Upload
voduong
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DIVERSITAS LUMUT EPIFIT
DI TIGA PERKEBUNAN TEH JAWA BARAT
HILDA AKMAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Diversitas Lumut
Epifit di Tiga Perkebunan Teh Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
Hilda Akmal NRP.G353090301
ABSTRACT
HILDA AKMAL. Diversity of Epiphytic Bryophytes at Three Tea Plantations in West Java. Supervised by SRI SUDARMIYATI TJITROSOEDIRDJO, NUNIK SRI ARIYANTI and SULISTIJORINI.
Study on the epiphytic bryophytes was conducted at three tea plantations located at different elevation in West Java: Gunung Mas (600 m) Bogor, Nirmala (1150 m) Sukabumi, Rancabali (1628 m) Bandung. Three plots were established within each tea plantation, three transects of 30 m were lined in each plot. Samples were collected from the trunk and primary branches of five tea trees in each line transect. The aims of this study were to record the epiphytic bryophytes species of the plantations and to compare diversity of the bryophytes community among the plantations. Ninety species of epiphytic bryophytes were recorded. Checklist of those species were provided in this paper. The bryophytes species richness of the plantations increased with increasing of the elevation. Twenty seven species were found at Gunung Mas, 40 species at Nirmala, and 74 species at Rancabali. The plantations were dominated by different species. The dominant species were Sematophyllum tristiculum (mosses) at Gunung Mas, Lejeunea anisophylla (liverworts) at Nirmala, and Acanthocoleus javanicus (liverworts) at Rancabali. The species composition of the bryophytes communities of Gunung Mas was more similar to that of Nirmala compared to that of Rancabali.
Keywords: Bryophyte, diversity, elevation, epiphyte, tea plantation
RINGKASAN
HILDA AKMAL. Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh Jawa Barat. Dibawah bimbingan SRI SUDARMIYATI TJITROSOEDIRDJO, NUNIK SRI ARIYANTI dan SULISTIJORINI.
Lumut (bryophyte) merupakan kelompok tumbuhan terbesar kedua setelah Angiosperma. Hutan hujan di kawasan tropik merupakan salah satu habitat dengan keanekaragaman lumut yang tinggi. Penelitian tentang flora lumut di pulau Jawa telah berlangsung lama, yaitu sejak hampir dua ratus tahun yang lalu. Sesudah tahun 1960 hanya sedikit studi floristik tentang lumut yang dilakukan di pulau Jawa. Dari beberapa penelitian lumut akhir-akhir ini masih diperoleh catatan baru untuk flora lumut di Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa data tentang flora lumut di pulau Jawa sampai saat ini masih belum lengkap. Penelitian dan eksplorasi yang ada umumnya dilakukan pada komunitas lumut di hutan alam, penelitian terhadap lumut di luar kawasan hutan alam masih sangat jarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mencatat keanekaragaman jenis lumut epifit di tiga perkebunan teh pada elevasi berbeda di Jawa Barat, dan membandingkan diversitas lumut epifit pada perkebunan teh tersebut. Keanekaragaman jenis lumut disajikan dalam bentuk daftar jenis (checklist) lumut epifit di tiga perkebunan teh. Diversitas komunitas lumut epifit dibandingkan berdasarkan kekayaan, komposisi, dan dominansi jenis, serta kemelimpahan total lumut.
Pengambilan sampel lumut dilakukan di tiga perkebunan teh yaitu di Gunung Mas (600 m dpl), Nirmala (1150 m dpl), dan Rancabali (1628 m dpl). Di setiap perkebunan teh dibuat tiga plot penelitian masing-masing berukuran 30 m x 20 m, jarak antar plot minimal 500 m. Pada setiap plot dibuat tiga transek, jarak antar transek 5 m. Pada setiap transek ditentukan 5 sampel tanaman teh, berjarak 5 m. Persentase penutupan oleh setiap jenis lumut dan penutupan oleh total lumut pada setiap sampel tanaman teh dicatat. Sebagai data pendukung dicatat pula penutupan tanaman teh oleh liken dan tumbuhan paku. Sampel lumut diambil dari batang dan cabang primer pada setiap sampel tanaman teh. Sampel lumut dari lokasi diidentifikasi dengan mengamati ciri-ciri spesifik gametofit dan sporofitnya menggunakan mikroskop, dilanjutkan dengan dokumentasi.
Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 90 jenis lumut epifit dari tiga perkebunan teh, mencakup 42 jenis lumut hati dan 48 jenis lumut sejati. Lumut epifit yang dilaporkan pada penelitian ini termasuk dalam 48 marga dan 25 suku. Lejeuneaceae memiliki jumlah jenis paling tinggi (26 jenis), diikuti Sematophyllaceae (9 jenis), dan Frullaniaceae (7 jenis). Perkebunan Rancabali memiliki diversitas lumut paling tinggi, diikuti oleh Nirmala dan Gunung Mas. Di Rancabali ditemukan 38 jenis lumut sejati dan 36 jenis lumut hati, namun tidak ada jenis lumut sejati yang memiliki nilai INP lebih dari 10%. Rancabali terletak pada lokasi tertinggi dengan elevasi 1628 m dpl, lebih tinggi dari Nirmala dan Gunung Mas. Sebaliknya perkebunan teh Gunung Mas dengan elevasi paling rendah (600 m dpl) memiliki kekayaan jenis lumut epifit paling rendah. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembapan) yang ideal di Rancabali untuk pertumbuhan lumut, diduga menyebabkan lebih banyak jenis lumut epifit yang ditemukan dan masing-masing berkompetisi sehingga tidak ada jenis-jenis lumut yang
kemelimpahan totalnya sangat berbeda dari jenis-jenis lainnya. Komunitas lumut epifit di Rancabali dan Gunung Mas memiliki kesamaan komposisi yang paling kecil (38%) dibandingkan antara Rancabali dan Nirmala (51%), maupun antara Nirmala dan Gunung Mas (54%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar perbedaan elevasi antar lokasi semakin kecil kesamaan komunitas lumut antar keduanya. Di perkebunan teh Rancabali dijumpai 74 jenis lumut epifit, 41 jenis di antaranya tidak ditemukan di lokasi perkebunan lainnya. Acanthocoleus javanicus merupakan jenis lumut hati yang dominan di Rancabali, Lejeunea anisophylla di Nirmala, dan Sematophyllum tristiculum dominan di Gunung Mas. Rata-rata penutupan tanaman teh oleh lumut paling rendah di Nirmala. Hal ini diduga berhubungan dengan ukuran tajuk tanaman teh Kata kunci: Lumut, epifit, perkebunan teh, elevasi, diversitas
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DIVERSITAS LUMUT EPIFIT DI TIGA PERKEBUNAN TEH JAWA BARAT
HILDA AKMAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Harry Wiriadinata
Judul Tesis : Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh Jawa Barat
Nama : Hilda Akmal
NIM : G353090301
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc Ketua
Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si Dr.Ir.Sulistijorini, M.Si Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Tumbuhan
Dr.Ir. Miftahudin, M.Si Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 17 April 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala kasih sayang NYA sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penelitian berjudul “Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh Jawa Barat” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penelitian ini dibiayai oleh proyek Fundamental DIKTI tahun 2010 atas nama Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, MSc; Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi; dan
Dr. Ir. Sulistijorini, MSi; sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan selama penelitian dan penulisan laporan ini.
2. Dr. Ir. Aris Tjahyoleksono, DEA, sebagai wakil Program Studi Biologi Tumbuhan, yang telah memberikan saran dan masukan.
3. Dr. Harry Wiriadinata selaku penguji, yang telah banyak memberikan saran dan masukan.
4. Departemen Biologi FMIPA-IPB, yang telah memberikan kesempatan dan penugasan, sekaligus menjadi penyandang dana bagi penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Dekan FMIPA-IPB, Rektor IPB, yang telah memberikan kesempatan, izin dan penugasan bagi penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi.
7. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Penunjang di Departemen Biologi, yang telah memberikan bantuan dan dukungannya.
8. Pimpinan serta staf Perkebunan Teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali, atas izin dan bantuan yang diberikan kepada penulis untuk pengambilan sampel lumut di lokasi perkebunan.
9. Rekan-rekan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi: bapak Sunaryo, bapak Suparman, Saiful Bachri, SSi, Marinda Sari Sofiyana, SSi, Fibo dll, atas bantuan, kerjasama, dan semangat yang telah diberikan.
10. Sdri. Indah Wahyuni, SSi dan bapak Setiabudi S.Hut di Herbarium BIOTROP (BIOT), atas bantuan dan kerjasamanya.
11. Hadisunarso, Okkie Senna Maladi, mama Damuniar, ibu Umi Kalsum, ibu Sumarsinah, kakak-kakak dan adik-adik atas dorongan semangat, pengorbanan, doa dan kasih sayangnya selama penulis menempuh studi.
12. Semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Harapan penulis, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca
yang memerlukan.
Bogor, Juni 2012 Hilda Akmal
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 1 September 1954 dari ayah
Drs. Akmal Yunus dan ibu Damuniar Kamal. Penulis adalah anak keempat dari
tujuh bersaudara.
Pada tahun 1974 penulis lulus dari SMA Gabungan Jayapura, dan pada
tahun yang sama diterima di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta. Selama kuliah penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi
Hewan dan Histologi, selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1980 penulis lulus sebagai sarjana dari
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Pada tahun 1981 sampai dengan 1982 penulis menjadi staf pengajar tidak
tetap untuk mata kuliah Biologi dan Genetika di FKIP Universitas Cendrawasih
Jayapura. Selanjutnya pada tahun 1982 penulis diterima menjadi staf pengajar di
Jurusan Biologi FMIPA IPB, dan dari tahun 1983 sampai dengan tahun 1990
menjadi koordinator praktikum mata kuliah Biologi TPB. Pada tahun 1989 sampai
dengan 1991 penulis menjadi Ketua Komisi Pendidikan Jurusan Biologi FMIPA
IPB, dilanjutkan menjadi Ketua PAP FMIPA IPB sampai dengan tahun 2000.
