Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL
PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF
BERBASIS LINGKUNGAN
Oleh
Aron Meko Mbete, FIB Universitas Udayana
Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional
“Pendidikan Berbasis Lingkungan Lokal, Nasional, dan Global”
Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata,
Nusa Tenggara Timur
Lewoleba, 20-22 Juli 2017
2
EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL
PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF BERBASIS LINGKUNGAN
Oleh Aron Meko Mbete
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Veronika Genua
Fakultas Kegurian dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores
Abstrak
Secara bahasa-bahasa lokal di Indonesia mulai tergusur oleh bahasa nasional bahasa Indonesia dan bahasa asing. Padahal bahasa-bahasa lokal itu merepresentasikan kemajemukan bangsa Indonesia. Lebih daripada itu, bahasa-bahasa lokal adalah penyatu guyub tuturnya, ciri jati diri, dan penguat karakter keetnikan yang menyangga roh keindonesiaan sebagai negara-bangsa. Bahasa-bahasa lokal yang telah hidup dan terwaris antargenerasi itu sejatinya mengandung kekayaan nilai-nilai kearifan hidup, kehidupan, dan penghidupan. Nilai-nilai dasar dan kearifan hidup itu terekam dalam teks-teks berbahasa lokal sedangkan khazanah pengetahuan dan teknik tradisi mengolah sumber daya alam lokal terekam secara khusus dalam khazanah leksikonnya. Pengetahuan lokal itu layak digali, dipahami, dimanfaatkan dan diberdayakan bahkan dapat dijadikan sumber inspirasi dalam pendidikan karakter dan upaya pengemgangan ekonomi kreatif generasi muda. Upaya terintegrasi sangat penting agar pelestarian bahasa dan budaya lokal serta keberagaman entitas lingkungan tetap terjaga, sekaligus terawat dan terlestarikan bagi generasi mendatang.
Kata-kata kunci: ekoleksikon, ekoteks, pendidikan, pembedayaan, pelestarian.
3
1. Pendahuluan
Ada elemen-elemen budaya lokal yang sudah tergerus dalam kehidupan generasi
penerus bangsa Indonesia. Istilah ketergerusan dimaknai sebagai gejala pudar atau
menyusutnya pengetahuan sebagian (besar) generasi muda tentang kekayaan sumber
daya di lingkungan mereka, baik lingkungan kedaratan, kepesisiran, maupun kelautan.
Perubahan lingkungan ragawi (fisik) dan dinamika kebudayaan khususnya perubahan pola
hidup, pola pikir, dan pola laku generasi baru dalam pelbagai aspeknya, merupakan
faktor-faktor utama penyebabnya. Secara khusus perkembangan dan penggunaan
teknologi mutakhir, khususnya teknologi digital, selain menebarkan kemudahan hidup, di
sisi lain perkembangan teknologi digital itu menjadi faktor yang menjarangkan dan
menggusur interaksi verbal langsung antarsesama manusia. Di mana-mana orang sibuk
dengan telepon selulernya sehingga tegur sapa dan sendagurau semakin langka.
Pengetahuan tentang aneka sumber daya lingkungan, termasuk pengetahuan
tentang budaya lokal itu, sejatinya terekam kuat dalam Kamus Hidup dan atau Kamus
Berjalan yakni pada (ingatan, memory) segelintir penutur tua bahasa-bahasa lokal atau
bahasa daerah. Patut disadarkan terus-menerus bahwa pengetahuan tentang aneka
sumber daya itu justru terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Sementara itu, pendidikan
dan pembelajaran bahasa lokal terasa sudah kurang diberi ruang lagi dalam sistem
pendidikan nasional kita. (Sebagian) generasi muda bangsa malu berbahasa lokal, malu
berbusana lokal, malu menyantap makanan asli, enggan hidup dengan tradisi lokal, dan
kebiaasaan-kebiasaan setempat. Padahal semuanya itu sarat dengan makna dan nilai
kelokalan. Masifnya penyebaran elemen-elemen budaya global yang difasilitasi oleh
kemajuan dan kecepatan teknologi digital, mendasari sikap, pola, dan gaya hidup
(lifestyle). Media sosial yang canggih telah pula menjadi “penakluk” generasi baru. Selain
telah mempermudah generasi baru untuk belajar, kemajuan itu juga menawarkan
kecerdasan artifisal yang patut direnungkan, dan disikapi secara kritis-konstruktif. Sikap
ini penting karena langkah terobosan negatif lebih mementingkan hasil bukan proses dan
4
kerja keras. Di sisi itu budaya urban-global telah membius generasi baru. Kampung dan
desa dengan tradisinya lebih diterima sebagai “masa lalu”, sedangkan budaya kota dan
global adalah masa kini dan masa depan. Selain menyusutnya pengetahuan lokal, krisis
jati diri, lemahnya karakter, serta gejala ketercerabutan dari akar lokal, menjadi persoalan
generasi muda bangsa.
