(Disampaikan dalam Diskusi Persiapan Pameran Peninggalan
8
Menelusuri tinggalan Arkeologi Kesultanan Samudera Pasai (Disampaikan dalam Diskusi Persiapan Pameran Peninggalan Kesultanan Samudera Pasai, diselenggarakan oleh Lembaga Pentashihan & Mushaf alQur’an, Di BQMI, TMII Jakarta, 18 Maret 2015 ) Oleh Budi Sulistiono Wilayah Samudera Pasai itu memang strategis karena menghadap Selat Malaka. Secara geografis Kesultanan Samudra Pasai terletak di sebelah utara Peureulak di daerah Lhokseumawe (sekarang pantai timur Aceh). Lokasi bekas Kesultanan Samudera Pasai, kemungkinan di hulu Sungai Peusangan yang pada waktu itu merupakan jalur perdagangan penting. Sultan pertama Samudera Pasai adalah Malik ash-Sholeh. Ia diislamkan oleh Syeikh Ismail, seorang Ulama dari Makkah, yang kemudian memberinya nama Sultan Malik ash-Sholeh dan gelar Zillullah fil Ardh (bayangan Allah di bumi). Saat itu Samudera Pasai sangat strategis sebagai pusat pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Kontak dagang dilakukan ke daerah semenanjung Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, hingga Gresik di Jawa Timur. Sukses besar ini telah menghantarkan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan yang ramai. Banyak pedagang dari Pegu, Calicut, Tamil, Arab, Cina dan India datang untuk berdagang dan menyebarkan Islam, karenanya tak heran jika Kesultanan ini memperoleh sumber pendapatan yang besar dari pajak perdagangan dan pelayaran. Pelabuhan Pasai yang sangat strategis itu dijadikan sebagai tempat transit barang- barang dari berbagai negara sebelum diekspor ke tempat lain. Kesultanan Samudra Pasai mampu memanfaatkan ramainya perdagangan internasional yang dilakukan oleh para pedagang Islam. Dengan letaknya yang strategis ini, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Menurut catatan Ibnu Battutah, seorang pengelana yang pernah berkunjung ke Pasai pada 1345 (pada masa Sultan Mahmud Malik az-Zahir) menceritakan bahwa ketika itu jumlah penduduk di Ibu Kota Pasai adalah 20.000 orang.Kesultanan Islam Samudera Pasai semakin berkembang didukung kekuatan angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Kesultanan Samudera Pasai menghasilkan komoditas perdagangan ekspor seperti lada, sutra, kapur barus dan banyak lagi komoditas ekspor yang bisa diperoleh karena Kesultanan Samudera Pasai adalah tempat pengumpul barang dari berbagai daerah. Selain itu, dalam Kesultanan Samudera Pasai terdapat beberapa jenis barang dari Cina yang dapat dibeli pedagang lainnya tanpa harus berlayar ke Cina. Perdagangan yang menjadi basis hubungan dan jaringan yang tetap dengan kerajaan-
(Disampaikan dalam Diskusi Persiapan Pameran Peninggalan
(Disampaikan dalam Diskusi Persiapan Pameran Peninggalan Kesultanan
Samudera
Pasai, diselenggarakan oleh Lembaga Pentashihan & Mushaf
alQur’an, Di BQMI,
TMII Jakarta, 18 Maret 2015 )
Oleh Budi Sulistiono
Wilayah Samudera Pasai itu memang strategis karena menghadap Selat
Malaka.
Secara geografis Kesultanan Samudra Pasai terletak di sebelah utara
Peureulak di
daerah Lhokseumawe (sekarang pantai timur Aceh). Lokasi bekas
Kesultanan
Samudera Pasai, kemungkinan di hulu Sungai Peusangan yang pada
waktu itu
merupakan jalur perdagangan penting. Sultan pertama Samudera Pasai
adalah Malik
ash-Sholeh. Ia diislamkan oleh Syeikh Ismail, seorang Ulama dari
Makkah, yang
kemudian memberinya nama Sultan Malik ash-Sholeh dan gelar
Zillullah fil Ardh
(bayangan Allah di bumi).
