17
1 EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF BERBASIS LINGKUNGAN Oleh Aron Meko Mbete, FIB Universitas Udayana Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Pendidikan Berbasis Lingkungan Lokal, Nasional, dan Global” Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur Lewoleba, 20-22 Juli 2017

EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

1

EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL

PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF

BERBASIS LINGKUNGAN

Oleh

Aron Meko Mbete, FIB Universitas Udayana

Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional

“Pendidikan Berbasis Lingkungan Lokal, Nasional, dan Global”

Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata,

Nusa Tenggara Timur

Lewoleba, 20-22 Juli 2017

Page 2: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

2

EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL

PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF BERBASIS LINGKUNGAN

Oleh Aron Meko Mbete

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Veronika Genua

Fakultas Kegurian dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Abstrak

Secara bahasa-bahasa lokal di Indonesia mulai tergusur oleh bahasa nasional bahasa Indonesia dan bahasa asing. Padahal bahasa-bahasa lokal itu merepresentasikan kemajemukan bangsa Indonesia. Lebih daripada itu, bahasa-bahasa lokal adalah penyatu guyub tuturnya, ciri jati diri, dan penguat karakter keetnikan yang menyangga roh keindonesiaan sebagai negara-bangsa. Bahasa-bahasa lokal yang telah hidup dan terwaris antargenerasi itu sejatinya mengandung kekayaan nilai-nilai kearifan hidup, kehidupan, dan penghidupan. Nilai-nilai dasar dan kearifan hidup itu terekam dalam teks-teks berbahasa lokal sedangkan khazanah pengetahuan dan teknik tradisi mengolah sumber daya alam lokal terekam secara khusus dalam khazanah leksikonnya. Pengetahuan lokal itu layak digali, dipahami, dimanfaatkan dan diberdayakan bahkan dapat dijadikan sumber inspirasi dalam pendidikan karakter dan upaya pengemgangan ekonomi kreatif generasi muda. Upaya terintegrasi sangat penting agar pelestarian bahasa dan budaya lokal serta keberagaman entitas lingkungan tetap terjaga, sekaligus terawat dan terlestarikan bagi generasi mendatang.

Kata-kata kunci: ekoleksikon, ekoteks, pendidikan, pembedayaan, pelestarian.

Page 3: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

3

1. Pendahuluan

Ada elemen-elemen budaya lokal yang sudah tergerus dalam kehidupan generasi

penerus bangsa Indonesia. Istilah ketergerusan dimaknai sebagai gejala pudar atau

menyusutnya pengetahuan sebagian (besar) generasi muda tentang kekayaan sumber

daya di lingkungan mereka, baik lingkungan kedaratan, kepesisiran, maupun kelautan.

Perubahan lingkungan ragawi (fisik) dan dinamika kebudayaan khususnya perubahan pola

hidup, pola pikir, dan pola laku generasi baru dalam pelbagai aspeknya, merupakan

faktor-faktor utama penyebabnya. Secara khusus perkembangan dan penggunaan

teknologi mutakhir, khususnya teknologi digital, selain menebarkan kemudahan hidup, di

sisi lain perkembangan teknologi digital itu menjadi faktor yang menjarangkan dan

menggusur interaksi verbal langsung antarsesama manusia. Di mana-mana orang sibuk

dengan telepon selulernya sehingga tegur sapa dan sendagurau semakin langka.

Pengetahuan tentang aneka sumber daya lingkungan, termasuk pengetahuan

tentang budaya lokal itu, sejatinya terekam kuat dalam Kamus Hidup dan atau Kamus

Berjalan yakni pada (ingatan, memory) segelintir penutur tua bahasa-bahasa lokal atau

bahasa daerah. Patut disadarkan terus-menerus bahwa pengetahuan tentang aneka

sumber daya itu justru terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Sementara itu, pendidikan

dan pembelajaran bahasa lokal terasa sudah kurang diberi ruang lagi dalam sistem

pendidikan nasional kita. (Sebagian) generasi muda bangsa malu berbahasa lokal, malu

berbusana lokal, malu menyantap makanan asli, enggan hidup dengan tradisi lokal, dan

kebiaasaan-kebiasaan setempat. Padahal semuanya itu sarat dengan makna dan nilai

kelokalan. Masifnya penyebaran elemen-elemen budaya global yang difasilitasi oleh

kemajuan dan kecepatan teknologi digital, mendasari sikap, pola, dan gaya hidup

(lifestyle). Media sosial yang canggih telah pula menjadi “penakluk” generasi baru. Selain

telah mempermudah generasi baru untuk belajar, kemajuan itu juga menawarkan

kecerdasan artifisal yang patut direnungkan, dan disikapi secara kritis-konstruktif. Sikap

ini penting karena langkah terobosan negatif lebih mementingkan hasil bukan proses dan

