Upload
nguyendung
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EKOLOGI PENELURAN DAN INTENSITAS
PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys
insculpta Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP
KABUPATEN ASMAT, PAPUA
RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Peneluran dan Intensitas
Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) di
Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
Richard Gatot Nugroho Triantoro
NRP. E 351100151
ABSTRACT
RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Nesting Ecology and
Utilization Intensity of Pig-nosed Turtle at Vriendschap River Asmat Regency,
Papua. Under direction of MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B. PRASETYO.
Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of
southern Papua. Land clearing for human development and high hunting of
natural resource affect the condition of forest ecosystems and put pressure on pig-
nosed turtle population, while the scientific information in Indonesia is still
lacking. In effort to obtain information of pig-nosed turtle in Indonesia, the study
was conducted to determine the nesting ecology and intensity utilization of pig-
nosed turtle in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried out
in 8 – 25 November 2011 during nesting season. Transect methods were used to
get data on nesting ecology, while unstructured interview and observation
techniques be used to assess the intensity of pig-nosed turtle utilization by
communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua. Results
showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is
clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the
Vriendschap River). High density of nests were built near vegetation cover
compared to area without vegetation. Females prefer sands with the presence of
vegetation cover for nesting habitat. The intensity of utilization is very high for
eggs (> 75%), whereas females turtles were captured only local consumption. Egg
harvesting is done for the whole nest without exception and females turtles were
captured simultaneously while collecting eggs.
RINGKASAN
RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Ekologi Peneluran dan
Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat, Papua. Dibimbing oleh MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B.
PRASETYO.
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu
jenis labi-labi di Indonesia yang hanya hidup di wilayah Selatan Papua.
Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman terutama
akibat perburuan yang tidak terkontrol. Pengelolaan terhadap Labi-labi moncong
babi harus segera dilakukan untuk menjaga kestabilan populasinya di alam dan
mendukung pemanfaatan berkelanjutan. Di Indonesia, informasi yang dibutuhkan
untuk mendukung pengelolaannya masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut
maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ekologi peneluran
dan intensitas pemanfaatannya. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
: 1) jumlah induk bersarang, jumlah sarang dan pola penyebaran sarang, 2) biologi
peneluran, 3) pemilihan habitat bersarang, 4) wilayah pemanfaatan adat C.
insculpta, 5) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem
ekonomi di lokasi pemanfaatan, 6) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 7)
pengumpulan telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.
Metode yang digunakan untuk ekologi peneluran adalah metode survei
dengan sistem transek, sedangkan untuk intensitas pemanfaatan yang digunakan
adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur dan
teknik observasi. Analisis deskriptif dilakukan terhadap sarang peneluran, biologi
peneluran, dan intensitas pemanfaatan. Pola sebaran jejak induk dan sarang
dianalisis menggunakan metode ratio ragam dan indeks, sementara habitat
persarangan dianalisis menggunakan ArcView 3.3 dan Microsoft office excel
2007. Tekstur pasir diperoleh dari hasil analisis di laboratorium tanah IPB.
Parameter fisik lingkungan yang mempengaruhi jumlah jejak induk dan sarang
dianalisis menggunakan Regresi linier.
Jumlah jejak induk (induk bersarang) yang terdata selama waktu penelitian
adalah sebanyak 543 jejak dimana 19 jejak terdapat di wilayah rawa dan 524 jejak
terdapat di wilayah sungai. Jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 131 sarang
dengan sebaran 7 sarang berada di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di
wilayah sungai. Sarang yang dibangun di wilayah Vriendschap mempunyai jarak
yang lebih jauh dari tepi sungai apabila dibandingkan dengan jarak sarang yang
didapati di wilayah peneluran di PNG dan Utara Australia. Analisis terhadap pola
sebaran jejak induk menunjukkan pola sebarannya adalah mengelompok, begitu
pula pola sebaran yang didapati pada sarang. Pengelompokan jejak induk dan
sarang terjadi pada wilayah Obokain yang posisinya berada ditengah dari panjang
Sungai Vriendschap.
Umur atau tingkat kedewasaan induk dapat dilihat dari ukuran karapasnya.
Rata-rata panjang karapas lengkung adalah 48 cm dan panjang karapas tegak lurus
adalah 44 cm. Sarang Labi-labi moncong babi cukup dangkal dengan lubang
permukaan yang kecil karena kedalaman rata-rata hanya mencapai 17 cm dengan
xii
diameter rata-rata sarang di permukaan hampir mencapai 12 cm. Dibandingkan
dengan ukuran Labi-labi moncong babi di wilayah Kikori (PNG) yang aktifitas
pemanenan juga tinggi, panjang kerapas Labi-labi moncong babi dari wilayah
Vriendschap lebih panjang dari panjang kerapas yang terdapat di Kikori. Kualitas
telur yang dihasilkan dari wilayah Vriendschap juga sedikit lebih baik dari
wilayah Kikori. Pada sarang yang digali, tidak ditemukan adanya telur abnormal
seperti yang umumnya ditemukan pada telur penyu.
Kepadatan jejak induk dan sarang pada pasir peneluran yang tidak terdapat
tutupan vegetasi lebih rendah dibandingkan kepadatan jejak induk dan sarang
pada pasir peneluran yang terdapat terdapat tutupan vegetasi. Untuk setiap luasan
pasir peneluran tidak bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk sebesar 4,19/ha
dan kepadatan sarang sebesar 0,23/ha, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh
kepadatan jejak induk sebesar 5,74/ha dan kepadatan sarang sebesar 2,76/ha.
Pada setiap 1 Km panjang pasir (perimeter) diperoleh kepadatan jejak induk pada
pasir tidak bervegetasi sebesar 13,63 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 0,75
sarang/Km, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk
sebesar 18,70 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km.
Kompleksitas bentuk bentang pasir (fractal dimension), keteraturan bentuk
permukaan pasir (shape index), dan ukuran tekstur pasir bukan merupakan dasar
bagi induk Labi-labi moncong babi untuk melakukan aktifitas peneluran. Analisis
regresi menunjukkan bahwa pemilihan pasir peneluran dengan adanya tutupan
vegetasi memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah jejak induk dan jumlah
sarang (P-value jejak = 0,001, R-Sq (adj) jejak = 21,6%; P-value sarang = 0,000,
R-Sq (adj) sarang = 40,8%; α = 0,05; n = 48).
Wilayah pemanfaatan telur di Vriendschap secara adat terbagi atas lima
(5) wilayah yang meliputi Bor (rawa) yang berada dibawah adat suku Betkuar,
Bor (sungai), Obokain yang berada dibawah adat suku Diai dan Dini, dan Indama
dan Sumo yang berada dibawah adat suku Momuna. Wilayah pemanfaatan telur
merupakan wilayah yang jauh dari lokasi kampung masyarakat. Kondisi tersebut
menyebabkan tidak terjadinya pemanfaatan lahan yang intensif pada wilayah
pemanfaatan ini, selain karena sifat masyarakat lokal yang dalam memenuhi
kebutuhannya hidupnya masih dominan bergantung dari ketersediaan sumber
daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dari tumbuhan oleh masyarakat lokal
di lokasi pemanenan meliputi sagu dan pucuk rotan, sedangkan dari satwa liar
meliputi kura-kura, buaya, babi hutan, kasuari, ular, ikan, dan ulat sagu.
Pengelolaan pemanenan telur pada wilayah Bor (rawa) dan Obokain didapati
adanya kerjasama dengan pencari telur dari luar komunitas masyarakat adat,
sedangkan pada wilayah Sumo tidak didapati kerjasama tersebut. Perburuan telur
dan kerjasama yang terjadi menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan
yang meliputi sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan
langsung tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli.
Intensitas pemanenan sarang (telur) termasuk kelas sangat tinggi yaitu
mencapai 100% karena keseluruhan sarang yang ditemui di seluruh wilayah
pemanenan dibongkar, digali, dan telurnya diambil seluruhnya tanpa menyisakan
sebutir telur dalam sarang alaminya. Pemanenan telur dilakukan sebelum
matahari terbit (jam 04.00 WIT). Pengecekan sarang dilakukan dengan menusuk-
nusuk pasir menggunakan tongkat yang ujungnya diberi besi. Sarang yang
ditemukan ditandai dan menjadi milik kelompok yang menemukan. Induk yang
ditemukan saat pengecekan sarang masih berada di pasir, ikut ditangkap untuk
dikonsumsi. Jumlah induk yang ditangkap tidak ada ketentuan tergantung dari
jumlah kelompok (keluarga), persediaan pada hari selanjutnya apabila tidak
ditemui induk, dan kapasitas angkut perahu. Pemanfaatan telur lebih diutamakan
sebagai sumber ekonomi dengan menjual dalam bentuk barter atau hasil tetasan
(tukik). Konsumsi telur sebagai sumber makanan hanya dilakukan terhadap telur-
telur yang diprediksi rusak akibat proses pemanenan. Pemanfaatan pada induk
ditemukan berbeda dengan pemanfaatan pada telur karena pemanfaatan induk
didasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber
makanan (protein) dibanding untuk mendapatkan uang (dijual).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EKOLOGI PENELURAN DAN INTENSITAS
PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys
insculpta Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP
KABUPATEN ASMAT, PAPUA
RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Tesis : Ekologi Peneluran dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi
Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886)
Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua
Nama Mahasiswa : Richard Gatot Nugroho Triantoro
Nomor Pokok : E351100151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Konservasi Biodiversitas Tropika
Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 4 Oktober 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala berkat dan kasih-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan bulan November 2011 ini memilih tema ekologi peneluran dan
pemanfaatan satwa liar dengan judul “Ekologi Peneluran dan Intensitas
Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886)
di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat”. Tesis ini dibuat dalam dua
makalah terpisah untuk memudahkan penulisan dan pemahaman substansinya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini,
M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Nirsatmanto, M.Sc dalam
memperlancar aksesibilitas ke lokasi penelitian dan Bapak Yohannes Wibisono,
S.Hut yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu, istri dan anak, serta seluruh
keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-
rekan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) 2010, penulis sampaikan
terimakasih atas segala kebersamaan dan bantuannya saat menjalani pendidikan
pascasarjana.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan memberi
kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam oleh manusia.
Bogor, Oktober 2012
Richard Gatot Nugroho Triantoro
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 24 Februari 1972 sebagai
anak ke tiga dari pasangan Albertus Magnus Soemarlan dan Ibu Albertina Sri
Rahayu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan,
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, lulus tahun
1996. Tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Konservasi Biodiversitas
Tropika pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya tahun 2012.
Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan sebagai
peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sejak tahun 2001, dengan
jabatan terakhir saat menempuh pendidikan magister sebagai peneliti muda.
Bidang penelitian yang menjadi profesionalisme penulis adalah Konservasi
Sumber Daya Alam dengan spesifikasi satwa liar terutama dari kelompok reptil.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxvi
PENGANTAR PARIPURNA ............................................................................... 1
Makalah I :
EKOLOGI PENELURAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys
insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA
1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 9
2. METODE PENELITIAN .............................................................................. 13
2.1. Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 13
2.2. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 13
2.3. Analisis Data ............................................................................................ 17
3. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 23
3.1. Hasil .......................................................................................................... 23
3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran ......................................... 23
3.1.2. Biologi Peneluran ............................................................................... 25
3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap ...................... 26
A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension
dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ...................................... 26
B. Tekstur Pasir ....................................................................................... 26
C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ....................................................... 28
3.2. Pembahasan .............................................................................................. 30
3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys
insculpta ............................................................................................. 30
3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta ........................................ 36
3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) Di Sungai Vriendschap ..................... 38
A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)
dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ...................................... 38
B. Tekstur Pasir ....................................................................................... 39
C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ....................................................... 41
3.2.4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Peneluran Carettochelys
insculpta Di Sungai Vriendschap ....................................................... 47
4. SIMPULAN .................................................................................................... 51
xx
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 57
Makalah II :
INTENSITAS PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI
(Carettochelys insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN
ASMAT, PAPUA
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 77
2. METODE PENELITIAN.............................................................................. 83
2.1. Lokasi dan Waktu .................................................................................... 83
2.2. Jenis Data ................................................................................................. 83
2.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 84
2.5. Analisis Data ............................................................................................ 85
3. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 87
3.1. Hasil ......................................................................................................... 87
3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta .................................. 87
3.1.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem
Ekonomi ............................................................................................. 88
3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta .................... 90
3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys
insculpta ............................................................................................. 92
3.2. Pembahasan .............................................................................................. 93
3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta .................................. 93
3.2.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem
Ekonomi ............................................................................................. 94
3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta .................... 99
3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys
insculpta ........................................................................................... 100
4. SIMPULAN .................................................................................................. 105
Daftar Pustaka ................................................................................................... 107
Lampiran ............................................................................................................ 111
Pembahasan Paripurna ..................................................................................... 115
Daftar Pustaka ................................................................................................... 127
Rangkuman Simpulan dan Saran .................................................................... 131
DAFTAR TABEL
Halaman
I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .......... 24
I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .. 25
I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3 wilayah
pemanfaatan di Sungai Vriendschap. ........................................................... 29
I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
berdasarkan luasan pasir .............................................................................. 28
I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi Moncong Babi di Sungai
Vriendschap.berdasarkan perimeter ............................................................. 28
I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan
vegetasi. ........................................................................................................ 29
I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah
Wamena (Pegunungan) .... 32
I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan beberapa
sungai di wilayah PNG dan Utara Australia ............................................... 35
I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap
dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia. ................... 36
I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-labi
moncong babi di Sungai Vriendschap.......................................................... 38
II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi Moncong Babi ………..……………. 85
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara ................................... 4
2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap ............................................... 4
3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap............................ 6
I.1 Lokasi penelitian sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap.................................................................................................. 13
I.2 Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi .......................................... 14
I.3 Pengukuran kerapas induk Labi-labi moncong babi. ................................... 15
I.4 Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi. .................................. 15
I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. .. 23
I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang
Sungai Vriendschap. .................................................................................... 24
I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta pada
bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap. .............................. 24
I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di wilayah
Sungai Vriendschap ..................................................................................... 26
I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di
sepanjang Sungai Vriendschap .................................................................... 29
I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di tepi sungai dan rawa
Vrienschap.................................................................................................... 40
I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)
di wilayah Sungai Vriendschap .................................................................... 42
I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi
moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ............................................ 43
II.1 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di wilayah
Sungai Vriendschap. .................................................................................... 83
II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Labi-labi moncong babi pada
wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah Sungai Vriendschap. .. 87
xxiv
II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan
pekerjaan ………………………………………………………………….. 89
II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanfaatan telur
Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ............................. 89
II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
berdasarkan (a) suku dan (b) kampung......................................................... 91
II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur Labi-labi
moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap. ........................................... 91
II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys insculpta di
wilayah Sungai Vriendschap. ..................................................................... 102
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
I.1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi moncong babi
(Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap. ......................... 59
I.2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat .......... 61
I.3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape index,
fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi. .......................... 63
I.4 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap.................................................................................................. 65
I.5 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap.................................................................................................. 67
I.6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir, perimeter,
shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi. .... 69
I.7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir, perimeter,
shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi ..... 73
I.8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat ......................................................................................... 77
II.1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai
Vriendschap.............................................................................................. 1117
1
PENGANTAR PARIPURNA
Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi, pig-nosed turtle)
termasuk dalam famili Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari
famili ini yang masih tersisa di dunia. Kura-kura ini merupakan salah satu jenis
berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New Guinea dan Australia
Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly
pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges
dan Kennett 1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua
bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana.
C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh hidupnya selalu
di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Habitat hidupnya di
Sungai Vriendschap meliputi rawa dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu,
cabang atau anak sungai, juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak
didapati pasir peneluran (Triantoro dan Rumawak 2010), sungai (termasuk
estuaria dan delta sungai), laguna rumput, rawa, danau, dan cekungan berair dari
dataran rendah dibagian selatan Papua New Guinea (Georges et al. 2006, 2008a),
sementara habitat penelurannya dilakukan pada pasir peneluran (sand bank) yang
terdapat di sepanjang sungai atau rawa. Pemilihan habitat terjadi ketika
ketersediaan habitat digunakan proporsional dan tipe habitat yang tersedia
berbeda pada setiap spesies (Rasmussen dan Litzgus 2010a).
Kebanyakan amfibi dan reptil bergerak relatif sedikit selama seumur hidup
mereka kecuali ketika mereka berkembang biak dan pada kura-kura, pergerakan
di habitatnya dapat disebabkan oleh adanya musim peneluran, perkawinan,
perubahan iklim, ketersediaan makanan, maupun persaingan dalam populasi,
sedangkan pergerakan meninggalkan habitat perairan dilakukan untuk menggali
sarang, mencari pasangan, melewati musim dingin, atau mencari habitat akuatik
baru ketika aliran atau kolam mengering (Vitt dan Caldwell 2009). Pola
pergerakan yang terjadi tidak sama antara jenis yang satu dengan jenis lainnya.
Pada jenis Map Turtles (Graptemys geographica), pola pergerakan di lingkungan
lotik (sungai St. Lawrence) dan lentik (danau Opinicon) memberikan perbedaan
dimana pola pergerakan atau daya jelajah pada lingkungan lentik (danau) tidak
2
dipengaruhi oleh ukuran klas reproduksi (betina dewasa, betina muda, dan jantan),
tetapi pada lingkungan lotik (sungai) betina dewasa mempunyai daya jelajah lebih
luas dan lebih besar dibandingkan betina muda dan pejantan (Carriére et al. 2009).
Pada lingkungan lahan basah (wet land), pergerakan perpindahan Chelodina
longicollis jantan dewasa diantara lahan basah dengan jarak yang ditempuh,
mempunyai perpindahan lebih panjang dibanding betina dewasa dan betina muda
karena ukuran tubuh kura-kura jantan yang kecil memberikan peranan penting
terhadap pergerakan pada lahan basah (Roe et al. 2009). Untuk jenis C. insculpta,
pergerakan dalam penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina
bertelur dan tidak bertelur tetapi C. insculpta betina mempunyai wilayah jelajah
lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002).
Musim peneluran C. insculpta di Sungai Vriendschap terjadi pada
pertengahan Agustus sampai pertengahan Desember (Triantoro dan Rumawak
2010). Di Sungai Daly, C. insculpta dapat bertelur dua kali dalam setahun musim
peneluran (Doody et al. 2000) dan melakukan aktifitas peneluran di malam hari
pada saat air pasang maupun pada saat air surut (Georges et al. 2008b). Sarang
yang dibangun di Sungai Vriendschap berdiameter 12 – 16 cm dengan kedalaman
18 – 23 cm (Triantoro dan Rumawak 2010), sedangkan kedalaman sarang di
Australia Utara berkisar 10 – 22 cm (Doody et al. 2000).
C. insculpta merupakan hewan omnivorous yaitu hewan yang
mengkonsumsi tumbuhan dan hewan lain sebagai sumber pakannya seperti buah
pandan batu, daun Melaleuca spp, biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous,
dan materi hewan yang meliputi siput air tawar (Thiaridae sp), Water boatmen
(Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes scutellaris Germ.), Hydrophilus
latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et
al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon Pandanus aquaticus, buah-
buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan
dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia)
(Georges dan Kennett 1989).
Di Indonesia, C. insculpta merupakan satwa dilindungi berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh
PP No. 7 Tahun 1999, dan dalam perdagangan dimasukkan ke dalam Apendix II
3
CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and
Fauna) (UNEP-WCMC 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCN Red List
of Threatened Species (IUCN 2010). Dengan status perlindungan tersebut kuota
terhadap C. insculpta belum bisa diberikan, namun yang terjadi di alam adalah
pemanenan terutama terhadap telurnya terus terjadi dari tahun ke tahun.
Pemanenan yang tinggi terhadap telur C. insculpta dari alam selama ini berasal
dari kawasan Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, tetapi sejauh mana tingkat
pemanfaatannya juga belum diketahui. Kondisi tersebut cukup disayangkan
mengingat informasi mengenai C. insculpta baik informasi dasar dan tingkat
pemanfaatannya di Indonesia masih sangat kurang. Tanpa adanya informasi
terhadap suatu jenis satwa maka dasar pengelolaannya masih sangat jauh dari
harapan karena informasi dasar mengenai populasi dan biologi suatu jenis
merupakan hal yang penting dalam pengelolaannya (Alikodra 2002).
Kawasan Sungai Vriendschap terdiri atas wilayah sungai dan wilayah
rawa dimana bagian hulunya bertemu dengan muara Sungai Baliem dan Sungai
Seng yang mengalir dari wilayah pegunungan, sedangkan bagian hilirnya (muara)
bertemu dengan muara Sungai Catarina. Anakan ataupun alur sungai yang
terbentuk saat banjir dan terputus di saat sungai surut sangat banyak didapati.
