Upload
vanthien
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius
multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
HENNI SYAWAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Efektivitas Pemberian Vaksin
Ichthyophthirius multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada
Pemeliharaan Suhu Media yang Berbeda” Adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
ABSTRACT
HENNI SYAWAL. Provision of Vaccine Effectiveness Against Ichthyophthirius
multifiliis Common Carp (Cyprinus carpio L) at Different Temperatures of
Media. Under direction of NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, and
RIDWAN AFFANDI.
The aims of this study were to assess the physiological and haematological
responses of fish due to different water temperatures, Ichthyophthirius multifiliis
(ich) infection, and vaccination with ich theront stadia. The research was
conducted in three stages. The first stage was designed to determine the
temperature range that could cause stress in fish and had potency to cause ich
infection. In the second stage, fish was infected with ich. The last stage was
carried out to investigate the effect of vaccination. Physiological changes in fish
from each stage were determined. The results of the first stage showed that
cortisol levels at 20, 24, and 28⁰C and glucose levels at 24 and 28
oC increased
until 21st day. Fish that was kept at 24
oC had the lowest survival rate (87±3.35%)
and fish that was kept at 32oC had the highest survival rate (100%). In the second
stage, infected fish at 20oC was under great stress, which was characterized by the
increase in cortisol levels by 51.38% on 3rd
day, increase in glucose levels by
60.93%, decrease in osmolarity by 18.40%, decrease lymphocytes percentage by
16.44%, and the lowest survival rate (58.11±2.16%). The damage that was
affected by I. multifiliis could be seen by the presence of hypercellular, many
goblet cells, and infiltration of lymphocytes cells. Lastly, vaccination caused the
decrease in cortisol levels and increase in glucose levels until 14th
day. The
prevalence of I. multifiliis in the vaccinated fish decreased with the increase in
temperature, and I. multifiliis prevalence at 20⁰C was 80.03±10.00% and at 28
⁰C
was 0%, and the highest survival rate was obtained at 28⁰C (100%).
Keywords: Cyprinus carpio, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, vaccine.
RINGKASAN
HENNI SYAWAL. Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis
terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang
Berbeda. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, dan
RIDWAN AFFANDI.
Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah salah satu jenis ektoparasit dari
golongan Protozoa, yang biasa menyerang ikan-ikan air tawar. Penyakit yang
ditimbulkannya dinamakan Ichthyophtiriasis atau lebih dikenal dengan “White
spot”, karena gejala yang ditimbulkan berupa bintik putih yang terdapat pada
bagian kulit, sirip, insang, dan mata. Akibat patogenitas ich dapat menyebabkan
kematian hingga 80-100% dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat
menimbulkan kerugian secara ekonomis. Tingkat patogenitas dan siklus hidup ich
dipengaruhi oleh suhu lingkungan media pemeliharaan ikan. Pencegahan terhadap
penyakit ini sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, namun
hasilnya tidak memuaskan karena bahan tersebut tidak dapat membunuh semua
stadia dari ich. Salah satu usaha untuk mencegah serangan penyakit ini adalah
dengan pemberian vaksin yang berasal dari salah satu stadia ich, yaitu stadia
theront. Pemberian vaksin pada ikan lebih aman, karena dapat melindungi dari
penyakit tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, dan tidak menimbulkan
resistensi. Keberhasilan pemberian vaksin pada ikan dipengaruhi oleh suhu media
pemeliharaan. Perubahan suhu di lingkungan media pemeliharaan dapat
mempengaruhi kehidupan ikan bahkan dapat menyebabkan stres. Ikan yang
mengalami stres berkepanjangan akan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme
patogen. Tujuan penelitian adalah, pertama untuk mengkaji respons fisiologis dan
hematologis ikan yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda.
Kedua, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diinfeksi dengan
ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang
berbeda. Ketiga, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diberi
vaksin ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media yang berbeda.
Metode penelitian untuk mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan
yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda, dilakukan dalam
tiga tahap sebagai berikut: 1). Penentuan kisaran suhu yang dapat menimbulkan
stres pada ikan dan berpotensi untuk terinfeksi ich. Hewan uji yang digunakan
adalah ikan mas berukuran panjang 6.61±0.68 cm dengan bobot 6.29±0.79 g
sebanyak 480 ekor. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm³,
dengan kepadatan satu ekorL-1
. Untuk mempertahankan suhu air di dalam
akuarium dipasang alat pemanas listrik (heater) sesuai perlakuan, yaitu 20, 24, 28,
dan 32⁰C. Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 21 hari, selama pemeliharaan
ikan diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). Kisaran suhu yang dapat
menimbulkan stress pada ikan pada tahap pertama dijadikan dasar untuk
penelitian tahap kedua. 2). Penelitian tahap kedua adalah untuk melihat pato-
genitas ich pada ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Ikan uji
berukuran 5-7 cm, dengan bobot 6.0±1.65 g, juga dipelihara dalam akuarium
berukuran 60x40x35 cm³, dengan kepadatan satu ekorL-1
. Ikan diinfeksi dengan
ich stadia theront selama 30 menit, dengan cara merendam ikan tersebut dalam
wadah yang berisi sel theront sebanyak 5.000 selL-1
, selama penginfeksian tetap
diberi aerasi. Selanjutnya dipelihara selama 1 minggu, selama pemeliharaan ikan
tetap diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). 3). Penelitian tahap keti-
ga adalah berupa pencegahan terhadap serangan penyakit Ichthyophthiriasis,
dengan cara pemberian vaksin ich stadia theront yang telah diinaktifkan pada suhu
47⁰C selama 30 menit. Pemberian vaksin pada ikan uji dengan cara perendaman
selama 15 menit, dosis tiga mLL-1
(kepadatan sel theront 8.000 selMl-1
vaksin),
untuk melihat kemanjuran dari vaksin dilakukan uji tantang pada hari ke-15
pascaimunisasi dengan dosis 5.000 sel/ikan. Perubahan fisiologis ikan uji dari
setiap tahap penelitian, seperti kadar kortisol diukur dengan metode RIA kit
(CORTISOL[125]) IZOTOP, kadar glukosa dengan metode enzimatis colorimetric
kit Glucose liquicolor GOD-PAP, nilai osmolaritas diukur dengan OSMOTAT
030. Untuk melihat perubahan gambaran darah, seperti kadar hemoglobin diukur
dengan metode Cyanmethemoglobin, nilai hematokrit, total eritrosit, dan total
leukosit dengan cara pemeriksaan darah rutin. Parameter tambahan pada tahap
kedua dan ketiga adalah menghitung tingkat prevalensi ich pada ikan, gambaran
jaringan insang dianalisis melalui preparat histologis yang diwarnai dengan
Hematoksilin dan Eosin. Pada tahap ketiga dilakukan uji immobilisasi untuk
mengetahui titer antibodi.
Temuan hasil penelitian pada tahap pertama adalah sebagai berikut:
perubahan nilai fisiologis dan hematologis ikan mas selama pengamatan secara
keseluruhan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan
dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Pada penelitian ini, ikan yang
dipelihara pada suhu 20 dan 24⁰C mengalami stres yang ditandai dengan ting-
ginya kadar kortisol dan glukosa. Sintasan yang dihasilkan berkisar antara 87-
100%, sintasan tertinggi didapatkan pada suhu 32⁰C.
Hasil penelitian pada tahap kedua menunjukkan bahwa ikan mas yang
diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami stres berat, yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar kortisol, kadar glukosa, penurunan
persentase limfosit, dan terjadinya kerusakan insang pada hari ke-3. Tingginya
patogenitas ich pada suhu rendah terlihat dari tingginya angka prevalensi pada
suhu 20⁰C, yaitu sebesar 62.77±5.17%. Kesemua ini mempengaruhi angka sin-
tasan. Sintasan terendah didapatkan dari ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C,
yakni sebesar 58.11±2.16%.
Hasil penelitian pada tahap ketiga menunjukkan bahwa kadar kartisol
mengalami penurunan hingga mendekati nilai normal sampai hari ke-14 dan
kembali meningkat sebesar 20.35% pada hari ke-21 setelah dilakukan uji tantang.
Pada suhu rendah, titer antibodi lebih lama terbentuk dan titernya juga lebih
rendah dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu hangat atau men-
dekati suhu optimum. Tingkat prevalensi ich tertinggi didapatkan pada suhu
media pemeliharaan 20⁰C, yakni sebesar 80.03±0.00%. Selanjutnya efektivitas
pemberian vaksin terlihat dari hasil sintasan ikan uji setelah dilakukan uji tantang,
didapatkan hasil bahwa semakin tinggi suhu media pemeliharaan maka sintasan
yang dihasilkan semakin tinggi. Sintasan tertinggi diperoleh pada suhu 28⁰C,
adalah sebesar 100% dan terendah pada suhu 18⁰C, yakni sebesar 69.9±1.48%.
Kata kunci: Cyprinus carpio L, fisiologis, Ichthyophthirius multifiliis, suhu.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius
multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
HENNI SYAWAL
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, MS
(Departemen AFF-FKH IPB)
2. Dr. MuntiYuhana, S.Pi. M.Si.
(Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si
(Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, KKP)
2. Dr. Ir. Sukenda, M.Sc
(Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas
segala karunia Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat
diselesaikan dengan judul: Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius
multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan
yang Berbeda.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada Dr. Dra. Nastiti Kusomorini, Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD dan
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak
mem-berikan bimbingan dan arahan, mulai dari penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian dengan segala kemudahan fasilitas laboratorium baik di
lingkungan FKH maupun FPIK IPB, hingga penulisan disertasi. Terima kasih
penulis sampaikan pada Dr. Munti Yuhana, SPi. MSi dan Dr. Drh. Damiana Rita
Ekastuti, MS yang telah ber-sedia sebagai penguji luar komisi pada sidang
tertutup.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Ayahanda Syawal Hassan, Ibunda (Almh. Nurliam, M), Etek Yulinar, M dan
keluarga, Ayahanda Yuliar dan ibunda Yunidar (mertua), Kakanda Yunisda dan
keluarga, adik-adik beserta adik ipar semua, yang selama ini telah banyak
memberikan motivasi dan doa buat keberhasilan penulis dalam menyelesaikan
studi program doktor.
Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suami tercinta Drs.
Yufrizal, MSi, dan anak-anakku tersayang (Mohd. Syahrizal SPt, RH. Fitri
Faradilla, STp, dan M. Putra Wibowo) yang selama ini sudah banyak berkorban
dengan penuh keikhlasan dalam memberikan dukungan demi keberhasilan penulis
meraih gelar akademis tertinggi.
Terima kasih kepada pihak berwenang di Kementrian Pendidikan dan
Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS Dikti dan dana
penelitian melalui Hibah Bersaing tahun 2010 dan 2011. Terima kasih juga
kepada Pimpinan dan rekan-rekan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau, Lembaga Penelitian Universitas Riau, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam masa
studi, penelitian, dan penulisan disertasi hingga selesai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para teknisi/laboran
di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan (Bu Ida, Bu Sri, Mba Esti, dan Shelin).
Selanjutnya Bpk. Ranta, Ruslan, dan Mba Tina di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan buat teman-
teman di Mayor IFO (S-2 dan S-3) angkatan 2007-2011, khususnya Bpk. Sunarno,
Mba Hernawati, Mba Syafrida, dan Bpk. Adri Jems terima kasih atas segala
bantuan dan diskusinya selama ini, teman-teman di Mayor AKU 2007 khususnya
(Mba Ilmiah, Mba Yulintine, Mba Hesti, dan Pak Usman), Mayor PSL 2007 (Dr.
Saida, Dr. Elida Novita, dan Pak Fuad) serta teman-teman di Mayor IKL 2007
(Mba Isni, Bpk. Efrieldi, dan Bpk. Supriadi) terima kasih atas kebersamaan,
diskusi dan motivasinya. Terima kasih juga buat Dr. Ernawati Yunizar, Dr. Hera
Maheswari, Dr. Aryani Sismin, Dr. Anita Esfandiari, dan Dr. Susderthi yang
selalu meluangkan waktu buat penulis untuk berdiskusi.
Semoga Allah SWT yang maha luas kasih sayang-Nya membalas semua
kebaikan itu dengan keselamatan, kesehatan, dan keberkahan hidup yang berlipat
ganda. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang perikanan dan berguna bagi yang memerlukan,…… Amin.
Bogor, Juni 2012
Henni Syawal
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lirik (Indragiri Hulu-Riau) pada tanggal 12 Maret 1962, anak
pertama dari tujuh bersaudara pasangan berbahagia Syawal Hasan dan Almh. Nurliam
Mahmud. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1989
diterima sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pada
tahun 1994, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 di Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor pada Program Studi Sains Veteriner, lulus pada tahun 1998. Pada tahun
2007, kembali melanjutkan pendidikan S-3, dan diterima pada Mayor Ilmu-ilmu Faal dan
Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, dengan mendapatkan
beasiswa dari Badan Penyelenggara Program Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Departemen
Pendidikan Nasional. Selain itu penulis juga mendapatkan dana bantuan penelitian melalui
Program Hibah Bersaing dari DP2M DIKTI pada tahun 2010 dan 2011.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Riau, dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang studi yang
diajarkan adalah Parasit dan Penyakit Ikan dan Avertebrata Air.
Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis beberapa karya ilmiah antara
lain, berjudul “Imunisasi Ikan Jambal Siam dengan Vaksin Ichthyophthirius multifiliis”
yang diterbitkan pada Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia 2010.11(3).
“Respons Fisiologis Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalamus) pada Suhu Media
Pemeliharaan yang Berbeda” diterbitkan pada Berkala Perikanan Terubuk 39 (1) Feb 2011.
ISSN. Kedua tulisan ini merupakan penelitian pendahuluan untuk disertasi, yang didanai
oleh DP2M DIKTI melalui proyek penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 dan 2008. Karya
ilmiah selanjutnya merupakan bagian dari disertasi dengan judul “Respons Fisiologis dan
Hematologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda”
yang dipublikasikan pada Jurnal Iktiologi Indonesia, vol 12 no 1 (Juni 2012).
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xviii
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kebaruan 4
Kerangka Berpikir 4
TINJAUAN PUSTAKA
Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan 5
Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan 5
Faktor Fisika 6
Faktor Kimia 7
Faktor Biologi 8
Respons Ikan terhadap Suhu 9
Sistem Kekebalan pada Ikan 13
Sistem Kekebalan Nonspesifik 13
Sistem Kekebalan Spesifik (humoral) 14
Hematologi 16
Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis 18
Patogenitas Ichthyophthirius multifiliis 20
Vaksinasi 21
Metode Pemberian Vaksin 21
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi 23
Klasifikasi dan Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio L) 24
RESPONS FISIOLOGIS DAN HEMATOLOGIS IKAN
MAS (Cyprinus carpio L) PADA SUHU MEDIA
PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
Abstract 27
Pendahuluan 27
Bahan dan Metode 28
Hasil 30
Pembahasan 36
Kesimpulan 40
Daftar Pustaka 40
xiv
RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L)
AKIBAT DIINFEKSI Ichthyophthirius multifiliis PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
Abstract 45
Pendahuluan 45
Bahan dan Metode 47
Hasil 49
Pembahasan 60
Kesimpulan 64
Daftar Pustaka 64
RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L) AKIBAT
PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius multifiliis PADA SUHU
MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
Abstract 67
Pendahuluan 67
Bahan dan Metode 68
Hasil 72
Pembahasan 83
Kesimpulan 87
Daftar Pustaka 87
PEMBAHASAN UMUM 91
KESIMPULAN DAN SARAN 95
DAFTAR PUSTAKA 97
LAMPIRAN 109
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rataan nilai parameter fisiologis ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 31
2. Rataan nilai hematologis ikan mas yang dipelihara pada suhu
media yang berbeda 33
3. Rata-rata kualitas air dari setiap perlakuan selama pengamatan 36
4. Rataan nilai gambaran darah ikan mas yang diinfeksi dengan ich
dan dipelihara pada suhu yang berbeda 50
5. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda 54
6. Rataan kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan
ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda 56
7. Nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu yang berbeda 57
8. Rataan persentase prevalensi ich dan sintasan ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda 60
9. Nilai parameter hematologis ikan mas yang diberi vaksin ich 68
10. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diberi
vaksin ich 73
11. Kadar kortisol dan kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin ich 76
12. Rataan nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich 80
13. Hasil uji imobilisasi pada serum ikan mas yang diberi vaksin ich 81
14. Persentase prevalensi dan sintasan ikan mas yang diberi vaksin 82
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka berpikir penelitian 4
2. Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi 6
3. Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah 10
4. Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma 11
5. Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibody 12
6. Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius 15
7. Proses pembentukan antibodi 16
8. Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit pada ikan 16
9. Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis 19
10. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu media pemeliharaan yang berbeda 31
11. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda 32
12. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda 33
13. Kadar hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda 33
14. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda 35
15. Rataan total leukosit ikan mas yang dipelihara pada suhu
media yang berbeda 35
16. Persentase sintasan ikan mas pada akhir pengamatan 36
17. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 50
18. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 51
19. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 52
20. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 53
21. Persenase limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 54
22. Persentase monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 55
xvii
23. Persentase neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 55
24. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 56
25. Kadar osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich 58
26. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi 59
27. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 73
28. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 74
29. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 74
30. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 75
31. Nilai limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 76
32. Nilai monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 77
33. Nilai neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 78
34. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 79
35. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 80
36. Nilai osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich 81
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan ciri-ciri
2. Ichthyophthirius multifiliis 109
3. Menghitung kepadatan sel theront dari Ichthyophthirius multifiliis 109
4. Histopatologi insang ikan mas akibat diinfeksi dengan Ich 110
5. Prosedur pembuatan vaksin ich dan uji viabilitas terhadap sel theront 111
6. Prosedur uji imobilisasi 112
7. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 113
8. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 114
9. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 115
10. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang dipelihara
pada suhu media yang berbeda 116
11. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 117
12. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda 118
13. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diinfeksi
dengan ich 119
14. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich 120
15. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich 120
16. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich 121
17. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich 121
18. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich 122
19. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diinfeksidengan ich 122
20. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diinfeksi dengan ich 123
21. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich 123
22. Analisis ragam untuk nilai osmolaritas ikan mas yang
diinfeksi dengan ich 124
xix
23. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diinfeksi dengan ich 124
24. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich 124
25. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diberi vaksin dan
diuji tantang dengan ich 125
26. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 126
27. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 126
28. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 127
29. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 128
30. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 129
31. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 129
32. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 130
33. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 130
34. Analisis ragam nilai osmolaritas ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 131
35. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 131
36. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich 131
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha budi daya ikan mas telah banyak dilakukan masyarakat secara
intensif, baik yang dipelihara di kolam, keramba, maupun jaring apung. Usaha
intensif ini biasanya dilakukan dengan kepadatan tinggi dan pemberian pakan
yang maksimal agar ikan tumbuh dengan cepat. Namun, usaha ini sering juga
mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit. Kegagalan akibat
penyakit ini bisa mencapai 30-90%, bahkan dapat mencapai 100% apabila kondisi
lingkungan ekstrim dan adanya mikroorganisme patogen di perairan (Supriyadi
dan Komaruddin 2003).
Kendala utama dalam pengembangan usaha budi daya ikan air tawar
adalah penyediaan benih yang masih terbatas, baik kualitas maupun kuantitas.
Salah satu penyebab timbulnya kendala tersebut adalah karena tingginya angka
kematian pada saat masih berukuran benih. Angka kematian atau mortalitas bisa
mencapai 80–100% yang disebabkan oleh serangan parasit, bakteri, virus, dan
jamur (Nigrelli et al. 1976). Salah satu penyakit yang kerap menyerang adalah
Ichthyophthiriasis atau “White Spot”. Penyakit ini disebabkan oleh parasit
golongan protozoa (Ichthyophthirius multifiliis). Parasit ini menyerang organ ikan
bagian luar, seperti kulit, sirip, insang, dan mata, yang akibatnya dapat
menimbulkan kematian pada ikan peliharaan, terutama yang masih berukuran
benih, dengan laju kematian mencapai 100% dalam waktu relatif singkat
(Matthews 2005).
Keberadaan parasit ich di perairan akan lebih mudah penyebarannya
apabila diikuti oleh padat penebaran yang tinggi, sedangkan faktor lingkungan
yang sangat berpengaruh pada perkembangan parasit ich adalah suhu. Suhu
merupakan faktor pengontrol di perairan karena dapat mempengaruhi siklus hidup
dan ukuran parasit ich, selain itu juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dan
NH3 di dalam air.
Pengendalian penyakit ichthyophthiriasis ini sudah dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia, namun cara ini tidak efektif apabila ich telah
melakukan penetrasi ke kulit dan insang. Selain itu, bahan tersebut tidak dapat
membunuh semua stadia ich, dan dampak lain akibat penggunaan bahan kimia
2
adalah tercemari lingkungan dan produk makanan (Xu et al. 2007). Kesulitan
dalam mengatasi penyakit tersebut dikarenakan siklus hidup ich sangat
dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pemeliharaan. Selain pengendalian
suhu, usaha lain untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melakukan
pencegahan dengan cara pemberian vaksin ich.
Suhu merupakan salah satu faktor penyebab stres pada ikan. Perubahan
suhu pada media pemeliharaan akan sangat berpengaruh pada semua proses
fisiologis ikan, seperti laju pernapasan, metabolisme, denyut jantung, dan sirkulasi
darah di dalam tubuh (Nofrizal et al. 2009). Ikan yang mengalami stres akan
menunjukkan peningkatkan sekresi katekolamin dan kortisol (Berne dan Levy
1988). Kedua hormon tersebut pada kadar yang tinggi akan berpengaruh negatif
pada sistem imunitas ikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kortisol
dalam plasma akan menurunkan aktivitas sel-sel leukosit. Akibatnya, kekebalan
ikan akan menurun sehingga rentan terinfeksi oleh bakteri, virus, parasit, dan
jamur. Dengan demikian, infeksi dapat menimbulkan kematian dalam jumlah
yang banyak.
Perumusan Masalah
Kondisi lingkungan pada kegiatan budi daya intensif sering bermasalah
karena luasan wadah yang digunakan terbatas, kepadatan ikan dalam wadah
pemeliharaan tinggi, dan pemberian pakan yang banyak. Dengan demikian,
banyak dihasilkan sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan feses ikan yang
kemudian menumpuk di dasar perairan. Kondisi ini akan memicu penurunan
kualitas air, dan sebagai akibatnya dapat meningkatkan populasi mikroorganisme
patogen yang sebetulnya juga sudah ada di perairan tersebut. Akibat kondisi
perairan yang buruk ini, ikan akan mengalami stres dan kondisi fisiologisnya
terganggu sehingga memicu terjadinya penurunan fungsi kekebalan tubuh.
Dengan demikian, ikan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen, seperti
parasit, bakteri, jamur, dan virus. Akibatnya, angka mortalitas ikan menjadi tinggi,
terutama pada saat ikan masih di kolam pendederan atau saat awal pemeliharaan
di kolam pembesaran. Kematian umumnya disebabkan oleh kegagalan ikan
beradaptasi dengan lingkungan.
3
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dicari suatu alternatif untuk
pencegahan agar usaha budi daya intensif tetap berhasil. Pemberian vaksin pada
ikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan ikan terhadap
suatu penyakit. Dengan demikian, angka sintasan dapat ditingkatkan dan pada
akhirnya produksi dapat meningkat.
Penelitian tentang penyakit Ichthyophthiriasis yang disebabkan oleh
parasit Ichthyophthirius multifiliis di Indonesia jarang sekali dilakukan. Sejauh ini
penelitian-penelitian lebih banyak mengkaji tentang patogenitas dan cara pen-
cegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus yang biasa menyerang
ikan, sedangkan tentang parasit sangat jarang dilakukan. Penelitian ini tidak hanya
mengkaji patogenitas I. multifiliis, pencegahan dengan pemberian vaksin, tetapi
juga mengkaji kondisi fisiologis ikan akibat patogenitas I. multifiliis dan
pemberian vaksin serta pengaruh suhu media pemeliharaan yang berbeda.
Suhu perairan sangat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan dan siklus
hidup parasit ich. Suhu dapat menimbulkan stres pada ikan dan juga dapat
mempengaruhi sistem kekebalan sehingga ikan rentan terhadap serangan ich.
Pengaturan suhu media pemeliharaan dan pemberian vaksin dapat memperbaiki
kualitas hidup ikan. Salah satu keberhasilan dalam pemberian vaksin ke ikan
juga sangat ditentukan oleh suhu lingkungan.
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang
berbeda
2. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang diinfeksi dengan Ich
thyophthirius multifiliis dan dipelihara pada suhu media yang berbeda
3. Mengkaji respons stres pada ikan mas akibat diberi vaksin I. multifiliis dan
dipelihara pada suhu media yang berbeda
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai dasar untuk pengembangan pem-
buatan vaksin yang berasal dari Ichthyophthirius multifiliis.
4
Kebaruan (Novelty)
Penggunaan stadia theront sebagai vaksin dari Ichthyophthirius multifiliis
yang diinaktifkan dapat mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh I.
multifiliis.
Kerangka Berpikir Penelitian
Faktor lingkungan perairan, seperti suhu, tidak hanya berpengaruh pada
kehidupan ikan, tetapi juga berpengaruh pada siklus hidup dan patogenitas I.
multifiliis. Pada suhu tinggi, kandungan oksigen terlarut rendah sehingga dapat
menimbulkan kondisi hipoksia dan akibatnya ikan akan kekurangan energi.
Demikian juga pada suhu rendah, proses metabolisme juga tidak dapat
berlangsung dengan baik sehingga ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi.
Siklus hidup I. multifiliis pada suhu rendah lebih lama dan patogenitasnya juga
tinggi. Untuk lebih jelasnya tentang kerangka berpikir penelitian ini disajikan
dalam bentuk bagan alir (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
SUHU MEDIA
Optimum
Laju pencer-
naan
Tk.
Keko-
songan
lambung
Derajat
lapar
Tingkat
konsumsi
pakan
Pertumbuhan
Sintasan
IKAN
STRES
VAKSIN I. multifiliis
PARASIT
I.multifiliis
Respons imun Kortisol
Kortisol Respons imun
KADAR OKSIGEN
TERLARUT
ERITROPOIESIS
HIPOKSIA
_ +
+
-
5
TINJAUAN PUSTAKA
Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan
Ikan telah berevolusi sehingga cara beradaptasi dengan lingkungan
berbeda dari hewan teresterial. Adanya sisik, sirip, dan lendir (mukus) pada
permukaan tubuh dapat melindungi ikan dari gangguan eksternal. Ikan memiliki
6-8 sirip, dengan adanya sirip-sirip ini akan memudahkan ikan bergerak maju dan
mundur. Karena air memiliki kepadatan molekul yang tinggi, yaitu 800 kali lebih
padat dibandingkan udara, maka ikan memerlukan sejumlah besar kekuatan otot.
Sisik yang ada melekat erat pada kulit dan ditutupi lendir berfungsi untuk
melindungi kulit dari cedera dan infeksi. Ikan-ikan yang tidak bersisik telah
berevolusi dengan tanpa sisik, tetapi memiliki duri tajam di beberapa bagian sirip,
yang berfungsi untuk melindungi diri dari predator. Adanya lendir di atas sisik
sangat efektif untuk menghambat pelekatan dan melumpuhkan serangan
mikroorganisme patogen, mengurangi gesekan, dan memudahkan pergerakan.
Suhu pada lingkungan akuatik relatif stabil sehingga hewan yang hidup di
dalamnya tidak mengalami permasalahan yang serius terhadap perubahan suhu
lingkungan. Pelepasan panas dari tubuh ikan terutama melalui insang. Kelebihan
panas pada hewan akuatik akan diserap oleh air sehingga suhu tubuh ikan akan
stabil dan relatif sama dengan suhu air di sekitarnya. Pada hewan teresterial, suhu
tubuh selalu berubah dengan variasi cukup besar. Cara hewan teresterial
mengatur suhu tubuhnya yaitu dengan cara konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi (Hoar 1984).
Suhu dapat mempengaruhi proses fisiologis dan biokimia pada beberapa
hewan, termasuk ikan. Pengaruh suhu tersebut, antara lain mempengaruhi asupan
makanan, laju metabolisme, proses enzim, fungsi membran, dan sintesis protein
(Wedemeyer 1996). Selanjutnya dilaporkan bahwa perubahan suhu dalam waktu
yang lama, baik terhadap suhu rendah atau tinggi, dapat mempengaruhi kondisi
fisiologis dan biokimia dan secara umum proses ini dinamakan aklimatisasi suhu.
Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan
Perubahan faktor lingkungan harus direspons oleh ikan. Respons ikan
terhadap perubahan lingkungan ini pada dasarnya adalah dalam upaya untuk
6
mempertahankan hidupnya, termasuk di dalamnya agar dapat tumbuh dan
berkembang biak. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi
fisiologis ikan. Faktor lingkungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga
faktor, yaitu faktor fisika, kimia, dan biologi. Interaksi antara ketiga faktor
lingkungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 (Wedemeyer 1996).
Faktor kimia (kualitas air)
- Kandungan oksigen
- Toksin metabolit (NH3, CO2)
Faktor biologi
- Mikroorganisme patogen dan
nonpatogen
Faktor Fisika
- Suhu
- Kepadatan
- Cahaya
Gambar 2. Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi (Wedemeyer 1996)
Faktor Fisika
Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya
intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Besarnya intensitas cahaya
akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk
maka semakin tinggi suhu air. Namun, semakin bertambahnya kedalaman air
maka akan menurun suhu perairan. Suhu yang terdeteksi di permukaan air
dipengaruhi oleh keadaan meteorologi, seperti curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 1984
7
dalam Purnamawati 2009). Kedalaman perairan merupakan parameter penting
untuk kelayakan luasan wadah usaha budi daya ikan. Hal ini juga terkait dengan
kualitas air, seperti suhu, kecerahan, dan kecepatan arus.
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menimbulkan
stres pada ikan. Stres adalah ketidak mampuan suatu organisme mempertahankan
kondisi homeostasis akibat terganggunya individu tersebut oleh adanya rang-
sangan dari luar yang dinamai dengan stresor (Kubilay dan Ulukoy 2002). Suhu
juga dapat mempengaruhi daya tahan berenang ikan dan denyut jantung ikan
Trachurus japonicus, yaitu 25.3 denyut per menit pada suhu 10°C, 38.9 pada suhu
15°C, dan 67.2 denyut per menit pada suhu 22°C. Denyut jantung juga meningkat
dengan meningkatnya kecepatan renang ikan (Nofrizal et al. 2009).
Kepadatan atau padat tebar yang tinggi di suatu wadah pemeliharaan ikan
dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut, terjadinya akumulasi
ammonia yang berasal dari sisa metabolisme, dan banyaknya feses yang
menumpuk. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air, dan berdampak
buruk pada ikan yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan kadar glukosa
pada ikan (Ortuno et al. 2002). Kepadatan adalah salah satu penyebab stres pada
ikan tilapia dan terjadi peningkatan kadar glukosa setelah 2 jam pengurungan
yang ditandai dengan terjadinya proses glikogenolisis.
Faktor Kimia
Ikan memerlukan energi untuk melakukan aktivitas, seperti berenang,
pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan ikan akan oksigen bergantung pada laju
metabolisme, dan pada dasarnya terkait dengan suhu air dan ukuran ikan. Ikan di
air hangat lebih banyak membutuhkan oksigen dibandingkan ikan di air dingin.
Konsumsi oksigen pada ikan kecil lebih banyak per unit bobot badan
dibandingkan ikan besar (Wedemeyer 2001).
Proses pengambilan oksigen dan pelepasan karbon dioksida dinamakan
respirasi. Masuknya oksigen melalui insang dengan cara memompakan air terus
menerus, menyebabkan terjadinya pergerakan oksigen ke dalam pembuluh kapiler
darah insang yang jumlahnya ribuan. Pergerakan ini terjadi karena adanya per-
bedaan tekanan oksigen (PO2) di dalam insang lebih besar dari pada PO2 di
8
pembuluh darah kapiler, sehingga oksigen akan berdifusi ke pembuluh darah
kapiler. Apabila oksigen telah berdifusi dalam darah maka akan berikatan dengan
Fe++
yang terkandung dalam hemoglobin. Hemoglobin bertanggung jawab untuk
mengatur PO2 di dalam jaringan. Tekanan oksigen di dalam kapiler jaringan tidak
lebih dari 40 mmHg. Apabila PO2 lebih tinggi dari 40 mmHg, oksigen yang
diperlukan oleh jaringan tidak dapat ke luar dari hemoglobin (Fujaya 2004).
Pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah, kemudian dibawa ke
jaringan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu (Nielsen 1997).
Konsentrasi oksigen dalam air dipengaruhi oleh laju difusi dari udara,
fotosintesis oleh tumbuhan air, dan respirasi organisme perairan. Jika fitoplankton
di perairan melimpah, konsentrasi oksigen akan tinggi hingga sore hari.
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berlangsung pada
siang hari dengan bantuan cahaya matahari. Pada malam hari, konsumsi oksigen
meningkat, karena semua organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk respirasi
akibatnya pada pagi hari konsentrasi oksigen rendah (Tucker 1993). Kelarutan
oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Ketersediaan
oksigen di perairan sering menjadi faktor pengontrol dalam kehidupan ikan. Ikan
yang mengalami kekurangan oksigen atau dalam kondisi hipoksia akan
mengalami penurunan nafsu makan, energi yang dihasilkan sedikit sehingga
pergerakan juga lambat (Randall et al. 2004).
Banyak permasalahan pada kegiatan budi daya intensif baik langsung
maupun tidak langsung, pada perubahan patofisiologi darah dan sistem
sirkulasinya. Sebagai contoh, insang yang terinfeksi parasit dapat berakibat
terjadinya penyempitan kapiler dan kerusakan struktur anatomi lamella sekunder
insang, akibatnya terjadi gangguan pernapasan. Apabila ikan dalam kondisi stres
akibat penanganan, maka produksi epinefrin dapat meningkatkan sirkulasi darah
ke insang sehingga terjadi peningkatan pengambilan oksigen dari air (Wedemeyer
1996).
Faktor Biologi
Interaksi antara ikan dan organisme lain di dalam lingkungan wadah
pemeliharaan harus dapat dikendalikan, terutama terhadap agen yang dapat
menimbulkan penyakit. Agen ini biasanya bisa berasal dari sumber air, atau dari
9
pakan alami, seperti cacing tubifex. Faktor lain yang juga dapat mengganggu
kenyamanan ikan adalah pemangsa, seperti adanya burung pemakan ikan.
Pemangsa ini dapat membantu penyebaran penyakit ke dalam perairan (Woo et al.
2002).
Kondisi lingkungan perairan yang subur karena terjadinya ledakan
populasi alga (algae bloom), dapat berdampak buruk pada usaha budi daya. Pada
umumnya algae bloom hanya melibatkan spesies tunggal dan sering dinamai
berdasarkan warna koloni algae penyebabnya. Alga Microcystis (bluegreen
algae) adalah alga air tawar yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan dan
hewan perairan, karena dapat menurunkan kadar oksigen di perairan dan toksin
yang dihasilkan alga tersebut dapat mengganggu pernapasan (Irianto 2005).
Respons Ikan terhadap Suhu
Respons stres pada ikan secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier (Iwama dan Nakanishi
1996). Respons stres primer ditandai dengan pelepasan hormon katekolamin dan
kortisol ke dalam sirkulasi sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat
dan merupakan indikator utama stres. Hormon katekolamin berasal dari jaringan
chromaffin, sedangkan kortisol berasal dari jaringan interrenal. Respons stres
sekunder sering juga dikatakan sebagai efek metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa plasma. Respons stres tersier adalah apabila ikan
tidak mampu untuk melakukan aklimasi atau beradaptasi terhadap stressor, maka
ikan akan mengalami gangguan pertumbuhan dan reproduksi. Mekanisme
peningkatan kadar kortisol diilustrasikan pada Gambar 3 dan kadar glukosa
plasma Gambar 4.
10
Gambar 3. Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah (Molina 2010)
11
STRESOR HIPOTHALAMUS
HIPOFISIS
ACTH
Jaringan cromaffin
Jaringan interrenal
Kortek adrenal
Medula adrenal
Kortikostreoid
Kortisol Plasma Katekolamin
Adrenalin dan Noradrenalin
Glukoneogenesis Glikogenolisis
Glukosa Plasma
Keterangan: ACTH = Adrenocorticosteroid
CRF= Corticotrophin releasing factor
Gambar 4. Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma
(Isnaeni 2006: Purbayanto et al. 2010)
Kadar kortisol yang tinggi dapat mempengaruhi respons imun, yang di-
tandai dengan menurunnya aktivitas fagositik leukosit, meningkatnya pelepasan
neutrofil dari sumsum tulang, namun efektivitasnya menurun (Berne dan Levy
1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol menghambat produksi inter-
leukin-1 oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel T helper. Mekanisme kortisol
menghambat produksi interleukin disajikan pada Gambar 5.
Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat berisiko tinggi untuk
terinfeksi bakteri dan parasit (Costas et al. 2008). Jorgensen dan Buchmann
(2007) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar kortisol dapat menyebabkan ikan
dalam kondisi kronis atau akut selama diinfeksi dengan Ichthyophthirius-
multifiliis. Stres menyebabkan terjadinya hiperglisemia, kondisi ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan energi dalam mempertahankan homeostasis.
CRF
12
Gambar 5. Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibodi
(Berne dan Levy 1988)
Keberhasilan transfer glukosa ke dalam sel sangat ditentukan oleh kinerja
insulin. Apabila kinerja insulin meningkat, maka masuknya glukosa ke dalam sel
akan lebih efektif sehingga glukosa segera tersedia sebagai sumber energi.
Naiknya transfer glukosa ke dalam sel yang disebabkan oleh peran kromium
mengakibatkan turunnya glukosa dalam darah dengan cepat (Hastuti 2004). Hal
ini dijelaskan karena kortisol dapat menyebabkan terjadinya immunosupresif.
Pelepasan kortikosteroid dan katekolamin, memicu terjadinya peningkatan
glukosa plasma dan gangguan osmotik (Mazeaud et al. 1977 dalam Shrimton et
al. 2001).
Suhu air dikenal sebagai suatu regulator penting dari respons kekebalan
ikan. Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan penekanan respons imun
baik pertahanan nonspesifik maupun spesifik (Koeypudsa dan Jongjareanjai
2010). Selanjutnya Bozorgnia et al. (2011) juga melaporkan bahwa suhu
berpengaruh signifikan pada proses fisiologis ikan, seperti respons imun,
pertumbuhan dan metabolisme. Suhu normal untuk ikan beradaptasi di daerah
tropis berkisar antara 22-35⁰C (Howerton 2001). Suhu optimum untuk
13
pertumbuhan berkisar antara 25-31⁰C (Popma dan Masser 1999 dalam Atli dan
Canli 2008).
Suhu dapat mempengaruhi aktivitas Na+K
+-ATPase dan morfologi insang
ikan air tawar maupun air laut. Pola perubahannya, pada ikan air tawar lebih
konsisten apabila dibandingkan dengan ikan air laut (Evans dan Claiborne 2006).
Na+K
+-ATPase berperan penting pada saat adaptasi terhadap perubahan faktor
suhu dan salinitas (Inman dan Lockwood 1977 dalam Atli dan Canli 2008).
Sistem Kekebalan pada Ikan
Ikan termasuk hewan vertebrata yang sistem pertahanannya mirip dengan
hewan mamalia dan burung. Sistem pertahanannya dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu sistem pertahanan bawaan dari lahir (innate) dan sistem pertahanan
yang didapatkan (adaptive). Perlindungan didasarkan atas kekebalan bawaan
(innate immunity) secara umum tidak bergantung pada struktur organisme yang
menyerang. Namun, komponennya bereaksi cepat dan relatif tidak bergantung
pada suhu. Ikan memiliki kemampuan respons imun nonspesifik dan spesifik
(humoral) yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) (Woo 2006).
Sistem Kekebalan Nonspesifik
Sistem kekebalan nonspesifik adalah jika inang memberikan respons yang
sama terhadap berbagai jenis antigen, baik antigen berkontak untuk pertama kali
dengan inang maupun yang sudah berulang, tanpa menimbulkan respons memori
pada tubuh inang. Jika suatu individu terpapar oleh bahan asing maka yang
pertama kali akan merespons adalah sistem pertahanan bawaan atau nonspesifik.
Kulit dan mukus, merupakan sistem pertahanan fisik pertama (kekebalan non-
spesifik) pada ikan yang dapat mencegah masuknya mikroorganisme patogen
(Stoskopf 1993). Keuntungan lainnya dari kulit adalah dapat mempertahankan
osmolaritas terhadap lingkungan perairan (Ellis 1988). Selanjutnya dilaporkan
mukus atau lendir yang terdapat pada permukaan tubuh ikan, juga berfungsi untuk
menghambat kolonisasi mikroorganisme pada integumen.
Mukus pada kulit dihasilkan oleh sel-sel goblet, yang berfungsi untuk
mencegah menempelnya bakteri, fungi, parasit, dan virus. Mukus mengandung
lisosim, komplemen, dan immunoglobulin (Ig), kesemua ini tergolong ke dalam
14
sistem kekebalan nonspesifik. Baru-baru ini ditemukan antibodi yang dihasilkan
sebagai akibat infeksi parasit dan bakteri di lendir dan antibodi yang dihasilkan
bukan berasal dari serum, tetapi dihasilkan oleh limfosit yang terdapat pada kulit.
Molekul humoral pada mukus ikan ini termasuk lektin (kharbohidrat), transferin,
dan merupakan komponen dari sistem komplemen. Sel-sel nonspesifik dari sistem
imun ikan termasuk monosit atau makrofag jaringan, granulosit (heterofil), dan
sitotoksit (Craig et et al. 2005). Selanjutnya, Douglas et al. (2001) melaporkan
bahwa mukus yang terdapat di kulit dan usus juga mengandung bahan
antimikrob, yaitu berupa peptida, seperti pleurosidin. Bahan ini diekpresikan pada
hari pertama hingga hari ketiga setelah menetas, dan diduga memegang peranan
penting dalam kehidupan ikan sebelum berkembangnya sistem kekebalan.
Lisozim mempunyai aktivitas antibakteri (khususnya pada Gram positif) yang
menyebabkan lisis dan dapat juga berperan sebagai opsonin (Ellis 1988). Lisozim
juga dilaporkan dapat meningkatkan fagositosis (Engstad et al. 1992). Mekanisme
sistem kekebalan ini tidak menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan
mampu melindungi tubuh terhadap berbagai jenis patogen.
Ikan yang dipelihara pada suhu 20οC mempunyai aktivitas dan produksi
komplemen yang meningkat bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu
5 dan 10οC. Namun, peningkatan aktivitas komplemen ini apakah akibat
peningkatan produksi protein komplemen atau perubahan fungsi protein
komplemen pada ikan yang dipelihara pada suhu tinggi belum diketahui
(Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa terjadi penurunan
aktivitas hemolitik dari serum ikan channel catfish pada musim semi dan musim
dingin. Demikian juga dengan kemampuan opsonisasi plasma ikan menurun pada
pemeliharaan di suhu rendah. Efisiensi opsonisasi plasma ikan rainbow trout lebih
efisien pada kisaran suhu 10–15οC, dengan rasio OZ (Opsonisasi Zymozan) dan
NOZ (Non Opso-nisasi Zymozan) tidak lebih dari 1.0 (Nikoskelainen et al. 2004).
Sistem Kekebalan Spesifik (humoral)
Kekebalan spesifik atau humoral erat kaitannya dengan pembentukan
antibodi. Perkembangan respons ikan terhadap kekebalan nonspesifik, spesifik,
dan memori kekebalan sepesifik diilustrasikan pada Gambar 6. Apabila agen
infeksius melakukan penetrasi ke ikan, maka mekanisme kekebalan nonspesifik
15
akan terstimulasi dan menghambat serangan agen infeksi. Jika sistem kekebalan
nonspesifik ini dapat bekerja dengan baik, maka penyakit tidak akan berkembang.
Sebaliknya, apabila sistem ini tidak bisa melawan antigen yang masuk maka
penyakit akan berkembang. Untuk mengatasi hal ini maka mekanisme pertahanan
spesifik akan berperan dalam proses penyembuhan dan memblok perkembangan
infeksi. Selanjutnya, apabila terinfeksi kembali, maka sistem kekebalan memori
spesifik akan langsung merespons sehingga ikan terlindungi dari penyakit.
Gambar 6. Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius
(www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf).
Mekanisme pertahanan spesifik dalam pembentukan antibodi adalah
dimulai dari adanya antigen yang masuk kemudian ditelan oleh makrofag,
selanjutnya makrofag akan mengaktivasi sel limfosit B untuk melakukan pro-
liferasi. Makrofag diaktivasi juga untuk menghasilkan interleukin-1 yang
kemudian akan mengaktifkan sel limfosit T untuk kembali memproduksi
interleukin-2, yang mendukung terjadinya proliferasi sel-sel limfoblas dan men-
stimulasi sel limfosit B untuk menghasilkan immunoglobulin. Ikan hanya
mensintesis satu jenis immunoglobulin, yaitu immunoglobulin M (IgM) Stoskopf
1993. IgM lebih efisien dari pada IgG dalam aktivasi komplemen, opsonisasi
netralisasi dari virus, dan aglutinasi (Tizar 1987). Mekanisme pembentukan
antibodi mulai dari hadirnya antigen hingga terbentuknya antibodi diilustrasikan
pada Gambar 7 dan 8.
16
Gambar 7. Proses pembentukan antibodi
(www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf)
Gambar 8. Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit pada ikan
(Stoskofp 1993)
Hematologi
Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan yang
membentuknya. Darah merupakan bagian yang terpenting dalam sistem
transportasi di dalam tubuh. Jumlah darah di dalam tubuh, berkisar antara 6-8%
dari bobot badan (Robert 1978). Fungsi darah dalam sirkulasi adalah sebagai
media pembawa bahan nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan, dan sisa
metabolisme dari sel ke organ eksresi, sebagai regulasi suhu tubuh, dan lain-lain.
Secara rinci fungsi darah adalah; 1) membawa zat makanan yang telah disiapkan
Lymphocyte proliferation
LymphocyteProliferation
Macrophage
Antigen
IgM
17
oleh saluran pencernaan menuju ke seluruh jaringan tubuh, 2) membawa oksigen
ke jaringan, 3) membawa karbon dioksida dari jaringan, 4) membawa produk
buangan dari berbagai jaringan untuk diekresikan, 5) membawa hormon dari
kelenjar endokrin ke organ lain, 6) berperan penting dalam pengendalian suhu
tubuh, 7) berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, 8) berperan dalam
sistem buffer untuk membantu mempertahankan pH, 9) penggumpalan atau
pembekuan darah sehingga dapat mencegah terjadinya kehilangan darah yang
berlebihan pada saat luka, dan 10) mengandung berbagai faktor penting untuk
mempertahankan tubuh dari serangan penyakit (Anderson dan Swicki 1995;
Iwama dan Nakanishi 1996).
Darah ikan terdiri atas sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih
(leukosit). Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah, warna merah
disebabkan oleh adanya hemoglobin. Hemoglobin merupakan zat warna (pigmen)
darah yang berupa ikatan kompleks protein terkonjugasi, yang dibentuk oleh
pigmen dan protein sederhana. Protein ini adalah suatu histon yang disebut globin.
Warna merah dari hemoglobin disebabkan oleh heme, yaitu suatu ikatan metalik
mengandung sebuah atom besi (Fe) (Swenson 1984 dalam Hidayaturrahmah
2011).
Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar Fe di dalam tubuh karena besi
merupakan komponen terpenting dalam pembentukan molekul heme. Jika tidak
terdapat transferin dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan kegagalan dalam
pengangkutan zat besi menuju eritroblast. Hal ini dapat menimbulkan kondisi
anemia hipokromik yang berat, yaitu terjadinya penurunan jumlah eritrosit yang
mengandung lebih sedikit hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).
Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan
persentase (berdasarkan volume) dari darah yang terdiri atas sel-sel darah merah.
Nilai hematokrit dapat digunakan sebagai perkiraan jumlah eritrosit di dalam
tubuh secara cepat. Jika nilai hematokrit dalam darah rendah maka dapat diartikan
bahwa jumlah sel darah merah di dalam tubuh lebih sedikit dibandingkan dengan
kondisi normal (Foster et al. 2006).
Leukosit merupakan salah satu sel darah yang mempunyai peran sangat
penting dalam sistem kekebalan ikan. Leukosit sangat berbeda dari eritrosit karena
18
memiliki kemampuan bergerak bebas dan mampu keluar dari pembuluh darah
menuju jaringan dalam melakukan fungsinya. Jumlah leukosit jauh di bawah
eritrosit dan bervariasi bergantung pada jenis hewannya. Jumlah leukosit yang
menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting dalam
mengevaluasi gangguan kesehatan. Jumlah leukosit akan meningkat secara pesat
dalam waktu singkat apabila terjadi suatu penyakit infeksi ( Iwama dan Nakanishi
1996). Sel leukosit, terdiri atas limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit dengan
fungsi yang berbeda-beda.
Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis
Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah parasit golongan protozoa yang
biasa menyerang ikan air tawar pada usaha budi daya intensif. Patogenitas ich
dapat menyebabkan mortalitas hingga 100%. Parasit ini bersifat obligat dan
hidup atau tinggal di bawah epitelium kulit, insang, dan sirip, serta memakan
jaringan inangnya (Lobo-da-Cunha dan Azevedo 1990). Ichthyophthirius-
multifiliis bentuknya bundar, seluruh permukaan tubuh ditutupi oleh silia yang
berguna untuk bergerak dan melakukan penetrasi ke lapisan epidermis ikan. Ich
memiliki sejumlah vakuola, mikro dan makro nukleus. Makro nukleus bentuknya
seperti tapal kuda yang merupakan ciri khas dari I. multifiliis. Stadia trophozoid
dari I. multifiliis berukuran 0.5-1cm, sedangkan theront berukuran 25-70x15-
22μm (Lom dan Dykova 1992).
Ich stadia dewasa dinamakan trophozoid dan akan lepas dari tubuh ikan,
dinamakan trophont. Trophont akan mensekresikan gelatin dan membentuk kista.
Trophont tersebut akan bergerak secara perlahan dan mulai melakukan
pembelahan sel secara binary fision. Trophont akan menghasilkan theront yang
jumlahnya berkisar antara 250-2.000 sel (Lom dan Dykova 1992). Kemampuan
trophont menghasilkan theron sangat bergantung pada ukuran trophozoid dan
lamanya berada di tubuh ikan (Ewing dan Kocan 1986). Siklus hidup ich terdiri
atas tiga fase, yaitu fase hidup bebas (theront), fase bersifat parasit (trophozoid),
dan fase reproduksi (trophont) (Lobo-da-Cunha dan Azevedo1994). Theront yang
dihasilkan akan langsung bergerak aktif mencari inang (host), apabila tidak
menemukan inang dalam waktu maksimal 94 jam theront akan mati. Siklus hidup
ich langsung dan tidak membutuhkan inang perantara (Ewing dan Kocan 1992).
19
Faktor lingkungan, seperti suhu, sangat berpengaruh pada siklus hidup ich. Pada
suhu 10oC siklus hidup lebih kurang 20 hari, pada suhu 13-15
⁰C menjadi 12 hari,
pada suhu 18–20οC turun menjadi 7 hari, dan pada suhu 22–24
οC adalah 3–6 hari.
Faktor lain yang berpengaruh adalah pH, dan kandungan oksigen. pH di bawah 5
atau di atas 10, dan konsentrasi oksigen 0.2 mgL-1
akan menyebabkan kematian
ich pada semua stadia (Lom dan Dykova 1992). Siklus hidup ich diliustrasikan
pada Gambar 9.
Gambar 9. Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis Noga (2000) Keterangan : a. Trophozoid, b. Trophont, c. Theront
Suhu yang optimum bagi ich (stadia theront) untuk melakukan invasi ke
ikan adalah pada suhu 24–26οC, sedangkan pada suhu 29
οC I. multifiliis tidak
mampu menginfeksi ikan. Hal ini terbukti dari ikan yang terinfeksi ich ditularkan
ke ikan sehat yang dipelihara pada suhu 29οC tidak terjadi infeksi, sebaliknya ikan
yang sebagai sumber infeksi ini jadi sembuh (Syawal et al. 2001).
Penyebaran penyakit ini dipicu oleh adanya peningkatan aktivitas budi
daya dan perdagangan ikan hias. Patogenitasnya meningkat apabila ikan dalam
kondisi stres akibat tingginya populasi ikan dalam wadah pemeliharaan, kualitas
air yang buruk, dan mutu pakan yang rendah (Paperna 1996 dalam Woo et al.
2002). Penyakit ichthyophthiriasis biasanya berkembang apabila suhu air relatif
hangat dan ikan dalam kondisi stres akibat kandungan oksigen rendah, atau
kepadatan ikan tinggi (Woo 2006). Jutaan ikan mati pada usaha budi daya
intensif disebabkan oleh parasit ich (Valtonen dan Keranen 1981 dalam Elsayed et
20
al. 2006). Kasus ini sering terjadi pada sistem budi daya tertutup, seperti di kolam
dan akuarium, serta adanya ikan baru yang membawa parasit ich (Maki 2002).
Patogenitas Ichthyophthirius multifiliis
Theront melakukan penetrasi dan perporasi ke dalam epitel kulit ikan di-
mungkinkan oleh adanya enzim yang dihasilkan ich, yaitu enzim hialuronidase.
Enzim hialuronidase selain digunakan untuk merobek dinding sel trophont agar
theront dapat keluar, juga digunakan untuk melarutkan lapisan zat tanduk dari
sisik sehingga ich dapat masuk ke dalam lapisan epitel (Stanley 1995). Parasit ich
menyerang epitel insang dan kulit sehingga menimbulkan kerusakan dan
akibatnya keseimbangan osmotik terganggu (Witeska et al. 2010).
Xu et al. (2000) melaporkan bahwa theront adalah stadia infektif dari ich
yang menyerang ikan Lepomis macrochirus, kemudian menempel dan
berkembang menjadi trophozoid, serta bergerak secara memutar pada jaringan
epidermis ikan tersebut. Lebih dari 88% theront dapat menempel pada sirip,
insang, dan kulit setelah satu jam pascainfeksi. Theront berkembang menjadi
trophozoid dan meningkat diameternya dari 27.21μm menjadi 30+3.1 μm setelah
4 jam pascainfeksi pada organ insang. Peningkatannya, sebesar 9.6% dengan
rata-rata 1.2% / jam dari 4 sampai 8 jam pascainfeksi.
Patogenitas ich dimulai ketika theront sudah menempel pada permukaan
kulit atau insang, maka ich mulai melakukan perforasi ke bagian epidermis.
Selanjutnya ich mengeluarkan enzim yang bersifat racun bagi jaringan sehingga
terbentuk nekrosis pada lapisan spongosum pada dua jam pascainfeksi. Kemudian
nekrosis berkembang hingga ke lapisan kompaktum, 3–48 jam pascainfeksi.
Dengan demikian, sistem osmoregulasi terganggu dan keseimbangan ion-ion di
dalam tubuh menjadi tidak stabil sehingga berakhir dengan kematian (Mulyana
1999). Ikan yang terinfeksi berat dapat menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit,
terjadinya peningkatan hiperplasia pada sel-sel epitel, dan secara umum juga
meningkatkan jumlah sel-sel mukus pada kulit (Hines dan Spira 1974 dalam
Dickerson 2006). Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil pengamatan histopatologi
di tempat-tempat yang terjadi nekrosis ditemukan sel trophozoid.
21
Vaksinasi
Vaksin
Vaksin merupakan sediaan antigen yang diperoleh dari mikroorganisme
patogen atau substrat yang merupakan produk dari patogen tersebut dan bersifat
immunogenik, antigenik, dan protektif yang kemudian dilemahkan atau dimatikan
(Kamiso 1996). Suatu vaksin bersifat immunogenik apabila dapat merangsang
pembentukan antibodi. Idealnya suatu vaksin adalah harga relatif murah, mudah
diberikan, aman terhadap ikan maupun lingkungan, dan efektif dapat
meningkatkan kekebalan ikan (Stoskopf 1993).
Vaksinasi adalah suatu proses pemasukan antigen ke dalam tubuh untuk
mendapatkan kekebalan spesifik dan nonspesifik sehingga tanggap terhadap jenis
patogen tertentu (Kamiso 1996). Ellis (1988) melaporkan bahwa respons
kekebalan yang timbul setelah vaksinasi adalah respons spesifik (humoral), sesuai
dengan jenis antigen yang diberikan. Selanjutnya dilaporkan juga bahwa vaksin
tidak menimbulkan dampak negatif berupa munculnya jenis patogen yang resisten
dan tidak menyebabkan akumulasi di dalam tubuh. Secara umum ada dua jenis
vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif) dan inaktif. Vaksin hidup bisa berasal dari
parasit, seperti menggunakan ich stadia trophont maupun stadia theront,
sedangkan vaksin inaktif didapatkan dengan cara melemahkan atau mematikan
bakteri, parasit, dan virus.