Page 4: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

4

kerja keras. Di sisi itu budaya urban-global telah membius generasi baru. Kampung dan

desa dengan tradisinya lebih diterima sebagai “masa lalu”, sedangkan budaya kota dan

global adalah masa kini dan masa depan. Selain menyusutnya pengetahuan lokal, krisis

jati diri, lemahnya karakter, serta gejala ketercerabutan dari akar lokal, menjadi persoalan

generasi muda bangsa.

2. Keberagaman sebagai Keunikan dan Keunggulan Bangsa Indonesia

Indonesia adalah negara-bangsa (lihat Kymlicka, 2004). Sebagai negara-bangsa

negeri ini dipilari dengan ratusan etnik dengan aneka bahasa, tradisi, budaya, dan

pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan tentang keanekaragaman yang ada di

lingkungannya. Seperti ditegaskan di atas, kekayaan pengetahuan lokal tentang

keanekaragaman lingkungan itu terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Sekilas lintas,

perspektif linguistik kawasan (area) yang mencakupi Nusantara, dapat menyibak imajinasi

kita. Rumpun bahasa Austronesia dengan wilayah sebaran dari Formosa-Pulau Roti dan

dari Madagaskar-Pulau Rapanui, Selandia Baru sejak berabad-abad telah berbaur dengan

Rumpun Non-Austronesia atau Rumpun Papua. Salah satu kawasan-simpulnya adalah

Kepulauan Solor, Alor, Wetar, Nusa Tenggara Timur, dan tentu pula di daratan Papua,

termasuk Papua New Guinea. Ratusan bahasa dan beragamnya sumber daya alam Papua

misalnya adalah keberagaman Indonesia yang layak disyukuri, dijaga, dirawat. Setelah

dimanfaatkan secara terkendali, kekayaan itu patut dilestarikan, termasuk bahasa-bahasa

lokal dengan kandungan makna dan nilai budayanya.

Disimak dan direnungkan secara lebih dalam, justru di kawasan-simpul

Austronesia-Non-Austronesia atau Trans-Papua itulah, fenomena keberagaman bahasa

(dan tentu pula budayanya) kompleks dan berlapis-lapis, rumit, dan penuh “misteri”

makna baik secara tipologis maupun secara kultural-ekologis (band. Anceaux, 1994).

Itulah kekayaan bangsa yang menjadi kekuatan dan sumber daya budaya, khususnya

sumber daya bahasa sebagai karunia lingual-kultural yang patut dibedah lebih dalam.

Sumber daya bahasa-bahasa itu tidak hanya menjadi lahan kaji keilmuan demi kemajuan

ilmu pengetahun. Aneka bahasa, dalam konteks budaya dan lingkungan alamnya itu,

Page 5: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

5

menjadi basis inspirasi, kreasi, dan inovasi anak bangsa demi pengembangan pariwisata

berbasis budaya kebaharian khususnya. Penyingkapan, pemahaman, dan pemberdayaan

sumber daya bahasa-bahasa lokal itu sangat penting. Selain demi penguatan jati diri dan

karakter keindonesiaan anak-anak bangsa, olahan, kemasan, dan sajian baru sumber daya

budaya lokal dengan keunikan dan keunggulannya itu, memiliki nilai lebih dan nilai jual

tersendiri bagi wisatawan nusantara khususnya dan wisatawan macanegara umumnya.

Manfaat praktis tulisan ini menjadi salah satu tawaran bagi generasi muda di pelbagai

wilayah Nusantara dalam melangkah, menata, dan mengisi masa depan.

3. Pendidikan Karakter dan Penguatan Jati Diri Berbasis Bahasa dan Budaya Lokal

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang kaya dengan nilai-nilai kearifan hidup.

