Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
EFEKTIVITAS PERMAINAN KONSTRUKTIF LASY® TERHADAP
KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK CEREBRAL PALSY
KELAS I DI SD NEGERI POJOK SINDUADI SLEMAN
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh :
Dian Karitas
NIM. 1310341073
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
ii
EFEKTIVITAS PERMAINAN KONSTRUKTIF LASY® TERHADAP
KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK CEREBRAL PALSY
KELAS I DI SD NEGERI POJOK SINDUADI SLEMAN
Oleh :
Dian Karitas
NIM 13103241073
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas permainan
konstruktif LASY® terhadap kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
kelas I di SD Negeri Pojok.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
eksperimen. Metode eksperimen yang digunakan adalah Single Subject Research
(SSR) dan desain yang digunakan yaitu A-B-A. Fase baseline-1 dilaksanakan
sebanyak tiga kali pertemuan, intervensi sebanyak enam kali pertemuan, dan fase
baseline-2 sebanyak tiga kali pertemuan. Subjek dalam penelitian ini adalah
seorang anak Cerebral Palsy dengan gangguan motorik halus kelas I di SD Negeri
Pojok. Pengumpulan data dilakukan dengan tes kemampuan motorik halus. Data
dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan teknik analisis visual dalam
kondisi dan antar kondisi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permainan konstruktif LASY® efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
kelas I di SD Negeri Pojok. Hal ini terbukti dari perolehan mean level pada fase
baseline-1, intervensi, dan baseline-2 berturut-turut 27, 47, dan 57. Berdasarkan
data tersebut terjadi peningkatan +30 pada kemampuan motorik halus antara
sebelum dan sesudah diberikan intervensi menggunakan permainan konstruktif
LASY®. Persentase data tumpang tindih (overlap) antar kondisi 0% yang berarti
bahwa permainan konstruktif LASY® efektif digunakan untuk meningkatkan
kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
Kata kunci: permainan konstruktif LASY®, kemampuan motorik halus, anak
Cerebral Palsy.
iii
THE EFFECTIVENESS OF LASY® CONSTRUCTIVE GAME ON FINE
MOTOR ABILITIES OF 1st GRADE CHILDREN WITH
CEREBRAL PALSY IN POJOK PUBLIC
PRIMARY SCHOOL SINDUADI SLEMAN
By:
Dian Karitas
NIM 13103241073
ABSTRACT
This study aims to determine the effectiveness of LASY® constructive game
to the fine motor abilities of 1st grade children with Cerebral Palsy in Pojok
Public Primary School.
This research is a quantitative research with experimental research type
and using Single Subject Research (SSR) approach. The research design used was
A-B-A. The baseline-1 phase was conducted three times, six times interventions,
and the baseline-2 three times. Subjects in this study was a 1st grade children with
Cerebral Palsy who has fine motor disturbance in Pojok Public Primary School.
Data collection was performed with fine motor ability tests. Data were analyzed
using descriptive statistic with visual analysis technique in condition and inter
condition.
The results showed that the mean rates at the baseline-1, intervention, and
baseline-2 phases were 27, 47, and 57 respectively. Based on these data, there
was a +30 increase in fine motor skills between before and after intervention
using a LASY® constructive game . The percentage of overlap data 0% in inter
conditions means that the LASY® constructive game is effectively used to improve
the fine motor abilities of Cerebral Palsy children.
Keywords: LASY® constructive game, fine motor abilities, children with
cerebral palsy.
iv
SURAT PERNYATAAN
v
LEMBAR PERSETUJUAN
vi
LEMBAR PENGESAHAN
vii
MOTTO
“Percayalah jika hari esok adalah kesuksesanmu, maka janganlah engkau
menunda satu detik pun untuk tidak mengerjakan apa yang menjadi tugasmu. Jika
kau percaya, maka engkau adalah pemenangnya”
(penulis)
viii
PERSEMBAHAN
Puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kelancaran
sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Skripsi ini peneliti
persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua saya, Bapak Budiyatno John Rigby dan Ibu Dea Arti
Maharani yang selalu memberikan doa, dukungan, motivasi, serta kasih
sayang yang tiada henti.
2. Almamaterku tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Nusa, Bangsa, dan Agama.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kasih dan
karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul
“Efektivitas Permainan Konstruktif LASY® terhadap Kemampuan Motorik
Halus Anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri Pojok Sinduadi Sleman”
dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan
tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal
tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. dr. Atien Nur Chamidah, M.dis.St. selaku Dosen pembimbing TAS yang
telah memberikan banyak dukungan, semangat, motivasi, dan bimbingan
selama penyusunan Tugas Akhir ini.
2. Dr. Mumpuniarti, M.Pd selaku ketua jurusan Pendidikan Luar Biasa
beserta dosen dan staff yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan,
sekaligus memberikan bimbingan dan motivasi kepada saya selama
mengikuti studi.
3. Dr. Haryanto, M.Pd selaku dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah
memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi
4. Tukirah, S. Pd selaku Kepala Sekolah yang telah memberikan izin dan
bantuan dalam melaksanakan penelitian.
5. Kedua orang tua beserta keluarga besar penulis yang tak pernah lelah
memberikan doa, semangat, dan dukungannya selama melaksanakan
penelitian.
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................... ii
ABSTRACT ........................................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... vi
MOTTO ............................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5
C. Pembatasan masalah .......................................................................... 6
D. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
E. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Anak Cerebral Palsy ............................................. 9
1. Pengertian Cerebral Palsy .......................................................... 9
2. Klasifikasi Cerebral Palsy ......................................................... 11
3. Karakteristik Cerebral Palsy .................................................... 12
B. Tinjauan tentang Kemampuan Motorik Halus ................................. 14
1. Pengertian Kemampuan Motorik Halus ................................... 14
2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus .... 16
3. Tahap Perkembangan Motorik Halus Anak ............................. 18
4. Fungsi Perkembangan Motorik Halus ...................................... 21
5. Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy .................. 22
C. Tinjauan tentang Bermain ................................................................ 24
1. Pengertian Bermain .................................................................. 24
2. Tahap Perkembangan Bermain ................................................. 25
3. Alat Permainan Edukatif (APE) ............................................... 27
D. Tinjauan tentang Permainan Konstruktif (Constructive Play)
LASY® ............................................................................................ 29
1. Pengertian Permainan Konstruktif (Constructive Play) ........... 29
xii
2. Manfaat Permainan Konstruktif ............................................... 30
3. Ciri-Ciri Permainan Konstruktif ............................................... 32
4. Jenis-jenis Permainan Konstruktif ............................................ 33
5. Pengertian Permainan LASY® ................................................. 34
6. Keunggulan Permainan LASY® .............................................. 36
E. Penelitian yang Relevan ................................................................... 38
F. Kerangka Berpikir ............................................................................ 39
G. Hipotesis .......................................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................ 42
B. Subjek Penelitian ............................................................................. 45
C. Tempat, Setting, dan Waktu Penelitian ............................................ 47
D. Definisi Operasional Variabel ......................................................... 49
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ....................................... 50
F. Validitas Instrumen .......................................................................... 53
G. Prosedur Pelaksanaan ...................................................................... 53
H. Teknik Analisis Data ....................................................................... 56
I. Kriteria Keefektivan Permainan Konstruktif LASY® .................... 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................ 60
B. Hasil Uji Hipotesis ........................................................................... 82
C. Pembahasan ..................................................................................... 82
D. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .......................................................................................... 88
B. Implikasi .......................................................................................... 88
C. Saran ................................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 90
LAMPIRAN .................................................................................................... 94
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Contoh Hasil Permainan LASY® .................................................... 38
Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir ...................................................................... 41
Gambar 3. Grafik Data Fase Baseline-1 ............................................................ 61
Gambar 4. Grafik Data Fase Intervensi.............................................................. 69
Gambar 5. Grafik Data Fase Baseline-2 ............................................................ 71
Gambar 6. Skor Perolehan Tes Kemampuan Motorik Halus Baseline-1 (A1),
Intervensi (B), dan Baseline-2 (A2) ................................................. 72
Gambar 7. Grafik Data Overlap Baseline-1 (A1) dan Intervensi....................... 79
Gambar 8. Grafik Data Overlap Intervensi (B) dan Baseline-2 (A2) ............... 80
Gambar 9. Grafik Data Mean Level Kemampuan Motorik Halus Anak
Cerebral Palsy .................................................................................. 81
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tahap Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 4-60 bulan ............... 19
Tabel 2. Tahap perkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-4 tahun dan
5-6 tahun ............................................................................................... 19
Tabel 3. Waktu dan Kegiatan Penelitian ............................................................. 49
Tabel 5. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus Anak
Cerebral Palsy Fase Baseline-1 ........................................................... 60
Tabel 6. Pelaksanaan Intervensi menggunakan Permainan Konstruktif
LASY® ................................................................................................. 62
Tabel 7. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus Anak
Cerebral Palsy saat Pelaksanaan Intervensi ......................................... 68
Tabel 8. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus Anak
Cerebral Palsy Fase Baseline-2 ........................................................... 71
Tabel 9. Data Panjang Kondisi ........................................................................... 73
Tabel 10. Kecenderungan Arah............................................................................. 74
Tabel 11. Data Tingkat Stabilitas .......................................................................... 74
Tabel 12. Data Tingkat Perubahan ........................................................................ 75
Tabel 13. Jejak Data .............................................................................................. 75
Tabel 14. Rentang Data ......................................................................................... 76
Tabel 15. Data Rangkuman Analisis Dalam Kondisi ........................................... 76
Tabel 16. Data Jumlah Variabel yang Diubah ...................................................... 77
Tabel 17. Data Perubahan Kecenderungan Arah dan Efeknya ............................. 77
Tabel 18. Data Perubahan Stabilitas dan Efeknya ................................................ 77
Tabel 19. Data Perubahan Level ........................................................................... 78
Tabel 20. Data Presentase Tumpang Tindih (Overlap) ......................................... 80
Tabel 21. Rangkuman Data Analisis Antar Kondisi ............................................. 81
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Instrumen Tes Kemampuan Motorik Halus .................................... 95
Lampiran 2. Catatan Lapangan Pelaksanaan Intervensi
Pertemuan 1 sampai 6 ................................................................... 101
Lampiran 3. Perhitungan Stabilitas Data Baseline-1, Intervensi,
dan Baseline-2 ................................................................................ 110
Lampiran 4. Dokumentasi Pelaksanaan Baseline .............................................. 113
Lampiran 5. Dokumentasi Pelaksanaan Intervensi ............................................ 114
Lampiran 6. Surat Keterangan Validasi ............................................................. 115
Lampiran 7. Surat Pengantar Penelitian ............................................................. 116
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ....................................................................... 117
Lampiran 9. Surat Keterangan Selesai Penelitian .............................................. 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap warga negara Indonesia memiliki kesempatan dan hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan, tidak terkecuali untuk Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). ABK merupakan anak yang memiliki hambatan atau kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran dikarenakan gangguan atau kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial yang dialaminya. ABK memiliki kesempatan dan
hak yang sama seperti anak normal pada umumnya untuk mengoptimalkan
kemampuan diri melalui pendidikan, termasuk salah satunya adalah anak
tunadaksa. Tunadaksa sering diartikan dengan cacat fisik, cacat tubuh, tuna tubuh,
atau cacat ortopedi. Istilah tersebut menggambarkan suatu keadaan seseorang
mengalami kecacatan, kelainan bentuk tubuh, atau kehilangan salah satu bagian
dari tubuhnya yang mengakibatkan terganggunya fungsi dari tubuh untuk
melakukan gerakan-gerakan sesuai yang diinginkan. Salah satu jenis anak
tunadaksa adalah Cerebral Palsy.
Berdasarkan pendapat dari Somantri (2005: 121) Cerebral Palsy
merupakan salah satu bentuk brain injury, artinya suatu kondisi yang
mempengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai lesi dalam otak atau suatu
penyakit neuromuscular yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau
kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi
motorik. Kerusakan fungsi motorik yang dialami oleh anak Cerebral Palsy dapat
menghambat anak dalam melakukan berbagai aktivitas fisik sehari-hari. Aspek
2
perkembangan fisik motorik terbagi menjadi dua jenis yakni motorik kasar dan
motorik halus. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa Cerebral Palsy
merupakan kelainan yang disebabkan oleh kerusakan pada otak, yang
mempengaruhi koordinasi motorik baik motorik kasar maupun motorik halus.
Kemampuan motorik halus merupakan salah satu keterampilan dasar yang
sangat penting bagi anak. Menurut Sumantri (2005: 271) motorik halus
merupakan keterampilan yang memerlukan kemampuan untuk mengontrol otot-
otot kecil/halus seperti menulis, meremas, menggenggam, menggambar, maupun
menyusun balok. Pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa kemampuan motorik
halus merupakan gerakan-gerakan halus yang dilakukan dengan jari-jari tangan
seperti ketepatan gerak tangan, kelembutan gerak tangan, koordinasi gerakan mata
dan tangan serta kelenturan gerakan tangan.
Dampak negatif apabila motorik halus tidak berkembang dengan optimal,
maka anak akan mengalami masalah dalam melakukan gerakan yang melibatkan
motorik halus terutama untuk melakukan gerakan yang sederhana seperti melipat
jari, menggenggam, menjumput, memegang, dan menempel. Oleh karena itu,
sangatlah dibutuhkan media yang lebih bervariasi untuk menarik perhatian anak,
sehingga anak semangat berlatih untuk meningkatkan kemampuan motorik
halusnya. Selain itu, media yang digunakan harus aman sehingga anak tidak
mengalami cidera saat menggunakan media tersebut. Salah satu media yang dapat
digunakan untuk melatih kekuatan motorik halus anak adalah Alat Permainan
Edukatif (APE) yang bersifat konstruktif.
3
APE merupakan alat permainan yang dirancang khusus untuk kepentingan
pendidikan sehingga berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan anak sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Sedangkan permainan konstruktif merupakan
kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk membuat atau membentuk hasil karya
menggunakan alat atau benda tertentu. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa
APE bersifat konstruktif merupakan alat permainan yang dirancang khusus untuk
kepentingan pendidikan dan bersifat bangun-membangun, artinya anak-anak dapat
membuat atau membentuk hasil karya menggunakan alat atau benda yang
tertentu. Salah satu jenis alat permainan konstruktif adalah permainan LASY®.
LASY® merupakan alat permainan edukatif yang berasal dari Jerman.
LASY® diciptakan pertama kali pada tahun 1971 oleh Peter Lawrs, yang didesain
sebagai permainan yang mengembangkan kreativitas dan motorik halus anak.
LASY® merupakan alat permainan edukatif yang bersifat konstruktif dengan
bahan dasar plastik dan bertujuan untuk mengembangkan kreativitas serta
kemampuan motorik halus anak. Cara bermain LASY® ini adalah dengan
menghubungkan komponen bentuk LASY® supaya membentuk suatu bentuk
yang diinginkan anak atau sesuai contoh yang sudah ada. Permainan LASY® ini
merupakan salah satu jenis permainan konstruktif yang dapat membantu melatih
dalam peningkatan kemampuan motorik anak Cerebral Palsy, terutama motorik
halus dengan latihan menjumput mainan, meraba, memegang, dan memasang atau
menghubungkan komponen LASY® untuk membentuk suatu bentuk dengan jari-
jemari kedua tangannya tersebut.
4
Beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa permainan
konstruktif LASY® memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut antara
lain yaitu LASY® terbuat dari bahan plastik yang sangat aman digunakan oleh
anak dan LASY® juga memiliki warna-warna cerah dan menarik (merah, kuning,
hijau, dan putih) sehingga alat ini dapat menarik perhatian anak. Selain itu,
LASY® diciptakan sebagai permainan edukatif konstruktif yang bersifat
interlocking dimana semua komponen dapat terhubung dan dapat membentuk
ratusan bentuk, seperti berbagai macam bentuk hewan, alat transportasi,
tumbuhan, dan lain sebagainya.
Penelitian dengan menggunakan permainan LASY® pernah dilakukan
sebelumnya oleh Heryani (2014) tentang “Meningkatkan Kemampuan Motorik
Halus Anak Taman Kanak - Kanak Melalui Bermain Lasy”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan motorik halus anak setelah
diterapkannya bermain LASY® pada kelompok A TK Mutya Agni. Namun,
penelitian mengenai permainan LASY® untuk meningkatkan kemampuan
motorik halus pada anak Cerebral Palsy belum pernah dikaji sebelumnya,
sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menguji keefektifan permainan
konstruktif LASY® terhadap peningkatan motorik halus apabila diterapkan pada
anak Cerebral Palsy.
Berdasarkan hasil observasi pada bulan Mei yang dilakukan di SD Negeri
Pojok, terdapat seorang siswi yang berusia 8 tahun dan duduk di kelas I yang
mengalami Mixed Cerebral Palsy (Cerebral Palsy Campuran). Anak mengalami
kekakuan (spastik) pada kaki kanannya serta jemari tangannya, dan disertai
5
dengan athetoid (gerakan yang tidak terkedali). Spastik merupakan kekakuan yang
terjadi pada bagian otot, sedangkan Athetoid merupakan kelainan yang
disebabkan oleh kerusakan pada otak sehingga mengakibatkan munculnya
gerakan yang tidak terkendali dan tidak mampu mempertahankan postur tubuh
yang tegak. Akibat kelainan tersebut, anak Mixed Cerebral Palsy mengalami
gangguan pada kemampuan motorik halusnya. Kekakuan yang dialami pada
jemari tangannya menyebabkan anak kesulitan dalam melakukan berbagai
aktifitas sehari-hari terutama yang melibatkan kemampuan motorik halus, seperti
memegang, menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis, melipat, mewarnai,
menggunting, meronce, memilin, dan merawat diri.
Setelah mengkaji beberapa permasalahan yang timbul, dapat diketahui
bahwa kemampuan motorik halus anak masih tergolong rendah. Beberapa upaya
telah dilakukan guru guna meningkatkan kemampuan motorik halus anak, namun
masih kurang optimal. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan
media bola karet. Kegiatan yang dilakukan anak dengan media tersebut adalah
dengan meremas-remas bola menggunakan jemari tangannya. Berdasarkan
permasalahan yang sudah dijabarkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
“Efektivitas Permainan Konstruktif LASY® terhadap Kemampuan Motorik Halus
Anak Cerebral Palsy Kelas I di SD Negeri Pojok Sinduadi Sleman.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka sejumlah
permasalahan dapat didefinisikan sebagai berikut:
6
1. Media pembelajaran yang digunakan sekolah belum bervariasi, sehingga
penanganan terhadap kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy belum
optimal.
2. Terdapat siswa kelas I di SD Negeri Pojok yang mengalami Mixed Cerebral
Palsy dengan kemampuan motorik halus yang rendah, sehingga mengalami
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Belum diketahui efektivitas permainan konstruktif LASY® terhadap
kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
C. Pembatasan masalah
Penelitian ini difokuskan pada “Efektivitas Permainan Konstruktif LASY®
terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri
Pojok Sinduadi Sleman.”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana efektivitas permainan konstruktif LASY® terhadap
kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri Pojok?”
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas permainan konstruktif
LASY® terhadap kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD
Negeri Pojok.
7
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun
teoritis, yakni sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya khasanah keilmuan, khususnya
bagi bidang pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa dalam hal penggunaan
media/alat yang tepat sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan motorik
halus anak Cerebral Palsy.