Perkembangan vaksin parasit lebih lambat bila dibandingkan dengan
perkembangan vaksin dari bakteri dan virus. Ada beberapa alasan kenapa vaksin
parasit sulit untuk dikembangkan. Pertama, karena kesulitan dalam memanipulasi
parasit protozoa dan helmin di laboratorium. Kedua, kesulitan dalam mengkultur
baik secara in vivo maupun in vitro. Ketiga, pada hakikatnya parasit mempunyai
siklus hidup yang komplit dan melibatkan beberapa inang atau host (Ellis 1988).
Metode Pemberian Vaksin
Vaksinasi pada ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan pada bagian
intramuskular atau intraperitoneal, pencelupan, perendaman, penyemprotan
bertekanan tinggi, dan secara oral, yaitu melalui pakan. Aplikasi vaksinasi dengan
cara perendaman ternyata lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan teknik
22
lain karena dapat dilakukan pada berbagai ukuran serta dalam jumlah yang banyak
(Ellis 1988). Pemberian vaksin dengan cara penyuntikan biasanya dilakukan pada
ikan berukuran besar atau induk, sedangkan ikan yang berukuran kecil dengan
cara perendaman. Anderson 1974 dalam Ellis 1988 melaporkan bahwa pemberian
vaksin secara penyuntikan di bagian intraperitoneal lebih baik, karena antigen
cepat diserap, namun perlu dilakukan secara cermat agar tidak mengena usus.
Pemberian vaksin melalui oral juga ada kelemahannya, karena antigenik yang
diberikan dapat mengalami kerusakan di dalam saluran pencernaan (Austin dan
Austin 1987 dalam Stoskopf 1993).
Ling et al.(1993) melaporkan bahwa induk ikan tilapia yang divaksin
dengan 0.1 mL garam fisiologis yang mengandung 2.3x105 sel theront dapat
memberikan hasil sintasan yang tertinggi, yaitu 95.3% pada anak ikan tilapia,
setelah dilakukan uji tantang (pemaparan) dengan ich stadia theront. Selanjutnya
ikan channel catfish yang diimunisasi dengan theront hidup, baik secara
perendaman maupun diinjeksikan secara intraperitonium (i.p.), maupun trophont
yang telah disonikasi kemudian diberikan secara injeksi di bagian
intraperitonium (i.p.), dapat memberikan respons kekebalan humoral dan
memberikan perlindungan terhadap parasit ich setelah dilakukan uji tantang (Xu
et al. 2004). Hasil penelitian juga dilaporkan bahwa semua ikan yang diimunisasi
dengan theront hidup, baik secara perendaman maupun dengan cara injeksi
menghasilkan lebih dari 90% ikan yang diimunisasi secara injeksi intraperitonium
(i.p.) dengan trophont yang disonikasi berhasil hidup setelah diuji tantang dengan
theront. Ikan kontrol tidak mendapatkan perlindungan sehingga terjadi mortalitas
100%. Syawal dan Siregar (2010) juga telah melaporkan bahwa pemberian vaksin
sel utuh dari theront yang diinaktifkan dengan pemanasan, dan diberikan ke ikan
jambal siam secara perendaman dengan dosis 3mLL-1
selama 15 menit dapat
menghasilkan sintasan hingga 100% setelah dilakukan uji tantang.
Ikan rainbow trout yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi dan
diberikan secara injeksi di bagian intraperitonium (i.p.) dengan dosis rata-rata 10–
20 trophont per gram ikan, memperlihatkan tingkat infeksi lebih rendah
dibandingkan dengan ikan yang diimunisasi secara perendaman atau yang tidak
diimunisasi (kontrol). Tidak ada informasi tentang anti-ich antibodi pada
23
cutaneous (bagian kulit) pada ikan yang diimunisasi pada penelitian ini. Informasi
lain adalah 2 dari 20 ikan yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi dan
diberikan secara injeksi secara intraperitonium terlihat adanya trophont setelah 5
hari diuji tantang dengan theront (Dalgaard et al. 2002).
Ikan mas (Carassius auratus) yang diimunisasi dengan theront hidup baik
secara perendaman maupun diinjeksi, dapat melindungi ikan pada level yang
tinggi dari infeksi ich setelah dilakukan uji tantang. Pada ikan Carassius auratus
yang diimunisasi dengan trophont baik yang disonikasi maupun yang tidak diso-
nikasi dan pemberiannya secara injeksi, maka hasilnya lebih rendah dari ikan
yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi maupun yang tidak disonikasi
dan diberikan secara perendaman (Osman et al. 2009).
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi
Pemberian vaksin kepada ikan sudah banyak dilakukan, terutama vaksin
yang berasal dari antigen bakteri dan virus. Namun, vaksin yang berasal dari
parasit jarang dilakukan karena isolat dan media kulturnya belum tersedia.
Dengan demikian akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan antigen dalam
jumlah yang banyak. Demikian juga halnya dengan parasit Ichthyophthirius
multifiliis, karena ich adalah parasit obligat pada ikan sehingga hanya bisa
didapatkan dari ikan hidup. Jadi untuk mendapatkan ich sebagai antigenik dalam
skala besar untuk membuat vaksin mengalami kesulitan ( Dickerson 2006).
Keberhasilan pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan terhadap
suatu penyakit pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan pemeliharaan.
Pada suhu rendah, terjadi penekanan mekanisme kekebalan nonspesifik, humoral,
dan sel yang diperantari. Dengan demikian, pada suhu rendah antibodi yang
terbentuk lebih lama dan kadarnya juga rendah. Sebaliknya, pada suhu tinggi,
pembentukan antibodi lebih cepat dan kadarnya juga tinggi (Stoskopf 1993). Suhu
rendah dapat menurunkan kapasitas opsonisasi dalam serum. Opsonisasi pada
serum ikan rainbow trout akan lebih efisien pada suhu 10 dan 15οC
(Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya juga dikatakan bahwa pada suhu rendah
akan menyebabkan terjadinya penekanan imun (imunosupresif), sehingga akan
mempengaruhi terbentuknya titer antibodi. Ikan rainbow trout yang diberi vaksin
ich (theront) dan dipelihara pada suhu 12ºC dan 20ºC, titer antibodi tertinggi yang
24
dihasilkan pada suhu 12ºC adalah sebesar 34.3, sedangkan pada suhu 20ºC adalah
sebesar 46.0 (Alishahi dan Buchmann 2006). Hal-hal yang perlu diperhatikan
selain dari faktor suhu agar pemberian vaksin dapat mencapai hasil yang
maksimal adalah antigen harus bersifat antigenik, metode vaksinasi yang
digunakan harus tepat, termasuk dosis, dan adjuvan yang digunakan serta tingkat
perkembangan sistem kekebalan ikan (Zapata et al. 1997 dalam Darmanto 2003).
Klasifikasi dan Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio L)
Ikan merupakan sumber makanan yang penting bagi manusia karena
memiliki kandungan gizi yang tinggi, seperti protein dan asam lemak tak jenuh.
Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang
mempunyai cita rasa tinggi dan banyak digemari masyarakat sehingga termasuk
ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, usaha budi daya ikan mas
banyak dilakukan baik secara tradisional maupun intensif. Usaha budi daya ikan
mas tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumber protein,
tetapi juga sebagai sumber pendapatan keluarga (Mert et al. 2008).
Ikan termasuk hewan poikiloterm, artinya suhu tubuh dipengaruhi oleh
suhu lingkungan (Wedemeyer, 1996). Secara taksonomi, ikan mas termasuk ke
dalam phylum Chordata, klas Osteichthyes, ordo Cypriniformes, family
Cyprinidae, genus Cyprinus, dan spesies Cyprinus carpio, Linnaeus. Ikan mas
dikenal juga dengan nama ikan karper, tomroh, atau ameh. Ikan ini berasal dari
Cina dan Rusia lalu tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Ikan ini
hidup dan berkembang dengan baik pada ketinggian 150–1.000 m di atas
permukaan laut, serta pH antara 7 sampai 8. Ikan mas termasuk ikan pemakan
segala (ommivor) dan menyukai air yang dangkal, arus tidak begitu deras baik di
sungai, genangan air, atau di danau (Saanin 1986).
Kriteria kualitas air yang sesuai untuk budi daya intensif adalah memiliki
kadar oksigen terlarut antara 3 sampai 4 mgL-1
dan kadar CO2 tidak lebih dari 20
mgL-1
. Pada umumnya, kadar CO2 di perairan sebesar 2 mgL-1
, CO2 mudah larut
dalam air. Kualitas air yang buruk akan menyebabkan ikan rentan terhadap
penyakit dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu relatif singkat
(Wedemeyer 2001). Selanjutnya, Flajšhans dan Hulata (2007) melaporkan bahwa
ikan mas tumbuh baik pada kisaran suhu 23-30°C, salinitas lebih dari 5‰, pH
25
6.5-9.0. Ikan mas bersifat omnivora, namun ada kecenderungan mengkonsumsi
organisme bentik, seperti insekta air, larva insekta, cacing, moluska, dan
zooplankton.
PHYSIOLOGICAL AND HEMATOLOGICAL RESPONSE OF COMMON
CARP (Cyprinus carpio L) IN DIFFERENT TEMPERATURES OF MEDIA
Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT
This research was conducted to explore the effect of different
enviromental temperatures on the physiological and hematological conditions of
common carp (Cyprinus carpio L). Fish was exposed for 21 days in four level of
temperatures; 20, 24, 28, and 32ºC. Water electric heater was applied to maintain
the temperature. About 450 of common carps with 6.61±0.68 cm of size, and
weight 6.29±0.79 g were utilized in this experiment. The parameters of
physiological properties were the plasma concentrations of cortisol, glucose,
haemoglobin level, haematocrit, the total of red and white blood cells, and
survival rate. The measurements of these parameters were done four times; before
the treatment (0 day), 7th
day, 14th
day, and 21st day. The results showed that
media temperatures influenced the physiological condition of fish which was
marked by the increased plasma cortisol and glucose concentrations. The highest
level of cortisol (552.99 nmolL-1
) were found on 21th
day in 20ºC, glucose
(151.65± 23.57 mg100 dL-1
) were found on 7th
day in 20ºC of temperature treat-
ment, respectively. At the temperature treatment of 20, 24, and 28ºC, the values of
physiological parameters (plasma cortisol) increased, while the hematological
values decreased. Finally, the highest survival rate (100%) was found in 32ºC,
and the lowest (87±3.35%) was in 24°C.
Keywords:Cyprinus carpio, physiological, hematological responses, temperature.
PENDAHULUAN
Kepekaan ikan terhadap perubahan suhu dikarenakan suhu tubuhnya
mengikuti perubahan suhu lingkungan (poikilothermal) sehingga suhu lingkungan
dapat berpengaruh langsung pada perubahan fisiologis ikan (Wedemeyer 1996).
Perubahan suhu yang cukup besar dan mendadak dapat menimbulkan stres pada
ikan. Ikan yang mengalami stres dalam jangka waktu yang lama akan mengalami
penurunan fungsi imunitas seluler dan humoral sehingga ikan akan mudah
terinfeksi oleh mikroorgnisme patogen (Kubulay dan Ulukoy 2002). Ikan yang
dipelihara pada suhu dingin mempunyai respons imunitas yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu air yang lebih hangat
(Nikoskelainen et al. 2004). Flajšhans dan Hulata (2007) melaporkan bahwa ikan
mas tumbuh baik pada kisaran suhu 23-30°C.
28
Perubahan suhu air pada media pemeliharaan akan berpengaruh pada proses
fisiologis ikan, seperti laju pernapasan, metabolisme, denyut jantung, dan sirkulasi
darah di dalam tubuh (Nofrizal et al. 2009). Penelitian tentang pengaruh suhu
pada respons fisiologis dan hematologis ikan-ikan di daerah tropis belum banyak
diteliti, apabila dibandingkan dengan daerah subtropis. Perubahan suhu di perairan
tidak hanya akan berpengaruh pada kehidupan ikan, tetapi juga erat hubungannya
dengan keberadaan dan siklus hidup dari mikroorganisme patogen yang ada di
perairan. Mikroorganisme patogen yang biasa menyerang ikan-ikan air tawar
antara lain adalah parasit dari golongan Protozoa, seperti Ichthyophthirius
multifiliis, dan golongan Plathyhelmintes (Monogenia), seperti Dagtilogyrus dan
Girodactylus (Buchmann dan Bresciani 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons ikan mas (Cyprinus
carpio L) pada suhu media pemeliharaan yang berbeda melalui kajian fisiologis
dan hematologis. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tentang kisaran
suhu pemeliharaan yang optimum untuk pertumbuhan ikan, dan suhu yang dapat
menghambat perkembangan dari parasit yang biasa menyerang ikan. Dengan
demikian, informasi yang didapatkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi acuan
dalam mengendalikan parasit pada kegiatan budi daya.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Mei sampai akhir September 2010.
Bahan dan Alat
Persiapan Wadah dan Ikan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) berukuran
panjang 6.61±0.68 cm dan bobot 6.29±0.79 g sebanyak 480 ekor. Ikan dipe-
lihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm3, yang diisi dengan air sebanyak
40L. Kepadatan ikan satu ekor L-1
dan untuk mempertahankan suhu air dipasang
alat pemanas listrik (heater). Ikan uji dipelihara selama 21 hari, dan selama
29
pemeliharaan ikan diberi pakan komersil, tiga kali sehari ad libitum. Untuk
mempertahankan kualitas air setiap hari dilakukan penyiponan dan air diganti
sebanyak yang terbuang. Air stok yang digunakan terlebih dahulu diberi
perlakuan, yaitu pertama ditambahkan sebanyak 30 ppm hipoklorid kemudian
diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya ditambahkan 10-15 ppm tiosulfat, aerasi
tetap diberikan dan dibiarkan hingga satu minggu baru air tersebut dapat
dipergunakan. Ikan uji sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu direndam dalam
larutan kalium permanganate (PK) 5 ppm selama 15 menit.
Pengambilan Sampel Darah
Darah ikan diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syringe (1 mL)
yang telah diberi heparin sebagai antikoagulan. Sebelum darah ikan diambil,
terlebih dahulu ikannya dibius dengan phenoxyethanol dosis 0,3 mLL-1
air (Rigal
et al. 2008). Sebagian darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur
kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah total eritrosit, dan jumlah total
leukosit. Sisanya, diambil plasmanya dengan menggunakan “centrifuge” dan
plasma tersebut digunakan untuk mengukur kadar kortisol dan kadar glukosa.
Kadar kortisol plasma diukur dengan metode RIA (radio immuno assay)
Cortisol (125
I) RIA KIT (Ref: RK-240CT) IZOTOP, mengikuti prosedur (Ramsay
et al. 2006). Pengukuran kadar glukosa plasma dengan metode enzimatis
colorimetric kit Glucose liquicolor GOD-PAP produksi Human. Kadar
hemoglobin diukur dengan metode Cyanmethemoglobin dan kit modifikasi dari
Merck, pembacaan hasil dengan spektrofotometer. Nilai hematokrit, total sel
eritrosit dan leukosit diukur mengikuti prosedur Johnny et al. (2003). Sintasan
ditentukan dengan menggunakan rumus Effendi (1979), S = Nt / No x 100.
Parameter kualitas air, seperti pH, kandungan oksigen terlarut, dan NO2 juga
diukur dua kali, yaitu pada hari ke-0 dan hari ke-14. Pengukuran parameter
dilakukan empat kali, yaitu hari ke-0 atau sebelum perlakuan (ikan yang
disampling pada awal diambil dari ikan stok yang telah diadaptasi pada suhu
18⁰C), hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Jumlah ikan yang digunakan untuk
setiap kali analisis adalah 15 ekor dari setiap perlakuan.
30
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial dalam
waktu yang menjadi faktor adalah suhu dan waktu (hari pengamatan). Suhu terdiri
atas empat taraf perlakuan, yaitu suhu 20, 24, 28, dan 32°C, dan waktu penga-
matan, yaitu hari ke-0 (H-0), hari ke-7 (H-7), hari ke-14 (H-14), dan hari ke-21
(H-21). Masing-masing perlakuan memiliki ulangan tiga kali.
Analisis Data
Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data diuji
secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA), menggunakan perangkat lunak
software SAS 9.1,.3 dan minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Ikan Mas yang Dipelihara
pada Suhu Media yang Berbeda
Data hasil pengamatan terhadap nilai fisiologis ikan mas, mencakup kadar
kortisol dan kadar glukosa disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1,
terlihat bahwa hari pengamatan dan suhu lingkungan mempengaruhi kadar
kortisol (p<0.01). Kenaikan kadar kortisol terlihat sejalan dengan lamanya masa
pemeliharaan pada kelompok ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C.
Meningkatnya kadar kortisol menandakan bahwa ikan dalam kondisi stres. Untuk
melihat perubahan kadar kortisol hasil level hari pengamatan atau suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 terlihat
bahwa pola perubahan kadar kortisol menunjukkan adanya pengaruh lama waktu
pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01) terhadap kadar
kortisol. Dengan bertambahnya hari pengamatan dan meningkatnya suhu media
pemeliharaan maka kadar kortisol menurun mendekati nilai normal.
Perubahan kadar glukosa selama pengamatan disajikan pada Tabel 1. Dari
data tersebut terlihat bahwa kadar glukosa juga dipengaruhi oleh hari pengamatan
dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Terjadinya peningkatan kadar glukosa
ikan hari ketujuh pada suhu pemeliharaan 20⁰C menandakan ikan dalam kondisi
stres.
31
Tabel 1. Rataan nilai parameter fisiologis ikan mas yang dipelihara pada suhu
media yang berbeda
Suhu media pemeliharaan
Respons Waktu 20⁰C 24⁰C 28⁰C 32⁰C Nilai P
H-0 235.31 235.31 235.31 235.31 D <0.0001
Kortisol* H-7 397.44 264.11 249.11 189.28 C
(nmolL-1
) H-14 478.08 372.46 326.72 167.82 B
H-21 552.99 440.42 397.44 153.52 A
A B C D
Glukosa H-0 125.38± 5.71 125.38± 5.71 125.38± 5.71 125.38± 5.71 A 0.0005
(mgdL-1
) H-7 151.65± 23.57 117.42± 0.79 114.39± 9.92 117.86± 10.21 A
H-14 83.56± 2.65 81.74± 7.19 84.85± 7.30 84.62± 3.67 B
H-21 74.92± 15.00 94.07± 2.62 83.94± 8.73 59.09± 6.91 B
A AB AB B
Keterangan:* kadar kortisol berasal dari plasma yang dipool
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata. P < 0.05.
Gambar 10. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu media pemeliharaan yang berbeda
Perubahan kadar glukosa berdasarkan level hari pengamatan atau suhu
media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 11. Dari Gambar 11 terlihat bahwa
kadar glukosa dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) dan suhu media
pemeliharaan (p<0.05). Perubahan kadar glukosa menurun sejalan dengan
peningkatan suhu media pemeliharaan dan lamanya waktu pemeliharaan. Namun
penurunan kadar glukosa mendekati nilai normal tidak secepat penurunan kadar
kortisol.
0
100
200
300
400
500
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
KO
RTI
SOLn
mo
lL-1
HARI SUHU
c
cdb
a
a b
d
32
Gambar 11. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda
Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa pada hari ke-7 kadar glukosa
masih tinggi dan kemudian menurun mendekati nilai normal seiring dengan
lamanya masa pemeliharaan. Hal ini diduga bahwa ikan mengalami stres pada
awal masa pemeliharaan dan kemudian sejalan dengan lamanya masa
pemeliharaan ikan mulai beradaptasi. Demikian juga dengan meningkatnya suhu
media pemeliharaan mendekati suhu optimum maka kadar glukosa juga menurun
mendekati nilai normal, nilai normal glukosa ikan adalah 23 mg/dL.
Kondisi Hematologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang Dipelihara pada
Suhu Media yang Berbeda
Nilai hematologis ikan mas, seperti nilai hematokrit, kadar hemoglobin,
total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan data pada
Tabel 2 terlihat bahwa kadar hemoglobin ikan mengalami fluktuasi selama
pengamatan. Hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan berpengaruh pada
kadar hemoglobin (p<0.01). Untuk melihat perubahan kadar hemoglobin ikan
berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan
yang berbeda ditampilkan pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat
bahwa kadar hemoglobin menurun seiring dengan lamanya masa pemeliharaan
(p<0.01) dan meningkatnya suhu media pemeliharaan (p<0.01). Namun
penurunan kadar hemoglobin ini masih dalam batas nilai normal ikan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penurunan kadar hemoglobin mendekati nilai
normal menandakan ikan sudah melakukan adaptasi dengan lingkungan.
0
50
100
150
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
GLU
KO
SAm
gdL-1
HARI SUHU
a ab b a
ab ab b
33
Tabel 2. Rataan nilai hematologis ikan mas yang dipelihara pada suhu media
yang berbeda
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C 32⁰C
Hemoglobin
(gdl-1
)
H-0 8.24± 0.46 8.24± 0.46 8.24± 0.46 8.24± 0.46 B <0.0001
H-7 7.86± 0.34 6.61± 0.28 8.27± 0.43 7.80± 0.70 C
H-14 7.70± 0.15 8.39± 0.16 8.06± 0.34 10.22± 0.62 B
H-21 8.41± 0.20 9.44± 0.11 9.41± 0.05 9.16± 0.81 A
C CB B A
Hematokrit
(%)
H-0 20.66± 2.56 20.66± 2.56 20.66± 2.56 20.66± 2.56 A 0.0401
H-7 12.16± 1.52 14.66± 2.02 18.63± 0.48 17.80± 0.70 C
H-14 14.33± 1.89 14.83± 3.25 18.40± 0.63 18.66± 0.92 CB
H-21 13.60± 2.08 21.00± 4.58 19.41± 0.05 18.17± 1.04 B
B A A A
T. eritrosit
(x106selmm
-3)
H-0 1.65± 0.23 1.65± 0.23 1.65± 0.23 1.65± 0.23 A 0.0001
H-7 1.55± 0.07 1.15± 0.17 1.39± 0.81 1.64±0.53 B
H-14 1.41± 0.26 1.16± 0.17 1.29± 0.03 1.53± 0.05 B
H-21 1.25± 0.14 1.48± 0.12 1.52± 0.04 1.25± 0.13 B
AB B B A
T. Leukosit
(x103sel mm
-3)
H-0 2.16± 1.97 2.16± 1.97 2.16± 1.97 2.16± 1.97 A 0.0263
H-7 3.86± 0.3 2.02± 0.99 1.46± 0.23 1.80± 0.69 C
H-14 4.00± 0.40 2.40± 0.69 2.13± 0.30 2.20± 0.34 C
H-21 6.06± 0.41 5.06± 0.64 3.06± 0.61 1.33± 0.30 B
A B CB C
Keterangan:
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata. P< 0.05.
Gambar 12. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda
1
3
5
7
9
11
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
HEM
OG
LOB
INgd
l-1
HARI SUHU
b cb a c cb b a
34
Perubahan nilai hematokrit ikan pada pemeliharaan suhu media yang
berbeda disajikan pada Tabel 2. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai hematokrit
dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Untuk
melihat perubahan nilai hematokrit berdasarkan interaksi antara level hari
pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 13. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa perubahan nilai hematokrit menurun sejalan
dengan lama waktu pengamatan (p<0.01) dan peningkatan suhu media
pemeliharan (p<0.01).
Gambar 13. Kadar hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda
Tabel 2 menunjukkan bahwa total eritrosit juga dipengaruhi oleh hari
pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Total eritrosit ikan yang
dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami penurunan hingga hari ke-21. Terjadinya
penurunan total eritrosit diduga ada hubungannya dengan lambatnya laju
metabolisme pada suhu rendah sehingga akan mempengaruhi pembentukan sel-sel
eritrosit. Selanjutnya untuk melihat perubahan total eritrosit berdasarkan interaksi
antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada
Gambar 14. Dari gambar tersebut terlihat bahwa total eritrosit dipengaruhi oleh
hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01).
Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat bahwa total leukosit dipengaruhi
oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Selanjutnya, untuk
melihat perubahan total leukosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau
suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 15.
0
5
10
15
20
25
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
HEM
ATO
KR
IT %
HARI SUHU
a ccb b b a a a
35
Gambar 14. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda
Gambar 15. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda
Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa total leukosit dipengaruhi oleh hari
pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). pada hari ke-7 total
leukosit mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 85.92% bila
dibandingkan dengan hari ke-0, namun peningkatan ini masih dalam kisaran
normal. Total leukosit normal ikan berkisar antara 30.000-100.000 selmm-3
.
Selanjutnya berdasarkan suhu, total leukosit menurun dengan meningkatnya suhu
media pemeliharaan.
Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Mas (Cyprinus carpio L)
Data hasil pengukuran kualitas air, berupa pH, Total Amonia Nitrogen
(TAN), Nitrit, dan Oksigen terlarut ikan mas yang dipelihara pada suhu media
yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kadar
oksigen terlarut mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan lama
waktu pemeliharaan, penurunan terbesar terjadi pada suhu 24⁰C, yakni sebesar
0
0.5
1
1.5
2
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
ERIT
RO
SITx
10
6 sel
mm
-3
HARI SUHU
ab b b
ab b b c
01234567
H-0 H-7 H-14 H-21 S-20 S-24 S-28 S-32
LEU
KO
SITx
10
3 sel
mm
-3
HARI SUHU
a c c b b cb ca
36
17.88%. Selain kelarutan oksigen, pada suhu 24⁰C juga terjadi peningkatan kon-
sentrasi nitrit (NO2) yang tertinggi hingga mencapai 80%. Kedua parameter ini
diduga dapat menyebabkan ikan menjadi stres.
Tabel 3. Rata-rata kualitas air dari setiap perlakuan selama pengamatan
Parameter
Hari dan Suhu
20⁰C 24⁰C 28⁰C 32⁰C
H-0 H-14 H-0 H-14 H-0 H-14 H-0 H-14
pH 7.04 6.72 6.81 6.50 6.43 6.35 6.21 6.07
TAN (mgL-1
) 0.15 0.51 0.20 0.59 0.35 0.48 0.49 0.61
NO2 (mgL-1
) 0.022 0.035 0.020 0.036 0.021 0.033 0.023 0.028
Oksigen terlarut
(mgL-1
)
6.25 6.05 6. 15 5.05 4.93 4.65 4.09 3.94
Sintasan Ikan Mas (Cyprinus carpio L ) yang Dipelihara pada Suhu Media
yang Berbeda
Sintasan adalah jumlah ikan yang berhasil hidup pada akhir masa
pemeliharaan. Dari penelitian ini terlihat bahwa suhu media pemeliharaan 32⁰C
merupakan suhu yang optimal untuk kehidupan ikan mas, karena memiliki nilai
sintasan 100%. Suhu di bawah 32⁰C menunjukkan kondisi yang kurang kondusif
untuk kehidupan ikan mas.
Gambar 16. Persentase sintasan ikan mas pada akhir pengamatan
PEMBAHASAN
Terjadinya peningkatan kadar kortisol terutama pada ikan mas yang
dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C hingga akhir pengamatan atau hari ke-21,
menandakan ikan dalam kondisi stres. Kadar kortisol dalam plasma yang tinggi
93.32 87 91.66 100
0
20
40
60
80
100
20⁰C 24⁰C 28⁰C 32⁰C
SIN
TASA
N %
SUHU
37
merupakan salah satu indikator stres. Secara umum, stres dapat dikategorikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier. Respons
stres primer ditandai dengan pelepasan hormon katekolamin dan kortisol ke
dalam sirkulasi darah sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat.
Hormon katekolamin berasal dari jaringan chromaffin, sedangkan kortisol berasal
dari jaringan interrenal. Respons stres sekunder sering juga dikatakan sebagai
efek metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa plasma.
Respons stres tersier adalah apabila ikan tidak mampu untuk melakukan aklimasi
atau beradaptasi terhadap stressor, maka ikan akan mengalami gangguan
pertumbuhan dan reproduksi (Iwama dan Nakanishi 1996).