Sekali lagi, nilai-nilai itu terekam dalam bahasa-bahasa lokal. Patut disadari, bahwasanya,

bahasa-bahasa lokal itu sudah sangat lama hidup ratusan bahkan ribuan tahun silam,

sebelum hadirnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing. Sebagai bagian terpadu

dan “sarang” kebudayaan, bahasa tidaklah hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi

praktis dan interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, bahasa-

bahasa lokal tidak boleh digampangkan dan disepelekan kedudukan, fungsi, dan

peranannya dalam kehidupan manusia Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Sebagai

negara-bangsa, bangsa Indonesia tidak boleh mereduksi keberagaman menjadi

keseragaman, dari keanekabahasaan menjadi ketunggakan bahasa, hanya bahasa

Indonesia, tanpa bahasa lokal, ataupun tanpa bahasa-basa asing. Bahasa-bahasa lokal

atau bahasa-bahasa daerah di pelbagai wilayah Tanah Air yang meski secara politik

kedudukannya memang lebih rendah daripada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

dan bahasa negara, namun bahasa-bahasa lokal itu tidaklah mesti direndahkan

kedudukannya dalam tata nilai kebahasaan, dibandingkan dengan bahasa-bahasa asing

manapun yang hidup di negeri ini. Bahwa bahasa Indonesia harus dikembangkan demi

jati diri, kesatuan, dan keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk, juga bahasa-bahasa

asing dibutuhkan dalam membangun “jembatan” budaya antarbangsa, persoalan jati diri

sebagai bangsa yang majemuk berbasis bahasa adalah keberadaan secara fungsional-

esensial bahasa-bahasa lokal dengan kandungan makna dan nilai yang diwadahinya.

Page 6: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

6

Bahasa berdimensi ganda, ada bentuk dan ada makna, ada penanda-petanda, baik

pada tataran leksikon dengan makna leksikal-gramatikalnya, maupun pada tataran

tekstual-kontekstualnya. Volosinov (1973) menegaskan bahwa hanya dengan dan dalam

bahasa sebagai tanda, bahkan sebagai sumber daya simbolis sajalah, gagasan dan adicita

(ideology) hadir, bermakna, dan berfungsi (lihat Thompson, 2004; band. Everett, 2012).

Bahasa pula yang dengan kandungan maknanya itu mengonstruksi nilai dan meracik tata

nilai kehidupan manusia (Barker, 2004). Terutama dengan dan melalui tanda-tanda (sign)

kebahasaan (sebagaimana dalam kajian semiotika) pikiran, gagasan dan adicita diwadahi

secara renik dan kolektiva pada setiap guyub tutur (Everett, 2012). Bahasa, termasuk

bahasa-bahasa lokal/daerah adalah penanda kuat manusia sebagai makhluk budaya.

Di dalam bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa daerah, tersimpan kekayaan

makna budaya dengan kekuatan nilai-nilai kehidupan. Dewasa ini, frasa kearifan lokal

memiliki beban fungsional yang tinggi sesuai dengan kondisi dan orientasi, bahkan filosofi

kebudayaan dan pendidikan bangsa, terutama daam kaitannya dengan pentingnya nilai-

nilai kearifan lokal. Bangsa Indonesia yang kaya dengan keberagaman etnik, jelas sangat

kaya dengan keberagaman budaya dan tradisi,kaya dengan ungkapan verbal, dan

susastra. Patut disadari, betapa kekayaan kebudayaan daerah berbasis lingkungan

keetnikan setakat ini menjadi wacana. Kearifan lokal diwacanakan karena dinamika

kehidupan bangsa, seperti diutarakan di atas, telah mulai menggusur nilai-nilai kearifan

tradisional dalam pelbagai seginya. Ini adalah persoalan serius karena menyangkut isi jati

diri, nilai-nilai kedirian sebagai bangsa yang majemuk, terlebih lagi sebagai sumber daya

bangsa. Seharusnya sumber daya itu menjadi kekuatan, keunikan, dan keunggulan yang

menjadi modal budaya bangsa untuk menegakkan jati diri, berkreasi, berinovasi, dan

bersaing dengan bangsa manapun di bumi ini.

Ada beberapa alasan yang rasional dan argumentatif ihwal sttaregisnya kearifan

lokal digali dan diberdayakan. Pertama, terkait jati diri sebagai bangsa yang bhineka. Jati

diri sebagai Orang Lamaholot, Orang Kedang, Orang Alor, Orang Sikka, Orang Lio-Ende,

Orang Ngadha, Orang Manggarai, Orang Bima, Orang Sasak, Orang Sumbawa, Orang Bali,

Orang Madura, Orang Jawa, Orang Aceh, dan seterusnya pada hakikatnya ditandai dan

Page 7: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

7

disangga dengan nilai-nilai kelokalan, khususnya nilai-nilai kebahasaan, adat, dan tradisi

lokal sebagai warisan generasi terdahulu.

