92
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1

Edukasi edisi XIV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal pendidikan

Citation preview

Page 1: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 11

Page 2: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201022

Page 3: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 33

JURNAL ini diterbitkan oleh DinasPendidikan Sumenep untuk menam-pung setiap gagasan yang konstruk-

tif dan inovatif tentang duniapendidikan, khususnya dalam

lingkup pengembangan pendidikanlokal, guna mewujudkan tujuan

luhur pendidikan nasional.

Penanggung Jawab:Drs. KH.Abdullah Khalil M.Hum

Pengarah:Kepala Dinas Pendidikan Sumenep

(H. Moh. Rais, S.Pd. M. Si)Pemimpin Redaksi:

M. Faizi M.HumDewan Redaksi:

Rusly, M.Pd. A. Dardiri Zubairi,S.Pd, Drs. Akhmad Nurhadi, S.Pd,

M.Si, Drs. Moh. Arif Imron,Staf Redaksi:

Mohammad Suhaidi RB, S.Th.IDesign Grafis:Zeinul Ubbadi

Distribusi & Keuangan:Drs. H. Moh. Kadarisman, M.Si.

Alamat Redaksi:Jl. Trunojoyo 295 Gedungan

Sumenep Telp.(0328) 664829, Fax(0328) 666089 e-mail :

[email protected]

REDAKSI menerima kiriman naskahberupa artikel, kolom dan resensi

buku tentang pendidikan daripembaca. Redaksi berhak mengedit

naskah sejauh tidak mengubahsubstansi dan maksud tulisan.Panjang tulisan antara 15-20

halaman kwarto spasi ganda (untukArtikel) dan 3 halaman (untuk

kolom), sertakan pas foto terbaru,Identitas lengkap yang disertai

pengalaman pendidikan, organisasidan profesi. Naskah yang dimuat

akan diberi imbalan.

EDUKASIJurnal Pendidikan dan Kebudayaan

Dinas Pendidikan Kab. Sumenep

Salam............

Sejak Jurnal Edukasi edisi XIII terbit pada pertengahan tahun2009, banyak pertanyaan yang datang dari para pembaca atasketerlambatan penerbitan. Kacaunya jadwal penerbitan ini sulitsekali dijelaskan mengingat faktor utama berada pada persoalanpendanaan. Di samping itu, hal ini juga berpengaruh pada pen-cantuman masa tenggat naskah yang masuk ke meja redaksi, ser-ta sulitnya mencari naskah yang layak untuk standar jurnal. Akantetapi, bagaimana pun, jadwal tenggat harus dicantumkan dalamsetiap edisi penerbitan agar jurnal ini tidak terkesan mengada-ada. Namun begitu, pendaanaan yang tersendat membuat kamimemilih ini sebagai alasan utama untuk dijawabkan mengingatJurnal Edukasi dibagi cuma-cuma dan tidak diperjualbelikan.

Tema kali ini, “Mempertanyakan Ulang ProfesionalismeGuru”, pun terasa terlambat diangkat. Tema ini sedianya akandidedah bersama isu sertifikasi guru yang belakangan menjadibanyak dipersoalakan. Kasus 1800-an guru di Riau yang terlibatkasus pemalsuan untuk mendapatkan sertifikasi PAK menjadibukti bahwa isu ini sejatinya tidak begitu basi. Mengapa guruyang notabene menjadi teladan dalam semua sisinya masih dapatrela melakukan tindakan buruk yang berkebalikan dengan cita-cita yang gambarkan dalam, misalnya, lirik lagu “Himne Guru”?

Kali ini, artikel Edi Subkhan, “Memikirkan Kembali Profe-sionalitas Guru” diharapakan dapat memberikan gambaranumum mengenai realitas yang tergambar di atas. Di samping itu,wawancara dengan salah seorang pengamat pendidakan, AhmadRizali (Mas Nanang), juga menjadi sajian kami kali ini. Kamiberharap, dengan adanya tulisan-tulisan tajam dari para penyum-bang dapat kembali membuka wawasan kita untuk mempertan-yakan ulang, sejatinya seperti apakah guru itu seharusnya “men-jadi”? dari jawaban itu, diharap terdapat jawaban untuk pertan-yaan: mengapa pemerintah perlu mengubah lirik lagu HimneGuru yang lama (“Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tandajasa”) menjadi “pembangun insan cendekia”? Secara berkelakar,kita bisa memastikan, bahwa lirik inipun berhubungan denganmasalah tunjangan profesional, gaji, dan tentu saja sertifikasi guruyang berada dalam bingkai “profesionalisme” yang sejauh inimasih terkesan abu-abu.

Selamat membaca!

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

PANDHAPA

• Umar Bakri Telah Profesional? (4)

ARTIKL TAMU

• Memikirkan Kembali Profesionalitas Guru (6)

ARTIKEL UTAMA

• Tantangan Profesionalisme Standar Kertas (14)

• Mempertegas Profesionalisme Guru (20)

• Profesionalisme Guru dan Realitas

Pembelajaran (26)

• Silangsengkarut Profesionalisme Guru (31)

• Guru Profesional atau Guru Kompeten (40)

• Mempertajam Kreativitas Guru Profesional (50)

WAWANCARA

• Profesi Guru,

Setingkat di Bawah Para Nabi (46)

ARTIKEL LEPAS

• Politik Pendidikan dan Dilematika

Penyelenggaraan Pendidikan (56)

• Pendidikan Islam dalam Keluarga Bagi Anak

Usia 6-12 Tahun (61)

• Demaskulinisasi Pendidikan Pesantren (70)

• Pendidikan Tahan Banting (77)

KOLOM SISWA

• Menggugat Penerapan Ujian Nasional (84)

• Sentralisasi Semester (86)

KOLOM

• Guru Profesional atau Guru Profetik? (88)

• Guru Bertunjangan, Guru (Layak) Profesional (89)

RESENSI

• Pendidikan Berbasis Kasih Sayang (90)

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 33Design obbath/ foto: andy irawan santosa (fotografer.net)

Page 4: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201044

pandhapapandhapa

44

ge

Kata profesional selalu disandingkan pada seseorang atau

kelompok yang memiliki keahlian. Dokter misalnya, dikategorikan

sebagai tenaga profesional, karena keahliannya di bidang medis.

Tenaga teknisi diklasifikasikan pula sebagai tenaga profesional,

karena memiliki keahlian di bidang teknik. Di kalangan “Umar

Bakri”—sebutan yang dipopulerkan Iwan Fals untuk guru atau

tenaga pendidik—kata profesional lahir dan dilekatkan pada kata

“guru” sekitar awal tahun 2005. Proses kelahiran kata ini juga

cukup dramatis. Diawali dari usulan berbagai pihak terutama

organisasi profesi PGRI pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto, Habibi, Gus Dur, sampai pemerintahan Ibu Megawati,

namun selalu kandas. Umar Bakri masih tetap Umar Bakri,

bersepeda onthel, dengan label pahlawan tanpa tanda jasa.

Desakan dan keinginan menyandingkan kata profesional

pada guru terus bergulir. Forum-forum dialog dan forum-forum

terbuka, maupun demonstrasi massa

yang dimotori PGRI dan organisasi

profesi pendidik lainnya menjadi sarana

penyampai aspirasi mereka. Sampai

akhirnya cita-cita mulia itu bak gayung

bersambut pada era pemerintahan

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Dibantu organisasi profesi Perguruan

Tinggi, seperti Forum Rektor, sejumlah

guru melalu PGRI kembali menyuarakan

keinginan menjadi guru profesional

sebagaimana tenaga profesional

lainnya. Sambutan Pak SBY cukup

menggembirakan dan memberi angin

segar bagi pahlawan tanpa tanda jasa

itu. Hal itu diwujudkan dengan lahirnya

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen.

Beberapa misi dan tujuan peningkatan profesionalisme guru

diformulasikan dalam pasal 10 UU RI Nomor 14 Tahun 2005 yang

mempersyaratkan guru profesional memliki kompetensi pedagogik,

kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi

profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Target yang

dipersyaratkan tersebut merupakan target maksimal yang dicita-

citakan oleh pemerintah. Dan dalam bayangan siapapun diakui

bahwa cita-cita tersebut merupakan cita-cita ideal peningkatan

profesionalisme guru yang diharapakan pemerintah dan

masyarakat.

Kalau kita baca undang-undang tersebut secara tuntas dan

dipahami pula secara komprehensif betapa telah tergambar

pendidikan berkualitas yang sebenarnya di negeri ini. Kiblat

pendidikan seakan-akan bukan lagi di negara barat, melainkan di

negeri atau di rumah kita sendiri. Profil tenaga pendidik— sebagai

motor dunia pendidikan—yang dicita-citakan dalam undang-undang

itu terasa ideal dan memberi gambaran bahwa pendidikan kita

sebagai avant-garde.

Namun dalam realitas, implementasi cita-cita yang ideal itu

baru sebatas keinginan, hanya sebatas bayangan semu, sebuah

fantasi, atau bahkan hanya sebuah mimpi setiap hari. Implementasi

cita-cita mulia itu banyak dihambat oleh kebijakan yang serba

instan, baik dalam bentuk paruh instan, maupun full instan yang

akhirnya melahirkan predikat profesionalisme instan pula.

Ke-instan-an ini mengakibatkan barometer profesionalisme

guru semakin tidak jelas. Kita coba tengok terlebih dahulu rumusan

Dedi Supriyadi (1998) tentang ciri-ciri profesionalime. Pertama,

pekerjaan itu mempunyai signifikansi sosial dan mendapatkan

pengakuan atau apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Kedua,

profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat

pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan

dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam suatu profesi, independent

judgment berperanan dalam mengambil putusan, bukan sekedar

menjalankan tugas. Ketuga, profesi didukung oleh suatu disiplin

ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan

atau hanya common sense. Keempat, ada kode etik yang menjadi

pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan

tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai konsekuensi

dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota

profesi secara perseorangan ataupun kelompok memperoleh

imbalan finansial atau materiil.

Tuntutan dan barometer profesionalisme guru di atas dalam

realitas kehidupan kita saat ini menjadi muspro. Hingar-bingar

profesionalisme sekarang seakan-akan terbatas pada pemberian

tunjangan satu kali gaji pokok sebagaimana karakteristik kelima

yang digambarkan Dedi Supriyadi. Karakteristik yang lain

terabaikan. Keahlian guru dalam mendidik dan berkehidupan sosial

hanya dicermati dari jumlah jam mengajar (yang dipersyaratkan

24 jam seminggu), dinilai berdasarkan tumpukan kertas portofolio,

dan diklat jangka waktu pendek yang endingnya dipastikan lulus.

Tahun berikutnya dipastikan menerima tunjangan satu kali gaji

pokok (dalam bentuk rapelan) yang rencana peruntukannya untuk

membeli rumah, beli mobil, umroh, atau bahkan naik haji—bukan

dalam rangka menata dan meningkatkan mutu pembelajaran yang

selama ini dilaksanakan.

Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika

guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagian

di antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi

pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang

profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih

level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang

lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di

kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di

gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus

berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang

bermobil itu telah profesional?

Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika

guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagiandi antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi

pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang

profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih

level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang

lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di

kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di

gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus

berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang

bermobil itu telah profesional?

Tuntutan dan barometer profesionalisme guru di atas dalam

realitas kehidupan kita saat ini menjadi muspro. Hingar-bingar

profesionalisme sekarang seakan-akan terbatas pada pemberi-

an tunjangan satu kali gaji pokok sebagaimana karakteristik ke-

lima yang digambarkan Dedi Supriyadi. Karakteristik yang lain

terabaikan. Keahlian guru dalam mendidik dan berkehidupan so-

sial hanya dicermati dari tumpukan kertas portofolio dan diklat

jangka waktu pendek yang endingnya dipastikan lulus. Tahun

berikutnya dipastikan menerima tunjangan satu kali gaji pokok

(dalam bentuk rapelan) yang rencana peruntukannya untuk mem-

beli rumah, beli mobil, umroh, atau bahkan naik haji—bukan

dalam rangka menata dan meningkatkan mutu pembelajaran yang

selama ini dilaksanakan.

Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika

guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagi-

an di antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi

pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang

profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih

level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang

lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di

kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di

gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus

berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang ber-

mobil itu telah profesional?

*Penulis Redaktur Edukasi,

mahasiswa S3 Unesa Surabaya

Rusly KM

OlehOlehOlehOlehOleh

Umar BakriTelah Profesional?

Page 5: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 55

pamatorpamator

Rubrik ini kami sediakan

untuk sidang pembaca

yang ingin menyampai-

kan saran, ide-ide krea-

tif dan bahkan kritik ter-

hadap redaksi maupun

terhadap bentuk-ben-

tuk pemikiran para

penulis di jurnal ini. Bisa

langsung dikirimkan ke

alamat kami /e-mail

nusumenep@telkom. net

maksimal 1 ½ halaman

kwarto dengan spasi

ganda.

m

a

t

p

or

a

ge

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 55

EDUKASI, TERUSLAH TERBIT !

Jujur, sebagai warga Sumenep, saya sangat bangga bisa membaca jurnal

pendidikan Edukasi. Banyak hal yang saya dapatkan setelah membaca jurnal

yang dibiayai dari APBD itu. Banyak ide dan wawasan tentang dunia pendidikan,

yang bisa dipelajari dan dijadikan sebagai bahan untuk mendalami dan

memahami seputar dunia pendidikan dalam berbagai perspektif. Atas dasar itu,

saya berharap jurnal Edukasi tetap bisa terbit dan terus menyajikan informasi

keilmuan tentang pendidikan secara dinamis, karena menurut saya, informasi

yang disajikan oleh Edukasi, tidak hanya sekedar menjadi bahan bacaan, tetapi

dalam derajat tertentu telah menjadi kebutuhan mendasar di kalangan insan

pendidikan, terutama kalangan mahasiswa jurusan pendidikan.

Rahman AlifTinggal di Sumenep

UNAS SEBAGAI PROBLEM PENDIDIKAN

Kebijakan menjadikan UN (Ujian Nasional) sebagai penentu kelulusan siswa

merupakan kebijakan yang cenderung dipaksakan. Proses dan pelaksanaan UN

tidak hanya mengerdilkan potensi dan kreatifitas siswa, tetapi banyak persoalan

lain yang pada gilirannya tercipta. Pertama, tekanan psikologis terhadap siswa,

karena UN berarti pertarungan matian-matian untuk bisa lolos (menjadai siswa

yang lulus). Kedua, yang perlu dikritisi adalah pada saat UN, siswa menjadi pihak

yang diawasi secara ketat. Beberapa elememen kerapkali diterjunkan untuk

mengawasi pelaksanaan UN, bukan hanya pihak independen, tetapi seringkali

masih melibatkan pengawasan dan pengamanan dari pihak kepolisian.

Kondisi pengawasan yang super ketat semacam itu, menunjukkan tentang

begitu tidak bebasnya siswa dalam melaksanakan UN, yang secara langsung

ataupun tidak, tidak hanya sekedar menggambarkan tentang betapa pentingnya

UN sehingga harus mendapatkan pengawasan yang cukup ketat, tetapi juga

menjadi beban psikologis yang cukup berat. Sebab, di satu sisi, para siswa

harus berjuang keras untuk bisa menjawab soal dengan beban tinggi, juga

berhadapan dengan situasi yang bisaja “ketat” alias tidak enjoi. Akibatnya, siswa

terposisikan layaknya sebagai terdakwa dengan beban tuntutan yang cukup berat.

Semoga, ke depan pemerintah mampu mencarikan solusi yang baik, agar

masalah standar kelulusan yang saat ini direpresentasi oleh UN dan telah

mendapatkan kritik yang beragam, dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk

terus dicarikan solusi yang terbaik, terutama bagi masa depan siswa.

Achmad Sama’onMahasiswa STITA, Semester IV

IRONI PENDIDIKAN KEPULAUAN

Sudah menjadi rahasia umum, para tenaga pengajar (PNS) yang ditugaskan

di kepuluan rata-rata sering mangkir dari tugas. Mereka sering pulang ke daratan

dengan tenggat waktu yang terkadang tidak masuk di akal. Dalam taraf sangat

parah, serorang guru PNS bisa satu bulan di pulau dan tiga bulan di daratan. Ada

yang menyewa orang untuk menggantikan tugasnya mengajar, dan ada yang mem-

biarkannya begitu saja.

Oleh karenanya lewat media ini, saya sangat berharap penugasan PNS ke

kepulaun harus dipertimbangkan dengan matang. Selama ini pemerintah seper-

tinya hanya punya pemikiran “pokoknya PNS baru, ya harus di Pulau”. Ini menge-

sankan bahwa pendidikan di kepulauan adalah bahan kelinci percobaan. Selain

itu pemerintah juga sering menjadikan kepulauan sebagai “penjara” atau tempat

seorang penjabat atau guru yang berbuat kesalahan di daratan.

Alhasil, pendidikan di kepulauan bukan hanya dianaktirikan, namun memang

dikerdilkan; dengan dijadikan kelinci percobaan dan dijadikan penjara. ini harus

segera disudahi !!!

Zeinul UbbadiPemerhati Pendidikan di Sumenep

Page 6: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201066

artikel tamuartikel tamu

Edi Subkhan

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201066

Memikirkan Kembali

Edi SubkhanEdi SubkhanEdi SubkhanEdi SubkhanEdi Subkhan, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan, ProgramPascasarjana, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pegiat di Sekolah TanpaBatas (STB) dan Darmaningtyas Institut of Globalization and EducationStudies (Digest). Korespondensi email: [email protected].

Profesionalitas Guru

“[…] we should always be mindful of ourobligation not to run away from authority but toexercise it in the name of self- and social forma-tion. That means always reminding ourselvesthat power must be exercised within a frameworkthat allows students to inform us and to be morecritical about their own voices, as well as awareof the codes and cultural representations of oth-ers outside the immediacy of their experience. Ascultural workers we must be aware of the partialnature of our own views.”

-Henry Giroux (2005: 132)

PendahuluanSelain masalah kesejahteraan guru, pro-

fesionalisme kerapkali menjadi isu yangcukup seksi dalam dunia guru. Namun se-belum telanjur jauh menggunakan istilah“profesionalisme” dan juga “profesionali-tas” dalam kalimat-kalimat seperti “guruharus profesional,” mari kita telusuri danpertanyakan: apakah yang dimaksud den-gan “profesionalisme” dan “profesionali-tas” itu? Kemudian setelah itu kita pertany-akan apakah guru memang mesti profesion-al, atau profesional seperti apakah yangharus dipenuhi oleh guru.

Jika mendasarkan pada Undang-Un-dang (UU) No. 14/2005 tentang Guru danDosen, pada pasal 1 ayat (1) dinyatakanbahwa, “Guru adalah pendidik profesionaldengan tugas utama mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan, melatih, me-nilai, dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikanformal, pendidikan dasar, dan pendidikan me-nengah.” Pada ayat (4) dinyatakan bahwa,“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatanyang dilakukan oleh seseorang dan menjadisumber penghasilan kehidupan yang memer-lukan keahlian, kemahiran, atau kecakapanyang memenuhi standar mutu atau norma ter-tentu serta memerlukan pendidikan profesi.”Pada ayat (7) dan (8) membicarakan tentangperjanjian kerja dan pemutusan hubungan ker-ja. Sekilas begitu jelas bahwa unsur “kerja” dan“pekerjaan” begitu dominan dalam undang-undang tersebut.

Dari ketentuan tersebut jelas bahwa gurudituntut untuk profesional dalam menjalankantugasnya, dan ternyata “profesional” tersebutdimaknai sebagai “pekerjaan” itu sendiri, yangsebenarnya mungkin akan lebih tepat ketika“profesional” dimaknai sebagai kemampuan,sifat dan karakter yang harus ada dalam “pro-fesi,” bukannya memaknai “profesional” se-bagai “pekerjaan” itu sendiri. Dengan demiki-an, “pekerjaan” dapat disama artikan sebagai“profesi.” Dalam pengertian profesi sebagaipekerjaan itulah pemerintah melalui UU No.14/2005 tersebut menyatakan bahwa pekerjaanditujukan untuk menjadi “sumber penghasilankehidupan.” Dengan begitu, guru yang ditun-tut profesionalitasnya adalah pekerjaan yang“dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumberpenghasilan kehidupan...” Ayat (7) dan (8) makinmenguatkan bahwa pengertian guru sebagaisebuah pekerjaan adalah sama dengan peker-

Page 7: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 77

jaan lain yang terdapat surat per-janjian kerja dan putus hubungankerja.

Jika kita mau lebih jeli dan jauhmenelaah ayat (7) dan (8) dari UUNo. 14/2005 tentang Guru danDosen tersebut, maka akan terlihatbahwa keduanya tampak sesuaidan selaras tata aturan mengenaiguru dan dosen yang baru disah-kan dalam bentuk Undang-Un-dang No. 9/2009 tentang BadanHukum Pendidikan (BHP) yangkontroversial itu. Sebenarnya tidakaneh jika dilihat dari perspektifbahwa banyak kebijakan yangpada akhirnya bermuara pada UUBHP, dalam arti bermuara untukmenguatkan dan menyesuaikandengan UU BHP, walaupun un-dang-undang atau kebijakan laintersebut disahkan lebih dulu sebe-lum UU BHP disahkan tahun 2009.Tujuannya sebenarnya cukup jelas,yakni menjadikan sekolah dan ka-mpus sebagai perusahaan (korpo-ratisasi), dan dengan demikianguru dan dosen dianggap sebagaipekerja biasa, seperti buruh pabrikdan pekerjaan lain yang tujuannyauntuk mencari duit (lihat Darman-ingtyas et al, 2009).

Intinya, pengertian guru se-bagai pekerjaan yang sama denganjenis pekerjaan lain tersebut adalahdari pemerintah, karena jelas terda-pat dalam UU No. 14/2005 pasal 1ayat (1), (4), (7), dan (8). Sekarangmari kita tinjau secara sosiologis,bahwa profesionalitas adalahsikap yang ditunjukkan oleh se-buah profesi tertentu. Dalampengertian sederhana “profesi”dapat diartikan sebagai “peker-jaan,” dengan begitu profesionali-tas adalah sifat, sikap, kemampuan,kompetensi yang mesti dimiliki olehseseorang yang memiliki pekerjaanatau profesi tertentu. Jika wirausa-hawan adalah sebuah profesi,maka seorang wirausahawan dika-takan sebagai profesional ketika iamemiliki serangkaian sifat yangmesti dimiliki oleh seorang wiraus-ahawan, misalnya ulet, kreatif, cer-

mat membaca peluang usaha, ke-mampuan manajemen organisasibagus, dan sejenisnya. Ketika isti-lah “profesi,” “profesionalitas,”dan “profesionalisme” tersebut dis-ematkan pada guru, maka peker-jaan macam apakah guru tersebut,samakah dengan pengertian daripemerintah dalam UU No. 14/2005di depan?

Itu pertanyaan yang pentingmengingat sebenarnya tidak han-ya pemerintah melalui UU No. 14/2005 yang berupaya menjadikanguru sebagai sebuah pekerjaan sep-erti pekerjaan mencari duit lainnya,masyarakat pun ternyata banyakyang menginginkan hal tersebut.Ada banyak rumor yang menyata-kan bahwa para guru iri denganprofesi lain seperti dokter, insinyur,jaksa, pengacara, dan lainnya yangmungkin dianggap lebih prestise,sejahtera secara ekonomi, terjamin,terdapat standar kualitas yangjelas, ada ikatan profesi yang jelas,dan cukup terorganisasi. Hal itu-lah yang mendorong para guru ber-pikiran untuk menuntut “keset-araan” dengan profesi lain tersebut,namun pertanyaannya adalah “set-ara” dalam hal apa? Hal dimaksudyang paling mungkin adalah set-ara dalam kesejahteraan dan jami-nan karier, sedangkan setara dalamprofesi jelas tidak bisa. Karena padadasarnya memang bidang garapan,aktivitas dan fungsinya masing-masing profesi tidak sama. Namunjuga tidak dapat dikatakan dalamistilah setara atau tidak setara, gurudan insinyur jelas berbeda, namunbukan berarti tidak setara, kalautidak setara dalam soal kesejahter-aan (baca: gaji) mungkin saja.

Guru Lebih dari Sekedar Profe-si Biasa

Masalahnya adalah, kalauyang dituntut adalah keterjaminankarier dan peningkatan kesejahter-aan guru, kenapa kemudian pe-merintah melalui UU No. 14/2005menjadikan guru sama dan setaradengan jenis pekerjaan lain yang

tujuannya adalah mencari duit?Padahal jelas bahwa bidang gara-pan, aktivitas dan fungsi gurudalam ranah sosial berbeda dari je-nis pekerjaan lainnya. Guru dapatdikatakan relatif setara dengan pro-fesi seperti Polisi dan Tentara yangtujuan utamanya bukan untukmencari dan mengakumulasikekayaan, jika Polisi dan Tentaratujuan utamanya adalah menjagakeamanan dan pertahanan nasion-al, maka guru adalah mendidikmanusia. Dengan demikian, gurusebagai sebuah profesi tujuan uta-manya bukan untuk mencari danmengumpulkan kekayaan sebany-ak-banyaknya, melainkan me-manusiakan manusia. Oleh karenaitu, kalau ada orang yang niat jadigurunya adalah semata-mata danterutama untuk mencari uang, mes-tinya ia tidak jadi guru, melainkanmenjadi pengusaha, pedagang,kontraktor dan lainnya yang me-mang tujuan utamanya adalahmencari untung setinggi-tingginya.

Sekali lagi, hakikat guru adalahtidak sama dengan profesi lainnya.Guru adalah profesi kenabian (pro-phetic profession). Harusnya, menja-di guru dan menjalani laku kepen-didikan tidak terutama diniatkanuntuk mencari duit, melainkan un-tuk mendidik manusia, memanu-siakannya dengan membudaya-kannya. Kalau niat utama menjadiguru adalah untuk mencari duit, yasebaiknya tidak kuliah di perguru-an tinggi keguruan, melainkan dikampus yang berorientasi ekonomidan dunia industri saja. Bagi Gir-oux (2005) guru adalah pekerja bu-daya, pekerja sosial, dan aktivitaspengabdian pada kemanusiaan.Namun bukan berati kemudianguru tidak boleh menuntut gaji ting-gi, justru sebaliknya, karena men-didik adalah mengolah manusiadan “menghidupkannya,” makagaji guru harusnya lebih besar dariprofesi lainnya. Justru tiap aktivi-tas dan kerja yang berhubungandan bertujuan untuk memuliakanmanusia, memperjuangkan fitrah

Page 8: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201088

kemanusiaan, membebaskan manu-sia dari ketertindasan, ketidakadi-lan, diskriminasi, memajukan danmencerdaskan kehidupan bangsa,maka ia harus digaji tinggi olehnegara.

Dalam struktur anatomi nilaisebuah masyarakat yang kacau dantidak sehat, memang menjadi kacaupula tentang mana kulit dan manaisi, mana yang utama dan manayang tidak utama, mana yang in-dah dan mana yang buruk, manayang baik dan mana yang jahat,mana yang mulia dan mana yanghina, mana kepala dan mana kaki.Di sinilah kemudian juga kacaupemahaman apakah kira-kira guruitu aktivitas yang lebih mulia ketim-bang blantik sapi? Kalau iya, lalumengapa penghasilannya (berupakeuntungan finansial) lebih besarblantik sapi ketimbang guru. Me-mang jelas bahwa blantik sapi tu-juan utamanya mencari untung fi-nanial dan hasilnya nyatanya ad-alah duit, sedangkan guru hasilnyatanya adalah kepintaran siswa,bukan duit secara langsung. Na-mun, kalau memang betul pemer-intah memahami bahwa aktivitasmemanusiakan manusia oleh gurulebih mulia dari blantik sapi, kena-pa gaji guru yang kira-kira dapat

dikatakan sebagai penghargaanatas kerja memuliakan kemanu-siaannya tersebut tidak dibuat ataudinaikkan lebih tinggi dari blantiksapi?

Pemerintah adalah pihak uta-ma yang harus bertanggung jawabterhadap kesejahteraan guru, kare-na memang kontrak sosial antararakyat dan elit pemerintah adalahkesediaan aparat pemerintah re-publik Indonesia untuk menjadipenjaga cita-cita bangsa dalam“mencapai keadilan sosial bagi se-luruh rakyat Indonesia” (sila keli-ma Pancasila). Selain itu juga jelasterdapat dalam pembukaan Un-dang-Undang Dasar tahun 1945,bahwa tujuan bernegara Indonesiasalah satunya adalah untuk “menc-erdaskan kehidupan bangsa.” Ka-lau memang pemerintah memaha-mi hakikat kemuliaan tersebut,maka sudah seharunya guru digajitinggi. Guru sudah tidak perlu lagisanjungan dari pemerintah sebagaipahlawan tanpa tanda jasa, yangdibutuhkan guru adalah riil gajitinggi dan peningkatan kualitasdiri mereka. Guru tidak usah dia-jari dan dikasih tahu mengenai be-tapa mulia dan hebatnya pekerjaanmereka, guru sudah tahu itu sejakmula memutuskan untuk menjadi

guru. Jangan jadikan sanjunganpada guru tersebut menjadi dalihdan legitimasi dari praktik untuktidak memberikan gaji tinggi padaguru, karena alasan yang salah bah-wa sebagai pengabdian kepada ke-manusiaan, gaji bukan hal yangutama (lihat Winarno Surakhmad,2009). Memang gaji bukan hal yangutama bagi guru, namun kalau pe-merintah paham hakikatkemuliaan guru, maka gaji adalahhak guru yang mesti dipenuhi, bah-kan terus dinaikkan.

Mendudukkan Guru dalam AksiPolitik

Politik adalah arus deras danpusaran yang melibatkan apa dansiapa saja untuk terseret di dalam-nya, semua masyarakat terlibatdalam politik, termasuk guru. Kitadapat melihat bahwa banyak kebi-jakan pendidikan yang padadasarnya tidak sekadar merujukpada pertimbangan intelektual-ak-ademis belaka, melainkan jugakesepakatan politik di antara elitpenguasa pemerintahan. Di lapan-gan, guru sebagai pihak yang“harus” melaksanakan kebijakanpendidikan dengan demikian ad-alah ujung tombak pelaksanaandari produk kesepakatan politik elit

Page 9: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 99

penguasa tersebut. Namun, dalampelaksanaannya ternyata banyakproduk kebijakan pendidikan yangtidak sesuai dengan hakikat pen-didikan, tidak cocok dengan reko-mendasi dari banyak hasil peneli-tian akademik, dan bahkan begitumenyulitkan guru untuk melaksan-akannya karena berbenturan den-gan banyak hal di lapangan. Diinilah, guru mestinya harus dapatmemosisikan dirinya sebagai sub-jek aktif yang juga memiliki hak dankekuasaan politik untuk mengkri-tik dan berpartisipasi dalam mem-perbaiki kebijakan yang tidak se-suai tersebut.

Dengan kata lain, guru harusdapat memberi kontribusi dalammemperbaiki kondisi pendidikan,terutama yang disebabkan oleh ke-bijakan pendidikan yang tidak se-suai dengan idealisme dan hakikatpendidikan sebenarnya. Misalnyaadalah kebijakan Ujian Nasional(UN). Terang bahwa dengan adan-ya UN ternyata banyak aktivitaspembelajaran yang dapat lebihmengasah ranah afektif dan psiko-motorik serta kognitif tingkat tinggitidak mendapat tempat. Satu-satu-nya model aktivitas pembelajaranyang dianggap efektif dan efisienuntuk mendukung program lulusUN adalah drill and practice, bukandiskusi kritis, pendekatan problemsolving, contextual learning and teach-ing, nalar kreatif dipangkas, dansemuanya ditujukan untuk UN(lihat Irsyad Ridho [ed.]. 2007). Ban-yak guru sudah menyadari hal itu,namun apa yang mereka lakukan?Sebagian besar tetap saja mengiku-ti ketentuan kebijakan pemerintahtentang UN, entah karena ketidak-tahuan mereka terhadap efek nega-tif UN, atau pura-pura tidak tahudan cuek aja, atau mungkin sajatahu namun merasa tidak berdayakarena berada di dalam sistem itusendiri. Di situlah sebetulnya gurumesti dapat menyadari bahwa mere-ka memiliki kekuatan untuk dapatmengoreksi kebijakan yang tidaksesuai dengan hakikat pendidikan

itu sendiri dengan aksi menentangUN dan lainnya.

Dalam lingkup yang lebih luaslagi, guru pun mestinya dapatmemosisikan dirinya sebagai aktorpolitik, tentu tidak dalam arti poli-tik praktis, melainkan politik kebu-dayaan (Giroux, 2000). Dalampengertian ini, guru harus beranimembincangkan masalah-masalahpolitik yang berkaitan dengan pen-didikan, ataupun politik dalam artiluas dan bentuknya yang palingpragmatis sekalipun. Setelah itu,guru juga harus berani menyikapikebijakan pendidikan yang dibuatantara lain berdasarkan pertimban-gan politis, dan sikap ini tentumerupakan sikap politik guru ter-hadap kebijakan tersebut, juga oto-matis terhadap pemerintah elitberkuasa. Pemerintah meng-gunakan pendidikan sebagai per-angkat politik untuk tujuan politik(misal status quo, stabilitas rezim)dengan mekanisme politik, dalamlogika menang-kalah secara politik.Gerakan penyikapan terhadap me-kanisme politik tersebut, termasukgerakan guru ini, dengan demiki-an juga gerakan politik, karena me-niscayakan mekanisme politikdalam logika menang-kalah untukmemperjuangkan kebijakan pen-didikan secara politik (Apple, 2003).

Selama ini guru merasa tidakpatut bicara politik karena secarastruktural guru—terutama yangPegawai Negeri Sipil (PNS)—bera-da di dalam struktur pemerintah,yakni di bawah Kementrian Pen-didikan Nasional (sekarang) danDepartemen Agama. Mereka pun di-gaji oleh pemerintah hingga mera-sa sebagai bagian dari pemerintah,dan oleh karena itu kemudian men-jadi tabu dan aneh kalau kemudi-an berani mengkritik pemerintah.Namun yang haru dipahami ad-alah: soal pemerintah menggajiguru dan guru sebagai pendidikadalah soal lain. Dalam arti, gurutidak digaji oleh pemerintah kare-na ketundukan mereka kepada pe-merintah atau sebagai staf pemer-

intah, melainkan karena memangkewajiban pemerintah—sebagairepresentasi negara—untuk meng-gaji para aktivis dan pahlawan(baca: guru) yang telah bekerjadalam upaya mencerdaskan ke-hidupan bangsa. Dan gaji tersebutadalah hak guru bukan karena se-bagai aparatur negara, melainkankarena telah melaksanakan aktivi-tas mencerdaskan kehidupanbangsa yang menjadi cita-cita Indo-nesia tersebut.

Logika inilah yang harusdibangun dan pahami oleh guru,yang pada akhirnya secara kolektifakan terbangun guru sebagai se-buah gerakan politik kebudayaan.Dalam menghadapi kebijakan pen-didikan yang seringkali tidak se-suai dengan hakikat dan tujuanpendidikan, maka guru harusmelakukan aksi politik: menentangkebijakan tersebut.

Guru sebagai Intelektual OrganikPada masa lampau, guru bu-

kanlah sebuah pekerjaan yanghanya mengajar di sekolah ataukelas saja, melain guru adalah se-buah posisi sosial di masyarakat.Bahkan guru sama sekali bukanpekerjaan untuk mencari uangdarinya. Guru adalah rujukan dankonsultasi ketika masyarakat seki-tar punya masalah. Guru memberinasehat dan fatwa-fatwa kebijak-sanaan hidup pada masyarakat.Guru-guru masa lampau itulahguru-guru yang hidup di tengah-tengah masyarakat (lived in), guru-nya masyarakat. Sekarang konsepguru dengan munculnya sekolahsebagai sebuah institusi pendidi-kan formal memang sedikit berges-er. Guru dalam pengertian yang leb-ih sempit dimaknai sebagai peker-jaan mengajar dan mendidik siswadi sekolah, itu saja. Kalaupun dijalan atau lingkungan masyarakatia disapa sebagai guru, itu sekadarsebagai bentuk penghormatan, na-mun di lingkungan masyarakat iatidak dimintai nasehat dan fatwakebijaksanaan hidup lagi se-

Page 10: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101010

bagaimana guru-guru masa lam-pau.

Di satu pihak, sekolah memangmenjadikan praksis pendidikanlebih “efektif dan efisien,” namundi sisi lain juga mereduksi hakikatpendidikan itu sendiri, termasukkonsep dan jangkauan pengertiandan ranah dari guru. Sebagaimanadijelaskan, guru dengan adanyasekolah sekadar dimaknai sebagaipengajar atau pendidik di sekolah,tidak lebih. Di titik inilah seharus-nya guru dapat kembali merengkuhtotalitas definisi dan jangkauanranah aksi dan aktivitas dirinya,dengan menjadi guru yang tidaksekadar dalam arti pendidikan danpengajar di sekolah. Lebih dari ituadalah juga menjadi guru dimasyarakat. Memang tidak mudahdan tidak semua guru dapatmelakukannya. Namun denganmelihat fitrah kejadian guru danjuga potensi yang dimilikinya, makaguru memang harus kembali bera-da di tengah-tengah masyarakatdan kemudian menjadi salah satuaktor perubahan di masyarakat.Menjadi agen transformasi intelek-tual dan sosial di masyarakat (Gir-oux, 2005: 141).

Lalu apakah nilai lebih yangdimiliki guru hingga ia haruskembali berada di tengah-tengahmasyarakat dan dapat menjadi ak-tor perubahan dan juga agen trans-formasi sosial dan intelektual dimasyarakat? Tiada lain adalahkarena memang guru dibutuhkanoleh masyarakat untuk turut mem-berikan kontribusinya dalam mem-bangun masyarakat. Guru memili-ki kesempatan dan modal intelek-tual lebih besar ketimbang anggotamasyarakat lain yang tidak menge-nyam pendidikan formal sampaiperguruan tinggi. Dengan kata lain,“intelektual” adalah nilai lebihyang dimiliki oleh guru dimasyarakatnya. Hal itu sesuai den-gan aktivitas guru dalam mendidikdan mencerdaskan siswanya disekolah yang secara otomatis meng-haruskan guru tersebut untuk juga

selalu bergelut dalam intelektuali-tas. Guru dengan demikian selaludituntut untuk memperbaruipengetahuan dan wawasan intele-ktualnya, di sinilah dalam wacanapendidikan kontemporer secaralebih spesifik, banyak yang ber-pendapat bahwa guru juga harusmeneliti dan menjadi peneliti.

Tentu jika kita cermati sebe-narnya guru sudah menjadi penel-iti sejak awal ia mulai mendampin-gi siswa belajar di kelas, karena iaharus mengamati siswa, menganal-isisnya dan kemudian mengambilsimpulan mengenai apa yang se-baiknya ia lakukan untuk memper-baiki pendekatan pembelajaran-nya. Oleh karenanya dikenal pulayang disebut sebagai classroom ac-tion research atau penelitian tinda-kan kelas, yakni penelitian dalamlingkup kelas untuk meningkatkankualitas dan hasil pembelajaranoleh guru. Tidak sebatas itu, guruseiring dengan peningkatan kuali-tas intelektualnya juga mestinyadapat meneliti dalam bidang danjangkauan yang lebih luas, misalmengkaji buku teks, kurikulumsekolah, relasi antara sekolah danmasyarakat dan sejenisnya. Di si-nilah, guru memang dituntut untukbetul-betul memahami teori, kon-sep, dan paradigma keilmuandalam pendidikan. Atau bahkankalau memang mampu, guru dap-at merumuskan gagasan konseptu-al, teoritik atau paradigmatik baruberdasarkan dari pengalaman danobservasi yang ia lakukan selamamendidik siswa-siswinya.

Namun, apakah itu cukup?Rasanya tidak. Guru harus dapatmembumikan teori-teori dan para-digma keilmuan yang ia kuasaitersebut, yakni betul-betul dapatmenerapkan, mengelaborasi danbahkan melakukan kontekstualisa-si gagasan di kelas dan sekolahtempat ia mendidik tersebut. Guruharus dapat membuat perubahankultur pedagogis di kelas dansekolah menjadi lebih baik. Upayamembumikan intelektualitas terse-

but pun mestinya dapat diperluaslingkup dan jangkauannya, yakniketika kembali melihat dan menem-patkan guru sebagai bagianmasyarakat. Meminjam istilah dariGramsci (1971: 3-13), intelektualorganik kiranya adalah istilahyang tepat untuk mendefinisikanguru yang tidak sekadar cakapdalam berteori saja, namun jugaberani terjun di tengah masyarakatuntuk turut serta membuat sebuahperubahan sosial dan intelektualke arah yang lebih baik. Dalampengertian yang sama, Giroux(2005: 194) menyebut guru juga se-bagai intelektual transformatif, yak-ni intelektual yang harus mentrans-formasikan intelektualitasnya jugakepada masyarakat.

Guru sebagai Pembuka JalanMasa Depan

Selain relasi dengan politik danmasyarakat, guru juga jelas memil-iki relasi dengan siswa-siswinya. KiHadjar Dewantara telah merumus-kan tiga prinsip utama relasi gurudan siswa yang sudah begitu ter-kela itu, yakni: Ing Ngarsa Sung Tu-ladha, Ing Madya Mangun Karsa, danTut Wuri Handayani. Kira-kira terje-mahan bebasnya adalah: seorangguru suatu ketika harus dapat ber-diri di depan sebagai pemimpinyang menjadi teladan, ketika bera-da di samping siswa harus dapatmembangun dan membimbing ke-hendak siswa, dan ketika berada dibelakang harus dapat mendorongdan memberi motivasi. Sejalan den-gan itu adalah pandangan M. Sjafeidari Indonesich NederlanscheSchool (INS) Kayutanam:

“[...] perlu sekali kita mempunyai

sekolah yang berdasar nasional un-

tuk mendidik bangsa yang berhati kuat.

Inilah dasar yang dipakai dalam pen-

didikan INS’ (hlm. 172). [...] ‘Apakah

diploma yang sebagus-bagusnya?

Tidak lain adalah daripada ‘budi yang

dididik supaya berjiwa kuat’. Itulah

buah pengajaran yang besar hargan-

ya bagi bangsa kita. hanya dengan itu

kita dapat merasakan kekayaan alam

yang diberikan Tuhan’ (hlm. 154). […]

‘Pendidikan yang mestinya kita beri-

Page 11: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1111

kan kepada anak-anak ktia, yaitu pen-

didikan yang tidak diberikan alam ke-

pada kita, yaitu pendidikan sikap prib-

adi yang kuat. Supaya anak-anak itu

boleh hidup beruntung dari buah ke-

mampuannya sendiri. Bukanlah pen-

didikan yang mengejar ‘diploma’ dan

lalu bergantung kepadanya’ (hlm.

155).”

(M. Sjafei dalam A.A. Navis,

1996)

Namun mungkin karena kee-goisan diri guru sebagai orang de-wasa dan kemalasan sebagian gurudalam membaca dan mengembang-kan intelektualitas, maka posisidan relasi guru tidaklah dalam po-sisi dan relasi yang indah dan te-pat. Walaupun sudah klasik, na-mun prinsip-prinsip pembelajaranKi Hadjar Dewantara tersebutmasih terasa relevan, namun tentuharus dibaca kembali dalam kon-teks kekinian, demikian juga den-gan prinip-prinsip pendidikanSjafei dari INS Kayutanam. Namunsayang agaknya karena sistem pen-didikan formal di Indonesia lebihmerupakan warisan atau mewari-si model pendidikan Belanda padamasa kolonial—bukan mewarisidan mengimpementasikan pemiki-ran pendidikan Ki Hadjar danSjafei, kecuali dalam jargon TutWuri Handayani—maka paradigmayang terwariskan dan digunakanjuga paradigma kolonial berbajubaru (neo-kolonialisme).

Dalam warisan pendidikankolonial Belanda tersebut, terma-suk dalam tujuan dan kurikulum-nya, tujuan utamanya adalah un-tuk menciptakan pegawai negara,yang pada waktu kolonial disebutsebagai ambtenar atau pegawainegara di birokrasi pemerintahanBelanda. Dalam banyak hal, tujuantersebut masih terwarikan sampaisaat ini, sebagaimana terlihat daribetapa banyak anak-anak dan ma-hasiswa berkeinginan menjadi Pe-gawai Negeri Sipil (PNS). Berbedadengan tujuan pendidikan Ki Had-jar, Sjafei, atau bahkan Tan Malakasebelumnya, yakni untuk memban-gun anak didik yang mandiri, ber-budaya, dan memiliki semangat

telah mewujud di antaranya dalamkurikulum yang sarat dengan ma-teri yang tidak bermakna bagi dirisiswa itu sendiri. Materi-materitersebut adalah nilai-nilai ideologisyang diindoktrinasikan pada siswaagar mereka turut mengikuti alupikir dan cita-cita ideologis orang-orang dewasa tersebut. Kesadaranmengenai ruang, waktu, kontekssosial dan perkembangan intelek-tual serta psikologis menjadiberkurang.

Posisi ideal guru adalah se-bagai pintu pembuka bagi masadepan siswa-siswinya. Memberi-kan semua pengetahuan denganmengarahkan yang baik, juga ber-dasarkan pada keunikan, bakat,minat dan potensi siswa akhirnyamempersilakan siswa-siswinyauntuk memilih masa depannyasendiri. Guru sekadar mengantar-kan pada pemahaman yang lebihbaik tentang kehidupan para siswa-siswinya, dan setelah itu biarlahmereka memilih diri mereka sendi-ri untuk menjadi apa dan bagaima-na. Gibran mengingatkan dalampenggalan bait-bait permenungan-nya:

Anakmu bukan milikmu

Mereka putra-putri Sang Hidup yang

rindu pada diri sendiri

Lewat Engkau mereka lahir, namun tidak

dari engkau

Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu

Berikan mereka kasih sayangmu, tapi

jangan sodorkan bentuk pikiranmu

Sebab pada mereka ada pikiran

tersendiri

Patut kau berikan rumah untuk raganya,

tapi tidak untuk jiwanya

Sebab jiwa mereka adalah penghuni

rumah masa depan

Yang tiada dapat kau kunjungi,

sekalipun dalam mimpi

(Kahlil Gibran,

“Anak-anakmu,” 1983)

Reformulasi Pendidikan GuruLangkah awal yang mau tidak

mau haru ditempuh adalah denganmereformulasi pendidikan guru,terutama di kampus-kampus eks-IKIP yang sekarang telah menjadiuniversitas-universitas. Minimal

juang tinggi (nasionalisme). Relasiantara guru dan siswa adalah sep-erti “penguasa” dan “yang dikua-sai,” guru sebagai pusat dan anaksebagai pinggirannya, guru sebagaiteko air dan anak adalah cangkir-cangkir yang akan diisi oleh apap-un yang keluar dari teko air itu.

Paradigma pendidikan itulahyang harus diubah, atau kalautidak, dalam skala mikro paradig-ma tersebut dapat disebut sebagaisebuah bentuk neo-kolonialismependidikan. Oleh karenanya, harusterdapat upaya untuk memaknaidan memosisikan ulang antaraguru dan siswa secara ideal dantepat. Berkebalikan dengan para-digma pendidikan masa kolonialyang sekadar menjadikan siswamenjadi pegawai, maka sekarangsiswa harus diberikan kebebasandan arahan untuk dapat menentu-kan masa depannya sendiri. Berke-balikan dengan pendekatan behav-ioristik dalam pendidikan awal-awal kemerdekaan—yang sebe-narnya sekarang juga masih kentalpada pelajara-pelajaran yang mes-tinya tidak perlu—harus diubahmenjadi yang lebih memberikankepercayaan pada siswa.

Guru harus diposisikan tidaksebagai penentu masa depansiswanya, di mana kemudian gurumerasa sok tahu mengenai apa yangterbaik bagi siswa seluruhnya.Masa depan yang dipaksakan ke-mudian juga masa depan dalambayangan dan perspektif orang de-wasa, bukan dari perspektif dankeinginan siswa sendiri. Padahalterang bahwa masa depan bukanmilik guru tersebut, tapi miliksiswanya. Kalau siswa selalu diar-ahkan dan dipaksa untuk memili-ki masa depan sebagaimana keingi-nan guru—dan juga orangtua—maka kelak si anak tidak akan dap-at membangun masa depannyasendiri. Harapan yang terlalu ber-lebihan pada anak untuk dapatnantinya memiliki peran sosial ter-tentu dalam masyarakat dan masadepan yang diinginkan oleh guru,

Page 12: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101212

tiga hal di depan, yakni guru se-bagai gerakan politik kebudayaan,guru sebagai intelektual organik,dan guru sebagai pembuka masadepan siswa adalah gagasan awaldalam memikirkan kembali gurudalam konteks masyarakat riil. Kare-na dalam aktivitas mendidiknya,guru tidak dapat dilepaskan darikebijakan pendidikan buah darikesepakatan politik, tidak dapatjuga lepas dari masyarakat, kontekssosial di mana ia berada, dan jelastidak dapat lepas dari berhadapandengan siswa-siswinya. Satu halutama ketika berniat untuk memu-lai reformulasi posisi, fungsi, per-an, dan ideal guru melalui pendid-ikan guru pun tidak dapat tidakharus dimulai dari kajian-kajianintelektual yang serius.

Baru setelah itu kmeudian ad-alah dengan mereformulasi tujuanpendidikan guru agar minimal se-suai dengan tiga hal yang dike-mukakan di depan. Sekarang initampaknya untuk menggagas gurusebagai bagian dan berpotensi se-bagai gerakan politik kebudayaansama sekali tidak disentuh diperkuliahan para calon guru. Pada-hal terang bahwa politik selalumengitari aktivitas dan kehidupanguru. Setelah itu baru reformulasidosen dan lingkungan kampus,dengan cara didesain sedemikianrupa untuk membangkitkan nalar

intelektual calon guru, untuk men-jadikan mereka sadar dan sensitifterhadap berbagai praktik politikdan hegemoni politik terhadappendidikan, dan menumbuhkankesadaran sebagai guru yang tidakmengkebiri kreativitas dan mem-bunuh masa depan siswa. Refor-mulasi dosen di perguruan tinggikeguruan menjadi begitu penting,karena kemudian ia menjadi mod-el yang akan ditiru oleh mahasiswapara calon guru tersebut.

Kalau sekadar mengandalkanreformulasi kurikulum yang sebe-narnya lebih bersifat tekstual—dalam pengertian official curricu-lum—maka tidak akan dapat se-cara signifikan menginternalisasinilai-nilai keadaran kritis, motiva-si intelektual dan lainnya padaguru. Desain lingkungan belajar dikampus dan termasuk juga gayadan stereotype dari dosen sendiridengan begitu adalah merupakanhidden curriculum yang sebenarnyadapat lebih signifikan mengenapada ranah afektif dan perilaku danbahkan dimeni ideologis nalarpikir mahasiswa calon guru (Mar-golis [ed.], )2001. Baru setelah ituadalah kurikulum resmi (officialcurriculum) yang diberikan padamahasiswa calon guru juga direfor-mulasi sesuai dengan tujuan daripendidikan guru tersebut. Materiperkuliahan dan jenis mata kuliah

pun juga perlu dikaji ulang untukmemberikan pemahaman yang baikmengenai hak guru dalam politik,mengenai praktik atau mekanismepolitik dalam pendidikan, men-genai posisi guru di tengahmasyarakat, di samping juga dalamlingkup sekolah guru perlu menge-tahui perkembangan dari berbagaipendekatan pembelajaran terkini,termasuk perkembangan paradig-matik pendidikan terkini.

Masalah yang juga perlu dika-ji ulang adalah mengenai ke-beradaan Pendidikan Profesi Guru(PPG) di tengah belum bagusnyakondisi perguruan tinggi keguruanitu sendiri, juga di tengah masalahternyata masih banyak mahasiswalulusan perguruan tinggi keguru-an yang menganggur. Memang,tidak ada hak untuk melarang se-mua orang menjadi guru, termasukmereka yang berasal dari latar be-lakang pendidikan non-keguruan(misal dari Universitas Indonesia,Institut Teknologi Bogor, InstitutPertanian Bogor yang ternyata leb-ih diminati oleh sekolah-sekolahuntuk menjadi guru ditempat mere-ka ketimbang mahasiswa Univer-sitas Pendidikan Indonesia, Uni-versitas Negeri Jakarta dan pergu-ruan tinggi keguruan lainnya).

Meniadakan PPG juga terlihatsebagai langkah gegabah, namunmungkin yang lebih kongkrit ad-alah dengan lebih memperhatikanpada kondisi perguruan tinggi ke-guruan itu sendiri, terutama darisisi kualitas, kebutuhan guru jugadilihat tidak sekadar kuantitas,melainkan kualitas. Dengandemikian, yang masuk ke PPG jugaharus yang berkualitas dan berniatmenjadi guru, bukan berniat seka-dar untuk memperlebar kesempa-tan mencari kerja—yang ujung-ujungnya adalah duit—dan kemu-dian mematikan peluang kerja paramahasiswa lulusan perguruantinggi keguruan itu sendiri.

Reformulasi selanjutnya ad-alah pada bentuk pelatihan danpendidikan dalam jabatan bagi

Page 13: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1313

ge

guru-guru yang udah aktif menga-jar di sekolah. Saya pikir sudahbukan rahasia lagi bahwa kualitaspendidikan, pelatihan, workshop,atau seminar guru patut dipertan-yakan, karena kebanyakan adalahuntuk sekadar formalitas belaka.Peserta pelatihan pun juga mestidiseleksi yang sekiranya ikut tidaksekadar berniat “wisata intelektu-al” aja, melainkan yang betul-betulberpotensi untuk melakukan dis-eminasi dan transformasi ilmunyapada lingkungan sekolahnya. Pel-atihan-pelatihan dan workshoptersebut jangan sampai kembalimenjadi sekadar berorientasi pena-taran, sosialisasi, indoktrinasiidoelogis atau bahkan politisasipenguasa dan oknum politisi lain-nya. Melainkan harus dapat betul-betul membuka nalar kritis danmembangkitkan intelektualitasguru. Sampai di sini, harus dimu-lai sebuah jejaring yang kuat ant-ara kampus, guru dan sekolahdalam penguatan kualitas guru.Ikatan alumni dari kampus pergu-ruan tinggi keguruan sebenarnyapatut dilirik sebagai potensi untukmembangun jejaring intelektualtersebut.

PenutupPada akhirnya intelektualitas

adalah ruh dari guru. Maka mem-bangun kualitas guru, termasukdalam kerangka “profesionalitas”guru pun juga mesti dimulai dandifokuskan pada aktivitas intelek-tual guru itu sendiri. Dalam hal inimembangun komunitas intelektual(epistemic community) oleh guru itusendiri adalah penting. Sebagaiaktivitas yang berpusat pada up-aya untuk “mencerdaskan kehidu-pan bangsa,” mendidik dan men-gajar siswa-siswinya, guru me-mang diciptakan untuk selalu ter-libat dan menjadi bagian dari ak-tivitas intelektual, tidak bisa tidak.Intelektualitas adalah ruh dariguru, juga ruh dari guru sebagaisebuah gerakan sosial dan politikkebudayaan. Membaca, berdiskusi,meneliti dan menulis adalah aktiv-

Daftar Pustaka

Apple, Michael W. (2003). The State and the Politics of Knowledge. New York & London:

RoutledgeFalmer.

Darmaningtyas, Edi Subkhan dan I. Fahmi-Panimbang. (2009). “Tirani Kapital dalam

Pendidikan: Menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta: Pustaka Yashiba & Damar

Press.

Giroux, Henry A. (2000). “Public Pedagogy as Cutural Politics: Stuart Hall and the ‘Crisis’

of Culture.” Cultural Studies. 14 (2). pp. 341-360.

Giroux, Henry A. (2005). Border Crossing: Cultural Workers and the Politics of Education. 2nd

Edition. New York & London: Routledge.

Gramsci, Antonio. (1971). Selections from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Edited and

translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers.

Margolis, Eric (ed.). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York & London:

Routledge.

Navis, A.A. (1996). Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Jakarta: Grasindo.

Ridho, Irsyad (ed.). (2007). Menggugat Ujian Nasional: Memperbaiki Kualitas Pendidikan.

Jakarta: Teraju & Education Forum.

Surakhmad, Winarno. (2009). Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas.

itas yang mestinya tidak boleh dit-inggalkan oleh guru. Intelektualitasadalah harga mati yang tidak dap-at ditawar oleh guru.

