4
E6. Manajemen Bencana Gunung Meletus Sebelum bencana: 1. Riset. Riset bertujuan untuk mempelajari dan memperkirakan fenomena alam yang akan terjadi secara umum atau khusus di suatu daerah. Kontur tanah hingga letak geografis suatu daerah akan menjadi pengaruh utama penanganan ke depan. 2. Analisis Kerawanan dan Kajian Risiko. Analisa ini meliputi beberapa variabel-variabel risiko seperti faktor bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang bisa menyebabkan bencana ataupun keadaan darurat terjadi di suatu daerah. Tim relawan dikirimkan ke lokasi rawan gunung meletus untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep pengurangan risiko bencana yang lebih baik di masa mendatang, ditinjau dari aspek kebijakan, koordinasi dan penataan ruang, sehingga jumlah korban jiwa dan kerusakan hasil pembangunan dapat diminimalisasi. 3. Sosialisasi dan Kesiapan Masyarakat. Pengetahuan atas fenomena alam hingga tindakan antisipatif perlu disosialisasikan kepada setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesiapan dan tanggap bencana. Kegiatan penyebaran informasi dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk media, radio, dan jejaring sosial agar informasi yang diperoleh di lapangan dapat dimanfaatkan oleh khalayak umum. 4. Mitigasi. Mitigasi merupakan persiapan mendekati terjadinya bencana atau keadaan darurat yang dilakukan atas dasar atau berbasis kajian risiko. Mitigasi bertujuan mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik berupa korban jiwa ataupun kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan simulasi bencana dengan upaya proaktif. Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan

DocumentE6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DocumentE6

E6. Manajemen Bencana

Gunung Meletus

Sebelum bencana:1. Riset. Riset bertujuan untuk mempelajari dan memperkirakan fenomena alam

yang akan terjadi secara umum atau khusus di suatu daerah. Kontur tanah hingga letak geografis suatu daerah akan menjadi pengaruh utama penanganan ke depan.

2. Analisis Kerawanan dan Kajian Risiko. Analisa ini meliputi beberapa variabel-variabel risiko seperti faktor bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang bisa menyebabkan bencana ataupun keadaan darurat terjadi di suatu daerah. Tim relawan dikirimkan ke lokasi rawan gunung meletus untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep pengurangan risiko bencana yang lebih baik di masa mendatang, ditinjau dari aspek kebijakan, koordinasi dan penataan ruang, sehingga jumlah korban jiwa dan kerusakan hasil pembangunan dapat diminimalisasi.

3. Sosialisasi dan Kesiapan Masyarakat. Pengetahuan atas fenomena alam hingga tindakan antisipatif perlu disosialisasikan kepada setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesiapan dan tanggap bencana. Kegiatan penyebaran informasi dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk media, radio, dan jejaring sosial agar informasi yang diperoleh di lapangan dapat dimanfaatkan oleh khalayak umum.

4. Mitigasi. Mitigasi merupakan persiapan mendekati terjadinya bencana atau keadaan darurat yang dilakukan atas dasar atau berbasis kajian risiko. Mitigasi bertujuan mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik berupa korban jiwa ataupun kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan simulasi bencana dengan upaya proaktif. Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.

5. Peringatan Bencana (Warning). Ketika gunung sudah ‘batuk’ cukup parah, sosialisasi bahaya letusan yang lebih besar selayaknya dilakukan tidak hanya dengan upaya persuasif, tetapi juga tindakan memaksa. Sosialisasi tindakan ini harus diambil jauh-jauh hari sebelum bencana ini terdeteksi. Teriakan melalui pengeras suara masjid ataupun kentongan hingga SMS Blast ke setiap pemilik telepon selular di daerah tersebut sebagai alternatif peringatan bagi warga masyarakat.

6. Koordinasi. Pemerintah melalui komando terpusat membentuk sistem penanggulangan bencana (Bakornas-Satkorlak-Satlak). Bakornas bertugas memformulasikan kebijakan dan strategi dalam penanggulangan bencana, mengkoordinasikan implementasi dan monitoring aktivitas penanggulangan bencana, dan memberikan petunjuk dan pendampingan arah. Dalam hal ini Bakornas bekerjasama dengan Bakosurtanal, BPPT, LIPI, LAPAN, PU, ESDM, universitas, BMG, Dephut, KLH, Deptan, BPN, dan Bappeda.

Page 2: DocumentE6

Saat bencana:1. Posko. Mendirikan pos komando dan koordinasi tanggap darurat bencana dan

posko lapangan untuk penanganan dengan cara mengikuti peningkatan status pusat pengendali operasi BNPB/BPBD wilayah propinsi/kabupaten/kota.