Ada alasan yang kedua yang patut direnungkan bahwa dinamika kehidupan

sebagai negara-bangsa, bangsa yang terdiri atas aneka suku bangsa, keberadaan dan

keberlanjutan hidup keetnikan, yang tanpa mesti mengusik sedikitpun keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, NKRI, sedang menghadapi tantangan internal dan

eksternal. Tantangan internal, yang bermula dari dalam etnik itu sendiri adalah gejala

disorientasi dan dislokasi (lihat Azra, 2007). Lingkungan lokal yang menjadi habitat asli

mulai terkoyak karena, selain berubah, perlahan-lahan ditinggalkan oleh para ahli

warisnya, dalam hal ini generasi muda. Ketercerabutan akar nilai kelokalan, termasuk

kesenjangan kearifan hidup berbasis warisan para leluhur mulai tersingkirkan. Sebaliknya,

budaya mutakhir menjadi “sihir” yang menyingkir tradisi, padahal di dalamnya masih

menyimpan nilai-nilai penguat jati diri, penguat karakter, dan sumber inspirasi dan basis

untuk berinovasi.

Ketiga, gerusan arus global yang menggejala kuat merupakan tantangan

kebudayaan dan kepribadian sebagai persoalan juga sangat serius menerpa kehidupan

generasi muda bangsa. Kepribadian sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa lain di bumi

ini, kepribadian yang tangguh, yang kokoh berpijak dan berbasiskan elemen-elemen

kebudayaan lokal, patut digali, dihayati kembali, diperkuat secara bersistem dan

berkelanjutan dalam menghadapi tantangan dan persaingan global. Kembali ke dasar dan

kekuatan lokal dalam kerangka penguatan “Roh” keindonesiaan, dan dengan terbuka

menerima secara selektif nilai-nilai dari luar, hendaklah menjadi pegangan dan arah hidup

bangsa. Memperkuat rasa dan adicita (ideologI) keindonesiaan berbasis nilai-nilai

kearifan lokal adalah sebuah keniscayaan bangsa Indonesia. Setinggi-tinggi terbangnya

bangau, ia tetap mencari tempat hidupnya yang asli dan asali. Sejauh-jauhnya orientasi

dan pengembaraan mental dalam kehidupan manusia Indonesia berkat kemudahan

teknologi informasi-digital misalnya, semestinya ia tetap berpijak kokoh di negerinya

sendiri, negeri yang dipilari aneka suku bangsa.

Page 8: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

8

4. Ekoleksikon sebagai Modal Budaya dan Bahan Pendidikan Ekonomi Kreatif

Bahasa sebagai sumber daya dan modal budaya, demikian pula bahasa-bahasa

lokal sebagai basis pengetahuan (yang dapat disaintifikasikan), demikian juga elemen-

elemen teknik tradisional, tersimpan dalam pengetahuan local (local knowledge).

Sebagaimana kearfifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan dan teknik tradisional

adalah warisan generasi terdahulu. Warisan yang berwujud verbal itu masih bermakna

dan bernilai bagi kehidupan dan penghidupan generasi muda bangsa Indonesia. Ini berarti

kekayaan dan keanekaragaman bahasa-bahasa Nusantara yang jumlahnya lebih dari 700

itu menyimpan sumber daya budaya bangsa yang patut digali, dirawat, dan diberdayakan

demi kesejahteraan bangsa, selain demi kekuatan jati diri dan harga diri sebagai bangsa

Indonesia.

Untuk itu, penggalian kembali untuk membangun pemahaman para penutur

muda setiap guyub tutur bahasa lokal di negeri ini, sangat penting. Parut disadari bahwa

pemahaman atas dunia nyata dengan pelbagai entitas-entitasnya yang beranekaragam

itu melibatkan persepsi dan objek sebagai sesuatu yang dialami dan diindrawi. Antara

satuan entitas-entitas yang beragam dengan satuan-satuan lingual, khususnya khazanah

leksikon dan istilah lokal itu ada hubungan pertandaan. Words and objects dovetaled

perfectly (Steiner dalam Fill and Muhshausler, 2001: 30). Kata adalah rumah baru makna

karena kata selalu merujuk pada benda-benda atau hal tertentu yang ada di sekitarnya,

baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam dan memungkinkan kita

mengelompokkan benda ke dalam kelas-kelas tertentu (Taylor dalam Gibbons (Ed)

2002:134-135). Dengan demikian khazanah kata dan ungkapan suatu bahasa adalah

kekayaan pengetahuan tentang dunia sekitarnya sekaligus fakta adaptasi manusia dan

masyarajat dengan lingkungannya.