Tepian Sungai Vriendschap maupun di dalam kawasan rawanya, termasuk
didalamnya alur-alur sungai, terdapat kumpulan pasir (sandbank) yang sangat
berpotensi sebagai tempat peneluran atau persarangan kura-kura air tawar,
terutama dari jenis labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta). Panjang
Sungai Vriendschap mulai hulu (pertemuan dengan sungai Baliem dan Seng)
sampai muara (pertemuan dengan Sungai Catarina) adalah ± 110 km. Sebagai
gambaran panjang Sungai Vriendschap dan posisi kumpulan pasir di tepi sungai
dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
4
Sumber peta : Google earth (2011)
Gambar 1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara
Sumber peta : Google earth (2011) dikombinasi dengan hasil penelitian 2011
Gambar 2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap
Jarak Sungai Vriendschap dari Agats sebagai ibukota kabupaten Asmat
cukup jauh karena sebagian sudah berada atau berbatasan dengan wilayah
5
Kabupaten Yahukimo. Secara administratif belum disepakati antara Pemerintah
Daerah (Pemda) Kabupaten Asmat dengan Pemda Kabupaten Yahukimo, apakah
pemukiman (kampung) di Vriendschap masuk dalam wilayah administratif
Kabupaten Asmat atau Yahukimo, namun aksesibilitas masyarakat di
Vriendschap dalam menjual dan membeli kebutuhan hidup lebih banyak
dilakukan ke wilayah Kabupaten Asmat, seperti Jinak, Waganu, Atsy, Distrik
Akat, maupun sampai ke Agats sendiri. Saat sungai Vriendschap meluap
perjalanan dapat dilakukan dengan speed boat 40 PK sampai di lokasi pemanenan
telur, sedangkan apabila sungai surut perjalanan hanya dapat dilakukan sampai di
Kolam Tujuh dan dilanjutkan kembali menggunakan perahu tempel 15 PK atau
mesin Katinting. Kolam Tujuh merupakan nama sebuah tempat sebelum
memasuki Sungai Vriendschap yang dihuni oleh para pencari gaharu (terutama
masyarakat pendatang) sejak lama. Aktifitas utama masyarakat ditempat tersebut
adalah sebagai pencari dan penadah hasil gaharu dari masyarakat lokal, sedangkan
aktifitas lainnya adalah menjual berbagai kebutuhan kelontong (berdagang).
Pergerakan masyarakat kedalam, keluar dan selama di wilayah Sungai
Vriendschap hanya dilakukan menggunakan perahu dan hampir keseluruhan
perahu sudah menggunakan mesin (terutama) katinting. Kebutuhan terhadap
sarana transportasi tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap kepemilikan
perahu bermesin sangat tinggi pada seluruh lapisan masyarakat. Kesulitan Bahan
Bakar Minyak (BBM) jenis bensin yang digunakan saat musim perburuan telur
maupun bukan musim perburuan, dan dalam menunjang aktifitas masyarakat antar
kampung, menuju ibukota distrik dan ibukota Kabupaten Agats, membuat
penggunaan mesin perahu didominasi oleh mesin katinting karena lebih irit, tidak
memerlukan oli sebagai campuran bensin, dan masih dapat digunakan walau
sudah pernah tenggelam ke dalam sungai. Gambaran rentang jarak Agats sebagai
ibukota kabupaten dengan wilayah sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar
3.
6
Gambar 3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap.
Wilayah Sungai Vriendschap merupakan wilayah terbuka, dataran rendah,
dengan ketinggian 9 – 65 m dpl mulai dari wilayah Bor (rawa) sampai wilayah
Sumo. Suhu lingkungan di pagi hari berkisar 23.5 – 26.2 ⁰C (Rata-rata = 24,6 ±
0.8) dengan kelembaban relatif berkisar 83 – 99% (Rata-rata = 92.0 ± 4.8), suhu
di siang hari berkisar 27.9 – 42.1 ⁰C (Rata-rata = 34.1 ± 4.2) dengan kelembaban
relatif berkisar 35 – 73% (Rata-rata = 55.1 ± 10.4), dan suhu di malam hari
berkisar 23.6 – 28.6 ⁰C (Rata-rata = 25.6 ± 1.1) dengan kelembaban relatif
berkisar 79 – 97% (Rata-rata = 89.3 ± 5.4).
Minimnya informasi dasar terkait jenis C. insculpta di Indonesia
mendorong penelitian ini dilakukan. Informasi yang dicari dalam penelitian ini
meliputi sebaran sarang yang dilakukan dengan pendekatan jumlah sarang, biologi
peneluran yang meliputi karakteristik morfologi induk betina, telur dan sarang,
serta mengetahui intensitas pemanfaatan telurnya oleh masyarakat. Hasil
penelitian disajikan dalam 2 (dua) bentuk makalah dengan judul yaitu :
I. Ekologi peneluran Carettochelys insculpta (Ramsay, 1886) di Sungai
Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui
7
karakteristik induk betina, ukuran sarang, ukuran dan jumlah telur dalam
aktifitas peneluran, pola sebaran sarang dan kepadatan sarang Labi-labi
moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah sungai Vriendschap,
Kabupaten Asmat, Papua.
II. Intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) di Sungai
Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui
intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)
yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang bermukim di sekitar
wilayah Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.
Wilayah sebaran C. insculpta di Sungai Vriendschap sampai saat ini bukan
merupakan kawasan konservasi dan meliputi wilayah yang cukup luas. Sebaran
sarang dan habitat penelurannya juga menyebar dalam rentang yang cukup
panjang mengikuti alur Sungai Vriendschap dengan banyak alur-alur sungai yang
menyertai didalamnya. Disisi lain, jenis ini di Indonesia merupakan satwa yang
dilindungi karena wilayah sebarannya yang terbatas di Papua bagian selatan.
Walaupun termasuk jenis dilindungi, perburuan telur dan perdagangan illegal
anakannya terus terjadi dengan ditemukannya jenis ini di pasar penjualan satwa
dalam dan luar negeri. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat
berguna dalam :
1. Memberikan informasi terkait sebaran sarang dan pemilihan pasir peneluran
Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.
2. Memberikan informasi terkait biologi peneluran Labi-labi moncong babi di
wilayah Sungai Vriendschap.
3. Memberikan informasi terkait intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi
yang terjadi di wilayah Sungai Vriendschap
4. Menyusun manajemen pengelolaan Labi-labi moncong babi kedepannya
terkait pengelolaan wilayah (pemanfaatan dan perlindungan) dan kelestarian
jenis.
9
Makalah I
EKOLOGI PENELURAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI
SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA
(Nesting Ecology of Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) at Vriendschap River
Asmat Regency, Papua)
Richard Gatot Nugroho Triantoro
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Pascasarjana IPB
Email : [email protected]
ABSTRACT
Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of
southern Papua. Land clearing for human development affect the condition of
forest ecosystems and put pressure on C. insculpta, while the scientific
information in Indonesia is still lacking. In effort to obtain information of C.
insculpta in Indonesia, the study was conducted to determine the nesting ecology
of C. insculpta in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried
out in 8 – 25 November 2011 during nesting season by transect methods. Results
showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is
clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the
Vriendschap River). Nesting occurred during sunset (night) and in clear weather
(no rain). High density of nests were built near vegetation cover compared to area
without vegetation. Females prefer the sands with the presence of vegetation
cover for nesting habitat.
Key Words : Carettochelys insculpta, Papua, pressure, Vriendschap River, nesting
ecology
1. PENDAHULUAN
Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi) merupakan salah satu
jenis labi-labi di Indonesia yang hanya didapati hidup di wilayah Selatan Papua,
menyebar dari Danau Yamur di Kabupaten Kaimana sampai ke Merauke.
Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman yang
dapat terjadi seiring perkembangan pembangunan. Kebutuhan ruang untuk
pembangunan diberbagai bidang seperti pembukaan lahan untuk perkebunan,
pertanian, pemukiman (transmigrasi), pertambangan, pembangunan bendungan,
10
dan sarana transportasi yang berkembang pesat di Papua ikut mempengaruhi
kondisi ekosistem hutannya dengan cepat pula. Tekanan pada C. insculpta telah
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia)
dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia,
kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai
setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga
2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi Labi-
labi moncong babi (Georges et al. 2008a). Tanpa disadari proses degradasi
habitat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menyebabkan
kehilangan atau kepunahan spesies. Dampak degradasi hutan terhadap hilangnya
spesies diungkapkan oleh Arief (2001) yang mengatakan bahwa sepetak hutan
kecil yang dirusak dapat mengakibatkan banyak spesies yang hilang sama sekali
atau punah secara lokal. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan fragmentasi
telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke jurang
kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009).
Di alam, Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang membuat sarang
di pasir, meletakkan telurnya pada sarang yang dibangun dan menyerahkan proses
penetasan sepenuhnya pada alam. Sarang-sarang C. insculpta umumnya terdapat
pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan
air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah
dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah,
didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat
mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, sekumpulan pasir dengan
sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di
atas air (Doody et al. 2003b), pasir pada tepi sungai atau rawa, substrat pasir halus
sampai bercampur kerikil (Triantoro dan Rumawak 2010). Keberhasilan
penetasan telur-telurnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti
faktor panas, tekstur pasir, kelembaban pasir, luas pasir, tutupan vegetasi pasir,
predator, rusaknya sarang dan telur akibat terendam air saat sungai meluap, dan
faktor pemangsa seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).
11
Informasi terkait spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau
dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Dengan mengetahui informasi
terkait populasi, biologi peneluran, habitat hidup, perilaku bertelur, pemilihan
habitat persarangan, dan informasi pendukung lainnya, maka manajemen
pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan
baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam
penelitian ini dapat diketahui pola sebaran sarang dan biologi penelurannya.
Pengujian secara ekologi dilakukan untuk mengetahui informasi terkait
pola sebaran sarang dan biologi peneluran yang dapat menjadi indikator dalam
upaya pengelolaan dan konservasi C. insculpta kedepannya. Pertama, survei
dilakukan di sepanjang sungai dan rawa untuk mendapatkan jumlah sarang secara
akurat dan jumlah pasir peneluran, baik yang terdapat sarang maupun tidak
terdapat sarang. Pengukuran terhadap induk betina, sarang dan telur dilakukan
untuk melihat karakteristik morfologi induk, ukuran sarang, ukuran telur dan
jumlah telur terkait tingkat kedewasaan induk betina dan mengestimasi calon
anakannya. Jumlah sarang digunakan sebagai salah satu cara pendekatan terhadap
populasi induk C. insculpta maupun calon regenerasinya (anakan) di alam.