Saat itu Samudera Pasai sangat strategis sebagai pusat pelayaran
dan
perdagangan di Nusantara. Kontak dagang dilakukan ke daerah
semenanjung Malaka,
pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, hingga Gresik di Jawa
Timur. Sukses besar
ini telah menghantarkan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan
yang ramai.
Banyak pedagang dari Pegu, Calicut, Tamil, Arab, Cina dan India
datang untuk
berdagang dan menyebarkan Islam, karenanya tak heran jika
Kesultanan ini
memperoleh sumber pendapatan yang besar dari pajak perdagangan dan
pelayaran.
Pelabuhan Pasai yang sangat strategis itu dijadikan sebagai tempat
transit barang-
barang dari berbagai negara sebelum diekspor ke tempat lain.
Kesultanan Samudra
Pasai mampu memanfaatkan ramainya perdagangan internasional yang
dilakukan oleh
para pedagang Islam. Dengan letaknya yang strategis ini, maka
Samudra Pasai
berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Menurut
catatan Ibnu
Battutah, seorang pengelana yang pernah berkunjung ke Pasai pada
1345 (pada
masa Sultan Mahmud Malik az-Zahir) menceritakan bahwa ketika itu
jumlah
penduduk di Ibu Kota Pasai adalah 20.000 orang.Kesultanan Islam
Samudera Pasai
semakin berkembang didukung kekuatan angkatan laut yang cukup besar
menurut
ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan
di wilayah
kekuasaannya. Kesultanan Samudera Pasai menghasilkan komoditas
perdagangan
ekspor seperti lada, sutra, kapur barus dan banyak lagi komoditas
ekspor yang bisa
diperoleh karena Kesultanan Samudera Pasai adalah tempat pengumpul
barang dari
berbagai daerah. Selain itu, dalam Kesultanan Samudera Pasai
terdapat beberapa jenis
barang dari Cina yang dapat dibeli pedagang lainnya tanpa harus
berlayar ke Cina.
Perdagangan yang menjadi basis hubungan dan jaringan yang tetap
dengan kerajaan-
kerajaan luar seperti Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah
menjadikan Kesultanan
Samudera sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara
terutama pada
abad ke XIV dan XV. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan
peranan
Sriwijaya (684 M- 1377 M) di Selat Malaka.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Sholeh, datang seorang
musafir dari
Venesia (Italia) tahun 1292, bernama Marcopolo. Melalui catatan
perjalanannyalah
dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Marcopolo
juga
memberitakan, tahun 1267 telah berdiri Kesultanan Islam, yaitu
Samudra Pasai.
Kesultanan Samudera Pasai yang juga dikenal dengan Samudera
Darussalam, adalah
Kesultanan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kini dalam wilayah
administratif Kabupaten Aceh Utara, 20 Km dari Kota Lhokseumawe.
Menurut tradisi
Kesultanan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13, konon didirikan
oleh Nizamuddin
Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat
dicerahkannya,
kemudian mengangkat Muerah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan
gelar Sultan
Malik as-Sholeh (1285 - 1297). Sumber lain menyebutkan Kerajaan
Samudra Pasai yang
didirikan oleh Muerah Silu bergelar Sultan Malik ash-Sholeh,
sebagai raja pertama yang
memerintah tahun 1285 – 1297.
Sultan Malik as-Sholeh adalah salah seorang keturunan raja yang
berhasil
mencerahkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kesultanan
Samudera pada
tahun 1270 M. Menurut tradisi, ia menikah dengan Ganggang Sari,
seorang putri dari
Kesultanan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua
putranya yang bernama
Malik adh-Dhahir dan Malik al-Mansur. Setelah keduanya beranjak
dewasa, Malik as-
Sholeh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malik adh-Dhahir.
Ia mendirikan
kesultanan baru bernama Pasai. Ketika Malik as-Sholeh mangkat,
Malik adh-Dhahir
menggabungkan kedua kerajaan di daerah Peureulak, seperti Rimba
Jreum dan
Seumerlang menjadi Samudera Pasai.
