerakan pena dan kuas5. Perpaduan antara kuas dan pena.

II.3 Media Digital

Keterlibatan computer dengan arsitektur sudah dimulai sejak komputer ditemukan. Ketika komputer generasi baru menghasilkan gambar yang realistis, itu seolah-olah menjadi bukti dominan keterlibatannya dalam desain arsitektur (Satwiko,2010, p. 10). Komputer generasi awal hanya digunakan sebagai alat untuk menghitung. Disanalah mulainya komputer masuk ke dalam dunia arsitektur sebagai alat penghitung konstruksi, biaya, dll. Sedangkan ketika generasi penerusnya mampu menyelesaikan perhitungan berat seperti perspektif 3D, ketika itulah dunia arsitektur menanggapi sangat antusias. II.3.1 Peran Digital dalam Proses Desain

Jika dilihat dalam proses desain yang telah dipakai arsitek sejak ratusan tahun yang lalu, maka terlihat bahwa komputer dapat berperan di tahap mana saja meliputi: analisis masalah, sintesis pemecahan masalah, evaluasi dan mengkomunikasikan tahapan-tahapan tersebut. (Satwiko, 2010, p. 12). Seorang arsitek yang cerdas dan kreatif dapat mengembangkan analisis, sintesis dan evaluasi yang sangat jauh dan rumit. Komputer dapat menawarkan bantuan sampai tahap tertentu sesuai perkembangan teknologinya.Sehingga peran komputer dapat dibagi menjadi enam garis besar, yaitu :

1. Alat desain, komputer menggantikan kertas dan pensil, serta membantu menampilkan gambar-gambar yang realistis.

2. Sarana komunikasi, komputer dapat digunakan untuk bekerja bersama karena pada dasarnya arsitek tidak bekerja sendiri tetapi perlu koordinasi dengan disiplin lain.

3. Pembantu desain, komputer dapat membantu arsitek mengoreksi kesalahan-kesalahan berdasarkan pengetahuan yang ada.

4. Lingkungan desain, komputer dengan jaringan internet menciptakan lingkungan untuk mendesain.

5. Pengatur environmental fisik bangunan, komputer dapat digunakan untuk mengatur agar lingkungan bangunan sesuai untuk kehidupan di dalamnya, semacam otomatis bangunan.

6. Lingkungan maya, komputer ,enawarkan lingkungan maya yang dapat menggantikan keterbatasan lingkungan fisik. Termasuk didalamnya cyberspace, virtual space, electronic space dan digital space.

II.3.2 Program Digital dalam Proses DesainProgram digital untuk desain sangat banyak

dipasaran. Untuk memberi batasan yang jelas, lebih ke arah dimana program tersebut diaplikasikan. Khususnya untuk di Indonesia, ada beberapa program komputer, yang sering dipergunakan sebagai media desain. (Satwiko, 2010, p. 54) mengemukakan

6

Page 7: Dirgantara - Sketsa - Proposal

program-proram tersebut menjadi tiga bagian besar menurut kelompok matakuliah yang dipakai di perguruan tinggi Indonesia. Ketiga kelompok tersebut adalah teori dan desain arsitektural bangunan, desain teknologi bangunan dan environmental, dan pendukung. Yang dikategorikan sebagai teori dan desain arsitektural bangunan antara lain program grafis seperti sketch up, photoshop, autoCAD, autodesk3ds Max, dan Archicad. Untuk kategori teori dan desain teknologi bangunan antara lain Energyplus, Radiance, DIALux, dan Ecotect. Program pendukung kegiatan tersebut adalah Open Office, MS Office, Excel dll. sehingga, jika dilihat secara arsitektural, program yang dapat dipakai sebagai aplikasi interpretasi ide adalah kelompok program teori desain arsitektural.