Saat ini penulis dipercaya sebagai koordinator mata kuliah Anatomi dan
Morfologi Tumbuhan, sebagai Ketua Paguyuban Departemen Biologi FMIPA
IPB, dan sebagai konselor mahasiswa TPB IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR............................................................................... xii
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
Peranan Ekologi dan Potensi Lumut............................................... 4
Keanekaragaman Jenis Lumut di Berbagai Habitat........................ 4
Keanekaragaman Jenis Lumut pada Elevasi yang Berbeda............ 6
Penelitian Lumut di Perkebunan Teh ........................................... 7
METODE PENELITIAN ....................................................................... 9
Lokasi Penelitian ............................................................................ 9
Pengambilan Sampel Lumut .......................................................... 10
Identifikasi Sampel Lumut ............................................................ 12
Analisis Data .................................................................................. 12
HASIL ..................................................................................................... 15
Checklist Lumut Epifit di Perkebunan Teh Jawa Barat: Gunung Mas, Nirmala dan Rancabali..........................................................
15
Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh pada Elevasi Berbeda ..........................................................................................
18
PEMBAHASAN ..................................................................................... 25
Checklist Lumut Epifit di Perkebunan Teh Jawa Barat: Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali ........................................................
25
Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh pada Elevasi yang Berbeda..................................................................................
26
SIMPULAN ............................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 35
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Elevasi, kisaran kelembapan, kisaran suhu, dan rata-rata curah hujan di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali............... 9 2. Checklist lumut epifit di tiga perkebunan teh Gunung Mas (GM),
Nirmala (NR), dan Rancabali (RB), Jawa Barat ...................................... 15
3. Daftar jenis lumut sejati dan lumut hati dengan indeks nilai penting (INP) lebih dari 10% di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali............................................................................. 21
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi pengambilan sampel lumut di tiga perkebunan teh Jawa Barat: Gunung Mas (A), Nirmala (B), dan Rancabali (C)................ 9
2 Skema plot dan penentuan sampel tanaman teh dalam setiap plot di perkebunan teh...................................................................................... 10
3 Sampel tanaman teh dengan jenis-jenis lumut epifit (a) dan sampel lumut yang dikoleksi sebagai spesimen herbarium (b)................. 11
4 Alur identifikasi spesimen lumut di laboratorium .....................................11
5 Total jenis lumut di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan
Rancabali (a), rata-rata jumlah jenis lumut per tanaman teh dan rata-rata jumlah jenis lumut per plot (b) di masing-masing perke- bunan teh................................................................................................... 19
6. Total jumlah jenis lumut epifit dan indeks similaritas Sorensen
(ISS) pada dua perkebunan teh yang dibandingkan: Gunung Mas (GM) vs. Nirmala (NR), Gunung Mas vs. Rancabali (RB), dan Nirmala vs. Rancabali.............................................................................. 20
7. Rata-rata persentase penutupan oleh total lumut, liken, dan tumbuhan paku, terhadap batang dan cabang primer tanaman teh di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali ............................................. 23
8. Rata-rata diameter tajuk sampel tanaman teh di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali .................................................... 23
PENDAHULUAN
Lumut (bryophyte) merupakan kelompok tumbuhan terbesar kedua setelah
Angiosperma. Saat ini diperkirakan ada sekitar 15000 jenis lumut meliputi lumut
hati (liverworts), lumut sejati (mosses), dan lumut tanduk (hornworts) (Gradstein
et al. 2001). Diperkirakan sebanyak 1196 jenis lumut ada di pulau Jawa, meliputi
554 jenis lumut hati dan 14 jenis lumut tanduk (SÖderstrÖm et al. 2010), serta 628
jenis lumut sejati (Tan & Iwatsuki 1999).
Penelitian tentang flora lumut di pulau Jawa telah berlangsung lama,
dilakukan sejak hampir dua ratus tahun yang lalu, terutama dilakukan pada masa
penjajahan Belanda (Schiffner 1900; Verdoorn 1930), namun tidak berlanjut
dalam waktu yang cukup lama. Sesudah tahun 1960 hanya sedikit studi floristik
tentang lumut yang dilakukan di pulau Jawa, oleh karena itu pengetahuan tentang
flora lumut di pulau Jawa sampai saat ini belum lengkap. Beberapa penelitian
lumut yang dilakukan akhir-akhir ini melaporkan masih ada catatan baru untuk
flora lumut di Jawa (Tan et al. 2006; Haerida et al. 2010; Gradstein et al. 2010).
Lumut dijumpai di semua tipe habitat kecuali di laut (Tan & PÖcs 2002),
tumbuh di berbagai substrat baik di tanah, di bebatuan, pada kayu yang melapuk,
tumbuh sebagai epifit di batang pohon, dan substrat lainnya (Gradstein et al.
2001). Hutan hujan di kawasan tropik merupakan salah satu habitat dengan
keanekaragaman lumut yang tinggi. Dua pertiga dari total keanekaragaman lumut
dunia dijumpai di hutan hujan tropik (Gradstein & PÖcs 1989). Selain dipengaruhi
iklim persebaran lumut juga ditentukan oleh iklim mikro (suhu, kelembapan
udara, intensitas cahaya, dan ketersediaan substrat). Oleh karena itu dijumpai
diversitas lumut yang bervariasi di berbagai tipe habitat pada iklim yang sama,
seperti di kawasan Asia tropik pada habitat hutan alam (Gradstein & Culmsee
2010), pada hutan perkebunan (Sporn et al. 2007), pada perkebunan monokultur
(Ariyanti et al. 2008; Suleiman et al. 2009), dan di hutan kota (kebun raya)
(Apriana 2010; Junita 2010; Wahyuni 2010).
Perkebunan teh (Camellia sinensis) merupakan perkebunan monokultur
dengan tanaman teh yang dipelihara sebagai perdu dengan tinggi kurang dari 150
cm. Perkebunan teh memerlukan lingkungan yang hangat dan lembap dengan
2
suhu rata-rata lebih dari 15OC (Ohsawa 1982). Penelitian lumut di perkebunan
teh belum banyak dilakukan. Informasi lumut di perkebunan teh yang ada berasal
dari eksplorasi singkat yang dilakukan Pancho (1979), Tan et al. (2006), dan
Gradstein et al. (2010). Penelitian tentang kemelimpahan dan jenis-jenis lumut
umum dan dominan di perkebunan teh belum dilakukan.
Perkebunan teh di Indonesia umumnya berada pada ketinggian 600 m dpl
sampai sekitar 2000 m dpl. Beberapa penelitian tentang keanekaragaman lumut
pada elevasi berbeda telah dilaporkan namun semuanya dilakukan pada tipe
habitat hutan alam (Enroth 1990; Grau et al. 2007; Gardstein & Culmsee 2010;
Chantanaorrapint 2010; Ariyanti & Sulistijorini 2011). Penelitian tentang
keanekaragaman lumut pada elevasi berbeda di habitat perkebunan belum
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencatat keanekaragaman jenis lumut
epifit di tiga perkebunan teh di Jawa Barat, dan membandingkan diversitas lumut
epifit di tiga perkebunan teh tersebut yang terletak pada elevasi berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA
Lumut adalah tumbuhan tingkat rendah dengan ciri-ciri antara lain:
umumnya berukuran kecil, memiliki profil yang umumnya rendah dengan tinggi
sekitar 1-2 cm. Lumut pada umumnya tidak mempunyai jaringan pembuluh dan
tanpa kutikula atau dengan kutikula yang sangat tipis, dinding sel tanpa diperkuat
oleh lignin. Lumut adalah tumbuhan poikilohidrik, bergantung pada kelembapan
yang ada di lingkungannya. Pada periode kering lumut bersifat dorman, pada saat
kondisi lingkungan menjadi basah lumut segera menyerap air untuk aktivitas
fotosintesis. Lumut berkembang biak dengan spora, pergiliran generasi
didominasi oleh gametofit (Gradstein et al. 2001).
Dewasa ini diperkirakan terdapat lebih dari 15000 jenis lumut yang
termasuk ke dalam 1200 marga dengan persebaran yang luas. Tiga divisi lumut
meliputi: Marchantiophyta (lumut hati/liverworts) terdiri atas 6000-8000 jenis
(Crandall-Stotler & Stotler 2002; Gradstein et al. 2001), Bryophyta (lumut
sejati/mosses) lebih dari 10000 jenis (Buck & Goffinet 2002), dan Anthophyta
(lumut tanduk/hornworts) sekitar 100 jenis (Renzaglia & Vaughn 2002).
Kekayaan jenis lumut di kawasan Indonesia telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Tan dan Iwatsuki (1999) melaporkan ada 426 jenis lumut di Irian Jaya
dan 650 jenis di Borneo. Dari checklist yang disusun oleh Gradstein et al. (2005),
ada 476 jenis lumut di Sulawesi. Ho et al. (2006) melaporkan 490 jenis lumut
sejati di Sumatera. Di pulau Jawa, ada 568 jenis lumut hati dan lumut tanduk
yang dilaporkan oleh SÖderstrÖm et al. (2010), dan 628 jenis lumut sejati (Tan &
Iwatsuki 1999), sebagian besar ditemukan di Jawa Barat.
Secara evolusi lumut menempati posisi di antara alga hijau dan tumbuhan
berpembuluh (Goffinet 2002). Sama seperti pada alga hijau dan tumbuhan
berpembuluh, lumut juga memiliki klorofil a dan b sebagai pigmen fotosintesis
dan pati sebagai cadangan makanan utamanya. Salah satu bentuk adaptasi lumut
terhadap lingkungan terestrial yang relatif kering berupa gamet yang dihasilkan di
dalam gametangia, yaitu organ yang dilindungi oleh sel-sel steril. Sel telur dibuahi
dalam gametangia betina. Zigot yang terbentuk berkembang menjadi embrio yang
dipertahankan dalam sel-sel pelindung tersebut selama waktu tertentu (Goffinet
2002).
4
Peranan Ekologi dan Potensi Lumut
Lumut di kawasan hutan hujan pegunungan terdapat melimpah dengan
keanekaragaman yang tinggi, berperan dalam konservasi tanah. Lapisan lumut
yang tebal di permukaan lahan yang terbuka ataupun di lantai hutan, dapat
memperlambat aliran air sehingga mencegah erosi. Lumut epifit yang tumbuh di
batang pohon dapat memperlambat aliran air di permukaan batang (stem flow).
