17
1 I. PENDAHULUAN Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang bertujuan untuk memberikan petunjuk dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalokasikan sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Namun, pemilihan dan  penetapan suatu keputusan bisnis juga melibatkan aspek-aspek keperilakuan dari para  pengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak dapat dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi (Ikhsan. 2005: 1) Salah satu permasalah dalam akuntansi keperilakuan yang berkaitan dengan  pemrosesan informasi akuntansi, yaitu adanya perilaku manajemen laba (earning management ), yang merupakan perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya. Menurut Wijana (2010), perilaku manajemen laba selalu diasosiasikan dengan  perilaku yang negatif karena manajemen laba menyebabkan tampilan informasi keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Scott (2009) dalam Aryati dan Walansedouw (2013) menyatakan bahwa manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi dalam proses pembuatan laporan keuangan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Di sisi lain, manajemen laba merupakan perilaku realistic  jika dikaitkan dengan konsep  going concern, yaitu keberlangsungan hidup perusahaan, di mana manajemen,  shareholder &  stakeholder sangat berkepentingan terhadap keberlangsungan perusahaan kalau boleh juga diartikan manajemen,  shareholder &  stakeholder  juga menikmati manajemen laba tersebut atau bahkan mungkin memerlukannya (Wijana, 2010). Banyak pihak bahkan hampir semua pihak mengecam perilaku manajer yang melakukan manajemen laba. Menurut Gideon (2005) dalam Wijana (201 0), tindak an earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron Corporation yang merupakan salah satu contoh kasus  pelaksanaan manajemen laba terbesar yang pernah terjadi, Merck, World Com, dan mayoritas  perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett, Marcuss, Saunders dan Tehranian, 2006). Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk yang melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi, kasus Bank Century yang tiada ujung pangkalnya, serta banyak  perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia melakukan manajemn laba, tetapi sulit untuk mendeteksinya. Bukti banyaknya perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia

earning management

Embed Size (px)