Efek dari tingginya kadar kortisol dalam jangka waktu yang lama dapat
menurunkan reaksi kekebalan ikan. Penurunan reaksi kekebalan ikan tersebut
disebabkan karena kortisol dapat menghambat pembentukan interleukin-1dan 2
sehingga menyebabkan sel limfosit T mati dan tidak dapat merangsang sel
limfosit B untuk memproduksi antibodi (Berne dan Levy 1988). Dengan
demikian, ikan akan mudah terinfeksi oleh parasit, bakteri, jamur, dan virus
(Kubilay dan Ulukoy 2002 ; Varsamos et al. 2006). Kondisi yang sama juga
terjadi peningkatan kadar kortisol pada ikan mas yang mengalami stres pada saat
persiapan panen, pemanenan, setelah panen, dan dalam masa transportasi, yaitu
dari 243±215 hingga 573±108 ngmL-1
(Svobodova et al. 2006). Nilai normal
kadar kortisol ikan Acipenser naccarii pada suhu 17⁰C adalah 32.0±18.7 nmolL-1
,
dan yang dipelihara pada suhu 25⁰C adalah sebesar 107.8±88.0 nmol.L-1
, nilai ini
sudah mengindikasikan kondisi stres kronis (Cataldi et al. 1998). Kadar kortisol
ikan common carp sebelum diberi stresor kepadatan 113.6 kg m−3
, adalah: 19
nmolL-1
dan setelah 87 jam meningkat menjadi 206 nmolL-1
(Raune et al. 2002).
Kadar kortisol normal ikan berkisar antara 19-150 nmol/L (Evans dan Claiborne
2006).
Hormon kortisol sangat penting peranannya dalam kehidupan, karena
kortisol dapat mempengaruhi metabolisme basal, mekanisme pertahanan, tekanan
darah, dan respons terhadap stres. Peningkatan kadar kortisol dalam plasma,
sering dijadikan sebagai indikator utama stres, sedangkan indikator kedua adalah
peningkatan kadar glukosa (Evans dan Claiborne 2006). Selanjutnya Purbayanto
38
et al. (2010) melaporkan bahwa stres dapat menimbulkan efek primer berupa
gangguan hormonal dan metabolik, dan efek sekunder berupa gangguan osmo-
regulasi, perubahan hematologis, dan penurunan imunitas ikan.
Ikan yang mengalami stres akan membutuhkan banyak energi untuk
beradaptasi melawan stres yang disebabkan oleh suhu. Dengan demikian, akan
memicu terjadinya mobilisasi glukosa ke dalam darah (Costas et al. 2008; Porchas
et al. 2009). Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar glukosa plasma pada
hari ke-7 suhu 20⁰C. Perubahan kadar glukosa dalam plasma sering digunakan
sebagai indikator kedua dari respons metabolik terhadap stres pada ikan (Evans
dan Claiborne 2006). Adanya respons stres, akan merangsang hipothalamus untuk
melepaskan corticotrophin releasing factor (CRF), dan CRF ini akan merangsang
kelenjar hipofisa anterior untuk melepaskan hormon adrenocorticotropin
(ACTH), kemudian ACTH akan merangsang sel-sel interrenal (medulla adrenal)
untuk menghasilkan kortisol dan hormon katekolamin, seperti epinefrin
(Wedemeyer 1996). Hormon-hormon ini berperan dalam proses glukoneogenesis
yang akan mendeposisi cadangan glikogen di hati dan otot untuk meningkatkan
kadar glukosa darah (Hastuti 2004).
Perubahan nilai parameter hematologis berkaitan dengan peningkatan
penyebab stres (stressor) (Gabriel et al. 2007). Terjadinya penurunan kadar
hemoglobin, nilai hematokrit, dan total eritrosit pada suhu media pemeliharaan
24⁰C mengindikasikan bahwa ikan mengalami anemia. Sebagai akibat dari
penurunan kadar hemoglobin, maka ketersediaan oksigen di jaringan akan
berkurang atau jaringan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia), sehingga
proses metabolisme terganggu. Dengan demikian, ikan akan mengalami
kekurangan energi. Lebih dari 90% oksigen yang dibawa oleh hemoglobin
berasal dari oksigen yang masuk melalui epitel insang secara difusi dan kemudian
berikatan dengan hemoglobin pada sel darah merah yang berada pada kapiler
darah (Evans dan Claiborne 2005).
Kadar hemoglobin ikan common carp adalah 6.40 gdL-1
(Houston dan De
Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004), selanjutnya Konstantinov dan
Zdanovich (2007) juga melaporkan bahwa kadar hemoglobin ikan mas pada suhu
30⁰C, adalah sebesar 8.2 gdL-1
. Rafatnezhad et al. (2008) menyatakan bahwa
39
kadar hemoglobin dalam darah ikan berkaitan dengan jumlah eritrosit (sel darah
merah). Nilai pameter hematologis ikan mas, seperti total eritrosit adalah sebesar
3.240±0.046x106 selmm
-3, total leukosit sebesar 9.688 ±1.015x10
3 selmm
-3, dan
kadar hemoglobin sebesar 4.45±0.163 gdL-1
(Ramesh dan Saravanan 2008).
Menurut Hrubec dan Smith (2010) nilai hematokrit ikan berkisar antara 20-45%
dan kadar hemoglobin adalah sebesar 5-10 gdL-1
.
Penghitungan total leukosit penting dilakukan untuk mengetahui status
kesehatan ikan. Sel leukosit pada ikan atau hewan, merupakan sistem pertahanan
yang bertanggung jawab terhadap berbagai serangan penyakit (Gbore et al. 2006).
Tingginya total leukosit pada hari ke-0 disebabkan ikan mengalami stres selama
masa aklimatisasi pada suhu 18⁰C. Secara umum, respons stres pada ikan ditandai
dengan terjadinya kondisi heteropilia dan limpopenia (Hines dan Spira 1973
dalam Stoskopf 1993). Rata-rata total leukosit ikan mas adalah sebesar 9.688 ±
1.015x103 sel mm
-3 (Ramesh dan Saravanan 2008). Menurut Hrubec dan Smith
(2010) total leukosit pada ikan Cyprinus carpio (koi) adalah: 19.900-28.100 sel
mm-3
. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa ikan yang mengalami stres, dicirikan
dengan kondisi limfopenia, heterofilia, respons inflamasi, dan meningkatnya
konsentrasi protein dalam darah. Perubahan nilai-nilai ini dipengaruhi oleh suhu
air, pH ekstrim, umur, dan jenis kelamin.
Rendahnya nilai sintasan pada suhu 24°C, diduga ikan mengalami stres
akibat adanya perubahan kualitas air, seperti terjadinya peningkatan konsentrasi
nitrit dan penurunan kadar oksigen terlarut. Peningkatan konsentrasi nitrit dapat
menimbulkan permasalahan pada kegiatan budi daya intensif atau pada budi daya
ikan hias. Konsentrasi nitrit di perairan tidak boleh lebih dari 0.06 mgL-1
(Effendi
2003). Konsentrasi nitrit yang tinggi dalam perairan biasanya berasal dari
pembusukan bahan organik akibat ketidakseimbangan proses nitrifikasi atau
denitrifikasi (Eddy dan Williams dalam Jensen et al. 1993). Keberadaan nitrit
dalam perairan pada konsentrasi tertentu akan masuk ke dalam tubuh dan diikat
oleh darah yang ada di insang pada saat respirasi berlangsung atau yang diserap
melalui epithelium usus. Nitrit ini akan terakumulasi secepatnya di dalam plasma
darah ikan jauh di atas konsentrasi lingkungan perairan. Selanjutnya, nitrit akan
menembus membran sel darah merah dan mengoksidasi besi (Fe+2
) dalam
40
hemoglobin menjadi Fe+3
(ferrihemoglobin) dan dikenal dengan nama
methaemoglobin (Wedemeyer 1996; Jensen 2003). Reaksi pembentukan
methamoglobin adalah:
4Hb (Fe2+)
O2 + 4NO-2 + 4H
+ 4Hb (Fe
3+) + 4NO3 + O2 + 2H2O
Laju pembentukan methaemoglobin akan meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi nitrit dalam darah. Kemampuan methaemoglobin untuk mengikat dan
mentranspor oksigen dari lingkungan ke seluruh bagian sel/jaringan sangat
rendah, sehingga akan menyebabkan terjadinya hipoksia (kekurangan oksigen)
dan cyanosis (lebam, biru pada kulit karena darah balik tertahan) (Colt 1983).
Kekurangan kemampuan transpor oksigen akan memberikan warna cokelat pada
darah dan dinamakan penyakit darah cokelat. Tingginya kadar nitrit pada hari ke-
14 pemeliharaan terjadi karena proses akumulasi dari sisa makanan dan hasil
metabolisme dari ikan itu sendiri. Penggunaan pakan yang berlebihan dapat
menyebabkan tingginya amoniak dan nitrit (Triyanto dan Said 2006).
KESIMPULAN
Ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres yang ditandai
dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa. Suhu optimal untuk kehidupan ikan
mas adalah 32°C.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah mem-
beri bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition. Mosby Company. St.
Louis. Washington, DC. Toronto. Halaman 962-969.
Buchmann K, Bresciani J. 2006. Monogenia (Phylum Platyhelmintes). Dalam
Woo PTK. Fish diseases and disorders. Volume 1 Protozoa and metazoan
infections 2nd
edition. University of Guelph Canada. Halaman 297-344.
41
Cataldi E, P.Di Marco, Mandich A, Cataudella S. 1998. Serum parameter of
adriatic sturgeons Acipenser naccarii (Pisces: Acipenseriformes): effects
of temperature and stress. Comparative Biochemistry and Physiology Part
A 121: 351–354.
Colt J. 1983. Pond culture practices. In JE. Lannan, RO. Smitherman, and
G.Tchobanoglous (eds.). Principle & Practices of Pon Aquaculture: A
State of the Art Review. Oregon State University, Newport, Oregon.
Halaman 187-195.
Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High
stocking density induces crowding stress and affects amino acid
metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles.
Aquaculture Research 39: 1-9.
Effendi MI.1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112
halaman
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan perairan. Kanisius Yogyakarta. 258 halaman.
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor &
Francis. Halaman. 231–340.
Flajšhans M, Hulata G. 2007. Common carp-Cyprinus carpio. Genimpact final
scientific report. Halaman 32-39.
Gabriel UU, Amakiriand EU, Ezeri GNO. 2007. Haematology and gill pathology
of Clarias gariepinus exposed to refined petroleum oil, kerosene under
laboratory conditions. Journal of Animal and Veterinary Advances 6(3):
461–465.
Gbore FA, Oginni O, Adewole AM, Aladetan JO. 2006. The effect of
transportation and handling stress on haematology and plasma
biochemistry in fingerlings of Clarias gariepinus and Tilapia zilii. Word
Journal of Agriculture Sciences 2(2): 208-212.
Hastuti S. 2004. Respons fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.)
yang diberi pakan mengandung kromium-ragi terhadap penurunan suhu
lingkungan. (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Halaman 12-44.
Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of Fishes.Dalam Weiss DJ dan
Wardrop KJ Schalm’sVeterinary hematology 6rd
edition.Wiley- Blackwell.
Ltd., Publication. Halaman 994–1003.
Jensen FB. 2003. Nitrite disrupts multiple physiological function in aquatic
animals. Comparative Biochemistry and Physiology 135: 9-24.
42
Jensen FB, Nikinmaa M, and Weber RE. 1993. Environmental perturbations of
oxygen transport in teleost fishes: causes, cosequences and
compensations. Dalam Rankin JC. and Jensen FB. (eds.), Fish
Ecophysiology. Chapman & Hall. London. Halaman 161-175.
Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003. Hematologis beberapa spesies
ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (4): 63-71
Konstantinov AS, Zdanovich VV. 2007. Influence of temperature oscillations on
some hematological value and metabolism of fish. Moscow University
Biological Sciences Bulletin 62(2): 59–61.
Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Turkish Journal of Zooloogy 26: 249-254.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS
dan Minitab. IPB Press. 276 halaman.
Moyle PB, Cech JJ. 2004. Fishes an introduction to ichthyology. Fifth edition.
Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, NJ 07458. Halaman 51-75.
Nikoskelainen S, Bylund G, Lilius EM. 2004. Effect of environmental
temperature on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) innate immunity.
Developmental and Comparative Immunology 28: 581-592.
Nofrizal, Yanase K, Arimoto T.2009. Effect of temperatur on the swimming
endurance and post-exercise recovery of jack mackerel Trachurus
japonicus as determined by monitoring. Fish Sciences 75: 1369-1375.
Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable
indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2):
158-178.
Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada
perikanan tangkap. IPB Press. 208 halaman.
Rafatnezhad S, Falahatkar B, GilaniMHT. 2008. Effects of stocking density on
haematological parameter, growth and fin erosion of great sturgeon (Huso
huso) juvenile. Aquaculture Research 39:1506–1513.
Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a
freshwater fish Cyprinus carpio exposed to chlorpyrifos. International
Journal of Integrative Biology 3(1): 80–83.
Ramsay JM, Feist GW, Varga ZM, Westerfield M, Kent ML, Schreek CB. 2006.
Whole-body cortisol is an indicator of crowding stress in adult zebrafish,
Danio rerio. Aquaculture 258: 565-574.
43
Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B.
2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution
of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus
in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3): 469–476.
Ruane NM, Carballo EC, Komen J. 2002. Increased stocking density influences
the acute physiological stress response of common carp (Cyprinus carpio
L). Aquaculture Research 33: 777-784.
Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Stoskopf MK Fish medicine. WB.
Saunders Company. Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London
Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman 149–159.
Svobodova Z, Vykusova B, Modra H, Jarkovsky J, Smutna M. 2006.
Haematological and biochemical profile of harvest-size carp during
harvest and post harvest storage. Aquaculture Research 37: 959–965.
Triyanto, Said DS. 2006. Pengaruh perlakuan jenis pakan yang berbeda terhadap
pertumbuhan ikan pelangi (Marosatherina ladigesi). Jurnal Iktiologi
Indonesia 6 (2): 85-90.
Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry
stress during early life stages affects the stress response and health status
of juvenile seabass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish
Immunology 20: 83-96.
Wedemeyer GA. 1996. Physiology of fish in intensive culture system. Chapman
and Hall. 115 Fifth Avenue New York. 232 halaman.
TEMPERATURE STRESS RESPONSE OF COMMON CARP
(Cyprinus carpio L) AFTER INFECTION WITH Ichthyophthirius multifiliis
Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT
This study was conducted to determine the physiological properties of
common carps (Cyprinus carpio L) which were infected by Ichthyophthirius-
multifiliis (ich) in theront stadia, and kept at three different media temperatures.
The design of the experiment was a Factorial in Time with two factors
(temperature and observation times) and three replications. Fish was infected with
theront by 5.000 cellsL-1
and then was exposed for 7 days to mediatemperatures of
20, 24, and 28ºC. To maintain the water temperature, electric heaters were used.
Five hundred and forty common carps with 5-7 cm of length and two months of
age were used in the experiment. Parameters measured were haemoglobin,
hematocrit, total red blood cells, and white blood cells, cortisol levels, glucose,
osmolarity values, histology of gill, and survival rate. Parameter measurements
were performed three times; at the beginning before treatment (day 0), 3rd
, and
5th
day after infection. The results showed that the temperature and ich infection
influenced haematological values of fish at 20ºC media temperature. Hematocrit
and erythrocytes decreased until the end of the treatment (5th
day), while the total
leucocyte increased. The physiological properties of fish were characterized by
the increase in cortisol and glucose levels to temperature (20ºC) but decrease in
osmolarity value. The highest cortisol and glucose levels were observed in the
3rd
day after infection at 20ºC media temperature (cortisol 657 nmolL-1
and
glucose 77.44±18.09mg 100 dL-1
). Osmolarity values decreased until the last day
of observation for all treatments with the lowest value at 20ºC media temperature
(275.00±25.69 mMkg-1
H2O). Conclusion, fish that was kept at 20ºC and infected
with ich experienced more stress than fish kept in 24 and 28ºC temperatures.
Keywords: Cyprinus carpio L, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, stress.
PENDAHULUAN
Usaha budi daya ikan mas sudah banyak dilakukan masyarakat secara
intensif, baik yang dipelihara di kolam, keramba, maupun jaring apung.
Pemeliharaan ikan mas umumnya dilakukan dengan kepadatan tinggi, dan
pemberian pakan yang maksimal agar ikan tumbuh dengan cepat. Namun, usaha
ini sering juga mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit sehingga
dapat menimbulkan kematian yang berkisar antara 30-90%, bahkan dapat
mencapai 100% apabila kondisi lingkungan sangat ekstrim dan adanya
mikroorganisme patogen (Supriyadi dan Komarudin 2003). Salah satu jenis
46
penyakit yang menyerang benih ikan air tawar adalah penyakit Ichthyophthiriasis,
yang disebabkan oleh parasit Ichthyophthirius multifiliis (ich).
Parasit ich dapat menyerang organ bagian luar ikan, seperti kulit, sirip,
mata, dan insang. Patogenitas ich dapat menimbulkan kematian pada ikan
peliharaan, terutama yang berukuran benih (kematian hingga100%) dalam waktu
relatif singkat sehingga dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (Ogut et al.
2005). Selain menimbulkan kerugian secara materi juga dapat berdampak buruk
pada kekurangan sumber protein asal hewani, karena ikan merupakan sumber
protein asal hewani yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Parasit ini bersifat obligat dan hidup atau tinggal di bawah epitelium kulit,
insang, dan sirip, serta memakan jaringan inangnya (Lobo-da-Cunha dan Azevedo
1990). Selanjutnya Lobo-da-Cunha dan Azevedo (1994) menyatakan bahwa ich
stadia dewasa,yang dinamakan trophozoid akan lepas dari tubuh ikan, kemudian
membentuk kista, hidup bebas di perairan atau menempel pada substrat, dan
melanjutkan siklus hidupnya. Xu et al. (2000) melaporkan bahwa theront adalah
stadia infektif dari ich yang menyerang ikan Lepomis macrochirus, kemudian
menempel dan berkembang menjadi trophont (trophozoid) serta bergerak secara
memutar pada jaringan epidermis ikan tersebut. Lebih dari 88% theront dapat
menempel pada sirip, insang, dan kulit setelah satu jam pascainfeksi.
Pengendalian penyakit Ichthyophthiriasis ini sudah dilakukan dengan
menggunakan antibiotik dan bahan kimia, namun hasilnya belum memuaskan
karena bahan tersebut tidak dapat membunuh semua stadia ich. Dampak lain
penggunaan bahan tersebut adalah pencemaran lingkungan dan menimbulkan
resistensi pada mikroorganisme patogen. Kesulitan dalam mengatasi penyakit ini
dikarenakan siklus hidup ich sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan
pemeliharaan.
Suhu merupakan faktor pengontrol dalam usaha budi daya. Fluktuasi suhu
siang dan malam hari dapat menimbulkan stres pada ikan. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian tahap pertama bahwa suhu dapat mempengaruhi kondisi fisiologis
dan hematologis ikan. Pada suhu 24⁰C, sintasan ikan mas paling rendah dan dari
ikan yang mati terlihat adanya gejala terinfeksi parasit. Hasil tersebut dijadikan
dasar untuk penelitian tahap kedua. Penelitian pada tahap kedua ini bertujuan
47
untuk mengkaji respons stres ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu media yang berbeda.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air
FPIK, dan Laboratorium Fisiologi FKH IPB. Waktu pelaksanaan dimulai bulan
Februari sampai dengan Maret 2011.
Bahan dan Alat
Ikan Uji
Sebanyak 540 ekor ikan mas berukuran 5-7 cm telah digunakan dalam
penelitian ini. Ikan mas ini berasal dari salah satu panti pembenihan di daerah
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Ikan uji dipelihara dalam akuarium
berukuran 60x45x35 cm3, yang diisi air sebanyak 60L, dengan padat tebar satu
ekor L-1
, dan diberi aerasi. Air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan uji
terlebih dahulu diberi perlakuan agar terbebas dari mikroorganisme patogen, yaitu
pertama dimasukkan larutan hipoklorid 30 ppm dan diaerasi selama 24 jam
kemudian ditambahkan 10-15 ppm natriumtiosulfat setelah satu minggu baru air
tersebut dapat dipergunakan. Sebelum diinfeksi, ikan uji terlebih dahulu
dibebaskan dari mikroorganisme patogen lainnya dengan cara merendam di
dalam larutan kalium permanganat (5 ppm) selama 15-20 menit. Untuk
memastikan bahwa ikan uji tidak ada terinfeksi oleh I. multifiliis adalah dengan
cara menyampling ikan stok sebanyak 15 ekor, kemudian diperiksa lendir yang
ada di permukaan tubuh dan insang di bawah mikroskop. Selama penelitian ikan
diberi pakan tiga kali sehari sampai kenyang (ad libitum).
Kultur Theront dari Ichthyophthirius multifiliis (Ich)
Stadia theront diperoleh dari kultur trophozoid. Trophozoid adalah ich
stadia dewasa yang berasal dari 200 ekor ikan sakit yang positif terinfeksi ich
(Lampiran 1). Trophozoid didapatkan dengan cara mengerik lendir yang ada pada
permukaan tubuh dengan menggunakan pisau scalpel. Kemudian lendir hasil
48
kerikan dimasukkan ke dalam petridis yang telah diisi akuades, dan selanjutnya
diinkubasi pada suhu ruang selama18-24 jam sehingga didapatkan stadia theront
(Syawal et al. 2007).
Penginfeksian
Ikan diinfeksi dengan ich stadia theront. Kepadatan theront yang
diinfeksikan 5.000 selL-1
(Lampiran 2). Penginfeksian dilakukan selama 30
menit, dengan cara merendam ikan uji dalam wadah (bervolume 30 L) yang berisi
theront dan selama penginfeksian tetap diberi aerasi. Setelah dilakukan
penginfeksian, ikan dikembalikan ke dalam akuarium sesuai perlakuan, dan
dipelihara selama satu minggu.
Pengambilan Sampel Darah
Darah diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syringe (1 mL) yang
diberi heparin sebagai antikoagulan. Sebelum darah diambil, ikan terlebih dahulu
dibius dengan phenoxyethanol dosis 0.3 mLL-1
air (Rigal et al. 2008). Sebagian
darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit. Sisanya, diambil plasmanya dengan
menggunakan sentrifuse dan plasma tersebut digunakan untuk mengukur kadar
kortisol, kadar glukosa, dan nilai osmolaritas.
Parameter yang Diukur
Pengukuran parameter dilakukan tiga kali, yaitu pada hari ke-0 sebelum
dilakukan penginfeksian, pada hari ke-3 pascainfeksi, dan pada hari ke-5
pascainfeksi. Adapun parameter yang diukur adalah gambaran darah (meliputi:
hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit), diferensial leukosit,
kadar kortisol, kadar glukosa, nilai osmolaritas, histologi jaringan insang, dan
prevalensi, serta sintasan. Kadar hemoglobin diukur dengan metode
Cyanmethemoglobin modifikasi dari Merck, dengan kit produksi Human. Nilai
hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit diukur dengan
mengikuti prosedur Johnny et al. (2003). Kadar kortisol diukur dengan meng-
gunakan metode RIA (radio immune assay) kit (CORTISOL[125I] RIA KIT (Ref:
RK-240CT) IZOTOP, kadar glukosa diukur dengan metode enzimatis
49
colorimetric kit GLUCOSE liquicolor GOD-PAP produksi Human, nilai
osmolaritas plasma diukur langsung dengan menggunakan OSMOTAT 030.
Persentase prevalensi ich pada ikan didapat dengan menggunakan rumus P = Jt/ Jo
x 100. P adalah prevalensi, Jt adalah jumlah ikan yang terinfeksi dan Jo adalah
jumlah ikan yang diperiksa. Persentase sintasan ditentukan dengan rumus: S = Nt
/ No x 100, Effendi (1979). S adalah sintasan, Nt adalah jumlah ikan yang hidup
pada akhir pengamatan, dan No adalah jumlah ikan pada awal pemeliharaan.
Gambaran jaringan insang dianalisis melalui preparat histologis yang diwarnai
dengan Hematoksilin dan Eosin (HE).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Faktorial dalam Waktu, dan
yang menjadi perlakuan adalah suhu media pemeliharaan (20⁰C, 24⁰C, dan
28⁰C) dan waktu pengamatan adalah (hari ke-0, hari ke-3,dan hari ke-5
pascainfeksi). Masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan.
Analisis Data
Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data diuji
secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan perangkat lunak
software SAS 9.1,.3 dan minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Gambaran
histologi dibahas secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Gambaran Darah Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Hasil pengamatan terhadap gambaran darah, mencakup hemoglobin,
hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan
data pada Tabel 4 terlihat bahwa kadar hemoglobin ikan mas setelah diinfeksi
dengan ich (stadia theront) mengalami peningkatan selama pengamatan, baik
berdasarkan waktu (hari) pengamatan maupun suhu media pemeliharaan (p<
0.01). Peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terjadi pada hari ke-5 pada suhu
20⁰C, yakni sebesar 138.14% bila dibandingkan dengan hari ke-0, sedangkan rata-
50
rata kadar hemoglobin tertinggi berdasarkan suhu media pemeliharaan diperoleh
pada suhu 28⁰C hari kelima. Untuk lebih jelasnya, perubahan kadar hemoglobin
hasil interaksi antara hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan ditampilkan
pada Gambar 17.
Tabel 4. Rataan nilai gambaran darah ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan
dipelihara pada suhu yang berbeda
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Hemoglobin H0 3.72 ±0.57 4.71 ± 1.31 6.13 ± 2.39 B
(gdL-1
) H3 9.68 ±1.95 11.14 ± 1.64 10.98 ± 1.22 A 0.0005
H5 10.57 ± 3.06 11.83 ± 1.64 12.26 ± 0.72 A
B AB A
Hematokrit
(%)
H0 15.00 ± 1.20 18.25 ± 0.95 18.90 ± 3.48 A
H3 8.45 ± 1.84 12.63 ± 2.66 13.94 ± 3.51 B 0.006
H5 24.75± 3.72 9.17 ± 4.17 20.50 ± 2.27 A
A A A
T. eritrosit
(x106selmm
-3)
H0 2.95 ± 0.30 3.93 ± 0.61 3.05 ± 1.06 A
0.0111 H3 2.21 ± 0.51 2.60 ± 0.51 2.22 ± 0.94 B
H5 2.57 ± 1.24 2.56 ± 0.62 2.96 ± 0.92 AB
A A A
T. Leukosit
(x103sel mm
-3)
H0 5.74 ± 1.64 8.53 ± 4.26 1.87 ± 1.26 A
0.0016 H3 4.11 ± 0.69 4.60 ± 1.76 5.05 ± 0.07 A
H5 10.50 ± 2.16 2.60 ± 0.63 3.90 ± 1.31 A
A AB B
Keterangan:
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada
baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata, P< 0.05.
Gambar 17. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
0
5
10
15
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
HEM
OG
LOB
IN g
/dL
HARI SUHU
a a b ab ab
51
Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa kadar hemoglobin dipengaruhi oleh
hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar
hemoglobin meningkat sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan dan
meningkatnya suhu media pemeliharaan. Hal ini diduga ada hubungannya dengan
kondisi yang dialami oleh ikan akibat diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada
suhu media yang berbeda. Meningkatnya suhu media pemeliharaan dapat menu-
runkan kandungan oksigen terlarut di dalam air sehingga dapat menyebabkan ikan
kekurangan oksigen. Selain itu, kekurangan oksigen di jaringan juga bisa dise-
babkan oleh keberhasilan ich menginfeksi insang ikan. Kekurangan oksigen ini
dapat memicu pembentukan darah merah yang salah satunya ditandai dengan
meningkatnya kadar hemoglobin.
Berdasarkan Tabel 4, nilai hematokrit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich
dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan dan lama pengamatan (p<0.05). Nilai
hematokrit mengalami penurunan pada hari ketiga dan kembali meningkat pada
hari kelima pada ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan 28⁰C, namun pada suhu
24⁰C mengalami penurunan hingga akhir pengamatan, yakni sebesar 49.75% dari
nilai awal (H-0). Penurunan nilai hematokrit ini diduga ada hubungan antara
terjadinya infeksi pada ikan akibat invasi sel theront. Untuk melihat perubahan
nilai hematokrit hasil interaksi antara hari pengamatan dan suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 18. Dari data terlihat bahwa nilai
hematokrit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p< 0.01) namun tidak dipengaruhi
oleh suhu media pemeliharaan.
Gambar 18. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
0
5
10
15
20
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
HEM
ATO
KR
IT %
HARI SUHU
a b a
52
Pada Tabel 4 terlihat bahwa total eritrosit ikan mas dipengaruhi oleh infeksi
ich dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Pengaruh infeksi ich terhadap total
eritrosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa total eritrosit hanya level waktu
pengamatan yang memberikan beda nyata (p<0.05). Total eritrosit pada hari
ketiga mengalami penurunan yang berarti bila dibandingkan dengan H-0. Hal ini
diduga pada hari ketiga sudah terjadi infeksi pada ikan yang disebabkan oleh ich
sehingga menyebabkan turunnya total eritrosit, dan pada hari kelima kembali
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan sudah mampu mengatasi
terjadinya infeksi.