Kedua, menguji pola sebaran sarang apakah bersifat acak, homogen atau
berkelompok. Kepadatan sarangnya diuji berdasarkan luasan pasir dan perimeter
pasir pada pasir peneluran bervegetasi dan tanpa vegetasi. Pola sebaran dan
kepadatan sarang dapat memberikan informasi terkait wilayah bersarang
potensial.
Ketiga, menguji pemilihan habitat bersarang induk betina C. insculpta
terhadap pasir peneluran berdasarkan parameter lingkungan yaitu 1) apakah
pemilihan didasarkan atas luasan pasir peneluran, 2) apakah pemilihan didasarkan
atas perimeter (perimeter) pasir, 3) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk
bentang (fractal dimension) pasir, 4) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk
permukaan (shape index) pasir, 5) apakah pemilihan didasarkan atas tekstur pasir
(halus, sedang, kasar), dan atau 6) apakah pemilihan didasarkan atas luas tutupan
vegetasi pasir peneluran. Pada penelitian ini ingin diketahui parameter fisik
lingkungan yang paling mempengaruhi induk betina dalam memilih habitat pasir
penelurannya.
13
2. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar I.1) yang
termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten
Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di rawa dan
sepanjang sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor,
Obokain, Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat
Betkuar. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011
dengan pertimbangan masih berada dalam rentang waktu puncak musim
peneluran.
Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap.
2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah metode survey (perjumpaan) dengan
sistem transek. Sebagai transek adalah panjang Sungai Vriendschap. Pendataan
dilakukan disepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah Bor (rawa)
dilakukan selama 4 hari (terdapat jejak dalam 3 hari dan sarang dalam 2 hari), di
14
wilayah Bor (sungai) dilakukan selama 2 hari (terdapat jejak dan sarang dalam 1
hari), di wilayah Obokain, Indama dan Sumo dilakukan selama 5 hari (terdapat
jejak dalam 5 hari dan sarang dalam 3 hari di Obokain, jejak dan sarang dalam 2
hari di Indama, dan jejak dan sarang dalam 3 hari di Sumo). Data yang
dikumpulkan meliputi sarang peneluran, biologi peneluran, dan habitat
persarangan. Pendataan dilakukan mulai jam 05.00 – 16.00 WIT. Sarang
peneluran terlebih dahulu di data kemudian dilanjutkan dengan pendataan habitat
persarangan. Pengukuran biologi peneluran dilaksanakan saat tidak melakukan
pendataan sarang peneluran dan habitat persarangan. Pengambilan data meliputi :
1. Data Sarang Peneluran
Jumlah sarang : menghitung jumlah sarang yang ditemui dan mengambil
titik-titik koordinat sarang peneluran menggunakan GPS pada setiap pasir
peneluran disepanjang Sungai Vriendschap. Sarang yang telah dihitung
kemudian ditandai untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double
counting).
Jejak induk : menghitung jejak induk yang naik pada pasir peneluran baik
jejak induk membuat sarang maupun tidak membuat sarang. Induk yang naik
ke pasir sering membuat jejak berputar-putar mulai saat naik dari tepi sungai
sampai kembali ke sungai, sehingga satu jejak induk dihitung sebagai satu
individu induk dengan mengikuti jejak yang dibuat pada saat naik ke pasir
sampai kembali ke sungai.
Keterangan : a. Jejak induk Labi-labi moncong babi; b. Sarang Labi-labi moncong babi
Gambar I.2. Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi.
Jarak sarang : mengukur jarak sarang peneluran dari tepi sungai. Jarak
sarang yang diukur adalah jarak sarang yang paling terdekat dari tepi sungai
atau air. Pengukuran dilakukan menggunakan roll meter (50 m) dengan
satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam satuan
terkecil milimeter.
15
2. Data Biologi Peneluran
Data biologi peneluran yang diambil meliputi ukuran karapas induk C.
insculpta, ukuran plastron, karakteristik telur, dan karakteristik sarang.
Pengukuran karapas induk C. insculpta mengacu pada metode pengukuran
karapas penyu menurut Bolten (1999) yang meliputi panjang karapas tegak
lurus (SCL : Straight Carapace Length) yang di ukur secara panjang tegak
lurus karapas, panjang karapas lengkung (CCL : Curved Carapace Length)
yang di ukur mengikuti panjang lengkung karapas, lebar karapas tegak lurus
(SCW : Straight Carapace With) yang di ukur mengikuti lebar tegak lurus
karapas dan lebar karapas lengkung (CCW : Curved Carapace With) yang di
ukur mengikuti lebar lengkung karapas. Plastron di ukur terhadap panjang
dan lebarnya. Pengukuran karapas dan plastron menggunakan roll meter (3
m) dengan satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam
satuan terkecil milimeter. Jumlah individu yang ditangkap dan berhasil diukur
sebanyak 14 ekor. Pengukuran SCL, CCL, SCW, CCW, dan plastron Labi-
labi moncong babi seperti terlihat pada Gambar I.3 dan I.4.
Gambar I.3. Pengukuran karapas induk Labi-labi moncong babi
Gambar I.4. Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi
Karakteristik telur dan sarang C. insculpta yang dikumpulkan meliputi jumlah
telur dalam satu sarang, jumlah telur normal dan abnormal dalam satu sarang,
c b
a
d
a. Pengukuran SCL
b. Pengukuran CCL
c. Pengukuran SCW
d. Pengukuran CCW
e
f
e. Pengukuran panjang plastron
f. Pengukuran lebar plastron
16
diameter telur normal dan abnormal, berat telur normal dan abnormal,
diameter sarang dan kedalaman sarang. Pengukuran diameter telur
menggunakan digital caliper dengan satuan nilai dalam millimeter. Telur
abnormal berbeda dengan telur normal dimana telur abnormal tidak
mempunyai kuning telur dan secara visual telur abnormal mempunyai ukuran
lebih kecil (biasanya setengah atau lebih kecil dari ukuran telur normal) bila
dibandingkan dengan telur normal, dan semakin kecil mendekati akhir
peneluran.
3. Data Habitat Persarangan
Habitat sarang peneluran Labi-labi moncong babi yang dimaksudkan adalah
sekumpulan pasir di tepi sungai atau rawa yang digunakan oleh Labi-labi
moncong babi untuk melakukan aktifitas bertelur. Data yang dikumpulkan
meliputi :
Luasan pasir : mengingat bentuk luasan pasir di alam tidak beraturan maka
luasan pasir dihitung berdasarkan titik-titik koordinat (tracking) terluar. Posisi
koordinat diambil menggunakan Global Positioning System (GPS). Pasir
yang di data adalah pasir yang terdapat sarang, pasir yang terdapat jejak, dan
pasir tanpa sarang dan jejak. Luasan masing-masing pasir peneluran akan
dihitung dan kemudian diakumulatif untuk mendapatkan luasan pasir
peneluran yang terdata disepanjang Sungai Vriendschap. Luasan pasir akan
dibedakan antara pasir di wilayah rawa dengan pasir di wilayah sungai.
Panjang pasir (Perimeter) : merupakan ukuran panjang pasir dalam meter
yang didapatkan dengan nilai indeks > 0 sampai tidak terbatas.
Bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) : diperoleh dengan mengambil
titik koordinat tepi pasir menggunakan GPS untuk mendapatkan dimensi
bentuk pasir sarang peneluran. Nilai bentuk bentang pasir berupa nilai indeks
tanpa satuan dengan interval nilai indeks 1 ≤ Fract ≤ 2. Nilai 1 menunjukkan
bentuk pasir adalah sederhana dan bentuk semakin kompleks mencapai nilai 2.
Bentuk permukaan pasir (Shape Index) : diperoleh dalam bentuk nilai
indeks tanpa satuan dengan nilai indeks ≥ 1 sampai tidak terbatas. Nilai 1
menunjukkan bahwa bentuk permukaan pasir adalah teratur dan semakin
tinggi nilainya dari angka 1 menunjukkan semakin tidak teratur.
17
Tekstur pasir : analisa terhadap tekstur pasir dilakukan dilaboratorium tanah
Institut Pertanian Bogor. Analisa tekstur pasir dilakukan dari sampel pasir
pada keseluruhan pasir (site) yang di data yaitu sebanyak 48 area pasir
peneluran. Pendataan tekstur pasir dilakukan pada pasir yang terdapat sarang,
jejak maupun yang tidak terdapat sarang. Sampel diambil pada kedalaman 10
– 25 cm yang didasarkan pada kedalaman sarang labi-labi moncong babi
dengan cara mencampurkannya (mix). Hasil ditunjukkan dalam bentuk
ukuran butiran pasir berdasarkan metode penyaringan. Tekstur butiran pasir
diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang meliputi pasir sangat halus (very
fine sand) 0,05 – 0,1 mm, pasir halus (fine sand) 0,1 – 0,25 mm, pasir sedang
(medium sand) 0,25 – 0,5 mm, pasir kasar (coarse sand) 0,5 – 1,0 mm, dan
pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,0 – 2,0 mm (Gee dan Bauder, 1986).
Luas tutupan vegetasi : tutupan vegetasi di lakukan dengan mendata ada
tidaknya vegetasi penutup pada habitat peneluran. Luasan vegetasi penutup
dihitung pada setiap satu luasan pasir peneluran untuk mendapatkan luasan
tutupan vegetasi. Untuk luasan tutupan vegetasi yang besar atau luas,
pengukuran luas dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat tepi
vegetasi terluar menggunakan GPS kemudian dihitung luasnya menggunakan
ArcView 3.3, sedangkan untuk luasan tutupan vegetasi yang kecil dapat
diukur secara manual menggunakan roll meter (50 m). Untuk memudahkan
penghitungan luas tutupan vegetasi ang kecil secara manual, pendekatan
penghitungannya disesuaikan dengan bentuk tutupan vegetasi dilapangan,
apakah berbentuk lingkaran, persegi panjang, bujur sangkar, dan lain-lain.
Jika terdapat lebih dari satu luasan tutupan vegetasi dalam satu pasir peneluran
maka luasan tutupan vegetasinya merupakan kumulatif dari lebih dari satu
luas tutupan vegetasi yang ada.
2.3. Analisis Data
Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk mengetahui struktur habitat
sarang peneluran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap.
Variabel-variabel yang di analisis terhadap jumlah sarang peneluran dan jejak
induk betina meliputi meliputi luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk
18
bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur
pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir.