Hal ini dimungkinkan karena kemampuan lumut yang tinggi dalam menyerap
sekaligus menahan air hujan, mencapai 5-25 kali bobot keringnya (Gradstein et al.
2001).
Lumut dapat digunakan sebagai bioindikator polutan. Kondisi ini
dimungkinkan karena dengan tidak terdapatnya kutikula pada lumut
memudahkan larutan dan gas, termasuk gas dan larutan pencemar, mencapai sel-
sel sekaligus terakumulasi dalam jumlah besar (Glime 2007; Dey & De 2012).
Sebagian besar polutan tersebut diakumulasi dalam sel-sel daun (Gradstein et al.
2001).
Lumut sudah dimanfaatkan dalam berbagai bidang di banyak negara. Di
bidang kesehatan, dari berbagai penelitian dilaporkan adanya sejumlah kandungan
bahan aktif pada lumut, beberapa di antaranya bersifat sebagai antijamur dan
antibakteri (Bodade et al. 2008; Asakawa 2008; Beike 2010; Dey & De 2012).
Pada lumut juga ditemukan berbagai senyawa kimia sebagai metabolit sekunder,
di antaranya terpenoid dan komponen aromatik, yang dimanfaatkan di bidang
industri (Mues 2002; Dey & De 2012). Taman lumut dengan koleksi berbagai
jenis lumut digunakan untuk edukasi di samping dari segi estetika bermanfaat
untuk menambah keindahan dan kesejukan. Selain itu lumut juga banyak
digunakan dalam bidang kesenian (Glime 2007).
Keanekaragaman Jenis Lumut di Berbagai Habitat
Maraknya pembalakan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian,
pertambangan, pemukiman, perkebunan dan keperluan lainnya, menyebabkan
ekosistem hutan terganggu. Hal ini dapat mengancam biodiversitas pada kawasan
tersebut, termasuk komunitas lumut. Beberapa penelitian memperlihatkan
keanekaragaman lumut tertinggi dijumpai pada hutan primer, diikuti hutan
sekunder dan perkebunan (Sporn et al. 2010; Gradstein & Culmsee 2010; Ariyanti
5
& Sulistijorini 2011). Penggundulan hutan khususnya di daerah tropik
menyebabkan hilangnya jenis lumut endemik. Tingkat kehilangan jenis lumut
bervariasi bergantung kepada skala perubahan habitat yang terjadi. Tumbuhan
epifit yang ternaung (shade epiphyte), termasuk lumut epifit, paling terpengaruh
oleh gangguan hutan tersebut (Gradstein 1992).
Alih fungsi hutan primer menjadi hutan sekunder atau perkebunan akan
menurunkan keanekaragaman lumut epifit. Gradstein (1992) menyatakan bahwa
sekitar 20% marga lumut hati shade epiphyte di hutan primer tidak dijumpai di
hutan sekunder ataupun di perkebunan, akibat terbukanya kanopi hutan primer.
Adanya pembukaan area hutan yang digantikan oleh perkebunan dengan tanaman
eksotik, menyisakan sekitar 10% jenis lumut, sedangkan pada hutan sekunder
tersisa sekitar 50-70% jenis lumut dibandingkan hutan primer (Gradstein 1992).
Informasi dan data tentang kekayaan lumut epifit di luar hutan primer,
termasuk kekayaan lumut yang ada di perkebunan, masih sangat jarang (Gradstein
1992). Kekayaan jenis lumut yang terdapat di daerah monokultur seperti
perkebunan, tidak setinggi yang terdapat di hutan primer sebagai habitat alaminya.
Sungguhpun demikian jenis lumut epifit yang tumbuh di perkebunan, dapat
beradaptasi terhadap habitat mikro yang relatif kering dan tetap mempunyai
peluang hidup yang baik (Gradstein et al. 2001).
Penelitian yang dilakukan Ariyanti et al. (2008) di Sulawesi Tengah pada
tiga habitat yang berbeda yaitu di hutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan
kakao menunjukkan kekayaan jenis lumut sejati terendah ditemukan di
perkebunan kakao, diikuti hutan sekunder. Kekayaan jenis lumut sejati tertinggi
ditemukan di hutan primer. Lumut yang dominan di perkebunan kakao adalah
Caudalejeunea revurvistipula, Lopholejeunea subfusca, Mastigolejeunea
auriculata, Floribundaria floribunda, dan Chaetomitrium lanceolatum.
Suleiman et al. (2009) melaporkan, di perkebunan kelapa sawit Sabah
ditemukan lumut sejati sebanyak 56 jenis dalam 31 marga dan 14 suku. Jumlah
tersebut sekitar 7,7% dari total lumut sejati yang ada di Borneo dan 9,3% dari
lumut sejati yang ada di Sabah. Dalam penelitian tersebut ditemukan Acroporium
convolutum sebagai catatan baru untuk Borneo dan Ectropotheciella
distichophylla untuk Sabah. Lumut epifit yang umum ditemukan pada batang
6
kelapa sawit adalah Syrrhopodon ciliatus dan Atrhocormus schimperi, dan pada
permukaan tanah di area perkebunan kelapa sawit umumnya adalah lumut
Vesicularia dubyana.
Eksplorasi dan checklist lumut di Kebun Raya Bogor masih terus
dilakukan. Junita (2010) mengidentifikasi sebanyak 42 jenis lumut sejati epifit
yang termasuk dalam 21 marga dan 11 suku. Apriana (2010) melaporkan sejauh
ini ditemukan sebanyak 92 jenis lumut hati epifit di Kebun Raya Bogor, dari hasil
eksplorasi dan dari koleksi spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense.
Wahyuni (2010) melaporkan sebanyak 43 jenis lumut terestrial meliputi 33 jenis
lumut sejati dan 10 jenis lumut hati pada lokasi yang sama.
Keanekaragaman Jenis Lumut pada Elevasi yang Berbeda
Secara umum di kawasan hutan hujan tropik kekayaan jenis lumut hati
meningkat pada elevasi yang lebih tinggi sedangkan kekayaan jenis lumut sejati
justru semakin menurun. Gradstein dan Culmsee (2010) dalam penelitian di
Sulawesi Tengah, menemukan sekitar 55% lumut sejati dan 45% lumut hati di
hutan dataran rendah. Pada hutan pegunungan bawah lumut hati memiliki
kekayaan jenis yang lebih tinggi (60%) dibandingkan lumut sejati (40%). Grau et
al. (2007) dari penelitian di Nepal, melaporkan kekayaan jenis lumut meningkat
dengan bertambahnya elevasi. Pada penelitian tersebut, kekayaan lumut hati
tertinggi dijumpai pada elevasi 2800 m dpl dan lumut sejati pada ketinggian 2500
m dpl. Enroth (1990) meneliti lumut di Huon Peninsula Papua New Guinea, dan
melaporkan adanya kecenderungan kekayaan jenis lumut yang meningkat sampai
dengan elevasi 2300 m dpl, pada elevasi yang lebih tinggi kekayaan jenis lumut
mulai menurun. Menurut Richards (1984) setiap kenaikan elevasi sekitar 100 m di
daerah tropik akan menyebabkan penurunan suhu sekitar 0.4-0.7OC dan kenaikan
curah hujan tahunan. Umumnya lumut tumbuh optimal pada kisaran suhu 15-25O
C dengan intensitas cahaya yang rendah, dan pada lingkungan yang lembap dan
ternaung (Glime 2007).
7
Penelitian Lumut di Perkebunan Teh
Teh (Camellia sinensis) diperkirakan berasal dari China yang telah
memanfaatkannya sejak 2000 tahun yang lalu. Pada masa itu teh masih ditanam
secara tradisional. Budidaya teh di perkebunan baru dilakukan mulai tahun 1820
di India. Sejak tahun 1870 teh mulai menyebar ke beberapa negara tropik,
termasuk Indonesia. Dewasa ini areal perkebunan teh sudah menyebar dari
daerah beriklim sedang sampai daerah tropik (Ohsawa 1982). Perkebunan teh di
Indonesia umumnya dijumpai di dataran tinggi, mulai ketinggian 600 m dpl
sampai sekitar 2000 m dpl.
Tanaman teh termasuk jenis pohon tetapi umumnya dipelihara sebagai
tanaman perdu dengan tinggi kurang dari 150 cm. Lingkungan perkebunan yang
hangat dan lembap dengan suhu rata-rata lebih dari 15OC, dan curah hujan
minimal 50 mm/bulan, diperlukan untuk pertumbuhan tanaman teh. Di
perkebunan teh juga ditanam berbagai jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai
wind breaker yaitu pemecah dan penahan angin untuk mempertahankan iklim
mikro. Pemeliharaan tanaman teh (mencakup pemupukan, pemberantasan hama
dan penyakit, pengendalian gulma, dan pemangkasan), dapat menentukan kualitas
dan kuantitas teh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan
penyemprotan, pengendalian gulma dengan cara tradisional ataupun
menggunakan herbisida. Pemangkasan umumnya dilakukan 3-4 tahun sekali
untuk merangsang pertumbuhan tunas muda, mempertahankan bidang pemetikan
agar tetap rendah, dan meningkatkan produktivitas (Ohsawa 1982).
Penelitian tentang lumut di perkebunan teh belum banyak dilakukan.
