Upload
doannguyet
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG KOTA TENTANG
HAK ASUH ANAK PASCA CERAI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD RIZKY ROMDON
NIM : 1111044100048
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
Muhammad Rizky Romdon. NIM 1111044100048. Disparitas Putusan
Pengadilan Agama Tangerang Kota Tentang Hak Asuh Anak Pasca Cerai.
Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Hak
Asuh Anak Pasca Cerai pada Perkara Nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng.,
2359/Pdt.G/2016/PA. Tng. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian di
Pengadilan Agama Tangerang Kota. Penulis ingin mengetahui hal-hal yang
menyebabkan pelimpahan hak asuh anak jatuh kepada ibu kandungnya sebagai
akibat perceraian pada perkara Nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng, dan hal hal yang
menyebabkan pelimpahan hak asuh anak jatuh kepada bapak kandungnya sebagai
akibat perceraian pada perkara Nomor: 2359/Pdt.G/2016/PA.Tng. Selain itu juga,
penulis ingin mengidentifikasi pertimbangan hukum hakim yang memberikan hak
asuh anak akibat terjadinya perceraian.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini
berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan hak asuh anak pasca cerai
yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang Kota. Kriteria data yang didapatkan
berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah studi pustaka, dan studi dokumenter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asuh anak bisa jatuh ke bapak
kandungnya dikarenakan ibu dari anak tersebut tidak bisa menjalankan perannya
sebagai ibu yang baik dalam hal untuk mendidik dan mengasuh anak tersebut.
Kata Kunci : Disparitas, Putusan Pengadilan Agama, Tangerang Kota, Hak
Asuh Anak, Pasca Cerai.
Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.
Daftar Pustaka : 1970-2015.
vii
3. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., Dosen Pembimbing Akademik sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan
arahannya yang juga tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan
memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga beliau senantiasa diberikan
kesehatan oleh Allah swt.
4. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan
membimbing penulis dari awal masuk kuliah hingga bisa menyelesaikan
skripsi ini, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Bapak Faza, Ibu Siti Sholehah, S.Ag, dan Ibu Yanti, terima kasih atas bantuan
administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.
6. Seluruh staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh staf kantor Pengadilan Agama Tangerang Kota.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam
mengumpulkan referensi kepada penulis.
9. Yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang hayat, ayahanda
(alm). H. Romdoni, S.E., dan ibunda Hj. Indah Sri Rahayuningsih orang tua
penulis, nenek tercinta Suseni, adik-adik tercinta Hamzah Arafah, Muhammad
Ilham Bintang, Muhammad Jordan Ramadhan, calon teman hidupku Nabila
Al-Halabi, S.Sy., terima kasih tak terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang,
pengorbanan dan ketulusan dalam mendampingi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga kalian
selalu diberi kesehatan dan semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt.
10.Teman-teman keluarga Besar prodi Peradilan Agama angkatan 2011 kelas A
dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Muhammad Nazir,
Muhammad Fathinnudin, Fahrul Roji, Muhammad Taufiq Rahman, Samsul
Bahri, Nurul Khomsah, Ratnasari, Razak, serta teman-teman yang tidak bisa
saya sebutkan semua namanya satu persatu. Terima kasih atas
kebersamaannya, motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan
bersama kalian semuanya.
viii
11.Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt. Hanya
untaian kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan. Semoga semua
pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, serta arahannya kepada
penulis senantiasa diberi kesehatan dan dalam lindungan Allah swt, diridhoi
setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di
akhirat kelak.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah swt dengan balasan
yang berlipat ganda. Penulispun berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Tangerang, 30 Maret 2018
Penulis
Muhammad Rizky Romdon
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 7
E. Metode Penelitian .............................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 12
BAB II : LANDASAN TEORI TENTANG HAK ASUH ANAK....13
A. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Islam .............. 13
B. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif ............. 17
C. Pengasuhan Anak Akibat Perceraian ................................ 23
BAB III : PROFIL PENGADILAN AGAMA TANGERANG
KOTA.....................................................................................26
A. Sejarah Singkat .................................................................. 26
x
B. Letak Geografis ................................................................. 27
C. Yurisdiksi .......................................................................... 28
D. Kewenangan Hukum ......................................................... 32
E. Struktur Organisasi ............................................................ 41
BAB IV : DISPARITAS PUTUSAN PA TANGERANG KOTA
TENTANG HAK ASUH ANAK.........................................44
A. Duduknya Perkara ............................................................. 44
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ............................... 47
C. Analisis Penulis ................................................................. 51
BAB V : PENUTUP..............................................................................55
A. Kesimpulan.........................................................................55
B. Saran...................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 59
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah swt berpasang-pasangan
antara laki-laki dan perempuan yang dilindungi secara hukum dalam ikatan
perkawinan yang sah sesuai dengan syariat Islam dengan tujuan untuk membentuk
rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.1
Perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebutuhan hidup yang ada dalam
masyarakat dan juga merupakan suatu lembaga yang sah dan diakui oleh
masyarakat dan negara. Menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam
ajaran agama Islam, perkawinan itu memiliki nilai ibadah. Kompilasi Hukum
Islam (Dalam ayat 2 nya) menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang
sangat kuat (Mitsqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakan
nya juga merupakan ibadah. Dalam suatu hubungan pernikahan, kadang kala
memang akan terjadi suatu perceraian. Banyak hal yang menjadi penyebab
perceraian tersebut, dan biasanya yang menjadi korban adalah anak. Dalam suatu
pasangan yang akan bercerai, mereka akan disibukkan dengan mencari
pembenaran terhadap keputusan mereka untuk berpisah. Mereka tidak lagi
mempertimbangkan bahwa ada pihak yang sangat menderita dengan keputusan
tersebut dan kadang kala kehilangan haknya, yaitu anak-anak. Padahal anak
adalah amanah dan karunia Allah swt, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, UU
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian bunyi Pasal
26 Burgerlijk Wetboek. Artinya bahwa pasal tersebut hendak menyatakan bahwa
suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat- syarat
1 Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 67.
2
yang ditetapkan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dan syarat – syarat serta peraturan agama dikesampingkan.2
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara. Secara harfiah, hak asasi diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan
merupakan anugerahnya, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.3
Anak juga berhak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Pengasuhan (hadhanah) anak oleh orang tuanya memiliki kelebihan secara
psikologis, karena memiliki hubungan emosional yang lebih dalam ketimbang
diasuh oleh orang lain. Islam dan HAM memandang betapa pentingnya
pemenuhan hak ini bagi anak. Titik temu Islam dan HAM dalam hal hak anak
yang lain terletak pada pengakuannya atas hak perlindungan anak dari
diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan penelantaran. Islam menempatkan anak
lelaki dan perempuan setara dan memiliki hak yang sama. Islam tidak
memperkenankan perlakuan diskriminatif terhadap salah satunya. Seperti
penegasan dalam sebuah hadis Nabi ”Berbuat adillah kepada anak-anakmu dalam
pemberian”. Menurut Retnowulan Sutianto, (Hakim Agung Purnabakti),
perlindungan anak merupakan salah satu bidang dalam pembangunan nasional.
Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh
mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan
anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya
perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat
mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan
2 Soebekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata ( Jakarta : Intermasa, 2003 ), h. 23.
3 Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
3
nasional. Maka dari itu berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila
kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.4
Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan sebelum atau sesudah
perceraian. Bahkan tidak jarang bila antara mantan suami dan mantan istri, saling
berebut mendapatkan hak asuh anak mereka. Seringkali dalam kenyataannya salah
satu orang wali saja yang mendapatkan hak perwalian anak dan ternyata tidak
dapat melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak lain yang tidak mendapatkan
hak perwalian juga sangat melalaikan kewajibannya, sehingga menyebabkan
kepentingan dari si anak menjadi terabaikan dan penguasaan terhadap anak
menjadi tidak jelas. Dikasus yang lain terjadi juga, bila ada pihak yang sudah
mengantongi putusan Pengadilan Agama untuk mengasuh anak, namun tidak
mematuhi dan menjalankannya, alias tidak mengasuh anak yang dipercayakan
kepadanya dengan baik. Disinilah akan terjadi hilangnya hak bagi anak-anak
tersebut.
Pasal 1 angka (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
(selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak) menegaskan bahwa: “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. 5
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka upaya perlindungan yang diberikan
Undang-undang terhadap seorang anak dilaksanakan sejak dini, yakni sejak anak
dari berupa janin di dalam kandungan ibunya sampai dengan anak berumur 18
tahun. Undang-undang ini meletakkan kewajiban untuk memberikan perlindungan
terhadap anak berdasarkan asas-asas non diskriminasi, kepentingan yang terbaik
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan
terhadap anak, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pasal 2 UU
Perlindungan Anak yang menyatakan: “Penyelenggaraan perlindungan anak
4 Romli Atmasasmita (ed) , Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1997), h. 166.
5 Ministry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social
Affair Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child
Protection, (Jakarta: Ministry of Women Empowerment, 2002), h. 12.
4
berasaskan pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar
konvensi hak anak yang meliputi: a. Non diskriminasi b. Kepentingan terbaik bagi
anak, c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d.
Penghargaan terhadap anak.6
Dalam penjelasan pasal 2 UU Perlindungan anak diatas disebutkan bahwa
asas perlindungan anak disini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang
terkandung dalam konvensi internasional hak-hak anak. Lebih lanjut yang
dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam penjelasan pasal
2 UU Perlindungan anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut
anak yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan
badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama. Konflik perebutan hak asuh anak yang dilakukan oleh kedua
orang tuanya justru tidak melindungi hak-hak dan kepentingan anak sebagaimana
diatur UU Perlindungan anak, konflik perebutan anak justru telah merusak
kepentingan, hak-hak dan perkembangan hidup si anak, terlebih jika si anak
diculik dibawa paksa dengan kekerasan, disekap, ditarik-tarik oleh kedua orang
tuanya, dan kekerasan fisik lainnya, jelas mengesampingkan seluruh hak anak
yang diatur dalam UU Perlindungan anak, dan juga merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2), UU Perlindungan
anak yang menyatakan: “Bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.7
“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat
perlindungan dari: a. Diskriminasi, b. Eksploitasi, c. Penelantaran, d.
Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. Ketidakadilan dan perlakuan salah
lainnya. (2) Dalam hal orang tua wali pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perlu dikenakan
6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 7 Visi Media, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Jakarta:
Visi Media, 2007), h. 8.