Nilai Shape Index (SHAPE), Fractal Dimension (FRACT) dan Perimeter
(PERIM) dicari dengan menggunakan rumus (McGarigal et al. 1995) sebagai
berikut :
Shape Index :
Vector
SHAPE : pij
2√π ₀ aij
Satuan : tidak ada; Kisaran nilai : SHAPE ≥ 1, sampai tidak terbatas
Fractal Dimension :
Vector
FRACT : 2 ln pij
ln aij
Satuan : Tidak ada
Kisaran nilai : 1 ≤ FRACT ≤ 2
Perimeter :
Vector
PERIM : pij
Satuan : Meter
Kisaran nilai : PERIM ≥ 0, sampai tidak terbatas
Proses mendapatkan nilai luasan pasir, Perimeter (PERIM), Fractal
Dimension (FRACT) dan Shape Index (SHAPE), diawali dengan membuat
polygon setiap pasir peneluran terlebih dahulu kemudian dianalisis menggunakan
ekstension Habitat Analysis dan Patch Analysis pada ArcView 3.3, sedangkan
untuk mendapatkan nilai luasan tutupan vegetasi menggunakan ArcView 3.3 dan
Microsoft office exel 2007. Nilai tekstur pasir didasarkan pada kelas ukuran
tekstur pasir mulai dari pasir sangat kasar sampai sangat halus berdasarkan hasil
analisis di laboratorium tanah IPB.
Analisis terhadap bentuk sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong
babi dilakukan menggunakan Metode rasio ragam dan Metode indeks (Ludwig
dan Reynolds 1988). Peubah yang diukur dalam menggunakan metode rasio
19
ragam adalah nilai tengah dan nilai keragaman. Rumus yang digunakan
berdasarkan metode rasio ragam adalah :
= = dan S² =
Dimana : = nilai tengah atau rata-rata
S2 = varians/keragaman
xi = jumlah individu
fi = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan
n = jumlah total individu (jumlah sarang/jejak induk)
N = jumlah plot (jumlah pasir peneluran)
Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk
Labi-labi moncong babi berdasarkan metode rasio ragam adalah :
Jika S² = X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi
adalah acak (randomly disperse)
Jika S² < X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi
adalah homogen/teratur (regularly disperse)
Jika S² > X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi
adalah mengelompok/agregat (contagiously disperse)
Dari nilai tengah dan nilai keragaman kemudian dilanjutkan dengan melihat
pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menggunakan
Metode indeks yang meliputi Index of Dispertion (ID), Index of Clumping (IC)
dan Green’s Index (GI) (Ludwig dan Reynolds 1988).
Index of Dispertion (ID) :
Untuk menghitung nilai Index of Dispertion (ID) dan nilai Chi-square (X2)
menggunakan rumus :
ID = S2
/ x dan X2 = ID (N - 1)
Dimana : = = dan S2 =
Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-
labi moncong babi berdasarkan Index of Dispertion (ID) adalah jika :
xi
ii
f
fx .
N
n
x
1
.).(2
N
nxfx ii
xi
ii
f
fx .
N
n
1
.).(2
N
nxfx ii
20
ID = 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara
acak (randomly disperse)
ID < 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara
homogen (regularly disperse)
ID > 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara
mengelompok (contagiously disperse)
Index of Clumping (IC) :
Untuk menghitung nilai Index of Clumping (IC) digunakan rumus :
IC = (S2
/ x) – 1 = ID – 1 dimana : IC = Index of Clumping
ID = Index of Dispertion
Green’s Index (GI) :
Untuk menghitung nilai Green’s Index (GI) digunakan rumus :
GI = [(S2
/ x) – 1] / n-1 = IC / n-1 dimana : GI = Green’s Index
IC = Index of Clumping
Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-
labi moncong babi berdasarkan Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI)
adalah jika :
IC atau GI = 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong
babi adalah acak (randomly disperse)
IC atau GI < 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong
babi adalah seragam (regularly disperse)
IC atau GI > 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong
babi adalah mengelompok (contagiously disperse)
Untuk mengetahui nilai dari masing-masing variabel, dilakukan analisis
statistik Regresi Linier menggunakan software Minitab 16. Dari persamaan
regresi yang diperoleh kemudian dilakukan prosedur stepwise pada statistik
regresi agar diperoleh variabel mana yang paling memberikan pengaruh terhadap
jumlah sarang peneluran dan jejak induk Carettochelys insculpta.
21
Adapun persamaan regresi linier yang digunakan adalah sebagai berikut :
Y1 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6
Y2 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6
Dimana : Y1 = Jumlah sarang Carettochelys insculpta
Y2 = Jumlah jejak induk Carettochelys insculpta di pasir
a = Nilai konstanta
b-g = Nilai setiap variabel
V1 = Variabel luasan pasir
V2 = Variabel panjang pasir (Perimeter)
V3 = Variabel bentuk bentang pasir (Fractal Dimension)
V4 = Variabel bentuk permukaan pasir (Shape Index)
V5 = Variabel tekstur pasir
V6 = Variabel luasan tutupan vegetasi
Untuk mengetahui validitas data yang diperoleh maka dilakukan tahapan-tahapan
pengecekan menggunakan minitab 16 sebagai berikut :
Analisis regresi linier awalnya dilakukan terhadap data yang diperoleh
langsung dari lapangan sehingga belum diketahui apakah data yang diperoleh
menyebar normal atau tidak.
Setelah didapat persamaan regresi dari data lapangan kemudian dilakukan
pengecekan kenormalan data menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada
software minitab 16. Jika nilai P-value belum melebihi dari 0.05 (P-value ≤
0.05) maka data yang diperoleh belum menyebar normal dan apabila P-value
sudah melebihi dari 0.05 (P-value ≥ 0.05) maka data yang diperoleh sudah
menyebar normal
Apabila diperoleh data lapangan tidak menyebar normal maka dilakukan
transformasi data agar mendapatkan sebaran data yang normal. Setelah proses
transformasi data selesai dilakukan general regression dengan menggunakan
box-cox power transformation pada use optimal lambda dan pengecekan
kenormalan sebaran datanya kembali menggunakan Kolmogorov-Smirnov.
Jika setelah proses transformasi sebaran datanya menyebar normal maka
digunakan persamaan hasil regresi setelah transformasi tersebut, namun jika
setelah proses transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan
persamaan regresi yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum
22
transformasi maka digunakan persamaan model regresi dari data awal
(sebelum transformasi).
Tahap berikutnya yaitu mencari parameter terbaik yang mempengaruhi jumlah
sarang dan jejak induk betina dengan menggunakan metode stepwise. Hasil
yang diperoleh kemudian di cek kembali sebaran datanya normal atau tidak.
Apabila belum normal digunakan data transformasi dan melakukan general
regression menggunakan box-cox power transformation pada use optimal
lambda lalu diteruskan pengecekan kenormalan sebaran data transformasi
menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika setelah proses transformasi sebaran
datanya menyebar normal maka digunakan persamaan hasil regresi dengan
metode stepwise setelah transformasi tersebut, namun jika setelah proses
transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan persamaan regresi
yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum transformasi maka
digunakan persamaan model regresi hasil metode stepwise dari data awal
(sebelum transformasi).
Pada persamaan regresi ini dapat diketahui kontribusi variabel luasan
pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension),
bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi
penutup pasir, sehingga dapat ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap
jumlah sarang peneluran dan jarak sarang Labi-labi moncong babi dari air/sungai.
Sebaran sarang peneluran Carettochelys insculpta di sungai dan rawa
Vriendschap dilakukan berdasarkan titik-titik koordinat sarang yang di dapat.
Data titik-titik koordinat sarang peneluran kemudian digabungkan dengan data
koordinat kampung, distrik atau kabupaten yang diambil pula. Sebaran sarang
peneluran Labi-labi moncong babi dan wilayah administrasi (pemukiman)
kemudian diolah menggunakan perangkat lunak (software) ArcView 3.3.
23
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran
Total jejak C. insculpta berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak
terdapat di wilayah Bor (rawa) sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai
yang meliputi wilayah Bor, Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 11.44 ±
34.11; kisaran = 0 – 201). Sedangkan total sarang yang terdata berjumlah 131
sarang dengan rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa (Bor) dan 124 sarang
terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor (sungai), Obokain,
Indama dan Sumo (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Sebaran sarang
sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada
Gambar I.5 dibawah ini.
Gambar I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap
Total jumlah jejak dan sarang C. insculpta pada keseluruhan pasir
peneluran yang berhasil di data pada wilayah Bor (Rawa), Bor (Sungai), Obokain,
Indama, dan Sumo disepanjang wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada
24
Gambar I.6, sedangkan jumlah sarang dan jejak induk harian dapat dilihat pada
Gambar I.7.
Gambar I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di
sepanjang Sungai Vriendschap
Gambar I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys
insculpta pada bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap
Hasil analisis terhadap pola sebaran sarang dan jejak induk C. insculpta
menunjukkan bahwa pola sebaran sarang dan jejak C. insculpta di Sungai
Vriendschap adalah berkelompok seperti yang terlihat pada Tabel I.1 dan Tabel
I.2.
Tabel I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap.
19 6
373
65 80
7 1
109
8 6
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo
JejakSarang
3 4 0 0 0
102
121
1 18 4 7 11
40
271
3
195
56
7
020406080
100120140160180200220240260280
Jumlah sarang
Jumlah jejak
25
Nilai Pola sebaran sarang
x 2.75 S² = x acak
S² 232.957 S² < x homogen/teratur
S² > x berkelompok
ID = 1 acak
ID < 1 homogen/terarur
ID > 1 berkelompok
Clumping 83.712 IC/GI = 0 acak
Green 0.639 IC/GI < 0 homogen/teratur
IC/GI > 0 berkelompok
Metode Hipotesis
Ratio ragam
Indeks
Dispersi 84.712
Berkelompok
Berkelompok
Berkelompok
Tabel I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai
Vriendschap.
Nilai Pola sebaran Jejak
x 11.438 S² = x acak
S² 1163.31 S² < x homogen/teratur
S² > x berkelompok
ID = 1 acak
ID < 1 homogen/terarur
ID > 1 berkelompok
Clumping 100.706 IC/GI = 0 acak
Green 0.184 IC/GI < 0 homogen/teratur
IC/GI > 0 berkelompok
Metode Hipotesis
Ratio ragam Berkelompok
Indeks
Dispersi 101.706 Berkelompok
Berkelompok
3.1.2. Biologi Peneluran
Diameter rata-rata sarang yang dibangun adalah 11.91 ± 1.73 cm (n = 62,
kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38 ± 1.86 cm
(n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang adalah 20.05
± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34) dengan diameter rata-rata adalah 41.33 ±
1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ± 6.30
gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang yang
keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur Labi-
labi moncong babi yang tidak normal (abnormal). Telur normal adalah telur yang
ukurannya relatif seragam dan mengandung kuning telur sedangkan telur
abnormal adalah telur yang tidak mengandung kuning telur dengan ukuran yang
lebih kecil dari rata-rata ukuran normal. Rata-rata jarak sarang Labi-labi
moncong babi dari tepi sungai atau air di wilayah Sungai Vriendschap adalah
22.13 ± 12.79 m (n = 116, kisaran = 4.10 – 49.70).