Di abad ke-13 M hingga awal abad ke-16 M, Pasai merupakan wilayah
penghasil
rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu
komoditas
andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada sekitar
8.000 hingga 10
ribu bahara. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas
lainnya seperti
sutra, kapur barus, serta emas.
Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari luar Nusantara,
hubungan
dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa pun begitu baik.
Bahkan, para
saudagar Jawa mendapat perlakuan yang istimewa. Mereka tak dipungut
pajak.
Biasanya para saudagar dari Jawa menukar beras dengan lada. Hikayat
Raja-raja Pasai
menyebutkan, "… begitu banyak barang yang diangkut sehingga
kapal-kapal
Majapahit pulang dari Pasai bagaikan itik berenang. Hanya kelihatan
kepalanya, akibat
membawa muatan terlampau banyak." Bukti kedekatan Samudera Pasai
dengan Tanah
Jawa hingga berwujud kesinambungan Aceh-Jawa, atau antara Kerajaan
Samudera
Pasai dan Keraton Mataram, kian nampak jelas. Misalnya, di makam
Sultan Agung di
Imogiri, Yogya, terdapat guci air abad XVII kiriman Sultan Iskandar
Muda dari
Samudera Pasai.
Sebagai Kesultanan Islam, Samudera Pasai juga memiliki kontribusi
yang besar
dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Tanah Jawa. Samudera
Pasai banyak
mengirimkan ulama serta muballigh untuk menyebarkan agama Allah SWT
ke Pulau
Jawa. Selain itu, banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di
Pasai. Menurut
tradisi, Wali Songo merupakan bukti eratnya hubungan antara
Samudera Pasai dengan
perkembangan Islam di Pulau Jawa. Konon, Sunan Kalijaga merupakan
menantu
Maulana Ishak, Sultan Pasai. Selain itu, Sunan Gunung Jati yang
menyebarkan Islam di
wilayah Cirebon serta Banten, menurut tradisi putera daerah Pasai.
Juga sejumlah
bangsawan Aceh ikut pindah ke Majapahit (berdiri 1296 M) dan kelak
menjadi
penyebar agama Islam pertama di Jawa. Antara lain adik Putri Champa
bernama
Pangeran Makhudum yang nantinya dikenal sebagai Sunan Ampel. Dengan
izin kakak
iparnya Raja Majapahit yang masih beragama Hindu, Makhudum
diizinkan membuka
pesantren. Izin tersebut diberikan agar dia bersedia menetap di
Jawa dan kakaknya
tidak merasa kesepian. Makhudum memilih Desa Ampel Gading di
pinggir Sungai
Mas, Surabaya, dan kemudian menjadi salah seorang Wali. Kalau kita
mendalami Serat
Tajussalatin (kodifikasi hukum tata pemerintahan dan petunjuk
memerintah dengan
prinsip keadilan), kian jelas keterjalinan Samudera Pasai. Buku
berbahasa dan berhuruf
Jawa yang dipakai di Keraton Yogya tersebut merupakan salinan dari
Kitab Tajussalatin,
tulisan berhuruf Jawi berbahasa Pasai, berasal dari masa
pemerintahan Sultan Alaud-
Din Ri’ayat Syah (1589-1604). Syekh Yusuf-seorang sufi dan ulama
penyebar Islam di
Afrika Selatan yang berasal dari Makassar, juga pernah menimba ilmu
di Pasai. Data ini
membuktikan bahwa meskipun zaman itu masih belum canggih, namun
sudah terjalin
jaringan intelektual antara Aceh dan Jawa dan juga dengan seluruh
Nusantara.1
Dengan demikian, masa pemerintahan Malik as-Sholeh, Samudera Pasai
memiliki
kontribusi yang besar dalam pengembangan dan penyebaran Islam di
Tanah Air.