5
pemberatan hukuman”. “setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari
sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi”.8
Anak juga manusia yang memiliki hak asasi sebagaimana manusia
lainnya. Posisi anak termasuk rentan karena kelemahan yang dimilikinya. Anak
belum bisa secara mandiri mengambil keputusan dan bertindak. Anak memiliki
peluang untuk mendapatkan tindakan-tindakan yang tidak adil, baik dari keluarga
sendiri, termasuk orang tua, dari masyarakat, maupun dari negara. Karena itu,
perlindungan terhadap hak anak perlu dimajukan. Meski ada perbedaan konsep
hak anak menurut Islam dan hak asasi manusia, penghormatan hak anak tetap
menjadi prioritas. Agama-agama, terutama Islam, memberi perhatian yang serius
terhadap hak anak bahkan sebelum anak lahir.9
Perebutan anak terkadang hingga mengesampingkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan, anak di bawa pergi jauh ketempat persembunyian, tidak
disekolahkan dan diposisikan di dalam rumah terus menerus, dijauhkan dari
kehidupan sosialnya, sehingga mengesampingkan hak anak untuk bermain dan
bergaul dengan teman sebayanya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran
terhadap ketentuan pasal 9 ayat (1) dan pasal (11) UU Perlindungan anak yang
menyatakan: “(1) setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya”.10
Konsep anak dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, memasukkan anak yang masih dalam kandungan. Janin dimasukkan
sebagai anak dengan tujuan mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak
8 Syaifullah, dkk., Undang-Undang Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, ( Padang Sumbar: Praninta Offset, 2008), h. 49. 9 Abu Hadian Shafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syariat Islam, dari Janin hingga
Paska Kelahiran, (Muntilan: Al-Manar, 2003), h. 24. 10
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak,( Jakarta: Laksana, 2003), h. 17.
6
bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung
seseorang.11
Berdasarkan pemikiran diatas, maka kajian ini akan difokuskan pada
“DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG KOTA
TENTANG HAK ASUH ANAK PASCA CERAI”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan
Agama Tangerang Kota, maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai
berikut:
a. Putusan mengenai “Hak asuh anak pasca cerai di Pengadilan Agama
Tangerang Kota” dibatasi dengan perkara Nomor:
967/Pdt.G/2014/PA.Tng., Nomor: 2539/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Hak asuh anak pasca cerai di Pengadilan Agama Tangerang Kota
dibatasi dengan perkara Nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng., Nomor:
2539/Pdt.G/2016/PA.Tng.
c. Putusan yang ada di Pengadilan Agama Tangerang Kota dibatasi pada
perkara dengan Nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng., Nomor:
2539/Pdt.G/2016/PA.Tng.
d. Data yang diteliti di Pengadilan Agama Tangerang Kota dibatasi pada
data tahun 2014 dan 2016.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana disparitas
putusan PA Tangerang Kota tentang hak-hak anak pasca perceraian. Selanjutnya
pertanyaan penelitian dalam skripsi ini dirinci sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus hak asuh anak di PA
Tangerang Kota ?
b. Apa saja hak-hak anak pasca perceraian perspektif hukum positif ?
11
Apong Herlina, Perlindungan Anak ,( Jakarta: Laksana, 2003), h. 7.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi disparitas hak-hak anak pasca perceraian dalam
putusan PA Tangerang Kota tahun 2014, dan 2016.
b. Mengidentifikasi hak-hak anak pasca perceraian perspektif hukum
positif (Undang-Undang yang berlaku di Indonesia).
c. Mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam memutus hak asuh anak
pasca perceraian di PA Tangerang Kota.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Dapat memberikan pemikiran akademisi tentang
pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu
hukum, terutama tentang hak asuh anak pascacerai.
b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat dan juga penegak hukum, sehingga
mempunyai wawasan komprehensif terutama tentang hak asuh anak
pascacerai.
D. Review Studi Terdahulu
Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Nia Octaviani (1111044100051/Peradilan Agama/Syariah dan
Hukum) Peranan KPAI dalam Penyelesaian Perebutan Hak Asuh
Anak Pasca Cerai.
Pada skripsi ini membahas mengenai, kasus penyelesaian Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam perebutan hak asuh anak
pasca cerai semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam undang-
undang No. 35 Tahun 2014 pasal 76 mengenai tugas Komisi
8
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu menyelesaikan kasus-
kasus tentang perebutan anak pasca cerai yang dilakukan dengan cara
melakukan mediasi dengan para pihak-pihak dalam menyelesaikan
kasus-kasus perebutan hak asuh anak. Oleh karena itu pihak KPAI
untuk menyelesaikan kasus-kasus tentang perebutan hak asuh anak itu
dilakukan dengan mediasi ketika mediasi tersebut tidak
menyelesaikan maka pihak KPAI menyerahkan sepenuhnya kepada
pihak yang bersangkutan.
Dalam pembahasan skripsi Nia Octaviani membahas tentang tugas
KPAI dalam menyelesaikan kasus perebutan hak asuh anak pasca
cerai. Sedangkan skripsi ini terfokus pada disparitas putusan
Pengadilan tentang hak asuh anak pascacerai.
2. Ahmad Firdaus (111044100084/Peradilan Agama/Syariah dan
Hukum) Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayiz
Analisis Putusan No. 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk).
Berisi tentang Hakim menetapkan putusan dalam kasus ini tidak
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-undang yang
ada, akan tetapi majelis hakim hanya mengikuti Yurispurdensi
Mahkamah Agung No. 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007
menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah
kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara
normatif tidak berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang No: 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, karena yurisprudensi
Mahkamah Agung hakim dapat menggunakannya sebagai landasan
hukum dalam memutus perkara tersebut. Karena jika berijtihad itu
ketika hukum tidak ada landasannya maka hakim berijtihad dan
putusan No. 181/Pdt.G/2011/PA.Dpk ini karena sudah ada
yurisprudensi Mahkamah Agung maka hakim berpatokan dengan
yurisprudensi ini, tidak dengan berijtihad lagi.
Dalam pembahasan skripsi Ahmad Firdaus membahas tentang
bagaimana hakim menetapkan putusan tentang hak hadhanah bagi
9
anak yang belum mumayiz. Sedangkan skripsi ini terfokus pada
disparitas putusan Pengadilan tentang hak asuh anak pasca cerai.
3. Muhammad Martin (1112044100044/Peradilan Agama/Syariah
dan Hukum) Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Dalam Mengembalikan Hak-Hak Pada Anak-anak Terlantar.
Pada skripsi ini membahas mengenai, di dalam hukum positif dan
hukum Islam seorang anak berhak mendapatkan asuhan yang layak
dari orang tuanya, mendapat pendidikan yang baik, dan berhak
mendapat hidup yang layak dari orang tuanya. Beberapa faktor yang
menyebabkan anak seharusnya hidup dengan layak dan terpenuhi hak-
haknya, akan tetapi dalam faktanya hak-hak tersebut tidak didapatkan
oleh anak, dan anak hidup terlantar. Faktor tersebut adalah ekonomi,
masalah ekonomi masih menjadi penyebab tertinggi hilangnya hak-
hak anak sehingga anak hidup terlantar, perceraian orang tua yang
sibuk kerja, kasih sayang tidak didapat secara utuh dari orang tua.
Adapun peran KPAI dalam mengembalikan hak-hak anak terlantar
adalah dengan melimpahkannya kepada LPSA dan Panti Swasta untuk
dirawat agar mendapatkan hidup yang lebih layak dan dalam
memenuhi hak pendidikannya KPAI bekerja sama dengan Dinas
Pendidikan lalu untuk menjamin hak kesehatannya, KPAI bekerja
sama dengan pengawasan perlindungn anak khususnya anak terlantar,
masih belum optimalnya yang disebabkan keterbatasan kewenangan
yang tidak sebanding dengan ekspektasi kerja, sulitnya pembangunan
KPAD di setiap provinsi dan keterbatasan anggaran.
Dalam pembahasan skripsi Muhammad Martin membahas tentang
Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Mengembalikan
Hak-Hak Pada Anak-anak Terlantar. Sedangkan skripsi ini terfokus
pada disparitas putusan Pengadilan tentang hak asuh anak pasca cerai.
10
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun untuk
menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah. Metode adalah proses
prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian
adalah pemeriksaan secara hati-hati tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk
merambah pengetahuan manusia. Jadi metode penelitian dapat diartikan sebagai
proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa
yang berlangsung di lapangan. Apa yang di hadapi dalam penelitian adalah sosial
kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang
terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh di
dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan
termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang mengarahkan
perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.12
Sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan hukum normatif.
2. Kriteria dan Sumber Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian berupa data primer dan data sekunder.13
Adapun sumber data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah: Pertama, putusan Pengadilan
Agama Tangerang Kota dengan perkara Nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng., dan
yang kedua putusan Nomor: 2539/Pdt.G/2016/PA.Tng., tentang hak asuh anak
12
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), cet. 3, h. 82. 13
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2008), h. 141.
11
pascacerai di Pengadilan Agama Tangerang Kota, yang akan digunakan oleh
penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan tersebut dan buku-buku yang
akan membahas langsung mengenai hak asuh anak pascacerai.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka.14
Data ini terdiri atas buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang ditulis
langsung oleh penulis maupun berupa analisis dari penulis lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya
dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data
yang akan dianalisa sesuai dengan yang diharapkan. Dalam upaya mengumpulkan
data, metode yang dipergunakan sebagai berikut:
a. Studi Dokumenter
Studi dokumenter adalah suatu metode pengumpulan data
dengan menggunakan sumber dokumen tertulis yang berhubungan
dengan masalah penelitian, misalnya dari sumber dokumen, buku, koran,
dan majalah.
b. Studi Pustaka
Dilakukan untuk mendapatkan data tentang teori-teori tentang hak
asuh anak pasca cerai dalam perspektif Undang-undang.
4. Pedoman Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini memiliki dasar acuan “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan
oleh UIN Jakarta Press tahun 2017.
5. Metode Analisis Data
Tahap terakhir dalam sebuah penelitian setelah dua kesimpulan adalah
analisis data. Tahapan tersebut dilakukan dengan menganalisis data yang telah
14
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya
2005), cet. XXI, h. 6.
12
terkumpul dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan dalam penelitian.
Sedangkan kesimpulan ditarik dari metode induktif, yaitu dengan menghimpun
data dari konsep-konsep Al-Qur’an dan Hadist, serta ditunjang dalam perundang-
undangan yang diberlakukan dan Putusan tahun 2014 dan 2016 dari Pengadilan
Agama Tangerang Kota. Data yang terkumpul tersebut dianalisis dan ditarik
kesimpulannya sehingga dapat menjawab inti batasan dan rumusan masalah
penelitian.
F. Sistematika Penulisan
BAB I, Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review studi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, Berkenaan dengan hak asuh anak pasca cerai perspektif hukum
Islam dan hukum positif serta pengasuhan anak akibat perceraian.
BAB III, Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci
terkait dengan gambaran wilayah Pengadilan Agama Tangerang Kota, sekilas
tentang Pengadilan Agama Tangerang Kota, letak geografis, struktur organisasi
di Pengadilan Agama Tangerang Kota, yurisdiksi, dan kewenangan hukum.
BAB IV, Penjelasan pada bab ini yaitu menganalisis Putusan Pengadilan
Agama Tangerang Kota tentang perkara hak asuh anak yang berisi tentang
duduk perkara, pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis terhadap
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Kota dengan Nomor Perkara:
967/Pdt.G/2014/PA.Tng., dan Nomor Perkara: 2539/Pdt.G/2016/PA.Tng.
BAB V, Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari
penelitian ini agar permasalahan hadhanah dapat dijelaskan dengan baik.
