208
LITERASI POLITIK DAN KAMPANYE PEMILU Kontributor Andi Faisal Bakti Donie K. Malik Nur Budi Hariyanto Gana Buana Gun Gun Heryanto Muhamad Rosit Diana Anggraeni Adi Prayitno Ririt Yuniar Editor Andi F. Bakti dan Muhamad Rosit Kata Pengantar Andi Faisal Bakti

dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

LITERASI POLITIK

DAN KAMPANYE PEMILU

Kontributor

Andi Faisal BaktiDonie K. Malik

Nur Budi HariyantoGana Buana

Gun Gun HeryantoMuhamad RositDiana Anggraeni

Adi PrayitnoRirit Yuniar

EditorAndi F. Bakti dan Muhamad Rosit

Kata PengantarAndi Faisal Bakti

Page 2: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

Literasi Politik dan Kampanye PemiluPenulis : Prof. Andi Faisal Bakti, Ph.D., dkk., Eds.

Editor: Muhammad Rosit

Layout & Desain Sampul : Busthomi Rifa’i

Cetakan I: Januari 2017

ISBN : 978-602-60158-1-5

Diterbitkan oleh:FIKOM UP Press

Bekerjasama dengan

The Policy Institute

dan

Churia Press

Page 3: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

iii

KATA PENGANTAR

Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D

(Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan Ketua Dewan Penasehat The Political Literacy Institute)

Sebagai negara yang telah memilih sistem demokrasi sebagai acuan dalam berpolitik, Indonesia telah berada di rel yang benar dalam melakukan proses transfer kekuasaan melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu yang berkala penting dilakukan agar kekuasaan tidak berputar di dalam ruang kekuasaan yang sama. Oleh sebab itu, di era demokrasi elektoral seperti saat ini, setiap warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk turut serta di dalam proses pemilihan, karena juga telah dijamin secara legal di dalam konstitusi.

Terlebih lagi, sejak UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerin tahan Daerah yang di dalamnya terdapat diktum yang menyatakan bahwa calon kepala daerah hanya boleh diusung oleh partai politik dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) karena mengabaikan hak asasi politik warga negara, sehingga kemudian diperbolehkanlah calon perseorangan untuk ikut serta dalam kontestasi pilkada. Maka kini, pemilu kita amatlah terbuka bagi setiap warga negara yang ingin mengekspresikan dirinya di ranah politik.

Sejak Era reformasi bergulir pada 1998, Indonesia telah melaksa na-kan empat kali pemilu. Di dalamnya terdiri dari empat kali pemilihan anggota legislatif pusat (Pileg) dan tiga kali pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung. Selain itu, dalam konteks demokrasi lokal, sejak 2005 juga telah diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang

Page 4: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

iv

memilih Gubernur, Bupati, dan Wali Kota di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Seiring dengan itu, satu kosakata populer lagi mewarnai demokrasi elektoral di tahun 2015 yaitu “pilkada serentak”. Ini merupakan terobo-san dari aturan dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah di-ubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang mekanisme pelaksanaan pil kada yang digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Dengan me-kanisme ini, tercatat Indonesia merupakan negara yang paling progresif di dalam menjalankan mekanisme demokrasi prosedural pemilu.

Dalam konteks itu, pilkada serentak telah digelar secara bertahap, yang dimulai pada 9 Desember 2015. Hingga masa jabatan dari seluruh kepala daerah nantinya selesai dan telah disesuaikan, maka sesuai UU Pilkada yang baru, pelaksanaan pilkada akan benar-benar serentak total sekitar tahun 2024. Pilkada serentak merupakan pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Setahap demi setahap, konsolidasi demokrasi semakin menunjukkan bentuknya, perbaikan pemilihan kepala daerah baik dari aspek prosedural maupun substansi terus dirancang demi pembangunan demokrasi.

UU tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati mengamanat-kan bahwa pilkada yang dilakukan secara serentak harus mampu melahirkan pemimpin daerah yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas sehingga nantinya mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.

Kendati secara prosedural Indonesia telah melakukan pemilu (pemilu nasional dan pilkada) secara berkala, namun dalam prosesnya dapat dikatakan belum sepenuhnya demokratis karena masih diwarnai oleh berbagai persoalan di dalam proses penyelenggaraannya. Di an-ta ranya dimulai dari tahapan pendaftaran calon oleh KPU, proses pendaftaran pemilih, konflik di masa kampanye, maraknyanya politik uang, dan tahapan penetapan pemenang pemilu.

Page 5: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

v

Buku yang berada di tangan Anda ini, merupakan sebuah upaya untuk memberikan ulasan yang kritis terhadap dua persoalan di atas, yaitu terkait maraknya praktik politik uang dan masalah kampanye yang dilakukan partai politik dan calon/kandidat di dalam pemilu. Harapan diterbitkannya buku ini sebagai bagian upaya literasi politik terhadap berbagai pihak, baik itu bagi masyarakat, partai politik, maupun calon terkait dua masalah besar itu.

Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat dan menambah khasanah tentang praktik pemilu dan demokrasi Indonesia. Salam.

Jakarta, 19 Juli 2016

Page 6: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

vi

Page 7: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

vii

DAFTAR ISI

Politik Uang: Tantangan Demokrasi Elektoral Serentak 1Pendahuluan 1Politik Uang dan Relasi Patron-Klien 3Realitas Politik Uang dalam Pemilu 9Penanganan dan Pengetatan Regulasi 12Penutup 16Daftar Pustaka 17

PEMILIHAN KEPALA DAERAH: Evaluasi Sistem dan Metode Dalam Pengisian Kepala Daerah 19A. Berlakunya Pemilukada Secara Langsung 19B. Wacana Evaluatif Pemilukada 251. Inefisiensi dan Inefektivitas Pemilukada 25a. Diangkat Presiden 28b. Dipilih langsung oleh rakyat 29c. Dipilih DPRD 29d. Dipilih DPRD, disetujui Presiden 302. Oligarki Politik Dinasti 333. Mahalnya Pemilukada dan Maraknya Politik Uang 344. Konflik Horisontal dan Belum Dewasanya Berdemokrasi 37C. Pemilukada Secara Langsung Tetap Jadi Pilihan 38DAFTAR PUSTAKA 41

LITERASI PERILAKU PEMILIH 43A. Pendahuluan 43B. Partisipasi Politik Warga 45C. Model Studi Perilaku Pemilih 49

Page 8: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

viii

F. Peran Media Massa 58G. Agenda Literasi Pemilih 61H. Menuju Pemilih Rasional? 68I. Penutup 71DAFTAR PUSTAKA 72

KAMPANYE DI MEDIA CETAK: Antara Regulasi Dan Realitas 75A. Pendahuluan. 75B. Modernisasi Kampanye 76C. Pengaruh Kampanye Di Media 82D. Industri Media Cetak 85E. Belanja Kampanye Media Cetak 87F. Pengaturan Kampanye di Media Cetak 88DAFTAR PUSTAKA 95 INTERNET DAN POLITIK: KONSTRUKSI CITRA KANDIDAT DI MEDIA BARU 97A. Pendahuluan 97B. Media Baru dan Karakteristiknya 99D. Internet dan Politik: Konteks Indonesia 114E. Argumentasi Ruang Publik Baru Kandidat 118F. Peluang dan Tantangan Mengkonstruksi Citra 123G. Penutup 126DAFTAR PUSTAKA 127

KOMODIFIKASI BERITA KAMPANYE NEGATIF DI MEDIA ONLINE 129Pendahuluan 129Ekonomi Politik Media 131Komodifikasi 132Media Sebagai Alat Konstruksi Realitas 133Media Online 134

Page 9: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

ix

Teori Framing 134Kampanye 136Hasil Penelitian 139Penutup 148DAFTAR PUSTAKA 149 MERAJUT DEMOKRASI SUBSTANTIF: UPAYA MEMBANGUN KEHIDUPAN POLITIK BERKUALITAS 151Pemilu dan Ironi Demokrasi 156Masa Depan Demokrasi 162DAFTAR PUSTAKA 168

REPRODUKSI SIMBOL-SIMBOL DALAM FOTO JURNLISTIK 169Pendahuluan 170Pembahasan 172Penutup 188Daftar Pustaka 191

SEKILAS 197THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE 197Sejarah Singkat 197Visi dan Misi 197Nilai Kelembagaan 198Departemen 198Struktur Kepengurusan 200Alamat dan Kontak 201PROFILE PENULIS 203PROFILE EDITOR: 209

Page 10: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

x

Page 11: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

1

Politik Uang:

Tantangan Demokrasi Elektoral Serentak

Oleh Andi Faisal Bakti dan Donie Kadewandana Malik

Pendahuluan

Bergulirnya Era Reformasi yang diikuti perubahan struktur politik berdampak pada terjadinya transformasi di ranah pemilihan umum (Pemilu). Pemilu yang sebelumnya hanya berlangsung di tingkat nasional, kini telah merambah ke tingkat lokal. Mekanisme pemilihan pemimpin nasional (Presiden dan Wakil Presiden) juga lebih demokratis karena pemilihannya dilakukan secara langsung oleh rakyat sejak Pemilu 2004. Begitu juga dengan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara langsung sejak Juni 2005.1

Pelaksanaan pilkada langsung merupakan momen penting bagi pembangunan politik lokal menuju arah yang lebih demokratis karena masyarakat daerah diberi kebebasan dalam menentukan pemimpinnya sendiri, sebagaimana pemerintah telah melaksanakan agenda pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Implikasinya, pemimpin yang terpilih mendapat legitimasi langsung dari partisipasi politik rakyat, sehingga diharapkan aspirasi masyarakat daerah dapat dengan cepat direspons kepala daerah guna menghasilkan akselerasi pembangunan dan kesejahteraan.

1 Regulasi tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung (selanjutnya disingkat Pilkada) awalnya diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 junto Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kemudian UU yang terbaru hasil amandemen tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015.

Page 12: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

2

Sebelum mekanisme pilkada langsung bergulir, pelaksanaan pemilihan pemimpin daerah seperti Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dilakukan secara perwakilan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),2 di mana prosesnya belum melibatkan banyak pihak dan dianggap kurang demokratis karena oligarki partai politik dan penguasa amat kuat di dalam proses seleksinya. Namun, dengan bergulirnya arus reformasi, memunculkan harapan sekaligus tuntutan dari berbagai kalangan agar pilkada dilakukan secara lebih demokratis.

Dalam perkembangannya, aturan dan mekanisme pilkada yang sudah berjalan mengalami perubahan ke arah yang lebih inklusif dan inovatif. Terlebih ketika ada dua regulasi baru terkait praktik pilkada. Pertama, adanya putusan hukum pada Juli 2007 dari Mahkamah Konstitusi yang memutuskan bahwa UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat diktum yang menyatakan calon kepala daerah hanya boleh diusung oleh partai politik dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) karena mengabaikan hak asasi politik warga negara. Atas dasar itu, kemudian pemerintah dan DPR mengamandemen klausul tersebut, sehingga membuka jalan yang luas bagi calon perseorangan atau independen untuk mencalonkan diri dalam pilkada.

Kedua, adanya aturan dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang mekanisme pelaksanaan pilkada yang digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Pada saat tulisan ini sedang dibuat, pelaksanaan pilkada serentak telah digelar secara bertahap, yang dimulai pada 9 Desember 2015. Hingga masa jabatan dari seluruh kepala daerah nantinya selesai dan telah disesuaikan, maka pelaksanaan pilkada akan benar-benar serentak total sekitar tahun 2027. Dengan adanya

2 Pilihan terhadap sistem pilkada langsung yang progresif merupakan koreksi atas sistem sebelumnya yang menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan dengan mekanisme perwakilan tertuang dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Page 13: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

3

transformasi regulasi dan mekanisme seperti itu, maka berimplikasi pada peran dan eksistensi partai politik serta perubahan demokrasi secara prosedural maupun substansi.

Bila mencermati ratusan praktik pilkada langsung, termasuk yang belakangan digelar serentak, terlihat masih banyak kendala yang dihadapi. Di antaranya dimulai dari tahapan pendaftaran calon oleh KPU, proses pendaftaran pemilih, masalah kampanye, maraknyanya politik uang, dan tahapan penetapan pemenang pemilu. Adapun salah satu masalah krusial di atas yang menjadi sorotan publik dan sampai saat ini masih belum dapat ditangani secara tuntas yaitu terkait politik uang (money politics).

Terkait masalah ini, kami ingin mengkaji sekaligus mendiskusikan persoalan krusial yang masih menjadi hambatan demokrasi di negeri ini. Karena itu, dalam tulisan ini diajukan pertanyaan: mengapa politik uang (money politics) di dalam demokrasi elektoral Indonesia masih marak? Kemudian akan dijawab juga mengenai langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Sebagai negara demokrasi yang relatif berusia muda, Indonesia masih rentan dirasuki oleh politik uang. Kendati secara prosedural Indonesia telah melakukan pemilu dan pilkada secara berkala, namun dalam prosesnya dapat dikatakan belum sepenuhnya demokratis karena uang masih menjadi salah satu faktor penentu di dalam proses pemilihan, terutama untuk melakukan politik transaksional yang sebenarnya dapat merusak bangunan demokrasi.

Politik Uang dan Relasi Patron-Klien

Tidak dapat dimungkiri bila demokrasi Indonesia, khususnya di arena pemilu (pemilu nasional dan pilkada), masih banyak diwarnai oleh politik uang. Pemberian uang tidak saja merajalela pada saat kontestasi pemilu, namun pada saat proses pemilihan pimpinan partai ataupun pemilihan kepala desa juga masih banyak ditemui kasus-kasus

Page 14: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

4

seperti ini. Singkatnya, dari kontestasi tingkat bawah hingga atas, uang dijadikan senjata pamungkas untuk mendulang suara. Padahal cara-cara seperti ini merupakan upaya merendahkan martabat manusia, bangsa, dan negara. Bila uang dijadikan instrumen transaksional di awal seleksi, dikhawatirkan akan menular pada waktu pemberi uang itu berkuasa. Artinya, uang akan dijadikan sebagai tujuan utama di dalam menjalankan tugas karena kekuasaan yang didapat bukan murni dari suara hati nurani melainkan dari mekanisme transaksi.

Bila ditilik secara historis, sejak Era Reformasi bergulir, pelaksa-naan demokrasi secara prosedural sudah berjalan dengan baik. Hal itu bisa dilihat dari telah terlaksananya pemilu secara berkala, baik itu Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan ratusan Pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota baik secara langsung maupun terakhir juga sudah dilaksanakan secara serentak. Kendati prosedur demokrasi sudah dijalankan, namun bila melihat prosesnya kita masih harus mengelus dada karena banyak diwarnai oleh maraknya praktik politik uang.

Melalui politik uang, rakyat dikapitalisasi untuk memenangkan partai politik maupun kandidat saat mereka berkontestasi dalam demokrasi elektoral yang sangat mahal. Beban demokrasi elektoral yang demikian mahal menyebabkan lemahnya proses demokratisasi di Indonesia. Fase konsolidasi demokrasi yang seharusnya digunakan secara efektif untuk mewujudkan demokrasi substantif yang menekankan pada pendayagunaan masyarakat nyatanya masih jauh panggang daripada api (Bakti, 2012).

Banyak calon dari partai politik justru mengambil jalan pintas dengan menjadikan kalangan bawah sebagai sasaran untuk memperoleh suara dengan instan. Mereka diiming-imingi dengan uang, barang, atau alat tukar lain yang bernilai. Perilaku praktik politik uang di dalam pemilu inilah yang kemudian menyuburkan patronase dan klientelisme dalam demokrasi elektoral Indonesia.

Page 15: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

5

Dan ini pula yang sebenarnya menghambat, bahkan bisa dikatakan merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun.

Beragam diskusi dan rembug publik telah banyak dilakukan guna mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Secara normatif, mayoritas kalangan bersepakat menolak politik uang, walaupun pada akhirnya di antara para politisi harus tidak menolak menggunakan uang ketika pelaksanaan pilkada berlangsung. Kalau mereka tidak menggunakan cara-cara yang calon lain gunakan dengan menggunakan permainan uang, mereka khawatir akan tidak terpilih. Ditambah lagi dengan mahalnya ongkos berdemokrasi dan kompetisi antarpartai serta antarcalon yang semakin ketat membuat mereka terjebak dalam lingkaran dilematis ini.

Dalam kerangka politik Indonesia, politik uang kerap dimaknai sebagai aspek yang terkait dengan proses elektoral. Karena itu, politik uang beroperasi pada dua ranah. Pertama, di tingkat elite dalam Pemilihan Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, Wali Kota, ataupun elite partai yang maju dalam proses pemilihan ketua umum. Setiap calon mesti mengeluarkan modal finansial yang besar untuk mendapatkan partai, melakukan kampanye, menyewa konsultan, hingga mengurus perkara ke Mahkamah Konstitusi jika pada akhirnya terjadi sengketa. Kedua, politik uang di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih. Dalam hal ini, setiap calon mesti melakukan memobilisasi massa dan berkalkulasi serta mempertimbangkan suara per-kepala pemilih untuk mencapai kemenangan di proses akhir penghitungan (Muhtadi, 2013).

Studi tentang politik uang yang kerap dilakukan oleh berbagai ilmuan politik mempunyai perbedaan antara satu setting tertentu dengan yang lain. Nankyung Choi (2007) misalnya, menggambarkan politik uang dalam beberapa kasus pilkada di Indonesia, sedangkan Vedi Hadiz (2005) menggunakan istilah ini dalam kerangka umum mengenai kekuatan politik predatoris. Untuk memahami konstelasi politik uang

Page 16: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

6

sebagaimana kita lihat hari ini di Indonesia, setidaknya dapat ditinjau dari relasi patron-klien. Jamie Mackie (2010) memaknai patron-klien sebagai istilah yang langsung menunjuk pada hubungan mutualistik antara patron yang berkecukupan dan klien yang membutuhkan.

Sementara itu, Edward Aspinall di dalam buku Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 (2015) mengartikan patronase sebagai bentuk distribusi materi atau keuntungan politik yang dilakukan oleh politisi kepada pemilih atau pendukungnya. Sedangkan klientelisme dipahami sebagai karakter hubungan antara politisi dengan pemilih atau pendukung. Patronase dan klientelisme menjadi strategi kampanye yang dipilih oleh hampir semua calon atau kontestan politik untuk meraih sebanyak-banyaknya suara pemilih.

Aktivitas patronase memberikan keuntungan materi dari caleg kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak. Patronase di antaranya diwujudkan dalam bentuk pembelian suara (vote buying), pemberian barang kepada kelompok-kelompok tertentu (club goods), pemberian hadiah kepada individu-individu (individual gifts), penyediaan beragam pelayanan sosial (services and activities), dan pemanfaatan dana publik untuk kepentingan elektoral (pork barrel politics).

Dalam konteks politik uang, implementasi patronase dilakukan menggunakan sumber-sumber material yang diberikan politisi kepada si klien atau pihak kedua maupun ketiga. Modusnya dilakukan dengan bermacam-macam cara, antara lain uang atau barangnya dibagi secara langsung kepada pemilih, diberikan kepada orang yang berpengaruh dan dikenal oleh pemilih, atau disampaikan kepada komunitas tertentu dalam jumlah yang terbatas.

Bentuknya bisa uang tunai yang dibagikan secara langsung maupun melalui perantara, sumbangan berupa barang-barang kebutuhan sehari-hari, serta bisa juga melalui bantuan fasilitas publik yang

Page 17: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

7

sedang dibutuhkan oleh masyarakat setempat, seperti pembangunan infrastruktur jembatan, jalan, tempat ibadah, dan lain sebagainya.

Sementara klientelisme merujuk pada jaringan yang digunakan untuk pendistribusian material tersebut. Bentuknya bisa dari patron ke klien atau face to face. Mekanismenya melalui jejaring hubungan mutualistik yang sudah terbangun satu sama lain, kemudian terdapat unsur pertukaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dan bersifat loyal.

Selain terjadi di Indonesia, praktik politik uang juga dikenal di negara lain. Jika di Indonesia politik uang dapat tergambar dengan sebutan “serangan fajar” di pemilu, di Penang Malaysia, politik uang terbaca dengan adanya pemasangan spanduk resistensi “Tolak Politik Wang.” Istilah serupa juga ditemukan di Thailand dengan sebuatan “the night of the barking dogs,” atau di Papua Nugini yang umum dikenal dengan istilah “malam setan”. Istilah-istilah tersebut biasanya merujuk pada kondisi sebelum pemilihan berlangsung di mana uang mulai disebar kepada pemilih agar mereka memilih calon tertentu (Aspinall, 2015).

Studi literatur lain juga menyebutkan bahwa politik uang di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh bos lokal (local bosism), orang kuat lokal (local strongman) dan politik dinasti. Sementara di Filipina politik uang banyak dimainkan oleh klan, di Thailand oleh broker, dan di Malaysia muncul karena kebijakan dan mekanisme partai yang oligarikis. Di Indonesia, jaringan yang dipakai untuk melancarkan ini biasa disebut dengan “tim sukses”.

Tim sukses merupakan bagian dari struktur pemenangan yang fungsi dasarnya menghubungkan calon dan pemilih lewat beberapa level mulai dari tim inti yang kemudian dibagi secara teritorial, seperti koordinator kecamatan, koordinator desa, koordinator TPS, sampai anggota tim yang langsung berinteraksi dengan pemilih. Struktur ini digambarkan mirip dengan piramida dan hampir bisa

Page 18: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

8

ditemukan di banyak daerah di Indonesia yang kemudian disebut Aspinall sebagai “brokerage pyramid.”

Tim sukses yang kerap menjadi bagian dari tim pemenangan sang calon antara lain: orang awam yang memiliki kemampuan tertentu, orang yang memiliki dana seperti pengusaha atau kontraktor dengan kepentingan bisnis, ataupun orang-orang yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Mereka yang tergabung dalam tim pemenangan calon berfungsi untuk mengetahui preferensi pemilih dan mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan. Karena itu, mereka terus mengamati dan mengidentifikasi semua pihak yang menjadi sasarannya, baik itu yang berada dalam kategori pendukung, abu-abu, maupun pihak lawan.

Ada berbagai motif yang melatarbelakangi seseorang bergabung di dalam tim pendukung. Aspinall di dalam karyanya yang lain berjudul When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia (2014), membaginya ke dalam tiga kelompok. Pertama, activist broker yakni orang yang mendukung calon karena merasa mempunyai kedekatan, baik secara ideologi, hubungan keluarga, pertemanan, maupun kesamaan etnis atau suku. Golongan ini cenderung setia terhadap calon karena mereka berharap orang yang menang merupakan bagian dari identifikasi dirinya. Kedua, clientelist broker yaitu orang-orang yang motivasi utamanya adalah materi tetapi berorientasi pada jangka panjang. Mereka biasanya bergabung ke calon yang memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilihan. Ketiga, opportunist broker, yaitu orang-orang yang bergabung dengan calon yang memiliki banyak uang. Hubungan yang terjalin biasanya bersifat jangka pendek, karena motifnya yang semata uang.

Realitas Politik Uang dalam Pemilu

Maraknya praktik politik uang yang terjadi di pemilu nasional terpetakan menyebar di hampir seluruh daerah di Indonesia. Hal itu

Page 19: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

9

tercermin dari hasil penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh Coral Bell School of Asia Pacific Affairs di Australian National University (ANU) dan Politics and Government Research Center di Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam periode pelaksanaan proses pemungutan suara pada pemilu 9 April 2014 dan beberapa hari setelahnya. Studi yang melibatkan 50 peneliti di sejumlah provinsi di Indonesia itu bertujuan untuk melihat adanya relasi politik uang dalam pemilu yang kemudian menyuburkan praktik patronase dan klientelisme dalam demokrasi lokal (Aspinall, 2015).

Ada beberapa temuan menarik terkait hasil penelitiannya. Pertama, terkait dengan aspek timbal balik (reciprocal trust) yang terbangun antara politisi dan pemilih sampai saat pemilihan digelar di hari H. Aspek ini ternyata tidak menjamin 100 persen dari pemilih untuk tetap setia pada posisi memilih si calon yang memberikannya uang. Kondisi ketidakpastian ini merupakan bagian dari dampak relasi patrimonialisme baru di era demokrasi.

Hubungan patronase yang terjadi saat ini bersifat egaliter, dinamis, dan rasional. Artinya, hubungan tersebut tidak mengikat pemilih dengan politisi tersebut, baik secara materi maupun afeksi. Namun secara umum, masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjadi pemilih pragmatis. Indikasinya tercermin dari munculnya berbagai macam ekspresi budaya politik lokal masyarakat, seperti wani piro (berani bayar berapa), ana duit ya dipilih (ada duit ya akan dipiih), ora uwek ora obos (tidak ada uang tidak mencoblos), ado kendak baru uak balek (minta dukungan baru balik), dan cempedak dibawa bilik (ada sesuatu yang dibawa pulang). Istilah-istilah tersebut hidup dalam masyarakat karena terpengaruh pada sikap elite politik yang setelah mendapatkan kursi justru abai terhadap kondisi konstituennya.

Kedua, terkait efektivitas politik uang sebagai alat kampanye dalam ajang pemilu. Dengan sistem multipartai ditambah sistem pemilu proporsional terbuka yang kita anut membuat kompetisi di antara

Page 20: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

10

partai menjadi begitu tajam. Tegangan-tegangan pun terjadi di antara sesama calon guna berebut suara pemilih, baik pemilih terkategorisasi maupun swing voters. Bagi calon yang berpikiran jangka panjang dan menghargai proses demokrasi mungkin akan bisa menahan dan tak tertarik untuk menebar uang. Namun, bagi calon yang berpikir jangka pendek, uang adalah realitas yang mesti diaktualisasikan.

Maka tak heran jika di momen itu transaksi dan patronase mulai berseliweran di ruang publik dalam bentuk pembelian suara (vote buying), pemberian barang kepada kelompok-kelompok tertentu (club goods), pemberian hadiah kepada individu-individu (individual gifts), penyediaan beragam pelayanan sosial (services and activities), dan pemanfaatan dana publik untuk kepentingan elektoral (pork barrel politics).

Alhasil, terciptalah kondisi yang transaksional dan terjadi hukum rimba. Siapa yang mempunyai kuasa, popularitas, elektabilitas, dan logistik yang tinggi dialah yang mempunyai peluang besar untuk terpilih. Penelitan Donie Kadewandana Malik (2016) di DKI Jakarta pada Pemilu 2014 juga mengonfirmasi penelitian yang dilakukan di atas. Dalam penelitian yang ia lakukan terhadap partai-partai Islam, ternyata calon-calon yang lolos menjadi anggota legislatif dipengaruhi kuat oleh faktor modal finansial.

Berdasarkan pernyataan dari beberapa caleg DPR dan DPRD DKI Jakarta yang diteliti, hampir semuanya mengatakan bahwa pemilu anggota DPR maupun DPRD di DKI Jakarta, tak luput dari faktor uang. Uang bukan lagi sekadar faktor pendukung namun sudah menjelma menjadi faktor penentu untuk memenangkan seseorang caleg di dalam pemilu. Lebih jauh, dalam penelitan itu dipotret keberadaan politik uang yang sudah mulai tampak dari proses penjaringan caleg-caleg hingga pada saat hari H pemungutan suara. Kondisi itu diperparah dengan perilaku pemilih di DKI Jakarta yang kini cenderung kian pragmatis.

Sementara itu, penelitian mendalam yang dilakukan oleh ANU

Page 21: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

11

dan UGM di 18 daerah terkait patronase dan klientelisme melalui politik uang berbuah pada tiga pola (Aspinall, 2015). Pola pertama, patronase dan klientelisme berbasis etnisitas dan agama. Pola tersebut terlihat dalam kasus Aceh (Bener Meriah dan Bireuen), Sumatera Utara (Medan), Sumatera Selatan (Palembang), dan Bangka Belitung. Pola kedua, patronase dan klientelisme berbasis makelar politik (brokerage), baik itu organisasi sosial maupun organisasi massa seperti dalam kasus Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi dan Cirebon), Jawa Tengah (Pati dan Blora), Jawa Timur (Jombang dan Madiun). Pola ketiga adalah patronase dan klientelisme berbasis pelayanan konstituen (constituency services) dalam kasus Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jayapura (Papua).

Kesimpulan penelitian yang terjabarkan dari pola di atas, menunjukkan bahwa politik uang dalam pemilu terjadi karena faktor mutualisme dan interdependensi, baik dari sisi calon maupun pemilih. Si calon ingin mendapatkan atau mempertahankan kursi jabatan dengan jalan instan. Pemilih pun ingin dihargai hak dan keinginannya oleh si calon, sehingga menjadikan suara sebagai komoditas dan instrumen penekan.

Senada dengan penelitian di pemilu nasional, merebaknya politik uang juga mewarnai pilkada serentak. Berdasarkan pengamatan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), maraknya politik uang di pilkada serentak pada 9 Desember 2015 cukup mengejutkan. Menurut catatan Perludem, pilkada serentak yang pertama kali diselenggarakan itu tercatat menghasilkan 910 kasus politik uang. Dari 910 kasus itu, lokasinya tersebar di hampir semua daerah yang menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Politik uang itu berupa pemberian uang kepada pemilih sebanyak 829 kasus dan 81 kasus karena pembagian barang. Sayangnya, dari ratusan kasus itu, 846 laporan politik uang dalam pilkada dihentikan prosesnya. (Kompas, 11/3/2016).

Page 22: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

12

Mahalnya biaya politik di pilkada juga dibenarkan oleh mantan Bupati Karawang Dadang S Mochtar yang kini menjadi anggota Komisi II DPR. Ia mengatakan bahwa tidak ada pemilihan di Indonesia yang tanpa politik uang. Dia menyebutkan, biaya politik yang harus ia keluarkan untuk ikut pilkada di Pulau Jawa mencapai Rp 100 miliar (Kompas, 2/3/2016).

Beragam fakta praktik politik uang diyakini masih akan terus ekis di kancah pemilu Indonesia. Hal itu tercermin dari penegasan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap masyarakat. Sebanyak 85,7 persen responden mengaku yakin bahwa politik uang masih mewarnai penyelenggaraan pemilu (pemilu nasional dan pilkada). Hanya 8,5 persen responden yang masih ragu ada tidaknya politik uang dalam pemilu (Kompas, 15/9/2015). Karena itu, praktik politik uang merupakan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia saat ini, maupun di masa depan, yang patut dicarikan solusi terbaik penanganannya.

Penanganan dan Pengetatan Regulasi

Politik uang yang terjadi di dalam pemilu (pemilu nasional dan pilkada) jelas dapat menciderai, bahkan mematikan demokrasi. Politik uang bukan hanya sebuah pelanggaran pemilu, namun sudah tergolong dalam kejahatan pemilu karena melanggar hak asasi manusia sekaligus konstitusi. Politik uang juga telah menjatuhkan harga diri warga negara yang memiliki hak untuk memilih berdasarkan penilaiannya masing-masing. Kompetisi yang semestinya berjalan dengan fair dan bersih ternodai oleh praktik-praktik curang.

Selain itu, politik uang juga dapat menghambat munculnya calon-calon yang berpotensi dan berintegritas karena terlebih dahulu ditikung oleh mereka yang kebetulan memiliki modal finansial yang banyak. Kalau sudah begitu, pemimpin yang terpilih dengan menggunakan politik uang kemungkinan besar pada saat menjabat

Page 23: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

13

tak sungkan-sungkan melakukan korupsi karena menganggap hal itu sebagai kewajaran dalam berpolitik.

Ada ironi terkait penanganan politik uang yang mestinya dilakukan oleh partai politik sebagai institusi demokrasi modern. Di satu sisi partai politik semestinya memberikan pendidikan politik kepada rakyat untuk tidak menerima uang di dalam pemilu. Di sisi lain, para calon yang berasal dari partai politiklah yang kemudian memberi uang kepada para pemilih untuk meraih suara dengan instan.

Patut disadari bahwa fungsi partai politik amat penting dilakukan sebagai upaya menjaga marwah demokrasi. Upaya edukasi dan penyadaran publik harus dilakukan secara terus menerus oleh partai politik sehingga lambat laun diharapkan masalah ini akan kian kecil eksistensinya. Politik uang akan tumbang ketika rakyat sadar dan memilih kandidat yang berintegritas serta memiliki rekam jejak kepemimpinan yang terbukti berprestasi. Contoh hal ini, misalnya dapat kita lihat dari sosok seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), dan Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng) yang menang dalam pikada karena kepercayaan publik atas dasar integritas dan kapabilitas yang dimilikinya.

Faktor lain yang dapat memandulkan politik uang selain memunculkan kandidat yang berintegritas, yaitu dengan banyaknya pemilih loyal. Biasanya pemilih loyal di sini diukur dari identifikasi diri dengan partai (party-ID). Dalam perspektif ilmu politik, identifikasi politik terhadap partai didasarkan pada hubungan emosional dan psikologis. Seseorang yang mempunyai party-ID yang kuat biasanya tetap akan loyal dan memilih partai atau calon dari partai yang dekat dengannya, meski partai yang bersangkutan tidak maksimal menjalankan fungsinya sebagai penyerap asprasi rakyat.

Sayangnya, berdasarkan temuan penelitian Lembaga Survey Indonesia (2011), pemilih yang memiliki party-ID di Indonesia

Page 24: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

14

jumlahnya sedikit, sekitar 20%. Sisanya, pemilih bisa berubah setiap saat tergantung situasi. Tren menurunnya party-ID di diakibatkan oleh buruknya citra dan kinerja partai politik. Ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terkuaknya kasus-kasus korupsi dan perilaku negatif yang dilakukan oleh para elite partai terutama yang duduk di DPR. Jika partai politik tidak melakukan pembenahan maka pemilih akan semakin antipati terhadap partai. Dan pada akhirnya akan semakin mengokohkan praktik politik uang karena pemilih cenderung menggunakan pendekatan transaksional.

Karena party-ID di Indonesia masih rendah, maka rakyat sebagai pemilik suara mesti menentukan pilihan calon pemimpinnya dengan tepat. Pemilih harus berani menolak dan tidak memilih calon pemimpin yang hanya mengandalkan uang sebagai alat pencari kekuasaan. Rekam jejak dan karakter kepemimpinan yang baik mesti menjadi parameter penting diketahui oleh calon pemilih sebelum menentukan pilihannya. Sebab, satu hari menentukan pilihan di bilik suara, maka akan berimplikasi pada kepemimpinan dan kondisi pembangunan selama lima tahun.

Di samping suara penolakan terhadap politik uang yang harus mesti didengungkan, dalam konteks negara hukum, tentu harus ada aturan main (regulasi) yang ketat dan tegas agar muncul efek jera bagi para pelakunya sehingga politik transaksional itu tidak kembali terulang. Karena itu, UU Pilkada di dalamnya harus memuat aturan jelas dan tegas terkait politik uang. Saat tulisan ini sedang dibuat, secara kebetulan Rapat Paripurna DPR telah mengesahkan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Pengesahan UU ini memberikan kepastian hukum tentang penyelenggaraan pilkada serentak. Titi Anggraini di dalam tulisannya

Page 25: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

15

Ambiguitas Pengaturan Politik Uang (2016), mengklasifikasikan pengaturan baru tersebut ke dalam tiga isu. Pertama, adanya penguatan kewenangan Bawaslu provinsi untuk memutus sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon bagi calon yang melanggar larangan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Keputusan Bawaslu provinsi bisa dibanding ke Bawaslu RI dan apabila masih tidak puas bisa menempuh upaya hukum terakhir kasasi ke Mahkamah Agung.

Kedua, penegakan sanksi administrasi politik uang tidak menggugurkan sanksi pidana. Dua sanksi ini bisa diterapkan bersamaan tanpa ketergantungan proses satu sama lain. Ketiga, adanya pengaturan sanksi pidana yang tegas atas politik uang berupa jual beli kursi pencalonan (mahar politik), jual beli suara pemilih (vote buying), dan suap kepada penyelenggara pemilihan.

Kendati UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ini menjabarkan tentang aturan dan sanksi politik uang, namun pada saat yang sama terlihat ambigu terhadap politik uang. Dalam UU Pilkada 2016 ini tidak diatur dengan jelas dan tegas definisi politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif. Tanpa adanya definisi dan pembatasan yang terang, nampaknya akan sulit untuk mengenakan sanksi kepada calon yang melakukan praktik politik uang.

Hal serupa juga tertera di dalam Pasal 73 Ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang tidak melarang calon memberikan biaya makan minum, biaya transpor, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya. Pengaturan semacam ini tentu sangat ambigu. Di satu sisi, UU ini ingin melarang praktik politik uang, namun di sisi lain diktum dari ayatnya ada yang tidak sesuai dengan semangat pelarangan politik uang.

Semua bentuk pemberian yang disebutkan di atas pada dasarnya adalah bentuk politik uang karena kerap ditemui dalam kampanye,

Page 26: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

16

dan hal itu sebenarnya merupakan instrumen untuk memengaruhi pemilih. Terkait ambiguitas ini, kini harapan ada di tangan KPU. KPU menurut UU Nomor 10 Tahun 2016 berhak menetapkan batasan dan besaran bentuk bantuan. Karena itu, diharapkan KPU dapat memberikan batasan yang lebih ketat terhadap aturan ini untuk menutup celah kecurangan yang mungkin terjadi.

PenutupPraktik politik uang di dalam pemilu (pemilu nasional dan

pilkada) merupakan tindakan yang dapat mematikan demokrasi. Politik uang bukan hanya sebuah pelanggaraan pemilu, namun sudah tergolong dalam kejahatan pemilu karena melanggar hak asasi manusia sekaligus konstitusi. Karena itu, mesti diambil tindakan proaktif dalam mengatasi masalah ini. Karena jika tidak, akan menimbulkan masalah minimnya akuntabilitas dan kepercayaan publik. Upaya-upaya penanganan seperti pendidikan politik kepada rakyat oleh partai politik harus terus dilakukan guna memberi kesadaran berdemokrasi yang sehat. Selain itu, partai politik mesti berbenah diri dengan menunjukkan kinerja yang lebih baik dan dapat memberikan contoh kepada publik akan politik yang bersih, bebas dari politik uang dan korupsi. Yang terakhir, melakukan upaya pengetatan regulasi pemilu yang dibuat. Jangan sampai ada celah sedikit pun bagi politik uang untuk masuk dan merusak proses demokrasi elektoral.

Page 27: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

17

Daftar Pustaka

Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati (ed.). 2015. Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov.

Aspinall, Edward. 2014. When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia. Critical Asian Studies. Vol. 46, No. 4.

Anggraini, Titi. 2016. Ambiguitas Pengaturan Politik Uang. Harian Kompas Edisi 10 Juni.

Bakti, Andi Faisal, dkk. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.

Choi, Nankyung. 2007. Local Elections and Democracy in Indonesia: The Riau Archipelago. Journal of Contemporary Asia, Vol. 37, No. 3.

Hadiz, Vedi R. 2005. “Reorganizing Political Power in Indonesia: A Reconsideration of So-called ‘Democratic Transitions’”, dalam M. Erb, P. Sulistiyanto dan C. Faucher (Eds.). 2005. Regionalism in post-Suharto Indonesia. London: Routledge-Curzon.

Malik, Donie Kadewandana. 2016. Partai Politik Islam dan Pemilihan Umum: Studi Peningkatan Dukungan Elektoral PKB dan PPP Pada Pemilu Legislatif 2014 DPR RI di Dapil DKI Jakarta. Jurnal Politik Indonesia, Vol 1, No. 1.

Mackie, Jamie. 2010. “Patrimonialism: The New Order and Beyond”, dalam Aspinall, Edward dan Greg Fealy (Eds). 2010. Suharto’s New Order and Its Legacy: Essays in Honour o f Harold Crouch. (e-book). Canberra: ANU E-Press.

Page 28: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

18

Muhtadi, Burhanuddin. 2013. Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara “Party-ID” dan Patron-Klien. Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 10, No. 1.

Kompas, Edisi 11 Maret 2016.

Kompas, Edisi 2 Maret 2016.

Kompas, Edisi 15 September 2015.

Page 29: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

19

PEMILIHAN KEPALA DAERAH:

EVALUASI SISTEM DAN METODE DALAM

PENGISIAN KEPALA DAERAHOleh Nur Budi Hariyanto

Abstrak

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang dilakukan langsung oleh rakyat mulai menuai gugatan. Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah – sekalipun terbatas pada gubernur dan wakil gubernur – oleh DPRD berhembus kencang. Metode seperti apa yang tepat?

A. Berlakunya Pemilukada Secara LangsungSeiring dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan pemilihan

umum (Pemilu) 1999, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pun mengalami perubahan. Penataan pemerintahan daerah dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya undang -undang tersebut, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih terdesentralisasi karena sebagian besar wewenang pemerintahan diserahkan kepada daerah. Penerapan sistem desentralisasi atau otonomi daerah tersebut memperkuat kedudukan kabupaten/kota dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Salah satu konsekuensi dari diberlakukannya otonomi daerah tersebut terjadinya perubahan dalam sistem dan mekanisme

Page 30: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

20

pemilihan kepala daerah. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan acuan utama yang mengatur mekanisme hubungan pemerintah pusat dan daerah masa Orde Baru. Undang-undang tersebut mengatur pula mengenai sistem dan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada), baik gubernur dan wakil gubernur (kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat I) maupun bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 , gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala daerah tingkat I dan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota sebagai kepala daerah tingkat II dipilih oleh DPRD. Pencalonan dan pemilihan oleh DPRD tersebut harus melalui permusyawaratan dan kesepakatan dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk kepala daerah tingkat I dan gubernur untuk kepala daerah tingkat II (UU No.5/1974 Pasal 15 ayat 1). Kepala daerah I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Mendagri (Ibid, Pasal 15 ayat 1). Selanjutnya, hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Mendagri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya (Ibid, Pasal 15 ayat 2).

Berdasarkan peraturan tersebut, maka peran DPRD acapkali mendapat kritikan tajam karena kepala daerah tingkat I yang dipilih bu-kan calon yang dikehendaki masyarakat. Gubernur dan wakil gubernur selaku kepala daerah tingkat I lebih merupakan pilihan presiden dan bukan merupakan pilihan “murni’’ DPRD sebagai wakil rakyat.

Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 memperlihatkan betapa besarnya dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam proses pemilihan kepala. Secara tidak langsung, aturan tersebut menyebutkan bahwa DPRD hanya berhak mengajukan calon kepada daerahnya, sementara pemerintah pusat yang menentukan

Page 31: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

21

calon jadi dan kepala daerah terpilih, tanpa perlu terikat oleh hasil pemilihan di DPRD sekalipun.

Setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme tersebut diperbaiki. Seiring bergulirnya era Reformasi, maka peran DPRD dalam memilih gubernur dan wakil gubernur selaku kepala daerah tingkat I dan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota selaku kepala daerah tingkat II semakin diperkuat.

DPRD bertugas dan berwenang memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil wali kota. Di samping itu, selain berhak dan berwenang memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari utusan daerah, DPRD berhak dan berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota (UU No.22/1999, Pasal 33 ayat 1).

Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota tersebut dilakukan DPRD melalui pemilihan secara bersamaan (Ibid, Pasal 34 ayat 1). Pada tahap ini setiap fraksi atau dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon kepala daerah (Ibid, Pasal 35 ayat 3) hingga dalam musyawarah atau pemungutan suara menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh DPRD (Ibid, Pasal 36 ayat 3).

Dalam mekanisme tersebut, presiden hanya menerima konsultasi dari nama-nama calon gubernur dan calon wakil gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD (Ibid, Pasal 38). Selanjutnya, DPRD melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden (Ibid, Pasal 40).

Page 32: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

22

Seiring dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Perubahan yang mengamanatkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, maka sesuai dengan tuntutan reformasi, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) pun dilaksanakan secara langsung. UUD 1945 Perubahan pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Hal tersebut dapat dilihat melalui penjabaran dari amanat konstitusi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Berdasarkan perkembangan dan dinamika zaman serta preseden dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, maka mekanisme pemilihan kepala daerah pun ikut berubah. Kepala daerah, baik gubernur selaku kepala daerah provinsi maupun bupati atau wali kota beserta pasangannya dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring penataan otonomi daerah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka di dalamnya mengatur pula mengenai pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung oleh rakyat.

Sejak diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 beserta pera-turan pelaksanaannya, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diselenggarakan Pemilukada dengan sistem dan mekanisme baru. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya.

Pemilukada tersebut diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 119. Sebagai aturan teknisnya, diberlakukan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pemilukada tercermin dalam penyelengaraan pemilukada tersebut. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis

Page 33: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

23

berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Pemilukada yang diatur dalam pemerintahan daerah selan-jutnya menjadi rezim pemilu yang dimulai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. UU tersebut menyatakan bahwa pemilu termasuk pula di dalamnya pemilihan umum kepala daerah. Dengan demikian, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Pada kedua undang-undang tersebut, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan politik (UU No.32/2004, Pasal 36). Dalam tahap pendaftaran pasangan calon, maka partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan (Ibid, Pasal 39 ayat 1). Pada tahap penjaringan bakal calon, partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan dan memprosesnya melalui mekanisme yang demokratis dan transparan (Ibid, Pasal 39 ayat 2). Pengaturan yang mendasar, pasangan calon dari manapun asalnya, apakah berasal dari partai politik atau perseorangan, harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Ibid, Pasal 39 ayat 3).

Pada perkembangannya, kewajiban pasangan calon diajukan oleh partai politik tersebut menuai gugatan sebagian kecil warga negara In-donesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK akhirnya me mutuskan tentang diperbolehkannya pasangan calon kepala daerah tidak diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Putusan tersebut mem-buka peluang calon pasangan kepala daerah dari jalur perseorangan de-ngan persyaratan dukungan sejumlah orang. Menindaklanjuti putusan

Page 34: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

24

MK itu, maka ketentuan pasangan calon harus diajukan oleh partai poli-tik atau gabungan partai politik dalam UU No. 32 Tahun 2004 diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat (1b) yang membolehkan pasangan calon kepala daerah dapat diajukan dari calon perseorangan.

Salah satu alasan putusan MK yang membolehkan calon per-seorangan dalam pemilukada tersebut adalah untuk mendorong partai politik yang lebih aspiratif dan tidak oligarkis. Di samping itu, untuk mempercepat konsolidasi demokrasi.

Pilihan terhadap sistem pemilukada secara langsung menun-jukkan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem per-wakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerin-tahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam penerapan otonomi daerah.

Pemilukada secara langsung mencerminkan perwujudan demo-kra tisasi di tingkat lokal. Dengan sistem dan mekanisme tersebut diharapkan dapat mewujudkan pemimpin yang sesuai dengan pilihan yang dapat diterima dan dikehendaki oleh rakyat. Kepala daerah yang terpilih diharapkan dapat mewujudkan aspirasi dan harapan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah.

Pemilukada secara langsung merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkret dari konsep demokrasi di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilukada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota merupakan suatu proses pembelajaran politik bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Di sinilah proses demokrasi suatu bangsa akan berjalan.

Page 35: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

25

B. Wacana Evaluatif Pemilukada Belum genap satu dasawarsa pemilukada berlangsung, wa-

cana untuk melakukan evaluasi telah mengemuka. Pada tataran evaluasi, tentu saja wacana negatif yang mengemuka. Aspek positif dari pelaksanaan pemilukada sedikit banyak tertutupi ekses ne gatif pemilukada yang sejatinya baru pada tahap transisi.

Dampak negatif pemilukada secara langsung ditinjau dari berbagai perspektif, baik dari pemerintahan, dinamika politik, maupun kehidupan sosial masyarakat. Pemerintah, terutama Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) lebih menyoroti pada aspek pemerintahan yang dinilai kurang efektif dan efisien dan memunculkan konflik horizontal. Dari pelaku kontestasi perebutan kepala daerah lebih pada mahalnya biaya politik dan pada aspek sosial memunculkan maraknya politik uang (money politic) di tengah masyarakat. Sementara, dari aspek dinamika politik memunculkan oligarki dinasti-dinasti politik.

1. Inefisiensi dan Inefektivitas Pemilukada

Salah satu evaluasi yang menonjol terhadap pemilukada secara langsung berasal dari Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Suatu kementerian yang begitu berkuasa pada saat pilkada yang pemilihan kepala daerahnya dilakukan oleh DPRD.

Setelah pemilukada langsung oleh rakyat yang dimulai pada 1 Juni 2005 sebagai manifestasi upaya penguatan demokratisasi di daerah, Kemdagri menilai pelaksanaan desentralisasi politik tersebut telah menimbulkan dinamika politik yang cukup tinggi. Selama Pemilukada pada 2005-2010, penyelenggaraan pemilukada membawa implikasi negatif, yakni membawa potensi tidak terselenggaranya pemerintahan daerah secara efektif dan efisien, sekaligus memicunya terjadinya konflik horizontal.

Proses politik dalam pemilukada telah membawa ekses negatif bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pemilukada menjadi tidak

Page 36: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

26

transparan dan tidak mewakili kepentingan rakyat karena hanya menjadi permainan elite politik dalam memperkuat pengaruhnya di daerah.

Salah satu cara untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah tersebut adalah dengan melakukan perubahan undang-undang yang mengatur pelaksaaan pemilukada. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri Djohermansyah Djohan1 menyatakan berdasarkan latar belakang berbagai problematika yang ada serta pemahaman penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, ada beberapa substansi dalam pengaturan RUU Pilkada.

Pertama, sistem pemilihan paket dalam pemilukada perlu ditinjau ulang. Alasanya, out-put pemilukada selama ini cenderung menciptakan nuansa yang tidak kondusif bagi penyelenggaraan pemerintah di daerah, karena disharmoni antara kepala daerah dan wakilnya. Kemdagri mencatat hanya terdapat 23 pasang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan bersama kembali untuk periode berikutnya. Di samping itu, secara lebih substansial pemilukada tidak melalui sistem paket adalah untuk meletakkan dalam haluan konstitusi sebagaimana diatur secara tegas dan literlijk dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Kedua, sistem pemilihan gubernur secara langsung juga perlu menjadi catatan. Provinsi dalam konstruksi sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan ‘unit antara’ yang menghubungkan pemerintah pusat dengan ‘unit dasar’ pemerintah daerah, yakni kabupaten/kota. Gubernur karena jabatannya juga memiliki peran ganda yakni sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat sebagai titik beratnya sehingga derajat elektorasinya perlu direduksi dalam koridor pemilihan perwakilan oleh DPRD.

1 Djohermansyah Djohan, dalam Seminar Nasional “Konsolidasi Demokrasi, Otonomi Daerah, dan Masalah Keamanan di Indonesia,” Kementerian PPN/Bappenas di Denpasar (30/11). http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/68-menata-pilkada-kita

Page 37: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

27

Hal ini merujuk kepada aspek akuntabilitas kepemimpinan seorang kepala daerah kepada publik terkait erat dengan derajat elektorasinya. Semakin dekat jenjang pemerintah daerah (kabupaten/kota) kepada publik, maka semakin tinggi intensitas atas akuntabilitasnya.

Pemilukada langsung bupati atau wali kota relevan untuk diterapkan. Namun, posisi pemerintah daerah (provinsi) yang tidak secara langsung berinteraksi dengan publik, maka pemilihan gubernur oleh DPRD menjadi lebih relevan untuk diterapkan.

Ketiga, berbagai persoalan hukum terkait penyelesaian sengketa pemilukada yang selama ini belum jelas pengaturannya perlu ditata ulang secara komprehensif dalam substansi regulasi ke depan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pada suatu tahapan pemilihan maupun perselisihan hasil suara.

Keempat, terkait pendanaan pemilukada. Saat ini terdapat feno-mena suatu anggaran pemilukada tidak dicairkan dengan latar belakang intervensi kekuasaan. Saling sandera dana pemilukada ini pada giliran-nya tidak hanya membawa implikasi ditundanya pelaksanaan pemilu-kada, tetapi juga membawa konsekuensi tersendatnya penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Hal ini ke depan akan diberikan pengaturan secara tegas diikuti dengan sanksi dalam koridor undang-undang.

Kelima, dalam skema sinkronisasi pembangunan nasional-re-gional-lokal, ke depan visi dan misi seorang kepala daerah selama satu periode jabatannya harus mengacu kepada RPJP Provinsi untuk calon gubernur dan RPJP Kabupaten/Kota untuk calon bupati/wali kota, se-hingga sinergi pembangunan antartingkatan peme rintahan dapat ter-cipta dan secara akumulatif dapat memperkuat pembangunan nasional.

Secara tegas, pemilukada yang ingin diubah dalam RUU tentang pemilukada adalah evaluasi penyelenggaraan pemilukada langsung untuk memilih gubernur. Ada keinginan bahwa pengisian jabatan gubernur bukan hanya dari politisi atau partai politik, namun juga dari

Page 38: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

28

akademisi ataupun lembaga kenegaraan seperti lembaga ketahanan nasional (Lemhanas). Wacana tersebut setidaknya terangkum dalam empat model sistem pemilihan yakni: (1) Penunjukkan dan pengangkatan gubernur langsung oleh Presiden, (2) Gubernur dipilih oleh rakyat, (3) Gubernur dipilih DPRD dan (4) Gubernur dipilih DPRD melalui persetujuan Presiden.

a. Diangkat PresidenPenunjukan dan pengangkatan langsung seorang gubernur

oleh presiden tanpa proses pemilihan, akan menempatkan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Selain mempunyai hubungan langsung kepada presiden, ia tidak lagi memiliki kedudukan ganda sebagai kepala daerah.

Penerapan sistem dan mekanisme tersebut tentu sangat menghe-mat biaya dan jauh efisien dibanding dengan pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat. Akan tetapi, sistem pemilihan demikian memiliki kelemahan yang sangat mendasar yakni; bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan dan memposisikan

gubernur sebagai kepala daerah yang dipilih secara demokratis.

b. Dipilih langsung oleh rakyatSistem dan mekanisme ini adalah sistem yang berlaku saat

ini. Sistem dan mekanime ini diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini merupakan penafsiran yang paling kuat terhadap ketentuan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4). Penerapan sistem dan mekanisme tersebut juga seiring dan sejalan (concordance) dengan pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.

Meski memerlukan biaya sangat besar dan rawan terjadinya konflik horizontal di masyarakat luas, akan tetapi sistem pemilihan gubernur langsung oleh rakyat inilah yang dianggap sejalan dengan UUD 1945. Model pemilihan tersebut diakui sebagai sistem pemilihan yang paling demokratis, partisipatif dan sesuai dengan semangat Orde Reformasi.

Page 39: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

29

c. Dipilih DPRDPemilihan gubernur oleh anggota DPRD provinsi. Model seperti

ini, seperti diuraikan di awal tulisan ini, dilakukan pada saat awal periode Reformasi dengan dasar UU No. 22 Tahun 1999.

Dasar pemilihan sistem dan mekanisme ini pada awal Reformasi adalah untuk memperkuat kedudukan legislatif. DPR maupun DPRD diperkuat berdasarkan teori “trias politica” dalam melakukan pembagian kekuasaan antara eksekutif (Presiden dan kepala daerah, legislatif yang terdiri dari DPR dan DPRD, dan yudikatif pada lembaga mahkamah agung).

DPRD bertugas dan berwenang memilih, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota (Loc.Cit, Pasal 22 ayat 1). Dalam sistem dan mekanisme ini, presiden hanya menerima konsultasi dari nama-nama calon gubernur dan calon wakil gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD (Ibid, Pasal 38 ayat 1). Selanjutnya, DPRD-lah yang menentukan dengan ketetapan bahwa pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD. Presiden hanya mensahkan pilihan DPRD tersebut (Ibid, Pasal 40).

Model pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang relatif lebih hemat dan efisien dari sisi biaya dibanding dengan sistem pemilukada secara langsung seperti digunakan saat ini. Namun, sistem ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan pemimpinnya sehingga agak kurang demokratis. Mekanisme ini membuka kemungkinan terjadinya praktik politik uang (money politic) oleh kalangan anggota DPRD pada masa proses pemilihan gubernur berlangsung tahap demi tahap.

d. Dipilih DPRD, disetujui Presiden

Pemilihan gubernur oleh DPRD dengan persetujuan Presiden ini

Page 40: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

30

merupakan sistem yang berlaku pada saat Orde Baru. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, calon gubernur yang diajukan oleh DPRD harus telah disepakati oleh pimpinan DPRD/fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Dalam tahap pencalonan, harus ada sedikitnya 3 (tiga) dan paling banyak 5 (lima) calon yang dipilih oleh DPRD yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil pemilihan lalu diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Mendagri paling sedikit 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya (Ibid, Pasal 5).

Mekanisme ini jelas memerlukan yang relatif hemat dan efisien. Namun, sistem ini memperoleh kritikan tajam saat jatuhnya rezim Orde Baru karena memberikan ruang yang besar bagi presiden dalam pemilihan gubernur. Di samping itu, mekanisme tersebut dapat menyuburkan praktik politik uang (suap) mulai dari anggota DPRD provinsi hingga pejabat pemerintah pusat dan orang dekat di lingkaran presiden.

Beberapa kalangan menganggap mekanisme tersebut masih demokratis selama hak prerogatif presiden dihilangkan. Jadi, presiden harus mengangkat calon gubernur yang memperoleh suara terbanyak yang merupakan hasil dari pemilihan anggota DPRD setempat. Mekanisme tersebut sama dengan mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD seperti yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999.

Pada saat pembahasan RUU tentang Pemilukada antara DPR dengan Pemerintah, wacana yang sangat kuat disuarakan peme rintah adalah gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh DPRD. Argumentasi adanya praktik politik uang, dikatakan lebih marak ketika dipilih langsung oleh rakyat. Dengan mengembalikan pemilihan gubernur dan wakil gubernur kepada DPRD, praktik politik uang diharapkan dapat diminimalisasi dan tidak berdampak langsung pada moralitas politik rakyat. Di samping itu, secara tidak langsung diharapkan mengurangi peluang korupsi kepala daerah yang terpilih sebagai

Page 41: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

31

usaha pengembalian modal kampanye calon kepala daerah.

Suatu argumentasi dari kelebihan dari mekanisme pilkada oleh DPRD adalah bahwa kepala daerah dapat langsung ber tanggungjawab kepada DPRD atas segala kebijakan yang diambil. DPRD sebagai wakil rakyat merupakan jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat, sehingga kontrol rakyat kepada kepala daerah terpilih dapat optimal.

Mengenai besarnya kewenangan DPRD untuk memilih dan mengangkat kepala daerah ini bukan merupakan hal yang tumpang tindih dengan konsep pembagian kekuasaan yang dianut negara Indonesia. Adanya konsep cheks and balances diantara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif bukan dengan maksud untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling mengawasi kebijakan yang diambil. Kedudukan DPRD dalam pemerintah daerah sama dengan kedudukan kepala daerah. Dengan demikian tercipta harmonisasi pemerintahan yang efisien dan efektif.

Konsep untuk mengembalikan pemilihan gubernur dan wa kil gubernur kepada DPRD tersebut, tentu memerlukan kajian yang men-dalam. Pengkajian atas ekses negatif dari pemilukada masih dapat diper-tanyakan, apakah penyelesaian mengembalikan pemilihan oleh DPRD atau dengan mencari cara yang lebih baik lagi untuk mengatasinya.

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur melalui perwakilan dan peran pemerintah pusat memang akan lebih menjamin efek tivitas dan efisiensi kepentingan pemerintah pusat, termasuk sinkronisasi dan harmonisasi dengan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Namun, di samping persoalan derajat partisipasi masyarakat yang lebih rendah dibandingkan pemilihan langsung, mekanisme tersebut dapat memunculkan persoalan legitimasi politik dari rakyat. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dapat mengalami kendala legitimasi jika harus membina dan mengkoordinasikan daerah-daerah kabupaten atau kota. Bupati atau wali kota akan merasa lebih legitimate karena dipilih langsung oleh rakyat.

Page 42: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

32

Mengenai sistem pemilihan paket dalam pemilukada, perbaikan pada sistem tersebut memang patut untuk dipertimbangkan. Namun, persoalannya bukan karena sistem paket, tetapi pada kehidupan de-mokrasi dengan sistem multipartai yang berlangsung saat ini. Pada sistem multipartai membuka peluang yang besar dalam koalisi memban-gun dukungan calon kepala daerah, sehingga seringkali memunculkan disharmonisasi saat menjabat kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Perbaikan terhadap masalah tersebut, juga tidak boleh mere duksi kedudukan kepala daerah sebagai jabatan politik. Sebagai jabatan politik, maka kedudukan tersebut harus diisi oleh partai politik, bukan birokrasi. Partai politik harus memiliki kebebasan seperti halnya dalam pencalonan kepala daerah dan bukan dikekang dengan persyaratan wakil kepala daerah yang berbeda dengan kepala daerah. Hal ini untuk menjaga kedudukan kepala daerah sebagai jabatan politik yang dalam kondisi tertentu dapat digantikan oleh wakil kepala daerah.

Persoalan tersebut dapat diatasi jika partai politik telah mapan dan mampu menjalankan fungsinya secara baik. Di samping itu, partai-partai politik yang memenuhi persyaratan mengajukan paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah didorong untuk memajukan paket calon dari internal partai tanpa harus melakukan koalisi. Partai politik harus berani mengambil resiko untuk memenangkan pemilukada sendirian tanpa takut berhadapan dengan DPRD ketika

kandidat yang didukungnya mampu memenangkan pemilukada.

2. Oligarki Politik Dinasti

Sistem dan mekanisme pemilukada secara langsung memang bukan tanpa masalah. Salah satu persoalan yang mengemuka pada pelaksanaan pemilukada adalah tumbuh suburnya pemerintahan dinasti di sejumlah daerah.

Pemerintahan dinasti tersebut memiliki potensi yang kuat dalam menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Keikutsertaan keluarga inti dinasti politik, seperti suami atau istri,

Page 43: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

33

anak atau menantu, keponakan dari seorang kepala daerah yang berkuasa dikhawatirkan menciptakan oligarki politik yang menutup peluang calon-calon terbaik dari luar keluarga yang sebenarnya dapat membawa harapan baru bagi masyarakat. Keikutsertaan mereka rawan memunculkan penyalahgunaan wewenang sehingga mereka dapat menang dengan mudah dalam pemilukada.

Keikutsertaan dinasti politik tersebut, tak pelak cenderung dapat berlangsung secara langgeng karena secara langsung maupun tidak langsung dibantu oleh kepala daerah yang sedang berkuasa dengan cara menggunakan aparat pemerintah daerah dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan keluarganya. Kecenderungan dukungan dari aparat pemerintah daerah tersebut ditambah dengan probabilitas kemungkinan kecenderungan dari pelaksana pemilihan umum kepala daerah maupun dari pengawas pemilihan umum kepala daerah untuk mendukung calon yang didukung oleh kepala daerah yang sedang berkuasa.

Dinasti politik dalam demokrasi memang sesuatu yang tidak di-haramkan, namun pada titik tertentu dapat mengurangi kualitas de-mokrasi itu sendiri. Di samping perlunya literasi politik masyarakat terhadap masalah ini, suatu regulasi yang dapat meminimalisasi ke-cenderungan dinasti politik tanpa mengabaikan substansi demokra-si, patut menjadi pertimbangan yang mendalam.

Salah satu wacana untuk memperbaiki sistem pemilukada agar tidak memunculkan dinasti politik tersebut adalah dengan melarang keluarga inti yang memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah atau yang masih memiliki hubungan suami atau istri, anak atau menantu, atau keponakan untuk ikut dalam pemilukada. Mereka dilarang ikut pemilukada sama sekali atau hanya dilarang pada periode kedua atau sehabis periode kedua kepala daerah yang sedang berkuasa.

Wacana tersebut tentu perlu dipertimbangkan secara matang agar

Page 44: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

34

pengaturan yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sedang dibangun. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memperketat aturan agar para peserta pemilukada tidak melang-gar hukum dan menggunakan fasilitas umum dengan menyalahguna-kan kekuasaan yang dimiliki keluarga atau dirinya sendiri.

3. Mahalnya Pemilukada dan Maraknya Politik Uang

Salah satu ekses dari pemilukada secara langsung adalah mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh negara maupun kontestan pemilukada. Negara harus mengeluarkan pembiayaan penyelenggaraan pemilukada mulai dari perencanaan, pelaksanaan pemungutan suara, hingga tahap penetapan pemenang pemilukada. Pembiayaan tersebut akan semakin membesar jika pemilukada berlangsung lebih dari satu putaran.

Hal itu berbeda jika pemilukada hanya dilakukan oleh DPRD. Negara tidak perlu mengeluarkan biaya besar dalam pelak sanaannya. Pemilihan oleh DPRD dapat dilakukan dengan anggaran rutin rapat-rapat yang memang harus dilakukan dalam penyelenggaraan tugas-tugas dan fungsinya. Dengan kata lain, pilkada oleh DPRD ‘’sama sekali tidak mengeluarkan dana’’.

Peserta pemilukada pun tidak kalah harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Tanpa melakukan politik uang dalam arti negatif pun, peserta pemilukada harus mengeluarkan biaya politik pencalonan dirinya dalam sosialisasi dan kampanye dirinya kepada masyarakat.

Hal itu berbeda jika pilkada hanya dilakukan oleh DPRD. Kandidat tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar, kecuali jika melakukan ‘’politik uang’’ dalam pelaksanaannya.

Pada pemilukada secara langsung ada kecurigaan bahwa peserta yang ber”duit”lah yang pasti akan memenangkan kontestasi dan memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat. Setidaknya, peluang mereka lebih besar untuk memenangkan pemilukada dengan melakukan politik uang.

Page 45: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

35

Resiko permainan politik uang memang tidak dapat dihindari. Kondisi perekonomian masyarakat yang masih belum mapan sangat rentan dan permisif terhadap praktik politik uang dari peserta pemilukada. Apalagi didukung dengan sistem dan peraturan yang kurang memadai untuk mengatasi permainan politik uang tersebut.

Pada sosial budaya masyarakat Indonesia yang memiliki panutan terhadap para pemimpinnya, maka maraknya politik uang jelas bukan salah masyarakat. Permainan politik uang lebih menggambarkan perilaku elite politik, terutama peserta pemilukada. Selain itu, permisivitas terhadap politik uang didukung oleh persepsi yang berkembang bahwa praktik tersebut ‘’biasa’’ dilakukan DPRD saat mereka memiliki hak memilih kepala daerah.

Permainan politik uang yang sebelumnya terbatas pada DPRD atau sebelumnya memiliki jalur ke Kemdagri dan presiden, kini ditiru oleh masyarakat. Jadi, politik uang di masyarakat hanya merupakan perluasan atau pembagian uang yang dahulu hanya dinikmati segelintir orang di DPRD atau sebelumnya memiliki jalur ke Kemdagri dan bahkan presiden, kini dinikmati pula oleh masyarakat.

Besarnya biaya dalam pemilukada juga sering disinyalir dapat mendorong perilaku koruptif bagi pemenangnya. Perilaku koruptif tersebut disinyalir dilakukan untuk menutup pengeluaran pembiayaan yang cukup besar dalam proses kemenangannya.

Pencegahan permainan politik uang dalam pemilukada secara langsung memang tidak mudah, yang kemungkinan juga tidak semudah mencegah politik uang terbatas pada sistem dan metode sebelumnya. Di samping berkaitan dengan sistem pengaturan pemilukada, kemapanan, dan perkembangan perekonomian bangsa, maka persoalan literasi politik perlu terus dikembangkan. Pemahaman dan perilaku berpolitik yang lebih rasional perlu menjadi kesadaran bersama sehingga dapat memilih pemimpin yang benar-benar sesuai harapan.

Kesadaran pemilih dalam pemilukada secara langsung jangan

Page 46: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

36

sampai hanya menghasilkan pemimpin daerah karena kekuatan dananya. Para pengusaha atau birokrat yang memiliki dana besar boleh saja ikut menjadi peserta pemilukada, namun pemimpin yang terpilih diharapkan berasal dari partai-partai politik yang memiliki visi dan misi yang jelas dalam menjalankan pemerintahan.

Kita juga harus jujur menilai bahwa tidak semua pemilukada yang berlangsung di Indonesia menggunakan politik uang untuk memenangkan kepala daerah. Pada sejumlah daerah peserta pemilukada dapat memenangkan kepala daerah tanpa harus melakukan permainan politik uang. Hal itu membuka optimisme pada suatu saat politik uang akan hilang dan demokrasi substantif

terus berproses dan berlangsung.

4. Konflik Horisontal dan Belum Dewasanya Berdemokrasi

Pemilukada secara langsung memang juga memiliki resiko tinggi dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Mobilisasi massa para kandidat peserta pemilukada dapat menciptakan konflik horizontal atau perbenturan antarpendukung.

Konflik horizontal yang terjadi dalam pelaksanaan pemilukada selama ini menunjukkan belum dewasanya masyarakat dalam berdemokrasi. Ketidakdewasaan masyarakat dalam berpolitik tersebut seringkali dipicu oleh ketidakdewasaan kandidat peserta pemilukada. Peserta pemilukada seringkali tidak mau mengakui kekalahan dari peserta lain. Selain itu, dalam kontestasi pemilukada, perilaku peserta pemilu maupun tim pendukungnya melakukan tindakan-tindakan yang tidak fair dalam berdemokrasi.

Sebagai contoh, peserta pemilukada dari kandidat yang sedang berkuasa atau berasal dari keluarga yang sedang berkuasa, seringkali memanfaatkan jabatan atau kekuasaannya dalam memobilisasi dukungan suara dari pemilih. Mereka tidak jarang secara massif dan sistemik menggunakan aparatur pemerintahan untuk memenangkan pemilukada. Sejumlah peristiwa dalam pemilukada telah menunjukkan

Page 47: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

37

hal itu benar-benar terjadi, sekalipun saat proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) dapat saja mengalami kekalahan putusan. Namun, putusan MK seringkali tidak mampu meredam gejolak dan konflik di masyarakat. Bahkan, putusan MK malah semakin mengobarkan konflik horizontal dan kekerasan dari peserta pemilukada dan pendukungnya yang tidak terima dengan kekalahan.

Ketidakdewasaan berdemokrasi yang memicu konflik ho rizontal tersebut, juga tidak jarang disebabkan oleh penyelenggara pemilukada. Dalam beberapa kasus, komisi pemilihan umum daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilukada cenderung memihak pada kandidat tertentu. Kecenderungan tersebut mengakibatkan kerugian bagi kandidat terten-tu, sehingga ketika mengalami kekalahan seringkali melampiaskan keti-dakpuasan dengan melakukan aksi pengrusakan fasilitas pemerintahan.

Pencegahan konflik horizontal akibat pemilukada secara langsung memang tidak mudah. Pada aspek tersebut, maka kedewasaan dalam berdemokrasi harus terus dikembangkan. Kedewasaan berdemokrasi ti-dak hanya pada masyarakat, sebaliknya harus dimulai dari penyelengga-ra pemilukada dan kandidat yang bersaing sebagai peserta pemilukada.

C. Pemilukada Secara Langsung Tetap Jadi Pilihan Pemilukada secara langsung, seperti halnya Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan arena berpolitik masyarakat. Pemilukada merupakan ajang bagi masyarakat dalam berpartisipasi menentukan pemerintahan dan melakukan kontrol terhadap pemerintahan di daerah.

Pemilukada secara langsung menjadi alat untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses demokrasi. Proses tersebut memberikan harapan rakyat dapat hidup lebih sejahtera karena mereka dapat menentukan kepala daerahnya secara langsung yang akan mengelola daerahnya demi kesejahteraan masyarakat.

Sistem dan mekanisme pemilukada secara langsung tetap

Page 48: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

38

merupakan model paling demokratis dalam pengisian jabatan publik tertinggi di daerah. Sutoro2 menyebut bahwa pemilukada secara langsung merupakan proses pemilihan dengam model demokratis yang lebih unggul ketimbang model oligarkis dalam DPRD atau model birokratis yang diterapkan di era Orde Baru. Mau tidak mau model demokratis ini akan menyingkirkan model pemilihan oligarkis dan peran DPRD serta model birokratis dan peran secara kelembagaan TNI maupun birokrasi.

Beberapa keunggulan pemilukada secara langsung, menurut Sutoro: Pertama, memungkinkan proses yang lebih partisipatif. Partisipasi masyarakat konstituen lebih luas dan tidak sekadar melibatkan segelintir orang secara oligarkis dalam DPRD. Partisipasi masyarakat akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat terhadap pelaksanaan dan aktor politik dalam proses pemilukada. Partisipasi secara langsung merupakan cara yang paling dekat dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dalam politik dan pemerintahan.

Kedua, proses partisipatif memungkinkan terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen. Kontrak sosial adalah sebuah proses yang mempertemukan antara visi kandidat dan mandat dari konstituen melalui mediasi partai politik. Kontrak sosial memang bukanlah tempat untuk mengobral janji, melainkan sebagai arena pembelajaran untuk memupuk akuntabilitas pemerintah lokal kepada masyarakat.

Ketiga, proses pemilukada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat konstituen untuk menentukan calon pemimpin mereka yang lebih hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat. Dengan demikian, pemilukada secara demokratis-langsung ini akan memperkuat persetujuan (legitimasi), sehingga ke depan pemimpin baru itu mampu membuahkan keputusan-

2 Sutoro Eko, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, makalah, di-sampaikan dalam Diskusi dalam Expert Meeting “Mendorong Partisipasi Publik dalam Proses Penyempurnaan UU No. 22/1999 di DPR – RI”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 12 Januari 2004, hal. 6.

Page 49: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

39

keputusan yang lebih fundamental dengan dukungan dan keper-cayaan dari masyarakat luas.

Pemilukada secara langsung merupakan suatu kemajuan dalam proses demokrasi karena memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih sendiri kepala daerahnya secara langsung. Meski perwakilanpun sesuai dengan sistem demokrasi, namun tak jarang pelaksanaan sistem tersebut menghilangkan kedaulatan rakyat. Dengan pemilukada secara langsung, maka kedaulatan telah kembali sepenuhnya kepada rakyat.

Pelaksanaan pemilukada merupakan sebuah peningkatan demokrasi di tingkat lokal. Penerapan demokrasi ini menunjukkan bahwa Indonesia menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

Proses tersebut semakin mendekatkan aspirasi masyarakat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih dalam sistem yang demokratis. Pemilukada semakin membuka peluang bagi setiap warga negara untuk menduduki jabatan publik. Rakyat memiliki kesempatan menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan memiliki kesempatan menentukan pilihan kepala daerah dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan.

Pemilukada secara langsung memang memiliki sejumlah ekses negatif, namun pilihan untuk kembali pada sistem pilkada sebelumnya belum tentu menjadi pilihan yang tepat. Pemilukada secara langsung merupakan langkah awal dalam melakukan konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang. Konsolidasi demokrasi tidak dapat dilakukan dalam sekejap namun perlu kesabaran dengan terus melakukan perbaikan sistem dan peraturan pemilukada secara langsung dan pengembangan literasi politik terus menerus untuk mewujudkan demokrasi yang dicita-citakan bersama.

Page 50: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

40

DAFTAR PUSTAKA

Djohermansyah Djohan, dalam Seminar Nasional “Konsolidasi Demokrasi, Otonomi Daerah, dan Masalah Keamanan di Indonesia,” Kementerian PPN/Bappenas di Denpasar (30/11).

Sutoro Eko, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, makalah, disampaikan dalam Diskusi dalam Expert Meeting “Mendorong Partisipasi Publik dalam Proses Penyempurnaan UU No. 22/1999 di DPR – RI”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 12 Januari 2004.

UNDANG-UNDANG :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Peme rintahan di Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Pemerintah No.151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Page 51: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

41

LITERASI PERILAKU PEMILIHOleh: Muhamad Rosit

Perilaku pemilih (voting behaviors) dari masa ke masa selalu mengalami pergeseran. Pergeseran ini memberikan sinyal bahwa masyarakat Indonesia (perilaku pemilih) tidak statis. Masyarakat selalu mengalami perubahan dalam menggunakan hak politiknya. Apalagi, perkembangan teknologi informasi (media massa) ikut berperan besar dalam memengaruhi pilihan politik masyarakat luas. Baik Aspek sosiologis maupun aspek psikologis yang selama ini menjadi rujukan pemilih dalam pemilihan umum, kini sinyalnya kian menurun. Perilaku pemilih sudah mulai merujuk pada rekam jejak, program, isu politik dan visi- misi kandidat. Jika hal ini adalah gejala perilaku pemilih rasional (rational voters) maka perilaku pemilih di Indonesia kian menunjukkan sinyal pencerahan terkit dengan pelembagaan pemilu dan masa depan demokrasi di Indonesia. Tentu untuk menumbuhkan kian banyak pemilih rasional, salah satu jalan, dengan melakukan strategi berbasis literasi politik kepada warga negara secara terus menerus dan intensif.

A. Pendahuluan

Pemilihan umum merupakan salah satu agenda demokrasi yang pelaksanaannya dijamin dalam undang-undang. Sesuai dengan asas bahwa kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat untuk menentukan siapa pemimpinnya. Pemilihan umum juga suatu syarat mutlak bagi negara demokrasi untuk melakukan kedaulatan rakyat dalam menjalankannya dengan jujur, adil, transparan dan bertanggung jawab. Warga negara mempunyai hak dasar yaitu ikut berpartisipasi pada pemilihan umum, dengan mencontreng atau mencoblos kandidat atau partai politik sesuai dengan hati nuraninya. Dengan demikian, kita sudah ikut andil dalam menentukan demo-

Keywords: Perilaku Pemilih, Partisipasi Politik dan Literasi Politik

Page 52: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

42

kratisasi, baik dalam pemilu nasional maupun lokal (pilkada). Suara warga negara sangat berperan dalam memperkokoh pelembagaan pemilu dan masa depan demokrasi di Indonesia.

Sementara tindakan para pemilih dalam memberikan suaranya pada pemilu maupun pilkada dalam studi-studi perilaku pemilih disebut voting behavior. Menurut Jack. C Plano (1985; 280) studi perilaku pemilih dimaksudkan sebagai studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang kenapa mereka melakukan pilihan itu. Ramlan surbakti (1999) menyebut sebagai perilaku politik, yaitu sebagai bagian yang berkenaan dengan pembuatan proses kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku politik dapat pada interaksi antara lembaga pemerintah dan kelompok serta individu di masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

Secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka memengaruhi dan meyakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Dengan kata lain, partai politik harus memiliki basis pendukung yang memiliki kesamaan ideologi dan tujuan politik. Kelompok-kelompok pendukung atau konstituen ini secara jelas mendefinisikan keterikatan mereka dengan partai politik tertentu. Kelompok masyarakat ini adalah para pendukung atau konstituen suatu partai politik di lingkungan internal dan konstituen dan pendukung pesaing-pesaing di lingkungan eksternal (Firmanzah, 2008: 87).

Di samping itu, hak memilih merupakan dasar keikutsertaan dalam pemilu. Hal ini berarti bahwa setiap warga yang memenuhi

Page 53: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

43

ketentuan berhak untuk memberikan suaranya terlepas dari jenis kelamin, suku bahasa, pemasukan, atau pemilikan, profesi, golongan atau status, pendidikan, kepercayaan atau keyakinan politik yang dimilikinya. Ketentuan atau persyaratan yang dimaksud di atas adalah yang menyangkut usia tertentu, kewarganegaraan, tempat tinggal, kesehatan mental dan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum (Rush dan Phillip Althoff, 2003).

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bahwa warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, atau sudah kawin mempunyai hak memilih, dan untuk menggunakan hak suaranya, warga negara harus terdaftar sebagai pemilih. Oleh karena itu, pemilihan umum mengakomodasi seluruh hak pilih warga negara dalam rangka ikut berpartisipasi untuk menentukan masa depan demokrasi Indonesia. Dan partisipasi warga ini diharapkan menghasilkan seorang pemimpin yang mempunyai kredibilitas, kapasitas dan bisa memberikan solusi

terhadap kompleksitas permasalahan di negeri ini.

B. Partisipasi Politik WargaPemilu tanpa partispasi politik warga negara akan

mendeskripsikan political performance yang buruk, dan secara otomatis seorang pemimpin yang terpilih dalam pemilihan umum tidak memiliki legitimasi yang kuat. Oleh karena itu, partisipasi merupakan modal legitimasi bagi seorang pemimpin yang berkuasa untuk menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien. Dalam analisa politik modern, partisipasi merupakan suatu masalah yang penting, terutama dalam hubungannya dengan negara-negara yang sedang berkembang (devoleping country).

Partisipasi politik merupakan salah satu dari sejumlah istilah yang dapat mempunyai banyak arti. Istilah tersebut diterapkan kepada

Page 54: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

44

aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik: pemilih (pemberi suara) berpartisipasi dengan memberikan suaranya, menteri luar negeri berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan luar negeri. Istilah tersebut juga diterapkan lebih pada orientasi politik daripada aktivitas politik, warga negara berpartisipasi dengan menaruh minat dalam politik. Dan istilah itu diterapkan juga di luar politik sebagaimana kita biasanya berpikir tentang istilah itu, warga negara berpartisipasi dalam keluarga, sekolah dan sebagainya (Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown, 1996)

Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen atau sebagainya (Miriam Budiardjo, 1982: 1).

Berikut ini dikemukakan sejumlah rambu-rambu partisipasi politik yang dimaksudkan, pertama, berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu selalu tidak termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk ke dalam pengertian ini, seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik dan kegiatan mendukung dan menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga, baik kegiatan yang berhasil maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.

Keempat, kegiatan memengaruhi pemerintah tanpa menggunakan

Page 55: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

45

perantara individu dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan (non-violence) seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka, dan menulis surat, maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti demonstrasi, melakukan pembangkangan halus (lebih memilih kotak kosong daripada memilih calon yang disodorkan pemerintah), huru-hara, mogok, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan revolusi (Ramlan Surbakti, 2010)

Sementara menurut Huntington dan Joan M. Nelson (1984), partisipasi dapat terwujud dalam pelbagai bentuk yaitu, pertama, kegiatan pemilihan mencakup memberikan suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Kedua, lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud memengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Ketiga, kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya utama dan eksplisit adalah memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Keempat, mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.

Partisipasi politik, dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan mengajukan usul mengenai suatu kebijakan, mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan,

Page 56: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

46

membayar pajak, dan memilih pemimpin atau pemerintahan. Partisipasi pasif merupakan kegiatan yang menaati pemerintah, menerima dan melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah.

Partisipasi dalam pemilihan umum di Indonesia menunjukkan persentase pemilih yang sangat tinggi, yaitu 90% ke atas. Dalam pemilihan umum pertama (1955) yang diselenggarakan dalam suasana yang khidmat karena merupakan pemilihan umum pertama yang pernah diadakan, persentasenya adalah 91%, yaitu 39 juta dari total jumlah warga negara yang berhak memilih sejumlah 43 juta. Persentase partisipasi pada pemilu tahun 1992 dalam masa otoriter adalah 95% atau 102,3 juta yang menggunakan hak pilihnya. Di masa Reformasi dalam Pemilihan Umum 1999, dan tahun 2004 partisipasi menurun. Penurunan ini disebabkan karena pemilu diadakan tergesa-gesa dan adanya perubahan sistem pemilihan umum. Partisipasi dalam Pemilu Legislatif 2004 turun menjadi 84% dan untuk Pemilihan Umum Presiden putaran kedua turun menjadi 77,4% (Miriam Budiardjo, 2008). Pada 2009 tingkat partisipasi kembali turun menjadi 70,99%, dan tingkat partisipasi Pemilu 2014 mengalami kenaikan kembali sebesar 75.11%.

Akan tetapi, memberi suara dalam pemilihan umum bukan merupakan satu-satunya bentuk partisipasi. Angka hasil pemilihan umum hanya memberikan gambaran yang kasar mengenai partisipasi itu. Masih terdapat pelbagai bentuk partisipasi lain yang berjalan secara kontinyu dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja. Penelitian mengenai kegiatan ini menunjukkan bah-wa persentase partisipasi dalam pemilihan umum seringkali berbeda dengan persentase partisipasi dalam kegiatan yang tidak menyangkut pemberian suara semata-mata. Maka dari itu, untuk mengukur tingkat partisipasi perlu diteliti pelbagai kegiatan politik lainnya.

Dalam penelitian mengenai partisipasi politik berjudul civic culture, yang diselenggarakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba,

Page 57: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

47

ditemukan beberapa hal yang menarik. Menurut mereka walaupun orang Amerika dibanding warga negara di beberapa Eropa Barat tidak terlalu bergairah untuk memberikan suara dalam pemi lihan umum, akan tetapi mereka lebih aktif berpartisipasi untuk mencari pemecahan bermacam-macam masalah masyarakat dan lingkungannya melalui kegiatan lain. Juga mereka lebih cenderung untuk menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi, seperti organisasi politik, bisnis, profesi, petani dan sebagainya daripada rekannya di negara-negara lainnya (Miriam Budiardjo, 2008). Sementara di Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas, tingkat partisipasi warga negara pada saat pemilhan umum sangat tinggi, partisipasi pemilihan umum bagi negara berkembang (developing country) seperti Indonesia misalnya, sangat besar peranannya. Karena dengan tingkat partisipasi itu Indonesia menunjukkan sistem demokrasi yang kian terkonsolidasi

dan proses pelembagaan pemilu yang kian mapan.

C. Model Studi Perilaku Pemilih

Dalam perkembangannya, berbagai pendekatan dalam studi perilaku pemilih (voting behavior) berkembang dalam tiga aliran utama penelitian, yaitu pertama, Penelitian mengenai perilaku memilih (voting behavior) pertama kali dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Columbia, yang dikenal dengan mazhab Columbia atau Columbia School. Model sosiologis adalah model paling awal dalam tradisi studi perilaku pemilih. Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam pemilian umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosio-ekonomi, misalnya seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, kelas, pendapatan dan agama (Ramlan Surbakti, 2010). Seorang pemilih menjatuhkan pilihannya terhadap partai atau kandidat tertentu, karena berdasarkan kesamaan antara karakteristik sosiologis pemilih dengan karakteristik sosiologis partai politik. Seorang pemilih

Page 58: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

48

dengan latar belakang sosial bawah (dilihat dari jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan dan kesadaran akan posisi kelas sosial) cenderung akan memilih partai politik yang dipandang memperjuangkan perbaikan kelas sosial mereka.