2. Keberagaman sebagai Keunikan dan Keunggulan Bangsa Indonesia
Indonesia adalah negara-bangsa (lihat Kymlicka, 2004). Sebagai negara-bangsa
negeri ini dipilari dengan ratusan etnik dengan aneka bahasa, tradisi, budaya, dan
pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan tentang keanekaragaman yang ada di
lingkungannya. Seperti ditegaskan di atas, kekayaan pengetahuan lokal tentang
keanekaragaman lingkungan itu terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Sekilas lintas,
perspektif linguistik kawasan (area) yang mencakupi Nusantara, dapat menyibak imajinasi
kita. Rumpun bahasa Austronesia dengan wilayah sebaran dari Formosa-Pulau Roti dan
dari Madagaskar-Pulau Rapanui, Selandia Baru sejak berabad-abad telah berbaur dengan
Rumpun Non-Austronesia atau Rumpun Papua. Salah satu kawasan-simpulnya adalah
Kepulauan Solor, Alor, Wetar, Nusa Tenggara Timur, dan tentu pula di daratan Papua,
termasuk Papua New Guinea. Ratusan bahasa dan beragamnya sumber daya alam Papua
misalnya adalah keberagaman Indonesia yang layak disyukuri, dijaga, dirawat. Setelah
dimanfaatkan secara terkendali, kekayaan itu patut dilestarikan, termasuk bahasa-bahasa
lokal dengan kandungan makna dan nilai budayanya.
Disimak dan direnungkan secara lebih dalam, justru di kawasan-simpul
Austronesia-Non-Austronesia atau Trans-Papua itulah, fenomena keberagaman bahasa
(dan tentu pula budayanya) kompleks dan berlapis-lapis, rumit, dan penuh “misteri”
makna baik secara tipologis maupun secara kultural-ekologis (band. Anceaux, 1994).
Itulah kekayaan bangsa yang menjadi kekuatan dan sumber daya budaya, khususnya
sumber daya bahasa sebagai karunia lingual-kultural yang patut dibedah lebih dalam.
Sumber daya bahasa-bahasa itu tidak hanya menjadi lahan kaji keilmuan demi kemajuan
ilmu pengetahun. Aneka bahasa, dalam konteks budaya dan lingkungan alamnya itu,
5
menjadi basis inspirasi, kreasi, dan inovasi anak bangsa demi pengembangan pariwisata
berbasis budaya kebaharian khususnya. Penyingkapan, pemahaman, dan pemberdayaan
sumber daya bahasa-bahasa lokal itu sangat penting. Selain demi penguatan jati diri dan
karakter keindonesiaan anak-anak bangsa, olahan, kemasan, dan sajian baru sumber daya
budaya lokal dengan keunikan dan keunggulannya itu, memiliki nilai lebih dan nilai jual
tersendiri bagi wisatawan nusantara khususnya dan wisatawan macanegara umumnya.
Manfaat praktis tulisan ini menjadi salah satu tawaran bagi generasi muda di pelbagai
wilayah Nusantara dalam melangkah, menata, dan mengisi masa depan.
3. Pendidikan Karakter dan Penguatan Jati Diri Berbasis Bahasa dan Budaya Lokal
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang kaya dengan nilai-nilai kearifan hidup.