13
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG HAK ASUH ANAK
A. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Islam
Secara sederhana hak asuh anak atau biasa disebut dengan Hadanah
mempunyai pengertian Ja’alahu Fi Hadhinihi menjadikannya dalam pelukan.
Dalam pengertian lain bahwa, Shana’ahu Fi Shadrihi menempatkannya di dada.
Dalam konteks Hadanah al-Thifl, Hadanah dapat diartikan dengan menjaga,
mengasuh, mendidik bayi atau anak kecil, sejak mulai lahir sampai tumbuh
dewasa, dapat menjaga, melindungi dirinya dari berbagai bahaya dan dapat hidup
secara mandiri.
Menurut Al-Shan’any, Hadanah adalah memelihara seorang anak yang
tidak bisa mandiri dan tidak bisa memelihara diri dari segala sesuatu yang dapat
merusak dan mendatangkan bahaya bagi dirinya.1 Sementara menurut Al-Sayyid
Sabiq, Hadanah mengandung arti melakukan pemeliharaan terhadap anak-anak
yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi
belum tamyiz, bisa menjaga dirinya dari sesuatu yang menyakitinya dan
merusaknya, bisa mendidik jasmani dan rohani serta akalnya yang mampu berdiri
sendiri menghadapi persoalan hidup dan memikul suatu tanggung jawabnya.2
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang
tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi
kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab
pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah
tersebut bersifat berkelanjutan sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai mumayyiz yang telah mampu berdiri sendiri.3
1 Al-Shan’any, Subul al-Salam (bandung: darus sunah.2015), h.227.
2 Sayyid Sabiq, Fiqhi Al-Sunnah Terjemahan, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
1970), h.173. 3 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.293.
14
Faktor untuk kecakapan atau kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus
ada syarat- syarat tertentu, yaitu4 :
1. Berakal sehat, disebabkan karena orang gila tidak boleh menangani dan
menyelenggarakan hadhanah.
2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang terhadap anak dan
kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya.
3. Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia
yakini atau masalah perwalian yang mana Allah swt tidak mengizinkan
terhadap orang kafir.
4. Amanah.
5. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka
ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
6. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang
lain untuk mengurusi dirinya.
7. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka
membahayakan jiwanya.5
Tugas dan kewajiban memelihara serta mengasuh anak itu pada dasarnya
merupakan tanggung jawab orang tua, ibu dan bapaknya. Tetapi apabila dalam
perkawinan itu terjadi syiqaq, dan bubar ditengah jalan, putus, terjadi perceraian,
cerai hidup, maka ibunya lebih berhak untuk mengasuh anak daripada bapaknya
selama tidak ada halangan (seperti gila). Pengasuhan dan pemeliharaan seperti itu
disebut dengan Hadanah. Selanjutnya, penggunaan istilah Hadanah itu dalam
sistem hukum di Indonesia menjadi istilah permanen yang digunakan bagi posisi
anak yang “disengketakan” pengurusannya di pengadilan akibat perceraian hidup
antara suami-isteri (ibu dengan ayahnya).
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang
tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi
4 Ibnu Qasim, Tausyih Ala Ibnu Qasim, Al-Hidayah, (Surabaya: Karya Toha Putra, 1998)
h. 234-235 5 Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa
Mandiri, 2002, h. 304
15
kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab
pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah
tersebut bersifat berkelanjutan sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai mumayyiz yang telah mampu berdiri sendiri.6
Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai masa hak asuh anak. Imam
Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan Sembilan
tahun untuk perempuan. Imam Hambali berpendapat masa asuh anak lelaki dan
perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak memilih dengan siapa ia
akan tinggal7. Menurut Imam Syafi’I berpendapat bahwa batas mumayyiz anak
adalah jika anak itu sudah berumur tujuh atau delapan tahun. Sedangkan Imam
Malik memberikan batas usia anak mumayyiz adalah 7 tahun. Berdasarkan dari
ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang terdapat di dalam QS. Lukman: 31 ayat 12-19,
setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus diajarkan orang tua
kepada anaknya seperti berikut ini :
1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT.
2. Tidak mensyariatkan Allah dengan sesuatu yang lain.
3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak.
4. Memperlakukan orang tua secara baik-baik (ma’ruf).
5. Setiap perbuatan apapun akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
6. Menaati perintah dari Allah SWT seperti shalat, amar ma’ruf dan nahi
munkar, serta sabar dalam menghadapi cobaan.
7. Tidak sombong dan angkuh.
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 (a) menyebutkan bahwa batas
mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun.8 Sedangkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak dikatakan
6 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 293. 7 http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.
Di posting oleh dunia dalam kata di 18.59 html (21April 2018) 8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
16
mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau telah melangsungkan pernikahan.9
Dasar hukum hak asuh anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Dasar hukum melakukan Hadanah adalah wajib, karena pada prinsipnya
dalam Islam bahwa anak-anak mempunyai hak untuk dilindungi, baik atau
keselamatan akidah maupun dirinya dari hal-hal yang menjerumuskan mereka ke
dalam neraka. Adapun yang menjadi dasar hukum disyariatkannya Hadanah
antara lain dalam firman Allah SWT Q.S. At–Tahrim ayat 6 yang berbunyi
sebagai berikut :
ال قدا الىاس لكم وارا أ ا ملئكت غلظ شداد ا أا الذه آمىا قا أوفسكم حجارة عل( ( ٦ التحزم فعلن ما ؤمزن ما أمزم عصن ل للا
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat
malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”.(Q.S. At-Tahrim:6)
Umar bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya, bahwa : Seorang
perempuan datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Ya Rasulullah, anak
ini telahku kandung di rahimku telah kususui dengan air susuku, telah bernafas
dikamarku, Ayahnya (suamiku) menceraiku dan menghendaki anak ini dariku”.
9 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pasal 47.
17
Rasulullah bersabda kepadanya :
عىما; أن امزأة قالت ا رسل للا إن ابى ذا للا رض 10عه عبد للا به عمز
اء, حجزي ل ح ثد ل سقاء, عاء, أراد أن ه كان بطى ل , إن أباي طلقى
اي صلى للا عل سلم أ وت أحق ب, ما لم تىكح ر تىزع مى فقال لا رسل للا
د أب دا أحمد, Artinya:
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya
minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku
ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud.”
Kalau ada anak yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang
benar maupun salah), ia bebas memilih ikut ayah atau ibunya. Sebab keduanya
mempunyai hak untuk memelihara dan anak mempunyai hak untuk memilih.11
B. Hak Asuh Anak Menurut Hukum Positif
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Pemeliharaan anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab kedua orang
tuanya, yang meliputi hal masalah pendidikan, ekonomi, kasih sayang kedua
orang tuanya dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Oleh
karena itu yang terpenting antara suami dan istri yang terpenting dalam
memelihara anak ialah kerja sama, saling mendukung dan saling tolong menolong
antara suami dan istri sampai anak tersebut tumbuh menjadi dewasa. Akan tetapi,
Faktanya dalam UU Perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus
tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas
dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para hakim masih
10
Hasan, Irwaa-ul Ghaliil (no.2187), Sunan Abi Dawud (VI/371, no. 2259). 11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana ( Cet.. VIII; Jakarta: Sinar Grafika,2014), h. 24-25
18
menggunakan kitab-kitab fiqhi. Barulah setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1999 tentang
penyebarluasan KHI, masalah Hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan
Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikannya.12
Kendati demikian, secara global sebenarnya UU Perkawinan
telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat
putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 dinyatakan:
Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai pengasuhan anak Pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semuanya biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian
bekas istri.
Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Bab X mulai
pasal 45-49. Di dalam pasal 45 dinyatakan :
(1) Kedua orang Tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang yang dimaksud di dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
yang baik.
12
Abdul Mannan, “Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum
Acara Di Peradilan Agama, dalam Mimbar Hukum No. 49 THN IX 2000, h. 69.
19
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila ada kepentingan anak
itu menghendakinya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila ada kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal:
1. Ia sangat melalaikannya terhadap anaknya.
2. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas
segala-segalanya. Terjemahnya semangat UUP sebenarnya sangat berpihak
kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh
aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang
20
memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya.13
Semangat
pengasuhan material dan non material inilah yang akan dipertegas oleh KHI.
Undang-Undang Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 jo. No. 35 Tahun
2014 Dan Convention on the Right of the Child (CRC) Tahun 1989 Dalam UU
No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 35 tahun 2014 ternyata
pada prinsipnya sama dengan yang diajarkan dari keteladanan Nabi Muhammad
saw, dan ajaran Islam memiliki kesamaan dan persamaan dengan prinsip-prinsip
dasar yang ada dalam CRC atau bisa disebut dengan Konvensi Hak Anak.
Undang-undang perlindungan Anak juga terinspirasi adanya CRC (Convention on
the Right of the Child) yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
bangsa pada tanggal 20 November 1989, telah disebutkan bahwa ada empat
prinsip dasar di dalam CRC yaitu : non discrimination, the best interest of child,
right of survival, develop and participation.14
Dalam perlindungan Konvensi Hak Anak juga mengatakan kedua orang
tua bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan bagi anak dan
pengembangan pertumbuhan bagi anaknya. Hal ini tercantum dalam pasal 27 ayat
2 yang menyatakan bahwa:
“Orang tua atau mereka yang bertanggung jawab atas anak memikul
tanggung jawab utama untuk menjamin, dalam batas-batas kemampuan dan
keuangan mereka, kondisi kehidupan yang diperlukan bagi pengembangan
anak.”15
Sehingga pengasuhan anak menjadi dasar hukum yang wajib dilakukan
bagi orang tuanya untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak-anaknya,
sebagaimana yang telah disebutkan di dalam pasal 26 Undang-undang
Perlindungan Anak bahwa:
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
13
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.I;
Jakarta: Kencana, 2004), h. 301. 14
http://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK(diakses10juni
2018)
15
Pasal 27 ayat (2) Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
21
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya.