Dalam satu sindirannya Prof.Winarno Surakhmad (2009) men-genai para guru yang tidak bermi-nat atas intelektualitas, atau tidaksadar bahwa dirinya dan aktivitasmendidiknya adalah aktivitas in-telektual, salah satunya ditunjuk-kan oleh kedangkalan pemahamanguru bahwa mereka tidak memer-lukan filsafat pendidikan. Padahalsebenarnya filsafat dan ideologipendidikan adalah mula dari ber-tumbuhnya kesadaran kriti, yangjuga merupakan akar fundamentaldari aktivitas intelektual. Prof.Winarno menyatakan:

“Guru merasa sudah tidak me-merlukan filosofi pendidikan kare-na sejak dari lembaga pendidikantenaga kependidikan, mereka temu-kan bahwa lembaga pendidikan itusendiri telah lama “steril,” menjadilembaga tanpa filosofi. Mata kuli-ah yang bernama filosofi pendidi-kan dan yang berfungsi sebagailandasan ilmu pendidikan, telahlama dibuang dari program kurikul-er lembaga.”(Winarno Surakhmad,2009: 39)

Kembali pada bahasan awaldalam tulisan pendek ini, guru me-mang harus “profesional” dalamarti tidak sebagaimana profesion-alitas pekerjaan lain, karena peker-

jaan dan aktivitas guru memanglain dan sama sekali berbeda daripekerjaan lain yang tujuan utaman-ya adalah mencari duit. Guru uta-manya adalah memanusiakanmanusia, memuliakan manusia,memperjuangkan manusia. Dalamtulisan ini, profesionalitas tersebutdicoba pikirkan dan tafsirkankembali dengan melihat relasi dankonteks sosial sekitar guru, yaknipolitik-kekuasaan, masyarakatdalam konteks sosio-kultural, dansiswa sebagai subjek yang berkua-sa atas diri dan masa depannyasendiri. Di situlah muncul sebuahinterpretasi ideal guru sebagai ak-tor dan agensi (agency bukan agent)politik kebudayaa, sebagai intelek-tual organik atau intelektual trans-formatif, juga sebagai pembukamasa depan siswa.

Di pundak guru seribu satuharapan bertumpu untuk “mencer-daskan kehidupan bangsa.” Satupenggalan sajak dari Prof. Winar-no setidaknya menunjukkan se-buah harapan, semangat itu.

Bangkitlah, bangkitlah guruku

Kehadiranmu tidak tergantikan

Biarlah dunia ini menjadi saksi:

Kau bukan guru negeri

Kau bukan guru swasta

Kau guru bangsa!!!

(Winarno Surakhmad,

“Melahirkan Kembali Indone-

sia Raya,” 2005)

Page 14: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101414

artikel utamaartikel utama

Maimun Sy.

Ach. Maimun SyamsuddinAch. Maimun SyamsuddinAch. Maimun SyamsuddinAch. Maimun SyamsuddinAch. Maimun Syamsuddin, lahir di Sumenep 34 tahun lalu, telahmenerjemahkan belasan buku dari Bahasa Arab dan Inggris, menulis di berbagaijurnal ilmiah seperti Taswirul Afkar (Lakpesdam NU Jakarta), Millah (UIIYogyakarta), Tsaqafah (ISID Gontor), ‘Anil Islam (STIK Annuqayah), Jurnal FilsafatPotensia (Ushuluddin UIN Yogyakarta) dan Edukasi (Diknas Sumenep). Sekarangsedang menunggu jadwal ujian akhir program doktor bidang Islamic Studiesdi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sehari-hari mengajar di STIK Annuqayah

Nikmat Tuhan Itu Bernama SertifikasiSaya belum melakukan survei formal ten-

tang respon masyarakat terhadap sertifikasi,apalagi dampaknya terhadap kualitas tenagapendidik, bahkan dampaknya terhadap kuali-tas lulusan. Tapi kira-kira responnya positif.Setidaknya ada tanda-tanda yang dapat diin-terpretasi sebagai respon positif. Lihat saja, be-tapa sertifikasi telah menjadi pembicaraan posi-tif para tenaga pendidik, tidak hanya di lemba-ga pendidikan, tapi hingga ke forum-forum tah-lilan. Bahkan tema sertifikasi bersaing dengantopik gelontoran uang negara yang lain: BOS,Tunjangan Fungsional dan entah apa lagi.

Bisa jadi tema sertifikasi lebih heboh kare-na menyangkut setiap individu guru dan usa-ha mencapainya harus melibatkan banyak or-ang dan institusi: teman-teman sejawat, atasan,lembaga-lembaga baik siluman atau beneran,hingga rental-rental komputer mulai daripengetikan hingga cetak sertifikat bodong. Se-mentara orang sempat miris dengan hebohnyatopik pembicaraan tentang sertifikasi, karenatelah mengalahkan tema tentang upaya-upayakreatif dan inovatif untuk meningkatkan mutululusan. Di beberapa sekolah, para guru keha-bisan energi jika diajak rapat tentang selain sert-fikasi.

Antusiasme untuk tersertifikasi merupakanfenomena lanjutan yang memperkuat interpre-tasi respon positif itu. Seseorang bisa bekerja

keras, bahkan lembur karena berkas-berkasharus segera dikirim. Bahkan antusiasme itumemasuki ranah ekstrim, mulai dari “mencar-akan segala yang halal” hingga “menghalal-kan segala cara” seperti menjiplak, membuat-buat hingga melampirkan seluruh SK (bahkansurat undangan) dan sertifikat. Teman guruBahasa Indonesia saya berseloroh, “Inilahsalah satu bentuk karya fiksi saya.” SekretarisKopertais Wilayah IV Surabaya pernah men-ceritakan bahwa salah satu asesornya menda-patkan fotokopi sertifikat tanah (!?) dalam ber-kas sertifikasi, ketika saat itu sertifikat cukupfotokopinya saja. Saya memahaminya, semuaitu adalah wujud nyata antusiasme yang (han-ya) lupa telah melampaui garis yang semesti-nya.

Saya tidak akan berbicara tentang faktorantusiasme itu. Karena cukup complicated dantidak terlihat kasat mata sehingga memerlu-kan kehati-hatian dan ketekunan untuk men-gungkapnya. Yang jelas, responnya positif,para tenaga pendidik kebanyakan antusiasmengupayakannya. Karena sertifikasi itu be-gitu penting. Mengapa? Berdasar yang sayatahu, karena pemerintah sudah menyadari—walaupun sangat terlambat—peran pentingtenaga pendidik bagi kemajuan bangsa ini.Selama ini, paradigma pembangunannya han-yalah pergeseran dan persaingan dari “poli-tik sebagai panglima” ke “ekonomi sebagai

Tantangan

ProfesionalismeStandar Kertas

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101414

Page 15: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1515

panglima”. Mungkin lupa, siapapelaku politik dan ekonomi itu.Mereka adalah manusia-manusiayang harus melalui proses pendid-ikan. Tidak berlebihan jika dikata-kan education is all bahkan educationis life, kata Proopert Lodge.1

Tenaga pendidik penting, kare-na dalam proses pendidikan untukmencetak generasi masa depan,mereka merupakan episentrumlingkaran proses pendidikan.Mereka adalah brainware yang be-rada di titik tengah dengan dikelil-ingi oleh brainware lain seperti ke-pala sekolah, murid, wali dan se-mua yang terlibat dalam prosespendidikan. Brainware bagian luarini didukung oleh lingkaran di lu-arnya lagi untuk bisa “berputar”cepat, yaitu software, hardware, net-ware dan datawere pendidikan.2 Un-tuk menghasilkan lulusan yangbermutu, episentrumnya itu yangmula-mula harus bermutu. Goodeducation requires good teachers, katajargon International Conference onEducation di Jenewa,Swiss.

Dalam konteks ini, kebijakanyang melahirkan UU Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan Dos-en yang mewajibkan seorang pen-didik memiliki kualifikasi aka-demik dan kompetensi adalah wu-jud nyata dari kesadaran terhadapperan penting tenaga pendidik. Jikamerujuk pada pedoman yang dike-luarkan Departemen PendidikanNasional (Depdiknas), sertifikasimerupakan upaya peningkatankualitas tenaga pendidik. Diharap-kan, program itu meningkatkanmutu pembelajaran dan pendidikandi Indonesia secara berkelanjutan.3

Tentu saja ini adalah langkah strat-egis dengan tujuan luhur. Jikadalam pelaksanaannya tidak se-suai tujuan, sangat mungkin kare-na persoalan di tingkat pelaksan-aan yang bersifat teknis.

Sejatinya, kebijakan ini meng-harapkan pendidikan ditanganioleh tenaga pendidik yang profe-sional, yakni menjadikan pendidi-kan sebagai profesi. Hanya saja

pengertian profesional sering han-ya dibatasi dengan keahlian yangdibuktikan dengan bukti-bukti fisik.Bahwa tenaga pendidik harus ahli,tidak salah. Tapi selain itu, profe-sionalisme juga meliputi kriterialain, misalnya menjadikan suatukegiatan sebagai panggilan hidupyang dikerjakan sepenuh hati dansepenuh waktu, bukan dilaksana-kan asal-asalan dan part time.4

Karena keahlian dan kesung-guhan dengan mengerahkan selu-ruh tenaga dan waktunya itulahnegara harus menjamin kesejahter-aannya. Itu diwujudkan dalampemberian tunjangan profesi (TP)satu kali gaji pokok, bagi PNS dannon-PNS, sebagaimana petunjukyang dikeluarkan Departemen Pen-didikan Nasional (Depdiknas).Dari sini tegas bahwa tujuan serti-fikasi adalah profesionalisme den-gan langkah peningkatan kuali-fikasi dan kompetensi tenaga pen-didik, sedang tunjangan profesidiberikan sebagai penghargaanatas kualifikasi dan kompetensi ser-ta jaminan kesejahteraan karenatelah menjadikan pendidikan se-bagai panggilan tugas sepenuhhati dan waktu.

Kesadaran pemerintah yangdilanjutkan dengan kebijakan ser-tifikasi inilah yang saya sebut se-bagai nikmat Tuhan, bukan seke-

dar tunjangannya. Karena denganini kita bisa berharap ada perbai-kan signifikan di dunia pendidikanIndonesia yang selalu disebut-se-but berada di urutan buncit di ant-ara negara-negara lain di dunia.Dalam kaca mata agama, kita yangkemudian menentukan, apakahakan menyukuri nikmat denganmelaksanakan sebaik-baiknya ataujustru mencampakkannya dengantidak melaksanakan sebagaimanamestinya. Toh, Allah sudah tegasdengan masing-masing kon-sekuensi dari menyukuri ataumengingkarinya (Q.S.) Dalam me-nyikapi sertifiksai sebagai nikmat,doktrin kewajiban syukur sudahcukup mewakili untuk melaksana-kannya sebagaimana mestinya.Karena syukur itu sendiri memilikitiga dimensi: syukur lisan, hati dantindakan.5

Kekerasan Simbolik terhadapProses

Banyak pihak yang telah mem-berikan catatan kritis terhadap ke-bijakan ini. Saya tidak akan memb-icarakan semuanya. Di sampingketerbatasan tempat dan kapasita-sitas, saya juga tidak tahu semuan-ya. Persoalannya merentang dariteoritis hingga teknis, mencakupakurasi data, keterbatasan alatukur, rekayasa dokumen portofolio

1Seperti dikutip Suparlan dalam “Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru dalam Jabatan”,

http://www.suparlan.com/pages/posts/penilaian-portofolio-sertif ikasi-guru-dalam-

jabatan171.php?p=40, diakses pada 02/02/2010.2Berbagai istilah ini saya pinjam dari Tony D Widiastono. Hardwere pendidikan berupa

gedung, kelas, kantor, laboratorium, perpustakaan, alat-alat praktikum dan lainnya; software

pendidikan antara lain kurikulum, sistem pembelajaran, program pengajaran dan sejenisnya;

netwere pendidikan adalah jaringan dan kerja sama antar guru, antar sekolah, dengan lembaga

pemerintahan dan institusi lainnya; datawere pendidikan meliputi berbagai data seperti jumlah

murid, guru, perkembangan prestasi dan lain sebagainya. Lihat Tony D. Widiastono, “Guru

dan Lonceng Kematian Pendidikan”, Basis, No. 07-08, tahun ke-51, Juli Agustus 2002.3Yudha Cahyawati, “Mengkritisi Kinerja Guru Pascasertifikasi”, http://www.jawapos.co.id/

metropolis/index.php?act=detail&nid=105462, diakses pada 15 Desember 2009.4Menurut catatan Ahmad Tafsir dengan mengutip Muchtar Lutfi, suatu kegiatan disebut

profesi jika memenuhi delapan kriteria, termasuk keahlian dan kesungguhan dengan

mengerahkan seluruh jiwa raga untuk suatu kegiatan. Selain itu, kliennya harus jelas, bukan

untuk diri sendiri, memiliki otonomi untuk melakukan profesinya, kecakapan diagnostik,

memiliki kode etik khusus serta memiliki teori baku. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam

Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 107-112.5Wa al-syukr huwa al-tsanâ’ bi al-lisân aw bi ghairihi min al-qalb wa sâ’ir al-arkân ‘ala al-mun’im

bi sabab mâ asdâ ila al-syâkir. Demikian Muhammad al-Dasuki menegaskan dimensi-dimensi

syukur yang saya kira perlu uraian lebih lanjut. Lihat Muhammad al-Dasuqi, Syarh al-Dasûqî

(Surabaya: Dar al-Nasyr al-Mishriyyah, t.t.), hlm. 28.

Page 16: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101616

dan lain sebagainya.6 Saya hanyaakan berbicara salah satu kemu-ngkinan yang bisa muncul sehing-ga ia lebih tepat disebut tantangan.Tantangannya terletak pada Per-aturan Menteri Pendidikan Nasion-al Nomor 18 tahun 2007, pasal 6,ayat 1-4, yaitu tunjangan profesipendidik sebesar satu kali gajipokok yang dibayarkan pada Bu-lan Januari tahun berikutnya sete-

lah menerima sertifikat pendidik,baik bagi guru PNS yang di-

angkat oleh Pemerintah, Pe-merintah Daerah atau non-

PNS yang diangkat oleh badan hu-kum penyelenggara pendidikan.

Tunjangan profesi bukan tu-juan utama sertifikasi. Ia adalahkonsekuensi yang harus ditang-gung negara untuk menghargaikualifikasi dan kompetensi serta

menjamin kesejahteraan tenagapendidik profesional. Tapi tun-jangan yang berupa uang itumemberi peluang yang sangat

besar untuk “memotong” proseslangsung menuju ke tunjangan.

Itu dapat dilakukan dengan berb-agai rekayasa atau penyimpangandalam bentuk berkas fiktif. Dan re-kayasa itu bisa dilakukan oleh or-ang-orang: (1) yang memang tidakmemiliki kompetensi, atau (2) me-miliki kompetensi, tapi tidak memi-liki arsip bukti fisik. Bisa juga ber-kas tidak fiktif, tapi setelah mem-peroleh sertifikat tidak lagi men-jalankan praktik pendidikan sesuaikompetensinya. Karena tujuanmemperoleh tunjangan telah terca-pai.7

Dalam kasus lain, pola memo-tong proses ini lumrah dilakukan.Dan sepertinya memang telah men-jadi mode of thought kebanyakanmasyarakat. Kebanyakan masya-rakat Indonesia telah “terdidik den-gan baik” melalui pemberian pelu-ang, pengarahan dan contoh darikehidupan birokrasi untuk berpikir“asal mendapatkan yang diingin-kan” (dalam logika disebut final log-ic).8 Cara berpikir seperti ini men-ghalalkan segala cara dan tidakpeduli proses. Karena proses diang-gap tidak penting dan murni in-strumen yang bisa dijalani atau

6Beberapa tulisan memperlihatkan persoalan ini, antara lain Budhi AM. Syachrun,

“Problematika Sertifikasi Guru”, http://www.duaberita.com/main/artikel-dua/pendidikan/

167-problematika-sertifikasi-guru.html; Ardan Sirajuddin, “Sertifikasi Guru Tidak Akurat”,

http://re-searchengines.com/ardan0608.html; Suparlan, “Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru

dalam Jabatan”; Yuda Cahyawati, seperti dikutip di atas. Semuanya diakses pada 02/02/2010.7Rekayasa-rekayasa di atas, baik berkas fiktif atau tidak lagi melaksanakan lagi apa yang

tertulis, sudah dilakukan banyak orang, tidak hanya di sekitar kita, tapi juga di tempat lain,

seperti dalam beberapa laporan, misalnya dalam tulisan Suparlan, Ardan Sirajuddin, Yuda

Cahyawati yang dikutip di atas. Sebagai evaluasi, Depdiknas berencana mengevaluasi secara

ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan Standar Operasional Prosedur

(SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi.8Istilah ini meminjam istilah yang digunakan Ignas Kleden dalam menganalisis kekerasan

di Indonesia. Lihat lebih lanjut Ignas Kleden, “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, Kompas,

20 Desember 2000.

Page 17: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1717

tidak, bukan suatu keharusan yangtidak bisa ditinggalkan. Maka seg-ala detail-detail dalam proses yangsecara sistemik membangun ket-angguhan tujuan diabaikan.

Hakikatnya, pola pikir ini ad-alah bentuk kekerasan terhadapproses dan sistem yang bekerja un-tuk mencapai suatu tujuan. Kek-erasan yang dimaksud adalahreduksi proses dengan member-lakukannya tidak sebagaimanamestinya. Proses dipaksa bekerjadengan tidak semestinya karenareduksi-reduksi tersebut. Dalamreduksi ini, yang dipakai adalahbagian-bagian permukaan yangsering bersifat kongkrit-fisik, for-mal, simbolik, dan bagian-bagianpelengkap lainnya. Sementara bagi-an-bagian yang bersifat substantif,abstrak-non fisik, maknawi dan isiyang esensialnya diabaikan. Itutentu akan berakibat sistemik padahasil atau tujuan. Hasil dan tujuanyang dicapai juga akan bersifat per-mukaan, fisik, formal, simbolik,pura-pura dan menipu, sama seka-li tidak substantif, esensial dantidak menyentuh hakikatnya.

Kualifikasi akademik dan ko-mpetensi tenaga pendidik yangmeliputi kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompe-tensi sosial, dan kompetensi profe-sional (Bab IV Bagian Kesatu UUNomor 14 Tahun 2005, khususnyapasal 8-10) dinilai berdasarkan do-kumen portofolio untuk dinilai. Pe-nilaian atas dokumen yang terdiridari sepuluh poin itu sebenarnyasudah lebih dari cukup. Artinyajika dokumen itu memang riil, ten-tu seorang tenaga pendidik me-mang profesional. Tapi penilaianyang “hanya” berdasarkan doku-men itulah yang membuka peluangsangat besar untuk dimanipulasi.Manipulasi dokumen itu yang ter-golong kekerasan terhadap proses,sehingga proses tidak berjalan se-bagaimana mestinya. Jika dengandokumen fiktif itu seseorang terser-tifikasi dan diakui negara sebagaitenaga pendidik profesional, hak-

ikatnyan ia adalah tenaga pendid-ik “profesional fiktif” atau “seolah-olah profesional”, sesuai dengandokumennya. Demikian juga jikadokumennya tidak fiktif tapi sete-lah tersertifikasi tidak melaksana-kan tugas secara profesional, hak-ikatnya adalah kekerasan simbolikterhadap sistem dan proses.

Peluang manipulasi dan reka-yasa yang sebenarnya adalah seje-nis reduksi dan kekerasan itu dap-at dimanfaatkan oleh seseorangkarena biasa berpikir final logic.

ia baik. Salah, benar, baik dan bi-asa menjadi tumpang tindih dantidak jelas batasannya. Orang yangmelawan kebiasaan akan disebutkontroversial dan salah. Karenakebenaran yang tidak biasa bisa“dikalahkan” oleh kesalahan yangterbiasa.

Dengan reduksi karena manip-ulasi terhadap proses maka akanterjadi reduksi juga kepada hasil.Ia bukan sekedar masalah baik-bu-ruk secara etik. Karena proses itubekerja secara sistemik walaupuntidak sepasti fenomena alam. Artin-ya, jika proses peningkatan kuali-tas guru itu dilakukan sekedar for-malitas ditambah dengan manipu-lasi, sangat besar kemungkinanhasil berupa perjalanan pendidi-kan dan lulusan akan bersifat for-mal bahkan fiktif juga. Kebanyakanlulusan yang dicetak adalah lulus-an yang berdasar formalitas (tidaksubstantial), lulusan yang hanyabersimbol (tanpa makna), mengede-pankan bungkus (tanpa isi) dan ci-tra (tanpa kualitas), “lulusan yang[seolah-olah] bermutu” dari “guruyang [seolah-olah] profesional”. Se-muanya adalah pura-pura, seakan-akan, menipu dan rapuh. Ringkas-nya, proses manipulatif akan mela-hirkan hasil manipulatif. Prosesyang tidak sungguh-sungguh akanmelahirkan hasil yang tidak sung-guh-sungguh juga. Jika proses pen-didikan dilaksanakan secara ma-nipulatif, mutu lulusannya jugacenderung manipulatif. Formalitasakan melahirkan formalitas juga.Saya berbicara tentang kemungki-nan berdasar logika. Walaupundemikian, gejala-gejalanya sudahterlihat di beberapa tempat. Tentukemungkinan negatif ini merupa-kan tantangan bagi kita semua.

Pendangkalan dan Sekularisa-si Pendidikan

Selain tantangan di atas, tun-jangan itu juga membuka tantanganlain, yakni pendangkalan maknaproses pendidikan. Di dalam ajaranIslam, mencari ilmu (thalab al-‘ilm),

Jika dengan dokumen

fiktif itu seseorang

tersertifikasi dan diakui

negara sebagai tenaga

pendidik profesional,

hakikatnyan ia adalah

tenaga pendidik

“profesional fiktif” atau

“seolah-olah

profesional”, sesuai

dengan dokumennya

Yang penting lulus, yang pentingdapat tunjangan. Proses seleksi,penyusunan dokumen dan berkas-berkas (dianggap) hanya alat yangtidak harus selalu benar. Karena iahanya alat dan bisa dipakai semes-tinya atau tidak. Terbiasa denganlogika instrumental seperti di atasakan merusak sistem dan tatananyang akhirnya akan melahirkandiskriminasi, korupsi, kekerasandan kedzaliman kepada orang lainhingga hasil yang tidak sepertiyang diharapkan. Betapa biasanyakita berpola pikir demikian. Daningat, ketika terbiasa, kita cen-derung menganggap benar danyang muncul kemudian adalahpembenaran sesuatu yang salahkarena kebiasaan. Apapun bisa be-nar jika terbiasa. Ketika benar maka

Page 18: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20101818

termasuk proses belajar mengajar,adalah kegiatan sakral, sehinggadiilustrasikan “malaikat memben-tangkan sayapnya karena menghor-mati pencari ilmu” dan “ikan-ikandi laut mendoakan mereka.” Dengandemikian pendidikan adalah kegia-tan suci dan penuh makna yangmendalam.

Tunjangan profesi memberi pe-luang kepada para tenaga pendidikuntuk menjadikan uang sebagai tu-juan utama. Tujuan memperolehkeuntungan material dapat (ingat:tidak pasti!) mengganggu ketulus-an, kesungguhan dan kesakralan.Karena ketika tujuan material men-jadi prioritas, sangat mungkin yanglain hanya menjadi alat. Apalagimasyarakat terbiasa dengan finallogic yang hanya mementingkan tu-juan itu, sebagai lawan dari efficientlogic yang mementingkan proses.Mengajar lalu menjadi kegiatan un-tuk memperoleh uang semata. Jikademikian, profesi guru sama sajadengan profesi yang lain sepertiburuh bangunan, peramu niaga danprofesi lainnya, sama-sama bertu-

juan mendapat keuntungan: uang.Jika hanya bertujuan memper-

oleh keuntungan material, sangatmungkin dalam pelaksanaan tugas-nya, para tenaga pendidik lebihmementingkan formalitas: asal men-gajar, asal beban 24 jam semingguterpenuhi dan asal-asal lainnya. Je-bakan formalitas dengan tujuan uta-ma uang ini yang dapat mendan-gkalkan makna mengajar sebagaiproses mendidik untuk mencetakgenerasi bermutu. Jebakan formali-tas itu juga yang memungkinkanpemberangusan makna spritualmengajar sebagai kewajiban dariTuhan untuk menyampaikan kebe-naran walau satu ayat (baik ayatqur’âniyyah atau ayat kauniyyah). Je-bakan formalitas ini pula yang dap-at membuang makna pendidikansebagai bagian dari ibadah. Denganuang para tenaga pendidik bisalupa kedalaman makna pendidikan

9Selain lemahnya refleksi, kultus selebritis dan kultus gaya hidup adalah dua hal yang juga

dapat menjebak orang pada kedangkalan, atau yang disebut Vaclav Havel dengan the aesthetics of

banality. Lihat B. Herry Priyono, “Sebuah Pengantar, Gerilya Melawan Klise”, dalam JB Kristanto

dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara—Essei-Essei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2002), hlm. xiv.

dan energi spiritual untuk mendid-ik. Sampai akhirnya para tenagapendidik tidak sempat lagi mendoa-kan para anak didiknya, karenapendidikan tidak ada hubungannyalagi dengan Tuhan dan doa. Inilahfenomena sekularisasi dalam ranahpendidikan. Dan sebenarnya ini ad-alah bagian dari jebakan banalitaskarena lemahnya kemampuan/ke-mauan refleksi menuju ke kedala-man makna, karena kedalamanmakna tidak laku lagi di pasarankehidupan.9

Di sisi lain para peserta didikatau para walinya dapat juga menilaiprofesi sebagai pendidik sama sep-erti profesi lain, yang hanya di-hubungkan dengan uang. Denganbanyaknya peluang untuk memper-oleh uang, mereka semua dapat me-nilai guru sama saja dengan pejabatdan pekerja lain: profesi biasa yangsama-sama hanya dilakukan untuk

Page 19: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 1919

mendapat bayaran, sama-sama seke-dar mencari sesuap nasi untuk ber-tahan hidup. Saya takut orang bilang:sama saja dengan pembantu, sama-sama penyedia jasa lain dan ujung-ujungnya bayaran.

Jika peserta didik dan tenaga pen-didik sama-sama berpikir tentang for-malitas dan uang, hubungan keduabelah pihak ini tereduksi sedemikianrupa sehingga menjadi sekedarhubungan bisnis, penyedia jasa danpenerima jasa, pembayar dan peneri-ma bayaran, bos dan karyawan, ju-ragan dan pembantu. Sejauh itukah?Tidak menutup kemungkinan. Kare-na kedua belah pihak sama-sama ber-pikir formalitas dan keuntungan seh-ingga relasi keduanya hanya terjem-batani dengan uang. Maka pendidi-kan adalah transaksi, pendidikanadalah perdagangan, lembaga pen-didikan adalah “pasar” yang hanyaberisi “barang”, “jasa” dan “uang”.

Relasi yang dijembatani den-gan uang itu dapat mereduksi rela-si antara manusia. Karena uangdapat membuang kehangatan inter-aksi, mencampakkan sentuhan ke-manusiaan (human touching), jali-nan rasa, saling berbagi dari hatike hati, emosi dan empati. Yangsatu hanya berpikir: “yang pentingsaya dibayar”. Yang lainnya ber-pikir: “yang penting saya bayar”.Relasi menjadi serba formal, dan-gkal dan kering, sehingga ber-hubungan dengan manusia samasaja dengan berhubungan denganselain manusia. Inilah bagian daridehumanisasi, karena telah bany-ak membuang aspek kemanusiaanyang sangat khas, yaitu emosi danempati, perasaan dan hati nurani.Karena hakikatnya interaksi antarmanusia, termasuk dalam pendid-ikan, adalah interaksi antar hati.Jika interaksi antara pendidik danpeserta didik hanya dijembatanidengan uang, kita sebagai manu-sia telah kehilangan banyak sisikemanusiaan. Kita akan menjadisangat “miskin” sebagai manusiasebenarnya dan seutuhnya.

Hubungan kemanusiaan yang

mengerikan itu dapat terjadi jikasemuanya hanya berpikir uangkarena adanya tunjangan profesidan bayaran-bayaran lainnya. Jikademikian yang terjadi, kita bukanhanya tidak bisa berharap, tapi jus-tru kita menjadi takut dengan pen-didikan. Guru akan kehilangannaluri keguruan sejati yang sayangsepenuh hati kepada anak didikn-ya, menganggapnya seperti anakn-ya sendiri, yang bukan saja mem-bimbing dengan sungguh-sungguhdan penuh kreativitas, tapi juga se-lalu mendoakan secara sungguh,bahkan pada munajatnya di tengahmalam. Sedang anak didiknya da-pat kehilangan naluri murid sejati,yang sangat menghormati denganpenuh ketulusan dan menganggapguru sebagai orang tuanya sendiri,yang tidak hanya mematuhi nase-hat, belajar sungguh-sungguh,mencontoh kepribadiannya, bah-kan juga mendoakannya di antarauntaian doa-doanya sendiri.

Dalam hal memulai dari guru,kebijakan pemerintah sudah padajalan yang benar. Kita sendiri yangharus melaksanakan dengan sung-guh-sungguh dan terus menyem-purnakannya. Karena bagaim-anapun, Good education requires goodteachers (pendidikan yang baik me-merlukan guru yang baik). Kitatidak bisa hanya mengandalkanpemerintah untuk persoalan ini.Education is too important to be leftonly to government (pendidikan ter-lalu penting untuk hanya dipasrah-kan kepada pemerintah) kata sek-retariat pendidikan AmerikaSerikat. Karena kemampuan pemer-intah juga terbatas. Pemerintahhanya bisa melakukan hal-hal yangbersifat formal. Tegasnya, pemerin-tah hanya minta “kertas”. Untukhal-hal substansial dan maknadari kertas itu, kita perlu kembali

kepada diri kita sendiri karenatidak bisa dijangkau negara.

Saya yakin, kebijakan ini ad-alah bagian dari karunia Tuhanyang harus disyukuri dengan me-nyikapinya secara serius. Tentu kitatakut Tuhan menimpakan siksa-Nya jika kita tidak menyukurinya.Kita sendiri yang harus berupayamenjadi “guru sejati”, minimal sep-erti kata Friedrich Nietzsche, yaituorang yang tidak serius dalam seg-ala hal, termasuk terhadap dirinya,kecuali untuk yang terkait denganmuridnya.10 Kita sendiri juga yangharus terus berusaha menjadi “mu-rid sejati”, yaitu seperti kata Ali binAbi Thalib “ana ‘abdu man ‘allamanîharfan wâhidan, in syâ’a bâ’a wa insyâ’a a’taqa wa in syâ’a istaraqqa”(saya adalah siapa saja yang men-gajari saya satu huruf [pun], jikamau dia dapat menjual, memerde-kakan atau menjadikan budak),11

penghormatan puncak yang mem-buat seseorang diapakan saja.

Sebagai orang yang pernahmerasakan berbagai bentuk pen-didikan dan tentu guru yang ber-macam-macam, saya takut sekaliguru-guru kehilangan naluri kegu-ruannya, apalagi kehabisan ke-manusiaannya. Saya ngeri jikaguru saya hanya memandang sayasebagai sarana mendapatkan uang.Seperti juga saya tidak terima jikaada murid menilai gurunya seke-dar pencari uang dan mengang-gapnya seperti tukang, yang se-muanya selesai dengan uang. Un-tuk menghindari ini, kita harusmemulai sendiri dari nurani yangpaling tulus, tidak selalu harusmelibatkan negara. Let students bestudents and teachers be teachers total-ly.12 Ajakan sebuah tulisan bisa di-pakai di sini sekalipun berbedakonteks. Karena selain anugerah,sertifikasi adalah juga tantangan.

10Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon

Teralitera, 2002), hlm. 75.11Dikutip dari al-Zarnuji dalam Syeikh Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lîm al-Muta’allim fi

Tharîq al-Ta’allum (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hlm. 16.12JC Tukiman Taruna, “Dari Instruksioal ke Motivasional, Terjadilah Transformasi

Pendidikan”, Kompas, 20 Desember 2000.

ge

Page 20: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102020

artikel utamaartikel utama

H. Rida’i

DrDrDrDrDr. Suparji, M.Pd, . Suparji, M.Pd, . Suparji, M.Pd, . Suparji, M.Pd, . Suparji, M.Pd, lahir di Ngawi 2 Juni 1969. Lulus Sarjana tahun1993 di Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan FPTK IKIP Surabaya.Melanjutkan S-2(1998) di Jurusan Pendidikan Teknologi dan KejuruanProgram Pascasarjana IKIP Yogyakarta, dan S-3 di Jurusan Penelitian danEvaluasi Pendidikan di PPs Universitas Yogyakarta (2008). Mengajar di FTUnesa, Universitas Terbuka, dan STIK Annuqayah (STIKA) Sumenep.

AbstrakKeprofesionalan seorang guru diukur dari empat ko-

mpetensi yang harus dikuasai oleh guru, yaitu kompe-

tensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, dan kompetensi sosial. Kompetensi pro-

fesional adalah kemampuan berkaitan dengan pengua-

saan bidang studi, kompetensi pedagogik berkaitan

dengan penguasaan pembelajaran, kompetensi kepri-

badian bekaitan dengan perilaku dalam lingkungan

sekolah dan luar sekolah, dan kompetensi sosial ber-

katian dengan kemampuan bersosialisasi dengan

masyarakat luas.

PendahuluanProfesi guru pada saat ini, masih banyak

dibicarakan orang, atau masih saja dipertany-akan orang, baik di kalangan para pakar pen-didikan maupun di luar pakar pendidikan.Bahkan empat atau lima tahun terakhir, ham-pir setiap hari media massa cetak utamanyakoran, memuat berita tentang guru. Ironisnya,berita-berita tersebut banyak yang cenderungmeragukan keprofesionalan guru.Masyarakat/orang tua murid pun kadang-kadang mencemoohkan dan menuding guruyang tidak kompeten, tidak berkualitas dansebagainya, manakala putra/putrinya tidakbisa menyelesaikan persoalan yang ia hadapisendiri atau memiliki kemampuan tidak sesuaidengan yang diharapkan.

ProfesionalismeGuru

Sikap dan perilaku masyarakat terse-but memang bukan tanpa alasan, karenamemang ada sebagian kecil oknum guruyang melanggar/menyimpang kode etikn-ya. Kesalahan yang kecil dari seorang gurumengundang reaksi yang begitu hebat dimasyarakat. Hal ini dapat dimaklumi kare-na begitu besarnya harapan masyarakatkepada kompetensi seorang guru. Selainitu, memang guru seyogyanya menjadianutan bagi masyarakat di sekitarnya. Leb-ih dari sekedar anutan, hal inipun menun-jukkan bahwa sampai saat ini, masih di-anggap eksis. Sebab, sampai kapanpunposisi/peran guru tidak akan dapat digan-tikan sekalipun dengan mesin yang cang-gih. Karena tugas guru menyangkut pem-binaan sifat mental manusia yang men-yangkut aspek-aspek yang bersifat manu-siawi yang unik dalam arti berbeda satudengan lainnya.

Masalahnya sekarang adalah sebatasmanakah pengakuan masyarakat terhadapprofesi guru? Sebab kenyataannya,masyarakat masih tetap mengakui profesidokter atau hakim dianggap lebih tinggidibandingkan dengan profesi guru. Sean-dainya yang dijadikan ukuran adalah

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102020

Mempertegas

Page 21: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 2121

keahlian dan tingkat pendidikanyang ditempuhnya, gurupun adayang setingkat dengan jenis profesilainnya bahkan lebih tinggi.

Rendahnya pengakuanmasyarakat terhadap profesi gurudisebabkan oleh beberapa faktor,yaitu (a) adanya pandangan se-bagian masyarakat, bahwa siapap-un dapat menjadi seorang guruasalkan ia mempunyai penge-tahuan, (b) kekurangan guru di daer-ah terpencil, memberikan peluanguntuk mengangkat seseorang yangtidak mempunyai keahlian untukmenjadi guru, dan (c) banyak guruyang belum menghargai profesinya,apalagi berusaha mengembangkan-nya. Perasaan rendah diri karenamenjadi guru, penyalahgunaanprofesi untuk kepuasan dan kepent-ingan pribadinya sehingga wibawaguru semakin merosot.

Faktor lain yang mengakibat-kan rendahnya pengakuanmasyarakat terhadap profesi guru,yakni kelemahan yang terdapatpada diri guru itu sendiri, diant-aranya, rendahnya tingkat kompe-tensi profesionalisme guru. Pengua-saan guru terhadap materi dan me-tode pembelajaran masih di bawahstandar. Hal ini dibuktikan olehpenelitian Nasrun (2001:137-150)menunjukkan bahwa kemampuanguru dalam bidang pembelajarankhususnya pengeloaan kelas masihharus ditingkatkan. Hal ini dikuat-kan oleh penelitian Alif (2002:10)dan Sugiarto (2003:121-136) yangmenemukan bahwa pengelolaanproses belajar-mengajar masih san-gat kurang.

Kompetensi GuruCooper (1986:4) menyatakan

bahwa wilayah umum kompetensiseorang guru meliputi pengetahuandan keterampilan tentang pembela-jaran (kompetensi pedagogik), sikap(kompetensi kepribadian), dan pen-guasaan bidang studinya (kompe-tensi profesional). Competency-BasedTeacher Education (CBTE) dan proyekPengembangan Pendidikan Guru

(P3G) Tahun 1978 yang dikutiboleh Tilaar dkk (2000, 35-37) men-yatakan bahwa kompetensi guruada tiga macam, yaitu kompetensipersonal, kompetensi profesional,dan kompetensi sosial. Hal ini se-suai dengan Undang-Undang No-mor 14 Tahun 2005 tentang Gurudan Dosen menjelaskan bahwadikatakan guru yang profesionaljika seorang guru memiliki kompe-tensi profesional, pedagogik, sos-ial, dan kepribadian.

Kompetensi PedagogikKompetensi pedagogik, menu-

rut Cooper (1986:4) adalah penge-tahuan dan keterampilan tentangpembelajaran. Hal ini dapat men-gandung makna bahwa kompeten-si pedagogik adalah kemampuanuntuk mengelola proses belajarmengajar mulai dari perencanaansampai pada evaluasi. Agar dapatmerencanakan dan melaksanakanpembelajaran dengan baik, makaseorang mahasiswa guru harusmempunyai pengetahuan dan ket-erampilan dalam hal memahamipotensi peserta didik, memahamicara belajar peserta didik, meny-usun rencana pembelajaran danmelaksanakannya, menyusunevaluasi dan melaksanakannya.Peserta didik dalam proses belajar-mengajar harus dijadikan sebagaisubjek bukan lagi objek. Potensi pe-serta didik harus dikembangkandalam rangka membentuk keprib-adian, sehingga proses belajar men-gajar harus terjadi dalam situasiyang menyenangkan. Situasi yangmenyenangkan ini bukan saja situ-asi guru saja tetapi juga situasipsikologis dari siswa. Pemahamanguru terhadap peserta didik inimeliputi pemahaman berbagai ciripeserta didik, pemahaman tahap-tahap perkembangan peserta did-ik dalam berbagai aspek dan pen-erapannya dalam optimalisasiperkembangan dan pembelajaranpeserta didik. Pendidikan dan pen-didik hendaknya berorientasi padapengembangan anak didik, dalam

rangka memelihara dan meningkat-kan martabat manusia dan buday-anya. Perkembangan peserta didikmerupakan sasaran utama pelay-anan pendidikan.

Pada dasarnya, orang siap un-tuk berubah ke arah yang positif,selalu berusaha untuk menjadiyang lebih baik. Kodisi psikologiini, menuntut guru mempunyai ke-mampuan dalam mengidentifkasipotensi peserta didik, memahamikarakteristik potensi peserta didik,mengenal komitmen antara hak dankewajiban peserta didik, memaha-mi dan memanfaatkan lingkunganpeserta didik, memahami cara be-lajar peserta didik, bersikap danberperilaku empati terhadap peser-ta didik dan membimbingperkembangan karir peserta didik.Karakteristik peserta didik ada tigahal yang perlu diperhatikan adalahkarakteristik kemampuan awal,karakteristik sosial ekonomi dankarakteristik kepribadian. Guruharus mengetahui dan mampumengelola perbedaan-perbedaankarakteristik peserta didik tersebut.Pengalaman peserta didik dalammengitrepretasikan karir atau pe-kerjaan di masa yang akan datangsangat minim maka guru harusmampu membimbingnya.

Fry (1999:34) mengatakan bah-wa pembelajaran yang baik dalamkaitan dengan kompetensi pemaha-man tentang peserta didik adalahmampu membedakan kemampuanpeserta didik, mampu membantupeserta didik belajar, mampu shar-ing dengan peserta didik, mampumemotivasi peserta didik, mampumengetahui kebutuhan peserta did-ik, dan mampu meningkatkankreativitas peserta didik. Semuakemampuan tersebut tentunyaharus disesuaikan denganperkembangan jiwa peserta didik,sebab tanpa disesuaikan denganperkembangan jiwa peserta didik,maka pembelajaran tidak akan efek-tif. Dengan begitu, guru harusmengetahui perkembangan peser-ta didik. Keefektifan pembelajaran

Page 22: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102222

diukur dari beberapa variabel yaituhasil belajar, ruangannya, sumberbelajar dan masyarakat. Sebuahpembelajaran dimulai dari prosesperencanaan, pelaksanaan danevaluasi. Butir-butir yang direko-mendasikan oleh Asosiasi Lemba-ga Pendidikan Tenaga Kependidi-kan Indonesia (ALPTKI) Januari2006 bahwa kompetensi pedagogikuntuk seorang guru adalah kemam-puan mengelola pembelajaran yangmeliputi pemahaman terhadap pe-serta didik, perancanagan dan pel-aksanaan pembelajaran, evaluasipembelajaran dan pengembanganpeserta didik untuk mengaktual-isasikan berbagai potensi yang di-milikinya.

Jadi, dapat disimpulkan bah-wa kompetensi pedagogik ini mem-punyai sembilan sub kompetensi,yaitu ; pertama, memahami karak-teristik peserta didik dari aspekfisik, sosial, moral, kultural, emo-sional, dan intelektual. Kedua, me-mahami latar belakang keluargadan masyarakat peserta didik dankebutuhan belajar dalam konteksbudaya. Ketiga, memahami gayabelajar dan kesulitan belajar peser-ta didik. Kempat, memfasilitasipengembangan potensi pesertadidik. Kelima, menguasai teori danprinsip belajar serta pembelajranyang mendidik. Keenam, mengem-bangkan kurikulum yang mendor-ong keterlibatan peserta didikdalam pembelajaran. Ketujuh, mer-ancang pembelajaran yang mendid-ik. Kedelapan, melaksanakan pem-belajaran yang mendidik, dankesembilan adalah mengevaluasiproses dan hasil pembelajaran.

Kompetensi KepribadianKepribadian adalah interaksi

kompleks dari beberapa faktor dariseseorang. Dengan berinteraksi ini,maka seseorang akan kelihatanseperti apa kepribadian. Kepribadi-an dalam psikologi adalah perbe-daan keseluruhan individu denganindividu lainnya (Pervin, 1989:3).Kepribadian merupakan represen-

tatif dari krakteristik seseorangyang konsisten dilihat dari tingkahlakunya. Pada intinya bahwa kepri-badian adalah karakteristik seseor-ang yang dicerminkan lewat ting-kah laku sehari-hari. Kepribadianmenurut Murray (Hall &Lindzey,1995:25) terdiri dari beber-apa komponen penting, yaitu kepri-badian individu adalah abstraksiyang dirumuskan oleh teoritikusdan bukan merupakan gambarantentang tingkah laku individu be-laka, kepribadian individu adalahrangkaian peristiwa yang secaraideal mencakup seluruh rentanghidup sang pribadi, definisi kepri-badian harus mencerminkan baikunsur-unsur tingkah laku yang ber-sifat menetap dan berulang mau-pun unsur-unsur yang baru danunik, dan kepribadian adalah fung-si menata atau mengarahkan dalandiri individu.

Jadi, Murray merumuskan ke-pribadian yang berorientasikanpada pandangan yang memberibobot dan memadai pada sejarah,fungsi kepribadian yang bersifatmengatur, ciri-ciri berulang danbaru pada tingkah laku individu,hakikat kepribadian yang abstrakdan konseptual, dan proses-prosesfisiologis yang mendasari proses-proses psikologis.

Karateristik kepribadian sese-orang dalam berhubungan denganorang lain ditentukan oleh bebera-pa faktor, yaitu sikap, intensitas,dan perubahan perilaku. Jadi, disaat orang sedang berkomunikasi,maka seseorang tersebut harusmengikutinya dengan perilakuyang sama dengan apa yang se-dang diperbincangkan. Walaupunhal itu, hanya pada perubahan rautmuka. Ini akan dapat dilihat padakehidupan sehari-hari. MenurutSumadi (2005:52), dalam kehidu-pan sehari-hari kepribadian sese-orang dicerminkan oleh tiga kepri-badian kebajikan, yaitu : kebijaksan-aan, keberanian, dan penguasaandiri.

Riding & Rayner (1998:12)

menyatakan bahwa kepribadiantercermin dalam social behavioryang mencakup tentang pe-nampilan fisik dan sopan santun.Sehingga kedisiplin dalam waktudan penampilan fisik sangat dibu-tuhkan oleh seorang guru sebagaiteladan bagi peserta didik. Terpent-ing dari kepribadian seorang guruadalah rasa tanggung jawab. Sep-erti dikatakan oleh Tanlain (Syaiful,2000:36) bahwa sesungguhnyaguru yang bertanggungjawab me-miliki beberapa sifat yaitu taqwaterhadap Tuhan Yang Maha Esa,menerima norma, mematuhi nor-ma, dan nilai-nilai kemanusiaan.Menerima dan mematuhi norma,nilai-nilai kemanusiaan diwujud-kan dengan menghargai yang leb-ih muda, menghargai pendapat or-ang lain, dan menghormati yanglebih senior dengan bertutur sapayang santun, baik dalam intonasi,bahasa, dan tentu dibarengi denganraut muka yang ramah, memikultugas mendidik dengan bebas, be-rani, dan gembira, sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan per-buatannya serta akibat-akibat yangtimbul, menghargai orang lain, ter-masuk peserta didik, dan bijaksa-na dan hati-hati (tidak nekat, tidaksembrono, tidak singkat akal).

Butir-butir yang direkomen-dasikan oleh Asosiasi LembagaPendidikan Tenaga KependidikanIndonesia (ALPTKI) Januari 2006bahwa kompetensi kepribadianadalah memiliki kepribadian yangmantab, stabil, dewasa, arif, danberwibawa, menjadi teladan peser-ta didik, dan berakhlak mulia. Ko-mpetensi ini dapat dijabarkandalam empat sub kompetensi yaitupertama, menampilkan diri sebagaipribadi yang mantab, stabil, dew-asa, arif, dan berwibawa.Kedua,menampilkan diri sebagai pribadiyang berakhlak mulia dan sebagaiteladan bagi peserta didik danmasyarakat. Ketiga, mengevaluasikinerja sendiri. Keempat, mengem-bangkan diri secara berkelanjutan.Dari keempat sub kompetensi terse-

Page 23: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 2323

but dijabarkan dalam 15 pengala-man belajar yang harus dimilikioleh seorang guru. Dengan men-guasai ke 15 pengalaman belajartersebut maka guru bisa dijadikanteladan bagi peserta didik danmasyarakat.

Rumusan kode etik kongresPersatuan Guru Republik Indone-sia (PGRI) XIII tanggal 21 sampai25 November 1973, salah satubutirnya menyebutkan bahwa gurumenciptakan dan memeliharahubungan antara sesama guru,baik berdasarkan lingkungan kerjamaupun dalam hubungan keselu-ruhan. Butir ini menuntut gurumemiliki kepribadian dewasa yangmeliputi kemampuan menerimakritik, kemampuan dan kemauanmemberikan saran dan sabar. Sese-orang yang mampu menerima kri-tik dengan lapang dada memu-ngkinkan seseorang akan semakinbaik dan semakin dewasa. Di dalammenerima kritik tentu memerlukankesabaran dan ketabahan karenabagaimanapun juga kritik merupa-kan sesuatu yang menyakitkan ka-lau tidak didasari dengan kesaba-ran. Dengan kesabaran menerimakritik, maka seorang guru akan se-makin dewasa dalam pola berpikir.Seperti diungkapkan oleh Gordon(1989:223) bahwa sikap menerimadengan ikhlas adalah faktor kritisdalam membantu mengembangkankemudahan pemecahan masalah,mengembangkan perubahan kon-struktif dalam mendorong usaha-usaha menuju sikap produktif.

Selain rumusan di atas, kon-gres PGRI XIII tanggal 21 sampai25 November 1973, juga merumus-kan bahwa guru harus memilikikejujuran profesional dalam men-erapkan kurikulum sesuai kebutu-han peserta didik masing-masing.Kejujuran dalam memberikan infor-masi sangat menentukan keber-hasilan siswanya. Jika informasiyang disampaikan guru merupa-kan informasi yang sangat dibutu-hkan siswa, maka informasi terse-but dapat merupakan stimulus

yang sangat bermanfaat. Tetapi,kalau guru tidak jujur menyampai-kan informasi, maka siswa bisa ter-jebak dalam informasi yang tidakbermanfaat. Dengan demikian,kejujuran dalam menyampaikaninformasi sangat dibutuhkan olehseorang guru. Seperti yang di-ungkapkan oleh Tilaar (2000:41)kesalahan dalam mengerti bahanakan menyebabkan peserta didikmengerti secara salah atau terjadisalah konsep.

Butir lain dari Rumusan kodeetik kongres PGRI XIII tanggal 21

Kemandirian seorang gurumerupakan tuntutan sebagian darikeprofesionalan sebagai seorangguru. Kemandirian ini pentingdalam mengaktualisasi diri se-bagai seorang guru yang baik, sep-erti dikatakan Mouly (1973:106)bahwa aktualisasi diri sebagianbesar ditentukan oleh diri sendiri.Guru merupakan bagian dari se-buah sistem, yaitu sistem pendidi-kan dan pembelajaran. Sebagaibagian dari sebuah sistem guru di-tuntut untuk mampu bekerja samadengan bagian lain dari sistemtersebut. Seperti dijelaskan olehSlavin (1984:156) bahwa seseorangakan menghargai orang lain yangkeberhasilannya mampu dinikmatioleh orang lain juga. Penjelasan inimemberikan pengertian bahwa ke-berhasilan kelompok akan lebihdihargai daripada keberhasilan in-dividu. Hal ini disebabkan karenakeberhasilan kelompok, selain ber-hasil dalam prestasi juga berhasildalam bekerjasama. Kemandirianseorang guru akan semakin baik,apabila didukung oleh kemam-puan memahami kekurangan dirisendiri. Seseorang yang mampumemahami kekurangan diri sendi-ri selalu akan belajar untuk menut-up kekurangan itu. Kekurangandiri sendiri akan dapat diketahuibila seseorang selalu mengevalua-si kinerjanya. Tanpa evaluasi ter-hadap diri sendiri sangat sulit un-tuk mengetahui kekurangan dirisendiri.

Kemandirian juga dalam tugasprofesionalnya, seorang guru di-tuntut untuk selalu memperkayapengetahuan dan keterampilan.Dalam memperkaya pengetahuandan keterampilan, guru harusmampu memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada. Derasnyaarus teknologi ini, harus mampudimanfaatkan oleh guru untuk di-gunakan sebagai sumber penge-tahuan dan sumber keterampilan.Selain teknologi sebagai sumberpengetahuan dan keterampilan,kegiatan seperti seminar, work-

Guru merupakan

bagian dari sebuah

sistem, yaitu sistem

pendidikan dan

pembelajaran. Sebagai

bagian dari sebuah

sistem guru dituntut

untuk mampu bekerja

sama dengan bagian

lain dari sistem

tersebut

sampai 25 November 1973 itumenyebutkan bahwa guru berbaktimembimbing anak didik seutuhnyauntuk membentuk manusia pem-bangunan. Profesi guru merupakanprofesi yang mempunyai tugasmencerahkan pengetahuan siswa,sehingga guru mempunyai kewa-jiban untuk menolong siswa apa-bila mengalami kesulitan. Bahkantidak hanya pada kesulitan akade-mis saja, tetapi kesulitan non aka-demis guru mempunyai kewajibanmemberikan pertolongan. Sepertiyang diungkapkan oleh Suparno(2001:25) bersikap menolong tidakberarti selalu membantu secarafisik, tetapi mungkin memberi infor-masi, menyatakan simpati, danmeringankan beban lahir maupunbatin kawan bicara.

Page 24: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102424

shop, kursus singkat, dan magangdapat digunakan sebagai sumberpengetahuan dan keterapilan. Sep-erti diungkapkan oleh Philipe Per-renoud (Suparno, 2001:29), salahsatu kompetensi yang akan meng-hindarkan orang dari hidup ber-dasarkan belas kasihan orang lainadalah mampu mengidentifikasi,menilai dan mempertahankansumber-sumber, keterbatasan, danhak-hak, serta kebutuhan-kebutu-han secara mandiri.

Kajian di atas menunjukkanbahwa guru sebagai agen pembela-jaran dan tentunya juga agen pen-didikan, maka kepribadian gurutercermin dari kehidupan sehari-hari dan kompetensi kepribadianguru adalah kemampuan memberi-kan contoh perbuatan nyata baikuntuk siswa maupun untukmasyarakat luas. Kompetensi ke-pribadian ini meliputi beberapa in-dikator, yaitu kepribadian mantap,kepribadian dewasa, berakhlakmulia dan kemandirian.

Kompetensi SosialRayner & Riding (1998:50)

menyatakan bahwa proses pem-belajaran dipusatkan pada limaunsur utama, yaitu ; hubunganatau interaksi antar individu, mi-nat belajar, pengembangan kon-struk tujuan, penekanan padaprestasi, dan konstruk instrumen-nya. Dari lima unsur tersebut, un-sur pertama adalah hubunganantar personal, yaitu ; hubunganantar guru dengan peserta didik,antara peserta didik dengan peser-ta didik yang lain, dan antar gurudengan guru lain. Dengan demiki-an, kompetensi untuk berhubun-gan dengan orang lain sangat dibu-tuhkan untuk profesi guru. Sepertijuga yang dikatakan oleh Suparno(2001:23) menyatakan bahwadalam belajar dengan orang lainmaupun masyarakat luas, seseor-ang perlu menguasai kecakapan-kecakapan yang memungkinkanseseorang dapat diterima olehlingkungannya sekaligus dapat

mengembangkan diri secara opti-mal.

Philipe Perrenoud (Suparno,2001:29) menyatakan bahwa salahsatu kompetensi yang akan meng-hindarkan orang dari hidup ber-dasarkan belas kasihan orang lainadalah mampu bekerjasama, bertin-dak sinergis, berpartisipasi, danberbagi tugas kepemimpinan. Se-suai dengan rumusan kode etikkongres PGRI XIII tanggal 21 sam-pai 25 November 1973, menyebut-kan bahwa guru secara sendiriatau bersama-sama berusahamengembangkan dan meningkat-kan mutu profesinya dan guru se-cara bersama-sama memelihara,membina, dan meningkatkan mutuorganisasi guru profesional sebagaisarana pengabdian. Tugas seorangguru tidak mungkin dapat dilaksan-akan dengan baik hanya denganbekerja sendiri. Tanpa bantuan te-man, siswa, dan masyarakat umumtidak mungkin guru bisa berhasildalam mencapai tujuan pembelaja-ran.

Butir-butir yang direkomen-dasikan oleh Asosiasi LembagaPendidikan Tenaga KependidikanIndonesia (ALPTKI) Januari 2006bahwa kompetensi sosial adalahkemampuan berkomunikasi secaraefektif dengan peserta didik, sesa-ma pendidik, tenaga kependidikan,orang tua/wali peserta didik, danmasyarakat sekitar. Kompetensi inidiuraikan dalam empat sub kompe-tensi, yaitu ; pertama, berkomunika-si efektif dan empatik dengan pe-serta didik, orangtua peserta didik,sesama pendidik, tenaga kependid-ikan, dan masyarakat. Kedua,berkontribusi terhadap pengem-bangan pendidikan di sekolah danmasyarakat. Ketiga berkontribusiterhadap pengembangan pendidi-kan di tingkat lokal, regional, na-sional, dan global. Keempat, meman-faatkan teknologi informasi dan ko-munikasi (ICT) untuk berkomuni-kasi dan mengembangkan diri. Ke-empat sub kompetensi tersebutmasih diuraikan lagi ke dalam se-

belas pengalaman belajar yangharus dimiliki oleh seorang guru.Tentu sebagai mahasiswa calonguru harus mampu menguasai ko-mpetensi tersebut, walaupun adabebearapa jabaran yang belum ten-tu dilakukan oleh mahasiswa ca-lon guru, misalnya adalah berlatihmerancang program tingakat glo-bal. Ini merupakan kemampuanyang sulit bagi tingkat mahasiswauntuk bisa menguasai dengan baik.