DESCRIPTION

earning management

Citation preview

I. PENDAHULUANAkuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang bertujuan untuk memberikan petunjuk dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalokasikan sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Namun, pemilihan dan penetapan suatu keputusan bisnis juga melibatkan aspek-aspek keperilakuan dari para pengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak dapat dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi (Ikhsan. 2005: 1)Salah satu permasalah dalam akuntansi keperilakuan yang berkaitan dengan pemrosesan informasi akuntansi, yaitu adanya perilaku manajemen laba (earning management), yang merupakan perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya. Menurut Wijana (2010), perilaku manajemen laba selalu diasosiasikan dengan perilaku yang negatif karena manajemen laba menyebabkan tampilan informasi keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Scott (2009) dalam Aryati dan Walansedouw (2013) menyatakan bahwa manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi dalam proses pembuatan laporan keuangan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Di sisi lain, manajemen laba merupakan perilaku realistic jika dikaitkan dengan konsep going concern, yaitu keberlangsungan hidup perusahaan, di mana manajemen, shareholder & stakeholder sangat berkepentingan terhadap keberlangsungan perusahaan kalau boleh juga diartikan manajemen, shareholder & stakeholder juga menikmati manajemen laba tersebut atau bahkan mungkin memerlukannya (Wijana, 2010).Banyak pihak bahkan hampir semua pihak mengecam perilaku manajer yang melakukan manajemen laba. Menurut Gideon (2005) dalam Wijana (2010), tindakan earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron Corporation yang merupakan salah satu contoh kasus pelaksanaan manajemen laba terbesar yang pernah terjadi, Merck, World Com, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett, Marcuss, Saunders dan Tehranian, 2006). Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk yang melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi, kasus Bank Century yang tiada ujung pangkalnya, serta banyak perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia melakukan manajemn laba, tetapi sulit untuk mendeteksinya. Bukti banyaknya perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia yang terdeteksi melakukan manajemn laba, yaitu seperti ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwiadnyan,dkk (2014) yang berjudul Reaksi Pasar atas Manajemen Laba pada Pengumuman Informasi Laba. Dalam penelitian tersebut yang perhitungannya menggunakan model Jones yang dimodifikasi jumlah perusahaan yang melakukan manajemen laba ada sebanyak 108 perusahaan dari 111 perusahaan manufaktur yang dapat dianalisis menggunakan model Jones yang dimodifikasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagaian besar perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia melakukan praktik manajemen laba pada periode 2011 yang mengindikasikan bahwa praktik manajemen laba lumrah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia.Perilaku manajemen laba yang dilakukan manajemen ternyata mengandung pemahaman yang kontroversial. Di satu sisi selalu dipandang sebelah mata, bahkan dianggap tidak bermoral karena cenderung menyesatkan. Sebaliknya, di sisi seberangnya justru tidak direspons negatif, bahkan dapat dikatakan disetujui karena dapat mengurangi risiko/efisiensi operasi perusahaan dan cenderung menunjang keberlangsungan jalannya perusahaan (Wijana, 2010). Hal tersebut cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam, apakah perilaku manajemen laba tersebut dilakukan hanya demi kepentingan manajemen semata atau demi kepentingan keberlangsungan perusahaan maupun stakeholder.Menurut Sri Sulistyanto dalam bukunya Manajemen Laba (Teori dan Model Empiris, 2002), berbagai kasus manajemen laba terbukti telah mengakibatkan hancurnya tatanan ekonomi, etika, dan moral, di mana masih ada perbedaan pandangan dan pemahaman terhadap rekayasa manajerial. Sampai saat ini masih ada kontroversi dalam memandang dan memahami manajemen laba. Secara umum kontroversi ini terjadi antara praktisi dan akademisi yang pada dasarnya mempertanyakan apakah manajemen laba dapat dikategorikan sebagai kecurangan (fraud) atau tidak. Para praktisi menilai manajemen laba sebagai kecurangan, sementara akademisi menilai manajemen laba tidak bisa dikategorikan sebagai kecurangan. Secara umum para praktisi yaitu pelaku ekonomi, pemerintah, asosiasi profesi dan regulator lainnya, berargumen bahwa pada dasarnya manajemen laba merupakan perilaku oportunis seorang manajer untuk mempermainkan angka-angka dalam laporan keuangan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Perbuatan ini dikategorikan sebagai kecurangan karena secara sadar dilakukan manajer perusahaan agar stakeholder yang ingin mengetahui kondisi ekonomi perusahaan tertipu karena memperoleh informasi palsu. Sementara para akademisi, termasuk peneliti berargumen bahwa pada dasarnya manajemen laba merupakan dampak dari kebebasan seorang manajer untuk memilih dan menggunakan metode akuntansi tertentu ketika mencatat dan menyusun informasi dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan ada keberagaman metode dan prosedur akuntansi yang diakui dan diterima dalam prinsip akuntansi berterima umum (Sulistyanto, 2002 : 3-4).Dari berbagai kasus dan perbedaan pandangan tentang manajemen laba tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai factor-faktor yang memengaruhi dilakukannya manajemen laba oleh manajer. Secara umum banyak penelitian yang mengaitkan perilaku earning management ini dengan teori keagenan seperti yang dikemukakan oleh Salno dan Baridwan (2000) dalam Restuwulan (2013) bahwa penjelasan tentang konsep manajemen laba tidak terlepas dari teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Adanya perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik tersebut dapat memengaruhi kebijakan yang diputuskan oleh manajemen yang salah satunya yaitu melakukan manajemen laba.

II. KAJIAN PUSTAKA2.1 Teori keagenan (agency theory)Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan merupakan nexus of contract, yaitu tempat bertemunya kontrak antar berbagai pihak yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan, di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002). Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).Manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tersebut timbul karena adanya masalah keagenan yaitu konflik kepentingan antara pemilik/pemegang saham (principal) dengan pengelola/manajemen (agent) akibat tidak bertemunya utilitas maksimal di antara mereka karena manajemen memiliki informasi tentang perusahaan lebih banyak daripada pemegang saham sehingga terjadi asimetri informasi yang memungkinkan manajemen melakukan praktik akuntansi dengan orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu. Konflik keagenan yang mengakibatkan adanya tindakan oportunistik manajemen sehingga laba yang dilaporkan bersifat semu dan akan menyebabkan nilai perusahaan berkurang di masa yang akan datang. 2.2 Teori akuntansi positif Menurut teori akuntansi positif, pemilihan prosedur akuntansi yang digunakan perusahaan tidak harus sama dengan perusahaan lainnya. Perusahaan diberi kebebasan memilih salah satu dari alternatif prosedur yang ada untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Adanya kebebasan untuk memilih prosedur yang tersedia, maka manajer akan melakukan tindakan yang dinamakan oleh akuntansi positif sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis manajemen laba (Belkaoui, 2007: 189, dalam Yasa, dkk. 2012) yaitu sebagai berikut :(1) Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan. Alasannya adalah tindakan seperti itu akan meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih.(2) Hipotesis utang-ekuitas (debt to equity hypothesis) Hipotesis ini menyatakan semakin tinggi rasio utang/ekuitas perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin dekatnya (semakin ketatnya) perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian utang semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian dan terjadinya kos kemacetan teknis, semakin mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income. (3) Hipotesis kos politis (political cost hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan besar lebih mungkin untuk menggunakan pilihan akuntansi yang mengurangi profit yang dilaporkan daripada perusahaan kecil. 2.3 Manajemen labaAssih dan Gudono (2000) dalam Wijana (2010) mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted Accounting Priciples (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Sedangkan, menurut Scott (2009) dalam Aryati, dkk (2013), manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi dalam proses pembuatan laporan keuangan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Gunny (2005) mengelompokkan manajemen laba dalam tiga kategori, yaitu akuntansi yang curang, manajemen laba akrual, dan manajemen laba riil (real earnings management). Akuntansi yang curang meliputi pemilihan akuntansi yang melanggar prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Manajemen laba akrual meliputi pilihan akuntansi yang diperbolehkan dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum yang mencoba untuk menutupi atau mengaburkan kinerja perusahaan yang sebenarnya (Dechow dan Skinner, 2000). Manajemen laba riil terjadi ketika manajer melakukan tindakan yang menyimpang dari praktik operasi normal perusahaan untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.Scott (1997) dalam Wijana (2012), menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba, antara lain; rencana bonus (bonus scheme), kontrak hutang (debt covenant), motivasi politik (political motivation), motivasi pajak (taxation motivation), perubahan Chief Executive Officer (CEO), dan penawaran saham perdana (IPO). Menurut Setiawati dalam Naim (1996), teknik manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu sebagai berikut.a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansiManajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi, antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.b. Mengubah metode akuntansiPerubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Contoh: mengubah metode akuntansi dari garis lurus menjadi jumlah angka tahun.c. Menggeser periode biaya atau pendapatanMengatur biaya yang terjadi dengan mempercepat/menunda biaya penelitian dan pengembangan sampai periode berikutnya. Mengatur saat penjualan dengan mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan.Menurut Scott (1997), pola manajemen laba dapat dilakukan sebagai berikut.a. Taking a bathPola ini biasanya terjadi pada waktu terjadinya pengangkatan CEO yang baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah yang besar. Tindakan manajemen ini diharapkan dapat meningkatkan laba pada masa datang.b. Income minimizationHal ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami profitabilitas yang cukup tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi apabila laba pada tahun yang akan datang menurun secara drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.c. Income maximizationHal ini dilakukan pada saat laba menurun. Income maximization bertujuan untuk melaporkan nett income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang.d. Income smoothingHal ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. (Wijana, 2010).2.4. Metode manajemen labaa. Manajemen laba akrual ( long term accrual model dan short term accrual model) Short term dan long term accruals memiliki karakteristik yang berbeda. Short term accruals terkait dengan cara melakukan manajemen laba yang berkaitan dengan aktiva dan hutang lancar, biasanya waktu yang dilakukan adalah pada kuartal pertama atau satu tahun buku. Sedangkan long - term accruals terkait dengan akun aktiva tetap dan hutang jangka panjang (Kusuma, 2006). Manajer dapat mengambil keuntungan dari perbedaan karakteristik tersebut. Manajer akan lebih mudah untuk memanipulasi data akuntansi melalui long - term discretionary accruals, karena tindakan manajer tersebut tidak dapat dideteksi untuk beberapa periode akuntansi berikutnya (Whelan dan McNamara. 2004 dalam Trisnawati, dkk, 2012). Sementara itu, pasar mungkin akan menganggap penggunaan long term discretionary accruals adalah usaha manajer untuk membodohi pelaku pasar karena sifat dari akrual tersebut yang memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi (Whelan dan McNamara, 2004). Dengan demikian dampak yang ditimbulkan penggunaan long term discretionary accruals akan lebih besar dibanding dengan short term discretionary accruals.b. Manajemen Laba Riil Manajemen laba riil adalah tindakan-tindakan manajemen yang menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencapai target laba (Roychowdhury, 2006; Cohen dan Zarowin, 2010). Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu: a. Manipulasi Penjualan Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode saat inib. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditures)Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban penelitian dan pengembangan, iklan, dan penjualan, adminstrasi, dan umum terutama dalam periode di mana pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini, tetapi dengan resiko menurunkan arus kas periode mendatang.c. Produksi yang berlebihan (overproduction)Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan kos barang terjual (cost of goods sold) dan meningkatkan laba operasi.Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak memiliki akrual untuk dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan manipulasi aktivitas riil tersebut terutama untuk mencapai laba sedikit di atas nol. Dengan ketiga cara di atas perusahaan-perusahaan yang diduga (suspect) melakukan manipulasi aktivitas riil akan mempunyai abnormal cash flow operations (CFO) dan abnormal production cost yang lebih besar dibandingkan perusahaan-perusahaan lain serta abnormal discretionary expenses yang lebih kecil. Hasil survey Graham, Harvey dan Rajgopal (2005) menemukan bukti kuat bahwa 78% dari 401 manajer sebagai responden jauh lebih bersedia untuk terlibat dalam manajemen laba riil (real earnings management) daripada manajemen akrual untuk mencapai target laba. Beberapa penelitian manajemen laba terkini menyatakan pentingnya memahami bagaimana perusahaan melakukan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil selain manajemen laba berbasis akrual (Roychowdhury, 2006; Gunny, 2005;; Cohen et al., 2008; Cohen dan Zarowin, 2010 dalam Trisnawati, dkk, 2012). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Graham et al. (2005), Roychowdhury (2006) menunjukkan para eksekutif keuangan lebih memilih untuk memanipulasi laba melalui aktivitas-aktivitas riil daripada aktivitas akrual. Hal ini disebabkan oleh:1. Manipulasi akrual cenderung membuat para audior atau regulator melakukan pemeriksaan dengan cepat daripada jika keputusan-keputusan tentang aktivitas real atau produksi yang dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa baik auditor ataupun regulator kurang memberikan perhatian terhadap aktivitas-aktivitas riil yang dimanipulasi oleh managemen, sehingga managemen memiliki kesempatan untuk memanfaat peluang ini dalam mencapai target laba.2. Hanya bersandar pada manipulasi akrual saja akan membawa resiko karena pengelolaan laba dengan mengandalkan akrual diskresioner hanya dapat dilakukan pada akhir tahun. Akan tetapi, strategi ini menimbulkan resiko yaitu jika jumlah laba yang perlu dimanipulasi lebih besar daripada akrual diskresioner yang dapat digunakan manager. Sehingga kemampuan manager dalam memanipulasi laba terbatas, akibatnya target laba tidak dapat dicapai jika hanya mengunakan akrual diskresioner pada akhir tahun. Manager dapat mengurangi resiko ini dengan memanipulasi aktivitas-aktivitas riil selama tahun berjalan (Wei Yu, 2008).Berdasarkan (Roychowdhury, 2006) dalam Subekti, Kee dan Ahmad (2010): pengukuran manajemen laba riil menggunakan: a. Abnormal cash flow operations (CFO / Arus kas operasi abnormal) CFO abnormal adalah manipulasi laba yang dilakukan perusahaan melalui aliran operasi kas yang akan memiliki aliran kas lebih rendah daripada level normalnya. Etimasi nilai residu dari CFO merupakan nilai abnormal CFO.b. Abnormal production cost (PROD) / Biaya kegiatan produksi abnormalAbnormal production cost adalah Manajemen laba riil yang dilakukan melalui manipulasi biaya produksi, di mana perusahaan akan memiliki biaya produksi lebih tinggi daripada level normalnya. Estimasi nilai residu dari biaya produksi merupakan nilai abnormal PRODc. Abnormal discretionary expenses (DISC) /Biaya diskresionari abnormalAbnormal discretionary expenses adalah manipulasi laba yang dilakukan melalui biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, biaya penjualan, administrasi, dan umum. Estimasi nilai residu dari biaya diskresioner merupakan nilai abnormal DISC. Kegiatan riil operasi dianggap dapat menangkap pengaruh riil lebih baik daripada hanya akrual operasi. Indikasi keterlibatan manajemen perusahaan pendapatan dengan manipulasi aktivitas nyata dapat ditunjukkan oleh nilai abnormal kegiatan. Pengukuran nilai abnormal dari aktivitas setiap deviasi antara nilai aktual dan nilai aktivitas-aktivitas yang diharapkan. Roychowdhury (2006) memberikan bukti empiris bahwa perusahaan melakukan manajemen laba riil untuk menghindari melaporkan kerugian (Trisnawati, dkk. 2012).

III. PEMBAHASAN Perilaku manajemen laba sering dikaitkan dengan perilaku oportunis dari manajemen untuk memanipulasi informasi yang berkaitan dengan laba perusahaan demi keuntungan pribadi. Namun, di satu sisi praktik manajemen laba merupakan tindakan efisiensi dari manajer guna melindungi diri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Sehingga perilaku manajemen laba tersebut masih menjadi perdebatan, baik oleh para akademisi maupun para praktisi. Perlu ditekankan di sini bahwa perilaku manajemen laba berbeda dengan perilaku manipulasi laba. Letak perbedaannya, yaitu praktik manajemen laba tidak menyalahi aturan dalam kebijakan akuntansi yang berterima umum, artinya praktik manajemen laba tersebut dilakukan sesuai dengan kebijakan dan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan, manipulasi laba dilakukan dengan memanipulasi berbagai bukti transaksi serta menyalahi aturan atau kebijakan serta prinsip akuntansi berterima umum. Untuk memahami apakah perilaku manajemen laba tersebut termasuk perilaku yang selalu merugikan atau bahkan menguntungkan, maka perlu dikaji faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba tersebut sehingga dapat dengan jelas mengkategorikan perilaku manajemn laba tersebut adalah merupakan perilaku manajer semata atau terdapat campur tangan pihak lain, khususnya shareholder yang nantinya pertanggungjawaban atas dampak praktik manajemen laba tersebut tidak hanya dilimpahkan pada manajer saja. 3.1. Faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang positifSetiap perilaku yang dilakukan seseorang pasti memiliki faktor pendorong sehingga mereka melakukan berbagai tindakan baik tindakan positif maupun negative. Tidak semua faktor pendorong yang positif dapat menghasilkan dampak yang positif, begitu pula tidak semua faktor pendorong negatif menghasilkan dampak yang negatif. Dalam kaitannya dengan praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer pastinya juga memiliki faktor-faktor yang memotivasinya dalam melakukan tindakan manajemen laba. Adapun faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang positif bagi perusahaan antara lain:a. Faktor debt covenant (debt to equity) atau perjanjian kontrak utang.Dalam hal perusahaan memiliki perjanjian kontrak utang yang bersyaratkan pada pergerakan laba dan pada saat tersebut perusahaan memiliki rasio debt to equity yang tinggi yang mengindikasikan bahwa utang perusahaan lebih besar dari pada modal yang dimiliki perusahaan. Hal tersebut kemungkinan akan memengaruhi perjanjian kontrak utang yang telah disepakati. Dampaknya bisa mengakibatkan pembatalan kontrak dan kreditur kemungkinan akan menarik kembali dananya. Selain itu, perusahaan akan kesulitan dalam meminjam dana kembali pada kreditor yang lain karena sudah terlanjur citranya tercoreng akibat tidak mampu memenuhi perjanjian kontrak utang sebelumnya yang mengindikasikan turunnya kepercayaan para kreditor maupun investor kepada perusahaan tersebut. Hal ini tentunya akan memengaruhi harga saham perusahaan bahkan keberlangsungan hidup (going concern) perusahaan tersebut, sehingga untuk mengatasi hal tersebut mau tidak mau manajer tentunya akan melakukan manajemen laba agar laba yang dilaporkan tetap stabil dan sesuai dengan perjanjian kontrak utang yang telah disepakati tersebut.b. Factor motivasi politikBerbicara masalah politik memang tidak akan ada habisnya, banyak bidang kehidupan yang didalamnnya berkaitan dengan kepentingan politik. Begitu pula dalam hal praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat dimotivasi oleh aspek politik. Khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau perusahaan yang bergerak dalam industry yang strategis, seperti perusahaan minyak bumi dan gas, perusahaan listrik, perusahaan air, dan perusahaan telepon, cenderung mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah dan masyarakat sehingga cenderung memperoleh banyak tekanan dari berbagai regulasi yang dibuat pemerintah yang mana masyarakat cenderung akan menuntut perusahaan untuk meminimalkan laba yang diambil, tetapi di sisi lain perusahaan harus menanggung beban operasional yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut manajer cenderung akan melakukan manajemen laba, yaitu meminimalkan laba bersih dengan menggunakan praktik dan prosedur akuntansi, khususnya selama periode kemakmuran tinggi (high prosperity) yang nantinya pada saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan akan dapat diantisipasi dengan simpanan pendapatan tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan demi keberlangsungan perusahaan yang juga demi tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.c. Factor motivasi pajak (Tax motivation)Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa manajer melakukan praktik manajemen laba dengan motivasi pajak, yaitu memperkecil beban pajak. Hal ini dilakukan karena regulasi pembebanan pajak oleh regulator terkadang dirasa memberatkan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga tidak selalu mampu mempertahankan labanya agar tetap tinggi dengan kondisi persaingan yang semakin ketat dan konsdisi pasar serta ekonomi yang terus berubah dan sulit diprediksi. Sehingga untuk mengurangi beban pajak yang dirasa dapat menekan perusahaan, maka salah satu tindakan manajer yaitu melakukan manajemen laba. d. Faktor motivasi Initial Public Offering (IPO)Untuk perusahaan yang dalam penawaran saham perdananya tentunya belum memiliki harga pasar di pasar saham sehingga agak sulit untuk menentukan harga penawaran sahamnya sehingga para investor cenderung melihat posisi keuangan yang dirangkum dalam prospektus yang diterbitka oleh perusahaan bersangkutan. Apabila perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana tersebut memiliki pergerakan laba yang fluktuatif karena kondisi pasar yang fluktuatif dan tidak pasti, tentunya investor akan berpikir dua kali untuk memeprtimbangkan akan membeli saham perusahaan tersebut atau tidak. Apalagi untuk investor yang penghindar risiko tentunya akan tidak tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Dampaknya bagi perusahaan adalah tidak lakunya saham yang ditawarkan tersebut yang berpengaruh terhadap kondisi keuangan perusahaan karena dalam menerbitkan saham tentunya ada proses yang menimbulkan biaya yang cukup besar, dan jika saham tersebut tidak laku maka perusahaan akan merugi. Sehingga salah satu strategi yang dilakukan manajer untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah dengan melakukan manajemen laba, di mana pada saat laba meningkat akan diturunkan dan digeser ke periode yang labanya rendah atau dengan kata lain manajer cenderung menerapkan income smooting yang menunjukkan laba yang stabil. Dengan menunjukkan laba yang stabil maka diharapkan mampu menarik investor untuk membeli saham perdana perusahaan tersebut. Selain keempat faktor pendorong tersebut, terdapat pula faktor lainnya seperti untuk tetap menjaga kestabilan harga saham sekunder di pasar saham. Perusahaan yang memiliki pergerakan laba yang kurang stabil atau berfluktuasi cenderung dinilai berisiko oleh investor sehingga investor akan mempertimbangkan apakah akan menjual sahamnya atau justru akan menambah dana investasinya pada perusahaan tersebut. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, manajer cenderung akan melakukan manajemen laba karena tidak semua faktor yang memengaruhi besarnya laba ditentukan dalam perusahaan, ada faktor-faktor luar yang turut memengaruhi besarnya pendapatan yang tidak dapat dikendalikan oleh manajer. Jadi, untuk mengantisipasi berbagai faktor di luar perusahaan yang tidak dapat dikendalikan oleh manajer, maka manajemen cenderung akan melakukan strategi manajemen laba guna menstabilkan laba perusahaan demi keberlangsungan perusahaan.Melihat kenyataan tersebut tentunya perilaku manajemen laba dilakukan guna kebaikan perusahaan, shareholder maupun stakeholder. Sehingga bila dilihat dari factor-faktor pendorong serta dampak yang ditimbulkannya, perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh manajer bukanlah perilaku yang oportunistik dalam artian perilaku yang hanya untuk keuantungan manajer semata.3.2. Faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang negatifSelain factor-faktor motivasi yang berdampak positif, praktik manajemen laba juga terkadang dilakukan untuk kepentingan manajemen semata. Adapun factor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba yang berdampak negative, antara lain:a. Bonus SchemeDalam memotivasi kinerja manajer, perusahaan cenderung akan memberikan reward berupa bonus yang besarannya ditentukan berdasarkan pendapatan atau laba yang dicapai oleh manajer. Manajer yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan sedangkan stakeholder memiliki keterbatasan informasi terhadap informasi perusahaan dan mengetahuinya lewat laporan keuangan, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh manajer untuk memanipulasi informasi dengan menggunakan berbagai fleksibilitas dari penggunaan kebijakan maupun prinsip dan metode akuntansi yang mampu meningkatkan laba perusahaan pada periode tersebut yang tentunya akan berpengaruh pada besarnya bonus yang akan diterima oleh manajer. Tindakan manajer tersebut tentunya berdampak buruk bagi perusahaan maupun bagi stakeholder.b. Pergantian CEOPada saat terjadinya pergantian CEO, cenderung akan terjadi praktik manajemen laba baik oleh CEO yang lama maupun yang baru. Untuk CEO yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi manajemen laba, yaitu memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Begitu pula untuk CEO yang akan dipecat akibat kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. Sedangkan untuk CEO yang baru menjabat, guna menunjukkan kinerjanya yang baik walaupun kinerja sebenarnya buruk, untuk menutupi hal tersebut CEO cenderung melakukan manajemen laba dengan menurunkan laba sebelum ia menjabat dan memaksimalkan laba ketika ia sudah menjabat sehingga kesalahan tersebut dilimpahkan pada CEO sebelumnya.Selain faktor pendorong di atas, kecenderungan manajemen untuk tetap mempertahankan nama baiknya sendiri serta pemenuhan kepentingannya sendiri seperti melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba ketika manajer ikut memiliki saham perusahaan sehingga meningkatkan harga saham yang kemudian akan dijual kepada investor lain. Setelah menjual sahamnya, manajer akan meminimalkan laba, sehingga harga saham menurun dan pada saat itu, ia akan membeli saham perusahaan dengan harga yang lebih rendah daripada harga jual saham sebelumnya. Dari hal tersebut ia akan memperoleh capital gain dari penjualan saham tersebut. Perilaku manajer yang melakukan manajemen laba guna mendapatkan capital gain menunjukkan bahwa praktik manajemen laba dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan manajer semata. Dampak negatif akibat manajemen laba dengan motivasi di atas tersebut seperti, menghasilkan informasi yang bias, artinya informasi yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai dengan fakta atau keadaan perusahaan sesungguhnya yang tentu saja akan memengaruhi keputusan stakeholder yang cenderung akan mengambil keputusan yang salah atau keliru sehingga pengalokasian sumber daya akan tidak tepat guna. Selain itu, praktik manajemen laba juga akan memengaruhi perilaku masyarakat utamanya para investor dan kreditor dalam hal tingkat kepercayaan terhadap laporan keuangan yang dilaporkan oleh perusahaan lambat laun akan terkikis hingga mereka sama sekali tidak mempercayai informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut sehingga akan berdampak pada penurunan fungsi dan kualitas dari laporan keuangan tersebut.3.3. Titik tengah pro dan kontra terhadap perilaku manajemen laba (Manajemen sebagai pelaku sekaligus korban)Permasalahan praktik manajemen laba masih saja menjadi kotroversi. Setiap pandangan seseorang pastinya memiliki alasan yang kuat untuk menyatakan tindakan tersebut baik atau buruk. Namun dalam hal praktik manajemen laba kita tidak dapat menyatakan secara gamblang bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer tersebut adalah selalu buruk. Seperti diuraikan sebelumnya pada faktor-faktor yang mendorong perilaku manajemen laba, tidak setiap praktik manajemen laba menghasilkan dampak yang buruk. Namun, perlu dikaji dan dianalisis factor-faktor pendorong manajer melakukan manajemen laba serta bagaimana dampaknya bagi perusahaan maupun para stakeholder. Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku manajemen laba tidak hanya didorong oleh keinginan manajer untuk memperoleh keuntungan pribadi tetapi terkadang harus dilakukan demi keberlangsunan perusahaan dan juga meningkatkan kesejahteraan shareholder. Sehingga dapat dikatakan bahwa manajer dalam melakukan manajemen laba merupakan pelaku sekaligus korban dari tindakan manajemen laba tersebut. Mengapa demikian? Karena manajemenlah yang akan selalu ditimpakan tanggung jawab terhadap setiap permasalahan dalam perusahaan. Di sisi lain, manajer sebagai pelaku manajemen laba karena ia melakukannya demi kepentingannya sendiri, di sisi lainnya, manajer sebagai korban dipersalahkan serta bertanggung jawab atas tindakannya dalam melakukan manajemen laba yang sebenarnnya dilakukan untuk keberlangsungan perusahaan dan untuk kepuasan para stakeholder. 3.4. Solusi untuk mengatasi perilaku manajemen labaHal mendasar yang mengakibatkan munculnya praktik manajemn laba adalah karena adanya konflik kepentingan antara agent dan principal, sehingga salah satu cara untuk mengatasi praktik manajemn laba adalah dengan menyelaraskan tujuan serta kepentingan antara agent dan principal. Salah satu caranya yaitu dengan menerapkan corporate governance seperti yang dikemukanan dalam Simposium Nasional Akuntansi tahun 2007, dalam pelaksanaan corporate governance terdapat empat mekanisme, yaitu peran komisaris independen yang berfungsi dalam melakukan pengawasan, sehingga mengurangi terjadinya konflik keagenan yang terjadi dalam perusahaan yang tentunya dapat meminimalkan praktik manajemen laba, adanya kepemilikan manajerial dan institusional yang mampu menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham yang tentunya dapat meminimalisir perilaku manajemn laba, serta kualitas dari auditor juga mampu meminimalkan praktik manajemen laba karena dengan adanya audit yang ketat tentunya setiap perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat terdeteksi, utamanya auditor perlu memberikan perhatian terhadap kemungkinan terjadinya manajemen laba riil yang memang cukup sulit untuk dideteksi. Solusi lain untuk mengatasi praktik manajemen laba adalah dengan membatasi diskresi pada standar akuntansi keuangan sehingga praktik manajemn laba yang memanfaatkan hal tersebut dapat diminimalkan. Selain itu, dengan meningkatkan prasyarat pengungkapan yang lebih ketat guna peningkatan transparansi sehingga tidak terjadi asimetri informasi yang dapat memperkecil kesempatan manajer untuk melakukan manajemn laba, serta regulasi dan sangsi yang lebih ketat, sehingga manajer akan berpikir lebih panjang untuk melakukan praktik manajemen laba. Selain solusi tersebut, pendidikan karakter dari seorang manajer juga penting guna mengatasi praktik manajemn laba karena karakter seseorang dapat memengaruhi perilaku dan cara berpikir yang tentunya juga kan memengaruhi setiap keputusan yang kan diambilnya. Jadi, perlu juga adanya pendidikan karakter untuk para manajer yang dilakukan sejak dini serta berkelanjutan guna menanamkan karakter yang berintegritas tinggi sehingga pemikiran untuk melakukan kecurangan seperti praktik manajemen laba ini dapat diminimalkan.

IV. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tidak selalu dilakukan demi kepentingan pribadi manajer, tetapi dalam situasi tertentu, seperti untuk memenuhi perjanjian kontrak utang, guna tetap menjaga citra perusahaan, memperkecil beban pajak guna keberlangsungan perusahaan, penerbitan saham perdana, dan strategi bisnis lainnya yang berkaitan dengan keberlangsungan operasi perusahaan, tentunya praktik manajemen laba tersebut tidak dapat dipandang sebagai perilaku oportunis manajer. Untuk menilai perilaku manajemen laba tersebut baik atau buruk perlu dikaitkan dengan factor yang memotivasi perilaku manajemn laba tersebut serta dampak yang ditimbulkan karena manajer tidak selalu menjadi pelaku manajemen laba, tetapi dalam situasi tertentu dapat pula menjadi korban dari perilaku manajemen laba tersebut.Dan untuk mengatasi serta meminimalkan praktik manajemen laba dapat dilakukan dengan menerapkan konsep corporate governace, penetapan regulasi dan pengungkapan yang ketat, serta perlunya dilakukan pendidikan karakter bagi para manajer.

DAFTAR PUSTAKA

Aryati, dkk. 2013. Analisi Pengaruh Diversifikasi Perusahaan terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi & Auditing Volume 9/No. 2/MEI 2013 : 244 - 260

Dwiadnyana, dkk. 2014. Reaksi Pasar atas Manajemen Laba pada Pengumuman Informasi Laba. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 7.1 (2014):165-176

Ikhsan, Arfan,dkk. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.Nasution, Marihot, dkk. 2007. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia. Simposium akuntansi nasional X Unhas Makasar 26-28 juli

Priantinah, Denies. 2008. Eksistensi Earnings Manajemen dalam Hubungan Agen Prinsipal. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia. Vol. VI. No. 2 Tahun 2008 Hal. 23 36

Putra, Wijana Asmara. 2010. Manajemen Laba: Perilaku Manajemen Opportunistic atau Realistic ?. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana

Sulistyanto, Sri. 2002. Manajemen Laba (Teori dan Model Empiris). Jakarta: Salemba EmpatTrisnawati, dkk. 2012. Pengukuran Manajemen Laba: Pendekatan Terintegrasi (Studi Komparasi Perusahaan Manufaktur yang Tergabung Pada Indeks Jii dan LQ 45 Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2010). Jurnal akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER AKUNTANSI KEPERILAKUANEARNING MANAGEMENT, MANAJER SEBAGAI PELAKU SEKALIGUS KORBAN

NI NYOMAN YUDARINIM. 1214081027IVB

JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM S1FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHASINGARAJA2014

17