Perubahan nilai total leukosit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dan
dipelihara pada suhu media yang berbeda selama pengamatan ditampilkan pada
Tabel 4. Dari data pada Tabel 4 terlihat bahwa total leukosit ikan yang dipelihara
pada suhu 20⁰C mengalami peningkatan hingga akhir pengamatan. Hal ini
menandakan terjadi infeksi yang berat sebagai akibat dari kondisi stres ikan pada
suhu rendah. Untuk lebih jelasnya perubahan total leukosit berdasarkan interaksi
antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada
Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa total leukosit ikan mas yang
diinfeksi dengan ich hanya berpengaruh nyata berdasarkan waktu pengamatan
(p<0.05). Pada hari ketiga, total leukosit mengalami peningkatan sebesar 214.31%
00.5
11.5
22.5
33.5
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
ER
ITR
OS
IT x
10
6se
lmm
-3
HARI SUHU
a b ab
53
bila dibandingkan dengan hari ke-0 yang diduga merupakan reaksi pertama dari
infeksi ich.
Gambar 20.Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
Diferensiasi Sel Leukosit Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Hasil pengamatan terhadap diferensiasi sel leukosit, mencakup limfosit,
monosit, dan neutrofil ikan mas yang telah diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada
Tabel 5 terlihat bahwa infeksi ich mempengaruhi persentase limfosit (p<0.05).
Nilai limfosit ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami penurunan hingga
hari kelima, demikian juga pada ikan yang dipelihara pada suhu 28⁰C. Nilai
limfosit dari ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C mengalami peningkatan pada
hari ketiga dan kembali menurun pada hari kelima. Untuk lebih jelasnya,
perubahan nilai limfosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu
media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 21. Dari gambar terlihat bahwa
penurunan limfosit hanya terjadi pada hari kelima (p<0.01). Semua tingkatan suhu
media pemeliharaan mempengaruhi jumlah limfosit (p<0.05).
Perubahan nilai persentase monosit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich
dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan
data pada Tabel 5 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai persentase monosit
untuk semua kelompok ikan yang dipelihara (p<0.05). Peningkatan ini
sehubungan dengan fungsi sel monosit, yaitu berperan dalam proses fagositosis.
Dengan demikian, perubahan nilai persentase monosit ini erat hubungannya
0
5
10
15
20
25
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
LEU
KO
SIT
x10
3 sel
mm
-3
HARI SUHU
a ab b
54
dengan keberhasilan ich menimbulkan infeksi pada ikan. Untuk lebih jelasnya
perubahan nilai monosit berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau
suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 22. Nilai monosit meningkat
hanya pada hari kelima (p<0.05) dan pada suhu media pemeliharaan 28⁰C
(p<0.05).
Tabel 5. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan
ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
20⁰C 24⁰C 28⁰C Nilai P
Limfosit H0 54.75 ± 3.86 53.05 ± 3.86 52.85 ± 3.86 A 0.0005
% H3 51.25 ± 5.50 56.50 ± 1.91 38.00 ± 3.37 A
H5 45.75 ± 3.10 44.75 ± 2.75 38.00 ± 0.82 B
B A C
Monosit
%
H0 38.50 ± 4.93 37.05 ± 4.93 37.75 ± 4.93 B 0.0001
H3 41.75 ± 4.65 37.25 ± 0.96 51.25 ± 4.57 B
H5 42.50 ± 5.00 48.25 ± 2.63 50.25 ± 3.50 A
B B A
Neutrofil
%
H0 7.50 ± 3.70 8.50 ± 3.70 7.50 ± 3.70 A 0.0412
H3 10.00 ± 1.63 6.25 ± 2.06 10.75 ± 2.22 A
H5 11.75 ± 2.63 7.00 ± 4.16 9.25 ± 3.77 A
A B A
Keterangan:
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standardeviasi. Huruf yang sama pada
baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata, P< 0.05
Gambar 21. Persenase limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
0102030405060
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
LIM
FOSI
T %
HARI SUHU
a b b a c
55
.
Gambar 22. Persentase monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
Persentase neutrofil ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data tersebut
terlihat bahwa nilai neutrofil dipengaruhi oleh infeksi ich (p<0.05). Pada suhu
20⁰C nilai neutrofil mengalami peningkatan terus hingga hari ke-5, mencapai
56.66%. Demikian juga dengan ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C mengalami
peningkatan hingga hari ke-5, sebesar 42.30%. Selanjutnya untuk melihat
perubahan nilai neutrofil hasil interaksi level hari atau suhu lingkungan
ditampilkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Persentase neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa peningkatan nilai neutrofil pada
ikan mas yang diinfeksi ich hanya dipengaruhi oleh suhu media (p<0.05).
0
10
20
30
40
50
60
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
MO
NO
SIT
%
HARI SUHU
b b a b b a
0
2
4
6
8
10
12
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
NEU
TRO
FIL
%
HARI SUHU
a b a
56
Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Hasil pengukuran kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 6.
Dari data pada Tabel 6 terlihat bahwa infeksi ich dapat mempengaruhi kadar
kortisol (p<0.01). Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa kadar kortisol
ikan pada hari ketiga pascainfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20°C
memiliki kadar tertinggi. Selanjutnya untuk melihat perubahan kadar kortisol ha-
sil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan
ditampilkan pada Gambar 24.
Tabel 6. Rataan kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich
dan dipelihara pada suhu yang berbeda
Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Kortisol*
(nmolL-1
)
H0 434.38 402.44 350.89 B
0.000 H3 657.58 547.98 439.19 A
H5 293.95 279.32 488.25 C
A C B
Glukosa
(mgdL-1
)
H0 48.12 ± 2.65 48.57 ± 5.14 45.71 ± 9.16 A
0.5317 H3 77.44 ± 2.89 59.51 ± 9.78 50.89 ± 7.87 A
H5 60.06 ± 8.77 51.96 ± 7.23 61.14 ± 9.95 A
A A A
Keterangan: * kadarkortisol berasaldari plasma yang dipool
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan, ± standar deviasi. Huruf yang sama pada
baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05
Gambar 24. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
0
100
200
300
400
500
600
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
KO
RT
ISO
Lnm
olL
-1
HARI SUHU
b a ca c b
57
Bedasarkan Gambar 24 terlihat bahwa penginfeksian ich mempengaruhi
kadar kortisol berdasarkan hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media (p<.0.01)
Tingginya kadar kortisol ini menandakan ikan dalam kondisi stres berat karena
diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu rendah. Seiring dengan perubahan
kadar kortisol juga akan diikuti oleh perubahan kadar glukosa. Namun demikian
pada penelitian ini kadar glukosa tidak berpengaruh nyata
Nilai Osmolaritas Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Hasil pengukuran nilai osmolaritasikan mas yang diinfeksi dengan ich dan
dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 7. Dari data pada
Tabel 7 terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari pengamatan dan
suhu media pemeliharaan (p<0.05). Nilai osmolaritas terendah didapatkan dari
ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C pada hari ketiga. Rendahnya nilai
osmolaritas ini diduga disebabkan karena keberhasilan ich menginfeksi ikan
terutama pada organ insang dan kulit. Kedua organ tersebut berfungsi sebagai
osmoregulator. Terjadinya kerusakan pada insang akibat ich menyebabkan
banyaknya air yang masuk ke dalam tubuh sehingga konsentrasi zat-zat terlarut
akan berkurang, dengan demikian nilai osmolaritas menjadi rendah. Selanjutnya
untuk melihat perubahan nilai osmolaritas hasil interaksi level hari pengamatan
dan suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 25. Berdasarkan Gambar
25 terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05)
dan suhu media pemeliharaan (p< 0.05). Pada hari ketiga nilai osmolaritas
mengalami penurunan yang signifikan pascadiinfeksi dengan ich.
Tabel 7. Nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu yang berbeda
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Osmolaritas
mMolkg-1
H2O
H-0 303.33 ± 5.51 302.00 ± 4.36 320.33 ± 11.55 A
0.0008 H-3 247.50 ± 24.78 284.17 ± 19.53 283.50 ± 22.50 B
H-5 287.50 ± 16.53 366.83 ± 10.37 325.83 ± 23.23 A
B A A
Keterangan:
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi.Huruf yang berbeda
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata P < 0.05
58
Gambar 25. Kadar osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
Gambaran Histologi Insang Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Gambaran histologi insang ikan 72 jam pascainfeksi dengan ich pada
suhumedia pemeliharaan yang berbeda ditampilkan pada Gambar 26. Gambar 26a
adalah preparat histologis insang ikan pada suhu media pemeliharaan 20⁰C yang
menunjukkan adanya perbesaran sel (hiperseluler), banyaknya sel-sel goblet, dan
adanya infiltrasi sel limfosit. Disimpulkan bahwa insang ikan mengalami
inflamasi. Selanjutnya pada Gambar 26b terlihat bahwa infiltrasi sel limfosit yang
ditemukan sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan Gambar 26a, dan
tidak ditemukan adanya perbesaran sel, sedangkan pada Gambar 26c juga
ditemukan infiltrasi sel limfosit, namun jumlahnya juga tidak sebanyak pada
Gambar 26a. Dapat disimpulkan bahwa insang ikan pada suhu media air
pemeliharaan 24⁰C dan 28⁰C tidak mengalami inflamasi.
Prevalensi Ich dan Sintasan Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich
Persentase prevalensi ich pada ikan mas disajikan pada Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa prevalensi ich dipengaruhi oleh suhu media
pemeliharaan (p<0.05). Pada suhu 20⁰C prevalensi ich lebih tinggi bila
dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu media 24 dan 28⁰C.
Tingginya prevalensi ich menandakan bahwa patogenitas ich tinggi pada suhu
20⁰C. Selain itu juga diduga bahwa ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C sudah
mengalami stres sehingga mudah terinfeksi.
Sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich dipengaruhi oleh suhu media
pemeliharaan (p<0.01). Rendahnya sintasan yang dihasilkan menandakan bahwa
50
100
150
200
250
300
350
H-0 H-3 H-5 S-20 S-24 S-28
Osm
ola
rita
sm
Mo
lkg-1
H2O
HARI SUHU
a a b a ab
59
kisaran suhu 20⁰C sampai 28⁰C merupakan kisaran suhu yang baik untuk ich
melakukan invasi pada ikan.
Gambar 26a.Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi
pada suhu 20⁰C (Pewarnaan H&E, Bar 200 μm)
Keterangan: (a) hiperseluler : (b) infiltrasi sel limfosit : (c) sel goblet
Gambar 26b. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi
pada suhu 24⁰C(Pewarnaan H&E, Bar 200μm)
Keterangan: (1) hiperseluler : (2) sel goblet: (3) infiltrasi sel limfosit.
3
2
1
2
3
1
60
Gambar 26c. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi
pada suhu 28⁰C (Pewarnaan H&E, Bar 200 μm)
Keterangan: (1) hiperseluler : (2) sel goblet : (3) infiltrasi sel limfosit
Tabel 8. Rataan Persentase prevalensi ich dan sintasan ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
Renpons Suhu media pemeliharaan Nilai P
20⁰C 24⁰C 28⁰C
Prevalensi (%) 62.77±5.17a 55.09±2.94b
53.48±1.76b 0.0402
Sintasan (%) 58.11±2.16a 73.88±1.62
b 74.10±4.18
b 0.000
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi.Huruf yang sama pada baris yang
sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata , P < 0.05
PEMBAHASAN
Stres yang diakibatkan oleh suhu dan infeksi ich dapat mempengaruhi
gambaran darah ikan. Rendahnya kadar hemoglobin pada hari ke-0 dan suhu 20⁰C
bila dibandingkan dengan suhu 24⁰C, dan 28⁰C menandakan bahwa suhu
mempengaruhi kadar hemoglobin. Pada suhu rendah, laju metabolisme rendah
sehingga mempengaruhi laju pembentukan eritrosit. Rendahnya jumlah total
eritrosit pada suhu rendah diikuti pula dengan rendahnya kadar hemoglobin.
Sebaliknya pada suhu tinggi, laju metabolisme tinggi dan diikuti oleh
1
2
3
61
pembentukan eritrosit. Rendahnya laju metabolisme juga erat kaitannya dengan
ketersediaan oksigen di lingkungan. Hal ini dapat dimengerti bahwa pada suhu
rendah ketersediaan oksigen terlarut lebih tinggi bila dibandingkan pada suhu
tinggi (Wedemeyer 2001). Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada su-
hu 20⁰C adalah 6.3 mgL-1
, sedangkan pada suhu 24⁰C dan 28⁰C adalah 4.5 mgL-1
.
Dengan demikian, ikan mas yang dipelihara pada suhu 24⁰C dan 28⁰C
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Untuk mengatasi kekurangan oksigen
di jaringan maka produksi eritrosit meningkat atau disebut juga eritropoiesis.
Dengan meningkatnya jumlah total eritrosit maka kadar hemoglobin juga me-
ningkat, karena hemoglobin terkandung di dalam eritrosit dan berfungsi
mengangkut oksigen ke jaringan. Hal ini terbukti bahwa kadar hemoglobin pada
suhu tinggi nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan suhu rendah.
Peningkatan kadar hemoglobin pada hari ketiga dan kelima erat kaitannya
dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan. Ich yang berhasil menempel pada
epitel insang ikan akan berkembang menjadi dewasa. Akibatnya, terjadi
kerusakan pada organ insang, seperti yang terlihat pada hasil preparat histologis
(Gambar 26). Mekanisme infeksi ich telah memicu terjadinya hiperplasia pada
sel-sel epitel insang, sehingga interlamela insang mengecil ukurannya dengan
demikian tempat pertukaran oksigen menjadi terbatas. Akibatnya, proses respirasi
terganggu (Dang et al. 2000).
Peningkatan kadar kortisol juga diikuti oleh peningkatan kadar glukosa pada
hari ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa ikan mengalami stres akibat suhu dan
diinfeksi dengan ich. Terjadinya peningkatan kadar kortisol ini disebabkan oleh
adanya stresor suhu dan infeksi ich sehingga merangsang bagian hipothalamus
untuk melepaskan hormon adrenocorticosteroid (ACTH). Hormon ini merangsang
korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol dan hormon kortikosteroid lainnya.
Kadar kortisol yang tinggi dapat menekan sistem imunitas ikan, karena kortisol
dapat menghambat terbentuknya interleukin-1 dan interleukin-2, sehingga dapat
mempengaruhi atau menghambat sel limfosit T dalam membantu sel B untuk
mengasilkan antibodi (Berne dan Levy 1988; Isnaeni 2006). Dengan demikian,
kekebalan ikan menurun dan mudah terinfeksi oleh ich.
62
Tingginya kadar kortisol pada hari ketiga pascainfeksi menandakan ikan
dalam kondisi stres berat akibat dipelihara pada suhu rendah dan diinfeksi dengan
ich. Dengan demikian, ikan akan mudah terinfeksi (Kubilay dan Ulukoy 2002 ;
Varsamos et al. 2006). Hal yang sama juga terjadi pada hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Jorgensen dan Buchmann (2007) bahwa peningkatan kadar
kortisol terjadi baik pada kondisi kronis maupun akut pada ikan rainbow trout
yang terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan diperlakukan dengan formalin.
Akibat stres ini, ikan membutuhkan energi yang besar untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya (Costas et al. 2008). Dengan demikian, hormon stres ini
akan merangsang peningkatan produksi glukosa melalui jalur glukoneogenesis
dan glikogenolisis untuk mengatasi kebutuhan energi yang disebabkan oleh stres.
Tingginya kebutuhan energi untuk mempertahankan hidup oleh ikan yang
mengalami stress akan merangsang terjadinya mobilisasi glukosa ke dalam darah.
Pada kondisi ini, sel-sel chromaffin melepaskan hormon katekolamin, adrenalin,
dan noradrenalin ke sirkulasi darah (Porchas et al. 2009). Hal ini terbukti dengan
meningkatnya kadar glukosa plasma pada semua suhu pemeliharaan pascainfeksi
ich. Perubahan kadar glukosa dalam plasma sering digunakan sebagai indikator
kedua dari respons metabolik terhadap stres pada ikan (Evans dan Claiborne
2006).
Stres pada ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu air
media yang berbeda tidak hanya meningkatkan kadar kortisol dan glukosa plasma,
tetapi juga dapat menurunkan nilai osmolaritas plasma pada hari ke-3
pascainfeksi. Penurunan nilai osmolaritas plasma berkaitan dengan kerusakan
organ insang akibat invasi ich. Keberhasilan ich (sel theront) menginvasi ikan
terkait dengan masa aktifnya sel theront, yaitu 48 jam dan apabila tidak
menemukan ikan maka theront mati (Gratzek 1993). Kerusakan pada insang selain
diakibatkan oleh perforasi sel theront ke lapisan epitel juga dipicu oleh tingginya
kadar kortisol di dalam plasma. Peningkatan kadar kortisol pada ikan tilapia juga
mengakibatkan meningkatnya jumlah sel-sel chloride pada lamella insang.
Dengan demikian, kortisol mampu menginduksi terbentuknya hiperplasia dan
hipertropi dan secara bersamaan dengan meningkatnya sel-sel chloride dalam
membrane plasma (Dang et al. 2000). Akibat, terjadinya hiperplasia dan
63
hipertropi pada lamella insang maka ikan akan mengalami gangguan respirasi dan
proses osmoregulasi. Selanjutnya Purbayanto et al. (2010) melaporkan bahwa
stres dapat menimbulkan efek primer berupa gangguan hormonal dan metabolik,
dan efek sekunder berupa gangguan osmoregulasi, perubahan hematologis, dan
penurunan imunitas ikan.
Rendahnya sintasan ikan mas pada suhu 20⁰C pascainfeksi bila dibanding-
kan dengan suhu 24⁰C, dan 28⁰C diduga karena pada suhu 20⁰C ikan mengalami
kondisi stres akut akibat infeksi ich. Hal ini terbukti dari tingginya tingkat
prevalensi pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 62.77%. Tingginya tingkat prevalensi
yang dihasilkan menandakan keberhasilan ich menginvasi ikan. Akibatnya terjadi
kerusakan pada insang sehingga menyebabkan gangguan respirasi dan proses
osmoregulasi. Pada suhu 24 dan 28⁰C ikan juga mengalami stres tetapi lebih
rendah bila dibandingkan dengan suhu 20⁰C. Hal ini ada hubungannya dengan
tingkat patogenitas ich, dan terbukti dari ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C
tanpa dilakukan penginfeksian dengan ich maka sintasan yang dihasilkan lebih
tinggi, yakni sebesar 87% (hasil penelitian tahap 1) sedangkan pada ikan yang
diinfeksi dan dipelihara pada suhu 20⁰C, angka sintasannya adalah: 58.11%.
Tingkat prevalensi ich pada suhu tinggi lebih rendah bila dibandingkan dengan
suhu rendah.
Keberhasilan ich menginfeksi ikan juga didukung oleh faktor suhu, pada
suhu air media pemeliharaan yang rendah ikan mengalami stres yang ditandai
dengan tingginya kadar kortisol. Selanjutnya karena adanya infeksi oleh ich juga
menyebabkan terjadinya penurunan nilai limfosit. Limfosit diketahui sebagai
benteng pertahanan tubuh dan berperan utama dalam pembentukan kekebalan
humoral dan seluler untuk menyerang dan menghancurkan agen penyakit (Jain
1993 dalam Esfandiari 1997). Akibat penurunan nilai limfosit maka ikan akan
mudah terinfeksi.Hal ini terbukti pada suhu 20⁰C tingkat prevalensi ich tinggi dan
kondisi ini akan merangsang terbentuknya monosit. Sel monosit berperan dalam
proses peradangan yang bersifat kronis dan dalam proses fagositosis. Papenfuss
(2010) melaporkan bahwa terjadinya peradangan akan merangsang terbentuknya
monositosis. Meningkatnya jumlah monosit merupakan respons tubuh untuk
menghancurkan patogen yang terlalu sulit untuk dihancurkan oleh sel neutrofil.
64
Osman et al. (2009) melaporkan bahwa ikan goldfish (Carassius auratus)
yang diinfeksi dengan ich stadia trophont menghasilkan mortalitas hingga 100%
pada suhu 24-27⁰C. Selanjutnya Syawal et al. (2001) juga melaporkan bahwa
tingginya patogenitas ich pada ikan patin yang diinfeksi dengan ich stadia
trophont dan dipelihara pada suhu 24-26⁰C menyebabkan terjadinya mortalitas
hingga 100%.
KESIMPULAN
Berdasarkan data gambaran darah, kadar kortisol, kadar glukosa, dan nilai
osmolaritas plasma maka ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada
suhu 20⁰C mengalami stres berat dan menghasilkan sintasan yang rendah.Tingkat
stres dan mortalitas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dapat menurun dengan
meningkatnya suhu pemeliharaan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah
memberi bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition. Mosby Company. St.
Louis. Washington, D.C. Toronto. Halaman 962-969.
Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High
stocking density induces crowding stress and affects amino acid
metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles.
Aquaculture Research 39: 1-9.
Dang Z, et al. 2000. Cortisol increases Na+/K
+-ATPase density in plasma
membranes of gill chloride cell in the freshwater tilapia Oreochromis
mossambicus. The Journal of Experimental Biology 203: 2349-2355.
Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112
halaman.
65
Esfandiari A.1997. Perubahan profil hematologi kambing local yang diinfeksi
dengan Haemonchuscontortus (Rudolphi,1983). [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 68 halaman.
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor &
Francis. 601 halaman.
Gratzek JB.1991. Parasites associated with freshwater tropical fishes Dalam Fish
Medicine. WB.Sounders Company Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
halaman 575-576.
Isnaeni W. 2006. Fisiology Hewan. Kanisius Yokyakarta. 288 halaman.
Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003. Hematologis beberapa spesies
ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(4):63-71
Jorgensen TR, Buchmann K. 2007. Stress response in rainbow trout during
infection with Ichthyophthirius multifiliis and formalin bath treatment.
ACTA Ichthyologica et Piscatoria 37 (1):25–28.
Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zoology 26: 249–254.
Lobo-da-Cunha A, Azevedo C. 1990. Ultrastructural localization of
phosphatases with cerium in ciliated protozoa. Acta Histochem cytochem
23: 467–473.
Lobo-da-Cunha A, Azevedo C. 1994. The Golgi apparatus of ciliated protozoon
Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). Europa Journal Protistology 30:
97–103.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi
SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman.
Ogut H, Akyol A, Alkan MZ. 2005. Seasonality of Ichthyophthirius multifiliis in
the trout (Oncorhynchus mykiss) farms of the eastern black sea region of
Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 5: 23-27.
Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009.
Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius
multifiliis by immunization with live theronts, trophontts and sonicated
trophontts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334.
Papenpuss TL. 2010. Monocytes and dendritic cell production and distribution.
Dalam Weiss DJ, Wardrop KJ. Schalm’sveterinary hematology.6rd
edition.Wiley-Blackwell. Ltd., Publication. Halaman 50-60.
66
Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable
indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2):
158–178.
Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada
perikanan tangkap. IPB Press Kampus IPB Taman Kencana Bogor. 208
halaman.
Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B.
2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution
of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus
in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3). 469–476,
Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358.
Supriyadi H, Komarudin O. 2003. Kerusakan jaringan ikan nila (Oreochromis
niloticus) yang terinfeksi penyakit streptococciasis. Jurnal Penelitan
Perikanan Indonesia 9 (2): 35-38.
Syawal H, Mulyadi, Aryani N. 2001. Pengaturan suhu dan padat tebar benih ikan
jambal siam (Pangasius hypophthalmus) terhadap derajat insiden
Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan 6 (2):66-
72.
Syawal H, Siregar YI, Aryani N. 2007. Pembuatan vaksin sel utuh Ich-
thyophthirius multifiliis. Laporan penelitian Hibah Bersaing tahun ke-1.
Lembaga Penelitian Universitas Riau. 42 halaman.
Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry
stress during early life stages affects the stress response and health status
of juvenile sea-bass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish
Immunology 20: 83-96.
Wedemeyer G. 2001. Fish Hatchery Management.Second Edition. American
Fisheries Society Bathesda, Maryland. Halaman 91-186.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA, Evan JJ. 2000. The early development of
Ichthyophthirius multifiliis in channel catfish in Vitro. Journal of Aquatic
Animal Health 12 (4): 290-296.
STRESS RESPONSE OF COMMON CARP (Cyprinus carpio L) DUE
TO APPLICATION OF Ichthyophthirius multifiliis VACCINE IN
DIFFERENT TEMPERATURES OF MEDIA
Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT
This study was conducted to assess the physiological responses of
commonfish due to administration of ich vaccines and different water
temperatures. The design for this study was Completely Randomized Factorial
Design. The number and the size of the experimental fish were 720 and 5-7 cm,
respecttively. Fish was vaccinated by immersing the fish in water that contained 3
mLL-1
of ich vaccines for 15 minutes. Then, fish was kept for 21 days at various
temperatures: at 18ºC which was room temperature without heater and fish had
not been vaccinated and at 20, 24, and 28ºC where fish was given the vaccines
and the aquarium is facilitated with electric heater. On the 15th
day after
immunization, challenge test was performed with 5.000 cells of life theront fish-1
.
Levels of cortisol, glucose, plasma osmolarity values, haematological profile,
leukocyte differentiation, prevalence rates, and survival rates were measured. The
measurements of these parameters were performed four times: before the
treatment (day 0), 7th
day, 14th
day, and 21st
day. The results showed that the
vaccine could reduce the stress on the fish that were kept at 20, 24, and 28ºC,
could reduce the prevalence of ich, and could increase survival rates after
challenge test. The highest survival rate which was 100% was found in fish that
was kept in 28ºC.
Keywords: Cyprinus carpio L, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, vaccine.
PENDAHULUAN
Kendala utama dalam pengembangan usaha budi daya ikan air tawar
adalah penyediaan benih yang masih terbatas baik secara kuantitas maupun
kualitas. Salah satu penyebab tingginya angka kematian pada saat masih
berukuran benih adalah akibat serangan parasit Ichthyophthirius multifiliis (Ich).
Penyakit yang ditimbulkannya dinamakan Ichthyophthiriasis atau sering juga
disebut “White Spot”. Ichthyophthirius multifiliis termasuk ektoparasit dan organ
yang diserangnya adalah insang, kulit, sirip, dan mata. Patogenitas ich dapat
menyebabkan kematian ikan hingga 100% dalam waktu yang relatif singkat
sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomis (Matthews 2005).
Pengendalian terhadap penyakit Ichthyophthiriasis sudah dilakukan de-
ngan menggunakan bahan kimia, namun hasilnya tidak efektif. Alasan pertama,
68
bahan kimia tidak efektif apabila ich telah melakukan penetrasi ke kulit dan
insang maka akan sulit untuk lepas. Kedua, bahan kimia tersebut tidak dapat
membunuh semua stadia dari ich. Ketiga, penggunaan bahan kimia dapat
mencemari lingkungan dan produk makanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pencegahan dengan cara pemberian vaksin ich. Pemberian vaksin dapat
melindungi ikan terhadap patogen tertentu dalam jangka waktu yang lama.
Keberhasilan pemberian vaksin ke ikan dalam meningkatkan kekebalan
atau dalam pembentukan antibodi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
seperti suhu. Pada suhu rendah, induksi pembentukan antibodi membutuhkan
waktu lebih lama dan titer antibodi yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini
disebabkan karena suhu dapat menimbulkan imunosupresi pada ikan. Akibatnya,
terjadi hambatan dan penekanan sintesis antibodi untuk melawan antigen yang
masuk.
Berdasarkan hal di atas dan dari hasil penelitian tahap pertama dan kedua
maka perlu dilakukan penelitian tentang pencegahan penyakit ichthyophthiriasis
dengan cara pemberian vaksin ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekebalan ikan terhadap penyakit
Ichthyophthiriasis dan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air,
FPIK dan Laboratorium Fisiologi, FKH - IPB. Waktu pelaksanaan dimulai bulan
Mei sampai dengan Oktober 2011.
Bahan dan Alat
Ikan Uji
Sebanyak 720 ekor ikan mas berukuran 5-7 cm dengan bobot rata-rata
6±1.65 g diperoleh dari Balai Benih Ikan Cibitung di Kecamatan Ciampea Bogor.
Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x45x35 cm3, yang diisi dengan air
sebanyak 60 L dengan padat tebar satu ekorL-1
. Sebelum perlakuan diberikan,
ikan terlebih dahulu direndam dalam larutan kalium permanganat (PK), sebanyak
69
5 ppm selama 15 menit agar terbebas dari mikroorganisme patogen yang
menempel. Untuk memastikan bahwa ikan uji tidak ada terinfeksi oleh I.
multifiliis adalah dengan cara menyampling ikan stok sebanyak 15 ekor, kemudian
diperiksa lendir yang ada di permukaan tubuh dan insang di bawah mikroskop.