Induk betina yang melakukan proses peneluran bervariasi dalam berat dan
ukuran. Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina C. insculpta meliputi
26
rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14, kisaran = 10.43 – 13.38),
rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14, kisaran = 35 – 39),
rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran = 27 - 31), rata-
rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14, kisaran =
46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ± 2.91 cm
(n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah 48.16
± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus kerapas
(SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).
3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap
A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)
dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)
Perimeter pasir yang didapat berkisar 0,099 – 2,281 km atau 99 – 2.281 m
( rata-rata = 0.74 ± 0.42 km), fractal dimension berkisar 0.991 – 1.243 (rata-rata =
1.073 ± 0.047) dan shape index berkisar 0.964 – 2.061 (rata-rata = 1.405 ± 0.253)
dari 48 pasir peneluran yang berhasil terdata di wilayah Sungai Vriendschap.
B. Tekstur Pasir
Dari 15 pasir di wilayah Bor (Rawa) dan 33 pasir di tepi sungai yang
meliputi wilayah Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didapati sebaran
tekstur pasir peneluran sarang di wilayah Sungai Vriendschap seperti tersaji pada
Gambar I.8.
Gambar I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di
wilayah Sungai Vriendschap
0 01
11
3
01
23
0 0 02
4 4
10
31
23
0 0 00 0
6
10 0
02468
1012
I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 -
0.25)
IV (0.25 -
0.1)
V (0.1 -
0.05)
VI (0.05 -
0.02)
Tekstur pasir (mm)
Bor (Rawa)
Bor (Sungai)
Obokain
Indama
Sumo
Σ
p
a
s
i
r
27
Mengacu pada penggolongan tekstur pasir menurut Gee dan Bauder
(1986) maka fraksi I adalah golongan pasir sangat kasar dengan ukuran butir pasir
berkisar 2 – 1 mm, fraksi II adalah golongan pasir kasar dengan ukuran butir pasir
berkisar 1 – 0.5 mm, fraksi III adalah golongan pasir sedang dengan ukuran butir
pasir berkisar 0.5 – 0.25 mm, fraksi IV adalah golongan pasir halus dengan
ukuran butir pasir berkisar 0.25 – 0.1 mm, fraksi V adalah golongan pasir sangat
halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.1 – 0.05 mm, fraksi VI adalah golongan
debu kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.05 – 0.02 mm, fraksi VII adalah
golongan debu sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.02 – 0.005 mm, fraksi
VIII adalah golongan debu halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.005 – 0.002
mm, fraksi IX adalah golongan liat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.002
– 0.0005 mm dan fraksi X adalah golongan liat halus dengan ukuran butir pasir
berkisar < 0.0005 mm. Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran yang
di data di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar I.8 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai
Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama
dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir
peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran,
tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat
kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI)
sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V)
sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor
(rawa) terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan
sebarannya di dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai)
dan Indama tekstur pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan
sedang. Sebaran tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit
dimana tekstur pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar,
sedang, halus dan debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas
dua kelompok pasir yaitu pasir sedang dan halus. Sebaran jumlah jejak dan
sarang C. insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap yang
didasarkan pada tekstur pasir, disajikan pada Tabel I.3.
Tabel I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3
wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap
28
Sebaran jejak dan sarang berdasarkan tekstur pasir Total
Wilayah I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 - 0.25) IV (0.25 - 0.1) V (0.1 - 0.05) VI (0.05 - 0.02)
Jejak S a r a n g Jejak Sarang J e j a k Saran g J e j a k S a r a n g Jejak Saran g J e j a k S a r a n g Jejak Sarang
Bor 0 0 0 0 4 3 3 0 0 0 0 0 7 3
Obokain 155 1 7 0 3 1 201 106 0 0 6 0 372 108
Sumo 0 0 0 0 80 6 0 0 0 0 0 0 80 6
Tabel I.3 memperlihatkan bahwa potensi pasir dengan jejak induk yang
cukup banyak terdapat pada pasir sangat kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah
Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang
didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok pasir halus (IV) di wilayah
pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo. Potensi jejak induk labi-
labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang) menggambarkan bahwa
kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus berpotensi dijadikan
pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi induk labi-labi untuk melakukan
aktifitas bertelur.
C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi
Total luasan pasir yang terdata dari 48 pasir peneluran adalah 1.156.823
m2 atau seluas 115,68 Ha dan total panjang perimeter adalah 35.518,37 m atau
sepanjang 35,52 Km. 15 pasir peneluran diantaranya didapati adanya tutupan
vegetasi dengan luas 416.128 m2 atau 41,6 Ha dan panjang perimeternya 12.778
m atau 12,78 Km. Didasarkan pada luasan pasir dan perimeter terdapat vegetasi
dan tanpa vegetasi, maka kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi
pada pasir peneluran di Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Tabel I.4 dan I.5.
Tabel I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap berdasarkan luasan pasir
Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan
Luas Total Pasir (Ha) 115.68
Luas Tot al Pasir (Ha) 115.68
Luas Total Pasir Ada Veg (Ha) 41.61 Luas Total Pasir Tdk Ada Veg (Ha) 74.07
Sarang Keseluruhan 132 1.14
Sarang Keseluruhan 132 1.14
Pasir bervegetasi 115 2.76 Pasir tdk bervegetasi 17 0.23
Jejak Keseluruhan 549 4.75
Jejak Keseluruhan 549 4.75
Pasir bervegetasi 239 5.74 Pasir tdk bervegetasi 310 4.19
29
Tabel I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap berdasarkan perimeter
Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan
Panjang Total Perimeter (Km) 35.52
Panjang Total Perimeter (Km) 35.52
Pjg Total Perim Ada veg (Km) 12.78 Pjg Total Perim Tdk Ada veg (Km) 22.74
Sarang Keseluruhan 132 3.72
Sarang Keseluruhan 132 3.72
Pasir bervegetasi 115 9.00 Pasir tdk bervegetasi 17 0.75
Jejak Keseluruhan 549 15.46
Jejak Keseluruhan 549 15.46
Pasir bervegetasi 239 18.70 Pasir tdk bervegetasi 310 13.63
Pada habitat pasir peneluran, sebagian terdapat tutupan oleh vegetasi dan
sebagian lagi bersih dari tutupan vegetasi. Dari 48 pasir peneluran yang terdata,
15 pasir peneluran (31.25%) diantaranya terdapat tutupan vegetasi sedangkan 33
pasir peneluran lainnya (68.75%) tidak tertutup oleh vegetasi dengan persentase
luas tutupan vegetasi pada pasir peneluran berbeda-beda yaitu berkisar 0.2%
sampai 49.05%. Sebaran pasir peneluran yang terdapat tutupan vegetasinya dapat
dilihat pada Tabel I.6 dan perbandingan luasan pasir peneluran dengan luas
tutupan vegetasi di sepanjang Sungai Vriendschap (termasuk rawa) dapat dilihat
pada Gambar I.9.
Tabel I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan
vegetasi.
Uraian Wilayah
Bor (rawa)
Pasir 1 MB 3 MB 5 LT 6 MB 6 LT 7 LT 8 LT 9 LT
Luas Pasir (m2) 89285.88 51871.21 69771.77 14130.35 8267.93 10255.38 19491.86 12548.22
Tutupan Vegetasi (m2) 4687.06 5749.87 5313.32 6930.86 339.66 633.68 521.226 1019.77
% Tutupan Vegetasi 5.25 11.08 7.62 49.05 4.11 6.18 2.67 8.13
Obokain Indama Sumo
Pasir 1 SS 3 SS 8 B 1 MK 5 MK 4 KW 6 KW
Luas Pasir (m2) 7295.95 32180.58 25196.69 17632.66 21333.31 23137.13 13729.40
Tutupan Vegetasi (m2) 1301.11 9781.92 83.79 1907.92 276.45 243.67 27.41
% Tutupan Vegetasi 17.83 30.40 0.33 10.82 1.30 1.05 0.20
Ket : - Kode di bawah wilayah menyatakan nomor urut pasir dan nama responden. Sebagai
contoh 1 MB berarti pasir nomor 1 pada wilayah Bor yang merupakan pasir pencarian
milik responden MB
30
Gambar I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir
peneluran di sepanjang Sungai Vriendschap
3.2. Pembahasan
3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys insculpta
Didasarkan pada tingginya jumlah jejak dan sarang pada tiap wilayah
peneluran di sungai Vriendschap, Gambar I.6 memperlihatkan pasir peneluran di
wilayah Obokain paling dipilih oleh induk Labi-labi moncong babi untuk
dijadikan tempat bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan
Sumo juga mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh
induk Labi-labi moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi.
Pada pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) terlihat mempunyai
potensi yang kecil untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan
rendahnya jumlah jejak maupun sarang yang ditemukan.
Gambar I.7 memperlihatkan aktifitas jejak maupun sarang peneluran induk
Labi-labi moncong babi cukup bagus terjadi pada tanggal 17 – 23 November 2011
dengan puncak peneluran terjadi pada tanggal 19 November 2011. Namun dalam
rentang waktu 8 – 25 November terdapat hari-hari yang tidak ditemukan adanya
aktifitas induk naik ke pasir peneluran. Kegagalan maupun keberhasilan
persarangan kura-kura dapat disebabkan oleh kondisi tertentu yang terjadi pada
lingkungannya. Kura-kura menggunakan berbagai petunjuk lingkungan untuk
memilih tempat bersarang (Miller dan Dinkelacker 2008) dan perilaku bersarang
induk betina (Pike 2008). Kura-kura Dermatemys mawii bersarang dalam musim
penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008), dan penyu Tempayan (Caretta caretta)
serta penyu Hijau (Chelonia mydas) mempunyai keberhasilan bersarang lebih
baik pada saat hujan (Pike 2008; Godley et al. 2001). Pike (2008) mendapati
30.4
22.8
16.7
8.7
25.0
2.520.00
1.12 0.22 0.030.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo
Luas Pasir (ha)
Luas Tutupan
Vegetasi (ha)
L
u
a
s
31
penyu tempayan (Caretta caretta) di Pantai Atlantik, Florida mempunyai proporsi
induk naik ke pasir dan keberhasilan membuat sarang lebih baik saat ada hujan
dibanding malam-malam tanpa hujan. Godley et al. (2001) mendapati pula
keberhasilan bersarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Ascension,
Selatan Atlantik, lebih baik di saat cuaca hujan, namun keduanya tidak mendapati
korelasi yang signifikan antara keberhasilan bersarang dengan curah hujan.