Rumusan kode etik kongresPGRI XIII tanggal 21 sampai 25November 1973, menyebutkan bah-wa guru memelihara hubunganbaik dengan masyarakat di sekitarsekolahnya maupun masyarakatyang lebih luas untuk kepentinganpendidikan, guru mengadakan ko-munikasi, terutama dalam memper-oleh informasi tentang peserta did-ik, tetapi menghindarkan diri darisegala bentuk penyalahgunaan,dan guru menciptakan suasanakehidupan sekolah dan memeliha-ra hubungan dengan orang tua per-serta didik sebaik-baiknya bagi ke-pentingan peserta didik. Komuni-kasi sangat penting dalam mengem-bangkan kepribadian dan mengem-bangkan kompetensi seorang guru.Tanpa komunikasi yang baik seor-ang guru sulit untuk bisa berhasilmengajar dengan baik. Seperti dika-takan Forsdale (1981:15) bahwakomunikasi adalah suatu prosespemberian sinyal atau stimulusdalam pembelajaran. Pemberianstimulus ini akan berhasil jika diko-munikasikan dengan baik, demiki-an juga dengan stimulus itu sendi-ri, stimulus yang kurang baik jugatidak akan terjadi proses belajaryang baik dari siswa.

Komunikasi mungkin tidak be-rarti apabila dipandang sepintaslalu, tetapi bila dipandang sebagaisuatu proses, maka komunikasimemegang peranan penting dalampenyampaian pesan. Hal ini seper-ti dikatakan oleh Seiler (1988;25)bahwa komunikasi lebih merupa-kan cuaca yang terjadi dari ber-macam-macam variabel yang ko-

Page 25: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 2525

ge

Daftar Pustaka

Alif Mudiono, Sunarto Hapsoyo, & Sri Munawaroh. (2002). Kemampuan guru dalam

pembelajaran pemahaman membaca di SD Kota Blitar. Jurnal Penelitian Pendidikan, 2, 161-174.

Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia. (2006). Butir-butir rekomendasi

tentang pelaksanaan program sertifikasi guru. Bandung:ALPTKI.

Cooper, J.M. (1986). Clssroom teaching skills (3rd). Stok, Boston:D.C. Heath and Company.

Frosdale, L. (1981). Perspectives on communication. New York:random House.

Fry, H., Katteridge, S., & Marshall, S. (1999). A hand book for teaching & learning in higher

education, enchanching academic practice. London:Kagan Page limited.

Mouly, G.J. (1973). Psychology for effective teaching (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston

Inc.

Nasrun. (2001). Kontribusi motivasi berprestasi, metode mengajar khusus dan pengelolaan

kelas terhadap keberhasilan praktik lapangan kependidikan di SMK Sumatera Barat. Jurnal

Skolar, 2, 137-150.

Pervin, L.A. (1989). Personality:Theory and research. New York:John Wiey & sons Inc.

Riding, R.& Rayner, S. (1998). Cognitive styles and learning strategies. London:David Fulton

Publishers.

Seiler, W.J. (1988). Introduction to speech communication. Glenview:Scott, Foresman and Company.

Slavin, R. E. (1984). Educational psychology theory and practice (5thed.). Boston:Allyn and Bacon.

Sukamto. (1999). Studi pengembangan akreditasi guru sekolah menengah umum. Laporan penelitian,

Lembaga Penelitian UNY.

Sumadi Suryabrata.(2005). Psikologi kepribadian. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.

Sugiarto. (2003). Kemampuan guru mengelola pembelajaran fisika di SLTP Kota

Banjarmasin. Jurnal Penelitian dan Evaluasi, 6, 116-127.

Suparno. (2002). Hubungan minat baca dengan hasil belajar (Studi pada mahasiswa FT

UNP). Jurnal Skolar, 1, 99-109.

Syaiful Bahri Djamarah. (2000). Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif. Jakarta:Rineka

Cipta.

Tilaar. (2002). Membenahi pendidikan nasional. Jakarta:Rineka Cipta.

Tilaar. (2004). Lima puluh mutiara pemikiran. Jakarta:AYUB.

mpleks dan terus berubah. Peruba-han inilah yang selalu menjadi se-buah proses sehingga memerlukankomunikasi. Guru sebagai seorangyang profesinya selalu menyampai-kan pesan perlu memahami danmempunyai kemampuan komuni-kasi yang baik. Komunikasi seor-ang guru tidak hanya komunikasidengan siswa, tetapi juga komuni-kasi dengan guru lain, kepalasekolah ataupun dengan pihak lainyang terkait. Pemilikan ciri warganegara yang religius dan berkepri-badian, pemilikan sikap dan ke-mampuan mengaktualisasi diri,serta pemilikan sikap dan kemam-puan mengembangkan profesional-isme kependidikan adalah salahsatu kompetensi yang harus dimil-iki guru.

Dari kajian di atas, dapat dis-impulkan bahwa kompetensi sos-ial guru adalah kemampuan sese-orang dalam berkomunikasi baik dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah baik dengan unsurpeserta didik, guru lain, kepalasekolah, dan masyarakat luas sertakontribusinya terhadap pendidi-kan luas. Kompetensi ini meliputikerjasama dengan teman danmasyarakat luar sekolah, komuni-kasi dengan peserta didik, guruyang lain, dan masyarakat luar seko-ah, dan kontribusi terhadappengembangan pendidikan.

Kompetensi profesionalSelain ketiga kompetensi di

atas, yaitu kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, dan ko-mpetensi sosial, masih ada satulagi kompetensi yang harus dimili-ki oleh seorang guru, yaitu kompe-tensi profesional, kompetensi iniberkaitan dengan kemampuan se-orang guru akan bidang studi yangditekuninya. Seorang guru matem-atika dituntut untuk menguasai ke-matematika-an dengan sebaik-baiknya. Kompetensi ini pentingkarena untuk bersaing dengansiswa-siswa lain bahkan siswadari negara lain, kompetensi profe-

sional seorang guru harus benar-benar mumpuni. Kompetensi pro-fesional ini, bagi guru-guru kitamasih harus ditingkatkan lagi. Se-bagai gambaran penguasaanbidang studi, penelitian Sukamto(1999) tentang PengembanganAkreditasi Guru SMU, mendapat-kan hasil bahwa pemahaman ma-teri kurikulum 1994 guru untukmata pelajaran Matematika danIlmu Pengetahuan Alam (IPA) diDIY antara 63% sampai 88% se-dang untuk DKI antara 66% sam-pai 89%.

Kondisi tersebut perlu disika-pi dengan baik agar kemampuanguru kita khususnya kemampuanbidang studinya lebih baik. Ke-mampuan bidang studi tersebuttentu saja berkaitan dengan pema-haman guru akan filosofinya, kar-akteristik, kedalaman materi, danperkembangan terkini akan bidangstudi tersebut. Perkembangan terki-ni akan bidang studi yang ditekunioleh seorang guru harus selalu di-ikuti karena pengetahuan akan

bidang studi tersebut selaluberkembang. Perkembangan iniharus diketahui oleh seorang guruagar tidak ketinggalan dan penge-tahuan yang ditransfer ke siswaselalu up to date.

KesimpulanUntuk menjadi seorang guru

yang profesional menurut kajian diatas, maka guru harus menguasaiempat kompetensi, yaitu ; peda-gogik (kompetensi yang berkaitandengan proses belajar mengajar),kompetensi kepribadian (kompe-tensi yang berkaitan dengan per-ilaku dalam lingkungan sekolahdan luar sekolah), kompetensi sos-ial (kompetensi yang berkatian den-gan kemampuan bersosialisasidengan masyarakat luas), dan ko-mpetensi profesional (kompetensiyang berkaitan dengan penguasaanbidang studi). Jadi, pada saat gurubelum dapat menguasai keempatkompetensi tersebut, maka gurubelum dapat dikatakan sebagaiguru yang profesional.

Page 26: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102626

Hidayat R.

artikel utamaartikel utama

Hidayat Raharja adalah guru SMA 1 Sumenep, selain mengajar biologisaat ini diberi tugas untuk mengampu mata pelajaran menulis kreatif dikelas Unggulan (XI IIA 1) dan di kelas X RSBI . Beberapa tulisan dimuat dimedia cetak baik lokal mau pun nasional. Saat ini mengelola kegiatanmenulis “SAVANT” ; anak-anak yang tak bi(A)sa menulis tapi berani menulis,wadah menulis  untuk anak dan remaja bertempat di teras rumahnya

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102626

Seorang guru, adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya

yang banyak mencari  tahu1

 Profesi guru merupakan suatu profesi yang

sangat menarik, karena profesi guru berhada-pan dengan manusia, sebagai subyek yangunik dan beragam. Unik, karena setiap orangmemiliki pengalaman yang berbeda. Menarik,karena profesi guru dituntut untuk melakukansesuatu yang mempengaruhi terhadap pesertadidik. Profesi guru semakin menarik ketika pe-merintah sebagaimana diamanatkan dalamUndang-Undang No 14 tahun 2005 “TentangGuru dan Dosen” memberikan tunjangan pro-fesi sebesar satu kali gaji, sehingga banyak or-ang melirik profesi guru karena besarnya tun-jangan yang dapat meningkatkan kesejahter-aan mereka. Suatu persepsi yang tidak sepenu-hnya benar, karena seharusnya pemberian tam-bahan tunjangan profesi menuntut adanyapeningkatan profesionalisme guru.

Profesionalisme, dari kata profesionaldalam UUGD (2006) Bab I pasal 1 (4) dijelas-kan sebagai  pekerjaan atau kegiatan yang di-

Profesionalisme Guru  Realitas Pembelajaran

lakukan oleh seseorang dan menjadi sum-ber penghidupan yang membutuhkankeahlian, kemahiran, atau kecakapan yangmemenuhi standar mutu atau norma ter-tentu serta memerlukan pendidikan profe-si.2 Menegaskan pekerjaan guru adalah pe-kerjaan yang menuntut profesional, dandapat diperoleh melalui pendidikan profe-si.  Profesi guru sama seperti profesi dok-ter, apoteker, notaris, dan semacamnya.

 Berhadapan dengan profesi guru,maka disitu dituntut beberapa prasyaratsupaya memenuhi dan mencapai sikapprofesional. Suatu tuntutan yang dilanda-si ketulusan dan keikhlasan hati untukmenekuni profesi. Suatu tantangan dan tun-tutan mendasar bagi setiap yang ingin me-nekuni profesi guru. Ketulusan seseorangdalam menekuni setiap pekerjaan atau pro-fesi, akan menjadikan lahan pekerjaan gurusebagai ruang berbakti dan mengabdi un-tuk memberikan manfaat bagi orang lain.

&

1 Potongan larik pada sajak hidayat raharja, “Riwayat

Seorang Guru

Page 27: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 2727

Profesi guru sebagai profesiyang berhadapan langsung denganpeserta didik, memiliki nilai lebihsekaligus mengemban konsekwen-si yang membedakannya denganprofesi lainnya. Nilai lebih karenaberhadapan dengan manusia, seh-ingga interaksi antara murid danguru merupakan sebuah prosesyang melibatkan seluruh aspekdalam diri manusia, memberikanrespon sebagai hasil dari interaksitersebut. Lebih jauh respon itu men-gacu kepada tujuan yang diingin-kan dalam Undang-UndangSistem Pendidikan Nasional. Tun-tutan yang membutuhkan kecaka-pan paedagogi,  kompetensi kepri-badian, kompetensi sosial dan ko-mpetensi profesional.3 Sehinggamampu berinteraksi dan mengem-bangkan keilmuan secara profe-sional. Konsekwensi yang menun-tut seorang guru tidak hanya ditun-tut cakap menguasai keilmuanyang diampu, namun juga mampumengkomunikasikan keilmuannyasecara tepat dan baik.

Perubahan paradigma profesiguru seiring dengan perkembangansains dan teknologi, menuntutadanya perubahan-perubahan se-cara dinamis dan progresif dalammengembangkan kecakapan gurusecara menyeluruh. Guru dituntutmampu menguasai perkembanganteknologi dan seni, sehingga dapatmenempatkan diri di tengahperkembangan peserta didik.4 Gurutidak lagi menjadi satu-satunyasumber informasi, dan mendomina-si dalam pembelajaran tetapi lebihtepat memainkan peran sebagaipengelola pembelajaran untuk me-motivasi siswa belajar. Sehinggadengan peran itu, siswa mampumengembangkan potensi dan ke-cakapannya.

Kenyataannya guru banyak men-galami masalah dalam menjalankanprofesinya, tidak dapat menjalankantugas dengan baik. Akibatnya, ketikamutu proses dan produk pendidikanrendah, guru melemparkan tanggung-jawab kepada orangtua dan

masyarakat.5

Di antaranya masih banyak dikalangan internal guru saling tud-ing dan melempar tanggungjawabantara mereka yang belum meneri-ma tunjangan profesi dan guru pen-erima tunjangan profesi. Celakan-ya, rasa cemburu ini tidak diimban-gi dengan peningkatan kualitaslayanan pembelajaran beberapaguru yang menerima tunjanganprofesi. Memang persoalan kecem-buruan ini kian mengemuka ketikasetiap daerah memberlakukan atu-ran yang berbeda, sehingga adaguru di suatu daerah sudah memi-liki masa kerja dua puluh tahun,sarjana, tetapi belum diikutkan ser-tifikasi. Sementara di daerah lain,guru yang memiliki masa kerja 8tahun sudah bisa mengikuti serti-fikasi dan telah menerima tunjan-gan profesi. Persoalan yang mulaimengemuka, dan perlu dipahamikembali hak-hak dan kewajibanguru, serta tanggngjawab pemerin-tahan di daerah untuk mensejahter-akan guru.

Guru Super,Excellent,dan GoodTugas mulia seorang guru me-

miliki hak, kewajiban dan tang-gungjawab yang tidak ringan. Halini berkenaan dengan tugas guruyang berhadapan dengan siswasebagai subyek memerlukan ke-cakapan dan keahlian tertentu, se-hingga mampu mengembangkanpotensi setiap siswa berkembangdan berprestasi. Lebih jauh bertu-

juan untuk menopang programpendidikan nasional berfungsimengembangkan kemampuan danmembentuk watak serta peradabanbangsa yang bermartabat  dalamrangka mencerdaskan kehidupanbangsa.6 Beratnya tanggungjawabyang diemban tersebut, maka seor-ang guru profesional berkewa-jiban:7 Pertama, merencanakan pem-belajaran, melaksanakan prosespembelajaran yang bermutu, sertamenilai dan mengevaluasi hasilpembelajaran; Kedua, meningkat-kan dan mengembangkan kuali-fikasi akademik dan kompetensisecara berkelanjutan sejalan den-gan perkembangan ilmu penge-tahuan, teknologi, dan seni; Ketiga,bertindak obyektif dan tidak dis-kriminatif atas dasar pertimbanganjenis kelamin, agama, suku, ras, dankondisi fisik tertentu, atau latar be-lakang keluarga, dan status sosialekonomi peserta didik dalam pem-belajaran; Keempat, menjunjungtinggi peraturan perundang-un-dangan, hukum, dan kode etikguru, serta nilai-nilai agama, danetika; dan Kelima, memelihara danmemupuk persatuan dan kesatuanbangsa.

 Di samping kewajiban yangharus dipenuhi guru dalam men-jalankan tugas profesional  memil-iki hak:8

Memproleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimumdan jaminan kesejahteraan sosial;Mendapatkan promosi dan peng-

2 Saat ini sertifikasi terhadap guru dilakukan diberlakukan bagi mereka yang memenuhi

kualifikasi telah menempuh pendidikan D4/Strata 1 (S1) dengan menyerahkan isian portofolio

yang akan  dinilai oleh asesor untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru yang kurang memenuhi

standar yang telah ditetapkan asesor wajib untuk mengikuti diklat, sementara bagi mereka yang

telah memenuhi standar penilaian portofolio berhak untuk mengajukan tunjangan profesi

satu kali gaji3 Lihat PP No.74 Tahun 2008 Bagian Kedua pasal 7 ayat 14 Dalam penjelasan atas  UU No.20 Tahun 2003, salah satu strategi pembangunan pendidikan

ansional yang berhubungan dengan profesi guru, dalah peningkatan keprofesionalan pendididik

dan tenaga pendidikan5 Lihat Sukidin, Basrowi dan Suranto (2008) dalam “ Manajemen Penelitian Tindkaan

Kelas” Jakarta: Insan Cendekia.Di dalam Prakata menjelaskan bahwa  adanya kewajiban bagi

guru untuk mengkaji secara ilmiah permasalahan yang dihadapi dan dilakukan tindakan sehingga

tercapai efektifitas pembelajaran6 Lihat Undang-Undang No.20 tahun 2003 –Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta

2003 halaman 51-527 Lihat UU No. 14 Tahun 2005  Bagian Kedua pasal 208 Ibid pasal 14

Page 28: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20102828

hargaan sesuai dengan tugas danprestasi kerja; Memperoleh perlin-dungan dalam melaksanakaan tu-gas dan hak atas kekayaan intelek-tual; Memperoleh kesempatan un-tuk meningkatkan kompetensi;Memperoleh dan memanfaatkansarana dan prasarana pembelaja-ran untuk menunjang kelancarantugas keprofesionalan; Memiliki ke-bebasan dalam memberikan pe-nilaian dan ikut menentukan kelu-lusan, penghargaan, dan/atausanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kodeetik guru, dan peraturan perun-dang-undangan; Memperoleh rasaaman dan jaminan keselamatandalam melaksanakan tugas; Memi-liki kebebasan untuk berserikatdalam organisasi profesi; Memilikikesempatan untuk berperan dalampenentuan kebijakan pendidikan;Memperoleh kesempatan untukmengembangkan dan meningkat-kan kualifikasi akademik, dan ko-mpetensi; dan/atau Memperolehpelatihan dan pengembangan pro-fesi dalam bidangnya.

Dalam perkembangan teoripendidikan dan kecakapan siswa,banyak perubahan-perubahanyang mentuntut pula perubahanpada pembelajaran yang dilakukanguru. Kecerdasan majemuk salahsatu teori yang menjelaskan tentangkeberagaman kecakapan yang di-miliki siswa, memberikan implika-si bagi guru dalam melaksanakanpembelajaran di kelas. Adanyapembelajaran yang mampu menga-kokomodir aneka kecakapan siswa,sehingga mampu memotivasi bela-jar peserta didik dan mengembang-kan potensinya. Karenanya tidakberlebihan apabila Carol Weinstein(1979) mengemukakan tidak adatempat lain (kecuali sekolah), yangditempat tersebut sejumlah pesertadidik dikumpulkan selama bebera-pa jam, tetapi dituntut dapatmengerjakan tugas-tugas belajaryang sulit, efisien, dan berinteraksisecara harmonis.9 Betapa besar pe-ran guru dalam mengelola pem-

belajaran, sehingga bisa mengem-bangkan kecakapan siswa secaraoptimal.

Maka, tidak berlebihan jika ke-mudian Louanne Johnson menan-yakan  apakah anda guru yangbaik? Sebuah pertanyaan  yangmengakategorikan guru ke dalamtiga  rasa dasar; Super, Excellent danGood!10 Sebuah kategori yang san-gat menarik karena tawaran terse-but disesuaikan dengan kapabili-tas personal, emosi, fisik, dan men-tal. Guru Super adalah guru yangmembaktikan seluruh energihidupnya untuk profesi guru. Kon-disi yang membutuhkan dukunganfisik, dan mental yang sangat be-sar, dan sangat memungkinkanmenyerap dana yang besar pulauntuk melaksanakan tugas pem-belajarannya.

Guru Excellent atau guru Good!Barangkali di antara dua pilihan iniyang banyak kita dapati dan raih.Excellent, guru yang menikmati pe-kerjaannya, tetapi mereka membata-si jumlah waktu dan energi yangmereka baktikan untuk mengajar.Mereka peduli dan melakukan yangterbaik untuk peserta didiknya, na-mun tidak mengorbankan  kebutu-han keluarga mereka sendiri. Paraguru excellent menyediakan waktulembur, karena untuk mengajaryang baik membutuhkan persiapandan perencanaan yang matang, sep-erti: memeriksa pekerjaan siswa,membuat perencanaan mengajar,atau mengawasi karya wisata yangdilakukan. Semua pekerjaan tanpadibayar, hanya sebagai tuntutandan konsekwensi sebuah tanggung-jawab sebagai guru. Meski begitumereka memberi batasan waktu lem-bur yang akan mereka kerjakan.

Guru yang good, mengerjakanpekerjaan dengan baik, tetapi mema-hami batasan mereka sendiri, mem-buat batasan yang jelas antara pro-fesionalitas dan waktu pribadi.Mereka memperlakukan murid den-

gan manusiawi, mereka melakukanyang terbaik untuk meningkatkankemampuan siswanya, sehinggasiap untuk menempuh ke jenjangpendidikan berikutnya. Namun,mereka tidak merasa berkewajibanuntuk menyelamatkan siswanyasatu per satu. Mereka tiba di sekolahcukup awal, menyiapkan diri, na-mun tidak menawarkan untuk kun-jungan ke rumah mereka, tidak maudiganggu jam istirahatnya, dantidak memanfaatkan waktu istirahatuntuk memberikan konseling bagisiswanya.

Guru kencing berdiri, nyaringbunyinya11

Adagium “guru kencing berdi-ri, murid kencing berlari” seakan len-yap dari pendengaran. Perkemban-gan sains dan teknologi telah mem-berikan pengaruhnya dalam berb-agai sektor kehidupan manusia, ter-masuk di dalamnya dunia pendid-ikan. Profesi guru mencari aktuali-tasnya di tengah peradaban digitaldan teknologis. Guru bukan lagisatu-satunya sumber informasi,dan murid bukanlah gelas kosongyang bisa dituangi isi sesuka hat-inya. Benarkah guru kencing berdiri-murid kencing berlari (setiap perilakuguru senantiasa ditiru muridnya)?Pada saat ini dengan pengaruhaneka media informasi, guru men-jadi salah satu bagian kecil yangmemberikan pengaruh dalam per-ilaku dan kehidupan siswa. Beber-apa kasus mencuat ke permukaanoknum guru diperkarakan olehmurid, melakukan perbuatan cab-ul, tindak penipuan, kriminal, tidakfair dalam memberikan penilaiandan dihubungkan dengan keikut-sertaannya dalam kursus atau lesprivat yang diselenggarakan, dansemacamnya.

Berapa banyak di antara guruketika berjumpa dengan rekan se-jawatnya membicarakan tentangupaya-upaya peningkatan presta-

9 Lihat Thomas Amstring dalam “ Sekolah Para Juara” Bandung: Penerbit Kaifa. Halaman 13510 Johnson. 2009.”Pengajaran yang Kreatif dan Menarik”, alih bahasa Dani Dharyani . PT Indeka11 Sebuah plesetan dari guru kencing berdiri, murid kencing berlari

Page 29: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 2929

si belajar anak didiknya. Sementa-ra dalam beberapa petemuan sesa-ma mereka disibukkan untuk mem-bicarakan bisnis mereka, ganti mo-bil baru, investasi tanah, dan mem-bicarakan mode pakaian terbaru.Tidak salah apa yang mereka bic-arakan, karena itu menjadi penan-da tingkat perekonomian guru yangsemakin baik. Tetapi, jangan salahjalan menjadikan siswa se-bagai obyek bisnisnya.Seberapa banyak di ant-ara mereka yang mend-iskusikan sumber refren-si keilmuan terbaru untukditerapkan dalam pem-belajaran yang menja-di profesinya? Sebera-pa banyak di antaramereka memikirkanpersoalan-persoalanyang dihadapi muridyang mengalami ham-batan belajar? Seberapabanyak di antara merekayang selalu berpikir anal-istis saat pencapainan kompetensi siswanyarendah, tidak selalu men-yalahkan murid, tetapisecara obyektif melaku-kan analisis dan mencarisumber permasalahan untuk segeradilakukan tindakan?

Secuil kaca buram yang mere-kahkan kembali persoalan-per-soalan berhubungan profesionalis-me. Namun begitu, peristiwa terse-but dapat memberikan sinyal untukkian menguatkan etika profesi danprofesionalisme guru sebagai ujungtombak dalam pembangunan kual-itas Sumber Daya Manusia, yangakan berimplikasi terhadap mar-tabat warga dan bangsa Indonesia.

Penguasaan teknologi informa-si adalah sebuah kebutuhan guruuntuk mampu menyajikan pem-belajaran yang berbasis teknologiinformasi. Namun, juga jangan di-lupakan bahwa murid membutuh-kan perhatian, teguran, bimbingan,terutama dalam perilaku merekasehingga bisa mandiri dan berko-

mpetisi di tengah lingkungan per-adabannya.

Peran guru sebagai sahabatsiswa adalah benar, namun bukanberarti guru menjadi kekanak-kana-kan, karena di saat-saat tertentuguru dibutuhkan pula sebagai or-ang tua, pembimbing, sekaligus pe-nentu kebijakan, sehingga siswamenjadi lebih terarah. Cukup men-

gagetkan ketika suatu ketika seor-ang guru BK tidak berani menegursiswa karena si guru BK berperansebagai sahabat siswa. Benarkahdemikian? Neil Postman, pernahmenegaskan untuk membangkit-kan kembali dunia pendidikan darikematiannya, maka perlu direvital-isasi peran guru. Guru sebagai sa-habat siswa, tidak berarti guru tu-rut menjadi siswa, tetapi guru me-masuki dunia siswa untuk kemu-dian dibawa ke dunia yang mencer-

ahkan, sehingga siswa menjadi leb-ih dewasa, mandiri,dan bertang-gungjawab.12

Betapa banyak hal yang harusdirekonstruksi mengenai kerja gurusecara profesional. Hasil sebuahpolling SMS mengenai profesional-isme guru terhadap 263 respondenmembuktikan; 25 orang dosen,50orang guru, 65 mahasiswa, 50siswa, 40 orang awam menyatakanbahwa kerja guru di Sumenep belumprofesional. Sementara 33 re-

sponden menyatakan tidaktahu.13 Data tersebut  memang

perlu dikaji ulang, tetapi realitaskecil tersebut dapat menjadi sin-

yalemen untuk meningkatkanprofesionalisme guru dalammenjalankan tugasnya.

Ada beberapa hal yang pat-ut kita renungkan bersama, bah-

wa: pertama, saat ini sering dite-mui siswa kerap dijadikantumpuan sumber kesalahan.

Misalnya, pada suatu mata pela-jaran Biologi dalam suatu kelasyang muridnya berjumlah 40siswa, yang mencapai kriteriaketuntasan minimal hanya 10orang, siswa yang belum tun-tas 30 orang. Dalam kondisi

seperti ini, jelas sumber kelasalah-annya tidak bisa ditimpakan kepa-da siswa. Hasil ini perlu dianalisis,apakah butir soalnya terlalu sulit?,cara penyampaiannya yang kurangbisa diterima siswa, atau karenamedia dan metode pembelajaran-nya yang kurang tepat? Sudahkahdilakukan diversivikasi pembelaja-ran dengan aneka metode dan me-dia, serta memberikan pembelajaranyang menyenangkan? Jika tidak be-rarti guru belum memenuhi tuntut-an permendiknas No. 16 tentangStandar Kualifikasi Akademik danKompetensi Guru.14

12 Neil Postman. 2002.” Matinya Pendidikan Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah” Yogykarta: Jendela13 Hasil poling sms yang dilakukan Al Faizin – Ketua  Lembaga Kajian Pangestoh –

Sumenep yang disampaikan pada penulis pada tanggal 29 //11/2009  pukul 06.38: 55 am14 Baca kumpulan Permendiknas tentang Standar Nasional Pendidikan dan KTSP ,

Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat

Pembinaan SMA. Dalam salah satu kompetensi inti guru disebutkan antara lain; menguasai

karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan

itelek tual; Memanfaatkan hasil evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.

Page 30: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20103030

Kedua, diversifikasi pembelaja-ran ini amat vital dilakukan meng-ingat masih banyak ditemukanpembelajaran yang berlangsungsecara tradisional, dalam artianguru masih mendominasi pembela-jaran, dan siswa sebagai obyek yangmenerima informasi, tanpa proseskomunikasi interaktif dan dialogis.Pemanfaatan lingkungan sekitarsebagai sumber dan media belajar.Keterbatasan fasilitas merupakansebuah kelebihan yang membukapeluang menciptakan ruangkreativitas guru  dalam pembelaja-ran yang lebih kondusif.

Suatu pengalaman yang tidakakan terlupakan, pada suatu pagidi sebuah kelas berlangsung pela-jaran menulis. Penulis mengajakpara siswa untuk keluar kelas danmencari sesuatu yang menarik bagisetiap siswa untuk dijadikan se-bagai sumber tulisan. Sesuatu yangmenakjubkan, ada siswa yangmenulis dan berdialog denganrumput yang tak terawat dan tern-yata mengganggu keindahan hala-man sekolah. Seorang siswa menuliskan tentang rombongansemut hitam yang tengah bekerjakeras bekerjasama di antara mere-ka, bergotong royong menghadapikesulitan hidup. Tidak kalah me-nariknya, seorang siswa men-gamati seorang guru yang tengahmengajar di kelas, dengan detaildiceritakan aktivitas si guru yangpada akhirnya si anak menyimpul-kan dari mulai membuka pelajaransampai menutup pelajaran gurubersangkutan tak pernah beranjakdari tempat duduknya, sehinggatidak tahu kalau murid-muridnyadi belakang tidak memperhatikanapa yang dijelaskannya.

Ketiga, kemampuan menulisseorang guru. Ini persoalan yangamat penting bagi guru karena ber-hubungan dengan kemampuanuntuk, merencanakan, melaksana-kan, dan mengevaluasi pembelaja-ran adalah tugas seorang guru.Namun, sayang aktivitas ini tidakdekembangkan dalam kegiatan

menulis, dalam hal ini bisa berupalaporan penelitian tindakan kelas,atau sebentuk artikel sebagai doku-mentasi pembelajaran dan sangatbermanfaat bagi rekan kerja seja-wat, sekaligus meningkatkan pro-fesionlisme  sebagaimana dia-manatkan dalam PermendiknasNomor 16 tahun tahun 2007, Stan-dar Kompetensi Guru Mata Pelaja-ran  SMA/MA.15 Hal ini sangatmenarik karena setiap lokasi ataudaerah, setiap kelas memiliki per-soalan yang amat spesifik, unik,sehingga dapat menjadi sumberpermasalahan sekaligus sumberinspirasi untuk melakukan inova-si pembelajaran secara kreatif.

Keempat, reward and punishment.Ketentuan ini sudah dicantumkandalam perundang-undangan baikdalam UU no.14 Tahun 2005 mau-pun dalam  PP 74 Tahun 2008. Na-mun yang lebih penting adalah peng-hargaan perlu diberikan dalamlingkup mikro di tempat kerja(sekolah) bagi guru yang telah beker-ja dan menyelesaikan tugasnya den-gan baik. Meski, hal itu merupakansebuah kewajiban tidak akan meng-hilangkan kemuliaan, jika kemudi-an pihak sekolah memberikan re-ward bagi guru bersangkutan. Seba-liknya, bagi guru yang melakukan pe-langgaran perlu diberikan peringa-tan sampai pada tindakan hukuman,sehingga bisa bekerja lebih baik lagi.

Cukup menarik kategori guruyang dilakukan oleh LouAnneJohnson untuk diterapkan dalampemberlakuan reward dan punish-ment dalam sekolah. Apakah mere-ka tergolong kepada rasa guru su-per yang telah benyak mencurah-kan waktu, energi dan biaya sertakeluarga untuk keberhasilan anakdidiknya. Ataukah guru excellentcurahan energi dan tenaganya leb-ih rendah dari guru super, tetapimasih menyediakan waktu bagisiswanya berkunjung ke rumahnyauntuk bimbingan belajar secara

15 Lihat tabel 3 pada kompetensi guru mata pelajaran 23.3 Melakukan Penelitian Tindakan

Kelas untuk peningkatan keprofesionalan

gratis. Atau katagori guru goodyang berupaya masksimal untukmemberikan yang terbaik bagisiswanya, tetapi membatasi kerjaprofesionalnya deangan waktu ke-luarga dan istirahat mereka. Sebab,tentunya semua tidak mengingin-kan adanya guru rasa bad(not good)yang tidak dikategorisasi  olehJohnson. Tentu semua kita meng-inginkan guru yang baik, excellent,dan super.

Perlakukanlah orang lain se-bagaimana mestinya, maka andamembantu mewujudkan berbagai

potensi mereka – (Goethe)

 Guru yang profesional adalahguru yang tahu akan hak dan ke-wajiban serta tanggungjawabnyasebagai pendidik. Di pundaknyabergelayut beban mencerdaskananak-anak bangsa, sehingganantinya dapat membangunmasyarakarat yang cerdas, bermar-tabat sebagai manusia yang beri-man dan bertaqwa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, krea-tif, dan mandiri, demokratis, danbertanggungjawab.

Tugas yang amat berat, sehing-ga perlu diimbangi dengan upayauntuk mengembangkan kualifika-si diri, baik personal, sosial, maupun akademik, sehingga senan-tiasa bisa mengikuti perkembanganteknologi dan peradaban sertamampu berinteraksi di tengahmasyarakat global. Dalam mengem-ban tugas dan tanggyungjawab,tidak ada guru jelek, karena yangdiharapkan adalah guru baik, guruunggul; dan guru super.

Di sinilah perlunya saling me-motivasi sehingga guru bisaberkembang dan murid bisamengembangkan potensinya dalammenunjang pada tercapainya tujuanpendidikan nasional. Memperlaku-kan orang sebagaimana mestinyabukan  sesuai kehendaknya. ge

Page 31: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 3131

Rahbini

artikel utamaartikel utama

RRRRRahbini, M.Pd.ahbini, M.Pd.ahbini, M.Pd.ahbini, M.Pd.ahbini, M.Pd. lahir di Sumenep 18 Mei 1980, Pendidikan Dasar (MI &MTs) diselesaikan di PP. Al-In’am Banjar Timur Gapura, Alumni MAK An-Nuqayah Guluk-Guluk, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif diPMII UIN Suka. S2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Konsentrasi Penelitiandan Evaluasi Pendidikan (PEP) (2007). Sekarang Menjadi Kepala SMA-PesantrenAl-In’am Banjar Timur Gapura dan Dosen STIA Beraji Gapura

Guru adalah mediator yang bisa atau tidak,memberi pengalaman mendasar yang memungkin-kan siswa menunjukkan potensi luar biasa yang di-milikinya (Asa Hillard III)

   Ungkapan bahwa guru adalah orang

yang paling berjasa dalam proses mencerdas-kan anak bangsa mungkin sudah terdengarklise. Akan tetapi, bukan berarti kita mesti ber-henti memperbincangkannya. Sebab, ada bany-ak persoalan yang perlu didialogkan kembaliterkait dengan respon masyarakat kita terhadapeksistensi mereka. Kita tahu bahwa belakanganini posisi dan prestise guru sudah mulai men-galami penurunan dibanding masa-masa sebe-lumnya, baik di mata masyarakat maupun pe-merintah.

Kenyataan ini sebenarnya sudah berlang-sung cukup lama, namun belum ada upayauntuk memikirkannya apalagi mengantisipasi.Mungkin saja dikarenakan semakin merebakn-ya cara belajar melalui sistem dunia maya yangtidak lagi terlalu menggantukan diri pada bimb-ingan seorang guru di ruangan kelas, sehinggasekaligus mempengaruhi pola hubungansekaligus respon masyarakat terhadap mereka.Guru hanya dianggap sebagai pelengkap saja,karena di rumah sendiri telah disediakan inter-net di bawah bimbingan orang tua. Atau, bisa

jadi karena memang ada pergeseran paradig-matik dalam diri masyarakat kita tentangguru, menganggap mereka hanya sebagaibatu loncatan untuk menggapai cita-cita yanglebih tinggi.

Sungguhpun demikian, mengapa prestisemereka mesti mengalami degradasi yang be-gitu parah seperti sekarang? Ada gejala mar-ginalisasi yang mulai merongrong eksistensimereka. Kalau pada generasi awal menjadiguru merupakan profesi yang sangat diidam-idamkan. Status sosial kemasyarakatan mere-ka bisa dibilang setara dengan menteri atauanggota DPR sekarang. Tapi sekarang, mere-ka malah lebih lengket dengan predikat“pahlawan tampa tanda jasa”, suatu predikatyang pada dasarnya dimaksudkan untukmerendahkan.

Fenomena semacam itu, meminjam isti-lah S. Bayu Wahono, mungkin juga disebab-kan oleh kesalahan kita sejak awal yang ter-lalu menempatkan profesi guru pada statusyang begitu terhormat dalam pengertian yangsangat abstrak, tetapi sekaligus juga kurangmemperhatikannya dari konteks profesional-isme yang realistis dengan kurang memberi-kan penghargaan yang sepadan dalam ben-tuk nyata. Profesi guru pada akhirnya menja-di tidak selevel lagi dengan profesi lainnya.

SilangsengkarutProfesionalisme Guru

Page 32: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20103232

Diakui lebih penting martabatnya,akan tetapi penghargaan terhadap-nya justeru paling rendah. Gurudipaksa untuk menjadi panutan,tetapi tidak boleh dijadikan cita-cita.

Semakin jarang orang tua yangmencita-citakan anaknya menjadiseorang guru, tetapi selalu menun-tut yang terbaik dari guru. Mu-ngkin inilah yang disebut dengangejala “eklektisisme oportunistik-pragmatik”. Yaitu, suatu gejalayang meniscayakan adanya pertau-tan antara tuntutan (darimasyarakat atau orang tua siswaterhadap guru) dengan sikap atauresponsibilitas terhadap ke-beradaan para guru itu sendiri yangmengalami ketidakseimbangan.Tuntutan lebih tinggi dibandingkesejahteraan dan penghargaanyang mereka peroleh.

 Bukan Persoalan Sepele

Sepintas persoalan ini memangkurang begitu krusial dibandingpersoalan-persoalan kebangsaanlainnya, semisal krisis ekonomi,politik, hukum dan sebagainya.Sebabnya, karena memang kurangdisorot publik. Persoalan hukumdianggap lebih penting untuk seg-era diselesaikan karena men-yangkut nama baik birokrasi pemer-intahan, sementara masa depanguru hanyalah persoalan personalguru itu sendiri. Padahal, antarasatu sama lainnya sangatlah ber-hubungan, termasuk dengan eksis-tensi guru. Untuk itu, perlu dilihatfaktor-faktor yang menyebabkanrendahnya apresiasi mansyarakatterhadap profesi guru.

Menurut Muchtar Buchoridalam bukunya Ilmu Pendidikan danPraktik Pendidikan (1994), faktor-fak-tor tersebut sebenarnya terletakpada tiga hal; yang berkaitan den-gan birokrasi pemerintahan,birokrasi sekolah, dan diri merekasendiri. Pertama; rendahnya apre-siasi masyarakat terhadap guru se-benarnya tidak lepas dari penghar-gaan yang diberikan oleh pemerin-

tah terhadap mereka. Penghargaanitu tidak saja menyangkut per-soalan kesejahteraan atau kenaikangaji dan kenaikan pangkat. Akantetapi, juga menyangkut persoalanhak untuk mendapatkan kebe-basan berpikir kreatif yang perludikonstitusionalisasikan. Sentral-isasi kurikulum sebenarnya meru-pakan suatu sistem yang sangatmempengaruhi kebuntuan berpikirguru.

Sebab, rancangan kurikulumtersebut hanya menjadikan gurusebagai kepanjangan tanganbirokrasi pemerintah untukmelakukan kontrol terhadap muridberdasarkan rambu-rambu yangada. Di satu sisi, memang mengun-tungkan bagi guru, namun padadasarnya sangat membodohkan.Itulah yang dinamakan teori stickand carrot; tampak menyenangkannamun di balik semua itu justerusangat merugikan. Di sinilah awalterjadinya malapetaka yang cukupbesar, yaitu menurun bahkan hi-langnya profesionalitas seorangguru, sehingga sekaligus mempen-garuhi respon dan apresiasimasyarakat terhadap mereka.

Kedua; birokrasi pendidikanatau sekolah tempat mereka men-gajar tentu saja ikut menentukaneksistensi guru. Hal itu berkaitandengan masalah kewenangan (au-thority) yang diberikan kepadaguru, kualitas atasan yang menga-wasi perilaku dan ruang gerakguru, dan kebebasan yang diberi-kan kepada guru baik di dalammaupun di luar ruang kelas. Sela-ma ini, posisi mereka masih sangatkaku dalam lingkaran birokrasipendidikan. Ruang gerak merekatidak ada bedanya dengan ruanggerak seorang pembantu di hada-pan majikannya. Rendahnya kese-jahteraan yang mereka peroleh ten-tu saja mengesankan adanyaketidakseimbangan antara apayang mereka lakukan dengan apayang mesti mereka peroleh. Ken-yataan semacam ini, telah menjadirahasia umum di tengah-tengah

masyarakat kita. Sehingga, menim-bulkan respon yang kurang baik.Bahwa menjadi guru bukan lagisesuatu yang membanggakan.

Ketiga; Selain pengaruh sistembirokrasi kekuasaan dan pendidi-kan di atas, keberadaan masing-masing guru secara pribadi tentusaja ikut menentukan. Masyarakatkurang responsif terkadang dis-ebabkan oleh kualitas guru itusendiri yang memang kurang me-madai, di samping karena sistemkomunikasi yang ia gunakan dalamkelas ketika berhadapan denganmuridnya. Ada kalanya seorangguru bersikap birokratis juga dalamruang kelas, sehingga menjadikanmurid-muridnya merasa tertekandan terhimpit oleh iklim yang tidaklagi kondusif oleh sistem penga-jarannya yang serba militeristik.Namun demikian, faktor yang tera-khir ini pada prinsipnya masih bisadiantisipasi selama ada kemauandan komitmen yang tinggi daribirokrasi pendidikan.

Artinya, signifikansi dalamupaya mengembalikan citra guru dimata masyarakat sebenarnya terto-lak pada dua faktor pertma di atas.Untuk itu, hal yang perlu dilaku-kan adalah bagaimana bisa men-ciptakan sinergisitas antara duasistem birokrasi di atas dengan ke-pribadian masing-masing guru.Pemerintah harus memikirkankembali masa depan mereka se-bagai “pahlawan tanpa tandajasa”, di samping birokrasi pendid-ikan atau sekolah itu sendiri yangmesti menciptakan sistem lebih le-luasa bagi mereka dalam melaku-kan inspiring teaching terhadapmurid-muridnya.

Syahdan dalam catatan sejarahpasca Herosima dan Nagasaki di-bombardir habis oleh tentara seku-tu dan tak sejengkalpun tanah danbangunan yang tersisa, langkahpertama yang dilakukan oleh pe-merintah adalah mengidentifikasidan menghitung jumlah guru dandokter yang menjadi korban danyang selamat dalam tindakan per-

Page 33: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 3333

ang yang menelanjangi nilai-nilaikemanusiaan tersebut. Dari sini se-benarnya kita dapat melihat danberfikir secara mendalam bahwauntuk segera bangkit dari segalamacam krisis multi dimensi danketerpurukan ada dua hal pokokyang harus kita pikirkan, yaitu pen-didikan dan kesehatan masyarakat.Mereka membangun kembali nega-ranya yang luluh lantah dan porak-poranda tersebut di mulai dariranah pendidikan dan kesehatan.Hasilnya sangat menakjubkansungguh luar biasa, dalam waktuyang relatif singkat selama kuranglebih dari 20 tahun, Jepang mampumensejajarkan negaranya dengannegara-negara maju lainnya di du-nia.

Dari fakta historis tersebutmenunjukkan betapa besar peranguru dalam membangun bangsa.Akan tetapi, hal itu terjadi di Jepangyang pernah menjajah kita selamakurang lebih selama tiga tahun, diIndonesia peran guru kurangdiperhitungkan-untuk tidak men-gatakan tidak diperhatikan samasekali. Bahkan cenderung dikesa-mpingkan. Ironisnya, prosefesion-alisme guru di Indonesia secaraumum masih belum tampak diper-mukanaan. Dengan demikian, se-suatu yang sangat penting untukdilakukan demi mendongkrakkualitas pendidikan, ujung tom-baknya adalah ada pada profesion-alisme guru yang sudah dicitrakansebagai mahluk yang harus digu-gu dan ditiru.

Kritik terhadap pofesionalismeguru sebenarnya bukan sesuatuyang baru, akan tetapi keberanianmasyarakat untuk memberi masu-kan yang konstruktif terhadap parapraksitisi pendidikan masih belummenemukan titik labuhnya. Hal initerjadi karena masyarakat kitasudah terlanjur dihegemoni olehrezim otoriter selama kurang lebih32 tahun sehinga kritisisme dalamberfikir terus terpasung, kalau kitasedikit menoleh ke belakang, di eratahun 70 an Indonesia menjadi ida-

man mahasiswa dari negara-nega-ra tetangga seperti Malaysia, Thai-land, Pilipina dan lain sebagainyauntuk belajar. Namun pada saat ini,justru berbalik 90%, mahasiswa In-donesia sudah bertebaran di nega-ra-negara tetangga, di Malaysiasaja mahasiswa Indonesia tercatatsekitar 3000-4000 an. Hal itu terja-di karena masyarakat kita sudahsadar akan pentingnya kualitaspendidikan sebagai investasi prad-aban di masa yang akan datang,yang salah satunya diperoleh mela-lui lembaga pendidikan yang dikel-ola secara profesional.

Potret Buram ProfesionalismeGuru

Tindakan-tindakan yang tidakmanusiawi yang dilakukan olehbanyak guru kita lihat dalam reali-tas kehidupan kita sehari-hari, bah-kan menjadi sajian rutin ketika kitaistirahat di depan layar televisi,atau sekedar menghilangkan penatdi pojok meja tampat kerja denganmembolak-balik halaman demihalaman dalam media cetak atausurat kabar yang kita baca. Di be-berapa sekolah kita kadang men-jumpai, guru sering menggunakanperaktek kekerasan (violance), huku-man (punishment), dan yang palingmengenaskan adalah guru tegamemukul anak didiknya yang di-anggap melawan.

Sampai hari ini, masih seringkita mendengar guru yang otoriter,diktator-sepertinya dia membai’atdirinya sebagai Tuhan. Apa yangdiinginkan harus dituruti oleh anakdidik, bahkan sering kita jumpaimereka sering marah ketika anakdidiknya mengajukan gagasanyang progresif yang sama sekaliberbeda dengan idenya.

Guru adalah elemen pentingdalam pendidikan, namun sokmenggurui adalah awal sebuahkegagalan dalam pendidikan. Seor-ang guru adalah figur manusiayang harus digugu dan ditiru, sum-

ber yang menempati posisi strate-gis dan penting dalam pendidikan.Ketika semua orang membicarakanatau mempersoalkan masalah du-nia pendidikan, figur guru pasti ter-libat dalam bingkai topik pembic-araannya. Oleh karena itu, dalameksistensi yang demikian gurumerupakan tokoh sentral dalammelakukan proses belajar dan men-gajar khususnya di sekolah. Peranyang dilakonkan sangatlah ko-mpleks, diantaranya sebagai korek-tor, inspirator, informator, organi-sator, motivator, inisiator, fasilita-tor, pembimbing, demonstrator,pengelolan kelas, mediator, super-visor, dan evaluator1. Dari sekianbanyak peran yang dilakukan,maka tanggung jawab guru ter-hadap perkembangan anak didikn-ya semakin menggunung. Namun,dalam perkembangannya seringsekali peran yang harus dilakukanitu terbengkalai karena faktor ek-sternal yang mengitarinya (socio-cultural surrounding).

Sedikitnya, ada tiga syarat uta-ma yang harus diperhatikan dalampembangunan kualitas sumberdaya manusia, diantaranya yaitu:Pertama: sarana gedung yang me-menhi standar, kedua, buku dan ref-erensi yang bermutu dan berkuali-tas, dan ketiga, adalah guru yangprofesional. Di Indonesia hanyasekitar 43 % guru yang memenuhikualifikasi sebagai guru, sedang-kan 57 % lainnya belum memenu-hi syarat. Artinya, kondisi ril may-oritas guru di Indonesia tidak ko-mpoten dan profesional.

Sampai saat ini, masih banyakguru yang menunggu petunjuk pel-aksanaan dari atas untuk melaku-kan sesuatu. Pembaharuan pendid-ikan banyak tidak terjadi karenaguru tidak berani memulai untukberinisiatif. Tampak dari realiltastersebut bahwa guru-guru kita ber-pola sebagai tukang, yang hanyamengerjakan apa yang sudah adadalam gambar yang dibuat oleh ar-

1 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Jogjakarta: LkiS, 204), hlm. 148.

Page 34: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20103434

sitek tanpa ada perubahan sedikit-pun. Padahal, guru tidak sama den-gan tukang bangunan, tetapi sor-ang intelektual dan seniman yangharus selalu menyesuaikan diridengan situasi dan persoalan yangdihadapinya.

Tiap tahun siswa selalu ber-ganti, masalahnyapun pastiberubah. Materi pelajaran yangakan disampaikan juga dimu-ngkinkan berubah, seiring dengandenyut nadi perubahan danperkembangan ilmu pengetahuandan teknologi. Relasi sosial antaraguru dan siswa, siswa dengansiswa juga mengalami pergeseran,karena mereka adalah mahluk yangdinamis. Dengan kondisi yang sep-erti ini guru dituntut aktif, kreatif,banyak ide, dan tidak menungguatau pasif. Guru juga dituntut ban-yak ide dan bersikap kritis ter-hadap situasi yang ada. Maka pen-didikan di Indonesia ini ingin majudan bermutu maka memang paraguru yang menjadi ujung tombakn-ya yang harus bekerja secara profe-sional, baik dalam bidang keahlian-nya, dalam bidang pendampingan,dan dalam segala aktifitasnya se-hari-hari sebagai contoh bagi parasiswanya.

Tidak sulit untuk menemukanprofesionalisme guru baik disekolah negeri maupun sekolahswasta yang masih dipersoalkandan dipertanyakan, terutama daripenguasaan materi yang diajarkan,metode pembelajaran yang di-gunakan, pendekatan dan filosofidalam pembelajaran, tingkah lakudan moral serta style yang diperan-kan, keteladanan serta etika yangditunjukkan kepada para siswan-ya, semuanya digadaikan danmasih ada dalam rumpun warnayang serba abu-abu.

Terlepas dari persoalan terse-but, silangsengkarut persoalanprefesionalisme guru benar-benartelah sempurna bahkan telah sam-pai pada titik nadirnya. Karena pro-fesi guru banyak dijadikan sebagaimedia untuk menjinakkan anak

didik, dengan serta merta mema-sung segala kreatifitasnya. Adayang menjadikan profesinya se-bagai mesin pencetak uang untukmemperoleh keuntungan pribadiyang sebanyak-banyaknya (komer-sialisasi) yang sunggung jauh pang-gang api dari profesi yang semesti-nya.

Ada beberapa kesalahan yangbanyak dilakukan oleh para gurudi lembaga-lembaga pendidikan2,diantaranya adalah; pertama, ban-yak guru yang mengambil jalanpintas, tugas guru dalam pembela-jaran tidak terbatas pada penyam-paian informasi kepada pesertadidik. Akan tetapi, juga bagaimanaguru mampu menata lingkunganagar terjadi kegiatan belajar ter-hadap mereka, sesuai dengan ke-majuan dan tuntutan zaman, guruharus memiliki kemampuan untukmemahami peserta didik denganberbagai keunikan dan karaktern-ya sebelum melakukan pembelaja-ran, agar mampu membantu mere-ka dalam menghadapai kesulitanbelajar. Dengan demikian, guru di-tuntut untuk memahami brbagaimodel pembelajaran yang interak-tif, efektif agar dapat membimbingpeserta didik secara optimal.

Kedua, banyak guru yangmenunggu prilaku negatif dari pe-serta didik. Dalam pembelajaran dikelas. Guru berhadpan dengansejumlah peserta didik yang se-muanya ingin diperhatikan. Siswaakan berkembang secara optimalmelalui perhatian guru yang posi-tif, sebaliknya perhatian yang nega-tif akan menghambat perkemban-gan peserta didik. Mereka senangjika mendapat pujian dari guru, danmerasa kecewa jika merasa tidakdiperhatikan. Lazimnya guru barumemberikan perhatian kepadasiswa ketika mereka ribut, tidakmemperhatikan, atau mengantukdi kelas, sehingga menunggu peser-ta didik berperilaku buruk.

Ketiga, guru menggunakan de-structive dicipline, keempat, gurumengabaikan perbedaan pesertadidik, kelima, guru merasa orangyang paling pandai atau super ge-nius, ketujuh, guru sering bersikapdeskriminatif, ke delapan, gurusering memaksa peserta didik

Dalam kaitannya dengan per-encanaan guru dituntut untukmembuat persiapan mengajar yangefektif dan efesien. Namun dalamrealitasnya, dengan berbagai ala-san, banyak guru yang mengembiljalan pintas dengan tidak membuatpersiapan ketika mau melakukanpembelajaran, sehingga guru men-gajar tanpa persiapan. Sementaramengajar tanpa persiapan, disamp-ing merugikan guru sebagai tena-ga profesional juga sangat meng-ganggu terhadap perkembanganpeserta didik. Harus selalu diingatbahwa mengajar tanpa persiapanmerupakan jalan pintas, dan tinda-kan yang berbahaya, yang dapatmerugikan perkembangan pesertadidik, dan sekaligus mengancamkenyamanan guru.

Faktor lain yang menyebabkankegagalan dan keterpurukan pen-didikan kita adalah lepasnya gurudalam segala proses penyusunandan kebijakan pendidikan. Kemero-sotan mutu pendidikan nasional diIndonesia, seperti ditunjukkandalam berbagai survei tingkat inter-nasional seperti Indeks Pemba-gunan Manusia tidak dapat dile-paskan dari rendahnya mutu guru.Ditengarai bahwa salah satu sebabkurangnya minat orang mudaberkualitas menjadi guru, adalahminimnya jaminan kesejahteraanguru apalagi jika dilihat dari kaca-mata revolusi material di era glo-balisasi ini yang menuntut sikappragmatisme yang berbihan, seh-ingga guru selalu dicitrakan se-bagai pahlawan tanpa tanda jasayang terus selalu kerja bakti tak ke-nal lelah.

2 E.Mulyasa, Menjadi Guru ProfesionalMenciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan,

(Bandung: Rosdakarya, 2005) hlm.37-64.

Page 35: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 3535

Penghasilan guru tidak diten-tukan sesuai dengan prestasi kerja.Sementara ini guru yang berpresta-si dan yang tidak berprestasimendapatkan penghasilan yangsama. Memang benar sekarang ter-dapat program sertifikasi. Namun,program tersebut tidak memberikanpeluang kepada seluruh guru. Ser-tifikasi hanya dapat diikuti olehguru-guru yang ditunjuk kepalasekolah yang notabene akan berpo-tensi subjektif. Kurangnya kesem-patan untuk mengembangkan pro-fesi secara berkelanjutan. Banyakguru yang terjebak pada rutinitasdan kerja serabutan untuk me-menuhi kebutuhan sehari-harinya.Pihak berwenang pun tidak men-dorong guru ke arah pengemban-gan kompetensi diri ataupun karir.Hal itu terindikasi dengan minim-nya kesempatan beasiswa yangdiberikan kepada guru dan tidakadanya program pencerdasanguru, misalnya dengan adanyatunjangan buku referensi, pelati-han berkala. Profesionalismedalam pendidikan perlu dimaknaihe does his job well. Artinya, guruharuslah orang yang memiliki in-sting pendidik, paling tidakmengerti dan memahami pesertadidik. Guru harus menguasai se-cara mendalam minimal satubidang keilmuan yang digelutinya

Menjadi Guru ProfesionalDalam kebudayaan Indonesia

profesi guru mempunyai tempatyang tinggi, istimewa dan dihor-mati. Dalam masyarakat Jawa dike-nal ungkapan “guru, ratu, wong tuoakaro” artinya taatilah pertama-tama gurumu, lalu rajamu, barukemudian orang tuamu. Hal itu se-jalan dengan perbendaharaan prib-ahasa Madura “bapa’ babhu’ gururato” yang artinya dalam kulturmasyarakat Madura secara hirarkisorang yang harus dihormati yangpertama adalah ayah dan ibu, ke-mudian guru dan yang terakhiradalah raja atau penguasa3. Beta-pa agungnya eksistensi seorang

guru, sehingga dapat disejajarkandengan orang tua dan juga parapenguasa.