2. Praktis
a. Bagi Guru
Memberikan suatu alternatif pemecahan masalah dalam melatih kemampuan
motorik halus dengan media/alat peraga yang tepat dan inovatif bagi anak
Cerebral Palsy.
b. Bagi Siswa
Memotivasi untuk lebih semangat dalam latihan sebagai upaya meningkatkan
kemampuan motorik halus dengan alat peraga yang tepat dan inovatif.
c. Bagi Kepala Sekolah
Sebagai dasar kebijakan untuk mendorong pendidik/guru/therapis dalam
melatih kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy dengan permainan
LASY®.
8
d. Bagi peneliti
1) Mengembangkan wawasan khususnya dalam hal pengembangan media atau
alat melalui permainan untuk kemampuan motorik halus anak Cerebral
Palsy.
2) Mendapatkan fakta mengenai efektivitas permainan LASY® terhadap
peningkatan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Anak Cerebral Palsy
1. Pengertian Cerebral Palsy
Cerebral Palsy merupakan kelainan atau kerusakan gerak yang
mempengaruhi kekakuan pada otot, gerakan, dan keterampilan motorik maupun
fungsi kecerdasan yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak. Kirk (1970)
dalam Efendi (2006: 118) mengemukakan bahwa Cerebral palsy berasal dari kata
“cerebral” yang berarti otak dan “palsy” artinya ketidakmampuan atau gangguan
motorik.
Menurut Salim (1996: 36) ditinjau dari segi phatologis, Cerebral Palsy
berarti kelainan organ gerak sebagai akibat dari kerusakan/cacat maupun luka
penyakit yang ada di dalam otak. Selanjutnya ditinjau dari segi istilah berarti
kekakuan organ gerak yang disebabkan karena adanya kerusakan di dalam otak.
Istilah tersebut menggambarkan bahwa Cerebral Palsy merupakan kelainan atau
gangguan pada organ gerak karena adanya kerusakan pada otak yang
mengakibatkan kekakuan pada otot, gerakan, maupun terganggunya sistem
motorik serta koordinasi psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi aktivitas
sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun sekolah (proses belajar mengajar).
Cerebral Palsy merupakan salah satu bentuk brain injury, artinya suatu
kondisi yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai akibat lesi
dalam otak, atau suatu penyakit neuromuscular yang disebabkan oleh adanya
gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan
10
dengan pengendalian motorik (Somantri, 2005:121). Dengan kata lain, Cerebral
Palsy dapat diartikan sebagai kelumpuhan atau kelayuhan otak yang
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan pada gerakan tubuh, keterampilan
motorik, dan koordinasi otot.
Muslim dan Sugiarmin (68-69) berpendapat juga bahwa Cerebral Palsy
merupakan kelainan atau kerusakan pada jaringan otak yang bersifat tidak
progresif dan disertai dengan kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastik,
gangguan ganglia, cerebellum, dan kelainan mental. Pengertian tersebut
menggambarkan bahwa Cerebral Palsy merupakan kelainan atau gangguan gerak,
otot, keterampilan motorik, maupun kelainan yang disebabkan adanya kerusakan
pada jaringan otak yang bersifat tidak progresif.
The American Academy of Cerebral Palsy dalam Efendi (2006: 118)
mendefinisikan bahwa “Cerebral Palsy adalah berbagai perubahan gerakan atau
fungsi motor tidak normal dan timbul sebagai akibat kecelakaan, luka atau
penyakit susunan syaraf yang terdapat pada rongga tengkorak”. Pendapat tersebut
didukung oleh Fait (1972: 84) yang menyatakan bahwa:
“Cerebral Palsy is a condition affecting the motor control centers because
of lesions in various parts of the brain arising from injury, infection, or faulty
development. The condition is not an orthopedic disability but a neurological
impairment and often produces different kinds of learning disabilities than does
an orthopedic handicap”.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa anak Cerebral Palsy adalah suatu
kondisi yang mempengaruhi pusat-pusat kontrol motorik karena adanya kerusakan
di otak. Kondisi tersebut merupakan gangguan neurologis.
11
Berdasarkan beberapa pendapat yang mengemukakan tentang pengertian
Cerebral Palsy, maka dapat ditegaskan bahwa Cerebral Palsy merupakan
kelainan gerak yang mengakibatkan disfungsi motor, disfungsi psikologis,
kelumpuhan, dan gangguan emosi karena adanya kerusakan atau cacat pada
jaringan otak yang terjadi sebelum atau selama kelahiran atau pada masa setelah
kelahiran.
2. Klasifikasi Cerebral Palsy
Cerebral Palsy diklasifikasikan menjadi berbagai jenis yakni menurut
kerusakan pada otak dan gangguan pada sistem geraknya. Menurut pendapat
Bakwin-Bakwin dalam Somantri (2005:122) mengklasifikasikan cerebral palsy
menjadi Spasticity, Athetois, Ataxia, Tremor, dan Rigidy. Klasifikasi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Spasticity, kelainan yang disebabkan adanya kerusakan pada cortex cerebri
sehingga mengakibatkan hyperactive reflex dan stretch reflex. Spasticity
dibedakan menjadi paraplegia, quadriplegia, dan hemiplegia.
2) Athetois, kelainan yang disebabkan adanya kerusakan pada bangsal banglia
sehingga mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan yang tidak terkendali
dan tidak terarah.
3) Ataxia, kelainan yang disebabkan adanya kerusakan pada cerebellum dan
mengakibatkan gangguan keseimbangan.
4) Tremor, kelainan yang disebabkan adanya kerusakan pada bangsal banglia
sehingga menimbulkan getaran-getaran yang berirama.
12
5) Rigidity, kelainan yang disebabkan oleh kerusakan pada bangsal banglia dan
mengakibatkan kekakuan pada otot-otot.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Yulianto dalam Salim (2007:
178-182) yang mengklasifikasikan cerebral palsy menjadi 6 jenis, yaitu spasticity,
athetois, ataxia, tremor, rigid, dan campuran. Cerebral palsy campuran atau
sering dikenal sebagai Mixed Cerebral Palsy, merupakan kombinasi dari beberapa
jenis cerebral palsy, misalnya anak mengalami kelainan jenis Spasticity dan
Athetoid.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa Cerebral
Palsy dapat diklasifikasikan menjadi Spasticity, Athetois, Ataxia, Tremor, Rigid,
dan Mixed Cerebral Palsy.
3. Karakteristik Cerebral Palsy
Karakteristik anak Cerebral Palsy sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
anak tunadaksa yang lain. Menurut Astati (7.6-7.8) karakteristik anak tunadaksa
ditinjau dari beberapa segi antara lain karakteritik akademis, karakteristik
sosial/emosi, dan karakteristik fiik/kesehatan. Ketiga karakteristik tersebut
dijabarkan sebagai berikut:
a. Karakteristik akademis
Karakteristik akademis anak tunadaksa mencakup kecerdasan, kelainan
persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi yang dialami anak tunadaksa
terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan.
Kemampuan kognisi anak tunadaksa terbatas karena adanya kerusakan otak
sehingga menganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan
13
dan bahasa. Gangguan pada simbolisasi disebabkan adanya kesulitan dalam
menerjemahkan yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks tersebut
sangat berpengaruh dalam prestasi akademiknya.
b. Karakteristik sosial/emosi
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri
anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah lainnya.
Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat
mengakibatkan timbulnya masalah emosi, seperti mudah tersinggung, mudah
marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, penyendiri, dan frustasi.
Permasalahan tersebut banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan
sistem cerebral. Dari permasalahan tersebut tidak jarang mengakibatkan mereka
merasa rendah diri, kurangnya rasa percaya diri, dan tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik fisik/kesehatan
Selain mengalami cacat tubuh, anak tunadaksa juga memiliki
kecenderungan mengalami gangguan lain seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan motorik, gangguan bicara, dan lain-lain.
Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau
lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan
14
aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya
melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas
hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang
menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan
yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit
melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti
menulis, menggambar, dan menari.
B. Tinjauan tentang Kemampuan Motorik Halus
1. Pengertian Kemampuan Motorik Halus
Keterampilan gerak terutama kemampuan motorik halus perlu dikuasai oleh
anak dengan proses belajar gerak. Belajar gerak merupakan sebagian dari belajar
secara umum dan bertujuan untuk menguasai berbagai keterampilan gerak salah
satunya adalah kemampuan motorik halus. Menurut Fits dan Posner (1967), Fase
Belajar Gerak mencakup 3 tahap yaitu:
a. Fase Kognitif
Fase Kognitif merupakan fase awal dalam belajar gerak keterampilan.
Perkembangan yang menonjol terjadi pada diri anak dalam fase kognitif yakni
anak menjadi tahu tentang gerakan yang dipelajari, namun penguasaan geraknya
masih belum baik karena masih dalam tahap mencoba gerakan.
15
b. Fase Asosiatif
Fase Asosiatif merupakan fase yang ditandai dengan anak mampu melakukan
gerakan-gerakan dalam bentuk rangkaian dan tidak tersendat-sendat dalam
pelaksanaannya.
c. Automatisasi
Tahapan ini anak memerlukan latihan dengan waktu yang lama. Tahap
automatisasi merupakan tingkat kecakapan yang paling tinggi, karena anak
merasa yakin/percaya diri dan dapat mengoreksi kesalahan yang dilakukan.
Kemampuan motorik halus merupakan salah satu keterampilan dasar yang sangat
penting bagi anak. Motorik halus merupakan gerakan koordinasi yang melibatkan
otot-otot tertentu untuk melakukan aktivitas seperti menggenggam, melempar,
meremas, maupun menangkap bola. Menurut Hurlock (2000:150), kemampuan
motorik halus sebagai pengendalian koordinasi yang melibatkan kelompok otot
yang lebih untuk menggenggam, melempar dan menangkap bola.
Menurut Astati (1995:21) yang dimaksud dengan kemampuan motorik halus
adalah gerak yang hanya menggunakan otot-otot tertentu saja dan dilakukan oleh
otot-otot kecil, membutuhkan koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang baik.
Pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa motorik halus merupakan
kemampuan koordinasi gerak yang dilakukan oleh otot-otot kecil dan
membutuhkan konsentrasi, misalnya menulis, menggambar, menempel, meremas,
melempar maupun menangkap bola.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa kemampuan
motorik halus merupakan aktifitas gerak yang melibatkan otot-otot halus (kecil)
16
seperti jemari tangan, pergelangan tangan, serta membutuhkan koordinasi seperti
koordinasi mata dan tangan, sehingga gerakan ini tidak terlalu membutuhkan
tenaga misalnya dalam kegiatan bermain konstruktif LASY®.
2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan motorik halus dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor
intern maupun ekstern. Kartono (1995:21), mengemukakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan motorik anak sebagai berikut:
a. Faktor hereditas (warisan sejak lahir atau bawaan)
b. Faktor lingkungan yang menguntungkan atau merugikan kematangan fungsi-
fungsi organis dan fungsi psikis
c. Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, kemampuan, punya
emosi serta mempunyai usaha untuk membangun diri sendiri.
Pendapat tersebut didukung oleh Endang dan Nur (2005: 56-57) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas
perkembangan anak ditentukan oleh:
a. Faktor Intern (dari dalam)
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang
meliputi pembawaan, potensi, psikologis, semangat belajar serta kemampuan
khusus.
b. Faktor eksternal (dari luar)
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar diri anak
baik yang berupa pengalaman teman sebaya, kesehatan dan lingkungan.
17
Menurut Hurlock (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
gerak motorik terutama motorik halus, antara lain:
a. Perkembangan sistem saraf
Sistem saraf merupakan sistem pengontrol gerak motorik pada tubuh
manusia, sehingga sistem saraf sangat berpengaruh dalam perkembangan motorik.
b. Kemampuan fisik
Kemampuan fisik sangat erat kaitannya dengan perkembangan motorik.
Perkembangan motorik seorang anak yang memiliki fisik normal akan lebih baik
dibandingkan anak yang memiliki keterbatasan fisik.
c. Keinginan anak yang memotivasinya untuk bergerak
Artinya bahwa ketika anak mampu melakukan suatu gerakan motorik, maka
akan termotivasi untuk melakukan gerakan motorik yang lebih luas lagi. Hal
tersebut dikarenakan semakin kemampuan motorik anak dilatih, maka
kemampuan tersebut akan semakin meningkat.
d. Lingkungan yang mendukung
Perkembangan motorik akan lebih optimal apabila lingkungan tempat
tumbuh kembang anak mendukung mereka untuk bergerak bebas dan leluasa.
Kegiatan di luar ruangan biasanya menjadi pilihan yang terbaik karena dapat
menstimulasi perkembangan otak.
e. Aspek psikologis
Kondisi psikologis dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan
motorik. Seorang anak yang memiliki kondisi psikologis yang baik biasanya
dapat mengembangkan kemampuan gerakan motoriknya dengan optimal.
18
f. Genetik
Genetik merupakan faktor bawaan anak (keturunan). Pengertian tersebut
mengandung arti bahwa faktor bawaan anak (genetik) adalah potensial anak yang
menjadi ciri khasnya misalnya bentuk tubuh (cacat fisik) dan kecerdasan.
Kelainan genetik sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak.
g. Kelainan kromosom
Pada umumnya kelainan kromosom akan disertai dengan kegagalan
pertumbuhan, sehingga sangat mempengaruhi perkembangan motorik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi perkembangan motorik halus yaitu faktor internal (genetik,
kelainan kromosom, motivasi dari diri individu, kelainan) dan faktor eksternal
(alat bantu kelahiran, motivasi dari luar individu, lingkungan tempat tinggal).
3. Tahap Perkembangan Motorik Halus Anak
Tahap perkembangan motorik halus anak dibagi menjadi beberapa tahap
sesuai dengan usia kronologis anak. Menurut Masduki (2003) dalam Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Balita, tahap perkembangan motorik halus anak usia 4-60
bulan disajikan dalam tabel sebagai berikut:
19
Menurut Sujiono dalam Modul Hakikat Perkembangan Motorik Anak, tahap
perkembangan motorik halus anak usia 3-4 tahun yang disajikan dalam bentuk
tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Tahap perkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-4 tahun dan 5-6 tahun
Usia Kemampuan Motorik Halus
3-4 tahun 1. Menggunting kertas menjadi dua bagian.
2. Mencuci dan mengelap tangan sendiri.
3. Mengaduk cairan dengan sendok.
4. Menuang air dengan teko.
5. Memegang garpu dengan cara menggenggam.
6. Membawa sesuatu dengan penjepit.
7. Apabila diberikan gambar kepala badan manusia yang
belum lengkap, ia akan dapat menambahkan paling
sedikit dua organ tubuh.
8. Membuka kancing dan melepas ikat pinggang.
9. Menggambar lingkaran, namun bentuknya masih kasar
5-6 tahun 1. Mengikat tali sepatu.
2. Memasukkan surat ke dalam amplop.
3. Mengoleskan selai di atas roti.
4. Membentuk berbagai objek dengan tanah liat.
5. Mencuci dan mengeringkan muka tanpa membasahi
baju.
6. Memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
Usia
(bulan)
Kemampuan Motorik Halus
4-8 1. Jika anak dalam posisi terlentang, anak mampu bermain dengan
menggunakan kedua tangannya.
2. Anak mampu menggenggam balok mainan dengan seluruh
permukaan tangan.
12-18 1. Anak mampu mengambil benda kecil dengan ujung ibu jari dan jari
telunjuk.
2. Anak mampu menyusun tiga balok mainan.
24-28 1. Anak mampu membuka botol dengan memutar tutupnya.
2. Anak mampu meniru garis tegak, garis datar, dan lingkaran.
48-60 1. Anak mampu memgang pensil dengan ujung ibu jari.
2. Anak mampu meniru tanda + dan
Tabel 1.
Tahap Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 4-60 bulan
20
Caughlin (2001) dalam Sumantri (2005: 105-106) juga memaparkan bahwa
tahap perkembangan kegiatan motorik halus anak berdasarkan usia 5-6 tahun
yaitu: (a) Memegang pensil dengan benar antara ibu jari dan dua jari; (b)
Menjiplak bentuk persegi panjang, wajik, dan segitiga; (c) menggunting bentuk-
bentuk sederhana; dan (d) Menggambar orang termasuk: leher, tangan, mulut,
ramput, dan hidung.
Perkembangan motorik halus anak usia 5-6 tahun berdasarkan pendapat
Caplan dan Caplan, 1983 (Ramli, 2005: 195) adalah: (a) Ketangkasan terbentuk
dengan baik; (b) Mampu membedakan tangan kanan dari tangan kirinya sendiri
tetapi tidak dapat membedakan tangan kanan dan kiri orang lain; (c) Memegang
pensil, sikat atau krayon seperti pegangan orang dewasa antara ibu jari dan
telunjuk; (d) Menggambar manusia yang dapat dikenali terdiri dari kepala, lengan,
kaki, dan batang tubuh; (e) Menggambar rumah yang memiliki pintu, jendela, dan
atap; (f) Dapat menyalin lingkaran, silang, dan persegi empat; dan (g) Dapat
menyalin huruf-huruf besar seperti V, T, H, O, X.
Sujiono (2008: 129) juga menyatakan bahwa perkembangan motorik halus
anak 5-6 tahun adalah sebagai berikut: (a) Mengurus diri sendiri tanpa bantuan;
(b) Membuat berbagai bentuk menggunakan playdough, tanah liat, atau potongan
lego; (c) Meniru membuat garis tegak, miring, datar, lengkung, dan lingkaran; (d)
Menggunting menggunakan berbagai media berdasarkan bentuk atau pola; dan
(e) Memegang pensil dengan benar (antara ibu jari dan 2 jari). Sedangkan,
menurut Suyanto (2005), tahap perkembangan motorik halus anak lebih
21
ditekankan pada kemampuan menulis, menggambar, menggunting, dan melipat
kertas.
Menurut pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan keterampilan motorik halus anak dengan usia 5-6 tahun yaitu
mencakup: (a) Dapat memegang pensil atau krayon menggunakan ibu jari dan dua
jari telunjuk. Ketika anak dapat memegang krayon dengan benar maka saat
mewarnai sebuah gambar ataupun kertas hasil yang diperoleh juga akan semakin
bagus dan rapi (tidak keluar dari batas garis obyek yang diwarnai); (b) Membuat
obyek gambar dengan lebih detail dan bisa dikenali. Obyek tersebut dapat berupa
orang, hewan atau benda misalnya rumah yang digambar oleh anak sudah
ditambahkan dengan hal-hal kecil yang ada pada obyek yang digambar; (c)
Membuat berbagai bentuk menggunakan plastisin, tanah liat, atau potongan lego;
(d) menggunting berdasarkan bentuk atau pola.
4. Fungsi Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan motorik halus berfungsi untuk melakukan gerakan-gerakan
bagian-bagian tubuh yang lebih spesifik, seperti menulis, melipat, merangkai,
mengancing baju, menali sepatu, dan menggunting. Berbagai kegiatan
pembelajaran seperti melipat, mengelem, menggunting kertas melatih motorik
halus dan mengembangkan otot-otot halus pada jari tangan. Pendapat tersebut
dipertegas oleh Saputra dan Rudyanto (2005: 116) mengatakan, “fungsi
pengembangan motorik halus adalah sebagai alat untuk mengembangkan
koordinasi kecepatan tangan dengan gerakan mata, dan sebagai alat untuk melatih
penguasaan emosi”.