Informasi yang ada berasal dari penelitian singkat yang dilakukan Pancho (1979)
di perkebunan teh Pagilaran. Dalam penelitian tersebut ditemukan 15 jenis lumut
dari 12 marga yang termasuk dalam 9 suku. Tan et al. (2006) juga pernah
melakukan penelitian lumut di perkebunan teh Nirmala, tetapi penelitian tersebut
tidak komprehensif.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Sampel lumut diambil pada tiga lokasi perkebunan teh di Jawa Barat yaitu
Gunung Mas di Cisarua, Bogor (06o42’LS dan 106o56’BT), Nirmala di dekat
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Sukabumi (06o51’LS
dan 106o38’BT), dan Rancabali di dekat kawasan Gunung Patuha, Bandung
Selatan (07o09’LS dan 107o24’BT) (Gambar 1). Elevasi dan kondisi iklim
(kisaran kelembapan, kisaran suhu harian, dan rata-rata curah hujan per tahun) di
tiga lokasi perkebunan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel lumut di tiga perkebunan teh Jawa Barat: Gunung Mas (A), Nirmala (B), dan Rancabali (C). Tabel 1 Elevasi, kisaran kelembapan, kisaran suhu, dan rata-rata curah hujan di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali
Sumber Informasi: 1)Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Bogor 2)http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tnhalimun.html
Lokasi Perkebunan Teh
Elevasi Tempat (m dpl)
Kisaran Kelembapan
R Relatif (%)
Kisaran Suhu (o C)
Rata-rata Curah Hujan (mm/th)
Gunung Mas 1) 600 74 - 89.5 18-25 2500-4000 Nirmala 2) 1150 38 - 80 19-30 4000-6000 Rancabali 1) 1628 75 - 93 7-27 1807-3962
= Lokasi pengambilan sampel
A B
C
9
Pengambilan Sampel Lumut Pengambilan sampel lumut dilakukan dengan metode transek dan petak
contoh menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) dengan modifikasi. Di
setiap lokasi perkebunan teh dibuat tiga plot penelitian masing-masing berukuran
30 m x 20 m, jarak antar plot minimal 500 m. Pada setiap plot dibuat tiga transek,
jarak antar transek 5 m. Pada setiap transek ditentukan 5 sampel tanaman teh,
satu sama lain berjarak 5 m. Di setiap plot ada 15 sampel tanaman teh sehingga di
setiap lokasi perkebunan ada 45 sampel tanaman teh (Gambar 2). Dicatat dan
diperkirakan persentase penutupan oleh setiap jenis lumut dan penutupan oleh
total lumut pada setiap sampel tanaman teh. Selain itu, jenis-jenis lumut yang
ditemukan diambil untuk dibuat spesimen herbarium (Gambar 3) dan
diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium (Gambar 4). Sebagai data pendukung
dicatat pula diameter tajuk tanaman teh, persentase penutupan batang dan cabang
primer tanaman teh oleh epifit selain lumut (liken dan tumbuhan paku).
= tanaman teh
Gambar 2 Skema plot dan penentuan sampel tanaman teh dalam setiap plot di perkebunan teh.
20 m
30 m
5 m
5 m
10
(a) (b)
Gambar 3 Sampel tanaman teh dengan jenis-jenis lumut epifit (a) dan sampel lumut yang dikoleksi sebagai spesimen herbarium (b).
Gambar 4 Alur identifikasi spesimen lumut di laboratorium.
IDENTIFIKASI
MIKROSKOP STEREO
MIKROSKOP BINOKULER
HASIL FOTO
HASIL FOTO
SPESIMEN HERBARIUM
NAMA JENIS
11
Identifikasi Sampel Lumut
Sampel lumut yang diambil dari perkebunan teh selanjutnya dibawa ke
laboratorium, diamati ciri-ciri spesifik gametofit maupun sporofit dari masing-
masing jenis dengan menggunakan mikroskop untuk keperluan identifikasi, dan
dilanjutkan dengan dokumentasi. Spesimen lumut yang dikoleksi dibuat
herbarium dan disimpan di Herbarium Bogoriense (BO) dan herbarium BIOTROP
(BIOT). Masing-masing koleksi lumut epifit diberi kode kolektor Akmal.
Identifikasi lumut hati dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi dalam
Yamada (1979), Zhu dan So (2001), Zhu dan Gradstein (2005), dan Gradstein
(2011). Identifikasi lumut sejati menggunakan kunci identifikasi menurut Bartram
(1939), Eddy (1988, 1990, 1996), dan Pollatwan (2008).
Analisis Data
Hasil identifikasi berupa nama jenis lumut epifit disusun dalam checklist
yang menunjukkan keanekaragaman jenis lumut epifit di tiga lokasi perkebunan
teh yang diteliti. Diversitas lumut epifit di setiap lokasi perkebunan teh
dibandingkan berdasarkan kekayaan jenis lumut. Kekayaan jenis lumut
ditunjukkan dari rata-rata jumlah jenis lumut per tanaman, rata-rata jumlah jenis
lumut per plot dan total jenis lumut per lokasi perkebunan. Perbedaan jumlah jenis
lumut per plot dan per tanaman teh di tiga lokasi perkebunan teh ditunjukkan dari
nilai rata-rata dan standar deviasi. Tingkat kemiripan komposisi jenis lumut epifit
antar perkebunan teh dibandingkan dengan indeks Sorensen (Rumus 1). Selain itu,
diversitas komunitas lumut epifit di tiga perkebunan teh juga dinyatakan
berdasarkan indeks Shannon (Rumus 2) yang dihitung berdasarkan kemelimpahan
proporsional jenis-jenis lumut penyusunnya. Dominansi jenis pada tiga
perkebunan teh ditunjukkan dengan indeks nilai penting (INP) (Rumus 3).
Selanjutnya dibandingkan jenis-jenis lumut yang kemelimpahannya relatif tinggi
(INP lebih dari 10%) dan jenis dominan (INP paling tinggi) di masing-masing
lokasi perkebunan. Kemelimpahan total lumut epifit di masing-masing lokasi
perkebunan ditunjukkan dari rata-rata persentase penutupan oleh total lumut
terhadap batang dan cabang primer tanaman teh.
12
Rumus 1
Indeks Sorensen (CS)
CS = 2 j/(a+b)
Keterangan :
CS = indeks similaritas Sorensen berdasarkan data
kualitatif
jN = ∑ jenis yang ada di dua lokasi (lokasi 1 dan 2)
a = ∑ jenis di lokasi 1
b = ∑ jenis di lokasi 2
Rumus 2
Indeks Shannon
H’ = - ∑ p i ln p i
Keterangan : p i = kemelimpahan proporsional jenis ke – i = n/N N = total jenis
n = jumlah jenis ke - i
Rumus 3
INP = {FR (%) + PR (%)}
Keterangan;
FR = Frekuensi Relatif
PR = Penutupan Relatif
(Magurran 1987)
HASIL
Checklist Lumut Epifit di Perkebunan Teh Jawa Barat: Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali
Total jenis lumut epifit yang diinventarisasi dari tiga perkebunan teh di Jawa
Barat (Gunung Mas, Nirmala, Rancabali) adalah 90 jenis yang termasuk dalam 48
marga dan 25 suku. Jumlah tersebut meliputi 42 jenis lumut hati (12 marga, 6 suku)
dan 48 jenis lumut sejati (36 marga, 19 suku). Daftar nama jenis lumut dan
persebarannya di tiga perkebunan teh tersebut disajikan pada Tabel 2. Suku dengan
keanekaragaman paling tinggi adalah Lejeuneaceae, dijumpai sebanyak 26 jenis di
ketiga perkebunan teh.
Tabel 2 Checklist lumut epifit di perkebunan teh Gunung Mas (GM), Nirmala (NR), dan Rancabali (RB), Jawa Barat
Kelompok, Suku, Nama Jenis
GM NR RB Spesimen
Diperiksa
Lumut hati (Liverworts)
I Frullaniaceae
1 Frullania arecae (Spreng.) Gottsche - - v Akmal 88
2 Frullania gracilis (Reinw. et al.) Dum. - - v Akmal 97
3 Frullania grandistipula Lindenb. - - v Akmal 85
4 Frullania microauriculata Verd. - - v Akmal 87
5 Frullania riojaneirensis (Raddi) Angstr. v v v Akmal 10, 39, 84
6 Frullania sp. 1 - - v Akmal 96
7 Frullania sp. 2 - - v Akmal 100
II Lejeuneaceae
8 Acanthocoleus javanicus (Steph.) Kruijt v - v Akmal 7, 69
9 Cheilolejeunea decursiva (Sande Lac.) Schust. - v v Akmal 45, 103
10 Cheilolejeunea imbricata (Nees) S. Hatt. - - v Akmal 95
11 Cheilolejeunea trapezia(Nees) R. M. Schust. et Kachroo - v v Akmal 43, 86
12 Cheilolejeunea trifaria (Reinw. Blume et Nees) Mizut - v - Akmal 40
13 Cololejeunea angustiflora (Steph.) Mizut. - v - Akmal 44
14 Cololejeunea planissima (Mitt.) Abeyw. v - - Akmal 12
15 Lejeunea anisophylla Mont. v v v Akmal 1, 28, 70
16 Lejeunea cocoes Mitt. v v - Akmal 13, 46
17 Lejeunea discreta Lindenb. - - v Akmal 91
18 Lejeunea exilis (Reinw. et al.) Grolle v v v Akmal 11, 34, 92
14
Kelompok, Suku, Nama Jenis
GM NR RB Spesimen
Diperiksa
19 Lejeunea flava (Sw.) Nees v v v Akmal 2, 29, 73
20 Lejeunea fleischeri (Steph.) Mizut. - - v Akmal 81
21 Lejeunea micholitzii Mizut. - - v Akmal 89
22 Lejeunea obscura Mitt. v v v Akmal 4, 37, 90
23 Lejeunea propagulifera Gradst. v v - Akmal 8, 35
24 Lejeunea punctiformis Taylor v v v Akmal 9, 31, 83
25 Lejeunea sordida (Nees) Nees - v v Akmal 42, 102
26 Lejeunea sp. 1 - v v Akmal 38, 76
27 Lejeunea sp. 2 - v v Akmal 41, 82
28 Lejeunea sp. 3 - - v Akmal 93
29 Lejeunea sp. 4 - - v Akmal 99
30 Leucolejeunea xanthocarpa (Lehm. et Lindenb.) A. Evans - - v Akmal 104
31 Lopholejeunea eulopha (Taylor) Schiffn. v v v Akmal 6, 33, 75
32 Lopholejeunea subfusca (Nees) Schiffn. v v v Akmal 5, 32, 74