Penghargaan yang demikiansecara historis sebenarnya telah ter-jadi pada masa penjajahan, statusguru tetap mempunyai posisi yangterhormat. Pada masa pendudukanmiliterisme Jepang, guru mendap-atkan gelar kehormatan dengan ju-lukan “Sunsei” yang sesuai dengankebudayaan Jepang mempunyaistatus sosial yang sangat dihor-mati4. Hal itu juga berlanjut sam-pai masa proklamasi kemerdekaan,para guru bukan hanya ikut sertadalam usaha mencerdaskan bang-sa, akan tetapi juga banyak diant-ara mereka yang ikut serta dalamperang kemerdekaan melawanpenjajahan.

Guru profesional seharusnyamemiliki empat kompetensi, yaitukompetensi pedagogis, kognitif,personaliti, dan sosial. Oleh kare-na itu, selain terampil mengajar,seorang guru juga memiliki penge-tahuan yang luas, bijak, dan dapatbersosialisasi dengan baik. Profesiguru dan dosen merupakan bidangpekerjaan khusus yang memerlu-kan prinsip-prinsip profesional.Mereka harus:a. Memiliki bakat, minat, panggi-

lan jiwa, dan idealisme,b. Memiliki kualifikasi pendidi-

kan dan latar belakang pendid-ikan yang sesuai denganbidang tugasnya,

c. Memiliki kompetensi yangdiperlukan sesuai denganbidang tugasnya. Di sampingitu, mereka juga harus

d. Mematuhi kode etik profesi,e. Memiliki hak dan kewajiban

dalam melaksanakan tugas,f. Memperoleh penghasilan yang

ditentukan sesuai denganprestasi kerjanya,

g. Memiliki kesempatan untuk

mengembangkan profesinyasecara berkelanjutan,

h. Memperoleh perlindungan hu-kum dalam melaksanakan tu-gas profesionalnya, dan

i. Memiliki organisasi profesiyang berbadan hukum.Bila kita mencermati prinsip-

prinsip profesional di atas, kondisikerja pada dunia pendidikan di In-donesia masih memiliki titik lemahpada hal-hal berikut. Pertama, Kual-ifikasi dan latar belakang pendidi-kan tidak sesuai dengan bidangtugas yang diembannya. Di lapan-gan banyak di antara guru menga-jarkan mata pelajaran yang tidaksesuai dengan kualifikasi pendidi-kan dan latar belakang pendidikanyang dimilikinya. Tidak heran ke-tika kemudian muncul banyak guruyang bergelar M.Pd (Magister Per-caya Diri) dan (Magister Serba Iso).Kedua, tidak memiliki kompetensiyang diperlukan sesuai bidang tu-gas. Guru profesional seharusnyamemiliki empat kompetensi, yaitukompetensi pedagogis, kognitif,personality atau kepribadian, dansosial. Oleh karena itu, seorangguru selain terampil mengajar, jugamemiliki pengetahuan yang luas,bijak, dan dapat bersosialisasi den-gan baik.

Guru harus memiliki sikap in-tegritas profesional. Dengan integ-ritas barulah, sang guru menjaditeladan atau role model. Menyadaribanyaknya guru yang belum me-menuhi kriteria profesional, gurudan penanggung jawab pendidi-kan harus mengambil langkah.Hal-hal yang dapat dilakukan di-antaranya : penyelenggaraan pel-atihan. Dasar profesionalisme ad-alah kompetensi sesuai denganhadis Nabi Muhammad SAW “idzaussidal amru ila ghairi ahlihi fantadhirissa’ah” ( ketika tugas mendid-ik itu diberikan kepada orang yang

3 Mohammad Najib dkk, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Jogjakarta: LKPSM,

1996), hlm. 177.4 H.A.R.Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, (Jakarta: Grasindo

Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), Hlm. 239.

Page 36: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20103636

tidak profesional dan tidak memil-iki komptensi keilmuan, makatunggulah masa kehancuran outputanak didiknya). Sementara itu,pengembangan kompetensi meru-pakan sebuah keniscayaan danmutlak harus berkelanjutan (sus-tainable). Caranya, tiada lain diant-ara dengan pelatihan, workshop,penelitian dan pembinaan perilakukerja secara berkelanjutan.

Studi-studi sosiologi padaawal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluhtahun terakhir semuanya bermuarapada satu titik labuh utama, bah-wa keberhasilan pada berbagaiwilayah kehidupan ternyata diten-tukan oleh perilaku manusia, teru-tama perilaku kerja. Penciptaanwaktu luang (leisure time) sudahlama menjadi sebuah bagian pros-es pembudayaan. Salah satu tujuanpendidikan klasik adalah menjadi-kan manusia makin menjadi pen-ganggur terhormat, dalam arti se-makin memiliki banyak waktu lu-ang untuk mempertajam intelektu-alitas dan kepribadian. Peningka-tan kesejahteraan agar seorangguru bermartabat dan mampumembangun manusia muda den-gan penuh percaya diri, kritis, pro-gresif dan populis, guru harus me-miliki kesejahteraan yang cukup5.

Abad ini juga ditandai dengankemajuan ilmu pengetahuan danteknologi yang begitu pesat teruta-ma teknologi informasi. Kemajuanitu ditunjukkan dengan makinberkembangnya ilmu pngetahuandan hasil teknologi. Tiap tahunmuncul penemuan baru dalambidang ilmu pngetahuan. Kema-juan ini semakin cepat disebarkanke seluruh dunia lewat media in-formasi komputer yang serba cang-gih, sehingga hasil kemajuan ilmupngetahuan dan teknologi tersebutdapat dimanfaatkan olehmasyarakat dengan begitu cepat.Kemajuan tersebut jelas merupakantantangan bagi guru agar tidak ket-inggalan jaman. Maka bagaim-anapun guru dipaksa untuk selalu

belajar dan mengikuti perkemban-gan ilmu pngetahuan dan teknolo-gi. Guru tidak boleh merasa puasdengan ilmu yang dimilikinya, teta-pi harus selalu terbuka terhadapkemajuan yang ada dan terus bela-jar “minal mahdi ilallahdi”.

Profesionalisme guru di abad21 betul-betul menghadapi dilemayang luar biasa, karena di abad inimerupakan abad pengetahuankarena pengetahuan menjadi lan-dasan utama segala aspek kehidu-pan dan hanya orang yang beril-mulah yang dapat hidup surprisedi dunia ini. Menurut John Naisbitsebagai intlektual futuristik ada 10kecenderungan besar yang akanterjadi pada pendidikan di abad 21yaitu; pertama, dari masyarakat in-dustri ke masyarakat informasi,kedua, dari teknologi yang dipaksa-kan ke teknologi tinggi, ketiga, dariekonomi nasional ke ekonomi dun-ia, keempat, dari perencanaan jang-ka pendek ke perencanaan jangkapanjang, kelima, dari sentralisasi kedesentralisasi, keenam, dari bantu-an institusional ke bantuan diri,ketujuh, dari demokrasi perwakilanke demokrasi partisipatoris, kedela-pan, dari hierarki-hierarki ke pen-jaringan, kesembilan, dari utara keselatan, dan kesepuluh, dari atau kepilihan yang majemuk.

Berbagai implikasi kecenderun-gan di atas berdampak terhadapdunia pendidikan yang meliputiaspek kurikulum, manajemen pen-didikan, tenaga kependidikan,strategi dan metode pendidikan.Selanjutnya Naisbitt mengemuka-kan ada 8 kecenderungan besar diAsia yang ikut mempengaruhi du-nia yaitu; (1) dari negara bangsa kejaringan, (2) dari tuntutan eksportke tuntutan konsumen, (3) dari pen-garuh Barat ke cara Asia, (4) darikontol pemerintah ke tuntutanpasar, (5) dari desa ke metropolitan,(6) dari padat karya ke teknologicanggih, (7) dari dominasi kaumpria ke munculnya kaum wanita,

(8) dari Barat ke Timur. Kedelapankecenderungan itu akan mempen-garuhi tata nilai dalam berbagaiaspek, pola dan gaya hidupmasyarakat baik di desa maupundi kota. Pada gilirannya semua ituakan mempengaruhi pola-pola pen-didikan yang lebih disukai dengantuntutan kecenderungan tersebut.Dalam hubungan dengan ini pen-didikan ditantang untuk mampumenyiapkan sumber daya manusiayang mampu menghadapi tantan-gan kecenderungan itu tanpa kehi-langan nilai-nilai kepribadian danbudaya bangsanya.

Dengan memperhatikanpendapat Naisbitt di atas bahwapendidikan di Indonesia di abad 21mempunyai karakteristik sebagaiberikut: (1) Pendidikan nasionalmempunyai tiga fungsi dasar yaitu;(a) untuk mencerdaskan kehidu-pan bangsa, (b) untuk mempersiap-kan tenaga kerja terampil dan ahliyang diperlukan dalam proses in-dustrialisasi, (c) membina mengem-bangkan penguasaan berbagai ca-bang keahlian ilmu pengetahuandan teknologi; (2) Sebagai Negarakepulauan yang berbeda-bedasuku, agama dan bahasa, pendidi-kan tidak hanya sebagai prosestransfer pengetahuan saja, akantetapi mempunyai fungsi pelestari-an kehidupan bangsa dalam sua-sana persatuan dan kesatuan na-sional; (3) Dengan makin men-ingkatnya hasil pembangunan,mobilitas penduduk akan mem-pengaruhi corak pendidikan na-sional; (4) Perubahan karakteristikkeluarga baik fungsi maupun struk-tur, akan banyak menuntut akanpentingnya kerja sama berbagailingkungan pendidikan dan dalamkeluarga sebagai intinya. Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dile-starikan dalam berbagai lingkun-gan pendidikan; (5) Asas belajarsepanjang hayat harus menjadilandasan utama dalam mewujud-kan pendidikan untuk mengim-

5 Rom Topatimasang, Sekolah Itu Candu, (Jogjakarta: Pustaka elajar, 2003), hlm.35

Page 37: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 3737

bangi tantangan perkembangan ja-man; (6) Penggunaan berbagai in-ovasi Iptek terutama media elek-tronik, informatika, dan komunikasidalam berbagai kegiatan pendidi-kan, (7) Penyediaan perpustakaandan sumber-sumber belajar sangatdiperlukan dalam menunjang up-aya pendidikan dalam pendidikan;(8) Publikasi dan penelitian dalambidang pendidikan dan bidang lainyang terkait, merupakan suatu ke-butuhan nyata bagi pendidikan diabad pengetahuan.

Pendidikan di abad penge-tahuan menuntut adanya manaje-men pendidikan yang modern danprofesional dengan bernuansa pen-didikan. Lembaga-lembaga pendid-ikan diharapkan mampu mewujud-kan peranannya secara efektif den-gan keunggulan dalamkepemimpinan, staf, proses belajarmengajar, pengembangan staf,kurikulum, tujuan dan harapan,iklim sekolah, penilaian diri, komu-

nikasi, dan keterlibatan orang tuadan masyarakat. Tidak kalah pent-ingnya adalah sosok penampilanguru yang ditandai dengan keung-gulan ilmu pengetahuan yang ting-gi, keimanan dan ketakwaan, pen-guasaan iptek, etos kerja dan disip-lin, profesionalisme, kerjasama danbelajar dengan berbagai disiplin,wawasan masa depan, kepastiankarir, dan kesejahteraan lahir batin.Pendidikan mempunyai perananyang amat strategis untuk memper-siapkan generasi muda yang memi-liki keberdayaan dan kecerdasanemosional yang tinggi dan men-guasai skill dan talenta yang man-tap.

Guru merupakan suatu profe-si, yang berarti suatu jabatan yangmemerlukan keahlian khusus se-bagai guru dan tidak dapat dilaku-kan oleh sembarang orang di luarbidang pendidikan. Walaupunpada kenyataannya masih terdap-

at hal-hal tersebut di luar bidangkependidikan. Untuk seorang guru,perlu mengetahui dan dapat men-erapkan beberapa prinsip menga-jar agar ia dapat menerapkan be-berapa prinsip mengajar agar iadapat melaksanakan tugasnya se-cara profesional, yaitu sebagaiberikut6:

1. Guru harus dapat mem-bangkitkan perhatian peserta did-ik pada materi pelajaran yangdiberikan serta dapat mengg-gunakan berbagai media dan sum-ber belajar yang bervariasi.

2. Guru harus dapat mem-bangkitkan minat peserta didikuntuk aktif dalam berfikir sertamencari dan menemukan sendiripengetahuan.

3. Guru harus dapat mem-buat urutan (sequence) dalam pem-berian pelajaran dan penyesuaiandengan usia dan tahapan tugasperkembangan peserta didik.

4. Guru perlu menghubung-

6 Paul Suparno, Guru Demokratis di Era Reformasi, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm.25-697 Jasa Ungguh Mulyawan, Epitemologi Pendidikan, (Jogjakarta: UGM Press, 2009), hlm 130.

Page 38: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20103838

kan pelajaran yang akan diberikandengan pengetahuan yang telahdimiliki peserta didik (kegiatanapersepsi), agar peserta didik men-jadi lebih mudah dalam memaha-mi pelajaran yang diterimanya.

5. Sesuai dengan prinsiprepetisi dalam proses pembelajaran,diharapkan guru dapat menjelas-kan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan pesertadidik menjadi jelas.

6. Guru wajib memperhatikandan memikirkan korelasi antaramata pelajaran dan/atau praktiknyata dalam kehidupan sehari-hari.

7. Guru harus terus menjagakonsentrasi belajar para pesertadidik dengan cara memberikankesempatan berupa pengalamansecara langsung, mengamati/me-neliti, dan menyimpulkan penge-tahuan yang didapatnya.

8. Guru harus dapat mengem-bangkan sikap peserta didik dalammembina hubungan sosial, baik didalam kelas maupun di luar kelas.

9. Guru harus menyelidikidan mendalami perbedaan pesertasecara individual agar dapat melay-ani siswa sesuai dengan perbe-daan tersebut.

10. Guru dapat melaksanakanevaluasi yang efektif serta meng-gunakan hasilnya untuk menge-tahui prestasi dan kemajuan siswaserta dapat melakukan perbaikandan pengembangan.

Seiring dengan perkembanganteknologi informasi yang demikianpesat, guru tidak hanya bertindaksebagai penyaji informasi tetapijuga harus mampu bertindak se-bagai fasilitator,motivator dan pem-bimbing yang lebih banyak mem-berikan kesempatan kepada peser-ta didik untuk mencari dan men-gelola sendiri informasi. Dengandemikian keahlian guru harus ter-us dikembangkan dan tidak hanyaterbatas pada penguasaan prinsipmengajar seperti telah diuraikan.

Untuk itu, lembaga pendidikandalam berbagai jenis dan jenjangmemerlukan pencerahan dan pem-

berdayaan dalam berbagai aspekn-ya. Memasuki abad 21 pendidikanakan mengalami pergeseran pe-rubahan paradigma (shifting para-digm) yang meliputi pergeseranparadigma7: (1) dari belajar termi-nal ke belajar sepanjang hayat, (2)dari belajar berfokus penguasaanpengetahuan ke belajar holistik, (3)dari citra hubungan guru-muridyang bersifat konfrontatif ke citrahubungan kemitraan, (4) dari pen-gajar yang menekankan penge-tahuan skolastik (akademik) kepenekanan keseimbangan fokuspendidikan nilai, (5) dari kampanye

dengan pada abad industri. Gal-breath mengemukakan bahwapendekatan pembelajaran yang di-gunakan pada abad pengetahuanadalah pendekatan campuran yaituperpaduan antara pendekatan be-lajar dari guru, belajar dari siswalain, dan belajar pada diri sendiri.

Dalam dunia pendidikan, per-an dan fungsi guru merupakansalah satu faktor yang sangat sig-nifikan. Guru merupakan bagianterpenting dalam proses belajarmengajar, baik di jalur pendidikanformal maupun informal. Olehsebab itu, dalam setiap upaya pen-ingkatan kualitas pendidikan ditanah air, tidak dapat dilepaskandari berbagai hal yang berkaitandengan eksistensi guru itu sendiri.

Filsofis sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah me-nempatkan fungsi dan peran gurusedemikian rupa sehingga paraguru di Indonesia tidak jarang te-lah di posisikan mempunyai peranganda bahkan multi fungsi. Mere-ka dituntut tidak hanya sebagaipendidik yang harus mampu men-transformasikan knowledge, values,dan skill, tetapi sekaligus sebagaipenjaga moral bagi anak didik. Bah-kan tidak jarang, para guru diang-gap sebagai orang kedua, setelahorang tua anak didik dalam prosespendidikan secara global.

Dalam era reformasi pendidi-kan, dimana salah satunya isu uta-manya adalah peningkatan profe-sionalisme guru, hal itu merupakansebuah keniscayaan yang tidakdapat ditawar-tawar lagi dalammencapai pendidikan yang lebihberkualitas. Selain itu, pendidikansebagai sebuah proses selalu ber-dampak pada sebuah upaya untuksenantiasa memperbaiki agar hasiltersebut menjadi baik. Untuk mem-perbaiki hasil pendidikan kita, ten-tu kita perlu tahu tentang kondisipendidikan kita8.

Kita sadari bahwa profesional-isme guru merupakan sebuah ke-

8 BASIS Menembus Fakta: Edisi Keterpurukan Guru, (No.07-08 Tahun ke-54, Juli-

Agustus 2005, hlm.13

... peningkatan

profesionalisme guru,

hal itu merupakan

sebuah keniscayaan

yang tidak dapat

ditawar-tawar lagi

dalam mencapai

pendidikan yang lebih

berkualitas

melawan buta aksara ke kampanyemelawan buat teknologi, budaya,dan komputer, (6) dari penampilanguru yang terisolasi ke penampilandalam tim kerja, (7) dari konsentra-si eksklusif pada kompetisi ke ori-entasi kerja sama. Dengan memper-hatikan pendapat ahli tersebutnampak bahwa pendidikan dih-adapkan pada tantangan untukmenghasilkan sumber daya manu-sia yang berkualitas dalam mengh-adapi berbagai tantangan dan tun-tutan yang bersifat kompetitif. Gam-baran Pembelajaran di Abad Penge-tahuan Praktek pembelajaran yangterjadi sekarang masih didominasioleh pola atau paradigma yangbanyak dijumpai di abad industri.Pada abad pengetahuan paradig-ma yang digunakan jauh berbeda

Page 39: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 3939

butuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakinmeningkatnya persaingan yang se-makin ketat dalam era globalisasiseperti sekarang ini. Diperlukanorang-orang yang memang benarbenar-benar ahli dibidangnya, se-suai dengan kapasitas yang dimil-ikinya agar setiap orang dapat ber-peran secara maksimal, termasukguru sebagai sebuah profesi yangmenuntut kecakapan dan keahliantersendiri. Profesionalisme tidakhanya karena faktor tuntutan dariperkembangan jaman, tetapi padadasarnya juga merupakan suatukeharusan bagi setiap individudalam kerangka perbaikan kualitashidup manusia. Profesionalismemenuntut keseriusan dan kompe-tensi yang memadai, sehingga sese-orang dianggap layak untuk melak-sanakan sebuah tugas

Salah satu upaya untuk men-ingkatkan profesionalisme guru ad-alah melalui sertifikasi sebagai se-buah proses ilmiah yang memerlu-kan pertanggung jawaban moraldan akademis. Dalam isu sertifikasitercermin adanya suatu uji kelaya-kan dan kepatutan yang harus di-jalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telahditetapkan. Sertifikasi bagi paraGuru dan Dosen merupakanamanah dari UU Sistem PendidikanNasional kita yang mewajibkan set-iap tenaga pendidik harus memilikikualifikasi minimum dan sertifika-si sesuai dengan jenjang kewenan-gan mengajar yang dimilikinya.Singkatnya adalah, sertifikasi dibu-tuhkan untuk mempertegas standarkompetensi yang harus dimiliki paraguru sesui dengan bidang ke ilmuan-nya masing-masing.

Faktor lain yang harus dilaku-kan dalam mencapai profesionalis-me guru adalah, perlunya perubah-an paradigma dalam proses belajarmenajar. Anak didik tidak lagi ditem-patkan sekedar sebagai obyek pem-belajaran tetapi harus berperan dandiperankan sebagai subyek. Sangguru tidak lagi sebagai instruktur

yang harus memposisikan dirinyalebih tinggi dari anak didik, tetapilebih berperan sebagai fasilitatoratau konsultator yang bersifat sal-ing melengkapi. Dalam konteks ini,guru dituntut untuk mampu melak-sanakan proses pembelajaran yangefektif, kreatif dan inovatif secaradinamis dalam suasana yangdemokratis. Dengan demikian pros-es belajar mengajar akan dilihat se-bagai proses pembebasan dan pem-berdayaan, sehingga tidak terpakupada aspek-aspek yang bersifat for-mal, ideal maupun verbal. Penyele-saian masalah yang aktual ber-dasarkan prinsip-prinsip ilmiahharus menjadi orientasi dalam pros-es belajar mengajar. Oleh sebab itu,out put dari pendidikan tidak hanyasekedar mencapai keilmua dan in-tlektualitas, tetapi mencakup pulaketeladanan serta sikap dan kema-tangan spiritual. Salah satu faktoryang dapat merangsang profesion-alisme guru adalah, jenjang kariryang jelas. Dengan adanya jenjangkarir yang jelas akan melahirkankompetisi yang sehat, terukur danterbuka, sehingga memacu setiapindividu untuk berkarya dan ber-buat lebih baik.

Kesejahteraan merupakan isuyang utama dalam konteks perandan fungsi guru sebagai tenagapendidik dan pengajar. Paradigmaprofessional tidak akan tercapaiapabila individu yang bersangku-tan, tidak pernah dapat memfokus-kan diri pada satu hal yang menja-di tanggungjawab dan tugas pokokdari yang bersangkutan. Olehsebab itu, untuk mencapai profe-sionalisme, jaminan kesejahteraanbagi para guru merupakan suatuhal yang tidak dapat diabaikan dandipisahkan.

KesimpulanKeberhasilan seorang guru

dalam melaksanakan tugas dantanggung jawabnya sebagai sebagaiseorang pengajar sangat tegantungpada diri pribadi masing-masingguru dalam lingkungan tempat ia

bertugas. Sedangkan kompetensiguru adalah kemampuan yang di-miliki guruyang diindikasikandalam tiga kompetensi, yaitu kompe-tensi yang berhubungan dengan tu-gas profesionalnya sebagai guru(profesional), kompetensi yang ber-hubungan dengan keadaan pribad-inya, dan kompetensi yang ber-hubungan dengan masyarakat ataulingkungannya. Pertama, Memper-hatikan peran guru dan tugas gurusebagai salah satu faktor determinanbagi keberhasilan pendidikan, makakeberadaan dan peningkatan profe-si guru menjadi wacana yang san-gat penting. Pendidikan di abadpengetahuan menuntut adanyamanajemen pendidikan moderndan profesional dengan bernuansapendidikan.

Kedua, Kemerosotanpendidi-kan bukan diakibatkan olehkurikulum tetapi oleh kurangnyakemampuan profesionalisme gurudan keengganan belajar siswa. Pro-fesionalisme menekankan kepadapenguasaan ilmu pengetahuanatau kemampuan manajemen beser-ta strategi penerapannya. Profe-sionalisme bukan sekadar penge-tahuan teknologi dan manajementetapi lebih merupakan sikap,pengembangan profesionalismelebih dari seorang teknisi bukanhanya memiliki keterampilan yangtinggi tetapi memiliki suatu tingkahlaku yang dipersyaratkan.

Ketiga Guru yang profesionalpada dasarnya ditentukan oleh at-titudenya yang berarti pada tatarankematangan yang mempersyarat-kan willingness dan ability, baik se-cara intelektual maupun pada kon-disi yang prima. Profesionalisasiharus dipandang sebagai prosesyang terus menerus. Usaha men-ingkatkan profesionalisme gurumerupakan tanggung jawab bersa-ma antara LPTK sebagai pencetakguru, instansi yang membina guru(dalam hal ini Depdiknas Depagatau Yayasan Swasta), PGRI danmasyarakat, bukankan begitu?. Lustbut no least. ge

Page 40: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104040

Fathor R

artikel utamaartikel utama

FFFFFathor Rathor Rathor Rathor Rathor Rachman Utsman, M.Pd.,achman Utsman, M.Pd.,achman Utsman, M.Pd.,achman Utsman, M.Pd.,achman Utsman, M.Pd., adalah alumnus STIK-An-NuqayahGuluk-Guluk Sumenep (2004) dan Program Pascasarjana Universitas NegeriYogyakarta (UNY) Yogyakarta Program Studi Manajemen/AdministrasiPendidikan (2007). Kini mengajar di Kampus STIK-Annuqayah, UNIRA, UIM,STAIMU Pamekasan dan STKIP Yuniam.

PengantarBarangkali tidak berlebihan jika penulis

menyatakan bahwa “Guru adalah Dosen yangsangat baik”, sedangkan “Dosen adalah Guru yangtidak baik”. Pasalnya, dalam konteks interaksibelajar mengajar, guru memiliki peran, tugasdan fungsi yang lebih sulit dibandingkan den-gan dosen, yaitu mendidik, membimbing danmelatih peserta didik. Sedangkan dosen hanyamemiliki peran dan tugas yang lebih sederha-na, yaitu mengajar dan membantu orang dew-asa (mahasiswa) belajar.

Perbedaan peran, tugas dan fungsi antaraguru dan dosen tersebut karena keduanya meng-hadapi konteks kegiatan pendidikan yang ber-beda. Dalam kegiatan pendidikan, berkembangtiga konsep, yaitu ; kegiatan pendidikan peda-gogy, andragogy, dan education. Pedagogy “liter-ally means the art and science of teaching childern”(pedagogi merupakan seni dan ilmu tentangcara mengajar/mendidik anak-anak), sedang-kan “andragogy is the art and science of helpingadults learn” (andragogi adalah seni dan ilmutentang cara membantu orang dewasa belajar).Adapun “education is transfer of knowledge andmaking scientific attitude”1 (pendidikan merupa-kan proses transfer ilmu pengetahuan dan pem-bentukan sikap ilmiah).

Guru, dalam konteks kegiatan pendidikandi atas, tentu saja melangsungkan proses pen-

didikan dalam kegiatan pedagogi, sedangkandosen menghadapi proses kegiatan pendidi-kan andragogi, dan pengajar/pendidik padaumumnya melangsungkan proses pendidikanpada kegiatan education.

Oleh karena itu, salah satu kompetensi yangharus dimiliki guru sesuai dengan amanatUndang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 ten-tang Guru dan Dosen dan PP. No. 19 Tahun2005 tentang Standar Nasional Pendidikan(SNP) mewajibkan guru memiliki kompetensipedagogik, selain kompetensi kepribadian, ko-mpetensi sosial dan kompetensi profesional2.Kompetensi pedagogik yang dimaksud adalahkemampuan guru dalam mengelola pembela-jaran peserta didik. Atau dengan kata lain,kemampuan guru menguasai ilmu dan caramengajar peserta didik.

Kriteria kompetensi pada guru tersebut,tentu saja berimplikasi lebih jauh pada krite-ria kompetensi dan kriteria profesionalismeantara guru dan dosen. Sebab, kompetensi

Guru ProfesionalGuru Kompetenatau

1 Knowles, Malcolm, The Adult Learner A Neglected Species,

, (London: Gulf Publishing Company Book Division, 3rd

Edition, 1984) p. 492 Lihat Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen (UUGD) BAB IV Pasal 10 ayat (1), Lihat juga

Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan (SNP) BAB VI Pasal 28 ayat (3). Lihat

juga PP. RI No. 74 Tahun 2008 tentang Guru Bab II Pasal 3

ayat (2).

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104040

Page 41: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4141

dosen bukanlah kompetensi peda-gogik sebagaimana disyaratkanpada guru dalam UUGD No. 14Tahun 2005 tersebut. Bahkan dalamUUGD tidak jelas kompetensi sep-erti apa yang harus dimiliki olehdosen untuk dikatakan sebagaipendidik profesional.

Menyegarkan Pemahaman Pro-fesi Keguruan, Menyoal Istilah“Profesional”

Profesi guru mempunyai tugasutama melayani masyarakat dalamdunia pendidikan. Bahkan, profesiguru bersifat pelayanan pada ke-manusiaan secara intelektual sp-esifik yang sangat tinggi, yangdidukung penguasaan penge-tahuan, keahlian, serta seperangkatsikap dan keterampilan teknikyang diperoleh melalui pendidikandan latihan khusus. Dengandemikian, profesi keguruan meru-pakan peningkatan segala dayadan usaha dalam rangka penca-paian secara optimal layanan yangakan diberikan kepada masyarakatmenuju pelayanan profesional3.

Akan tetapi, profesi guru yangdemikian mulia tersebut, masihmenyisakan kontroversi untukdikatakan sebagai “profesi” atau“pekeja profesional”. Lebih-lebihdalam dunia pendidikan nasional.Hal itu terjadi karena profesional-isasi jabatan guru memiliki ciri-ciriatau kriteria yang sangat susahuntuk dipenuhi.

Dalam konteks ini, jabatanguru tersebut merupakan: 1) jaba-tan yang melibatkan kegiatan in-telektual; 2) jabatan yang mengge-luti suatu batang tubuh ilmu yangkhusus; 3) jabatan yang memerlu-kan persiapan latihan yang lama;4) jabatan yang memerlukan latihandalam jabatan yang berkesinam-bungan; 5) jabatan yang menjanji-kan karier hidup dan keanggotaanyang permanen; 6) jabatan yangmemiliki kode etik profesi dan me-nentukan baku (standarnya) sendi-ri; 7) Jabatan yang mementingkanlayanan di atas keuntungan priba-

di; 8) jabatan yang mempunyai or-ganisasi profesional yang kuat danterjalin erat; 9) proses pendidikanuntuk jabatan itu merupakan ap-likasi dan sosialisasi nilai-nilai pro-fesional itu sendiri; 10) guru meru-pakan jabatan yang mempunyaiprestise yang tinggi dalammasyarakat dan memperoleh imbal-an yang tinggi pula; dan 11) dalamprakteknya melayani masyarakat,guru mempunyai hak profesi yangotonom dan bebas dari campur tan-gan orang luar4.

Melihat kriteria profesi guruuntuk dapat dikatakan sebagai pe-kerja profesional sebagaimana di-uraikan di atas, maka tentu saja

“terlalu dini” jika dalam UU RINomor 20 Tahun 2003 tentang Sis-diknas pasal 39 (2) dan UU RI No-mor 14 Tahun 2005 tentang Gurudan Dosen BAB II pasal 1 (1) men-yatakan bahwa “guru adalah pen-didik profesional dengan tugasutama mendidik, mengajar, mem-bimbing, mengarahkan, melatih,menilai dan mengevaluasi pesertadidik…”

Oleh karena itu, Amitai Etzio-ni (1969) menyatakan bahwa guruadalah jabatan semi-profesionalkarena: “...their training (of teachers)is shorter, their status less legitimated(low or moderate), their right to privi-leged communication less established;

3Soetjipto & Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan Pusat

Perbukuan Depdiknas, 1994) hal. 264 Lihat Djam’an Satori, dkk. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007)

hal. 1.8. Lihat juga Soetjipto & Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan

Pusat Perbukuan Depdiknas, 1994) hal. 19. Ciri-ciri profesionalisasi jabatan guru tersebut

merupakan perpaduan dari kedua buku tersebut yang penulis rangkum sendiri karena banyak

memiliki kesamaan.

Page 42: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104242

there is less of a specialized knowledge,and they have less autonomy from su-pervision or societal control than ‘theprofessions’...”5

Intinya, jabatan guru belumlayak disebut sebagai pendidik pro-fesional karena masih jauh dari ja-batan profesional yang sesunggu-hnya, antara lain karena pendidi-kan dan pelatihannya sangatsingkat, statusnya yang sangatlemah, hak-haknya banyak yangkurang terpenuhi, spesialisasipengetahuannya yang rendah, dankurang memiliki kewenangan yangotonom. Oleh karena itu, dapat dika-takan bahwa jabatan guru sebagi-an, tetapi tidak sepenuhnya, ad-alah jabatan profesional.

Akan tetapi, telah ada upaya-upaya strategis yang mulai ditun-jukkan pemerintah Republik Indo-nesia ke arah profesionalisme gurutersebut. Misalnya dengan melahir-kan berbagai Undang-Undang danPeraturan Pemerintah yang menga-rah pada pemberdayaan guru, mu-lai dari proses rekrutmen guru yangtransparan dan akuntabel denganditerbitkannya Kepmendiknas 23/U/2001, UUGD No.14 Tahun 2005,PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP,Permendiknas No. 16 Tahun 2005tentang Standar Kualifikasi danKompetensi Pendidik, Fatwa/Pendapat Hukum Menteri Hukumdan Hak Asasi Manusia NomorI.UM.01.02-253, Permendiknas No.18 Tahun 2007 tentang SertifikasiGuru, Pemilihan Guru Teladan,Lomba Guru Berprestasi, hinggaberbagai macam pemberian tunjan-gan dan penghargaan bagi guru.

Ironisnya, upaya-upaya strat-egis pemerintah tersebut ternyatabelum dibarengi dengan komitmendan konsistensi para guru untukterus meningkatkan kualifikasi dankompetensinya yang memudahkanpemerintah mengantarkan merekamenjadi pendidik profesional se-bagaimana amanat Undang-Un-dang dan Peraturan di atas. Sehing-ga untuk menyesuaikan tingkatkualifikasi pendidikan guru saja,

pemerintah harus mengeluarkanbiaya trilyunan rupiah, itupunkadang hasilnya tidak sesuai den-gan keinginan. Karena yang terjadimeskipun pemerintah telah bany-ak mengeluarkan biaya, tetap sajakompetensi guru tidak berubah.

Menyoal Tanggungjawab GuruSejatinya, guru merupakan el-

emen terpenting dalam dunia pen-didikan. Keberhasilan dan kebesa-ran institusi sekolah sangat tergan-tung bagaimana guru-guru itumelakukan hubungan interkonek-sitas dan interpersonal dalam se-buah sistem sekolah. Guru yanghumanis, populis dan demokratis,akan melahirkan peserta didikyang humanis dan demokratispula. Sebaliknya, guru yang arogan,pemarah, elitis, sok borjuis, danotoriter akan menumbuhkan peser-ta didik yang demikian pula. Hasilkajian Cole dan Chan (1994) mem-perkuat pernyataan ini denganmengatakan bahwa sifat-sifat per-sonal guru menjadi faktor dominandalam membangun suasana bela-jar-mengajar yang kondusif, dandapat memotivasi peserta didikuntuk lebih kritis, inklusif danproduktif.

Guru dan peserta didik adalahdua sosok manusia yang tidak bisadipisahkan dalam dunia pendidi-kan. Mereka adalah satu dalamjiwa, meskipun raga mereka berp-isah. Jiwa mereka bagaikan “dwi-tunggal” yang kokoh bersatu. Olehkarena itu, sosok guru yang muliaadalah guru yang selalu dekat dihati peserta didiknya, yang meng-abdikan dirinya berdasarkan peng-gilan jiwanya, bukan karena peker-jaan sampingan demi material ori-ented semata6. Wajarlah, jika bang-sa Indonesia, lebih-lebih peserta

didik selalu merindukan sosokguru yang dengan rela hati meny-isihkan waktunya demi kepentin-gan anak didik, memikirkan keluhkesahnya, membimbing dan men-garahkan kesulitan belajarnya, maumenasehatinya, dan merasakankedukaan dan kebahagiaannya,serta bersenda gurau dan menga-jaknya berbicara di luar kegiataninteraksi edukatif di kelas.

Akankah guru-guru kitademikian adanya? Sulit untukmenjawabnya, mengingat guru-guru kita saat ini mayoritas men-gajar di sekolah bukan disebabkankarena faktor idealisme dan rasapengabdian-isme yang tinggi ter-hadap bangsa. Tetapi lebih banyakfaktor ekonomis, karena ‘nasib sial’yang menjadikan profesi guru se-bagai pekerjaan alternatif. Jarangsekali orang yang sejak awal men-jadikan profesi guru sebagai cita-cita mulia untuk sebuah pengabdi-an demi memperkuat martabatnegara dan demi menghasilkangenerasi-generasi yang cerdas, ber-moral, dengan SDM yang berkuali-tas7.

Motivasi menjadi guru yangseperti itu tentu saja sangat berpen-garuh terhadap sikap dan dedikas-inya sebagai katalisator pencerahanbangsa dalam dunia pendidikan.Apalagi ditambah kondisi bangsayang sedang “sakit parah” dantidak jelas obatnya, sehingga gurupun kehilangan tanggung jawabuntuk memperbaiki nasib generasibangsa.

Coba bayangkan saja, data ten-tang Angka Kelayakan Guru Men-gajar dalam Grand Desain Pendidi-kan Propinsi Jawa Timur Tahun 2025,terdapat fakta yang sangatmenyedihkan dan menyakitkan,dimana untuk guru SD/MI jumlah

5 Pernyataan Amitas Etzioni di atas, banyak dikutip dalam buku-buku yang membicarakan

mengenai profesi guru. Termasuk dalam kedua buku Profesi Keguruan yang penulis sebutkan di

atas.6 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu Pendekatan

Teoritis dan Psikologis). Edisi Revisi. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) hal. 37 Lihat Artikel Fathor Rachman Utsman, “Guru Vs Kenaikan Harga BBM dan Ketidakadilan”

(SOLOPOS, edisi Kamis tanggal 29 September 2005)

Page 43: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4343

guru yang layak mengajar hanya38,36% sendangkan 61,64% lainnyaadalah mereka yang tidak layakmengajar. Untuk tingkat SMP/MTs= guru layak mengajar 21,81%, danguru tidak layak mengajar 78,19%.Sedangkan untuk tingkat SMA/MA = guru layak mengajar 30,22%dan guru tidak layak mengajar69,78%.

Ini data tentang kondisi guruyang layak mengajar di ProvinsiJawa Timur, bagaimana dengankondisi guru di Provinsi yang lain?Bagaimana dengan kondisi guruyang layak dan tidak layak ditingkat Kabupaten, khususnya diKabupaten Sumenep?

Bahkan belakangan, seringka-li muncul pemberitaan yangmengejutkan tentang sikap paraguru yang mulai kehilangan tang-gung jawab untuk melahirkan gen-erasi cerdas penerus estafet perjua-ngan bangsa. Terbukti, sudah mu-lai banyak guru-guru kita yangmulai kehilangan produktifitas,profesionalitas, SDM yang lemah,kurang kompetensi, tidak kritis,sering bolos, dan se-amblek sikaplain yang sudah tidak layak lagidisebut ‘guru’ yang bisa digugudan ditiru. Ditambah lagi sejumlahkasus yang menimpa guru dan pe-serta didik mulai dari pencurian,narkoba, pencabulan/pelecehanseksual, tawuran antar pelajar/mahasiswa, penipuan, kenakalandalam berdinas dan korupsi jugaseringkali menghiasi dunia pendid-ikan.

Anehnya lagi, semenjak Un-dang-Undang Guru dan Dosen(UUGD) No. 14 Tahun 2005 telahditetapkan, para guru sebenarnyatelah diberikan kebebasan untukmemperbaiki tingkat kualifikasidan kompetensi demi mendapat-kan predikat sebagai “guru profe-sional”. Sayang sekali, kesempatanini justru tidak dimanfaatkan den-gan baik oleh para guru untuk leb-ih produktif , kreatif dan memilikisikap yang kompetitif demi mem-perbaiki mutu diri dan mutu pem-

belajarannya, sehingga identitasguru profesional cepat melekatdalam dirinya tanpa banyak diper-soalkan lagi, sehingga semua stake-holder tetap memiliki kepercayaanyang tinggi terhadap dunia pendid-ikan sekolah.

Bahkan otonomi pendidikanyang dibarengi dengan otonomiguru yang sering dituntut guru se-jak Orde Baru karena sering dimar-ginalkan secara politik dan ekono-mis, hingga mencapai Orde Refor-masi, tidak membuat guru terbela-lak untuk lebih kreatif dan profe-sional dalam mengajar. Merekatetap tidak peduli dan acuh-takacuh mengurus pendidikan denganprofesional serta tanggungjawabyang tinggi.

Padahal, performa guru dalamproses pembelajaran cukup signifi-kan dan sangat strategis untukmendinamisir dan mengorganisirsituasi belajar peserta didik yanglebih kreatif dan produktif demitumbuhnya ‘generasi cerdas’penerus bangsa sebagaimanaamanat Undang-Undang. Tentusaja hal ini akan terwujud jika paraguru mampu menunjukkan sikapprofesionalisme yang tinggi didalam maupun di luar lingkunganpendidikan sekolah, agar dengansendirinya tercipta benih-benihproduktifitas dan profesionalitasguru.

Kondisi ini menunjukkan bah-wa kompetensi pedagodik, kompe-tensi kepribadian, kompetensi sos-ial dan kompetensi profesionalguru sangat rendah. Inilah problemfundamental yang perlu diselesai-kan terlebih dahulu, sebelum kitabermimpi mewujudkan guru profe-sional di tengah-tengah dunia pen-didikan nasional kita.

Sertifikasi Guru: Mencari “GuruProfesional” Atau “Guru Ko-mpeten”?

UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005tentang Guru dan Dosen, PP No. 19Tahun 2005, Permendiknas No. 16Tahun 2005 tentang Standar Kual-ifikasi dan Kompetensi Pendidik,dan Permendiknas No. 18 Tahun2007 tentang Sertifikasi Guru telahmengamanatkan dengan jelas bah-wa guru (pendidik) wajib memilikikualifikasi akademik, kompetensi,sertifikat pendidik, sehat jasmanidan rohani, serta memiliki kemam-puan untuk mewujudkan tujuanpendidikan nasional.

Kualifikasi dimaksud tentusaja ditentukan dengan beberapapersyaratan kompetensi, baik yangsifatnya akademis maupun admin-istratif yang dalam Peraturan Men-teri Pendidikan Nasional (Per-mendiknas) Nomor 18 Tahun 2007,dilakukan penilaian dalam bentukportofolio yang berujung pada pem-berian sertifikat pendidik dan tun-jangan kesejahteraan sebagai buktisekaligus pengakuan bahwa gurutersebut telah dinyatakan profe-sional.

Sudah barang tentu tidak se-mua guru dapat dengan mudahmengikuti sertifikasi dan memper-oleh sertifikat pendidik profesion-al tersebut, karena pemerintah jugamenentukan beberapa kriteria guruyang berhak ikut sertifikasi guru.Penentuan guru calon peserta ser-tifikasi guru dalam jabatan meng-gunakan sistem ranking bukan ber-dasarkan seleksi melalui tes. Krite-ria penyusunan ranking (setelahmemenuhi syarat kualifikasi aka-demik S1/D-4) adalah: masa kerja/pengalaman mengajar, usia,pangkat/golongan (bagi PNS), be-ban mengajar, jabatan/tugas tam-bahan, dan prestasi kerja8. Sebuahkriteria yang tentu mengundangbanyak reaksi dan gugatan karenaakan melahirkan ketidakadilan ser-ta membuka peluang adanya kolu-si dan penyimpangan-penyimpan-gan.

8Depdiknas (2007). Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas

Page 44: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104444

Sertifikasi bagi guru dalam ja-batan merupakan upaya pemerin-tah untuk meningkatkan profe-sionalisme guru agar dapat men-ingkatkan mutu layanan, mutupembelajaran, dan hasil pendidi-kan di Indonesia yang tentunyajuga dibarengi dengan peningkatankesejahteraan guru berupa tunjan-gan profesi sebesar satu kali gajipokok bagi guru yang memiliki ser-tifikat pendidik.

Kalau kita berkaca pada nega-ra-negara maju seperti Amerika, disana telah lebih dulu memberlaku-kan uji sertifikasi terhadap guru.Melalui badan independent yangdisebut The American Asso-ciation of Colleges for Teach-er Education (AACTE).Badan ini berwenang me-nilai dan menentukanijazah yang dimiliki calonpendidik, layak atau tidaklayak untuk diberi lisensisebagai pendidik profe-sional.

Sertifikasi guru ini ternyatajuga telah dilakukan di beberapanegara Asia. Di negara China telahmemberlakukan sertifikasi guru se-jak tahun 2001. Begitu juga di Phil-ipina dan Malaysia yang belakan-gan juga telah mensyaratkan kual-ifikasi akademik minimum danstandar kompetensi bagi guru.Negara Jepang juga telah member-lakukan sertifikasi guru sudah se-lama 34 tahun, yaitu sejak tahun1974. Pemerintah Jepang meyakinibahwa kemajuan bangsanya harusdiawali dari dunia pendidikan,syaratnya tentu saja mereka harusmemiliki guru-guru yang berkuali-tas dan sejahtera. Perhatian pemer-intah Jepang terhadap para gurusangat besar. Melalui kebijakanprogram sertifikasi guru ini, seor-ang guru di negara Matahari inimendapat penghasilan yang rela-tif besar. Informasinya seorangguru dapat menabung senilai uangIndonesia Rp 8 juta setiap bulan.Asumsinya, kalau guru menabungsaja bisa Rp 8 juta setiap bulan, be-

rarti gaji para guru lebih besar dariitu9. Sungguh kesejahteraan yangsangat menjamin masa depan ke-langsungan hidup seorang guru.Coba kita bandingkan dengan gajiatau kesejahteraan guru-guru kita?

Pertanyaan penulis kemudian,apa sesungguhnya yang mau di-cari dengan sertifikasi guru kita?“guru profesional” apa “guru ko-mpeten”? Sebab, kalau kita mema-hami dengan kritis amanat bebera-pa Undang-Undang dan Peraturandi atas, Hubungan kewajiban gurumemiliki kualifikasi akademik, ko-mpetensi, dan sertifikasi dapat di-gambarkan sebagai berikut:

Dari skema di atas, jelas sekalibahwa “substansi utama” yangmau dicari dengan sertifikasi guruadalah “guru kompeten” atau guruyang memiliki banyak kompetensiyang salah satunya adalah kompe-tensi profesional. Artinya, denganbahasa yang lebih sederhana ske-ma di atas menggambarkan bahwasetiap “guru profesional” belumtentu bisa dikatakan “guru kompe-ten” dan layak mendapatkan serti-fikat pendidik sebagai bukti admin-istratifnya. Sebaliknya, setiap “gurukompeten” sudah tentu merekaharus profesional dan harusdidukung dengan kompetensi yanglain, yaitu kompetensi pedagogik,sosial dan kompetensi kepribadian.Guru kompeten (yang memilikibanyak kompetensi) itulah yangsesungguhnya dicari dari substan-si sertifikasi guru.

Ditilik dari istilahnya saja, pro-fesional menunjuk pada dua hal,yaitu: pertama, profesional adalahorang yang menyandang suatu pro-fesi tertentu, misalnya profesi guru“dia adalah seorang profesional”.Kedua, penampilan seseorang yangmelakukan pekerjaannya yang se-suai dengan profesinya. Dalampengertian kedua ini, istilah profe-sional seringkali dikontraskan den-gan orang yang melakukan peker-jaan “nonprofessional” atau “amat-iran”. Dengan kata lain, seorangprofesional adalah seseorang yangdalam kegiatan sehari-harinyamengerjakan pekerjaan profesional-

nya sesuai dengan ilmuyang telah dimiliknya10.

Sedangkan istilahp r o f e s i o n a l i s m emenunjuk pada komit-men para anggotasuatu profesi untuk ter-us meningkatkan ko-mpetensi profesionaln-ya dan mengembang-

kan strategi-strategi yang di-gunakannya dalam melakukan pe-kerjaan agar sesuai dengan profes-inya. Adapun istilah kompetensimerupakan perilaku rasional un-tuk mencapai tujuan yangdipersyaratkan sesuai dengan kon-disi yang diharapkan. Menurut SKMendiknas No. 045/U/2002, ko-mpetensi dapat diartikan sebagaiseperangkat seperangkat tindakancerdas dan penuh tanggungjawabyang dimiliki seseorang sebagaisyarat untuk dianggap mampuoleh masyarakat dalam melaksan-akan tugas-tugas di bidang peker-jaan tertentu. Dengan ciri-ciri: 1)Kompetensi memiliki fokus dankonteks, yaitu kehidupan nyata danberbagai peranan; 2) Kompetensidibentuk melalui integrasi dan ap-likasi yang kompleks dari berbagaikemampuan; 3) Integrasi dan ap-

9 Informasi ini bisa diakses di http://www.duniaguru.com/index. Lihat tulisan Dra.

Fauziyah (2007) Ujian Sertifikasi, Tantangan atau Harapan Bagi Guru. Diambil pada tanggal 4

Februari 201010 Lihat Djam’an Satori, dkk. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit UT, 2007) hal. 1.4.

Page 45: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4545

likasi merefleksikan pengetahuan,sikap dan nilai, dan keterampilansecara seimbang; dan 4) Kompeten-si ditandai dengan kinerja, bukanhanya penguasaan pengetahuan,sikap dan nilai, keterampilan saja.

Dengan demikian, “Profession-al competence” is the habitual and ju-dicious use of communication, knowl-edge, technical skills, clinical reasoning,emotions, values, and reflection in dailypractice to improve the health of the in-dividual patient and community11.

Oleh karena itu, kompetensiguru seringkali diaratikandengan”the ability of a teacher to re-sponsibibly perform has or her dutiesappropriately (kompetensi gurumerupakan kemampuan seorangguru dalam melaksanakan kewa-jiban-kewajiban secara bertang-gung jawab dan layak)12.

Alhasil, “profesional” itu ad-alah sikap seorang guru. Sedangkan“kompeten” adalah perilaku dankemampuan guru yang memanglayak dan pantas untuk melakukankewajiban dengan penuh tanggungjawab yang tinggi.

Berdasarkan pada pandanganargumentatif di atas, jelas sekalikalau cuma mau mencari guru pro-fesional rasanya sangat mudahdan bahkan bisa ditemui di setiap

sudut sekolah kita. Tetapi, pertan-yaannya buat apa memiliki guruyang mencapai kompetensi profe-sional, jika tidak didukung olehkompetensi yang lain? Buat apamemiliki guru profesional, jika ke-pribadian dan jiwa sosialnya san-gat rendah?

Bukankah sudah banyak guruyang melanjutkan kualifikasi pen-didikannya (bergelar S1 dan S2)agar bisa bekerja secara profesion-al? Bukankah sekolah kita selamaini sudah banyak dipenuhi olehguru yang memiliki kompetensiprofesional13, yaitu kemampuanguru menguasai materi pelajaransecara luas dan mendalam yangmemungkinkannya membimbingpeserta didik memenuhi standarkompetensi yang telah ditetapkan.Bukankah problem keguruan yangtelah penulis paparkan dalam“menyoal tanggung jawab guru” diatas lahir dari lembaga-lembagasekolah yang telah memiliki bany-ak guru yang profesional? Tetapioutput-nya tetap tidak bisa meng-

hasilkan pribadi-pribadi yang ber-iman, berakhlak mulia, berimu, ko-mpeten, kreatif, mandiri dan ber-tanggung jawab. Bahkan masihbanyak guru yang telah profesion-al dalam arti akademik, tetapi be-lum memiliki kepribadian yangmantap, stabil, dewasa, arif, dapatmenjadi teladan bagi peserta didik,dan berakhlak mulia

Intinya, profesional saja tidak-lah cukup. Perlu didukung oleh ko-mpetensi yang lain, yaitu kompeten-si pedagogik; kemampuan mengelo-la pembelajaran peserta didik yangmeliputi pemahaman terhadap pe-serta didik, perancangan dan pelak-sanaan pembelajaran, evaluasi ha-sil belajar, dan pengembangan pe-serta didik untuk mengaktualisasi-kan berbagai potensi yang dimil-ikinya. Kompetensi personal (kepriba-dian); kepribadian yang mantap,stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,menjadi teladan bagi peserta didik,dan berakhlak mulia. Dan kompetensisosial; kemampuan pendidik sebagaibagian dari masyarakat untuk ber-gaul dan berkomunikasi secara efek-tif dengan peserta didik, sesamapendidik, tenaga kependidikan, or-ang tua/wali peserta didik, danmasyarakat sekitar.

Guru kompeten (guru yangmemikili keempat kompetensi) itu-lah yang sesungguhnya selama inidiidam-idamkan oleh pemerintah.Sehingga keempat kompetensi itudiharapkam harus menyatu men-jadi “jiwa” dan “raga” para guruagar betul-betul dapat meningkat-kan mutu pembelajaran dan mutupendidikan yang selama ini bany-ak dirindukan oleh masyarakatdan bangsa kita. Guru kompeteninilah yang selama ini diharapkanmuncul dalam dunia pendidikan

11 Anik Ghufron. (2005). Kompetensi Hasil Belajar (Hand Out Materi Kuliah Pengembangan

Kurikulum). Yogyakarta: FIP UNY Yogyakarta.12 Lihat Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: PT Remaja RosdaKarya,

Cet. XVII, 2005) hal. 1413 Lihat penjelasan UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, lihat juga penjelasan PP. RI

No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

.... bersambung di halaman 49

Page 46: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104646

Profesi Guru,

Setingkat di Bawah Para Nabi

Wawancara Ahmad Rizali

Dari hari ke hari dunia pendidikan semakin dituntut untukmelahirkan output yang memenuhi harapan masyarakat. Di

samping harus mempunyai keterampilan praktis, siswayang ditempa di institusi pendidikan juga dintuntut

memeliki kepekaan sosial dan mental sertakepribadian mulya. Menjadi terampil, pintar dan

kompeten di bidangnya, tapi kemudian menjadikoruptor, makelar kasus, dan penjilat, tentu

hanya akan menjadi malapetaka buat bangsa.Oleh kerenanya, akhir-akhir ini santer

terwacanakan pendidikan perlu ditangani olehguru-guru profesional. Salah satu terobosan

cukup brilian yang dimunculkan dalam rangkameningkatkan profesionalisme guru ialah

kebijakan sertifikasi guru dan dosen. Sertifikasipada gilirannya menjadi rebutan kalangan

pendidik, baik guru swasta maupun negeri, baikyang ada di kota maupun yang ada di pelosok

desa, apalagi lulus sertifikasi – di atas kertas -telah layak mendapatkan predikat”guru

profesional”. Lalu, apa dan bagaimanasebenarnya pofesionalisme guru itu? Berikutwawancara Jurnal EDUKASI dengan AhmadRizali, Ketua Dewan Pembina The Centre forThe Betterment of Education (CBE) Jakarta

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104646

Definisi guru profesional, secara teoretik sangat-lah ideal, yakni memiliki kompetensi profesional,pedagogik, kepribadian, dan sosial. Namun, jikadijelaskan dengan sederhana, seperti apakahgambaran guru profesional itu?

Guru professional adalah guru yg menguasaimateri yg diajarkan, mampu mengajarkannya

Page 47: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4747JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4747

dengan menyenangkan dan memiliki pribadi yangmampu memberi inspirasi kepada muridnya (taul-adan).

Bagaimana bisa menjadi guru (silat misalnya) jikatidak menguasai ilmu (silat)? Ketika guru tidak men-guasai ilmunya dan mengajar, sudah pasti dia berbo-hong kepada murid-muridnya, setidaknya tidak men-yampaikan apa yg harus disampaikan. Dia ibarat pro-gram komputer, hanya menyampaikan hoac atau spam,atau bahkan virus.

Ketika mengusai ilmu (silat), dia juga harus mampumengajarkannya. Jika tidak, si murid hanya akan ke-limpungan karena ilmu tadi tidak berhasil dia kua-sai. Ibarat dalam instal program, si guru tidak mam-pu menginstal dengan benar, sehingga hasilnya pro-gram-program (baca-mata pelajaran) tidak terinstaldengan proper/benar dan sering konflik, bahkan“hang”. Ketika menginstal atau mengajar, si guru jugamusti mengerti kemampuan dasar sang murid, atauanalogi komputernya adalah tahu kapasitas RAM danROM-nya, apakah masih 486 atau sudah Intel Core 2Duo. Jangan memaksa instal program yang membu-tuhkan kapasitas besar ketika guru tahu kapasitasmuridnya terbatas. Jangan heran, ketika gurunya pas-pasan dan muridnya pas-pasan pula di instal pro-gram yg rumit, hasilnya tidak ada. Itu barulah analo-gi ilmu komputer, manusia lebih rumit lagi.