22
Menurut Hurlock (1997: 45) menyatakan bahwa “fungsi kemampuan motorik
halus dalam empat kategori, yaitu keterampilan bantu diri, keterampilan bantu
sosial, keterampilan bermain, dan keterampilan sekolah”. Dari pendapat tersebut
dapat dipertegas bahwa kemampuan motorik halus berfungsi untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang berhubungan dengan kemandirian anak dalam
melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumantri (2005:146) juga menyatakan bahwa fungsi perkembangan motorik
halus adalah mendukung pengembangan aspek lain seperti kognitif dan bahasa
serta sosial karena pada hakikatnya setiap pengembangan tidak dapat terpisah satu
sama lain. Pengertian tersebut mengartikan bahwa perkembangan motorik halus
mendukung setiap aspek baik itu aspek sosial, kognitif, maupun aspek bahasa, dan
setiap aspek tersebut memiliki keterkaitan dalam pengembangannya.
Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa fungsi perkembangan motorik
halus adalah untuk melakukan keterampilan dan aktivitas yang melibatkan
gerakan-gerakan otot-otot kecil dan berkaitan untuk meningkatkan kemandirian
seperti aktivitas bantu diri, bantu sosial maupun aktivitas akademik, serta untuk
mendukung aspek kognitif, bahasa maupun aspek sosial.
5. Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy
Kemampuan motorik halus merupakan salah satu keterampilan dasar yang
sangat penting bagi anak. Dampak negatif apabila motorik halus tidak
berkembang dengan optimal, maka anak akan mengalami masalah dalam
melakukan gerakan yang melibatkan kemampuan motorik halusnya.
Permasalahan tersebut cenderung dialami oleh anak Cerebral Palsy. Menurut
23
Sunardi (2007:123), Cerebral Palsy merupakan kelainan yang disebabkan adanya
kerusakan padapyramidal tract dan atau extrapyramidal. Kedua sistem tersebut
berfungsi untuk mengatur sistem motorik manusia, oleh karena itu anak Cerebral
Palsy mengalami gangguan pada sistem motoriknya, baik motorik kasar maupun
motorik halus. Gangguan motorik yang dialaminya disebabkan karena kekakuan,
kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, maupun gerakan
ritmis.
Sujarwanto juga mengemukakan bahwa anak Cerebral Palsy mengalami
kerusakan pada syaraf pusat yang mengakibatkan terganggu motoriknya.
Gangguan fisik yang dialami anak Cerebral Palsy dapat berupa kekakuan,
kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis, dan
gangguan keseimbangan. Adanya gangguan fisik tersebut mengakibatkan anak
kesulitan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, seperti ambulasi, makan,
minum, dan lainnya.
Pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa anak Cerebral Palsy merupakan
kelainan atau gangguan gerak, otot, maupun keterampilan motorik yang
disebabkan adanya kerusakan pada jaringan otak yang bersifat tidak progresif.
Gerakan yang melibatkan kemampuan motorik halus sulit dikuasai oleh anak
Cerebral Palsy, demikian juga tahapan perkembangan kemampuan motorik halus
anak Cerebral Palsy lebih lambat dibandingkan anak normal pada umumnya.
Kondisi tersebut menyebabkan anak Cerebral Palsy mengalami hambatan dalam
melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kemampuan motorik halus seperti
24
pada saat memegang, menggenggam, meronce, menggunting, memilin, maupun
merawat diri.
C. Tinjauan tentang Bermain
1. Pengertian Bermain
Bermain berasal dari kata Bahasa Inggris yang sering disebut dengan ‘play’.
Menurut Biddle dkk (2014: 267) berpendapat bahwa:
“Play is children’s means of self expression, which is important for their
emotional development. While enganged in play, children feel safe and are able to
express any part of themselves at the moment without worrying about reprisal.
Children learn how to express their feelings; they use play to relax tension and
anxiety, release aggression, and express conflict.”
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa bermain merupakan kegiatan
yang dilakukan anak untuk mengekspresikan diri, sehingga anak merasa aman,
santai, maupun senang.
Menurut Triharso (2013:1), bermain merupakan kegiatan yang dilakukan
baik tanpa atau menggunakan alat dan dapat menghasilkan informasi, kesenangan,
atau imajinasi bagi anak. Pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa bermain
adalah suatu aktifitas yang dapat memberikan dampak positif bagi anak seperti
informasi atau pengertian, perasaan senang, maupun imajinasi.
Tedjasaputra (2005) juga berpendapat bahwa bermain merupakan suatu
kegiatan mencakup aspek pemahaman antara pribadi individu dengan
lingkungannya, belajar bergaul, maupun guna memahami aturan atau tata tertib.
Pengertian tersebut menggambarkan bahwa kegiatan bermain berkaitan erat
dengan perkembangan pribadi baik sosial maupun emosional serta perkembangan
kogniti. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa bermain merupakan suatu
25
kegiatan yang berguna untuk mengembangkan pribadi (sosial dan emosional)
serta perkembangan kognitif anak , sehingga melalui kegiatan tersebut anak
mampu merasakan pengalaman emosi, seperti senang, sedih, marah, bangga,
maupun kecewa.
Menurut beberapa pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa bermain
merupakan kegiatan atau aktivitas dilakukan anak untuk baik menggunakan atau
tanpa alat, bersifat menyenangkan, serta berfungsi untuk membantu individu
mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral dan
emosional.
2. Tahap Perkembangan Bermain
Tahap perkembangan bermain terdapat beberapa tahap. Sara Smilansky
dalam Biddle (2014: 268) mengemukakan bahwa tahapan perkembangan bermain
kognitif anak adalah sebagai berikut:
a. Bermain Fungsional (Functional Play)
Bermain fungsional merupakan kegiatan bermain berupa gerakan yang
bersifat sederhana dan berulang-ulang. Kegiatan bermain ini dapat dilakukan
dengan atau tanpa alat permainan. Misalnya: berlari-lari sekeliling ruang tamu,
mendorong dan menarik mobil-mobilan, mengolah lilin atau tanah liat tanpa
maksud untuk membuat bentuk tertentu dan yang semacamnya.
b. Bermain Bangun Membangun (Constructive Play)
Kegiatan bermain bangun membangun (Constructive Play) merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk membentuk sesuatu atau menciptakan bangunan
tertentu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya: membuat rumah-rumahan
26
dengan balok kayu atau potongan lego, membuat bentuk hewan dengan potongan
Lasy®, menggambar, menyusun kepingan-kepingan kayu bergambar dan yang
semacamnya.
c. Bermain Pura-pura (Dramatic Play)
Bermain pura-pura merupakan kegiatan bermain berupa anak berpura-pura
menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.
Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan tokoh yang dikenalnya
melalui film kartun atau dongeng. Misalnya: main rumah-rumahan, polisi dan
penjahat, jadi batman atau ksatria baja hitam.
d. Bermain Sosiodrama (Sociodramatic Play)
Sociodramatic Play merupakan kegiatan bermain peran atau
mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungan sosial dengan melibatkan lebih
dari satu pemain. Permainan ini adalah bentuk atau bagian dari Dramatic Play.
e. Permainan dengan peraturan (Games with Rules)
Kegiatan bermain ini merupakan kegiatan bermain yang menunjukkan bahwa
anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan. Aturan
permainan pada awalnya diikuti anak berdasarkan yang diajarkan orang lain,
sehingga anak memahami bahwa aturan itu dapat diubah sesuai kesepakatan orang
yang terlibat dalam permainan, namun tidak terlalu menyimpang jauh dari aturan
umumnya. Misalnya: bermain kasti, galah asin atau gobak sodor, ular tangga,
monopoli, kartu, bermain tali dan semacamnya.
Charlotte Buhler dalam Tedjasaputra (2005: 36) membedakan kegiatan
bermain terbagi atas:
27
a. Permainan fungsional (Functional Games)
Permainan fungsional merupakan kegiatan bermain yang melibatkan panca
indera dan kemampuan motorik anak.
b. Bermain pura-pura (games of make believe and illusion)
Bermain pura-pura merupakan kegiatan bermain yang menunjukkan unsur
imajinasi dan peniruan terhadap perilaku orang dewasa.
c. Bermain pasif (Pasive Play)
Bermain pasif merupakan kegiatan bermain yang kurang melibatkan aktifitas
fisik aktif, misalnya menonton televisi atau mendengarkan radio.
d. Bangun membangun (games of construction)
Bangun membangun merupakan kegiatan bermain yang bersifat membentuk
atau membuat bangunan tertentu menggunakan alat yang tersedia, misalnya
membuat bentuk alat transportasi dengan permainan Lasy®, menyusun balok
kayu, atau membuat istana dari pasir pantai.
Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa tahap perkembangan bermain anak
meliputi bermain fungsional (functional play), bangun membangun (constructive
play), bermain pura-pura (Dramatic Play), dan permainan dengan peraturan
(games with rules).
3. Alat Permainan Edukatif (APE)
Alat permainan edukatif merupakan media bermain yang berperan sangat
penting terutama dalam kepentingan pendidikan. Menurut Tedjasaputra
(2005:81), alat permainan edukatif merupakan alat permainan yang dirancang
khusus untuk kepentingan pendidikan dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a)
28
dapat digunakan dalam berbagai cara; (b) ditujukan terutama untuk anak usia
prasekolah; (c) bersifat aman; (d) membuat anak terlibat secara aktif; dan (e)
bersifat konstruktif.
Syamsuardi (2012) berpendapat bahwa alat permainan edukatif adalah alat
yang dirancang khusus sebagai alat bantu belajar dan dapat mengoptimalkan
perkembangan anak yang terdiri dari kemampuan kognitif, seni, bahasa,
fisikmotorik, pengembangan berhitung permulaan dan pengembangan baca tulis
serta dapat mengembangkan pembiasaan untuk melatih kemandirian anak,
emosional anak dan memupuk kebersamaan sesuai dengan usia dan tingkat
perkembangan anak. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa alat peraga
pendidikan yang dirancang untuk mengoptimalkan perkembangan anak sesuai
dengan usia dan tingkat perkembangannya.
Pendapat lain, Rolina (2012:6) mengatakan bahwa Alat permainan edukatif
(APE) adalah alat yang mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan
usianya, dan tingkat perkembangannya, serta berguna untuk perkembangan fisik-
motorik (motorik kasar dan motorik halus), bahasa, kognitif dan sosial. Dari
pendapat tersebut dapat ditekankan bahwa APE merupakan alat permainan yang
bersifat mendidik dan mengoptimalkan perkembangan anak.
Menurut beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa APE merupakan
alat permainan yang dirancang khusus untuk kepentingan pendidikan sehingga
berfungsi mengotimalkan perkembangan anak sesuai dengan usia dan tingkat
perkembangannya.
29
D. Tinjauan tentang Permainan Konstruktif (Constructive Play) LASY®
1. Pengertian Permainan Konstruktif (Constructive Play)
Permainan konstruktif merupakan kegiatan untuk menciptakan suatu hasil
karya dengan menggunakan benda yang tersedia. Permainan Konstruktif menurut
Tedjasaputra (2001: 50), adalah kegiatan yang menggunakan berbagai benda
untuk menciptakan suatu hasil karya tertentu, dan gunanya untuk meningkatkan
kreativitas, melatih motorik halus, melatih konsentrasi, ketekunan, dan daya
tahan.
Menurut Sujiono (2010: 144) Bermain Konstruktif adalah cara bermain
yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana anak-anak
menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk bertujuan
bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang diperolehnya dari
membuatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hurlock (1980: 122)
menyebutkan bahwa permainan konstruktif yaitu anak-anak membuat bentuk-
bentuk dengan balok-balok, pasir, lumpur, tanah liat, manik-manik, cat, pasta,
gunting, dan krayon. Sebagian besar konstruktif yang dibuat merupakan tiruan
dari apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dari layar bioskop dan
televisi. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa permainan konstruktif
merupakan kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk menciptakan atau membuat
bentuk tertentu dari bahan yang disediakan.
Sara Smilansky (1990) dalam Biddle (2014:268) juga menyatakan bahwa
“Constructive Play describes children combining pieces or entities, such as with
blocks. The purpose of this type of play is to make something and/or work out
30
problem.” Sedangkan menurut Suratno (2005 :83-84) permainan konstruktif
adalah kegiatan anak bermain dengan menggunakan berbagai alat dan benda
untuk menciptakan atau menghasilkan karya tertentu. Melalui kegiatan bermain
konstruktif anak akan berkesempatan untuk berpikir secara imajinatif sehingga
pikirannya lebih berdaya. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa
permainan konstruktif adalah kegiatan yang dilakukan anak untuk menciptakan
atau membentuk suatu hasil karya menggunakan alat atau benda tertentu.
Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa permainan konstruktif merupakan
kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk membuat atau membentuk suatu hasil
karya dengan alat atau benda tertentu, misalnya menggunakan kepingan Lasy®
untuk membuat bentuk hewan atau alat transportasi.
2. Manfaat Permainan Konstruktif
Permainan Konstrutif memiliki banyak manfaat yang berpengaruh dalam
perkembangan anak. Menurut Hurlock (1988:330) Manfaat dari permainan
konstruktif antara lain: a) Meningkatkan kemampuan motorik kasar dan halus
anak, b) Mengenalkan konsep dasar 15 matematika yaitu: mengenalkan konsep
berat dan ringan, panjangpendek, besar-kecil, tinggi-rendah, belajar
mengelompokkan benda berdasarkan bentuk dan warna, mengenalkan konsep
arah kiri-kanan, atas-bawah, c) Merangsang kreativitas dan imajinasi anak, d)
Mengembangkan keterampilan bahasa anak (karena anak memberikan label pada
benda yang dilihatnya serupa), e) Bila bermain dengan temannya, permainan ini
dapat melatih kepemimpinan, inisiatif, perencanaan, mengemukakan pendapat,
31
dan kemampuan mengarahkan orang lain, f) Permainan ini juga mengembangkan
empati anak dengan menghargai hasil karya orang lain.
Mulyadi (2004: 61-63) mengatakan ada beberapa manfaat yang diperoleh
dari permainan konstruktif, yaitu:
a. Manfaat fisik
Bermain konstruktif membantu anak mematangkan otot-otot dan melatih
keterampilan anggota tubuhnya. Bermain konstruktif juga bermanfaat sebagai
penyalur energi yang berlebihan.
b. Manfaat terapi
Dalam kehidupan sehari-hari anak butuh penyaluran bagi ketegangan sebagai
akibat dari batasan lingkungan. Bermain konstruktif juga memberikan peluang
bagi anak untuk mengekspresikan keinginan dan hasratnya yang tidak dapat
diperoleh melalui cara lain.
c. Manfaat edukatif
Melalui permainan dengan alat-alat anak dapat mempelajari hal-hal baru yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk, warna, ukuran, dan tekstur suatu benda.
d. Manfaat kreatif
Bermain konstruktif memberikan kesempatan pada anak untuk
mengembangkan kreativitasnya. Anak dapat bereksperimen dengan gagasan-
gagasan barunya baik dengan menggunakan alat bermain ataupun tidak.
e. Pembentukan konsep diri
Melalui bermain konstruktif anak belajar mengenali dirinya dan hubungannya
dengan orang lain. Anak menjadi tahu kemampuannya dan perbandingan
32
kemampuannya dengan kemampuan anak-anak lain. Hal ini memungkinkan anak
membentuk konsep diri yang jelas dan realistik.
f. Manfaat sosial
Bermain dengan teman-teman sebaya membuat anak belajar membangun
suatu hubungan sosial dengan anak-anak lain yang belum dikenalnya dan
mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh hubungan tersebut.
g. Manfaat moral
Bermain memberikan sumbangan yang penting bagi upaya memperkenalkan
moral kepada anak. Di rumah maupun di sekolah, anak belajar mengenal norma-
norma kelompok, dapat membedakan hal yang benar atau salah, serta mengetahui
cara untuk bersikap adil dan jujur.
Kedua pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa manfaat permainan
konstruktif adalah dapat meningkatkan atau mengembangkan kemampuan yang
dimiliki anak, misalnya kemampuan fisik yakni motorik halus anak.
3. Ciri-Ciri Permainan Konstruktif
Permainan konstruktif memiliki peran yang sangat penting dalam
perkembangan kemampuan anak. Menurut Hurlock (1978: 330) mengemukakan
ciri-ciri permainan konstruktif yaitu:
a. Reproduktif
Anak memproduksi objek yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau
media masa ke dalam bentuk konstruksinya, misalnya membuat kucing dari play
dough yang dilihatnya di televisi.
33
b. Produktif
Melalui bermain konstruktif anak akan menghasilkan suatu karya dengan
menggunakan bahan mainan yang dipergunakannya. Anak menunjuk orisinilitas
dalam konstruksi yang mereka hasilkan, dengan kata lain anak memproduksi atau
membentuk melalui bahan mainan yang mereka pergunakan.
c. Memperoleh Kegembiraan
Melalui bermain konstruktif anak membuat suatau bentuk tertentu, anak
akan memperoleh kegembiraan umumnya terutama pada saat sendirian. Anak
belajar menghibur diri apabila tidak ada teman bermain. Anak juga belajar
bersikap sosial jika anak membangun sesuatu dengan teman bermainnya dengan
bekerja sama dan menghargai prestasinya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri bermain
konstruktif adalah reproduktif, produktif, dan memperoleh kegembiraan.
4. Jenis-jenis Permainan Konstruktif
Permainan konstruktif merupakan kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk
membuat atau membentuk suatu hasil karya dengan alat atau benda tertentu.
Menurut Tedjasaputra (2001: 57) yang termasuk dalam jenis permainan
konstruktif adalah:
a. Balok, yaitu jenis mainan yang dapat disusun menjadi bentuk utuh yang terbuat
dari kayu. Misal: membentuk rumah, istana, benteng, dan robot.
b. Menggambar, yaitu jenis permainan yang menuangkan sebuah imajinasi
dengan cara menggambarkan objek dengan nyata, yang diperkuat dengan
warna yang natural agar gambar terlihat lebih indah dan menarik.
34
c. Puzzle, yaitu suatu jenis permainan yang mengasah otak anak melalui motorik
halus dan menggunakan daya ingat.
d. Playdough atau plastisin, yaitu suatu jenis permainan yang membutuhkan
keahlian motorik halus, dan membutuhkan suatu kreativitas yang tinggi. Sebab
dalam permainan ini anak dapat membentuk dan membuat anak jenis benda.
Di antara jenis permainan konstruktif yang telah disebutkan diatas, maka
peneliti mengambil jenis permainan konstruktif menggunakan LASY®. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan permainan konstruktif
LASY® terhadap peningkatan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
kelas dasar I di SD Negeri Pojok.
5. Pengertian Permainan LASY®
Perkembangan permainan yang menuntut kreativitas dan pelatihan motorik
halus bagi anak-anak semakin pesat. Dari permainan menyusun balok, berubah
menjadi LEGO®, dan berkembang lagi ke sebuah permainan yang dinamakan
LASY®. Permainan LASY® ini diciptakan lebih mengasyikkan karena semua
komponen dapat terhubung (interlocking) dan dapat menampilkan bentuk tiga
dimensi yang utuh (konstruktif).
LASY® merupakan alat permainan edukatif yang berasal dari Jerman.
LASY® diciptakan pertama kali pada tahun 1971 oleh Peter Lawrs, yang didesain
sebagai permainan yang mengembangkan kreativitas dan motorik halus anak.