Sekali lagi, nilai-nilai itu terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Patut disadari, bahwasanya,
bahasa-bahasa lokal itu sudah sangat lama hidup ratusan bahkan ribuan tahun silam,
sebelum hadirnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing. Sebagai bagian terpadu
dan “sarang” kebudayaan, bahasa tidaklah hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi
praktis dan interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, bahasa-
bahasa lokal tidak boleh digampangkan dan disepelekan kedudukan, fungsi, dan
peranannya dalam kehidupan manusia Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Sebagai
negara-bangsa, bangsa Indonesia tidak boleh mereduksi keberagaman menjadi
keseragaman, dari keanekabahasaan menjadi ketunggakan bahasa, hanya bahasa
Indonesia, tanpa bahasa lokal, ataupun tanpa bahasa-basa asing. Bahasa-bahasa lokal
atau bahasa-bahasa daerah di pelbagai wilayah Tanah Air yang meski secara politik
kedudukannya memang lebih rendah daripada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan bahasa negara, namun bahasa-bahasa lokal itu tidaklah mesti direndahkan
kedudukannya dalam tata nilai kebahasaan, dibandingkan dengan bahasa-bahasa asing
manapun yang hidup di negeri ini. Bahwa bahasa Indonesia harus dikembangkan demi
jati diri, kesatuan, dan keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk, juga bahasa-bahasa
asing dibutuhkan dalam membangun “jembatan” budaya antarbangsa, persoalan jati diri
sebagai bangsa yang majemuk berbasis bahasa adalah keberadaan secara fungsional-
esensial bahasa-bahasa lokal dengan kandungan makna dan nilai yang diwadahinya.
6
Bahasa berdimensi ganda, ada bentuk dan ada makna, ada penanda-petanda, baik
pada tataran leksikon dengan makna leksikal-gramatikalnya, maupun pada tataran
tekstual-kontekstualnya. Volosinov (1973) menegaskan bahwa hanya dengan dan dalam
bahasa sebagai tanda, bahkan sebagai sumber daya simbolis sajalah, gagasan dan adicita
(ideology) hadir, bermakna, dan berfungsi (lihat Thompson, 2004; band. Everett, 2012).
Bahasa pula yang dengan kandungan maknanya itu mengonstruksi nilai dan meracik tata
nilai kehidupan manusia (Barker, 2004). Terutama dengan dan melalui tanda-tanda (sign)
kebahasaan (sebagaimana dalam kajian semiotika) pikiran, gagasan dan adicita diwadahi
secara renik dan kolektiva pada setiap guyub tutur (Everett, 2012). Bahasa, termasuk
bahasa-bahasa lokal/daerah adalah penanda kuat manusia sebagai makhluk budaya.
Di dalam bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa daerah, tersimpan kekayaan
makna budaya dengan kekuatan nilai-nilai kehidupan. Dewasa ini, frasa kearifan lokal
memiliki beban fungsional yang tinggi sesuai dengan kondisi dan orientasi, bahkan filosofi
kebudayaan dan pendidikan bangsa, terutama daam kaitannya dengan pentingnya nilai-
nilai kearifan lokal. Bangsa Indonesia yang kaya dengan keberagaman etnik, jelas sangat
kaya dengan keberagaman budaya dan tradisi,kaya dengan ungkapan verbal, dan
susastra. Patut disadari, betapa kekayaan kebudayaan daerah berbasis lingkungan
keetnikan setakat ini menjadi wacana. Kearifan lokal diwacanakan karena dinamika
kehidupan bangsa, seperti diutarakan di atas, telah mulai menggusur nilai-nilai kearifan
tradisional dalam pelbagai seginya. Ini adalah persoalan serius karena menyangkut isi jati
diri, nilai-nilai kedirian sebagai bangsa yang majemuk, terlebih lagi sebagai sumber daya
bangsa. Seharusnya sumber daya itu menjadi kekuatan, keunikan, dan keunggulan yang
menjadi modal budaya bangsa untuk menegakkan jati diri, berkreasi, berinovasi, dan
bersaing dengan bangsa manapun di bumi ini.
Ada beberapa alasan yang rasional dan argumentatif ihwal sttaregisnya kearifan
lokal digali dan diberdayakan. Pertama, terkait jati diri sebagai bangsa yang bhineka. Jati
diri sebagai Orang Lamaholot, Orang Kedang, Orang Alor, Orang Sikka, Orang Lio-Ende,
Orang Ngadha, Orang Manggarai, Orang Bima, Orang Sasak, Orang Sumbawa, Orang Bali,
Orang Madura, Orang Jawa, Orang Aceh, dan seterusnya pada hakikatnya ditandai dan
7
disangga dengan nilai-nilai kelokalan, khususnya nilai-nilai kebahasaan, adat, dan tradisi
lokal sebagai warisan generasi terdahulu.
