Upload
rakasiwi-galih
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
1/9
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
2/9
ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini, serta ada
beberapa stigma mengenai gangguan jiwa ini (Hawari,2001).
Penanganan gangguan jiwa harus dilakukan secara komprehensif melalui
multi-pendekatan, khususnya pendekatan keluarga dan pendekatan petugas kesehatan
secara langsung dengan penderita, seperti bina suasana, pemberdayaan penderita
gangguan jiwa dan pendampingan penderita gangguan jiwa agar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang terus-menerus. Penanggulangan masalah gangguan jiwa
terkendala karena adanya kesulitan dalam mendiagnosis gangguan jiwa. Hal ini
berpengaruh dalam sistem pencatatan dan pelaporan, padahal informasi seperti ini
sangat penting untuk mengetahui keparahan kasus gangguan jiwa (Friedman,1998).
Berdasarkan Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2007,
prevalensi penderita tekanan psikologis ringan adalah 20-40%, dan mereka tidak
membutuhkan pertolongan spesifik. Prevalensi penderita tekanan psikologis sedang
sampai berat yaitu 30-50%, membutuhkan intervensi sosial dan dukungan psikologis
dasar, sedangkan gangguan jiwa ringan sampai sedang (depresi, dan gangguan
kecemasan) yaitu 20%, dan gangguan jiwa berat (depresi berat, gangguan psikotik)
yaitu 3-4% memerlukan penanganan kesehatan jiwa yang dapat diakses melalui
pelayanan kesehatan umum dan pelayanan kesehatan jiwa komunitas (Kaplan, 2002).
Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa
dari 1000 penduduk terdapat 185 penduduk mengalami gangguan jiwa. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
3/9
gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga terdapat 140/1000 penduduk usia 15
tahun ke atas, dan diperkirakan sejak awal tahun 2009 jumlah penduduk yang
mengalami gangguan jiwa sebesar 25% dari populasi penduduk di Indonesia.
Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(2008), diketahui masyarakat yang terindikasi gangguan jiwa sebanyak 1.677 jiwa
(31,12%) termasuk kategori berat, 1.591 jiwa (29,52%) mengalami gangguan
neurotik dan 1.190 jiwa (22,98%) mengalami psikotik akut, dan 334 jiwa (6,20%)
mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard dan International
Organization for Migration (IOM) Tahun 2007 terhadap masyarakat yang terkena
dampak konflik di 14 kabupaten di Aceh, termasuk di Kabupaten Aceh Barat Daya,
ditemukan 35% menduduki peringkat tinggi untuk gejala depresi, 10% termasuk
(Post Traumatic Stress Disoreder ) PTSD, 39% untuk gejala kecemasan lainnya.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Daya (2010), diketahui
jumlah keseluruhan penderita gangguan jiwa adalah sebanyak 406 orang, 17,17%
diantaranya termasuk gangguan jiwa kategori berat, 38,23% termasuk gangguan jiwa
kategori sedang, dan 44,60% termasuk gangguan jiwa kategori ringan. Mayoritas
penderita gangguan jiwa tersebut termasuk kategori gangguan jiwa neurotik yaitu
sebesar 59,5% dan sisanya termasuk depresi yaitu sebesar 40,5%. Hal ini
mengindikasikan bahwa gangguan jiwa pada penduduk di Kabupaten Aceh Barat
Daya masih menjadi permasalahan kesehatan dan sosial yang perlu dilakukan upaya
penanggulangan secara komprehensif.
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
4/9
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mereduksi jumlah penderita gangguan
jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tataran kebijakan. WHO
merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah gangguan jiwa di
Propinsi Pemerintahan Aceh, mengingat minimnya petugas kesehatan jiwa di sana.
Level 4 adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga, level ketiga adalah dukungan
dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat, level kedua adalah penanganan
kesehatan jiwa melalui puskesmas dan level kesatu adalah pelayanan kesehatan jiwa
komunitas yang terdiri dari dokter umum dengan keahlian kesehatan jiwa, 3 perawat
dimana salah satunya ahli di bidang dukungan psikososial, dan 3 tenaga para
profesional kesehatan di bidang dukungan sosial.
Salah satu upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan kekambuhan
kembali adalah dengan adanya dukungan keluarga yang baik. Keluarga merupakan
sumber bantuan terpenting bagi anggota keluarga yang sakit, keluarga sebagai sebuah
lingkungan yang penting dari pasien, yang kemudian menjadi sumber dukungan
sosial yang penting. Menurut Friedman (1998) dukungan sosial dapat melemahkan
dampak stress dan secara langsung memperkokoh kesehatan jiwa individual dan
keluarga, dukungan sosial merupakan strategi koping penting untuk dimiliki keluarga
saat mengalami stress. Dukungan sosial keluarga juga dapat berfungsi sebagai strategi
preventif untuk mengurangi stress dan konsekwensi negatifnya.
Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga adalah bagian integral dari
dukungan sosial. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan
penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan. Dukungan
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
5/9
keluarga meliputi informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau
tingkah laku yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penderita gangguan jiwa.
Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan
perawat utama bagi penderita. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau
perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit
akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita
harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah
sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga
kemungkinan kambuh dapat dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah
kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang
menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang
tidak tahu cara menangani perilaku penderita dirumah. Keluarga jarang mengikuti
proses keperawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit,
dan tim kesehatan di rumah sakit juga jarang melibatkan keluarga (Anna K, dalam
Nurdiana, 2007).
Penderita gangguan jiwa sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih
besar dari masyarakat di sekitarnya bahkan dalam beberapa kasus oleh keluarganya
sendiri. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti perlakuan
keras. Perlakuan ini disebabkan ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari
keluarga atau anggota masyarakat. Hal inilah yang biasanya menyebabkan penderita
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
6/9
gangguan jiwa untuk sulit sembuh dan sering kambuh kembali (Stuart dan Laraia,
2001).
Kekambuhan gangguan jiwa adalah peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala
gangguan psikis atau jiwa yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan (Stuart dan
Laraia, 2001). Pada kasus gangguan jiwa kronis, diperkirakan 50% penderita
gangguan jiwa kronis akan mengalami kekambuhan pada tahun pertama, dan 70%
pada tahun yang kedua. Kekambuhan biasa terjadi karena ada hal-hal buruk yang
menimpa penderita gangguan jiwa, seperti diasingkan oleh keluarganya sendiri
(Wiramisharjo, 2007).
Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Susoh
sampai bulan April 2011 terdapat 59 orang penderita gangguan jiwa. Dari jumlah
penderita yang ada di puskesmas Susoh terdapat tingginya angka kekambuhan. Hal
ini kembali menunjukkan bahwa masalah gangguan jiwa masih menjadi masalah
kesehatan dan sosial yang perlu dilakukan upaya penanggulangan secara
komprehensif, khususnya di Kecamatan Susoh.
Beberapa penelitian mengenai gangguan jiwa telah dilakukan, baik mengenai
cara pencegahan, pentatalaksanaan penderita, serta pencegahan kekambuhan kembali.
Namun berdasarkan sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian mengenai
pencegahan kekambuhan penderita gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Berikut ini disebutkan beberapa
penelitian mengenai gangguan jiwa untuk mendukung penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
7/9
Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2010) mengenai kesembuhan pasien
PTSD di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Mawar RSUD Dr. Fauziah Bireuen
menunjukkan dukungan sosial emosional yang paling berpengaruh terhadap
kesembuhan PTSD (p=0,000) diikuti variabel dukungan sosial informasional (p=
0,015), sementara dukungan sosial instrumental dan dukungan sosial penilaian
walaupun berhubungan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Widjayanti (2008) mengenai harga diri klien
gangguan jiwa di RS Grhasia Yogyakarta menunjukkan ada hubungan yang
signifikan (p=0,004) antara dukungan keluarga dengan harga diri klien gangguan jiwa
di rumah sakit ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Abidin (2007) mengenai kekambuhan pada
gangguan skizofrenia hebefrenik pasca RSJ di Malang juga menunjukkan ada
hubungan yang signifikan (p=0,000) antara dukungan keluarga dengan kekambuhan
pada gangguan skizofrenia hebefrenik pasca RSJ.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiana, dkk (2005) mengenai tingkat
kekambuhan pasien skizofrenia di RS. Dr. Moch Ansyari Saleh Banjarmasin
menunjukkan ada hubungan antara peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan
pasien skizofrenia.
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmadiany (2008) mengenai pemanfaatan
pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara menunjukkan
pendidikan, penghasilan, dukungan keluarga, perasaan subjektif, dan evaluasi klinis
memiliki hubungan dengan pemanfaatan pelayanan Trauma Center Lhoksukon.
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
8/9
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap pencegahan kekambuhan
penderita gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Susoh Kabupaten
Aceh Barat Daya, sehingga dapat dirumuskan upaya peningkatan penanggulangan
masalah gangguan jiwa di Kabupaten Aceh Barat Daya.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh dukungansosial keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan emosional) terhadap pencegahan kekambuhan penderita
gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat
Daya tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dukungan sosial
keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan
dukungan emosional) terhadap pencegahan kekambuhan penderita gangguan jiwa di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya tahun 2011.
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh dukungan sosial keluarga
(dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan
Universitas Sumatera Utara
7/22/2019 dukungan keluarga dan gangguan jiwa
9/9
emosional) terhadap pencegahan kekambuhan penderita gangguan jiwa di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Daya
dalam merumuskan kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah
gangguan jiwa secara komprehensif di wilayah kerjanya.
2.
Memberikan masukan bagi Puskesmas Kecamatan Susoh di Kabupaten AcehBarat Daya dalam meningkatkan peran keluarga dalam penanggulanagn
masalah gangguan jiwa di Kabupaten Aceh Barat Daya.
3. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai
kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan kesehatan, khususnya
kesehatan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara