4
ulisan ini berisi kegelisahan yang T lama tertahan. Kegelisahan yang muncul setiap menginjakkan kaki di bangunan-bangunan besar nan megah. Kegelisahan akan jaminan kemudahan mendapatkan ruang yang baik untuk mencoba mengingat Tuhan, yang tiap hari terpinggirkan dari kesibukan duniawi yang tak berkesudahan. Ruang itu bernama mushola. Saya tak berani menulis dan berharap adanya masjid. Karena pada kenyataannya, mushola saja seperti terlalu tinggi untuk diharapkan keberadaannya. Jangankan masjid, mushola saja entah ada atau tidak, misal ada, apakah cukup layak atau tidak. Pemodal besar pemilik bangunan-bangunan agung tidak menempatkan mushola sebagai ruang yang diprioritaskan dalam master plan- nya. Mushola dipinggirkan, Buletin SANTRI Edisi 08 Jum’at, 10 April 2015 1 Edisi 08/2015 Ketika [Mushola] Tuhan Disudutkan Oleh: Ryan Perdana*

Edisi 8 - Ketika [Mushola] Tuhan di sudutkan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Edisi 8 - Ketika [Mushola] Tuhan di sudutkan

ulisan ini berisi kegelisahan yang T lama tertahan. Kegelisahan yang

muncul setiap menginjakkan

kaki di bangunan-bangunan besar nan

megah. Kegelisahan akan jaminan

kemudahan mendapatkan ruang yang

baik untuk mencoba mengingat Tuhan,

yang tiap hari terpinggirkan dari

k e s i b u k a n d u n i a w i y a n g t a k

berkesudahan. Ruang itu bernama

mushola.

Saya tak berani menulis dan

berharap adanya masjid. Karena pada

kenyataannya, mushola saja seperti

terlalu tinggi untuk diharapkan

keberadaannya. Jangankan masjid,

mushola saja entah ada atau tidak,

misal ada, apakah cukup layak atau

tidak.

Pe m o d a l b e s a r p e m i l i k

bangunan-bangunan agung tidak

menempatkan mushola sebagai ruang

yang diprioritaskan dalam master plan-

n y a . M u s h o l a d i p i n g g i r k a n ,

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015 1Buletin SANTRI Edisi 08

Jum’at, 10 April 20154

Jawaban: Waalaikumsalam. Allah SWT dalam QS. Fushilat: 53, Ali Imran: 191, dan Yunus:

101 berfirman tentang pentingnya mengamati penciptaan alam semesta dan seisinya.

Meneliti alam semesta dapat meningkatkan iman pada kekuasaan Allah SWT. Dalam

hadits Rasulullah juga bersabda: "Janganlah berpikit tentang Dzat Allah, berpikirlah

tentang ciptaan Allah" (HR. Ahmad dan Thabrani). Al-Quran dan Hadits telah

menekankan pentinganya belajar IPA yang secara teoretis didasarkan pada

eksperimentasi (al-tajribah) dan interpretasi terhadap gejala alam. Ilmu ini pada

perkembangannya memiliki cabang-cabang seperti Fisika, Kimia, Biologi, Ilmu

Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Pembagian IPA dalam berbagai cabang tersebut

sejatinya untuk mempermudah mempelajari alam seisinya dari sudut pandang tertentu.

Namun sasaran yang diselidiki adalah satu, yaitu alam semesta dan seisinya, tak

terkecuali asal mula penciptaan alam semesta beserta proses dan mekanismenya.

Mempelajari IPA banyak berkahnya. Berkah artinya adalah bertambahnya kebaikan.

Melalui belajar IPA semoga keimanan kita pada Allah SWT semakin bertambah.

Pertanyaan: Salam Ustadz, Saya siswi SMA yang mau lanjut kuliah. Saya minat di bidang

Matematika-IPA, tapi ada yang bilang kalau belajar ilmu non-agama itu tidak berkah dan manfaat.

Saya mau tanya supaya saya mantap lanjut kuliah: Ilmu yg berkah dan manfaat itu yang

bagaimana? Apa benar ilmu non-agama itu tidak berkah dan manfaat? Terimakasih.

Rifqiya, Demangan.

Ilmu non-agama tidak

berkah dan manfaat?

Edisi 08/2015

Ketika [Mushola] Tuhan

Disudutkan

Oleh: Ryan Perdana*

Website Islam Ramah

Silahkan berkunjung ke: Donasi buletin SANTRI

dapat dikirim melalui:

Bank BRI SyariahNo. Rekening 102 040 1617

a/n Sarjoko

Page 2: Edisi 8 - Ketika [Mushola] Tuhan di sudutkan

disudutkan, dipojokkan atau entah

istilah lain apalagi yang pas untuk

menjelaskan bahwa mushola tidak

dimuliakan secara letak dan porsi

ukuran. Dalam hal ini, Tuhan mau tidak

mau harus mafhum bahwa umat

c i p t a a n - N y a s e n d i r i j u s t r u

menempatkan-Nya dengan cara

seperti itu.

Walaupun setiap jengkal bumi

adalah rumah-Nya, namun tak

terbantah, bagi sebagian besar umat,

Tuhan hanya “terlihat” secara kadang-

kadang melalui tempat ibadah.

Kenyataannya, tempat ibadah sebagai

representasi simbol kehadiran Tuhan di

dunia justru tidak mendapat posisi

sebagaimana mestinya. Mushola

hanya ditempatkan pada sudut sempit

parkiran di basement. Berkawan

dengan centang-perenang selang-

selang jalur air dan listrik. Tak jarang,

letaknya menempel atau menyatu

dengan WC umum yang kumuh.

Menyedihkan.

Tuhan dinomorsekiankan.

Rumah Tuhan hanya disisipkan dengan

keadaan seadanya. Diada-adakan

dengan terpaksa. Semacam pantes-

pantes saja. Keterlaluan.

***

Ketika itu, waktu dzuhur sudah

masuk dan saya sedang berada di

sebuah pusat perbelanjaan. Berputar-

putar ke sana kemari mencari mushola.

Setelah sekian menit berkeliling dan

bertanya ke Pak Satpam, akhirnya

mushola saya temukan. Baiklah, untuk

sementara hati saya lega, dzuhur tidak

terlewat. Namun, jujur saya agak

menahan perasaan. Mushola yang

kemudian saya masuki itu terletak di

sudut, benar-benar sudut di tepi jalan

masuk mobil dari luar mal. Misal

pengguna mushola akan keluar atau

masuk, harus selalu waspada dan

tengok kanan kiri untuk memastikan

tidak ada mobil yang mendekat.

Posisinya persis dimana sopir akan

memutar lingkar setir, memang itu

semacam tikungan kecil.

Ukurannya hanya nol koma

sekian persen dari bangunan inti mal.

Kebersihan ala kadarnya. Jamaah harus

giliran untuak sholat. Ketika berwudhu

pun harus bersiap merampingkan

tubuh agar tidak bersenggolan dengan

pengguna lain.

Pengalaman berikutnya, di

sebuah rumah makan cepat saji di

bilangan Jakarta Utara. Terdapati oleh

saya, mushola terletak di ujung

belakang bangunan dan menyatu

dengan mesin genset. Otomatis, deru

mesin dengan kekuatan decibel yang

besar itu akan mengalahkan fokus

jamaah. Tuhan, aku yakin Engkau tidak

akan merasa terganggu dan mengeluh

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015

berisik, namun itu bukti betapa Engkau ditepikan

bersama mesin yang dianggap akan mengganggu

kenyamanan konsumen dan mengurangi profit

perusahaan.

Tidak hanya dua pengalaman yang saya

miliki terkait hal di atas. Cukup banyak kejadian

hingga akhirnya terakumulasi menjadi tumpukan

rasa, lalu saya pilih tulisan ini menjadi media

penuangannya. Begitulah.

***

Di jaman yang ukuran standar kemuliaan

adalah materi, Tuhan berada di pojok terakhir. Tuhan

menjadi dzat yang tidak lagi penting. Hingga apapun

yang berkenaan dengan-Nya menjadi suatu hal yang

dipikirkan belakangan. Bangunan yang menjadi

tempat pemujaan-Nya pun ada di belakang. Diingat

kalau sempat.

Sebagai orang biasa yang tak berkuasa,

begini saja yang bisa dilakukan. Sekadar menulis

yang mungkin tak ada artinya. Tak ada kontribusi

nyata yang memiliki kadar kemungkinan untuk

direalisasikan. Modal dan ciri-ciri kami hanya

harapan. Hanya mempunyai kumpulan semoga dan

semoga. Dengan sedikit upaya ini semoga ada

perubahan bahwa Engkau semakin diutamakan dan

dimuliakan. Tidak lagi berdampingan dengan bau

sisa konsumsi. Tidak lagi bersisian dengan mesin

yang tak merdu dalam berbunyi.

Penulis: Ryan Perdana, tinggal di Sleman Yogyakarta.

“Di jaman yang

ukuran standar

kemuliaan adalah

materi, Tuhan

berada di pojok

terakhir. Tuhan

menjadi dzat yang

tidak lagi penting.

Hingga apapun

yang berkenaan

denganNya

menjadi suatu hal

yang dipikirkan

belakangan.

Bangunan yang

menjadi tempat

pemujaan-Nya pun

ada di belakang.”

Page 3: Edisi 8 - Ketika [Mushola] Tuhan di sudutkan

disudutkan, dipojokkan atau entah

istilah lain apalagi yang pas untuk

menjelaskan bahwa mushola tidak

dimuliakan secara letak dan porsi

ukuran. Dalam hal ini, Tuhan mau tidak

mau harus mafhum bahwa umat

c i p t a a n - N y a s e n d i r i j u s t r u

menempatkan-Nya dengan cara

seperti itu.

Walaupun setiap jengkal bumi

adalah rumah-Nya, namun tak

terbantah, bagi sebagian besar umat,

Tuhan hanya “terlihat” secara kadang-

kadang melalui tempat ibadah.

Kenyataannya, tempat ibadah sebagai

representasi simbol kehadiran Tuhan di

dunia justru tidak mendapat posisi

sebagaimana mestinya. Mushola

hanya ditempatkan pada sudut sempit

parkiran di basement. Berkawan

dengan centang-perenang selang-

selang jalur air dan listrik. Tak jarang,

letaknya menempel atau menyatu

dengan WC umum yang kumuh.

Menyedihkan.

Tuhan dinomorsekiankan.

Rumah Tuhan hanya disisipkan dengan

keadaan seadanya. Diada-adakan

dengan terpaksa. Semacam pantes-

pantes saja. Keterlaluan.

***

Ketika itu, waktu dzuhur sudah

masuk dan saya sedang berada di

sebuah pusat perbelanjaan. Berputar-

putar ke sana kemari mencari mushola.

Setelah sekian menit berkeliling dan

bertanya ke Pak Satpam, akhirnya

mushola saya temukan. Baiklah, untuk

sementara hati saya lega, dzuhur tidak

terlewat. Namun, jujur saya agak

menahan perasaan. Mushola yang

kemudian saya masuki itu terletak di

sudut, benar-benar sudut di tepi jalan

masuk mobil dari luar mal. Misal

pengguna mushola akan keluar atau

masuk, harus selalu waspada dan

tengok kanan kiri untuk memastikan

tidak ada mobil yang mendekat.

Posisinya persis dimana sopir akan

memutar lingkar setir, memang itu

semacam tikungan kecil.

Ukurannya hanya nol koma

sekian persen dari bangunan inti mal.

Kebersihan ala kadarnya. Jamaah harus

giliran untuak sholat. Ketika berwudhu

pun harus bersiap merampingkan

tubuh agar tidak bersenggolan dengan

pengguna lain.

Pengalaman berikutnya, di

sebuah rumah makan cepat saji di

bilangan Jakarta Utara. Terdapati oleh

saya, mushola terletak di ujung

belakang bangunan dan menyatu

dengan mesin genset. Otomatis, deru

mesin dengan kekuatan decibel yang

besar itu akan mengalahkan fokus

jamaah. Tuhan, aku yakin Engkau tidak

akan merasa terganggu dan mengeluh

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015

berisik, namun itu bukti betapa Engkau ditepikan

bersama mesin yang dianggap akan mengganggu

kenyamanan konsumen dan mengurangi profit

perusahaan.

Tidak hanya dua pengalaman yang saya

miliki terkait hal di atas. Cukup banyak kejadian

hingga akhirnya terakumulasi menjadi tumpukan

rasa, lalu saya pilih tulisan ini menjadi media

penuangannya. Begitulah.

***

Di jaman yang ukuran standar kemuliaan

adalah materi, Tuhan berada di pojok terakhir. Tuhan

menjadi dzat yang tidak lagi penting. Hingga apapun

yang berkenaan dengan-Nya menjadi suatu hal yang

dipikirkan belakangan. Bangunan yang menjadi

tempat pemujaan-Nya pun ada di belakang. Diingat

kalau sempat.

Sebagai orang biasa yang tak berkuasa,

begini saja yang bisa dilakukan. Sekadar menulis

yang mungkin tak ada artinya. Tak ada kontribusi

nyata yang memiliki kadar kemungkinan untuk

direalisasikan. Modal dan ciri-ciri kami hanya

harapan. Hanya mempunyai kumpulan semoga dan

semoga. Dengan sedikit upaya ini semoga ada

perubahan bahwa Engkau semakin diutamakan dan

dimuliakan. Tidak lagi berdampingan dengan bau

sisa konsumsi. Tidak lagi bersisian dengan mesin

yang tak merdu dalam berbunyi.

Penulis: Ryan Perdana, tinggal di Sleman Yogyakarta.

“Di jaman yang

ukuran standar

kemuliaan adalah

materi, Tuhan

berada di pojok

terakhir. Tuhan

menjadi dzat yang

tidak lagi penting.

Hingga apapun

yang berkenaan

denganNya

menjadi suatu hal

yang dipikirkan

belakangan.

Bangunan yang

menjadi tempat

pemujaan-Nya pun

ada di belakang.”

Page 4: Edisi 8 - Ketika [Mushola] Tuhan di sudutkan

ulisan ini berisi kegelisahan yang T lama tertahan. Kegelisahan yang

muncul setiap menginjakkan

kaki di bangunan-bangunan besar nan

megah. Kegelisahan akan jaminan

kemudahan mendapatkan ruang yang

baik untuk mencoba mengingat Tuhan,

yang tiap hari terpinggirkan dari

k e s i b u k a n d u n i a w i y a n g t a k

berkesudahan. Ruang itu bernama

mushola.

Saya tak berani menulis dan

berharap adanya masjid. Karena pada

kenyataannya, mushola saja seperti

terlalu tinggi untuk diharapkan

keberadaannya. Jangankan masjid,

mushola saja entah ada atau tidak,

misal ada, apakah cukup layak atau

tidak.

Pe m o d a l b e s a r p e m i l i k

bangunan-bangunan agung tidak

menempatkan mushola sebagai ruang

yang diprioritaskan dalam master plan-

n y a . M u s h o l a d i p i n g g i r k a n ,

Buletin SANTRI Edisi 08Jum’at, 10 April 2015 1Buletin SANTRI Edisi 08

Jum’at, 10 April 20154

Jawaban: Waalaikumsalam. Allah SWT dalam QS. Fushilat: 53, Ali Imran: 191, dan Yunus:

101 berfirman tentang pentingnya mengamati penciptaan alam semesta dan seisinya.

Meneliti alam semesta dapat meningkatkan iman pada kekuasaan Allah SWT. Dalam

hadits Rasulullah juga bersabda: "Janganlah berpikit tentang Dzat Allah, berpikirlah

tentang ciptaan Allah" (HR. Ahmad dan Thabrani). Al-Quran dan Hadits telah

menekankan pentinganya belajar IPA yang secara teoretis didasarkan pada

eksperimentasi (al-tajribah) dan interpretasi terhadap gejala alam. Ilmu ini pada

perkembangannya memiliki cabang-cabang seperti Fisika, Kimia, Biologi, Ilmu

Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Pembagian IPA dalam berbagai cabang tersebut

sejatinya untuk mempermudah mempelajari alam seisinya dari sudut pandang tertentu.

Namun sasaran yang diselidiki adalah satu, yaitu alam semesta dan seisinya, tak

terkecuali asal mula penciptaan alam semesta beserta proses dan mekanismenya.

Mempelajari IPA banyak berkahnya. Berkah artinya adalah bertambahnya kebaikan.

Melalui belajar IPA semoga keimanan kita pada Allah SWT semakin bertambah.

Pertanyaan: Salam Ustadz, Saya siswi SMA yang mau lanjut kuliah. Saya minat di bidang

Matematika-IPA, tapi ada yang bilang kalau belajar ilmu non-agama itu tidak berkah dan manfaat.

Saya mau tanya supaya saya mantap lanjut kuliah: Ilmu yg berkah dan manfaat itu yang

bagaimana? Apa benar ilmu non-agama itu tidak berkah dan manfaat? Terimakasih.

Rifqiya, Demangan.

Ilmu non-agama tidak

berkah dan manfaat?

Edisi 08/2015

Ketika [Mushola] Tuhan

Disudutkan

Oleh: Ryan Perdana*

Website Islam Ramah

Silahkan berkunjung ke: Donasi buletin SANTRI

dapat dikirim melalui:

Bank BRI SyariahNo. Rekening 102 040 1617

a/n Sarjoko