Ada alasan yang kedua yang patut direnungkan bahwa dinamika kehidupan
sebagai negara-bangsa, bangsa yang terdiri atas aneka suku bangsa, keberadaan dan
keberlanjutan hidup keetnikan, yang tanpa mesti mengusik sedikitpun keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, NKRI, sedang menghadapi tantangan internal dan
eksternal. Tantangan internal, yang bermula dari dalam etnik itu sendiri adalah gejala
disorientasi dan dislokasi (lihat Azra, 2007). Lingkungan lokal yang menjadi habitat asli
mulai terkoyak karena, selain berubah, perlahan-lahan ditinggalkan oleh para ahli
warisnya, dalam hal ini generasi muda. Ketercerabutan akar nilai kelokalan, termasuk
kesenjangan kearifan hidup berbasis warisan para leluhur mulai tersingkirkan. Sebaliknya,
budaya mutakhir menjadi “sihir” yang menyingkir tradisi, padahal di dalamnya masih
menyimpan nilai-nilai penguat jati diri, penguat karakter, dan sumber inspirasi dan basis
untuk berinovasi.
Ketiga, gerusan arus global yang menggejala kuat merupakan tantangan
kebudayaan dan kepribadian sebagai persoalan juga sangat serius menerpa kehidupan
generasi muda bangsa. Kepribadian sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa lain di bumi
ini, kepribadian yang tangguh, yang kokoh berpijak dan berbasiskan elemen-elemen
kebudayaan lokal, patut digali, dihayati kembali, diperkuat secara bersistem dan
berkelanjutan dalam menghadapi tantangan dan persaingan global. Kembali ke dasar dan
kekuatan lokal dalam kerangka penguatan “Roh” keindonesiaan, dan dengan terbuka
menerima secara selektif nilai-nilai dari luar, hendaklah menjadi pegangan dan arah hidup
bangsa. Memperkuat rasa dan adicita (ideologI) keindonesiaan berbasis nilai-nilai
kearifan lokal adalah sebuah keniscayaan bangsa Indonesia. Setinggi-tinggi terbangnya
bangau, ia tetap mencari tempat hidupnya yang asli dan asali. Sejauh-jauhnya orientasi
dan pengembaraan mental dalam kehidupan manusia Indonesia berkat kemudahan
teknologi informasi-digital misalnya, semestinya ia tetap berpijak kokoh di negerinya
sendiri, negeri yang dipilari aneka suku bangsa.
8
4. Ekoleksikon sebagai Modal Budaya dan Bahan Pendidikan Ekonomi Kreatif
Bahasa sebagai sumber daya dan modal budaya, demikian pula bahasa-bahasa
lokal sebagai basis pengetahuan (yang dapat disaintifikasikan), demikian juga elemen-
elemen teknik tradisional, tersimpan dalam pengetahuan local (local knowledge).
Sebagaimana kearfifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan dan teknik tradisional
adalah warisan generasi terdahulu. Warisan yang berwujud verbal itu masih bermakna
dan bernilai bagi kehidupan dan penghidupan generasi muda bangsa Indonesia. Ini berarti
kekayaan dan keanekaragaman bahasa-bahasa Nusantara yang jumlahnya lebih dari 700
itu menyimpan sumber daya budaya bangsa yang patut digali, dirawat, dan diberdayakan
demi kesejahteraan bangsa, selain demi kekuatan jati diri dan harga diri sebagai bangsa
Indonesia.
Untuk itu, penggalian kembali untuk membangun pemahaman para penutur
muda setiap guyub tutur bahasa lokal di negeri ini, sangat penting. Parut disadari bahwa
pemahaman atas dunia nyata dengan pelbagai entitas-entitasnya yang beranekaragam
itu melibatkan persepsi dan objek sebagai sesuatu yang dialami dan diindrawi. Antara
satuan entitas-entitas yang beragam dengan satuan-satuan lingual, khususnya khazanah
leksikon dan istilah lokal itu ada hubungan pertandaan. Words and objects dovetaled
perfectly (Steiner dalam Fill and Muhshausler, 2001: 30). Kata adalah rumah baru makna
karena kata selalu merujuk pada benda-benda atau hal tertentu yang ada di sekitarnya,
baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam dan memungkinkan kita
mengelompokkan benda ke dalam kelas-kelas tertentu (Taylor dalam Gibbons (Ed)
2002:134-135). Dengan demikian khazanah kata dan ungkapan suatu bahasa adalah
kekayaan pengetahuan tentang dunia sekitarnya sekaligus fakta adaptasi manusia dan
masyarajat dengan lingkungannya.
Khazanah pengetahuan dalam rekaman leksikon dan teks bahasa Lamaholot
tentang keberagaman lingkungan kebaharian atau kelautan, istimewanya pengetahuan
tentang dunia, perburuan yang heroik, dan penangkapan ikan paus dengan tekniknya
yang sangat atraktif itu, merupakan fakta kekayaan budaya kebaharian masyarakat
9
Lamalera yang mengagumkan. Atau juga contoh lain di Pulau Sabu-Raijua. Masyarakat
setempat memiliki pengetahuan tentang due ‘lontar’ dengan segala sumber dayanya
sehingga pohon itu menjadi sumber penghidupan yang menghasilkan gula lontar asli yang
berkhasiat tinggi, selain sebagai simbul kekuatan hidup kerohanian masyarakatnya.
Sumber daya flora lainnya seperti moke ‘énau’ atau aren (jakә dalam bahasa Bali, jemakә
dalam bahasa Sasak), aren (Jawa) dikenal secara renik dan mendalam bagian-bagiannya
secara biologis di sisi seperangkat nama fungsional sebagai fakta budaya, merupakan
khazanah leksikon bahasa-bahasa lokal itu. Kelapa, nyiur, atau juga bambu dan aneka
nama yang seasal (kognasi) lainnya menyimpan perangkat leksikon dan ungkapan kultural
yang menjadi tanda adaptasi masyarakat bahasa-bahasa lokal di nusantara.
Pengetahuan tentang kekayaan leksikon dan ungkapan ekologis itulah sumber
daya yang dapat dikembangkan secara bersistem. Bermula dari pengetahuan yang
lengkap dan komprehensif dalam rekaman verbal bahasa lokal, selanjutnya dielaborasi
lagi. Pengetahuan secara substantif tentang fauna atau flora tertentu dengan karakter
dan kualitasnya itu ada dalam rekaman verbal bahasa lokal. Berdasarkan pemahaman
yang terinci dan lengkap itu, selanjutnya menjadi persepsi dan aksi (lihat Sapir, dalam Fill
dan Mushausler, 2001: 16) kultural yakni pengolahan dalam arti luas itulah yang terekam
sebagai verba-verba khusus. Pengetahuan sistematis yang membangun persepsi, diikuti
dengan tindakan-tindakan produktif mengolah tangkai buah pohon enau betina menjadi
nira dan gula aren bermutu dengan “prosedur baku” versi tradisi itulah teknologi tradisi
ramah lingkungan yang penting dipahami dan dimanfaatkan. Itu pula yang menjdai ciri
dan kekuatan diri bangsa Indonesia, ciri dan kekuatan yang tidak boleh diabaikan begitu
saja oleh generasi uda bangsa. Untuk itu, pendidikan nasional berbasis sumber daya
bahasa dan budaya local menjadi pilihan penting pula.
5. Teks-teks Bahasa Lokal sebagai Sumber Nilai-nilai Kearifan Hidup
Setiap guyub tutur bahasa lokal seperti: Lamaholot, Kedang, Tetun, Dawan, Sikka,
Lio, Ngadha, Manggarai, Bima, Madura, Jawa, Bali, Sasak, Dawan, Lio, Karo, Batak, Gayoh,
Aceh, Nias, dan seterusnya, pasti memiliki ungkapan-ungkapan verbal yang sarat makna
10
dan kaya nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang dijadikan landasan dan tuntunan hidup itu
mencakupi, relasi sebagai makhluk ciptaan yang merawat keharmonisan hidup dengan
Sang Pencipta, maupun relasi dengan lingkungan tempat ia dilahirkan, hidup, berprestasi,
bahkan hingga akhir hidupnya. Bioregion yang nyata, lingkungan hidup dengan habitat
asli dan asali yang telah tersedia dan terwaris sebagai ruang hidup bagi setiap insan
Indonesia pada etnik manapun, seperti juga aneka makhluk hidup lainnya yang hadir
secara turun temurun (lihat Keraf, 2013), sudah selayaknya disadari dan dihargai
sungguh-sungguh. Prinsip-prinsip hidup, kehidupan, dan penghidupan semisal etos kerja
keras, tetap menghormati orangtua dan generasi tua, adalah nilai keniscayaan dan
keutamaan hidup insani dan sosial yang harus tetap dirawat, terutama ditanamkan dari
generasi ke generasi. Inilah jati diri dan karakter bangsa Indonesia.