Permainan LASY® ini dapat dilakukan oleh kelompok atau individual
(perseorangan). LASY® juga merupakan satu-satunya alat permainan edukatif
35
yang mendapatkan 5 penghargaan international dari Jepang, Kanada, China,
Germany, dan Indonesia. (http://crekidscenter.webs.com/lasy.htm)
Menurut Saroni Asikin, LASY® merupakan alat peraga edukatif bersifat
konstruktif yang dapat mengembangkan kemampuan kreatifitas serta motorik
halus anak. Sejalan dengan pendapat tersebut, Rina Rokhimah dan Ira
Darmawanti juga berpendapat bahwa permainan LASY® merupakan suatu alat
permainan edukatif (APE) yang bersifat konstruktif dan menyenangkan. Secara
umum fungsi utama permainan LASY® adalah sebagai sarana untuk
pengembangan kreatifitas, tetapi secara khusus permainan LASY® dapat
difungsikan untuk melatih kognisi (pengetahuan, melatih berfikir konsep,
konsentrasi), melatih emosi, psikomotorik, maupun persepsi sensor. Dari pendapat
tersebut dapat dipertegas bahwa permainan LASY® merupakan alat peraga
edukatif yang bersifat konstruktif dan dirancang khusus untuk melatih
kemampuan motorik halus dan kreatifitas anak.
DADI International Early Learning Center (2010) juga mengemukakan
pendapat bahwa:
“LASY® is a unique building construction system designed to develop
creative potential and fine motor skills. Problem solving and creative design is a
life long required skill; today's young inventors will soon be tomorrow's engineers
and managers. Through LASY® they will continue to discover innovative
possibilities and design increasingly complex solutions to unlock their creative
potential.”
Pernyataan tersebut mengartikan bahwa permainan LASY® merupakan alat
permainan konstruktif yang diciptakan untuk mengembangkan kreatifitas dan
kemampuan motorik halus anak.
36
Beberapa pendapat tersebut dapat dipertegas bahwa permainan LASY®
merupakan alat permainan edukatif yang bersifat konstruktif dengan bahan dasar
plastik dan bertujuan untuk mengembangkan kreatifitas serta kemampuan motorik
halus anak.
6. Keunggulan Permainan LASY®
Permainan LASY® memiliki banyak keunggulan, salah satunya yakni permainan
ini dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak. Block-Puzzle toys for kids
(BP toys) berpendapat mengenai keunggulan dari permainan LASY® (Great
Feature of LASY®) adalah
a. Variety of connections
Lasykids blocks can be connected from different directions, either horizontal
or vertical. Such variety of design gives children for creativity.
b. Mobility
Lasykids blocks include the applications of tubes, wheels and other shapes of
blocks to make the blocks turn. Such a creation is more and can ispire children to
create more interesting works.
c. Not loose
Due to different structures, Lasykids blocks do not break loose easily and the
wheels do not come off easily during turning.
d. Safety
Lasykids blocks is a certified safety toy that is compliance with multination
safety toy standart.
Pendapat tersebut juga ditegaskan kembali oleh Parenting Science yang
menyatakan bahwa
“LASY® is a great toy for kids. It can help children learn many different
skills: motor skills and hand-eye coordination, spatial skills; a capacity for
creative, divergent thinking; social skills; and language skills.”
Crekidscenter juga mengemukakan bahwa LASY® adalah permainan
konstruktif yang kreatif. Ada empat tahap perkembangan di dalam program
pelatihan LASY® yaitu:
37
a. Tahap Satu
Ketika anak mulai menyatukan item-item LASY®, kegiatan ini bertujuan
untuk melatik kemampuan motoriknya baik motorik halus maupun kasar.
b. Tahap Dua
Ketika anak telah melalui kemampuan motorik dasar dan mengetahui fungsi
sistem LASY®, ia akan mulai membuat suatu model/bentuk yang sederhana, baik
dari hasil meniru pelatih maupun contoh dari gambar. Tahap ini menunjukkan
kepandaian dan kemampuan motorik anak. Kemampuan ini jika dikembangkan
dengan baik, maka kemampuan anak akan semakin lebih produktif.
c. Tahap Tiga
Tahap ketiga program lasy ini sangat penting untuk melatih kemampuan
berpikir anak lebih maju dan berkembang. Ketika anak bermain dengan sesuatu
yang ia buat sendiri, ia akan merasa bangga dan akan berusaha menunjukannya
kepada orang lain. Ia akan mulai banyak berfantasi selama bermain dan
mengembangkan daya imajinasinya, perasaan, serta emosinya secara maksimal.
d. Tahap Empat
Hasil akhir dari permainan LASY® adalah anak akan memiliki sikap mental
yang sangat positif, percaya diri, kesabaran, dan tingkat konsentrasi tinggi
terhadap hal-hal kecil. Setelah anak memiliki tiga kemampuan ini, ia akan
menjadi sangat inovatif dan kreatif dalam aktifitasnya. Kepribadiannya akan
berubah menjadi seorang yang: Percaya diri, Sabar, memiliki tingkat konsentrasi
tingg, dan memiliki rasa perhatian terhadap hal-hal yang detail.
38
Kedua pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa keunggulan dari
permainan LASY® adalah permainan ini diciptakan untuk melatih atau mengasah
kemampuan anak, seperti motorik halus, koordinasi, kognitif, bahasa, maupun
sosial. LASY® juga diciptakan dengan bahan plastik yang aman digunakan untuk
anak.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian mengenai “Efektivitas Permainan
Konstruktif LASY® terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy
kelas I di SD Negeri Pojok Sinduadi Sleman” adalah sebagai berikut:
1. Penelitian pertama oleh Maimunah (2016) yang meneliti tentang “Aktivitas
Bermain Konstruktif Terhadap Peningkatan Kecerdasan Logis Matematis
Anak Usia 5-6 Tahun Di TK Tutwuri Handayani Bandar Lampung Tahun
Ajaran 2015/2016”, dengan relevansi sama-sama meneliti mengenai
permainan konstruktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh
aktivitas bermain konstruktif terhadap peningkatan kecerdasan logis
Gambar 1.
Contoh Hasil Permainan LASY®
39
matematis anak usia 5-6 tahun di TK Tutwuri Handayani tahun ajaran
2015/2016.
2. Penelitian kedua oleh Heryani (2014) yang meneliti tentang “Meningkatkan
Kemampuan Motorik Halus Anak Taman Kanak – Kanak Melalui Bermain
Lasy (Penelitian Tindakan Kelas pada Kelompok A TK Muya Agni)”, dengan
relevansi sama-sama meneliti mengenai permainan LASY®. Hasil penelitian
menunjukkan kemampuan motorik halus anak melalui bermain lasy
kelompok A TK Mutya Agni Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung
mengalami peningkatan.
Kedua penelitian di atas dipilih sebagai acuan peneliti karena penelitian ini
memiliki relevansi yang mirip, yaitu meneliti mengenai permainan konstruktif
dan permainan LASY®. Penelitian yang telah dilaksanakan salah satunya
menjelaskan mengenai peningkatan kemampuan anak melalui permainan
konstrutif dan permainan LASY®. Sedangkan penelitian ini berfokus mengenai
efektivitas permainan konstruktif LASY® terhadap kemampuan motorik halus
anak Cerebral Palsy.
F. Kerangka Berpikir
Permainan konstruktif merupakan kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk
membuat atau membentuk suatu hasil karya dengan alat atau benda tertentu.
Dalam penelitian ini, alat peraga permainan konstruktif yang digunakan adalah
LASY®. LASY® merupakan alat peraga edukatif yang bersifat konstruktif
dengan bahan dasar plastik dan bertujuan untuk mengembangkan kreatifitas serta
kemampuan motorik halus anak. Keunggulan dari permainan LASY® adalah
40
permainan ini diciptakan untuk melatih atau mengasah kemampuan anak, seperti
motorik halus, koordinasi, kognitif, bahasa, maupun sosial. LASY® juga
diciptakan dengan bahan plastik yang aman digunakan untuk anak. Berdasarkan
uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa permainan tersebut dapat menciptakan
suasana latihan keterampilan motorik halus yang menyenangkan, menarik
perhatian, dan memotivasi anak untuk aktif menggunakan keterampilan motorik
halusnya supaya dapat membuat suatu bentuk dengan menghubungkan komponen
dari LASY®.
Anak Cerebral Palsy merupakan anak yang mengalami kelainan gerak yang
mengakibatkan disfungsi motor, disfungsi psikologis, kelumpuhan, dan gangguan
emosi karena adanya kerusakan atau cacat pada jaringan otak yang terjadi
sebelum atau selama kelahiran atau pada masa setelah kelahiran. Kondisi tersebut
mengakibatkan gangguan dan hambatan dalam keterampilan motorik halus anak
Cerebral Palsy. Keterbatasan ini menyebabkan anak sulit melakukan kegiatan
yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus (motorik halus), seperti
memegang, menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis, melipat, mewarnai,
menggunting, meronce, memilin, dan merawat diri.
Pada kenyataannya di lapangan, masih banyak dijumpai Anak Cerebral Palsy
yang memiliki hambatan dalam kemampuan motorik halusnya dan belum
mendapatkan layanan secara khusus. Hambatan kemampuan motorik halus yang
dimaksud dalam hal ini yaitu kesulitan dalam memegang, menggenggam,
menjimpit, menyalin, menulis, melipat, mewarnai, menggunting, meronce,
memilin, dan merawat diri. Kemampuan motorik halus yang rendah
41
mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari anak, sehingga anak
membutuhkan bantuan orang lain ketika melakukan aktivitas yang melibatkan
gerakan motorik halus. Untuk memperjelas uraian kerangka pikir tersebut, dapat
dilihat pada gambar berikut:
G. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir di atas maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah Permainan Konstrukstif LASY® efektif digunakan
untuk meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak Cerebral Palsy kelas
dasar I di SD Negeri Pojok.
Gambar 2.
Bagan Kerangka Pikir
Permainan Konstruktif LASY® Efektif terhadap Kemampuan
Motorik Halus Anak Cerebral Palsy Kelas Dasar I di SD Negeri
Pojok Sinduadi Sleman
Diberikan latihan untuk
meningkatkan kemampuan
motorik halus anak menggunakan
alat permainan konstruktif
LASY®.
Permainan konstruktif LASY® dapat melatih atau mengasah kemampuan anak,
seperti motorik halus, koordinasi, kognitif, bahasa maupun sosial. LASY® juga
diciptakan dengan bahan plastik yang aman digunakan untuk anak.
Anak Cerebral Palsy dengan kemampuan
motorik halus rendah
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian tentang “Efektivitas Permainan Konstruktif LASY® terhadap
Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy di SD Negeri Pojok Sleman
Yogyakarta” merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Menurut Sugiyono
(2007:104) penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
terkendalikan. Alasan peneliti menggunakan metode eksperimen karena peneliti
ingin menguji keefektifan permainan konstruktif LASY® terhadap peningkatan
motorik halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri Pojok.
Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Single
Subject Research (SSR). Sunanto (2005:54) berpendapat “pada desain subjek
tunggal pengukuran variabel terikat atau target behavior dilakukan berulang-ulang
dengan periode waktu tertentu”. Penelitian dengan subjek tunggal yang dilakukan
dalam penelitian ini yaitu dengan memberikan intervensi berupa penerapan
permainan konstruktif pada peningkatan motorik halus anak Cerebral Palsy kelas
I di SD Negeri Pojok.
Kondisi yang diukur meliputi kondisi sebelum diberikan intervensi, selama
intervensi dan setelah intervensi dengan menggunakan permainan konstruktif
LASY®. Hal tersebut bertujuan untuk menguji efektivitas permainan konstruktif
43
LASY® terhadap peningkatan motorik halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD
Negeri Pojok.
Desain penelitian dengan subjek tunggal memiliki beberapa variasi.
Sukmadinata (2006:211) mengemukakan tiga variasi dari desain eksperimen
subjek tunggal, antara lain desain A-B, desain A-B-A, dan desain jamak. Desain
eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain A-B-A, yang
terdiri dari fase baseline-1, intervensi, dan baseline-2. Alasan peneliti memilih
desain A-B-A dalam penelitian ini dikarenakan untuk mengetahui keefektivan
permainan konstruktif LASY® terhadap peningkatan motorik halus anak Cerebral
Palsy di SD Negeri Pojok. Keefektivan tersebut dapat diketahui dengan adanya
hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat.
Menurut Sunanto (2005:60) pada saat melakukan eksperimen dengan desain
A-B-A peneliti perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Mendefinisikan target behavior sebagai perilaku yang dapat diukur secara
akurat;
b. Mengukur dan mengumpulkan data pada kondisi baseline (A1) secara
kontinyu sekurang-kurangnya 3 atau 5 atau sampai trend dan level data
menjadi stabil;
c. Memberikan intervensi setelah trend data baseline (A1) stabil,
d. Mengukur dan mengumpulkan data pada fase intervensi (B) dengan periode
waktu tertentu sampai data menjadi stabil. Setelah kecenderungan dan level
data pada fase intervensi (B) stabil mengulang fase baseline (A2).
44
Pola desain A1-B-A2 yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
a. A1 (Baseline-1) Fase Baseline-1 dilakukan dengan mengukur dan
mengumpulkan data mengenai kemampuan motorik halus sebelum diberikan
intervensi menggunakan permainan konstruktif LASY®. Pengukuran
dilakukan sebanyak 3 sesi atau sampai data stabil. Pengukuran setiap sesi
dilaksanakan dengan durasi waktu 45-60 menit.
b. B (Intervensi) Fase intervensi dilakukan dengan waktu 45-60 menit pada
setiap sesi. Intervensi yang diberikan berupa latihan kemampuan motorik
halus menggunakan permainan konstruktif LASY® secara berulang-ulang.
Kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri Pojok
diukur pada setiap sesi. Intervensi dilakukan sebanyak 6 kali sesi atau sampai
data yang didapatkan stabil. Pada fase ini dilakukan pula tes kemampuan
motorik halus pada saat setelah diberikan treatment. Hasil dari tes ini
digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
c. A2 (Baseline-2) Fase baseline-2 dilakukan dengan mengukur dan
mengumpulkan data mengenai kemampuan motorik halus anak Cerebral
Palsy kelas I di SD Negeri Pojok setelah diberikan intervensi menggunakan
permainan konstruktif LASY®. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali sesi
atau sampai data menjadi stabil. Pengukuran setiap sesi dilaksanakan dengan
durasi waktu 45-60 menit.
45
Peneliti menggambarkan rancangan pola desain penelitian eksperimen dengan
pendekatan Single Subject Research (SSR) yang akan digunakan dalam penelitian
sebagai berikut:
Gambar 3. Pola Desain Penelitian
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini yaitu seorang anak Cerebral Palsy kelas I
dengan kemampuan motorik halus yang rendah. Penentuan subjek dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling
menurut Sugiyono (2007:124) adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Alasan pemilihan subjek dikarenakan siswa merupakan
anak tunadaksa jenis Cerebral Palsy yang memiliki kemampuan motorik halus
yang rendah. Rendahnya kemampuan motorik halus terutama dalam kesulitan
memegang, menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis, melipat, mewarnai,
menggunting, meronce, memilin, dan merawat diri. Hal tersebut diketahui
berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru kelas dan tes kemampuan motorik
halus. Berikut ini adalah identitas, riwayat perkembangan, dan karakteristik
subjek penelitian:
46
1. Identitas Subjek
Nama : SNC
Tempat, tanggal lahir : Sleman, 5 Juli 2009
Usia : 8 tahun
Alamat rumah : Sinduadi, Mlati, Sleman
Jumlah Saudara : 1 (satu)
2. Riwayat Perkembangan dan Karakteristik Subjek
SNC lahir di salah satu Puskesmas di daerah Sleman dan dibantu oleh
seorang bidan. Menurut penuturan ibu SNC, SNC lahir secara normal dengan usia
kandungan 9 bulan 14 hari. Namun, setelah dilahirkan SNC tidak menangis dan
kondisi tubuh SNC membiru. Setelah itu, SNC dirujuk ke salah satu rumah sakit
di daerah Yogyakarta. SNC berada dalam tabung incubator selama 17 hari dan
saat usia 3 hari SNC mengalami kejang-kejang. Menurut penuturan ibu Subjek,
SNC baru bisa berjalan pada usia 2 tahun.
Berdasarkan riwayat kelahiran tersebut menyebabkan kondisi perkembangan
SNC tidak sesuai dengan anak normal pada umumnya dan SNC mengalami
gangguan kognitif (tunagrahita ringan) serta kelainan tunadaksa jenis Mixed
Cerebral Palsy yakni Spastik disertai Athetoid. Gangguan kognitif yang dialami
menyebabkan subjek mempunyai ingatan jangka pendek dan mudah lupa.
Kekakuan dialami SNC pada bagian kaki kanan dan kedua jemari tangannya,
sedangkan gerakan yang tidak disadari dialami pada kedua tangannya.
Kondisi fisik tersebut menyebabkan perkembangan kemampuan motorik
halus SNC tidak sesuai dengan usia kronologis anak (8 tahun). SNC mengalami
47
kesulitan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan kemampuan motorik
halusnya, seperti memegang, menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis,
melipat, mewarnai, menggunting, meronce, memilin, dan merawat diri. Dalam
melakukan aktivitas sehari-hari terutama yang melibatkan kemampuan motorik
halusnya, SNC sering dibantu orangtua di rumah bahkan guru di sekolah.
C. Tempat, Setting, dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Pojok yang beralamat di
Sinduadi, Mlati, Sleman, DIY. SD Negeri Pojok ini dikepalai oleh Ibu Tukirah
S.Pd dan mempunyai 10 tenaga pengajar yang terdiri dari guru kelas, guru
ekstrakurikuler, dan guru pendamping ABK serta satu penjaga sekolah. Selain
berstatus negeri, SD Negeri Pojok juga merupakan salah satu sekolah inklusi yang
berada di kabupaten Sleman. Pada tahun ajaran 2016/2017, SD Negeri Pojok
memiliki 101 siswa dengan 18 siswa merupakan ABK dengan spesifikasi slow
learner, tunagrahita, tunarungu, tunadaksa, serta tunaganda yakni tunadaksa
disertai dengan tunagrahita.
SD Negeri Pojok menggunakan kurikulum 2013 untuk kelas I-III dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 bagi kelas IV-VI. Selain
kegiatan belajar mengajar terdapat kegiatan ekstrakurikuler yaitu tari dan
pramuka. Fasilitas yang dimiliki SD Negeri Pojok adalah 6 ruang kelas, ruang
bimbingan ABK , ruang perpustakaan, ruang kantor kepala sekolah, ruang kantor
guru, 4 kamar kecil, lahan parkir, mushola (dalam proses pembangunan), UKS,
dan kantin. SD Negeri Pojok memiliki lahan yang cukup luas sehingga halaman
48
sekolah juga digunakan sebagai tempat upacara setiap hari Senin dan tempat
praktik olahraga bagi siswa. Pertimbangan peneliti dalam menentukan lokasi ini
yaitu:
a. SD Negeri Pojok terdapat siswa kelas I yang mengalami kelainan Cerebral
Palsy dengan kemampuan motorik halus yang rendah.
b. Belum diterapkannya latihan khusus menggunakan alat permainan konstruktif
LASY® terhadap peningkatan kemampuan motorik halus anak.
c. SD Negeri Pojok memiliki ruang sumber yang dapat dijadikan setting
penelitian dengan sistem pull out.
2. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam ruang sumber dengan mengambil subjek
dari kelas regular (pull out). Pemberian intervensi dilakukan di ruang sumber
berdasarkan rekomendasi dari guru dan untuk menghindari gangguan dari teman-
temannya. Selain itu dengan mengambil anak dari kelas reguler, kegiatan
penelitian ini tidak akan mengganggu jalannya proses pembelajaran siswa yang
lain. Ruang sumber yang terdapat di SD Negeri Pojok memiliki pencahayaan yang
baik dan dilengkapi dengan meja, bangku serta papan tulis. Dengan berada dalam
satu ruang khusus diharapkan dapat terjalin kenyamanan dan hubungan baik
antara peneliti dengan subjek sehingga hasil yang diharapkan dalam penelitian ini
dapat tercapai.
49
3. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama tiga minggu pada bulan Mei-Juni semester
genap tahun ajaran 2016/2017. Adapun tabel waktu kegiatan penelitian sebagai
berikut:
Tabel 3.
Waktu dan Kegiatan Penelitian
Waktu Kegiatan Penelitian Keterangan
Minggu I Pengukuran Baseline-1 Melaksanakan tes kemampuan motorik
halus guna mengukur kemampuan
subjek sebelum diberikan intervensi
menggunakan permainan konstruktif
LASY®.
Minggu II Pelaksanaan intervensi Melaksanakan kegiatan intervensi
menggunakan permainan konstruktif
LASY®.
Minggu III Pelaksanaan Baseline-2 Melaksanakan tes kemampuan motorik
halus guna mengukur kemampuan
motorik halus subjek setelah diberikan
intervensi menggunakan permainan
konstruktif LASY®.
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional sangat diperlukan untuk menghindari kesalah pahaman
dan untuk menghindari penafsiran yang salah dalam penelitian ini, maka penulis
perlu menjelaskan mengenai definisi istilah dalam penelitian ini. Adapun definisi
istilah dalam penelitian dengan judul “Efektivitas Permainan Konstruktif LASY®
terhadap Peningkatan Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy Kelas I di
SD Negeri Pojok” sebagai berikut:
50
1. Permainan Konstruktif LASY®
Permainan konstruktif LASY® merupakan alat peraga edukatif yang cara
penggunaannya dengan menghubungkan komponen bentuk LASY® supaya
membentuk suatu bentuk sesuai yang diinginkan anak atau sesuai dengan contoh
yang sudah ada. Permainan ini dirancang secara khusus dengan tujuan untuk
mengembangkan kreativitas maupun motorik halus anak.
2. Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy
Kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy merupakan aktifitas gerak
anak Cerebral Palsy yang melibatkan otot-otot halus (kecil). Namun, pada
kenyataannya kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy mengalami
hambatan dikarenakan kerusakan yang terjadi pada bagian otak. Pengertian
tersebut menggambarkan bahwa kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
lebih rendah dibandingkan anak normal pada umumnya, sehingga aktifitas sehari-
hari anak Cerebral Palsy yang melibatkan kemampuan motorik halusnya akan
mengalami hambatan.
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik tes perbuatan.
Menurut Arifin (2012: 149), tes perbuatan digunakan untuk menilai kualitas suatu
pekerjaan yang telah selesai dikerjakan oleh peserta didik, termasuk juga
keterampilan atau kemampuan dan ketepatan menyelesaikan pekerjaan. Pada
penelitian ini, tes perbuatan digunakan untuk mengukur kemampuan motorik
halus anak Cerebral palsy menggunakan objek-objek yang telah disediakan.
51
Menurut Arikunto (2006: 160), instrumen penelitian adalah alat bantu yang
dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar
menjadi lebih sistematis dan mudah dalam mengolahnya. Pendapat lain
dikemukakan oleh Sanjaya (2009: 84) Instrumen penelitian adalah alat yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Pada penelitian ini instrumen
penelitian yang digunakan adalah lembar tes, berisi checklist tes perbuatan untuk
mengukur keterampilan motorik halus yang dimiliki anak Cerebral palsy. Tes
dilakukan pada saat sebelum, saat intervensi, dan setelah intervensi menggunakan
permainan konstruktif LASY®.
1. Instrumen Tes Perbuatan
Tes perbuatan dalam peeilitian ini adalah untuk mengukur kemampuan
motorik halus yang dimiliki anak Cerebral Palsy. Adapun langkah-langkah
penyusunan instrumen tes sebagai berikut:
a. Mendiskripsikan pengertian kemampuan motorik halus
Kemampuan motorik halus merupakan kemampuan gerak koordinasi yang
melibatkan otot-otot halus (kecil) seperti jari-jemari tangan. Adapun kemampuan
tersebut meliputi memegang, menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis,
melipat, mewarnai, menggunting, meronce, memilin, dan merawat diri.
b. Menetapkan aspek tes kemampuan motorik halus
Aspek tes kemampuan motorik halus meliputi:
1) Menggenggam
2) Memegang
3) Menjimpit
52
4) Menjiplak
5) Mewarnai
6) Menggambar
7) Menulis
8) Melipat
9) Menggunting
10) Meronce
11) Memilin
12) Merawat diri
c. Menetapkan indikator
d. Menetapkan butir pengukuran instrumen dari indikator
e. Menyusun kisi-kisi instrumen
Kisi-kisi instrumen tes ini disusun menurut teori dari Caplan dan Caplan,
1983 (Ramli, 2005: 195) dan Sujiono (2008: 129) yang telah diadaptasi oleh
peneliti tentang kemampuan motorik halus anak dengan usia kronologis 5-6
tahun. Adapun tabel kisi-kisi instrumen tes kemampuan motorik halus terlampir
pada lampiran 1. Peneliti menggunakan teknik skoring pada instrumen tes
perbuatan kemampuan motorik halus adalah sebagai berikut:
1) Skor 0 : Jika anak tidak mampu.
2) Skor 1 : Jika anak mampu melakukan dengan bantuan secara verbal dan non
verbal.
3) Skor 2 : Jika anak mampu melakukan dengan bantuan secara verbal.
4) Skor 3 : Jika anak mampu melakukan tanpa bantuan.
53
F. Validitas Instrumen
Validitas instrumen menurut Sukardi (2011:122) merupakan derajat yang
menunjukkan dimana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur. Idealnya
sebelum suatu instrumen digunakan untuk mengukur sesuatu sebaiknya diuji
validitasnya terlebih dahulu agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang
hendak dicapai. Uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah validitas isi. Scarvia (Arikunto,2003:65) menyatakan “A test id valid if it
measures what it purpose to measure”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur.
Oleh karena itu untuk menilai validitas instrumen tes kemampuan motorik halus
diuji menggunakan validitas isi. Uji validitas instrumen tes yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan meminta penilaian dari pakar atau ahli. Pakar atau
ahli yang dimaksud dalam hal ini adalah dosen pembimbing.
G. Prosedur Pelaksanaan
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti perlu menyusun tahapan tindakan
yang digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan perlakuan saat penelitian
berlangsung. Adapun tahapan prosedur pemberian perlakuan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Baseline 1 (A)
Tahap ini merupakan tahapan yang dilakukan sebelum melakukan intervensi
menggunakan permainan konstruktif LASY®. Fase Baseline dilakukan sebanyak
3 kali dengan tujuan untuk mendapatkan data yang stabil. Tahap awal dalam
penelitian ini meliputi persiapan dan pengukuran baseline 1 (A).
54
a. Persiapan
Tahap persiapan dalam penelitian ini dilakukan dengan menjalin hubungan
dan kerja sama dengan guru pendamping khusus. Beberapa hal yang dilakukan
pada proses ini yaitu berdiskusi mengenai waktu dan tempat, dan setting dalam
melaksanakan penelitian dengan guru pendamping khusus serta uji validitas
instrumen tes perbuatan kemampuan motorik halus dengan dosen pembimbing.
b. Baseline-1 (A)
Baseline-1 merupakan pengukuran variabel terikat dalam hal ini adalah
kemampuan motorik halus dengan kondisi sebelum diberikan intervensi.
Pengukuran dilaksanakan sebanyak tiga kali atau sampai data yang diperoleh
stabil. Waktu yang digunakan untuk mengukur baseline-1 kurang lebih 45-60
menit pada setiap pertemuan. Pengukuran dilakukan menggunakan instrumen tes
perbuatan kemampuan motorik halus yang telah diuji validitasnya oleh ahli, yakni
dosen pembimbing.
2. Tahap Perlakukan (Intervensi)
Pemberian intervensi menggunakan permainan konstruktif LASY®
dilakukan selama enam kali pertemuan atau sampai data yang diperoleh stabil.
Setiap pertemuan, pemberian intervensi berlangsung selama 45-60 menit. Adapun
langkah-langkah pemberian perlakuan atau intervensi sebagai berikut:
55
a. Pendahuluan
1) Peneliti mempersiapkan dan mengkondisikan tempat belajar agar nyaman
digunakan untuk belajar.
2) Peneliti melakukan apersepsi (salam, menanyakan kabar)
3) Peneliti menyiapkan permainan konstruktif LASY® yang akan digunakan
dan menjelaskan kepada siswa mengenai materi yang akan diajarkan. Materi
yang diajarkan dalam pemberian intervensi ini bervariasi yakni materi
membentuk bunga, kamera, sepeda roda tiga, bebek, dan helicopter mini
menggunakan permainan konstruktif LASY®.
b. Inti pembelajaran
1) Peneliti mengenalkan mengenai alat permainan konstruktif LASY®
2) Peneliti menjelaskan dan mencontohkan cara menggunakan permainan
konstruktif LASY®
3) Siswa bermain menggunakan permainan konstruktif LASY®
c. Penutup
Anak dibimbing untuk membuat kesimpulan mengenai materi yang dipelajari
dan peneliti menutup pelajaran dengan memotivasi serta salam.
3. Baseline 2 (A’)
Fase baseline 2, merupakan kegiatan pengulangan baseline 1 yang
dimaksudkan sebagai evaluasi guna melihat pengaruh pemberian
perlakuan/intervensi dalam kemampuan motorik halus. Intervensi yang digunakan
adalah menerapkan permainan konstruktif LASY® bagi anak Cerebral palsy
dengan hambatan motorik halus kelas I SD. Kegiatan baseline 2 ini dilihat
56
keefektivan permainan konstruktif LASY® terhadap kemampuan motorik halus
anak Cerebral palsy dengan membandingkan hasil kegiatan fase baseline 1, fase
intervensi, dan fase baseline 2.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
analisis data statistik deskriptif. Menurut Sugiyono (2007: 207) menjelaskan
bahwa “statistik deskriptif merupakan statistik yang dipergunakan untuk
menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang
berlaku umum atau generalisasi”. Statistik deskriptif menurut Siregar (2011:2)
adalah statistik yang berkenaan dengan bagaimana cara mendiskripsikan,
menggambarkan, menjabarkan, atau menguraikan data sehingga mudah dipahami.
Skor yang diperoleh dari tes motorik halus disajikan dalam bentuk grafik
kemudian data hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik analisis visual
grafik. Sunanto (2005: 93) menyatakan “dalam analisis data dengan metode
analisis visual ada beberapa hal yang menjadi perhatian peneliti, yaitu banyaknya
data point (skor) dalam setiap kondisi, banyaknya variabel terikat yang ingin
diubah, tingkat stabilitas dan perubahan level data dalam suatu kondisi atau antar
kondisi, dan arah perubahan dalam kondisi maupun antar kondisi”.
Sunanto (2006: 68-76) menyatakan komponen analisis visual dalam kondisi
meliputi enam komponen, yaitu:
57
1. Panjang kondisi
Panjang kondisi adalah banyaknya data dalam suatu kondisi yang juga
menggambarkan banyaknya sesi yang dilakukan pada kondisi tersebut.
2. Kecenderungan arah
Kecenderungan arah digambarkan oleh garis lurus yang melintasi semua
data dalam suatu kondisi dimana banyaknya data yang berada di atas dan di
bawah garis tersebut sama banyak.
3. Tingkat stabilitas
Tingkat stabilitas menunjukkan tingkat homogenitas data dalam suatu
kondisi. Tingkat stabilitas data dapat ditentukan dengan menghitung banyaknya
data yang berada dalam rentang 50% di atas dan di bawah mean.
4. Tingkat perubahan
Tingkat perubahan menunjukkan besarnya perubahan antara dua data.
Tingkat perubahan data dalam suatu kondisi merupakan selisih antara data
pertama dengan data terakhir pada satu kondisi.
5. Jejak data
Jejak data merupakan perubahan dari data satu ke data lain dalam suatu
kondisi. Perubahan satu data ke data berikutnya dapat terjadi tiga kemungkinan
yaitu menaik, menurun dan mendatar.
6. Rentang
Rentang dalam sekelompok data pada suatu kondisi merupakan jarak antara
data pertama dengan data terakhir.
58
Sedangkan analisis visual antar kondisi ada lima komponen, yaitu:
1. Jumlah variabel yang diubah
Analisis antar kondisi ditekankan pada efek atau pengaruh intervensi
terhadap jumlah perilaku sasaran atau variabel yang diubah.
2. Perubahan kecenderungan arah dan efeknya
Perubahan kecenderungan arah grafik antara kondisi baseline dan intervensi
menunjukkan makna perubahan perilaku sasaran (target behavior) sesuai dengan
tujuan intervensi.
3. Perubahan stabilitas dan efeknya
Stabilitas data menunjukkan tingkat kestabilan perubahan dari sederetan
data. Data dikatakan stabil apabila data tersebut menunjukkan arah (mendatar,
menaik, atau menurun) secara konsisten.
4. Perubahan level data
Tingkat perubahan data antarkondisi ditunjukkan dengan selisih antara data
terakhir pada kondisi pertama dengan data pertama kondisi berikutnya.
5. Data yang tumpang tindih (overlap)
Data yang tumpang tindih antara dua kondisi adalah terjadinya data yang
sama pada kedua kondisi. Data yang tumpang tindih menunjukkan tidak adanya
perubahan pada kedua kondisi. Semakin banyak data yang tumpang tindih
semakin menguat dugaan tidak adanya perubahan pada kedua kondisi.
I. Kriteria Keefektivan Permainan Konstruktif LASY®
Permainan konstruktif LASY® dikatakan efektif apabila diukur dari
berbagai keberhasilan yang diraih oleh subjek, keberhasilan tersebut ialah
59
pengaruh yang positif bagi kemampuan motorik halus anak Cerebral palsy.
Kefektivan merupakan ukuran tercapainya suatu tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Kefektivan dapat diketahui dengan cara membandingkan kondisi
yang dicapai dengan kondisi yang ideal. Keefektivan permainan konstrukstif
LASY® diketahui dengan cara menbandingkan skor kemampuan motorik halus
anak Cerebral Palsy pada setiap fase, baik fase sebelum diberikan intervensi, saat
pemberian intervensi, serta sesudah diberikan intervensi. Penggunaan permainan
konstruktif LASY® dikatakan efektif apabila terjadi kenaikan skor tes dengan
level membaik pada saat sebelum diberikan intervensi (baseline-1), selama
intervensi dan setelah diberikan intervensi (baseline-2).
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Deskripsi Baseline-1 (Kemampuan Awal Anak Sebelum diberikan
Intervensi)
Data baseline-1 diperoleh melalui tes kemampuan motorik halus,
mencakup aspek kemampuan menggenggam, memegang, menjimpit, menjiplak,
mewarnai, menggambar, menulis, melipat, menggunting, meronce, memilin, dan
merawat diri. Pelaksanaan Baseline-1 (A1) dilakukan sebelum diberikan
intervensi menggunakan permainan konstruktif LASY®. Pelaksanaan Baseline-1
ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal motorik halus subjek.
Pelaksanaan Baseline-1 dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan di ruang
bimbingan ABK, pada tanggal 30, 31, dan 2 Mei 2017. Setiap sesi berlangsung
selama 45-60 menit. Adapun skor pencapaian tes kemampuan motorik halus anak
Cerebral Palsy fase baseline-1 dirangkum dalam tabel berikut.
Tabel 4. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus
Anak Cerebral Palsy Fase Baseline-1
Sesi Hari/tanggal Skor
1 Selasa, 30 Mei 2017 27
2 Rabu, 31 Mei 2017 27
3 Jumat, 2 Mei 2017 27
61
0
15
30
45
60
75
Sesi I Sesi II Sesi III
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Moto
rik
Ha
lus
Baseline-1 (A1)
Skor
Data skor tes kemampuan motorik halus anak Cerebral palsy pada ketiga
sesi fase baseline-1 (A1) di atas dapat digambarkan secara visual melalui grafik
berikut.
Berdasarkan tabel 5 dan Gambar 3, dapat dijelaskan bahwa hasil
pelaksanaan baseline-1 sesi I, II, dan II memperoleh skor tes kemampuan motorik
halus yang sama, yaitu 27. Kemampuan motorik halus SNC pada fase baseline-1
menunjukkan bahwa sebagian besar, subjek mampu melakukan pada setiap
indikator aspek tes kemampuan motorik halus dengan bantuan secara verbal dan
non verbal, seperti menggenggam bola tenis meja dengan seluruh permukaan
tangan, kemampuan aspek memegang, menjimpit, menjiplak, menggambar
bangun persegi panjang dan lingkaran, melipat kertas, meronce, dan memilin.
Selain itu, siswa juga mampu melakukan beberapa aspek indikator dengan
menggunakan bantuan secara non verbal, seperti pada aspek mewarnai dan
menulis. Namun, terdapat juga beberapa aspek indikator yang tidak dapat
Gambar 3. Grafik Data Fase Baseline-1
62
dilakukan oleh subjek, seperti menggambar manusia dengan anggota tubuh yang
lengkap, aspek menggunting, serta membuka dan memasang kancing baju.
2. Deskripsi Pelaksanaan Intervensi
Pelaksanaan intervensi menggunakan permainan konstruktif LASY®
dilakukan selama enam kali pertemuan, atau sampai data menunjukkan data yang
stabil. Setiap sesi berlangsung selama 45-60 menit, dengan rata-rata pelaksanaan
kurang lebih selama 60 menit setiap sesi. Intervensi dilakukan di ruang bimbingan
ABK, dengan mengambil subjek dari kelas regular (pull out).
Setiap sesi pemberian intervensi menggunakan permainan konstruktif
LASY®, subjek menghubungkan komponen-komponen dari permainan
konstruktif LASY® menjadi bentuk-bentuk tertentu. Pada setiap pertemuan,
bentuk yang diajarkan bervariasi atau berbeda. Setiap selesai melakukan
intervensi menggunakan permainan konstruktif LASY®, subjek juga diberikan tes
perbuatan kemampuan motorik halus. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan motorik halus subjek saat pemberian intervensi. Berikut ini
merupakan tabel yang menyajikan data pelaksaan intervensi pada subjek SNC:
Tabel 5. Pelaksanaan Intervensi menggunakan Permainan Konstruktif LASY®
Sesi Hari/tanggal Waktu
1 Senin, 5 Juni 2017 09.00 - 10.00
2 Selasa, 6 Juni 2017 09.00 - 09.50
3 Rabu, 7 Juni 2017 09.00 - 10.00
4 Kamis, 8 Juni 2017 09.00 – 10.00
5 Senin, 12 Juni 2017 09.00 – 10.00
6 Selasa, 13 Juni 2017 09.00 – 10.00
63
Adapun deskripsi pelaksanaan intervensi yang dilakukan peneliti untuk
treatment kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy menggunakan
permainan konstruktif LASY® adalah sebagai berikut:
a. Intervensi I
Intervensi pertama dilakukan pada hari Senin, 5 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi pertama berlangsung selama 60 menit yakni pukul
09.00-10.00. Pada pertemuan ini, peneliti fokus untuk mengenalkan permainan
konstruktif LASY® dan mengajak subjek untuk bermain menggunakan
permainan tersebut. Materi pada intervensi pertama adalah membuat bentuk
bunga menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, peneliti
memberikan contoh cara penggunaannya dan cara membentuk bunga dengan
permainan konstruktif LASY®. Setelah subjek berhasil membuat bentuk bunga
sesuai dengan contoh yang dipraktikkan dan dibimbing oleh peneliti, subjek
diberikan kesempatan untuk membuat bentuk bunga dengan permainan tersebut
secara mandiri. Langkah terakhir adalah subjek membereskan atau melepaskan
semua komponen permainan konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan
menata kembali di tempat yang sudah disediakan.