Guru yg tidak mampu memberi insiprasi adalah gurubiasa-biasa saja. Cobalah bayangkan, bagaimanamurid akan menghormati seorang guru jika pakaian-nya kumuh, wajahnya kusam, rambut acak-acakandan badannya bau. Sudah demikian, suaranya han-ya dia sendiri yang mampu dengar saking pelannya.Dan yang juga parah, ketika menulis di papan tulis,tidak terbaca. Ini barulah penampilan guru yang ter-lihat dan terdengar. Belum lagi jika guru tersebut san-gat pemarah dan seringkali menghukum tanpa ala-san yang jelas, bahkan seringkali menceritakanmasalah pribadi keluarganya kepada para murid didepan kelas. Masih mending jika sang guru pandaidan menguasai mata pelajaran, lha, kalau dia jugatidak menguasai... kiamatlah sebuah kelas yang me-miliki guru seperti itu. Saya sarankan, lebih baik selu-ruh murid diminta untuk belajar mandiri dan dibimb-ing dari jauh saja.

Jadi, ketiganya adalah sebuah keharusan, meskipunibarat menyetir, untuk sampai menjadi supir denganSIM B-Umum yang diperbolehkan menyetir traileratau pilot senior yang diperbolehkan menyetir pesa-wat Boeing 747 Jumbo, diperlukan praktek dan evalu-

asi serta perbaikan dan diperlukan pula penyeliaan(supervisi) dari yang sudah memiliki kualifikasi terse-but, jadi memerlukan waktu.

Lalu, apa parameter utama sehingga seseorang bisadisebut “guru profesional”?

Menurutku, parameter utamanya adalah apakah sangmurid menyenangi pelajaran yang diberikan gurutersebut. Jika murid sudah senang, sesulit apapunpelajaran yang diberikan, akan dengan nyaman mere-ka terima dan mereka cerna serta kuasai.

Baik, Mas Nanang (nama panggilan Pak Rizali).Menurut Anda, bagaimana kondisi riil guru di Indo-nesia hari ini dalam konteks isu “profesionalismeguru”?

Kondisi riil saat ini buruk. Dari segi kementrian pen-didikan nasional Tahun 2004, sebelum dilaksanakansertifikasi, secara umum lebih dari 50% guru SekolahDasar tidak layak mengajar, tingkat SMP lebih baiksekitar 48%, sedangkan SLTA sekitar hampir 40%.Inipun hanya diukur dari formalitas ijazah yang mere-ka miliki yang dalam UU Sisdiknas harus S1. Ketikadites kemampuan secara langsung, setahu saya, gam-barannya lebih buruk. Saya lupa datanya, sehinggakonon, karena kondisi itu, pemerintah dan dewankhawatir sertifikasi melalui tes langsung guru lebihdari 50% tidak lulus, cara portofolio akhirnya diam-bil, selain biaya tes tersebut jauh lebih murah.

Sejatinya, apa masalah utama guru di Indonesia?

Dari berbagai pengalaman dan pendapat beberapateman pakar yg bergelut dengan guru, bahkan adaorang asing yang berkutat urusan guru di Indonesia,mereka mengatakan guru Indonesia sangat rendahkebanggaannya menjadi guru (extreemly low self es-teem). Jadi, bagaimana akan bagus dalam mengajarjika tidak bangga. Teman-teman sering mengejek, se-orang guru jika mengenalkan diri selalu tidak pede“saya membantu mengajar di sekolah anu..” dengansuara hampir tidak terdengar “ooo Guru..!” ujar yangbertanya “betul pak... “ mereka menjawab sambiltersenyum malu. Lain sekali jika seorang dokter, in-sinyur atau akuntan, mereka akan mengenalkan diridan tempat bekerjanya dengan gagah dan pede.

Bagaiaman cara membenahinya?

Ini masalah dalam diri guru, tidak mudah dan butuhwaktu yg panjang. Yang paling mudah adalah den-gan cara memuliakan mereka kembali. Mengapa

Page 48: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20104848

memuliakan, karena kita sendirisudah memberi konotasi yg selaluburuk kepada guru, apakah kalimat“menggurui” itu baik, buruk bu-kan? Saya selalu protes jika kalimatini digunakan. Bagaimana tidak,jika gurunya mulia, bukankah dig-urui itu menjadi bagus? Nah, itu halyang kecil tapi penting.

Cara lain dan lebih mudah adalahmemberi imbalan yang lebih layakkepada guru, sehingga pekerjaanmulia ini menarik minat lulusanSMA terbaik dan bermoral baik.Bagaimana mereka akan tertarikjika gaji guru masih banyak yg dibawah upah minimum regionaldalam arti disamakan dengan bu-ruh kasar yg bekerja umumnyahanya menggunakan otot, gurubekerja menggunakan otak dan ke-pribadiannya.

Untuk menjadikan dirinya menja-di profesional, seorang guru harusditemani, karena perasaan tidakpercaya diri itu seringkali meng-hambat mereka untuk maju. Misal-nya, seorang guru yang ingin bela-jar matematika dan dia tahu adadosen matematika yang baik di ITBatau UI, sangat sering mereka eng-gan untuk berkunjung ke perguru-an tinggi mapan itu, karena mind-er. Oleh sebab itu, menemani guruuntuk maju diperlukan.

Dari sisi kebijakan, apa tanggung-jawab negara untuk mendorongguru menjadi profesional itu telahmaksimal?

Dibilang maksimal sih belum, teta-pi sudah sangat bagus. Cobalahtengok, profesi mana yang demiki-an dibantu oleh pemerintah, para-medik dan dokter saja yang jugapenting tidak sehebat itu, tetapidalam pelaksanaan masih sangatlemah monitoring dan evaluasinya.Saya salut kementrian pendidikannasional membentuk tim inde-penden monitoring dan evaluasisertifikasi guru, namun ternyata

tim ini hanya berjalan selama duatahun, sesudah itu saya tidak tahunasibnya. Meskipun struktur timini masuk dalam Kepmendiknas,tetapi setahu saya tidak ada mataanggaran khusus, sehingga kerjatim menjadi setengah-setengah.Jika ada anggaran cukup, kerjamenjadi bagus. Jika tidak, ya,bagaimana akan bagus. Lha, se-harusnya semua provinsi ditinjau,ternyata akhirnya hanya provinsisample saja.

Keseriusan lain adalah, fungsiyang mengurusi guru yang sebel-umnya hanya setingkat kasubditdengan dipimpin oleh pegawai es-elon-3, akhirnya dalam tempokurang dari 10 tahun berubah men-jadi Direktorat Jenderal denganpimpinan seorang eselon-1. Tetapisetahu saya, kedirjenan ini akandilikuidasi kembali, entah kenapadan saya nilai ini adalah sebuahkemunduran, paling tidak dari sisibirokrasi pengurusan guru. Izzahguru kembali melorot, karenakonon nanti hanya akan diurusoleh eselon-3.

Bagaimana dengan kebijakansertifikasi guru? Apakah berdam-pak bagi peningkatan profesion-alisme guru?

Sertifikasi tentu tidak serta-mertaberdampak kepada peningkatanprofesionalitas, tetapi sertifikasi itusetidaknya mampu menyaring guruyang paling buruk. Kenapa sayakatakan paling buruk, karena serti-fikasi portofolio umumnya melulus-kan gurunya setelah mengikutiDiklat profesi yang minimal 60 jamitu. Artinya, kurang dari 5% guruyang tidak lulus. Jika kita pake logi-ka linier, artinya sesudah lulus ser-tifikasi mereka certified teacher, dong,dan profesional dong? Tetapi, fakt-anya masih tidak. Menurut saya,sulitlah jika sertifikator (LPTK) jugatempat di mana guru itu dididik,kecuali menggunakan metode sep-erti pendidikan dokter.

Setahu saya, tahun ini akan dimu-lai pendidikan profesi guru yangmencontek pola pendidikan doktertersebut, tetapi yakinkah Sampeyanmereka akan menjadi guru profe-sional jika yang mengajar bukanguru profesional, tetapi profesor-profesor yang lebih menguasaiilmu kependidikan daripada prak-tek guru? Di pendidikan dokter (co-ass) sarjana medis dididik olehdokter best practice dan mereka ma-suk semua bagian dan harus lulusbagian tersebut sebelum dilantiksebagai dokter.

Terakhir, apa saran Bapak ter-hadap guru sebagai profesi, teru-tama bagi mereka para guru yangtinggal di daerah?

Saran saya, terimalah profesi inisebagai amanah dan yakinlah bah-wa menjadi guru itu setingkatdibawah para Nabi. Bagaimanatidak, bukankah fisika itu hukumalam? Dan itu adalah firman Tu-han di alam?

Nah, jika para Nabi menyampai-kan risalah langsung dari langit,guru menyampaikannya secaratidak langsung. Saya sering kata-kan kepada para guru “SekaliAnda transaksional dalam menga-jar, maksudnya berpikir dibayarberapa ketika mengajar, maka akanhilanglah nur dari ilmu yg Andasampaikan. Murid akan tetap pan-dai dan hebat, tetapi jangan ber-harap barokah dari ilmu yang dis-ampaikan itu...”.

Nah, jika menjadi penerus paraNabi, mengapa menjadi tidak pede?Lalu bagaimana untuk hidup? Disinilah pentingnya untuk yakinbahwa, ketika menjadi guru yangbenar (baca profesional), rejeki dari-Nya pasti tersedia, kalau Andatidak yakin, saya sarankan berubahprofesi saja, karena pelan tapi pas-ti akan mengotori profesi yang san-gat mulia ini.ge

Page 49: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 4949

sekolah dan sangat lama dirindu-kan kehadirannya oleh para peser-ta didik. Guru kompeten itulah se-sungguhnya yang menjadi sub-stansi dari kebijakan adanya serti-fikasi guru. Guru kompetenlah se-sungguhnya yang layak mendap-atkan “sertifikat” sebagai pendid-ik profesional.

Penutup: Bagaimana Solusinya?Kalau pemerintah punya niat

baik ingin menciptakan kompeten-si guru. Maka tentu saja harusmenanggung konsekwensinya,yaitu dengan “menyejahterakanguru”, tanpa harus melalui per-syaratan yang rumit. Sebab, penu-lis yakin guru yang sudah sejahteraakan mampu memberikan perfor-mance yang baik dan akan men-jalankan proses insruksional yangoptimal ketika eksistensinya betul-betul ‘dihargai’ dalam institusipendidikan. Penghargaan ter-hadap profesi guru inilah yang se-lama ini menjadi pemicu utamakemorosotan dunia pendidikankita. Guru-guru kita selama initidak lebih dari hanya sekedar“sopir taksi” yang ketika sudah se-lesai mengemudi (merencanakan,mengarahkan dan mengendalikanserta mengevaluasi proses pem-belajaran) kemudian diberi ongkos(gaji) yang sama sekali jauh darisebuah jabatan yang dikatakanprofesional yang seharusnyamengedepankan imbalan terhadapjasa layanannya dengan adil.14

Profesionalisme guru dalampendidikan, perlu dimaknai “hedoes his job well”, artinya pendidik(guru dan dosen) harus dipilih dandiangkat dari; pertama, orang yangmemiliki instink pendidik, palingtidak ia care and cure terhadap pe-serta didik, bukan diangkat darimereka yang mau membayar 75 jutaatau 100 juta ketika proses rekrut-men CPNS; kedua, pendidik harusmenguasai secara mendalam selukbeluk pembelajaran dalam bidang

keilmuannya; ketiga, sikap integri-tas profesional. Dengan integritas(jujur, sabar, manajerial, dan pun-ya motivasi tinggi untuk memban-gun pendidikan di Indonesia),maka sudah jelas si pendidik terse-but akan menjadi teladan dan rolemodel bagi anak didiknya. Di samp-ing itu diperlukan adanya peruba-han sikap dan kultur terhadap pro-fesi keguruan yang selama inidisandangnya. Perubahan sikapdimaksud adalah bentuk kesada-ran profesi, sedangkan perubahankultur dimaksud adalah dalamkonteks pengelolaan Lembaga Pen-didikan Tenaga Kependidikan(LPTK) yang harus siap memban-gun diri dan kelembagaannya se-bagai individu dan institusi yangprofesional, tentu dengan pengem-bangan kompetensi yang berkelan-jutan agar “guru kompeten” terse-but dapat diwujudkan. Sebab tidakmungkin seorang guru/dosenmenjadi profesional tanpa memili-

14 Lihat artikel Fathor Rachman Utsman, “Kado Akhir Tahun Buat Guru dan Dosen’, yang

dipublikasikan di Harian Pagi BERNAS Jogja edisi Selasa 27 Desember 2005.

DAFTAR PUSTAKA

Anik Ghufron. (2005). Kompetensi Hasil Belajar (Hand Out Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum).

Yogyakarta: FIP UNY Yogyakarta.

Depdiknas (2007). Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas.

Djam’an Satori, dkk. (2007). Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka).

Dra. Fauziyah (2007). Ujian Sertifikasi, Tantangan atau Harapan Bagi Guru. Diambil pada

tanggal 4 Februari 2010 dari http://www.duniaguru.com/index.

Fathor Rachman Utsman, (2005) Artikel: “Kado Akhir Tahun Buat Guru dan Dosen’, (Harian

BERNAS Jogja, edisi Selasa 27 Desember 2005)

Fathor Rachman Utsman, (2005) Artikrel: “Guru Vs Kenaikan Harga BBM dan Ketidakadilan”

(SOLOPOS, edisi Kamis tanggal 29 September 2005)

Knowles, Malcolm, (1984). The Adult Learner A Neglected Species. 3rd Edition (London: Gulf

Publishing Company Book Division)

Moh. Uzer Usman. (2005). Menjadi Guru Profesional. (Bandung: PT Remaja RosdaKarya)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2005 tentang

Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 tentang

Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

(SNP) beserta Penjelasannya.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru beserta Penjelasannya.

Soetjipto & Raflis Kosasi. (1994). Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan Pusat

Perbukuan Depdiknas).

Syaiful Bahri Djamarah, (2005). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu

Pendekatan Teoritis dan Psikologis). edisi revisi. (Jakarta: PT Rineka Cipta)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)

beserta Penjelasannya.

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) beserta

Penjelasannya.

ki kompetensi yang unggul secaraadaptif, aplikatif, dan prediktif.

Terakhir, sebenarnya tanpaharus diiming-imingi oleh tunjan-gan profesi ataupun harus dibukti-kan dengan sertifikat pendidik, jikapara guru merasa terpanggil untukmenjadikan guru sebagai pengab-dian mulia kepada masyarakat danNegara, dengan penuh tanggungjawab atas profesinya, penulisyakin kualitas dan mutu pendidi-kan akan terbangun secara total.Yang terpenting para guru tetap ter-us berjuang dengan komitmen yangtinggi untuk mendongkrak keterpu-rukan sistem pendidikan kita. Se-bagai penutup barangkali perludirenungkan kata-kata mantanPresiden Amerika Serikat, John F.Kennedy; “jangan pernah bertanyaapa yang Negara berikan kepada kita,tetapi tanyakan apa yang telah kita beri-kan pada Negara”. Kalau tidak mauseperti itu, lebih baik mundur jadiguru! ge

.... dari halaman 45

Page 50: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105050

Fathurrasyid

FathurrasyidFathurrasyidFathurrasyidFathurrasyidFathurrasyid lahir di Sumenep, 09 maret 1981. S1-nya di selesaikan diIAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta 2003. Saat ini sedang menempuhpendidikan Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (2009-2010).Mengabdi di Pesantren PP. Tegal Al-Amien Prenduan dan PP Hidyatut ThalibinPragan Daja Sumenep. Beberapa karya tulis pernah dipublikasika di mediacetak, antara lain Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA), MajalahSerambi Pesantren Yogjakarta, , Bernas, dan Radar Madura.

artikel utamaartikel utama

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105050

Suatu pagi, penulis menerima SMS (shortmessage send) dari seorang siswa penulis yangmembagi pengalaman sukses menata karier didunia tulis-menulis. “Pesimisme saya bahwamenyelesaikan studi di Madrasah Aliyah Swas-ta pedesaan tidak banyak memberikan apa-apa,ternyata salah besar. Al-Hamdulillah, berkat sup-port dari berbagai pihak, termasuk variasi me-tode Bapak dalam mengajar materi bahasa, sayabisa ikut mewarnai dunia tulis-menulis di me-dia cetak”, demikian potongan SMS “mantan”siswanya yang sekarang sedang menempuh stu-di S-1, semester 3, di Jakarta.

Tampak sekilas, paragraf di atas merupakanbagian luapan kegembiraan penulis ketika meny-aksikan anak didiknya sukses menata karir. Halini sangat alamiah sekali, sebab bukan tidak mu-ngkin guru-guru yang lain juga akan bertindakhal yang sama dalam menghadapi kasus yangsama pula. Karena barometer kesuksesan pendid-ikan itu, harus bergerak secara sinergis antara suk-ses dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor-ik1, sebagaimana Bung Hatta pernah berkata dalamkesempatan Dies Natalis Universitas Indonesia ditahun 50-an, bahwa cerdas di sekolah formal itupenting, akan tetapi yang lebih penting lagi ad-alah cerdas di dalam sekolah kehidupan.

Selain itu, paragraf pertama di atas, secaratersirat juga mendeskripsikan tentang suasanapembelajaran di Madrasah swasta pedesaan yangserba terbatas, baik dilihat dari sarana maupunprasarananya. Artinya, mengajar di madrasah

Mempertajam

yang serba terbatas, terkadang –untuk tidakmenyatakan menyakitkan- memangmenyurutkan gairah profesionalitas se-bagai guru. Namun, benturan ambisi sertaidealisme sebagai guru profesional untukmemberikan sesuatu yang terbaik bagisiswa, akhirnya dapat dibendung ketikaguru betul-betul telah menemukan mediapembelajaran yang efektif dan efesien, se-hingga tujuan pembelajaran dapat terca-pai secara optimal, baik pada tingkat strate-gi pembelajaran yang meaning full maupunlearning enjoy full.

Hasil penelitian tokoh pendidikandari USA, John Goodlad menunjukkanbahwa peran guru amat signifikan bagisetiap keberhasilan proses pembelajaran.2

Pendapat ini jelas dapat diterima karenaketika para guru telah memasuki ruangkelas dan menutup pintu-pintu kelas,maka kualitas pembelajaran akan lebihbanyak ditentukan oleh para guru.

Tentu saja, fenomena ini sangat logiskarena ketika proses pembelajaran berlang-sung, guru dapat melakukan apa saja dikelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yangmenarik siswa sehingga perannya dapat

Kreativitas GuruProfesional

Pengalaman Menarik Mengajar Bahasa Indonesia

1 Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama,

Radar Madura, 16 Juli 2006.2 Trianto, Profesionalitas Guru Masa Depan, Majalah

Mimbar Pembangunan Agama. N No. 223, April 2005,

h. 36.

Page 51: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 5151

menebarkan pesona motivasi presta-si. Begitu pula sebaliknya, ia akanmenjadi sosok yang menyeramkanmanakala ia ber-performance sebagaikompeni dalam ruang yang berna-ma kelas. Persoalannya sekarang,siapa dan apa karakteristik guruprofesional?

Ontologi Guru ProfesionalSuatu pekerjaan dapat dikate-

gorikan sebagai pekerjaan profe-sional apabila memiliki cirri-ciri;3 (a)Memiliki landasan pengetahuanyang kuat (b) Berdasar atas kompe-tensi individual, bukan atas dasarKKN (c) Memiliki sistem seleksi dansertifikasi (d) Ada kerja sama dankompetensi yang sehat antar sejawat(e) Adanya kesadaran profesionalyang tinggi (f) Memimiliki kode etik(g) Memiliki sistem sanksi profesi (h)Adanya militansi individual, dan (i)Memiliki organisasi profesi.

Pada hakikatnya, dalam prosesinteraksi belajar mengajar, guru ad-alah sosok yang memegang perananpenting dalam memberikan pelajarandan siswa adalah anak yang mener-ima pelajaran. Dalam mentransferpengetahuan kepada siswa diperlu-kan pengetahuan atau kecakapanatau keterampilan sebagai guru. Tan-pa ini semua, tidak mungkin prosesinteraksi belajar mengajar dapat ber-jalan secara kondusif dan profesion-al. Disinilah posisi idealisme kompe-tensi (kemampuan) guru mutlakdiperlukan dalam melaksanakan tu-gasnya sebagai pendidik.

Guru adalah semua orang yangberwenang dan bertanggung jawabterhadap pendidikan murid-murid,baik secara individual atau-pun kole-ktif-klasikal, baik di sekolah maupundi luar sekolah. Semua ini berartimemberi penegasan bahwa seorangguru minimal memiliki-dasar-dasarkompetensi (kecakapan) sebagai we-wenang dan kemampuan dalammenjalankan tugas sehari-hari.4

Berangkat dari realita di atas,seorang guru perlu memiliki keprib-adian, menguasai bahan pelajarandan menguasai cara-cara mengajar

sebagai dasar kompetensi. Namunketika guru tidak punya bekal ko-mpetensi yang cukup memadai,maka tidak heran jika kemudianharus diklaim telah gagal dalam me-mobilisasi proses belajar mengajar.

Guru adalah sosok arsitekturyang dapat membentuk dan memban-gun kepribadian anak didik menjadiorang yang berguna bagi nusa, bang-sa dan agama. Tugas guru tidak han-ya berputar dalam skop sebagai ten-aga profesi yaitu mendidik (men-transfer nilai-nilai hidup), mengajar(mengembangkan disiplin ilmupengetahuan) dan melatih (mengem-bangkan keterampilan), tetapi jugasebagai tugas kemanusiaan dan ke-masyarakatan yang ikut proaktif ter-hadap kebutuhan masyarakat, bang-sa dan agama.5

Kiprah seorang guru merupa-kan elemen penting dan punya pe-ran yang cukup signifikan danstrategis dalam sebuah sistem pen-didikan baik menyangkut metode,karisma, maupun tingkah laku.Hal ini disebabkan sosok yangakan mendidik, mengajar daanmelatih siswa adalah tugas dantanggung jawab guru.

Selain kepribadian guru sepertimemberi perhatian, hangat, dansuportif diyakini bisa memberi mo-tivasi yang pada gilrannya bisameningkatkan prestasi siswa. Em-pati yang tepat seorang guru kepa-da siswanya juga dapat membantuperkembangan prestasi belajar mere-ka secara signifikan. Demkian pula,tidak kalah pentingnya guru perlumembangun citra positif tentang di-rinya jika ingin agar siswanya mem-beri respon dan bisa diajak bekerjasama dalam proses pembelajaran.6

Epistemologi Guru ProfesionalPada hakikatnya, dalam pro-

ses interaksi belajar mengajar, guruadalah sosok yang memegang per-anan penting dalam memberikanpelajaran dan siswa adalah anakyang menerima pelajaran. Dalammentransfer pengetahuan kepadasiswa diperlukan pengetahuanatau kecakapan atau keterampilansebagai guru. Tanpa ini semua,tidak mungkin proses interaksi be-lajar mengajar dapat berjalan se-cara kondusif dan profesional. Disi-nilah posisi idealisme kompetensi(kemampuan) guru mutlak diperlu-kan dalam melaksanakan tugasn-ya sebagai pendidik.

Adapun peranan seorang guruyang bisa dikategorikan sebagaiguru professional, baik dalam men-ciptakan iklim edukatif di internallembaga sekolah maupun dimasyarakat dan juga peranan dalammeningkatkan prestasi belajarsiswa, maka ia harus tampil sebagaidemonstrator, mediator-fasilitator,organisator, dan sebagai evaluator.7

Sementara WF Connel membe-dakan tujuh peran guru sebagai pen-didik, model, pengajar dan pembimb-ing, pelajar, komunikator, pekerjaadministrasi, serta kesetiaan ter-hadap lembag.8 Jika tugas-tugastersebut betul-betul melekat dan di-jalankan secara serius, maka kondi-si dan suasana pembelajaran di kelasakan membuahkan hasil secara op-timal. Begitu juga sebaliknya.

Pada kenyataannya, ketika se-orang guru mengajar di depan kelas,ia telah berkiprah sebagai demon-strator yang mendemonstrasikanpengetahuannya pada siswa. Den-gan demikian, sebagai demonstra-tor, guru harus mempunyai skil dankemampuan untuk memformulasi-kan dengan cermat tujuan instruk-sional pelajaran yang ia berikan,juga harus mampu memahami

3 Suyanto, Pendidikan Profesional Guru, Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas, Vol. V, tahun

2001, hal. 7.4 Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka

Cipta, 2000), hal. 33.5 Syaiful, Op.Cit., h. 37.6 Jamaluddin, Pembelajaran Yang Efektif (Jakarta: Depag RI, 2002), hal. 37.7 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 7.8 Beni S. Ambarjaya, Model-model Pembelajaran Kreatif (Bandung: Tinta Emas, 2008), hal. 25.

Page 52: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105252

kurikulum dan metode yang akandiaplikasikan pada siswa.9 Disamp-ing itu pula, guru harus selalu was-pada untuk selalu terus menerusmeningkatkan pengetahuannya se-bagai syarat dalam melakukan tu-gas sebagai guru dan demonstrator.

Tiap orang yang memiliki naluriguru yang murni akan lebih senanghidup terus dengan buku-bukunyadaripada sibuk memikirkan isi pe-rutnya. Suatu perasaan kemerde-kaan intelektual sangat pentingartinya bagi pemenuhan yang se-sungguhnya dari fungsi-fungsiguru, sebab memang sudah tugasn-ya untuk menanamkan penge-tahuan serta daya nalar (reasonable-ness) yang dimilikinya ke dalam pros-es pembentukan pendapat umum.10

Sebagai mediator, guru ditun-tut untuk mempunyai kapabilitasdan harapan jangkauan waktu ter-utama tentang persoalan peda-gogikal. Demikian pula, tugas gurusebagai mediator adalah harusmempunyai kemampuan untukmemilih, menggunakan dan men-gusahakan media pembelajaranyang baik bagi siswa.11

Sedangkan tugas guru sebagaifasilitator adalah dituntut untukmempunyai kapabilitas dalammengupayakan fasilitas sumberpelajaran yang akan diterapkanuntuk dijadikan bahan motivasidalam mencapai tujuan proses be-lajar mengajar yang baik dalam ben-tuk keynote speaker, buku, majalah,koran dan lain sebagainya.12

Bagaimana seorang fasilitatorbisa berperan secara proporsional?Kita masih mempunyai satu per-bandingan secara kasat mata den-gan mengibaratkan guru atau fasil-itator adalah dalang dan siswa ad-alah wayang dalam suatu pemen-tasan. Artinya, dengan kondisiyang apa saja dan bagaimana punguru atau fasilitator akan bisa mem-bawa anak didik ke arah suatu tu-juan. Syaratnya, fasilitator haruspandai-pandai membawakan diri,pintar melakukan improvisasi, danmemiliki semangat kerja yang utuh

dan konsisten.Pandai membawakan diri teru-

tama yang berkaitan dengan kemam-puan membangkitkan semangat dangairah belajar anak dengan kemam-puan membangkitkan semangat be-lajar anak didik. Asumsi bersama,setiap individu siswa dengan kelebi-han dan kekurangan masing-masingmestinya ada nilai positifnya

Sementara tugas guru sebagaievaluator, tentunya guru dituntutpunya kapabilitas dan keterampilandalam memberikan nilai. Sebabprestasi belajar yang telah dicapaioleh siswa bisa diketahui dengannilai yang diberikan oleh gurunya.Informasi prestasi yang diberikanmelalui nilai setelah diadakan eval-uasi akan mempunyai pengaruhumpan balik (fedd back) untuk dijadi-kan letak dasar korektif dan pen-ingkatan proses belajar mengajar dimasa yang akan datang.13

Guru Profesional = Guru EfektifGuru merupakan tenaga

kependidikan yang mempunyaikesempatan yang paling besar un-tuk mempengaruhi siswa, baikpositif maupun negatif. Hal inimengingat sebagian besar waktudalam kehidupan siswa di sekolahadalah bersama guru, sehinggadalam konteks ini tidak mengher-ankan jika tuntutan kapabilitas,profesionalitas, kompotensi dankemapanan serta kesiapan secarapersonal (life skill personality) men-jadi suatu kebutuhan yang sangatmendesak untuk diaplikasikan.

Guru yang profesional perlumelakukan pembelajaran di kelassecara efektif. Adapun cirri-ciri efek-tif adalah14:

1. Memiliki kemampuanyang terkait dengan iklim belajar dikelas:· Memiliki kemampuan interper-

sonal, khususnya untuk menun-jukkan empati, penghargaan ke-pada siswa dan ketulusan.

· Memiliki hubungan baik den-gan siswa

· Mampu menerima, mengakuidan memperhatikan siswa se-cara tulus.

· Menunjukkan minat dan antu-sias tinggi dalam mengajar.

· Mampu menciptakan atmosfertumbuhnya kerja sama dan kohe-sivitas dalam dan antarkelompok.

· Mampu melibatkan siswa dalammengorganisasikan dan meren-canakan kegiatan pembelajaran.

· Mampu mendengarkan siswadan menghargai siswa untukberbicara dalam setiap diskusi.

· Mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas, jika ada.2. Memiliki kemampuan

yang terkait dengan strategi mana-jemen pembelajaran:· Memmiliki kemampuan untuk

menghadapi dan menanganisiswa yang tidak memiliki per-hatian, suku menyela, mengalih-kan pembicaraan dan memberi-kan transisi substansi bahan ajardalam proses pembelajaran

· Mampu bertanya atau memberi-kan tugas yang memerlukantingkatan berpikir yang berbe-da untuk semua siswa.3. Memiliki kemampuan

yang terkait dengan pemberianumpan balik (feedback) dan pen-guatan (reinforcement):· Mampu memberikan umpan

balik (feed back) yang positif ter-hadap respons siswa

· Mampu memberikan responsyang bersifat membantu ter-hadap jawaban siswa yangkurang memuaskan

· Mampu memberikan bantuanprofessional kepada siswa jikadiperlukan

9 Uzer, Op.Cit., hal. 8.10 Bertrand Russel, Pergolakan Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 5.11 Uzer, Op.Cit., hal. 9.12 Ibid., hal. 10.13 Ibid., hal.11.14 Suyanto, Pendidikan Profesional Guru, Loc.Cit.,

Page 53: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 5353

4. Memiliki kemampuan yangterkait dengan peningkatan diri:· Mampu menerapkan kuri-kku-

lum dan metode mengajar secarainovatif

· Mampu memperluas dan me-nambah pengetahuan mengenaimetode-metode pengajaran

· Mampu memanfaatkan peren-canaan guru secara berkelompokuntuk menciptakan danmengembangkan metode penga-jaran yang relevan.

Aksiologi Guru ProfesionalPengakuan terhadap guru se-

bagai tenaga professional, menurutSugian Noor15 akan diberikan jikaguru telah memiliki kualifikasi ak-ademik, kompetensi, dan sertifikatpendidik yang dipersyaratkan. Ko-mpetensi yang dimaksud yaitu ko-mpetensi pedagogik, kepribadian,sosial, dan professional.

Kompetensi pedagogik adalahkemampuan mengelola pembelaja-ran yang meliputi pemahaman ter-hadap peserta didik, perancangandan pelaksanaan pembelajaran.Evaluasi pembelajaran danpengembangan peserta didik untukmengaktualisasi berbagai potensiyang dimilikinya.

Kompetensi kepribadian adalahpenguasaan atau pemilikan keprib-adian yang mantap, stabil, dewasa,arif, dan berwibawa, sehinggamampu menjadi teladan bagi peser-ta didik dan berakhlak mulia. Ko-mpetensi profesional adalah ke-mampuan penguasaan materi bela-jar secara luas dan mendalam, seh-ingga mampu membimbing pesertadidik memenuhi standar kompeten-si, sedangkan kompetensi sosialadalah kemampuan berkomunika-si secara efektif dengan peserta did-ik, sesama pendidik, tenaga kepen-didikan, orangtua, dan masyarakat.

Jika seorang guru belum mem-punya kompetensi di atas, makabukan tidak mungkin pendidikankita akan gagal. Kalau pendidikankita gagal, maka masa depan bang-sa kita akan sangat menderita, bu-

kan hanya sekadar terbelakang.Demikian pula, pendidikan yangtidak mempunyai misi etika akanmenghancurkan kehidupan, sedan-gkan pendidikan yang tidak mem-punyai perencanaan yang bagusakan menggelapkan masa depan.Adapun pendidikan yang tidakmenghasilkan anak terdidik yangkreatif dan inovatif, maka dalamwaktu yang relatif singkat, peranguru sebenarnya telah menjadi sos-ok yang telah mencetak pengang-gur intelektual.16

Pendidikan yang diberikanguru memang tidak secara langsungakan memberikan keuntungan ekon-omis dan kemakmuran bagimasyarakat Indonesia. Namun, pen-didikan merupakan investasi mahalkarena akan memberikan andil be-sar dalam pembentukan pola pikir,etos kerja, dan tentu saja kemam-puan akademis murid-muridnya,17

termasuk di dalamnya kapabilitaskreativitas dunia tulis-menulis, se-bagai investasi masa depan mereka.

Memang, pada hakikatnya,mendidik siswa agar kreatif menu-lis merupakan persoalan yang akutmanakala gurunya tidak berkompe-ten dan tidak cerdas menyiasatipenggunaan strategi multi metodedan media pembelajaran, sebabkondisi dalam kelas terdapat kecer-dasan majemuk, setidaknya menu-rut penelitian Howard Gardneryaitu berupa kecerdasan verbal, vi-sual, matematis, musikal, kinestetik,interpersonal dan intrapersonal.18

Mempercayai teori-teori yangdikemukakan oleh Howard ini, penu-lis berinisiatif untuk merealisasikan-nya ke dalam kelas, tempat tugaspenulis mengajar Bahasa Indonesia,sehingga penulis tertuntut untuk

mencari alternatif media pembelaja-ran yang paling murah dan sederha-na, mengingat situasi dan kondisin-ya sangat tidak memungkinkan.

Adapun media pembelajaranyang paling banyak memberi inspira-si dan cukup membantu penulis un-tuk mentransfer materi, di antaranyaadalah dokument pribadi penulis;koran bekas Jawa Post Group. Jujursaja, meskipun koran ini –sampaisekarang- belum masuk ke desa ma-drasah penulis mengabdi, namunberkat kesenangan disertai atas namapanggilan jiwa sebagai guru, tradisimengeluarkan uang sebesar 2000rupiah untuk membeli koran berkastiap minggu ke pusat kecamatan,sunguh sangat luar biasa sebagaistrategi pembelajaran.

Dokument koran-koran bekasitu, penulis gunakan, misalnya KD(kompetensi dasar) siswa dapat me-mahami unsur-unsur pemberitaanyang meliputi 5W+1H. Langkah per-tama, penulis menyampaikan materitersebut secara verbal sebagai bagi-an dari memperkuat dan memper-mudah pemahaman mereka. Kemu-dian dilanjutkan dengan membagi-bagikan lembaran pemberitaan ko-ran bekas yang dilansir Jawa Post.

Adapun metode yang di-gunakan penulis adalah metodeinquiry19 di mana setiap siswa ber-tugas untuk menemukan sendiriunsur-unsur berita tersebut danhasil tiap temuannya diminta agardigunting dan ditempelkan di ataskertas kosong secara individual.

Pada konteks ini, penulis tidakperlu menjejalkan seluruh informa-si ke dalam benak anak. Sebab siswapada hakikatnya telah memiliki po-tensi dalam dirinya untuk menemu-kan sendiri informasi itu. Informasi

15 Sugian Noor, Pembinaan Profesi Pendidikan, http://banjarmasinpost.co.id/mobile16 A. Qadri Azizy, Departemen Dikti dan Riset, Harian REPUBLIKA Jakarta Situs :

www.republika.co.id Edisi Sabtu, 19 Juni 2004.17 Uswah Prameswari, Menggugat Komitmen Depdiknas, Harian Pagi Jawa Post, Surabaya

Edisi Rabu, 31 Agustus 2005.18 Beni S. Ambar Jaya, Op.Cit., hal. 92-98.19 Metode inkuiri adalah suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran

perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan lain, sebelum sampai kepada generalisasi.

Sebelum sisiwa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata”, Lihat

selengkapnya, Suryobroto, Metode Pengajaran di Sekolah (Yogyakarta: Amarta, 1985), hal. 81-82.

Page 54: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105454

yang disampaikan guru hendakn-ya hanya dibatasi pada informasiyang benar-benar mendasar dan“memancing” siswa untuk “meng-gali” informasi selanjutnya. Jika ke-pada siswa diberikan peluang un-tuk mencari dan menemukan sendi-ri, maka mereka akan merasakangerakan pikiran, perasaan dan hati.Gerakan-gerakan dalam diri anakini akan membuat kegiatan belajaritu tidak akan membosankan tetapijusteru semakin menggairahkan.20

Tentu saja, strategi ini memberi-kan nuansa tersendiri sehingga sua-sana kelas berubah 100 derajat darisuasana yang mencekam menjadimenyenangkan. Sebab setiap siswaberada dalam kondisi kompetitifuntuk memburu berita sesuai den-gan keinginan dan selera masing-masing, bahkan yang mengejutkansekali dalam monitoring penulishingga ada sebagian siswa yanggeleng-geleng kepala lantaran me-nemukan berita aksi pemerkosaanyang dilakukan oleh seorang kakekterhadap cucunya sendiri.

Strategi metode dan media diatas menjadi urgen lantaran tugas-tugas dan contoh-contoh pember-itaan yang terdapat dalam bukupaket atau LKS (lembar kerja siswa)belum merepresentasikan tentangunsur-unsur pemberitaan pada tat-aran praktis. Selain itu, strategi terse-but secara otomatis sudah masukpada lintas pemebelajaran baik darisisi religi, budaya, moral dan sosial.

Tidak jauh berbeda dengankondisi di atas, penulis juga me-manfaatkan koran bekas Jawa Post,misalnya dalam KD siswa dapatmenulis surat lamaran pekerjaandengan baik. Sekedar perlu diket-ahui, bahwa contoh-contoh lowon-gan pekerjaan dalam buku paketatau LKS –lagi-lagi- terkadang tidakmembumi pada siswa, -utamanyasiswa kelas III yang sebentar lagiada sebagian dari mereka yangakan masuk pada dunia kerja-,sebab secara visual mereka tidakbisa melihat dan merasakan lang-sung tentang kompleksitas kolom

dunia iklan lowongan pekerjaanyang mirip gaya tulisan “sms”.Karena itu, penulis menyiasati den-gan cara memberikan potonganiklan lowongan pekerjaan danmembagi kelas dalam dua kelom-pok. Kelompok pertama bertugassebagai pelamar pekerjaan, sedan-gkan pihak yang bertugas sebagaiinstansi yang mengeluarkan iklanlowongan adalah kelompok kedua.

Proses pembelajaran terus ber-langsung, namun penulis yakin bah-wa siswa tidak merasa berada dalamruang kelas yang selama ini diang-gap sebagai penjara kecil, sebab sua-sana kelas di-setting layaknya sebuahinstansi yang sedang dibanjiri pel-amar kerja. Ada yang mondar-mandir mengajukan surat lamaran,ada yang duduk sambil harap-harapcemas menunggu kepastian diteri-manya sebagai tenaga karyawan,namun ada pula yang meloncat-lon-cat kegirangan. Penulis yang bertin-dak sebagai pemantau dapat memas-tikan bahwa siswa yang lagi senangitu merupakan siswa yang lolos ver-ifikasi, sesuai dengan kualifikasi danpersyaratan yang dikeluarkan olehinstansi temannya sendiri.

Berbeda dengan KD di atas, KDsiswa dapat membedakan macam-macam paragraf baik narasi, deskrip-si, eksposisi, argumentasi dan per-suasi misalnya, penulis memanfaat-kan dokumen koran-koran bekasJawa Post tersebut hanya sebagai con-toh-contoh konkrit sehingga siswadapat membedakan paragraf terse-but secara realis. Menunujukkan ane-ka contoh merupakan starting pointdalam mentransimisikan materipada siswa, sebab semakin banyakcontoh yang diberikan, maka pema-haman siswa terhadap materi terkaitsemakin mantap.

Adapun langkah pembelajaranpertama adalah membagikan gunt-ingan foto kopi Show Selebiriti secarakelompok tentang kisah perjalanan3 Diva atau cerita kronologis berita

aksi pembacokan untuk pemaha-man paragraf narasi misalnya, se-dangkan guntingan foto kopi featureuntuk pemahaman paragrafdeskripsi. Metode pembelajaranyang demikian, penulis lakukankarean tugas guru yang sebenarn-ya adalah memberikan “kunci”atau “kail”,21 bukan terlibat lang-sung menyodorkan solusi.

Setelah diyakini mereka men-guasai tugas yang telah penulis beri-kan, langkah berikutnya, penulismemberikan PR agar setiap siswabisa me-record dan menceritakankembali ke dalam suatu karya tulistentang persitiwa yang pernah di-alami selama 24 jam pada hari Rabu,misalnya. Selain itu, penulis jugameminta agar setiap siswa meng-gambarkan suasana ruang tiduryang ada di rumahnya masing-mas-ing, seperti halnya bentuk-bentukparagraf yang telah penulis berikan.

Langkah ketiga, setiap siswa –keesokan harinya- diminta menukarhasil PR-nya masing-masing danmembacakannya satu-persatu,sekaligus diberi kesempatan untukmemberikan penilaian hasil peker-jaan temannya secara kritis. Ternya-ta, strategi pembelajaran tersebut,sungguh hasilnya sangat menggair-ahkan dan menyenangkan. Dalamkonteks sistem pembelajaran mod-ern, metode pembelajaran semacamini tidak lagi menjadikan siswahanya sebagai komunikan (peneri-ma pesan) an-sich, tetapi lebih jauhmereka telah menjadi komunikator(penyampai pesan).22

Indikasi keberhasilan itu dapatdirasakan ketika hampir semuasiswa dapat mengomentari denganargumentasi logis-obejektif tentangkelebihan dan kekurangan hasil pe-kerjaan temannya, bahkan perhatianpenulis begitu terkesima tatkala adaseorang siswi membeberkan secarakritis-analitis kekurangan unsur-un-sur paragraf deskripsi hasil tulisan(PR) seorang siswa yang duduk di

20 Smiawan Conny, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses (Jakarta: Gramedia, 1985), h.13.21 Abdullah Munir, Spritual Teaching (Jogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hal. 59.22 Rudi Susilana, Medai Pembelajaran (Bandung: Waca Prima, 2007), hal. 4.

Page 55: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 5555

bangku paling depan. “Karya Andrikurang detail, sebab dalam kamarn-ya masih ada sebuh aquarium mungildi dekat pintu belum dipaparkan”,bantah siswi itu. Ternyata usust-kete-mu usut, siswi yang kritis tadi adalahsaudara sepupu Andri sendiri.

Dari semua fenomena di atas,satu hal yang ingin penulis keten-gahkan bahwa sebuah metode danmedia pembelajaran merupakanstrategi yang sangat artikulatifdalam kelas. Artinya, suatu aktivi-tas belajar-mengajar tidak akan sem-purna atau paling tidak kurangmemberikan makna yang bisa mele-kat pada memori siswa apabilatidak didukung oleh multi metodedan media pembelajaran yang dap-at memobilisasi gairah belajar mere-ka. Sebab esensi dari media pem-belajaran merupakan segala sesuatuyang dapat digunakan untuk men-yalurkan pesan serta dapat merang-sang pikiran, perasaan, perhatiandan motivasi siswa untuk belajar23.

Urgensitas multi metode danmedia pembelajaran dalam kelasyang visible dan reable, setidaknyaberimplikasi pada dua kenyataan;Pertama, dunia guru. Kehadiranguru ke dalam kelas dengan “me-manjakan” satu metode –dalam halini ceramah-, hanya akan mengurasenergi. Guru yang demikian jelastidak tahan banting. Performanyapenat dan loyo manakala sudahsampai pada jam terakhir dengansegala suasana kelas yang serbapanas. Frekuensi emosinya mudahmeledak-ledak ketika siswanyatidak paham. Padahal, yang semes-tinya patut dipertanyakan dan dis-alahkan adalah efektivitas metodedan media yang digunakan.

Kedua, dunia siswa. Motivasibelajar siswa, intensitas konsentra-si dan suasana kelas yang meny-enangkan lainnya adalah tergan-tung pada kecerdasan seorang gurudalam mengaplikasikan metodedan media. Dalam konteks ini, gurumerupakan icon keberhasilan suatuproses pembelajaran dalam kelas.

Ketiga, suasana kelas. Dalam

dekade terakhir ini, sekolah dalamtitik jenuhnya (saturation of point) te-lah gagal pula mengaktualisasikanmetode Androgoginya, yaitu metodependidikan yang memposisikananak didik sebagai orang dewasayang harus diasumsikan memilikikemampuan aktif untuk memformu-lasikan arah futuristiknya, menga-nalisis dan mengambil manfaat daripendidikan yang -telah atau sedang-ditempuhnya. Sementara metodePedagogi yang -memposisikansiswa secara pasif; guru aktif, siswadievaluasi; guru mengevaluasi dansiswa digurui; guru menggurui- se-lalu menjadi lokomotif paling afdolyang tidak pernah hengkang daridunia pendidikan kita. Sudah jamakkaprah dilakukan oleh para guruyang menganggap siswa sebagaisosok setengah manusia (subhuman)dan jarang memperlakukan merekasebagai sosok yang benar-benarmanusia (human).24

Dari semua paparan di atas, tern-yata instrumen antara metode danmedia pembelajaran ibarat pelepasdahaga bagi seorang yang sedang be-rada dalam perjalanan yang melelah-kan. Sebab rata-rata, semua siswamerasakan suasana kelas menjadi se-buah “jeruji emas” ketika performagurunya tidak bersahabat, metodenya

tidak menggairahkan dan medianyatidak menyenangkan. Karena itu, tidakheran jika kemudian seorang Robert T.Kiyosaki dalam bukanya yang ber-judul Rich Dad Poor Dad –sebagaima-na dikutip oleh Bisri- mengatakan,“Saya suka belajar, tapi saya bencisekolah. Saya bukannya tidak menyu-kai sekolah. Hanya saja aku membenc-inya lantaran suasana dalam kelastidak ubahnya seperti berada dalampenjara. Saya benar-benar benci dipak-sa duduk dan mendengarkan selamaberbulan-bulan tentang topik yangsama sekali tidak saya minati”.

Suasana belajar yang dipapar-kan oleh Robert di atas merupakanpotret buram pendidikan kita. Real-itas tersebut ada di sekitar kita, bah-kan ada dalam sistem pendidikankita, sehingga tidak heran jika ke-mudian siswa-siswi kita meloncat-loncat kegirangan manakala mere-ka tahu bahwa gurunya sedang ber-halangan masuk kelas. Akan tetapi,jika instrumen antara multi metodedan media pembelajaran itu dapatkita manfaatkan dengan baik, makagagasan kritis yang pernah dilon-tarkan oleh Robert di atas dengansendirinya dapat kita tumbangkan,dan suasana kelas berhasil kita pu-lihkan menjadi “istana kecil” yangindah dan elegan. ge

DAFTAR PUSTAKA

Ambarjaya, Beni S. 2008. Model-model Pembelajaran Kreatif. Bandung: Tinta Emas.

Azizy, A. Qadri. 2004. Departemen Dikti dan Riset, Harian REPUBLIKA Jakarta Situs :

www.republika.co.id Edisi Sabtu, 19 Juni.

Conny, Smiawan . dkk. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta:

Rineka Cipta.

Fathurrosyid. 2006. Upaya Humanisasi Pendidikan Agama. Radar Madura.

Jamaluddin. 2002. Pembelajaran Yang Efektif . Jakarta: Depag RI.

Munir, Abdullah . 2007. Spritual Teaching. Jogjakarta: Pustaka Insan Madani.

Noor, Sugian. Pembinaan Profesi Pendidikan, http://banjarmasinpost.co.id/mobile

Prameswari, Uswah. 2005. Menggugat Komitmen Depdiknas, Harian Pagi Jawa Post, Surabaya.

Edisi Rabu, 31 Agustus.

Russel, Bertrand. 1988. Pergolakan Pemikiran. Jakarta: Gramedia.

Suyanto. 2001. Pendidikan Profesional Guru. Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas, Vol. V.

Suryobroto. 1998. Metode Pengajaran di Sekolah. Yogyakarta: Amarta.

Susilana, Rudi. 2007. Medai Pembelajaran. Bandung: Waca Prima.

Trianto. 2005. Profesionalitas Guru Masa Depan. Majalah Mimbar Pembangunan Agama. N

No. 223, April.

Usman, Moh. Uzer. 1994. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

23 Ibid.,24 Fathurrosyid, Lo.Cit.,

Page 56: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105656

Halida

Halida NurmayantiHalida NurmayantiHalida NurmayantiHalida NurmayantiHalida Nurmayanti, lahir di Surabaya, 19 Nopember 1973. Aktifitassekarang mengajar di SMP negeri 2 sumenep. Anggota ISPI (Ikatan SarjanaPendidikan Indonesia) dan MSS (Masyarakat Sastra Sumekar). Selain itu,tetap konsisten menulis di beberapa media cetak. Saat ini, ia menetap di Jl.Potre Koneng II Blok GC – 11 Perumahan Bumi Sumekar Asri Kolor Sumenep.Email : adnil [email protected].

artikel lepasartikel lepas

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105656

Sebagian besar orang mungkin pernahmelakukan sesuatu yang bertentangan dengannurani, apalagi bila dihadapkan pada politik.Lalu apakah benar politik harus demikian?Lalu bagaimana dengan dampak politik pen-didikan terhadap penyelenggaraan pendidi-kan? Dalam masyarakat modern pada umum-nya, pendidikan adalah komoditi politik yangsangat penting. Proses dan lembaga-lembagapendidikan memiliki aspek dan wilayah poli-tik yang banyak. Serta memiliki beberapa fung-si penting yang berdampak pada sistem poli-tik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.Dalam arti bahwa pendidikan merupakanwilayah tanggung jawab pemerintah yangbesar. Karena besarnya nuansa politik darikebijakan-kebijakan pendidikan, maka berb-agai faktor politis yang tidak ada hubungan-nya dengan pendidikan turut mempengaruhibagaimana kebijakan-kebijakan pendidikandibuat. Sebagai wilayah tanggung jawab pe-merintah, pendidikan juga sering dipaksa “menyesuaikan diri “ dengan pola-pola admin-istratif umum dan norma-norma yang berlaku.

Dengan demikian, jika politik dipahamisebagai “ praktik kekuatan, kekuasaan, dan

otoritatif tentang alokasi sumber daya dannilai – nilai sosial “ (Harman. 1974 : 9) makajelaslah bahwa pendidikan tidak lain ad-alah sebuah bisnis poltik1. Yang berarti pulabahwa semua lembaga pendidikan, baikpemerintah maupun non pemerintah, dalambatas-batas tertentu tidak terlepas dari bis-nis pembuatan keputusan-keputusan yangdisertai otoritas dan yang dapat diberlaku-kan. Sebuah keputusan yang dibuat dalamrapat-rapat guru sekolah untuk mengimple-mentasikan sebuah program pengajaranbaru sama politisnya dengan sebuah kepu-tusan yang dibuat oleh departemen pendid-ikan dalam rangka mengalokasikan sebuahdana bantuan untuk sekolah – sekolah ter-tentu. Hal ini menegaskan bahwa pendidi-kan dan politik adalah dua hal yang ber-hubungan erat dan saling mempengaruhi.Dengan kata lain, politik adalah bagian daripaket kehidupan lembaga pendidikan. Bah-kan menurut Baldridge (1971) lembaga-lem-baga pendidikan dapat dipandang sebagaisistem-sistem politik mikro yang melaksan-akan semua fungsi-fungsi utama sistempolitik.

Politik PendidikanDilematika Penyelenggaraan Pendidikan

&

Page 57: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 5757

Krisis Dunia PendidikanDari keterkaitan politik dan

pendidikan yang saling memen-garuhi tersebut, apakah keduanyamampu sejalan dan seirama didalam penyelenggaraannya?Mengingat, dari dua perspektiftersebut dapat melahirkan multiorientasi yang saling berbeda bah-kan bisa saling bertolak belakang.Salah satu contoh yang dapat kitaambil adalah komplikasi antarabisnis oriented dan education ori-ented dalam pendidikan. Sebenarn-ya tidak ada yang salah dari kedu-anya jika dijalankan secara “ma-nis“. Namun hal tesebut akan terke-san “ dipaksakan “ jika salah satu-nya terdominasi.

Dalam perspektif teori pendid-ikan mekanistik (mechanistic theoriesof education) yang diperkenalkan-nya, Apple (1982 ; viii) mengingat-kan : “ kita mesti sensitif terhadapcara-cara sekolah dan institusi lain-nya terperangkap dalam berbagaikebutuhan dan kekuatan yang sal-ing bersaing “. Hal yang sama jugabisa dan akan terjadi terhadapguru-guru dan peserta didik yangada di ruang kelas di sekolah-sekolah tersebut “. Persoalannya,ujar Apple (1982 : ix) “ what’s goodfor business is good for the countryand its people maynot be very goodeducational policy “ (apa yang baikbagi bisnis, baik bagi negara danrakyatnya mungkin tidak begitubaik bagi kebijakan pendidikan).

Meski dasar pandangan Appletersebut adalah hasil pengamatan-nya terhadap dunia pendidikan diAmerika Serikat, dimana kapitalis-me merajalela, namun dengan carayang berbeda hal serupa bisa sajaterjadi di negara kita. Sebagai con-toh adalah sertifikasi guru, meru-pakan kebijakan yang baik menu-rut saya untuk mengangkat statussosial ekonomi guru sebagai penye-lenggara pendidikan. Namun halini menjadi tidak baik manakalaseorang guru melupakan esensiutama dari keprofesiannya sebagai

guru. Sehingga para guru bisa jaditidak lagi bekerja keras untukpencerahan intelektual dan kema-tangan emosional, tetapi bekerjakeras hanya untuk sekedar meraihprestasi-prestasi ekonomi. Bahkanada yang sampai rela meng-gunakan segala cara. Ironinya, ke-tika dunia pendidikan mulai diper-hatikan, kesejahteraan guru mulaimendapat jaminan, keadaan kon-tras malah terjadi pada hasil danmutu pendidikan kita yang se-makin melemah. Hal ini bisa dili-hat dari fenomena krisis budi pe-kerti yang semakin merajalela. Per-tanyaannya adalah apa yang mem-buat mereka, para peserta didikseolah tidak lagi tertarik dan malahsemakin menjauh dari kegiatanpendidikan, lalu kemanakah larin-ya para penyelenggara pendidi-kan? Ataukah mereka terlalu sibukmenyesuaikan diri dengan berbagaikebijakan pemerintah? Dan adil-kah bila penyelenggara pendidikandisebut sebagai penyebab utamadari krisis tersebut?

Dalam konteks Indonesia,Muchtar Buchori2 berpendapatbahwa“ poor education is onesource of the country’s crisis“ (pen-didikan yang tidak bermutu adalahsalah satu sumber krisis di negaraini). Krisis yang saat ini melandabangsa ini (Indonesia) bersumberdari akumulasi keputusan-keputu-san politik yang tidak tepat yangterjadi di masa lalu. SedangkanApple (1993 : 65 berpendapat bah-wa retorika tentang sistem terbaiktersebut sedang mengalami kehan-curan, bukan karena sekolah gagalmeningkatkan kemampuan teknispeserta didik, bukan pula karenasekolah-sekolah telah gagalmengembangkan sistem yang kom-prehensif untuk mengidentifikasi,kuantifikasi dan serifikasi bakatyang ada, tetapi karena berbagai

faktor yang sejak tahun 1970-ansemakin menjadi-jadi, yaitu krisisnegara. Sejalan dengan beranta-kannya kehidupan komunal dibawah tekanan revolusi urban danindustri. Persoalan ini memuncul-kan pertanyaan, yaitu apakahmasih mungkin mengembalikanfungsi sekolah sebagai wisdom ofeducation? Sementara faktor – fak-tor eksternal terlalu banyak mem-berikan dampak yang bersifat“mengganggu“ tujuan asasi pendid-ikan. Sehingga hal ini memuncul-kan berbagai dilema yang padaakhirnya membuat sekolah bisatidak lagi menjadi pusat pencerah-an masyarakat, melainkan menja-di pusat problematika masyarakat.

Aspek Pendidikan Dan KonflikEra Otoda

Pada hakekatnya pendidikanmempunyai jangkauan yang san-gat luas. Dalam rangka mencapaikesempurnaannya, memerlukanwaktu dan tenaga yang tidak kecil.Sebagaimana dikenal pula pern-yataan ilmu kepeda peserta didik:”berilah aku seluruh yang engkaumiliki, maka akan aku berikan se-bagian yang aku punyai“.3 Yangpasti ungkapan dan pernyataan itubelum sepenuhnya kita laksana-kan. Hanya sedikit waktu yang dise-diakan oleh peserta didik dan kecilsekali dana, tenaga dan perhatianyang diberikan oleh mereka yangmemilikinya untuk pengembanganpendidikan.