33 Thysananthus convolutus Lindenb. - v - Akmal 47
III Metzgeriaceae
34 Metzgeria sp. 1 v v v Akmal 3, 30, 71
35 Metzgeria sp. 2 - - v Akmal 80
36 Metzgeria sp. 3 - - v Akmal 77
IV Plagiochilaceae
37 Plagiochila javanica (Sw.) Dumort. - - v Akmal 101
38 Plagiochila junghuhniana Sande Lac. - v v Akmal 36, 78
V Radulaceae
39 Radula madagascariensis Gottsche - - v Akmal 72
40 Radula retroflexa Taylor - - v Akmal 79
41 Radula tjibodensis Goebel - - v Akmal 98
VI Belum diketahui (unknown)
42 Liverwort 1 Akmal 94
Lumut Sejati (Mosses)
I Brachytheciaceae
43 Eurhynchium celebicum E. B. Bartram v - v Akmal 15, 120
II Bryaceae
44 Brachymenium nepalense Hook. v v v Akmal 19, 48, 106
45 Bryum capillare Hedw. v - v Akmal 18, 121
46 Schoenobryum concavifolium (Griff.) Gangulee - - v Akmal 113
III Calymperaceae
47 Mitthyridium obtusifolium (Lindb.) Robinson v v v Akmal 24, 60, 140
48 Syrrhopodon parasiticus (Sw. ex Bird.) Paris - v v Akmal 52, 131
15
Kelompok, Suku, Nama Jenis
GM NR RB Spesimen
Diperiksa
IV Dicranaceae
49 Bryohumbertia walkeri (Mitt.) Frahm. - - v Akmal 136
50 Campylopus crispifolius E. B. Bartram - - v Akmal 135
51 Campylopus micholitzii MÜll. Hal.ex M. Fleisch. - v - Akmal 63
52 Campylopus zollingerianus (MÜll. Hal.) Bosch et Sande Lac. - v v Akmal 58, 118
53 Dicranoloma braunii (MÜll. Hal.) Paris - - v Akmal 137
V Entodontaceae
54 Entodon sp. v - - Akmal 23
VI Fissidentaceae
55 Fissidens papillosus Sande Lac. - - v Akmal 142
56 Fissidens braunii (C. MÜll.) Dozy et Molk. v - v Akmal 26, 127
57 Fissidens sp. 1 - - v Akmal 119
VII Hookeriaceae
58 Actynodontium ascendensSchwägr. v v - Akmal 16, 49
59 A. rhapidostegum (MÜll. Hal.) Bosch. et Sande Lac. v v v Akmal 21, 53, 132
60 Chaetomitrium orthorrhynchum (Dozy et Molk.) - - v Akmal 112
61 Daltonia armata E.B. Bartram - v - Akmal 50
VIII Hypnaceae
62 Ectropothecium cf. dealbatum (Reinw. et Hornsch.) A. Jaeger - - v Akmal 105
IX Leucobryaceae
63 Leucobryum javense (Brid. ex Schwägr.) Mitt. - v - Akmal 67
64 Octoblepharum albidum Hedw. - v - Akmal 57
X Meteoriaceae
65 Aerobryopsis longissima (Dozy et Molk.) M. Fleisch. v v v Akmal 17, 56, 108
66 Barbella rufifolioides (Broth.) Broth. - - v Akmal 124
67 Floribundaria floribunda (Dozy et Molk.) M. Fleisch. - v v Akmal 65, 117
68 Meteorium miquelianum (MÜll. Hal.) M. Fleisch. - v v Akmal 54, 110
69 Papillaria crocea (Hampe) A. Jaeger v - - Akmal 20
XI Neckeriaceae
70 Homaliodendron flabellatum (Sm.) M. Fleisch. - - v Akmal 129
XII Orthotrichaceae
71 Macromitrium orthostichum Nees ex Schwägr. - - v Akmal 126
XIII Pterobryaceae
72 Endotrichella elegans (Dozy et Molk.) M. Fleisch. - v v Akmal 62, 115
XIV Racopilaceae
73 Racopilum schmidii (MÜll. Hal.) Mitt. v - v Akmal 22, 109
74 Racopilum spectabile Reinw. et Hornsch. - - v Akmal 141
16
Kelompok, Suku, Nama Jenis
GM NR RB Spesimen
Diperiksa
XV Sematophyllaceae
75 Acroporium sigmatodontium (MÜll. Hal.) M. Fleisch. - v v Akmal 61, 139
76 Gammiella rugosaTixier - v v Akmal 66, 122
77 Isocladiella sp. v - - Akmal 27
78 Meiothecium hamatum (MÜll. Hal.) Broth. - v v Akmal 59, 133
79 Meiothecium jagorii (MÜll. Hal.) Broth. - v - Akmal 55
80 Meiothecium microcarpum (Hook.) Mitt. v v v Akmal 25, 51, 114
81 Sematophyllum tristiculum (Mitt.) Fleisch. v v - Akmal 14, 64
XVI Thuidiaceae
82 Claopodium nervosum M. Fleisch. - - v Akmal 107
XVII Belum diketahui (unknown)
83 Moss sp. 1 - v v Akmal 68, 130
84 Moss sp. 2 - - v Akmal 123
85 Moss sp. 3 - - v Akmal 111
86 Moss sp. 4 - - v Akmal 116
87 Moss sp. 5 - - v Akmal 138
88 Moss sp. 6 - - v Akmal 125
89 Moss sp. 7 - - v Akmal 134
90 Moss sp. 8 - - v Akmal 128
Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh pada Elevasi Berbeda Kekayaan Jenis. Perbandingan kekayaan jenis lumut epifit pada tiga
perkebunan teh di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 5a. Di Gunung Mas
ditemukan 27 jenis, terdiri atas 13 jenis lumut hati dan 14 jenis lumut sejati.
Kekayaan jenis lumut epifit di Nirmala hampir 1.5 kali lipat dari Gunung Mas,
meliputi 20 jenis lumut hati dan 20 jenis lumut sejati. Perkebunan teh Rancabali
memiliki kekayaan jenis paling tinggi (hampir 3 kali lipat kekayaan jenis di Gunung
Mas), meliputi 36 jenis lumut hati dan 38 jenis lumut sejati.
Rata-rata jumlah jenis lumut epifit per plot dan rata-rata jumlah jenis lumut
epifit per tanaman teh di Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali menunjukkan hasil
yang sebanding dengan total jenis di tiga perkebunan tersebut. Rata-rata jumlah jenis
lumut epifit per plot dan per tanaman teh paling tinggi dijumpai di Rancabali, dan
paling rendah di Gunung Mas (Gambar 5b). Rata-rata 53 jenis lumut epifit per plot
17
dan 15 jenis per tanaman teh ditemukan di Rancabali, sedangkan di Gunung Mas
hanya dijumpai rata-rata 19 jenis lumut epifit per plot dan 7 jenis per tanaman teh.
Gambar 5 Total jenis lumut di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali (a), rata-rata jumlah jenis lumut per tanaman dan rata-rata jumlah jenis lumut per plot (b) di masing-masing perkebunan teh.
Kesamaan Komposisi Jenis. Beberapa jenis lumut epifit dijumpai hanya di
satu lokasi perkebunan saja, jenis lainnya dijumpai di dua, atau tiga perkebunan teh
sekaligus. Berdasarkan indeks similaritas Sorensen (ISS), komposisi jenis lumut
epifit di Gunung Mas lebih mirip dengan komposisi jenis lumut epifit di Nirmala
(54%) dibandingkan dengan komposisi jenis lumut yang terdapat di Rancabali (38%).
Kemiripan komposisi jenis antara lumut epifit di Nirmala dan Rancabali sebesar 51%
(Gambar 6).
(b)
Jumlah jenis Jumlah jenis
(a)
18
Gambar 6 Total jumlah jenis lumut epifit dan indeks similaritas Sorensen (ISS) pada dua perkebunan teh yang dibandingkan: Gunung Mas (GM) vs. Nirmala (NR), Gunung Mas vs. Rancabali (RB), dan Nirmala vs Rancabali.
Diversitas Komunitas Lumut Berdasarkan Indeks Shannon. Berdasarkan
indeks diversitas Shannon (H’), komunitas lumut epifit yang ada di tiga lokasi
perkebunan teh menunjukkan diversitas terendah terdapat di Gunung Mas (H’=2.67),
diikuti oleh Nirmala (H’= 3.19), dan yang tertinggi terdapat di Rancabali (H’=3.82).
Dominansi Jenis. Dominansi jenis lumut epifit ditunjukkan oleh frekuensi
kehadiran masing-masing jenis lumut epifit dan persentase penutupannya pada
semua tanaman teh yang diamati. Nilai dominansi tersebut ditunjukkan oleh indeks
nilai penting (INP). Kebanyakan jenis-jenis lumut yang dijumpai memiliki INP
kurang dari 10%. Pada ketiga perkebunan hanya ada empat jenis lumut sejati dan
lima jenis lumut hati dengan INP lebih dari 10%. Daftar jenis lumut hati dan lumut
sejati epifit dengan INP lebih dari 10% ditunjukkan pada Tabel 3.
ISS = 0.51
ISS = 0.38
ISS = 0.54
Jumlah jenis
Tabel 3 Daftar jenis lumut sejati dan lumut hati dengan indeks nilai penting (INP) lebih dari 10 % di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali
Keterangan: FR= Frekuensi Relatif, PR= Penutupan Relatif, INP= Indeks Nilai Penting.
Gunung Mas Nirmala Rancabali No FR PR INP FR PR INP FR PR INP (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) Lumut Sejati 1 Sematophyllum tristiculum 13.2 21.3 34.5 0.4 0.3 0.7 - - - 2 Eurhynchium celebicum 12.6 17.3 29.9 - - - 0.6 1.2 1.8 3 Actinodontium ascendens 8.9 3.6 12.5 7.2 11.2 18.6 - - - 4 Brachymenium nepalense 0.7 1.2 1.9 7.0 11.8 18.7 3.3 4.9 8.2 Lumut Hati 1 Lejeunea anisophylla 9.8 24.5 34.2 8.8 22.3 31.1 12.4 5.8 18.2 2 Metzgeria sp. 1 10.4 2.3 12.7 7.0 4.0 11.0 6.1 6.2 12.3 3 Lejeunea flava 11.0 12.2 23.2 8.0 14.7 22.7 4.0 4.2 8.2 4 Acanthocoleus javanicus 2.8 0.9 3.7 - - - 16.4 4.6 21.0 5 Radula madagascariensis - - - - - - 8.1 4.0 12.1
19
20
Di Rancabali empat jenis lumut dengan INP di atas 10% merupakan lumut
hati, tidak ada jenis lumut sejati yang memiliki INP lebih dari 10%. Jenis lumut
dominan di Rancabali adalah Acanthocoleus javanicus dengan INP 21%. Jenis lumut
tersebut dijumpai juga di Gunung Mas tetapi sangat jarang dan sedikit (frekuensi
relatif 2.8%, penutupan relatif 0.9%, INP 3.7%). Acanthocoleus javanicus tidak
dijumpai di Nirmala. Lumut hati Radula madagascariensis sering dijumpai di
Rancabali (frekuensi relatif 8.1 %, penutupan relatif 4.0 %, INP 12.1%), tetapi tidak
dijumpai di dua perkebunan teh lainnya.