Selanjutnya, ikan uji diadaptasi selama satu minggu. Kemudian ikan uji diberi
perlakuan dan dipelihara selama 21 hari. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan
komersil hingga kenyang (ad libitum) tiga kali sehari dan untuk mempertahankan
kualitas air dilakukan penyiponan setiap dua hari sekali.
Persiapan Antigen Ichthyophthirius multifiliis (Ich)
Trophozoid didapatkan dari ikan yang terinfeksi ich, kemudian lendir yang
ada pada permukaan tubuh ikan dikerik dengan menggunakan pisau scalpel.
Lendir hasil kerikan ditampung dalam cawan petridis yang telah diisi dengan
akuades, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 18-24 jam, sehingga
didapatkan stadia theront (Syawal et al. 2007). Stadia theront digunakan sebagai
bahan antigen dalam pembuatan vaksin. Selain itu, theront juga digunakan untuk
uji tantang.
Pembuatan Vaksin
Metode pembuatan vaksin memodifikasi prosedur Sakai (1984), yaitu
dengan cara menginaktifkan sel theront di water bath pada suhu 47oC selama 30
menit. Setelah dilakukan pemanasan dilanjutkan dengan uji viabilitas, yaitu
dengan cara mengambil beberapa tetes larutan vaksin kemudian diamati di bawah
mikroskop. Theront dinyatakan tidak aktif apabila pada waktu pengamatan tidak
ada yang bergerak (Uji viabilitas) Lampiran 4.
Pemberian Vaksin kepada Ikan
Pemberian vaksin kepada ikan adalah dengan cara perendaman. Dosis vak-
sin yang diberikan adalah 3 mlL-1
dengan kepadatan sel theront 8.000 sel mL-1
(Lampiran 2), sedangkan lama perendaman 15 menit (Syawal dan Siregar 2010).
Ikan direndam dalam wadah bervolume 30 liter, selama perendaman tetap diberi
aerasi.
70
Pemeliharaan Ikan
Ikan yang telah diberi vaksin dikembalikan ke akuarium dan dipelihara
selama 21 hari pada suhu 20, 24, dan 28⁰C untuk mempertahankan suhu, dipasang
alat pemanas listrik (heater), ikan yang dipelihara pada suhu 18⁰C (tanpa heater)
dan diberi vaksin dijadikan sebagai kontrol. Penyiponan dilakukan dua hari sekali
hingga hari ke-14 pascaimunisasi.
Uji Tantang
Uji tantang dilakukan untuk melihat efektivitas vaksin, maka pada hari ke-
15 pascaimunisasi dilakukan uji tantang dengan cara menginfeksikan sel theront
hidup sebanyak 5.000 sel ikan-1
(Alishahi dan Buchmann 2006). Penginfeksian
dilakukan di dalam akuarium pemeliharaan. Pengamatan dilakukan hingga hari
ke-7 pascaujitantang. Selama uji tantang, ikan tetap diberi makan tiga kali sehari.
Penyiponan tidak dilakukan karena dikhawatirkan therontnya akan terbawa pada
waktu penyiponan. Setiap dua hari sekali dilakukan penambahan air ke dalam
akuarium sebanyak jumlah air yang berkurang akibat penguapan.
Pengambilan Sampel Darah
Darah ikan diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syirenge 1
mL dan diberi heparin sebagai antikoagulan. Jumlah ikan yang diambil darahnya
dari setiap perlakuan adalah 15 ekor. Sebelum darah diambil terlebih dahulu ikan
tersebut dibius dengan phenoxyethanol dosis 0.3 mLL-1
air (Rigal et al. 2008).
Sebagian darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur kadar
hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit.
Sisanya, diambil plasmanya dengan menggunakan “centrifuse”. Plasma tersebut
digunakan untuk mengukur kadar kortisol, kadar glukosa, dan nilai osmolaritas.
Selanjutnya dibutuhkan serum untuk uji imobilisasi. Serum didapatkan dengan
cara mensentrifuse darah ikan yang berasal dari darah yang diambil dengan
menggunakan syrenge 1 mL tanpa diberi antikoagulan. Jumlah ikan yang
dibutuhkan untuk keperluan mendapatkan serum adalah 10 ekor dari setiap
perlakuan.
71
Parameter yang Diukur
Pengukuran parameter dilakukan empat kali, yaitu pada hari ke-0 sebelum
dilakukan imunisasi, pada hari ke-7 pascaimunisasi, hari ke-14 pascaimunisasi,
dan hari ke-21 pascaimunisasi atau hari ke-7 pascaujitantang. Adapun parameter
yang diukur adalah gambaran darah (meliputi: hemoglobin, hematokrit, total
eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit), kadar kortisol, kadar glukosa,
nilai osmolaritas, dan uji imobilisasi. Kadar hemoglobin diukur dengan metode
Cyanmethemoglobin modifikasi dari Merck, dengan kit produksi Human. Nilai
hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit diukur dengan
mengikuti prosedur Johnny et al. (2003a). Kadar kortisol diukur dengan meng-
gunakan metode RIA (radioimmunoassay) kit (CORTISOL[125I] RIA KIT (Ref:
RK-240CT) IZOTOP, kadar glukosa diukur dengan metode enzimatis
colorimetric kit GLUCOSE liquicolor GOD-PAP produksi Human, nilai
osmolaritas plasma diukur langsung dengan menggunakan OSMOTAT 030. Uji
imobilisasi mengikuti prosedur (Sigh dan Buchmann 2002). Persentase prevalensi
ich pada ikan didapat dengan menggunakan rumus P = Jt/ Jo x 100. P adalah
prevalensi, Jt adalah jumlah ikan yang terinfeksi dan Jo adalah jumlah ikan yang
diperiksa. Presentase sintasan ditentukan dengan rumus: S = Nt / No x 100,
Effendi (1979). S adalah sintasan, Nt adalah jumlah ikan yang hidup pada akhir
pengamatan, dan No adalah jumlah ikan pada awal pemeliharaan (Effendi 1979).
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial dalam waktu.
Faktor perlakuannya adalah suhu dan waktu pengamatan. Suhu yang digunakan
adalah 18oC (tanpa dipasang heater), 20, 24, dan 28
oC untuk mempertahankan
suhu dipasang alat pemanas listrik (heater). Waktu pengamatan ialah hari ke-0
sebelum dilakukan imunisasi, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21 pasca-
imunisasi, masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan.
72
Analisis Data
Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, dan diuji secara
statistik dengan analisis ragam (ANOVA), dengan menggunakan perangkat lunak
software SAS 9.1,3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Gambaran Darah Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich
Hasil pengamatan terhadap gambaran darah, mencakup hemoglobin,
hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 9. Dari data pada
tabel tersebut terlihat bahwa kadar hemoglobin tidak dipengaruhi oleh hari
pengamatan maupun suhu media pemeliharaan. Namun demikian, terdapat beda
nyata kadar hemoglobin hasil interaksi level waktu pengamatan (p<0.05) mau-
pun suhu media pemeliharaan (p<0.05). Hasil interaksi level tersebut ditampilkan
pada Gambar 27. Kadar hemoglobin mengalami peningkatan hingga hari ke-14
dan mengalami penurunan pada hari ke-21. Terjadinya penurunan kadar
hemoglobin diduga akibat adanya infeksi oleh ich setelah dilakukan uji tantang
pada hari ke-15. Suhu media pemeliharaan tidak mempengaruhi kadar
hemoglobin.
Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat bahwa hari pengamatan dan suhu
media pemeliharaan berpengaruh pada nilai hematokrit (p<0.05). Untuk melihat
perubahan nilai hematokrit hasil interaksi antara hari pengamatan atau suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 28. Nilai hematokrit ikan dipengaruhi
oleh hari pengamatan (p<0.05), sedangkan suhu media pemeliharaan tidak
berpengaruh pada nilai hematokrit.
Berdasarkan Gambar 28 terlihat bahwa nilai hematokrit mengalami
penurunan yang signifikan pada hari ke-7 sebesar 30.67% bila dibandingkan
dengan hari ke-0, dan kembali meningkat mendekati nilai normal pada hari ke-14
dan ke-21. Terjadinya penurunan dan peningkatan nilai hematokrit ini diduga
akibat pengaruh pemberian vaksin.
73
Tabel 9. Nilai parameter hematologis ikan mas yang diberi vaksin ich
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Hemoglobin
gdL-1
H0 11.34 ± 2.32 9.40 ± 1.09 9.57 ± 2.50 9.15 ± 3.18 A
H7 11.02 ± 1.52 8.08 ± 0.42 10.33 ± 1.27 10.47 ± 2.22 A 0.1724
H14 10.31 ± 0.76 9.99 ± 2.82 11.75 ± 0.78 9.99 ± 1.39 A
H21 8.54 ± 1.37 8.01 ± 2.82 9.02 ± 2.82 7.50 ± 1.73 B
A B A AB
Hematokrit
%
H0 20.40 ± 2.88 20.90 ± 4.92 19.00 ± 2.09 19.00 ± 10.23 A
0.0022 H7 12.30 ± 3.47 13.76 ± 1.45 16.00 ± 6.47 12.90 ± 4.46 B
H14 17.50 ± 6.07 9.30 ± 7.50 19.10 ± 4.07 23.30 ± 7.50 AB
H21 15.50 ± 1.97 16.00 ± 1.84 18.45 ± 3.23 18.40 ± 1.56 AB
A A A A
Total
Eritrosit
x 106
selmm-3
H0 2.44 ± 0.64 2.31 ± 0.82 2.65 ± 0.47 3.05 ± 0.50 A
0.0111 H7 1.74 ± 0.41 1.80 ± 0.05 2.49 ± 0.81 2.60 ± 0.79 BC
H14 2.40 ± 0.79 1.74 ± 1.20 2.40 ± 0.33 3.04 ± 0.25 AB
H21 1.33 ± 0.59 1.74 ± 0.84 2.04 ± 1.14 1.61 ± 1.20 C
BC C AB A
Total
Leukosit
x 103
selmm-3
H0 2.96 ± 1.96 2.60 ± 1.20 3.88 ± 2.93 3.56 ± 1.34 AB
0.0016 H7 6.84 ± 3.28 6.10 ± 1.29 1.44 ± 1.04 2.48 ± 1.83 A
H14 2.44 ± 1.12 1.32 ± 0.52 1.40 ± 0.87 1.84 ± 1.33 C
H21 3.32 ± 2.04 3.16 ± 2.41 2.16 ± 0.65 1.32 ± 0.67 BC
A A A A
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P <0.05
Gambar 27. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
0
2
4
6
8
10
12
H-0 H-7 H-14 H-21 S-18 S-20 S-24 S-28
HEM
OG
LOB
IN(g
dl-1
)
HARI SUHU
a b a ab a a aba
74
Gambar 28. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat bahwa total eritrosit dipengaruhi
oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Selanjutnya untuk
melihat perubahan total eritrosit hasil interaksi level hari pengamatan dan suhu
media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 29. Dari gambar tersebut terlihat
bahwa total eritrosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media
pemeliharaan (p<0.01). Total eritrosit pada hari ke-21 mengalami penurunan
sebesar 35.68% bila dibandingkan dengan hari ke-0. Rendahnya total eritrosit
pada hari ke-21 diduga ada hubungannya dengan terjadinya infeksi pada ikan
akibat dilakukan uji tantang dengan sel theront hidup pada hari ke-15
pascaimunisasi.
Gambar 29. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
0
5
10
15
20
25
H-0 H-7 H-14 H-21 S-18 S-20 S-24 S-28
HEM
ATO
KR
IT %
HARI SUHU
a b ab ab
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
H-0 H-7 H-14 H-21 S-18 S-20 S-24 S-28
ERIT
RO
SIT
x 1
0-6
sel
mm
-3
HARI SUHU
a ab c bc c ab abc
75
Data hasil pengukuran total leukosit ikan yang diberi vaksin selama
pengamatan disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan data pada tabel tersebut terlihat
bahwa total leukosit dipengaruhi oleh waktu pengamatan maupun suhu media
pemeliharaan (p<0.01). Tingginya total leukosit pada hari ke-7 pascaimunisasi
pada suhu 18 dan 20⁰C, diduga ada hubungan dengan pemberian vaksin.
Perubahan total leukosit hasil interaksi hari pengamatan atau suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 30. Hari pengamatan berpengaruh pada
total leukosit (p<0.01) sedangkan suhu media pemeliharaan tidak mempengaruhi
total leukosit.
Gambar 30. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Diferensiasi Leukosit Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich
Diferensiasi leukosit perlu untuk diketahui melihat status kesehatan ikan.
Hasil pengamatan terhadap nilai diferensiasi leukosit disajikan pada Tabel 10.
Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa limfosit dipengaruhi oleh hari pengamatan
dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Untuk melihat hasil interaksi antara level
hari pengamatan maupun suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 31.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai limfosit dipengaruhi oleh hari
pengamatan (p<0.05) tetapi tidak dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan.
Nilai limfosit menurun sejalan dengan lama masa pemeliharaan dan cenderung
meningkat dengan peningkatan suhu. Rendahnya nilai limfosit pada hari ke-21
menandakan ikan dalam kondisi terinfeksi akibat dilakukan uji tantang. Sesuai
dengan fungsinya, sel limfosit berperan dalam pembentukan antibodi. Pada suhu
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
H-0 H-7 H-14 H-21 S-18 S-20 S-24 S-28
LEU
KO
SITx
10
3 sel
mm
-3
HARI SUHU
ab a c bc
76
28⁰C pembentukan antibodi lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan suhu rendah.
Tabel 10. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diberi vaksin ich
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai P 18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Limfosit
H0 48.00 ± 5.89 40.25 ± 7.93 42.50 ± 2.52 52.50 ± 4.43 A
0.0413 H7 40.50 ± 5.74 39.50 ± 3.42 41.50 ± 1.52 38.75 ± 1.89 B
H14 36.75 ± 3.60 38.50 ± 7.19 34.00 ± 1.55 39.00 ± 3.83 B
H21 36.00 ± 7.30 42.00 ± 1.63 42.50 ± 1.91 32.00 ± 4.62 B
A A A A
Monosit
H0 39.50 ± 3.42 46.50 ± 8.85 34.25 ± 3.50 35.25 ± 1.50 B
< 0.0001 H7 43.75 ± 4.19 48.50 ± 2.52 34.52 ± 3.50 47.25 ± 1.50 A
H14 44.50 ± 4.12 47.00 ± 6.00 40.50 ± 3.42 45.00 ± 6.22 A
H21 14.00 ± 2.83 12.25 ± 1.26 13.50 ± 1.91 13.00 ± 2.58 C
A A B A
Neutrofil
H0 7.75 ± 2.63 5.50 ± 1.91 12.50 ± 4.12 8.25 ± 2.87 C
< 0.0001 H7 5.00 ± 1.15 7.50 ± 1.00 14.00 ± 2.83 5.75 ± 1.71 C
H14 15.00 ± 2.00 8.75 ± 2.22 13.75 ± 2.06 13.00 ± 2.00 B
H21 36.50 ± 3.42 37.00 ± 2.50 36.50 ± 2.52 45.00 ± 1.15 A
B B A A
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05
Gambar 31. Nilai limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Perubahan nilai monosit disajikan pada Tabel 10. Nilai monosit
dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Untuk
melihat perubahan nilai monosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau
suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 32.
34
36
38
40
42
44
46
H-0 H-7 H-14 H21 S-18 S-20 S-24 S-28
LIM
FOSI
T %
HARI SUHU
b b ba
77
Gambar 32. Nilai monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Berdasarkan Gambar 32 terlihat bahwa nilai monosit dipengaruhi oleh hari
pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Tingginya nilai
monosit pada hari ke-21 berhubungan dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan
akibat dilakukan uji tantang pada hari ke-15.
Perubahan nilai neutrofil ikan mas selama pengamatan disajikan pada
Tabel 10. Nilai neutrofil ikan yang diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
dipengaruhi oleh lama hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01).
Selanjutnya untuk melihat interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 33. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
nilai neutrofil dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media
pemeliharaan (p<0.01). Nilai persentase neutrofil tertinggi diperoleh pada hari
ke-14. Hal ini diduga ada hubungannya dengan peningkatan respons imun ikan
sebagai efek pemberian vaksin. Pada hari ke-21 nilai neutrofil menurun
sehubungan dengan terjadinya infeksi akibat dilakukan uji tantang. Rendahnya
nilai neutrofil pada suhu 20⁰C menandakan bahwa pada suhu rendah respons
imun ikan terhadap serangan mikroorganisme patogen juga rendah.
0
10
20
30
40
50
H-0 H-7 H-14 H21 S-18 S-20 S-24 S-28
MO
NO
SIT
(%)
HARI SUHU
b a a c a a b a
78
Gambar 33. Nilai neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan:tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich
Pengukuran kadar kortisol perlu dilakukan karena merupakan indikator
pertama untuk mengetahui tingkat stres, dan kadar glukosa merupakan indikator
kedua. Hasil pengukuran kadar kortisol dan kadar glukosa disajikan pada Tabel
11. Kadar kortisol dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media peme-
liharaan (p<0.01). Untuk melihat perubahan kadar kortisol berdasarkan interaksi
antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada
Gambar 34. Dari gambar tersebut terlihat bahwa hari pengamatan mem-
pengaruhi kadar kortisol (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar
kortisol menurunan mendekati nilai normal hingga hari ke-14 dan kembali
meningkat pada hari ke-2. Peningkatan ini disebabkan karena keberhasilan ich
menginfeksi ikan pada saat dilakukan uji tantang, sehingga ikan mengalami stres.
Data kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan
sel theront hidup disajikan pada Tabel 11. Kadar glukosa dipengaruhi oleh hari
pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar glukosa secara umum
mengalami peningkatan hingga hari ke-14 pada semua suhu media pemeliharaan.
Peningkatan tertinggi terjadi pada suhu 28⁰C hari ke-14, yakni sebesar 155.52%
bila dibandingkan dengan suhu media lainnya. Perubahan kadar glukosa tidak
seiring dengan perubahan kadar kortisol. Hal ini diduga ada hubungannya dengan
proses pembentukan antibodi yang dihasilkan oleh ikan setelah dilakukan
0
5
10
15
20
25
H-0 H-7 H-14 H21 S-18 S-20 S-24 S-28
NEU
TRO
FIL
(%)
HARI SUHU
c c b a b b a a
79
pemberian vaksin ich. Glukosa digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh
selama dalam proses pembentukan antibodi.
Tabel 11. Rataan kadar kortisol dan kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin ich
Respons Waktu Suhu media pemeliharaan
Nilai p 18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Kortisol*
nmolL-1
H0 756.60 579.28 574.35 502.14 A
0.000 H7 556.67 439.56 509.54 317.94 C
H14 359.57 389.56 515.96 506.95 D
H21 434.08 651.23 607.60 489.50 B
B C A D
Glukosa
mgdL-1
H0 94.89 ± 9.12 64.34 ± 13.65 57.33 ± 18.11 43.22 ± 11.42 C
< 0.0001 H7 86.96 ± 17.63 84.05 ± 8.58 102.15 ± 8.00 84.20 ± 8.41 B
H14 92.59 ± 13.43 103.03 ± 9.33 110.44 ± 6.28 110.44 ± 6.90 A
H21 42.88 ± 25.42 61.93 ± 2.14 54.59 ± 33.46 50.63 ± 32.47 C
B B A A Keterangan: * kadar kortisol berasal dari plasma yang dipool,
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris
yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05
Gambar 34. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Untuk melihat pola perubahan kadar glukosa berdasarkan interaksi antara
level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar
35. Kadar glukosa terlihat dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu
media pemeliharaan (p<0.05).
0
50
100
150
200
250
H-0 H-7 H-14 H21 S-18 S-20 S-24 S-28
KO
RTI
SOLn
mo
lL-1
HARI SUHU
a c d b dacb
80
Gambar 35. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Nilai Osmolaritas Plasma Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich
Data nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich dan diuji
tantang dengan theront disajikan pada Tabel 12. Pemberian vaksin ich dan uji
tantang terlihat mempengaruhi nilai osmolaritas (p<0.05). Selanjutnya untuk
melihat pola perubahan nilai osmolaritas hasil interaksi antara level hari
pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 36. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari
pengamatan (p<0.05), tetapi tidak dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan.
Nilai osmolaritas pada hari ke-21 mengalami penurunan terutama pada ikan yang
dipelihara pada suhu kurang dari 28⁰C. Terjadinya penurunan nilai osmolaritas di
bawah nilai normal ini ada kaitannya dengan keberhasilan ich menginvasi ikan
setelah dilakukan uji tantang. Keberhasilan ich menginfeksi terutama organ
insang dan kulit telah menyebabkan terjadinya gangguan osmoregulasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa respons kebal ikan rendah pada suhu kurang dari 28⁰C.
Tabel 12. Rataan nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich
Respons Waktu
Suhu media pemeliharaan
18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C Nilai P
Osmolaritas mMolkg
-1
H2O
H0 318.33±16.07 310.00±31.22 306.67±7.64 311.67±±25.17 A 0.0042
H7 286.67±12.58 305.67±19.01 301.67±8.78 301.67±15.27 AB
H14 295.00±10.00 298.33±12.58 300.00±5.00 325.00±20.00 AB
H21 276.67±33.29 281.67±37.86 296.67±29.30 305.00±26.46 B
A A A A Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P<0.05
0
20
40
60
80
100
120
H-0 H-7 H-14 H-21 S-18 S-20 S-24 S-28
GLU
KO
SA g
dL-1
HARI SUHU
bb a acb a
c
81
Gambar 36. Nilai osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Uji Imobilisasi
Hasil uji imobilisasi ikan sebelum dan sesudah pemberian vaksin serta uji
tantang disajikan pada Tabel 13. Uji imobilisasi dilakukan untuk melihat titer
antibodi. Titer antibodi pada kondisi awal atau hari ke-0 tidak ada terdeteksi
antibodi ikan terhadap ich. Titer antibodi baru terdeteksi pada hari ke-14 dari ikan
yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Hasil uji imobilisasi ditandai dengan
tidak bergeraknya sel theront pada saat ditambahkan serum yang berasal dari ikan
yang telah diberi vaksin. Titer yang tertinggi didapatkan dari ikan yang dipelihara
pada suhu 28⁰C, yaitu sebesar 0.78. Pembentukan antibodi dipengaruhi oleh suhu
lingkungan pemeliharaan, yakni pada suhu tinggi mendekati suhu optimum titer
antibodi akan cepat terbentuk dan titer yang dihasilkan juga tinggi. Sebaliknya,
pada suhu rendah, pembentukan antibodi lama dan titer yang dihasilkan juga
rendah.
Tabel 13. Hasil uji imobilisasi pada serum ikan mas yang diberi vaksin ich
Waktu
Suhu media pemeliharaan
18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C
H-0 0.00 0.00 0.00 0.00
H-14 0.00 0.48 0.60 0.78
H-21 0.30 0.60 0.70 0.78
Titer uji imobilisasi log (titer +1).
100
150
200
250
300
350
H-0 H-7 H-14 H21 S-18 S-20 S-24 S-28
OSM
OLA
RIT
AS
mM
olk
g1 H2O
HARI SUHU
a ab ab b
82
Prevalensi Ich dan Sintasan Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich
Data hasil pengamatan terhadap tingkat prevalensi ich pada ikan mas yang
diberi vaksin dan diuji tantang disajikan pada Tabel 14. Nilai prevalensi ich
dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan (p<0.01). Nilai prevalensi ich ter-
tinggi didapatkan pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 80.03±10.00%. Tingginya
prevalensi ich pada ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C menandakan bahwa
patogenitas ich tinggi, sehingga berhasil menginfeksi ikan setelah dilakukan uji
tantang. Namun demikian, tingginya prevalensi ich ini tidak menyebabkan angka
sintasan menjadi rendah. Hal ini diduga ada hubungannya dengan fungsi vaksin
yang diberikan, yaitu dapat meningkatkan kekebalan spesifik ikan terhadap
invasi ich. Tingginya prevalensi ich pada suhu 20⁰C dibandingkan pada suhu
18⁰C menandakan bahwa tingkat patogenitas ich lebih tinggi pada suhu 20⁰C bila
dibandingkan dengan suhu 18⁰C. Dengan demikian, pemberian vaksin ich telah
mampu meningkatkan angka sintasan.
Tabel 14. Persentase prevalensi dan sintasan ikan mas yang diberi vaksin
Renpons Suhu media pemeliharaan Nilai P
18⁰C 20⁰C 24⁰C 28⁰C
Prevalensi (%) 65.28±4.92a
80.03±0.00b 33.73±7.42
c 0.00
d 0.000
Sintasan (%) 69.90±1.48a 82.00±3.36
b
89.66±3.53c
100.00d 0.000
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama
pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata , P < 0.05
PEMBAHASAN
Perubahan lingkungan dapat berpotensi sebagai sumber stres pada ikan
sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis. Secara teori,
respons tersebut pada ikan dan hewan vertebrata lainnya dapat dilihat dari
perubahan hormonal atau konsentrasi zat dalam plasma, atau peningkatan eritrosit
(Donaldson dalam Farabi et al. 2009). Rendahnya nilai total eritrosit pada suhu
rendah, seperti pada suhu 18⁰C diduga ada hubungannya dengan rendahnya laju
83
metabolisme sehingga mempengaruhi pembentukan eritrosit. Penurunan total
eritrosit akan berpengaruh pada kadar hemoglobin dan hematokrit.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen pada saat darah mengalir ke
seluruh tubuh, hemoglobin melepaskan oksigen ke sel dan mengikat karbon-
dioksida. Banyaknya oksigen yang diterima oleh jaringan bergantung pada kadar
hemoglobin yang tersedia. Pada hari ke-21 terjadi penurunan kadar hemoglobin
pada semua suhu pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena pada hari ke-15
dilakukan uji tantang dengan sel theront hidup dan diduga pengaruhnya terlihat
pada hari ke-21. Akibat invasi theront ke ikan, maka dapat menyebabkan
kerusakan pada insang sehingga ikan mengalami gangguan respirasi dan
osmoregulasi. Namun, penurunan kadar hemoglobin pada suhu 28⁰C masih dalam
kisaran normal (kadar hemoglobin ikan common carp berkisar antara 7.1–13.0
gdL-1
(Klontz 1994) sehingga tidak mempengaruhi nafsu makan ikan dengan
demikian tidak terjadi kematian. Ikan juga diberi vaksin ich dan dipelihara pada
suhu 28⁰C lebih cepat terbentuknya antibodi dibandingkan dengan ikan yang
dipelihara pada suhu rendah, sehingga ikan dapat melawan serangan ich pada saat
diuji tantang.
Nilai hematokrit erat kaitannya dengan total eritrosit, karena hematokrit
adalah persentase dari kandungan volume sel eritrosit dalam darah. Berdasarkan
data tersebut terlihat penurunan nilai hematokrit. Penurunan ini juga diikuti oleh
penurunan total eritrosit. Penurunan ini ada kaitannya dengan terjadinya infeksi
akibat dilakukan uji tantang. Sebagaimana dilaporkan oleh Bastiawan et al. 2001
bahwa apabila ikan terinfeksi penyakit atau nafsu makan menurun maka nilai
hematokrit menjadi rendah. Penurunan nilai hematokrit dan total eritrosit jelas
mengindikasikan terjadinya kondisi anemia pada tipe kronis normal (Siakpere et
al. 2008).
Nilai hematokrit ikan common carp berkisar antara 26–39%, ikan rainbow
trout sebesar 13–42% (Klontz 1994), ikan tilapia sebesar 27–37% (Hrubec et al.
2000). Total eritrosit pada ikan common carp berkisar antara 0.84x106
sel mL-1
,
ikan rainbow trout sebesar 1.01x106
sel mL-1
(Klontz 1994), ikan tilapia, yaitu
sebesar 1.91–2.83x106sel mL
-1 (Hrubec et al. 2000). Jumlah eritrosit sangat
dipengaruhi oleh spesies dan suhu lingkungan, rata-rata berkisar antara 1.69-
84
1.91x106selmm
-3 (Hrubect et al. 2010). Total eritrosit ikan mas selama perlakuan
cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai normal. Tingginya nilai
eritrosit ini ada hubungannya dengan kondisi stres yang dialami ikan. Nilai total leukosit pada suhu 24 dan 28⁰C hasilnya berbeda nyata bila
dibandingkan dengan suhu 18⁰C dan suhu 20⁰C. Perbedaan ini diduga ada
hubungannya dengan pemberian vaksin ich, pemberian vaksin dapat mening-
katkan kekebalan ikan terhadap mikroorganisme patogen. Sel leukosit adalah sel
yang bertanggung jawab dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi
mikroorganisme patogen (Johnny et al. 2003b). Secara umum, respons stres pada
ikan adalah mengalami heterophilia dan limphopenia (Hines dan Spira 1973
dalam Stoskopf 1993). Selanjutnya juga dilaporkan total sel leukosit pada ikan
mirror carp sebesar 34.000 sel mL-1
. Total leukosit ikan mas (Cyprinus carpio L)
pada kontrol ialah 189.688±1.015 x 103sel mL
-1 (Ramesh dan Saravanan 2008).