Walau demikian kita tahu bah-wa kebijakan otoda merupakanbagian integral dari program refor-masi sistem pemerintah dan pem-bangunan secara menyeluruh, danpendidikan adalah salah satu as-pek yang mendapat perhatian san-gat besar di dalamnya. Kesadarantersebut tergambar pada rumusanarah dan strategi pembangunan

1 M.Sirozi ( 2005 : 19 )2 Muchtar Buchori seorang pembicara dalam seminar tentang Education and The Nation’s

Crisis yang rangkumannya dimuat The Jakarta Post 20 maret 2001 dengan judul Politics,

Education Inseparable3 M. Quraish Shihab ( 1994 : 349 )

Page 58: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20105858

nasional sebagaimana termuatdalam Garis-Garis Besar HaluanNegara (GBHN) tahun 1999-2004yang di tetapkan melalui rapatparipurna ke 12 Majelis Per-musyawaratan Rakyat (MPR) padatanggal 19 oktober 1999 dan dija-barkan melalui Undang-Undang RInomor 25 tahun 2000 tentang pem-bangunan nasional tahun 2000 –2004. UU tesebut menegaskan bah-wa di tengah krisis multidimensidan arus globalisasi yang sedangdihadapi, bangsa Indonesia meng-hadapi 4 masalah utama pendidi-kan, yaitu rendahnya pemerataanmemperoleh pendidikan, masihrendahnya kualitas dan relevansipendidikan, masih lemahnyamanajemen pendidikan dan belumterwujudnya kemandirian dan ke-unggulan ilmu pengetahuan danteknologi di kalangan akademis(Sirozy,2005:203).

Sejalan dengan hal itu, kebija-kan otoda juga membuka ruangpolitik yang lebar bagi berbagai kel-ompok kepentingan untuk mempre-sentasikan nilai-nilai atau kepent-ingan-kepentingan pendidikanbaik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat. Ruang politik yanglebar tersebut membuat proses ke-bijakan pendidikan di era otodamenjadi sangat dinamis dan raw-

an konflik baik secara horisontaldan vertikal. Konflik horisontal da-pat terjadi pada skala besar sepertiantara berbagai departemen yangterlibat langsung dalam pengelo-laan pendidikan. Dan, dapat jugaterjadi dalam skala kecil sepertiantar propinsi, antar kabupaten/kota atau antar sekolah. Sedang-kan secara vertikal, konflik pendid-ikan di era otonomi daerah dapatterjadi antar pemerintah pusat danpemerintah daerah; antar pemer-intah kabupaten/kota dan pemer-intah propinsi; antar kepalasekolah dan guru – guru; dan antarpihak sekolah dan masyarakat. Se-lain itu, otonomi daerah yang takterkendali yang melahirkan raja-raja kecil juga memperparah situa-si konflik.4

Sebagaimana apa yang disebutkonflik, hal ini dapat dipicu olehterjadinya benturan-benturan ke-pentingan (conflik of interest)dalam berbagai aspek penyelengga-raan pendidikan seperti aspek ped-agogi, kurikulum, organisasi danevaluasi. Sehingga semua hal terse-but terkadang harus mempertaru-hkan satu hal yang paling prinsipyang dalam aspek pedagogi dise-but prinsip kejujuran dalam men-

didik.Kenyataan ini tidak

hanya disebabkan olehfaktor internal tapi juga fak-tor eksternal yang mungkinmerasa tidak harus ber-tanggung jawab ataspengembangan kualitaspendidikan. Akhirnya,problematika internalmuncul bagai bola benangkusut yang bila ditarik se-makin membelit. Sebagaisalah satu contoh problem-atika yang paling menjadibuah simalakama bagipenyelenggara pendidikansaat ini adalah tentang ke-lulusan yang ditentukanoleh standarisasi UNAS

dengan dasar pertimbangannyaadalah agar mutu pendidikan “ ter-lihat baik“ bukan “sungguh- sung-guh baik“. Dengan kata lain, hal inibisa disebut sebagai desentralisasiyang sentralisasi yang pada akhirn-ya memunculkan sesuatu yang di-paksakan. Sehingga sudah menja-di rahasia umum bila akhirnyasekolah harus membantu kelulus-an siswa dengan segala cara ataukebohongan nurani pun tak dapatdihindari. Lalu apa dampak bagipeserta didiknya? Tentu saja pe-serta didik semakin meremehkanproses pembelajaran dalam arti se-makin tidak peduli dengan bahanyang diajarkan. Sebaliknya, dariapa yang mereka saksikan, adasatu ilmu “sesat“ yang akhirnyamereka tanam dalam hati merekaseumur hidup bahwa meng-gunakan “segala cara“ adalah se-suatu yang dihalalkan, dan satulagi paham yang akan mereka anutbahwa demi sebuah image, manu-sia tidak harus berbuat jujur. Darifenomena ini tanpa kita sadari, du-nia pendidikan kita telah mencetakdan mempersiapkan generasi yangakan datang sebagai sebuah gen-erasi yang lebih parah dari genera-si kita sekarang ini dalam hal men-

4 Baidhawi ( 2002:22 )

Page 59: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 5959

tal dan intelektual. Ini menunjuk-kan bahwa terkadang orientasipolitik dan pendidikan tidak salingsejalan dan saling mendukung.Seperti yang telah dikatakan bah-wa apa yang baik bagi politik be-lum tentu baik bagi pendidikan.Standarisasi kelulusan yang diang-gap baik bagi kehidupan politikdan masyarakat belum tentu mem-berikan dampak baik bagi asasipendidikan bila hal tersebut terla-lu dipaksakan. Bukankah hakekatpendidikan adalah penggodokanmental dan intelektual, dan kelulu-san hanyalah merupakan sebagaihadiah bagi proses tersebut, bukansebagai penentu yang dapat dinilai.Lalu bagaimana dengan para pen-didik? Mereka tak ubahnya bagaimakan buah simalakama, menusukdiri sendiri atau menusuk apa yangsudah menjadi amanah profesimereka? Sungguh kenyataan yangsangat menyedihkan.

Ketidak Berdayaan ProfesionalGambaran di atas hanya meru-

pakan salah satu contoh kecil di-antara contoh-contoh besar lainnyayang mungkin kurang mendapatperhatian dalam pertimbangan-pertimbangan pemberian keputu-san dalam kaitannya dengan dam-pak pendidikan. Dan, ketika seor-ang profesional pendidikan me-nilai suatu keputusan bersifat poli-tis, bisa jadi perilaku ini munculdari rasa frustrasi dan ketidakber-dayaan. Sungguh tidak dapat dis-angkal bahwa banyak para profe-sional pendidikan merasa teran-cam. Hal ini bisa terjadi manakalaiklim opini publik memberi perla-wanan terhadap pendidikan, pe-merintah mengurangi anggaranpendidikan dan sekolah-sekolahdipersalahkan atas berbagaikekurangan.

Dengan demikian, ketidak ber-dayaan profesional dapat melahir-kan hambatan baru. Para profe-sional bisa saja menjadi patah se-mangat, terganggu dan frustrasi.Mereka tidak mampu bekerja se-

bagaimana apa yang menurutmereka harus mereka kerjakan kare-na seringkali keputusan – keputu-san dibuat oleh orang lain dan tidakdibuat oleh para profesional ataslandasan teknis. Lalu keputusan –keputusan tersebut dibuat oleh kel-ompok nonprofesional dengan lan-dasan politis.

Reaksi tesebut sungguh dapatdimengerti karena dalam berbagaibidang kehidupan para profesion-al merasa terancam karena otonomidan keahlian mereka ditantangdan digerogoti. Namun dalampandangan Harman ( 1980 : 32 )bagi para profesional pendidikan,mengisolasi diri dari dunia politikadalah menyesatkan dan tidakmenguntungkan. Menyesatkan,karena domain profesionalismedan politik tidak dapat dipisahkanbegitu saja, dan dalam konteksapapun keputusan-keputusan ten-tang pendidikan jarang dibuat se-mata-mata atas dasar pertimban-gan-pertimbangan teknis. Tidakmenguntungan. Karena input daripara profesional dalam proses ke-bijakan sangat diharapkan.

Dari hasil penelitian J. Camp-bell5 dan kawan-kawan tentangupaya menyusun parameterkhusus untuk sisi kondisi dalamberbagai organisasi juga menyebut-kan satu hal diantaranya yang se-jalan dengan organisasi pada um-umnya adalah sentralisasi kebija-kan-kebijakan dan konsistensimanajemen terhadap kebijakan-kebijakan yang penting dapatmempengaruhi kebaikan produkti-fitas individu. Bila ditarik kesim-pulan, hal ini akan memberi sebuahjawaban atas persoalan-persoalanmendasar dalam dunia pendidikankita bahwa sinkronisasi antara ke-bijakan, sosialisasi dan dampakyang diharabkan masih belummemberikan solusi pencerahan ter-hadap persoalan pelik pendidikan

yang kita hadapi sekarang. Seba-liknya, menambah hambatan barubagi para profesional dalam halmotovasi kerja, produktifitas dankualitas pendidikan itu sendiri.

Tantangan KedepanSegala bentuk dilema yang di-

hadapi oleh para profesional pen-didikan memperlihatkan bahwapersoalan – persoalan pendidikansulit dipahami dengan baik tanpamelihat konteks politik dari per-soalan – persoalan tersebut. Begitujuga sebaliknya, berbagai persoalanpolitik sulit dipahami tanpa meli-hat konteks pendidikan dari per-soalan tersebut. Semua itu jugamembuktikan bahwa persoalankependidikan tidak hanya ada didalam ruang kelas atau di lingkun-gan sekolah, tetapi juga ada di ber-bagai sektor kehidupan lainnya.Harman (1980 : 32) menyarankanagar para profesional pendidikantidak patah semangat karena oto-nomi yang sangat terbatas dalampenyusunan kebijakan. Tetapi se-baliknya, berupayalah mengenalberbagai saluran yang dapat di-gunakan untuk turut serta dalampenyusunan dan penerapan – pen-erapan kebijakan serta perlu jugameningkatkan keterampilan untukdapat berpartisipasi secara efektif,melakukan studi politik pendidi-kan dan terus berupaya memaha-mi liku-liku kompleksitas hubun-gan antara pendidikan dan politik.

Namun tidak hanya itu, halyang paling penting adalah mere-alisasikan perubahan paradigma,yaitu paradigma baru dalam poli-tik pendidikan. Sebab meski kitatelah memiliki paradigma baru, ken-yataannya kita masih sering meng-gunakan paradigma lama dalamberbagai sektor. Sementara negarabarat khususnya Amerika Serikattelah lebih dulu meyakini bahwapendidikan adalah fungsi khusus

5 J. Campbell.et al. The Measurement Of Organization Effectiveness : A Review Of

Relevant Research and Opinion (San Diego, California; Naval Personal Research and

Development Centre, 1974 )

Page 60: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20106060

pemerintah yang terpisah dari poli-tik dan semata – mata berpijak padanilai profesional.6 Dalam hal ini,Kirst dan Mosher (1969 : 625) jugamenggambarkan keyakinan terse-but sebagai berikut : “ education isa unique of goverment that musthave its own separate and political-ly independent structure. The ad-ministration of education should beuninvolved in ‘ poltics’ and profes-sional unity should be norm“ (pen-didikan adalah fungsi unik pemer-intah yang harus memiliki srukturtersendiri yang bebas dari politik.Administrasi pendidikan tidakboleh terlibat dalam politik dannorma mereka seharusnya adalahnorma profesional).

Sedangkan untuk negara kitaapapun norma yang berlaku didalam politik pendidikan seharus-nya yang terpenting adalah tidakmengabaikan nilai-nilai esensidari pendidikan itu sendiri. Para-digma dalam memahami sebuahmutu dan kualitas bukanlah dipa-hami sebagai kamuflase dan reka-yasa semata. Seperti yang di-ungkapkan munir dalam bukun-ya bahwa kelemahan bangsa kitayang religius ini ialah ketidakse-diaan melakukan kritik terhadapdiri sendiri. Hal ini mungkin ber-kaitan dengan citra diri yang mut-lak disandang oleh sebuah kelem-bagaan, organisasi daerah atau-pun bangsa. Maka hal inimenyebabkan bangsa ini sulit me-mahami akar penyebab dari krisisyang melanda negeri ini 7). Untukitu, perlu adanya keyakinan bah-wa mutu dan kualitas dari sebuahlembaga profesional sangat eratkaitannya dengan kemampuanlembaga memegang amanahdalam melaksanakan tugas-tugasdan fungsinya. Bukankah dalamperspektif Islam sendiri menilaibahwa memenuhi amanah kerjamerupakan jenis ibadah yang pal-ing utama, hal ini ditegaskan pulaoleh sabda Rasulullah bahwakedudukan salah satu diantarakaum fisabilillah (melayani ke-

pentingan orang lain dengan amalsaleh) lebih utama daripada sho-lat di rumah selama enam puluhtahun. Ini artinya bahwa para pro-fesional dituntut agar senantiasamegikuti dinamika dunia keprofe-sionalannya. Ia dituntut untukmencapai profesionalisme kreati-fitas dan kualitas dalam bekerja.Para profesional juga dituntut me-mahami srategi-strategi mutakhirdalam bekerja.

Sejalan dengan hal tersebut adabeberapa fokus yang dapatdikembangkan dalam kajian poli-tik pendidikan8 salah satu diant-aranya adalah kontrol fiskal sen-tralistik dan sentralisasi kuriku-lum; dampak proses hukum;hubungan antara kurikulum danminat serta pelatihan guru dengannilai-nilai politik masyarakat.Menurut Eliot (1959 : 1051), berb-agai studi tersebut dapat dipayun-gi oleh suatu kesadaran bahwa ke-bijakan publik dalam bidang pen-didikan adalah produk dari inter-aksi (terkadang konflik) yang nya-ta pada dataran profesional di ber-bagai tingkat pemerintahan. Jikamemang valid, konsepsi tersebutdapat memperlihatkan sumberkekuasaan yang sebenarnya danjalan utama menuju kemajuan. Se-dangakan untuk sekedar pemaha-man dalam konteks dinamika kerjabaiknya kita juga mengingat kemba-li apa yang diajarkan Rasulullah

6 M. Sirozi ( 2005 ; 129)7 Munir ( 2003 )8 Harman, G. 1980. Reassesing Reseach In The Politics of Education. In Education

Reseach and Perspective. ( The Govermennace of Education ). Departement of Education

University of Western Australia

DAFTAR PUSTAKA

Apple, Michael W. 1989. The State and Education Policy. Milton Keynes. UK : Open

University Press.

Baidhawi, Zakayuddin. 2002. Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural. Jakarta

: Erlangga.

Kirst, Michael W dan Wirt, Frederick M. State Influences on Education. Encyclopedia

of Educational reseach.

Munir, Mulkam Abdul. 2003. Moral Politik Santri. Jakarta : Erlangga.

Mursi, Abdul Hamid. 1997. Pendekatan Al – Qur’an dan Saints. Jakarta : Gema Insani

Press.

Sihab, M. Quraish. 2007. Lentera Hati. Bandung : Mizan.

Sirozi, Muhammad. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta : Raja Grapindo Persada.

SAW. bahwa sedikit bekerja den-gan ilmu berarti banyak dan bany-ak bekerja dengan kebodohan be-rarti sedikit (HR. As. Suyuuthi).

Catatan AkhirDari kedua aspek (politik dan

pendidikan) yang telah diurai, te-lah menjelaskan bahwa politik san-gat dibutuhkan dalam rangkapengembangan pendidikan. Dantak dapat dipungkiri pula bahwapendidikan juga sangat dibutuh-kan untuk kecerdasan berpolitikdalam sebuah bangsa. Namun, bilaaspek politik lebih dikedepankanketimbang aspek-aspek pendidi-kan, maka apa yang disebut desen-tralisasi atau paradigma baru pen-didikan hanya akan menjadi se-buah “dagelan politik“ yang tidakmengubah kinerja atau mutu pen-didikan. Sebab yang pasti, untukmengubah sesuatu untuk menjadilebih baik dibutuhkan sebuah“kejujuran“. Kejujuran dalam men-gakui kekurangan dan kesalahandan kejujuran niat untuk men-gubahnya. Namun bila “kejujuran“dianggap sebagai “kenaifan“ danpolitik dipahami sebagai kecerdi-kan, kecurangan dan kekuasaandalam sebuah pengelolaan, makamasih bisakah kita berharab bang-sa ini akan menjadi bangsa yangcerdas, bermutu dan berkualitasdari segi politik maupun dari segipendidikannya? ge

Page 61: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 6161

Muhammad

Muhammad, A.MaMuhammad, A.MaMuhammad, A.MaMuhammad, A.MaMuhammad, A.Ma Lahir di Sumenep, 12 Pebruari 1974. Aktifitas : sebagaipengajar di SDN Poteran I Kecamatan Ra’as , Ketua BPUPK PNPM-MPKec. Gapura , Mantan Pengajar  dan Mantan PKM Kurikulum pada MTsAl-In’am di Banjar Timur Gapura .

artikel lepasartikel lepas

Pendidikan Islamdalam Keluarga

Jika melihat di dalam Kamus Besar BahasaIndonesia disebutkan bahwa pendidikan ad-alah: proses pengubahan sikap dan tata lakuseseorang atau kelompok dalam usaha mende-wasakan manusia melalui upaya pengajarandan pelatihan1. Secara umum pendidikan diar-tikan sebagai proses membimbing manusia yangdilakukan dengan jalan membina potensi-po-tensi pribadi, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cip-ta dan budi) dan jasmani (panca indra dan ket-erampilan).2

Pendidikan sebagai bimbingan atau pimpi-nan secara sadar oleh si pendidik terhadapperkembangan jasmani dan rohani si terdidikmenuju terbentuknya kepribadian yang utuh.3

Sedangkan Pendidikan Islam ialah segalausaha untuk memelihara dan mengembangkanfitrah manusia serta sumber daya insani yangada padanya menuju terbentuknya manusiaseutuhnya (insan kamil), sesuai dengan normaislam.4

Dari definisi di atas dapat dilihat betapaluas ruang lingkup dari Pendidikan Islam, se-luas pendidikan umum bahkan melebihinya.Karena Pendidikan Islam disamping mencak-up pendidikan umum sebagai upaya membinamanusia dalam memenuhi kebutuhan yang ber-sifat jasmaniah (duniawi), juga membina danmengembangkan pendidikan rohani yang titikberatnya terletak pada internalisasi keimanan,Islam dan ihsan dalam pribadi manusia yang

berpengalaman luas.5

Dengan kata lain, pendidikan Islam ber-tujuan untuk membina dan mengembangkanfitrah keagamaan, agar kehidupan anak ter-landasi oleh nilai-nilai agama, sehinggamampu mengamalkan syari’at Islam secarabenar.

Keluarga di sini adalah kesatuan fungsiyang terdiri dari suami, istri dan anak-anakyang diikat oleh ikatan darah dan tujuan ber-sama6 (keluarga batih) dan keluarga yangdimaksud adalah keluarga muslim.

Bagi Anak Usia 6-12 Tahun

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1994) Edisi kedua, hlm 2322 Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar

Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm 73 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam,

(Bandung: Al-Ma’arif, 1980), cet. IV, hlm. 19. Pendapat ini

hampir sama dengan pengertian pendidikan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang  Republik Indonesia No.

2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional BAB I

pasal 1 mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha

sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya

di masa yang akan datang4 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan,

(Yogyakarta: Aditia Media, 1992),  hlm 205 H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika

Masyarakat, Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis,

dan Kultural, (Jakarta: Golden Trayon, 1994), hlm 86 Buseri Kamrani, Pendidikan Keluarga Dalam Islam,

(Yogyakarta: Bina Usaha, 1990), hlm 8

Page 62: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20106262

Definisi AnakAdapun yang dimaksud den-

gan anak disini adalah: orang yangbelum dewasa dan sedang beradadalam masa perkembangan menu-ju pada kedewasaannya masing-masing.7 Dalam artikel ini yangakan dibahas adalah masalah pen-didikan anak usia 6 s/d 12tahun.

Secara alamiah manusia tum-buh dan berkembang, baik fisikmaupun psikisnya, melalui prosestahap demi tahap sesuai denganhukum alam yang telah ditetapkanoleh Allah yang dalam Islam dise-but dengan sunnatullah.8 Sehing-ga tidak seorangpun di dunia iniyang lahir dalam keadaan dewasa,semua harus melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan olehAllah, yaitu bayi, anak-anak, rema-ja, dewasa, tua dan kemudian men-inggal.

Pendidikan Islam dalam upayamembentuk manusia yang mempu-nyai kepribadian muslim, yaknimanusia yang seluruh aspek kepri-badiannya baik tingkah laku, keg-iatan-kegiatan jiwanya maupunfalsafah hidup dan kepercayaan-nya sesuai dengan nilai-nilai Is-lam.9 Dan hal ini juga harus mela-lui proses tahap demi tahap yangdilakukan secara berkesinambun-gan. Maksud dari proses tahapdemi tahap adalah pendidikan Is-lam yang diajarkan harus sesuaidengan kemampuan dari pesertadidik. Secara berkesinambungan(terus menerus) artinya pendidikanIslam tidak hanya diberikan padatahapan tertentu saja setelah ituselesai.

Setiap manusia dilahirkandalam keadaan lemah, baik fisikmaupun psikisnya. Walaupundemikian ia telah memiliki kemam-puan bawaan (fitrah). Potensi yangdimiliki ini harus di kembangkanoleh orang yang lebih dewasa mela-lui bimbingan dan pemeliharaanyang mantap. Sesuai dengan per-tumbuhannya.

Jalaluddin menjelaskan dalambukunya “Psikologi Agama” seorang

anak yang akan menjadi dewasamemerlukan bimbingan sesuai den-gan prinsip yang dimilikiya, yaitu:

1. Prinsip biologisSecara fisik anak lahir dalam

keadaan lemah, dalam segala ting-kah laku ia selalu memerlukan ban-tuan dari orang dewasa yang adadi sekitarnya (ibu, ayah, nenek,kakek dan lain-lain).

2. Prinsip tanpa dayaSejalan dengan belum sempur-

nanya pertumbuhan fisik danpsikisnya maka anak yang baru la-hir hingga menginjak dewasa sela-lu mengharapkan bantuan dari orang-orang yang ada di sekeliling-nya.

3. Prinsip eksplorasiKemantapan dan kesempur-

naan perkembangan potensi manu-sia yang dibawanya sejak lahir (jas-mani dan rohani) memerlukanpengembangan melalui pemeli-haraan, pembinaan dan pelati-han.10 Semua prinsip di atas tidakdapat dipenuhi sekaligus melain-kan harus bertahap sesuai dengantahapannya, begitu juga denganpendidikan Islam bagi anak.

Masa usia 6 s/d 12tahun se-bagai salah satu tahap yang harusdilalui oleh manusia sebelum iamenjadi dewasa memiliki potensiyang sangat penting. Hal ini kare-na pada tahap ini merupakan dasardalam pembentukan pola kepriba-dian seseorang, yang mana poladasar tersebut cenderung akan ter-

bawa terus pada proses kehidupanselanjutnya.11 Sehingga pendidikanyang diberikan pada masa anak-anak akan memiliki pengaruh yangsangat besar terhadap kelangsun-gan hidup anak. Baik pada saat itumaupun pada masa-masa selanjut-nya.

Banyak para ahli psikologiyang sependapat dengan pendap-at di atas, seperti Dr. Kolin S Tanmyang mengatakan masa anaklahyang menjadi dasar penting (vital)bagi kelanjutan hidup jasmani danrohani anak.12 Sedangkan menurutSigmun Freud “Kesulitan penye-suaian kepribadian seseorang da-pat dilacak ke suatu pengalamanyang tidak menyenangkan padamasa anak-anak” 13 Begitu jugadengan Dollard dan Neal Milleryang mengatakan bahwa “Konflikyang tidak disadari, yang sebagianbesar diperoleh selama masa bayidan anak-anak merupakanpangkal bagi kebanyakan gang-guan emosional berat dalam ke-hidupan dikemudian hari.14

Dr. Zakiah Darajat, berpenda-pat bahwa: “Pada umumnya agamaseseorang di tentukan oleh pendidikan,pengalaman dan latihan-latihan padamasa kecilnya dulu. Seorang yang padawaktu kecilnya tidak pernah mendap-atkan didikan agama, maka pada masadewasanya nanti, ia tidak akan merasa-kannya pentingnya agama dalamhidupnya.”15

 Syaikh Abu Hamid Al Ghaza-

7 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya; Al-Iklas, 1993), hlm 133.8 H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm 11, Perkembangan

dan pertumbuhan manusia berjalan secara evolusi (berjenjang dan bertahap). Melalui penjenjangan

dan pertahapan tersebut manusia mengisi dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan. Dengan

demikian manusia memperoleh pengetahuan secara berproses, serta dari potensi pengembangan

dirinya, pengembangan dengan lingkungan serta dari Tuhan (epistimologi). Lihat Jalaluddin,

Teologi Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 31-329 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsaft Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), hlm 6810 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),Cet III, hlm 6411 Robert W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Terj. Agus Harjono, (Yogyakarta:

Kanisius, 1994), hlm 1012 H.M. Arifin, Hubungan Tmbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga

sebagai pola pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan bintang, 1978) hlm 5113 Elizabeth B Hurluck, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jilid I, (Jakarta:

Erlangga, 1997), hlm 2614 Frank  goble, Madhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisiu,

1987), hlm 2415 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm 35

Page 63: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 6363

li ketika membahas tentang perankedua orangtua dalam pendidikanmengatakan: “Ketahuilah, bahwaanak kecil merupakan amanat bagi ked-ua orangtuanya. Hatinya yang masihsuci merupakan permata alami yangbersih dari pahatan dan bentukan, diasiap diberi pahatan apapun dan con-dong kepada apa saja yang disodorkankepadanya Jika dibiasakan dan diajar-kan kebaikan dia akan tumbuh dalamkebaikan dan berbahagialah kedua or-ang tuanya di dunia dan akherat, jugasetiap pendidik dan gurunya. Tapi jikadibiasakan kejelekan dan dibiarkan se-bagai mana binatang temak, niscayaakan menjadi jahat dan binasa. Dosan-ya pun ditanggung oleh guru danwalinya. Maka hendaklah ia memeli-hara mendidik dan membina serta men-gajarinya akhlak yang baik, menjag-anya dari teman-teman jahat, tidakmembiasakannya bersenang-senangdan tidak pula menjadikannya sukakemewahan, sehingga akan menghabis-kan umurnya untuk mencari hal terse-

but bila dewasa.”16

 Dari beberapa pendapat diatas, maka sudah jelas bahwa adahubungan yang signifikan antarapendidikan yang diterima seseor-ang pada masa anak-anak denganperkembangan kepribadian padamasa dewasanya kelak. Begitu pent-ingnya pendidikan yang diberikanpada masa usia 6 s/d 12tahun ,ibarat seorang yang akan memban-gun sebuah gedung yang mencakarlangit, maka yang paling utama danmendasar adalah pembuatan pon-dasi yang kuat dan kokoh sehing-ga akan mempermudah dalammenyelesaikan bangunan tersebutdan mendapatkan hasil sepertiyang diinginkan. Begitu juga jikamenginginkan anak-anak yangberkualitas dan berahlakul kari-mah (manusia yang berkepribadi-

an muslim), maka anak harus did-idik sedini mungkin.

Saat ini banyak para orang tuayang menyadari akan pentingnyapendidikan agama bagi anak-anaknya, sehingga pemerintahsendiri telah menetapkan dalamsebuah Undang-undang RI. No.2Tahun 1989 tentang sistem pendid-ikan nasional pasal 4 bahwa tujuanpendidikan ialah: “Mencerdaskankehidupan bangsa dan mengembang-kan manusia Indonesia seutuhnya,yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa dan berbudi pekerti luhur....”17

Karena itu, banyak para orangtua yang mempercayakan seratuspersen pendidikan agama bagibuah hatinya ke lembaga pendidi-kan formal, karena di sekolah adapendidikan agamanya. Ada juga

16 Dikutip dari http://www.alsofwah.or.id/html/kajian_01_01.html tentang Pendidikan

Anak Dalam Islam¸ yang disusun oleh Yusuf Muhammad Al-Hasan17 Perpustakaan Nasional, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Golden Terayon, 1994), hlm 6

Page 64: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20106464

orang tua yang masih memberikanpendidikan agama tambahan, den-gan berbagai cara, yang di antaran-ya menitipkan putra-putrinya kepondok pesantren, pesantren kilatdan atau dengan mengundang se-orang guru agama (ustadz) ke ru-mah untuk memberikan tambahanpengetahuan agama bagi keluarg-anya. Dengan cara seperti ini mere-ka mengira bahwa buah hatinyaakan menjadi seorang yang beri-man dan bertaqwa.

Tindakan seperti ini merupa-kan tindakan yang benar, akan teta-pi semua ini masih belum cukup,karena sesungguhnya iman beradadalam hati, bukan dalam kepala,sehingga keimanan tidak cukupdiajarkan saja, tetapi bagaimanamengamalkannya. Allah berfirman

Artinya:     “Orang-orang ArabBadui itu berkata: “kami telah beriman”katakanlah (kepada mereka) kamu be-lum beriman, tetapi katakanlah “kamitelah tunduk” karena iman itu belummasuk ke dalam hatimu…” (QS.Al-Hujarat ayat 14)18  

Firman Allah di atas menegas-kan bahwa iman itu adanya didalam hati. Karena iman adanya didalam hati maka timbul pertanyaanbagaimana cara menanamkan ke-imanan pada diri anak? Nabi men-gajarkan bahwa pendidikan ke-imanan itu pada dasarnya dilaku-kan oleh orang tuanya, yaitu den-gan mencontohkan (peneladanan)dan pembiasaan.19 Peneladanandan pembiasaan ini tidak bisa di-lakukan sepenuhnya oleh sekolahatau oleh guru agama yang diun-dang ke rumah, karena hanya ked-ua orang tuanya yang mungkindapat melakukannya, mengingatorang tua yang lebih banyak ber-gaul dan berkumpul dengan putra-putrinya sedangkan sekolah atauguru agama yang didatangkan han-ya membantu  orang tua saja.

Keluarga merupakan tempatpertumbuhan anak yang pertama,di mana anak mendapat pengaruhdari anggota keluarganya padamasa yang amat penting dan bah-

kan bisa dikatakan paling kritisdalam pendidikannya, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupan-nya.20

Pendidikan keimanan dalamkeluarga khusnya bagi anak balitamengalami dua kendala, yaitu per-tama, banyaknya orang tua yangbelum menyadari pentingnya pen-didikan keimanan bagi anak dalamlingkungan keluarga, dan yangkedua, banyaknya orang tua yangkebingungan dalam mendidik buahhatinya.21 Dengan demikian sebe-lum anak masuk kependidikan for-mal maka dari dalam keluargaanak sudah harus dididik denganpendidikan keimanan.

Pendidikan yang dalam istilahal-Qur’an disebut “tarbiyah” itumengandung arti “penumbuhan”atau “peningkatan”.22 Dari sini per-an keluarga dibutuhkan dalampenumbuhan dan peningkatan segijasmani anak, terutama ibu yangdengan tanpa pamrih dan rasa cin-ta kasih yang tulus perhatiannyakepada pertumbuhan anaknya.Cinta kasih dari ibu membuathubungan emosional dengan anakmenjadi lebih erat dan bisa di jadi-kan pegangan dalam memasukidunia kehidupan. Hubungan initidak hanya terjadi ketika anaksudah lahir, melainkan jauh sebel-umnya yaitu ketika anak masih be-rada dalam kandungan.

Anak yang lahir ke muka bumiini tidak tahu dan tidak bisa ber-buat apa-apa, ia membutuhkanbantuan dari orang-orang yang adadisekitarnya. Akan tetapi, Allah te-lah memberikan bekal yang bisamembantu sang anak. Bekal yangdiberikan Allah adalah: pendenga-ran, penglihatan, dan hati nurani.

Sebagai mana firman Allah swt:Artinya:   “Dan Allah melahirkan

kamu dari kandungan ibumu dalamkeadaan tidak mengetahui apapun. DanAllah membekali kepadamu pendenga-ran, penglihatan dan hati nurani, agarkamu bersyukur.” (An-Nahl, 78)23

 Mendidik anak bisa dibilangsulit untuk dilakukan, kesulitan-nya adalah dalam menemukankeseimbangan antara dua sisi yangberlawanan. Disatu sisi kita temu-kan anak dalam keadaan tak ber-daya, kemampuannya hanya seba-tas menangis, dan gerak naluriahyang tak terarah. Sedang pada sisilain kita temukan anak berada padasuatu lingkungan yang akan mem-pengaruhi dalam kehidupan selan-jutnya.24

Sebagai orang tua yang baik,sudah tentu yang ditumbuhkandan ditingkatkan oleh orang tuatidak hanya sebatas jasmani semaa-ta, karena masih banyak yangharus ditumbuhkan dan kembang-kan selain jasmani anak, sepertipotensi positif yang dimiliki anak.Potensi positif ini harus ditumbuh-kan  dan dikembangkan oleh ked-ua orang tua, sehingga anak bisamenjadi manusia berkualitas. Se-mua ini bisa terwujud denganmemberikan pendidikan yang baik,karena setiap anak yang lahirsudah dibekali dengan fitrah (key-akinan kepada Allah) yang harusdi kembangkan. Sebagaimana sab-da Rasulullah saw:

Artinya:   “Setiap anak di lahir-kan dalam keadaan fitrah (keyakinankepada Allah), maka ibu bapaknyalahyang menjadikan ia Yahudi atau Nas-rani atau Majusi.” (HR. Bukhori)25

 Betapa jelasnya sabda Rasu-lullah di atas, karena tangan-tan-

18 Departemen Agama RI, Al-Qur’andan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm 84819 Ahmad Tafsir, Op. Cit,  hlm 620 Yusuf Muhammad al-Hasan, Penedidikan Anak Dalam Islam,  terj, Muhammad Yusuf

Harun, (Jakarta: Akafa Prees, 1997), cet I, hlm 1021 Op. Cip,  Ahmad Tafsir, hlm 622 Nurcholis Majid, Masyarakat Relegius, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet II, hlm 8323 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 41324 Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), Cet.

III, hlm. 6325 Bukhari ra. Shahih Bukhari,  (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Ustmaniyahm 1932), Vol.I, hlm. 162

Page 65: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 6565

gan orang tuanyalah, si anak dap-at berubah arah; yang tadinya fitrah(yakin kepada Allah), malah men-jadi tidak yakin kepada-Nya.Analogi dari hadits tersebut adalahbahwa kenakalan, kemalasan,ketidakpatuhan, serta ketidakso-panan itu, akibat ulah orang tuan-ya. Dalam teori pendidikan ini dike-nal dengan teori Tabularasa, yaituanak laksana kertas putih bersihyang di atasnya boleh dilukisi apasaja menurut keinginan orang tuadan para pendidik.26

Kewajiban mendidik pada mu-lanya bersifat personal, yaitu setiaporang bertanggung jawab atas pen-didikan dirinya; kemudian bersifatsosial. Setiap orang bertanggungjawab atas pendidikan orang lain.Allah berfirman:

Artinya: “Setiap orang di antarakalian adalah pengembala dan masing-masing bertanggung jawab atas yangdi gembalakannya, pemimpin (raja)adalah pengembala, suami adalahpengembala terhadap anggota keluar-ganya, dan istri adalah pengembala dirumah tangga suaminya dan terhadapanak suaminya. Setiap orang diantarakalian adalah pengembala dan masing-masing pengembala bertanggungjawab atas yang digembalakannya.”(HR. Bukhari dan Muslim)27

 Dari firman Allah dan sabdaRasulullah di atas sudah jelas, bah-wa setiap orang bertanggung jawabmenjaga anggota keluarganya darisiksa api neraka di akhirat. Salahsatu caranya adalah dengan men-didik, membimbing dan mengajariakhlak yang baik kepada anak-anaknya. Selain  itu sebagai orangtua juga harus menjaga anaknyadari pergaulan yang buruk, sehing-ga anak hanya akan terbiasa den-gan perbuatan yang baik.

Kewajiban mendidik anak jugatelah ditegaskan secara khususoleh Rasulullah dalam sabdanyayaitu:

Artinya:   “Ajarkanlah kebaikankepada anak-anak kamu dan keluargakamu dan didiklah mereka”. (HR. Ab-dur Razzaq dan Sa’id bin Mansur)28

Artinya: “Didiklah anak-anakmupada tiga hal: mencintai Nabimu, men-cintai ahli baitnya, dan membaca al-Qur’an…”. (HR. At-Thabrani)29

 Dengan demikian orang tu-alah yang berkewajiban mendidikanak-anaknya agar potensi yangsecara primordial sudah ada padaanak bisa tumbuh dan meningkat.Hal ini sesuai dengan pendidikanIslam, yaitu usaha untuk membimb-ing dan mengembangkan potensifitrah manusia hingga ia dapat me-merankan diri secara maksimal se-bagai hamba Allah yang taat.30

Imam al-Ghazali mengatakanbahwa: “Anak, merupakan amanatAllah bagi kedua orang tuanya. Hatin-ya yang bersih merupakan permatayang berharga, lugu dan bebas dari se-gala macam ukiran dan gambaran. Jikasang anak dibiasakan dengan hal-halyang baik dan diajarkan kebaikan ke-padanya, maka dia akan tumbuh den-gan baik. Dan apa bila anak dibiasa-kan pada hal-hal yang buruk, dan di-terlantarkan begitu saja seperti mem-perlakukan hewan ternak, maka niscayaanak akan tumbuh menjadi orang yangcelaka dan binasa.”31

 Para pemikir pendidikansependapat bahwa pendidikan dimasa anak-anak harus mendapat-kan perhatian penuh dari para pen-didik khususnya orang tua, karenaorang tua yang lebih banyak kum-pul dengan anak-anaknya. Pepatahlama mengatakan: “Belajar di waktukecil bagai mengukir diatas batu, bela-jar sesudah dewasa bagai mengukirdiatas air.” Pepatah ini mengand-ung arti yang sangat mendalamyaitu bahwa pendidikan yang dilaksanakan pada waktu kecil itutidak akan sia-sia.

  Sebagai mana Ibnu Jauzi men-gatakan: “Pembentukan utamaialah diwaktu kecil, maka apa bilaanak dibiarkan melakukan sesuatu(yang kurang baik), dan kemudiantelah menjadi kebiasaannya, akansukar meluruskannya.”32

Ibnu Qayyim al-Jauziyah men-gatakan bahwa, yang amat dibutu-hkan dalam mendidik anak, adalahmemperhatikan masalah akhlakn-ya. Anak akan tumbuh sesuai den-gan kebiasaan yang dibiasakan ke-padanya oleh sang pendidik se-masa masih kecil. Di samping ituyang perlu diperhatikan dalammendidik anak, adalah bakat-bakatyang terpendam dalam dirinyayang sesuai dengan kecenderungananak.33 Jangan sekali-kali membe-bani anak dengan hal-hal yangtidak mampu dilakukannya, jikabakat yang ada tidak sesuai den-gan hal itu. Selagi bakat itu tidakbertentangan dengan ketentuansyariat agama, maka orang tua pat-ut untuk memberikan semangatdan dorongan.

Dari teori-teori di atas yangakan penulis jadikan sebagai ruju-kan dalam menganalisa artikel iniadalah teori fitrah yaitu sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’ansurat an-Nahl ayat 78 dan haditsnabi yang diriwayatkan AbuHurairah tentang fitrah.

Pengertian Keluarga

Pembentukan identitas anakmenurut Islam, dimulai jauh sebe-lum anak itu diciptakan. Islammemberikan berbagai syarat danketentuan pembentukan keluarga,sebagai wadah yang akan mendid-ik anak samapai usia tertentu yang

26 Ahamad Tafsir , Op.Cit,  hlm. 1327 Abi Zakariyya Yahya bin Syarif an-Nuri, Riyadussholihin, (Surabaya: Toko Kitab al-

Hidayah, tt), hlm. 15328 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Drs. Jamaluddin Miri, LC,

(Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. xxxiv29 Ibid30 Jalaluddin 2001, Op.Cit,  hlm. 7431 Aba Firdaus al-Halwani, Op.Cit, hlm. 6432 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami A. Gani,

Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet.VI, hlm. 10633 Aba Firdaus al-Halwani, Op.Cit, hlm. 65-66

Page 66: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20106666

disebut baligh. Karena itu perlukiranya penulis singgung sedikitsyarat-syarat pembentukan keluar-ga, diantaranya terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut:

1. Larangan menikah denganwanita yang dalam hubungandarah dan kerabat tertentu, sepertifirman Allah SWT:

Artinya: {22} Dan janganlahkamu kawini wanita-wanita yang te-lah dikawini oleh ayahmu, terkecualipada masa yang telah lampau. Sesung-guhnya perbuatan itu amat keji dandibenci Allah dan seburuk-buruk jalan(yang ditempuh). {23} Diharamkanatas kamu (mengawini) ibu-ibumu;anak-anakmu yang perempuan; sau-dara-saudaramu yang perempuan, sau-dara-saudara bapakmu yang perem-puan; saudara-saudara ibumu yangperempuan; anak-anak perempuan darisaudara-saudaramu yang laki-laki;anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibu-mu yang menyusui kamu; saudara pe-rempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu(mertua); anak-anak isterimu yangdalam pemeliharaanmu dari isteri yangtelah kamu campuri, tetapi jika kamubelum campur dengan isterimu itu (dansudah kamu ceraikan), maka tidak ber-dosa kamu mengawininya; (dan di-haramkan bagimu) isteri-isteri anakkandungmu (menantu); dan menghim-punkan (dalam perkawinan) dua pe-rempuan yang bersaudara, kecuali yangtelah terjadi pada masa lampau; se-sungguhnya Allah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang, (QS. An-Nisaa’:22-23)34

 2. Larangan menikah denganorang yang berbeda agama disebut-kan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat: 221

Artinya: Dan janganlah kamunikahi wanita-wanita musyrik, sebelummereka beriman. Sesungguhnya wani-ta budak yang mu’min lebih baik dariwanita musyrik, walaupun dia menarikhatimu. Dan janganlah kamu menikah-kan orang-orang musyrik (denganwanita-wanita mu’min) sebelum mere-ka beriman. Sesungguhnya budak yangmu’min lebih baik dari orang musyrik

walaupun dia menarik hatimu. Mere-ka mengajak ke neraka, sedang Allahmengajak ke surga dan ampunan den-gan izin-Nya. Dan Allah menerangkanayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya merekamengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)35

 3.  Larangan menikah denganorang yang berzina diutarakan dalamal-Qur’an surat an-Nur ayat: 3

Artinya:   Laki-laki yang berzinatidak mengawini melainkan perem-puan yang berzina, atau perempuanyang musyrik; dan perempuan yangberzina tidak dikawini melainkan olehlaki-laki yang berzina atau laki-lakimusyrik, dan yang demikian itu di-haramkan atas orang-orang yangmu’min. (QS. An-Nur: 3)36

 Setelah syarat-syarat bagi ked-ua calon suami isteri itu dipenuhi,maka dilaksakanlah pernikahanmenurut ketentuan yang diwajib-kan Allah. Dengan pekawinanyang sah menurut agama, pasan-gan suami isteri tidak memiliki be-ban kesalahan/dosa untuk hidupbersama, bahkan memperoleh ber-kah dan pahala. Dan kelurga yangdibina akan memperoleh pen-gakuan dan diterima sebagai bagi-an dari masyarakat. Keluarga yangdemikian akan memperoleh perlin-dungan dari masyarakat untukhidup berdampingan berdasarkantata aturan dan norma yang berlakudi masyarakat.

Keluarga adalah lembaga yangsangat penting dalam proses pen-didikan anak. Meskipun bukanmenjadi satu-sataunya faktor, kelu-arga merupakan lembaga pendidi-kan tertua, besifat informal, yangpertama dan utama dialami olehanak serta lembaga pendidikanyang bersifat kodrati. Orang tua

bertanggung jawab memelihara,merawat, melindungi dan mendid-ik anak agar tumbuh danberkembang dengan baik.37 Dengandemikian, keluarga merupakanunsur yang sangat menentukandalam pembentukan kepribadiandan kemampuan anak, secara teor-itis dapat dipastikan bahwa dalamkeluarga yang baik, anak memilikidasar-dasar pertumbuhan danperkembangan yang cukup kuatuntuk menjadi manusia dewasa.38

Pada intinya lembaga keluar-ga terbentuk melalui pertumbuhansuami dan isteri yang permanendalam masa yang cukup lama seh-ingga berlangsung proses re-produksi. Dalam bentuknya yangpaling umum dan sederhana, kelu-arga terdiri dari ayah, ibu, dan anak(keluarga batih).39 Dua komponenyang pertama yaitu ibu dan ayah,dapat dikatakan sebagai ko-mponen yang sangat menentukankehidupan anak, khusunya padausia 6 s/d 12tahun , baik ayah mau-pun ibu, keduanya adalah pen-gasuh utama dan pertama bagisang anak dalam lingkungan kelu-arga, baik karena alasan biologismaupun psikologis.

Kualitas keluarga dalam Islamditentukan oleh proses pertemuanyang tejadi antara suami dan isteri.Dalam hal ini Islam mengajarkankonsep perkawinan yang lebih darisekadar kontrak (aqad), tetapi jugapernyataan kesetiaan pada agamayang dibuktikan dengan ketaatanpada prosedur dan tata cara yangdiatur oleh syariat. Perkawinanyang sah dapat dikatakan sebagaisyarat mutlak dalam membangunkeluarga yang baik , tetapi sebalikn-ya, keluarga yang dibangun tanpaperkawinan menurut Islam akan

34 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 12035 Ibid, hlm. 53 – 5436 Ibid, hlm. 54337 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 3338 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT Remaja

Rosdakaya, 1995), hlm 4739 Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Dalam Masayarakat Modern, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 20

Page 67: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 6767

cenderung rapuh karena lemahnyaikatan, khusunya ikatan moral.Dalam keadaan keluarga yang ra-puh ini anak cenderung mengala-mi perkembangan kurang mengun-tungkan karena keberhasilan pros-es pendidikan memerlukan duku-ngan lingkungan yang positif.

Fungsi Keluarga

Menurut Dra. Melly Sri SulastriRifai, M.Pd. Secara sosiologis adasembilan fungsi keluarga, yaitu:

1. Fungsi biologis. Kelurga se-bagai suatu organisme mempunyaifungsi biologis.fungsi ini memberi-kan kesempatan hidup pada setiapanggotanya. Keluarga disini men-jagi tempat untuk dapat memenuhikebutuhan dasar seperti pangan,sandang, dan papan dengan syar-at-syarat tertentu sehingga anggo-ta keluarga dapat memungkinkanhidup didalamnya.

2. Fungsi ekonomi. Fungsi inimempunyai hubungan yang eratdengan fungsi biologis, terutamahubungan memenuhi kebutuhanyang bersifat vegetatif, sperti kebu-tuhan makan, minum, dan tempatberteduh.

3. Fungsi kasih sayang. Dalamfungsi ini keluarga harus dapatmenjalankan tugasnya menjadilembaga interaksi dalam ikatan ba-tin yang kuat antara anggotanya,sesuai dengan status peranan sos-ial masing-masing dalam kehidu-pan keluarga itu.

4. Fungsi pendidikan. Fungsipendidikan ini mempunyai hubun-gan yang erat dengan masalah tan-gung jawab orang tua sebagai pen-didik pertama dari anak-anaknya.Di samping itu, keluarga sebagailembaga pendidikan bertangungjawab pula pada pendidikan orangtua dalam lingkungan pendidikanorang dewasa.

5. Fungsi perlindungan. Fungsiperlindungan ini, sebenarnya mem-punyai hubungan yang erat denganfungsi pendidikan. Kita memberikanpendidikan kepada anak dan ang-gota kelurga lainnya berarti kita mem-

berikan perlindungan secara mentaldan moral, di samping perlindunganyang bersifat fisik bagi kelanjutanhidup orang-orang yang ada dalamkeluarga itu.

6.Fungsi memasyarakatkan(sosialisasi) anak. Fungsi ini mem-punyai pertautan yang erat denganfungsi-fungsi diatas. Dalam hal ini,keluarga mempunyai tugas untukmengantarkan anak ke dalam ke-hidupan sosial (masyarakat) yanglebih luas.

7. Fungsi rekreasi. Dalam ke-hidupan manusia, rekreasi adalahpenting. Rekreasi dalam hal ini da-pat diartikan sebagai kegiatan sese-orang atau anggota keluarga atasdasar kemauan dan pengakuanmereka sendiri.

8. Fungsi status keluarga.Fungsi ini dapat dicapai bila kelu-arga telah menjalankan fungsinyayang lain. Fungsi keluarga inimenunjuk pada kadar kedudukan(status) keluarga dibandingkandengan keluarga lainnya. Status initerungkap dari pernyataan orangtentang status seseorang atau kelu-arganya.

9. Fungsi beragama. Fungsi inisangat erak hungungannya denganfungsi pendidikan, fungsi sosialisa-si dan perlindungan. Keluarga mem-punyai fungsi sebagai tempat pen-didikan agama dan tempat beribadat,yang secara serempak berusahamengembangkan amal shaleh.40

Sedangkan munurut Dr. H.Djudju Sudjana, M.Ed., berdasarkanpendekatan budaya, keluarga mem-punyai tujuh fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi Biologis. Bagi pasan-gan suami-isteri, fungsi ini untukmemenuhi kebutuhan seksual danmendapatkan keturunan.

2. Fungsi Edukatif. Fungsi pen-didikan mengharuskan setiap or-ang tua untuk mengkondisikan ke-hidupan keluarga menjadi situasipendidikan sehingga terdapat pros-es saling belajar di antara anggotakeluarga.

3. Fungsi Relegius. Fungsi rel-egius berkaitan dengan kewajiban

orang tua untuk mengenalkan,membimbing, memberi teladan danmelibatkan anak serta anggota ke-luarga lainya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keag-amaan.

4. Fungsi Protektif. Fungsi protek-tif (perlindungan) dalam keluargaialah untuk menjaga dan memeliha-ra anak serta anggota keluarga lain-nya dari tindakan negatif yang mu-ngkin timbul, baik dari dalam mau-pun dari luar kehidupan keluarga.

5.  Fungsi Sosialisasi Anak.Fungsi sosialisasi berkaitan denganmempersipakan anak untuk menja-di anggota masyarakat yang baik.

6. Fungsi Rekreatif. Fungsi initidak harus berbentuk kemewahan,serba ada, dan pesta pora, melain-kan melalui penciptaan susasanakehidupan yang tenang dan har-monis di dalam keluarga.

7. Fungsi Ekonomis. Fungsi inimenunjukkan bahwa keluargamerupakan kesatuan ekonomis.Aktivitas dalam fungsi ekonomisberkaitan dengan pencarian naf-kah, pembinaan usaha, dan peren-canaan anggaran biaya, baik pen-erimaan maupun pengeluaran bi-aya keluarga.41

Sedangkan dalam Islam kelu-arga mempunyai fungsi sebagaiberikut:

1.Memelihara kelangsunganhidup insani.

Artinya: Hai sekalian manusia,betaqwalah kepada Tuhan-mu yang te-lah menciptakan kamu dari diri yangsatu, dan dari padanya, Allah mencip-takan isterinya, dan dari pada keduan-ya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Danbertaqwalah kepada Allah yang dengan(mempergunakan) nama-Nya kamu sal-ing meminta satu sama lain, dan (peli-haralah) hubungan silaturrahmi. Se-sungguhnya Allah selalu menjaga danmengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’:1)42

 2. Memelihara keturunan. Tiapmuslim mesti tahu, siapa leluhurn-

40 Ibid, hlm 8-1341 Ibid, hlm 20-22

Page 68: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20106868

ya, jika tidak ada perkawinan yangdisyariatkan Allah, makamasyarakat akan penuh dengananak-anak yang tidak memiliki ke-hormatan dan keturunan.43

3. Memelihara masyarakat darikemerosotan moral. Sebagai manasabda Rasulullah SAW:

Artinya:     “Wahai para pemuda!Barang siapa di antaramu sudah mam-pu kawin, maka kawinlah karena kawinitu dapat menundukkan pandangandan menjaga kemaluan. Adapun yangbelum mampu kawin hendaklah diaberpuasa, karena puasa itu dapat me-nekan rangsangan nafsu.” (HR.Bukhari dan Muslim)44

 4. Melindungi masyarakat daripenyakit akibat prilaku seks bebas(free sex).

5. Ketentraman rohani dan ke-tentraman jiwa. Sebagai mana Al-lah SWT berfirman:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men-ciptakan untukmu isteri-isteri darijenismu sendiri, supaya kamu cen-derung dan merasa tentram kepadan-ya, dan dijadikan-Nya di antaramurasa kasih dan syang. Sesungguhnyapada yang demikian itu benar-benarterdapat tanda-tanda bagi kaum yangberfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)45

6. Menumbuhkan tanggungjawab bersama suami isteri dalammembangun keluarga dan mendid-ik anak. Masyarakat yang baik bisatewujud dengan mempesiapkanibu yang baik, karena ibulah yangakan lebih banyak berhungan den-gan anak dalam lingkungan kelu-arga dari pada ayah.

7. Menumbuhkan rasa keibuandan kebapaan bagi suami-isteriyang sangat diperlukan nanti un-tuk membina keturunannya.46

Dari uraian diatas, banyak ke-samaan atara masing-masing fung-si keluarga. Semua fungsi keluargayang disebutkan di atas dalampraktek kehidupan sehari-hari satusama lain saling melengkapi ber-taut-tautan dan tumpang tindih didalam pelaksanaannya.

Untuk melaksanakan fungsi

pendidikan dalam keluarga, makaorang tua harus belajar memahamiperkembangan anak, diantaranyamengetahui tahap-tahap perkemba-ngan psikologis anak serta dapatmengetahui kebutuhan anak sesuaidengan tugas-tugasnya.

 Peran Keluarga Sebagai Pendidik

Keluarga merupakan pusatpendidikan yang paling berpen-garuh dibandingkan dengan yanglain, karena dalam keluargalah di-

besar bagi kehidupan anak untuklangkah selanjutnya. Maka dari ituorang tua harus mempersiapkanlingkungan keluarga yang baik un-tuk kepentingan anak. Apa yang di-terima oleh anak di dalam keluarga,berupa kasih sayang, pemeliharaandan perhatian, apa yang anak rasa-kan di dalam keluarga berupa sopansantun dan tingkah laku (perlakuan)dari orang-orang yang berada di seki-tarnya dalam keluarga, hal tersebutmempunyai pengaruh yang sangatbesar terhadap kecenderungan danwatak pribadinya kelak di masa men-datang. Karenanya suatu keluargayang didalamnya penuh dengan lipu-tan kasih sayang dan suasana keisla-man, maka akan tumbuh dari dalam-nya individu-individu yang wajar.48

Para ahli sependapat akanpentingnya pendidikan dalam ke-luarga, apa-apa yang terjadi dalampendidikan keluarga, akan memba-wa pengaruh terhadap kehidupananak didik. Orang tua yang secarasadar mendidik anak-anaknyaakan selalu dituntun oleh tujuanpendidikan, yaitu kearah anakmenjadi mandiri, kearah suatu ke-pribadian yang utuh.49

Islam mengajarkan bahwa or-ang muslim di wajibkan untukmenjaga diri sendiri dan keluagadari siksa api neraka, sebagai manafirman Allah SWT:

Artinya:“Hai orang-orang yangberiman, peliharalah dirimu dan kelu-argamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim:6)50

 Tindakan dan sikap orang tuaseperti menerima anak, mencintaianak, mendorong dan membantuanak aktif dalam kehidupan bersa-

42 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 11443 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:

Pustaka Amani, 1995), hlm. 644 Shahih Muslim Hadits: 2485, Shahih Bukhari Hadits: 467745 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 64446 Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Op.Cit, hlm. 123. baca Abdullah Nasih Ulwan,

Op.Cit, hlm 5-1047 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nsional, 1973),

hlm 10948 Hamid Abdul Khalik Hamid, Bimbinglah Anakmu Mengenal AllahSWT, (tk: Hujaini, tt), hlm 20-2149 Hasbullah, Op.Cit, hlm. 2250 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm.951

Tugas utama dari

keluarga bagi

pendidikan anak ialah

sebagai peletak dasar

bagi pendidikan akhlak

dan pandangan hidup

keagamaan

tanamkan benih-benih pendidikanpada anak. Demikian pula waktuyang dihabiskan seorang anak dirumah lebih banyak dibandingkandengan waktu yang ia habiskan ditempat lain, dan kedua orang tuamerupakan figur yang paling ber-pengauh terhadap anak.