Khazanah pengetahuan dalam rekaman leksikon dan teks bahasa Lamaholot

tentang keberagaman lingkungan kebaharian atau kelautan, istimewanya pengetahuan

tentang dunia, perburuan yang heroik, dan penangkapan ikan paus dengan tekniknya

yang sangat atraktif itu, merupakan fakta kekayaan budaya kebaharian masyarakat

Page 9: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

9

Lamalera yang mengagumkan. Atau juga contoh lain di Pulau Sabu-Raijua. Masyarakat

setempat memiliki pengetahuan tentang due ‘lontar’ dengan segala sumber dayanya

sehingga pohon itu menjadi sumber penghidupan yang menghasilkan gula lontar asli yang

berkhasiat tinggi, selain sebagai simbul kekuatan hidup kerohanian masyarakatnya.

Sumber daya flora lainnya seperti moke ‘énau’ atau aren (jakә dalam bahasa Bali, jemakә

dalam bahasa Sasak), aren (Jawa) dikenal secara renik dan mendalam bagian-bagiannya

secara biologis di sisi seperangkat nama fungsional sebagai fakta budaya, merupakan

khazanah leksikon bahasa-bahasa lokal itu. Kelapa, nyiur, atau juga bambu dan aneka

nama yang seasal (kognasi) lainnya menyimpan perangkat leksikon dan ungkapan kultural

yang menjadi tanda adaptasi masyarakat bahasa-bahasa lokal di nusantara.

Pengetahuan tentang kekayaan leksikon dan ungkapan ekologis itulah sumber

daya yang dapat dikembangkan secara bersistem. Bermula dari pengetahuan yang

lengkap dan komprehensif dalam rekaman verbal bahasa lokal, selanjutnya dielaborasi

lagi. Pengetahuan secara substantif tentang fauna atau flora tertentu dengan karakter

dan kualitasnya itu ada dalam rekaman verbal bahasa lokal. Berdasarkan pemahaman

yang terinci dan lengkap itu, selanjutnya menjadi persepsi dan aksi (lihat Sapir, dalam Fill

dan Mushausler, 2001: 16) kultural yakni pengolahan dalam arti luas itulah yang terekam

sebagai verba-verba khusus. Pengetahuan sistematis yang membangun persepsi, diikuti

dengan tindakan-tindakan produktif mengolah tangkai buah pohon enau betina menjadi

nira dan gula aren bermutu dengan “prosedur baku” versi tradisi itulah teknologi tradisi

ramah lingkungan yang penting dipahami dan dimanfaatkan. Itu pula yang menjdai ciri

dan kekuatan diri bangsa Indonesia, ciri dan kekuatan yang tidak boleh diabaikan begitu

saja oleh generasi uda bangsa. Untuk itu, pendidikan nasional berbasis sumber daya

bahasa dan budaya local menjadi pilihan penting pula.

5. Teks-teks Bahasa Lokal sebagai Sumber Nilai-nilai Kearifan Hidup

Setiap guyub tutur bahasa lokal seperti: Lamaholot, Kedang, Tetun, Dawan, Sikka,

Lio, Ngadha, Manggarai, Bima, Madura, Jawa, Bali, Sasak, Dawan, Lio, Karo, Batak, Gayoh,

Aceh, Nias, dan seterusnya, pasti memiliki ungkapan-ungkapan verbal yang sarat makna

Page 10: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

10

dan kaya nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang dijadikan landasan dan tuntunan hidup itu

mencakupi, relasi sebagai makhluk ciptaan yang merawat keharmonisan hidup dengan

Sang Pencipta, maupun relasi dengan lingkungan tempat ia dilahirkan, hidup, berprestasi,

bahkan hingga akhir hidupnya. Bioregion yang nyata, lingkungan hidup dengan habitat

asli dan asali yang telah tersedia dan terwaris sebagai ruang hidup bagi setiap insan

Indonesia pada etnik manapun, seperti juga aneka makhluk hidup lainnya yang hadir

secara turun temurun (lihat Keraf, 2013), sudah selayaknya disadari dan dihargai

sungguh-sungguh. Prinsip-prinsip hidup, kehidupan, dan penghidupan semisal etos kerja

keras, tetap menghormati orangtua dan generasi tua, adalah nilai keniscayaan dan

keutamaan hidup insani dan sosial yang harus tetap dirawat, terutama ditanamkan dari

generasi ke generasi. Inilah jati diri dan karakter bangsa Indonesia.