Setelah Sultan Malik as-Sholeh wafat, maka pemerintahannya
digantikan oleh
keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik
adz-Dzahir I (1297
– 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang
juga bergelar
Sultan Malik adh-Dhahir II (1326 – 1348). Pada masa ini
pemerintahan Samudra Pasai
berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan
kerajaan-Kesultanan Islam di
India maupun Arab. Melalui catatan kunjungan Ibnu Battutah tahun
1345 dapat
diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan
istananya disusun
dan diatur secara arsitektur India dan patihnya bergelar Amir.
Petualang Muslim asal
Maroko ini, juga menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan
kemajuan
Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari
pada tahun 1345
M. Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan
indah. Basis
1 Harian KOMPAS, “Teuku Ibrahim Alfian, Keterikatan Samudera
Pasai-Mataram”, 06 Mei 2003
perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Menurut cerita
Ibnu Battutah,
perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan bertambah maju
karena didukung
oleh armada laut yang kuat, sehingga para pedagang merasa aman dan
nyaman
berdagang di Samudra Pasai. Komoditi perdagangan dari Samudra yang
penting
adalah lada, kapur barus dan emas. Dan untuk kepentingan
perdagangan sudah
dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan
deureuham (dirham).
Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan : Alauddin, Sultan
Manshur
Malik Az-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 M,
ditemukan lagi 11
mata uang dirham di antaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad
Malik Az-Zahir,
Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja
Samudera Pasai pada
abad ke-14 M dan 15 M. Hal ini menunjukkan kemakmuran Pasai.
Kesultanan Samudra Pasai memiliki pengaruh atas
pelabuhan-pelabuhan
penting di Pidie, Peureulak, dan lain-lain. Samudra Pasai
berkembang pesat pada masa
pemerintahan Sultan Malik adh-Dhahir II. Kemajuan dalam bidang
ekonomi membawa
dampak pada kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi
makmur. Dan di
samping itu juga kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan semangat
kebersamaan
dan hidup saling menghormati sesuai dengan Syari’at Islam.
Kesultanan ini memiliki kabinet dan angkatan perang. Di darat dan
laut,
pasukannya tangguh. Hubungan diplomatiknya lancar. Bisnis ke Cina,
Terengganu,
dan Pattani, dengan birokrasi yang relatif mulus. Bilateral dengan
Turki yang dikuasai
oleh Ottoman (Usmani) masa itu, juga mesra. Fatwa demi fatwa
disetujui oleh Sultan
sekaligus Khalifah Usmaniyah. Atas rancangan usulan dari Kesultanan
Samudera
Pasai, Khalifah tunggal di Istambul (dulu Anatoli Tengah)
berkompeten untuk
memutuskan hukum.Samudera Pasai saat jayanya mempunyai semacam
Mahkamah
Agung sendiri.
dengan penguasa negara lain, seperti Champa, India, China,
Majapahit, dan Malaka.
Menurut Marco Polo, Sultan Malik as-Saleh sangat menghormati
Kubilai Khan,
penguasa Mongol. Hubungan diplomatik dengan Cina sangat lancar.
Laksamana
Muhammad Cheng Ho berkali-kali mengirim utusan ke sini.
Ekspedisi-ekspedisi yang
membawa insinyur perkapalan, ahli senjata, sarjana pertanian, dan
muballig,
mempererat Pasai-Cina. Salah satu wujud kemesraan ini, hingga
sekarang yang masih
tersisa, dapat disaksikan berupa lonceng Cakra Donya sebagai hadiah
Kaisar kepada
Sultan Malikud-Dhahir.2
2 Cakra Donya adalah hadiah berupa bel itu terbuat dari besi dan
diproduksi pada tahun 1409 M.
Bel itu dipindahkan ke Banda Aceh sejak Portugis dikalahkan oleh
Sultan Ali Mughayyat Syah. Hadiah
ini disimpan di Museum Banda Aceh.
Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin baik. Sultan biasa
melakukan
musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama, dan Sultan juga
sangat hormat
pada para tamu yang datang, bahkan tidak jarang memberikan tanda
mata (souvenir).