Faktor sosiologis yang dipercaya penting memengaruhi keputusan pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Sebuah partai politik yang mempunyai platform keagamaan yang relatif sama dengan karakteristik keberagamaan pemilih cenderung akan didukung oleh pemilih tersebut. Terkait dengan masalah kelas sosial dan sentimen keagamaan, aspek kedaerahan juga dipercaya sebagai faktor sosiologis yang memengaruhi perilaku pemilih. Partai politik yang mempunyai asal-usul atau keterikatan dengan daerah tertentu cenderung akan didukung oleh pemilih dari daerah bersangkutan. Walaupun dilihat dari etnis berbeda, seorang calon pejabat publik yang tinggal atau biasa memperjuangkan kepentingan daerah tertentu, cenderung didukung oleh pemilih dari daerah bersangkutan (Dwight Y King, 2003).

Kedua, Pendekatan sosial psikologis yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang lebih menekankan pada faktor kelompok sosial di mana individu berada (sosiologis). Pada pendekatan sosial psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. Perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang menyelimuti dirinya. Menurut model ini, setiap individu akan tertarik pada suatu hal atau seseorang yang memiliki sistem nilai dan keyakinan yang sama dengan dirinya sendiri (similarity), akan semakin meningkat pula rasa saling tertarik (attraction) satu sama lain. Menurut perspektif ini, kelompok-kelompok yang tercipta dalam masyarakat lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa masing-masing individu dalam suatu kelompok memiliki kesamaan, sehingga kemudian mereka mengikatkan diri dengan yang lain untuk membuat grup-grup dalam masyarakat. Mazhab ini menggarisbawahi adanya sikap politik para pemberi suara yang menetap.

Page 59: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

49

Teori ini dilandasi oleh konsep sikap dan sosialisasi. Sikap seseorang sangat memengaruhi perilaku politiknya. Bahkan ketika kandidat masih muda, karena sikap dan sosialisasi ini bisa dibentuk melalui orang tuanya. Sehingga muncul istilah identifikasi partai yang disebabkan lamanya sosialisasi. Para pemilih yang dipengaruhi oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif (Dan Nimmo,1989). Tipe reaktif adalah jenis pemberi suara yang memiliki keterkaitan emosional kepada partai, sebagai identifikasi partai, yakni sebagai sumber utama aksi-aksi, pemberi suara yang reaktif. Identifikasi dengan partai meningkatkan citra yang lebih menguntungkan tentang catatan dan pengalamannya, kemampuannya dan atribut personalnya. Dengan demikian identifikasi dengan partai meningkatkan tabir tentang perceptual, sehingga individu dapat melihat keuntungan bagi orientasi kepartaiannya. Semakin kuat ikatan partai itu semakin dibesar-besarkan proses seleksi dan distorsi persepsinya (Anwar Arifin, 2006: 44).

Ketiga, Pendekatan ekonomis biasa juga disebut dengan pendekatan rational-choice. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Berhubungan dengan pemilu, melalui pendekatan ini, pemilih diasumsikan mempertimbangkan segala pilihan yang ada, misalnya tiap-tiap parpol yang ada, tiap-tiap kandidat yang ada dan tiap-tiap kebijakan yang ada. Kemudian, dilihat untung atau ruginya bagi individu. Pada akhirnya individu akan memilih yang memberi keuntungan paling besar dan kerugian paling kecil bagi dirinya.

Upaya untuk menjelaskan karakteristik pemilih telah menjadi diskusi dan analisis para politikus maupun kalangan akademisi. Semenjak Downs (1957) mempublikasikan buku yang berjudul “ an economic theory of democrazy” kita semua sadar bahwa keputusan

Page 60: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

50

memilih (to vote) berbeda secara signifikan dengan keputusan secara ekonomi dan komersial pada umumnya. Keputusan memilih selama pemilihan umum dapat dianalogikan sebagai perilaku pembelian (purchasing) dalam dunia bisnis dan komersial. Dalam dunia bisnis dan komersial, keputusan pembelian yang salah akan berdampak langsung terhadap subyek dengan kehilangan utilitas (utility loss) barang atau jasa yang dibelinya. Sedangkan dalam keputusan yang salah dalam pemilu tidak memiliki efek langsung bagi si pengambil keputusan, karena keputusan individu tidak akan berarti apa-apa kecuali dalam jumlah besar. Keputusan individu adalah bagian kecil dari keputusan kolektif. Hanya individu-individu dengan posisi yang dapat memengaruhi persepsi dan opini publiklah yang memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh sangat luas (Firmanzah, 2008: 88).

Di Amerika Serikat, sebagai negara yang dijadikan kiblat demo-krasi bagi negara-negara yang sedang berkembang (developing coun-tries), menunjukkan perilaku pemilih yang sudah mapan terpola. Perilaku pemilih warga Amerika Serikat dalam menjatuhkan pilihan-nya pada saat pemilu lebih digerakkan oleh faktor isu politik, visi misi atau program kandidat maupun partai politik. Meskipun demikian, perilaku pemilih di Amerika Serikat juga masih ada yang dipengaruhi oleh aspek sosiologis (khususnya faktor agama). Pola kelompok pe-milih keagamaan di Amerika Serikat yang telah diteliti lebih dari lima dekade juga memperlihatkan adanya hubungan antara agama yang dianut seseorang dengan kehidupan politik. Ada kecenderungan di kalangan Protestan untuk lebih memilih Partai Republik, sedangkan orang-orang Katolik dan Yahudi cenderung memilih Partai Demokrat. Kendati demikian, faktor-faktor yang dominan memengaruhi kandi-dat dalam memenangkan pemilu antara lain;

1. Citra personal2. Media; kontrol terhadap topik di media, kemampuan

komunikasi melalui media, penampilan di media3. Isu kampanye; kompetensi isu, strategic positioning, pesan

Page 61: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

51

sentral kampanye, budget kampanye, posisi isu dan tema4. Kompetensi, kualitas kepemimpinan, pengalaman politik

dan kemampuan retorika5. Partai; dukungan partai dan soliditas partai.

Gambar 1. Model Perilaku Pemilih (Bruce I. Newman)

Individual’s

Political Choice

Behavior

Political

Isuees

Ephistemic

Value

ContingencySituasional

Candidate

Personality

Social

Imaginary

Sumber: Bruce Newman, 1999

Menurut Bruce I Newman (1999) mengembangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Ada lima faktor yang memengaruhi perilaku pemilih. Pertama, isu-isu politik (political issue) , yaitu seperangkat isu-isu politik yang merepresentasikan kebijakan dan janji kandidat jika terpilih kemudian. Misalnya terhadap pemilih yang konsen terhadap pendidikan anak, maka ia akan lebih memperhatikan dan memperjuangkan kualitas pendidikan tersebut. Kedua, imajinasi sosial (social imagimary) yaitu seperangkat imajinasi sosial yang

Page 62: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

52

merepresentasikan stereotipe kandidat dalam mempertimbangkan pemilih dengan membuat asosiasi antara kandidat dan segmen yang terseleksi di masyarakat. Penggunaan imajinasi dapat menjadi kekuatan untuk membangun citra pada pemilih, dan pada dasarnya dengan kemungkinan citra positif atau negatif dari asosiasi tersebut. Ketiga, personalitas kandidat (candidat personality) seperangkat personalitas kandidat juga merepresentasikan penggunaan imajinasi dengan cara yang berbeda, di sini kandidat menekankan jejak personalitasnya untuk membangun citra di kalangan pemilih. Keempat, berbagai kemungkinan situasi yang tak terduga (situational contingency) yaitu seperangkat berbagai kemungkinan yang tak terduga merepresentasikan dimensi persepsi pemilih yang mudah digerakkan oleh “hypotical events” yang selama kampanye dibujuk untuk mempercayainya. Kelima, nilai-nilai dasar yang berpengaruh (epistemic value) yaitu merepresentasikan dimensi yang memancing curiosity pemilih dalam memilih kandidat. Lantas, bagaimana perilaku pemilih di Indonesia?

Melalui survei bertajuk “kecenderungan swing voters pemilih partai menjelang Pemilu 2014” oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut terungkap bahwa hanya 15 persen pemilih Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik. Sedangkan 85 persen pemilih merasa tidak memiliki kedekatan dengan partai. Mereka lazim disebut masa mengambang (floating mass). Hasil survei itu mengindikasikan kian lemahnya hubungan antara pemilih dan partai. Para pemilih belum melekatkan diri terhadap partai tertentu. Dengan mudah mereka dapat berpindah-pindah pilihan dari satu partai ke partai lain. Tingkat partisipasi yang terus mengalami penurunan juga menjadi indikasi dari belum mengakarnya partai di dalam masyarakat (Bawono Kumoro, Kompas, 1/12/ 2012). Rendahnya ikatan ideologi pemilih dengan partai politik di Indonesia, mengindikasikan bahwa fungsi partai politik sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Pasal 31 yang memiliki peran penting terhadap pendidikan warga negara tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Berdasarkan Undang-

Page 63: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

53

Undang tersebut, partai politik berfungsi sebagai: a) meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan, berbangsa dan bernegara; b) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; c) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Di samping itu, tahap rekruitmen politik di tubuh partai kurang diperhatikan, bahkan tidak dijalankan secara berjenjang. Adapun tahapan-tahapan rekrutmen yang harus dilalui antara lain: Pertama, menemukan atau mencari orang untuk dikader atau kaderisasi. Kaderisasi ini menyangkut pendidikan, pelatihan dan tanggung jawab sebagai politikus atau kader partai supaya memiliki kredibilitas, kapasitas dan leadership yang mumpuni. Kedua, membina para kader partai menjadi loyalis-loyalis yang berbasis ideologi. Ini menjadi penting karena dewasa ini banyak sekali politikus yang tidak memiliki loyalitas terhadap partai politiknya. Pada akhirnya mereka menjadi “politisi lompat pagar” yang sangat pragmatis dan hanya berorientasi kekuasaan semata. Ketiga, mendistribusikan loyalis-loyalis partai untuk menduduki jabatan-jabatan strategis, bisa jabatan internal organisasi partai atau jabatan publik. Setiap kader yang dicalonkan oleh partai harus melalui historisitas yang berjenjang, bukan dengan cara instan. Dengan demikian, jika tahapan-tahapan rekruitmen politik dijalankan partai secara benar dan berjenjang, maka tidak aka ada politisi lompat pagar yang sangat pragmatis mengejar kekuasaan belaka, dan efeknya adalah para pemilih akan menjadi loyalis yang akan menunjukkan tingkat partisipasi yang terus kian meningkat pada saat pemilihan umum.

Kemudian, partai politik di Indonesia belum sepenuhnya menjadi partai modern. Partai modern merupakan partai politik yang memiliki ideologi yang jelas, partai yang berbasis kader (kaderisasi) dan partai yang tidak mengandalkan ketokohan (figuritas). Perkembangan partai politik Indonesia lebih berorientasi pada kemenangan pemilu belaka,

Page 64: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

54

dan partai lebih berorientasi bagaimana cara meraih kekuasaan. Kemudian partai politik di Indonesia juga kian menunjukkan ketergantungan terhadap kebesaran seorang figure politik. Biasanya partai semacam ini, elektabilitasnya tidak akan bertahan lama seiring dengan popularitas dan elektabilitas figure partai tersebut. Beberapa partai yang mengandalkan kebesaran figure misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Figure Jokowi) Partai Demokrat (figure SBY), Partai Amanat Nasional (figure Amien Rais), Partai Kebangkitan Bangsa (figure Gus Dur), Partai Gerindra (figure Prabowo), Partai Hanura (figure Wiranto) dan partai lainnya. Barangkali satu-satunya partai yang tidak mengandalkan kebesaran seorang figur adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahkan kebesaran figure PKS diciptakan oleh mesin partai politiknya. Selain itu, PKS membina kader secara historisitas yang berjejang, terutama kader-kadernya dibina sejak mereka masih berada di sekolah menengah dan kampus-kampus sampai menjadi loyalis PKS.

Dengan demikian, perilaku pemilih di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh kebesaran seorang figure. Kemenangan SBY – Boediono pada Pemilu 2009, bukan disebabkan kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009, atau kemenangan partai-partai koalisi yang ikut mendukung pasangan SBY-Boediono, namun faktor ketokohan SBY yang bisa menarik simpati perilaku pemilih. Begitu juga kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012, bukan karena diusung oleh PDI Perjuangan dan Gerindra, namun karena kebesaran figure Jokowi yang memiliki rekam jejak, visi misi dan kredibilitas yang telah ditorehkan sejak menjabat sebagai wali kota Solo. Jokowi bisa memerankan sosok pemimpin yang low profile dan mau mendengarkan keluhan-keluhan warga. Begitu juga dengan terpilihnya Jokowi-JK pada Pemilu 2014 tidak terlepas dari figure keduanya.

Perilaku pemilih selalu akan berubah sesuai dengan konteks zamannya. Mereka akan selalu belajar dari pilihan-pilihan pemilu sebelumnya. Apalagi sang calon yang sudah dipilihnya dalam pemilu

Page 65: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

55

tidak bisa memenuhi harapan publik, maka dengan sistem pemilihan secara langsung (one man one vote), pemilih akan memberikan sanksi yaitu dengan tidak memilihnya kembali saat pencalonan pada pemilu atau pilkada berikutnya. Kekalahan Foke-Nara (kandidat petahana) pada Pilkada DKI Jakarta 2012 adalah faktor Foke pada lima tahun terakhir saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak bisa mengelola harapan publik. Sehingga pasangan petahana tersebut harus menerima sanksi dari warganya sendiri.

F. Peran Media Massa Berbicara tentang perilaku pemilih, dewasa ini tidak bisa

dipisahkan dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Media massa khususnya televisi, mampu memberikan fasilitas audio-visual yang sempurna. Tak heran, khalayak menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton acara-acara di media televisi. Apa yang dianggap penting oleh media, maka khalayak pun menganggapnya penting, dan apa yang luput dari pemberitaan media, maka kemungkinan khalayak pun tak menganggapnya penting suatu peristiwa tersebut. Jadi media massa memiliki kemampuan merangking suatu isu agar dianggap penting oleh khalayak.

Peran politik media massa di dalam negara demokratis, paling tidak, bisa dilihat dari dua peristiwa. Pertama adalah pada proses seleksi kepemimpinan politik (di dalam pemilu atau pemilihan pejabat publik dan di dalam proses pemilihan pemimpin di dalam organisasi-organisasi politik). Di dalam pemilu, media massa bisa memublikasikan berbagai isu, termasuk program-program yang ditawarkan oleh calon atau partai. Media massa juga bisa mengkritisi isu-isu tersebut. Dalam situasi yang terakhir ini, media massa bisa menguntungkan atau merugikan calon dan partai tertentu atas publikasinya. Selain itu, media massa juga bisa menjadi saluran khusus bagi calon atau partai untuk mempromosikan dirinya. Kecenderungan yang terakhir ini semakin menguat setelah mendapati realitas bahwa kehadiran pemberitaan yang positif dan iklan

Page 66: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

56

di media itu relatif menguntungkan calon atau partai. Melalui citra yang positif di media, bisa memperkuat pilihan seseorang atau bahkan bisa mengubah pilihan seseorang dari politisi atau partai yang satu ke politisi atau partai yang lain (Kacung Marijan, 2010: 295).

Masyarakat Indonesia, melalui media nasional yang terbuka dan transparan, mendapatkan pendidikan politik yang relatif lebih luas dan lebih baik dibandingkan dengan masyarakat sebelumnya. Dalam era-era sebelumnya, masyarakat kurang mendapatkan informasi politik dan dengan mudah dapat dieksploitasi oleh elite politik. Selain itu juga, peningkatan pendidikan formal telah memberikan jasa besar bagi peningkatan kesadaran masyarakat dalam pelbagai bidang. Hal ini terasa di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Sekitar 20 tahun yang lampau, masyarakat masih sangat awam dengan dunia politik. Hanya sejumlah kecil orang yang memahami politik. Gerakan-gerakan dalam politik lebih banyak dilakukan oleh elite, dan rakyat hanya ikut-ikutan. Namun tidak demikian dengan apa yang terjadi sekarang, semakin banyak anggota masyarakat yang lebih kritis terhadap segala sesuatu, termasuk politik. Hal ini niscaya berkaitan erat dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang informasi dan komunikasi.

Melalui internet kita dapat dengan mudah mencari informasi dan berita yang terkait dengan informasi politik. Selain itu, selain meluasnya pendidikan formal, politik juga berperan dalam menciptakan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berpolitik. Pengetahuan dan pemahaman tentang partai politik, program kerja dan kebijakan politik pun menjadi lebih tinggi. Media massa yang terbuka dan kritis memainkan peran yang penting, juga untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Melalui kritik-kritik mereka yang tajam dan konstruktif, masyarakat dapat memahami dari sisi lain mengenai kebijakan yang diambil pemerintah (Firmanzah, 2010).

Oleh karena itu, dengan berbagai macam pemberitaan media

Page 67: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

57

massa, baik media cetak maupun media elektronik, khalayak memperoleh akses informasi yang bervariasi. Kemampuan media massa yang bisa menjangkau sampai ke pelosok negeri merupakan kelebihan yang harus dimanfaatkan. Media massa mampu memberikan literasi politik kepada warga negara melalui berita-berita dan informasi-informasi yang mencerahkan. Tidak hanya sebagai media hiburan yang berorientasi meningkatnya rating saja, namun bagaimana caranya media menstimulasi perilaku pemilih dengan sentuhan nilai edukasi terutama literasi politik warga.

Dari terpaan media (media eksposure) yang selalu diterima oleh khalayak, menjadikan khalayak memiliki preferensi berupa informa-si-informasi politik. Boleh jadi masyarakat akan menentukan pilihan politiknya pada pemilu sesuai dengan akumulasi informasi dari me-dia, sehingga tidak lagi berdasarkan aspek sosiologis (yang menentu-kan pilihannya berdasarkan kesamaan etnisitas, jenis kelamin, agama dll) maupun aspek psikologis (dalam menentukan pilihan politiknya berdasarkan identifikasi dari orang-orang sekitar), namun berdasar-kan informasi-informasi yang sudah terakumulasi. Pada akhirnya ma-syarakat jauh lebih mengetahui rekam jekak partai politik maupun kandidat yang akan berkompetisi dalam pemilihan umum.

Sementara itu, agar punya afeksi terhadap seorang tokoh partai, seorang pemilih harus terekspos pada tokoh tersebut, mempunyai in-formasi yang cukup untuk bersikap apakah seorang tokoh pantas un-tuk disukai atau dibenci. Tidak ada alat untuk menumbuhkan afeksi pemilih terhadap seorang tokoh nasional yang lebih massif ketimbang media massa. Komunikasi langsung seorang tokoh untuk menjangkau pemilih yang sangat besar dan tinggal di wilayah yang sulit terjangkau, tentu tidak mungkin efektif. Daya jangkau mobilisasi massa melalui kampanye dalam bentuk pertemuan umum paling banyak hanya men-jangkau sekitar 23% pemilih, dan ini pun hanya terjadi dalam pemilu legislatif, bukan pilpres. Dalam pemilu, aktor-aktor yang melakukan mobilisasi, apakah partai ataupun calon anggota DPR/DPRD jauh

Page 68: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

58

lebih banyak dibandingkan dengan calon-calon dalam pilpres. Dalam pilpres, pemilih yang pernah mengikuti kampanye dalam bentuk per-temuan umum tidak lebih dari 10% dari total pemilih.

Ekspos publik pada berita dan kampanye lewat media massa sangat massif. Warga yang pernah mengikuti kampanye lewat televisi bisa mencapai 87%, surat kabar 41%, dan lewat radio 49%. Oleh karena itu, media massa terutama televisi, paling potensial membantu pemilih mengenal dan mendapat informasi, apapun substansinya (positif maupun negatif) tentang tokoh politik atau calon presiden (Mujani, Liddle dan Ambardi, 2012).

Menurut survei preferensi pemilih yang dilakukan LP3ES pada Pemilu Presiden 2004, menunjukkan bahwa mayoritas pemilih menentukan pilihannya karena mendapat informasi dari televisi (66,2 persen), sedangkan media lainnya, seperti radio, koran, dan rayuan langsung tim sukses hanya 33,8 persen. Para pemilih Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), sebanyak 72,7 persen, juga mengakui bahwa mereka dipengaruhi oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya. Sementara mereka yang mencoblos Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi hanya 56 persen yang mengakui dipengaruhi oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya.

Fenomena lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi preferensi utama lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun melalui media televisi kini menjadi preferensi utama bagi pemilih kita, meskipun aspek (sosiologis dan psikologis) masih saja di sebagian masyarakat tertentu menjadi rujukan. Paling tidak, di era perkembangan teknologi dan informasi yang revolusioner ini, para pemilih memperoleh preferensi yang sangat bervariatif khususnya dari media televisi yang bisa dijadikan rujukan dan peneguhan pada saat penentuan pilihan politiknya.

Page 69: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

59

G. Agenda Literasi Pemilih

Literasi pemilih menjadi penting seiring dengan agenda konsolidasi demokrasi menuju pelembagaan pemilu, dengan tujuan menjadikan para pemilih terliterasi saat dihadapkan dengan keputusan memilih kepada kandidat atau partai politik. Dalam menjatuhkan pilihannya tak hanya berdasarkan popularitas calon atau faktor kedekatan secara emosional belaka. Tetapi mampu mengetahui dan memahami rekam jejak, program dan visi misinya. Karena apapun pilihannya, akan kembali kepada para pemilih juga.

Menurut pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship, Definisi dasar tentang literasi politik adalah pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan bahasa. Merupakan upaya memahami seputar isu utama politik, apa keyakinan utama para kontestan, bagaimana kecendrungan mereka memengaruhi diri Anda dan Saya. Singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Crick menegaskan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar pengetahuan politik, melainkan cara “membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik” dan dorongan untuk “menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela”.

Merujuk pada Catherine Macrae dkk., dalam Political Literacy Resource Pack, Literasi adalah bauran kompleks dari praktik-praktik sosial yang memungkinkan orang untuk menjadi warga negara yang aktif dan efektif. Warga komunitas dilengkapi pengetahuan dan tindakan dalam kehidupan mereka dalam kaitannya dengan politik lokal, nasional dan internasional. Menurut Jenni S Bev, literasi politik mengacu kepada seperangkat keterampilan yang diperlukan bagi warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan masyarakat. Singkatnya, ada kemampuan untuk mandiri di depan pemerintah. Ini tidak berarti kami bertujuan untuk menjadi seorang politisi karir,

Page 70: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

60

tetapi untuk berpikir dan bertindak sebagai konstituen informasi. Sehingga para pejabat pemerintah tidak bisa menjadi siapa mereka tanpa kita (Heryanto, 2012: 117-118).

Praktik literasi politik merupakan satu diantara simpul kekuatan politik warga negara. Demokrasi prosedural pada kenyataannya telah menghasilkan banyak residu bagi eksistensi dan kemandirian politik warga negara. Residu tersebut berupa desain institusional serta tipe kekuasaan eksekutif yang penuh paradoks, kontestasi pada kekuasaan legislatif, kartelisasi dan demokrasi kolusif serta rawannya distorsi politik media. Substansi kekuatan literasi politik ada pada partisipasi politik warga negara yang kritis dan memberdayakan terkait dengan konsep-konsep pokok politik yang akan berdampak pada kehidupan warga. Literasi politik bukanlah semata konsep normatif, melainkan bauran antara pengetahuan, skill dan sikap politik.

Ada tiga alasan mengapa kegiatan literasi politik diperlukan. Pertama, kegiatan literasi politik merupakan hal yang sangat penting dalam penguatan dan pemberdayaan politik warga negara, terutama dalam mengedukasi hak-hak politik warga negara sehingga memahami benar posisinya di antara berbagai kekuatan politik yang ada. Kedua, kegiatan literasi politik kerap direduksi oleh berbagai faktor antara lain desain institusional serta tipe kekuasaan eksekutif, kontestasi pada kekuasaan legislatif, kartelisasi politik dan praktik demokrasi kolusif, serta menguatnya distorsi politik media. Ketiga, literasi politik itu bukanlah sebatas wacana (discourse). Melainkan, perpaduan antara pengetahuan yang memadai, keterampilan dalam pencarian dan komparasi informasi politik, sekaligus juga sikap politik mereka terkait dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara (Heryanto, 2011: 194-195).

Strategi literasi politik berbasis komunitas, misalnya, sesuai dengan bentuk dan pola masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki budaya paguyuban. Masyarakat paguyuban memiliki kebersamaan aneka ragam dalam batas teritori dan

Page 71: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

61

kategori tertentu, dengan batas nilai seperti disemangati kebersamaan, keterlibatan, komunikasi, relasi yang terjadi terus menerus, sehati dan sejiwa dalam suka dan duka, untuk menghidupi dan menghayati tugas, karya dan panggilan hidup dalam mewujudkan visi misi paguyuban tersebut. Oleh karena itu, literasi politik lebih komunikatif dilakukan di kelompok-kelompok masyarakat akar rumput. Misalnya literasi pemilih bisa dilakukan di acara-acara pengajian rutin, arisan, atau di suatu acara yang di sana terdapat anak-anak muda yang suka berkumpul. Agenda literasi pemilih harus memberikan pencerahan kepada khalayak luas di mana pun mereka berada. Selain lembaga suprastruktur politik dan infrastruktur politik yang memiliki peran meliterasi politik warga negara, literasi politik bisa diperankan secara optimal oleh organisasi-organisasi masyarakt atau LSM dan orang-orang strategis yang memiliki posisi di dalam masyarakat, mereka antara lain:

Pertama, literasi politik bisa diperankan oleh struktur sosial tradisional. Struktur sosial tradisional seperti diketahui juga merupakan saluran komunikasi yang memiliki keampuhan-keampuhan tersendiri, karena pada masyarakat yang bersangkutan memang arus komunikasi ditentukan oleh posisi sosial pihak yang berkomunikasi (khalayak maupun sumber). Artinya pada lapis yang mana bersangkutan kedudukan dan (tentunya akan menentukan pula) akses di susunan sosial masyarakat tersebut.

Dalam masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa, tentang masalah apa, dan dengan cara apa. Dengan kata lain, struktur sosial tradisional pada hakekatnya mempunyai aturan-aturan yang menentukan, baik pola maupun arus komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat tradisional terdapat suatu struktur sosial yang sekaligus berfungsi sebagai saluran komunikasi tempat lewatnya informasi atau pesan-pesan, dari dan pihak-pihak yang telah menentukan melalui ketentuan hirakhi struktur sosial itu sendiri (Heryanto dan

Page 72: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

62

Ade Rina Farida, 2011). Adapun yang tergolong ke dalam struktur sosial tradisional antara lain, tokoh masyarakat, ulama, pendeta, ketua adat, mantan TNI, selebriti dan lainnya. Posisi mereka sebagai public figure menjadi strategis dalam memberikan literasi poltik kepada pemilih pada tingkatannya masing-masing. Mereka memiliki pendidikan dan informasi yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat biasa. Oleh karena itu, mereka yang tergolong sebagai struktur sosial tradisional bisa memanfaatkan posisinya di tengah masyarakat yang memang membutuhkan sentuhan literasi politik.

Kedua, literasi politik bisa diperankan juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Lembaga ini sebagai perwujudan masyarakat madani (civis society) telah menjelma menjadi institusi yang mengisi peran dan tugas yang telah ditinggalkan institusi formal seperti negara. LSM memainkan perasanan penting, tidak hanya dalam memberikan informasi tentang hak dan kewajiban berpolitik sebagai warga negara. Banyak sekali LSM yang berperan pula sebagai lembaga pengawas pelaksanaan jalannya pemilihan umum. Tidak sedikit LSM lokal merupakan bagian dari jaringan LSM internasional, sehingga dukungan internasional akan dapat dengan mudah mereka dapatkan. Hal ini membuat pernyataan LSM yang bersangkutan tentang jalannya proses pemilihan umum tidak jarang menjadi standar penilaian internasional apakah pemi lihan umum telah dilakukan secara demokratis atau tidak. Hal-hal seperti ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah men jadi standar yang diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, LSM tersebut telah mendidik masyarakat tentang jalannya pemilihan umum. Masyarakat menjadi tahu bahwa pemilihan umum harus dilakukan berdasarkan azas-azas keterbukaan, jujur, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan (Firmanzah, 2010: 15). Tentunya masih banyak orang atau kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang memiliki otoritas untuk memberikan literasi politik kepada pemilih (warga negara). Ada beberapa golongan masyarakat yang menjadi target agenda literasi politik, antara lain;

Page 73: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

63

Pertama, literasi kepada pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang baru pertama kali ikut memilih dalam pemilihan umum (pemilu). Mereka baru akan merasakan pengalaman pertama kali untuk melakukan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilih pemula merupakan pemilih yang cukup potensial dan signifikan dalam perolehan suara dalam pemilu. Jumlah pemilih pemula dari pemilu ke pemilu cukup besar dibandingkan dengan pemilihan keseluruhan.

Data BPS 2010, kelompok umur yang berusia 10-14 tahun sebesar 22.677.490 dan kelompok umur berusia 15-19 tahun sebesar 20.871.086. Jika diasumsikan kelompok umur 10-14 tahun separuh berusia 17 dan kelompok umur 15-19 tahun semuanya menjadi pemilih, maka ada 23 jutaan potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014 dari kemungkinan 190 jutaan penduduk yang memiliki hak pilih. Kemungkinan potensi suara pemilih pemula sedikit lebih kecil dibandingkan estimasi pemilih pemula pada Pemilu 2009 lalu. Dengan demikian, dengan kepemilikan literasi politik bagi pemilih pemula, maka pemilih tidak hanya menjadi ajang eksploitasi politik untuk mendulang suara semata. Pada pembentukan kesadaran dan partisipasi, maka literasi politik tidak saja mendorong warga negara mau memanfaatkan haknya memilih dalam pemilu. Namun juga memiliki kemampuan untuk melakukan pemilihan secara tepat sesuai dengan kepentingan yang disandangnya, kemampuan untuk terlibat lebih jauh untuk memantau dan mengoreksi jalannya pemilu sesuai dasar hukum, sehingga pemilu benar-benar menjadi prosedur demokrasi yang baik, serta berkemampuan pula untuk mempertanyakan janji-janji pemimpin/wakil rakyat terpilih dengan berpartisipasi dalam proses penyusunan dan monitoring implementasi kebijakan-kebijakan publik sesuai pemilu (Budi Heriyanto, 2012).

Pengetahuan politik pemilih pemula sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelompok pemilih lainnya. Perilaku pemilih masih

Page 74: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

64

erat dengan faktor sosiologis dan psikologis dalam menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau dari studi voting behaviors. Namun yang membedakan pemilih pemula dan kelompok lainnya adalah soal pengalaman politik dalam menghadapi pemilu. Preferensi yang dijadikan sandaran dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah berubah-rubah sesuai dengan informasi atau preferensi yang melingkarinya.

Faktor yang sangat penting adalah bagaimana pemilih pemula tak menjatuhkan pilihan politiknya karena faktor popularitas belaka (Kecenderungan pemilih pemula akan menaruh simpati kepada kandidat/caleg dari kalangan selebriti dibandingkan dengan kandidat/caleg non selebriti). Oleh karena itu, segenap komponen atau orang yang memiliki otoritas wajib meliterasi (politik) pemilih pemula supaya menjadi pemilih yang kritis dan rasional (critical and rational voters). Artinya, dalam menjatuhkan pilihannya bukan karena faktor popularitas, kesamaan etnis dan kedekatan emosional, namun karena faktor rekam jejak, visi misi dan memiliki kredibilitas. Upaya tersebut adalah bagian dari political empowerment dan karena melihat potensi suara pemilih pemula yang cukup signifikan pada Pemilu 2014.

Kedua, literasi politik para pemilih yang berdomisili di pedesaan. Dari jumlah penduduk di Indonesia sebesar 235 juta jiwa, mayoritas warga negara Indonesia sebesar 70 persen berdomisili di pedesaan. Mereka biasanya berprofesi sebagai seorang petani dan nelayan. Meskipun perkembangan teknologi informasi sangat pesat, seperti media televisi maupun internet misalnya, namun orang-orang yang tinggal di pedesaan akses informasinya tidak begitu cepat dibandingkan dengan orang yang berdomilisi di perkotaan. Selain itu juga tingkat pendidikan warga di pedesaan mayoritas pada level menengah ke bawah.

Warga pedesaan juga kurang memperhatikan berita atau informasi poitik di media massa dibandingkan dengan warga perkotaan. Oleh karena itu, literasi politik harus bisa menyentuh wilayah-wilayah rural, pedesaan dan pegunungan yang mayoritas mereka tinggal. Karena jika

Page 75: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

65

mereka tidak terliterasi politik secara baik dan memadai, preferensi yang dijadikan tolak ukur ketika memilih kandidat atau partai politik tidak berdasarkan faktor-faktor rasional, tapi masih mengedepankan faktor irasional, yaitu atas berdasarkan popularitas, kedekatan emosional, etnisitas dan lainnya. Dan ini adalah perilaku pemilih yang harus diberikan literasi politik yang memadai dan intensif. Seluruh warga negara khususnya bagi mereka yang sudah menjadi public attentive (masyarakat berperhatian) meluangkan waktu untuk memberikan literasi politik kepada pemilih di pedesaan. Dan potensi para pemilih ini sangat besar dan menjanjikan pada pemilihan umum

dalam meraup suara sebanyak-banyaknya.

H. Menuju Pemilih Rasional?Tipe rasional pada hakekatnya adalah pemberi suara yang

rasional, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian pada kebanyakan warga negara. Orang yang rasional, selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif. Dan pemberi suara rasional berminat secara aktif terhadap politik, rajin berdiskusi dan mencari informasi politik, serta bertindak berdasarkan prinsip yang tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan umum. Demikian juga pemberi suara rasional mampu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan kekuatan politik (Anwar Arifin, 2006: 43-44).

Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Pemilih dalam hal ini ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, irasional dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Analisis kognitif dan pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan. Hal yang terpenting

Page 76: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

66

bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, dari paham dan nilai partai atau kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional dan lain lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan ‘pindah ke lain hati’, dengan beralih dari sebuah partai politik atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional (Firmanzah, 2008: 120-121).

Untuk menuju pemilih rasional dibutuhkan kecermatan dalam mengamati dan menganalisa siapa sosok yang akan kita pilih, tentu sosok itu bukan karena faktor etnisitas, agama, popularitas dan lainnya. Namun pemilih harus bisa menjatuhkan pilihannya berdasarkan informasi yang akurat dari sudut rekam jejak, visi misinya, isu politik dan gagasannya yang sudah ditorehkan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seorang pemilih pada saat menentukan pilihannya, yakni: pertama, menjadi pemilih yang kritis. Ukuran kritis di sini, pemilih lebih dahulu mengetahui informasi terhadap kelebihan dan kelemahan calon yang akan dipilih. Dan pemilih biasanya bersikap skeptis dan selalu memantau perkembangan calon/kontestan sampai di ruang-ruang yang tak terdeteksi. Menjadi pemilih kritis mengedepankan rasionalitas dan mencari kebenaran di balik pencitraan. Pemilih model ini tak langsung percaya terhadap calon atau partai tertentu sebelum mengetahui secara detil. Dan biasanya dalam menjatuhkan pilihannya mendekati hari pemilihan atau bahkan pada saat berada di tempat pemungutan suara.

Kedua, menjadi pemilih yang cerdas. Memang faktor kecerdasan seringkali dihubungkan dengan tingkat pendidikan. Namun ukuran pemilih cerdas di sini tidak selalu menginduk pada klasifikasi pendidikan.

Page 77: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

67

Melainkan berdasarkan sejauh mana pemilih memahami visi-misi, program, tujuan dan rencana stratejik calon/kontestan. Ketiga, menjadi pemilih yang tak mudah lupa. Perilaku pemilih yang mudah lupa akan menjadi objek politik oleh sang calon. Warga negara di dalam pemilu tidak hanya menentukan hak dasar politiknya pada saat pemilu tetapi setelah itu juga selalu memantau perkembangan dan kemajuan kinerja pemimpinnya. Jika dibiarkan begitu saja, maka para calon terpilih dan berikutnya akan begitu mudah mengobral janji-janji kepada publik.

Keempat, membuat kontrak sosial. Seiring perkembangan demokrasi dan pelembagaan pemilu yang kian mapan terpola. Maka hendaknya pemilih mulai selektif dalam menjatuhkan pilihannya. Sudah saatnya pemilih membuat kontrak sosial atas janji-jani calon pada masa kampanye. Kontrak tersebut diajukan kepada calon pemimpin yang akan dipilihnya. Jika selama pemerintahannya dalam waktu yang ditentukan sang pemimpin tak mampu membayar janji-janji politiknya. Maka ada konsekuensinya yang harus ditegakkan sesuai kontrak politiknya dengan warga (para pemilih). Kelima, bagi pemilih di akar rumput (grass root) jangan mudah terpedaya dalam menghadapi fenomena politik pencitraan para kandidat atau partai politik. Tetap teguh dan waspada dan tidak karena citra kita menjatuhkan pilihan. Politik citra hanya bersifat temporer dan berdampak buruk dalam jangka panjang.

Perilaku pemilih pada Pilkada DKI Jakarta 2012 bisa menjadi barometer untuk pilkada dan pemilu berikutnya. Pasangan Jokowi-Ahok terpilih bukan karena faktor kedekatan emosional, etnisitas dan popularitas, tapi faktor rasional voters yang kian menunjukkan taring-nya. Jika perilaku pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2012 dijadikan rujukan dalam menentukan pilihan politiknya, maka gejala-gejala rational voters akan semakin membesar seiring dengan pengalaman pemilu dan kedewasaan berpolitik warga negara.

Dengan demikian, literasi politik merupakan komponen terpenting untuk mengarahkan warga negara dalam memahami realitas politik

Page 78: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

68

terutama ketika menjatuhkan pilihannya terhadap kontestan atau partai politik tertentu. Literasi politik tidak harus di ruang-ruang formal, namun bisa dilaksanakan di ruang-ruang informal, yang terpenting adalah bagaimana pemilih lebih cerdas, rasional dan kritis dalam menjatuhkan pilihannya. Karena hanya pemilih yang memiliki tipologi tersebut yang bisa merubah masa depan bangsa ini. Sudah saatnya pemilih Indonesia, menjadi pemilih yang lebih kritis dan rasional. Sekali lagi, memilih pemimpin tidak hanya faktor popularitas dan elektabilitasnya saja, namun bagaimana melihat lebih jauh tentang rekam jejam, tidak memiliki cacat politik dan dipercaya bisa melakukan

perubahan yang lebih baik.

I. Penutup

Dari paparan di atas menunjukkan bahwa perilaku pemilih (voting behavior) Indonesia membutuhkan literasi politik secara terus menerus dan intensif. Literasi politik adalah gerakan evolutif yang membutuhkan historisitas berjenjang. Artinya gerakan literasi politik tidak bisa instan dalam jangka yang pendek dan ditentukan. Oleh karena itu, segenap pihak yang memiliki otoritas, baik intelektual, akademisi, aktivis masyarakat, tokoh masyarakat dan elite politik memiliki kewajiban memberikan literasi pemilih.

Selain itu, media massa berperan sentral dalam menyebarkan berita maupun informasi yang akurat terkait dengan rekam jejak kandidat. Akses informasi ini sangat penting bagi pemilih sebagai preferensi untuk mengenal lebih dekat dengan kontestan. Dan menjadikan pemilih yang memprioritaskan kemampuan kandidat dalam menangani kompleksitas persoalan di negeri ini. Jika pemilih sudah terliterasi dengan baik, maka pergeseran perilaku pemilih dari pemilih irasional (irrational voters) menjadi pemilih rasional (rational voters) akan memberikan kontribusi bagi pelembagaan pemilu dan masa depan demokrasi di Indonesia.

Page 79: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

69

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik; Paradigma, Teori, Aplikasi-Strategi & Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.

---------------- 2006. Pencitraan Politik ; Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta. Pustaka Indonesia.

Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik; Sebuah Bunga Rampai. Jakarta, PT Gramedia.

--------------- 2008. Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gamedia Pustaka Utama.

Budi Hariyanto, Nur. 2012. Perilaku Pemilih Pemula dalam Faisal Bakti, Andi dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta, Churia.

Firmanzah. 2010. Persaingan, Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik; Pembelajaran Politik Pemilu 2009. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Firmanzah. 2008. Marketing Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Heryanto, Gun Gun. 2011. Dinamika Komunikasi Politik. Jakarta, PT. Laswel Visitama.

Heryanto, Gun Gun dan Ade Rina Farida. 2011. Komunikasi Politik. Jakarta Lemlit UIN Syarif Hidayatullah.

King, Dwight Y. 2003. Half-Hearted Reform; Electoral institutions and The Struggle for Democrazy in Indonesia. United State of America, Praeger Publisher.

Macridis, Roy C. dan Bernard E. Brown. 1996. Pebandingan Politik.

Page 80: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

70

Jakarta, Penerbit Erlangga.

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia; Konsplidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta. Prenada Media Group.

Mujani, Saiful, R. William Liddle dan Kuskrido Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat; Analisis tentang Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru. Bandung, Mizan.

Newman, Bruce I. 1999. Hand Book of Political Marketing. United State of America, Sage Publication.

Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan dan Media. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.

Plano, Jack. C., Robert E Rigs dan Helenan, S. Robbin. 1985. Jakarta. Kamus Analisa Politik, CV. Rajawali.

Rush dan Phillip Althoff. 2003. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta, PT Gasindo.

SURAT KABAR

Kumoro, Bawono, Kompas, 1 Desember 2012

Page 81: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

71

A. Pendahuluan.

Ketika kita menyaksikan berbagai kampanye yang dilakukan di media, baik media cetak maupun media elektronik, kita sedang menyaksikan bentuk dunia politik yang akan direalisasikan setelah para kandidat dalam sebuah pemilu memenangkan kontestasi. Di tanah air, tumbuhnya pemilu sebagai sebuah industri juga kian jelas antara lain dengan munculnya lembaga-lembaga yang menyediakan jasa kampanye, promosi, periklanan ataupun sebagai konsultan dari berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden atau calon anggota legislatif.

KAMPANYE DI MEDIA CETAK:

ANTARA REGULASI DAN REALITAS

Oleh: Gana Buana

Media memang alat yang ‘eye catching’ dalam mendandani seorang

kandidat atau partai dalam sebuah kontestasi. Sejak maraknya

berkampanye lewat media di Indonesia, dan ditinggalkannya kampanye

gaya lama, belanja kampanye lewat media semakin mahal, volume

yang kurang terkendali, sehingga menimbulkan kecenderungan dalam

pemberitaan media sehingga kurang berimbang. Dalam hal ini memang

telah ada regulasi yang mengatur, tetapi pada realitanya tidak bisa

menertibkan kampanye di media massa. Terutama dalam media cetak

(koran) yang menggantungkan hidupnya pada pengiklan, pasti akan ada

kecenderungan dalam pemberitaan yang diterbitkan, serta penempatan

‘belowline media’ yang mengganggu kenyamanan ruang terbuka publik.