2. Informasi dan Data Awal Kejadian Bencana. Informasi didapatkan melalui beberapa sumber antara lain laporan instansi/lembaga terkait, media massa, masyarakat, dan internet. Kebenaran informasi dikonfirmasi di lapangan mengenai apa, kapan, di mana, bagaiman kondisi, berapa jumlah korban, akibat yang ditimbulkan, upaya yang telah dilakukan, dan kebutuhan bantuan yang harus segera diberikan. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan unit koordinasi pemerintah pusat yang dalam hal ini ditugaskan pada Bakornas (diketuai wakil presiden), Satkorlak (diketuai gubernur propinsi), dan Satlak Penanggulangan Bencana (diketuai oleh bupati atau walikotamadya daerah setempat).

3. Tindakan Penyelamatan. Korban yang sehat diungsikan ke tempat penampungan yang aman, di mana kebutuhan logistik memadai. Korban yang sakit dibawa ke posko kesehatan dan unit kerja psikososial. Posko kesehatan dan posko psikososial akan terus bekerja atau memberikan pendampingan untuk memulihkan keadaan sampai tahap setelah (pasca) bencana.

4. Penanganan Darurat. Jika ada anggota masyarakat yang terluka atau mengalami kegawatdaruratan, kesiapan tim medis harus dapat diandalkan. Jika ada anggota masyarakat yang dinyatakan hilang, kesiapan regu penyelamat (tim SAR) harus terkoordinasi dengan baik. Dari pusat mengirimkan tim reaksi cepat untuk melaksanakan tugas kedaruratan seperti pertolongan medis dan SAR. Dibentuk SOP manajemen bencana di tiap posko yang meliputi triage (pemilahan kasus darurat), penanganan segera, dan perawatan.

5. Tim Assesment. Tim ini bertugas melakukan pengkajian secara cepat dan tepat, melakukan pemetaan lokasi bencana dan kamp pengungsian, serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan tanggap darurat dan menentukan skala bencana serta analisa kemampuan wilayah/daerah.

6. Komunikasi. Faktor komunikasi tetap harus terjaga (misalnya melalui sistem telepon satelit) agar bala bantuan hingga kepastian keadaan sesaat setelah terjadi bencana bisa terdeteksi atau teridentifikasi (satellite image data) dari ibukota pusat (Jakarta) ataupun pusat pemerintah propinsi.

7. Keberlangsungan Penanganan. Jika letusan tidak selesai dalam waktu satu-dua hari ataupun lokasi bencana tidak memiliki jalur transportasi yang memadai, upaya yang berkelanjutan adalah kewajiban pemerintah daerah ataupun pusat dengan selalu berkoordinasi di lapangan.

Setelah bencana:1. Upaya Perbaikan. Tahapan pasca bencana ataupun pasca keadaan darurat

adalah proses yang memakan waktu lama. Merancang perbaikan harus dilakukan secara seksama mengingat biaya yang besar yang dikumpulkan dari masyarakat, bahkan masyarakat internasional.

2. Pelatihan dan Pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik untuk mengantisipasi hingga mengupayakan perbaikan pasca bencana. Setiap daerah harus memiliki petugas-petugas yang cakap dan berpengetahuan. Untuk itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang selalu sejalan dengan penemuan teknologi penanganan bencana termutakhir.

Page 3: DocumentE6

3. Simulasi. Setiap daerah harus melaksanakan simulasi penanganan bencana ataupun keadaan darurat agar setiap anggota masyarakat bisa mengantisipasi hingga menyelamatkan diri dan anggota keluarganya sehingga beban daerah ataupun kerugian pribadi dapat diminimalisasi.

4. Kajian Relawan. Kegiatan Tim Relawan dibagi menjadi tiga yaitu kegiatan pemantauan lapangan, kegiatan input data, dan kegiatan penyebaran informasi. Tahap pertama fokus pada penilaian kelompok rentan dan kebutuhannya serta pemantauan terhadap alur koordinasi tanggap darurat bencana. Sementara tahap kedua berfokus kepada kegiatan penilaian kerusakan yang terjadi akibat bencana letusan gunung berapi serta pemantauan terhadap alur koordinasi pasca bencana letusan gunung berapi. Kegiatan pemantauan lapangan bertujuan untuk melakukan pemantauan terhadap jumlah kelompok rentan, kualitas dan kuantitas bantuan yang tersebar di setiap barak, serta pemantauan terhadap alur kegiatan tanggap darurat yang dilakukan di tataran teknis.

5. Mendirikan pos atau klinik lingkungan dan mitigasi bencana yang kegiatannya meliputi pelayanan informasi masalah lingkungan dan bencana, pendampingan dan konsultasi pengelolaan lingkungan dan bencana, pelatihan dan praktik pemulihan serta perbaikan fungsi wilayah dan infrastruktur akibat kerusakan lingkungan dan bencana.