Sejumlah butir nilai kearifan lokal di negeri yang kaya raya ini boleh saja

dicontohkan berikut ini. Betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkepribadian

yang kokoh dan kaya dengan kearifan lokalnya. Ungkapan arkais gute gelekat sare-sare

“bekerja dan saling melayani” (Bebe, 2014: 152) adalah sekedar contoh kearifan local

masyarakat Lamaholot yang kaya makna dan nilai kehidupan dalam takaran social yang

semestinya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, berlangsung hingga

kapanpun. Perubahan nilai selalu terjadi, namun nilai-nilai kehidupan bersama seperti

yang dicontohkan itu layak ditanamkan dan diwariskan antargenerasi. Demikian pula nilai

keberanian hidup menangkap ikan paus, dengan daya jelajah samudra yang demikian luas

adalah nilai budaya kebaharian yang kaya makna.

Tantangan alam dan lingkungan hidup di Pulau Madura yang sangat menantang,

sebagai contyoh lain, telah melahirkan tenaga dan kekuatan kata: Ambai omba’ asapo’

angen, “Berbantalkan ombak berselimutkan angin’, adalah etos kerja yang sangat

penting, sikap tanpa menyerah”. Demikian pula Kencan palotan kanca taretan ‘teman

adalah saudara’, atau juga Taretan dhibi ‘Saudara sendiri’ mengandung makna saudara

sesuku yang menjalin dan merawat rasa kebersamaan. Butir-butir nilai kearifan hidup

yang diajarkan dan diwariskan itu pada hakikatnya harus tetap dipertahankan dan

menjadi kekuatan jati diri sebagai Orang Madura.

Page 11: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

11

Dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang berpilarkan filosofi dan

kearifan hidup bermasyarakat, Ing Ngarso Song Tulodo, Ing madya mangun karso, tut

wuri handayani, adalah kekayaan kearifan lokal pula. Ungkapan verbal berbahasa Jawa

yang dengan nilai-nilai kearifan hidup itu pernah sangat tinggi penggunaan tatkala Orde

Baru melaksanakan penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di

era delapan hingga sembilan puluhan. Ajaran moral Pancasila kala itu terasa sangat kuat

digaungkan dan ditanamkan karena menjadi syarat pegawai dan pelayan masyarakat.

Itulah sebabnya, penanaman nilai-nilai Pancasila kini digalakkan kembali sekarang ini.

Guyub tutur bahasa Bali mengenal dan menjalankan roda kehidupan tridimensi di

atas filosofi Tri Hita Karana, THK, secara normatif dan kreatif, walau tetap dengan

dinamikanya, merawat dan mempertahankan kehidupan masyarakat Bali. THK adalah

filosofi dengan kandungan nilai-nilai kehidupan yang sangat arif dan sangat mendasar.

Merawat keharmonisan hidup dengan Sang Pencipta (Parahyangan) bumi dengan segala

isinya, menjaga hubungan baik dengan sesama (Pawongan) sesama manusia dan menjaga

hubungan baik dengan lingkungan alam (Palemahan), adalah ajaran kearifan dan

kebijaksanaan hidup yang sudah menjadi keniscayaan dan keutamaan. Kearifan hidup itu

ada kemiripannya dengan Dalihan Na Tolu, tiga pilar kehidupan bagi guyub tutur dan

masyarakat Batak. Demikian pula ajaran tentang keutamaan hidup dengan penuh kasih

sayang kepada sesama manusia khususnya, terekam secara verbal dalam bahasa Bali Tat

Twam Asih ‘Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku”. Betapa mencintai sesama

dengan ketulusan, kejujuran, dan dengan pengorbanan yang tulus adalah kearifan dan

guyub tutur dan masyarakat Maluku adalah butir-butir verbal lokal yang sarat makna dan

kaya nilai pula. Persaudaraan sejati, rasa kebersamaan dan kekeluargaan dengan

siapapun, menghargai perbedaan dan menerima perbedaan dengan hati terbuka,

semuanya itu semestinya tetap dihayati, dilaksanakan, dan dirawat terus menerus.

Indonesia adalah negeri yang ramah dan cinta damai. Itulah karakter sejati bangsa ini.