Keywords: media, pemilu, kampanye, dan regulasi

Page 82: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

72

Oleh karenanya media massa memiliki peranan penting dalam setiap pemilu. Tetapi menggelembungnya belanja iklan di tanah air juga merupakan masalah. Banyak yang menyetujui adanya pembatasan kampanye politik media yang berupa iklan. Tidak terlepas dari konteks UU No. 10 Tahun 2012 harusnya yang lebih substantif merevisi dan mengikat pengaturan kampanye lewat media massa.

Media massa dengan sifatnya yang masif dapat dimanfaatkan untuk pencitraan. Media massa merupakan alat pembentukan opini publik karena frekuensi dan grekuensinya masif. Media massa merupakan wahana komunikasi yang menembus batas ruang dan waktu. Untuk itu media massa merupakan salah satu alat kampanye yang berpengaruh menentukan kemenangan kandidat.

B. Modernisasi Kampanye Adaptasi sistem politik demokrasi di Indonesia menjadi alasan

yang primordial bagi partai politik untuk bermanuver dalam menarik sebanyak mungkin simpati publik dalam meraih kekuasaan. Dengan adanya sistem pemilihan langsung dari rakyat merupakan tugas berat bagi partai politik untuk melakukan promosi partai mereka guna meningkatkan electoral voters. Kampanye adalah medium di mana partai bebas memperkenalkan ide-ide serta gagasan politik untuk sekedar menarik perhatian dan dukungan masyarakat.

Tetapi, seiring dengan bergulirnya waktu masyarakat semakin apatis terhadap aktivitas politik negeri ini. Janji-janji pengantin partai sebelum berkuasa dilupakan pasca pemilu. Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin kental. Meminjam konsep dari Leon Festinger, adanya disonansi kognitif dalam realita yang dihadapkan pada masyarakat. Setiap janji dan harapan yang disampaikan selama periode kampanye akan dibandingkan dengan apa yang dilakukan, apakah sesuai atau tidak.

Jadi, kampanye politik adalah suatu proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik. Bahkan

Page 83: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

73

kampanye demi pendidikan politik dianjurkan untuk dilakukan setiap hari (daily-campaign) (Firmanzah,2008:270). Sehingga masyarakat kian terdidik atas politik negeri ini. Kampanye dapat dilakukan dengan partisipasi dalam konferensi pers, peluncuran paket-paket kebijakan politik, safari politik ke daerah-daerah, talk show di TV dan perbincangan radio, serta pidato-pidato politik.

Menurut Noris yang dikutip oleh Firmanzah, kampanye politik adalah sebuah kegiatan komunikasi politik di mana partai politik atau kontestan individu berusaha mengkomunikasikan ideologi ataupun program kerja yang mereka tawarkan. Seperti proses interaksi intensif dari partai politik kepada publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilihan umum (Firmanzah,2008:272). Definisi ini seolah mengarahkan kampanye politik pada periode yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau panitia pemilihan lainnya kepada seluruh kontestan, baik partai maupun perorangan untuk memaparkan program-program kerja dan memengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara mereka.

Kampanye identik dimulai dari gagasan. Mengutip Antar Venus bahwa ide atau gagasan dasar dari berbagai jenis kampanye yang dilakukan partai politik adalah menciptakan pesan-pesan kampanye yang menarik sehingga khalayak mau memilih partai tersebut. Lebih banyak didahului oleh munculnya gagasan-gagasan tertentu yang berkaitan dengan penerimaan konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Tetapi, apapun alasannya setiap produk yang ditawarkan pada akhirnya akan dikonstruksi dalam bentuk pesan-pesan yang dapat disampaikan kepada khalayak. Pesan inilah yang kemudian akan dipersepsi, ditanggapi, diterima atau ditolak bagi khalayak. Jadi, inti kampanye adalah “pesan” (Antar Venus, 2009:70).

Tetapi bersamaan dengan bergantinya rezim, tekad bangsa untuk memperbaiki sistem demokrasi semakin kuat. Salah satu cara untuk suksesi merestorasi demokrasi adalah menciptakan pemilu yang kian baik, salah satu instrumen menciptakan iklim pemilu yang

Page 84: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

74

baik adalah dengan mendemokratisasi kampanye politik. Kampanye berubah sejalan dengan berubahnya regulasi, bertransisi dari kampanye tradisional menuju kampanye pencitraan melalui media massa. Sedangkan kampanye tradisional yang sarat akan “kerusuhan atau ugal-ugalan” mulai ditinggalkan.

Sejak memasuki era Reformasi dan pergantian sistem pemilihan presiden serta kepala daerah secara langsung, mun culah fenomena yang tidak pernah ada di era Orde Baru yaitu marketing politik. Marketing politik muncul akibat dari sistem politik demokratis. Dengan perubahan sistem politik pemilih-lah yang berhak menentukan pilihan. Sehingga mereka diposisikan sebagai sasaran dari marketing politik. Salah satu alat yang lazim dipergunakan dalam marketing politik adalah “iklan”, di samping berbagai macam alat (tools) lainnya.

Seiring dengan terjadinya liberalisasi politik dan media yang melanda Indonesia, penggunaan alat dalam memenangkan sebuah kontestasi memperebutkan posisi politik berubah dari metode ja ri ngan parpol ke pengguna media secara masif. Selain efek menjang kau luas dan adanya kebebasan menggunakan media, menjadikannya sen jata utama dan ampuh dalam mencari dukungan publik (Firmanzah, 2010: 532). Beberapa strategi marketing politik melalui media yaitu, iklan politik, berita politik, spot politik, film politik, reklame politik, dan new media (Gun Gun Heryanto, 2011, 57).

1. Iklan Politik Iklan politik sejenis ide pemasaran bagi sang kandidat, tidaklah

berbeda dengan iklan produk yang sering kita lihat di televisi. Tetapi, ciri dari iklan politik itu sendiri adalah dalam iklan politik konten dan pesannya harus bermuatan politik. Iklan tersebut dapat dijadikan alat persuasi dan pembentukan opini di tengah masyarakat. Dalam sektor politik, iklan politik dijadikan sebagai alat kampanye politik oleh sebagian partai politik besar yang mempunyai anggaran yang cukup besar. Di belahan dunia lain, iklan politik terlebih televisi dan media cetak merupakan tradisi politik lama. Di Indonesia, tradisi ini baru

Page 85: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

75

dimulai sejak pemilu pasca Reformasi. Sayangnya, sejauh ini kajian iklan politik Indonesia langsung memotret fenomena ini tanpa analisis yang mendalam tentang berbagai aspek dibalik kelahirannya.

2. Berita Politik Berita Politik termasuk kedalam elementer dari strategi marke ting

politik yang bisa dimanfaatkan secara gratis. Dalam peliputan berita reguler oleh insan media, secara tidak langsung partai atau kandidat dari partai tertentu sudah mendapatkan satu poin yaitu free raid pub-licity. Pada hakikatnya mengandalkan publikasi gratis seperti itu lebih berisiko. Efeknya bisa positif bahkan negatif, tergantung pada fram-ing pemberitaan dari media tertentu. Jika pemberitaannya justru lebih menuju ke arah negatif, ini akan berisiko terhadap partai atau kandidat.

3. Spot Politik Spot merupakan program yang dibuat televisi dan radio dengan

durasi pendek. Terhitung sekitar 5-10 menit. Menurut Fred Wibowo, spot diciptakan karena diyakini mampu menciptakan pemahaman bahwa program tersebut efektif mencapai penonton dan memiliki keunggulan dibandingkan dengan program lain (Wibowo, 2007: 61).

4. Film Politik Film politik juga merupakan salah satu bagian dari marketing

politik. Dalam Pilkada DKI, konsultan politik dari salah seorang kandidat telah mencoba menggunakan strategi ini. Dengan membagi-bagikan kepingan DVD dengan isi video berkemasan film pendek yang bermuatan politik, ia berhasil mencuri perhatian khalayak. Film juga merupakan alat kampanye yang ampuh. Dalam sebuah film bisa dipaparkan lebih banyak konsep-konsep politik yang akan dijalankan. Masyarakat akan lebih tertarik apalagi jika film tersebut masuk kedalam kategori film ringan.

5. Reklame Politik Reklame bisa dikategorikan sebagai media luar ruang. Reklame

Page 86: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

76

adalah media lini bawah (belowline media). Media luar ruang atau belowline media meliputi poster, leaflet, folder, spanduk, baliho, point of purchase, bus stop, bus panel, flyers dan lain-lain. Reklame memang hampir dipakai oleh tiap-tiap partai atau kandidat, di samping harga lebih mudah, juga dapat mengkonstruksi opini publik secara tidak sadar ketika melewatinya. Reklame umumnya berisi ilustrasi yang besar dan menarik, disertai dengan slogan.

6. New Media New media adalah media baru yang dipakai dalam dunia politik.

Sifatnya yang memungkinkan berinteraksi dengan publik, mampu merubah voting behavior secara signifikan. Pada kemenangan Barack Obama dalam Pemilu Amerika, disinyalir adanya indikasi kuat memengaruhi kemenangannya. Dengan adanya new media, partai, politisi dan kandidat bisa membuat situs website atau blog pribadi demi berinteraksi langsung oleh masyarakat. Cara ini bisa disebut dengan cyberdemocracy atau e-demokrasi (Andzej Kaczmarczyk, 2010: 72). Di mana demokrasi bisa terjadi secara virtual di dalam interkonektivitas dunia virtual dengan wadah bernama new media.

Mengutip dari Eep Saefullah, memetakan beberapa model praktik kampanye dalam beberapa fase mulai dari pramodern, modern, dan postmodern. Bagaimana model kampanye, cara, dan medianya bertransformasi dalam beberapa fase.

Tabel 6Model Kampanye

Phrase Premodern Modern Post-modern

Mode of politi-cal communi-cation systems

Party dominated Television Cen-tered

Multiple channels and multi-media

Dominant style of political com-munication

Messages along party lines

Sound bites and impresion man-agement

Narrow casted – targeted micro massages

Page 87: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

77

Media Partisan pers, posters, newspa-per, advert and radio broadcast

Television broad-cast through main evening news

Television narrow – casting targeted di-rect mail and e-mail campaign

Dominant Advertising Media

Print advertise-ment, posters, leaflet, radio speechless and mass rallies

Nationwide televi-sion advertise-ment, colorful poster and maga-zine advert, mass direct mailings

Targeted television advertisement, e-mail campaign telemarketing tech-niques, banner ads in the internet

Campaign Coordinators

Party leader and leading party staff

Party campaign managers and external media, advertising and survey experts

Special party campaign units and more specialize political consultant

Dominant Campaign Paradigm

Party logic Media logic Marketing logic

Preparation Short term, ad-hoc

Long term cam-paign

Permanent cam-paign

Campaign Expenditure

Low Budget Increasing Spiraling Up

Electorate Cleavage – and group – base stable voting behavior

Erosion of party – attachments and raising volatility

Issue based and highly volatile vot-ing behavior

Sumber: Adapted and modifiedbased on farrell (1996: 17, table 6.1), Norris (1997b: 3, table 1.1, 2000: 138 table 7.1), Blummer and Kavanagh (1999: 211-216), Farel and Webb(2000: 104, table 6.1, Wring (2001:37-43): (Eep saefullah Fatah, 2010)

C. Pengaruh Kampanye Di Media Menurut Eep Saefullah (2009), seorang analis politik dan pendiri

lembaga Konsultan Politik PolMark Indonesia, “iklan politik memainkan peran penting untuk merebut popularitas, akseptibilitas, dan elektabili-tas.”. Cara paling ampuh untuk membentuk citra seseorang adalah de-ngan menggunakan media massa. Media massa adalah bagian yang tidak terlepas dari strategi marketing politik. Hal yang ingin dicapai dalam ke-giatan kampanye jika diurutkan adalah: diketahui, dikenal, disukai, didu-

Page 88: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

78

kung dan dipilih. Sampai akhirnya terlihat apakah proses berkampanye itu menghasilkan goal yang diinginkan atau bahkan sebaliknya (Eep Saifullah Fatah,2010:20). Iklan politik lahir karena perkembangan politik Indonesia dewasa ini menempatkan citra pada prioritas penting. Kema-juan pesat media yang memantik hal tersebut. Media telah digunakan untuk menjangkau target konstituen politik, mencapai tujuan dan men-gatasi hambatan-hambatan komunikasi baik geografis dan psikologis.

Klapper dan McQuail membedakan enam jenis perubahan yang mungkin terjadi akibat penggunaan media massa dalam kampanye yakni: 1. Menyebabkan perubahan yang diinginkan (konversi)2. Menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan3. Menyebabkan perubahan kecil (baik dalam bentuk maupun intensitasnya)4. Memperlancar perubahan (diinginkan atau tidak)5. Memperkuat apa yang ada (tidak ada perubahan)6. Mencegah perubahan

Menurut Wiranto yang dikutip Akhmad Danial (2009:190-191) ada dua faktor yang menyebabkan kampanye lewat iklan politik kemudian berkembang di Indonesia. Pertama, semakin menguatnya demokrasi di berbagai kawasan dunia, termasuk di Indonesia. Pengadopsian sistem demokrasi dengan sistem multi partai di Indonesia mengharuskan para pelaku politik bersaing ketat memperebutkan dukungan publik. Hal itu pada gilirannya membuat kegiatan komunikasi politik tidak hanya dibatasi pada saat kampanye tetapi juga sepanjang waktu, seperti layaknya produsen barang dan jasa yang memasarkan produknya. Kedua, praktik ekonomi pasar bebas yang makin meluas memberi pengaruh juga pada praktik demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Dalam sistem ekonomi yang menganut pasar bebas keputusan membeli adalah keputusan penuh konsumen dan ditentukan oleh mekanisme pasar. Demikian juga halnya dengan proses memilih dalam pemilu. Hal-hal semacam itulah yang lantas membuat politisi harus beriklan dalam rangka “memasarkan” dirinya kepada calon konstituen.

Salah satu gambaran yang bisa menjelaskan bagaimana situasi kam-

Page 89: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

79

panye iklan di media dalam satu negara adalah sistem medianya, khusus-nya sistem penyiarannya. Ada tiga kelompok negara berdasarkan tingkat pertumbuhan demokrasinya. Kelompok pertama hanya satu negara, yai-tu AS yang diberi label sebagai negara yang menganut ”sistem penyiaran komersial” (commercial broadcasting system). Kelompok kedua adalah kelompok negara dengan sistem penyiaran publik, yaitu Inggris, Peran-cis, Spanyol, Portugal, Israel, Brazil dan Chili. Dan kelompok tiga adalah negara-negara yang menganut sistem ganda. Dan sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia dianggap sebagai negara yang mempunyai kecende-rungan menganut sistem penyiaran komersial karena tidak memiliki seja-rah panjang sistem penyiaran publik (Akhmad Danial, 2009: 90).

Banyak hal yang mempengaruhi suksesnya seorang kandidat dalam setiap kontestasi. Mulai dari citra, retorika, performa diri kandidat, pengalaman politik sampai pengaruh partai pengusung. Namun, dari sekian banyak faktor di era industri citra seperti saat ini, kehadiran media serta pesan kampanye merupakan faktor pembantu kemenangan kandidat. Jika kita rangkingkan akan tampak pada tabel berikut:

Tabel 7Faktor-Faktor Kemenangan Kandidat

FAKTOR SKALA 1-5Citra 1,22Kemampuan Berkomunikasi Lewat Media 1,26Kehadiran Media 1,33Pesan Kampanye 1,67Kualitas Kepemimpinan 1,72Kompetisi Isu 1,95Kemampuan Retorika 2,10Dukungan Partai 2,14Penampilan dan Kebiasaan Pribadi 2,30Konsultan Media 2,48Pengalaman Politik 2,59

Sumber: Antar Venus, 2009

Page 90: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

80

FAKTOR SKALA 10-100Citra Kandidat 75Kontrol Media 71

Strategi Menghadapi Pesaing 66Anggaran Kampanye 41

Sumber: Antar Venus, 2009

Dari tabel di atas dapat kita ukur, perubahan pada tinggat publik atau hasil yang tercapai pada perilaku electoral voters (konstituen) dalam hal materi kampanye yang telah dilakukan. Selama media diberlakukan secara benar maka hasil yang dicapai akan membantu partai serta kandidat dalam pemilihan.

Ada dua kecenderungan dalam penyelenggaraan kampanye untuk memanfaatkan media. Pertama adalah mereka yang menerap-kan strategi kampanye satu arah (uni-directional campaign). Dalam hal ini tindakan memengaruhi khalayak tidak langsung. Di sini pelaku sepenuhnya mengendalikan media massa. Strategi ini disebut dengan media oriented campaign. Kedua yang menerapkan kampanye dua arah (bi-directorional campaign), penyelenggaraan kampanye dalam konteks ini menyadari keterbatasan penggunaan media massa dalam memengaruhi khalayak. Karena itu, pemanfaatan saluran komunikasi kelompok antarpribadi sangat dipentingkan untuk mengoptimalkan pesan-pesan yang disampaikan lewat media massa. Strategi ini disebut juga audience oriented campaign (Gun Gun Heryanto, 2011:8) .

D. Industri Media Cetak

Hakikat media adalah sebuah industri, institusi bisnis yang berorientasi pada pencapaian profit sebanyak-banyaknya dengan me-manfaatkan sumber daya terbatas. Berikut klasifikasi industri media cetak yang bisa dijadikan tools kampanye oleh partai atau kandidat.

1. Koran Dalam sejarahnya, media cetak khususnya koran telah ada sejak

Page 91: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

81

zaman Benjamin Franklin, yang membantu sejumlah pengusaha percetakan menjadi redaktur dan pencetak koran sekaligus. Namun dalam bentuknya masih raksasa dan berskala nasional, jaringan koran baru muncul di akhir abad 19. Untuk dapat bertahan, industri media cetak biasanya mencaplok koran-koran kecil demi terus memperluas usahanya. Kemunculan kantor berita terus memperluas pemasokan berita dan memperluas jangkauan media cetak koran.

Di Indonesia media cetak seperti koran memiliki sejarahnya sendiri. Dalam hal pemberitaan koran sebagai media massa meru-pakan realitas simbolik yang sudah pasti dikonstruksi. Artinya koran sebagai media massa tidak dapat objektif melainkan terpengaruh oleh para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan berita maupun pesan-pesan yang ada di dalamnya. Meskipun eksistensi koran mulai tergeser oleh televisi, atau media online tetapi koran sudah memiliki segmentasi pasarnya sendiri. Dalam mempertahankan eksistensi bisnisnya, koran mulai melakukan media convergence dengan menyediakan hasil liputannya dalam bentuk website.

Tidak hanya itu, iklan juga berpengaruh sebagai pemasok dana dalam industri koran. Dan dalam hal ini diyakini iklan juga berpengaruh dalam isi koran yang diterbitkan. Perlahan tapi pasti, namun para pengiklan pasti menyadari kekuatannya. Pengalaman menyadarkan mereka bahwa pengaruh mereka sangat besar, dan mereka pun memanfaatkannya dengan mendikte koran untuk turut memengaruhi konsumen. Di lingkungan di mana koran harus bersaing keras, para pengiklan akan mudah memanfaatkan kontraknya untuk memengaruhi kebijakan dan isi koran. Mereka menuntut apa saja, namun sungguh patut disayangkan jika koran-koran itu menuruti saja kemauan pengiklan, publik bisa menilai.

Theodore Peterson dan Wiliam pengiklan mau bayar mahal karena sirkulasi. Semakin besar sirkulasi sebuah koran, akan semakin menarik daya beli iklan. Jika isi pemberitaan dalam media tersebut bermutu, makan akan meraih sirkulasi yang besar. Namun sayang, para kantor media cetak sering mengabaikan hal tersebut karena

Page 92: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

82

ingin mendapatkan profit cepat, mereka rela “melacurkan” diri demi pengiklan. Akibatnya, mereka mudah untuk ditekan oleh para pengiklan ( Theodore, Jensen & L. Rivers, 2003: 326).

2. Poster, leaflet, folder, spanduk, baliho, point of purchase, bus stop, bus panel, flyer. Selain koran atau majalah yang menjadi media cetak instrumen

kampanye, media luar ruang atau belowline media juga berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Namun, berbeda dengan koran dan majalah. Sifatnya media luar ruang atau belowline media murni sebagai strategi pemenangan partai atau kandidat. Produksi alat peraga kampanye semacam ini, langsung berhubungan dengan media percetakan (di luar percetakan koran dan majalah). Namun harus diperhatikan penggunaannya karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 telah diatur masa berkampanye suatu partai dan kandidat yaitu 3 hari setelah calon peserta pemilu ditetapkan sebagai peserta pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang (3 hari sebelum pencontrengan). Dan semua alat peraga ini sudah harus terlepas sebelum hari pencontrengan dimulai.

E. Belanja Kampanye Media CetakPemasangan iklan kampanye di media cetak mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat oleh Nielsen Media Indonesia saat Pemilu 2009 di 24 stasiun televisi, 103 jenis koran, dan 165 jenis majalah dan tabloid, belanja iklan kategori politik dan pemerintahan mengalami peningkatan 108 persen dari tahun sebelumnya.

Belanja iklan di kategori ini sepanjang Januari hingga September 2009 mencapai Rp 2,92 triliun, terdiri dari belanja iklan Rp 1,785 triliun di koran dan Rp 1,108 triliun di televisi. Lebih detail, belanja iklan Partai Golongan Karya (Golkar) mendominasi di koran selama sembilan bulan pertama tahun ini, dengan peningkatan mencapai 1.012 persen dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi Rp 189 miliar. Sedangkan Partai Demokrat hanya menggelontorkan dana

Page 93: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

83

sekitar Rp 86 miliar untuk beriklan di koran pada periode yang sama dengan kenaikan 975 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.

Sementara, iklan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden mencapai Rp 307 miliar yang terdiri dari Rp 212 miliar di televisi dan Rp 95 miliar di koran. Menariknya, di kategori politik dan pemerintahan, belanja iklan di majalah dan tabloid justru menempati di posisi terakhir yang hanya Rp 28 miliar. Belanja iklan kuartal tiga mengalami peningkatan sebanyak 13 persen dibandingkan periode sama tahun lalu (Vivanews.com, 5/10/2009). Biaya ratusan milyar rupiah tersebut habis hanya dalam beberapa bulan saja. Jadi bisa dibayangkan dalam satu tahun berapa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon pemimpin di negeri ini. Biaya yang dikeluarkan oleh lima orang calon saja, bisa mencapai satu triliun rupiah.

F. Pengaturan Kampanye di Media Cetak Sejak diberlakukannya peraturan kampanye dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 sampai direvisi dalam UU Nomor 10 tahun 2012, tidak terlalu mengikat bagaimana seharusnya ber kampanye di media cetak yang baik. Banyak kritik terhadap kampanye di media. Bahkan terkesan melemahkan peranan KPI dan Dewan Pers sebagai watch dog media di Indonesia. Hingga saat ini aturan main kampanye di media belum jelas ditegakkan, padahal Pemilu 2014 kian dekat.

Adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 belum bisa mengikat dan memberikan definitif yang jelas tentang peraturan dalam belanja iklan dalam kampanye di media, bahkan tidak merubah ke arah yang lebih baik. Tidak hanya poin-poin pelanggaran dalam regulasi saja yang harus jelas tetapi pihak yang menanggulanginya juga harus disesuaikan.

Agar proporsional perlu dikemukakan, KPU berwenang mengatur peserta dan proses pemilu, tetapi pemanfaatan media untuk sarana kampanye bukan kewenangan KPU. Bagaimana soal iklan sebagai kampanye di media, sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang

Page 94: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

84

mengurusi media. Misalnya untuk media elektronik, tugas pengaturan bisa dijalankan Komisi Penyiaran Independen (KPI) dan Dewan Pers bersama Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) untuk media cetak. Lembaga-lembaga media itu yang perlu memfasilitasi dan berkoordinasi dengan media dan peserta pemilu, dengan mempertimbangkan masukan dari KPU dan asosiasi periklanan. Jadi, alih-alih KPU yang harus bekerja keras mengurus iklan politik, biarkan proses self regulatory media berjalan untuk soal ini (Lukas Warso, 2010).

Pengawasan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers memang tercermin pada pasal 100 yang berbunnyi “Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran atau media massa cetak” Dalam hal ini jelas sekali bahwa yang mengawasi adalah badan pengawas media massa.

Bagi media cetak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh media bisa di maklumi. Asalkan media cetak tetap memperhatikan kode etik jurnalis dan mematuhi peraturan Undang-Undang Pers. Tetapi semua itu akan berimbas terhadap kredibilitas media tersebut. Media cetak berbeda dengan media penyiaran yang mempunyai “kontrak mati” dengan pubik. Media penyiaran memakai frekuensi milik publik dalam beroperasi. Ini sudah mutlak terjadi, jadi apupun yang disampaikan me-dia sudah semestinya dipertanggungjawabkan oleh media tersebut.

Berbeda dengan media penyiaran seperti TV dan radio, media cetak lebih bersifat privat dalam arti ia tetap harus bertanggung jawab dengan pemberitaan yang dicetak dan diterbitkannya. Motif finansial adalah salah satu alasan media cetak menerbitkan sesuatu sesuai dengan kemauan pengiklan. Tetapi apapun konteksnya, dalam hal kampanye bermedia yang sedang menjadi euforia di Indonesia haruslah tegas sehingga publik tidak dirugikan oleh informasi yang diterima.

Beberapa poin penting yang harusnya ditegaskan dalam peraturan kampanye di media cetak antara lain, pertama penegasan redaksional serta batasan space yang disediakan industri media massa (khususnya koran) bagi partai atau kandidat. Muatan materi kampanye sudah

Page 95: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

85

tegas dijelaskan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2012, Pasal 81 ayat 1 yang menyebutkan materi kampanye peserta pemilu partai politik yang telah ditetapkan oleh calon anggota DPR dan DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/ kota meliputi visi, misi, dan program partai politik. Serta ayat 2 yang meliputi peraturan isi materi bagi calon perseorangan (independen) disebutkan bahwa materi kampanye perseorangan peserta pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi dan program yang bersangkutan.

Jadi, hendaknya Dewan Pers yang bertugas mengawasi jalan-nya kampanye bermedia di media cetak. Jangan sampai kampanye justru menjadi propaganda dan agitasi serta black campaign. Reda-ksi adalah tonggak utama dari isi kampanye. Terlebih khusus adalah iklan bermuatan politik, singkatnya iklan politik haruslah memuat visi, misi, serta program dengan anasir kebenaran data, informasi serta mengedukasi publik. Bukan hanya iklan yang bisa dijadikan alat kam-panye di media cetak, seringkali kita melihat testimoni dari beberapa politisi menanggapi tentang eksistensi sebuah partai atau bahkan pemerintah. Seolah berita, tetapi secara halus ini merupakan publisi-tas (publicity) yang ter-cover sengaja dimuat dalam media tersebut.

Mengingat kampanye adalah kegiatan yang terikat dengan waktu, publisitas dini di dalam media tidaklah bermasalah. Akan tetapi saat publisitas tersebut menjadi masif dilakukan oleh partai politik tertentu yang pemiliknya juga berafiliasi ke dalam partai politik ini adalah bentuk lain dari kampanye mereka. “Masif” di sini diartikan sebagai habis-habisan dilakukan di berbagai media baik TV, koran, radio, atau new media. Ada sebuah relasi kuasa antara pemilik media dan kepentingan politis pemegang otoritas.

Masalah kedua terkait dengan independensi media. Media yang independen adalah idealnya sebuah media yang berada dalam pusaran arus sebuah sistem keacakan kepentingan politik. KPU, KPI bersama Dewan Pers harus menegaskan hal ini guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat, ketika pemilik media terlibat aktif ke dalam

Page 96: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

86

politik praktis. Melihat realitasnya saat ini, pemilik media telah meleburkan diri mereka kedalam dunia politik. Aburizal Bakrie yang telah mendeklarasikan diri besama Golkar, TV One dan ANTV. Surya Paloh bersama Hary Tanoe Soedibyo dengan MNC Group, Media Group dan anak perusahaannya yang lain baik cetak maupun online.

Menyongsong waktu pemilihan umum atau pilkada media sema-kin memainkan perannya. Sungguh sangat tidak etis jika ada kong-lomerat berpihak dan menguasai bentuk opini sekaligus perang infor-masi publik, saya rasa kurang bagus di dunia jurnalis dan penyiaran kita. Konglomerat media harus memisahkan antara kepentingan poli-tik dan media yang dimilikinya. Hal itu penting agar media tetap in-dependen. Sekarang ini tergantung pada pemilik media “akan dibawa kemana opini publik”. Jika iklan politik tersebut masih biasa saja tidak-lah masalah, tapi menjurus pembantaian parpol atau orang lain, hal itu semestinya mendapat perhatian pemerintah, agar regulasi iklan politik jelas dan tidak mengganggu regulasi pers atau penyiaran.

Walaupun sah-sah saja bagi media cetak seperti koran dan majalah, tetapi ada kode etik yang harus dijaga agar kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Belum lagi muncul nya tabloid temporer yang nantinya berfungsi sebagai corong dari partai politik untuk berkampanye membangun citra partainya. Sejumlah tabloid atau koran diterbitkan oleh parpol atau institusi yang berafiliasi ke peserta pemilu tertentu, sehingga media seperti itu sengaja berperan sebagai corong parpol atau calon DPD. Peraturan apa yang akan mengikat tabloid temporer seperti ini? tugas Dewan Pers dan PSP yang mengatur bagaimana peraturan bagi tabloid temporer yang muncul menjelang pemilu.

Ketiga mengenai adanya pemanfaatan media cetak yang memper-sempit ruang non-politik. Pemanfaatan media luar ruang atau belowline media yang begitu bebas sering digunakan tidak berarturan. Sehingga ruang yang dianggap milik publik ini kian menyempit dihabiskan oleh iklan politik luar ruangan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya iklan

Page 97: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

87

politik di berbagai tempat, mulai dari poster yang dipasang di pohon, baliho besar di depan gerbang sebuah perumahan sampai banner yang melintang di sepanjang jalan. Pemilihan media massa yang dapat men-jangkau banyak khalayak menjadi pilihan kandidat, meskipun dengan konsekuensi biaya yang sangat tinggi. Semua ini dilakukan demi men-cari, dan memantapkan sikap dan pilihan dari para calon pemilihnya.

Berjejalnya iklan politik akhirnya membuat pemilih merasa bi-ngung membedakan sosok kandidat dan partai politik satu dengan lainnya. Masyarakat saat ini dibombardir dengan bujuk dan rayu dari beragam strategi iklan politik yang malah menjauhkan mereka dari ke-butuhannya yaitu informasi yang relevan berkaitan dengan siapa sosok, kualifikasi serta program yang dimiliki kandidat dan partai politik.

Maraknya penayangan iklan politik media luar ruang atau below-line media dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai bentuk manipulasi politik yang tidak mendidik masyarakat. Iklan partai politik banyak menarik perhatian masyarakat karena isi pesan yang menarik, dengan mengangkat isu-isu yang sedang terjadi di dalam kehidupan masyara-kat, seperti harga sembako, kenaikan bahan bakar minyak, pendidikan, pengangguran, dan lain sebagainya hingga mengoreksi partai lawan, menjadi topik-topik yang cukup menyita perhatian pemirsanya.

Hal ini mungkin sama saja dengan usaha publisitas yang dilakukan partai politik. Tetapi hingar-bingar ketidakberaturan iklan politik di media luar ruangan ini harusnya memiliki aturan. Seperti pembatasan entitas jumlah iklan yang dipasang di tempat publik. Seharusnya publik mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar pemandangan iklan politik di sepanjang jalan, publik terpaksa menyantap suguhan poster serta spanduk partai politik, sehingga mereka tidak merasa kehilangan ruang non-politiknya. Bagaimana jika seharusnya pemerintah pusat dan daerah sudah mulai menertibkan. Beberapa langkah yang dirasa efisien untuk menertibkan adalah, pemerintah dengan tegas mencopot, menurunkan dan membongkar baliho, spanduk, leaflet serta alat peraga lain yang menyalahi aturan serta

Page 98: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

88

undang-undang dari pemerintah setempat serta pemerintah pusat.

Kedua, ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan dan pemasangan reklame media luar ruang iklan politik. Dan terakhir, memberikan sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer, pengusaha media luar ruang, tim sukses caleg, dan kandidat presiden yang kedapatan melanggar pola pemasangan dan penempatan media luar ruang iklan politik.

Hal keempat yang harus diperhatikan dari undang-undang kampanye media cetak adalah adalah komersialisasi iklan politik. Dengan adanya modernisasi gaya persuasif partai politik guna menjaga eksisitensi partai politik, maka meningkat pula faktor belanja iklan di media. Bagaimanapun media adalah industri yang mempertahankan eksistensinya lewat pemasukan iklan.

Meluasnya penggunaan media cetak sebagai media iklan dan publikasi dikhawatirkan akan menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologi sebuah partai dan massanya. Masyarakat akan cenderung memerhatikan aspek artistik dari iklan politik daripada memerhatikan pesan politik itu sendiri. Isu politik berbeda dengan produk komersial. Isu politik berkaitan dengan nilai dan ideologi, bukan produk yang diperjualbelikan. Isu politik merupakan sebuah sistem nilai simbol yang menghubungkan individu dengan struktur sosial (Firmanzah, 2008: 337). Akan tetapi satu kritik untuk iklan politik yang masih bertahan. Iklan politik lebih berorientasi pada citra daripada isu. Sehingga menghasilkan sebuah asumsi bahwa citra hanya melekat pada emosi, sedangkan isu lebih fokus terhadap logika.

Bagaimanapun, definisi berbeda antara citra dan isu, berbeda terlalu perlu untuk dibedakan, tapi merupakan jalinan yang sulit terurai dalam iklan politik. Dalam hal ini, perbedaan definisi dari keduanya adalah, citra merujuk pada personalitas kandidat atau kualifikasinya, sedangkan isu merujuk pada informasi tentang posisi kebijakan atau perhatian pada topik yang berkaitan dengan publik. Melirik pada esensi marketing dalam dunia politik bisa merubah

Page 99: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

89

substansi dunia politik yang tadinya memuat interaksi ide-ide politik bergeser menjadi sebuah transaksi ekonomi. Jika seperti itu, ideologi politik untuk menarik konstituen tidak ubahnya hanya sebatas pertukaran logika dengan ”laba” (untung). Tujuannya adalah meraup keuntungan finansial dalam berpolitik.

Mengutip Bauer et al dari Firmanzah dalam Marketing Politik (2008) Produk politik tidak lain adalah sebuah komoditas. Komoditi ditawarkan dan dipasarkan kepada rakyat. Layaknya sebuah komoditas akan muncul proses negosiasi harga, di dalam politik ada transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. Masing-masing pihak mencoba memaksimalkan keuntungan dan kepentingan sendiri. Hal ini membuat politik semakin jauh dari kondisi ideal dalam membangun masyarakat. Konsep dalam membangun serta membina masyarakat menjadi lebih berdasarkan pada keuntungan pasar. Loyalitas hilang, karena masing-masing pihak berusaha mencari mitra-mitra yang menguntungkan mereka sendiri. Persaingan menjadi lebih liberal dan terbuka. Membuat para politisi semakin pragmatis dalam berpolitik.

Iklan politik sejatinya, murni wilayah komersial. Dengan ada nya iklan, terjadi praktik pembujukan (persuasi), menyentuh aspek psiko-logis. Dilihat dari fungsinya, iklan tidaklah mengedukasi melain kan memanipulasi. Kebenaran pada iklan tidak harus berdasar pada fakta-fakta, data dan realitas, melainkan pada rekayasa dan persepsi. Jika ope rasi komunikasi seperti ini digiring ke ranah politik, maka pem-bongkaran rasionalitas dan logika akan berlangsung besar-besaran.

Sudah seharusnya, ada kesadaran di benak para praktisi media, untuk sedapat mungkin membuat standar iklan politik. Apalagi melihat media adalah sebuah industri kapitalis. Media merupakan ruang publik, tetapi kinerja dari media tidak didasarkan pada pengembangan ruang publik yang sehat melainkan pada penguasaan akumulasi ekonomi. Maka sudah pasti iklan dijadikan komoditas yang menguntungkan bagi media. Terlebih dalam masa-masa kampanye politik. Belanja iklan politik dimedia sangat besar entitasnya.

Page 100: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

90

DAFTAR PUSTAKA

Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV “Modernisasi Kampanye Politik Orde Baru”. Yogyakarta: LKis

Firmanzah. 2008. Marketing Politik “Antara Pemahaman dan Realitas”. Jakarta: Yayasan Obor.

Firmanzah. 2010. Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009”. Jakarta: Obor Indonesia.

Fatah, Eep Saefullah. Handout Kampanye Pasca Modern. Jakarta: Home Made.

Heryanto, Ade Rina & Gun Gun. 2011. Komunikasi Politik. Jakarta: Lemlit UIN.

Kaczmarczyk, Andrzej. 2010. Cyberdemocracy: Chang of Democratic Paradigm in the 21th Centur. Kanada: The Key Publishing House Inc.

McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga.

Peterson, William L. Rivers, Jay W Jensen, Theodore. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Kencana.

Venus, Antar. 2009. Manajemen Kampaye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

UNDANG-UNDANG

UU No. 10 Tahun 2012

UU. Pers No. 40 Tahun 1999

Page 101: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

91

A. PendahuluanSatu dekade yang lalu, Blumler dan Kavanagh (1999) menyadari

suatu kemunculan “third age of political communication” di mana media cetak dan penyiaran akan kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru melimpahnya informasi (dalam Ward dan Cahill, 2009: 3). Ketika Blummer dan

INTERNET DAN POLITIK:

KONSTRUKSI CITRA KANDIDAT DI MEDIA BARU

Oleh: Gun Gun Heryanto

Saat ini Demokrasi elektoral kita menjadi ranah pertarungan terbuka yang sangat kompetitif, keras dan multi isu. Tidak cukup bagi kandidat yang bertaruang dalam pemilihan umum baik legislatif, presiden maupun pemilihan kepala daerah hanya mengandalkan varian saluran komunikasi politik yang konvensional. Dibutuhkan pendekatakan media baru dengan segala karakteristiknya yang memungkinkan kandidat berinteraksi secara lebih intensif meskipun juga harus memahami berbagai sisi lemah media baru yang tidak selalu menguntungkan proses konstruksi citra dirinya di ruang publik. Media baru merupakan generasi ketiga dalam komunikasi politik yang memungkinkan siapapun menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Pola resiprokal dan keterhubungan yang sifatnya personal tetapi kerap artifisial menjadi tantangan sendiri bagi kandidat untuk memosisikan dirinya di tengah informasi yang serba acak dan instan. Demokrasi siber (cyberdemocracy) yang telah memfasilitasi aku diri dan aku publik kerap berganti peran.

Keyword: Citra Politik, Media Baru, Internet

Page 102: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

92

Kavanagh menulis bahwa “ide, informasi dan berita politik dapat disebarkan melalui komputer”. Mereka berpikir mengenai “internet web” dan teknologi komunikasi dengan kapasitas untuk mencapai arus informasi dua arah yang memungkinkan pengguna untuk mencari jenis berita tertentu (dalam Ward dan Cahill, 2009: 3).

Tiga generasi komunikasi politik jika merujuk pada dinamikanya antaralain :

• Generasi pertama: retorika politik. Hampir seluruh pesan komunikasi politik diarahkan oleh kemampuan seni berbicara (art of speech).

• Generasi kedua ditandai dengan dominannya peran media massa yang belakangan kerap disebut sebagai media mainstream.

• Generasi ketiga ditandai dengan perkembangan new media. Hal ini seiring dengan menguatnya sosial media seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif.

Hal menarik dalam komunikasi politik kontemporer di dunia dan juga di Indonesia adalah fenomena penggunaan media baru (new media), yakni internet sebagai media atau saluran komunikasi yang semakin intensif digunakan. Para aktor politik baik politisi (wakil maupun ideolog), figur politik, birokrat, aktivis kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) maupun jurnalis media massa, saat ini semakin adaptif dengan penggunaan internet baik sifatnya statis maupun dinamis.

Melalui internet berbagai informasi, sosialisasi gagasan, ajakan, tuntutan hingga protes dan usulan alternatif kebijakan dapat dipublikasikan dan dipertukarkan dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding melalui media cetak atau media penyiaran (broadcasting). Interkoneksi sesama warga negara atau hubungan antara infra dan suprastruktur dalam sistem politik dapat berjalan tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu. Semakin hari pengguna internet di Indonesia semakin banyak, penggunaannya pun semakin meluas

Page 103: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

93

mulai dari hanya sekedar kepentingan pribadi, bisnis-komersial hingga urusan politik. Kita bisa melihat misalnya fenomena marketing politik di Indonesia baik untuk Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Internet menjadi bagian utuh dari saluran penting dalam bauran promosi (promotion mix) kandidat. Kampanye politik tidak lagi sekedar memanfaatkan above line media (seperti televisi, koran, majalah, radio, tabloid) dan below line media (seperti brosur, pamplet, spanduk dll.), melainkan juga memanfaatkan new media dalam hal ini intenet.

Dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan publik dan menciptakan kohesivitas dukungan, lembaga pemerintah, DPR maupun institusi yudikatif juga telah banyak menggunakan internet. Begitu pun individu maupun kelompok masyarakat yang menyampaikan tuntutan, dukungan maupun input politik lainnya, kini dengan leluasa dapat memanfaatkan internet sebagai saluran. Teknis penggunaan internet pun menjadi kian beragam, mulai dari web personal atau institusional yang dikelola secara profesional, blog gratisan, hingga akun di situs-situs jejaring sosial (social network sites).

B. Media Baru dan KarakteristiknyaSecara sederhana new media dapat diartikan perkembangan/

kemajuan teknologi media massa. Pemikiran dasar dari new media itu sendiri adalah untuk menggabungkan keunikan dari digital media dengan pemakaian media tradisional untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi new media (Flew dan Terry, 2002:11).

Pernyataan Terry tersebut pernah diperjelas oleh Bolter dan Grusin yang mengatakan bahwa konten new media seperti world wide web (Situs Internet) merupakan sebuah kombinasi dari konten media–media yang sudah eksis dengan format yang berbeda seperti pada tulisan surat kabar, fotografi, film, rekaman musik, televisi dan diproduksi ulang dan dikonvert menjadi media digital setelah mengalami perkembangan generasi (Bolter dan Grusin, 2000).