Intervensi pertama, subjek menunjukkan ketertarikan dan antusias lebih
terhadap permainan konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika
64
peneliti mengajak subjek bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah
subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes
kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan subjek setelah diberikan
intervensi pertama menggunakan permainan konstruktif LASY®. Hasil tes
kemampuan motorik halus menunjukkan bahwa subjek sebagian besar mampu
melakukan namun masih menggunakan bantuan secara verbal dan non verbal.
Namun, adapula yang menunjukkan perkembangan seperti kemampuan pada
aspek menggenggam, menjimpit, menjiplak, mewarnai, menggambar, dan
menggunting. Hasil perolehan skor tes kemampuan motorik halus subjek pada
intervensi pertama adalah 45.
b. Intervensi II
Intervensi kedua dilakukan pada hari Selasa, 6 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi pertama berlangsung selama 50 menit yakni pukul
09.00-09.50. Materi pada intervensi kedua adalah mengulangi materi intervensi
pertama dan membuat bentuk kamera menggunakan permainan konstruktif
LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek
mengulangi materi membuat bentuk bunga secara mandiri. Setelah itu, peneliti
memberikan contoh cara membuat bentuk kamera. Saat peneliti memberikan
contoh, subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan bimbingan dari peneliti.
65
Langkah terakhir adalah subjek membereskan atau melepaskan semua komponen
permainan konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan kamera, serta menata
kembali di tempat yang sudah disediakan.
Intervensi kedua, subjek menunjukkan antusias lebih terhadap permainan
konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika peneliti mengajak subjek
bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah siswa bermain menggunakan
permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk
mengukur kemampuan siswa setelah diberikan intervensi kedua menggunakan
permainan konstruktif LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek
masih sama dengan skor tes saat intervensi pertama, yaitu 45.
c. Intervensi III
Intervensi ketiga dilakukan pada hari Rabu, 7 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-10.00.
Materi pada intervensi ketiga adalah mengulangi materi intervensi kedua dan
membuat bentuk helikopter menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek
mengulangi materi membuat bentuk kamera secara mandiri. Setelah itu, peneliti
memberikan contoh cara membuat bentuk helikopter. Saat peneliti memberikan
contoh, subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan bimbingan dari peneliti.
Langkah terakhir adalah subjek membereskan atau melepaskan semua komponen
66
permainan konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan kamera, serta menata
kembali di tempat yang sudah disediakan.
Intervensi ketiga, subjek masih menunjukkan antusias lebih terhadap
permainan konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika peneliti
mengajak siswa bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah subjek
bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes
kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan subjek setelah diberikan
intervensi ketiga menggunakan permainan konstruktif LASY®. Hasil skor tes
kemampuan motorik halus subjek menunjukkan peningkatan dibandingkan
intervensi I-II. Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi III
adalah 48. Kemampuan motorik halus subjek yang menunjukkan adanya
perkembangan, adalah pada aspek kemampuan memegang pensil dengan ujung
ibu jari dan jari telunjuk serta anak mampu membuat bola-bola ukuran sedang dan
kecil menggunakan plastisin.
d. Intervensi IV
Intervensi keempat dilakukan pada hari Kamis, 8 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-
10.00. Materi pada intervensi ketiga adalah mengulangi materi intervensi ketiga
yakni membuat bentuk helikopter menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek memperhatikan
contoh dari peneliti mengenai langkah-langkah membuat bentuk helikopter. Saat
peneliti memberikan contoh, subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan
bimbingan dari peneliti. Langkah terakhir adalah subjek membereskan atau
67
melepaskan semua komponen permainan konstruktif LASY® yang membentuk
bunga dan kamera, serta menata kembali di tempat yang sudah disediakan.
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti
memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan
siswa setelah diberikan intervensi keempat menggunakan permainan konstruktif
LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi IV sama
dengan intervensi III, yaitu 48.
e. Intervensi V
Intervensi kelima dilakukan pada hari Senin, 12 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-
10.00. Materi pada intervensi kelima adalah membuat bentuk sepeda roda tiga
menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti
memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan
subjek setelah diberikan intervensi kelima menggunakan permainan konstruktif
LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik halus siswa pada intervensi V sama
dengan intervensi III dan IV, yaitu 48.
f. Intervensi VI
Intervensi keenam dilakukan pada hari Selasa, 13 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-
10.00. Materi pada intervensi kelima adalah mengulangi materi intervensi V dan
membuat bentuk bebek menggunakan permainan konstruktif LASY®.
68
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti
memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan
subjek setelah diberikan intervensi keenam menggunakan permainan konstruktif
LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi VI sama
dengan intervensi III-V, yaitu 48.
Data hasil intervensi diperoleh dari skor tes kemampuan motorik halus
pada setiap akhir pertemuan setelah intervensi menggunakan permainan
konstruktif LASY® diberikan. Tes dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
peningkatan kemampuan motorik halus subjek selama diberikan intervensi
menggunakan permainan konstruktif LASY®. Skor yang diperoleh selama fase
intervensi juga digunakan untuk mengetahui efektivitas permainan konstruktif
LASY® terhadap peningkatan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy .
Tes dilakukan sebanyak 6 kali sesuai dengan pelaksanaan fase intervensi.
Instrumen tes kemampuan motorik halus yang digunakan pada fase intervensi
sama dengan instrumen yang digunakan pada saat fase baseline. Hasil skor tes
kemampuan motorik halus subjek pada saat intervensi dirangkum dalam tabel
berikut:
Tabel 6. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus Anak
Cerebral Palsy saat Pelaksanaan Intervensi
Sesi Hari/tanggal Waktu Skor
1 Senin, 5 Juni 2017 09.00 - 10.00 45
2 Selasa, 6 Juni 2017 09.00 - 09.50 45
3 Rabu, 7 Juni 2017 09.00 - 10.00 48
4 Kamis, 8 Juni 2017 09.00 – 10.00 48
5 Senin, 12 Juni 2017 09.00 – 10.00 48
6 Selasa, 13 Juni 2017 09.00 – 10.00 48
69
0
15
30
45
60
75
Sesi I Sesi II Sesi III Sesi IV Sesi V Sesi VI
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Moto
rik
Ha
lus
Intervensi (B)
Skor
Data skor pencapaian tes kemampuan motorik halus subjek pada saat
intervensi dapat digambarkan secara visual melalui grafik berikut:
Berdasarkan tabel 7 dan gambar 4 skor pencapaian kemampuan motorik
halus yang diperoleh subjek berturut-turut adalah 45, 45, 48, 48, 48, dan 48. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa skor tertinggi adalah 48, pada intervensi
sesi III-VI. Sedangkan skor terendah adalah 45, pada intervensi sesi I dan II.
Namun berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa kemampuan motorik
halus subjek pada fase intervensi mengalami peningkatan.
Pelaksanaan intervensi sesi I dan II menunjukkan hasil skor tes
kemampuan motorik halus yang sama yakni 45. Hasil tes kemampuan motorik
halus pada sesi ini menunjukkan bahwa subjek sebagian besar mampu melakukan
namun masih menggunakan bantuan secara verbal dan non verbal. Namun,
adapula yang menunjukkan perkembangan dibandingkan dengan fase baseline-1
Gambar 4. Grafik Data Fase Intervensi
70
seperti kemampuan pada aspek menggenggam, menjimpit, menjiplak, mewarnai,
menggambar, dan menggunting.
Pelaksanaan intervensi pada sesi III, IV, V, dan VI juga menunjukkan hasil
skor tes kemampuan motorik halus yang sama yakni 48. Selisih skor fase
intervensi sesi III-VI dibandingkan sesi I dan II adalah 3 poin. Kemampuan
motorik halus subjek yang menunjukkan adanya perkembangan, adalah pada
aspek kemampuan memegang pensil dengan ujung ibu jari dan jari telunjuk serta
anak mampu membuat bola-bola ukuran sedang dan kecil menggunakan plastisin.
3. Deskripsi Pelaksanaan Baseline-2 (A2)
Data hasil baseline-2 (A2) diperoleh dari skor tes kemampuan motorik
halus setelah pelaksanaan dan pengukuran pada kondisi intevensi (B). Pengukuran
baseline-2 (A2) dilakukan sama dengan pengukuran pada baseline-1 (A1).
Instrumen yang digunakan pada baseline-2 (A2) sama dengan tes kemampuan
motorik halus pada baseline-1 (A1) dan intervensi (B). Pengukuran baseline-2
(A2) ini dilakukan dengan maksud sebagai kontrol untuk kondisi intervensi
sehingga keyakinan untuk menarik kesimpulan bahwa permainan konstruktif
LASY® efektif digunakan untuk meningkatan motorik halus anak Cerebral Palsy
lebih kuat. Pelaksanaan Baseline-2 dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan di
ruang bimbingan ABK, pada tanggal 15, 16, dan 17 Juni 2017. Setiap sesi
berlangsung selama 45-60 menit. Adapun skor pencapaian tes kemampuan
motorik halus subjek fase baseline-2 dirangkum dalam tabel berikut:
71
0
15
30
45
60
75
Sesi I Sesi II Sesi III
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Moto
rik
Ha
lus
Baseline-2 (A2)
Skor
Tabel 7. Skor Pencapaian Tes Kemampuan Motorik Halus
Anak Cerebral Palsy Fase Baseline-2
Sesi Hari/tanggal Skor
1 Kamis, 15 Juni 2017 56
2 Jumat, 16 Juni 2017 57
3 Sabtu, 17 Juni 2017 57
Data skor pencapaian tes kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
fase Baseline-2 tersebut dapat digambarkan secara visual grafik sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 8 dan Gambar 5, skor pencapaian tertinggi tes
kemampuan motorik halus pada fase baseline-2 yang diperoleh adalah 57, pada
sesi II dan III. Sedangkan hasil skor tes kemampuan motorik halus terendah pada
baseline-2 adalah 56, pada sesi pertama. Skor pencapaian tes kemampuan motorik
halus pada fase baseline-2 meningkat atau lebih tinggi daripada fase baseline-1
dan intervensi.
Secara umum hasil tes pada baseline-2 menunjukkan bahwa subjek
mampu melakukan sebagian besar aspek tes kemampuan motorik halus hanya
dengan bantuan secara verbal atau sebatas diperingatkan. Hal tersebut dapat
ditegaskan bahwa kemampuan motorik halus siswa pada saat fase baseline-2
Gambar 5. Grafik Data Fase Baseline-2
72
0
15
30
45
60
75
Sesi
I
Sesi
II
Sesi
III
Sesi
I
Sesi
II
Sesi
III
Sesi
IV
Sesi
V
Sesi
VI
Sesi
I
Sesi
II
Sesi
III
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Mo
tori
k H
alu
s
Baseline-1 (A1), Intervensi, Baseline-2 (A2)
mengalami peningkatan, baik kemampuan menggenggam, memegang, menjimpit,
menjiplak, mewarnai, menggambar, menulis, melipat, menggunting, meronce,
memilin, maupun merawat diri. Namun, untuk aspek menggunting mengikuti pola
persegi dan lingkaran, subjek mampu melakukannya apabila mendapatkan
bantuan baik secara verbal maupun non verbal.
Kemampuan lain yang patut untuk diapresiasi adalah kemampuan menulis
dan merawat diri. Pada kemampuan menulis, terutama menulis abjad, angka, dan
namanya secara lengkap, subjek sudah mampu melakukannya dengan bantuan
hanya secara verbal serta hasil tulisan siswa sudah cukup rapi dan lebih mudah
dibaca dibandingkan hasil tulisan pada baseline-1. Sedangkan untuk kemampuan
merawat diri, subjek mampu mencuci tangan tanpa membutuhkan bantuan dan
mampu membuka dan melepas kancing baju dengan bantuan secara verbal.
Perkembangan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy pada fase
baseline-1 (A1), intervensi, dan baseline-2 (A2) secara visual dapat dilihat melalui
grafik berikut:
Gambar 6. Skor Perolehan Tes Kemampuan Motorik Halus
Baseline-1 (A1), Intervensi (B), dan Baseline-2 (A2)
73
4. Deskripsi Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis visual
grafik. Analisis visual grafik mencakup dua kategori yaitu analisis dalam kondisi
dan analisis antar kondisi. Setiap kategori analisis grafik memiliki masing-masing
yang perlu dianalisis.
a. Deskripsi Analisis dalam Kondisi
Komponen yang akan dianalisis dalam kondisi ini meliputi panjang
kondisi, kecenderungan arah, tingkat stabilitas, tingkat perubahan, jejak data, dan
rentang.
1) Panjang kondisi
Panjang kondisi merupakan banyaknya data dalam suatu kondisi yang juga
menggambarkan banyaknya sesi yang dilakukan pada kondisi atau fase tersebut.
Dalam penelitian ini terdapat tiga kondisi atau fase yaitu baseline-1, intervensi,
dan baseline-2. Panjang kondisi atau sesi pada setiap fase dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 8. Data Panjang Kondisi
Kondisi A1 B A2
Panjang kondisi 3 6 3
2) Kecenderungan Arah
Estimasi Kecenderungan arah digambarkan oleh garis lurus yang melintasi
semua data dalam suatu kondisi dimana banyaknya data yang berada di atas dan
di bawah garis tersebut sama banyak. Estimasi kecenderungan arah dalam fase
baseline-1 yakni mendatar, fase intervensi yakni meningkat, dan fase baseline-2
74
adalah meningkat. Kecenderungan arah pada setiap fase dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 9. Kecenderungan Arah
Kondisi A1 B A2
Kecenderungan Arah
(=)
(+)
(+)
3) Tingkat Stabilitas
Tingkat stabilitas menunjukkan tingkat homogenitas data dalam suatu
kondisi. Tingkat stabilitas data dapat ditentukan dengan menghitung banyaknya
data yang berada dalam rentang 50% di atas dan di bawah mean. Dalam
menentukan kecenderungan stabilitas, peneliti menggunakan kriteria stabilitas
15%. Data tingkat stabilitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Data Tingkat Stabilitas
Kondisi A1 B A2
Tingkat Stabilitas Stabil
(100%)
Stabil
(100%)
Stabil
(100%)
Perhitungan stabilitas menggunakan rumus dicantumkan dalam lampiran 3.
Setelah menghitung menggunakan rumus tersebut, maka hasil kecenderungan
stabilitas yang didapatkan pada fase baseline-1 yaitu 100% sehingga dikatakan
stabil, dan dapat dilanjutkan pada fase intervensi. Pada fase intervensi
kecenderungan stabilitas 100% atau stabil, kemudian dilanjutkan pengukuran fase
baseline-2. Pada fase baseline-2 diperoleh presentasi stabilitas 100% atau stabil.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada fase baseline-1, intervensi dan
baseline-2 memiliki kecenderungan stabilitas stabil.
75
4) Tingkat Perubahan
Tingkat perubahan menunjukkan besarnya perubahan antara dua data.
Tingkat perubahan data dalam suatu kondisi merupakan selisih antara data
pertama dengan data terakhir pada satu kondisi. Setelah menghitung, selanjutnya
menentukan arahnya mendatar, menurun, dan menaik. Tanda (=) jika tidak ada
perubahan, (-) jika menurun, dan (+) jika menaik.Tingkat Perubahan data dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 11. Data Tingkat Perubahan
Kondisi A1 B A2
Tingkat Perubahan 27 – 27
(=)
45 – 48
(+3)
56 – 57
(+1)
5) Jejak Data
Jejak data merupakan perubahan dari data satu ke data lain dalam suatu
kondisi. Perubahan satu data ke data berikutnya dapat terjadi tiga kemungkinan
yaitu menaik, menurun dan mendatar. Data jejak data dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 12. Jejak Data
Kondisi A1 B A2
Jejak Data
(=)
(+)
(+)
6) Rentang Data
Rentang dalam sekelompok data pada suatu kondisi merupakan jarak antara
data pertama dengan data terakhir. Kecenderungan stabilitas yang telah dihitung
sebelumnya menunjukkan data fase baseline-1 (A1) stabil dengan rentang 27-27,
76
fase intervensi (B) stabil dengan rentang 45-48, dan fase baseline-2 (A2) stabil
dengan rentang 56-57. Data rentang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Rentang Data
Kondisi A1 B A2
Rentang Data 27 – 27
(stabil)
45 – 48
(stabil)
56 – 57
(stabil)
Rangkuman data setiap komponen analisis dalam kondisi dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 14. Data Rangkuman Analisis Dalam Kondisi
No Kondisi A1 B A2
1 Panjang Kondisi 3 6 3
2 Kecenderungan Arah
(=)
(+)
(+)
3 Tingkat Stabilitas Stabil
(100%)
Stabil
(100%)
Stabil
(100%)
4 Tingkat Perubahan 27 – 27
(=)
45 – 48
(+3)
56 – 57
(+1)
5 Jejak Data
(=)
(+)
(+)
6 Rentang Data 27 – 27
(stabil)
45 – 48
(stabil)
56 – 57
(stabil)
b. Deskripsi Analisis Antar Kondisi
Komponen analisis antar kondisi ini meliputi jumlah variabel yang diubah,
perubahan kecenderungan arah dan efeknya, perubahan stabilitas dan efeknya,
perubahan level data, dan data yang tumpang tindih (overlap).
1) Jumlah Variabel yang Diubah
Analisis antar kondisi ditekankan pada efek atau pengaruh intervensi
terhadap jumlah perilaku sasaran atau variabel yang diubah. Jumlah variabel yang
dirubah pada kondisi baseline-1 (A1) ke intervensi (B) adalah 1. Begitu pula
77
dengan jumlah variabel yang dirubah dari intervensi (B) ke kondisi baseline-2
(A2). Data jumlah variabel yang akan dirubah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 15. Data Jumlah Variabel yang Diubah
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
Jumlah variabel yang diubah 1 1
2) Perubahan Kecenderungan Arah dan Efeknya
Perubahan kecenderungan arah grafik antara kondisi baseline dan intervensi
menunjukkan makna perubahan perilaku sasaran (target behavior) sesuai dengan
tujuan intervensi. Data perubahan kecenderungan arah dan efeknya dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 16. Data Perubahan Kecenderungan Arah dan Efeknya
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
Perubahan Kecenderungan Arah dan
Efeknya
(+) (=)
(+) (+)
3) Perubahan Stabilitas dan Efeknya
Stabilitas data menunjukkan tingkat kestabilan perubahan dari sederetan
data. Perhitungan stabilitas menggunakan rumus dicantumkan dalam lampiran 3.