Sejumlah butir nilai kearifan lokal di negeri yang kaya raya ini boleh saja
dicontohkan berikut ini. Betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkepribadian
yang kokoh dan kaya dengan kearifan lokalnya. Ungkapan arkais gute gelekat sare-sare
“bekerja dan saling melayani” (Bebe, 2014: 152) adalah sekedar contoh kearifan local
masyarakat Lamaholot yang kaya makna dan nilai kehidupan dalam takaran social yang
semestinya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, berlangsung hingga
kapanpun. Perubahan nilai selalu terjadi, namun nilai-nilai kehidupan bersama seperti
yang dicontohkan itu layak ditanamkan dan diwariskan antargenerasi. Demikian pula nilai
keberanian hidup menangkap ikan paus, dengan daya jelajah samudra yang demikian luas
adalah nilai budaya kebaharian yang kaya makna.
Tantangan alam dan lingkungan hidup di Pulau Madura yang sangat menantang,
sebagai contyoh lain, telah melahirkan tenaga dan kekuatan kata: Ambai omba’ asapo’
angen, “Berbantalkan ombak berselimutkan angin’, adalah etos kerja yang sangat
penting, sikap tanpa menyerah”. Demikian pula Kencan palotan kanca taretan ‘teman
adalah saudara’, atau juga Taretan dhibi ‘Saudara sendiri’ mengandung makna saudara
sesuku yang menjalin dan merawat rasa kebersamaan. Butir-butir nilai kearifan hidup
yang diajarkan dan diwariskan itu pada hakikatnya harus tetap dipertahankan dan
menjadi kekuatan jati diri sebagai Orang Madura.
11
Dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang berpilarkan filosofi dan
kearifan hidup bermasyarakat, Ing Ngarso Song Tulodo, Ing madya mangun karso, tut
wuri handayani, adalah kekayaan kearifan lokal pula. Ungkapan verbal berbahasa Jawa
yang dengan nilai-nilai kearifan hidup itu pernah sangat tinggi penggunaan tatkala Orde
Baru melaksanakan penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di
era delapan hingga sembilan puluhan. Ajaran moral Pancasila kala itu terasa sangat kuat
digaungkan dan ditanamkan karena menjadi syarat pegawai dan pelayan masyarakat.
Itulah sebabnya, penanaman nilai-nilai Pancasila kini digalakkan kembali sekarang ini.
Guyub tutur bahasa Bali mengenal dan menjalankan roda kehidupan tridimensi di
atas filosofi Tri Hita Karana, THK, secara normatif dan kreatif, walau tetap dengan
dinamikanya, merawat dan mempertahankan kehidupan masyarakat Bali. THK adalah
filosofi dengan kandungan nilai-nilai kehidupan yang sangat arif dan sangat mendasar.
Merawat keharmonisan hidup dengan Sang Pencipta (Parahyangan) bumi dengan segala
isinya, menjaga hubungan baik dengan sesama (Pawongan) sesama manusia dan menjaga
hubungan baik dengan lingkungan alam (Palemahan), adalah ajaran kearifan dan
kebijaksanaan hidup yang sudah menjadi keniscayaan dan keutamaan. Kearifan hidup itu
ada kemiripannya dengan Dalihan Na Tolu, tiga pilar kehidupan bagi guyub tutur dan
masyarakat Batak. Demikian pula ajaran tentang keutamaan hidup dengan penuh kasih
sayang kepada sesama manusia khususnya, terekam secara verbal dalam bahasa Bali Tat
Twam Asih ‘Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku”. Betapa mencintai sesama
dengan ketulusan, kejujuran, dan dengan pengorbanan yang tulus adalah kearifan dan
guyub tutur dan masyarakat Maluku adalah butir-butir verbal lokal yang sarat makna dan
kaya nilai pula. Persaudaraan sejati, rasa kebersamaan dan kekeluargaan dengan
siapapun, menghargai perbedaan dan menerima perbedaan dengan hati terbuka,
semuanya itu semestinya tetap dihayati, dilaksanakan, dan dirawat terus menerus.
Indonesia adalah negeri yang ramah dan cinta damai. Itulah karakter sejati bangsa ini.