II.4 Persepsi VisualDalam suatu proses komunikasi antara arsitek

dan klien akan terjadi siklus generasi interpretasi. Dimana interpretasi dari arsitek akan di bahas oleh interpretasi dari klien secara berulang-ulang. Interpretasi kedua belah pihak tentu saja berbeda satu sama lainnya. Pengertian arsitek yang jauh menguasai desain jika dibandingkan dengan klien yang sama sekali tidak memiliki kemampuan mendesain akan menyebabkan interpretasi-interpretasi yang berbeda. Akan lebih mudah apabila kedua belah pihak memiliki interpretasi yang setara, tetapi didalam dunia kerja, hal apapun bisa terjadi, terkadang arsitek harus dihadapkan dengan klien yang sama sekali tidak bisa menginterpretasikan benda tiga dimensi walaupun arsitek sudah memberikan gambar-gambar hingga model-model yang menunjang.

Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh persepsi visual masing-masing pihak. Hal tersebut dikemukakan oleh (Halim, 2005, p. 94). Bahwa dari indra menuju proses pengamatan akan memunculkan stimulus berbeda-beda dari masing-masing otak manusia. Hal yang membedakan interpretasi tersebut juga disebabkan oleh ilusi. Dua buah garis jika diletakkan dengan posisi yang salah akan menimbulkan ambigu, hal tersebutlah yang menjadi dasar munculnya ilusi. Kemampuan manusia dari proses pengamatan yang dilihat oleh mata hingga stimulus tiba di otak yang kemudian memunculkan suatu interpretasi disebut persepsi visual.

II.4.1 Proses PerseptualProses perceptual adalah proses yang

menyangkut visual dengan cara merubah input indera menjadi apa yang sebenarnya kita alami (Halim, 2005,p. 118). Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu :

1. Atensi, atensi merupakan kondisi pada proses pengamatan yang memilih input-input tertentu dalam pengalaman sadar kita, atau kesadaran pada waktu tertentu.

2. Artikulasi Bentuk, hal ini sangat berpengaruh dengan pengalaman kita sehari-hari dalam merekam suatu bentuk benda, yang tentunya berbeda dari masing-masing individu.

3. Kedalaman, Informasi yang diterima oleh mata secara bersamaan memberikan perbedaan kedalaman bagi pengamat hal itu juga sering disebut petunjuk monocular.

4. Konstansi persepsi visual, konstansi pandangan membuat kita mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mata kita setiap saat akan melihat perbedaan bentuk benda, konstansi tersebutlah yang menyetarakan sehingga perubahan secara tidak tiba-tiba dianggap konstan.

5. Pergerakan, hal terpenting dari pengamatan adalah memahami beberapa permukaan menutupi permukaan lainnya. Ketika orang bergerak untuk mengamati lingkungan, satu demi satu vista terlihat. Dan setiap vista memunculkan tanggapan yang berbeda.

6. Plastisitas, istilah tersebut mengacu pada modifibilitas atau moldabilitas persepsi. Situasi khusus, seperti perubahan yang diperpanjang pada input indera memodifikasi tata cara informasi yang membentuk persepsi tentang apa yang dilihat.

7. Perbedaan Individual, kita mengetahui setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda pada pengalaman yang sama. Perbedaan individual dalam mempelajari, menetapkan motivasi dan gaya menjadi dasar perbedaan pemahaman tersebut.

II.4.2 Teori Persepsi Pendekatan dalam phenomenology untuk

mengemukakan persepsi, syarat utamanya adalah pengalaman dari pengamat (H.Ittelson, 1969, p. 5). Sehingga teori-teori yang dicari adalah yang berkaitan dengan pengamatan.

Teori Gestalt, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah konsep tentang form, yaitu suatu elemen yang terstruktur dan tertutup dalam pandangan visual seseorang (Halim, 2005). Ada enam properti dasar yang mempengaruhi persepsi dari form. Proksimitas atau kedekatan jarak merupakan property pertama. Menurut teori gestalt, objek-objek yang memiliki jarak yang lebih dekat cenderung dilihat berkelompoksecara visual. Similaritas, menurut gestalt, elemen-elemen memiliki simitaritas kualitas sama dalam hal ukuran, tekstur dan warna, maka lelemen-elemen tersebut cenderung akan diamati sebagai kesatuan. Closure, pada hukum ketertutupan ini didapati bahwa unit visual cenderung membentuk suatu unit tertutup. Good Continuance hokum kesinambungan menyatakan bahwa seseorang akan cenderung mengamati suatu elemen yang berkesinambungan sebagai satu kesatuan unit. Area