Tingginya total leukosit pada hari ke-21 pada suhu 18, 20, dan 24⁰C,
disebabkan terjadinya infeksi setelah dilakukan uji tantang, sedangkan pada suhu
28⁰C terjadi penurunan. Hal ini diduga bahwa pemberian vaksin ich kepada ikan
yang dipelihara pada suhu 28⁰C telah mampu meningkatkan kekebalan ikan ter-
hadap penyakit yang disebabkan oleh ich. Ikan yang diberi vaksin dan dipelihara
pada suhu 28⁰C, terlihat bahwa pembentukan antibodinya lebih cepat
dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu 24 dan 20⁰C. Tingginya per-
sentase limfosit pada awal pengamatan menandakan bahwa ikan mengalami stres
selama masa adaptasi. Kondisi yang demikian dinamakan limfositosis. Nilai per-
sentase heterofil mengalami peningkatan hingga hari ke-21. Hal ini diduga ada
kaitannya dengan pemberian vaksin dan uji tantang. Heterofil (neutrofil)
merupakan garis terdepan pada pertahanan seluler dalam menghadapi serangan
mikroorganisme patogen.
Pembentukan antibodi juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Pada suhu
rendah memerlukan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya antibodi,
sedangkan pada suhu tinggi lebih cepat terbentuknya demikian juga dengan titer
yang dihasilkan juga lebih tinggi. Hal ini terbukti bahwa titer antibodi ikan pada
hari ke-14 yang dipelihara pada suhu 28⁰C adalah lebih tinggi, apabila diban-
dingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan 24⁰C. Pada suhu 28⁰C,
85
yaitu sebesar 0.78, pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 0.48, sedangkan pada suhu
24⁰C adalah sebesar 0.60. Ikan salmon yang diberi vaksin vibrio pada suhu 10⁰C
memerlukan waktu 14 hingga 21 hari, sedangkan pada suhu 5⁰C butuh 40 hari
untuk terbentuknya kekebalan, berbeda lagi dengan ikan carp pada suhu 12⁰C
dapat menekan respons kekebalan (Ellis 1988). Pemberian vaksin ich dapat
meningkatkan produksi mukus (lendir) yang berfungsi sebagai barier pertahanan
ikan terhadap invasi ich (Xu et al. 2007). Hal ini menandakan bahwa dengan
pemberian vaksin dapat meningkatkan kekebalan ikan melalui sistem pertahanan
spesifik.
Penurunan kadar kortisol ikan mas pada hari ke-7 menandakan bahwa ikan
tersebut telah melakukan homeostasis dengan cara beradaptasi terhadap suhu
pemeliharaan, sedangkan pada hari ke-14 pascaimunisasi kembali mengalami pe-
ningkatan pada suhu 24 dan 28⁰C. Peningkatan ini diduga ada hubungannya
dengan pemberian vaksin dan dalam proses pembentukan antibodi di dalam tubuh
ikan. Vaksin ich yang diberikan merupakan benda asing yang masuk ke dalam
tubuh sehingga sistem pertahanan tubuh, seperti makrofag akan aktif untuk
menghancurkan antigen dan menghasilkan interleukin-1 selanjutnya juga
mengaktifkan sel limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan sel T
membantu sel limfosit B melakukan proliferasi, sehingga dihasilkan antibodi.
Pembentukan antibodi juga dipengaruhi oleh suhu, pada suhu rendah (suhu 20⁰C)
akan lebih lama terbentuknya antibodi apabila dibandingkan dengan ikan yang
dipelihara pada suhu yang lebih hangat, yaitu suhu 24 dan 28⁰C (Alishahi dan
Buchmann 2006). Tingginya kadar kortisol pada hari ke-21 pada suhu 20 dan
24⁰C disebabkan karena ikan kembali mengalami stres akibat dilakukan uji
tantang dengan theront hidup pada hari ke-15. Kondisi stres yang kembali dialami
oleh ikan, diduga ada hubungannya dengan lama dan rendahnya titer antibodi
yang dihasilkan pada suhu rendah. Pada suhu 28⁰C, kadar kortisol menurun
mendekati nilai normal setelah dilakukan uji tantang. Hal ini disebabkan karena
vaksin yang diberikan telah mampu melindungi ikan dari serangan ich. Dengan
demikian, ikan tidak lagi mengalami stres. Pemberian vaksin ich dapat
meningkatkan kekebalan ikan terhadap serangan penyakit Ichthyophthiriasis yang
86
disebabkan oleh parasit Ichthyophthirius multifiliis ( Xu et al. 2004 ; Alishahi dan
Buchmann 2006).
Peningkatan kadar glukosa terjadi hingga hari ke-14. Peningkatan ini
tidak sejalan dengan perubahan kadar kortisol. Hal ini menandakan bahwa ikan
membutuhkan energi yang banyak untuk pembentukan antibodi. Hal ini terbukti
dengan mulainya terdeteksi antibodi pada hari ke-14. Peningkatan kadar glukosa
merupakan indikasi stres sekunder setelah peningkatan kadar kortisol yang
merupakan indikator stres primer. Sebagai akibat dari peningkatan kadar kortisol
maka akan terjadi mobilisasi glukosa ke dalam darah. Peningkatan kadar glukosa
di dalam darah dapat berasal dari proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis.
Adrenalin dan kortisol berperan penting dalam peningkatan kosentrasi glukosa
dalam plasma setelah stres. Hal ini berperan untuk mempertahankan kadar
glukosa plasma pascaterjadinya stres (Evans dan Claiborne 2006). Pemberian
vaksin ich dapat mengurangi stres dan meningkatkan kekebalan ikan terhadap
penyakit Ichthyophthiriasis (Osman et al. 2009) serta dapat melindungi ikan dari
infeksi ich dalam jangka waktu yang lama (Xu et al. 2010).
Nilai normal osmolaritas ikan air tawar berkisar antara 280–350 mMolkg-1
(Evans 1979 dalam Rigal et al. 2008). Perubahan nilai osmolaritas dapat
mempengaruhi keseimbangan ion-ion di dalam tubuh. Terjadinya penurunan nilai
osmolaritas pada suhu rendah (suhu 18 dan 20⁰C) hingga hari ke-21. Hal ini
diduga ada hubungannya dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan terutama pada
organ insang dan kulit. Insang dan kulit adalah organ yang berfungsi sebagai
osmoregulasi. Hal lain yang dapat mengakibatkan perubahan osmolaritas tubuh
adalah akibat kerusakan pada insang dan kulit yang ditimbulkan oleh pengaruh
infeksi ich pada saat uji tantang. Pada suhu rendah, tingkat prevalensi ich tinggi.
Hal ini dapat dimengerti karena ikan yang dipelihara pada suhu rendah
terbentuknya antibodi lama dan titer antibodi yang dihasilkan juga rendah.
Keberhasilan ich menginfeksi ikan pada bagian kulit dan insang dapat
menimbulkan gangguan ion-ion di dalam tubuh (Dickerson 2006), karena kulit
dan insang merupakan organ osmoregulasi pada ikan (Evans dan Claiborne 2006).
Tingginya angka prevalensi ich pada suhu 20⁰C, yakni sebesar
80.03±10.00% tidak berdampak buruk pada angka sintasan diakhir masa peme-
87
liharaan, bila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 18⁰C. Hal ini
diduga ada hubungannya dengan efektivitas pemberian vaksin. Dengan adanya
pemberian vaksin pada ikan yang dipelihara pada suhu rendah, telah mampu
mencegah terjadinya penyakit Ichthyophthiriasis.
Sintasan tertinggi didapatkan pada suhu 28⁰C, yaitu 100% sedangkan
pada suhu 20 dan 24⁰C masih terjadi mortalitas meskipun sudah dilakukan
vaksinasi. Hal ini diduga bahwa pada suhu 20 dan 24⁰C antibodi yang terbentuk
masih rendah kadarnya sehingga belum mampu melindungi invasi ich pada saat
dilakukan uji tantang. Pada suhu 18⁰C angka sintasannya masih tinggi setelah
dilakukan uji tantang, yaitu sebesar 71.11%. Hal ini diduga karena patogenitas
ich lebih rendah pada suhu 18⁰C bila dibandingkan pada suhu 20⁰C sehingga
ikan masih dapat melawan serangan ich tersebut. Suhu optimum untuk ich adalah
21-24⁰C (Ellis 1988) sedangkan Dickerson (2006) melaporkan suhu optimum
untuk ich adalah 25-28⁰C.
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap parameter fisiologis, gam-
baran darah, prevalensi, uji imobilisasi, dan sintasan, maka ikan yang diberi
vaksin ich dapat menghasilkan sintasan yang tinggi setelah dilakukan uji tantang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah mem-
beri bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Alishahi M, Buchmann K. 2006. Temperature dependent protection against
Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet) following immunization of rainbow
trout using live theronts. Diseases of Aquatic Organisms 72: 269–273.
88
Bastiawan, Wahid DA, Alifuddin M, Agustiawan I. 2001. Gambaran darah lele
dumbo (Clarias spp) yang diinfeksi cendawan Aphanomyces spp pada pH
yang berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7(3): 4–61.
Dickerson HW. 2006. Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans
(Phylum Ciliophora). Dalam Woo PTK. Fish diseases and disorders.
Volume 1 Protozoa and metazoan infections 2nd
edition. University of
Guelph Canada. Halaman 116-153.
Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112
halaman
Ellis AE.1988. Fish vaccination. Academic Press London. 255 halaman.
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor &
Francis. Halaman 231–340.
Farabi SMV, Najafpour SH, Najafpour GD. 2009. Aspect of osmotic-ions
regulation in juvenile ship, Acipenser nudiventris (Lovetsky,1828) in the
shoutheast of Caspian sea. World Applied Sciences Journal 7(9): 1090–
1096.
Hrubec TC, Jenifer LC, Stephen A, Smit. 2010. Haematologi and plasma
chemistry referance interval for cultured tilapia (Oreochromis hybrid).
Veterinary Clinical Pathology 29 (1): 7–12.
Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003a. Hematologis beberapa spesies
ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (4). 63-71.
Johnny F, Tridjoko, Des Rosa 2003b. Studi pendahuluan pengaruh hormone
steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). Jurnal Veteriner (Veterinary Journal).4 (4). http://
www.jvetnud.com/archives/66. Kunjungan 10/02/2008 19:57.
Klontz GW.1994. Fish hematology. Dalam Stolen et al. (Eds). Techniques in Fish
Immunology-3. Sos Publications. Fair Haven, NJ07704–3303. USA.
Halaman 121
Matthews RA. 2005. Ichthyophthirius multifiliis Fouquet and Ichthyophthiriasis in
freshwater teleosts. Advances Parasitology 59: 159–241.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi
SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman.
Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009.
Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius
multifiliis by immunization with live theronts, trophonts and sonicated
trophonts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334.
89
Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a
freshwater fish Cyprinus carpio L exposed to chlorpyrifos. International
Journal of Integrative Biology (IJIB) 3 (1): 80–83.
Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B.
2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution
of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus
in French Mediterranean lagoons.Scientia Marina 72(3). 469–476,
Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358.
Robert RJ. 1978. Fish pathology. Bailliere Tindall. London. 531 halaman.
Sakai DK. 1984. Opsonization by fish antibody and complement in the immune
phagocytosis by peritoneal exudates cells from salmoned fish. Journal
Fish Diseases 7: 29–38.
Siakpere K. Ovie. Obogu, Oghoghene E. 2008. Sublethal haematological effects
of zinc on the freshwater fish, Heteroclarias sp. (Osteichthyes: Clariidae).
African Journal of Biotechnology 7(12): 2068–2073.
Sigh J, Buchmann K. 2002. Comparative analysis of cross-reactivity between
Ichthyophthirius and Tetrahymena. Bull. Eur. Ass. Fish Pathology 22(1):
37-44.
Syawal H, Siregar YI. 2010. Imunisasi ikan jambal siam dengan vaksin
Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan
Indonesia 11(3): 163–167.
Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Michael K. Fish medicine. WB.
Saunders Company. Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London
Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman 149–159.
Xu-DH, Klesius PH, Shelby RA. 2004. Immune responses and host protection of
channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), against Ichthyophthirius
multifiliis after immunization with live theronts and sonicated trophonts.
Journal of Fish Diseases 27, 135-141.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2007. Evaluation of a cohabitation
challenge model in immunization trials for channel catfish Ictalurus
puntatus against Ichthyophthirius mulifiliis. Journal Deseases of Aquatic
Organisms 74: 49-55.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2010. Protective immunity of nile tilapia
against ichthyophthirius (Abstract). World Aquaculture Society. P. 1111.
USDA Agriculture Research Service. Last Modified: 09/23/2011.
PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data dari ketiga tahap
penelitian maka didapatkan hasil bahwa suhu dapat mempengaruhi kondisi
fisiologis ikan sehingga menimbulkan stres pada ikan. Ikan yang mengalami stres
ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa dalam plasma. Kadar
kortisol ikan yang dipelihara pada suhu rendah, lebih tinggi kadarnya apabila
dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu tinggi. Akibat tingginya
kadar kortisol di dalam plasma dapat mengakibatkan menurunnya fungsi imun
sehingga ikan mudah terinfeksi. Peningkatan kadar kortisol dalam jangka waktu
yang lama akan berdampak buruk pada sistem pertahanan tubuh, karena kortisol
dapat menghambat produksi interleukin-I oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel
T helper sehingga menghambat sel T dalam membantu sel B untuk menghasilkan
antibodi (Berne dan Levy 1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol juga
dapat menurunkan kemampuan fagositosis dan aktivitas sel leukosit. Terjadinya
peningkatan kadar kortisol dalam darah sebagai akibat stres juga akan
memobilisasi glukosa dari sumber produksi glukosa melalui proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah diperlukan sebagai
sumber energi terutama pascastres (Evans dan Claiborne 2006).
Hasil penelitian tahap pertama terlihat bahwa ikan mas yang dipelihara
pada suhu 20, 24, dan 28⁰C mengalami peningkatan kadar kortisol hingga akhir
pengamatan, yaitu hari ke-21. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar
kortisol akan menurun seiring dengan lamanya masa pemeliharaan dan
meningkatnya suhu media pemeliharaan. Hal ini menandakan bahwa ikan telah
melakukan homeostasis terhadap perubahan suhu media pemeliharaan sehingga
dapat beradaptasi dengan lingkungan. Penurunan kadar kortisol juga diikuti oleh
penurunan kadar glukosa. Selanjutnya gambaran hematologis ikan, seperti kadar
hemoglobin, nilai hematokrit, dan total eritrosit juga mengalami penurunan
sehubungan dengan lamanya masa pemeliharaan dan meningkatnya suhu media
pemeliharaan. Secara keseluruhan data hasil pengukuran dari setiap parameter
menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres.
Kondisi stres ini juga ditandai dengan tingginya total leukosit pada suhu rendah.
92
Akibat terjadinya stres pada ikan yang dipelihara pada suhu rendah maka dapat
mengganggu kemampuan ikan dalam memproduksi antibodi yang dibutuhkan
dalam merespons patogen yang menginvasi tubuh sehingga memungkinkan ikan
akan mudah terinfeksi (Irianto 2005).
Sintasan yang dihasilkan dari masing-masing suhu media pemeliharaan
juga menunjukkan perbedaan. Sintasan yang tertinggi diperoleh pada suhu 32⁰C,
yakni sebesar 100% dan yang terendah pada suhu 24⁰C, yakni sebesar 87%.
Seharusnya pada penelitian ini tidak terjadi angka mortalitas karena ikan mas
yang digunakan masih dapat hidup pada kisaran suhu 20-32⁰C. Namun masih
terjadi juga mortalitas pada suhu media pemeliharaan di bawah 32⁰C, walaupun
sudah dilakukan pemberian desinfektan yaitu dengan merendam ikan uji selama
15 menit dalam larutan 5 ppm kalium permanganat. Kemudian juga telah
dilakukan penyiponan agar kualitas air dapat dipertahankan namun masih juga
terjadi mortalitas. Hal ini menandakan bahwa kemampuan ikan untuk dapat
beradaptasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar saja tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor dalam, seperti faktor genetik. Dengan demikian, keragaman individu
dapat mempengaruhi keberhasilan suatu individu tersebut untuk dapat melakukan
adaptasi.
Hasil penelitian pada tahap kedua, yaitu ikan uji yang dipelihara pada suhu
rendah (20⁰C) dan diinfeksi dengan ich mengalami stres berat, yang ditandai
dengan tingginya kadar kortisol dalam plasma. Tingginya kadar kortisol plasma
telah memicu terjadinya hiperplasia pada organ insang (Dang et al. 2000). Kondisi
ini terlihat dari hasil pengamatan secara mikroskopis pada preparat histologis.
Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan pada organ insang, seperti
yang terlihat pada Gambar 26. Akibat terjadinya kerusakan pada insang, maka
fungsinya sebagai alat respirasi dan osmoregulator mengalami gangguan. Dengan
demikian, dapat menyebabkan ikan dalam kondisi hipoksia (kekurangan oksigen)
dan keseimbangan ion-ion di dalam tubuh juga tertanggu. Ikan yang mengalami
hipoksia akan berakibat kekurangan energi. Kekurangan energi ini disebabkan
karena proses metabolisme tidak dapat berjalan dengan normal sehingga energi
yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan demikian ikan
menjadi lemas dan berakhir dengan kematian.
93
Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat menyebabkan menu-
runnya fungsi imun sehingga mudah terinfeksi. Terjadinya infeksi ich pada ikan
ditandai dengan meningkatnya jumlah monosit dan neutrofil (heterofil) pada ikan
yang dipelihara pada suhu 20⁰C. Hal ini menandakan bahwa ikan melakukan
perlawanan terhadap agen penyebab timbulnya penyakit. Sel monosit berfungsi
mengawasi daerah infeksi dan memfagositosis benda-benda asing dan sel-sel
mati. Selain itu sel monosit juga mengikuti neutrofil masuk ke daerah infeksi
membentuk garis pertahanan kedua yang secara kuantitatif lebih penting (Ganong
1995).
Suhu tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisiologis ikan, tetapi juga
mempengaruhi siklus hidup dan patogenitas parasit ich. Hal ini terbukti dari
tingginya angka prevalensi ich pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 62.77±5.17% dan
rendahnya angka sintasan yang dihasilkan, yakni sebesar 58.11±5.45%. Pada suhu
media pemeliharaan 24⁰C, angka sinsatan yang dihasilkan juga masih rendah,
yakni sebesar 73.88±1.62%. Rendahnya angka sintasan pada akhir pengamatan
menandakan bahwa pada suhu 20-24⁰C adalah suhu yang efektif oleh ich untuk
melakukan invasi ke ikan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ellis (1988) bahwa
suhu optimum ich adalah 21-24⁰C.
Faktor lingkungan, seperti suhu, sangat mempengaruhi siklus hidup ich.
Pada suhu 10oC lebih kurang 20 hari, pada suhu 13-15
⁰C menjadi 12 hari, pada
suhu 18– 20οC turun menjadi 7 hari, dan pada suhu 22–24
οC adalah 3–6 hari.
Faktor lain yang berpengaruh adalah pH dan kandungan oksigen. pH di bawah 5
atau di atas 10, dan konsentrasi oksigen 0.2 mgL-1
akan menyebabkan kematian
ich pada semua stadia (Lom dan Dykova 1992). Ich dilaporkan dapat
menyebabkan kematian baik terhadap ikan peliharaan untuk konsumsi maupun
sebagai ikan hias. Wabah penyakit ich di daerah subtropis biasanya terjadi selama
musim semi dan musim panas, ketika suhu air hangat terjadi peningkatan replikasi
parasit. Faktor lain yang mendukung terjadinya wabah penyakit adalah pada saat
kandungan oksigen terlarut menurun, kepadatan populasi tinggi, kerentanan
spesies, dan kualitas air menurun sehingga ikan mengalami stres (Maki 2002).
Berdasarkan pengalaman empiris, kasus kematian ikan akibat invasi ich di
daerah tropis sering terjadi pada saat akhir musim hujan dan di awal musim
94
kemarau, serta adanya fluktuasi suhu (perbedaan suhu yang menyolok antara
siang dan malam, atau setelah panas turun hujan lebat). Akibat terjadinya
perubahan suhu sehingga ikan mengalami stres. Dengan demikian, akan mudah
terinfeksi oleh penyakit. Mikroorganisme patogen termasuk ich pada umumnya
sudah ada di perairan. Ich stadia dewasa yang sudah lepas dari ikan dinamakan
stadia trophont dapat bertahan lama di alam apabila suhu perairan rendah karena
sudah membentuk kista dan menempel pada substrat. Wabah penyakit
Ichthyophthiriasis ini sering terjadi pada usaha budi daya ikan yang dipelihara di
akuarium atau di kolam yang sering kemasukan ikan-ikan baru yang berpeluang
membawa parasit.
Pencegahan terdahap munculnya suatu penyakit pada ikan merupakan
suatu hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk pencegahan tersebut adalah dengan pemberian vaksin. Pemberian vaksin
ich pada awal masa pemeliharaan ikan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan
agar ikan tidak terinfeksi oleh parasit ich. Pemberian vaksin mempunyai banyak
kelebihan, apabila dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia. Vaksin dapat
meningkatkan kekebalan ikan melalui kekebalan spesifik, pemberian vaksin juga
aman untuk ikan (Ellis 1988). Hal ini terbukti dengan pemberian vaksin ich
(stadia theront yang diinaktifkan) kepada ikan mas yang dipelihara pada suhu
20⁰C telah mampu meningkatkan angka sintasan dari 58.12±2.16% (tanpa
pemberian vaksin ich) menjadi: 82.00±3.36% (setelah diberi vaksin). Demikian
juga dengan ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C yang tidak diberi vaksin adalah
sebesar 73.88±1.62% sedangkan yang diberi vaksin adalah sebesar 89.66±3.53%,
demikian juga pada suhu 28⁰C yang tidak diberi vaksin adalah: 74.10±4.18%,
sedangkan yang diberi vaksin meningkat menjadi 100%.
Keberhasilan pemberian vaksin ich kepada ikan juga dipengaruhi oleh
suhu air media pemeliharaan. Alishahi dan Buchmann (2006) melaporkan bahwa
ikan rainbow trout yang diberi vaksin theront dan dipelihara pada suhu 12ºC dan
20ºC, titer antibodi tertinggi pada suhu 12ºC adalah: 34.3, sedangkan pada suhu
20ºC adalah sebesar 46.0. Rendahnya titer antibodi yang dihasilkan pada ikan
yang dipelihara pada suhu 20ºC menandakan bahwa pada suhu rendah titer
antibodi yang dihasil lebih sedikit bila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara
95
pada suhu 24 dan 28ºC. Nikoskelainen et al. (2004) melaporkan bahwa pada suhu
rendah terjadi imunosupresif (penekanan imun) pada ikan. Dengan demikian ikan
masih bisa terinfeksi oleh ich. Hal ini juga terbukti dengan masih tingginya angka
prevalensi ich pada ikan yang telah diberi vaksin ich dan dipelihara pada suhu
20ºC, yaitu sebesar 80.03%. Walaupun angka prevalensi ich tinggi namun tidak
menimbulkan angka kematian yang tinggi. Hal ini terbukti dengan masih
tingginya angka sintasan yang dihasilkan pada suhu 20ºC, yakni sebesar
82.00±3.36%. Dengan demikian jelas bahwa pemberian vaksin ich dapat mening-
katkan angka sintasan ikan mas yang dipelihara pada suhu rendah.
KESIMPULAN UMUM
1. Suhu dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dan hematologis ikan.
2. Ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres dan mudah terinfeksi
oleh ich.
3. Pemberian vaksin ich pada ikan menyebabkan berkurangnya stres dan
meningkatkan angka sintasan.
SARAN
1. Perlu penelitian tentang potensi dari setiap stadia ich sebagai sumber
antigen dalam pembuatan vaksin
2. Disarankan untuk menurunkan prevalensi ich dan laju mortalitas sebaiknya
ikan mas dipelihara pada suhu 28⁰C
3. Pemberian vaksin ich diutamakan untuk ikan-ikan yang dipelihara pada suhu
rendah
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah mem-
beri bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010 dan
2011.
96
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air, Unri Press. 217 halaman.
Alishahi M, Buchmann K. 2006. Temperature dependent protection against
Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet) following immunization of rainbow
trout using live theronts. Diseases of Aquatic Organisms 72: 269–273.
Anderson DP, Swicki AK. 1995. Basic hematology and serology for fish health
program. Dalam : Sharif, Arthur R, Subangshinghe RP. (ed) Fish health
section Asian fisheries society. Halaman 185–202.
Anderson DP.1996. Environmental factors in fish health, Immunologycal aspect.
Dalam Iwana G dan Nakanishi T. The fish immune system. Academic
Press, London. Halaman 289-310
Atli G, Canli M. 2008. Characterization of branchial Na,K-ATPase from three
freshwater fish species (Oreochromis niloticus, Cyprinus carpio, and
Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zooloogy 32, 299–304.
Bastiawan,Wahid DA, Alifuddin M, Agustiawan I. 2001. Gambaran darah lele
dumbo (Clarias spp) yang diinfeksi cendawan Aphanomyces spp pada pH
yang berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7(3): 4–61.
Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition.Mosby Company. St.
Louis. Washington, D.C. Toronto. Halaman 962-969.
Bozorgnia A, Hosseinifard M, Alimohammadi R. 2011. Acute effect of different
temperature in blood parameters of common carp (Cyprinus carpio). 2011
2nd
International Conference on Enviromental Science and Technology.
IPCBEE 6.52-55. IACSIT Press, Singapore.
Cataldi EP, Marco D, Mandich A, Cataudella S. 1998. Serum parameter of
adriatic sturgeons Acipensernaccarii (Pisces: Acipenseriformes): effects of
temperature and stress. Comparative Biochemistry and Physiology Part A
121: 351–354.
Cholik F, Jagatraya AG, Poernomo RP, Jauzi A. 2005. Akuakultur tumpuan
harapan masa depan bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara kerjasama
dengan Akuarium Air Tawar. Jakarta 415 halaman.
Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High
stocking density induces crowding stress and affects amino acid
metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles.
Aquaculture Research 39: 1-9.
98
Craig S, Philip K, Xu DH, Richard S. 2005. Overview of the immune sytem of
fish (Abstrak). Aquaculture America Conference. http//
www.ars.usda.gov.recearch/publication/htm. Kunjungan 15/02/2008.
Dang Z, et al. 2000. Cortisol increases Na+/K
+-ATPase density in plasma
membranes of gill chloride cell in the freshwater tilapia Oreochromis
mossambicus. The Journal of Experimental Biology 203: 2349-2355.
Dalgaard M, Li A, Buchmann K. 2002. Immunitation of rainbow trout fry with
Ichthyophthirius multifiliis sonicate: protection of host and immunological
changes. Bulletin of the European association of fish pathologist 22: 287–
297.
Darmanto. 2003. Respons kebal ikan mas koki (Carasius auratus L.) melalui
vaksinasi dan imunostimulasi terhadap infeksi bakteri Aeromonas-
hydrophila. [tesis] Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
54 halaman.
Dharmawan NS. 2002. Pengantar patologi klinik veteriner: Hematologi Klinik.
Universitas Udayana. Denpasar. 111 halaman.
Dickerson HW. 2006. Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans
(Phylum Ciliophora). Dalam :Fish Diseases and Disorders. Volume 1
Protozoan and Metazoan Infections 2nd
Edition. University of Guelph
Canada. Halaman 130-131.
Douglas SE, Gallant JW, Gong Z, Hew C. 2001. Cloning and developmental
expression of a family of pleurosidin-like antimikrobial peptides from
winter flounder, Pleuronectes americanus (Walbaum). Developmental and
Comparative Immunology 25: 137–147.
Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112
halaman
Ellis AE.1988. Fish vaccination.Academic Press London. 255 halaman.
Elsayed EE, Ezz El Dien N, Mahmoud MA. 2006. Ichthyopthiriasis: Various fish
susceptibility or presence of more than one strain of the parasite. Nature
and Science 4 (3): 5–13.
Engstad RE, Robersten B, Frifold E. 1992. Yeast glucan induced increase in
lysozyme and complement-mediated haemolytic activity in atlantic salmon
blood. Fish and Shelfish Immunology 2: 287–297.