Tugas utama dari keluarga bagipendidikan anak ialah sebagai pele-tak dasar bagi pendidikan akhlakdan pandangan hidup keagamaan.Sifat dan tabiat anak sebagian besardiambil dari kedua orang tuanyadan dari anggota yang lain.47

Jadi pendidikan dalam keluargamempunyai pengaruh yang sangat

Page 69: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 6969

Daftar Pustaka

Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980

 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditia Media, 1992)

 H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Suatu Pendekatan Filosofis,

Pedagogis, Psikologis, dan Kultural, (Jakarta: Golden Trayon, 1994)

 Buseri Kamrani, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1990)

 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya; Al-Iklas, 1993)

 H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)

 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001)

 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsaft Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989)

  Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)

 Robert W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Terj. Agus Harjono, (Yogyakarta:

Kanisius, 1994)

 H.M. Arifin, Hubungan Tmbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga

sebagai pola pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan bintang, 1978)

 Elizabeth B Hurluck, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1997)

 Frank  goble, Madhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisiu, 1987)

 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

 Dikutip dari http://www.alsofwah.or.id/html/kajian_01_01.html tentang Pendidikan

Anak Dalam Islam¸ yang disusun oleh Yusuf Muhammad Al-Hasan

Perpustakaan Nasional, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Golden Terayon, 1994)

 Departemen Agama RI, Al-Qur’andan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989)

 Yusuf Muhammad al-Hasan, Penedidikan Anak Dalam Islam,  terj, Muhammad Yusuf

Harun, (Jakarta: Akafa Prees, 1997)

 Nurcholis Majid, Masyarakat Relegius, (Jakarta: Paramadina, 2000)

 Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999)

 Bukhari ra. Shahih Bukhari,  (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Ustmaniyahm 1932)

 Abi Zakariyya Yahya bin Syarif an-Nuri, Riyadussholihin, (Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, tt)

 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Drs. Jamaluddin Miri, LC,

(Jakarta: Pustaka Amani, 1995)

 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami A. Gani,

Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989)

 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999)

 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT Remaja

Rosdakaya, 1995)

 Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Dalam Masayarakat Modern, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 1993)

 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:

Pustaka Amani, 1995)

 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nsional, 1973)

 Hamid Abdul Khalik Hamid, Bimbinglah Anakmu Mengenal AllahSWT, (tk: Hujaini, tt)

 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980)

 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)

ma, agar anak memiliki nilai hidupjasmani, nilai estetis, nilai kebena-ran, nilai moral dan nilai relegius(keagamaan), serta bertindak sesuaidengan nilai-nilai tersebut, meru-pakan perwujudan dari peran or-ang tua sebagai pendidik.51

Dengan demikian sudah jelasbahwa orang yang pertama danutama bertanggung jawab terhadapkelangsungan hidup dan pendidi-kan anak adalah orang tua, karenasecara alami anak pada masa-masaawal kehidupannya berada diten-gah-tengah keluarganya. Oang tuadapat mengenalkan kepada anaksegala hal yang mereka ingin beri-tahu kepada anak atau yang anaksendiri ingin mengetahuinya. Anakbiasanya bertanya kepada orangtuanya, lalu orang tua memberikanjawaban terhadap pertanyaananak-anaknya.

Hubungan yang intim antaranggota keluarga yang satu denganyang lainnya, yang didasari kasihsayang serta perasaan tulus ikhlasitu, merupakan faktor utama bagipendidik dalam membimbing anak-anak yang belum dewasa dilingkungan keluarga.52 Orang tuadalam memberikan kasih sayangkepada anak hendaknya sesuaidengan ketentuan agama. Islammengingatkan agar kecintaan kepa-da Allah dan Rasul-Nya didahulu-kan, sebagaimana Allah berfirman:

“Katakanlah: “Jika bapa-bapa,anak-anak, saudara-saudara, isteri-is-teri, kaum keluargamu, harta kekayaanyang kamu usahakan, perniagaan yangkamu khawatiri kerugiannya, dan ru-mah-rumah tempat tinggal yang kamusukai, adalah lebih kamu cintai dari-pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)berjihad di jalan-Nya, maka tunggu-lah sampai Allah mendatangkan kepu-tusan-Nya.” Dan Allah tidak memberipetunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)53

 Pendidikan yang menjaditanggung jawab orang tua, menu-rut Zakiah Darajat dan kawan-kawan, sekurang-kurangnya se-bagai berikut:

1. Memelihara dan membesar-kan anak. Ini adalah bentuk seder-hana dari tanggung jawab orang tua.

2. Melindungi dan menjaminkeselamatan, baik jasmani maupunrohani, dari berbagai gangguanpenyakit dan berbagai penyelewen-gan tujuan hidup yang sesuai den-gan ajaran agama.

3. Memberi pelajaran dalamarti yang luas sehingga anak mem-peroleh peluang untuk memiliki

pengetahuan dan kecakapan se-luas dan setinggi mungkin.

4. Membahagiakan anak, baikdunia maupun akhirat, sesuai den-gan pandangan dan tujuan hidupmuslim.54

Dengan demikian dari uraiandi atas, maka jelas sudah bahwaperan keluarga dalam pendidikanamat menentukan sekali, terutamapendidikan anak pada masa-masaperkembangan awalnya. ge

51 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980),

hlm. 58-5952 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm, 18553 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 28054 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 38

Page 70: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107070

Suhaidi

HAIDI RB, HAIDI RB, HAIDI RB, HAIDI RB, HAIDI RB, lahir di desa Kaduara Timur Pragaan Sumenep, 27 Juni 1982.Pernah melakukan penelitian tentang gender. Saat ini, sedang berupayakeras menyelesaikan tesis di Program Pasca Sarjana IAIN Sunan AmpelSurabaya. Email : [email protected]

artikel lepasartikel lepas

PendahuluanSejak beberapa tahun terakhir ini,1 kajian

tentang perempuan terus meningkat tajam. Ber-bagai diskusi, seminar dan pelatihan tentanggender dilakukan oleh berbagai kalangan, ter-utama para aktifvis gender yang merasa pal-ing dirugikan akibat ketidakadilan gender yangtelah lama berlangsung. Berbagai kegiatan danadvokasi gender tersebut, menunjukkan tentangmeningkatnya kesadaran untuk mendudukkanperempuan pada posisi yang setara denganlaki-laki. Sebab, munculnya kesadaran mem-berikan kedudukan dan keterlibatan perem-puan dalam proses transformasi masyarakat2

merupakan usaha untuk membuka sejumlahkejanggalan tentang peran dan posisi perem-puan yang telah lama dihancurkan oleh hege-moni kelaki-lakian.3

Ungkapan filosofi Jawa dapat dijadikan se-bagai referensi tentang ketidakberdayaan perem-puan di mata laki-laki : suwarga nunut nereka kat-ut. Ungkapan ini merupakan satu lokus yangmenggambarkan manefestasi kebudayaan yangdisandang oleh perempuan sebagai entitas sos-ial yang peran dan fungsi sosialnya lebih bany-ak didefinisikan oleh laki-laki.4 Perempuan di-anggap sebagai elemen kelas dua yang tidak bisaduduk setara dengan laki-laki dalam berbagaidimensi kehidupan sosial, baik budaya, politik,ekonomi, agama dan yang lebih spesifik lagidalam pendidikan.5

DemaskulinisasiPendidikanPesantren :

Diskriminasi dalam sektor pendidikanpunterbentuk sangat kuat, bukan hanya dalamkonteks bagaimana perempuan tidak lagi diberikesempatan untuk menikmati pendidikan, teta-pi dalam proses dan sistem pendidikan yangpaling mendasarpun, seringkali ditemukanupaya-upaya diskriminasi terhadap perem-puan. Yang menarik, semua itu terjadi seakantanpa beban dosa, padahal perilaku tersebutmerupakan praktik keji diskriminasi yang ber-lawanan dengan nilai-nilai agama dan sosial.

Dalam tulisan ini, penulis akan menguraisecara kritis tentang pendidikan pesantrendan gender, sebab pendidikan pesantren meru-pakan bagian siginifikan dalam wilayah pen-didikan Indonesia, dimana proses pendidikanmasyarakat berlangsung. Artinya, dalam kon-teks pendidikan Indonesia, pesantren telahmenjadi salah satu penopang kemajuan danperkembangan peradaban bangsa ini, sehing-ga pesantren secara faktual menjadi salah satuicon pemberdayaan masyarakat.

Menggagas Pendidikan Pesantren BerbasisKesetaraan dan Keadilan Gender

1 Wacana gender mulai berkembang di Indonesia pada

era 80-an, mulai memasuki isu keagamaan pada 90-an. Bisa

dikatakan bahwa selama 10 tahun atau 5 tahun terakhir ini

perkembangan isu gender sangat pesat dan sangat produktif,

melebihi isu-isu yang lain. Lihat. Moh. Shofan, Jalan Ketiga

Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan

Liberalisme (Yogjakarta, IRCiSOD, 2006), hlm.2752 Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama : Sumbangan Riffat

Hassan” dalam Fauzi Rijal, dkk, editor Dinamika Gerakan

Perempuan di Indonesia (Yogjakarta, Tiara Wacana, 1993), hlm. 11

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107070

Page 71: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 7171

Namun demikian, proses pen-didikan yang berlangsung dalam pe-santren, tidak serta merta mengami-ni paradigma pendidikan yang me-nekankan pada nilai-nilai keset-araan, tetapi malah sebaliknya. Pan-dangan dan perlakuan sepihak ter-hadap perempuan–menurut hematpenulis–cenderung menjadi fenom-ena klasik yang tidak terbantahkan.Pendidikan kesetaraan yang mem-berikan ruang yang sama antaralaki-laki dengan perempuan, masihmenjadi sesuatu yang tabu terjadidalam proses dan sistem pendidi-kan pesantren, sehingga mengabur-kan visi kesetaraan gender dalampendidikan pesantren.

Pesantren, Perempuan (Santri-wati) dan Ideologi Patriarkhal

Posisi pesantren di tengah-tengah masyarakat Indonesia, telahmenjadi sesuatu yang tidak bisadipisahkan. Keberadaan lembagapendidikan Islam, tidak hanya me-miliki akar historis dengan kemer-dekaan bangsa ini, tetapi juga mere-fleksikan tentang sisi lain warisanbudaya Indonesia. Apalagi menu-rut Nurcholis Majid, secara his-toris, pesantren tidak hanyamengemban misi dan mengandungnuansa keislaman, tetapi juga men-jaga nuansa (indigenous) Indonesiakarena lembaga semacam pesant-ren ini telah berdiri sejak masa Hin-du-Budha, sedangkan pesantrentinggal meneruskan dan mengis-lamkan.6 Tidak heran apabila jum-lah pesantren – terutama di pulauJawa – berkembang sangat pesat.Fakta ini tentu saja menunjukkanbahwa masyarakat lebih akrabdengan lembaga pendidikan Islamyang bernama pesantren, diband-ingkan dengan lembaga pendidi-kan yang lain.

Pesantren dalam konteks ke-hidupan bangsa Indonesia, menja-di bagian yang tidak bisa dipisah-kan, sehingga pesantren diyakinisebagai lembaga pendidikan Islamdengan nuansa yang kental denganlokalitas keindonesiaan di satu sisi,

sementara nuansa keislaman men-jadi identitas tersendiri di sisi yanglain. Inilah ciri unik pesantren yangtidak dimiliki oleh lembaga pendid-ikan yang lain.7

Menurut Zamakhsyari Dhofir,pesantren pada dasarnya adalahsebuah asrama pendidikan Islamtradisional dimana para siswanyatinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (ataulebih) guru yang lebih dikenal den-gan sebutan “kiai”.8

Dalam lembaga ini, kiai memi-liki otoritas penuh bagi santri yangbelajar di dalamnya, sehingga atu-ran dan petuah yang diucapkanoleh kiai merupakan aturan yangharus dipatuhi. Seperti ditulis olehAhmad Qodri A. Azizy bahwa kiaimempunyai wewenang penuh un-tuk menentukan kebijaksanaandalam pesantren, baik mengenaitata tertibnya maupun mengenaisistem pendidikannya sekaligusmateri dan silabus pendidikan/pengajaran.9

Santri tidak hanya merefleksi-kan tentang sekelompok orang dankiai sebagai pemegang otoritas tung-gal di dalamnya, tetapi juga meng-gambarkan tentang komunitas

yang ditata oleh aturan ketat dannilai-nilai kepatuhan yang sangattinggi. Kondisi ini pada gilirannyamelahirkan asumsi (ada yangmenyebut) bahwa pesantren tidaklebih sebagai kerajaan, dimana kiai-kiai menjadi raja-raja kecil yangmemiliki kekuasaan mutlak didalamnya. Kharisma seorang kiaimerupakan ciri utama kepemimpi-nan dalam lingkungan pesantrenyang sangat mengental.10

Kiai sebagai raja-raja kecil terse-but, secara tidak langsung jugamelahirkan cara pandang yang he-gemonik; bahwa sebagai penguasaatasnama raja kecil secara otoma-tis kiai menjadi pemegang kekua-saan di atas yang lain, bukan han-ya atas santri putra, tetapi juga ataskaum perempuan yang berada dilingkungan pesantren. Perempuandiposisikan pada posisi mengikorterhadap laki-laki (kiai), sehinggasetiap aktifitas yang terjadi tidakbisa dilakukan, kecuali setelahmendapatkan restu dari kiai (sim-bol laki-laki). Artinya, kaum perem-puan di lingkungan pesantren be-rada dalam proteksi yang ketat, se-hingga tidak mudah mengekspresi-kan kebebasannya, seperti yang ter-

3 Akibat berbagai pemarjinalan yang terjadi atas perempuan tersebut, pada akhirnya juga

menjadi inspirasi para aktivis HAM untuk memunculkan tentang Hak Azazi Perempuan. Lihat

Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia (Yogjakarta, Pilar Media, 2005),

hlm. 74-754 Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam : Menyingkap Corak Pemikiran

dan Gerakan PMII (Jakarta, ISISINDO MEDIATAMA, 2000)hlm. 765 Diskriminasi terhadap perempuan seringkali berujung pada penganiayaan. Hal ini bisa

dilihat data-data yang ada. Dua LSM Indonesia mengaku mendapatkan laporan dan pengaduan

tentang kekerasan rumah tangga yang terus meningkat dalam setiap tahun. Salah satunya bahkan

menyatakan menerima 71,9 persen KDRT dari seluruh kasus yang ditanganinya. Menteri

negara Pemberdayaan Perempuan menyatakan 11,4 persen dari 217 penduduk /24 juta mengalami

KDRT. Di seluruh dunia sekitar 1500 perempuan dibunuh oleh suami atau pacarnya setiap

tahun. BBC 1989 melaporkan 100.000 perempuan dirawat karena kekerasan domestik setiap

tahun di Inggris. Lihat. Widyastuti Purbani “Membangun Pendidikan Berspektif Gender di Pesantren”

dalam www.rahima.or.id, 8 Agustus 20086 Lihat dalam Mahmud Arif, Pendidkan Islam Transformatif (Yogjakarta : LKiS, 2008), hlm.

165-1667 Mohammad Suhaidi RB, “Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam : Menuju Pesantren

Masa Depan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan EDUKASI, No. VII.2007, hlm. 708 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES,

1982), hlm. 449 Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta :

LKiS, 2000), hlm. 10210 Namun demikian, menurut Abd A’la, model kepemimpina kharismatik yang selama ini

dominan di lingkungan pesantren perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai

modernitas dan nilai-nilai Islam. Abd A’la, Pembaruan Pesantren (Yogjakarta : Pustaka Pesantren,

2006) hlm. 24

Page 72: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107272

jadi pada kaum laki-laki.Biasanya, dalam aturan pe-

santren, santriwati mendapatkanperlakuan jauh lebih ketat, diband-ingkan dengan santri (laki-laki),yang notabene – bisa dibilang -agak longgar. Tidak heran kalaupada gilirannya ada yang menye-but bahwa kondisi perempuandalam pesantren disebut dengankomunitas yang terpenjara dalamsangkar emas, dimana komunitasdi dalamnya tengah menjalani ke-hidupan yang tidak bebas, kecualihanya menikmati segala macamaturan yang ketat dan dibatasi olehtembok, layaknya tembok penjarayang mengungkung akses santri-wati ke keluar pesantren. Bertahun-tahun lamanya, mereka beradadalam lingkaran tembok pesantren,sehingga membatasi ruang gerakpergaulan sosial santri dengan ko-munitas di luarnya.

Kondisi yang demikian, diakuiatau tidak, pada akhirnya memben-tuk sikap eksklusif bagi santriwati,karena secara langsung ataupuntidak, hal itu berpengaruh terhadappsikologi mereka. Tertutup dan sela-

lu memandang orang lain sebagaiorang lain (the other), selain komuni-tasnya menjadi karakter khas santriperempuan. Mereka sulit beradapta-si dengan komunitas di luarnya,karena psikologi mereka telah terdid-ik menjadi pribadi yang hanya me-mungkinkan bergaul dengan orang-orang yang bernasib sama: sama-sama berada dalam pesantren.

Dalam keterkaitan itu, nasibkaum perempuan pesantren tidakhanya menggambarkan tentangsimbolisasi keterkungkungan pe-rempuan, tetapi juga menunjukkantentang adanya perlakuan yangkurang setara atas perempuan.Padahal, laki-laki dan perempuanpada hakikatnya adalah sama, danantara satu dengan yang lain tidakbisa diposisikan dengan posisiyang “lebih utama” atau lebih he-gemonik, sehingga menafikan pi-hak yang lain (perempuan).

Kondisi ini, pada akhirnya me-munculkan spekulasi baru tentangpesantren, baik sebagai lembaga pen-

didikan dan sebagai institusi agama,yaitu sebagai lembaga pendidikandan sebagai simbol institusi agamatentu saja pesantren sebagai mediadan alat pembebasan universal, seh-ingga apabila terjadi diskriminasi danhegemonisasi patriarkhis atas yanglain dalam lembaga tersebut, tentu sajahal itu merupakan sesuatu yang ber-lawanan dengan nilai dan prinsipideal pendidikan dan agama (Islam)itu sendiri. Karena Islam pada hak-ikatnya adalah agama dengan gera-kan kesetaraan dan keadilan, sepertiditegaskan Yvonne Yazbeck Haddadbahwa al-Qur’an merupakan sumbernilai yang pertama kali menggagaskonsep keadilan gender dalam se-jarah panjang umat manusia.11

Sebagai lembaga pendidikan,pesantren sejatinya harus mampumemerankan dirinya sebagai pem-bebas, salah satunya pembebas be-lenggu kemanusiaan dan pencerahagar tidak terjadi diskriminasi. Se-dangkan sebagai lembaga yang de-kat dengan nilai agama, maka pe-

11 Ahmad Baidlowi, Tafsir Feminis : Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufasir

Kontemporer (Bandung : Nuansa, 2005) hlm. 53

Page 73: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 7373

santren harus bisa menampilkanvisi dan spirit kesetaraan yang diba-wa oleh agama secara genuine.Akan tetapi, pesantren – menuruthemat penulis - ternyata belumsepenuhnya mampu memerankandua fungsi ideal tersebut, terutamadalam memandang dan memper-lakukan perempuan.

Namun demikian, akar problemkrusial perempuan pesantren, se-cara esensial tidak bisa dilepaskandari akar doktrinal yang diyakinikebenarannya tanpa reserve. Artin-ya, agama dengan penafsiran yangandrosentris notabene dijadikan se-bagai kekuatan inti dalam pesant-ren, sehingga aturan dan cara pan-dang sepihak terhadap perempuaninclude dalam kehidupan pesantren.

Hal itu telah menjadi salah satuproblem dalam pemberdayaankaum perempuan, seperti ditulisAbdurrahman Mas’ud, bahwafenomena tersebut mengisyaratkansecara jelas tentang masalah pem-berdayaan muslimah, masih mene-mukan kendala doktrinal.12 Menu-rutnya, bukan message Islam sebagaiagama yang menjadi kendala, teta-pi pemahaman dan penyampaianpesan keagamaan yang terlembagadalam masyarakat muslim, atau re-ligiosity, yang masih berada dalamdunia gelap.13 Dengan kata lain,dominasi dan manipulasi pemaha-man keagamaan masih saja selalumerugikan kaum perempuan. Pada-hal, jika dibandingkan dengan aga-ma lain, Islam lebih egaliter dalammemandang gender.14

Pendidikan (“Misoginis”) Pe-santren : Sebuah Kritik

Salah satu kritik kaum feministerhadap masalah ketimpangangender adalah di sektor pendidi-kan. Dalam pandangan merekabahwa bentuk marjinalisasi dandiskriminasi atas kaum perempuanyang sangat memprihatinkan terja-di dalam masalah pendidikan, bu-kan hanya pada domain bahwakaum perempuan tidak diberikanruang berpartisipasi dalam pendid-

ikan, tetapi juga proses dan sistempendidikan disinyalir belum berpi-hak terhadap nilai-nilai kesetaraan,antara laki-laki dan perempuan.Pendidikan masih merefleksikantentang dominasi dan hegemonikaum maskulin, sehingga pola danparadigma pendidikan lebih me-wakili semangat kaum laki-laki.

Dari jumlah penduduk buta ak-sara berusia di atas 15 tahun ke atasternyata masih mencapai 9,76 jutaorang (5,92 persen). Di antara jum-lah yang masih cukup besar terse-but, kaum perempuan masih men-dominasi dibandingkan kaum laki-laki. Terdapat 6,3 juta (7,5 persen)orang perempuan dewasa 15 tahunke atas, dibandingkan dengan laki-laki buta aksara dengan usia yangsama sekitar 3,5 juta (4,2 persen).15

Jumlah tersebut dengan jelasmemberikan gambaran sederhanatentang potret ketertinggalan kaumperempuan dibandingkan kaumlaki-laki. Buta aksara yang didomi-nasi kaum perempuan sebagaima-na data di atas, merupakan gamba-ran utuh tentang marjinalisasi dandiskriminasi terhadap kaum perem-puan yang menjadi icon tersendiridalam sejarah hidup ketertinggalankaum perempuan. Padahal, butaaksara menurut Ella Yulaelawati,Direktur Pendidikan Nasional (Dep-diknas), merupakan pemicuketidakberdayaan para perempuan,karena buta aksara berimplikasipada buta lainnya, baik buta infor-masi, buta pengetahuan, buta hu-kum, buta karya, dan buta kuasa.16

Oleh karena itu, pendidikan pe-rempuan secara nasional masihmenjadi masalah yang belum tuntas.Perempuan masih tetap menjadi se-suatu yang terbawah di bandingkanlaki-laki dalam semua hal, baik pen-didikan, budaya, agama, politik,

ekonomi dan lain sebagainya, seh-ingga masih membutuhkan kerjakeras dan kesadaran bersama untukmenuntaskannya ; bahwa sudahwaktunya perempuan bangkit dandiberikan peran yang sama, sehing-ga akan terjadi dinamika yang dina-mis dalam kehidupan sosial.

Selain itu, dalam pendidikanpesantren, posisi perempuan tidakjauh beda. Paradigma menomord-uakan kaum perempuan tampakn-ya masih menjadi bagian yangtidak terbatahkan. Dalam pendidi-kan pesantren, laki-laki tetap men-jadi primadona sehingga dalamsetiap proses pendidikan, baik pem-belajaran, kepemimpinan dan kebi-jakan pendidikan pesantren, laki-lakilah yang memegang peran-per-an strategis. Bahkan, dalam pen-didikan pesantren antara laki-lakidengan perempuan dipisahkandengan jarak yang demarkatif, seh-ingga mengesankan bahwa antaralaki-laki dengan perempuan me-mang berbeda dan bahwa laki-lakisepertinya memang lebih berhakmengambil peran-peran dominandibandingkan kaum perempuan (?).

Kondisi tersebut juga pernahdiutarakan oleh KH. Husein Mu-hammad, salah seorang kiai yanggetol menyuarakan tentang keset-araan gender. Menurutnya, sebagaisebuah entitas pendidikan Islamtertua, hingga kini pondok pesant-ren masih bersifat bias gender dandiskriminatif, baik dalam konsepmaupun praktek, pendidikan yangdijalankan masih menganut sistempatrilinial.17

Proses pendidikan misoginistersebut, bisa dikatagorisasikanmenjadi beberapa masalah. Pertama,masalah proses belajar mengajar.Dalam pendidikan pesantren, pros-es belajar mengajar biasanya dilaku-

12 H. Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang : Aneka Ilmu,

2004), hlm. 3813 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 3814 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 3815 Jawa Pos, 19 Januari 200916 Jawa Pos, 19 Januari 200917 Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2005

Page 74: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107474

kan dengan menekankan pada per-an dan partisipasi kaum laki-lakiyang dominan. Kaum laki-laki di-jadikan sebagai sosok pengajar yanglebih utama, sehingga pengajar dariunsur perempuan porsinya lebihkecil. Demikian pula di pesantren,terjadi pemisahan lokasi antarasekolah untuk putera dengan putri,walaupun hal itu dilakukan denganalasan yang tidak begitu jelas, teta-pi yang jelas tujuannya hanya satu :agar tidak berkumpul antara santriputra dengan santri putri.Sebuahalasan yang tentu saja agak dipak-sakan dan tidak memiliki akar teol-ogis yang meyakinkan, karena mem-beda-bedakan antara laki-laki den-gan perempuan pada dasarnyahanya mempertegas kuatnya hege-moni dan dominasi laki-laki atas pe-rempuan. Bahkan tidak jarang, ter-dapat pesantren yang memberikankesempatan kepada laki-laki untukmengajar santri putri, sementarajarang (untuk mengakatakn tidakada sama sekali), kaum perempuanyang bisa mengajar santri putra.

Kondisi semacam itu, tentu sajamenggambarkan bahwa proses be-lajar mengajar yang dilakukan,masih sangat kental dengan para-digma patriakhal dimana laki-lakimenjadi simbol utama yang sangathegemonik, sementara kaum perem-puan berada pada posisi yang san-gat terbatas, sehingga peran-peranpembelajarannya tidak seleluasakaum laki-laki, yang notabene bisamengajar dalam lintas jenis kelamin.

Kedua, masalah kepemimpinan.Seperti yang telah penulis gambar-kan di awal tulisan ini, bahwakepemimpinan pesantren padadasarnya tidak bisa dilepaskan daricara pandang kelaki-lakian yangsangat kental. Kepemimpinan pe-santren identik dengan kepemimpi-nan maskulin, sehingga strukturkepemimpinannyapun sarat den-gan laki-laki. Lembaga pendidikanformal yang berada di bawah naun-gan pesantren, jarang sekali (untukmengatakan tidak ada sama seka-li) yang dikendalikan oleh seorang

perempuan.Laki-laki tetap menjadi

pemimpin utama, bahkan dalam jen-jang struktur kelembagaannyapun,perempuan tidak mendapatkan ja-tah posisi yang strategis, paling cela-ka, kaum perempuan hanya menda-patkan jabatan sebagai TU (Tata Us-aha) sekolah. Posisi yang menggam-barkan tentang nasib perempuan se-bagai pekerja dan pelayan, bagi ja-batan di atasnya, sehingga peluangpartisipasi bagi perempuan untukmenjadi pemimpin dalam lingkuppendidikan pesantren, nyaris tidakpernah diberikan. Akibatnya, seluruhkebijakan yang dilahirkan – bagaim-anapun – tidak bisa dilepaskan darinilai-nilai yang bias gender, karenatidak adanya keseimbangan genderdalam struktur kepemimpinan dilembaga pendidikan pesantren.

Itulah kepemimpinan an-drosentris yang memandang bahwaperempuan sebagai elemen kelasdua dan dianggap tidak layak bera-da dalam struktur kepemimpinan,sehingga menjadi pemimpin “sela-lu” dianggap sebagai sesuatu yangtabu diberikan kepada perempuan.Jadi, dalam kepemimpinan pendid-ikan pesantren, posisi perempuantelah memberikan jawaban yangutuh tentang proses maskulinisasidi tubuh lembaga pendidikan pe-santren yang sangat kuat.

Ketiga, masalah kurikulum. Mod-el kurikulum dalam pendidikanpesantren, biasanya terdiri darikurikulum formal dan kurikulumnon formal, karena sistem pendidi-kan yang dianut di dalamnya, ter-diri dari sekolah formal dan nonformal (diniyah). Dalam kurikulumformal, pesantren memang masihmemakai kurikulum yang ditentu-kan sebagaimana berlaku dalampendidikan nasional, tetapi di pe-santren juga memiliki kurikulumlokal yang disesuaikan dengan ke-butuhan pesantren. Jadi dalamsekolah formal pun, pesantrenmenganut dua model kurikulum.Kemudian, selain sekolah formal,pesantren juga memiliki sekolah

non formal, yaitu diniyah dimanakurikulum di dalamnya disusunoleh pesantren sendiri.

Dalam penyusunan kurikulumini, pada dasarnya nuansa biasgender sangat terasa, apalagi pe-nentu kebijakan pendidikan di-dominasi oleh laki-laki, sehinggapenentuan kurikulumpun tidakbisa dilepaskan dari nilai-nilaiyang bias gender. Kurikulum secaraotomatis disusun berdasarkan carapandang dan kedekatan emosion-al si penyusun. Akhirnya, kuriku-lum – disadari ataupun tidak - dis-usun dengan mengedepankan ke-pentingan kaum laki-laki, tanpamempertimbangkan kebutuhankaum perempuan.

Materi-materi yang dipelajarilebih didominasi oleh buku-bukuyang tidak memperdulikan keset-araan perempuan, bahkan dipilihkitab-kitab yang kurang simpatiterhadap kaum perempuan. Bah-kan, kitab-kitab yang menjadi ruju-kan sama sekali tidak ada yang di-ambil dari kitab-kitab yang disus-un oleh kaum perempuan, baik dibidang fiqh, tauhid, akhlak, danlain sebagainya, sehingga kuriku-lum yang dijadikan sebagai pijakanpembelajaran sangat androsentisdan dekat dengan paradigma mi-soginis dimana semangat keset-araan dan keadilan atas kaum pe-rempuan tidak pernah ditemukan.

Pendidikan Pesantren BerbasisKeteraan Gender

Pesantren sebagai salah satulembaga pendidikan Islam memili-ki latar belakang yang khas keisla-man dan keindonesiaan. MenurutMartin Van Bruinessen, sepertidikutip Mahmud Arif, alasan insti-tusi pesantren didirikan adalahuntuk mentransmisikan produkpemikiran skolastik Islam tradis-ional kepada masyarakat nusant-ara.18 Asumsi tersebut bisa dibenar-kan, tetapi untuk saat ini, ke-beradaan pesantren tidak hanyasekedar itu, melainkan memilikitugas dan peran-peran yang uni-

Page 75: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 7575

versal, selain peran pendidikan,juga memiliki peran transformasisosial dimana nilai-nilai Islammenjadi pijakannya yang esensial.

Dalam konteks ini, pesantrenpada dasarnya merupakan lemba-ga yang secara kongkrit menjadiinstitusi transformasi nilai-nilaikeislaman guna mencapai kehidu-pan masyarakat yang maslahah. Pe-santren adalah simbol pendidikanyang membebaskan, sesuai denganvisi dan misi kedatangan Islamuntuk membebaskan manusia,yaitu untuk membebaskanmasyarakat dari buta huruf, butahati dan akal, serta buta akan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikapdiskriminatif terhadap sesamamanusia (baca : kaum perempuan).Artinya, secara substansial pesant-ren (sebagai simbol pendidikan Is-lam) memiliki visi yang jelas untukmelakukan pembebasan, sehinggasistem dan segala perangkat yangada di dalamnya sejatinya harusmencerminkan sebagai pembebas.

Pesantren sudah harus meny-adari akan posisinya sebagai insti-tusi Islam yang menekankan padasemangat kesetaraan dan keadilanantar sesama, baik pada laki-lakimaupun perempuan. Pesantrenharus dapat membuktikan bahwasistem dan segala proses di dalam-nya benar-benar menguntungkanbagi semua pihak antara laki-lakidan perempuan.

Perlakuan dan cara pandangterhadap laki-laki dan perempuanharus diletakkan dalam kaca matayang sama dan setara, sehinggasegala proses yang terjadi di dalam-nya mampu menciptakan keadilandan kesetaraan gender. Karenakeadilan dan kesetaraan genderpada dasarnya menghendaki agarlaki-laki maupun perempuan me-miliki akses (kesempatan) dan par-tisipasi (peran serta) yang dalampembangunan, memiliki kontrol(tanggungjawab) atau wewenangyang seimbang atas sumber dayapembangunan, dan dapat meman-faatkan hasil pembangunan den-

gan setara.19

Dalam konteks ini, yang bisadilakukan oleh pesantren dalammemperbaiki citra dan orientasipendidikan yang dilakukan agarsesuai dengan cita-cita kesetaraandan keadilan, maka pesantren da-pat melakukan beberapa hal, ant-ara lain. Pertama, melakukan revo-lusi paradigmatik di dalam tubuhpesantren dalam memandang po-sisi perempuan dan laki-laki. Pe-

Paradigma keagamaan pesant-ren tampaknya terkesan mempo-sisikan laki-laki dan perempuansebagai makhluk atas-bawah.20

Nalar keberagamaan pesantren,tidak lagi dikungkung oleh nalarpatriarkhis yang merugikan kaumperempuan, sehingga tafsir keag-amaan yang dikembangkan pesant-ren akan mengacu pada semangatkesetaraan dan keadilan sebagaim-ana menjadi prinsip dasar agama.21

Tugas pesantren adalah men-jadi pusat pendidikan masyarakatyang secara universal memandangseluruh elemen manusia sebagaimakhluk yang sama dan setara,apalagi dalam perspektif agamabahwa di sisi agama, yang membe-dakan antara manusia yang satudengan manusia lain adalah padaaspek ketakwaan dan keimanan,bukan perbedaan tingkat sosial danjenis kelamin.

Kedua, membuka ruang partisi-pasi yang setara, baik laki-laki mau-pun perempuan dalam pendidikanpesatren, baik dalam domainkepemimpinan, pembelajaran, mau-pun manajemen pendidikan pesant-ren, sehingga dalam proses-prosestersebut dapat memenuhi peran danpartisipasi semua elemen, baik laki-laki maupun perempuan.

Ketiga, menyusun kurikulumdan pembelajaran berbasis keset-araan, yang mampu mengakomodirkebutuhan dan semangat universal.Artinya, kurikulum dan pembelaja-ran sejatinya dapat diwujudkan den-gan memenuhi standar kesetaraan.

18 Mahmud Arif, Pendidikan Transformatif, hlm. 23-2419 Yuliati Hotifah “Gender dan Pendidikan”, dalam Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender

Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang : UIN Malang Press, 2008), hlm. 18420 Hal ini berimbas pada spritualisme pesantren yang mengarah pada kukuhnya hegemoni

laki-laki atas perempuan. Inilah yang disebut dengan spritualitas maskulinisme. Menurut Abraham

Silo Wilar bahwa spritualitas maskulinisme ialah suatu spritualitas yang menghayati Allah

secara androsentrik, sehingga pengahayatn relijius yang sesungguhnya bersifat Allah sentris

khas Islam bergeser menjadi Allah-Androsentris karena ’arsip-arsip’ keagamaan yang menjadi

media menghayati persoalan spritualitas berasal dari kaum pria. Lihat. Abraham Silo Wilar,

Perempuan Tidak Wajib Shalat Jumat. Mengapa? Menggugat Tabu tidak diwajibkannya Shalat Jum’at

bagi Perempuan (Yogjakarta : Pustaka Rihlah, 2007) hlm. xxv21 Penafsiran atas agama yang bias gender memang menjadi fenomena tersendiri dalam

pemikiran keagamaan Islam. Itulah yang saat ini mendapatkan banyak kritikan dari pemikir

muslim feminis konteporer. Salah satu buku yang mencoba mengupas tentang masalah ini

adalah buku bunga rampai berjudul Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Lihat. Sri Suhandjati

Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Yogjakarta : Gema Media, 2002)

Pesantren harus dapat

membuktikan bahwa

sistem dan segala

proses di dalamnya

benar-benar

menguntungkan bagi

semua pihak antara

laki-laki dan

perempuan.

rubahan paradigma, dari paradig-ma misoginis ke paradigma al-musawah (kesetaraan) dengan meli-hat bahwa perempuan dan laki-laki adalah manusia yang setaradan keduanya diciptakan untuksaling melengkapi, bukan untuksaling menghegemoni, terutamaperubahan paradigma penafsiranagama atas perempuan yang sela-ma ini dipandang bahwa agamalebih memihak laki-laki.

Page 76: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107676

Daftar Pustaka

Abd A’la, Pembaruan Pesantren. Yogjakarta : Pustaka Pesantren, 2006

Abraham Silo Wilar, Perempuan Tidak Wajib Shalat Jumat. Mengapa? Menggugat Tabu tidak

diwajibkannya Shalat Jum’at bagi Perempuan. Yogjakarta : Pustaka Rihlah, 2007

Ahmad Baidlowi, Tafsir Feminis : Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer.

Bandung : Nuansa, 2005

Ali Hosein Hakeem, et, al, Membela Perempuan. Jakarta : al-Huda, 2005

Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar. Yogjakarta :

LKiS, 2000

Mahmud Arif, Pendidkan Islam Transformatif. Yogjakarta : LKiS, 2008

Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang : UIN

Malang Press, 2008

Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogjakarta : Gema Media,

2002

Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama : Sumbangan Riffat Hassan” dalam Fauzi Rijal, dkk,

editor Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993

Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme.

Yogjakarta : IRCiSOD, 2006

Mohammad Suhaidi RB, “Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam : Menuju Pesantren

Masa Depan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan EDUKASI, No. VII.2007

Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam : Menyingkap Corak Pemikiran

dan Gerakan PMII. Jakarta : ISISINDO MEDIATAMA, 2000

Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogjakarta : Pilar Media,

2005

Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan.Semarang : Aneka Ilmu, 2004

Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta : LP3ES,

1982

Jawa Pos, 19 Januari 2009, Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2005, www.rahima.or.id, 8 Agustus

2008

Kurikulum misalnya, dapat disusundengan tidak lagi terjebak pada se-suatu yang bias gender, tetapi diwu-judkan dalam kurikulum yang men-junjung kesetaraan. Materi-materipembelajaran tidak hanya diambildari karya-karya yang bias gender,tetapi juga kurikulum yang sesuaidengan kebutuhan kaum perem-puan. Demikian juga, pesantrenharus menyeleksi materi-materi yangnotabene menyudutkan keberadaankaum perempuan, baik secara tersir-at maupun tersurat, karena hal ituyang selama ini menjadi akar pem-benaran terhadap hak dominankalum laki-laki di pesantren.

Refleksi : Catatan PenutupLangkah-langkah tersebut

merupakan sesuatu yang mende-sak dipikirkan oleh pesantren, kare-na berfikir bias bagi pesantrenmerupakan cara pandang lamayang seharusnya tidak bisa dibiar-kan sampai saat ini. Untuk terusmembangun gerakan kesetaraanini, maka pesantren harus melaku-kan perombakan total atas paradig-ma bias gender yang selama ini di-anut, sehingga dengan cara itu, pe-santren akan dilihat sebagai lem-baga pendidikan Islam yang mam-pu memposisikan kesetaraan se-bagai ajaran dan proses luhur didalamnya. Bahkan bukan hanyaitu, pesantren sudah waktunya ikutserta dalam upaya memperjuang-kan kesetaraan ini dalam wilayahyang lebih luas, misalnya masalahkesetaraan secara umum, yang ter-jadi di luar pesantren.

Disinilah affimatif action –meminjam istilah AbdurrahmanMas’ud – merupakan sesuatu yangharus menjadi lahan garapan pe-santren ke depan. Affirmatif actionadalah konsep diskriminasi terba-lik, dalam arti kelompok minoritasharus didukung, yang selama inikelompok ini selalu terpinggirkanoleh kelompok mayoritas, baik dariaspek sosial, ekonomi dan politik22,serta yang paling penting adalahdalam aspek pendidikan.

Pesantren setidaknya dapatmembuktikan bahwa proses pen-didikan memang didasarkan padasatu misi utama, yaitu misi pembe-basan dan mampu memandangpeserta didik sebagai manusiayang sama dan tidak berbeda ant-ara satu dengan yang lain, sehing-ga harus diposisikan dengan posi-si yang setara, sehingga pesantrenmampu mencapai target luhurnyasebagai lembaga pendidikan.

Sebab, keberhasilan pendidikanpesantren sebagai lembaga alterna-tif terletak, antara lain pada kemam-puanyannya menyumbangkan pem-bangunan (mental) spritual melaluipemberian ruang yang cukup untukemotionalization of religious feelingyang diekspresikan secara intelektu-al, selain itu juga berpijak pada ketu-lusan pesantren untuk tetap menyatudengan masyarakat sekaligus se-bagai agen transformasi yang dapatmencerahkan mereka.23 Artinya, ke

depan pesantren dapat menjadi lem-baga pendidikan yang mampumengembangkan nilai-nilai keset-araan dalam setiap proses pendidi-kan yang dilakukan di dalamnya,terutama dalam memandang danmemperlakukan perempuan, bahkanharus menjadi pembela bagi pendid-ikan perempuan yang telah lama ter-tindas, sehingga pendidikan perem-puan dapat berjalan normal. Sebab,perempuan memiliki tanggung-jawab besar dalam mendidik anak-anak mereka kelak, apabila perem-puan tidak memiliki pendidikan yangnormal, maka menghasilkan anak-anak yang kurang berpendidikan.24

Semoga tulisan ini bisa menjadi per-timbangan untuk terus mendiskusi-kan tentang pesantren yang rahma-tan lil alamin, tidak hanya bersifatkeuar, tetapi nilai-nilai rahmatan itujuga dapat digerakkan dalam kese-luruhan bagian dalam pesantren se-cara total. Wallahu a’lam. ge

22 Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 4323 Abd A’la, Pembaruan Pesantren, hlm. 2624 Saedah Siraj, “Hukum Syariat dan Pendidikan Perempuan”, dalam Ali Hosein Hakeem, et, al,

Membela Perempuan (Jakarta : al-Huda, 2005)hlm. 141

Page 77: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 7777

A. Khotib

Ahmad Khotib,Ahmad Khotib,Ahmad Khotib,Ahmad Khotib,Ahmad Khotib, kini ngabdi di PP. Annuqayah. Ketua LPM-STIK Annuqayah(2007-2008). Tulisan pernah dipublikasikan di buletin Gerak, jurnalEdukasi, jurnal ’Anil Islam, Jawa Pos, Kompas Jatim. Kontributor buku“Rahasia Politik Kiai Ramdlan” (2008, eLSI Sumenep), buku “Sarung danDemokrasi: Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan” (2008, Khalista-PW LTN NU).

artikel lepasartikel lepas

Tak dapat lagi dielakkan, peran pesantrentelah nyata sejak pra kemerdekaan hingga saatini. Baik peran dalam penyelenggaraan pendid-ikan maupun peran yang tercermin dalam diriseorang kiai, minimal terhadap masyarakat disekitarnya. Pesantren merupakan bagian daripendidikan nasional yang telah ada sebelumkemerdekaan dan bahkan disinyalir sebagailembaga pendidikan yang memiliki kekhasan,keaslian (indegeneous) Indonesia.1

Pesantren berakar pada kepercayaanmasyarakat. Penyelenggaraan pendidikannyapun bergantung pada animo masyarakat. Kebu-tuhan atau bahkan ketergantungan masyarakatpada pesantren amatlah besar, hingga padapandangan bahwa pesantren adalah milik mere-ka sendiri, sehingga eksistensi pesantren tetapterjaga dengan baik-sempurna.

Munculnya Pendidikan Islam bersamaandengan “terbentuknya” masyarakat muslim diNusantara pada abad ke-13. Karena itu, umurpesantren setua umur agama Islam di Indone-sia itu sendiri. Dari panjangnya perjalanan pe-santren, menempatkan pesantren sebagai “in-stitusi” yang telah melakukan banyak hal dalampengembangan sumber daya manusia, ekonomidan teknologi, serta budaya; baik pengemban-gan bagi kualitas pesantren itu sendiri atau bagipeningkatan kualitas masyarakat sekitar. Se-bagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesant-ren tak dapat diragukan lagi peranannya bagi

PendidikanTahan Banting

perkembangan Islam di Nusantara.2

Bersimpati Pada Sumbangan PesantrenPeran pesantren di masa lalu dapat dilihat

dalam upaya mengusir penjajah. Pesantren te-lah menggerakkan, memimpin, dan melakukanupaya kongkrit dalam upaya pencapaian kemer-dekaan Indonesia. Muhammad Mansur Sury-anegara, pakar sejarah dari Universitas Padjad-jaran, Bandung, menyatakan bahwa sulit men-emukan gerakan melawan penjajah di Indone-sia yang tidak digerakkan dan dipimpin olehorang pesantren.3 Tingginya semangat juangorang-orang pesantren berakar dari pemaha-man mereka atas syariat Islam yang menolakadanya perbudakan, penjajahan, diskriminasi,dan penindasan dalam bentuk apapun.4

1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang

Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 22.2 Periksa Thoha Habil, Kapita Selekta Pendidikan Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 41. Bandingkan dengan

H.J. De Graaf, Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18, dalam

Azyumardi Azra (penj.), Perspektif Islam di Asia Tenggara,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hal. 33-34.3 Dikutip dalam Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam

Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. VI, Januari

2005), hal. 192.4 Bukti sejarah yang paling menonjol dalam hal ini

terdapat pada: pertama, penolakan atas kewajiban pendewaan

terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara

membungkukkan badan kearah timur pada waktu-waktu

tertentu. Oleh KH. Hasyim Asy’ari (orang pesantren),

’kewajiban’ ini dinilai sebagai perbuatan syirik, dan wajib

Page 78: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20107878

Peran pesantren di masa kinijuga amat terasa. Misalnya, tetapteguhnya pesantren dalam penye-lenggaraan pendidikan Islam. Per-an lain adalah betapa sulitnya pe-merintah dalam menyosialisasikanbeberapa program pembangunan-nya kepada masyarakat. Denganmendekati pesantren/kiai pesant-ren, sosialisasi program pemban-gunan itu lebih mudah diterimamasyarakat. Hampir semua mak-lum, jalinan komunikasi pemerin-tah dengan rakyat berjalan dalamketidakstabilan, kesalingcurigaan.Pesantren mampu menjembatanikebuntuan ini.

Selain itu, pesantren telah mela-hirkan banyak sekali pemimpinbangsa; di masa lalu, kini, dan ke-mungkinan besar juga di masa da-tang.5 Kualitas mereka juga dapatdipertanggungjawabkan; baik kual-itas keilmuannya, lebih-lebih kual-itas moral mereka. Dengan memper-hatikan fenomena sosial kebang-saan kita hari ini, integritas moral,tampaknya, menempati urutan per-tama yang mesti ada dari pada“sekadar” kecakapan ilmu dan ket-erampilan. Dalam hal ini, pesant-ren memiliki jasa yang amat besarbagi perjalanan bangsa kita.

Di masa mendatang, menurut

hemat penulis, peran pesantrenakan tetap besar dan patut diperhi-tungkan. Pesantren memiliki se-suatu yang tidak dimiliki oleh “kel-ompok lain”, dan sesuatu itu dibu-tuhkan oleh berbagai pihak hinggabatas waktu tak terbatas. Ketergan-tungan kepada pesantren akantetap besar. Tetapi dalam hal ini,pesantren tidak mabuk kepayangdengan “meminta” apa saja kepa-da yang membutuhkannya gunamembuat “dapur pesantren” terusmengepul. Pesantren tetap bersa-haja dan mandiri.

Namun demikian, pesantrenmasih belum mendapat perlakukansimpatik. Orang-orang pesantrendiidentifikasi sebagai kaum terbela-kang, anti-modernitas. Ciri-ciri fisikberupa peci, sarung, tasbih, sandalteklek (terompah), juga kitab kuningtelah menimbulkan kesan –mem-injam istilah M. Faizi– inferioritasyang dilekatkan kepada mereka.6

Tak salah bila banyak kalangan

“menempelkan” istilah klenik, dankuno/klasik kepada santri. Pesant-ren pun dikaitkan dengan hal-halyang berbau takhayul, mistis, sertajauh dari perkembangan zaman.Identifikasi yang inferior ini lebihbanyak dialami oleh PesantrenSalaf.7

Padahal, pesantren salaf memi-liki keunikan sekaligus keistime-waan tersendiri dalam ikut sertamengambil peran dari modernitas.Namun, keunikan dan keistime-waan itu telah diinklusi. Pada titikini, upaya mempresentasikan pe-santren salaf sebagai “institusi”yang telah ikut mengambil perandari modernitas, amat urgen di-lakukan. Pilihan meng-inklusipada pesantren salaf akan menem-patkan kita bersikap apriori atassegala perkembangan yang telahdicapai oleh pesantren sendiri.

Kini, sudah saatnya kita mem-posisikan setara antara pesantrensalaf dengan pesantren modern danatau dengan lembaga pendidikannon-pesantren. “Penyetaraan” itubermakna bahwa setiap lembagapendidikan itu memiliki kekuran-gan dan kelebihan adalah pasti, teta-pi menghilangkan kelebihan lemba-ga pendidikan lain dengan alasankarena ia berlokasi di desa, memili-ki santri yang tidak banyak, danmengajarkan kitab-kitab klasik/tu-rats adalah sikap yang kurang bijak.Kita perlu melihat seluruh lembagapendidikan dalam kerangka objek-tif, memperhatikan sumbanganmereka pada upaya pencerdasankehidupan bangsa.

Pesantren: Sebuah TinjauanEpistemologis

Secara etimologis, pesantrenberasal dari kata “santri”, dengan

ditentang. Kedua, keluarnya “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini mewajibkan

(wajib ’ain, wajib pada setiap Muslim) untuk melakukan Jihad. Jihad merupakan salah satu sendi

dalam Islam yang amat besar sekali pahalanya. Lebih jauh periksa Slamet Effendy Yusuf, dkk.,

Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak Dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983),

hal. 36-38.5 Op. Cit., hal. 191.6 M. Faizi, Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal, Majalah Basis, Juli-Agustus 2007.7 Berbeda dengan Pesantren Modern; yang dengan ke-modern-annya selalu ditempatkan

pada posisi lebih tinggi dari Pesantren Salaf.

Page 79: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 7979

awalan pe dan akhiran an yang be-rarti tempat tinggal para santri.8

Bagi Nurcholish Madjid, pesantrendapat dilihat dari dua pendapat:pertama, kata “santri” berasal darikata “sastri”, kata dengan maknamelek huruf ini merupakan bahasasansakerta. Pendapat ini, kata Nur-cholish, didasarkan pada pandan-gan orang Jawa tentang kelompokorang yang berusaha mendalamiagama melalui kitab-kitab bertulis-kan bahasa Arab. Pendapat kedua,kata “santri” berasal dari bahasaJawa, yakni kata “cantrik”. Cantrikmemiliki makna seseorang yangselalu mengikuti guru ke mana punguru pergi dan menetap.9

Sementara Clifford Geertz men-yatakan bahwa kata “santri” mem-punyai arti sempit dan luas. Dalamarti sempit, santri adalah muridsekolah agama yang lazim disebutpondok atau pesantren. Karenan-ya, sebutan “pesantren” diambildari kata “santri” ini yang bermak-na tempat tinggal bagi mereka(santri). Dalam arti luas, santri ad-alah bagian dari penduduk Jawayang memeluk agama Islam secaratekun ; pergi ke masjid, bersembahy-ang, dan ibadah lain.10

Sedang secara terminologis,dari bentuk dan sisinya, pesantrenmengadopsi model atau sistempendidikan dan pengajaran agamaHindu di Jawa, lembaga-lembagapengajaran pra-Muslim. Atau, jikaditarik lebih jauh, pesantren memi-liki akar sejarah (mempunyai kesa-maan) dengan ashram-ashram (asra-ma) India.11

Untuk bisa disebut pesantren,lembaga pendidikan sekurang-kurangnya harus memiliki lima el-emen : ada pondok, masjid, kiai,santri, dan pengajian kitab klasik/turats.12 Dengan demikian, jika han-ya memiliki pondok dan santri; se-dang kiai, masjid, dan pengajiankitab tidak ada, maka ia lebih pan-tas disebut kos-kosan. Atau, jikahanya ada kiai, santri, serta penga-jian kitab, maka itu tak lain dari“sekedar” Majlis Taklim; dan bu-

kan pesantren.Berbagai usaha untuk mengi-

dentifikasi pesantren telah dilaku-kan. Pesantren memang memilikidaya tarik tersendiri bagi parapeneliti. Secara kasat mata, pe-santren tak lebih dari pedukuhankecil dengan “seorang” guru, sedi-kit murid, serta pembelajaran yangtidak memiliki perencanaankurikulum yang jelas. Tetapi, aura,kekuatan, dukungan masyarakatdi lapis bawah, alumni yang me-miliki integritas moral kuat, ket-erikatan emosional lulusanyayang luar biasa, juga kemandirianserta ketidaktergantungannyapada birokrasi telah menjadikanpesantren sebagai fenomena yangmampu menyedot perhatian parapeneliti. Dari beberapa upayamengidentifikasi pesantren itu,antara lain menurut ZamakhsyariDhofier mengklasifikasi pesantrendari sisi jumlah santri.13 BagiDhofier, pesantren yang jumlahsantrinya kurang dari 1000 danpengaruhnya hanya pada tingkatkebupaten, disebutnya “PesantrenKecil.” Jika, santri antara 1000-2000, dengan pengaruh sampaibeberapa kabupaten adalah “Pe-santren Menengah.” Sedang bila2000 lebih dengan pengaruh yangtersebar di beberapa kabupatendan provinsi, maka terkategori“Pesantren Besar.” KlasifikasiDhofier, tampaknya, didasarkanpada dua hal: jumlah santri dansempit-luasnya pengaruh pesant-ren tersebut.

Sementara menurut Wardi Ba-khtiar, justru mengklasifikasi pe-santren dari sudut pengetahuanyang diajarkan. Dari sudut ini,

muncul 2 (dua) golongan pesant-ren: pertama, pesantren salafi. KataWardi, pesantren ini adalah pe-santren yang mengajarkan kitab-kitab klasik. Sistem madrasah dit-erapkan guna mempermudahteknik pengajaran sebagai gantidari sistem sorogan. Pada modelpesantren ini, tidak diajarkanpengetahuan umum.

Kedua, pesantren khalafi, yaitupesantren yang selain memberikanpengajaran kitab-kitab klasik jugamembuka sekolah-sekolah umum.Sekolah-sekolah umum itu dalamkoordinasi dan berada di lingkun-gan pesantren.14

Dari beberapa hasil penelitiandi atas, menunjukkan bahwa pe-santren memang menjadi daya tariktersendiri bagi para peneliti. Meskipenelitian pesantren sudah bany-ak, tetapi masih banyak pula hal-hal yang tak tersentuh, tak terbacaoleh para peneliti. Misalnya, ke-beradaan khadam (pelayan) kiai,kemampuan spritual kiai, serta be-berapa (yang dianggap) mitos dikalangan santri tetapi justru terbuk-ti adanya.

Pijakan Ideologis-FilosofisPenyelenggaraan PendidikanPesantren

Orang (kemudian disebut sant-ri) yang menuntut ilmu di pesant-ren mendasarkan pada firman Al-lah QS. At-Taubah [9]: 122. Penye-lenggaraan pendidikan pesantrenpun, secara otomatis, didasarkanpada ayat ini. Pada ayat ini, penu-lis mengambil satu kata Tafaqquh fial-Dîn sebagai akar pembahasan.

Menelusuri istilah Tafaqquh fial-Dîn, penulis menemukan kenik-

8 Periksa Zamakhsyari Dhofier, Loc. Cit., hal. 18.9 Dapat dilacak pada Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Per jalanan,

(Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20.10 Lebih jauh, periksa Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hal. 268.11 H.J. de Graaf, Loc. Cit., hal. 33.12 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hal. 44.13 Ibid., hal. 4214 Klasifikasi ini tertuang dalam Wardi Bakhtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di

Jawa Barat, (Bandung: Balai Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati, 1990), hal. 22. Teks ini penulis

kutip dari Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, hal. 194.

Page 80: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20108080

matan tersendiri; tersingkapnyasedikit selubung kalimat Allah.Meski, pada batas tertentu, penulismerasakan kegamangan akan ha-sil “tafsir” ini (baca: bukan takwilapalagi tafsir), tetapi demikianlahhasil itu telah penulis capai.

Dalam al-Qur’an disebutkan :Artinya: Tidak sepatutnya bagimukminin itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak per-gi dari tiap-tiap golongan di antaramereka beberapa orang untuk mem-perdalam pengetahuan mereka ten-tang agama dan untuk memberiperingatan kepada kaumnya apa-bila mereka telah kembali kepadan-ya, supaya mereka itu dapat men-jaga dirinya.