7

Page 8: Dirgantara - Sketsa - Proposal

and symmetry, hokum dan simetri menyatakan semakin kecil area tertutup dan simetris semakin cenderung terlihat sebagai satu unit. Figure and ground, hukum bentuk dan latar menyatakan bahwa sebuah obyek akan terlihat berbeda ketika sebuat bentuk memiliki latar dan kontras.

Teori Steven’ Power, beberapa persepsi membutuhkan asumsi yang dibuat pada bagian indera. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pengamatan dan interpretasi. Namun interpretasi juga membutuhkan lebih dari sekedar penjelasan fisiologis yang sederhana. (Stevens, 1975) menunjukkan banyak kasus mengenai penilaian-penilaian psikologis yang berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik dinilai berdasarkan rasio.

Teori Transaksional, teori ini menjelaskan tentang peranan pengalaman persepsi dan menekankan hubungan dinamis antara manusia dan lingkungan. Persepsi merupakan bagian masing-masing orang yang dilatarbelakangi oleh perbedaan sehingga persepi dapat dikatakan sebagai penerjemah dunia masing-masing yang berbeda satu sama lainnya(H.Ittelson, 1969, p. 7) sehingga bisa dikatakan bahwa pengamatan yang berbeda-beda terhadap lingkungan mereka tinggal, membuat interpretasi yang berbeda-beda juga terhadap masing-masing objek yang diamati.

III. DESAIN RISET

III.1 Rumusan MasalahSejak masuknya teknologi digital ke

Indonesia sekitaran tahun 1990an terjadi pergeseran makna sketsa, yang pertamanya sebagai media presentasi interpretasi ide berubah menjadi media pelengkap yang dipakai apabila ada waktu. Pendapat bahwa sketsa mempunyai kekurangan yang berkendala dengan efisiensi masih perlu diteliti kebenarannya. Masalahnya hal tersebut hanya terjadi pada orang-orang yang tidak menguasai sketsa terutama angkatan diatas tahun 1999. Ketika masuknya program auto cad, 3dsmax, dan sketch up program tersebut menjadi suatu persyaratan dalam dunia kerja. Hal tersebut berpengaruh terhadap arsitek-arsitek angkatan tersebut. Penguasaan ketiga program tersebut menjadi mutlak untuk dipelajari. Sedangkan sketsa semakin tertinggal.

Perlu diketahui bahwa program digital hanya sebagai alat bantu untuk menerjemahkan ide awal yang dituangkan dalam sketsa. Didalam proses desain, sketsa dan digital menjadi hal yang mendasar sebagai media interpretasi ide. Kesalahan yang muncul adalah salahnya tahapan pemakaian media tersebut. Ketika otak bekerja untuk mendapatkan ide, tangan seketika mensketsa dan setelah sketsa tersebut selesai, program digital menyempurnakan dengan tetap berpedoman pada sketsa awal, tapi yang dilakukan sekarang banyak yang menerjemahkan ide awalnya langsung menggunakan komputer. Hal tersebut juga

dipengaruhi oleh kemampuan untuk mensketsa yang semakin berkurang sehingga enggan menggunakan sketsa.

Melihat hal tersebut di atas, akan sangat berpengaruh terhadap kualitas arsitek terutama di Indonesia yang nantinya akan bersaing dalam dunia global. Banyak hal yang tidak diketahui oleh arsitek keunggulan dari penguasaan sketsa. Hal tersebut banyak dijelaskan didalam teori-teori dan literatur. Sedangkan bagaimana aplikasinya didalam dunia kerja belum pernah dibahas. Melihat hal tersebut, dapat dirumuskan dua poin utama permasalahan dalam penelitian ini. Permasalahan pertama adalah,

Apakah penyampaian interpretasi arsitek melalui media sketsa lebih efisien daripada melalui media lain?