Penyebab keberhasilan peneluran Penyu Tempayan dan Penyu Hijau di saat hujan
belum dapat dijelaskan oleh Pike (2008) dan Godley et al. (2001), tetapi keduanya
mempunyai kesamaan dalam pendugaan proporsi induk naik ke pasir dan
melakukan aktifitas bertelur mengacu pada isyarat lingkungan pada malam-malam
dimana tekanan atau suhu udara meningkat atau lebih tinggi. Kamel dan
Mrosovsky (2005) juga menyadari variasi lingkungan dapat menyebabkan
perbedaan dalam pola persarangan pada Eretmochelys imbricata, tetapi mereka
tidak menemukan korelasi antara penempatan sarang dengan kondisi cuaca di
waktu malam.
Pada induk betina Labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat
lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan
pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk Labi-labi
moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada
wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada
wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan
hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai
meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran. Tingginya
curah hujan memberikan dampak negatif terhadap kegagalan proses peneluran,
namun Doody et al. (2003a) mendapati adanya dampak positif akibat gangguan
cuaca adalah telur yang dihasilkan menjadi lebih besar dalam dua periode
berurutan (tahun). Diluar faktor curah hujan, isyarat atmosfir terlihat turut
memberikan andil dalam menunjang keberhasilan proses induk labi-labi moncong
babi untuk naik ke pasir. Induk Labi-labi moncong babi naik ke pasir saat langit
terlihat cerah di malam hari yang ditandai dengan banyaknya bintang yang
terlihat. Kilatan-kilatan cahaya maupun bunyi gemuruh dari petir dan guntur akan
membuat induk Labi-labi moncong babi mengurungkan niatnya untuk naik ke
32
pasir. Pada penyu, Pike (2008) mendapati penyu tempayan betina muncul
menggunakan isyarat lingkungan untuk memandu perilaku bersarang, dan dapat
menggunakan berbagai proses sensorik untuk menentukan kapan cuaca cocok
untuk muncul dari laut dengan kondisi yang kondusif untuk bertelur.
Curah hujan dan hari hujan yang meningkat di wilayah Wamena
(pegunungan) meningkatkan debit Sungai Baliem dan Sungai Seng yang
berdampak langsung terhadap debit Sungai Vriendschap karena bagian hulu
Sungai Vriendschap bertemu dengan kedua sungai tersebut. Peningkatan debit air
sungai mengakibatkan pasir peneluran tertutup oleh air dan proses surutnya air
sungai yang terjadi berangsur-angsur memungkinkan minimnya aktifitas
peneluran. Gambaran tingginya curah hujan dan hari hujan tahun 2011 yang
mempengaruhi aktifitas peneluran induk Labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap disajikan pada Tabel I.7 dan sebagai pembanding, disajikan pula
curah hujan dan hari hujan tahun 2010.
Tabel I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah
Wamena (Pegunungan).
No Bulan (2010) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat
Hujan
Peny.
Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari)
1 Agustus 835.5 19.4 27.3 13.7 75.0 178.4 21 111.5 60
2 September 835.3 19.7 27.4 14.3 75.0 74.4 16 46.5 65
3 Oktober 834.6 19.9 27.5 14.8 75.0 150.4 19 94.0 43
4 November 834.2 20.2 27.9 14.8 74.0 119.4 19 74.6 64
Jumlah 3339.6 79.2 110.1 57.6 299.0 522.6 75.0 626
Rata-Rata 834.9 19.8 27.5 14.4 74.8 130.7 18.8 52
No Bulan (2011) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat
Hujan
Peny.
Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari)
1 Agustus 835.1 18.6 25.3 14.0 78.0 122.3 24.0 67.3 48
2 September 835.5 19.0 25.3 14.8 79.6 174.6 22.0 96.1 29
3 Oktober 835.4 19.1 26.3 14.3 77.3 137.1 21.0 75.4 43
4 November 834.2 19.7 26.6 14.8 76.0 180.2 22.0 99.1 42
Jumlah 3340.1 76.3 103.6 58.0 310.9 614.2 89.0 448
Rata-Rata 835.0 19.1 25.9 14.5 77.7 153.6 22.3 45
Sumber : BMKG Wamena (2011)
Tabel I.7 memperlihatkan rata-rata volume curah hujan selama 4 bulan
pada tahun 2011 sebesar 153.6 mm/bulan meningkat dibanding pada tahun 2010
sebesar 130.7 mm/bulan. Demikian pula dengan hari hujan dimana pada tahun
2011 rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 22.3 hari lebih tinggi dari pada rata-rata
33
jumlah hari hujan tahun 2010 sebanyak 18.8 hari. Didasarkan kriteria curah hujan
bulanan maka rata-rata curah hujan bulanan pada rentang waktu bulan Agustus –
November di tahun 2010 dan 2011 masuk dalam kategori sedang. Kriteria curah
hujan bulanan terbagi atas empat kriteria yaitu :
1. 0 - 100 mm/bulan : rendah;
2. 101 – 300 mm/bulan : sedang;
3. 301 – 400 mm/bulan : tinggi;
4. > 400 mm/bulan : sangat tinggi.
Sifat hujan pada tahun 2010 di bulan September dan November masuk
dalam kategori dibawah normal (46.5% dan 74.6%) sedangkan di bulan Agustus
dan Oktober masuk dalam kategori normal (111.5% dan 94.0%). Pada tahun
2011, sifat hujan berbanding terbalik dengan sifat hujan tahun 2010 dimana sifat
hujan di bulan September dan November masuk dalam kategori normal (96.1%
dan 99.1%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori
dibawah normal (67.3% dan 75.4%).
Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi
selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normalnya pada bulan tersebut di
suatu tempat. Kategori sifat hujan terbagi atas tiga kategori yaitu :
1. di atas Normal (A), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih besar dari
115%;
2. Normal (N), jika perbandingan terhadap rata-ratanya antara 85%-115%; dan
3. Di bawah Normal (B), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih kecil
dari 85%.
Jumlah sarang yang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada wilayah
Obokain dibanding pada 4 (empat) wilayah lainnya menggambarkan
kecenderungan bersarang C. insculpta yang mengelompok. Hasil perhitungan
sebaran sarang berdasarkan metode ratio ragam (Tabel I.1) diperoleh nilai
ragamnya (232.957) lebih tinggi dari nilai tengahnya (2.75). Dengan hipotesis
jika didapatkan nilai ragam lebih besar dari nilai tengah, maka didapatkan pola
sebaran sarang C. insculpta adalah mengelompok. Pola sebaran yang
mengelompok juga didapati dengan menggunakan metode indeks dimana jika
34
nilai indeks dispersi (84.712) lebih besar dari 1, nilai indeks clumping (83.712)
lebih besar dari 0, dan nilai indeks green (0.639) juga lebih besar dari 0.
Tabel I.2 menunjukkan pola sebaran jejak induk C. insculpta di Sungai
Vriendschap juga mengelompok seperti pola sebaran sarang pada Tabel I.1. Pola
sebaran sarang dan jejak induk yang mengelompok ini diduga disebabkan oleh
sifat eco-ethology (sosio-ekologi) dari kelompok kura-kura atau penyu pada
umumnya dimana induk ingin kembali pada tempat dilahirkan dengan pergerakan
menuju tempat peneluran secara bersama sambil melakukan interaksi sosial.
Sebaran mengelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih
mungkin bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran
satu individu menarik atau memunculkan individu lainnya mendekat ke
lingkungan tersebut (Begon et al. 2006). Di antara gerakan yang paling mencolok
pada amfibi dan reptil yang masih ada adalah migrasi penyu dari tempat menetas
menuju tempat makan sebagai remaja dan bertahun-tahun kemudian kembali ke
pantai peneluran sebagai penyu dewasa (Vitt dan Caldwell 2009). Sifat tersebut
juga diperlihatkan oleh Wood Turtles (Glyptemys insculpta) yang menunjukkan
keterkaitan erat dengan tempat kelahirannya, dimana 95% betina kembali pada
sarang atau tempat yang sama selama dua tahun berturut-turut (Walde et al.
2007). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi menjadi salah
satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan, sementara disisi
lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh manusia dan
rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan (Sus sp) dan
biawak (Varanus sp).
Rowe et al. (2005) menyebutkan bahwa lokasi penjelajahan dalam air
tampaknya dipengaruhi pemilihan dan kesetiaan penempatan sarang oleh
beberapa individu meskipun individu lain bersarang relatif jauh dari daerah jelajah
air. Individu-individu dari banyak spesies bergerak secara bersama dari satu
habitat ke habitat yang lain dan kembali lagi berulang kali selama hidup mereka
dengan skala waktu yang terlibat mungkin dalam hitungan jam, hari, bulan atau
tahun (Begon et al. 2006). Doody et al. (2003c) mendapati bahwa induk betina
C. insculpta bergerak bersama di sepanjang sungai selama musim peneluran dan
induk yang telah naik ke pasir dapat mempengaruhi keputusan bersarang induk
35
lainnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa dengan menggunakan informasi sosial
yang terkumpul dari induk betina sebelumnya, dapat mempengaruhi jumlah
naiknya induk ke pasir untuk menemukan tempat bersarang yang cocok. Kura-
kura dan penyu menggunakan kombinasi sinyal visual dan kimia selama interaksi
sosial dengan melibatkan kepala dan menampilkan pola dan warna pada anggota
tubuh bagian depan, leher, dan kepala (Vitt dan Caldwell 2009). Informasi yang
terkumpul tersebut mendasari induk melakukan pilihan (1) hanya muncul ke pasir
yang diketahui induk betina lainnya telah membuat sarang, dan (2) menghindari
pasir dimana induk betina lainnya hanya berhasil naik ke pasir namun tidak
membuat sarang. Apabila didapati pada awal proses peneluran terdapat induk
betina Labi-labi moncong babi yang terganggu dalam usahanya melakukan
aktifitas bertelur (naik maupun bertelur) maka kelompok induk betina lainnya
yang belum naik ke pasir berpindah mencari tempat (pasir) peneluran lainnya dan
bertelur selama beberapa malam ditempat yang baru tersebut (Doody et al.
2003c).