Ungkapan Wuamesu ‘belas kasih’ dalam guyub tutur Lio, Flores adalah juga
cuplikan energy leksikon yang mengandung makna hidup dan kehidupan manusia yang
berdimensi sosial. Berbelas kasihan adalah praktik sosial kehidupan di atas prinsip Cinta-
12
Kasih, cinta kasih kepada sesama. Pada kenyataannya, sesamapun, dalam konteks
pendekatan lingkungan ini, tidaklah hanya sebatas makhluk manusia, melainkan juga
sesama makhluk hidup berupa flora dan fauna. Sebagai makhluk ekologis, wuamesua
mensyaratkan sikap dan perilaku hidup untuk mencintai lingkungannya secara utuh.
Dengan demikian, manusia harus memanfaatkan sungguh-sungguh kekayaan nilai-nilai
kearifan tradisi itu demi kesejatian hidup sebagai manusia dan makhluk sosial-ekologis.
Di atas hanya cuplikan sekilas tentang khazanah kearifan lokal yang ada dalam
bahasa-bahasa lokal nusantara. Sesungguhnya, masih sangat banyak kekayaan bangsa
yang jika digali secara utuh, dipahami secara mendalam, dan dikemas kembali dalam
bahasa-bahasa lokal mutakhir, atau juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
kekayaan nilai kearifan hidup itu dapat dihayati kembali oleh generasi muda. Penguatan
akar kehidupan generasi muda berbasis kearifan lokal adalah peneguhan jati diri dan
karakter manusia dan bangsa Indonesia yang majemuk.
6. Penutup
Selain kekayaan alam yang sangat banyak dan beragam, negara-bangsa Indonesia
dengan ratusan etniknya juga memiliki kekayaan nilai-nilai kearifan hidup dalam rekaman
verbal berbahasa lokal. Nilai-nilai kearifan hidup itu telah dikonstruksi dan diwariskan
oleh generasi tua sejak zaman dahulu kala, sekaligus menjadi tanda yang unik, tanda yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, termasuk
dengan bangsa-bangsa yang ada di sekitar Nusantara. Kekayaan nilai-nilai yang
dikonstruksi oleh generasi terdahulu dan menjadi bukti sejarah bangsa, berkedudukan
sangat sentral dan berfungsi sangat strategis dalam membangun karakter dan jati diri,
nilai diri, dan tentunya harga diri sebagai bangsa. Kekayaan nilai-nilai yang terekam dalam
bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa daerah di pelbagai wilayah Tanah Air itu, kini
mulai redup diterjang arus global. Nilai-nilai lokal yang melandasi dan mengajari kearifan
hidup berbangsa dan bermasyarakat itu mulai ditinggalkan oleh para ahli warisnya.
Memasuki dan menjalani kehidupan global dan pasar bebas, pijakan dan pilar-
pilar kehidupan dan kesejatian diri sebagai manusia dan bangsa Indonesia, pada
hakikatnya tetap bersumberkan nilai-nilai lokal, selain nilai-nilai keindonesiaan baru yang
13
dihasilkan oleh generasi baru. Kelokalan dengan daya hidup keetnikan semestinya tetap
diberi ruang dan peluang hidup. Dengan demikian, kebhinekatunggalikaan, khususnya
keberagaman bahasa, sastra, dan budaya lokal yang kaya dengan nilai-nilai hidup yang
arif itu, sudah seharusnyalah tetap menjadi kekuatan jati diri manusia dan bangsa
Indonesia. Dalam setiap bahasa lokal, terekam nilai-nilai kehidupan yang sangat bijak dan
bestari, baik dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan sesama ciptaan Ilahi,
dengan jagad raya, maupun dengan Sang Pencipta. Kearifan hidup, semuanya menjadi
keniscayaan. Menggali dan menyaringnya kembali, dan terlebih penting lagi memahami,
menghayati, dan memberdayakannya secara bersistem dan berkelanjutan dalam
lembaga-lembaga pendidikan, secara khusus dalam kehidupan keluarga dan sekolah-
sekolah, adalah kearifan, kebijaksanaan, dan merupakan langkah yang sangat strategis
dan sangat penting. Nilai-nilai kearifan lokal dan peradaban bangsa menjadi kekuatan
internal yang patut digali dan diberdayakan kembali, kini dan terutama pada masa yang
akan datang.