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti
pada anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), maka hal ini dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian apabila kedua
orang tua telah bercerai maka pengasuhan dan pemeliharaan anak tetap
merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi orang tua, walaupun dari
salah satu kedua orang tuanya memiliki hak asuh anak. Akan tetapi dalam
pengasuhan dan pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknya lah yang
lebih diutamakan demi untuk kemaslahatan anak ke depannya. Hal ini
tercantum dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 jo. No.35
tahun 2014 tentang perlindungan anak yang menyatakan :
(1) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua
orang tuanya.
b.Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, perlindungan dan pendidikan
untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya; dan
c. Memperoleh hak anak lainnya;
Dari pasal di atas, hal tersebut sejalan dengan Konvensi Hak Anak (KHA)
sebagaimana penjelasan pada pasal 9 yang menyatakan bahwa pada dasarnya
seorang anak berhak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini
22
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Hak anak adalah bagian
integral dari hak asasi manusia, dan Konvensi Hak Anak merupakan bagian
integral dari instrumen internasional di bidang HAM.16
Hak anak untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tuanya jika terpisah dari salah satu atau
keduanya, maka kewajiban Negara dalam kasus dimana pemisahan seperti itu
terjadi akibat tindakan Negara. Namun dalam hal ini Negara juga berwenang atas
pemisahan anak dari orang tuanya sesuai dengan keputusan pengadilan. Oleh
karena itu dari ketentuan hukum mengenai perlindungan anak bahwa prinsipnya
yaitu pada asas kepentingan terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan
utama, sebagaimana termaktub dalam KHA (Konvensi Hak Anak) Pasal 3 Ayat 1
yang berbunyi:
“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh
pemerintah atau oleh swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintahan atau
badan-badan legislative, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi
pertimbangan utama.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengertian Hadanah juga
telah dirumuskan di dalam pasal 1 huruf (g) bahwa yang dimaksud dengan
pemeliharaan dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.17
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini, Hadanah (pemeliharaan) anak
dipegang oleh ibu yang telah diceraikan oleh suaminya. Akan tetapi, kalau sang
istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain maka gugurlah hak pemeliharaan
anak dari si ibu tadi.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 105 (a) yang mengatur tentang
hak asuh anak berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105 :
Dalam hal terjadinya perceraian :
16
https://seputarfarid.wordpress.com/2015/03/15/konvensi-hak-anak-pengalaman-di-
indonesia/ (diakses pada tanggal 10 Juni 2018) 17
Daud Ali, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Ciputat:
Logos,1999), h. 139.
23
a. Pemeliharaan anak yang ghairu mumayyiz atau belum berumur 12
tahun, adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah dan ibunya sebagai hak pemeliharaan anak;
c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung ayahnya.18
C. Pengasuhan Anak Akibat Perceraian
Pemeliharaan dan Pengasuhan anak adalah tugas dan kewajiban kedua
orang tua, karena anak yang masih kecil (ghair mumayyiz) sangat memerlukan
pengasuhan, bimbingan, dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Menurut Sayyid
Sabiq, Hadanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,
laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, bisa
menjaga dirinya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, bisa mendidik
jasmani dan rohani serta akalnya yang mampu berdiri sendiri menghadapi
persoalan hidup dan memikul suatu tanggung jawabnya.19
Menurut Rahmat
Hakim, Hadanah bermakna memelihara anak-anak yang masih kecil, baik laki-
laki maupun perempuan, atau menjaga kepentingannya karena belum dapat berdiri
sendiri, serta melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai
dengan kadar kemampuannya.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terikat tali pernikahan, tetapi berlanjut sejak terjadinya
perceraian. Apabila terjadi perceraian antara suami dengan isteri, sementara
mereka mempunyai anak yang masih kecil, maka ibu lebih berhak daripada ayah
untuk mengasuh anak tersebut, selama tidak terdapat halangan. Prioritas
pemberian hak asuh kepada ibu, karena ibu yang menyusui dan lebih dari sekedar
cakap untuk mengasuh dan merawatnya. Sosok ibu akan lebih sabar dan memiliki
kemampuan melakukan hal-hal seperti itu. Selain itu pada hakikatnya ibu
mempunyai banyak waktu dan kesempatan, sedangkan bapak tidak demikian.
Mengingat alasan-alasan itulah, ibu didahulukan daripada bapak dalam mengasuh
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.138.
19 Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 173.
24
dan merawat anak. Hal itu sejalan dengan kandungan hadis riwayat Abu Daud
dari Abdullah bin Umar, yang terjemahannya sebagai berikut:
”Telah menceritakan kepada kami Rauh dan telah menceritakan pula
kepada kami Ibnu Juraij dari „Amru bin Syuaib dari bapaknya dari Abdullah bin
„Amru, dia berkata: bahwa ada seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu
„Alaihi Wasallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini,
dulu perutku adalah tempat baginya, pangkuanku adalah rumah baginya, dan
payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi bapaknya ingin merebutnya
dariku?” Beliau menjawab: “Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu
belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad dari Abdullah ibnu Umar) Kandungan
hukum yang terdapat dalam hadis tersebut menggambarkan bahwa seorang ibu
lebih berhak dari pada bapak dalam hal mengasuh anak, apabila bapak
berkehendak mencabut hak pengasuhan dari tangan ibunya.
Dalam riwayat hadis diatas, wanita itu telah mengemukakan berbagai
alasan yang menyebabkan ibu lebih berhak daripada bapak: “Dulu perut sang ibu
adalah tempat bagi anaknya, pangkuan sang ibu adalah rumah bagi anaknya, dan
payudara sang ibu adalah tempat minum bagi anaknya”. Hal itu disahuti dan
dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mengenai kewenangan Hadanah ibu yang
disebut lebih kuat daripada bapaknya itu, di kalangan para ulama pun tidak terjadi
silang pendapat. Demikian pula di level sahabat, dan itu ditunjukkan dengan telah
dipraktikkannya hal tersebut oleh Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Ibn Khattab.
Menurut kalangan jumhur ulama, apabila ibu dari anak yang bersangkutan itu
telah nikah lagi dengan laki-laki lain, maka gugurlah hak Hadanah bagi ibunya.
Pendapat jumhur fuqaha tersebut berbanding tidak lurus dengan pendapat
Al-Hasan dan Ibnu Hazm. Mereka berpendapat, bahwa hak Hadanah tidak jatuh
dari seorang ibu walaupun sudah kawin dengan laki-laki lain. Salah satu yang
menjadi alasannya adalah suatu riwayat yang menceritakan bahwa Anas bin Malik
diasuh oleh ibunya, walaupun ia sudah kawin.
Demikian pula Ummi Salamah memelihara anak laki-lakinya setelah ia
kawin dengan Rasulullah saw., dan anak perempuan Hamzah diasuh oleh saudara
25
dari ibunya, sedangkan ia sudah kawin,berdasarkan keputusan yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw.20
Dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
akibat putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian ialah :
1. Posisi ibu atau bapak tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Hal itu semata-mata ddidasarkan atas
kepentingan anak, apabila di antara keduanya terjadi sengketa mengenai
penguasaan dan pengasuhan anak.
2. Pada dasarnya seorang bapak lah yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Apabila dalam praktiknya
bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pengadilan dapat
memutuskan seorang ibu untuk ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.21
20
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada
Jalan Keluar (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), h. 216. 21
Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
26
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA TANGERANG KOTA
A. Sejarah Singkat
Di wilayah Nusantara, sebelum pemerintahan kolonial Belanda terdapat
empat macam lembaga Pengadilan, Pengadilan Pradata, Padu, Adat dan Peradilan
Serambi. Pengadilan Pradata merupakan Pengadilan Kerajaan yang menangani
kasus-kasus tindak pidana dan kasus-kasus makar yang ditangani oleh Raja secara
langsung. Sedangkan Pengadilan Padu ditangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Raja menangani kasus-kasus perdata dan pidana ringan. Pengadilan Adat
menangani yang berhubungan dengan sengketa masyarakat adat ditangani oleh
Kepala Adat kebanyakan terdapat di wilayah Indonesia diluar Pulau Jawa.
Pengadilan Serambi, pada masa Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram,
menggantikan pengadilan Pradata yang kewenangannya meliputi kasus pidana
dan perdata. Kekuasaan Pengadilan serambi dijabat oleh Raja, akan tetapi dalam
prakteknya ditangani oleh para Penghulu yang diangkat oleh Raja. Pada awal
pemerintahan Kolonial Belanda, keberadaan Pengadilan Agama masih tetap
dipertahankan. Bahkan keberadaanya diakui dalam Staats Blaad 1882 Nomor 152
tanggal 19 Januari 1882 untuk Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura
dan dalam Staatsblaad 1937 Nomor 638 untuk Pengadilan Agama diwilayah
Kalimantan Selatan dan Timur, meliputi perkawinan, perceraian, waris dan wakaf.
Pengadilan Agama Tangerang dibentuk berdasarkan Staatsblad 1882
Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tanggal
18 Januari dengan nama Raad Agama / Penghulu Landraad.1
Pengadilan Agama Tangerang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan II,
Komplek Perkantoran Cikokol Kota Tangerang. Berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 37/KMA/SK/II/2017 tanggal 9 Februari 2017 tentang
Peningkatan Kelas Pada Dua Puluh Sembilan Pengadilan Agama Kelas I.B dan
Dua Puluh Satu Pengadilan Agama Kelas I.B menjadi Kelas I.A., status kelas
1http://www.patangerangkota.go.id/v3/2.SEKRETARIAT/sub.pegawai/profil/ProfilPAtan
geranguploadwebsite2018.pdf (diakses 11 juni 2018)
27
Pengadilan Agama Tangerang yang semula Kelas I.B meningkat menjadi Kelas
I.A. Kapasitas perkara yang ditangani setiap tahun cenderung meningkat. Tahun
2017, perkara yang ditangani Pengadilan Agama Tangerang sebanyak 2.817
perkara. Kantor Pengadilan Agama Tangerang dibangun di atas tanah
seluas+2.020 m2 dengan status tanah hak pakai berdasarkan sertifikat yang
diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Tangerang Nomor 28 dan 29 tanggal 21
September 1984 dan telah dibalik nama atas nama Pemerintah Republik Indonesia
Cq Mahkamah Agung RI. Adapun luas gedung Pengadilan Agama Tangerang
seluas+1858m2 dua lantai yang telah dibangun pada tahun 2009.
B. Letak Geografis
Alamat kantor Pengadilan Agama Tangerang Kota berada di Jl. Perintis
Kemerdekaan II Rt.07/03, Kel. Babakan Kec. Tangerang, Kota Tangerang.
Telp. (021) 552 4565 Fax. (021) 553 8573.