Page 104: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

94

Sedangkan menurut Lister dkk., dalam bukunya “New Media : A Critical Introduction”, Internet adalah kumpulan dari jaringan-jaringan yang menghubungkan komputer-komputer dan server bersama-sama. Sedangkan pemahaman yang lebih rinci lagi dibuat oleh Federal Networking Council A.S pada tahun 1995; bahwa ‘Internet’ mengacu kepada sistem informasi global yang (i) secara logis terhubungkan bersama-sama dengan ruang alamat global unik yang berbasis Protokol Internet (IP) atau perpanjangan subsekuensinya, (ii) mampu menyokong komunikasi dengan Protokol Kontrol Transmisi/Protokol Internet (TCP/IP) atau perpanjangan subsekuensinya, dan/atau protokol IP kompatibel lainnya; dan (iii) menyediakan, menggunakan atau menghubungkan, baik secara publik atau pribadi, layanan tingkat tinggi yang melapisi komunikasi dan infrastruktur terkait yang dibahas di sini (M. Lister dkk, 2009:164).

Newhagen & Rafaeli mengidentifikasi karakteristik yang membe-da kan internet dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya (dalam Wood & Smith,2005: 41). karakteristik tersebut antara lain multimedia dan interactivity. Karakteristik multimedia dapat kita pahami sebagai medium dengan beragam bentuk konten yang meliputi perpaduan teks, audio, image, animasi, video, dan bentuk konten interaktif.

Sementara interactivity memungkinkan seseorang untuk membuat pesan mereka sendiri, memublikasikan konten mereka, atau terlibat dalam interaksi online (Pavlik,1996: 137). Karakteristik interactivity ini yang memungkinkan para komunikator untuk berinteraksi di antara mereka. Ketika kita bertukar pesan lewat e-mail dengan siapapun, maka kita sudah menyadari bahwa komunikasi dua arah bisa terjadi lewat internet (Wood & Smith,2005: 42). Terlebih saat ini kita juga mengenal dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), Graphical Worlds dll. Misalnya sekarang ini kita mengenal banyaknya situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Netlog dan lain-lain yang memungkinkan kita untuk berinteraksi secara lebih intensif.

Page 105: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

95

Morris dan Ogan berpendapat, bahwa media massa tradisional seperti surat kabar dan televisi menunjukkan bahwa antara pembuat pesan dan khalayaknya digambarkan sebagai hubungan satu arah one-to-many-relationship, sementara internet dapat dilihat sebagai sarana komunikasi one-to-one seperti dalam e-mail, one-to-many dan many-to-one (Wood & Smith,2005:40).

Meskipun dalam berkomunikasi para pengguna internet tersebut dipisahkan oleh jarak dan keberadaan fisik yang cukup jauh, namun menurut Parks & Floyd (1996), para pengguna internet merasa sebagai sebuah komunitas melalui CMC (Computer Mediated Communications) di mana hal tersebut dapat menjadi sarana dalam menjalin pertemanan atau sebuah hubungan intim lainnya (Shedletsky & Aitken, 2004).

Tabel 8

Persamaan dan Perbedaan Komunikasi Interpersonal Face to Face Communication dan CMC

ElemenKomunikasi

Interpersonal

Face to Face Communi-cation

Computer MediatedCommunication

Source(pengirim

pesan)

Penampilan visual, meng-gambarkan siapa diri kita sebenarnya, begitu juga dengan karakter personal

Penampilan kita dapat diatur sesuai apa yang kita inginkan, karakter personal dapat disembunyikan dan dapat diungkapkan saat kita ingin mengungkapkannya.

Komunikator bersa-ing dengan komunikan dalam bertukar infromasi, dapat diinterupsi.

Penyampaian pesan selalu merupakan giliran komunika-tor, tidak dapat diinterupsi, waktu berbicara tidak terbatas.

Reciver(penerima

pesan)

Siapapun yang berada di ruang lingkup visual komunikator

Siapapun yang ada di daftar email atau contact list.

Page 106: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

96

Penerima pesan terbatas pada mereka yang me-miliki kesempatan untuk berjumpa. Menemukan seseorang yang memiliki kesamaan yang sama lebih sulit, terutama pada komunitas yang sempit.

Penerima pesan tidak terbatas secara virtual, kita dapat lebih cepat dan lebih mudah untuk menemukan penerima pesan yang lain yang sesuai dengan kesukaan komunika-tor.

Pesan yang disampaikan dapat didengar oleh pihak lain, namun tidak dapat disampaikan secara akurat kepada pihak lain.

Pesan dapat dilanjutkan kepada banyak pihak secara tepat (forward).

Penerima mendapat kesan melalui isyarat ver-bal dan nonverbal yang diperoleh komunikan

Penerima mendapat kesan dari teks yang dibaca komu-nikan.

Konteks Percakapan terjadi sesuai dengan di mana kedua indi-vidu berada, mereka berada di ruang fisik yang sama.

Percakapan terjadi di lokasi yang diinginkan individunya (tidak harus sama lokasinya), terpisah oleh ruang.

Konteks terjadi begitu saja, individu memiliki kontrol yang rendah saat mereka berada dalam siatuasi komunikasi.

Individu dapat lebih mudah memilih waktu komunikasi dan kapan meresponnya.

Komunikasi bersifat sink-ron, pertukaran pesan terjadi pada waktu yang bersamaan.

Komunikasi dapat terjadi secara sinkron, misalnya pada chact rooms atau Instant Messaging atau tidak sinkron misalnya pada e-mail dan bulletin board. Dalam komunikasi sinkron, individu yang terlibat komunikasi hadir pada saat yang sama sedangkan dalam komunikasi tidak sinkron, komunikator dan komunikan tidak perlu berada pada waktu yang sama dan juga tidak perlu tersedia pada waktu yang sama.

Page 107: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

97

Channel (me-dia)

Media bersifat audi-tory (pendengaran), visual (penglihatan), tactile (sentu-han), dan proxemic (jarak).

Media bersifat visual untuk teks.

Media dua arah memung-kinkan interaktivitas secara tepat.

Media dua arah. Beberapa mam-pu untuk melakukan interaktivi-tas secara cepat dan beberapa menunda interaktivitas.

Pesan Kata-kata diucapkan beserta gesture, kontak mata, aksen, bau, sentu-han, pakaian, rambut, dan semua isyarat nonverbal.

Kata-kata tertulis melalui teks. Isyarat nonverbal bersifat terbatas, beberapa dapat diciptakan melalui emoticon atau simbol, namun beberapa tidak bisa misalnya bau-bauan atau sentuhan.

Pesan bersifat sementara, kecuali direkam.

Pesan bersifat permanen, kecuali dihapus.

Singkatan jarang digu-nakan

Singkatan sering digunakan.

Feedback

(umpan balik)

Biasanya cepat namun dapat juga ditunda. Kecepatan biasanya diharapkan.

Pada diskusi melalui e-mail, newsgroup, dan discussion list, feedback biasanya secara mudah dapat ditunda. Dalam chatting dan Instant Messaging, feedback yang diberikan cepat.

Tujuan Semua tujuan (belajar, berhubungan, mem-pengaruhi, bermain, dan menolong) dapat dicapai. Beberapa tujuan dapat dicapai lebih mudah melalui komunikasi tatap muka, misalnya kasih sayang dan dukungan.

Semua tujuan (belajar, ber-hubungan, mempengaruhi, bermain, dan menolong) dapat dicapai. Beberapa tujuan dapat dicapai lebih mudah melalui CMC misalnya informasi.

Hambatan Terjadi pada konteks, artikulasi, pelafalan, dan kesalahan penggunaan tata bahasa.

Penulisan (spelling) dan peng-gunaan tata bahasa.

Sumber: Joseph A. Devito, 2007:19

Page 108: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

98

Sejarah internet berawal dari sebuah sistem yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang dinamakan ARPANET. Pada awal tahun 1970-an, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengkhawatirkan jaringan komputernya terhadap serangan nuklir. Konsekuensinya, ahli komputer di sana menyebarkan keseluruhan sistem dengan menciptakan interconnected web dari jaringan-jaringan komputer. Setiap komputer dapat saling “berkomunikasi” dan informasi dibundel dalam sebuah paket, dinamakan internet protocol yang berisi alamat tujuan dari komputer yang dituju (Domminick, 2009: 278).

Domminick (2009:278) menjelaskan ada 3 bentuk pengembangan dari internet, pertama, World Wide Web yang dikembangkan pada tahun 1990, para ahli di Switzerland mengembangkan di sebuah laboratorium fisika untuk menciptakan rangkaian komputer yang saling terhubung dengan internet dengan menggunakan program komunikasi yang sama. World Wide Web merupakan pengembangan terbaru dan menarik dalam internet (Auter,1996: 133). Di dalam World Wide Web bisa digunakan banyak grafis, menambahkan teks, suara, dan visual bergerak. Sementara menurut S Richard, web dapat dideskripsikan sebagai seperangkat protokol dan standar-standar yang digunakan untuk mengakses informasi yang tersedia di internet, medium fisiknya digunakan untuk memindahkan data (dalam Mirabhito dan Morgenstern ,2004: 223).

Sementara pengembangan kedua dari internet memudahkan penggunanya untuk menemukan apa yang mereka cari di web, hal ini terjadi pada tahun 1993 dengan diciptakannya browser yang dinamakan Mosaic. Sistem ini dapat menyimpan data, menentukan data seperti apa yang diinginkan, serta mengatur data yang ditampilkan. Lima tahun kemudian Microsoft juga memperkenalkan browser mereka yang dinamakan Internet Eksplorer. Perkembangan ketiga dari internet yakni search engine yang paling dikenal pengguna adalah Google dan Yahoo !.

Page 109: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

99

Sementara itu, inovasi dalam dunia web semakin hari semakin mengalami perkembangan yang berarti, ini dibuktikan dengan adanya teknologi web 2.0 sebagai perkembangan web 1.0. Web 1.0 adalah generasi pertama dari website di internet. Pada tipe ini pengunjung hanya dapat membaca konten yang ada di website tersebut. Contohnya membaca berita. Jadi web tipe ini terlihat seperti papan pengumuman di dunia maya. Seluruh konten yang menghiasi web itu sepenuhnya berada di tangan admin. Contohnya adalah situs http://www.kompas.com/ .Web 1.0 merupakan teknologi Web generasi pertama yang merupakan revolusi baru di dunia internet karena telah mengubah cara kerja dunia industri dan media. Pada dasarnya, Website yang dibangun pada generasi pertama ini secara umum dikembangkan untuk pengaksesan informasi dan memiliki sifat yang sedikit interaktif (Pupung, 2001:66)

Situs berbasis Web 2.0 memungkinkan para kreator/pencipta konten web (yang sekaligus juga berstatus sebagai pengguna, atau dikenal dengan istilah prosumer = profesional + konsumer) untuk berinteraksi atau berkolaborasi dengan pengguna lainnya atas konten web yang dihasilkannya dalam komunitas virtual. Ini berbeda dengan website, di mana pengguna (konsumen) hanya bisa berperan serta secara pasif terhadap konten yang diciptakan untuk mereka. Semenjak tahun 2004, Web 2.0 telah menjadi istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan desain web saat ini. Istilah Web 2.0 ini sendiri dipopulerkan oleh Tim O’Reilly pada tahun 2003 (Pupung, 2001:66)

Page 110: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

100

Gambar 2 Perbedaan Struktur dan Komunikasi Antara Web 1.0 dan Web 2.

C. Internet Sebagai Saluran Politik Menurut Schoeder (2004) internet adalah suatu ruang publik

di mana orang-orang menggunakannya untuk membaca dan mengekspresikan opini-opini politik mereka (dalam Irwansyah, 2007). Karena itu, internet menghubungkan politisi, partisan partai-partai politik, aktivis, dan organisasi non-partai.

Penggunaan internet dalam komunikasi politik yang semakin meluas tentu tidak bisa kita lepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia sendiri. Paling tidak kita bisa mengidentifikasi 4 faktor yang berpengaruh terhadap semakin intensifnya penggunaan internet dalam komunikasi politik di Indonesia.

Pertama, internet menjadi sebuah media baru yang revolusioner di dunia karena merupakan “perkawinan” antara media cetak, audio, dan video yang menawarkan komunikasi dua arah. Menurut Margolis,

Sumber: http://www.sizlopedia.com

Page 111: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

101

Resnick, dan Tu, internet disebut revolusioner karena sedikitnya kontrol informasi atau gatekeeping yang merupakan karakteristik media cetak tradisional dan media penyiaran (Tedesco,2004: 510). Dengan demikian internet menjadi media yang tidak dapat dikendalikan siapapun, termasuk pemerintah yang berkuasa.

Saat ini, menurut data resmi terakhir yang dilansir pada 31 Maret 2011 oleh www.internetworldstat.com menyebutkan data jumlah pengguna (user) internet di dunia adalah 2.095.006.005 dari total populasi warga dunia 6.930.055.154. Ada pun perinciannya adalah sebagai berikut

Tabel 9Statistik Penggunaan dan Populasi Internet Di Dunia

(Data hingga 31 Maret 2011)

Sumber: http://www.internetworldstat.com

Jika melihat dari data di atas maka pengguna internet di Asia yang 922,329,554 merupakan jumlah yang terbesar jika dibanding kawasan lain. 44,0 persen dari pengguna internet dunia ada di Asia, sementara 56,0 persen lainnya tersebar di kawasan lain yakni: di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7 persen) di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7 persen), di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3 persen), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna (13,0 persen), di Amerika Latin ada 215.939.400 pengguna (10,3 persen), dan di Oceania/Australia ada 21.293.830 (1,0 persen). Dengan

Page 112: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

102

demikian pertumbuhan pengguna internet di Asia dalam rentang tahun 2000-2011 adalah 706,9 persen. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya 114.304.000 maka pada Maret 2011 sudah di angka 922.329.554 pengguna internet.

Berikut ini gambar prosentase pengguna internet di Asia jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia.

Gambar 3Prosentase Pengguna Internet di Dunia

Sumber: http://www. internetworldstat.com/stats3.htm

Gambar 4Komparasi Jumlah Pengguna Internet di Dunia

Sumber: http://www. internetworldstat.com/stats3.htm

Page 113: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

103

Jaringan komunikasi internet menawarkan akses tidak terbatas pada siapapun dan memiliki fasilitas untuk menyuarakan agenda politik mereka pada masyarakat global.

Dalam catatan Whilock (1997) kampanye Bill Clinton pada tahun 1992 menjadi kampanye politik pertama yang menyebarkan teks pidatonya lewat internet. Sementara menurut Hacker (1996) manajemen Clinton-Gore adalah yang pertama menggunakan internet untuk mengenalkan demokratisasi elektronik (dalam Tedesco, 2004: 513). Manajemen Clinton mulai menyebarkan press release dan informasi lewat internet pada 20 Januari 1993. Pada tahun 1996 rangkaian pemilihan politik semua kandidat presidensial, kandidat parlemen Amerika, lebih dari 1.500 orang dari beragam tingkat, dan banyak kelompok terlibat dengan “kehadiran” online (Tedesco, 2004:513).

Sejak tahun 2006, selain berkampanye melalui website, para kandidat juga bisa memanfaatkan social network sites atau situs jejaring sosial untuk berkampanye. Orang-orang yang terlibat dalam politik, seperti dalam aktivitas kampanye, mulai menyadari potensi dan mencari cara untuk menggunakan sarana baru yang efektif ini. Facebook, YouTube, dan MySpace merupakan sarana baru untuk meraih partisipasi politik di mana mereka berinteraksi dengan rekan-rekan mereka, dan terbukti cara ini lebih efisien.

Sejarah politik dunia juga tentu akan mencatat kontribusi online terhadap keberhasilan Obama menjadi Presiden Amerika Serikat. Barack Obama membentuk tim khusus kampanye dunia maya yang dinamai triple O alias Obama’s Online Operation . Tim ini melakukan gerilya ke beberapa situs jaringan sosial seperti Facebook, MySpace, Twitter, dan My.BarackObama.com bahkan ke jejaring sosial yang sifatnya spesifik untuk komunitas Asia, Hispanik, Afro-Amerika, yaitu AsianAve, Migente, dan Blackplanet (Darmawan,2008). Hingga Bulan Juli 2008, kampanye online Obama mampu mengumpulkan lebih dari

Page 114: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

104

200 Juta Dollar Amerika atau sekitar 1,9 Triliun (Darmawan,2008). Selain bentuk donasi yang diperoleh Obama dari Online juga berbentuk dukungan yang penting untuk mendongkrak popularitasnya.

Lee Han Shih menulis bahwa Facebook memfasilitasi Obama untuk menggerakkan massa pendukungnya. Seperti yang dilakukan salah satu pendukung Obama, Faroukh Olu Aregbe pada tahun 2007. Pemimpin pelajar kulit hitam di University Of Missouri ini membentuk grup yang dinamakan “One Million Strong For Obama” melalui Facebook. Aregbe mengundang teman-temannya untuk bergabung dengan grup tersebut. Teman-teman Agrebe juga mengajak teman-teman lainnya untuk bergabung di grup tersebut hingga anggotanya terus bertambah. Dalam satu jam, Agrebe berhasil mengumpulkan 100 anggota. Dalam lima hari jumlahnya bertambah hingga sepuluh ribu orang. Sedangkan dalam sebulan pertama jumlah anggotanya mendekati 300.000 orang dari seluruh Amerika Serikat. Grup “One Million Strong For Obama” merupakan kelompok kunci atau utama dalam kampanye Obama (Lee Han Shih, 2008). Pidato-pidato Obama yang inspiratif diunggah ke dunia maya sehingga Obama dalam waktu sekejap populer di seluruh dunia.

Kedua, Indonesia juga terpengaruh oleh dinamisasi penggunaan internet yang terjadi di Asia. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya kurang lebih 114.304.000 pengguna, maka pada tahun 2011 jumlah pengguna menjadi 932.393.209 dari jumlah populasi 3.879.740.877. Penetrasi internet terhadap populasi di kawasan Asia pada tahun 2011 adalah 24 persen.

Di Cina, Jepang, dan Korea Selatan internet berperan dalam proses demokrasi. Di Cina, internet menjadi kendaraan politik pemerintah Cina, di mana 80 persen departemennya harus memiliki website sebagai bagian dari “Government Online Project”. Sementara partai-partai politik di Jepang mengeksploitasi internet sebagai sarana baru untuk berkomunikasi di mana pada Pemilu Legislatif

Page 115: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

105

tahun 1995, 40 dari 242 politikus membuat website kampanye. Sedangkan di Korea, internet berperan dalam Pemilu 2002 di mana pendukung kandidat Presiden Roh Moo-Hyun yang tergabung dalam kelompok “Rohsamo” menggunakan internet untuk menyebarkan dan berdiskusi mengenai informasi politik. Semakin maraknya penggunaan internet di Asia serta semakin intensifnya internet dipakai dalam politik memiliki dampak terhadap Indonesia.

Gambar 510 Negara Pengguna Internet Terbanyak di Asia (2011)

Sumber: http://www.internetworldstats.com/stats3.htm

Dari gambar di atas sangat jelas, bahwa China berada di posisi tertinggi jumlah pengguna internetnya dengan 477 juta pengguna, lalu disusul India 100 juta pengguna, Jepang 99,2 juta pengguna, Indonesia 39,6 juta pengguna, Korea Utara 39,4 juta, Filipina 29,7 juta pengguna, Vietnam 27,9 juta, Pakistan 20,4 juta pengguna, Thailand 18,3 juta pengguna dan Malaysia 16,9 juta pengguna.

Page 116: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

106

Tabel 10

Populasi dan Pengguna Internet Di Asia

Sumber: http://www.internetworldstats.com/stats3.htm,

Page 117: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

107

Ketiga, pertumbuhan internet yang cepat di Indonesia. Menurut versi www.internetworldstat.com jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2011 adalah 39,6 juta pengguna. Meskipun jumlah menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah berada dikisaran 45 juta di tahun 2011. Sementara Lembaga riset Business Monitor International memprediksi pengguna internet di Indonesia akan mencapai 153 juta pada 2014 mendatang. Lonjakan pesat dalam tiga tahun ke depan itu sangat beralasan jika melihat tren industri teknologi informasi, telekomunikasi, dan internet belakangan ini yang berkembang pesat di semua segmen, baik dari sisi teknologi perangkat maupun konten seperti YouTube, Video Streaming, e-banking, m-banking, video on demand, music on demand, dan lainnya. Adapun pengguna internet di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 11

Peningkatan Jumlah Pengguna Internet Di Indonesia

Sumber: http://www.internetworldstats.com/stats3.html

Seiring dengan melonjaknya pengguna internet dan mobile, Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling ‘terhubung’ di dunia dengan 41 juta pengguna Facebook, 4,8 juta pengguna Twitter, keempat terbesar di dunia, dan salah satu yang terbesar dalam penggunaan blog. Tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang memposting lebih dari 4,1 juta blog.

Page 118: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

108

Pengguna internet di Indonesia meningkat secara signifikan. Peningkatan ini, selain didorong menyebarnya pemanfaatan WiFi di banyak lokasi, termasuk di kantor, kampus maupun sekolah, juga dengan hadirnya ponsel cerdas (smartphone) yang memungkinkan pengguna ponsel terhubungkan ke internet. Tambah lagi, ponsel-ponsel cerdas itu kini dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Setelah generasi web 1.0, kini hadir generasi internet yang berbasis user generated content dan social network yang diistilahkan dengan web 2.0.

D. Internet dan Politik: Konteks Indonesia

Menurut David T Hill dan Khrisna Shen, internet sebagai medium baru yang telah dirasakan di Barat sejak 1980-an dan di Asia termasuk Indonesia pada tahun 1990-an (2005:10). Saat Indonesia di bawah Rezim Soeharto, negara dikelola secara hegemonik dengan menonjolkan karakternya sebagai bureaucratic politiy. Saat itu, hampir semua media cetak, radio maupun TV berada dalam sensor ketat kekuasaan. Namun demikian, gerakan protes di internet tidak bisa dibatasi oleh penguasa. Tahun 1996 misalnya, ada The Indonesia-L Mailing List di internet yang di kemudian hari dikenal sebagai situs “apa kabar”, telah menjadi forum diskusi penentangan terhadap rezim Orde Baru. Dalam catatan David T Hill dan Khrisna Shen, tahun 1994 staf dari majalah mingguan Tempo dan Detik yang dilarang terbit oleh pemerintah juga memperkenalkan Tempo Interaktif dan Detik.com.

Penggunaan internet untuk kegiatan politik kini semakin marak. Hal ini terkait dengan beberapa faktor.

Pertama, sistem politik berjalan kian demokratis. Kondisi yang diperoleh pasca gerakan reformasi ini memungkinkan tumbuh kembangnya kebebasan pers, kebabasan berkumpul dan menyatakan pandangan baik lisan maupun tulisan. Kebebasan itu pula yang telah

Page 119: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

109

menyebabkan setiap orang dapat mengakses dan menggunakan internet guna mengartikulasikan ide, gagasan, pemikiran, ajakan, protes, himbauan bahkan juga tekanan kepada kekuasaan. Fenomena ini, dengan sendirinya memunculkan ruang publik baru (new public sphere) dalam proses penguatan demokrasi di dunia cyber.

Tidak berlebihan jika kita menyebut fenomena komunitas virtual di web jejaring sosial seperti Facebook ini sebagai bentuk kontemporer dari ruang publik (public sphere). Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas (1962), filsuf kritis generasi kedua dari aliran Frankfurt berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai ruang publik, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktik sosial, politik dan budaya yakni praktik pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah sosial yang memiliki dampak luas pada khalayak. Penekanannya pada pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya (Hebermas, 1993).

Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika Habermas mengangkat prototype obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Perancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik, maka sekarang ini komunitas virtual dapat kita katakan sebagai ruang publik.

Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan ruang publik dalam arti face-to-face sudah bergeser. Oleh karena hal tersebut, Mark Poster menulis Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere

Page 120: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

110

(dalam David Porter) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen di mana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Media massa baik cetak maupun elektronika karena alasan-alasan regulasi pasar, represi pemilik modal dan intervensi kepentingan politik negara kerap tak mampu lagi memerankan diri sebagai ruang publik secara optimal. Oleh karenanya, komunitas virtual harus tetap mampu menggerakkan publik untuk senantiasa menyuarakan keadilan dan kebenaran tanpa dominasi. Sebuah wujud ekspresi dari kesadaran substantif (Porter, 1997: 201-208).

Kedua, kian majunya ICT (Information and Communication Technology) dan media massa. Era konvergensi media memu-dahkan bangsa Indonesia untuk mengakses informasi. Melalui berbagai layanan penyedia atau mesin pencari informasi (search engine) misalnya, sangatlah mudah bagi kita memperoleh informasi mengenai lingkungan kita. Media cetak, televisi dan radio di Indonesia, kini rata-rata telah mengintegrasikan diri ke dalam sistem online. Hal ini kian memudahkan penyebaran informasi di masyarakat termasuk informasi politik.

Fenomena kontemporer dalam perkembangan internet yang menarik minat peneliti adalah tumbuh dan menguatnya ruang publik baru (new public sphere) di komunitas virtual terutama berkenaan dengan demokrasi melalui proses konvergensi simbolik di situs jejaring sosial (social network sites) dan weblog interaktif. Situs jaringan sosial merupakan situs pertemanan yang menghubungkan satu orang dengan orang lain dalam satu komunitas dunia maya (virtual). Situs ini memanfaatkan jejaring untuk kembali ber kumpul dengan teman dekat, kerabat, rekan kerja, teman yang me miliki kesamaan

Page 121: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

111

minat, ideologi dan platform gerakan. Sebenarnya situs jaringan sosial itu tidak hanya Facebook ada 10 situs lain yang ada di dunia virtual saat ini antara lain: MySpace, Windows Live Spaces, Friendster, Hi5, Flicker, Orkut, Flixter, Multiply dan Netlog. Namun yang paling banyak digunakan tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia adalah Facebook.

Selain situs jaringan sosial, yang menonjol sekarang ini juga adalah trend penggunaan weblog interaktif yang biasanya berbentuk Bulletin Electronic Systems. Weblog ini memungkinkan para partisipan mengirimkan pesan dan mendiskusikan sebuah topik dengan intensif, sehingga biasanya memunculkan diskursus. Salah satu weblog yang aktif saat ini misalnya adalah Weblog Kompasiana (www.kompasiana.com). Berbagai topik sosial politik hangat diperbincangan di antara para partisipan dari berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, politisi, mahasiswa, aktivis LSM, akademisi, pensiunan jendaral dll.

Situs jejaring sosial (social network site) maupun weblog interaktif, kini sama-sama menunjukkan perannya yang menguat untuk menjadi ruang publik (public sphere) bagi komunitas virtual. Misalnya saat terjadi konflik KPK vs Polri dan skandal Bank Century, muncul perbincangan, tekanan, protes dan akhirnya ajakan menjadi gerakan aktual di kehidupan nyata. Di Facebook muncul akun (account) “Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto” yang anggotanya melebihi sejuta pengguna. Setelah itu, muncul juga “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century”. Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut, meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret kemunculan ruang publik (public sphere) kontemporer yang telah mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik individu warga negara secara leluasa. Diskusi-diskusi politik yang sangat intensif juga bisa kita temukan di grup Facebook Forum Indonesia Sejahtrera (FIS) yang memiliki akun http://www.facebook.com/groups/info.fis/.

Page 122: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

112

Komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah memberi tekanan pada tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional. Saat itu, muncul dukungan bagi Prita lebih dari 19.000 Facebookers, melampaui target awal pembuatnya yakni 7.500 simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah menjeratnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Begitupun gerakan “Koin untuk Prita” sukses melampaui angka 204

Juta sebagaimana diminta oleh RS Omni.

E. Argumentasi Ruang Publik Baru Kandidat

Ada empat argumentasi mengapa bahasan new public sphere (ruang publik baru) di komunitas virtual harus dipahami oleh para kandidat. Pertama, komunitas virtual akhir-akhir ini menunjuk kan identitasnya sebagai komunitas pengontrol sekaligus juga kelom-pok penekan. Muncul fenomena kesadaran kelompok dari public attentive (publik berperhatian) yang kian adaptif dengan kemajuan ICT (Information and Communication Technology) terutama terkait dengan dunia virtual. Dengan meningkatnya jumlah public attentive atau komunitas yang sudah berperhatian terhadap berbagai isu politik yang berkembang, maka kian hari komunitas virtual ini kian memiliki kekuatan signifikan. Interaksi mereka di dunia maya, tak dapat diintervensi oleh negara (state) maupun didominasi oleh pasar (market).

Kedua, komunitas virtual itu tak terbatasi (borderless) oleh keterpisahan tempat, waktu, ideologi, status sosial ekonomi maupun pendidikan. Saat seseorang melakukan interplay dengan anggota lain di komunitas, maka hubungannya jauh lebih fleksibel karena bisa berhubungan kapan saja dan dari mana saja. Tak ada lagi zona proksemik seperti pernah digagas Edward Hall (dalam West dan

Page 123: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

113

Turner,2008: 155157), yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm-1,2 m), jarak sosial (1,2 m -3,6 m) jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya situs jejaring sosial dan weblog interaktif, nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti itu. Setiap anggota komunitas bisa mengekspresikan berbagai hal secara lebih bebas, fleksibel dan bisa sangat personal. Sehingga ekspresi emosi masing-masing indvidu lebih terakomodasi dibanding hanya membaca hasil reportase jurnalis media massa tradisional.

Ketiga, memungkinkan terbentuknya kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, menciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, tema skandal Bank Century, konflik cicak vs buaya dalam proses kriminalisasi KPK, penolakan RPM Konten, dll., dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran publik. Pada saat media massa memublikasikan tema-tema kesadaran itu, biasanya keterhubungan individu masih bersifat artifisial. Hal itu, akan diperteguh dan lebih personal pada saat dia terhubung dengan komunitas virtualnya.

Keempat, dinamika komunitas jejaring sosial itu unik karena memiliki karakteristik yang cair, kebebasan individu yang sangat besar dan sangat mungkin digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja. Ekspresi di internet termasuk di situs jejaring sosial dan weblog interaktif sangat beragam. Dari sudut topik perbincangan, ada komunitas yang sangat intens mendiskusikan topik-topik serius tetapi juga banyak yang hanya berbagi hal-hal sepele dan dangkal. Dari segi identitas penggunanya pun beragam, mulai dari yang terang-terangan dengan jati diri mereka (real user) hingga yang bersembunyi di balik akun-akun palsu atau kloningan. Aktivitas mereka di dunia maya juga membentuk tipologi-tipologi tertentu, ada yang publisist, disseminator, propagandist, hacktivist

Page 124: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

114

dll. Keragaman itu tentu sangat menarik untuk diteliti guna menjadi sebuah studi kasus yang unik mengenai eksistensi komunitas-komunitas virtual.

Tabel 12

Tipologi Pengguna Internet untuk Kepentingan Politik

DISEMINATOR PUBLISIST PROPAGANDIS HACTIVISTIsu harian, isu strat-egis dan isu Jangka panjang

Isu Personal/lembaga

Isu Strategis Isu sensitif

Sharing and Con-necting

Eksistensi diri Delegitimasi atau legitimasi

Perlawanan Terhadap rezim kekuasaan poli-tik dan ekonomi

Diseminasi dan Literasi (pemikiran, ideologi, sikap dll)

Mengkon-struksi Citra

Membuat par-tisipasi aktif atau pasif

Meretas atau mem-bobol informasi rahasia

Tabel 13Contoh Kasus Penggunaan Internet

TIPOLOGI CONTOH AKTIVITAS HASIL

Diseminator Cicak vs Buaya Dukung Bibit-Chandra

Dukungan untuk KPK

Publisist Laman FB Para Politisi

Marketing Politik Popularitas/elekta-bilitas

Propagandist Whail Ghonim ‘We are All Khaled Said’

Revolusi 2.0 di Mesir

Hactivist Julian Assange dan Wikileaks

Membobol kawat diplomatik AS

Publikasi Informasi Rahasia

Page 125: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

115

Gambar 5Contoh-contoh penggunaan media baru

dalam kegiatan Politik

Website Pemda Jawa Timur, www.jatimprov.go.id (13 September 2012, pukul 20.03 WIB)

Account Twitter Suharna Surapranata, Menteri Riset dan Teknologi RI,

@suharnas (13 September 2012, pukul 20.14 wib)

Page 126: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

116

Account facebook Irwan Prayitno, anggota DPR RI Fraksi PKS (13 September

2012, pukul 19.50 WIB)

Blog pribadi Yusril Ihza Mahendra, http://yusril.ihzamahendra.com (13

September 2012, pukul 19.59 WIB)

Account facebook Irwan Prayitno, anggota DPR RI Fraksi PKS (13 September 2012, pukul 19.50

WIB)

Blog pribadi Yusril Ihza Mahendra, http://yusril.ihzamahendra.com (13 September 2012, pukul

19.59 WIB)

Page 127: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

117

F. Peluang dan Tantangan Mengkonstruksi Citra

Dalam konteks mengkonstruksi citra para politisi maupun kandidat sebenarnya dapat memanfaatkan internet sebagai saluran “Public Relations Politik” (PR Politik) yang dilakukan kapan saja, di mana saja dan berbiaya murah. Dampak keberadaan social media juga mengharuskan kandidat cepat tanggap terhadap berbagai informasi, masukan, kritik dan saran yang ada. Masyarakat dapat menilai bahkan memberikan komentar atau opininya terhadap kemampuan kandidat menangani berbagai masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Wright dan Hinson (2009) menyimpulkan beberapa hal yang dikemukakan oleh para praktisi PR tentang dampak kehadiran media baru khususnya social media yang sekaligus bisa menjadi peluang yaitu :

1. menyediakan peluang untuk berkomunikasi lebih banyak, serta memberikan wadah untuk mengekspresikan ide, informasi dan opini

2. membuka kesempatan baru untuk berkomunikasi langsung dengan khalayak walaupun dapat menimbulkan risiko seperti berkembangnya adanya informasi negatif. Komunikasi menjadi lebih personal dan dapat berlangsung tanpa perantara.

3. meningkatkan komunikasi dan informasi secara cepat untuk berbagai isu

4. membuka kesempatan untuk meraih khalayak dengan efektif dan efisien

5. membuka kesempatan untuk meraih khalayak baru dari kelompok para muda atau usia yang tidak tersentuh oleh media mainstream yang biasa digunakan oleh organisasi

6. blog dan social media membuka komunikasi secara global

Page 128: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

118

7. media baru memungkinkan organisasi untuk memperoleh data atau informasi dengan cepat tentang bagaimana pendapat publik terhadap organisasi tersebut

Para kandidat juga sudah seharusnya menyadari bahwa citra itu sifatnya temporer sehingga perlu strategi yang konsisten dalam

memelihara citra kandidat di media baru.

Dari sejumlah hal positif terkait dengan keberadaan internet tersebut, dalam praktiknya muncul sejumlah tantangan terutama dalam implementasi internet sebagai ruang publik baru yang efektif.

Pertama, menyangkut aksesibilitas internet. Harus diakui akses terhadap intenet ini masih belum merata di segala level sosial masyarakat Indonesia karena hanya terkonsentrasi pada golongan tertentu. Bagaimana mungkin mengharapkan partisipasi aktif publik melalui media baru ini jika akses mereka terhadap teknologi baru ini terhambat. Padahal bagi publik yang sudah terkoneksi internet saja masih belum tentu menggunakan medium itu dalam kaitan partisipasi aktif proses demokrasi.

Kedua, masih lemahnya diskursus online. Tanpa adanya tradisi diskursus online ini, seperti diingatkan Hurwitz (2003), maka usaha-usaha untuk mengorganisasi aksi politis secara online hanya akan sia-sia dan menyebabkan konstituen makin terfragmentasi hingga gagal mengkonsolidasi opini publik. diskusi di internat kerap bersifat common sense sehingga harus disikapi secara hati-hati dan diverifikasi secara ilmiah. Sering kita melihat di banyak diskusi politik di internet apakah di jejaring sosial atau di weblog interaktif, diskusi tidak jelas arahnya, asal dan tidak berorientasi pada penguatan diskursus.

Ketiga, belum tentu diakui secara formal. Banyak sekali diskusi politik di intenet, tetapi tidak banyak yang muncul ke permukaan sebagai representasi suara masyarakat. Situs jejaring sosial maupun

Page 129: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

119

weblog interaktif memang bukan institusi media yang terlembagakan, sifatnya cair dan cenderung mempribadi. Oleh karenanya kerap tidak didengar sebagai suara rakyat. Pengakuan atas suara para netizen itu akan menguat seiring adanya proses konvergensi simbolik dengan menyuarakan suara bersama-sama dan intensif menginisiasi gerakan-gerakan yang tidak hanya melalui komunitas virtual, melainkan juga bersinergi dengan media mainstream atau kelompok-kelompok penekan (pressure group) di masyarakat.

Keempat, tidak terdapat batasan dan standar baku dalam proses interaksi yang berlangsung di dunia maya. Sangat mungkin sesorang menyebut identitas dirinya dengan identitas palsu dan melakukan serangan-serangan kepada pihak lain menggunakan data-data yang sulit diverifikasi. Di dunia online, tidak bisa menggunakan paradigma skeptis. Artinya kalau kita memandang semua orang akan berbohong dan mencurigai setiap orang, maka tentu interaksi tidak akan bisa berjalan. Di dunia online, berbeda dengan di konvensional media karena informasi bisa jalan terlebih dulu dan data akan terverifikasi dengan sendirinya. Oleh karenanya penting mengedukasi para netizen mengenai tanggung jawab atas apa yang dibuat dan didistribusikan kepada para netizen lainnya.

Kelima, interaksi di internet juga kerap miskin solusi. Maksudnya banyak hal dibahas, tetapi sangat sedikit yang menawarkan solusi. Jika pun ada tawaran solusi lebih banyak sekedar tulisan dan bisa jadi tidak diperhatikan oleh pihak lain. Jika tidak ada kanal-kanal khusus dan membentuk sebuah komunitas yang intensif berdiskusi serta melakukan pertemuan-pertemuan “kopi darat”, apa yang didiskusikan di internet juga kerapkali hanya sebatas ‘bubble politics”. Kesimpulan tidak bisa diambil berdasarkan suatu kesepakatan di antara para netizen, kecuali memang diikuti dengan perjumpaan-perjumpaan di antara mereka yang memiliki perhatian pada isu-isu tertentu.

Page 130: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

120

G. Penutup

Pembahasan tentang internet memang akan terus menjadi kajian yang menarik dan dinamis. Sangat mungkin muncul beragam dinamika baru baik menyangkut teknologi komunikasi yang ditemukan, maupun isu-isu yang memanfaatkan internet sebagai basis aktualisasinya. Tentu, tulisan ini tidak bisa membahas semua hal menyangkut dinamika komunikasi politik di new media. Oleh karena itu, semoga tulisan ini menjadi salah satu stimulan dan menjadi bahan diskusi untuk terus dikembangkan oleh berbagai pihak.

Page 131: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

121

DAFTAR PUSTAKA

Dominic, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication. 10th edition. New York: McGraw Hill

Denton, R.E. & Woodward, G.C. 1990. Political Communication in America, New York : Praeger

Flew, Terry. 2005. New Media : An Introduction. Second Edition. Victoria, Australia : Oxford University Press

Hurwitz, Rogers. 2003. “Who needs Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy in Cyberspace” dalam Democracy and New Media. Ed. Henry Jenkes dan David Thorburn. 2003. MIT Press-Cambridge

Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger. Cambridge Massachusetts : MIT Press

Hill, David T and Krishna Sen. 2007. Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press

Morris, Trevor & Simon Goldsworthy. 2008. PR-A Persuasive Industry? : Spin, Public Relations, and The Shaping of Modern Media. New York, NY : Palgrave Macmillan

M. Lister, J. Dovey, S. Giddings, I. Graint and K. Kelly. 2009. New Media : A Critical Introduction, 2nd Ed. Oxfordshire : Routledge

Pavlik, Johan V. 1996. New Media Technology, 2nd edition. Columbia: Columbia University

Pavlik, John V. 2008. Mapping the Consequences of Technology on Public

Page 132: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

122

Relations. www.instituteforpr.org

Pupung Budi Permana., 2001. Desainer Web Profesional. Jakarta:PT Elex Media Komputindo

Porter, Porter. 1997. Internet Culture. London: Routledge

Phillips, David & Philip Young. 2009. Online Public Relations : A Practical Guide to Developing an Online Strategy in the World of Social Media. Second Edition. London : Kogan Page Ltd.

Tedesco, John C. 2004. “Changing The Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Wood, Andrew F.& Smith, Matthew J. 2005. Online Communication. 2nd Edition. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. p.41

West, Richard and Turner, Lynn H.2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika

Wright, Donald. K & Michelle D. Hinson. 2009. An Analysis of the Increasing Impact of Social and Other New Media on Public Relations Practice. A Paper Presented to 12th Annual International Public Relations Conference, Miami-Florida

INTERNET:

http://www. internetworldstat.com/stats3.htm

http://www.asia-inc.com

htttp://www.arts.monash.edu.au

Page 133: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

123

KOMODIFIKASI BERITA KAMPANYE NEGATIF

DI MEDIA ONLINE

Oleh : Diana Anggraeni

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital saat ini terlihat kian pesat. Internet yang merupakan bagian dari teknologi digital semakin memudahkan masyarakat dalam mengakses berita atau mencari informasi yang dibutuhkan. Selain itu, keberadaan Internet sebagai media baru memberikan kekuatan yang besar untuk memengaruhi pembacanya, sehingga memengaruhi pula kepada proses produksi, konsumsi, dan distribusi.

Seiring dengan itu, media juga memengaruhi berbagai bidang, seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, media massa berkaitan erat dengan ekonomi politik media, yang tidak hanya melihat struktur ekonomi politik dan ideologi media tersebut melainkan juga akan melihat hubungan dominasi pemilik media terhadap sistem produksi, distribusi dan konsumsi dari media massa kepada khalayak termasuk di dalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi.

Dalam perspektif ekonomi politik, media dipandang sebagai institusi politik dan ekonomi yang mempunyai kemampuan memengaruhi khayalak. Salah satu konsep yang digunakan dalam kajian ini adalah komodifikasi yang memiliki pengertian mengubah nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) (Mosco, 2009: 127).

Page 134: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

124

Media saat ini telah menjadi bisnis yang mengarah kepada segmentasi, termasuk media online (internet). Media online berkembang sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat, tidak hanya sebagai alat perjuangan ideologi dan entitas bisnis namun juga menjadi alat komunikasi dan informasi (Noor, 2010: 306). Salah satu media online yang akan dijadikan subjek penelitian ini adalah www.viva.co.id, yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, dimana saat tulisan ini dibuat, Abu Rizal Bakrie masih menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Dalam operasionalnya, pengelola media online tidak terlepas dari ideologi yang menjadi landasan.

Pemilihan presiden (Pilpres) yang digelar pada 9 Juli 2014 menjadi salah satu pembuktian bahwa media online bekerja mengikuti ideologi yang dianutnya. Salah satu partai yang mengikuti pilpres adalah Partai Golongan Karya (Golkar), yang pada pileg bulan April 2014 tersebut menempati posisi kedua dengan perolehan suara sebesar 14.75% (www.kpu.go.id). Dan secara otomatis berhak mengajukan bakal calon presiden. Kemudian muncul dua pasang calon yang resmi ditetapkan oleh KPU 31 Mei 2014 yaitu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, di mana Golkar secara tegas mendukung pasangan nomor 1.