Sebagai kesultanan besar, di kesultanan ini juga berkembang suatu
kehidupan yang
menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif
berhasil
memanfaatkan huruf Arab, untuk menulis karya mereka dalam bahasa
Melayu. Inilah
yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut
Arab Jawi. Di antara
karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai. Bagian awal teks
ini diperkirakan ditulis
sekitar tahun 1360 M. Hikayat Raja Pasai menandai dimulainya
perkembangan sastra
Melayu klasik di bumi Indonesia. Bahasa Melayu tersebut kemudian
juga digunakan
oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan
buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawwuf. Di antara buku
tasawwuf
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzu/,
karya Maulana
Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
oleh Makhdum
Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas
menceritakan sekelumit
peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya
sebagai pusat
tamaddun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.Pada masa selanjutnya
pemerintahan
Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan
Zaenal Abidin yang
juga bergelar Sultan Malik adh-Dhahir III kurang begitu jelas.
Menurut sejarah Melayu,
kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian
karena tidak
adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai
tidak diketahui
secara jelas.
Samudra Pasai mengembangkan sikap keterbukaan dan kebersamaan.
Namun,
Sekitar tahun 1511 M, Samudera Pasai, kerajaan-kerajaan kecil yang
terdapat di Aceh
dan pesisir timur Sumatera seperti Peureulak (di Aceh Timur), Pedir
(di Pidie), Daya
(Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah
pengaruh
kolonial Portugis. Samudera Pasai ditaklukkan Portugis pada 1521,
dan selama tiga
tahun diduduki. Pada tahun 1524 Sultan Ali Mughayyat Syah,
berhasil
menyelamatkan dan merebut Pasai dari tangan Portugis. Apa pun
kondisinya,
Samudra Pasai – tercatat dalam sejarah telah berperan sebagai pusat
penyebaran Islam
ke berbagai kawasan.
Sebagai bekas Kesultanan Islam besar, Samudra Pasai meninggalkan
berbagai
jenis sisa budaya dan tradisi yang sebagian terekam dalam artefak,
naskah, dan tradisi
tutur. Tinggalan budaya material (arkeologi) Samudra Pasai antara
lain dapat diamati
dari sebaran makam Islam awal. Hal ini dibuktikan adanya batu nisan
makam Sultan
Malik as-Sholeh (wafat, 1296), Sultan pertama Samudra Pasai.
Nisan makam Sultan Malik ash-Sholeh
Batu nisan Sultan Malik as-Sholeh - batunya terbuat dari bahan
pualam putih diukir
dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat al-Quran dan
keterangan tentang
tokoh yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Di tempat ini
juga dapat
disaksikan situs-situs makam kuno Kuta Kerang, Beuringin, Bate
Ballee, Kota Krueng,
Peut Ploh Peut, Pie, Mancang, dan Blang Pria.
Dari muka tanah di Peut Plot Peut, dekat Meusanah Beuringin
berhasil dikumpulkan
sample-sampel pecahan gerabah local dalam jumlah besar yang umumnya
polos,
manik-manik dari batu (mutesala) serta fragmen gelang-gelang kaca,
pecahan keramik
asal Cina Annam dan Siam yang seluruhnya dari abad ke- 14-17 M.
Temuan penting
lain adalah pecahan gerabah local dan keramik asing, serat
fragmen-fragmen benda
dari besi, perunggu dan timah. Selain itu, ditemukan dua mata uang
kuna dari timah
yang berasal dari masa pemerintahan Sultan Malik Al Zahir.
Deureuham atau Dirham
merupakan alat pembayaran dari emas tertua di Asia Tenggara. Hal
ini menunjukkan
kemakmuran Pasai. Tinggalan arkeologi lainnya adalah Cakra Donya
adalah hadiah
yang diberikan Kaisar Cina kepada Sultan Samudera Pasai. Hadiah
berupa bel itu
terbuat dari besi dan diproduksi pada tahun 1409 M. Bel itu
dipindahkan ke Banda
Aceh sejak Portugis dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah.
Ditemukan pula
prasasti berbahasa Tamil di Barus dan Banda Aceh. Ini bukti kontak
lain dengan
wilayah luar di daerah Aceh.