Wilayah Administratif daerah tingkat II kota Tangerang dilokasi sangat
strategis letak geografisnya, terutama pengembangan ekonomi wilayah dan
penduduknya secara umum. Letak geografis kota Tangerang terletak antara 66’
Lintang selatan sampai dengan 6.13’ Lintang Utara dan 106.36’ Bujur Timur
sampai dengan 106.42’ Bujur Timur. Batas wilayah :
1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan
Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang
2. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kecamatan
Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kabupaten Tangerang
3. Sebelah Timur Berbatasan dengan DKI Jakarta
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten
Tangerang
28
C. Yurisdiksi
Wilayah hukum/Yurisdiksi Pengadilan Agama Tangerang meliputi seluruh
wilayah Daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (tiga belas)
kecamatan dan 104 (seratus empat) kelurahan.2 Yaitu:
1. Kecamatan Batuceper
a. Kelurahan Poris Gaga
b. Kelurahan Batu Jaya
c. Kelurahan Batu Sari
d. Kelurahan Batuceper
e. Kelurahan Poris Gaga Baru
f. Kelurahan Kebon Besar
g. Kelurahan Poris Jaya
2. Kecamatan Cibodas
a. Kelurahan Cibodasari
b. Kelurahan Cibodas
c. Kelurahan Cibodas Baru
d. Kelurahan Panunggangan Barat
e. Kelurahan Uwung Jaya
f. Kelurahan Jatiuwung
3. Kecamatan Ciledug
a. Kelurahan Peninggilan
b. Kelurahan Sudimara Timur
c. Kelurahan Sudimara Barat
d. Kelurahan Parung Serab
e. Kelurahan Sudimara Jaya
f. Kelurahan Peninggilan Utara
g. Kelurahan Tajur
2 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kota Tangerang 2015,(Arsip Pengadilan Agama
Kota Tangerang), h.1
29
h. Kelurahan Sudimara Selatan
4. Kecamatan Larangan
a. Kelurahan Gaga
b. Kelurahan Larangan Utara
c. Kelurahan Larangan Selatan
d. Kelurahan Larangan Indah
e. Kelurahan Cipadu
f. Kelurahan Kreo
g. Kelurahan Kreo Selatan
h. Kelurahan Cipadu Jaya
5. Kecamatan Cipondoh
a. Kelurahan Gondrong
b. Kelurahan Cipondoh Indah
c. Kelurahan Petir
d. Kelurahan Poris Pelawad Indah
e. Kelurahan Cipondoh
f. Kelurahan Poris Pelawad
g. Kelurahan Cipondoh Makmur
h. Kelurahan Kenanga
i. Kelurahan Ketapang
j. Kelurahan Poris Pelawad Utara
6. Kecamatan Tangerang
a. Kelurahan Tanah Tinggi
b. Kelurahan Suka Asin
c. Kelurahan Buaran Indah
d. Kelurahan Sukarasa
e. Kelurahan Babakan
f. Kelurahan Cikokol
g. Kelurahan Sukasari
h. Kelurahan Kelapa Indah
30
7. Kecamatan Jatiuwung
a. Kelurahan Keroncong
b. Kelurahan Jatake
c. Kelurahan Pasir Jaya
d. Kelurahan Gandasari
e. Kelurahan Alam Jaya
f. Kelurahan Manis Jaya
8. Kecamatan Periuk
a. Kelurahan Gembor
b. Kelurahan Gebang Raya
c. Kelurahan Sangiang Jaya
d. Kelurahan Periuk
e. Kelurahan Periuk Jaya
9. Kecamatan Karang Tengah
a. Kelurahan Pondok Pucung
b. Kelurahan Parung Jaya
c. Kelurahan Karang Tengah
d. Kelurahan Karang Timur
e. Kelurahan Pondok Bahar
f. Kelurahan Padurenan
g. Kelurahan Karang Mulia
10. Kecamatan Neglasari
a. Kelurahan Kedaung Wetan
b. Kelurahan Karang Anyar
c. Kelurahan Neglasari
d. Kelurahan Karangsari
e. Kelurahan Selapajang Jaya
f. Kelurahan Kedaung Baru
g. Kelurahan Mekarsari
31
11. Kecamatan Karawaci
a. Kelurahan Karawaci Baru
b. Kelurahan Bojong Jaya
c. Kelurahan Nusa Jaya
d. Kelurahan Cimone
e. Kelurahan Cimone Jaya
f. Kelurahan Pabuaran
g. Kelurahan Sumur Pacing
h. Kelurahan Bugel
i. Kelurahan Marga Sari
j. Kelurahan Sukajadi
k. Kelurahan Gerendeng
l. Kelurahan Pasar Baru
m. Kelurahan Koang Jaya
n. Kelurahan Pabuaran Tumpeng
o. Kelurahan Karawaci
p. Kelurahan Nambo jaya
12. Kecamatan Pinang
a. Kelurahan Panunggangan Utara
b. Kelurahan Sudimara Pinang
c. Kelurahan Pinang
d. Kelurahan Nerogtog
e. Kelurahan Panunggangan Timur
f. Kelurahan Kunciran
g. Kelurahan Kunciran Indah
h. Kelurahan Kunciran Jaya
i. Kelurahan Cipete
j. Kelurahan Pakojan
k. Kelurahan Panunggangan
13. Kecamatan Benda
a. Kelurahan Benda
32
b. Kelurahan Jurumudi
c. Kelurahan Jurumudi Baru
d. Kelurahan Belendung
e. Kelurahan Pajang
D. Kewenangan Hukum
Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya (pasal 2 ayat 1 UU No.14 1970 tentang
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman), termasuk didalamnya menyelesaikan
perkara Voluntair (penjelasan pasal 2 ayat 1 tersebut). Berdasarkan ketentuan
undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, khususnya pasal 1,2,49 dan
penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku,
antara lain: Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, PP No.28
Tahun 1977 Tentang perwakafan tanah milik, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam, Permenag No. 2 Tahun 1987 yang diubah dengan
Permenag No. 3 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim.3
Berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa yang menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama
adalah: menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
1. Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari’ah, antara lain:
a. Izin beristeri lebih dari seorang;
3 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1996),h.1.
33
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat;
c. Dispensasi kawin;4
d, Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f. Pembatalan perkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
h. Perceraian karena talak;
i. Gugatan perceraian;
j. Penyelesian harta bersama;
k. Penguasaan anak-anak;
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. Pencabutan kekuasaan wali;
q. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
t. Penetapan asal usul seorang anak;
4 http://www.pa-tangerangkota.go.id/v3/index.php/tentang-pengadilan/tupoksi-pengadilan
(diakses pada tanggal 8 Juli 2018 – 11:39 PM)
34
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.
2. Waris
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan
dalam Al Qur’an. Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.5
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
4. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
5Hukum Islam di Indonesia, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta,1995, hal.355.)
35
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Zakat
Zakat adalah salah satu pilar penting dalam ajaran Islam. Secara
etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (an-namaa) dan berkah (al-
barakatu). Sedangkan secara terminologis, zakat mempunyai arti mengeluarkan
sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok
tertentu (Mustahik) dengan persyaratan tertentu pula.6
7. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Shodaqoh
Adapun Shodaqoh merupakan pemberian suatu benda oleh seseorang
kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah. Dan
tidak mengharapkan suatu imbalan jasa atau penggantian. Atau dapat pula
diartikan memberikan sesuatu dengan maksud untuk mendapatan pahala.7
9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
a. Bank syari’ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
6 Zakat & Empowering Jurnal Pemikiran dan Gagasan – Vol II 2009
https://www.researchgate.net/profile/Irfan_Beik/publication/281207037_Analisis_Peran_Zakat_da
lam_Mengurangi_Kemiskinan_Studi_Kasus_Dompet_Dhuafa_Republika/links/55db325508aed6a
199ac553e/Analisis-Peran-Zakat-dalam-Mengurangi-Kemiskinan-Studi-Kasus-Dompet-Dhuafa-
Republika.pdf
7 Zuhdi, Studi Hukum Islam Jilid 3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) h. 82.
36
c. Asuransi;
d. Syari’ah;
e. Reksadana syari’ah;
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. Sekuritas syari’ah;
h. Pembiayaan syari’ah;
i. Pegadaian syari’ah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
k. Bisnis syari’ah.
Kewenangan Pengadilan Agama meliputi:
1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang
menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya
perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama.
Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”.
2. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili
suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini
dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum
menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat
tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam
Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan
relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Maka
persoalan/problematik dari kompetensi absolut dari suatu peradilan
ditentukan oleh siapa pencari keadilannya dan atau apa jenis
perkaranya.8
8 https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/viewFile/16262/10808 (diakses pada tanggal 8 Juli
2018-11:20 PM
37
Sedangkan yang merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama adalah
terdapat pada pasal 49, yang berbunyi ayat (I) Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan Shadaqah.
Pada ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf
a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku. Kemudian pada ayat (3) Bidang kewarisan.
Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.9
Begitu pula tugas Pengadilan Agama Tangerang Kota adalah menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu diantara orang
Islam atau yang mewujudkan diri dengan hukum islam berupa: Perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi Syari’ah.10
Selain dari kewenangan dan tugas pokok diatas, dalam pasal 52A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama
memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah”.
Pengadilan Agama selain diberikan tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut
di atas, juga memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan seluruh jajarannya
(vide : Pasal 53 ayat Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-
9 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. Ke-9, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 28.
10 Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.34-36.
38
Undang No. 3 Tahun 2006); Serta terhadap pelaksanaan administrasi
umum. (vide : Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim
Pengawas Bidang ;
2. Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan
petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial,
administrasi peradilan maupun administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang dirubah Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009) ;
3. Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi
kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi,
perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi
peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada
semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian,
Bidang Keuangan dan Bidang Umum);
4. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat
tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya,
apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan perubahan kedua
yaitu Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;
5. Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan
penelitian serta llain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991;
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Pengadilan Agama Tangerang
dalam Tahun 2016 telah menetapkan kebijakan umum sebagai pedoman dalam
pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan memperhatikan
cetak biru (blue print) Mahkamah Agung RI dan Reformasi Birokrasi yang
dituangkan dalam 8 (delapan) area perubahan, maka Pengadilan Agama
39
Tangerang menetapkan kebijakan-kebijakan dengan skala prioritas untuk
mendukung terwujudnya visi dan misi, yaitu meliputi:11
1. Fungsi Teknis
Mengimplementasikan kebijakan-kebijakan Mahkamah Agung RI, antara lain:
a. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di
Pengadilan;
b. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2014 Tentang
Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding
Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan;
c. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
2. Manajemen Administrasi Perkara
Peningkatan penyelesian perkara dan minutasi tepat waktu dengan
mengefektifkan teknologi informasi dalam proses administrasi pengadilan.
Mengimplementasikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2014
Tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi Dan
Peninjauan Kembali.
3. Manajemen SDM (Sumber Daya Manusia)
Peningkatan kapasitas SDM, dengan melakukan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a. Pembinaan secara rutin;
b. Melaksanakan DDTK (Diklat di Tempat Kerja) terkait pelaksanaan
tupoksi;
11
http://www.pa-tangerangkota.go.id/v3/index.php/tentang-pengadilan/tupoksi-
pengadilan (diakses 11 juni 2018)
40
c. Pengawasan oleh Hakim Pengawasan Bidang;
d. Evaluasi Kerja;
e. Mengikutsertakan Hakim dan pegawai untuk diklat, bimbingan teknis atau
sosialisasi;
f. Melaksanakan pemilihan role model:
4. Manajemen Keuangan
Pengelolaan keuangan dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan pelaporan anggaran/keuangan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan teknologi informasi yaitu aplikasi RKA-KL, SAS, SAIBA, e-Rekon,
KOMDANAS.
5. Manajemen Aset
Pengelolaan BMN dengan melaksanakan pengusulan status penggunaan
BMN, penghapusan terhadap BMN yang telah rusak berat, penatausahaan BMN
dengan pemanfaatan aplikasi SIMAK BMN dan aplikasi persediaan. Sedangkan
penatausahaan BMN dalam rangka mendukung terwujudnya tertib pengelolaan
BMN adalah menyediakan data agar pelaksanaan pengelolaan BMN dapat sesuai
dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai.12
6. Keterbukaan Informasi
Mengembangkan website sebagai media informasi publik dengan
melengkapi menu informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
Visi Pengadilan Agama Tangerang Kota yaitu “Terwujudnya Pengadilan
Agama Tangerang yang Terhormat dan Bermartabat”. Misi Pengadilan Agama
Tangerang Kota yakni sebagai berikut :
12
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/view/87. Diakses pada tanggal
08 Juli 2018-11:29 PM
41
1.Mewujudkan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat Pencari Keadilan;
2.Meningkatkan Kualitas SDM yang Memiliki Kompetensi dan Integritas dalam
rangka Peningkatan Pelayanan pada Masyarakat;
3.Melaksanakan Pembinaan dan Pengawasan secara Efektifdan Efisien;
4.Melaksanakan Tertib Administrasi dan Manajemen Peradilan yang Efektif dan
Efisien;
5.Mengupayakan Tersedianya Anggaran serta Sarana dan Prasarana sesuai
Ketentuan dan Kebutuhan.