Kontestasi di antara kedua pasangan tersebut mulai terlihat dari adu strategi persuasi di dalam kampanye. Menurut Dan Nimmo yang dikutip oleh Tabroni (2012: 154), terdapat tiga jenis kampanye politik, yang salah satunya adalah kampanye massa yang meliputi kampanye tatap muka, dan menggunakan media elektronik dan cetak sebagai perantaranya. Permasalahan terkait kampanye dalam media timbul ketika netralitas dari media dalam hal ini media online memberita-kan berita terkait pilpres tersebut. Berita-berita kampanye negatif yang disiarkan semakin hari semakin memprihatinkan karena adanya pemberitaan yang tidak berimbang, memihak, tidak cover both side, menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut, atau menyebar-kan berita bohong bahkan mengarah kepada kampanye hitam.

Page 135: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

125

Kecenderungan memberitakan hanya salah satu capres menjelaskan bahwa ada tujuan untuk menjadikan kandidatnya menjadi pemenang dengan melakukan segala cara. Obyektivitas media kemudian dipertanyakan, padahal seharusnya media bersikap netral dan tidak memiliki ketergantungan dan kepentingan kepada pihak manapun. Namun kenyataannya fakta-fakta di lapangan ditemukan bahwa media online (viva.co.id) cenderung memihak dan mendukung salah satu capres, yaitu Prabowo Subianto.

Penelitian ini dilakukan pada pemberitaan yang dibuat oleh viva.co.id, pada periode kampanye 4 Juni 2014 hingga 5 Juli 2014. Fokus penelitian didasarkan pada pengamatan peneliti bahwa viva.co.id telah melakukan komodifikasi pemberitaan para capres yang tidak berimbang, cenderung negatif melalui teks maupun foto yang dimuat dalam pemberitaan di medianya, utamanya kepada capres Prabowo Subianto, sehingga ada upaya penggiringan opini publik untuk memilih capres Prabowo Subianto ketimbang capres Joko Widodo. Penulis akan mengkaji apakah terjadi komodifikasi pemberitaan di media onlineviva.co.id tersebut.

Ekonomi Politik Media

Pendekatan ekonomi politik media merupakan pendekatan yang mengkaji struktur ekonomi politik, dinamika industri media dan ideologi media. Media massa memproduksi dan mendistribusikan komoditas dan ideologi baik ekonomi dan politik.

Dalam mengukur kekuatan dari media dapat dilihat dari siapa yang memiliki media tersebut? Perorangan atau gabungan beberapa pemilik. Besarnya kepemilikan media pada pemegang kekuasaan, secara tidak langsung membuat media menjadi lebih terintegrasi pada kepentingan pemilik maupun kepentingan kelas kapitalis (Gomery; Golding; Murdock, 1997: 35). Ekonomi menjadi faktor penting untuk praktik produksi teks media sebagai organisasi pembuat keuntungan.

Page 136: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

126

Mosco (2009: 2-3) memberikan pengertian mengenai pendekatan ekonomi politik ini, yaitu:a. Secara sempit, ekonomi politik media memelajari studi mengenai

hubungan sosial, khususnya kekuasaan yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan sumber daya.

b. Secara umum, ekonomi politik adalah studi untuk mengontrol kelangsungan kehidupan social.

Keterkaitan ekonomi politik dan media dilihat hubungan dominasi penguasa ekonomi dalam memengaruhi sistem produksi, distribusi dan konsumsi dari media massa dan khalayak. Media juga tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun faktor-faktor lainnya seperti budaya, politik, sosial dan lainnya (Mutmainnah, 2014).

KomodifikasiMosco dalam Halim (2013: 45), mengatakan komodifikasi adalah pros-

es transformasi nilai guna menjadi nilai tukar yakni “something produced for sale”. Komoditas merupakan sebuah objek, yang oleh para ilmuwan sosial dideskripsikan bagaimana mengubah nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value). Komodifikasi sendiri berarti proses atau cara dimana kapitalisme berupaya mengakumulasi modal (capital).

Komodifikasi melibatkan hubungan resiprokal antara media, audiens dan pengiklan. Dalam proses komunikasi, proses komodifikasi tercermin dalam hubungan media labor- message content dan audience. Adam Smith yang dikutip oleh Mosco (2009:129) dan para ekonomi politik klasik, membedakan komodifikasi berdasar konsumsi produk yang dibutuhkan dan yang diinginkan. Dimensi umum dalam hubungan antara komodifikasi dan komunikasi adalah bagaimana proses komunikasi teknologi berkontribusi pada proses komunikasi secara keseluruhan, serta berpengaruh pada masyarakat dan institusi.

Komodifikasi mengacu kepada bentuk pemanfaatan barang dan jasa dilihat dari kegunaannya, untuk diubah menjadi sebuah produk komoditas yang bermakna dan mempunyai nilai tukar di pasar. Proses

Page 137: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

127

komodifikasi berkaitan dengan produk, sementara prosesnya berkaitan dengan fungsi pekerja yang dijadikan komoditas oleh pemilik modal. Komodifikasi merupakan bentuk komersialisasi segala bentuk nilai dari dan buatan manusia. Bentuk-bentuk komodifikasi terdiri atas komodi-fikasi terhadap isi, khalayak, tenaga kerja, imanen, dan eksternalitas (Mosco, 2009: 136). Proses perubahan nilai tukar ke nilai guna dalam media melibatkan komponen media itu sendiri dalam hal ini wartawan, editor, editing, percetakan, pendistribusian, pembaca, pasar, dan negara.

Media Sebagai Alat Konstruksi RealitasKonsep konstruksi sosial atas realitas (thesocial construction of

reality), diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tahun 1966 yang menggambarkan bahwa proses sosial individu terjadi secara terus-menerus melalui tindakan dan interaksinya, di mana realitas yang dimiliki dan dialami tersebut diciptakan bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 13).

Manusia merupakan produk masyarakat yang bersifat dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Pada dasarnya proses konstruksi realitas merupakan usaha untuk menceritakan kembali tentang sebuah kejadian, peristiwa, keadaan (Hamad, 2004: 11-13). Media sendiri mempunyai tugas membuat berita dan menginformasikan kepada khalayak, sehingga proses pembentukan dan pembuatan berita tidak dapat dilepaskan dari adanya upaya-upaya media dalam merekonstruksi berita.

Sobur (2012: 88), menyatakan pada hakikatnya isi media merupakan hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya, sehingga wartawan dan media secara aktif akan membentuk realitas. Seorang wartawan ketika melihat sebuah peristiwa dan membuat berita sesuai dengan perspektif dan pertimbangan subjektifnya.

Media OnlineMedia dapat diartikan sebagai cara atau proses untuk menyampai-

Page 138: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

128

kan sebuah pesan kepada khalayak. Media online (online media) adalah media berbasis telekomunikasi atau multimedia (komputer dan internet) atau tersaji secara online di situs web (Tabroni, 2012: 154). Konten media online di Indonesia harus tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS), yang disahkan oleh Dewan Pers pada 3 Februari 2012.

Teori FramingAnalisis framing adalah sebuah model analisis yang berupaya

untuk melihat maksud di balik sebuah berita di media. Analisis framing digunakan ketika sebuah isu atau realitas yang dibingkai oleh media dipahami dan diartikan sehingga menjadi sebuah bentuk yang memiliki makna tertentu (Eriyanto, 2012: 3-10). Terdapat dua esensi utama dari analisis framing, yaitu pertama bagaimana sebuah peristiwa dimaknai dan hal ini berhubungan dengan bagian mana yang akan diliput atau tidak. Kedua, bagaimana sebuah fakta itu ditulis. Pemakaian kata, kalimat dan gambar apa yang akan digunakan untuk mendukung penulisan tersebut.

Metode analisis Framing Entman, dikatakan dalam Eriyanto (2012: 222) terdiri dari dua aspek yaitu terkait seleksi isu, yang berhubungan dengan proses pemilihan fakta dari realitas yang beragam; dan penonjolan aspek (salience) yang berhubungan dengan penulisan fakta. Bagaimana isu ini dipilih, ditulis dan ditampilkan kepada khalayak. Konsep Entman ini merujuk kepada pengoperasionalisasian empat dimensi yaitu:

Tabel 1. Metode Analisis Framing Entman

Define Problem

(pendefinisian masalah)

Sebagai elemen pertama yang menjadi master framing. Di sini dilihat bagaimana sebuah peristiwa di pahami. Apakah berita tersebut bernilai positif atau negatif.

Page 139: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

129

Diagnose Causes

(asumsi mengenai sumber masalah)

Mencari dan memperkirakan sumber masalah. Dimensi ini mencari atau berusaha mengetahui bagaimana peristiwa tersebut dipahami, terjadi dan apa atau siapa yang dianggap menjadi sumber penyebabnya.

Make Moral Judgement

(membuat keputusan yang berkaitan dengan moral)

Penilaian terhadap nilai moral yang digunakan untuk melegitimasi atau memberikan argumentasi atas sebuah tindakan atau gagasan yang dilontarkan.

Treatment Recommendation

(alternatif penyelesaian)

Usaha-usaha atau solusi apa yang ditawarkan dan dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian ini tergantung dari masalah dan siapa yang menjadi penyebab masalah tersebut (elemen pertama)

(Sumber: Entman yang dikutip Eriyanto, 2012: 223-224)

Kampanye Kampanye adalah usaha-usaha atau tindakan untuk memenga-

ruhi kelompok atau pihak lain dengan cara apapun secara persuasif (Nimmo, 2005: 192). Di dalam kampanye politik pasti ada unsur propaganda, yang bertujuan untuk membangkitkan kesetiaan terhadap salah satu organisasi.

Jenis kampanye menurut Larson (1992) didalam Venus (2004: 11) terdiri dari product-oriented campaigns, candidate-oriented campaigns dan ideologically or cause oriented campaigns. Sementara jenis kampanye menurut Nimmo (2005: 195-207) yaitu: kampanye massa yang meliputi kampanye tatap muka, serta penggunaan media elektronik dan cetak sebagai perantara seperti telepon, radio, televisi surat langsung dan surat kabar, kampanye antarpribadi dan kampanye organisasi.

Sementara berdasarkan sifatnya, kampanye dapat dibedakan menjadi dua yaitu kampanye negatif atau kampanye hitam dan kampanye positif. Kampanye negatif lebih sering memberitakan

Page 140: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

130

atau mengeluarkan data-data dan fakta negatif mengenai salah satu kandidat dalam pemilu. Begitu sebaliknya, kampanye positif lebih cenderung positif dan baik di dalam beritanya.

Bahan kajian penelitian ini adalah berita-berita tentang kampanye negatif tentang calon presiden di media online mulai pada saat kampanye 4 Juni 2014 hingga akhir masa kampanye 5 Juli 2014.

Pemilihan atas viva.co.id dikarenakan peneliti menemukan sebuah fenomena dan muncul dugaan ada media online yaitu viva.co.id sebagai media pendukung salah satu capres dipunyai oleh Ardiansyah Bakrie, putra Abu Rizal Bakrie yang juga ketua umum Partai Golkar sebagai CEO-nya yang mendukung kandidat capres Prabowo Subianto .

Populasi dalam penelitian ini diambil dari pemberitaan tentang kampanye negatif terhadap capres di viva.co.id mulai 4 Juni 2014 hingga tanggal 5 Juli 2014, dan didapat data sebagai berikut:

Tabel 2. Jumlah Populasi

Media Online Capres Prabowo Subianto

Capres Joko Widodo

Total berita hingga 5 Juli 2014

www.viva.co.id 16 34 50 (Data Populasi 4 Juni-5 Juli 2014)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling pur-posif (purposive sampling) yang mengambil sampel atas populasi de-ngan melalui seleksi, atas dasar kategori tertentu dan didasarkan atas tujuan dari penelitian dengan memilih berita dari viva.co.id, yang ber-hubungan dengan pemberitaan mengenai capres dan diindikasikan oleh peneliti terdapat berita yang mencerminkan telah terjadi komodifikasi pemberitaan yang kepada kampanye negatif kepada salah satu capres.

Kategori yang muncul sebagai sampel penelitian di viva.co.id adalah :

Page 141: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

131

Tabel 3. Sampel Penelitian KategoriCapres

HAM SARA Pelanggaran Kampanye

Prabowo Subianto 2 2 2Joko Widodo 2 2 2

Pertimbangan peneliti memilih sampel dari populasi dengan sampling purposif kategori HAM, SARA dan Pelanggaran Kampanye di viva.co.id adalah:1. Dari judul di populasi yang diangkat ada kecenderungan viva.co.id,

menampilkan berita-berita kampanye berita negatif bernada HAM, SARA dan pelanggaran kampanye terhadap salah satu capres.

2. Dari populasi tersebut, isi atau konten pemberitaan yang diangkat memuat berita data atau fakta negatif tentang HAM, SARA dan pelanggaran kampanye dari salah satu capres tersebut, sehingga dikategorikan oleh peneliti sebagai berita yang bernuansa kampanye negatif. Peneliti menggunakan dua sumber yaitu data primer dan sekunder.

Data primer adalah data utama yang diterima melalui tangan pertama di lapangan dan melakukan wawancara. Dari penjelasan di atas maka untuk data primer peneliti akan melakukan face to face interview dengan redaksi viva.co.id yakni Arfi Bambani Amri, Kepala Kompartemen Pemberitaan Nasional, Politik dan Metropolitan www.viva.co.id sebagai Key Informan, serta wartawan politik viva.co.id Erick Tanjung, sebagai informan, yang membuat berita yang diindikasikan berisi kampanye negatif atau cenderung memihak salah satu capres.

Teknik analisa data yang akan digunakan untuk menganalisa hasil temuan di lapangan adalah teknik analisis framing Entman yang menggunakan empat dimensinya yaitu pendefinisian masalah, perkiraan sumber masalah, pembuatan keputusan moral dan penyelesaian. Analisis akan dilakukan dengan melihat teks berita dengan empat dimensi tersebut dengan mendalami pemberitaan di setiap paragrafnya. Tujuan penggunaan analisis framing Entman tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana perspektif yang

Page 142: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

132

digunakan oleh redaksi media online viva.co.id, ketika mengambil isu yang berkaitan dengan terjadinya komodifikasi terhadap kampanye negatif dan kemudian menuliskan beritanya.

Dengan menggunakan analisis framing Entman peneliti akan berusaha mengkaji dan memahami serta mengetahui perspektif wartawan ataupun redaksi ketika membingkai dan menyeleksi isu, kemudian membentuk pesan yang diterima dan ketika menjadikan-nya sebuah berita yang disajikan kepada pembaca.

Hasil PenelitianHasil penelitian ditemukan terjadi komodifikasi pada dimensi

define problem di kategori HAM pada capres Jokowi, dengan menambah materi mengenai subsidi BBM. Dikarenakan berita yang diangkat tidak ada kaitannya dengan pemberitaan HAM yang dimuat. Semestinya redaksi viva membuat berita tersendiri mengenai tema ini, sehingga tidak mengacaukan fokus pesan yang hendak disampaikan.

Komodifikasi juga terjadi pada capres Prabowo pada kategori SARA, yang mengatakan bahwa capres Prabowo adalah putra dari Begawan ekonomi sosialis yaitu Soemitro Djojohadikusumo. Ekonomi sosialis sendiri bisa bermakna kegiatan ekonomi yang diarahkan, diawasi secara terpusat. Secara tidak langsung ini akan kembali kepada pola pemerintahan pada masa Orde baru.

Pada dimensi diagnose causes kategori SARA, komodifikasi terjadi dari pernyataan Mahfud MD sebagai ketua tim sukses capres Prabowo, mengenai kedaulatan RI. Hal ini berkaitan dengan profil capres Jokowi yang berlatar belakang dari golongan sipil yang dianggap tidak mampu untuk menjaga kedaulatan RI. Kedaulatan hanya dapat ditegakkan ketika negara ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang mempunyai latar belakang militer karena dianggap mempunyai kekuatan yang besar. Menurut peneliti, tidak ada korelasi antara pemimpin dengan latar belakang golongan yang dipunyainya terhadap kedaulatan, karena kedaulatan hanya bisa ditegakkan ketika semua rakyat bersatu padu menjaganya.

Page 143: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

133

Analisa untuk dimensi make moral judgement, menghasilkan komodifikasi yaitu tentang adanya fitnah yang diarahkan kepada capres Jokowi berkaitan dengan fitnah. Hal ini tidak ada hubungannya dengan masalah HAM capres Prabowo yang sedang dibahas dalam judul. Komodifikasi lainnya terjadi pada pemberitaan yang menyerang balik kepada JK. Berita yang menyatakan citra JK akan jatuh ketika menyerang capres Prabowo dengan isu HAM tidak sesuai dan tidak berhubungan dengan materi yang sampaikan dan berusaha mengalihkan fokus pemberitaan kepada topik yang lainnya.

Komodifikasi pada dimensi ini, selanjutnya terjadi pada berita yang mengangkat mengenai kemandirian bangsa yang lepas dari tekanan asing. Hal ini tidak berkaitan dengan kategori SARA, karena kemandirian yang berarti sikap untuk bertindak bebas untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan dari pihak lain, merupakan hal lain yang berbeda jika dikaitkan dengan isu SARA. Kemandirian lebih cocok jika diarahkan kepada berita yang berkaitan dengan bagaimana meningkatkan taraf hidup bangsa.

Pada dimensi make moral judgment kategori pelanggaran kampanye juga ditemukan komodifikasi, tentang adanya penyataan percaya kepada yang di atas (Tuhan). Peneliti menyatakan hal ini adalah komodifikasi karena percaya kepada Tuhan tidak sesuai dengan tema pelanggaran kampanye. Tuhan memberikan manusia akal untuk dapat berpikir, dan jika merasa mendapatkan ancaman, maka sudah seharusnya manusia melakukan antisipasi pencegahan, bukan sekedar percaya kepada Tuhan, lantas semuanya akan berjalan dengan baik. Pada sampel lainnya semua berkaitan dengan moral yang disampaikan atau ada yang tidak diberikan rekomendasi oleh redaksi.

Menurut redaksi viva, tidak ada pesan moral yang ingin disampai-kan kepada pembaca. Pemberitaan yang dilakukan semuanya hanya ber-tujuan untuk menyampaikan informasi yang sebanyak-banyaknya dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, seperti yang disam-paikan oleh Arfi Bambani Amri, Kepala Kompartemen Pemberitaan Na-sional, Politik dan Metropolitan www.viva.co.id yang mengatakan bahwa:

Page 144: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

134

“Visinya ya jurnalisme ya, jurnalisme yang mencerdaskan, yang berkualitas, kemudian menghibur. Yaa quality jurnalism, mencerdaskan dan entertaining”.

Pada dimensi terakhir yaitu treatment recommendation, peneliti menemukan komodifikasi, yang membawa pesan untuk membongkar kembali kasus pembunuhan bukan hanya kasus Munir, tapi juga Theis H. Eluay yang pernah terjadi pada masa rezim Presiden Megawati. Pengalihan isu ini secara tidak langsung berdampak kepada pencalonan capres Jokowi yang pada pemilu ini diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di mana mantan presiden Megawati menjabat sebagai Ketua Umumnya.

Pada sampel kategori SARA, terjadi komodifikasi, di mana pada dua berita di atas terdapat pengulangan kalimat yang sama yaitu “bangsa ini perlu pemimpin yang tidak tersandera, pemimpin yang ti-dak dipimpin, yang mengarahkan dan tidak diarahkan, yang mengen-dalikan dan tidak dikendalikan.” Kalimat diatas terlihat sekali adanya usaha pengarahan opini kepada pembaca yang dilakukan oleh redaksi viva untuk memilih capres Prabowo. Profil pemimpin diatas diarahkan kepada capres Jokowi yang dianggap sebagai kader Partai PDIP maka ia akan diatur, diarahkan, dikendalikan oleh ketua umum partai yaitu Megawati. Hal ini tidak berkorelasi dengan tema yang diangkat.

Pada kategori pelanggaran kampanye ditemukan komodifikasi mengenai pernyataan bahwa masyarakat harus cerdas dan tegas dalam mengambil keputusan dan bahwa surat yang dikirimkan kepada jutaan guru tersebut hanyalah sapaan dan permohonan doa restu. Hal ini tidak sesuai dengan isu pelanggaran kampanye yang dilakukan. Pelanggaran adalah pelanggaran, tidak ada kemudian pelanggaran dianggap sebagai hal yang wajar terhadap permohonan seseorang dalam hal ini capres Prabowo meminta restu. Di sini terlihat adanya upaya membuat pelanggaran menjadi sebuah hal yang wajar. Pada sampel lainnya pada kategori pelanggaran kampanye tidak ditemukan adanya komodifikasi.

Dari analisa pemberitaan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa redaksi viva berusaha membuat pemberitaan mengenai kampanye capres se-netral mungkin.Namun pada analisa framing

Page 145: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

135

dapat terlihat bahwa pada Pilpres 2014, dimana sebuah peristiwa politik sedang dilaksanakan telah terjadi upaya-upaya untuk mengarahkan opini publik kepada salah satu capres.

Pada pemberitaan yang dijadikan sampling untuk 3 kategori, terlihat adanya dukungan itu kepada capres Prabowo. Pemberitaan negatif yang walaupun diarahkan kepada capres Prabowo, pada akhirnya justru memberikan kesan positif dan berbalik mendukungnya. Begitu juga sebaliknya ketika pemberitaan negatif kepada capres Jokowi, diberi penegasan bahwa memang itulah yang terjadi, sehingga pilihan yang tepat adalah memilih capres Prabowo sebagai pemimpin.

Selain itu, pada pemberitaan periode kampanye 4 Juni hingga 5 Juli 2014 ini juga memberikan gambaran bahwa masih adanya upaya-upaya untuk merebut suara rakyat dengan memaksakan kehendak. Hal ini sangatlah tidak baik karena kekuasaan yang didapat dengan menghalalkan secara cara justru akan memberikan dampak negatif kepada pemenangnya. Selain itu juga diperlihatkan adanya pertarungan antara dua koalisi besar serta persaingan diantara para mantan jendral senior yang mendukung masing-masing capres.

Namun ketika membahas mengenai pelanggaran HAM, redaksi viva setuju jika persoalan tersebut harus diselesaikan secara tuntas, utamanya kepada capres Prabowo, sehingga tidak menjadi pertentangan yang mengganjal dikemudian hari.

Redaksi viva secara umum tidak memberikan rekomendasi untuk sebaiknya memilih siapa pada Pilpres 2014. Tujuan yang disampaikan oleh Arfi hanyalah sekedar menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya saja supaya pembaca tahu positif dan negatif siapa kandidat presiden. Namun peneliti menemukan kecenderungan bahwa pemberitaan yang dimuat di www.viva.co.id, lebih mengarah kepada capres Prabowo. Hal ini tercermin dari hasil analisa dengan adanya komodifikasi yang dilakukan di beberapa pemberitaan yang mengarah kepada sikap positif terhadap capres Prabowo, juga hasil wawancara yang mengatakan bahwa secara tidak langsung ada tekanan dari pemilik media terhadap pemberitaan di media tersebut.

Page 146: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

136

Seperti diketahui bahwa anggota keluarga Bakrie menempati posisi-posisi strategis di viva ini. Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa media ini akan berorientasi kepada capres Prabowo yang didukung oleh Partai Golongan Karya (Golkar), di mana Abu Rizal Bakrie menjadi ketua umumnya, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Pemilik Media dan Jabatan Politik www.viva.co.id

Media Pemilik Posisi dalam Politik

Posisi dalam Pilpres 2014

Tv One,AnTV,www.viva.co.id

Abu Rizal Bakrie

Ketua Umum Golkar

Tim Sukses Prabowo Hatta

Sumber: diolah oleh Peneliti dari berbagai sumber

Redaksi Viva sendiri terlihat memanfaatkan situasi ini dengan banyaknya berita mengenai capres Prabowo dibandingkan dengan capres Jokowi. Hal ini dikarenakan adanya asumsi masyarakat bahwa media ini punya keluarga Bakrie, sehingga akan sangat sulit ketika viva mau mendeklarasikan bahwa media online ini independen.

“….Supaya tidak ada tekanan ya kita bikin tone sedikit Prabowo. Kayak gitu. Itu cara kita untuk mem-protect apa namanya redaksi kita. Karena kan tidak lucu juga dan di luar orang tahu kita mau declare kayak apapun independensi kita, orang tahu viva ini punya Bakrie. Agak apriori dong. Ya udah kita mainkan peran itu. Jadi itu sikap yang kita ambil secara keredaksian di sini. Ya kita berposisi tidak membela Jokowi, kritis terhadap Prabowo tapi tidak menyerang gitu ya.”

Sumber berita yang berkaitan dengan materi kampanye digunakan oleh viva.co.id juga kebanyakan berasal dari Tv One selain juga didapatkan dari KPU, Partai Politik, DPR dan sumber lainnya. Tv One sendiri diketahui sebagai media yang beritanya banyak berpihak kepada capres Prabowo yang pada masa kampanye pilpres sempat mendapatkan teguran dari KPI atas ketidaknetralannya.

Page 147: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

137

Media online dalam hal ini viva.co.id, sebagaimana fungsinya akan menghasilkan pemberitaan yang berkaitan dengan fenomena atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kaitannya dengan fenomena yang diangkat tentang sebuah peristiwa politik, maka viva memproduksi berita dan informasi dengan 2 proses politik di Indonesia yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, untuk kemudian disajikan kepada pembaca. Dalam kaitannya dengan pendekatan ekonomi politik, media dihadapkan pada bisnis yang berorientasi kepada keuntungan atau profit. Oleh karenanya, media akan menghasilkan berita untuk memenuhi salah satu fungsinya sebagai penyalur informasi dan sekaligus untuk mendapatkan keuntungan yang akan digunakan sebagai biaya operasional.

Komodifikasi akan sangat mungkin terjadi, ketika sebuah berita dibuat. Jika merujuk pada pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa sistem ekonomi memungkinkan untuk dikuasainya sumberdaya produksi untuk meraih keuntungan maksimal, maka produksi pesan telah masuk ke dalam kehidupan baik politik, sosial, budaya, hukum dan sebagainya. Ketika terjadi perubahan dari nilai guna, maka ada hal-hal atau pertimbangan tertentu mengapa sebuah media melakukan komodifikasi tersebut.

Namun, tidak semua komodifikasi selalu berorientasi kepada keuntungan saja. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan Arfi, yang menjelaskan bahwa khusus pemberitaan mengenai kampanye memang terjadi kenaikan dalam jumlah pengunjung portal sebesar dua atau tiga kali lipat dari hari biasa (tidak ada peristiwa politik) yang mengakses berita-berita politik. Ia mengatakan bahwa:

“Berita itu masuk dalam ranah politik, kanal politik. Kanal politik itu trafficnya tumbuh dua atau tiga kali lipat selama 2014. Jadi anomali dia. Biasanya berita politik itu tidak jauh beda dengan berita-berita soal metropolitan. Dan saat 2014, politik yang diatas. Jadi kira-kira menggelembung dua kali dari hari biasanya di luar tahun pemilu. Jadi signifikan sekali.”

Namun ternyata kenaikan jumlah pengunjung ini tidak secara otomatis berimbas kepada kenaikan dengan jumlah pengiklan. Justru

Page 148: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

138

dalam beberapa kasus malah membuat pengiklan mundur, apalagi viva sudah mempunyai kesan sebagai “media yang pro Prabowo”, sehingga membuat pengiklan yang pro Jokowi akan membatalkan niatnya untuk beriklan di viva.

“Karena kita terkesan pro Prabowo, ternyata pemasang iklan itu lebih banyak Pro Jokowi. Pemasang iklan itu banyak yang pro Jokowi. Jadi ada iklan-iklan yang mundur. Ini saya kasih tau aja ini. Jadi mundur dari mau pasang iklan. Apalagi ada kasus itu kan pernah denger gak? Ayam berkokok, itu memang ada kasus seperti itu, dan itu kan iklan sebenarnya. Nah iklan itu yang dimasalahkan oleh si CEO. Itukan iklan Jokowi. Nah kasus itu sedikit banyak membuat para pemasang iklan ternyata lebih banyak pro Jokowi mundur. Jadi secara bisnis ini juga tidak terlalu banyak benefit. Tapi secara traffic tetap besar.”

Pemilihan tema terkait pemberitaan kampanye negatif di viva dibuat sesuai temuan di lapangan oleh para reporter, namun dalam pemunculannya, berita tersebut diputuskan melalui mekanisme redaktur publisher. Arfi mengatakan:

“Secara teknis kewenangan itu ada pada level redaktur-redaktur, kalau di sini kita sebutnya publisher… penerbit. Jadi tidak semua redaktur punya kewenangan mempublikasikan berita. Ada mungkin sekitar 8 atau 9 orang yang berwenang mempublikasikan berita itu. Jadi tidak satu kepala. Ada yang pro Jokowi, ada yang pro Prabowo itu adalah suatu kenyataan. Jadi ya kewenangan itu ada di banyak orang. Sementara yang menulis lebih banyak lagi. Redaktur-redaktur seperti yang namanya tertulis disini itu nama-nama para peneliti. Redaktur yuniorlah yang nulis, tapi mereka tidak bisa mempublikasikan sebelum ada persetujuan dari 8 atau 9 orang ini tadi.”

Hal ini juga diperkuat oleh informan yakni wartawan politik viva Erick Tanjung yang mengatakan bahwa proses pengunduhan berita di viva.co.id merupakan kewenangan dari redaktur, sebagai wartawan ia hanya ditugaskan meliput peristiwa, menulis dan mengirimkannya ke redaksi. Redaksi di viva lah yang dalam hal ini menjadi penentu apakah sebuah berita layak atau tidak untuk dimunculkan selama berita tersebut dianggap layak, memenuhi nilai berita dan standar jurnalisme dan tidak berimplikasi hukum.

Page 149: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

139

Menurut peneliti di sinilah yang menjadi celah sebuah pem-beritaan akan objektif atau tidak, karena berita yang disaring oleh redaksi tergantung dari opini redaktur, walaupun key informan mengatakan reporter atau redaktur tidak boleh memasukan opini dalam pemberitaannya, namun jika dikaitkan dengan hasil wawancara dengan informan, maka hal ini menjadi bertolak belakang. Erick menyatakan pemberitaan yang dibuat di lapangan sudah dibuat obyektif, namun menjadi tidak obyektif ketika masuk ke redaktur.

Di dalam pengambilan tema, pemberitaan yang diunggah oleh viva lebih di fokuskan kepada pasar, di mana ada demand maka pemberitaan pun akan di arahkan sesuai dengan keinginan pasar. Sama halnya ketika viva memberitakan tentang capres ini, jika dikaitkan dengan kegiatan yang dilakukan pada periode kampanye pilpres kemarin, walaupun tidak terlalu berpengaruh pada sisi kenaikan iklan, tapi dari sisi traffic pengunjung meningkat signifikan. Sehingga redaksi viva tetap memberitakan semua kejadian yang berkaitan dengan capres tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Arfi bahwa ideologi viva adalah ideologi pasar.

“Ideologi pasar saya kira. Ini bukan media politik, ini media umum. Ideologinya pasar ya kalo di-simple-kan begitu. Mana yang dibaca orang, mana yang disukai oleh orang, selama tidak ada masalah etik atau hukum ya kita beritakan”.

Viva merupakan media yang berorientasi kepada umum. Hal ini terlihat ketika dalam wawancara, Arfi mengatakan bahwa segmen media online ini adalah semua pengguna internet grade A, B dan C yang sesuai dengan standar Nielsen, sehingga dalam pemilihan judul berita, yang berkaitan dengan kampanye pilpres juga diarahkan kepada judul-judul yang eye cacthing sehingga dapat memancing keingintahuan pembaca untuk mengunduh berita tersebut.

Pemberitaan dari viva yang cenderung mengarah kepada capres Prabowo, tentu saja akan memberikan reaksi negatif bagi pengun-jung medianya yang berasal dari kubu capres Jokowi, namun hal ini

Page 150: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

140

tidak menjadi masalah bagi redaksi selama respons yang diberikan tidak menyinggung secara pribadi. Era keterbukaan informasi seper-ti saat ini, sikap ini adalah yang baik, dimana memberikan masyara-kat hak untuk berekspresi, namun tetap pada koridor yang dapat di-pertanggungjawabkan.

Secara keseluruhan, kesimpulan yang dapat diambil dari analisa pembahasaan mengenai pemberitaan kampanye negatif di www.viva.co.id menghasilkan pandangan bahwa terdapat kecenderungan pemberitaan tidak netral yang dilakukan oleh viva dalam peritiwa politik Pilres 2014. Adanya tekanan dari pemilik media secara tidak langsung membuat pemberitaan yang menjadi tidak netral dan tidak berimbang dan akan berimbas kepada kerugian terhadap publik yang menginginkan informasi akurat.

PenutupSecara keseluruhan berdasarkan hasil analisa dan pembahasan

yang telah dilakukan dengan menggunakan analisa framing Entman menunjukan terjadi komodifikasi pada beberapa pemberitaan yang dijadikan sampel/dalam dimensi define problem, diagnose causes, make moral judgment dan treatment recommendation, di media online www.viva.co.id terhadap pemberitaan mengenai kampanye negatif kategori HAM, SARA dan pelanggaran kampanye terhadap kedua calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan Joko Widodo, periode masa kampanye 4 Juni 2014 hingga 5 Juli 2014.

Dukungan media online kepada kedua capres tersebut terlihat pada pemberitaan yang dijadikan sampel dengan menambahkan topik lainnya yang diarahkan untuk mendukung salah satu capres, dalam hal ini viva.co.id, kepada capres Prabowo Subianto, melalui arahan dari pemilik secara tidak langsung. Hasil penelitian lainnya menemukan walaupun terjadi kenaikan dalam pengakses berita namun tidak diikuti dengan jumlah kenaikan pengiklan. Hal ini disebabkan pengiklan mempunyai kesan bahwa viva adalah media yang mendukung capres Prabowo.

Page 151: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

141

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik; Paradigma Teori Aplikasi Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Badara, Aris. 2012. Analisa Wacana. Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Biagi, Shirley. 2010. Media Impact. Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika.

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Eriyanto. 2012. Analisis Framing. Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang.

Golding, Peter. & Murdock, Graham. 1997. The Political Economy of The Media. Vol 1. UK: Edward Elgar Publishing Limited.

Halim, Syaiful.2013. Postkomodifikasi Media. Analisis Media Televisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yohyakarta: Jalasutra.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kiryantono, Rakhmat. 2008. Teknik Praktik Riset Komunikasi Disertasi Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Moleong, J, Lexy. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mosco, Vincent., 2009. The Political Economy of Communication 2nd edition (e-book). London: Sage Publications Ltd.

Page 152: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

142

Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik. Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Noor, Henry Faizal. 2010. Ekonomi Media. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Rajawali Pers.

Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soehoet, A.M. Hoeta. 2003. Dasar-Dasar Jurnalistik. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP.

Tabroni, Roni/ 2012.Komunikasi Politik Pada Era Multimedia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Tamburaka, Apriadi. 2012. Agenda Setting Media Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Venus, Antar. 2004. Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Tesis/Disertasi

Mutmainnah, Nina. 2014. Kontrol Pemerintah dalam Sistem Media Penyiaran.(Studi Ekonomi Politik tentang Upaya Pemerintah Mengembalikan dan Menegakkan Kewenangannya dalam Peraturan Perundangan di Bidang Penyiaran). Jakarta: FISIP UI.

Website

http://www.kpu.go.id . Diakses pada tanggal 2 Juni 2014, Jam 9.54 WIB

www.tribunnews.com. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014. Jam 8.45 WIB

Media Online

www.vivanews.com

Page 153: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

143

Merajut Demokrasi Substantif:

Upaya Membangun Kehidupan Politik

Berkualitas

Oleh: Adi Prayitno

Pasca reformasi 1998, perjalanan demokrasi Indonesia mulai memasuki babak baru dengan perbaikan seluruh tatanan sistem pemerintahan. Berbagai eksperimen telah dilakukan dengan munculnya sejumlah figur yang dipercaya mampu menjalankan roda kepemimpinan, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, perbaikan dan eksperimentasi tersebut seolah menemui kebuntuan terutama dalam menjamin kesejahteraan masyarakat.

Terbukti, pembangunan ekonomi yang lebih memihak pasar tidak mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, angka pengangguran meningkat, kemiskinan bertambah, dan perilaku kriminal dapat dijumpai di mana-mana. Begitu juga keutuhan masyarakat, makin terancam oleh merebaknya anarkhisme sosial di ruang publik, seperti konflik pilkada, tragedi kekerasan atas nama agama, dan aksi kekerasan lainnya yang kerap merugikan negara.

Pertanyaannya, ada apa dengan demokrasi kita, padahal pilihan itu kita yakini sebagai sistem terbaik daripada yang lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, memahami makna dan substansi demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang komprehensif. Kedua, melihat kemungkinan dari penerapan sistem tersebut dalam sebuah negara dengan masyarakat yang berbeda. Sedangkan yang ketiga, bagaimana demokrasi dioperasionalisasikan dalam konteks pemilu sehingga melahirkan pemimpin yang kredibel dan membumi.

Page 154: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

144

Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti wewenang atau memerintah. Secara sederhana, demokrasi bisa dimaknai sebagai sebuah pemerintahan dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini senada dengan apa yang dikemukan Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan kedaulatan (sovereignty) ada di tangan rakyat (Sahdan, 2004:12). Namun, karena kehadiran rakyat untuk mengendalikan pemerintahan secara langsung sangat sulit, seperti di Indonesia dengan heterogenitas yang ada, maka pemerintahan dalam bentuk perwakilan menjadi satu-satunya cara paling memungkinkan. Walaupun demikian, pemerintahan tersebut harus mendapat persetujuan rakyat atau memiliki mandat dari rakyat untuk memerintah.

Untuk mencapai prinsip itu, diperlukan institusionalisasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri melalui mekanisme yang cukup representatif, yaitu pemilu. Proses penerapan demokrasi semacam ini biasa disebut dengan demokrasi prosedural. Dengan kerangka ini pula, tradisi pemikiran Schumpeterian memaknai demokrasi sebagai proses pengambilan keputusan kolektif melalui pemilu yang bebas, jujur, dan adil untuk memilih kandidat-kandidat yang berhak memangku jabatan politik. Jabatan itu tidak lain merupakan mandat dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pemilu bisa diandaikan sebagai sebuah kontrak politik antara rakyat dengan pemerintah. Dalam kontrak itu, rakyat memberikan haknya untuk memerintah kepada wakil-wakil mereka sehingga pemerintah dalam menjalankan mandatnya harus mengikuti kehendak rakyat. Menurut Jean Baechler, yang terpenting dalam demokrasi adalah serangkaian kontrak yang menghubungkan pelaku-pelaku individual dan kolektif menurut syarat-syarat yang telah digariskan secara tegas (Baechler, 2001:95). Syarat-syarat itu meliputi pertukaran (pemilihan) yang bebas, jujur, dan adil. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa elemen yang menjadi penopang pemilu, yaitu adanya lembaga pemilu, perlidungan terhadap hak untuk memilih dan dipilih, kontrol atas jalannya pemilu dan sebagainya.

Page 155: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

145

Dengan kerangka semacam itu, mekanisme demokrasi diharapkan mampu melahirkan pemerintahan yang benar-benar merepresentasi-kan aspirasi rakyat sehingga kebijakan yang dilahirkan tercurah pada kepentingan bersama. Mekanisme demokrasi itu sangat relevan dengan keberadaan sistem dalam politik yang keberadaannya merupakan manifestasi dari seluruh kepentingan masyarakat. Menurut Easton, sistem politik berjalan atas dasar masukan dari hasil interaksi antara sistem dengan lingkungan. Lingkungan memberikan dukungan atau tuntutan (input), sementera sistem mengeluarkan keputusan atau kebijakan terhadap lingkungan (output). Untuk mencapai tujuan ini, sistem demokrasi menjadi satu-satunya sistem yang mampu mendorong agar sistem politik sesuai dengan kehendak rakyat.

Akan tetapi, demokrasi bisa saja gagal menciptakan sistem seperti itu, apabila fungsi-fungsi lembaga yang ada di dalamnya tidak berjalan sebagaimana prinsip demokrasi itu sendiri. Mandegnya lembaga-lembaga pemerintahan itu bisa beragam, tetapi muaranya terletak pada lemahnya komitmen para elit bangsa untuk membuat sistem yang disepakati berjalan dan berhasil.

Boediono menganalisis gagalnya demokrasi dalam menciptakan suatu sistem yang diharapkan pada sejarah pemerintahan pada tahun 50-an. Menurutnya, eksperimen demokrasi parlementer di tahun 1950-an ti-dak berhasil karena sistem politik disfungsional, tidak dapat memberikan manfaat nyata yang dirasakan oleh rakyat. Kabinet jatuh bangun, ada yang berusia hanya 3 bulan. Proses demokrasi berjalan, masing-masing bermain demokrasi dengan sasaran dan tujuan politik masing-masing. Demokra-si semarak, tetapi ada sesuatu yang hilang, yakni tidak adanya komitmen bersama yang solid untuk membuat sistem itu kian mantap dan berlanjut. Ia melanjutkan bahwa kebanyakan ingin langsung bertarung di arena de-mokrasi, tapi sedikit yang menyisihkan waktu dan memberikan komitmen untuk menata sendi-sendi dasar demokrasi yang masih muda itu.1

1 Boediono, “Jalan Penuh Tantangan Menuju Konsolidasi Demokrasi”. Tulisan disampaikan pada Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XIV, Bandung, 20 Juli 2010.

Page 156: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

146

Kondisi demikian disebabkan oleh belum terpenuhinya perangkat-perangkat demokrasi sebagai penopang terwujudnya demokrasi yang substantif. Sejauh ini penerapan demokrasi Indonesia baru sebatas prosedural (Masoed, 1999: 24), lebih mengedepankan pada mekanisme prosedural daripada tujuan demokrasi itu sendiri. Sebagai sebuah sistem, demokrasi bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Hal ini sama dengan sifat dasar dari berbagai ideologi dunia. Apapun sistem dan ideologinya, ujian terakhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Dengan menggunakan kerangka penilaian ini, maka proses transisi pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis belum sepenuhnya berhasil. Era sekarang sering disebut sebagai era konsolidasi demokrasi. Era ini lahir akibat transisi dari pemerintahan sebelumnya yang non-demokratik.

Samuel Huntington, mengkategorikan transisi dalam tiga bentuk. Pertama adalah transformasi. Ini terjadi ketika elit politik mengambil alih kekuasaan ke demokrasi. Adapun yang kedua adalah replasementasi, yang terjadi ketika pihak oposisi mengambil alih kekuasaan ke demokrasi dan rezim otoritarian mengalami penghancuran atau penggulingan. Ketiga adalah transplasementasi yang terjadi ketika demokratisasi disebabkan oleh perluasan aksi bersama (negosiasi, kompromi, dan dialog komunikatif) antara kelompok oposisi dan pemerintah. Idealnya, ketiga proses ini sama-sama memberikan bentuk pada transisi di Indonesia. Akan tetapi, perubahan yang terjadi justru tidak memanifestasikan ketiga hal itu.