Jenis lumut epifit dominan di Nirmala adalah Lejeunea anisophylla dengan
INP lebih dari 30%. Jenis lain yang memiliki nilai INP lebih dari 10% di Nirmala
adalah lumut hati Lejeunea flava dan Metzgeria sp.1, lumut sejati Actinodontium
ascendens dan Brachymenium nepalense. Jenis terakhir juga dijumpai di dua
perkebunan teh lainnya tetapi dengan INP kurang dari 10%. Actinodontium
ascendens juga sering dijumpai di Gunung Mas tetapi tidak dijumpai di Rancabali.
Lumut sejati Sematophyllum tristiculum dengan INP 34.5% dominan di
Gunung Mas. Jenis ini sangat jarang dijumpai di Nirmala dan tidak ditemukan di
Rancabali. Lumut sejati Eurhynchium celebicum (dengan INP 29.9% di Gunung
Mas), tidak dijumpai di Nirmala dan sangat jarang ditemukan di Rancabali. Empat
jenis lainnya dengan INP lebih dari 10% di Nirmala adalah A. ascendens, L.
anisophylla, L. flava, dan Metzgeria sp.1.
Kemelimpahan Total Lumut dan Diameter Tajuk Tanaman Teh.
Kemelimpahan total lumut epifit ditunjukkan dari persentase penutupan lumut
terhadap substrat yang tersedia (batang dan cabang primer tanaman teh).
Kemelimpahan total lumut terendah dijumpai di Nirmala, meningkat di Gunung Mas,
dan tertinggi di Rancabali (Gambar 7). Penutupan oleh lumut rata-rata lebih dari 80%
pada tanaman teh di Rancabali, sedangkan pada tanaman teh di Nirmala penutupan
oleh lumut kurang dari 70%. Berbeda dengan penutupan oleh lumut, penutupan
tanaman teh oleh liken dan tumbuhan paku rendah (5% dan 3%) di Rancabali,
meningkat di Gunung Mas (10% dan 5%) dan di Nirmala (11% dan 4%).
21
Gambar 7 Rata-rata persentase penutupan oleh total lumut ( ), liken ( ), dan tumbuhan paku ( ), terhadap batang dan cabang primer tanaman teh di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran diameter tajuk tanaman teh yang
diambil lumutnya, karena diduga luas tajuk tanaman teh dapat mempengaruhi
kemelimpahan lumut pada tanaman teh tersebut. Rata-rata diameter tajuk tanaman
teh paling rendah dijumpai di Nirmala (111.5 cm). sedangkan paling tinggi (rata-rata
158.7 cm) dijumpai di Rancabali (Gambar 8).
Gambar 8 Rata-rata diameter tajuk sampel tanaman teh di perkebunan teh Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali.
126 111
158
%
cm2
PEMBAHASAN
Checklist Lumut Epifit di Perkebunan Teh Jawa Barat: Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali
Sebanyak 42 jenis lumut hati dan 48 jenis lumut sejati ditemukan di tiga
perkebunan teh di Jawa Barat, yaitu Gunung Mas, Nirmala, dan Rancabali. Jumlah
lumut hati yang ditemukan tersebut hanya mewakili 7.6 % dari total 554 jenis lumut
hati yang pernah dilaporkan ada di Jawa (SÖderstrÖm et al. 2010), dan lumut sejati
yang ditemukan juga hanya mewakili 7.6 % dari total 628 jenis lumut sejati di Jawa
(Tan & Iwatsuki 1999). Lumut epifit yang dilaporkan pada penelitian ini termasuk
dalam 48 marga dan 25 suku. Lejeuneaceae merupakan suku dengan jumlah jenis
tertinggi (26 jenis), diikuti Sematophyllaceae (9 jenis), dan Frullaniaceae (7 jenis).
Menurut Gradstein et al. (2001) suku Lejeuneaceae adalah suku terbesar dalam divisi
Marchantiophyta, memiliki sekitar 90 marga dan lebih dari 1600 jenis. Suku
Lejeuneaceae, Sematophyllaceae, Frullaniaceae dan Plagiochilaceae, merupakan suku
yang umum di kawasan hutan hujan tropik (Gradstein & PÖcs 1989), seperti
dilaporkan juga oleh Gradstein dan Culmsee (2010), Sporn et al. (2010) di hutan
alam Sulawesi, dan oleh Chantanaorrapint (2010) di hutan alam Thailand.
Penelitian lumut di Jawa telah dimulai sekitar 200 tahun lalu, yaitu pada masa
penjajahan Belanda, namun tidak berlanjut dalam waktu yang cukup lama. Penelitian
dan publikasi tentang lumut baru muncul kembali sesudah tahun 2000-an. Akhir-
akhir ini dari penelitian yang dilakukan, masih sering dilaporkan catatan baru untuk
flora lumut di Jawa (Tan et al. 2006; Haerida et al. 2010; Gradstein et al. 2010). Tan
et al. (2006) melaporkan lumut sejati Daltonia armata yang ditemukan di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak sebagai jenis catatan baru untuk Jawa. Jenis lumut
tersebut ditemukan di perkebunan teh Nirmala pada penelitian ini, tetapi tidak
ditemukan di dua perkebunan teh lainnya. Adanya catatan baru menunjukkan data
flora yang belum lengkap dan perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk melengkapi
daftar jenis lumut yang ada. Daftar jenis yang lengkap diperlukan untuk memonitor
keberadaan jenis-jenis tersebut di suatu lokasi atau kawasan dari waktu ke waktu.
23
Selain itu, daftar jenis dapat menunjukkan persebaran jenis yang diperlukan bagi
studi taksonomi yang lebih komprehensif.
Diversitas Lumut Epifit di Tiga Perkebunan Teh pada Elevasi yang Berbeda Perkebunan teh Rancabali dibandingkan dengan dua perkebunan teh lainnya
memiliki kekayaan dan kemelimpahan jenis lumut epifit yang paling tinggi.
Rancabali terletak pada lokasi tertinggi dengan elevasi 1628 m dpl, lebih tinggi dari
Gunung Mas dan Nirmala. Sebaliknya perkebunan teh Gunung Mas dengan elevasi
paling rendah (600 m dpl) memiliki kekayaan jenis lumut epifit paling rendah.
Peningkatan kekayaan jenis lumut epifit seiring dengan peningkatan elevasi juga
dilaporkan oleh Bruun et al. (2006), Grau et al. (2007), Gradstein dan Culmsee
(2010), Chantanaorrapint (2010), serta Ariyanti dan Sulistijorini (2011). Namun
demikian pada penelitian yang lain menunjukkan adanya penurunan kekayaan jenis
lumut pada elevasi lebih dari 2300 m dpl (Enroth 1990).
Persebaran lumut dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Menurut Glime
(2007) lumut tumbuh optimum pada kisaran suhu 15-25OC. Peningkatan elevasi dapat
berhubungan dengan penurunan suhu lingkungan. Menurut Richards (1984) setiap
kenaikan elevasi 100 m umumnya menyebabkan penurunan suhu 0.4-0.7OC. Rata-
rata suhu harian di perkebunan teh Rancabali ada pada kisaran 7-27OC, lebih rendah
dari Gunung Mas dan Nirmala.
Selain suhu, persebaran lumut juga dapat dipengaruhi oleh kelembapan
(Richards 1984; Glime 2007). Kelembapan penting bagi lumut karena sel-sel lumut
umumnya memiliki lapisan kutikula yang sangat tipis atau sama sekali tidak memiliki
kutikula (Gradstein et al. 2001). Perkebunan teh Rancabali memiliki kisaran
kelembapan harian 75-93%, lebih tinggi dari dua perkebunan teh lainnya.
Chantanaorrapint (2010) melaporkan meningkatnya kekayaan jenis lumut di hutan
tropik Thailand menyertai peningkatan kelembapan dan intensitas cahaya, serta
penurunan suhu seiring peningkatan elevasi pada kisaran 400-1300 m dpl.
Gunung Mas dengan kekayaan jenis lumut epifit paling rendah dibandingkan
dua perkebunan teh lainnya, terletak pada elevasi paling rendah. Perkebunan teh
Gunung Mas berada di kawasan wisata Puncak Bogor, dekat dengan jalan raya yang
24
lalu lintas kendaraan bermotornya padat. Harahap (2004) melaporkan terdapat
akumulasi timbal pada organ vegetatif tanaman teh di Gunung Mas, baik pada daun,
batang, maupun pada akar. Timbal merupakan polutan berupa partikel yang berasal
dari gas buangan kendaraan bermotor. Gas buangan yang berasal dari kendaraan
bermotor ataupun dari kawasan industri dapat terakumulasi dalam sel-sel lumut.
Saxena et al. (2008) menemukan akumulasi beberapa jenis logam berat pada sel-sel
lumut yang tumbuh di lokasi dengan aktivitas kendaraan bermotor yang tinggi.
Hallingback (2008) melaporkan, adanya akumulasi gas buangan di udara
menyebabkan banyak jenis lumut epifit yang menghilang dari berbagai kota besar di
beberapa negara industri.
Rata-rata penutupan tanaman teh oleh lumut di Nirmala paling rendah
dibandingkan dua perkebunan teh lainnya. Hal ini diduga berhubungan dengan
ukuran tajuk tanaman teh. Kemungkinan kondisi kerapatan tajuk antar tanaman dapat
mempengaruhi iklim mikro (suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya) di bawah
tajuk. Kondisi seperti ini dapat dibandingkan dengan kondisi di hutan alam. Menurut
Hallingback (2008) persentase penutupan kanopi mempengaruhi kondisi iklim mikro
di bawahnya. Sporn et al. (2010) dan Ariyanti et al. (2008) melaporkan adanya
perbedaan komunitas lumut epifit pada beberapa tipe habitat dengan persentase
penutupan kanopi berbeda.