E. Struktur Organisasi Tahun 2015 - sampai sekarang
1. Ketua : Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H.
2. Wakil Ketua : Drs. H.M. Slamet Turhamun, M.H.
3. Dewan Hakim : a) Drs. Uki,
b) Dra. Yenitati, S.H,
c) Drs. Bustanuddin Jamal, M.Hum,
d) Drs. Moch. Tadjuddin, M.H,
e) H. Antung Jumberi, S.H., M.H.I., f) Dra. Marfu’ah,
g) Hj, Musidah, S.Ag., M.H.I.,
h) Dra. Aprin Astuti, M.S.I.,
i) Drs. Ali Usman
j) Endin Tajudin, S.Ag.,
k) Hj. Yayuk Afiyanah, S.Ag., M.A.,
l) Drs. Masgiri, M.H.
4. Sekretaris : Hadi Sunarso, S.E.
5. Panitera : Drs. Mukhtar, M.H.
6. Ka. Sub. Perencanaan, TI dan : Fetty Fatihatun Najihah, S.H.I
Pelaporan
7. Ka. Sub. Kepegawaian, : Nurwinda Findiani, S.E.
Organisasi, dan Tata Laksana
8. Ka. Sub. Umum dan : Hana Nuraeni, S.Sos.
Keuangan
9. Panmud Permohonan : H. Fathullah, S.H., M.H.
10. Panmud Gugatan : Mardiati, S.H., M.H.
11. Panmud Hukum : Ahmad Muhtadin, S.H.I.
12. Panitera Pengganti : Hikmah Nurmala, S.H.,
Kumalasari, S.H.,
Irvan Yunan, S.H.,
Julisnaina N.S., S.H.I.,
Hj. Mustainah, S.Pd.I., S.Sy.,
Windy Indrawati, S.E., S.H.,
42
Eka Kurniati Khadam, S.H.,
Susmakadaranipa, S.Ag.
13. Jurusita : Amin Hidayat Sanie,
Abdul Rochim,
Agus Priono, S.H.,
Dra. Hj. Lathifah, HM,
Uus Usnadi,
Endang Dwi P, S.H.,
Mardianah, S.H.,
Pradnya Paramita, A.Md.
Daftar Nama Ketua Periode 1942-Sekarang
1 KH. Djunaedi ( Periode Tahun 1942 - 1949 )
2 KH. Mhd. Sirodj ( Periode Tahun 1949 - 1954 )
3 KH. Mursan ( Periode Tahun 1955 - 1960 )
4 KH. Abdullah Mu’min ( Periode Tahun 1960 - 1965 )
5 KH. Sa’ban Salim ( Periode Tahun 1965 - 1970 )
6 KH. Yusuf Mustafa Harahap ( Periode Tahun 1970 - 1972 )
7 KH. Sumarna ( Periode Tahun 1972 - 1974 )
8 H. Halimi, BA ( Periode Tahun 1974 - 1978 )
9 Drs. Humaidi ZA ( Periode Tahun 1978 - 1979 )
10 Drs.H.Satibi Abdul Hadi ( Periode Tahun 1979 - 1980 )
11 H.Yusuf Effendi ( Periode Tahun 1980 - 1984 )
12 H. Abdullah Juki, SH ( Periode Tahun 1984 - 1987 )
13 Drs. H. Muhammad Hasyim ( Periode Tahun 1987 - 1989 )
14 Drs. H.Adurrahman Abror ( Periode Tahun 1989 - 1994 )
15 Drs. H. Zurrihan Ahmad, SH, M.Hum ( Periode Tahun 1994 - 1999 )
16 Drs.HM. Nadjmi, SH. M.Hum ( Periode Tahun 1999 -.2002 )
17 Drs.H.A.H.Chairuddin Ridwan, SH ( Periode Tahun 2002 - 2004 )
18 Drs.H.Ahmad Fathoni, SH, M.Hum ( Periode Tahun 2004 - 2007 )
19 Drs. Tata Sutayuga, SH. ( Periode Tahun 2007 - 2010 )
20 Drs. H. Ambo Asse., SH.,MH. ( Periode Tahun 2010 - 2012 )
21 Drs. H. Chazim Maksalina., MH. ( Periode Tahun 2012 - 2014 )
22 Drs. Nasirudin, MH ( Periode Tahun 2014 - 2015 )
23 Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H ( Periode Tahun 2015 -
Sekarang)
43
Daftar Pegawai dan staff pengadilan Agama Tangerang Kota
No. Uraian Jumlah
1 Pegawai 38
2 Pegawai Laki 17
3 Pegawai perempuan 21
4 Ketua 1
5 Wakil ketua 1
6 Hakim 12
7 Panitera 1
8 Sekretaris 1
9 Panitera Muda 3
10 Kasubbag 3
11 Panitera Pengganti 8
12 Jurusita 8
44
BAB IV
DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG KOTA
TENTANG HAK ASUH ANAK PASCA CERAI
A. Duduknya Perkara
1. Perkara pertama
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat permohonan pada tanggal
02 Juni 2014 yang terdaftar di Pengadilan Agama Tangerang Kota pada perkara
nomor: 967/Pdt.G/2014/PA.Tng. Penggugat telah mengajukan pokok-pokok
permasalahan dan dalam hal ini memberikan kuasa kepada 1. Subhan Aziz, SH 2.
Achmad Tadzuddin, SH, yang mana dapat peneliti deskripsikan tentang alasan-
alasan pemohon dapat mengajukan cerai gugat kepada termohon di Pengadilan
Agama Tangerang Kota sebagai berikut:
Pada tanggal 30 April 2005 telah melangsungkan pernikahan sesuai
kutipan akta nikah nomor : 410/ 91/IV/2005 tanggal 02 Mei 2005 dimana hasil
pernikahan tersebut telah lahir dua orang anak masing masing 1). ANAK I
PENGGUGAT DAN TERGUGAT, (Perempuan) lahir pada 31 Oktober 2005, dan
2) ANAK II PENGGUGAT DAN TERGUGAT (laki-laki) lahir pada 21
November 2010. Dikarenakan kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan
Tergugat sudah tidak ada lagi kecocokan dan sering terjadi pertengkaran, maka
Penggugat telah mengajukan gugat cerai melalui Pengadilan Agama Tigaraksa
yang terdaftar dengan perkara nomor 1775/Pdt.G/2013/PA.Tgrs. Atas gugatan
yang Penggugat ajukan tersebut, maka Pengadilan Agama Tigaraksa telah
menjatuhkan putusan yang hanya sebatas mengabulkan perceraian antara
penggugat dengan tergugat sebagaimana akta cerai nomor:
0132/AC/2014/PA.Tgrs, sedangkan hak untuk perwalian, pengasuhan dan
pemeliharaan anak belum ada putusan yang dimintakan oleh masing-masing
pihak, oleh karenanya diajukanlah gugatan perwalian anak ini.
Setelah adanya perceraian antara penggugat dan tergugat, pada awalnya
kedua anak tersebut diasuh dan dirawat oleh penggugat selaku ibunya, namun
45
sejak beberapa bulan terakhir anak kedua yang saat ini berusia 4 tahun 6 bulan
dikuasai pengurusan dan perawatannya oleh tergugat sementara anak pertama
tetap diasuh dan dirawat serta dibiayai semua kebutuhannya oleh penggugat
karena penggugat secara waktu dan finansial masih sanggup mengurus dan
membiayai anak-anaknya, dimana penggugat saat ini memiliki pekerjaan yang
baik. Penggugat sebagai ibu dari anak-anaknya seringkali tidak mendapatkan
kesempatan untuk sekedar bermain dengan anak kedua yang berada dalam
penguasaan tergugat, satu dan lain hal anak kedua ternyata tidak diasuh dan
dirawat langsung oleh tergugat melainkan dititipkan dirumah orang tua tergugat
dan sehari-hari dirawat dan diasuh oleh saudari perempuannya yang berada di
daerah Comal Pemalang Jawa Tengah karena Tergugat sejak tahun 2012 sampai
saat ini tidak diketahui keberadaanya, mengetahui kondisi demikian bagaimana
penggugat bisa tenang jika anaknya diasuh dan dirawat hanya oleh saudari
tergugat saja yang berada jauh dari penggugat dan tergugat sementara kakaknya si
adik ini setiap hari selalu menanyakan kabar adiknya yang berada di Pemalang.
Mengingat telah beberapa bulan lamanya penggugat menderita dan merasa
sangat bersedih melihat kondisi anak ke dua yang tidak mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari kedua orang tuanya secaralayak dan baik. Selama itu pula
penggugat mencoba untuk mendapatkan kemurahan hati tergugat agar
diperkenankan untuk dapat merawat, mendidik dan yang terutama dapat
mencurahkan kasih sayang dari penggugat kepada anak-anaknya yang sangat
memerlukannya. Dengan diberikannya hak atas perwalian, pengasuhan dan
pemeliharaan anak kepada Penggugat (ibunya) akan sangat berpengaruh positif
terhadap perkembangan kejiwaan anak dan akan berdampak positif pula terhadap
fisik kedua anak tersebut, sehingga anak tidak akan mudah sakit-sakitan serta
dapat menjadi anak yang berakti kepada kedua orang tua, agama dan bangsa di
masa mendatang.
Berdasarkan uraian di atas adalah jelas Tergugat telah melalaikan
kewajibannya dalam mengasuh dan merawat anaknya serta berselisih tidak
semestinya, sehingga akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan kedua anak
46
hasil perkawinan Penggugat dan Terguguat khusunya terhadap anak ke dua
Penggugat dan Tergugat yang saat ini di asuh dan dirawat oleh saudaranya
Tergugat. Disamping itu perlu pula dipertimbangkan akan arti pentingnya peran
ibu dalam merawat, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan penuh
sentuhan kasih sayangnya. Karenanya adalah adil dan sangat manusiawi apabila
hak perwalian, pengasuhan dan pemeliharaan atas kedua anak tersebut diberikan
kepada penggugat. Mengingat biaya yang dibutuhkan dalam mengurus dan
merwat serta mendidik anak-anak sangatlah besar, maka adil dan patut secara
hukum jika Tergugat selaku ayah dari anak-anaknya turut di bebankan untuk
menanggung biaya-biaya kebutuhan kedua anak tersebut dengan memberikan
biaya sebasar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) setiap bulannya sampai anak-anak
dewasa atau sudah menikah. Berdasarkan yurisprudensi (putusan Mahkamah
Agung RI. No. 102/K/Sip/1973 tanggal 24 April 1974) menyatakan bahwa
mengenai perwalian anak patokannya adalah ibu kandung yang diutamakan
karena kepentingan anak yang menjadi kriterum dan putusan Mahkamhah
Agugng RI. No. 906/K/Sip/1973 menyatakan, bahwa kepentingan anaklah yang
menjadi patokan untuk menentukan siapa orang tua yang diserahi pemeliharaan
anak.