Transisi di Indonesia dihadapkan pada beberapa persoalan mendasar, antara lain yakni persoalan sistemik dan institusional serta persoalan kultural. Persoalan ini saling terkait satu sama lain. Pasca runtuhnya Soeharto, masalah sistemik sesudahnya berkaitan dengan keseluruhan sistem yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru. Tantangan utamanya menjelma dalam serangkaian masalah sistemik yang menjadi hak milik pemerintahan otoriter yang kemudian diwariskan kepada pemerintahan penggantinya. Serangkaian masalah ini telah mengental dalam struktur dan kultur yang diciptakan dengan kokoh selama rezim otoritarian dan kemudian menjadi persoalan pemerinthan setelahnya. Pengalaman beberapa negara seperti Eropa Selatan (Portugal dan Spanyol)

Page 157: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

147

Amerika Latin (Brazil, Argentina, Bolivia, dan lain-lain) sampai ke negara demokratis baru di Asia (Filipina dan Korea Selatan) (Huntington, 1991:210). Negara-negara bersangkutan menghadapi persoalan birokrasi pemerintah, militer, dan sistem ekonomi-politik yang hancur total.

Demikian pula di Indonesia, kasus transisi yang terjadi menghadapi persoalan sistemik yang akut. Praktik birokrasi Orde Baru tetap dipraktikkan oleh pemerintahan Habibie dan terus berlanjut ke pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam persoalan institusional, di sini sebenarnya banyak mengalami perubahan dari sebelumnya. Hanya saja perubahan itu tidaklah total dan menyeluruh. Banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan utamanya, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah para pelaku demokrasi itu sendiri lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya. Akibatnya, lembaga yang ada tidak merepresentasikan kebutuhan bersama, perannya terpangkas dan tidak efektif.

Pemilu dan Ironi Demokrasi

Di atas telah diungkapkan bahwa demokrasi merupakan proses pengambilan keputusan kolektif melalui pemilu yang bebas, jujur, dan adil untuk memilih pemimpin politik. Jabatan itu tidak lain merupakan mandat dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, dalam praktik demokrasi kita, pemilu masih kerap menjadi ritual tanpa substansi. Ada beberapa hal yang cukup mencolok dalam praktik pemilu demokratis sejak tumbangnya rezim Orde Baru, seperti politik uang (money politics), golput, dan munculnya kandidat karbitan.

Politik uang misalnya, bukanlah fenomena baru dalam jagad politik tanah air. Praktik politik kotor ini inheren dalam budaya dan sistem politik elektoral kita. Dalam setiap hajatan pemilu, hampir bisa dipastikan semua kontestan menggunakan uang guna memobilisir partisipasi pemilih. Secara legal formal, politik uang dianggap ilegal dan melanggar hukum. Meski pelakunya diancam hukuman penjara, namun barter suara demi uang justru kian marak.

Page 158: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

148

Praktik money politics tentu menjadi kisah pilu yang menyedihkan dalam pemilu. Sedih karena rakyat memaknai ritual demokrasi lima tahunan ini sebatas ajang mencari keuntungan materi. Sementara elit tak ada hentinya mengeksploitasi rakyat sebagai objek jual beli suara demi ambisi kekuasaan. Tak ada lagi ruang beradu argumen visi, misi serta program kerja calon, yang ada hanyalah ruang transaksi logistik antara elit dan rakyat.

Di era demokrasi transaksional, nyatanya uang menjadi satu-satunya instrumen paling ampuh untuk meraup dukungan basis massa di level grassroot. Uang adalah raja dari segala raja dalam dunia politik kita. Dengan uang, warga digiring ke TPS tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang didorong menuju jurang kehancuran bangsa. Layaknya domba-domba tersesat, massa rakyat diarahkan mengikuti kemanapun alur panduan sang gembala pemilik modal. Rakyat tak lagi kuasa menolak “nikmatnya” politik uang.

Dalam konteks ini, teori Niccolo Machiavelli menemukan rele vansinya. Bukunya II Principe yang ditulis tahun 1500 - an M meng inspirasi para petualang politik bahwa kekuasaan bisa diperoleh dengan cara apapun. Bagi Machiavelli dunia politik itu bebas nilai. Politik jangan dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam politik yang terpenting bagaimana seseorang berusaha dengan berbagai macam cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Meski cara-cara tersebut inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral. Menghalalkan segala cara tampak dalam praktik sejumlah kader partai politik yang melakukan money politics untuk meraih kekuasaan. Uang dapat memobilisasi dan mengelabuhi kesadaran rakyat dalam berpartisipasi. Pemilih yang termobilisasi biasanya pemilih miskin, tinggal di pedesaan, dan buta terhadap persoalan politik. Selain itu, uang juga dapat memudahkan urusan dengan penyelenggara pemilu di tingkat desa, kecamatan, kapubaten, provinsi hingga pusat. Sekali lagi, dengan uang semua urusan politik menjadi serba mudah. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice (1977) menyodorkan dua model partisipasi yaitu, partisipasi otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Partisipasi jenis

Page 159: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

149

pertama merupakan kegiatan suka rela warga negara (Huntington dan Joan Nelson, 1997). Artinya, partisipasi dilakukan dengan tanpa paksaan dan bebas dari pengaruh apapun. Sedangkan partisipasi jenis kedua merupakan partisipasi yang digerakkan oleh banyak faktor seperti ancaman, tekanan dan intimidasi serta suap.

Dalam kategori teori Huntington dan Nelson, politik uang merupakan bagian dari partisipasi yang dimobilisasi karena tidak didasarkan pada pilihan rasional. Rakyat mencoblos karena ada iming-iming uang bukan karena pilihan sadar tentang pemimpin berdasarkan visi dan misi. Praktik politik uang ini akibat dari mahalnya ongkos demokasi kita.

Ada beberapa implikasi dari praktik politik uang. Pertama, sulitnya menciptakan pemilu jujur, adil, dan fair. Dengan uang kemenangan dapat dibeli. Dalam kondisi semacam itu, tentu yang akan lahir adalah pemimpin despotik dan tidak pro rakyat. Kedua, Merusak kepercayaan publik. Pemilu tak lagi dipercaya sebagai sistem yang dapat melahirkan pemimpin baik karena pemilu bisa direkayasa dengan uang. Siapapun calonnya, bisa dipastikan yang menang adalah mereka yang mempunyai kecukupan kapital.

Implikasi ketiga yaitu lahirnya demokrasi semu (pseudo demokrasi). Pemilu dibuat seolah demokratis, diciptakan sebuah kondisi seolah-olah demokratis meski sebenarnya bukanlah demokrasi yang hakiki. Demokrasi kita yang begitu besar, ternyata dibarengi dengan praktik politik yang tidak demokratis. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil, demokrsai yang baru mekar ini akan layu sebelum berkembang atau demokrasi beku, lemah, dan tidak solid (frozen democracies).2 Hal ini diakibatkan oleh proses demokrasi mengalami pembusukan karena ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi secara mendasar sesuai tuntutan reformasi. Terutama menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib rakyat miskin.

2 Istilah ini dipopulerkan oleh Georg Sorensen dalam buku Democracy and Democrati-zation: Processes and Prospects in Changing World, Westview Press, 1993.

Page 160: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

150

Sementara persoalan kedua yaitu golput. Sampai saat ini, golput masih menjadi problem krusial dalam setiap penyelenggaraan pemilu demokratis di Indonesia. Ironis, angka golput justru terus meningkat di tengah upaya kita mengonsolidasikan demokrasi. Pada pemilu 1999 golput hanya 10.21 persen, pemilu 2004 mencapai 23.24 persen sedangkan pemilu 2009 golput mencapai 38.1 persen.

Para ilmuan politik sepakat mengatakan bahwa partisipasi dalam pemilu dikategorikan sebagai aktivitas pribadi (civic privatism) tanpa paksaan dari pihak manapun apalagi oleh negara. Akan tetapi, rendahnya masyarakat yang menggunakan hak pilih dalam pemilu dikawatirkan dapat mengurangi kualitas demokrasi yang sedang tumbuh mekar. Jika tidak diantisipasi dengan baik, kecenderungan apatisme publik ini bisa berkembang menjadi sikap cuek dan acuh terhadap persoalan politik. Karena sejatinya partisipasi merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin masa depan.

Dalam konteks demokrasi partisipatoris, ikut serta dalam pemilu dengan memberikan suara kepada calon yang didukung merupakan salah satu bentuk partisipasi politik minimal warga negara. Melalui pemilu, warga bisa memilih wakilnya secara rasional yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan. Walaupun demokrasi kita sudah berkembang pesat, namun banyak warga yang tidak menggunakan hak politiknya untuk terlibat dalam proses demokrasi tersebut. Ironisnya lagi, golput yang terjadi belakangan ini dilakukan bukan untuk melawan pemerintah otoriter, melainkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja pemerintah dan prilaku elit politik.

Fenomena golput ini sungguh paradoks di tengah iklim demokrasi yang berkembang cukup kondusif. Mungkin demokrasi kita terlalu dini disebut sebagai bagian dari ‘ironi demokrasi”. Akan tetapi, melihat kecenderugan meningkatnya angka golput bisa menjadi batu sandungan terhadap proses konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun. Mestinya, pesatnya perkembangan demokrasi memberikan insentif terhadap tingkat partisipasi warga untuk terlibat aktif dalam pemilu.

Menurut Anthony Giddens dalam Runaway World (2000), salah

Page 161: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

151

satu fenomena cukup menonjol dalam sebuah negara yang baru terbebas dari rezim otoriter adalah kecenderungan menerapkan euforia demokrasi secara luas. Namun pada saat besamaan, di negara-negara tersebut muncul kekecewaan cukup besar terhadap praktik demokrasi yang dijalankan oleh rezim baru. Kekecewaan tersebut cukup beragam mulai dari kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, prilaku elit, kerja parpol, hingga pertumbuhan ekonomi yang tak stabil. Kekecewaan tersebut bisa dilihat dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam persoalan politik kenegaraan.

Argumentasi Anthony Gidden tersebut menegaskan bahwa kekecewaan terhadap pemerintah, elit politik, dan partai politik menjadi sebab utama masyarakat tidak terlibat dalam pemilu. Masyarakat berkeyakinan, siapapun partai pemenang pemilu, problem utama bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran masih jauh panggang dari api. Bahkan para elit hanya mempertontonkan parade kehidupan glamor di tengah himpitan hidup yang terus menggurita.

Menurut Herbert McClosky, apatisme warga negara untuk ikut pemilu dikarenakan sikap tidak peduli (ignorance), tidak tertarik, dan minimnya pemahaman terhadap persoalan politik. Ada juga karena alasan tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui pemilu akan berhasil. Serta adanya kesengajaan warga yang tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana sikap golput merupakan hal yang terpuji (McClosky, 1972).

Dalam konteks golput di Indonesia, pendapat Anthony Gidden dan Herbert tersebut menemukan relevansinya. Ada tiga faktor penyebab golput. Pertama, maraknya korupsi dan terpuruknya kondisi eknomi. Dua alasan ini menjadi faktor dominan apatisme publik untuk ikut pemilu. Golput semacam ini biasanya dikategorikan sebagai golput rasional karena berlandaskan pada kekecewaan terhadap sistem politik dan prilaku elit.

Kedua, golput ideologis. Masih banyak publik yang menggap pemilu - yang menjadi bagian sistem demokratis - merupakan proses politik yang

Page 162: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

152

diyakini tidak akan mampu memecahkan persoalan bangsa. Karena pemilu hanya kepanjangan tangan kaum kapitalis untuk mengeksploitasi kaum proletar. Pemilu dianggap hanya melegalkan kepentingan mayoritas meski menindas kaum minoritas. Golput semacam ini biasanya disebut dengan golput ideologis karena tidak percaya terhadap pemilu sebagai proses suksesi politik yang bisa melahirkan pemimpin adil.

Sedangkan golput ketiga karena alasan teknis administratif, yaitu golput mengacu pada mereka yang tidak menggunakan hak miliknya karena persoalan teknis seperti tidak terdaftar di TPS, minim informasi, jarak ke lokasi pemungutan suara cukup jauh, bangun kesiangan, liburan dengan keluarga, dan lain sebagainya. Golput semacam ini sering terjadi di tengah negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi.

Oleh karena itu, sikap acuh publik terhadap pemilu harus segera diantisipasi. Tidak ada pilihan lain selain membenahi semua stakeholder yang terkait dengan peyelenggaraan pemilu mulai dari KPU hingga partai politik. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU mestinya melakukan sosialisasi massif dan peningkatan kesadaran memilih yang mencapai semua lapisan msyarakat. KPU tidak cukup hanya melakukan sosialisasi memalui media massa. Minimnya anggaran bukan alasan bagi KPU untuk tidak melakukan sosialisasi secara maksimal.

Begitupun dengan partai politik. Sebagai kontestan pemilu, partai politik mestinya melakukan perubahan radikal dalam jangka waktu dekat untuk menampilkan citra positif dan kampanye kreatif sehingga masyarakat bergairah untuk memeriahkan pemilu. Di samping itu, peran aktif media massa, aktivis LSM, dan figur publik untuk mengkampanyekan pentingnya terlibat dalam proses pemilu. Sehingga, demokrasi menjadi instrumen untuk memilih pemimpin yang jujur, adil, amanah dan bermartabat.

Masa Depan Demokrasi Demokrasi tidak serta merta dapat diterapkan di semua bentuk

kehidupan tanpa didukung oleh perangkat-perangkat nilai sebagai modal

Page 163: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

153

sosial demokrasi. Sebab, secara kultural demokrasi merupakan sebuah sistem yang lahir dari pergulatan panjang masyarakat Eropa yang sarat dengan nilai-nilai khas sehingga tidak dapat diadopsi begitu saja di tempat lain. Butuh modal sosial cukup kuat agar bisa membumi dan berhasil mencapai idealitas bersama. Tingkat pendidikan, kedewasaan politik, kesejahteraan ekonomi, masyarakat yang kritis dan rasional merupakan sejumlah modal guna melahirkan demokrasi berkualitas.

Sebagaimana dianalisis Francis Fukuyama dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, bahwa demokrasi sulit diterapkan di luar Eropa karena tidak adanya koherensi dengan nilai-nilai yang berlaku. Amerika Serikat (AS) efektif mewujudkan demokrasi liberal karena berdiri di atas individualisme dan prinsip kebebasan yang diwarisi oleh budaya protestanisme dan budaya Inggris. Sedangkan di negara Amerika Latin seperti Brasil, Argentina, dan Cile, dengan akar budaya Katolik serta tradisi imperialis yang mewariskan ketergantungan besar pada sebuah otoritas, demokrasi berjalan lamban bahkan bermasalah.

Begitu juga di Indonesia, perjalanan demokrasi dengan dinami ka yang tak menentu menjadikan proyek kenegaraan dan kebangsaan belum menemukan titik terang. Seringkali penerapannya meluluhlantakkan keutuhan nilai-nilai yang menjadi perekat solidaritas sosial. Masyarakat seolah-olah dipaksa mengikuti praktik demokrasi, terutama pada momen pemilu dengan kampanye besar-besaran, tanpa dituntut untuk mengerti substansi dasarnya.

Harus diakui, selama kurang lebih enam belas tahun, Indonesia hanya berhasil menerapkan demokrasi prosedural. Hal ini disebabkan paradigma keliru yang mengibaratkan demokrasi sebagai mesin raksasa yang mampu membersihkan semua “kotoran” siapa pun pemimpin dan partai politiknya. Akibatnya, politisasi masyarakat di ruang publik yang mengancam keutuhan nilai sosial sangat kentara. Padahal, demokrasi tidak hanya menuntut partisipasi politik, tetapi juga peran kultural yang dinamis dan kritis dari seluruh masyarakat.

Page 164: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

154

Meski demokrasi datang dari luar, bukan berarti selalu bersifat eksklusif terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Sebaliknya, eksternalitas demokrasi harus dicarikan dasarnya sebagai kaki langit agar bisa berjalan efektif sesuai yang diharapkan. Tidak mungkin menerapkan demokrasi di Indonesia dengan berkiblat sepenuhnya kepada AS. Tentu, budaya sebagai ontologi bangsa menjadi satu-satunya modal sosial yang cukup berharga seraya mengidentifikasi historis-kultural perjalanan bangsa.

Seperti jamak diketahui, imperialisme Belanda telah menyisakan feodalisme yang membuat kerdil pandangan hidup masyarakat. Ketergantungan luar biasa pada penguasa menjadi kultus ketundukan tak berdalih. Hierarki sosial menjadi jembatan bagi individu untuk menyerahkan diri pada kelas sosial di atasnya. Hampir semua tindakan dipilih bukan berdasarkan pertimbangan rasional. Kondisi inilah yang tetap mewarnai mayoritas masyarakat sampai sekarang sehingga masih sulit untuk berpartisipasi dalam sistem demokrasi.

Demikian pula dalam konsep kepemimpinan. Awalnya, pemimpin bukan dipilih langsung, melainkan “dipercaya” atas dasar karisma dan keahlian yang tidak dipromosikan. Dalam hal ini, ikatan solidaritas menjadi faktor dominan dalam memutuskan segala sesuatu. Konsep seperti itu masih tetap melekat pada diri masyarakat dalam suatu komunitas. Karena itu, wajar ketika dihadapkan pada mekanisme pemilihan demokratis, hanya sekadar ikut-ikutan saja.

Secara keseluruhan, masyarakat Indonesia modern, meminjam istilah Ferdinand Tonnies terbagi ke dalam dua tipe, yaitu gesellschaft (masyarakat) dan gemeinschaft (komunitas). Masyarakat tipe pertama diikat oleh aturan hukum dan bersifat individualistis yang dapat ditemukan pada masyarakat industri perkotaan. Sedangkan tipe masyarakat kedua, lebih diikat oleh nilai-nilai yang berlaku dalam suatu komunitas seperti terdapat pada masyarakat tradisional dengan keintiman budaya cukup tinggi.

Sejatinya, penerapan demokrasi di Indonesia melihat pada dua tipe masyarakat tersebut sehingga tidak terkesan dipaksakan. Menyamakan keduanya berarti menggeneralisasi keadaan yang pada gilirannya akan

Page 165: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

155

membuat suram masa depan bangsa. Bagaimanapun, demokrasi sangat sulit diterapkan pada masyarakat tipe kedua karena tidak adanya koherensi antara yang satu dan yang lain. Demokrasi menuntut partipasi sepenuhnya dari masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan serta membangun modalitas sosial demokrasi.

Di sinilah diperlukan kontekstualisasi prinsip-prinsip demokrasi dengan budaya masyarakat Indonesia. Di samping itu, pendidikan politik atau berdemokrasi juga diberikan sehingga memahami posisi serta peran masing-masing. Peran masyarakat sipil ini dalam konteks demokrasi dikenal dengan sebutan civil society.

Civil society bisa dikatakan sebagai oposisi terhadap peme rintahan yang otoritarian. Civil society meyakini secara filosofis bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kesetaraan, kesederajatan dan kemampuan yang sama untuk mencapai kebaikan dan keutamaan. Jadi dalam konsep civil society ini, kebebasan merupakan sebuah keniscayaan, yaitu upaya penyadaran hak asasi manusia dan demokratisasi secara menyeluruh (Hendro Prasetyo, 2002). Ernest Gellner memperjelas bahwa civil society adalah prasyarat menuju kebebasan (condition of liberty), yaitu kebebasan dari segala tirani dan hegemoni kekuasaan dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik secara sukarela dan rasional (Ernest Gellner, 1995: 217).

Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis, berpendapat bahwa kekuatan politik civil society-lah yang membuat demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa keberadaan civil society dan demokrasi tidak dapat dipisahkan, keduanya terjalin dalam hubungan saling mengontrol dan melengkapi. Demokrasi sendiri telah lama diasumsikan sebagai sistem pemerintahan yang mampu mengantarkan sebagian negara di dunia, terutama Barat pada kemajuan yang kita saksikan saat ini (Hikam, 1999:2).

Keberhasilan konsep civil society di Barat, sebagaimana kita saksikan saat ini, membuat negara-negara berkembang terutama negara-negara yang pemerintahannya otoriter, merasa perlu untuk mencontohnya, tidak terkecuali Indonesia. Kalangan intelektual

Page 166: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

156

Indonesia memandang bahwa dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik. Dan dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan cukup kuat pula (Tb. Ace Hasan Syadzily, 2003).

Civil Society memiliki beberapa karakteristik. Petama, free Public Sphere, yaitu adanya wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan informasi kepada publik. Ketiadaan free public sphere akan memungkinkan terjadi pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tirani dan otoriter.

Kedua, pemerintahan demokratis. Di sini dinyatakan bahwa demokrasi yang baik hanya akan tegak bila civil society tumbuh dengan baik. Sebaliknya civil society tidak dapat tumbuh dengan baik dalam pemerintahan yang otoriter. Di antara simbol dan potret demokrasi adalah dilaksanakannya pemilihan umum secara bebas dan rahasia, good governance, law enforcement, lembaga yudikatif yang efektif, fungsi check and balance dari lembaga legislatif. Ketiga, pluralisme, yaitu sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak hanya dipahami sebagai sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai sikap yang tulus untuk menerima pluralisme sebagai bernilai positif.

Keempat, kemandirian. Civil society merupakan lembaga atau organisasi yang otonom, memiliki kemandirian dan tidak terserap oleh jaringan resmi negara. Dengan demikian ia bisa berhadapan dengan negara, menjadi benteng kecenderungan tirani negara, serta memiliki kreatifitas dalam mengembangkan potensi-potensinya. Kelima, kesadaran yang kemudian melahirkan kesukarelaan. Ciri ini merupakan dasar adanya civil society, sebaliknya unsur paksaan meniadakan bangunan civil society.

Page 167: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

157

Tentu saja, Indonesia membutuhkan waktu lama untuk bisa mewujudkan demokrasi yang mapan, prosedural, dan substansial, yang mampu mengantarkan bangsa pada kesejahteraan. Diperlukan kesabaran dan keluwesan dalam melangkah hingga akhirnya benar-benar berjalan diametris dengan semangat bangsa (spirit of nations). Gerakan perubahan harus didorong dari bawah atas dasar kesadaran masyarakat sehingga bersatu dalam mengisi dan mengarahkan konsolidasi demokrasi ini.

Menurut Robeth Dahl, salah satu indikasi demokrasi berkualitas yakni adanya jaminan kebebasan kepada individu baik secara sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara. Pertama yaitu melalui pemilu yang bebas dan Jurdil yang di dalamnya menjamin adanya hak-hak mendasar warga. Kedua, demokrasi memaksimalkan peluang bagi penentuan individu di bawah aturan hukum (rule of law). Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral yang memungkinkan setiap individu membuat pilihan-pilihan normatif karena kemampuan untuk memerintah sendiri.3

Oleh karena itu, transisi demokrasi yang berjalan selama kurang lebih lima belas tahun sudah saatnya diakhiri, dan selanjutnya menuju arah kon-solidasi demokrasi. Menurut Larry Diamond, dalam Developing Democ-racy toward Consolidation (1999), konsolidasi demokrasi dimaknai sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Kon-solidasi demokrasi menekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik dan kekuatan politik yang signifikan percaya bahwa pemerintahan demokratis adalah yang paling te-pat bagi masyarakat mereka.

Kekuatan dan aktor politik tersebut mencakup institusi politik, baik partai politik, elit pemerintah, kekuatan parleman, lembaga penegak hukum, serta interest dan pressure group. Semua komponen itu menyepakati akan adanya nilai-nilai politik yang bisa mendekatkan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi.

3 Robert A. Dahl, Demorkasi dan Para pengkritiknya, yayasan Obor

Page 168: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

158

DAFTAR PUSTAKA

Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.

Huntington, Samuel. 1991. The Third Wave:Demokratization in The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press.

Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. 1997. No Easy Choice: Political Participation in Developi ng Coiuntries, Cambridge, Mass: Harvard University, Press.

Muhammad AS. Hikam. 1999. Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999.

Hasan Syadzily, Ace. 2003. “Pengantar” dalam Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta, INCIS.

Prasetyo, Hendro, dkk. 2002. Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta, Gramedia Utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.

Maso’ed, Mohtar. 1999. Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jean Baechler. 2001. Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis, terj. Bern. Hidayat, Yogyakarta: Kanisius.

Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Yappika.

Sorensen, Georg, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in Changing World, Westview Press, 1993Tulisan disampaikan pada Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XIV, Bandung, 20 Juli 2

Page 169: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

159

Reproduksi Simbol-Simbol

dalam Foto Jurnalistik

Oleh : Ririt Yuniar

Suatu fenomena yang menarik perhatian pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 adalah semakin kuatnya keterlibatan dan peranan media massa dalam proses konstruksi citra para kandi dat. Visualisasi tokoh dalam berbagai foto jurnalistik pemilihan presiden telah menjadi instrumen penting yang mem per lihatkan betapa sentralnya peranan foto jurnalistik di dalamnya. Permasalahan utama adalah mengapa reproduksi budaya terjadi dalam konstruksi realitas politik kampanye pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Performance studies yang dimaksud dalam hal ini dikaitkan dengan perspektif politik yang berhubungan erat dengan kekuasaan. Kampanye pemilihan presiden sebagai sebuah realitas sosial yang mewujud dalam drama sosial merupakan sebuah bentuk performance. Teori yang dipakai untuk menjawab pertanyaan ini adalah teori reproduksi kultural yang menanggapi proses sosial politik sebagai bagian dari konstruksi nilai dan simbol yang dikelola dan manipulasi oleh aktor. Sebagai penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis framing interpretation. Hasil tulisan ini memperlihatkan bahwa bagaimana foto mempunyai peran yang signifikan pada kampanye pemilihan presiden 2009. Foto-foto calon Presiden tidak hanya ditampilkan apa adanya dalam surat kabar, tetapi juga dikomposisikan dan direproduksi yang kemudian direpresentasikan sesuai dengan tujuan dan citra yang

Page 170: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

160

ingin dibangun. Dari studi ini dapat ditegaskan bahwa fotografi telah terbukti dapat menjadi faktor penting di dalam analisis sosial politik di Indonesia.

Kata Kunci: Foto Jurnalistik, Pemilihan Presiden 2009, Reproduksi dan Performance

Pendahuluan

Media yang selama ini dipahami sebagai institusi netral dan independen, justru menunjukkan adanya afiliasi atau keberpihakan kepada pemilik modal atau partai tertentu. Secara langsung ataupun tidak, media tampak seolah-olah ‘menghegemoni’ masyarakat ke arah politik tertentu. Muatan yang menjadi kekuatan dalam proses hegemoni semacam ini merupakan suatu isu yang penting untuk dikaji secara seksama. Suatu foto sarat dengan pemaknaan yang kom pleks dan berimplikasi luas terhadap tanda-tanda yang termuat di dalamnya. Suatu karya foto memuat nilai realisme yang memiliki aspek, representasi, eksistensial dan mekanik. Dalam hal ini masing-masing mewakili karakter fotografi sebagai salah satu entitas nilai estetika tertentu dalam budaya visual. Secara implisit tiga bentuk “realism” ini juga mencerminkan esensi nilai estetika yang terkandung dalam domain fotografi yang me nyebabkan foto bersifat komunikatif dalam penyampaian pesan. (Soedjono, 2007:13).

Foto jurnalistik kampanye pemilu yang mengangkat realitas kehi dupan itu juga dapat dikatakan sebagai performance. Kampanye pemilihan presiden sebagai realitas sosial yang dianalogikan sebagai social drama ini merupakan suatu performance yang dibingkai dalam bentuk foto jurnalistik. Analogi foto jurnalistik sebagai performance, memperhatikan ragam aktivitas politik suatu partai berupa kampanye, hiburan, kegiatan sosial, pertemuan elite partai, dan lain sebagainya. Pada tingkat ini dapat dibangun asumsi bahwa

Page 171: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

161

realitas kehidupan yang berbentuk kampanye tersebut mengalami transformasi tingkat pertama menjadi sebuah performance atau pertunjukan yang berupa social drama, dan pada transformasi berikutnya berbentuk foto jurnalistik.

Suatu pertunjukan drama selalu memperhatikan unsur-unsur terpentingnya, yaitu pertama, struktur yang mencakup plot, character, dan tema. Kedua, tekstur yang mencakup dialog, mood atau suasana dan properties (Kernodle, 1967: 337-340). Para politisi tampaknya menggunakan teknik-teknik pertunjukan tersebut untuk menyapa masyarakat agar mendapatkan simpati dari mereka. Di antara sekian banyak teknik pertunjukan politik, foto merupakan komponen penting yang dipertontonkan di depan khalayak selama terjadi proses pencarian dukungan politik dari publik. Para politisi berperan sebagai aktor utama, dan secara atraktif bermain di dalam pentas social drama itu, untuk mengonstruksi realitas atas citra diri mereka sendiri.

Dalam proses produksi suatu foto terjadi proses pembing kaian (framing) yang menegaskan bahwa suatu peristiwa itu terjadi dalam suatu kerangka kultural dan struktural yang sangat memengaruhi pembentukan maknanya. Hadirnya suatu foto bukan hanya sebagai sebuah produk, tetapi juga sebagai suatu konstruk yang di dalamnya termuat berbagai gagasan dan nilai yang dapat menjadi petunjuk tentang keberadaan dan berlakunya sesuatu dalam suatu masyarakat. Kajian atas foto kemudian memberikan peluang yang terbuka bagi pemahaman yang saksama tentang suatu gejala sebagai constructed reality.

Tulisan ini ingin menjawab bagaimana simbol dalam foto jurnalistik memberi kontribusi dalam konstruksi realitas. Dimana tulisan ini lebih menekankan pada foto kampanye Pilpres yang telah dilansir di lima media yaitu Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika dan The Jakarta Post sebagai sarana untuk objek analisis. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam proses politik

Page 172: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

162

telah terjadi proses pembingkaian oleh kekuatan sosial kultural yang

berlaku dalam masyarakat.

Pembahasan

Simbol telah digunakan oleh peme gang kuasa untuk melegitimasi kekuasaan dan membuat masyarakat -tanpa disadari- tunduk pada ideologi yang mereka bangun. Realitas yang ditampilkan di media seringkali diyakini sebagai satu kebenaran oleh masyarakat, walaupun me reka sebenarnya tidak tahu bahwa ada interaksi simbolis di balik berita tersebut. Dengan memanfaatkan celah itu, maka kelas dominan memiliki kesempatan untuk memproduksi simbol seba-nyak-banyaknya dan menyampaikannya di media sebagai kebe nar-an. Masyarakat yang hanya membaca hasil akhir dari berita yang disajikan tentu tidak akan memiliki kesempatan untuk menyelidiki lebih jauh mengenai politik simbol tersebut. Berita adalah informasi yang dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kemudian kenyataan itu divisualisasikan dalam sebuah foto yang di dalamnya terdapat relasi simbol-simbol, baik simbol agama, budaya, sosial, dan politik.

Meskipun ada masyarakat yang tidak meyakini dan mem-pertanyakan kebenaran berita yang dimuat di media, namun mereka tidak memiliki kesempatan untuk menyelidiki mana yang benar dan mana yang tidak. Bagaimanapun berita merupakan mirror of reality, karenanya berita harus mencerminkan realitas yang hendak di beritakan. Hal tersebut dikarenakan media langsung mengalihkan perhatian dengan menyodorkan berita-berita terbaru. Tidak ada ruang bagi pembaca berita untuk meng apresiasi foto berita yang dimuat oleh media tersebut. Media yang mengusung simbol, baik budaya, agama, sosial, maupun politik dapat dilihat dari banyaknya foto-foto yang termuat oleh media pada masa kampanye pada Mei

tanggal 7 Juli 2009 berikut ini:

Page 173: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

163

Tabel 1:Reproduksi Simbol yang diusung oleh media

No MediaSimbol yang direproduksi

Agama Budaya Sosial Ekonomi PolitikM S J M S J M S J M S J M S J

1. Kompas 3 - 1 2 3 2 4 1 2 2 3 2 1 4 22. Republika 1 3 3 - - - - 1 1 - 2 1 - 3 1

3. Media Indonesia - - 3 1 - 2 5 - 5 2 1 2 4 - 2

4. Koran Tempo 1 3 - - - - 2 3 - - - - 1 1 2

5. The Jakarta Post 1 1 2 2 - - 2 3 3 - 2 1 - 1 2

Sumber: Hasil penelitian penulisM : MegawatiS : SBYJ : Jusuf Kalla

Tabel 2:Reproduksi Simbol dalam Foto Jurnalistik

Kampanye Pilpres 2009 di Indonesia Kandidat 3 Besar

SimbolKandidat Presiden

Megawati SBY JKAgama 6 7 9Budaya (etnis) 5 3 4Sosial (kelas, lokalitas) 13 8 11

Politik 6 9 9Ekonomi 4 8 6

Sumber: Hasil penelitian penulis

Dari kedua tabel 1 dan 2 dapat dipetakan adanya hubungan antara lima kategori reproduksi simbol dari tiga kandidat berdasarkan perbedaan pada lima media yang dikaji. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa ada suatu usaha pemanfaatan simbol sosial baik kelas maupun lokalitas yang diusung oleh ketiga tokoh dan diangkat oleh semua

Page 174: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

164

media. Keputusan untuk mengambil kategorisasi agama, budaya, sosial, politik, dan ekonomi dalam pemetaan perspektif yang diambil oleh media, memiliki alasan kuat bahwa kelima simbol tersebut merupakan basis penting dalam sebuah realitas. Hal tersebut juga merupakan alat yang penting serta efektif untuk menarik minat konstituen.

Foto 1: “JK pakai blangkon di pasar Beringharjo”Sumber : Media Indonesia (Senin, 20 Mei 2009)

Foto 2 yang diangkat oleh Media Indonesia berkenaan dengan JK memakai blangkon di pasar Beringharjo Yogyakarta, wujud dari reproduksi simbol budaya Jawa. JK yang berbaju Jawa, tidak mampu menampilkan sosok keJawaannya. Ada semacam kontradiktif cultural simbol budaya jawa dengan perilaku “njawani”. JK yang berasal dari Makasar, tidak memainkan perannya dengan tepat sebagai orang Jawa. Ada kejanggalan dalam tindakan melambaikan tangan. Seorang Jawa tidaklah melambaikan tangan dan menunjukkan ekspresi yang semringah ketika menggunakan blankon, apalagi dengan kemeja yang dilipat lengannya.

Page 175: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

165

Penampilan JK merupakan yang sedang berada di dalam pasar Beringharjo dengan menggunakan blangkon lebih disebabkan karena blangkon merupakan produk industri kecil, alih-alih sebagai simbol bu-daya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa alasan pemilihan atribut, lebih karena kepentingan untuk mendekati pedagang sebagai basis pendu-kungnya. Akan tetapi, di lain pihak dengan kesediaan JK memakai pa-kaian adat Jawa, memper lihatkan kesediaan JK yang “manjing ajur ajer” yaitu menjadi satu dengan orang Jawa yang berarti terbuka dengan etnis apa pun. Hal ini cocok dengan Indonesia yang Ber-Bhineka Tunggal Ika.

Simbol budaya yang diusung oleh JK dengan pendekatannya terhadap orang kecil juga terlihat pada Prabowo yang juga menggunakan simbol budaya untuk kepentingan kampanyenya, sebagaimana tampak pada foto 2.

Foto 2: “Prabowo Menari Reog Ponorogo”Sumber : Kompas (Senin, 15 Juni 2009)

Foto 2 memperlihatkan penerimaan masyarakat terhadap Prabowo, khususnya kalangan pekerja kesenian Reog Ponorogo. Tidak hanya sekedar diterima, dari visualisasi foto tampak bahwa Prabowo ditinggikan, diangkat di atas kepala reog. Komposisi menarik dengan

Page 176: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

166

blocking yang dramatik di atas reog Ponorogo, tampak menjadi “single out”, dengan memakai kopiyah yang mengingatkan masyarakat akan sosok Bung Karno yang juga suka mengenakan kopiyah.

Prabowo dalam hal ini tidak hanya diangkat menjadi seorang pemimpin atau orang yang ditinggikan, akan tetapi diharapkan menjadi pimpinan di lingkungan tersebut. Reog sebagai kesenian rakyat yang sudah menjadi ikon masyarakat, menjadikan sosok Prabowo sebagai tokoh yang dapat mengayominya. Fakta ini dapat juga dilihat sebagai fakta politik yang kehadirannya sarat dengan muatan politis dalam hubungannya dengan pencarian kekuasaan.

Apa yang dilakukan oleh kubu Prabowo tidak jauh berbeda dengan kandidat cawapres Boediono yang juga menggunakan simbol kesenian rakyat sebagai cara pencitraan terhadap publik, sebagaimana yang terlihat pada foto 2.

Foto 3: “Boediono menyaksikan pementasan kesenian”Sumber : Kompas (Senin, 15 Juni 2009)

Page 177: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

167

Pada foto di atas, Boediono berpose dengan anak-anak kecil penari Gejulan. Selain menampilkan sosok yang dekat dengan anak-anak, foto tersebut juga berusaha mem perlihatkan bahwa Boediono yang notabene orang Jawa dan berpendidikan tinggi, ternyata masih nguri-uri kabudayan Jawi. Atau dengan kata lain, ia masih menampilkan kepedulian untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Penampilan Boediono dalam memerankan social drama, tampak kaku tidak terintegrasi dengan simbol-simbol lingkungan di mana social drama itu berlangsung. Melihat dari pementasan kesenian yang diikuti oleh warga lima daerah, dapat dikatakan bahwa Boediono telah dapat mendulang suara dari lima daerah. Pencitraan tentang keterlibatan dan kepedulian tampak menjadi jalan masuk bagi kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat.

Foto 4: “Jusuf Kalla berjalan di belakang peniup seruling”Sumber : Kompas (Rabu, 20 Mei 2009)

Foto 4 memiliki pilihan nilai yang lebih kompleks, bukan hanya dari komposisi visual tetapi juga pada nilai-nilai yang direproduksi

Page 178: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

168

dalam peristiwa ini. JK sebagai Pimpinan Golkar melakukan pendekatan politis kepada Sultan meskipun tampak beberapa kontradiksi nilai di dalamnya. Kehadiran Sultan yang notabene adalah Raja Kasultanan Yogyakarta yang ‘rela’ berjalan di belakang Jusuf Kalla dan Gandung Pardiman (ketua DPW Golkar Yogyakarta) merupakan sebuah pernyataan hubungan kekuasaan yang dapat dipertukarkan. Pada saat yang sama simbol-simbol keraton menjadi simbol dominan yang tampak, misalnya, pada prajurit lombok abang sebagai pembuka jalan dan mengawal prosesi yang menjadi semacam ritual tradisi dalam acara penyambutan. Kehadiran prajurit dengan seragam merah di sini bersifat figuratif bagi peristiwa penting tersebut. Padahal dalam ritual gunungan di keraton Yogyakarta yang menunjukkan barisan prajurit dengan masing-masing persenjataannya tersebut, tampak menampilkan jajaran keamanan pada penjagaan terhadap para raja dan tokoh. Hal demikianlah yang coba ditampilkan dalam proses kampanye dalam foto tersebut.

Dari empat foto di atas, yang mengambil objek kandidat capres dan cawapres sedang melakukan kampanye dengan cara mereproduksi simbol budaya sebagai media kampanye dan berusaha dicitrakan oleh media mampu membaurkan diri pada kesenian rakyat, juga bisa dimaknai sebagai sebuah “perfor mance”. Seperti yang dikatakan oleh Elizabeth Edward,

“Like performance or theater, photographs focus seeing and attention in a certain way. Just as performance’s are set apart, separated from the flow of life: they are of the other time and other places. Performance’s, like photographs, embody meaning through signifying properties, and are deliberate, conscious effort represent, to say something about something. The sign itself is performative in that it constitutes one or more bits of meaning that are related and projected into larger frames of performance, 'scenes' that are sequences of signs embodying narrative. (Edward, 2001:18)”

Page 179: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

169

Foto hampir sama dengan sebuah teater atau performance, di mana mereka terpisah dari kehidupan nyata. Kesemuanya juga dilekati dengan makna-makna tertentu yang tampak dalam properti yang dipakai. Tanda-tanda yang hadir dalam foto maupun teater akan terhubung dalam sebuah frame performance, di mana aktor-aktor di dalamnya akan melakukan transfer makna kepada viewer, baik secara langsung maupun tidak.1

Sebagai misal, Simon Philpott dalam A Controversy of Faces: Images from Bali and Abu Ghraib membahas tentang kontroversi dua wajah dari image di koran mengenai teroris Bom Bali dan sipir penjara Abu Ghraib. Kedua objek menunjukkan persamaan dalam image yakni tersenyum, tetapi pemaknaan atas senyuman kedua nya menjadi hal yang sangat berbeda. Penulis pada tulisan ini memakai istilah pengebom (bomber) untuk menyebut Amrozi sebagai tersangka Bom Bali dan penyiksa (torturers) untuk para sipir penjara Abu Ghraib yang menyiksa para tahanan di dalamnya (Anden-Papadopoulos, 2008).

Senyuman seringkali digunakan oleh subjek untuk maksud politis, baik untuk menebar teror ataupun legitimasi posisi kuasa (misal pada foto-foto era kolonial untuk menggambarkan senyum si penjajah pada objek jajahannya). Senyuman tidak bebas makna begitu saja, namun justru menyimpan makna dan berperan sebagai simbol yang implisit atas sebuah makna. Senyuman pada diri Amrozi dilihat sebagai gambaran ketidaktakutan atas perilaku sadis yang diatasnamakan keyakinannya. Sedangkan senyuman para sipir Abu Ghraib yang terlihat bahagia dan puas saat menyiksa para tahanannya dibaca sebagai simbol kegagalan politik Presiden Bush.

Dalam reproduksi nilai dan simbol yang diusung sebuah foto, ideologi menjadi sebuah unsur penting di dalam reproduksi nilai

1 Tema tentang transfer makna foto kepada pihak lain dikaji secara detil oleh David DuChemin dalam Within The Frame The Journey of Photograpic, 2009.

Page 180: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

170

dan simbol. Ideologi merupakan bagian yang menyatu di dalam kedua unsur tersebut. Data dari masing-masing media menunjukkan bahwa setiap media mengusung simbol, dan nilai yang berbeda.

Pada foto 5, 6, dan 7 tampak bahwa dunia politik tidak dapat dipisahkan dari simbol agama. Setiap kandidat meman faatkan simbol-simbol agama dengan cara masing-masing untuk tujuan serupa, yakni meraih kekuasaan. Tidak hanya momentum keagamaan yang dimanfaatkan oleh para kandidat, tetapi juga ketokohan dan simbol-simbol yang dapat mendukung pencitraan kandidat atau mendukung langsung peraihan suara. Namun demikian, Megawati kurang terlibat dalam pemanfaatan simbol-simbol ke agamaan ini yang sekaligus meneguhkan orientasi kandidat yang berbeda dalam karakteristik massa yang menjadi basis kekuatan dan sasaran partai.