Apakah yang mempengaruhi efisiensi media sketsa dan digital dalam hal penyampaian interpretasi arsitek kepada klien?

III.2 Metode PenelitianMetode Penelitian untuk menjawab

pertanyaan pertama perlu dikaji dari segi efisiensi. Tidak bisa dipungkiri biaya, mutu dan waktu masih menjadi alat ukur efisiensi yang paling utama dalam perancangan arsitektur. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana ketiga aspek tersebut bisa menjadi alat ukur pengaplikasian sketsa dan digital.

Presentasi Visual merupakan titik tengah dari kedua media tersebut. Sketsa berkomunikasi dengan visual begitu juga dengan digital. Sehingga untuk kasus ini akan diuji tahapan dimana terjadi overlapping antara sketsa dan digital. Sketsa dipakai ketika tahap awal perancangan yaitu sebagai penerjemah ide arsitek sedangkan bagi yang tidak menguasai sketsa pada tahap tersebut dipakai media digital sehingga penelitian ini dilakukan pada tahap awal proses desain. Proses tersebut yaitu tahap first insight dan preparation. Ketika sudah jelas lingkup penelitian ini yaitu pada tahap awal proses perancangan, sekarang akan dibahas mengenai objek yang akan dikaji.

Buku merupakan objek utama yang menjelaskan bahwa digital tidak bisa menggantikan sketsa dalam hal penyampaian interpretasi awal, tetapi dalam dunia kerja, hal tersebut perlu dikaji. Seperti yang kita lihat, setiap icon pekerjaan membutuhkan keahlian 3dsmax, autocad, sketchup dll, tidak ada persyaratan menguasai sketsa. Maka dari itu, penelitian ini akan dilakukan di biro-biro konsultan yang sehari-hari merupakan dunia kerja desain dengan pelaku utamanya antara arsitek dan klien. Dialog komunikasi antara arsitek dan klien paling intens dilakukan pada tahap awal perancangan hal tersebut juga berkaitan dengan aplikasi sketsa atau digital sehingga yang akan diteliti adalah dialog pertama antara arsitek dan klien dimana pada tahap tersebut semua poin utama penelitian terkait yaitu interpretasi

8

Page 9: Dirgantara - Sketsa - Proposal

arsitek terhadap klien ataupun sebaliknya diimbangi dengan aplikasi media sketsa dan digital.

Efisiensi akan di ukur pada tahap tersebut, yaitu tahap awal permulaan ide muncul hingga tahap pemahaman dari klien. Biaya, mutu dan waktu akan secara berkala masuk kedalam tahap-tahap yang dilalui. Biaya bisa dihitung dari jenis peralatan yang digunakan sedangkan mutu dan waktu tidak bisa dihitung secara kasat mata. Mutu berkaitan dengan pemahaman klien terhadap presentasi yang dihasilkan, waktu berkaitan dengan batas pemahaman klien terhadap interpretasi arsitek. Sehingga perlu dibuat batas yang jelas tentang pemahaman klien. Batas pemahaman tersebut sangat berkaitan erat dengan persepsi karena ketika mengamati secara visual, proses pengamatan terjadi. Dengan mempelajari psikologi mengenai persepsi, kita akan tahu tahap-tahap ketika klien dirasa sudah memahami apa yang disampaikan arsitek.

Alat ukur psikologi tersebut adalah psikometri. Psikometri merupakan cabang ilmu psikologi yang khusus mempelajari tentang pengukuran tingkah laku secara kuantitatif sehingga psikometri adalah ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang bersangkut paut dengan pengukuran kuantitatif terhadap tingkah laku manusia (Noor,2009, p. 4). Proses pengukuran akan melibatkan komponen-komponen pengukuran yang meliputi pengukur, instrument pengukuran, dan objek pengukuran. Ketiga komponen tersebut terikat oleh aturan dalam pengukuran. Untuk kasus ini akan dipakai psychological evaluation,dimana proses tersebut membandingkan hasil pengukuran psikologi yang berwujud angka dengan suatu kriteria.