Bahwa mengingat pentingnya agar kedua anak Penggugat dan Teruggat
dapat berada dilingkungan orang-orang yang mau secara tulus untuk merawat,
memlihara dan mendidik serta mencurahkan kasih sayangnya, maka adalah adil
apabila selama jalannya proses pemerikasaan perkara ini, pengasuhan dan
perawatan anak di berikan kepada Penggugat.
2. Perkara Kedua
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat permohonan pada tanggal
19 Desember 2016 yang terdaftar di Pengadilan Agama Tangerang Kota pada
perkara nomor: 2539/Pdt.G/2016/PA.Tng. Pemohon telah mengajukan pokok-
pokok permasalahan yang mana dapat peneliti deskripsikan tentang alasan-alasan
47
pemohon dapat mengajukan cerai talak kepada termohon di Pengadilan Agama
Tangerang Kota sebagai berikut:
Pada tanggal 30 Maret 2009 telah melangsungkan pernikahan sesuai kutipan
akta nikah nomor : 151/ 45/III/2009 dimana hasil pernikahan tersebut telah lahir
seorang anak yang laki-laki umur 7 tahun, pada awalnya perkawinan antara
Pemohon dan Termohon berjalan dengan baik hidup rukun dan bahagia akan
tetapi seiring dengan berjalannya waktu terjadi percekcokan dan perbedaan
prinsip yang mendalam sehingga sering terjadi pertengkaran, perselisihan semakin
hari semakin besar dan sudah tidak dapat didamaikan lagi yang akhirnya pemohon
mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama Tangerang Kota.
Keduanya telah berpisah tempat tinggal sejak bulan januari 2016 karena
Termohon pergi meninggalkan Pemohon sampai sekarang tidak pernah kembali
lagi dan tidak diketahui alamatnya. Keluarga dan tetangga Pemohon telah
berusaha menasehati dan mendamaikan keduanya, namun tidak berhasil.
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
1. Perkara Pertama
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang
diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data
yang diperoleh selama proses persidangan baik dari bukti, surat, saksi,
persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan.
Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung
jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan
dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang
ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian
mengklasifikasikan anatara yang penting dan tidak penting (mengkualifikasi), dan
menanyakan kembali kepada pihak-pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi
dan fakta-fakta yang ada.
Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara Nomor
967/Pdt.G/2014/PA.Tng, adalah bahwa Majelis hakim telah berusaha secara
48
optimal memberikan nasehat dan saran kepada Penggugat agar dapat
menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, akan tetapi tidak berhasil,
untuk selanjutnya dibacakanlah surat gugatan Penggugat tersebut dan terhadap
dail-dalil tetap dipertahankan oleh Penggugat.1
Majelis hakim juga mempertimbangkan hal lainnya yaitu, bahwa gugatan
Penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa fotokopi KTP
Nomro 3174014302800001 atas nama penggugat yang dikeluarkan oleh camat
kecamatan serpong selanjutnya diberi tanda bukti P.1, fotokopi surat keterangan
ghoib nomor 140/253/Kel.Brn-2014 yang menerangkan bahwa Tergugat sejak
tahun 2012 sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya yang dikeluarkan oleh
Lurah Buaran pada tanggal 16 September 2014, fotokopi kutipan akta nikah No.
410/91/IV/2005 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Serpong, Kota
Tangerang Selatan pada tanggal 2 mei 2015, fotokopi akta cerai Nomor
0132/AC/2014/PA.Tgrs yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa pada
tanggal 6 Desember, Fotokopi akta kelahiran nomor 474.1/1706-DKCSKB/2005
atas nama anak 1 Penggugat dan Tergugat yang dikeluarkan oleh kepala dinas
kependudkan catatan sipil dan keluarga berencana Kabupaten Tangerang pada
tanggal 22 mei 2005, Fotokopi akta kelahiran nomor 3674/LU-20012011-000523
atas nama anak II penggugat dan Tergugat, yang dikeluarkan oleh kepala dinas
kependudukan catatan sipil dan keluarga berencana kabupaten Tangerang pada
tanggal 20 Januari 2011. Seluruh fotokopi tersebut telah diberi cukup dan telah
dicocokan dengan aslinya dan ternyata sesuai. Penggugat juga menghadirkan 2
orang saksi yang menerangkan mengenai dalil gugatan pemohon yang pada
intinya menguatkan dalil-dalil permohonan pemohon dan telah berusaha
merukunkan akan tetapi tidak berhasil kini rumah tangga Pemohon pisah tempat
tinggal sejak Januari 2009.
Sebagaimana yang dimaksud dalam kompilasi hukum Islam pada 105 jelas
di nyatakan “dalam hal terjadi perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu nya” dengan penegasan
1 Pertimbangan hukum Majelis Hakim terdapat dalam putusan dengan perkara nomor
967/Pdt.G/2014/PA.Tng
49
bahwa biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya. Artinya jelas bahwa
seharusnya hak pemeliharaan dan pengasuhan terhadap kedua anak-anak adalah
Penggugat selaku ibunya mengingat perkembangan psikologi anak-anak dibawah
umur sangat di tentukan oleh kasih sayang dan belaian dari seorang ibu, agar
nantinya dapat terbentuk menjadi anak-anakyang tidak kekurangan kasih sayang
seorang ibu. Mengingat bunyi pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta dalil-dalil hukum yang berkenaan dengan perkara ini;
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
3. Menetapkan 2 (dua) orang anak Penggugat dan Tergugat masing-masing
bernama anak 1 Penggugat dan Tergugat, perempuan, lahir tanggal 31
Oktober 2004 dan Anak II Penggugat dan Tergugat, laki-laki lahir 21
November 2010, berada dibawah hadlanah (pengasuhan dan
pemeliharaan) Penggugat sebagai ibunya;
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sejumlah Rp. 591.000,- (lima ratus sembilan puluh
satu rupiah);
2. Perkara Kedua
Pada kasus ini berdasarkan surat permohonan pemohon ditambah
keterangannya di depan sidang, ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut:
a.Telah terjadi perselisihan terus-menerus antara Pemohon dengan
Termohon;
b.Keduanya telah berpisah tempat tinggal sejak bulan januari 2016 karena
Termohon pergi meninggalkan Pemohon sampai sekarang tidak pernah
kembali lagi dan tidak diketahui alamatnya;
c.Keluarga dan tetangga Pemohon telah berusaha menasehati dan
mendamaikan keduanya, namun tidak berhasil.
50
Menurut pasal 1 UU No.1 tahun 19742 perkawinan adalah ikatan lahir dan
bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa. Sejalan hal tersebut bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan
adanya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah; Dari ketentuan al-Qur’an
dan UU No.1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang sangat
fundamental dalam perkawinan sudah tidak ada lagi dan hal tersebut menunjukan
bahwa sebenarnya perkawinan Pemohon dengan Termohon sudah pecah, apalagi
Pemohon di depan sidang telah menyatakan tidak mau lagi mempertahankan
rumah tangganya dan pemohon bersikeras menyatakan ingin mentalak
termohon,Mempertahankan perkawinan (rumah tangga) yang demikian adalah
suatu perbuatan yang sia-sia karena dapat mengakibatkan akses-akses yang
negatif bagi semua pihak, bahkan dapat menjadi neraka duniawi bagi pihak-pihak
yang bersangkutan; Pemohon telah menunjukan tekadnya yang kuat untuk
mentalak Termohon, hal tersebut menunjukan bahwa rumah tangga Pemohon
dengan Termohon tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak mungkin Pemohon
akan mengakhiri perkawinannya dengan perceraian seandainya masih ada cara
untuk mempertahankan perkawinan tersebut; Tentang masalah apa dan siapa yang
menjadi penyebab terjadinya pertengkaran, tidak patut dibebankan ke salah satu
pihak dan tidak perlu dicari-cari, karena mencari-cari kesalahan satu pihak justru
menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi kedua belah pihak, hal ini sesuai
dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38/K/AG/1996 tanggal 5 oktober
1996.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
berpendapat bahwa alasan hukum yang diajukan oleh Pemohon untuk mentalak
Termohon telah sesuai dengan maksud pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 jo. Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah tersebut jo. Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, sehingga permohonan Pemohon dapat
dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah
2 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang hukum perdata, h. 549-550.
51
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap; Dan karena Termohon telah tidak
datang menghadap meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, dan ketidak
datangannya tersebut tidak didasarkan atas alasan yang sah dan dibenarkan oleh
undang-undang dan permohonan Pemohon tidak melawan hukum serta beralasan,
oleh karenanya berdasarkan pasal 126 HIR, permohonan Pemohon harus diputus
dengan verstek; Perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai ketentuan
pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada Pemohon. Terhadap
alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, permohonan pemohon
untuk bercerai dengan termohon cukup beralasan dan tidak melawan hukum, dan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat
permohonan pemohon dapat diterima.3 Selanjutnya dibacakanlah amar putusan
dari majelis hakim yang berisi sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;
3. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menetapakan ikrar
thalak terhadap termohon di depan sidang Pengadilan Agama
Tangerang;
4. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah).
C. Analisa Penulis
Dalam hal ini penulis melihat pertimbangan hukum yang diberikan
Majelis Hakim dapat dilihat untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak. Dari
pasal 14 UU No. 23 tahun 2002 anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Kecuali ada hal yang menentukan yang lain. Kemudian berdasarkan pasal 105
Huruf (a) KHI inpres No. 1 1991 yang berbunyi apabila terjadi perceraian maka
3 Pertimbangan hukum Majelis Hakim terdapat dalam putusan dengan perkara nomor
2539/Pdt.G/2016/PA.Tng
52
pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya. Pemeliharaan anak pasca cerai (hadonah) pelaksanaanya tidak sebatas
kegiatan formalitas yang begitu saja tanpa dibarengi dengan mendidik yang
bertujuan untuk menjadikan anak sehat baik fisik maupun psikisnya salah satu hal
penting yang mungkin kuran dipertimbangkan oleh kedua orang tua ketika terjadi
perceraian adalah tanggung jawab kedua orang tua, baik ketika orang tuanya
masih hidup atau hilang tidak diketahui keberadaanya atau juga karena terjadi
perceraian. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal di antaranya masalah ekonomi,
pendidikan dan masalah-masalah lain yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Dalam pemeliharaan dan pendidikan yang baik adalah menjaga dan
mengatur segala hal yang anak-anak itu belum mampu dan sanggup mengaturnya
sendiri, maka dalam pemeliharaan dan pengasuhan oleh kedua orang tuanya yakni
bapak dan ibunya, sehingga anak akan dapat tumbuh sehat jasmani dan rohaninya.