Perubahan stabilitas pada setiap kondisi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 17. Data Perubahan Stabilitas dan Efeknya
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
Perubahan Stabilitas dan Efeknya Stabil ke Stabil Stabil ke Stabil
4) Perubahan Level
Tingkat perubahan data antarkondisi ditunjukkan dengan selisih antara data
terakhir pada kondisi pertama dengan data pertama kondisi berikutnya. Data poin
sesi terakhir pada fase baseline-1 (A1) yaitu 27 dan data poin pertama fase
78
intervensi (B) yaitu 45, kemudian dihitung selisih dari kedua data poin tersebut
diperoleh +18. Selanjutnya data poin sesi terakhir pada fase intervensi (B) yaitu
48 dan data poin pertama fase baseline-2 yaitu 56, kemudian dihitung selisih dari
kedua data poin tersebut diperoleh +8. Perubahan level data dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 18. Data Perubahan Level
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
Perubahan Level Data 45 – 27
(+18)
56 – 48
(+8)
Dari tabel data perubahan level data di atas dapat dilihat level perubahan
dari fase baseline-1 ke fase intervensi adalah meningkat +18. Perubahan level
meningkat juga terjadi pada fase intervensi ke fase baseline-2 yaitu +8.
5) Data yang Tumpang Tindih (overlap)
Data yang tumpang tindih antara dua kondisi adalah terjadinya data yang
sama pada kedua kondisi. Data yang tumpang tindih menunjukkan tidak adanya
perubahan pada kedua kondisi. Semakin banyak data yang tumpang tindih
semakin menguat dugaan tidak adanya perubahan pada kedua kondisi. Apabila
data pada suatu kondisi baseline lebih dari 90% yang tumpang tindih pada kondisi
intervensi maka pengaruh intervensi tidak dapat diyakinkan. Dalam penelitian ini,
data tumpang tindih (overlap) adalah persamaan data pada fase baseline-1 dengan
fase intervensi dan fase intervensi dengan fase baseline-2. Adapun cara
menentukan overlap data pada kondisi baseline-1 dengan intervensi dan intervensi
dengan baseline-2 adalah sebagai berikut:
79
0
15
30
45
60
75
Sesi I Sesi II Sesi III Sesi I Sesi II Sesi III Sesi IV Sesi V Sesi VISk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Moto
rik
Halu
s
Perkembangan Kemampuan Motorik Halus
1) Melihat batas atas dan batas bawah kondisi baseline
2) Menghitung data poin kondisi intervensi yang berada pada rentang kondisi
baseline
3) Banyaknya data poin yang diperoleh dibagi dengan banyaknya data poin
dalam kondisi intervensi kemudian dikalikan 100%.
Grafik dibawah ini memberikan gambaran mengenai ada atau tidaknya data
yang mengalami tumpang tindih antara fase baseline-1 (A1) dengan fase
intervensi (B).
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa tidak ada data poin pada fase
intervensi (B) yang berada pada rentang batas atas dan batas bawah kondisi
baseline-1 (A2). Hal tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak ada data yang
tumpang tindih (overlap) sehingga pengaruh intervensi terhadap kemampuan
motorik halus anak Cerebral Palsy dapat diyakinkan.
Gambar 7. Grafik Data Overlap Baseline-1 (A1) dan Intervensi
80
0
15
30
45
60
75
Sesi I Sesi II Sesi III Sesi IV Sesi V Sesi VI Sesi I Sesi II Sesi III
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Mo
torik
Ha
lus
Perkembangan Kemampuan Motorik Halus
Untuk mengetahui data tumpang tindih (overlap) antara fase intervensi (B)
dengan fase baseline-2 (A2) dapat dilihat pada grafik berikut:
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa tidak ada data poin pada
fase baseline-2 (A2) yang berada pada rentang batas atas dan batas bawah fase
intervensi (B). Hal tersebut berarti tidak ada data yang tumpang tindih (overlap).
Semakin kecil persentase overlap berarti semakin baik pengaruh intervensi
terhadap kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy. Data overlap pada
kedua grafik di atas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 19. Data Presentase Tumpang Tindih (Overlap)
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
Presentase Tumpang Tindih (Overlap) 0:6 x 100%
(0%)
0:3 x 100%
(0%)
Rangkuman data setiap komponen analisis dalam kondisi dapat dilihat
pada tabel berikut:
Gambar 8. Grafik Data Overlap Intervensi (B)
dan Baseline-2 (A2)
81
0
15
30
45
60
75
Baseline-1 Intervensi Baseline-2
Sk
or
Tes
Kem
am
pu
an
Moto
rik
Halu
s
Mean Level Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral
Palsy
Tabel 20. Rangkuman Data Analisis Antar Kondisi
No Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
1 Jumlah variabel yang diubah 1 1
2 Perubahan kecenderungan arah
dan efeknya
(+) (=)
(+) (+)
3 Perubahan Stabilitas dan
Efeknya
Stabil ke stabil Stabil ke stabil
4 Perubahan Level Data 45 – 27
(+18)
56 – 48
(+8)
5 Presentase Tumpang Tindih
(Overlap)
0:6 x 100%
(0%)
0:3 x 100%
(0%)
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan motorik halus anak Cerebral
Palsy pada setiap fase, rata-rata pencapaian pada masing-masing fase (mean level)
disajikan pada grafik berikut:
Berdasarkan grafik mean level tersebut, dapat diketahui rata-rata (mean
level) kemampuan motorik halus subjek. Grafik tersebut menggambarkan bahwa
kemampuan motorik halus subjek mengalami peningkatan pada setiap fase. Hal
tersebut terlihat dari nilai rata-rata (mean level) pada fase baseline-1 (A1) yaitu
27, fase intervensi (B) yaitu 47, dan fase baseline2 (A2) yaitu 57 (pembulatan dari
56,67). Fase baseline-2 (A2) dilakukan sebagai tolak ukur berhasil atau tidaknya
intervensi yang diberikan. Berdasarkan deskripsi tersebut dapat ditegaskan bahwa
Gambar 9. Grafik Data Mean Level Kemampuan Motorik Halus
Anak Cerebral Palsy
82
rata-rata skor pada fase baseline-2 (A2) lebih tinggi daripada fase intervensi (B)
dan fase baseline-1 (A1), sehingga permainan konstruktif LASY® efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
B. Hasil Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dipaparkan, dapat diketahui
bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, yakni permainan konstruktif
LASY® efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak
Cerebral Palsy. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya skor tes
kemampuan motorik halus yang diperoleh subjek antara sebelum diberikan
intervensi (baseline-1) dan setelah diberikan intervensi (baseline-2) menggunakan
permainan konstruktif LASY® yaitu +30. Data tersebut juga diperkuat dengan
presentase data tumpang tindih (overlap) adalah 0%. Semakin kecil nilai
presentase data tumpang tindih (overlap), maka menunjukkan bahwa permainan
konstruktif LASY® efektif terhadap peningkatan kemampuan motorik halus anak
Cerebral Palsy. Dari pernyataan tersebut, dapat ditegaskan bahwa permainan
konstruktif LASY® efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik
halus anak Cerebral Palsy kelas I di SD Negeri Pojok.
C. Pembahasan
Alat permainan konstruktif dalam penelitian ini secara spesifik digunakan
sebagai media latihan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
Berdasarkan hasil penelitian, permainan konstruktif LASY® efektif digunakan
untuk meningkatkan kemampuan motorik halus Anak Cerebral Palsy. Permainan
konstruktif merupakan kegiatan yang menggunakan berbagai media untuk
83
menciptakan suatu hasil karya tertentu, dan gunanya untuk meningkatkan
kemampuan anak, seperti motorik halus. Pendapat tersebut dipertegas oleh
Hurlock (1988: 30), bahwa salah satu manfaat dari permainan konstruktif adalah
untuk meningkatkan kemampuan motorik halus. Menurut Mulyadi (2004: 61-63),
salah satu manfaat permainan konstruktif adalah manfaat fisik. Artinya, dengan
bermain konstruktif akan membantu anak mematangkan otot-otot dan melatih
keterampilan anggota tubuhnya, sehingga manfaat fisik yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah melatih keterampilan motorik halus subjek. Jenis permainan
konstruktif bermacam-macam antara lain: balok, menggambar, puzzle,
playdough, LEGO®, dan LASY®. Jenis alat permainan konstruktif yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan permainan LASY®.
Berdasarkan hasil penelitian pada saat dilakukan intervensi, subjek
cenderung memiliki rasa ketertarikan yang tinggi ketika peneliti mengajak subjek
bermain menggunakan alat permainan konstruktif LASY® ini. Hal ini dibuktikan,
ketika peneliti mengajak bermain dengan alat permainan tersebut, subjek sangat
antusias dan bersemangat. Subjek cenderung memiliki ketertarikan terhadap
permainan tersebut karena LASY® dapat dibentuk menjadi berbagai macam
bentuk dan memiliki warna yang menarik. Permainan LASY® juga terbuat
menggunakan bahan dasar plastik yang telah diuji kelayakannya dan bersertifikat
aman untuk digunakan anak.
Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak untuk
mengekspresikan diri, sehingga anak merasa aman, santai maupun senang.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, subjek cenderung merasa senang dan
84
memiliki antusias yang tinggi ketika peneliti mengajak subjek bermain guna
sebagai treatment kemampuan motorik halusnya. Tahap perkembangan bermain
dalam penelitian ini adalah bermain bangun-membangun (constructive play).
Menurut Sara Smilanky dalam Biddle (2014: 268), bermain bangun membangun
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membentuk sesuatu atau menciptakan
bangunan tertentu dengan alat yang tersedia. Pernyataan tersebut dipertegas
dengan teori menurut Block-Puzzle toys for kids (www.bp-toys.com) bahwa
keunggulan dari permainan LASY® adalah variety of connections, mobility, not
loose, dan safety.
LASY® merupakan alat permainan konstruktif yang diciptakan untuk
mengembangkan kreativitas dan kemampuan motorik halus anak. Tahap
perkembangan di dalam program pelatihan LASY® terdapat empat tahap.
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini yakni untuk menguji efektivitas permainan
konstruktif LASY® terhadap kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy,
sehingga tahap perkembangan program pelatihan LASY® penelitian ini
mencakup dua tahap. Kedua tahap tersebut sangat berperan penting dalam
pelaksanaan intervensi kemampuan motorik halus. Tahap satu, ketika subjek
melepas dan menghubungkan komponen permainan konstruktif LASY® maka
kemampuan motorik halus berperan penting dalam kegiatan tersebut. Tahap
kedua, ketika subjek telah melalui kemampuan motorik dasar dengan mengetahui
fungsi sistem LASY®, subjek mulai membuat suatu bentuk yang sederhana, baik
dari hasil meniru pelatih maupun contoh dari gambar, kemampuan yang berperan
penting dalam tahap ini adalah kemampuan secara kognitif.
85
Permainan konstruktif LASY® ini juga memenuhi 3 fase belajar gerak,
yakni fase kognitif, asosiatif, dan automatisasi. Fase kognitif dalam permainan
LASY® ini adalah ketika subjek mulai belajar keterampilan motorik halus dengan
melepas dan menghubungkan komponen LASY®. Selain itu, subjek juga belajar
dalam mengenal warna karena permainan LASY® memiliki warna-warna yang
bermacam-macam. Fase asosiatif dalam permainan LASY® adalah ketika subjek
mampu menghubungkan komponen LASY® secara mandiri tanpa bantuan dari
peneliti. Sedangkan, fase automatisasi adalah kemampuan motorik halus subjek
yang mengalami peningkatan setelah diberikan treatment menggunakan
permainan konstruktif LASY®.
Saat dilakukan intervensi sebanyak 6 kali sesi, peneliti juga mengukur
kemampuan motorik halus subjek setelah diberikan intervensi pada setiap sesi.
Hasil tes menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan motorik halus subjek
yang cukup baik dibandingkan dengan sebelum dilakukan intervensi (baseline-1).
Hal tersebut mempertegas bahwa permainan konstruktif LASY® efektif terhadap
peningkatan kemampuan motorik halus subjek.
Fase baseline-2 atau fase setelah dilakukan intervensi, peneliti juga
mengukur kemampuan motorik halus subjek menggunakan tes. Tes kemampuan
motorik halus yang digunakan sama dengan tes yang digunakan pada fase
baseline-1 dan pada saat intervensi berlangsung. Hasil tes menunjukkan terdapat
peningkatan kemampuan motorik halus subjek dibandingkan dengan fase
baseline-1 maupun fase intervensi, baik dalam kemampuan memegang,
menggenggam, menjimpit, menyalin, menulis, melipat, mewarnai, menggunting,
86
meronce, memilin, dan merawat diri. Pada fase baseline-2 menunjukkan hasil
bahwa subjek mampu melakukan beberapa aspek tes perbuatan hanya dengan
bantuan secara verbal, yakni sebatas diperingatkan.
Bantuan secara verbal memang dibutuhkan subjek dikarenakan subjek
mengalami kelainan Mixed Cerebral Palsy yakni Spatik dan Athetoid. Gerakan-
gerakan yang muncul tanpa disadari menyebabkan subjek tidak mampu secara
maksimal dalam melakukan aspek tes kemampuan motorik halus tersebut. Selain
memiliki hambatan secara fisik, subjek juga mengalami hambatan secara kognitif
yakni tunagrahita ringan. Hal ini menyebabkan subjek memiliki ingatan jangka
pendek, yang menyebabkan dirinya mudah lupa. Hal tersebut juga mempengaruhi
hasil tes yang tidak maksimal, karena subjek masih tetap membutuhkan bantuan
walaupun hanya secara verbal. Namun, kemampuan motorik halus subjek tetap
mengalami peningkatan dibandingkan sebelum diberikan intervensi menggunakan
permainan kosntruktif LASY®.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat ditegaskan bahwa pada penelitian ini,
permainan konstruktif LASY® efektif digunakan untuk meningkatan kemampuan
motorik halus anak Cerebral Palsy. Pernyataan tersebut juga didukung dari hasil
analisis data antar kondisi dan dalam kondisi yang telah dipaparkan, bahwa terjadi
peningkatan kemampuan motorik halus subjek dari baseline-1 ke baseline-2
dengan selisih +30 dan persentase data tumpang tindih (overlap) adalah 0%. Data
tersebut memperkuat pernyataan bahwa permainan konstruktif LASY® efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak Cerebral
Palsy kelas I di SD Negeri Pojok.
87
D. Keterbatasan Penelitian
Selama melakukan penelitian tentang “Efektivitas Permainan Konstruktif
LASY® terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy Kelas I di SD
Negeri Pojok Sinduadi Sleman” ini tidak terlepas dari adanya keterbatasan yang
menyertai. Keterbatasan tersebut adalah proses pengambilan data bersamaan
dengan ujian akhir kelas I sehingga membutuhkan penyesuaian waktu pada saat
pengambilan data.
88
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang telah
dipaparkan, dapat diketahui bahwa permainan konstruktif LASY® efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
Permainan LASY® ini merupakan salah satu jenis permainan konstruktif yang
dapat membantu melatih dalam peningkatan kemampuan motorik anak Cerebral
Palsy, terutama motorik halus dengan latihan menjumput mainan, meraba,
memegang, dan memasang atau menghubungkan komponen LASY® untuk
membentuk suatu bentuk dengan jari-jemari kedua tangannya tersebut. Cara
bermain LASY® ini adalah dengan menghubungkan komponen bentuk LASY®
supaya membentuk suatu bentuk yang diinginkan anak atau sesuai contoh yang
sudah ada. Skor tes kemampuan motorik halus yang diperoleh subjek mengalami
peningkatan antara sebelum diberikan intervensi (baseline-1) dan setelah
diberikan intervensi (baseline-2) menggunakan permainan konstruktif LASY®
dan presentase data tumpang tindih (overlap) adalah 0%. Dari pernyataan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan konstruktif LASY® efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy
kelas I di SD Negeri Pojok.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat dipastikan bahwa hasil
penelitian ini memiliki implikasi yang positif bagi berbagai pihak yang terkait di
89
dalam penelitian ini. Implikasi dari penelitian ini adalah peneliti selanjutnya dapat
mengadakan penelitian mengenai permainan konstruktif LASY® ke tahap
berikutnya yakni tahap kemampuan kognitif maupun kepribadian khususnya bagi
Anak Berkebutuhan Khusus.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang menyatakan permainan
konstruktif LASY® efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik
halus anak Cerebral Palsy, maka peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:
1. Saran untuk kepala sekolah
Kepala sekolah hendaknya mampu menyediakan fasilitas atau media yang
lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan siswa guna meningkatkan kemampuan
ABK, misalnya dengan menyediakan permainan konstruktif LASY® untuk
meningkatkan kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
2. Saran untuk guru kelas dan guru pendamping khusus (GPK)
Guru kelas maupun GPK sebaiknya mengembangkan media yang menarik,
inovatif, menyenangkan, dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Salah satunya
menggunakan permainan konstruktif LASY® sebagai media untuk meningkatkan
kemampuan motorik halus anak Cerebral Palsy.
3. Saran untuk penelitian selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan mampu menguji efektivitas permainan
konstruktif LASY® untuk tahap selanjutnya, yakni kemampuan kognitif dan
kepribadian.
90
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (1993). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arifin, Zainal. (2012). Penelitian Pendidikan - Metode dan Paradigma Baru.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Asikin, Saroni. MARI KITA ASAH OTAK KANAN/KREATIFITAS ANAK
dengan LASY. Diakses dari https://sites.google.com/site
mainanlasy/artikel2 pada tanggal 9 November 2016 pukul 18:00 WIB.
Assjari, Musjafak. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Daksa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Astati. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Diakses dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011
974032-ASTATI/Karakteristik_Pend_ATD-ATL.pdf pada tanggal 8
November 2016 pukul 19:00 WIB.
Astati. (1995). Terapi Okupasi, Bermain, dan Musik untuk Anak Tunagrahita.
Jakarta: Depdikbud.
Blackhurst, A. Edward. dan William H. Berdine. (1981). An Introduction to
Special Education. Boston, Toronto: Little Brown and Company.
BP Toys. About Lasykids. Diakses dari http://www.bp-toys.com/lasykids.html
pada tanggal 9 November 2016 pukul 19.15 WIB.
CREKIDSCENTER. About Lasy. Diakses dari
http://crekidscenter.webs.com/lasy.htm pada tanggal 9 November 2016
pukul 18:15 WIB.
DADI International Early Learning Center. (2010). LASY & Multiple Intelligence
Training (MIT). Diakses dari http://dadikidthai.com/faq/lasy-and-mit pada
tanggal 9 November 2016 pukul 19.00 WIB.
Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedagogik Bagi Anak Berkelainan.
Jakarta: Bumi Aksara.
91
Endang, Poerwanti. & Nur, Widodo. (2005). Perkembangan Peserta Didik.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Fait, Hollis. (1972). Special Physical Education. USA: W. B Saunder company.
Gordon, Bidlle. (2014). Early Chilhood Education. USA: SAGE Publications.
Heryani, Ade. (2014). Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Anak Taman
Kanak – Kanak Melalui Bermain Lasy (Penelitian Tindakan Kelas pada
Kelompok A TK Muya Agni). Skripsi. Diakses dari
http://repository.upi.edu/16501/4.haslightboxThumbnailVersion/S_PAUD
_1010054_Abstract.pdf pada tanggal 20 November 2016 pukul 17:00.
Hidayati, Zulaeha. (2010). Anak Saya Tidak Nakal Kok. Jakarta: PT. Bintang
Pustaka
Hurlock, Elizabeth. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
.(1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
. (1988). Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta: Erlangga
. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga
. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga
. (2000). Perkembangan Anak Jilid II (Alih Bahasa:
Meitasari Tjandrasa). Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini. (1995). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung:
Mandar Maju.