Ungkapan Wuamesu ‘belas kasih’ dalam guyub tutur Lio, Flores adalah juga

cuplikan energy leksikon yang mengandung makna hidup dan kehidupan manusia yang

berdimensi sosial. Berbelas kasihan adalah praktik sosial kehidupan di atas prinsip Cinta-

Page 12: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

12

Kasih, cinta kasih kepada sesama. Pada kenyataannya, sesamapun, dalam konteks

pendekatan lingkungan ini, tidaklah hanya sebatas makhluk manusia, melainkan juga

sesama makhluk hidup berupa flora dan fauna. Sebagai makhluk ekologis, wuamesua

mensyaratkan sikap dan perilaku hidup untuk mencintai lingkungannya secara utuh.

Dengan demikian, manusia harus memanfaatkan sungguh-sungguh kekayaan nilai-nilai

kearifan tradisi itu demi kesejatian hidup sebagai manusia dan makhluk sosial-ekologis.

Di atas hanya cuplikan sekilas tentang khazanah kearifan lokal yang ada dalam

bahasa-bahasa lokal nusantara. Sesungguhnya, masih sangat banyak kekayaan bangsa

yang jika digali secara utuh, dipahami secara mendalam, dan dikemas kembali dalam

bahasa-bahasa lokal mutakhir, atau juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,

kekayaan nilai kearifan hidup itu dapat dihayati kembali oleh generasi muda. Penguatan

akar kehidupan generasi muda berbasis kearifan lokal adalah peneguhan jati diri dan

karakter manusia dan bangsa Indonesia yang majemuk.

6. Penutup

Selain kekayaan alam yang sangat banyak dan beragam, negara-bangsa Indonesia

dengan ratusan etniknya juga memiliki kekayaan nilai-nilai kearifan hidup dalam rekaman

verbal berbahasa lokal. Nilai-nilai kearifan hidup itu telah dikonstruksi dan diwariskan

oleh generasi tua sejak zaman dahulu kala, sekaligus menjadi tanda yang unik, tanda yang

membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, termasuk

dengan bangsa-bangsa yang ada di sekitar Nusantara. Kekayaan nilai-nilai yang

dikonstruksi oleh generasi terdahulu dan menjadi bukti sejarah bangsa, berkedudukan

sangat sentral dan berfungsi sangat strategis dalam membangun karakter dan jati diri,

nilai diri, dan tentunya harga diri sebagai bangsa. Kekayaan nilai-nilai yang terekam dalam

bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa daerah di pelbagai wilayah Tanah Air itu, kini

mulai redup diterjang arus global. Nilai-nilai lokal yang melandasi dan mengajari kearifan

hidup berbangsa dan bermasyarakat itu mulai ditinggalkan oleh para ahli warisnya.

Memasuki dan menjalani kehidupan global dan pasar bebas, pijakan dan pilar-

pilar kehidupan dan kesejatian diri sebagai manusia dan bangsa Indonesia, pada

hakikatnya tetap bersumberkan nilai-nilai lokal, selain nilai-nilai keindonesiaan baru yang

Page 13: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

13

dihasilkan oleh generasi baru. Kelokalan dengan daya hidup keetnikan semestinya tetap

diberi ruang dan peluang hidup. Dengan demikian, kebhinekatunggalikaan, khususnya

keberagaman bahasa, sastra, dan budaya lokal yang kaya dengan nilai-nilai hidup yang

arif itu, sudah seharusnyalah tetap menjadi kekuatan jati diri manusia dan bangsa

Indonesia. Dalam setiap bahasa lokal, terekam nilai-nilai kehidupan yang sangat bijak dan

bestari, baik dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan sesama ciptaan Ilahi,

dengan jagad raya, maupun dengan Sang Pencipta. Kearifan hidup, semuanya menjadi

keniscayaan. Menggali dan menyaringnya kembali, dan terlebih penting lagi memahami,

menghayati, dan memberdayakannya secara bersistem dan berkelanjutan dalam

lembaga-lembaga pendidikan, secara khusus dalam kehidupan keluarga dan sekolah-

sekolah, adalah kearifan, kebijaksanaan, dan merupakan langkah yang sangat strategis

dan sangat penting. Nilai-nilai kearifan lokal dan peradaban bangsa menjadi kekuatan

internal yang patut digali dan diberdayakan kembali, kini dan terutama pada masa yang

akan datang.

Penggalian khazanah pengetaahuan local pelbagai etnik di Tanah Air sangat

penting. Selain memperkuat jati diri dan karakter sebagai bangsa yang majemuk,

khazanah leksikon dan ungkapan bahasa-bahasa lokal merupakan sumber daya budaya

yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan lokal.