Akan tetapi seandainya kedua orang tua terpaksa bercerai, sedangkan keduanya
mempunyai anak yang belum mumayyiz, maka ibualah yang lebih berhak untuk
medidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.
Hak pemeliharaan di dalam pasal 41 undang-undang Nomor 41 undang-
undang No. 1 tahun 1974,4 sekalipun kedua orang tua anak tersebut sudah tidak
bersama lagi dalam hal ini adalah cerai, baik ibu ataupun ayah dari anak tersebut
tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut, semata-mata demi
kepentingan sianak. Jika terjadi sengketa mengenai hak pemeliharaan anak sudah
jelas hakim Pengadilan Agama yang akan memberi putusannya, sesuai dengan
bukti-bukti dan keterangan dari saki-saksi yang diajukan ke Pengadilan Agama
dalam persidangan. Karena dalam masalah hak asuh anak adalah persoalan yang
menyangkut masa depan lahir dan bathin, perkembangan moral akhlak,
pendidikan agama seorang anak.
Dengan demikin penamaan aqidah, budi pekerti dan akhlak sejak dini
menjadi penting untuk perkembangan jiwa si anak. Karena tentunya sebgai orang
tua menginginkan anak hasil perkawinan mereka dapat terpelihara agama, jiwa,
4 http://arifrohmansocialworker.blogspot.com/2011/02/undang-undang-republik-
indonesia-nomor_3072.html (diakses pada tanggal 8 Juli 2018-12:30 PM)
53
harta, serta keturunan, dan kehormatannya. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan
dari Hukum Islam. Karena pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak
dalam pengakuan ibu dan bapaknya, dengan adanya pengawasan dan perlakuan
akan dapat menumbuhkan jasmani dan akhlaknya, membersihkan jiwanya, serta
mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.
Kemudian KHI memperjelas lagi dalam pasal 156 yang berbunyi : Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita gadis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz barhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau dari ibunya
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah juga.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurusi diri sendiri sampain 21 tahun.
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak. Pengadilan
agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut
padanya.
54
Dalam melaksanakan hadhanah bagi suami isteri yang bercerai jika anak
tersebut belum mumayyiz maka ibulah yang lebih berhak dari pada ayah. Namun,
dalam hal ini untuk mendapatkan atau melaksanakan hadhanah bukanlah suatu hal
yang mudah. Karena walaupun hadhin adalah orang tua kandung si anak atau dari
kalangan ibu secara berurutan bukan berarti ia begitu saja menguasai atau dapat
melaksanakan hadhanah tetapi ia juga harus amanah, dna mampu mendidik. Tidak
hanya seorang hadhin harus mempunyai kemampuan secara materi saja.
Dalam kasus ini penulis telah melihat pertimbangan-pertimbangan.
Majelis Hakim yang sangat releven tidak ada terjadinya pluralisme dalam
pengasuhan anak. Agar tidak terjadinya kekhawatiran tersebut hak pemeliharaan
dan pengasuhan anak sebaiknya diteteapkan dan diserahkan kepada orang yang
memnuhi syarat-syarat pengasuhan anak yang sesuai dengan kemampuannya.
Tidak selamanya hadhanah itu jatuh kepada ibu, bahkan juga jatuh kepada
garis keturunan ibu ke atas. Sang bapak pun mempunyai hak yang sama dengan
ibu, akan tetapi di dalam Islam ibu dan garis keturunan ibu yang menjadi prioritas
dalam pengasuh anak dengan catatan ibu harus memnuhi persyaratan yang ada.
Karena dalam hal pengasuhan anak ini yang pertama harus diperhatikan adalah
kepentingan anak tersebut dan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk
memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian, dalam hal
ini Majelasi Hakim mengutamakan bagaimana memberi perlindungan dan
kebaikan anak demi kemaslahatan dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
oleh orang tuanya.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan uraian dari bab sebelumnya, maka penulis
mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Disparitas hak asuh anak pasca perceraian dalam putusan PA tangerang
kota tahun 2014 dan 2016, Nomor perkara 967/Pdt.G/2014/PA.Tng.,
berdasarkan putusan jelas tergugat telah melalaikan kewajibannya dalam
mendidik dan merawat anaknya serta berselisih tidak semestinya, sehingga
akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan kedua anak hasil
perkawinan Penggugat dan Tergugat khususnya terhadap anak ke dua
penggugat dan tergugat yang saat ini diasuh dan dirawat oleh saudara
tergugat. Disamping itu perlu pula dipertimbangkan akan arti pentingnya
peran ibu dalam merawat, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan
penuh sentuhan kasih sayangnya. Sedangkan Nomor perkara
2539/Pdt.G/2016/PA.Tng. dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sangat
fundamental dalam perkawinan sudah tidak ada lagi dan hal tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya perkawinan Pemohon dengan Termohon
sudah pecah, apalagi Pemohon di depan sidang telah menyatakan tidak
mau lagi mempertahankan rumah tangganya dan pemohon bersikeras
menyatakan ingin mentalak termohon, keduanya telah berpisah tempat
tinggal sejak bulan Januari 2016, karena termohon pergi meninggalkan
pemohon sampai sekarang tidak pernah kembali lagi dan tidak diketahui
alamatnya.
Terlihat disparitas dari kedua putusan tersebut yaitu pada perkara
nomor 967/Pdt.G/2014/PA.Tng., hak asuh anak jatuh ke tangan ibu dan
perkara nomor 2539/Pdt.G/2016/PA.Tng., hak asuh anak jatuh ke tangan
bapak, sedangkan dalam pasal 105 KHI anak yang belum mumayyiz hak
asuhnya jatuh ke tangan ibunya akan tetapi pada putusan nomor
56
2539/Pdt.G/2016/PA.Tng. hak asuh anak bisa jatuh ke tangan bapak.
Dalam memutus perkara tersebut tentu majelis hakim mempunyai dasar
dalam mengambil keputusan diantaranya adalah dengan menggunakan:
Pasal 1 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 14
undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Pasal 19
huruf F Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 Jo. Pasal 22 ayat 2
Peraturan Pemerintah, Pasal 41 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Pasal 116 poin b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menyatakan: “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya”. KHI inpres No 1 Tahun 1991 dasar
hukum ini sesuai dengan kepentingan anak yang belum mumayyiz.
2. Selain menggunakan pasal sebagai dasar pertimbangan yang dipakai oleh
Majelis Hakim dalam menghadapi perkara, bahwa majelis hakim juga
telah berusaha secara optimal memberikan nasehat dan saran kepada
penggugat dan pemohon agar dapat menyelesaikan permasalahannya
dengan musyawarah akan tetapi tidak berhasil, dan Majelis Hakim juga
mempertimbangkan dengan cara melihat kesenangan bathin serta demi
kepentingan pertumbuhan dan pendidikan yang kesemuanya itu demi
kebaikan anak tersebut di masa mendatang.
3. Hak-hak anak tercantum dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 jo. No.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang menyatakan :
(1) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepntingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan
kedua orang tuanya.
57
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, perlindungan, dan juga
pendidikan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya
c. Memperoleh hak anak lainnya;
Dari pasal di atas, hal tersebut sejalan dengan Konvensi Hak Anak (KHA)
sebagaimana penjelasan pada pasal 9 yang menyatakan bahwa pada dasarnya
seorang anak berhak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Hak anak adalah bagian
integral dari hak asasi manusia, dan Konvensi Hak Anak merupakan bagian
integral dari instrumen internasional di bidang HAM. Hak anak untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tuanya jika terpisah dari salah satu atau
keduanya, maka kewajiban Negara dalam kasus dimana pemisahan seperti itu
terjadi akibat tindakan Negara. Namun dalam hal ini Negara juga berwenang atas
pemisahan anak dari orang tuanya sesuai dengan keputusan pengadilan. Oleh
karena itu dari ketentuan hukum mengenai perlindungan anak bahwa prinsipnya
yaitu pada asas kepentingan terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan
utama.
B. Saran
Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan diatas, sebagai catatan akhir
maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Niat pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri harus dilandasi
dengan cinta dan kasih sayang. Karena pernikahan tersebut juga diniatkan
untuk membentuk keluarga yang kekal dan abadi agar terbentuk keluarga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
2. Jika perceraian tidak bisa terhindar maka pihak yang diberi kuasa hak asuh
anak hendaklah menjalankan kewajibannya sesuai amanah yang diberikan
kepadanya.
3. Anak merupakan buah hati, anugerah dari Allah swt maka dari itu
merawat serta mendidiknya dengan baik merupakan kewajiban orang tua,
58
sehingga kelak ia akan menjadi anak yang berbudi luhur dan berakhlak
mulia.
4. Kepada para suami dan istri yang ingin mengakhiri perkawinannya di
Pengadilan Agama lebih baik memikirkan kembali atas keputusan yang
akan diambil. Karena jika itu terjadi maka pada akhirnya yang menjadi
korban yaitu anaknya sendiri akibat perceraian kedua orang tuanya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 2007.
Ali, Daud, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Ciputat:Logos, 1999.
Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001, cet. 3.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, cet.VIII.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen
Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Jakarta: Laksana, 2003.
Mannan, Abdul, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik
Hukum Acara Di Peradilan Agama dalam Mimbar Hukum, 2000.
Marzuki, Peter Muhammad, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008.
Minstry for Women’s Empoworment Republic of Indonesia and Department of
Social Affair Republik of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number
23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta
Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Pasha, Musthafa Kamal, Fikih Islam, Yogyakarta:Citra Karsa Mandiri, 2002.
Qasim, Ibnu, Tausyih Ala Ibnu Qasim, Surabaya: Al-Hidayah, 2005.
Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, Cet 9.
Romli, Atmasasmita (ed) , Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
1997.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1970, Jilid 1.
60
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu Masuk Tentu
Ada Jalan Keluar, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994.
Shafiyarrahman, Hadian Abu. Hak-hak Anak dalam Syariat Islam dari Janin
hingga Paska Kelahiran, Muntilan: Al-Manar, 2003.
Shan’any-Al, Subul al-Salam, Bandung: Darus Sunah, 2015.
Soebekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2003.
Syaifullah, dkk., Undang-Undang Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Padang Sumbar:
Praninta Offset, 2008.
Visi Media, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Jakarta: Visi Media, 2007. Zuhdi, Studi Hukum Islam Jilid 3 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Peraturan Perundang-undangan
Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
Bandung: Citra Umbara
Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 47 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Sumber Internet
http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.html
(diakses 21 April 2018)
http://www.pa-tangerangkota.go.id/v3/index.php/tentang-pengadilan/profil-
pengadilan/struktur-organisasi (diakses 11 juni 2018)
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/view/87.
(diakses 8 Juli 2018)
https://www.researchgate.net/profile/Irfan_Beik/publication/281207037_Analisis_
Peran_Zakat_dalam_Mengurangi_Kemiskinan_Studi_Kasus_Dompet_Dh
uafa_Republika/links/55db325508aed6a199ac553e/Analisis-Peran-Zakat-
dalam-Mengurangi-Kemiskinan-Studi-Kasus-Dompet-Dhuafa-
Republika.pdf