Kata kunci (key word)15 ayat iniadalah:

1. li ya tafaqqahû fi al-Dîn (un-tuk memahami agama)

Dalam hal ini, perlu kiranyadibedakan antara “memahami ag-ama” dengan “memahami ilmuagama” (li ya tafaqqahû fi “Ilmi” al-Dîn). Memahami Agama adalahupaya menjadikan (ajaran) agamasebagai kepribadian atau dalambahasa yang lain “berkepribadianislami.” Sedang, memahami ilmuAgama tak lebih dari sekadar men-jejali dengan pengetahuan agamasecara konseptual.

Dari perbedaan ini, apa efekyang ditimbulkan? Penjejalanpengetahuan agama tidak memu-ngkinkan seseorang dapat mem-bentuk “dirinya” menjadi berke-pribadian islami, ia hanya akanmemiliki pengetahuan agama Is-lam. Jika ada yang mengatakan,bukankah dengan memiliki penge-tahuan agama Islam seseorang bisaberkepribadian islami? Itu tidakselamanya benar. Amat banyakkita saksikan orang-orang yangmemiliki pengetahuan agama, teta-pi justru melanggar aturan agama.Bahkan, karena pintar, ia merasabenar atau membenarkan perbua-tannya melawan agama itu.

Salah satu contoh, pendidikanRasulullah. Sampai hari ini, tidak

ada yang menyangsikan akan ba-gus-berkualitasnya pendidikanyang beliau praktekkan kepadapara sahabat dan kaum muslim.Apa sebenarnya yang Rasul laku-kan hingga pribadi Umar bin Khat-tab menjadi pibadi yang luar biasa?Demikian pula dengan sahabatyang lain. Salah satunya adalahkarena beliau mampu menjadi suritauladan (uswah hasanah) dalamkehidupan para sahabat. PribadiRasul merupakan perwujudan darial-Qur’ân yang ditafsirkan manu-sia sebagai aktualisasi ajaran Islamyang dijabarkan dalam kehidupansehari-hari.16

Lebih jauh Robert L. Gullickdalam Muhammad The Educatormenulis:

“Muhammad adalah betul-betul

seorang pendidik yang membimbing

manusia menuju kemerdekaan dan

kebahagiaan yang lebih besar serta

melahirkan ketertiban dan kestabilan

yang mendorong perkembangan bu-

daya Islam, suatu revolusi yang dimi-

liki tempo yang tidak tertandingi dan

gairah yang menantang.”17

2. li yundzirû qaumahun, (gunamemperingati masyarakatnya)

Bila pengetahuan melekat padasuatu pribadi, maka ia (baca: penge-tahuan) menuntut untuk disebar-kan kepada khalayak. Maka, kelom-pok kecil (thâifatun) itu mesti mem-bawa sesuatu kepada kelompokmasyarakat (firqatun) yang telah“mengutusnya”. Orang yang telahberpengetahuan itu tidak bolehmenciptakan jarak dengan merekayang mengutusnya. Ia mesti men-jadi “bagian dari” dan “hidup ber-sama” mereka. Jika tidak, maka tu-gas mentransformasikan (liyundzirû) pengetahuannya amatsulit dilakukan.

Orang yang dididik di pesant-ren tidak akan mengalami“keterkejutan intelektual” ketikakembali ke komunitasnya. Karenapenyelenggaraan pendidikan dipesantren berbasis pada tafaqqahûfi al-dîn, bukan tafaqqahû fi ’ilmi al-dîn. Dalam hal ini, pesantren ber-beda dengan lembaga pendidikannon pesantren.

Darimana dapat diketahui bah-wa orang yang dididik pesantrentidak akan mengalami keterkejutanintelektual? Dari kenyataan, bahwamasyarakat menuntut, misalnyapada para da’i18 agar tak sebataspandai mendakwah, melainkanmampu menjadi panutan umat.Tuntutan ini telah sejak awal di-lakukan oleh para santri di pesant-ren, yaitu dengan belajar meniruperilaku sang kiai. Seluruh peri ke-hidupan sang kiai diadopsi dalamkehidupannya. Jadi, mereka tidakakan terkejut lagi.

H. Abdullah (45 tahun), salahseorang tokoh masyarakat kepadapenulis, menyatakan:

“Sangat tidak masuk akal jika

sekarang masih ada orang/sekelom-

pok orang yang tidak tahu bahwa zina

itu haram, narkoba itu jelek, dan men-

curi (dalam segala bentuknya, terma-

suk korupsi, pen.) dilarang; tetapi jum-

lah orang yang melakukan itu bukan

semakin sedikit. Hemat saya, zaman

sekarang sedang krisis figur. Panu-

tan umat semakin menipis; umat pun

menjadi liar-tak terkendali.”19

Dengan melihat tuntutanmasyarakat yang demikian, danpendidikan pesantren memangmenitiktekankan pada pembentu-kan kepribadian (memahami aga-ma), maka orang yang dididik dipesantren akan dengan mudahmenyesuaikan diri, melebur, dan

15 “metode” key word adalah untuk menegaskan stressing penguraian dari ayat ini. Selain itu,

kiranya, tidak memungkinkan mengurai kata demi kata sepanjang ayat ini; baik karena soal space

atau sebab akan menjadikan tulisan ini layaknya kamus.16 Temukan dalam Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar Mewujudkan

Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 33.17 Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 56.18 Da’i tidak dipahami dengan termenologi yang sempit. Da’i adalah semua muslim yang

mengajak pada kebaikan. Da’î berasal dari kata Da’â, memanggil, meminta, mengajak.19 Wawancara pada 30 September 2008 di kediamannya.

Page 81: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 8181

hidup bersama masyarakatnya.Tentang hal ini, penulis ingin

menyampaikan ilustrasi sederhana:menganjurkan menyayangi anakyatim itu amat mudah. Ayat-haditsn-ya mudah didapatkan. Riwayat-ri-wayat tentang orang-orang terdahu-lu yang mengayomi anak yatim ser-ta diadzabnya orang yang meng-abaikannya, gampang diperoleh.Tetapi, untuk mampu “tinggal ber-sama”, “hidup bersama”, serta“hidup dengan cara dan pola” anakyatim amat sangat jarang sekali or-ang yang bisa atau mampu. Bagaim-ana dengan Rasulullah? Beliautidak hanya pandai mengajak men-yayangi anak yatim, beliau justru“hidup bersama” juga “hidup den-gan cara dan pola” anak yatim. Bah-kan, beliau sendiri adalah yatim.Pada sumbu ini, arti penting panu-tan menemukan titik labuhnya.

3. idzâ raja’û ilaihim( ketikakembali kepada komunitasnya)

Pada kata kunci (key word) yangke-3 ini, penulis akan meng-gunakan pendekatan budaya. DiMadura, utamanya Sumenep, adatradisi “memberi uang jajan” kepa-da calon santri baru. Calon santriakan mendapat “subsidi” danadari para tetangga. Menariknya, tr-adisi ini tidak hanya dialami olehcalon santri baru, santri lama yangkebetulan pulang kampung danakan kembali ke pondok juga men-jadi objek “salam tempel” ini.20 Halmenarik lainnya adalah hubunganantara santri dengan yang mem-beri (kadang) tidak ada pertaliankekerabatan.

Apakah kenyataan ini menja-di indikator tingginya animomasyarakat kepada ilmu penge-tahuan? Dengan menghormati danmemuliakan orang yang mencariilmu? Bisa saja benar. Nah, dalamkonteks kajian tulisan ini, mereka(masyarakat) amat sangat meng-harap kehadiran seorang faqih,alim, dan memiliki pemahamanyang dalam tentang agama di kam-pungnya. Kepada faqih-alim itulahmereka akan mengadukan “sega-

la” persoalan hidup yang merekahadapi. Jika calon faqih-alim ituadalah generasi kampung merekasendiri, maka mereka berharap gen-erasi mereka itu dapat “pulang ka-mpung” (raja’û ilaihim).

Pendidikan Tahan Banting Pe-santren Salaf: Upaya Konfrontasi

Seperti telah diurai di atas,

bahwa penyelenggaraan pendidi-kan di pesantren berbasis padakonsep afaqqahû fi al-dîn, maka per-tama, santri yang “datang” ke pe-santren tak lain dari ingin belajarcara hidup yang sesuai dengan ag-ama; bukan sekadar belajar ilmuNahwu, Sharraf, Tafsir, Hadits,dan sebagainya. Karena itu ia

harus “tinggal” di pesantren untukbelajar dan hidup dengan carahidup agamis. Jika tidak, ia hanyaakan mendapatkan ilmu agama!

Ilmu agama akan bernilai gunaapabila memberi efek pada peruba-han di wilayah tingkah laku, carahidup, tutur sapa, dan pola pikir.Karena santri yang belajar ke pe-

santren salaf bertujuan membentuktingkah laku islami, maka pendidi-kan yang diterapkan tidak berhen-ti pada fase pengalihan penge-tahuan (transfer of knowledge) sema-ta, tetapi menerobos jauh pada pen-anaman sikap hidup yang sesuaidengan pengetahuan yang telahdiperolehnya.

20 Inilah salah satu faktor yang membuat santri akan malu untuk selalu pulang kampung;

bukan malu kepada keluarga, tapi pada tetangga. Dari ini, memungkinkan santri lebih serius

dalam belajar.

Page 82: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20108282

Sisi inilah yang banyak dike-luhkan akhir-akhir ini. Orang tuasemakin kawatir denganperkembangan otak dan kecer-dasan anaknya, sementara kecer-dasan emosi dan spritualnya mam-pet. Kepintaran dan kecerdasanyang mereka miliki digunakan un-tuk menyingkirkan “orang tua”mereka ke pojok-pojok kehidupan.Tata nilai yang sedang dijalankanoleh “para orang tua” akan menja-di sasaran kritik dan objek cemoo-han generasi muda.

Pesantren salaf membuat satugaris lurus antara bertambahnyapengetahuan dengan semakinbaiknya pola pikir dan gaya hidup.Di pesantren salaf, pengajaran,dalam arti transfer ilmu penge-tahuan, diposisikan sebagaipenunjang akan lahirnya individuyang lebih baik. Dan bukan seba-liknya.

Ilmu bukan untuk ilmu, tapiilmu untuk amal. Apalah artinyameriah dari sisi konsep dan teori,tetapi miskin dalam aktualisasi.Pengetahuan yang dimiliki tidakmampu menawarkan solusi. Padatitik ini, wajar jika dikatakan bah-wa pengetahuan yang dimilikihanya menyesakkan kehidupan-nya sendiri.

Konsep li yundzirû qaumahunadalah kata lain dari kewajibanuntuk menyebarkan pengetahuanyang melekat pada dirinya kepadaumat. Tidak bisa tidak; ia mestimenambah deretan orang yangtahu (sebagaimana dirinya) se-makin banyak. Inilah yang olehMansour Faqih disebut dengan “In-telektual Organik”. Ia mematrikanpada dirinya akan adanya tang-gung jawab sosial dari pengetahuanyang dimilikinya. Sebagai orangyang tahu, kewajibannya memberitahu kepada khalayak akan ber-buah dosa bila tidak dilakukannya.Dan, pesantren salaf telah mendid-ik para santrinya dengan “pelaja-ran” cara hidup; tak sekadar pen-guasaan ilmu pengetahuan.

Kedua, di pesantren, belajar se-

cara keseluruhan tentang kehidu-pan. Pengajaran agama diberikansecara utuh. Seorang teman bertu-tur bahwa pesantren adalah min-iatur masyarakat. Belajar “hidupbersama” di pesantren bermaknasedang berlatih hidup dimasyarakat, masyarakat yang leb-ih besar dan sebenarnya.

Ilmu-ilmu eksakta atau ilmupasti memiliki laboratorium perco-baan untuk uji coba rumus dan teoriatau laboratorium itu berguna un-tuk menemukan rumus dan teoribaru. Kimia, memiliki laboratoriumkimia; Biologi, punya laboratorium

nya. Ketelitian, kesabaran, danketekunan dalam melihat gejalaterkecil menjadi kunci “keberhasi-lan” analisis yang dilakukan.

Pesantren, dengan masyarakat-nya (santri), merupakan miniaturmasyarakat. Gambaran kecil darikehidupan masyarakat yang sebe-narnya. Santri yang bergaul denganbaik selama di pesantren denganmudah akan bergaul dengan baik-sempurna pula ketika pulang kekomunitas asalnya; yaitu masya-rakat yang sesungguhnya. Demiki-an pula sebaliknya. Dalam halini,jargon “ngeco’ jarum e ponduk,mon mole bisa nyeco’ jaran” (mencurijarum di pondok, kalau pulang kerumah akan mencuri kuda) mene-mukan kebenarannya.

Karena pesantren sebagai lab-oratorium ilmu-ilmu sosial ataudalam bahasa lain sebagai minia-tur masyarakat, maka santri dapatmemulai bermasyarakat sejak dipesantren; tentu, seperti dalam pe-mahaman di atas, bukanmasyarakat yang sesungguhnya.Kesuksesan bermasyarakat di pe-santren dapat menjadi tolok ukurpotensi kesuksesan yang ber-sangkutan bergaul di masyarakatyang sesungguhnya. Sekali lagi,pesantren salaf membuktikan kehe-batannya!

Ketiga, belajar di pesantrensalaf adalah berguru kepada “satuorang” dalam seluruh dimensi ke-hidupannya. “Satu orang” itu ad-alah Kiai. Misalnya, seorang santrimondok ke pesantren A dengankiai, Kiai Fulan. Sebenarnya santritersebut ingin berguru “hanya” ke-pada sang Kiai, tidak kepada yanglain. Sedang guru-guru (asâtidz)yang lain hanya membantu sangKiai. Meski hanya “satu orang”,tetapi seluruh dimensi kehidupan-nyalah yang hendak dipelajari.Oleh karena itu, ia (santri) harus“tinggal bersama” sang Kiai.21

Keempat, pendidikan pesantren

Ilmu bukan untuk

ilmu, tapi ilmu untuk

amal. Apalah artinya

meriah dari sisi

konsep dan teori,

tetapi miskin dalam

aktualisasi

biologi; demikian pula dengan Fisi-ka, Matematika, dan lain sebagain-ya. Sedang ilmu-ilmu sosial, labo-ratoriumnya adalah gerak hidupmasyarakat. Karenanya, tidak adarumus paten dalam ilmu sosial.Gerak hidup masyarakat terus berg-erak, berubah, penuh dinamika,dan kadang penuh kejutan. Padaperkembangan selanjutnya, mun-cullah ilmu Analisis Sosial sebagaiupaya memahami gerak sosial se-cara benar dan holistik.

Dalam memahami gerak hidupmasyarakat secara benar, “instru-men” yang paling efektif adalahhidup bersama masyarakat yangakan dianalisis. Memilih melibat-kan diri dalam kehidupan mereka,sehingga pada seluk beluk yangterkecil sekalipun akan ditemukan-

21 Di beberapa pesantren, seperti Annuqayah, Nurul Islam dll. dikenal istilah Santri

Mukim dan Santri Kalong. Pada jenis terakhir ini, santri tidak menetap di pesantren; setelah

belajar, mengaji, atau sekolah pulang kembali ke rumahnya.

Page 83: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 8383

22 Makalah H. Imam Suprayogo, Pesantren dan Format Pendidikan Islam Masa Depan, pada

Seminar Nasional bertema “Pengembangan Pondok Pesantren Modern”, 12-13 September

2008 di Malang, hal. 3.23 Lebih jauh baca Ibid., hal. 2.

adalah pendidikan Islam yang di-orientasikan pada lahirnya santriyang alim, faqih, dan shalih; bukanguna menjadi pejabat atau pe-gawai.22 Lebih jauh, Imam Su-prayogo, rektor UIN Malang inimenjelaskan bahwa orientasi yangdemikian menyebabkan pesantrenbersih dari perilaku santri yangmenyontek, apalagi memalsu nilai,tanda tangan, juga ijazah. Pendidi-kan pesantren penuh dengan nilaikeikhlasan, ridla, tawadlu’, kara-mah, dan barokah.

Beberapa waktu yang lalu,publik disajikan fakta yang cukupmencoreng wajah dunia pendidi-kan, yaitu banyaknya sarjana hing-ga doktor karbitan, ijazah palsu,jual beli gelar, dan lain sebagain-ya. Cukup dengan 45 juta, gelardoktor sudah di pundak. Publikkaget bukan kepalang, dunia pen-didikan (yang katanya) menjaditonggak perubahan semua segmenkehidupan suram di negeri ini jus-tru telah tercoreng. Korupsi dapatditumpas dengan mendidik gen-erasi bangsa; pencemaran budayadapat diantisipasi melalui pendid-ikan; pendangkalan agama jugabisa dihilangkan oleh pendidikan;tetapi, kini, dunia pendidikan te-lah dihancurkan. Habislah se-muanya!

Pesantren salaf, sekali lagi,telah menyelamatkan bangsa In-donesia dari kehancuran non fisikini. Banyak kalangan yang ters-

inggung dengan perusakan fisikbangsa kita, tetapi sangat jarangsekali yang risih dengan penghan-curan non fisik bangsa ini. Dan,sebagaimana maklum, gerakanpenjajahan non fisik ini lebihmasif, terstruktur, dan tersistem.Pendidikan, sebagai bagian nonfisik dari negeri ini, telah dirusak.Fakta ini sudah lebih dari cukupuntuk menyebabkan kita tersing-gung.

Beberapa hal di atas tidak dite-mukan di lembaga pendidikan nonpesantren, bahkan pada sistem FullDay School sekalipun. Atau dalamungkapan lain, itu semua kelebihansekaligus keistimewaan pesantrensalaf.

Pada lembaga pendidikan nonpesantren, pertama, yang terseleng-gara hanya transfer ilmu penge-tahuan (konseptual). Dengan mod-el seperti itu, yang tersentuh hanyaotak. Pendidikan lifing (ilmu yangdijalani dalam kehidupan) tidakterlihat. Alih-alih hendak menjadinafas hidup, menjiwai penge-tahuannya saja tidak mampu.

Kedua, lembaga pendidikannon pesantren tidak memiliki gurusentral. Aktivitas memang berjalan,tetapi karena tanpa sentral, makaberjalan terseok-seok. Pada lemba-

ga pendidikan modern, sepertisekolah dan universitas, kepribadi-an guru dan dosen melebur menja-di kekuatan institusi. Sehingga,mahasiswa berguru kepada lemba-ga dan institusi, bukan kepada pri-badi-pribadi.23

Ketiga, berguru tidak secara to-tal, utuh, komprehensif. Bergurubukan pada seluruh dimensi ke-hidupan sang guru/dosen, tetapihanya disesuaikan dengan fakul-tas, atau bahkan berguru hanya se-suai materi yang diampu saja. Mis-alnya, guru Biologi. Si murid men-ganggapnya guru “hanya” padamateri Biologi; (atau bahkan) han-ya di saat mengajar materi yang di-ampunya. Selain itu tidak ada. Takada sisi lain dari kehidupan guruyang dipelajarinya.

Perbedaan, sekecil apa pun,harus ditampilkan. Demi kepent-ingan analisis, menampilkan per-bedaan meski kecil amat pentingadanya. Dari perbedaan inilah kitadapat menemukan titik terangmodel penyelenggaraan pendidi-kan tahan banting, pendidikanluar biasa yang ditunjukkan olehpesantren salaf. Kata orang tua,dari mana pun sumbernya, jika itubaik, pantas diambil, diadopsi,dan ditiru. ge

Page 84: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20108484

Wacana UN (Ujian Nasional)tampaknya tetap menjadi perbin-cangan yang sangat menarik di ten-gah-tengah masyarakat. Ujian yangakan menjadi penentu kelulusansiswa tersebut dianggap sebagaihakim yang bisa merugikan masadepan siswa. Kritikan atas UN punmenjadi bagian penting di tengah-tengah kebijakan meng-UN-kansiswa. Bahkan, gugatan kritisbernada menyoal kembali tentangkebijakan UN sebagai kebijakanyang kurang mewakili kondisi ide-al para siswa. Gugatan tersebutbukanlah suara kosong yang takbermakna, karena gugatan yangmuncul atas satu persoalan meru-pakan bukti adanya masalah yangharus dicairkan.

Kritik atau bahkan gugatanatas kebijakan UN adalah suaramasyarakat yang merasa bahwaUN tidak bisa dijadikan sebagaistandar baku kelulusan, karena halitu terlalu dipaksakan serta tidakbisa dijadikan sebagai penentuakhir lulus dan tidaknya siswa.Karena kalau hal itu dipaksakan,negara bukan hanya telah menghe-gemoni kreatifitas siswa, tetapi jugamengintervensi kelulusan siswa.

Keputusan MA yang cukupmenakjubkan melalui putusanperkara dan kasasi bahwa pemer-intah dilarang melaksanakan UNsebagai standar baku kelulusan.Walaupun, dalam kenyataannya,pemerintah masih akan tetap me-

makai UN sebagai salah satu ritualpendidikan tahun ini. MA (Mahka-mah Agung) sudah jelas-jelasmelarang, tetapi pemerintah tetapsaja memaksakan UN berjalan. Kokbisa?

Bahkan untuk membenarkankebijakan UN tersebut, pemerintahmelalui Menteri Pendidikan Na-sional dan BNSP malah akan men-gajukan Peninjauan Kembali (PK)atas putusan MA yang telah jelas-jelas mengabulkan agar UN menja-di kebijakan yang terlarang. Anehbin ajaib sekali! Sudah jelas dipu-tuskan tidak boleh, masih tetap sajamau dipakai. Hanya dengan caraitu, UN yang dianggap sebagai ke-bijakan paling populer pemerintahitu, akan terus dicarikan pembe-narannya. PK adalah salah satuusaha yang akan menjadi mediaperjuangan agar UN tidak jadidibubarkan. Semoga tidak jadi UNjadi-jadian pada akhirnya.

Yang menarik, di tengah upayapemerintah menentang keputusanMA, salah satu Wakil Ketua MPRRI, Lukman Hakim Saefuddin, ber-sikap lain. Kader PPP itu malahmeminta pemerintah agar meneri-ma apa yang telah menjadi keputu-san MA, yaitu tidak melaksanakanUN (www. Detikcom). Ini adalahsalah satu fakta bahwa UN me-mang layak untuk tidak diterapkan.Ingat, suara Lukman Hakim Sae-fuddin adalah suara wakil rakyat.Dan, suara wakil rakyat adalah

suara rakyat. Kemudian, suararakyat adalah suara Tuhan (?)

Salah satu faktor mengapa UNtidak bisa dijadikan sebagai stan-darisasi kelulusan siswa secaranasional, adalah karena masih ter-jadi ketimpangan dalam kehidu-pan pendidikan kita. Sangat tidakmungkin, standar kelulusan secaranasional dipakai untuk melulus-kan dan tidak meluluskan, karenafasilitas dan kondisi pendidikannyata-nyata tidak merata alias tidaksama. Logika UN tidak bisa dijadi-kan sebagai vonis umum kelulus-an, karena fasilitas dan sarana pen-didikan juga kurang merata.

***Sebagai kebijakan yang aneh

dalam pendidikan, UN memangharus disoal. Apalagi, materi-ma-teri yang diujikan hanya tertentukepada materi-materi yang terbatas.Dengan materi yang terbatas, lulusdan tidaknya siswa bisa diputus-kan. Artinya, UN hanya menjadimedia untuk menguji materi-materiyang sangat terbatas, sehingga bisajadi siswa yang tidak menguasaiterhadap materi-materi yang di-UN-kan, akan terancan TIDAKLULUS, walaupun dalam materi-materi yang lain sangat mengua-sai.

Selain itu, memaksakan UNsebagai standar kelulusan pada gi-lirannya melahirkan semakin ban-yak memunculkan masalah yangkrusial. Misalnya, dari sisi pelak-

Menggugat Penerapan

Ujian NasionalSURAHMANSURAHMANSURAHMANSURAHMANSURAHMAN

Page 85: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 8585

sanaan dan proses. Kebocoran soal,materi soal yang diragukan kesa-hihannya, hingga keberanianmelakukan upaya menghalalkanbanyak cara untuk mendongkraknilai UN menjadi praktek keji yangkerapkali terjadi. Akibatnya, istilah“mafia kunci jawaban UN” menja-di hantu yang bergentayangan saatUN. Hal itu tentu saja semakinmenggambarkan tentang potretburam proses pendidikan kita. Pen-didikan yang sejatinya harus di-jalankan dengan berdasar-kan konsep kejujuran, ke-mandirian, kebebasanberkreasi dan nilai-nilaimoralitas yang tinggi,nyaris ternafikan dalamproses pelaksan-aan UN.

Bahkan yanglebih parah lagi,UN bisa menjadisumber muncul-nya ketidak-tenangan, baikdi kalangansiswa, orang tuasiswa dan guru.Inilah teror barupendidikan yang be-nar-benar menakut-kan. Padahal, tujuanpendidikan bukanitu, tetapi mampumenciptakan sua-sana yang tenangdan damai dalammelakukan proses pen-didikan. Momentum menjelang UN,menjadi hari-hari yang sangat me-lelahkan dan menakutkan bagisiswa, karena lulus dan tidaknyamereka, akan ditentukan denganmateri-materi terbatas yang diteta-pkan oleh pemegang kebijakan.Ketika ketenangan tercipta danpsikologi siswa terganggu, itulahyang disebut dengan telah terjadiproses teror yang sistematis ter-hadap para pembelajar.

Proses pembelajaran yang di-lakukan siswa selama tiga tahun,tidak saja akan menjadi sia-sia, ke-

tika UN yang dilaksanakan selamatiga hari bisa membuat merekatidak lulus. Tiga tahun belajar, teta-pi pada akhirnya divonis tidak lu-lus hanya dengan tiga hari men-jawab soal-soal UN. Tidak lulusadalah bahasa sangat halus dariistilah vonis tentang kegagalandalam pendidikan. Tidak heran, ke-tika ada siswa yang gagal UN,masalah yang muncul sangat be-ragam : siswa menjadi stres, putusasa, bahkan bisa jadi bunuh diri

dan lain sebagainya,karena gagal UN

sama halnya den-gan keg- agalan

ber-

pros-es selama tigatahun lamanya.

Dalam konteks ini, pendidikanyang sejatinya untuk mencetak gen-erasi yang berkualitas, baik moraldan intelektualitasnya, dengan UNmalah terbalik. Setidaknya, ada be-berapa hal yang bisa dicerna. Per-tama, lulus UN tentu saja menjaditarget akhir semua siswa, bahkanpara guru. Lulus menjadi hargamati yang dengan cara apapun bisadilakukan. Akibatnya, cara-carayang salah kaprahpun dilakukanuntuk bisa lolos dari “jebakanmaut” bernama UN, termasuk tidakjujur dalam menjawab UN. Cara-

cara yang kurang baik, itu tentu sajamerupakan bagian dari demoral-isasi proses pendidikan. Kedua, UNterkesan hanya menjadi ajang pen-gajaran kepada siswa untuk beker-ja secara instan atau karbitan.Padahal, dalam proses pendidikan,cara-cara instan merupakan se-suatu yang kurang positif. Ketiga,UN mampu mengubah paradigmapembelajaran yang dilakukan guru.Banyak guru yang kemudian men-galami pergeseran paradigma ; darimengajar dan mendidik ke arahbaru, hanya agar siswa menjadi lu-lus UN. Paradigma yang sempitdan kerdil tentunya.

Akhirnya, UN adalah ke-bijakan yang timpang di ten-gah kondisi pendidikan kitayang juga sangat timpang. Se-hingga, lulus dan tidak lulustidak bisa diukur hanya seba-

tas kemampuan dalammenjawab soal-soal yangdi UN-kan, tetapi harus

melalui proses dan pe-nilaian yang bersifat holis-

tik. Jadi, menjadikan UN se-bagai vonis terakhir kelulusansiswa adalah kebijakan yangharus dipertimbangkan dandianulir. Tiga tahun berpros-es tidak bisa ditentukan den-gan hanya menjawab soal

UN selama tiga hari. Tidak mu-ngkin, proses panjang belajar tigatahun, pada akhirnya harus di-gagalkan hanya dalam waktu tigahari. Tulisan ini hanyalah aspirasidari penulis sebagai siswa atas ke-bijakan UN. Bisa jadi, tulisan inihanya sekedar pemikiran seorangsiswa yang bisa jadi sangat subyek-tif, tetapi bukan berarti tulisan initidak harus direspon oleh pemega-ng kebijakan. Penulis tetap ber-harap, pada tahun-tahun berikut-nya, semoga pemerintah dapatmencari solusi model standar kelu-lusan siswa yang lebih baik lagi.

* Surahman, adalah siswa diSekolah Menengah Atas Negeri 2

Sumenep

Page 86: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20108686

Laiknya UNAS, sentralisasi se-mester ala KKM (Kelompok KerjaMadrasah) yang dikordinir MANdi bawah DEPAG menjadi momokmenakutkan bagi siswa. Untungtidak seketat UNAS, penentuanSKBM (Standar Ketuntasan BelajarMinimal) dan kenaikan kelas masihditentukan pengajar. Seandainyapersis seperti UNAS, maka anca-man demonstrasi menjadi nyata.Karena kerap sekali ditemukanpada soal-soalnya tidak sesuai den-gan materi yang diajarkan guru di-masing-masing madrasah. Hal inimenjadi polemik tersendiri bagisiswa dan guru. Alih-alih mencer-daskan bangsa, jika hak guru yangsemestinya dimiliki tetapi diambilalih kordinator KKM dengan duku-ngan DEPAG. Dengan alasan un-tuk menguji sejauh mana keber-hasilan guru atau madrasah dalamproses belajar mengajar (KBM), pen-ingkatan kualitas pendidikan danout putnya. Mereka melampaui hakguru yang sebenarnya lebih beny-ak tahu tentang keberadaan siswa.Bagaimana kordinator KKM danpemerintah akan banyak tahu ten-tang keberadaan siswa, berkunjungke Madrasah pun sangat jarang,bahkan kadang tidak sama sekali.

Begitu banyak siswa men-geluh atas keberadaan sentralisasisemester tersebut. Kesulitan soaln-ya begitu runyam dirasakan siswa.Bagaimana tidak jika untuk ma-drasah se Sumenep yang begitubanyak pembuatan soalnya di sen-

tralisir oleh MIN, MTSN dan MAN.Sementara madrasah berada di ber-bagai daerah dengan kualitas gurudan fasilitas yang berbeda. Apala-gi, masih sering ada guru belumbegitu paham mengenai konsepevaluasi belajar efektif. Sehinggameski soal dari KKM tidak sesuaidengan materi pelajaran di kelas,namun jawaban siswa dalam soaltersebut manjadi acuan utama un-tuk kenaikan kelas. Tanpa men-goreksi apakah soal yang diujikansesuai dengan materi pelajarannya.

Dengan terburu-buru, atau leb-ih sering disebut SKS (Sistem KebutSemalam), siswa belajar tanpa ba-tas agar dapat menjawab soal-soalitu. Tentu setelah mendapatkanbuku acuan yang dikira sesuai den-gan pelajaran di MIN, MTSN danMAN. Meski kadang luput sasaran,karena mereka hanya mengira tidaktahu secara pasti materi apa yangakan diujikan.

Tidak cukup sampai di situ,bagi siswa bermental lemah hal itumenuntut dirinya menyontek agardapat menjawab soal-soalnya. Ket-erbatasan kemampuan kadangmengharuskan seseorang melaku-kan apa saja asal bisa terlepas darijeratan yang mengancam. Ketikaseperti ini siapa yang akan disalah-kan? Mau menjawab siswa salahbesar, karena soal-soalnya tidaksesuai dengan materi pelajaran gu-runya. Mau menjawab guru, hakguru untuk mengevaluasi hasilKBM diambil alih. Sasaran paling

tepat adalah kordinator KKM danDEPAG, dengan otoritasnya mere-ka seakan sudah banyak tahu ten-tang keberadaan siswa dan ma-drasah di bawahnya. Lagian tidakada ketentuan perundang-undan-gan yang melegalisir kebenaranpemberlakuan sentralisasi seme-tester ala KKM.

Sampai di sini, berarti ke-beradaan sentralisasi semester alaKKM di tataran aplikasinya tidakseideal tujuan yang ada. Karenamasih sering terjadi penyimpan-gan, soal tidak sesuai dengan ma-teri pelajaran dimasing-masingmadrasah, bahkan membingung-kan siswa atau lebih tepatnyapenyesatan. Sebab ketika siswatidak bisa menjawab soal, merekasering nyontek agar mendapatkannilai baik tanpa tidak peduli dida-pat dengan cara apa. Tetapi kena-pa keberadaan semester tersebutmasih dipertahankan? Apakahmemiliki manfaat untuk siswa?Madrasah? Atau koordinator KKMdan DEPAG membutuhkan hal itusebagai ladang bisnis. Kita dapatmelihat betapa banyak di Sumenepmadrasah anggota KKM yang men-jadi korban sentralisasi semesterKKM dengan pembiayaan soal be-gitu mahal. Namun sayangnya,mereka adem ayem tanpa reaksiapa-apa.

Saya berinisiatif, keberadaansemester tersebut perlu dikaji lebihlanjut. Apakah benar memberikanmanfaat bagi siwa, atau malah

Sentralisasi Semester

Oleh :Oleh :Oleh :Oleh :Oleh :

MASDURI. AS

(Penyesatan Kedua Setelah UNAS)

Page 87: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 8787

membingungkan, bahkan menye-satan? Faktanya, ketika pelaksan-aan semester siswa kebingungansaat dihadapkan dengan soal-soalyang tidak pernah dipelajari guru-nya. Dorongan menyontek semakinkuat. Tanpa peduli resiko, siswasaling sikat untuk dapat jawabandari temannya atau buku pedomanyang dibawa.

Ternyata KTSP (KurikulumTingkat Satuan Pendidikan) belumterealisai secara utuh. Pengelolah-an madrasah di Sumenep masihterjajah pemerintah (DEPAG). Ma-drasah tidak memiliki wewenangmutlak menetukan model pembela-jaran, buku pelajaran, evaluasi danhal lain yang berhubungan denganpeningkatan mutu dan kualitaspendidikan. Jika tidak demikian,artinya DEPAG membebaskan ma-drasah menentukan model pem-belajaran dan garapannya untukpeningkatan mutu dan kualitaspendidikan. Kenapa DEPAG mem-benarkan bahkan mendukungpemberlakuan sentralisasi semesterala KKM. Bahkan UNAS pun un-tuk tahun ini masih ada. Tapi den-gan berbagai pertimbangan mulaitahun mendatang insya Allah akandi hapus. Idealnya pemerintahkhususnya DEPAG hanya menen-tukan target keberhasilan ma-drasah dan guru dalam mendidik,dan memberikan acuan mendasarmengenai target kurikulum serta outputnya. Bukan malah mengmbilalih hak guru dalam evalusinya.

Ada beberapa hal perlu diper-hatikan, agar keberadaan sentral-isasi semester penyesatan di atastidak menjadi jamur yang tumbuhsubur di Sumenep.

Pertama : Setiap madrasahmemiliki letak geografis dan sosio-kultur berbeda. Tingkah laku danpola pikir serta karakter siswa danguru tidak jauh berbeda denganmasyarakat dan lingkungannya.Maka dalam proses belajar pun ten-tu berbeda antara satu madrasahdangan madrasah lainnya. Metodeguru dalam proses KBM (kegiatan

belajar mengajar) harus bisa me-narik perhatian siswa agar mudahdipahami. Menyesuaikan diri den-gan lingkungan merupakan carapaling efektif. Dan, tentunya untukmengukur keberhasilan siswadalam belajar tidak bisa dengancara dan soal yang sama sepertisentralisasi semester ala KKM terse-but. Karena masing-masing ma-drasah memiliki ciri-ciri dan karak-ter berbeda.

Kedua : Buku di masing-mas-ing madrasah yang digunakandalam proses KBM belum tentusama. Kemampaun siswa didik se-jauh proses belajar tidak akan me-nyimpang dari referensi buku yangdipakai. Perkara siswa memilikikemampuan lain dari pelajaranguru, itu tergantung pada kreatifi-tas siswa dalam memperdalamilmu pengetahuan.

Di madrasah asuhan pesant-ren, untuk pelajaran agama sepertiFigih, Aqidah Akhlak, dan Al-Qu-ran Hadis kebanyakan meng-gunakan kitab-kitab klasik ataukitab-kitab turats yang memangmenjadi identitas madrasah padaumumnya. Bukan buku terbitanDepertemen Agama atau buku ter-jemahan. Karena kitab itu dianggaplebih valid kebenarannya. BahkanDepartemen Agama pun dalam ter-bitannya mengambil referensi darikitab-kitab itu. Dan juga kerangkabuku dalam perbab di masing-mas-ing semester berbeda-beda, apalagidi madrasah kitab yang dipakaidibahas secara runtun sampaikhatam. Bukan di acak seperti ter-bitan Departemen Agama.

Ketiga : Kemapuan siswa, dayaserap dan kreatifitasnya berbeda-beda. Masing-masing siswa memi-liki hobby dan kemampuan dibidang tertentu. Di madrasah bi-asanya cenderung pada pengua-saan ilmu agama. Namun bukanberarti di madrasah tidakdikembangkan pengetahuanumum. Sedangkan di madrasahnegeri lebih pada penguasaan ilmuumum. Kontroversi ini tentu berak-

ibat pada proses evaluasinya. Se-mentara semester dari KKM untuksoal-soal pengetahuan umum san-gat jelimet sekali. Sehingga bila di-hadapkan pada siswa madrasahmereka sering kewalahan. Di samp-ing kurang ditekankan pada pen-guasaan umum, soalnya kadangtidak pernah diajarkan. Sekalipunsoal agama kadang tidak sesuaidengan materi yang diajarkan gurudi madrasah. Catatan penting,kecenderungan madrasah padapenguasaan ilmu agama bukan be-rarti menjauhkan dirinya darihiruk-piruk peradaban dunia mod-ern. Tetapi madrasah lebih padarealisasi kongkrit dari penge-tahuan yang diajarkan, lebih tepat-nya ingin mencetak siswa bera-khlakuk karimah. Sebab akhir-akhir ini banyak siswa mulai kehi-langan jati dirinya.

Dari uraian di atas sangat jelassekali bahwa keberadaan sentral-isasi semester ala KKM dengandukungan DEPAG perlu ditelaahlebih lanjut guna meningkatkankualitas dan mutu pendidikanSumenep. Pemerintah seharusnyabenar-benar mengapresiasi kreati-fitas madrasah dan kehendak yangdiinginkan. Bagaimanapun ma-drasah tidak akan menjerat dirin-ya sendiri. Apapun model dan up-aya peningkatan kualitas, mutubeserta kreasi masing-masing ma-drasah sudah dipertimbangkandengan matang demi kemajuaanya.Mereka lebih tahu terhadap ke-beradaan siswa dan lembaganya.Sekarang sudah saatnya pendidi-kan mandiri, terbebas dari jeratanpenjajahan, pengekangan, dan be-lenggu pemerintah dan instansimanapun. Namun bukan berartipemerintah lepas tangan. Pemerin-tah harus tetap eksis membantumadrasah, melayani segala kebutu-han demi peningkatan kualitasdan mutunya.

* Siswa kelas XII MA. Nasy’atulMuta’allimin (Nasa) Gapura

Sumenep.

Page 88: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20108888

Oleh : A. Dardiri Zubairi

0Kolom

Sering saya mendengar komentar memojokkan terhadap guru

madrasah (swasta). Guru madrasah dipandang sebagai “guru tidakprofesional”. Komentar ini keluar begitu saja. Tanpa perlu repot-

repot si “komentator” menjelaskan, apa makna kata profesional

dalam pikiran mereka.Saya berusaha mendalami komentar itu. Mencari tahu apa

gerangan penyebab guru madrasah didakwah tidak profesional.

Karena menduga-duga, banyak ragam tafsir yang muncul dalambenak saya.

Kemungkinan pertama karena guru madrasah tidak “disiplin”

seperti guru negeri. Contoh sederhana saja dalam soal pakaian.Mereka tidak memakai seragam, dasi dan sepatu. Banyak malah

menggunakan sarung. Bisa dipastikan jika memakai sarung,

bawahnya sandal. Lucu kan, jika sarung bawahnya menggunakansepatu?

Mungkin juga karena sebagian guru madrasah tidak memiliki

kualifikasi akademik. Mereka bukan lulusan perguruan tinggidengan deretan gelar di depan atau di belakang namanya. Berbeda

dengan negeri. Gelar itu utama. Gelar dipastikan maknanya sebagai

penanda kesempurnaan pengetahuan. Gelar = kapabilitas (?)Bisa juga karena guru madrasah “kere”. Digaji pas-pasan.

Bahkan tak jarang harus mengeluarkan uang sendiri untuk

menunaikan tugas keguruannya. Dalam pikiran komentator yangsuka memojokkan itu, analisis berkembang. “Jika gaji ngepas, mana

bisa ngajar serius? Bukankah mereka punya tanggungan keluarga?”.

Ijinkan di sini –sebagai guru madrasah—saya melakukanstrategi balik. Mau membuka selubung di balik “kedisiplinan” guru

negeri. Dibalik “kewibawaan” kualifikasi akademik mereka. Di

balik “kesejahteraan” mereka (karena) menjadi pegawai negeri.Dan tentu saja di balik “guru profesional” yang dilekatkan pada

mereka. Melekat tidak saja karena klaim (sebagian) mereka sendiri.

Tetapi juga karena dilekatkan oleh birokrasi pendidikan (Diknas-Depag) yang ada di belakang mereka.

Usaha membuka selubung ini jangan dimaknai macam-macam.

Sekedar interupsi agar guru negeri memiliki jeda untuk refleksi. Inimurni pengalaman saya bergaul, melihat dan mengamati kawan

guru negeri. Pasti tidak obyektif, tapi tidak sepenuhnya subyektif.

Pengalaman saya juga tidak untuk menarik generalisasi. Karenabanyak juga guru negeri yang saya kenal, memedulikan pendidikan

secara total.

Pertama, pendisiplinan guru negeri ternyata memasungkreativitas mereka. Awalnya sepele. Pendisiplinan melalui tubuh.

Misalnya, pakaian mereka di atur. Tetapi pendisiplinan tubuh ini

selanjutnya melampaui batas-batas tubuh. Secepat kilatpendisiplinan ini menjalar ke cara pikir (mind set). Cara pikir mereka

di atur, didisiplinkan, dan ditertibkan. Sepenuhnya diselaraskan

dengan kepentingan birokrasi. Birokratisasi guru sebenarnya petaka.Dalam cengkraman birokrasi, seseorang tidak akan merdeka.

Kedua, kualifikasi akademik. Saya yakin semua guru negeri

pasti lulusan perguruan tinggi. Minimal S1. Berbeda dengan guruMadrasah. Masih banyak lulusan pesantren. Tapi yakinlah bahwa

kualifikasi akademik tidak berbanding lurus dengan mutu mendidik.

Banyak lulusan perguruan tinggi yang sudah jadi guru, malah

berhenti menjadi pembelajar. Kualifikasi akademik dalam wujud

gelar-gelar itu hanya simulacra.Sering saya menemukan kawan guru negeri yang puas dengan

status qou. Atau kalau tidak puas, diam saja. Alasannya: TAKUT

ATASAN. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana pendidikandijalankan dalam situasi “ketertindasan”?

Ketiga, kesejahteraan ekonomi guru negeri dibanding guru

madrasah bagai langit-bumi. Kesejahteraan sejatinya mendorongmereka untuk terus-menerus meningkatkan kapasitasnya. Sayang

dalam pergaulan saya dengan guru negeri, usaha itu belum nampak.

Mereka sudah cukup puas dengan yang mereka punya. Barangkalisangat sedikit yang menyisihkan pendapatan mereka untuk beli

buku, ikut kegiatan seminar, dan workshop yang menjadikan mereka

sebagai pembelajar sepanjang hayat.Kondisi di atas sebenarnya wajar jika dilihat dari latar belakang

historisnya. Sebagian menjadi guru negeri karena (diniati) mencari

pekerjaan. Bukan karena panggilan hati. Sungguh saya terenyuhmenyaksikan pulau yang ditugasi oleh guru negeri. Mereka satu

bulan di pulau, satu bulan di daratan. Bahkan banyak juga yang

menghabiskan waktu di daratan dengan mengabaikan tugasnya.Jika ditugasi di pulau, mereka menggunakan istilah memojokkan;

DIBUANG. Inilah contoh menjadi guru negeri bukan karena

panggilan hati.Melihat ilustrasi di atas sebenarnya belum jelas, siapakah guru

profesional? Terkadang saya malu melekatkan kata profesionalisme

kepada guru. Karena profesionalisme seringkali direduksi maknanyadengan hak secara meteri yang harus diterima guru. Pada hal guru

bukan sekedar profesi semacam pengacara dan dokter. Guru

mengemban missi profetik. Semacam panggilan jiwa untukmengemban missi kenabian.

Atas dasar panggilan profetik itu saya mendifinisikan guru

profesional (kalau pun istilah ini harus dipakai) sebagai orang yangmemenuhi panggilan jiwanya untuk mengabdi sepenuh hati dalam

pendidikan (bukan sekedar pengajaran). Ia menambatkan

aktivitasnya pada panggilan jiwa itu. Karena panggilan jiwa, iaakan memberikan yang terbaik pada tugas yang diembannya.

Melampaui dari sekedar materi. Melampaui dari sekedar mengajar.

Melampaui dari sekedar birokrasi yang mengekangnya.Atas dasar panggilan jiwa, guru profetik ini juga akan mendidik

dengan jiwa. Memerlakukan murid sebagai jiwa. Melebihi dari

sekedar transfer of knowledge. Mengubur asumsi bahwa muridhanya sekedar deretan angka-angka.

Guru seperti ini tak henti-henti membangunkan mimpi

muridnya. Ia berada di tengah ketika mendapati muridnyadirundung masalah. Berada di belakang ketika muridnya kehilangan

gairah. Dan berada di depan untuk merangkai laku dan kata.

Siapapun saja –guru madrasah swasta atau negeri—yangmendidik berdasar panggilan jiwa, atau mendidik sepenuh hati,

meski tidak mengklaim atau diklaim sebagai guru profesional, akan

mengidupkan jantung pendidikan.

* Penulis Mengabdi di Madrasah Aliyah Nasyatul Mutallimin

Gapura Sumenep

Guru Profesionalatau Guru Profetik?

Page 89: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 8989

Anda seorang guru yang telah ikut sertifikasi ? atau sedang

ikut sertifikasi ? atau tengah bermimpi-mimpi bisa ikut

sertifikasi ?

Ya iyalah, siapa sih yang tidak ingin ikut sertifikasi ? karena

dengan sertifikasi seorang guru dapat dianggap profesional,

setidaknya menurut kacamata undang-undang. Nanti, jika

sudah dianggap profesional maka guru tersebut dianggap layak

dan pantas untuk menerima tunjangan profesional yang

besarannya setara gaji yang diterimanya tiap bulan. Dengan

sertifikat profesional ditangan, seorang guru bisa memperoleh

bayaran dua kali lipat tiap bulannya.

Gampangannya, untuk bisa dapat gaji plus tunjangan ,

seorang guru wajib ikut sertifikasi untuk disebut seorang

profesional.

Sebenarnya menyoal profesional tidak sesederhana itu.

Secara kaidah jika kita buka undang-undang tentang guru dan

dosen akan kita temukan seabreg kaidah tentang prinsip-prinsip

profesionalitas seorang guru. Yang jika mau diringkas, guru

profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu

kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh

karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki

pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan

baik.

Sayangnya, prinsip-prinsip profesionalitas itu kemudian

direduksi sedemikian rupa jadi sekedar proses sertifikasi, yang

ukuran dasarnya berbunyi: tiap guru yang hendak ikut sertifikasi

wajib hukumnya memiliki jam mengajar sebanyak 24 jam

perminggu. Jika tidak, jangan pernah bermimpi untuk disebut

guru profesional, apalagi ingin mendapat tunjangan profesi.

Itu dikarenakan ukuran 24 jam itu menjadi pintu masuk

pertama seorang guru untuk ikut sertifikasi. Mungkin para

pembuat kebijakan itu maunya untuk lebih menyederhanakan

proses. Tapi tak pernah dipikirkan ekses yang timbul dari aturan

tersebut. Karena, bisa jadi banyak guru di sekolah-sekolah yang

berebut jatah mengajar 24 jam ini. Konflik bertaburan. Sesama

guru bisa saling sikut untuk berebut porsi jam.

Bahkan bisa jadi kepala sekolah yang biasanya enggan

untuk mengajar, kini tanpa ragu mengusik jam mengajar anak

buahnya. Apalagi jika anda kebetulan seorang guru yang baru

diangkat, siap-siaplah untuk nestapa karena tak mendapat

jatah mengajar yang cukup, sebab pasti anda dianggap “yunior”

sehingga harus mengalah dan memberikan jam mengajar

kepada para “senior” anda (sungguh saya tak habis pikir,

bagaimana perilaku penjajah ini masih bisa melekat dalam

dunia pendidikan abad 21 saat ini).

Prinsip kebersamaan dalam mewujudkan cita-cita dan

tujuan pendidikan nasional di sekolah tercerai-berai oleh conflict

of interest yang bernama: sertifikasi.

Ini belum lagi soal, untuk apa tunjangan profesi itu

digunakan ? apa untuk beli laptop, berbelanja buku-buku,

mengikuti berbagai seminar dan workshop yang berkualitas,

yang semuanya berkaitan dengan peningkatan kualitas dirinya

sebagai seorang guru ? atau sekedar ganti motor, beli mobil,

rehab rumah, beli perhiasan, atau ditabung, atau dibelanjakan

untuk hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan

peningkatan kualitas dirinya sebagai seorang guru ?

Maka remuk redamlah prinsip-prinsip profesional yang

mulia itu.

Padahal sejatinya profesionalisme dalam pendidikan perlu

dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang

memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan

memahami peserta didik. Guru harus memiliki sikap

integritas. Dengan integritas itulah, seorang guru menjadi

teladan atau role model.

Artinya, sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi jangan

sekali-kali dijadikan tujuan utama. Ia hanya sekedar akibat dari

sebuah proses memprofesionalkan guru.

Itu jika kita masih percaya bahwa masa depan generasi

muda bangsa Indonesia sepenuhnya ada pada kreativitas dan

kecakapan guru.

Terlalu muluk? Ya gitu deh, ngomong soal

profesionalitas memang gampang, tapi pelaksanaannya

sungguh tidaklah mudah.

* Penulis adalah Penelitidi Lembaga Penelitian Lingkar Institute

Guru Bertunjangan

Oleh: EN. Hidayat

Kolom

ge

0 Guru (Layak) Profesional

Page 90: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20109090

RESENSI

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.201090

Paolo Freire dan Ivan Illich mengata-kan, pendidikan yang pada dasarnya meru-pakan proses untuk memanusiakan manu-sia, justru sebaliknya (tidak humanis).Artinya, semakin tinggi tingkat pendidi-kan seseorang, seharusnya bertambahpeka terhadap kondisi sosial. Tapi ken-yataannya tidak demikian. Justru semakinjauh dari interaksi masyarakat.

Hal yang semacam ini, kemudian dikriti-si oleh Paolo Freire, bahwa kondisi pendidi-kan sama halnya dengan perusahaan (pabrik),hanya mampu mencetak out put yang antisosial dan pembuat ijazah. Tidak mem-produksi (meminjam istilah perusahaan) outcame yang benar-benar bisa diharapkan danmenjadi impian banyak orang.

Paolo dalam hal ini, melihat ada duapandangan dunia (world view) yang mem-persepsikan manusia pada dunianya. Per-tama, melihat manusia sebagai objek yangdapat dibentuk dan disesuaikan. Dalamkonsep ini, manusia berdiam diri, kalau-pun melakukan tindakan hanya bersifatpasif (patuh) tanpa ada waktu untuk mere-fleksikan diri. Pola pendidikan ini, diter-apkan untuk melanggengkan status quo,karena proses belajar mengajar hanya se-batas proses transfer pengetahuan, sehing-ga manusia hanya menampung penge-tahuan (gaya bank). Kedua, melihat manusia sebagai sub-yek, makhluk yang bebas dan mampu melampaui dunia.Pendidikan diarahkan agar manusia bisa berpikir untukdiri sendiri dan dapat berintegrasi di dunianya melaluiaksi dan refleksi. Pandangan ini melihat manusia sebagaisubjek, pada gilirannya melahirkan pendidikan hadapmasalah, mampu beradaptasi, berintegrasi denganlingkungannya dan melakukan perubahan.

Selain Paolo, Ivan Illich (1970-an) memberikan keju-tan terhadap dunia pendidikan dengan idenya yang – kataorang – cukup kontroversial, Deschooling Society(masyarakat tanpa sekolah). Menurutnya, sekolah sebagaisatu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari ke-hidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaranmasyarakat. Sekolah adalah fenomena modern yang la-hir seiring dengan perkembangan masyarakat industrikapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dankapitalisme menurutnya juga tak lepas dari kekuasaan(pemerintah), sehingga daya hegemonik yang dicipta-kannya menjadi massif.

Pemaparan di atas merupakan potret kondisi umumpendidikan yang terjadi saat ini. Belum lagi ketika meli-hat kondisi riil pendidikan di lapangan. Seperti problemproses kegiatan belajar mengajar oleh guru kepada mu-rid/siswa. Tidak sedikit – untuk tidak mengatakan bany-

90

ak – ketika guru masuk kelas para siswa mera-sa ketakutan, males, emmoh, tidak semangat dankeringetan. Konon, jika ada guru tidak masukkelas, para siswa pun sorak-sorai, gembira dansambil mengucapkan al-hamdulillah. Mengapakejadian-kejadian ini bisa terjadi? Jawabannyatentu sangat sederhana, karena metode pem-belajaran yang disampaikan guru kepada siswakurang tepat, tidak menyenangkan, melangit,kuno, dan statis (tsabit). Dan, masih memper-lakukan siswa dalam posisi posisi sebagaiobyek di dalam proses pembelajaran.

Padahal, sejatinya pembelajaran yang baikadalah menunjuk pada proses belajar yang me-nempatkan peserta didik sebagai center stageperformance. Pembelajaran lebih menekankanpeserta didik sebagai makhluk yang berkesa-daran memahami arti penting interaksi diridengan lingkungannya dalam mengembang-kan seluruh potensi yang dimilikinya.

Buku Cooperative Learning; Teori dan Aplika-si PAIKEM ini hadir sebagai implikasi keri-sauan atas sistem pembelajaran yang masihkaku dan masih banyak diterapkan di lemba-ga pendidikan di Indonesia. Buku ini bermak-sud merenovasi pembelajaran bagi pesertadidik untuk menuju pembelajaran yangberkualitas, humanis, organis, dinamis, dankonstruktif dengan pembelajaran aktif, inovatif,kreatif, efektif, dan menyenangkan.

PAIKEM adalah filsafat konstruktifisme. Berdasar-kan konstruktifisme pembelajaran ini merupakan proseskonstruksi pengetahuan, bukan duplikasi pengetahuan.Pengetahuan dikonstruk pada latar kenyataannya, bukanseharusnya. Pengetahuan yang di pelajari dan disettingberdasarkan autentisitasnya, bukan arti fisialnya. PAIKEMsebagai proses learning to know, learning to do, learning tobe, dan learning to live together mendorong terciptanya ke-bermaknaan belajar bagi peserta didik.

Buku setebal 189 ini, disamping menjelaskan kerangkateori yang meliputi arti belajar, dukungan teoritis, modelpembelajaran, pembelajaran kontekstual, dan mengulasbagaimana mempraktikkan metode-metode PAIKEM; mu-lai dari metode jigsaw hingga metode student teams-achieve-ment divisions. Karena itu, dalam proses belajar mengajar,apa, mengapa, dan bagaimana PAIKEM merupakan rumu-san-rumusan yang harus dijawab guru dan jawaban terse-but merupakan pengetahuan deklaratif, struktural, danprosedural yang hampir semuanya tersaji dalam buku ini.Aspek pengetahuan-pengetahuan tersebut penting sebagailandasan bagi guru maupun calon guru dalam berpikir lo-gis dan bertindak profesional atas profesinya.

* Penulis adalah Kontributor Buku “Jalan Terjal SantriMenjadi Penulis” dan Oréng Candi-Dungkek Sumenep.

JUDUL BUKU:Cooperative Learning,

Teori dan Aplikasi

PAIKEM

PENULIS:Agus Suprijono

PENERBIT:Pustak Pelajar,

Jogjakarta

TAHUN TERBIT :2009/ xvi + 189

Halaman

PERESENSI: Ach. Syaiful A’la*

Page 91: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 9191

Page 92: Edukasi edisi XIV

JURNAL EDUKASI. NO.XIV.20109292