Komunitas lumut epifit di Rancabali dan Gunung Mas memiliki kesamaan
komposisi lebih rendah (38%) dibandingkan antara Rancabali dan Nirmala (51%),
maupun antara Nirmala dan Gunung Mas (54%). Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar perbedaan elevasi antar lokasi semakin kecil kesamaan komunitas
lumut antar keduanya. Hasil yang sama dilaporkan oleh Chantanaorrapint (2010)
pada komunitas hutan alam di sepanjang gradasi elevasi di Thailand. Rancabali
terletak pada elevasi di atas 1600 m dpl, sedangkan Nirmala di 1150 m dpl, dan
Gunung Mas di 600 m dpl. Faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan komposisi
jenis antar komunitas di lokasi dengan perbedaan elevasi yang besar adalah adanya
perbedaan suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya yang menghasilkan perbedaan
pola persebaran jenis lumut. Ada jenis-jenis lumut yang hanya dijumpai pada kisaran
25
elevasi terbatas sementara ada pula jenis-jenis lumut yang dapat dijumpai pada
kisaran elevasi yang lebih luas. Selain itu, jenis lumut yang sama dapat dijumpai
dengan kemelimpahan berbeda di habitat dengan elevasi berbeda.
Sebanyak 74 jenis lumut epifit dijumpai di Rancabali, 41 jenis di antaranya
tidak ditemukan di lokasi perkebunan teh lainnya, seperti lumut hati Radula
madagascariensis dan Lejeunea discreta. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kedua
jenis lumut tersebut merupakan jenis yang persebaran alaminya di vegetasi hutan
pegunungan (di atas 1500 m dpl). Yamada (1979) melaporkan persebaran R.
madagascariensis di Asia pada elevasi 1400 m dpl sampai 2600 m dpl. Zhu dan So
(2001) melaporkan di China L. discreta dijumpai pada elevasi 1050 m dpl dan 2200
m dpl. Sementara itu, Acanthocoleus javanicus dijumpai di Gunung Mas dan
Rancabali, namun dengan kemelimpahan berbeda. Di Rancabali A. javanicus
merupakan jenis lumut hati paling dominan dengan nilai INP di atas 20%, sedangkan
di Gunung Mas jenis tersebut memiliki INP kurang dari 4%. Sematophyllum
tristiculum merupakan jenis lumut sejati paling dominan di Gunung Mas dengan INP
34%. Jenis tersebut juga dijumpai di Nirmala tetapi dengan INP kurang dari 1%, dan
tidak dijumpai di Rancabali. Hal ini menunjukkan persebaran altitudinal jenis
tersebut yang terbatas pada elevasi rendah (kurang dari 1000 m dpl). Pollatwan
(2008) melaporkan persebaran altitudinal S. tristiculum di Thailand yakni pada 700-
900 m dpl.
Penelitian keanekaragaman lumut di hutan alam di sepanjang gradien
altitudinal telah digunakan untuk membuat zonasi ketinggian berdasarkan beberapa
jenis indikator yang dijumpai. Chantanaorrapint (2010) mengelompokkan komunitas
lumut pada elevasi yang berbeda berdasarkan kehadiran jenis-jenis tertentu.
Chantanaorrapint (2010) juga membagi vegetasi hutan tropik di Thailand ke dalam
zona hutan dataran rendah (0-600 m dpl), hutan subpegunungan (800-1000 m dpl),
dan hutan pegunungan (1200-1300 m dpl) berdasarkan diversitas jenis lumut dan data
iklim mikro.
Perkebunan Rancabali memiliki diversitas lumut paling tinggi dibandingkan
perkebunan Nirmala dan Gunung Mas. Kekayaan jenis lumut epifit di Rancabali
26
paling tinggi dan jenis dominan di perkebunan teh tersebut memiliki INP kurang dari
25%. Di Rancabali dijumpai 38 jenis lumut sejati dan 36 jenis lumut hati, namun
tidak ada jenis lumut sejati yang memiliki nilai INP lebih dari 10%. Nilai INP paling
tinggi (23%) di Rancabali dimiliki oleh jenis dari lumut hati. Kondisi lingkungan
seperti suhu dan kelembapan yang ideal untuk pertumbuhan lumut diduga
menyebabkan lebih banyak jenis lumut yang dijumpai di lokasi tersebut, dan masing-
masing berkompetisi sehingga tidak ada jenis yang kemelimpahannya sangat berbeda
dari jenis lainnya.
Kekayaan lumut epifit di perkebunan teh lebih rendah dibandingkan hutan
alam. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 90 jenis lumut epifit dari tiga
perkebunan teh dan rata-rata dijumpai 7-15 jenis per tanaman teh. Sementara itu di
hutan alam Taman Nasional Gunung Halimun, lokasi yang sangat dekat dengan
perkebunan teh Nirmala, dijumpai 116 jenis lumut epifit dengan rata-rata 11-19 jenis
per pohon (Ariyanti & Sulistijorini 2011). Dari beberapa penelitian juga
menunjukkan kekayaan jenis lumut yang lebih rendah di tipe perkebunan monokultur
lainnya dibandingkan hutan alam yang heterogen, seperti di perkebunan karet dan
cengkeh (Daniels & Kariyappa 2007), perkebunan kelapa sawit (Suleiman et al.
2009), dan perkebunan kakao (Sporn et al. 2010).
Perkebunan teh merupakan tipe habitat yang terbuka (hanya ada beberapa
pohon sebagai wind breaker) dan bersifat homogen (jenis dan ukuran tanaman
seragam). Sedangkan hutan alam merupakan habitat yang heterogen dengan kanopi
yang lebih tertutup. Hutan alam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
memiliki keanekaragaman pohon sebanyak 46 jenis per hektar (Polosakan 2011).
Hutan alam dengan keanekaragaman jenis yang dimiliki dan adanya stratifikasi
tegakan, menyediakan habitat yang lebih beragam. Selain itu, beberapa penelitian
melaporkan terdapat hubungan kekayaan dan komposisi jenis lumut dengan tekstur,
kelembapan dan pH kulit pohon, diameter pohon inang dan jenis pohon inang
(Gradstein et al. 2001; Gradstein et al. 2003; Mezaka & Znotina 2006; Gradstein &
Culmsee 2010).
27
Berdasarkan preferensi terhadap kondisi habitat yang terbuka atau terlindung,
jenis lumut dikelompokkan ke dalam shade epiphyte, sun epiphyte dan generalist
(Gradstein 1992). Lumut yang lebih menyukai habitat ternaung seperti di lantai hutan
dikelompokkan sebagai shade epiphyte. Lumut yang menyukai habitat dengan
intensitas cahaya yang tinggi seperti di kanopi hutan dikelompokkan sebagai sun
epiphyte. Sedangkan lumut yang menyukai hidup di kedua tipe habitat tersebut
dikelompokkan sebagai generalist.
Jenis-jenis lumut yang hidup pada kondisi iklim mikro yang berbeda dapat
mengembangkan berbagai adaptasi struktural. Perkebunan teh dengan kondisi terbuka
tanpa ternaungi oleh kanopi menyebabkan lumut harus dapat beradaptasi dengan
intensitas cahaya tinggi. Beberapa jenis lumut yang dijumpai pada penelitian ini
dengan nilai INP lebih dari 20% memiliki beberapa karakter adaptasi sebagai lumut
xerofit yang sering dijumpai pada kelompok lumut sun epiphyte. Lumut sejati
Sematophyllum tristiculum dan Eurhynchium celebicum memiliki dinding sel yang
tebal. Menurut Richards (1984), beberapa karakter xerofit pada lumut sejati antara
lain memiliki sel berdinding tebal, permukaan daun berpapil. Sedangkan pada lumut
hati antara lain tepi daun hyaline seperti sering dijumpai pada anggota Lejeuneaceae.
Adanya sel alar pada S. tristiculum dan adanya kantong air pada daun L flava, L.
anisophylla, R. madagascariensis, dan A. javanicus, mungkin merupakan karakter
yang berhubungan dengan adaptasi untuk dapat memanfaatkan kelembapan
lingkungan dengan lebih baik. Selain itu, bentuk perawakan lumut (life-forms)
merupakan karakter morfologi yang juga penting dalam adaptasi (Richards 1984;
Chantanaorrapint 2010). Lejeunea flava, L. anisophylla merupakan lumut hati
berdaun yang berukuran kecil, tumbuh melekat kuat pada kulit batang atau di antara
lumut lain yang ukurannya lebih besar. Sementara itu, Metzgeria sp.1 merupakan
lumut hati bertalus, sering dijumpai membentuk bantalan di pangkal batang. Richards
(1984) menjelaskan bahwa ukuran yang kecil berupa helaian seperti rambut, dan
hidup melekat pada substrat, merupakan karakter adaptasi xerofit yang sering
dijumpai pada anggota Lejeuneaceae.
SIMPULAN
Keanekaragaman lumut epifit yang ditemukan di tiga perkebunan teh di
Jawa Barat sebanyak 90 jenis, meliputi 42 jenis lumut hati dan 48 jenis lumut
sejati yang termasuk dalam 48 marga dan 25 suku. Lejeuneaceae merupakan suku
dengan jumlah jenis tertinggi (26 jenis), diikuti Sematophyllaceae (9 jenis), dan
Frullaniaceae (7 jenis). Perkebunan teh Rancabali memiliki diversitas lumut
paling tinggi, diikuti Nirmala dan Gunung Mas. Diversitas lumut epifit meningkat
dengan pertambahan elevasi. Komunitas lumut epifit di Rancabali dan Gunung
Mas memiliki kesamaan komposisi jenis yang lebih rendah dibandingkan antara
Rancabali dan Nirmala, maupun antara Nirmala dan Gunung Mas. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar perbedaan elevasi antar lokasi semakin kecil
kesamaan komunitas lumut antar keduanya. Pada penelitian ini ditemukan lumut
sejati Sematophyllum tristiculum sebagai jenis lumut epifit yang dominan di
Gunung Mas, lumut hati Lejeunea anisophylla dominan di Nirmala, dan lumut
hati Acanthocoleus javanicus dominan di Rancabali. Lejeunea anisophylla, L.
flava, dan Metzgeria sp.1 merupakan jenis-jenis lumut epifit yang paling umum di
ketiga perkebunan teh tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Apriana D. 2010. Keragaman dan Kelimpahan Lumut Hati Epifit di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ariyanti NS, Bos MM, Kartawinata K, Tjitrosoedirdjo SS, Guhardja E, Gradstein
SR. 2008. Bryophytes on tree trunks in natural forests, selectively logged forests and cacao agroforests in Central Sulawesi, Indonesia. Biol Conserv. 141: 2516-2527.