Daya adaptasi dan kreasi generasi terdahulu dengan aneka sumber daya lingkungan darat

dan laut, sesungguhnya menjadi khazanah budaya bangsa yang masih hidup hingga kini.

Sumber daya lingkungan yang terekam secara verbal dalam bahasa-bahasa lokal itu patut

digali, didalami, dan diberdayakan bagi generasi juda melalui pendidikan formal dan

informal. Upaya pemberdayaan ini bermanfaat ganda pula demi kelestarian aneka bahasa

dan budaya lokal pula.

Penelitian adalah tugas awal yang sangat penting agar kekayaan budaya bangsa

itu tidak sirna dan lenyap begitu saja ditelan waktu. Penelitian terapan menjadi pilihan

penting demi eksistensi dan revitalisasi bahasa-bahasa lokal itu. Pengkajian yang dalam

dan komprehensif, dengan ancangan pemberdayaan kembali warisan leluhur itu,

merupakan tugas luhur yang tak boleh ditunda. Dinamika dan perubahan yang sangat

Page 14: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

14

cepat adalah tantangan yang juga harus dijawab secara akademis dan secara arif pula.

Semoga.

Lewoleba, 20 Juli 2017

Page 15: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

15

DAFTAR PUSTAKA

Anceaux, J. C. 1994. Pijar-[ijar Karya Anceaux.Jakarta: RUL

Alisjahbana, Sutan Takdir 1979. Bahasa, Pikiran dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.

Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang.

Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Impluse.

Barker, Chris 2004. Cultural Studies. Teori & Praktik. Diterjemahkan oleh Nurhadi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bebe, Michael Boro 2014. Panorama Budaya Lamaholot: Kekerabatan, Ritus Perjamuan,

Adat Kematian, Rekonsiliasi, dan Bahasa Arkais. Waibalun, Larantuka: YPPS Pres.

Bundsgaard, Jeppe & Sune Steffensen 2000. ‘The Dialectical of Ecological Morphology’

dalam relasi Wacana. Anna Vibeke Lindo, & Jeppe Bundsgaard 2000.

Cassirer, Ernst 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.

Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.

Everett, Daniel 2012. Language: The Cultural Tool. www.profilebooks.com.Lomdon:

Profile Books Ltd.

Fill, Alwin, Peter Muhlhausler (Eds.). The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and

Environment. London and New York: Continuum.

Gibbons, Michael T. 2002. Tafsir Politik. Penerjemah, Ali Noer Zaman. Yogyakarta:

Qalam.

Keraf, Sony 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan.

Yogyakarta: Kanisius.

Kymlicka, Wil 2003. Kewargaan Multikultural. Terjemahan Edlina H. Eddin. Jakarta:

LP3ES.

Page 16: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

16

Mbete, Aron Meko 2010. “Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif”.

Denpasar: Program Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana.

----------- 2008 (Penyunting). Bahan Ringan Pembelajaran Etnisitas, Pluralisme, dan

Multikulturalisme: Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Progran Doktor Kajian

Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sapir, Edward 2001 ‘Language and Environment’ dalam Alwin Fill, Peter Muhhausler

(Eds.) 2001. The Ecolinguisics Reader: Language, Ecology and Environment.

London & New York: Continuum.

Skutnabb-Kangas, Tove 2004. On Biolinguistic Diversity-linking language, culture, and

(traditional) ecological knowledge. Regstrup, Denmark: University of Roskilde.

Steiner, George 2001 ‘Language and Gnosis’ dalam Fill and Mushausler (Eds) 2001 The

Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and Environment, London & New York:

Continuum.

Taylor, Charles 2002 ‘Bahasa dan Hakikat Manusia’ dalam Michael T. Gibbons (Ed) 2002.

Tafsir Politik. Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer.

Yogyakarta: Qalam.

Tilaar, H. A. R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta

Thompson, John B. 2004. Analisis Ideologi. Kritik Ideologi-ideologi Dunia. Yogyakarta:

IRCiSoD.

Vibeke Lindo, Anna & Jeppe Bundsgaard (Eds) 2000. Dialectical Ecolinguistcs. Three

Essays for The Symphosium 30 Years of Language and Ecology in December 2000.

Odense: University of Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology.

Nordisk Institute December 2000.

Page 17: EKOLEKSIKON DAN EKOTEKS SEBAGAI MODAL PENDIDIKAN …

17