Sehingga pengukuran efisiensi untuk permasalahan tahap pertama dapat dilakukan yaitu dengan bantuan psikometri sebagai batasan untuk menghitung waktu dan mutu.

Pertanyaan kedua akan menjawab berupa poin-poin apa yang menjadi sebab sketsa atau digital lebih efisien. Tentu saja masalah efisien masih berkaitan dengan biaya, mutu dan waktu. Yang membedakan sekarang adalah sebab media tersebut lebih efisien. Dalam mengkaji sebab, kita memerlukan tahu proses yang terjadi, sehingga dalam pertanyaan ini akan dijawab dengan meneliti proses berjalannya kedua media tersebut. Kita tidak akan tahu apa yang ada di pikiran orang ketika mensketsa ataupun memakai media digital. Maka dari itu, pada tahap ini akan terjadi dialog antara peneliti dan pelaku kegiatan berupa wawancara langsung berkaitan dengan proses yang dilakukan.

Metode wawancara tersebut akan menghasilkan poin-poin yang tidak bisa kita amati secara kasat mata, sehingga dari metode ini akan dihasilkan pemikiran-pemikiran khusus yang menjadikan media tersebut lebih efisien selain yang bisa kita amati ketika proses terjadi.

III.2 Kerangka PenelitianJika dilihat dari latar belakang masalah hingga

metode penelitian, kerangka penelitian dapat dilihat sebagai berikut :

Diagram 2 kerangka penelitian, pribadi(2010)

Jika dilihat pada kerangka tersebut, alat pengukur keberhasilan dari penelitian ini adalah ketika sketsa memang lebih efisien (biaya, mutu dan waktu) dibandingkan dengan digital. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses kegiatan ketika terjadi dialog interpretasi arsitek dengan klien dan proses tersebut sebagai latar belakang keberhasilan media tersebut.

Referensi

9

Page 10: Dirgantara - Sketsa - Proposal

Affan, M. S. (1990). Psikologi Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars.bangsa, g. (2008, 09 02). wordpress. Retrieved 11 11, 2010, from word press: http://gogorbangsa.wordpress.com/2008/09/02/psikologi-persepsi-dalam-desain-komunikasi-visual/Carins, B. C. (2006). Sketching Sketching: Outlines of a Collaborative Design Method. 1-9.D.K.Ching, F. (1996). Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta: Erlangga.Erwinarch. (2009, january 21). multiply. Retrieved agustus 15, 2010, from multiply: http://pelangi01.multiply.com/journal?&page_start=20&show_interstitial=1&u=/journalH.Ittelson, W. (1969). Visual Space Perception. New York: Springer.Halim, D. (2005). Psikologi Arsitektur. Jakarta: Grasindo.Hegeman, J. (2010, September 12). The Thinking Behind Design. Carnegie Mellon University , 12 -24.Jones, J. (1980). Design Methods. New York: Wiley.Kliment, S. A. Architectural Sketching and Rendering. Whitney Library.Laseau, P. (1986). Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang. Bandung: ITB.Laseau, P. (2004). Sketsa Bebas. Jakarta: erlangga.Laurens, J. M. (n.d.). Imaji dan Peran Media Desain Dalam Proses Desain Arsitektur.M.A, S. (1991). Metode Research. Bandung: Jemmars.McFarling, N. W. (1978). Environmental Psychology. California: Brooks.Noor, H. (2009). Psikometri. Bandung: Fakultas Psikologi Unisba.P, L. P. (1994). Interpretative Tool for Architectural Sketches.Pable, J. (1989). Quick Sketches in Interior Design Practice. Interior Design Accreditation.Pettinari, R. K. (1995). Visual Thinking For Architects adn Designers. New York: Wiley.Purwanto, E. (1991). Perancangan Arsitektur Sebagai Bagian Dari Suatu Proses. Modul , 11-13.Satwiko, P. (2010). Arsitektur Digital. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.T.White, E. (1977). Strategi Presentasi dalam Arsitektur. Yogyakarta: Kanisius.Wang, L. G. (2002). Architectural Research Methods. New York: Wiley.

10