Ariyanti NS, Sulistijorini. 2011. Contrasting arboreal and terrestrial bryophytes
communities of the Mount Halimun Salak National Park, West Java. Biotropia 2: 81-93.
Asakawa Y. 2008. Marchantiophyta: A good source of biologically active
compounds. Di dalam: Mohamed H, Baki BB, Nasrulhaq-Boyce A, Lee PKY, editor. Bryology in the New Millenium. Proceedings of the World Bryology Conference 2007 Kuala Lumpur Malaysia; Petaling Jaya, 23-27 Jul 2007. Kuala Lumpur: University of Malaya. hlm 367-394.
Bartram EB. 1939. Mosses of the Philippines. The Philip. J Sci. 68: 1-425. Beike AK. 2010. Applied Bryology-Bryotechnology. Trop Bryol. 31: 22-32. Bodade RG, Borkar PS, Arfeen S, Khobragade CN. 2008. Invitro screening of
bryophytes for antimicrobial activity. J. of Med. Plants. 7: 23-28. Bruun et al. 2006. Effects of altitude and topography on species richness of plants,
bryophytes and lichens in alpine communities. J. of Veget. Sci. 17: 37-46. Buck WR, Goffinet B. 2002. Morphology and Classification of Mosses. Di dalam
Shaw AJ, Goffinet B, editor. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 71-123.
Chantanaorrapint S. 2010. Ecological studies of epiphytic bryophytes along
altitudinal gradient in Southern Thailand [disertasi]. Bonn: Naturnissenschaftlichen Fakultat der Rheineschen-Friedrich-Wilhelms-Universitat Bonn.
Crandall-Stotler B, Stotler RE. 2002. Morphology and classification of the
Marchantiophyta. Di dalam Shaw AJ, Goffinet B, editor. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 21-70.
Daniel AED, Kariyappa KC. 2007. Diversity of bryophytes in Southern Western
Ghats. Curr Sci. 93: 1-5.
30
Dey A, De JN. 2012. Antioxidative potential of bryophytes: Stress tolerance and commercial perspective: A review. Pharmacologia 3: 151-159.
Eddy A. 1988. A Handbook of Malesian Mosses. Vol.1. Sphagnales to Dicranales.
London: Natural History Museum Publication. Eddy A. 1990. A Handbook of Malesian Mosses. Vol.2. Leucobryaceae to
Buxbaumiaceae. London: Natural History Museum Publication. Eddy A. 1996. A Handbook of Malesian Mosses. E Vol.3. Splachnobryaceae to
Leptostomataceae. London: Natural History Museum Publication. Enroth J. 1990. Altitudinal zonation of bryophytes on the Huon Peninsula, Papua
New Guinea. A floristic approach, with phytogeographic considerations. Trop Bryol. 2: 61-90.
Glime, JM. 2007. Bryophyte Ecology. Volume 1. Physiological Ecology.
Ebooksponsored by Michigan Technological University and the International Association of Bryologists. accessed on November 13rd, 2011 at <http://www.bryoecol.mtu.edu/>.
Goffinet B. 2002. Origin and phylogenetic relationships of bryophytes. Di dalam
Shaw AJ, Goffinet B, editor. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 124-149
Gradstein SR. 1992. Threatened bryophytes of the neotropical rain forest: a status
report. Tropic Bryol. 6: 83-93. Gradstein SR. 2011. Guide to the Liverworts and Hornworts of Java. Bogor:
SEAMEO BIOTROP. Gradstein SR, Churchill SP, Salazar-Allen N. 2001. Guide to the Bryophytes of
Tropical America. New York: Memoirs of the New York Botanical Garden 86: 1-577.
Gradstein SR, Culmsee H. 2010. Bryophytes diversity on tree trunks in montane
forests of Central Java. Tropic Bryol 31: 95-105. Gradstein SR et al. 2005. A catalogue of the bryophytes of Sulawesi, Indonesia.
J. Hattori Bot. Lab. 98: 213-257. Gradstein SR et al. 2010. Bryophytes of Mount Patuha, West Java, Indonesia.
Reinwardtia 13: 107-123. Gradstein SR, Nadkarni NM, Kromer T, Holz I, Noske N. 2003. A protocol for
rapid and representative sampling for vascular and non-vascular epiphyte diversity of tropical rain forests. Selbyana 24: 87-93.
31
Gradstein SR, PÖcs T. 1989. Bryophytes. Di dalam: Lieth H, Werger MJA, editor. Tropical rainforest ecosystems. Amsterdam: Elsevier Science Publishers. hlm 311-325.
Grau O, Gitnes J, Birks HJB. 2007. A comparison of altitudinal species richness
patterns of bryophytes with other plant groups in Nepal, Central Himalaya. J. Biogeogr. 34: 1907-1915.
Hallingback T. 2008. Bryophytes and the Global Plant Conservation Strategy. Di
dalam: Mohamed H, Baki BB, Nasrulhaq-Boyce A, Lee PKY, editor. Bryology in the New Millenium. Proceedings of the World Bryology Conference 2007 Kuala Lumpur Malaysia; Petaling Jaya, 23-27 Jul 2007. Kuala Lumpur: University of Malaya. hlm 405-424.
Harahap H. 2004. Pengaruh Pencemaran Timbal dari Kendaraan Bermotor dan
Tanah Terhadap Tanaman dan Mutu Teh [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Haerida I, Gradstein SR, Tjitrosoedirdjo SS. 2010. Lejeuneaceae subfam.
Ptychanthoideae (Hepaticeae) in West Java. Gard. Bull. Singapore 62: 59-111.
. Ho BC, Tan BC, Hernawati NS. 2006. A check list of mosses of Sumatera,
Indonesia. J.Hattori Bot. Lab. 100: 143-190. Junita N. 2010. Lumut Sejati Epifit pada Pangkal Pohon di Kebun Raya Bogor
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Magurran AE. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton:
Princeton University Press.
Mezaka A, Znotina V. 2006. Epiphytic bryophytes in old growth forests of slopes, screes and ravines in north-west Latvia. Acta Universitatis Latviensis 710: 13-116.
Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York : John Wiley & Sons.
Mues R. 2002. Chemical constituents and biochemistry. Di dalam: Shaw AJ,
Goffinet B, editor. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 150-181
Ohsawa M. 1982. Weeds of Tea plantations. Di dalam Holzner W, Numata M,
editor. Biology and Ecology of Weeds. London: Dr.W.Junk Publisher. hlm 435-448.
Pancho JV. 1979. Some bryophytes in tea plantations, Pagilaran, Central Java. BIOTROP Bull. 11: 279-282.
32
Pollatwan R. 2008. Systematic treatment of Sematophyllaceae (Musci) in Thailand [Disertasi]. Bonn: Naturwissenschaftlichen Fakultat der Rheinischen- Friedrich-Willhems-Universitat Bonn.
Polosakan R. 2011. Keanekaragaman jenis pohon dan potensi pemanfaatan kayu oleh masyarakat di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak – Sukabumi. Berk.Penel.Hayati Edisi Khusus: 5A 67-72.
Renzaglia KS, Vaughn KC. 2002. Anatomy, development, and classification of hornworts. Di dalam Shaw AJ, Goffinet B. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 1-20. Richards PW. 1984. The Ecology of Tropical Forest Bryophytes. Di dalam
Schuster RM, editor. New Manual of Bryology. Tokyo: The Hattori Botanical Laboratory 2: 1233-1270.
Saxena DK, Singh S, Srivastava K. 2008. Biomapping studies from India: Use of
moss Isopterygium elegans for measuring seasonal metal precipitation in Garhwal by transplant technique. Di dalam: Mohamed H, Baki BB, Nasrulhaq-Boyce A, Lee PKY, editor. Bryology in the New Millenium. Proceedings of the World Bryology Conference 2007 Kuala Lumpur Malaysia; Petaling Jaya, 23-27 Jul 2007. Kuala Lumpur: University of Malaya. hlm 353-365.
Schiffner V. 1900. Die Hepaticae der Flora von Buitenzorg. Leiden: Erster Band. Brill. SÖderstrÖm L, Gradstein SR, Hagborg A. 2010. Checklist of the hornworts and liverworts of Java. Phytotaxa 9: 53-149. Sporn SG, Bos MM, Gradstein SR. 2007. Is productivity of cacao impeded by
epiphytes? An experimental approach. Agriculture, Ecosystem and Environment 122: 490-493.
Sporn SG, Bos MM, Kessler M, Gradstein SR. 2010. Vertical distribution of epiphytic bryophytes in an Indonesia rainforest. Biodivers.Conserv. 19: 745-760.
Suleiman M, Masundang DP, Tan BC. 2009. A checklist of mosses from Golden
Hope oil palm plantation and surrounding area, Tawau, Sabah, East Malaysia. J. of Trop Biol and Conserv. 5: 53-60.
Tan BC et al. 2006. Mosses of Gunung Halimun-National Park, West Java.
Reinwardtia 12: 205-214. Tan BC, Iwatsuki Z. 1999. Four hot spots of moss diversity in Malesia.
Bryobrothera 5: 247-252.
33
Tan BC, PÖcs T. 2002. Bryogeography and conservation of brophytes. Di dalam Shaw AJ, Goffinet B, editor. Bryophytes Biology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 403-448.
Verdoorn F.1930. Die Frullaniaceae der Indomalesischen Inseln. Annales
Bryologici Supplement I: 1-187.
Wahyuni I. 2010. Lumut Terestrial dan Ganggang Asosiasinya di Kebun Raya Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Yamada K. 1979. A revision of asean taxa of Radula, Hepaticae. Journ.Hattori
Bot. Lab. 45: 201-322. Zhu R-L, Gradstein SR. 2005. Monograph of Lopholejeunea (Lejeuneaceae,
Hepaticae) in Asia. Syst. Bot. Monograph 74: 1-98. Zhu R-L, So ML. 2001. Epiphyllous Liverworts of China. Nova Hedwigia 121:
103-376.