Esfandiari A.1997. Perubahan profil hematologi kambing local yang diinfeksi
dengan Haemonchus contortus (Rudolphi,1983). [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 68 halaman.
99
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition. Taylor
& Francis. 601 halaman.
Ewing MS, Kocan KM. 1986. Ichthyophthirius multifiliis (Ciliophora)
development in gill epithelium. Journal Protozoology 33(3): 369-374.
Flajšhans M, Hulata G. 2007. Common carp-Cyprinus carpio Genimpact final
scientific report. Halaman 32-39.
Farabi SMV, Najafpour Sh, Najafpour GD. 2009. Aspect of osmotic-ions
regulation in juvenile ship, Acipenser nudiventris (Lovetsky,1828) in the
shoutheast of Caspian sea. World Applied Sciences Journal 7(9): 1090–
1096.
Foster R, Smith M, Nash H. 2006. Complete blood count (CBC). http//pet-
education.com./article.cfm (2 Juni 2012).
Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 179 halaman
Gabriel UU, Amakiriand EU, Ezeri GNO. 2007. Haematology and gill pathology
of Clarias gariepinus exposed to refined petroleum oil, kerosene under
laboratory conditions. Journal of Animal and Veterinary Advances 6(3).
46–465.
Ganong WF. 1995. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Andrianto P.
Editor Oswari J. Penerbit Buku Kedokteran.757 halaman.
Gbore FA, Oginni O, Adewole AM, Aladetan JO. 2006. The effect of
transportation and handling stress on haematology and plasma
biochemistry in fingerlings of Clarias gariepinus and Tilapia zilii. Word
Journal of Agriculture Sciences 2(2): 208-212.
Gratzek JB.1991. Parasites associated with freshwater tropical fishes Dalam
Fish Medicine. WB. Sounders Company Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
halaman 575-576.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of medical physiology . (Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran). Ed ke-7. Diterjemahkan oleh Setiawan I, Tengadi KA,
Sentoso A. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta 1353 halaman.
Harper C, Wolf JC. 2009. Morphologic effects of the stress response in fish.
ILAR Journal 50(4): 387-396.
Hastuti S. 2004. Respons fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.)
yang diberi pakan mengandung kromium-ragi terhadap penurunan suhu
lingkungan. (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 103 halaman.
100
Hidayaturrahmah 2011. Dinamika lipid dan profil asam lemak volatil (VFA)
parsial serta hematologi domba yang diberi fraksi ekstrak daun katuk
(Sauropus-androgynus L. Merr). (thesis). Bogor. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. 75 halaman.
Hoar WS. 1984. General & comparative physiology. Third Edition. Prentice Hall
of India Private Limited. Halaman 659–676.
Howerton R. 2001. Best management practices for Hawaiian aquaculture. Center
for tropical and subtropical aquaculture. Publication 148: 7-31.
Hrubec TC, Jenifer LC, Smit SA. 2000. Haematologi and plasma chemistry
referance interval for cultured tilapia (Oreochromis hybrid). Veterinary
Clinical Pathology 29 (1): 7–12.
Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of fishes. Dalam Weiss DJ. dan
Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary hematology. 6rd
Ed. Wiley-
Blackwell. Ltd., Publication. Halaman 994–1003.
Irianto A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gajah Mada University Press. 256
halaman
Isnaeni W. 2006. Fisiology Hewan. KanisiusYokyakarta. 288 halaman
Iwama G, Nakanishi T. 1996. The fish immune system. Academic Press, London.
Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003a. Hematologis beberapa spesies
ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (4). 63-71.
Johnny F, Tridjoko, Des Rosa. 2003b. Studi pendahuluan pengaruh hormone
steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). Jurnal Veteriner (Veterinary Journal) 4 (4). http://
www.jvetnud.com/archives/66. Kunjungan 10/02/2008 19:57.
Jorgensen TR, Buchmann K. 2007. Stress response in rainbow trout during
infection with Ichthyophthirius multifiliis and formalin bath treatment.
ACTA Ichthyologicaet Piscatoria 37 (1): 25–28.
Kamiso HN. 1996. Metode pencegahan hama dan penyakit ikan karantina dengan
menggunakan vaksin. Makalah disampaikan pada seminar hama dan
penyakit ikan karantina pada tanggal 13 Desember 1996. Cipanas Bogor.
Klontz GW. 1994. Fish hematology. Dalam Stolen et al. (Eds). Techniques in
Fish Immunology-3. Sos Publications. Fair Haven, NJ07704–3303. USA.
Halaman 121.
Koeypudsa W, Jongjareanjai M. 2010. Effect of water temperature on hematology
and virulence of aeromonas hydrophila in hybrid catfish (Clarias
101
gariepinus burchell x C. macrocephalus gunther). Thailan Journal Veteri-
nary Medicine 40(2): 179-186.
Konstantinov AS, Zdanovich VV. 2007. Influence of temperature oscillations on
some hematological values and metabolism of fish. Moscow University
Biological Sciences Bulletin 62 (2): 59-61.
Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zoology 26: 249–254.
Kucukgul A, Sahan A. 2008. Acute stress response in common carp (Cyprinus
carpio Linnaeus,1758) of some stressing factors. Journal of Fisheries
Science. Com 2(4): 623-634.
Ling KH, Sin YM, Lam TJ. 1993. Protection of gold fish against some common
ectoparasitic protozoons using Ichthyophthirius multifiliis and
Tetrahymena pyriformis for vaccination. Aquaculture 116: 303-314.
Lobo-da Cunha A, Azevedo C. 1990. Ultrastructural localization of phosphatases
with cerium in ciliated protozoa. Acta Histochem cytochem 23: 467–473.
Lobo-da Cunha A, Azevedo C. 1994. The Golgi apparatus of ciliated protozoon
Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). Europa Journal Protistology 30:
97–103.
Lom J, Dykova I. 1992. Protozoan parasite of fish development in Aquaculture
and Fisheries. Science 26. Halaman 253–258.
Maki JL. 2002. Ichthyophthirius multifiliis infection and elements of mucosal
immunity in the channel catfish, ictalurus punctatus. A Dissertation
Submitted to the Graduate Faculty of The University of Georgia in Partial
Fulfillment of the Requirements for the Degree. Electronic Version
Approved. 136 halaman.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi
SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman.
Matthews RA. 2005. Ichthyophthirius multifiliis Fouquet and ichthyophthiriasis in
freshwater teleosts. Advances Parasitology 59: 159–241.
Molina PE. 2010. Lange Endocrine Physiology. Mc Graw Hill. Http://www.study
temple.com/ (kunjungan 3 Juni 2012).
Mulyana. 1999. Ichthyophthirius multifiliis pada ikan jambal siam (Pangasius
hypophthalmus) dan respons fisiologisnya (tesis). Bogor. Program Pasca-
sarjana, Institut Pertanian Bogor. 65 halaman .
102
Nielsen KS. 1997. Animal physiology adaptation and environmental. Fifth
edition. Cambridge University Press. Halaman 217–293.
Nigrelli RF, Pokamy KS, Ruggieri GD. 1976. Note on Ichthyophthirius multifiliis
a ciliate parasitic on freshwater fishes with some remark on possible
physiological races and species. Transaction of The American
Microscopic Society, 251: 60–613.
Nikoskelainen S, Bylund G, Lilius EM. 2004. Effect of environmental
temperature on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) innate immunity.
Developmental and Comparative Immunology, 28: 581–592.
Nofrizal, Yanase K, Arimoto T. 2009. Effect of temperatur on the swimming
endurance and postexercise recovery of jack mackerel Trachurus
japonicus as determined by monitoring. Fish Sciences 75: 1369–1375.
Noga EJ. 2000. Fish diseases diagnosis and treatment. Iowa State University
Press. Halaman 95-97.
Ogut H, Akyol A, Alkan MZ. 2005. Seasonality of Ichthyophthirius multifiliis in
the trout (Oncorhynchus mykiss) farms of the eastern black sea region of
Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 5: 23-27.
Ortuno J, Esteban MA, Meseguer J. 2002. Effect of high dietary intake of vitamin
C on non-spesific immune response of gilthead seabream (Sparusa urata
L). Fish and Shelfish Immunology 9: 429-443.
Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009.
Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius
multifiliis by immunization with live theronts, trophonts and sonicated
trophonts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334.
Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable
indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2):
158–178.
Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada
perikanan tangkap. IPB Press. 208 halaman.
Purnamawati 2009. Tingkat perombakan bahan organik sedimen waduk cirata
pada kondisi anaerobik skala laboratorium. [tesis]. Bogor. Sekolah Pasca-
sarjana, Institut Pertanian Bogor. 85 halaman.
Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a
freshwater fish Cyprinus carpio exposed to chlorpyrifos. International
Journal of Integrative Biology (IJIB), 3(1): 80–83.
103
Ramsay JM, et al. 2006. Whole-body cortisol is an indicator of crowding stress in
adult zebrafish, Daneo rerio. Aquaculture 258: 565-574.
Randall DJ, Hung CY, Poon WL. 2004. Response of aquatic vertebrates to
hypoxia. Proceedings of the Eighth International Symposium, Chongqing,
China October 12-14, 2004. Halaman 1-10.
Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B.
2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution
of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus
in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3). 469–476,
Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358.
Robert RJ. 1978. Fish pathology. Bailliere Tindall. London. 485 halaman.
Romo ZM, Re AD, Diaz F, Mena A. 2010. Physiological responses of pink
abalone Haliotis corrugata (Gray,1828) exposed to different combinations
of temperature and salinity. Aquaculture Research 41: 953–960.
Saanin 1986. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Bina Cipta. Bandung.
Sakai DK. 1984. Opsonization by fish antibody and complement in the immune
phagocytosis by peritoneal exudates cells from salmoned fish. Journal
Fish Diseases 7: 29–38.
Shrimpton JM, Zydlewski JD, McCormick D. 2001. The stress response of
juvenile American Shad to handling and confinement is greater during
migration in freshwater than in seawater. Transactions of the American
Fisheries Society, 130: 1203–1210.
Siakpere K. Ovie. Obogu, Oghoghene E. 2008. Sublethal haematological effects
of zinc on the freshwater fish, Heteroclarias sp. (Osteichthyes: Clariidae).
African Journal of Biotechnology 7(12): 2068–2073.
Sin YM, Ling KH, Lam TL. 1996. Cell-mediated immune response of goldfish
Carassius auratus (L), to Ichthyophthirius multifiliis. Journal Fish Di-
seases 19: 1-7.
Stanley DW. 1995. A hyaluronidase from Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). http://www.google.co.id/#q=A+hyaluronidase+from+Ichthyophthirius+multifiliis (kunjurngan Oktober 2008).
Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Fish medicine.WB. Saunders Company.
Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London Toronto Montreal
Sydney Tokyo. Halaman 149–159.
104
Supriyadi H, Komarudin O. 2003. Kerusakan jaringan ikan nila (Oreochromis
niloticus) yang terinfeksi penyakit streptococciasis .Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 9 (2): 35-38.
Syawal H, Mulyadi, Aryani N. 2001. Pengaturan suhu dan padat tebar benih ikan
jambal siam (Pangasius hypophthalmus) terhadap derajad insiden I.
multifiliis. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan 6 (2): 66-72.
Syawal H, Siregar YI, Aryani N. 2007. Pembuatan vaksin sel utuh Ich-
thyophthirius multifiliis. Laporan penelitian Hibah Bersaing tahun ke-1.
Lembaga Penelitian Universitas Riau. 42 halaman.
Syawal H, Siregar YI. 2010. Imunisasi ikan jambal siam dengan vaksin
Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan
Indonesia 11(3): 163–67.
Tizard I.1987. Pengantar imunologi veteriner. Airlangga University Press Sura-
baya. 497 halaman.
Tucker CS. 1993. Water analysis. Dalam: Fish Medicine. Harcout Brace
Jovanovich WB. Saunders Company. Inc. Philadelphia London Toronto
Montreal Sydney Tokyo. Halaman166–197.
Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry
stress during early life stages affects the stress response and health status
of juvenile sea-bass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish
Immunology 20: 83-96.
Wedemeyer GA. 1996. Physiology of fish in intensive culture system. Chapman
and Hall. 115 Fifth Avenue New York. 232 halaman.
Wedemeyer GA. 2001. Fish hatchery management. Edition, 2. American
Fisheries Society. 733 halaman
Witeska M, Kondera E, Lugowska K. 2010. The effects of ichthyophthiriasis on
some haematological parameter in common carp. Turkey Journal
Veterinary Animal Science 34 (3): 267–271.
Woo PTK, Bruno DW, Lim LHS. 2002. Diseases and disorders of finfinsh in
cage culture. CABI Publishing. Halaman 193-230.
Woo PTK. 2006. Fish diseases and disorders. Volume 1 Protozoa and Metazoan
Infections 2nd
edition. University of Guelph Canada. www.cabi.or.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA, Evan JJ. 2000. The early development of
Ichthyophthirius multifiliis in channel catfish in Vitro. Journal of Aquatic
Animal Health 12 (4): 290-296.
105
Xu-DH, Klesius PH, Shelby RA. 2004. Immune responses and host protection of
channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), against Ichthyophthirius
multifiliis after immunization with live theronts and sonicated trophonts.
Journal Fish Diseases 27: 135-141.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2007. Evaluation of a cohabitation
challenge model in immunization trials for channel catfish Ich-
taluruspuntatus against Ichthyophthirius mulifiliis. Deseases of Aquatic
Organisms 74: 49-55.
Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2010. Protective immunity of nile tilapia
against ichthyophthirius (Abstract). World Aquaculture Society. P. 1111.
USDA Agriculture Research Service. Last Modified: 09/23/2011
LAMPIRAN
109
Lampiran 1. Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan ciri-ciri
Ichthyophthirius multifiliis
Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius
multifiliis
Ciri-ciri Ichthyophthirius multifiliis
- Adanya bintik putih di
permukaan tubuh
- Sirip putus
- Sisik lepas
- Ichthyophthirius multifiliis
dewasa bentuknya bundar,
permukaan tubuh dikelilingi
oleh silia.
- Warna transparan
- Mempunyai makro nukleus
seperti tapal kuda
- Pergerakan aktif
- Ukuran 30-1000μm
- Ichthyophthirius multifiliis
bentuknya bundar hingga oval
(seperti buah peer) tubuh
dikelilingi oleh silia
- Bergerak sangat aktif
- Warna transparan
- Ukuran 30-45μm
Sumber: Gratzek 1993
Lampiran 2. Menghitung kepadatan sel theront dari Ichthyophthirius multifiliis
- Ambil satu tetes dari media kultur theront kemudian diamati di bawah
mikroskop dan dihitung berapa jumlah sel theront yang terlihat dari satu
lapang pandang, pengamatan dilakukan empat lapang pandang. Prosedur
yang sama dilakukan tiga kali ulangan
- Hasil yang didapatkan dirata-ratakan kemudian dikonversikan untuk
mengetahui kepadatan dalam 1 mL media kultur, yaitu dengan cara
mengalikan jumlah sel theront dalam 1 tetes media dikali dengan 20
- Angka 20 didapatkan dari 1 mL media terdiri atas 20 tetes.
Sumber : Syawal et al. 2007.
110
Lampiran 3. Histopatologi insang ikan mas akibat diinfeksi dengan Ich
Waktu/Org
an
Perlakuan
T20 T24 T28
72 Jam PI
Insang
Kulit
Diagnosis
-hyperseluler,
infiltrasi sel
limfosit
-infiltrasi sel
mononuklear
(limfosit dan
makrofag)
- fragmentasi
serabut
-peradangan
insang dan kulit
-nekrosis,
desquamasi
selepitel, sel goblet
dan infiltrasi sel
limfosit
-terdapat sel
Goblet, infiltrasi
sel mononuklear
(limfosit dan
makrofag)
-nekrosis insang,
dermatitis
-nekrosis, desquamasi
sel epitel, cyste,
hemorrhage, infiltrasi
sel imfosit dan
magrofag
-nekrosis, infiltrasi sel
limfosit, makrofag dan
eosinofil, terdapat sel
Goblet
-nekrosis, hemosiderin,
dan vakuolisasi
-nekrosis insang,
dermatitis
Keterangan PI = pascainfeksi
Sumber: Laboratorium Diagnostik BALIVET Bogor.
111
Lampiran 4. Prosedur pembuatan vaksin ich dan uji viabilitas terhadap sel theront
(modifikasi dari Sakai 1984)
Kultur ich stadia trophozoid
1. Stadia trophozoid didapatkan dari ikan yang positif terinfeksi ich
2. Trophozoid diisolasi dengan cara mengerik lendir yang ada di permukaan tubuh
ikan yang terinfeksi ich
3. Lendir dimasukan ke dalam botol erlimeyer berukuran 500 mL yang telah diisi
dengan akuades
4. Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu ruang
Untuk memastikan bahwa stadia trophozoid sudah berubah menjadi stadia
theront, dilakukan pengecekan di bawah mikroskop. Pengecekan dilakukan
dengan cara mengambil satu tetes dari media kultur kemudan diletakan di atas
gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diamati dengan menggunakan
mikroskop perbesaran 10x40. Pengamatan dilakukan dengan lima lapangan
pandang
5. Sel theront dipisahkan dari lendir dengan cara sentrifuse, selama 5 menit
dengan kecepatan 3.000 rpm.
6. Supernatan yang dihasilkan diambil beberapa tetes diamati di bawah mikroskop
untuk dihitung kepadatan sel theront (250-300 sel/mL)
7. Inaktivasi sel theront dilakukan dengan cara pemanasan di waterbath pada suhu
47⁰C selama 30 menit. Hasil pemanasan ini diistilahkan sebagai vaksin ich
8. Uji viabilitas yaitu dengan cara mengambil beberapa tetes larutan vaksin
diamati di bawah mikroskop dengan 5 lapang pandang (theront tidak bergerak
lagi). Vaksin dinyatakan aman apabila tidak ditemukan lagi sel theront yang
bergerak
112
Lampiran 5. Prosedur uji imobilisasi (Sigh dan Buchmann 2002)
Persiapan Bahan
- Kultur theront
- Serum
- PBS (Phosfat Buffer Saline) pH 7.2
Peralatan
- Waterbath, mikropipet, 96 well microtitre plate, mikroskop
Prosedur
- Serum dipanaskan dalam waterbath suhu 44⁰C selama 20 menit
- Ke dalam masing-masing sumur (96 well microtitre plate) dimasukkan
50μL PBS
- Tambahkan pada sumur pertama serum sebanyak 50μL, lalu homogenkan.
Diambil 50μL dari sumur pertama yang telah dihomogenkan masukkan ke
sumur kedua, homogenkan lagi. Kemudian diambil 50μL dari sumur
kedua dimasukkan ke dalam sumur ketiga dan dihomogenkan lagi,
demikian seterusnya sampai sumur ke-12
- Tambahkan 25 sel theront ke dalam masing-masing sumur, kemudian
diinkubasi pada suhu ruang. Setiap 30 menit selama 2 jam diamati di
bawah mikroskop. Titer immobilisasi dinyatakan apabila 50% sel theront
tidak bergerak pada pengenceran tertinggi
- Angka titer immobilisasi didapatkan dengan menggunakan rumus log
(n+1), n adalah pada pengenceran tertinggi didapatkan 50% sel theront
tidak bergearak.
113
Lampiran 6. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
Hari 3 159172.6837 53057.5612 9.72E15 <.0001
Suhu 3 322280.4913 107426.8304 1.97E16 <.0001
Hari*Suhu 9 151773.9170 16863.7686 3.09E15 <.
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 235.31000
H-7 12 275.09000
H-14 12 336.27000
H-21 12 386.09250
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 415.95500
24 12 328.07500
28 12 302.25000
32 12 186.48250
114
Lampiran 7. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 24097.43349 8032.47783 86.38 <.0001
Suhu 3 961.58886 320.52962 3.45 0.0281
Hari*Suhu 9 3990.07715 443.34191 4.77 0.0005
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 125.380
H-7 12 125.584
H-14 12 83.693
H-21 12 78.009
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 109.129
24 12 104.656
28 12 102.142
32 12 96.739
115
Lampiran 8. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 164.9844500 54.9948167 11.68 <.0001
Suhu 3 120.4453500 40.1484500 8.53 0.0003
Hari*Suhu 9 97.4962000 10.8329111 2.30 0.0401
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 20.6667
H-7 12 15.8175
H-14 12 16.5575
H-21 12 18.0450
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 15.1917
24 12 17.7917
28 12 19.2792
32 12 18.8242
116
Lampiran 9. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang dipelihara
pada suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 13.75898958 13.29621875 24.39 <.0001
Suhu 3 4.64523958 1.54841319 8.23 0.0003
Hari*Suhu 9 13.29621875 1.47735764 7.86 <.0001
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 8.2433
H-7 12 7.6367
H-14 12 8.5942
H-21 12 9.1083
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 8.0558
24 12 8.1742
28 12 8.4958
32 12 8.8567
117
Lampiran 10. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 159172.6837 53057.5612 9.72E15 <.0001
Suhu 3 322280.4913 107426.8304 1.97E16 <.0001
Hari*Suhu 9 151773.9170 16863.7686 3.09E15 <.0001
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 235.31000
H-7 12 275.09000
H-14 12 275.09000
H-21 12 235.31000
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 415.95500
24 12 328.07500
28 12 302.25000
32 12 186.48250
118
Lampiran 11. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 765.9482250 255.3160750 214.03 <.0001
Suhu 3 33.6135583 11.2045194 9.39 0.0001
Hari*Suhu 9 27.0266750 3.0029639 2.52 0.0263
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
H-0 12 2.0667
H-7 12 3.8333
H-14 12 2.6833
H-21 12 2.2883
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 6.5000
24 12 5.3883
28 12 4.6833
32 12 4.3000
119
Lampiran 12. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diinfeksi
dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 315.266 157.633 53.213 .000
Suhu 2 20.266 10.133 3.421 .047
Hari*Suhu 4 2.675 .669 .226 .922
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 7.993
24 12 9.226
28 12 9.789
Hari N Mean
0 12 4.854
3 12 10.598
5 12 11.556
120
Lampiran 13. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 299.879 149.939 5.440 .010
Suhu 2 119.892 59.946 2.175 .133
Hari*Suhu 4 499.782 124.946 4.533 .006
Analisis ragam untuk faktor utama Hari :
Hari N Mean
0 12 17.379
3 12 11.672
5 12 18.138
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 16.068
24 12 13.345
28 12 17.777
Lampiran 14. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 5.727 2.864 4.463 .021
Suhu 2 1.268 .634 .988 .385
Hari*Suhu 4 1.878 .470 .732 .578
Analisis ragam faktor untuk utama Hari
Hari N Mean
0 12 3.307
3 12 2.341
5 12 2.699
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 2.576
24 12 3.030
28 12 2.741
121
Lampiran 15. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 1038.879 519.439 .852 .438
Suhu 2 1741.968 870.984 1.428 .257
Hari*Suhu 4 2000.538 500.134 .820 .524
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 5.381
3 12 16.917
5 12 5.667
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 19.113
24 12 5.244
28 12 3.607
Lampiran 16. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 203.389 101.694 11.721 .000
Suhu 2 1452.722 726.361 83.721 .000
Hari*Suhu 4 192.611 48.153 5.550 .002
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 48.833
24 12 51.917
28 12 37.167
Hari N Mean
0 12 46.500
3 12 48.583
5 12 42.833
122
Lampiran 17. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 122.167 61.083 4.436 .022
Suhu 2 666.500 333.250 24.204 .000
Hari*Suhu 4 180.333 45.083 3.274 .026
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 42.833
3 12 43.417
5 12 47.000
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 41.250
24 12 41.500
28 12 50.500
Lampiran 18. Analisis ragam nilai neutrofil ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 12.389 6.194 .910 .414
Suhu 2 83.389 41.694 6.127 .006
Hari*Suhu 4 135.444 33.861 4.976 .004
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 8.833
3 12 10.250
5 12 9.333
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 10.333
24 12 7.333
28 12 10.750
123
Lampiran19. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 251096.316 125548.158 . .
Suhu 2 17032.673 8516.336 . .
Hari*Suhu 4 201378.040 50344.510 . .
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Lampiran 20. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 1436.989 718.494 2.252 .125
Suhu 2 631.072 315.536 .989 .385
Hari*Suhu 4 1064.930 266.232 .835 .515
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 47.47083
3 12 62.61333
5 12 57.80833
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 61.8725
24 12 53.34667
28 12 52.67333
Hari N Mean
0 12 395.9033
3 12 548.25
5 12 353.84
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 461.97
24 12 409.9133
28 12 426.11
124
Lampiran 21. Analisis ragam untuk nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi
dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 2 6718.056 3359.028 5.750 .008
Suhu 2 2977.556 1488.778 2.548 .097
Hari*Suhu 4 2406.944 601.736 1.030 .410
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 302.167
3 12 272.583
5 12 300.917
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
20 12 280.167
24 12 302.333
28 12 293.167
Lampiran 22. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari*Suhu 2 147.8786000 73.9393000 5.76 0.0402
Lampiran 23. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari*Suhu 2 252.159 126.079 30.452 .000
125
Lampiran 24. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diberi vaksin dan
diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 374.106 124.702 4.944 .004
Suhu 3 152.481 50.827 2.015 .121
Hari*Suhu 9 454.002 50.445 2.000 .054
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 19.82
7 12 13.74
14 12 17.30
21 12 17.08
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 16.425
7 12 14.99
14 12 18.13
21 12 18.40
126
Lampiran 25. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 56.193 18.731 4.987 .004
Suhu 3 28.803 9.601 2.556 .063
Hari*Suhu 9 28.441 3.160 .841 .581
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 9.865
7 12 9.977
14 12 10.511
21 12 8.266
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 10.304
7 12 8.870
14 12 10.167
21 12 9.279
Lampiran 26. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 11.048 3.683 6.515 .001
Suhu 3 10.427 3.476 6.149 .001
Hari*Suhu 9 7.044 .783 1.385 .214
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 2.612
7 12 1.909
14 12 2.396
21 12 1.680
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 1.978
7 12 1.650
14 12 2.395
21 12 2.575
127
Lampiran 27. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 66.791 22.264 7.500 .000
Suhu 3 39.115 13.038 4.392 .007
Hari*Suhu 9 88.692 9.855 3.320 .002
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 3.250
7 12 4.215
14 12 1.750
21 12 2.490
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 3.890
7 12 3.295
14 12 2.220
21 12 2.300
128
Lampiran 28. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 217.938 72.646 3.632 .017
Suhu 3 664.338 221.446 11.072 .000
Hari*Suhu 9 1127.413 125.268 6.263 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 45.250
7 12 43.400
14 12 39.500
21 12 38.100
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Suhu N Mean
0 12 41.300
7 12 39.650
14 12 41.100
21 12 44.200
129
Lampiran 29. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 290.437 96.812 6.393 .001
Suhu 3 1070.838 356.946 23.571 .000
Hari*Suhu 9 642.912 71.435 4.717 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 39.500
7 12 42.700
14 12 43.550
21 12 44.600
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 44.300
7 12 46.300
14 12 36.550
21 12 43.200
Lampiran 30. Analisis ragam nilai neutrofil ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 597.037 199.012 21.706 .000
Suhu 3 328.838 109.613 11.955 .000
Hari*Suhu 9 486.812 54.090 5.899 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 16.050
7 12 17.100
14 12 21.450
21 12 17.950
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 17.150
7 12 14.600
14 12 22.150
21 12 18.650
130
Lampiran 31. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 44413.873 14804.624 77.745 .000
Suhu 3 1027.360 342.453 1.798 .167
Hari*Suhu 9 39513.443 4390.383 23.056 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 236.872
7 12 165.046
14 12 160.372
21 12 193.023
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 190.677
7 12 186.396
14 12 195.289
21 12 182.951
Lampiran 32. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 53757.478 17919.159 64.770 .000
Suhu 3 4986.879 1662.293 6.008 .001
Hari*Suhu 9 3024.025 336.003 1.215 .302
Analisis ragam untuk faktor utama Hari
Hari N Mean
0 12 49.944
7 12 89.339
14 12 104.125
21 12 42.507
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu
Suhu N Mean
0 12 64.330
7 12 63.087
14 12 81.127
21 12 77.372
131
Lampiran 33. Analisis ragam nilai osmolaritas ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari 3 56384.896 18794.965 21.686 .000
Suhu 3 29508.896 9836.299 11.349 .000
Hari*Suhu 9 44590.021 4954.447 5.717 .000
Lampiran 34. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari*Suhu 3 11371.38063 3790.46021 84.50
<.0001
.
Lampiran 35. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich
Source DF Anova SS Mean Square F Value Nilai P
Hari *Suhu 3 724.606 241.535 74.346 .000