Kustawan, Dedy. (2013). Penilaian Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Luxima.
Sunanto, Juang. Takeuchi, Koji. & Nakata, Hideo. (2005). Pengantar Penelitian
Dengan Subyek Tunggal. CRICED : University of Tsukuba.
. (2006). Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal.
Bandung: UPI Press.
Maimunah. (2016). “Aktivitas Bermain Konstruktif Terhadap Peningkatan
Kecerdasan Logis Matematis Anak Usia 5-6 Tahun Di Tk Tutwuri
Handayani Bandar Lampung Tahun Ajaran 2015/2016”. Skripsi. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
92
Masduki, Saleha. (2013). Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Yogyakarta.
Mulyadi, Seto. (2004). Bermain dan Kreativitas. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Muslim, Toha & Sugiarmin, M. Ortopedi Dalam Pendidikan Anak Tunadaksa.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Parenting Science. Why toy blocks rock: The science of building and construction
toys. Diakses dari http://www.parentingscience.com/toy-blocks.html pada
tanggal 9 November 2016 pukul 19.30 WIB.
Purwanto, Ngalim. (2013). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramli. (2005). Pendampingan Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta:
Depdiknas
Rokhimah, Rina dan Darmawanti, Ira. (2013). Pengaruh Permainan Lasy
terhadap Peningkatan Konsentrasi Pada Anak Autis. Jurnal Psikologi
Teori dan Terapan. IV (1), 48 – 55.
Rumini, Sri & Sundari, Siti. (2004). Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta :
Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenada.
Salim, Abdul. (2007). Pediatri Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta:
DEPDIKNAS.
Salim, Ahmad. (1996). Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Surakarta:
Depdikbud.
Santoso, Hargio. (2012). Cara Memahami & Mendidik Anak Berkebutuhan
Khusus. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Saputra, Yudha. & Rudyanto. (2005). Pembelajaran Kooperatif Untuk
Meningkatkan Ketrampilan Anak TK. Jakarta: Depdiknas.
Siregar, Syofian. (2011). Statistik Deskriptif untuk Penelitian. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Somantri, Sutjihati. (2005). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika
Aditama.
93
Sugiyono. (2007). Metode penelitian pendidikan: Pendekatan kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sujarwanto. (2005). Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Sujiono. (2010). Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: Indeks.
Sujiono, Yuliani N. (2008). Metode Pengembangan Kognitif. Modul Edisi I.
Bandung: Universitas Terbuka
Sujiono, Bambang. (2008). Metode Pengembangan Fisik. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Sujiono, Bambang. Modul I: Hakikat Perkembangan Motorik Anak. Diakses dari
http://repository.ut.ac.id/4781/1/PGTK2302-M1.pdf pada tanggal 10
November 2016 pukul 19:00 WIB.
Sukardi. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmadinata, Syaodih, Nana. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sunardi & Sunaryo. (2007). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Suyanto, S. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat
Publishing.
Sumantri. (2005). Model Pengembangan Ketrampilan Motorik Anak Usia Dini.
Jakarta: Depdiknas, Dirjen Dikti.
Syamsuardi. (2012). “Penggunaan Alat Permainan Edukatif (Ape) di Taman
Kanak-Kanak Paud Polewali Kecamatan Tanete Riattang Barat
Kabupaten Bone”. Jurnal Publikasi Pendidikan. II (1), 59-67.
Tedjasaputra, Mayke S. (2001). Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta:
Grasindo.
. (2005). Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta:
Grasindo.
Triharso, Agung. (2013). Permainan Kreatif dan Edukatif untuk Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Widati, Sri & Murtadlo. (2007). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Adaptif.
Jakarta: Depdiknas.
94
LAMPIRAN
95
Lampiran 1. Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Motorik Halus
Variabel Aspek Kemampuan
Motorik Halus
Indikator Jumlah
Butir
Nomor
Soal
Keterampilan
motorik halus
Menggenggam Anak mampu menggenggam bola kasti dengan
seluruh permukaan tangan
2 1, 2
Anak mampu menggenggam bola tenis meja dengan
seluruh permukaan tangan
Memegang Anak mampu memegang pensil dengan seluruh
ujung permukaan jari-jari tangan
2 3,4
Anak mampu memegang pensil dengan ujung ibu jari
dan jari telunjuk
Menjimpit Anak mampu menjimpit pensil warna. 3 5,6
Anak mampu menjimpit kelereng.
Menjiplak Anak mampu menjiplak gambar persegi 2 7,8
Anak mampu menjiplak gambar lingkaran
Mewarnai Anak mampu mewarnai gambar persegi. 2 9,10
Anak mampu mewarnai gambar lingkaran.
Menggambar Anak mampu menggambar bangun persegi panjang 3 11, 12,
13 Anak mampu menggambar bangun lingkaran
Anak mampu menggambar manusia dengan anggota
tubuh yang lengkap (kepala, tangan, kaki, dan batang
tubuh)
96
Menulis Anak mampu menebalkan huruf abjad dan angka (0-
9) dengan mengikuti garis putus-putus
3 14, 15,
16
Anak mampu menulis huruf abjad dan angka (0-9)
Anak mampu menuliskan namanya secara lengkap
Melipat Anak mampu melipat kertas menjadi dua bagian
yang sama
1 17
Menggunting Anak mampu menggunting mengikuti garis lurus 3 18, 19,
20 Anak mampu menggunting mengikuti pola persegi
panjang
Anak mampu menggunting mengikuti pola lingkaran
Meronce Anak mampu membuat gelang dengan meronce
manik-manik
1 21
Memilin Anak mampu membuat bola-bola ukuran sedang dan
kecil
2 22, 23
Anak mampu membuat bentuk cacing menggunakan
plastisin
Merawat diri Anak mampu mencuci tangan 2 24, 25
Anak mampu membuka dan memasang kancing baju
Jumlah 25
97
Lampiran 2. Instrumen Tes Kemampuan Motorik Halus
Panduan Tes Kemampuan Motorik Halus
Petunjuk pengisian:
1. Berikan tanda (√) pada kolom skor 0 jika anak tidak mampu melakukan.
2. Berikan tanda (√) pada kolom skor 1 jika anak mampu melakukan dengan bantuan secara verbal dan non verbal.
3. Berikan tanda (√) pada kolom skor 2 jika anak mampu melakukan dengan bantuan secara verbal.
4. Berikan tanda (√) pada kolom skor 3 jika anak mampu melakukan tanpa bantuan baik verbal maupun non verbal.
No Komponen Indikator Skor Keterangan
0 1 2 3
1 Menggenggam 1.1 Anak mampu menggenggam bola
kasti dengan seluruh permukaan
tangan
1.2 Anak mampu menggenggam bola
tenis meja dengan seluruh
permukaan tangan
2 Memegang 2.1 Anak mampu memegang pensil
dengan seluruh ujung permukaan
98
jari-jari tangan
2.2 Anak mampu memegang pensil
dengan ujung ibu jari dan jari
telunjuk
3 Menjimpit 3.1 Anak mampu menjimpit pensil
warna.
3.2 Anak mampu menjimpit kelereng.
4 Menjiplak 4.1 Anak mampu menjiplak gambar
persegi.
4.2 Anak mampu menjiplak gambar
lingkaran.
5 Mewarnai 5.1 Anak mampu mewarnai gambar
persegi.
5.2 Anak mampu mewarnai gambar
lingkaran.
6 Menggambar 6.1 Anak mampu menggambar bangun
persegi panjang.
6.2 Anak mampu menggambar bangun
lingkaran
99
6.3 Anak mampu menggambar manusia
dengan anggota tubuh yang lengkap
(kepala, tangan, kaki, dan batang
tubuh)
7 Menulis 7.1 Anak mampu menebalkan huruf
abjad dan angka (0-9) dengan
mengikuti garis putus-putus
7.2 Anak mampu menulis huruf abjad
dan angka (0-9)
7.3 Anak mampu menuliskan namanya
secara lengkap
8 Melipat 8.1 Anak mampu melipat kertas menjadi
dua bagian yang sama
9 Menggunting 9.1 Anak mampu menggunting
mengikuti garis lurus
9.2 Anak mampu menggunting
mengikuti pola persegi panjang
9.3 Anak mampu menggunting
mengikuti pola lingkaran
100
10 Meronce 10.1 Anak mampu membuat gelang
dengan meronce manik-manik
11 Memilin 11.1 Anak mampu membuat bola-bola
ukuran sedang dan kecil
menggunakan plastisin
11.2 Anak mampu membuat bentuk
cacing menggunakan plastisin
12 Merawat diri 12.1 Anak mampu mencuci tangan
12.2 Anak mampu membuka dan
memasang kancing baju
Jumlah skor
Total skor
101
Lampiran 3. Catatan Lapangan Pelaksanaan Intervensi Pertemuan 1 sampai 6
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Senin, 5 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan I
Pukul : 09.00 – 10.00
Intervensi pertama dilakukan pada hari Senin, 5 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi pertama berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-10.00.
Pada pertemuan ini, peneliti fokus untuk mengenalkan permainan konstruktif
LASY® dan mengajak subjek untuk bermain menggunakan permainan tersebut.
Materi pada intervensi pertama adalah membuat bentuk bunga menggunakan
permainan konstruktif LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, peneliti
memberikan contoh cara penggunaannya dan cara membentuk bunga dengan
permainan konstruktif LASY®. Setelah subjek berhasil membuat bentuk bunga
sesuai dengan contoh yang dipraktikkan dan dibimbing oleh peneliti, subjek
diberikan kesempatan untuk membuat bentuk bunga dengan permainan tersebut
secara mandiri. Langkah terakhir adalah siswa membereskan atau melepaskan semua
komponen permainan konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan menata
kembali di tempat yang sudah disediakan.
102
Pada intervensi pertama, subjek menunjukkan ketertarikan dan antusias lebih
terhadap permainan konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika peneliti
mengajak subjek bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah subjek bermain
menggunakan permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes kemampuan motorik
halus untuk mengukur kemampuan subjek setelah diberikan intervensi pertama
menggunakan permainan konstruktif LASY®. Hasil tes kemampuan motorik halus
menunjukkan bahwa sebagian besar subjek mampu melakukan namun masih
menggunakan bantuan secara verbal dan non verbal. Namun, adapula yang
menunjukkan perkembangan seperti kemampuan pada aspek menggenggam,
menjimpit, menjiplak, mewarnai, menggambar, dan menggunting. Hasil perolehan
skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi pertama adalah 45.
103
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Selasa, 6 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan II
Pukul : 09.00 – 09.50
Intervensi kedua dilakukan pada hari Selasa, 6 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi pertama berlangsung selama 50 menit yakni pukul 09.00-09.50.
Materi pada intervensi kedua adalah mengulangi materi intervensi pertama dan
membuat bentuk kamera menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek
mengulangi materi membuat bentuk bunga secara mandiri. Setelah itu, peneliti
memberikan contoh cara membuat bentuk kamera. Saat peneliti memberikan contoh,
subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan bimbingan dari peneliti. Langkah terakhir
adalah subjek membereskan atau melepaskan semua komponen permainan
konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan kamera, serta menata kembali di
tempat yang sudah disediakan.
Pada intervensi kedua, subjek menunjukkan antusias lebih terhadap permainan
konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika peneliti mengajak subjek
bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah siswa bermain menggunakan
permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk
104
mengukur kemampuan siswa setelah diberikan intervensi kedua menggunakan
permainan konstruktif LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek
masih sama dengan skor tes saat intervensi pertama, yaitu 45.
105
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Rabu, 7 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan III
Pukul : 09.00 – 10.00
Intervensi ketiga dilakukan pada hari Rabu, 7 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-10.00. Materi
pada intervensi ketiga adalah mengulangi materi intervensi kedua dan membuat
bentuk helikopter menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Langkah awal yang harus dilakukan subjek adalah melepaskan komponen
LASY® tersebut dan mengelompokkan sesuai warna. Setelah langkah awal sudah
dilakukan, peneliti dan subjek mulai bermain dengan menggunakan permainan
konstruktif LASY®. Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek
mengulangi materi membuat bentuk kamera secara mandiri. Setelah itu, peneliti
memberikan contoh cara membuat bentuk helikopter. Saat peneliti memberikan
contoh, subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan bimbingan dari peneliti. Langkah
terakhir adalah subjek membereskan atau melepaskan semua komponen permainan
konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan kamera, serta menata kembali di
tempat yang sudah disediakan.
Pada intervensi ketiga, subjek masih menunjukkan antusias lebih terhadap
permainan konstruktif LASY®. Subjek sangat bersemangat, ketika peneliti mengajak
siswa bermain menggunakan permainan tersebut. Setelah subjek bermain
menggunakan permainan tersebut, peneliti memberikan soal tes kemampuan motorik
106
halus untuk mengukur kemampuan subjek setelah diberikan intervensi ketiga
menggunakan permainan konstruktif LASY®. Hasil skor tes kemampuan motorik
halus subjek menunjukkan peningkatan dibandingkan intervensi I-II. Hasil skor tes
kemampuan motorik halus subjek pada intervensi III adalah 48. Kemampuan motorik
halus subjek yang menunjukkan adanya perkembangan, adalah pada aspek
kemampuan memegang pensil dengan ujung ibu jari dan jari telunjuk serta anak
mampu membuat bola-bola ukuran sedang dan kecil menggunakan plastisin.
107
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Kamis, 8 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan IV
Pukul : 09.00 – 10.00
Intervensi keempat dilakukan pada hari Kamis, 8 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-10.00. Materi
pada intervensi ketiga adalah mengulangi materi intervensi ketiga yakni membuat
bentuk helikopter menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Pada saat mulai bermain dengan permainan tersebut, subjek memperhatikan
contoh dari peneliti mengenai langkah-langkah membuat bentuk helikopter. Saat
peneliti memberikan contoh, subjek juga mengikuti sesuai instruksi dan bimbingan
dari peneliti. Langkah terakhir adalah subjek membereskan atau melepaskan semua
komponen permainan konstruktif LASY® yang membentuk bunga dan kamera, serta
menata kembali di tempat yang sudah disediakan.
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti memberikan
soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan siswa setelah
diberikan intervensi keempat menggunakan permainan konstruktif LASY®. Hasil
skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi IV sama dengan intervensi
III, yaitu 48.
108
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Senin, 12 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan V
Pukul : 09.00 – 10.00
Intervensi kelima dilakukan pada hari Senin, 12 Juni 2017 di ruang bimbingan
ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-10.00. Materi
pada intervensi kelima adalah membuat bentuk sepeda roda tiga menggunakan
permainan konstruktif LASY®.
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti
memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan subjek
setelah diberikan intervensi kelima menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Hasil skor tes kemampuan motorik halus siswa pada intervensi V sama dengan
intervensi III dan IV, yaitu 48.
109
CATATAN LAPANGAN
Hari/tanggal : Selasa, 13 Juni 2017
Intervensi : Pertemuan VI
Pukul : 09.00 – 10.00
Intervensi keenam dilakukan pada hari Selasa, 13 Juni 2017 di ruang
bimbingan ABK. Intervensi ini berlangsung selama 60 menit yakni pukul 09.00-
10.00. Materi pada intervensi kelima adalah mengulangi materi intervensi V dan
membuat bentuk bebek menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Setelah subjek bermain menggunakan permainan tersebut, peneliti
memberikan soal tes kemampuan motorik halus untuk mengukur kemampuan subjek
setelah diberikan intervensi keenam menggunakan permainan konstruktif LASY®.
Hasil skor tes kemampuan motorik halus subjek pada intervensi VI sama dengan
intervensi III-V, yaitu 48.
110
Lampiran 4. Perhitungan Stabilitas Data Baseline-1, Intervensi, dan Baseline-2
PERHITUNGAN PRESENTASE STABILITAS FASE BASELINE-1
1. Data Skor = 27, 27, 27
2. Mean Level = Jumlah skor
Jumlah sesi
= 27 + 27 + 27
3
= 27
3. Rentang stabilitas dengan kriteria stabilitas 15% = skor tertinggi x 0.15
= 27 x 0.15
= 4.05
4. Batas atas = mean level + (1/2 x rentang stabilitas)
= 27 + (1/2 x 4.05)
= 29,025
= 29
5. Batas bawah = mean level - (1/2 x rentang stabilitas)
= 27 – (1/2 x 4.05)
= 24,975
= 25
6. Presentase stabilitas = banyak data dalam rentang : banyak data x 100%
= 3 : 3 x 100%
= 100%
7. Keterangan = stabil
111
PERHITUNGAN PRESENTASE STABILITAS FASE INTERVENSI
1. Data Skor = 45, 45, 48, 48, 48, 48
2. Mean Level = Jumlah skor
Jumlah sesi
= 45 + 45 + 48 + 48 + 48 + 48
6
= 47
3. Rentang stabilitas dengan kriteria stabilitas 15% = skor tertinggi x 0.15
= 48 x 0.15
= 7.2
4. Batas atas = mean level + (1/2 x rentang stabilitas)
= 47 + (1/2 x 7.2)
= 50.6
5. Batas bawah = mean level - (1/2 x rentang stabilitas)
= 47 – (1/2 x 7.2)
= 43.4
6. Presentase stabilitas = banyak data dalam rentang : banyak data x 100%
= 6 : 6 x 100%
= 100%
7. Keterangan = stabil
112
PERHITUNGAN PRESENTASE STABILITAS FASE BASELINE-2
1. Data Skor = 56, 57, 57
2. Mean Level = Jumlah skor
Jumlah sesi
= 56 + 57 + 57
3
= 56,67
3. Rentang stabilitas dengan kriteria stabilitas 15% = skor tertinggi x 0.15
= 57 x 0.15
= 8,55
4. Batas atas = mean level + (1/2 x rentang stabilitas)
= 57 + (1/2 x 8.55)
= 61,275
5. Batas bawah = mean level - (1/2 x rentang stabilitas)
= 57 – (1/2 x 8.55)
= 52,725
6. Presentase stabilitas = banyak data dalam rentang : banyak data x 100%
= 3 : 3 x 100%
= 100%
7. Keterangan = stabil
113
Lampiran 5. Dokumentasi Pelaksanaan Baseline
Gambar 1. Subjek menggenggam bola
tenis dengan seluruh permukaan tangan
Gambar 2. Subjek memegang pensil
dengan kelima jari tangannya
Gambar 3. Subjek menebalkan garis
putus-putus huruf abjad
Gambar 4. Subjek sedang menggambar
bentuk manusia
Gambar 5. Subjek sedang membuat bola-
bola kecil menggunakan plastisin
Gambar 6. Subjek sedang membuka dan
melepaskan kancing baju
114
Lampiran 6. Dokumentasi Pelaksanaan Intervensi
Gambar 1. Subjek sedang melepaskan
komponen LASY®
Gambar 2. Subjek sedang membuat
bentuk bunga (Intervensi I)
Gambar 3. Subjek sedang membuat
bentuk kamera (Intervensi II)
Gambar 4. Subjek sedang membuat
bentuk helicopter mini (Intervensi IV)
Gambar 5. Subjek sedang membuat
bentuk bebek
Gambar 6. Subjek sedang membuat
bentuk sepeda roda tiga (Intervensi V)
115
Lampiran 7. Surat Keterangan Validasi
116
Lampiran 8. Surat Pengantar Penelitian
117
Lampiran 9. Surat Ijin Penelitia
118
Lampiran 10. Surat Keterangan Selesai Penelitian