Penggalian khazanah pengetaahuan local pelbagai etnik di Tanah Air sangat
penting. Selain memperkuat jati diri dan karakter sebagai bangsa yang majemuk,
khazanah leksikon dan ungkapan bahasa-bahasa lokal merupakan sumber daya budaya
yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan lokal.
Daya adaptasi dan kreasi generasi terdahulu dengan aneka sumber daya lingkungan darat
dan laut, sesungguhnya menjadi khazanah budaya bangsa yang masih hidup hingga kini.
Sumber daya lingkungan yang terekam secara verbal dalam bahasa-bahasa lokal itu patut
digali, didalami, dan diberdayakan bagi generasi juda melalui pendidikan formal dan
informal. Upaya pemberdayaan ini bermanfaat ganda pula demi kelestarian aneka bahasa
dan budaya lokal pula.
Penelitian adalah tugas awal yang sangat penting agar kekayaan budaya bangsa
itu tidak sirna dan lenyap begitu saja ditelan waktu. Penelitian terapan menjadi pilihan
penting demi eksistensi dan revitalisasi bahasa-bahasa lokal itu. Pengkajian yang dalam
dan komprehensif, dengan ancangan pemberdayaan kembali warisan leluhur itu,
merupakan tugas luhur yang tak boleh ditunda. Dinamika dan perubahan yang sangat
14
cepat adalah tantangan yang juga harus dijawab secara akademis dan secara arif pula.
Semoga.
Lewoleba, 20 Juli 2017
15
DAFTAR PUSTAKA
Anceaux, J. C. 1994. Pijar-[ijar Karya Anceaux.Jakarta: RUL
Alisjahbana, Sutan Takdir 1979. Bahasa, Pikiran dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.
Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang.
Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Impluse.
Barker, Chris 2004. Cultural Studies. Teori & Praktik. Diterjemahkan oleh Nurhadi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bebe, Michael Boro 2014. Panorama Budaya Lamaholot: Kekerabatan, Ritus Perjamuan,
Adat Kematian, Rekonsiliasi, dan Bahasa Arkais. Waibalun, Larantuka: YPPS Pres.
Bundsgaard, Jeppe & Sune Steffensen 2000. ‘The Dialectical of Ecological Morphology’
dalam relasi Wacana. Anna Vibeke Lindo, & Jeppe Bundsgaard 2000.
Cassirer, Ernst 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.
Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.
Everett, Daniel 2012. Language: The Cultural Tool. www.profilebooks.com.Lomdon:
Profile Books Ltd.
Fill, Alwin, Peter Muhlhausler (Eds.). The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and
Environment. London and New York: Continuum.
Gibbons, Michael T. 2002. Tafsir Politik. Penerjemah, Ali Noer Zaman. Yogyakarta:
Qalam.
Keraf, Sony 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan.
Yogyakarta: Kanisius.
Kymlicka, Wil 2003. Kewargaan Multikultural. Terjemahan Edlina H. Eddin. Jakarta:
LP3ES.
16
Mbete, Aron Meko 2010. “Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif”.
Denpasar: Program Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana.
----------- 2008 (Penyunting). Bahan Ringan Pembelajaran Etnisitas, Pluralisme, dan
Multikulturalisme: Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Progran Doktor Kajian
Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sapir, Edward 2001 ‘Language and Environment’ dalam Alwin Fill, Peter Muhhausler
(Eds.) 2001. The Ecolinguisics Reader: Language, Ecology and Environment.
London & New York: Continuum.
Skutnabb-Kangas, Tove 2004. On Biolinguistic Diversity-linking language, culture, and
(traditional) ecological knowledge. Regstrup, Denmark: University of Roskilde.
Steiner, George 2001 ‘Language and Gnosis’ dalam Fill and Mushausler (Eds) 2001 The
Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and Environment, London & New York:
Continuum.
Taylor, Charles 2002 ‘Bahasa dan Hakikat Manusia’ dalam Michael T. Gibbons (Ed) 2002.
Tafsir Politik. Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer.
Yogyakarta: Qalam.
Tilaar, H. A. R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta
Thompson, John B. 2004. Analisis Ideologi. Kritik Ideologi-ideologi Dunia. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Vibeke Lindo, Anna & Jeppe Bundsgaard (Eds) 2000. Dialectical Ecolinguistcs. Three
Essays for The Symphosium 30 Years of Language and Ecology in December 2000.
Odense: University of Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology.
Nordisk Institute December 2000.
17