Foto 5: “SBY Berdoa” Sumber: Republika (Sabtu, 27 Juni 2009)

Page 181: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

171

Foto 5, SBY berdoa dengan komposisi visual diagonal menunjukkan komposisi foto yang menarik dan dinamis. Foto ini menarik karena diangkat oleh Republika yang dengan terang-terangan menyatakan ideologi mereka adalah Islam modern. Hal ini juga senada dengan foto 6 yang mengangkat gambar JK sedang berdoa yang menunjukkan orientasi nilai yang sama antara SBY dan JK. Foto ini menunjukkan JK menyatu dengan para jamaah dan merupakan pernyataan tentang bagaimana merakyatnya JK dengan rakyat (jamaah).

Foto 6: “JK Membaca Doa” Sumber: Republika (Kamis, 2 Juli 2009)

Foto 6 dengan komposisi gambar 1/3 memperlihatkan JK sedang menengadahkan tangan, berdoa bersama ketua PBNU, Hasyim Muzadi bersama para pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur. Caption yang diberikan secara otomatis ingin memberikan informasi dan membentuk frame berpikir pembaca bahwa JK didukung oleh

Page 182: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

172

massa PBNU atau kaum Nahdiyin. Walaupun JK tampil di tengah dan dengan foreground yang mengaburkan tokoh lain, foto ini mampu mereproduksi nilai kebersamaan dengan ummat Islam dan nilai religiusitas yang sangat selaras dengan konteks sosiologis masyarakat.

Foto 7: “Mega-Prabowo Istigosah” Sumber: Kompas (Kamis, 2 Juli 2009)

Foto 7 ini berbeda dengan foto pasangan SBY dan JK yang riil, dalam arti menampilkan dua kandidat tersebut di tengah kyai di mana mereka berdoa bersama untuk kelancaran kampanye pilpres. Megawati pada foto 7 justru tidak hadir secara riil di antara para kyai dan ulama, namun hanya ada foto dirinya bersama Prabowo yang dipajang sebagai background. Hal itu menunjukkan sebuah konstruksi dramatik spiritual dengan menempatkan momentum keagamaan dalam konfigurasi politik. Gambar Megawati dan Prabowo yang menjadi background bersifat figuratif bagi kehidupan keagamaan yang sedang berlangsung. Foto dalam hal ini telah menangkap suatu reproduksi agama yang seolah-olah kehadiran Megawati dan

Page 183: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

173

Prabowo sebagai calon presiden mendapatkan dukungan dan restu kaum agamawan.

Untuk memahami interpretasi adalah dengan menganggap foto sebagai sebuah metafora yang harus diuraikan (metaphors in need of being deciphered). Metafora visual sendiri memiliki dua level pemaknaan: yang terlihat (shown) dan yang terpendam (implied). Roland Barthes adalah salah satu yang menaruh perhatian khusus pada sistem pemaknaan di dalam foto. Ia menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan: denotasi dan konotasi. Salah satu contoh yang diberikannya adalah mengenai foto bunga di dalam vas. Makna denotasi foto tersebut adalah bahwa ada bunga di dalam vas, sedangkan makna konotasi yakni menyiratkan satu bentuk keindahan, ketenangan, dan keseder hanaan. Model analisis Barthes tersebut juga dapat digunakan dalam semua bentuk foto agar viewers bisa melihat bahwa fotografi adalah sebuah realitas dibandingkan dengan melihat foto sebagai realita (Barrett, 1991: 37-38)

Roland Barthes mengungkapkan bagaimana makna dari foto jurnalistik dipengaruhi oleh berita dan publikasi di sekitarnya, dan hal itulah yang dinamakannya sebagai saluran transmisi (channel of transmission):

As for the channel of transmission, this is the newspaper itself, or more precisely, a complex of concurrent messages with the photograph as the center and surrounds constituted by the text, the caption, the layout and, in a more abstract but in no less informative way, by the very name of the paper (this name represent knowledge they can heavily orientate the reading of the message strictly speaking: a photograph can change its meaning as it passes from the very conservative L’Aurore to the communist L’Humanité) (Barthes, 1977: 21).

Selanjutnya apabila mencermati foto kliping koran di bawah ini juga menunjukkan banyak point yang dapat di bahasa dalam konteks komunikasi politiknya.

Page 184: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

174

Foto 8: “Deklarasi Damai Pilpres”Sumber: Media Indonesia (11 Juni 2009)

Deklarasi Damai yang disepakati menjelang Pemilihan Presiden merupakan suatu komitmen bersama ketiga pasangan calon presiden dalam mencapai suatu praktik politik yang diidealkan. Landasan berpikir gagasan deklarasi damai tersebut dapat dirunut pada fakta-fakta konflik dan berbagai praktik kekerasan yang terjadi pada setiap pemilu di Indonesia. Tidak jarang suatu pemilu menyebabkan korban jiwa akibat bentrok massa pendukung atau akibat ketidakpuasan konstituen atas praktik politik tertentu pada saat kampanye atau bahkan setelah pemilihan berlangsung. Dengan demikian peristiwa dekla rasi atas suatu komitmen mewujudkan damai dalam Pemiihan Presiden 2009 merupakan suatu jawaban atas karakter yang telah menjadi budaya politik di Indonesia.

Page 185: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

175

Dari foto 8 terbaca bahwa, unsur konseptual yang memiliki kedalaman tersendiri dengan muatan-muatan politiknya dalam rangka mencapai puncak ke dalaman arti. Tampak bahwa SBY-Boediono dalam rangka mendapatkan legitimasi, menggan deng tokoh-tokoh lawan politiknya. Tokoh penting dalam partai politik ini tampil secara visual, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, yang menunjukkan bahwa mereka memberi dukungan secara politis pada kedua tokoh tersebut. Hal ini terlihat dari background foto yang berupa poster pasangan SBY-Boediono.

Foreground yang menunjukkan partisipasi para undang an yang hadir turut mendukung deklarasi damai kandidat presi den tersebut. Jika dipandang dengan kacamata Desmon Morris ten tang gesture, menunjukkan ketiga kandidat tersebut melaku kan suatu tindakan (action) untuk mengirim sinyal visual tertentu kepada konstituen untuk suatu penerimaan seperti yang diingin kan kandidat (Morris, 1977:24).

Apabila dilihat lebih lanjut, foto di atas juga bisa dikate gorikan sebagai sebuah performance, di mana foto dianggap me miliki sebuah hubungan dengan viewer dan objek sosial yang aktif.

“Photographs have performativity, an affective tone, a relationship with the viewer, a phenomenology, not of content as such, but active social objects. As I have suggested thought the idea of social biography, performativity is more than passive images being read in different contexts. Although that is obvisiously part of the question, the heuristic device of performativity makes it possible to see image as active, as the past is projected actively into the present by the nature of the photograph itself and the act of looking at a photograph” (Edward, 2001:18).

Performativitas para kandidat yang mengangkat tangan ber-sama-sama di gambar tersebut adalah bagian dari social drama yang menitikberatkan pada pemaknaan bahwa rivalitas tidak selamanya harus dibungkus dengan ekstrim. Rivalitas para kan didat presiden

Page 186: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

176

seolah dikaburkan dengan tangan yang saling menggenggam, sehingga memberi kesan pada publik bahwa mereka semua adalah kandidat yang santun dan saling meng hargai satu dengan lainnya, berjabat erat menunjukkan kebersa maan dan kesolidan. Dengan demikian, foto tersebut berperan aktif dalam menyuarakan sebuah pesan (dalam hal ini adalah pesan tentang saling menghargai walaupun mereka adalah rival politik).

Pengiriman pesan melalui foto akan mempengaruhi proses pembuatan makna, sehingga apa yang direpresentasikan kepada pembaca melalui media adalah makna-makna mengenai dunia politik, dan cara-cara memahami dunia politik. Tindakan mengi-rimkan pesan kepada pihak lain disebut dengan gesture. Untuk bisa dikatakan sebagai sebuah gesture, suatu tindakan harus terlihat oleh orang lain dan mengirimkan sebuah pesan atau informasi tertentu. Yang terpenting dalam sebuah gesture bukanlah pesan apa yang dikirimkan, namun justru pesan apa yang diterima oleh orang lain yang melihatnya (Morris, 1977:24). Seringkali representasi yang dilakukan oleh media kemudian dijadi kan satu pemaknaan yang benar dan alami, seperti yang dapat terlihat pada skema di bawah ini:

13

Pengiriman pesan melalui foto akan mempengaruhi proses pembuatan makna, sehingga apa yang direpresentasikan kepada pembaca melalui media adalah makna-makna mengenai dunia politik, dan cara-cara memahami dunia politik. Tindakan mengirimkan pesan kepada pihak lain disebut dengan gesture. Untuk bisa dikatakan sebagai sebuah gesture, suatu tindakan harus terlihat oleh orang lain dan mengirimkan sebuah pesan atau informasi tertentu. Yang terpenting dalam sebuah gesture bukanlah pesan apa yang dikirimkan, namun justru pesan apa yang diterima oleh orang lain yang melihatnya (Morris, 1977:24). Seringkali representasi yang dilakukan oleh media kemudian dijadikan satu pemaknaan yang benar dan alami, seperti yang dapat terlihat pada skema di bawah ini:

Skema 1: Dimensi Makna Foto Konsep pemikiran tersebut digunakan oleh media dalam rangka

mengkonstruksikan realitas politik dalam sebuah foto yang di dalamnya terjadi reproduksi ideologi, nilai dan simbol yang secara sadar atau tidak sadar, langsung maupun tidak langsung termuat dalam visualisasi foto tersebut. Representasi mewujud dalam sebuah penampilan dan perilaku, di mana makna menjadi ada karena perwujudan dari penamilan, perilaku dan pengaruh dari kekuasaan dan mitos-mitos. Secara lebih jelas, dapat terlihat dalam visualisasi skema 1.

Pemahaman lebih lanjut lagi dapat dilihat dengan pertimbangan artistik, dimensi

kedalaman makna dari sebuah foto tersebut merupakan sebuah social drama yang dilihat secara konseptual. Victor Burgin menjelaskan bahwa sebuah foto merekam proses perubahan sosial yang terjadi. Saat pertama muncul di abad ke-19, foto merekam realita yang ada, kemudian berkembang menjadi ekspresi individu, dan saat ini foto dianggap sebagai sebuah „rekaman realita yang dipantulkan lewat sensitivitas fotografer‟, sebagaimana dijelaskan Burgin berikut ini:

When photography first emerged into the context of nineteenth-century aesthetics, it was initially taken to be an automatic record of reality; then it was contested that it was the expression of an individual; then it was considered to be „a record of a reality refracted through a sensibility‟ (Burgin, 1986:46).

Foto yang dimuat oleh Media Indonesia di atas secara kontekstual merupakan realitas politik yang berupa kampanye pemilihan presiden. Muatan konseptualnya sangat kuat, terlihat bahwa seorang fotografer media tersebut, mampu mengangkat realitas politik yang sesungguhnya yang adaptif direfleksikan ke dalam dirinya sehingga

Representasi

Penampilan Perilaku

Mitos-mitos Kekuasaan

Makna

Skema 1: Dimensi Makna Foto

Konsep pemikiran tersebut digunakan oleh media dalam rangka mengkonstruksikan realitas politik dalam sebuah foto yang di da-lamnya terjadi reproduksi ideologi, nilai dan simbol yang secara

Page 187: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

177

sadar atau tidak sadar, langsung maupun tidak langsung termuat dalam visualisasi foto tersebut. Representasi mewujud dalam sebuah penampilan dan perilaku, di mana makna menjadi ada karena perwujudan dari penamilan, perilaku dan pengaruh dari kekuasaan dan mitos-mitos. Secara lebih jelas, dapat terlihat dalam visualisasi skema 1.

Pemahaman lebih lanjut lagi dapat dilihat dengan pertimbangan artistik, dimensi kedalaman makna dari sebuah foto tersebut merupakan sebuah social drama yang dilihat secara konseptual. Victor Burgin men jelaskan bahwa sebuah foto merekam proses perubahan sosial yang terjadi. Saat pertama muncul di abad ke-19, foto merekam realita yang ada, kemudian berkembang menjadi ekspresi individu, dan saat ini foto dianggap sebagai sebuah ‘rekaman realita yang dipantulkan lewat sensitivitas fotografer’, sebagaimana dijelas kan Burgin berikut ini:

When photography first emerged into the context of nineteenth-century aesthetics, it was initially taken to be an automatic record of reality; then it was contested that it was the expression of an individual; then it was considered to be ‘a record of a reality refracted through a sensibility’ (Burgin, 1986:46).

Foto yang dimuat oleh Media Indonesia di atas secara kontekstual merupakan realitas politik yang berupa kampanye pemilihan presiden. Muatan konseptualnya sangat kuat, terlihat bahwa se orang fotografer media tersebut, mampu mengangkat realitas politik yang sesungguhnya yang adaptif direfleksikan ke dalam dirinya sehingga ia memberikan kesan bahwa kandidat presiden di atas tidak damai. Dengan pernyataannya yang berbu nyi bahwa deklarasi damai menunjukkan sebelumnya mereka tidak damai dalam kompetisi memenangkan kursi pre siden tersebut. Pernyataan ini menunjukkan bahwa media tampak “menghegemoni” pembaca dengan bahasa verbal yang diugkapkan dalam judul foto tersebut.

Page 188: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

178

Penutup

Pemilihan Umum sebagai proses politik bukanlah hal yang baru dalam sejarah negara bangsa Indonesia, karena sejak kemer dekaan telah berlangsung pemilihan umum paling tidak sebanyak sembilan kali dari 1955 hingga 2009. Dinamika politik dalam pemilu tersebut memperlihatkan bagaimana proses demokrasi berlangsung yang memberi tanda penting bagi transformasi politik nasional, terutama ketika perubahan dari multipartai mengalami penggabungan ke dalam tiga partai. Baru kemudian setelah tiga puluh tahun lebih kecenderungan monopolitik bergeser pada era reformasi dengan munculya empat puluh delapan partai pada pemilu 1999.

Perubahan selanjutnya yang mencolok adalah terlibatnya media sebagai bagian dari mesin kampanye politik, khususnya ketika media, dalam hal ini koran, tidak hanya memberitakan proses dan keadaan politik, tetapi juga memiliki pemihakan-pemihakan akibat kedudukan media yang memang memiliki identitas dan orientasi yang relatif jelas. Suatu surat kabar dibangun oleh kelompok nasionalis, yang lain dibangun atas dasar agama, atau atas dasar orientasi politik tertentu. Orientasi dan kecenderungan tersebut sangat menentukan sikap yang diambil oleh suatu media untuk melansir sebuah foto dalam tiap terbitannya.

Kecenderungan pemanfaatan media oleh partai-partai politik atau tokoh-tokoh politik dalam rangka pemenangan suatu pemi lihan ditentukan oleh perubahan sistem politik yang bersifat desentralistik yang karenanya dibutuhkan satu mode komunikasi yang lebih penetratif dengan masyarakat. Pemanfaatan media untuk tujuan-tujuan politik kemudian melahirkan dilema-dilema tersen diri. Di satu sisi terbina satu jalinan kerjasama antara media dengan negara dan pasar karena proses politik tidak hanya merupakan sebuah kegiatan negara tetapi juga merupakan ke giatan yang melibatkan stakeholders, seperti pasar dengan orientasi komersialnya.

Page 189: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

179

Dalam proses semacam ini tampak bahwa idealisme media dengan segala pilihan nilainya mulai luntur. Media tidak bisa mengisolasi dirinya dari perkembangan-perkem bangan kapitalisme yang berlangsung di Indonesia di mana tan tangan media untuk survive menjadi semakin besar. Dalam kon teks semacam ini, tidak jarang terjadi, bahwa media menjadi “alat” pro paganda politik tokoh-tokoh dan partai-partai politik. Fungsi edukasi publik seringkali terabaikan dalam peran media terhadap kelembagaan pers dan masyarakat. Yang mana realitas politik bersifat mengakar dalam konteks sosiologis masyarakat. Efektivitas komunikasi dengan publik yang teridentifikasi melalui identitas nilai dan simbolik tertentun mampu mengingatkan publik pada ikatan-ikatan kultural yang dihadirkan kembali untuk kepenting ekonomi politik.

Dalam pemilihan presiden 2009, foto jurnalistik telah di man-faatkan secara intensif oleh ketiga calon presiden dan wakil presiden. Foto-foto calon tidak hanya ditampilkan apa adanya dalam surat kabar, tetapi juga dikomposisikan sesuai dengan tujuan dan citra yang ingin dibangun atas kehadiran suatu tokoh. Dalam berbagai foto tampak bahwa usaha mencapai tujuan-tujuan politik cenderung dilakukan dengan memanfaatkan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh publik, seperti simbol agama, etnis, dan kelas sosial. Pemanfaatan simbol semacam ini tidak jarang meninggalkan biaya sosial budaya yang besar karena perbedaan kebudayaan, sebagaimana tampak dalam agama, etnis dan kelas sosial, menjadi semakin tegas yang tidak produktif bagi cita-cita membangun masyarakat yang damai.

Estetika foto jurnalistik yang terekam lewat foto jurnalistik kampanye pemilihan presiden tidak hanya berada dalam ruang yang kosong, tetapi ada dalam beberapa kepentingan. Estetika yang ada di sana juga menunjukkan hubungan yang erat antara estetika seni pertunjukan, fotografi, dan social drama kampanye yang dikemas lewat foto yang termuat di koran. Performance dalam hal ini dikaitkan dengan perspekstif politik yang berhubungan erat dengan

Page 190: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

180

kekuasaan. Kampanye pemilihan presiden sebagai sebuah realitas sosial yang mewujud dalam social drama merupakan sebuah bentuk performance. Realitas tersebut mengalami transformasi tingkat pertama yang mewujud dalam sebuah performance. Kemudian, performance tersebut mengalami transfor masi tingkat kedua dan mewujud dalam karya sebuah foto. Ada transformasi realitas ke dalam sebuah performance atau social drama yang kemudian mengalami transformasi pada tingkat selanjutnya dalam bingkai foto.

Kajian performance dalam foto jurnalistik berkaitan erat dengan kekuasaan dan politik, yaitu: pertama, bagaimana performance mereproduksi, mengkritik, dan menetralkan ideologi. Setiap foto merupakan gambaran tentang bagaimana kekuasaan hadir dalam bentuk-bentuk yang semakin berkembang dari waktu ke waktu yang didasarkan pada keyakinan tertentu. Kedua, bagaimana performance secara simultan mereproduksi, mere sistensi, dan menolak hegemoni. Performance hampir selalu bercerita tentang hubungan antar aktor yang terlibat yang memperlihatkan derajad otonomi berbagai pihak. Ketiga, menyangkut hubungan performance dengan dominasi yakni menyangkut bagaimana performance mampu meng akomodasi dan mengkontestasi dominasi.

Page 191: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

181

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adatto, Kiku. 2008. Picture Perfect: Life in Age of the Photo Op. Princeton: Princeton University Press.

Althusser, Louis. 1993. Essays on Ideology. London: Verso.

Anden-Papadopoulos, Kari. 2008. “The Abu Ghraib Forture Photographs: News Frames, Visual Culture, and The Power of Images”, Journalism Vol. 9(1): 5-30.

Barnard, Malcolm. 2001. Approaches to Understanding Visual Culture. New York: Palgrave.

Barret, Terry. 1991. Criticizing Photographs, an Introduction to Understanding Images. California: Mayfield Publishing Company.

Barthes, Roland. 1977. “The Photographic Message”. Image, Music Text. New York: Hill & Wang.

Berger, John. 1991. About Looking. New York: Vintage Inter national.

______. 2008. Ways of Seeing. England: Penguin Books.

Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality. England: Penguin Books.

Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism; Sociology; Addresses, Essays, Lectures; Methodology. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall

Bourdieu, Pierre (ed.). 1995. Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 192: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

182

Burgin, Victor. 1987. “Something About Photography Theory”, The New Art History Atlantic Atlantic Highlands Humanities Press International.

Collier, John JR. 1967. Visual Anthropology: Photography As a Research Method. United Stated of America: Holt,Rinehart and Winston.

Conners , Joan L. 2005. Visual Representation of the 2004 Presidential Campaign : Political Cartoons and Popular Culture References. American Behavioral Scientist.

Dewdney, Andrew dan Ride, Piter. 2006. The New Media Handbook. Oxon: Routledge.

Doy, Gen. 2005. Picturing The Self Changing views of The Subject in Visual Culture. New York: I.B Tauris.

DuChemin, David. 2009. Within The Frame The Journey Of Photograpic Vision. Berkeley: New Riders.

Edward, Elizabeth. 2001. Raw Histories: Photograph, Antropologi & Musium Introduction, Observation from The Case Face. Oxford, England: Berg.

Elikins, James (ed.). 2007. Photography Theory. New York: Routledge.

Eriyanto. 2007. Analisis Framing. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

______. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Foucault, Michel. 1990. Power and Knowledge. New York: Phanteon.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays By Clifford Geertz. New York: Basic Books.

Giddens, Anthony. 1997. Introduction to Sociology. W. W. Norton & Company, Incorporated.

Page 193: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

183

Golosov, Grigorii. 2003. Political Parties in the Regions of Russia: Democracy Unclaimed. Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc.

Goffman, Irving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday.

Grenfell, Michael dan Cheryl Hardy. 2007. Art Rules: Pierre Bourdieu and The Visual Arts. New York: BERG.

Grimshaw, Anna dan Amanda Ravetz. 2005. Visualizing Anthropology. United Kingdom: New Media Intellect.

Gurevitch dan Blumer. 1990. "Comparative Research: The Extending Frontier" in Swanson and Nummo (ed.) New Directions in Political Communication: A Resource Book. Newbury Park: Sage.

Gurevitch, Michael., Tony Bennett., James Curran dan Janet Woollacott. 2005. Culture, Society and the Media. London: Routledge.

Hall, Stuart. 1982. The rediscovery of Ideology: Return of the repressed in media studies. Dalam M. Gurevitch, T. Bennet, J. Curran, & J. Woollacott (eds.), Culture, society and media (pp. 56-90). London and New York : Routledge.

___________. 2006. “Encoding/Decoding” dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (ed.), Media and Cultural Studies, Oxford: Blackwell Publishing.

Harker, Richard (ed.). 2009. Habitus X Modal + Ranah = Praktik , Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bordieu. Yogyakarta: Jalasutra.

Jenks, Chris (ed.). 1993. Cultural Reproduction. London: Routledge.

______. 1995. Visual Culture. London: Routledge.

Jeffrey, Ian. 2008. How To Read a Photogragraph Lessons From Master Photographers.New York: Harry n Abrams, inc.

Page 194: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

184

Jorgensen, Wahl dan Thomas Hanitzsch (ed.). 2009. The Handbook of Journalism Studies. New York: Routledge.

Kathy, Kubicki., Alison Nordstrom dan Val Williamds (ed.). 2008. Photography & Culture. UK: BERG.

Kellner, Douglas dan Meenakshi Gigi Durham (ed.). 2006. Media and Cultural Studies. USA: Blackwell Publishing.

Kernodle, George R. 1967. Invitation to the Theater. New York: Harcourt, Brace & Wirld, inc.

Megawati. 2008. "Jual Citra Terus Lama-lama Capek Lho: Megawati berjanji menampilkan diri apa adanya dalam kampanye pemilihan Presiden 2009”. Rabu, 12 November 2008, 13:12 WIB. Viva News.

Mirzoeff, Nicholas. 1999. An Introduction to Visual Culture. London: Routledge.

Moran, Joe. 2005. Reading The Everyday. New York: Routledge.

Morris, Desmond. 1977. Manwatching: Afield Guide to Human Behavior. New York. Harry N. Abrahams,Inc.

Nesbitt-Larking, Paul W. 2006. Politics, Society, and the Media. Canada: Broadview Press

Peres, R. Michael. 2008. The Concise Focal Encyclopedia of Photography. United Kingdom: Focal Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra.

Rampley, Metthew (ed.). 2005. Exploring Visual Culture Definitions, Concepts, Contexts. Edinburgh: Edinburgh University press.

Ritchin, Fred. 2009. After Photography. New York: W.W Norton & Company.

Page 195: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

185

Schechner, Richard. 2003. Performance Studies : An Introduction. London : Routledge.

______. 2003. Performance Theory. London: Routledge.

Schwartz, M Joan dan Ryan R James (ed.). 2006. Picturing Photography and The Geographical Imagination Place. New York: I.B Tauris.

Shepherd, Simon dan Wallis, Mick. 2004. Drama/Theatre/ Performance. Oxfordshire: Routledge.

Sontag, Susan. 1977. On Photography. England: Penguin Books.

Svasek, Maruska. 2007. Antropology, Art and Cultural Production. London: Pluto Press.

Van Dijk, Teun A. 2009. ‘News, Discourse, and Ideology’. Dalam The Handbook of Journalism Studies. Karin Wahl-Jorgensen (eds). New York & London: Routledge.

Woollacott, J. 1982. Messages and meanings. In M. Gurevitch, T. Bennet, J. Curran, & J. Woollacott (eds.), Culture, Society and the Media (pp. 91-111). New York: Routledge.

Yuniar, Ririt. 2009. “Representasi foto jurnalistik kampanye Pilpres 2009”, dalam Irwan Abdullah et al. (ed), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: TICI Publications & Pustaka Pelajar.

______. 2009. “Otentisitas dan Manipulasi dalam Dunia Fotografi: Suatu Analisis Ruang dan Waktu”, dalam Timbul Haryono (ed.), Seni dalam Bentuk, Ruang dan Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Zachmann, Gayle. 2008. Frameworks for Mallarme the Photo and the Graphic of an Interdisciplinary Aesthetic. New York: State University of New York Press.

Page 196: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

186

Page 197: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

187

Sejarah Singkat

The Political Literacy Institute (The Policy) didirikan pada 12 Desember 2008 oleh sekelompok aktivis muda, intelektual dan jurnalis progresif. Lembaga ini merupakan sebuah lembaga independen, non-partisan, dan nirlaba yang didanai utamanya melalui dana hibah dan sumbangan-sumbangan tidak mengikat dari berbagai pihak. Namun baru pada tgl 29 Mei 2009 resmi tercatat dalam akte notaris No.64 Tahun 2009 di kantor notaris Haryanto, SH.

Visi dan Misi

Visi lembaga ini berupaya membangun kesadaran politik rasional warga masyarakat berbasis pengetahuan dan kemampuan politik serta mendorong munculnya partisipasi politik individual maupun komunal yang kritis dengan kematangan intelektual, moral, organisasional maupun sosial, sehingga bisa memperkuat proses civil society di Indonesia.

SEKILAS

THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE

Page 198: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

188

Adapun misi yang hendak diperjuangkan oleh The Political Literacy Institute adalah:

Memfasilitasi adanya penguatan dan pemberdayaan pengetahuan politik warga negara di Indonesia melalui pendidikan politik yang berkelanjutan

Mengkampanyekan pentingya literasi politik bagi warga negara di berbagai komunitas dan daerah

Konsern pada isu-isu strategis terkait dengan hak-hak politik warga negara dan berbagai kebijakan publik (public policy) di tingkatan diskursus, riset maupun publikasi

Menjadi mitra strategis masyarakat akademis, masyarakat umum, instansi pemerintah, funding dan institusi terkait lainnya dalam bidang kajian, riset dan publikasi komunikasi beserta varian aplikasinya

Nilai Kelembagaan

The Political Literacy Institute merupakan komunitas independen yang menghargai dan menghormati pluralisme, kritisisme serta cara pandang dan sikap politik yang didasari rasionalitas. Kegiatannya didorong oleh sebuah pengertian bahwa Indonesia membutuhkan pendidikan politik berkelanjutan, informasi yang kredibel, riset serta kajian yang mendalam guna memperbaiki dan memberdayakan hak-hak politik warga negara terkait dengan posisinya di dalam sistem politik. The Political Literacy Institute berusaha dengan keras untuk menjaga integritas moral, intelektual, organisasional maupun sosial dalam menjaga setiap karya sehingga dapat mendedikasikan persembahan karya nyata bagi kemajuan dan kuatnya civil society di Indonesia.

Page 199: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

189

Departemen

Untuk mewujudkan program-program nyata di masyarakat, The Political Literacy Institute membagi bidang kerjanya menjadi empat departemen:

Political Empowerment Department

Departemen ini fokus pada program-program pemberdayaan politik di level general public, the attentive public maupun the leadership public. Terutama lagi fokus pada pemberdayaan pemilih pemula, politik perempuan dan public policy melalui proses pendidikan politik yang bekerjasama dengan pemerintah, swasta, akademisi maupun masyarakat umum. Di antara programnya adalah : workshop, regular pendidikan politik, roundtable, semi nar, lokakarya dll.

Research and Program Development Department

Fokusnya pada berbagai penelitian terkait dengan banyak fenomena sosial politik yang terjadi terutama di Indonesia. Misalnya, pooling atau survey opini publik, riset lapangan, field research dll. Selain itu juga fokus dalam menggodok berbagai konsep dan program yang akan menjadi out put dari kinerja the policy. Misalnya membuat naskah akademik usulan public policy, sikap resmi lembaga, tawaran negosiasi dan partnership dengan pihak lain.

Media Monitoring Department

Fokus pada pengamatan berbagai isu, kebijakan dan problem yang diangkat dalam media massa. Melalui berbagai pendekatan analisis teks media seperti content analysis, framing analiysis, discourse analysis dll. Memanfaatkan berbagai saluran dan memberikan kompetensi nyata dalam media untuk kampanye literasi politik. Mengatur proses dan prosedur hubungan dengan

Page 200: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

190

media serta memanfaatkan berbagai isu yang berkembang di media tersebut dalam konteks pemberdayaan masyarakat

Advocacy Department

Dalam hal ini The policy akan fokus pada dua jenis advokasi yakni advokasi litigasi dan non litigasi. Upaya ini didedikasikan untuk mendorong kritisisme, keberanian dan upaya strategis mendorong peran serta masyarakat dalam membangun situasi keteraturan terutama menyangkut hak-hak politiknya sebagai warga negara.

Struktur Kepengurusan

Adapun Struktur Kepengurusan The Political Literacy adalah sebagai berikut:

Dewan Penasehat :

Prof. Andi Faisal Bakti, MA. Ph.D

Prof.Dr. Ibnu Hamad, M.Si

Dewan Eksekutif:

Direktur Eksekutif : Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si

Deputi Direktur Bid. Research & Program : Ambang Priyonggo, MA

Deputi Direktur Bid. Monitoring Media : Nur Budi Haryanto, M.Si

Deputi Direktur Bid. Political Empowerment : Dr. Iding R Hasan, M.Si

Deputi Direktur Bid. Advocacy : Maimun Wahid, M.Si

Page 201: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

191

Expert Associate

Expert Associate Coordinator : Adi Prayitno, M.Si

Expert Associate Bidang Ekonomi : Dr. Amilin, SE, M.Si Ak

Expert Associate Bidang Media : Drs. Nanang Syaikhu

Expert Associte Bidang Politik dan Sosial : Teresia Pardede, M.Si

Expert Associate Bidang Komunikasi : Zulham, M.Si

Staf:

Staf Literasi Politik Buruh Migran : Ana Sabhana Azmy, M.Si

Staf Literasi Informasi : Alfiyyatur Rohmah, S.Sos.I

Staf Pemberdayaan Mahasiswa dan Pemuda : Adi Prayitno, M.Si

Staf Bidang Komunikasi Politik : Muhamad Rosit, M.Si

Staf Bidang Media dan Hubungan Eksternal : Dirga Maulana

Staf Bidang Publishing : Shulhan Rumaru, S.Sos.I

Staf Bidang Public Relations : Jamila Cathelya, S.Sos

Staf Bidang Inisiasi Program Lapangan : Willy Hendratmo Rahim, S.Sos Rhein Valeno, S.Sos

Page 202: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

192

Alamat dan Kontak

Alamat The Political Literacy di: Komplek Mega Mall Ciputat Blok D/6 Lantai 2, Ciputat Tangerang Selatan. Tlp/Fax. (021) 7429810.Mobile. 081314272883. Email: [email protected].

Page 203: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

193

PROFILE PENULIS

ANDI FAISAL BAKTI Adalah Ketua Dewan Penasehat The Political Literacy Institute. Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Pancasila, Jakarta. Menyelesaikan program doktornya di Universite du Quebec a Montreal, Concordia University and Universite de Montreal dengan disertasi

tentang International Communication and Development Studies. Program Masternya ditempuh di McGill University. Pengalamannya sebagai akademisi terbentang luas di dunia internasional. Pernah menjadi research fellow di the Oxford Centre for Islamic Studies di the United Kingdom, research fellow di KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) dan sempat aktif di the Canadian Consortium on Asia Pacific Security (CANCAPS). Dan pernah menjadi asisten profesor di Department of Pacific and Asian Studies, University of Victoria (Canada). Fokus studi dan risetnya sangat terkait dengan isu-isu komunikasi antar budaya, komunikasi internasional, good governance, civil society, desentralisasi terutama yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.

GUN GUN HERYANTO, Lahir di Cianjur 12 Agustus 1976 dan kini menetap di Jakarta. Dosen tetap matakuliah Komunikasi Politik di FIDKOM UIN Jakarta. Selain itu, juga mengajar Komunikasi Politik di Paramadina Graduate School of Communication (2015-sekarang), Pascasarjana Komunikasi Politik

Page 204: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

194

Universitas Muhammadiyah Jakarta (2014-sekarang), Pascasarjana Komunikasi Universitas Mercubuana (2015-sekarang), dan Universitas Multimedia Nusantara (2013-sekarang). Pendidikan terakhir penulis di Program Doktor Komunikasi Politik UNPAD Bandung (2008-2013) dengan disertasi soal: Konvergensi Simbolik dalam Komunikasi Politik di Era Pemerintahan SBY-Boediono dalam Kasus Century di Situs Jejaring Sosial dan Weblog Interaktif. Studi S-2 diselesaikan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI (2001-2003) dengan tesis soal Ekonomi-Politik Lembaga Penyiaran Publik, sementara studi S-1 diraihnya di UIN Yogya (1995-2000) dengan skripsi soal Komunikasi Politik Partai-Partai Islam di Pemilu 1999. Pernah mengambil pendidikan profesional di Georg-August Universitat, Jerman soal Media and Politic (2010) dan di Max Planck Institute, Jerman soal Metodologi Penelitian Sosial (2010) dan New Public Sphere di Western Sydney University, Australia (2014).

Penulis saat ini dipercaya menjadi Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute di Jakarta, lembaga yang mengampanyekan pengarus-utamaan literasi politik terutama di kalangan kaum muda. Aktif juga seba gai Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Peri-ode 2013-2017. Diberi amanah sebagai Board of Advisor, Global Indone-sian Voices (GIV) di Singapura. Pernah menjadi Tim Pakar Penyusunan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) untuk Program Pemilu 2014. Menjadi salah satu juri pemilihan People of The Year (POTY) Koran Sindo tahun 2014. Sejumlah forum telah diikuti penulis baik sebagai pem-bicara, moderator maupun partisipan di dalam maupun luar negeri.

Kolumnis di berbagai media massa nasional maupun lokal berkenaan dengan isu politik, komunikasi politik dan komunikasi massa. Diantaranya, di KOMPAS, The Jakarta Post, Koran Sindo, Koran Jakarta, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Harian Pelita, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Sindo Weekly, The Geo TIME, Majalah Parlemen dll. Menulis sejumlah jurnal Ilmiah antaralain; Jurnal Komunika (Purwekerto), Jurnal Commline (Jakarta), Jurnal Narasi (Jakarta), Jurnal Kajian Kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/PTIK (Jakarta), Journal Tazkiya of Psychology dan sejumlah jurnal lainnya. Selain

Page 205: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

195

juga aktif menjadi narasumber di sejumlah program televisi seperti di MetroTV, tvOne, Trans7, BeritasatuTV, KOMPASTV, NETTV, INewsTV, MNC News, GlobalTV, TVRI, Elshinta, KBR68H, RRI dan PRFM.

Pernah menerbitkan buku: Sepuluh Tokoh Transformatif Indonesia (Penerbit Erlangga, 2015), Komunikasi Politik Sebuah Pengantar (PT. Ghalia Indonesia, 2013), Public Relations Politik (PT. Ghalia Indonesia, 2012), Komunikasi Politik (Lemlit UIN Jakarta 2011), Dinamika Komunikasi Politik, (PT. Lasswell Visitama, 2011), Studi Pada Pemberitaan Kasus Century: Sebelum dan Sesudah Paripuran (Lemlit UIN Jakarta, 2011), Komunikasi Politik di Era Industri Citra (PT. Lasswell Visitama, 2010). Menjadi kontributor pada penulisan buku Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, (Churia Press, 2012). Editor dalam publikasi buku NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, PT. Mitra Cendikia (2005) serta editor buku Menabur Inklusivisme Mengubur Ekslusivisme, PT. Mitra Cendikia (2005). Alamat email penulis: [email protected] dan akun Twitter di: @goenheryanto. Bisa dihubungi di No HP. 081314272883 dan tulisan-tulisannya bisa diakses di www.gungunheryanto.com.

NUR BUDI HARIYANTO, lahir di Gunung kidul, Jogjakarta 6 Juni 1974. Deputi Direktur Bidang Monitoring Media The Political Literacy Institute. Alumnus Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI) dengan tesis yang fokus pada bidang komunikasi politik. Penulis merupakan

jurnalis senior pada Harian Jawa Pos (1999-2005). Saat menjadi jurnalis di Jawa Pos, dia ditempatkan di desk ekonomi dan politik. Di Era kekuasaan Megawati Soekarnoputri dia bertugas menjadi jurnalis politik yang ngepos di Istana Kepresidenan. Karirnya meningkat menjadi redaktur saat pindah ke Harian Seputar Indonesia (Sindo) pada rentang 2005-2008. Mulai tahun 2006 hingga kini menjadi tenaga ahli pada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Page 206: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

196

ADI PRAYITNO Lahir di Sumenep, Madura 20 Agustus 1982. Meraih gelar S-1 bidang Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2007). Aktivis muda The Political Literacy Institute ini, kini penulis sedang menyelesaikan Program Magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Sejak menjadi

mahasiswa, dia aktif di sejumlah lembaga kemahasiswa an antara lain Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI). Pernah menjadi Ketua HMI Cabang Ciputat, mantan pengurus BEM UIN Syarif Hidayatullah dan turut menginisiasi kelahiran Laboratorium Politik Islam pada tahun 2005. Adi pernah menjadi Sekjen Gerakan Mahasiswa untuk Hak Asasi Manusia pada tahun 2004 dan sempat bergabung dengan Lingkar Madani (LIMA). Dan kini diamanahi menjadi Sekjend Himpunan Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. Kini, Adi menjadi dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga menulis di sejumlah media nasional. Buku yang telah lahir dari semangat dan produktivitasnya adalah Politik Akomodasi Islam yang diterbitkan oleh UIN Press.

Donie Kadewandana Malik, lahir di Jakarta, 23 Agustus 1984. Research fellow pada SYLFF Tokyo Foundation, serta pengajar di Universitas Pancasila, Jakarta. Menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan S2 di Departemen Imu Politik FISIP Universitas Indonesia. Bidang kajian dan

penelitan yang digeluti: Filsafat Politik dan Pancasila, Demokrasi, Partai Politik, Pemilu, dan Komunikasi Politik. Selain itu, aktivitas reflektif lainnya menekuni kajian Filsafat Timur. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, baik nasional maupun lokal. Ia juga menulis di beberapa jurnal nasional. Buku yang sudah diterbitkannya yaitu PDI Perjuangan dan Islam: Nasionalisme-Islam dalam Bingkai Media (2016). Dalam waktu dekat akan terbit juga buku keduanya, Pergulatan Partai Politik Islam dan Pemilu (1955-2014). Kontak pribadi: [email protected]

Page 207: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

197

Gana Buana, Lahir di Bekasi. Gana menyelesaikan S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sambil studi, Gana menjadi asisten dosen, mata kuliah Komunikasi Politik dan Sosiologi Komunikasi Massa. Kini, Gana menjadi wartawan Media Indonesia.

Beberapa tulisannya dimuat di Harian Seputar Indonesia dan Suara Tangsel.

DIANA ANGGRAENI adalah Dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila. Saat ini diamanahi sebagai ketua Ventura di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila. Pendidikan S1 ditempuh di Ilmu Politik Universitas Nasional, dan Program Magisternya ditempuh di

Magister Manajemen Universitas Mercubuana dan Magister Ilmu Komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Penulis aktif melakukan pengabdian masyarakat yang relevan dengan kompetensinya. Emailnya: [email protected] dan Hp. 08128622703

Ririt Yuniar, lahir di Malang. Pendidikan S1 di-tempuh di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 2003. Setelah menye-lesaikan S1 ia mengambil Program Pengkajian Seni Pertunjukkan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) 2004-2006 dengan predikat Cumlaude. Tahun 2008 melanjutkan S3 Program Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM).

Di tengah aktivitas yang padat menjadi Juri Foto dan pembicara di berbagai seminar, ia juga menulis beberapa karya, antara lain: Buku The

Page 208: dosen.univpancasila.ac.iddosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...iii KATA PENGANTAR Oleh Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila dan

198

Politics of Opening Ceremony: Tukang Becak dan Cermin Kehidupan (2008), Fotografi, Budaya Visual dalam Panggung Politik dalam Dinamika Kebidayaan (2009), dan Otentisitas dan manipulasi di dunia fotografi’, dalam seni dalam Dimensi Ruang dan Waktu (2009), Budaya Visual dalam Perspektif HAM (2009), Budaya Visual, Politik, dan Dinamika Lokal (2009), Makalah dalam Konverensi Internasional,”Media dan Terorisme”, di Universitas TajungPura Pontianak (2010), Makalah Kuliah Metodologi Penulisan di Sekolah Tinggi Pastoral Pontianak (2010). International Converance “Globatization of Media and the Making of Multiculturalism di UNS-Hotel Sultan Solo (2010). Kini, Ririt tercatat sebagai Dosen Tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Jakarta.

PROFILE EDITOR:

MUHAMAD ROSIT, Lahir di Sragen 2 Februari 1983, Meraih gelar S-1 di Jurusan Komunikasi & Peny Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2007). Program Megister ditempuh di Manajemen Komunikasi Politik FISIP di Universitas Indonesia (UI) Jakarta (2012). Dia adalah dosen di Fakultas Komunikasi Universitas

Pancasila (UP), Universitas Mercu Buana (UMB) dan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Mengajar mata kuliah Komunikasi Politik, Public Relations Politik, dan Marketing Politik. Sebagai editor beberapa buku, antara lain, Public Relations Politik (Bogor, Ghalia, 2011), Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi (Jakarta, Churia, 2012), Literasi Politik Politik dan Pelembagaan Pemilu (Jakarta, Fikom UP Press, 2016) serta Literasi Politik dan Kampanye Pemilu (Jakarta, Fikom UP Press, 2017). Pernah sebagai konsultan kajian keberimbangan media di Biro Humas dan Protokol Pemprov Banten (2011). Aktivitas selain mengajar, sebagai Peneliti di The Political Literacy Institute bidang Komunikasi Politik.