Dua perilaku penting intra spesifik induk kura-kura yang berkumpul di air
pada saat hendak naik ke pasir ditunjukkan pula oleh Doody et al. (2009) yaitu
perilaku 1) saat 2 individu atau induk bertemu secara berhadapan maka mereka
saling menghindar dengan cara saling memutari atau melingkari satu sama lain,
dan 2) beberapa kura-kura lebih kecil (kemungkinan betina atau jantan remaja)
muncul dan menciumi pasir basah selama 1 – 3 menit kemudian kembali dengan
cepat ke air. Didasari tingkah laku induk betina dalam rangkaian proses
peneluran, Doody et al. (2003c) menyatakan keberhasilan bersarang Labi-labi
moncong babi tidak dapat dianggap sama untuk setiap tahunnya di setiap pasir
peneluran, dimana pendataan harus dilakukan setiap tahun untuk menganalisa
seberapa jauh pengaruh lokasi, pasir, dan tutupan vegetasi terhadap aktifitas
peneluran.
Jarak sarang yang dibangun oleh induk dapat berbeda antara satu lokasi
dengan lokasi lainnya. Perbandingan jarak sarang C. insculpta dari air di lokasi
Sungai Vriendschap dengan beberapa beberapa sungai lainnya ditampilkan pada
Tabel I.8.
Tabel I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan
beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia
36
Sungai Jarak Sarang dari Air (m)
Vriendschap 2011 22,13 ± 12,79 (n = 116; 4,10 – 49,70)
Kikori 2003* 11,9 ± 0,59 (n = 58; 1,5 – 25,5)
Kikori 2006* 11,8 ± 2,87 (n = 5, 1 – 17)
Daly* 2,45 ± 0,094 (n = 180; 0,59 – 9,10)
Alligator* 2,16 ± 0,28 (n = 8; 1,1 – 3,7)
*) Georges et al. (2008b)
Tabel I.8 memperlihatkan rata-rata sarang yang dibuat di Sungai
Vriendschap mempunyai jarak yang cukup jauh dari tepi sungai dibandingkan
jarak sarang dari air yang dibangun pada lokasi di sungai Kikori, Daly dan
Alligator. Sarang yang dibangun jauh dari air dimungkinkan membutuhkan
waktu yang lebih lama dalam sekali proses peneluran. Di lokasi dengan tingkat
pemanenan tinggi, lamanya waktu dapat memberikan dampak negatif terhadap
keselamatan induk yang naik untuk bertelur karena waktu yang dibutuhkan induk
untuk kembali ke air cukup panjang sehingga memberikan kesempatan bagi
manusia untuk menangkapnya. Rowe et al. (2005), tidak menemukan korelasi
diantara rata-rata jarak sarang dari air dan rata-rata panjang kerapas dari setiap
Kura-kura Midland Painted (Chrysemys picta marginata) dimana sarang yang
diletakkan mengindikasikan kura-kura dengan ukuran besar tidak melakukan
perjalanan dari air lebih jauh dibanding kura-kura dengan ukuran lebih kecil
selama masa peneluran.
3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta
Proses peneluran oleh induk Labi-labi moncong babi dimulai dengan naik
ke pasir, berputar-putar dalam mendapatkan tempat yang cocok, menggali sarang,
bertelur, menutup lubang sarang, dan kembali ke sungai dengan cara berputar-
putar pula. Proses tersebut dilakukan pada saat matahari tenggelam (malam hari)
dan saat cuaca cerah (tidak hujan). Doody et al. (2009) mendapati C. insculpta
bersarang pada malam hari dengan satu pengecualian satu individu bersarang pada
senja hari. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi dalam satu sarang dengan
berat dan dimensi yang berbeda antara lokasi satu dengan lokasi lainnya. Sebagai
perbandingan diameter dan berat telur C. insculpta di Sungai Vriendschap dengan
beberapa sungai lainnya dapat dilihat pada Tabel I.9.
37
Tabel I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap
dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia
Sungai Diameter Telur (mm) Berat Telur (gr)
Vriendschap
2011
41,33 ± 1,54 (n = 400; 35,25 –
46,49)
37,98 ± 6,30 (n = 400, 30 –
50).
Kikori 2003* 43,1 ± 0,59 (n = 20; 40,2 – 53,1) 48,0 ± 1,29 (n = 20; 39,3 –
66,6)
Kikori 2006* 40,9 ± 0,52 (n = 14; 38,0 – 45,1) 36,4 ± 0,46 (n = 14; 33,8 –
40,1)
Daly* 39,6 ± 0,21 (n = 156) 35,2 ± 0,20 (n = 153)
Alligator* 41,8 (n = 1) 40,2 (n = 1)
*) Georges et al. (2008b)
Berat telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap terlihat
masih lebih tinggi dibandingkan berat telur di Kikori tahun 2006 yang juga telah
mengalami penurunan kualitas berat telur dari tahun 2003 dan di Daly (Tabel I.9).
Tingginya tingkat pemanfaatan diduga dapat mempengaruhi kualitas telur yang
dihasilkan, seperti penurunan berat telur yang terjadi di Kikori, dimana ukuran
telur, berat telur dan volume kuning telur dapat berkurang. Wood et al. (2009)
mendapati ukuran telur burung Black-Headed Gulls (Larus ridibundus) terbesar
berada pada sarang ditengah koloni (sarang kecil kemungkinan dipanen),
sedangkan pada sarang yang di panen didapati adanya pengurangan volume telur,
kuning telur dan ketebalan cangkang, yang dapat mempengaruhi keberhasilan
penetasan dan tingkat keberhasilan hidup anak hasil penetasan. Pada sarang yang
dipanen juga ditemui proporsi telur abnormal lebih tinggi dengan kuning telur
lebih kecil dan telur tidak berpigmen. Penurunan kualitas telur Larus ridibundus
diduga oleh Wood et al. (2009) sebagai pengaruh akibat dari adanya dampak
pemanenan.
Ukuran kerapas menunjukkan umur dari C. insculpta, dimana semakin
panjang atau besar ukuran kerapasnya menunjukkan individu induk semakin
dewasa. Sebagai pembanding, Georges et al. (2008b) mendapatkan panjang
kerapas rata-rata induk betina C. insculpta di aliran Kikori (PNG) adalah 47.7 ±
0.88 cm (n = 12, 40.4 – 52.0) dengan berat 11.2 ± 0.56 Kg (n = 12, 6.9 – 14.3
Kg), mencapai 52,3 cm di Billabong (Australia) dan berkisar 52,4 – 58,6 cm di
Taman Nasional Kakadu (Australia) (Georges dan Kennett 1989), dan 45.6 cm di
South Alligator River (Australia) (Schodde et al. 1972). Dari perbandingan diatas
38
terlihat panjang kerapas induk betina C. insculpta di Sungai Vriendschap lebih
rendah dibanding panjang kerapas induk dari Billabong dan Taman Nasional
Kakadu, namun masih lebih panjang dibanding induk dari Kikori dan South
Alligator River.
3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap
A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)
dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)
Fractal dimension bernilai 1 menunjukkan dimensi bentuk atau bentuk
bentang pasirnya lebih sederhana seperti berbentuk lingkaran atau persegi dan
bentuknya semakin kompleks apabila nilainya semakin mendekati nilai 2,
sedangkan shape index bernilai 1 menunjukkan patch berbentuk melingkar atau
persegi (teratur) dan bentuknya semakin tidak beraturan apabila semakin besar
dari nilai 1. Rata-rata nilai fractal dimension dengan nilai 1.073 menunjukkan
pasir peneluran Labi-labi moncong babi mempunyai bentuk bentang pasir yang
sederhana. Shape index (Si) bernilai 1 didapati pada 1 pasir peneluran di wilayah
Obokain dan patch paling tidak teratur didapati pada 1 pasir di wilayah Bor
(rawa) dan 1 pasir di wilayah Sumo. Patch pasir peneluran di wilayah Sungai
Vriendschap lebih condong kearah yang teratur didasarkan pada persentase nilai
Si < 1.5 sebanyak 62.5% (30 site pasir) dan persentase nilai Si ≥ 1.5 sebanyak
37.5% (18 site pasir). Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan
sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap yang terdapat pada masing-
masing wilayah adat pemanfaatan disajikan pada Tabel I.10.
Tabel I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-
labi moncong babi di Sungai Vriendschap
SI Bor (rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo
Σ % Σ % Σ % Σ % Σ %
< 1.5 10 20.83 6 12.50 10 20.83 3 6.25 1 2.08
> 1.5 5 10.42 0 0 4 8.33 3 6.25 6 12.50
Total 15 31.25 6 12.50 14 29.17 6 12.50 7 14.58
Jejak 19 6 379 65 80
Sarang 7 1 110 8 6
39
Tabel I.10 memperlihatkan bahwa nilai shape index tidak menunjukkan
hubungan antara bentuk patch dengan keberadaan jejak induk dan jumlah sarang.
Nilai Si < 1.5 dengan persentase tinggi terdapat pada wilayah Bor (rawa) dan
Obokain, namun terdapat perbedaan dari total jejak induk maupun sarang.
Demikian pula di wilayah Obokain persentase nilai Si < 1.5 tinggi diikuti total
jumlah jejak induk dan sarang yang juga tinggi, namun di wilayah Sumo
persentase nilai Si > 1.5 rendah namun total jejak induk tinggi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Labi-labi Moncong Babi dalam proses penelurannya tidak
memperhitungkan keteraturan bentuk dari pasir peneluran.
B. Tekstur Pasir
Doody et al. (2003b) mendapatkan tempat peneluran C. insculpta
umumnya didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada
berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, dimana
dalam memilih pasir potensial sebagai tempat menaruh telurnya C. insculpta
menggunakan isyarat-isyarat bawah air, sedangkan Triantoro dan Rumawak
(2010) secara visual mendapati sarang-sarang terdapat pada substrat pasir halus
sampai bercampur kerikil. Dalam wilayah jelajah C. insculpta, penggunaan pasir
persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi
Carettochelys insculpta betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas
dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002). Sarang-sarang Labi-
labi moncong babi umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak
tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya
dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat
dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi
penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al.
2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di anak sungai
kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al. 2008b), pasir pada tepi sungai
atau rawa. Di Australia, sarang-sarang berada pada sekumpulan pasir yang
terdapat dekat sungai dan rawa (Georges dan Kennett 1989; Doody et al. 2003b)
sementara di New Guinea, sarang-sarang juga terdapat dekat air di pertengahan
sampai muara sungai, pada sekumpulan pasir di delta sungai dan pada pasir pantai
40
di pesisir laut (Georges et al. 2008b). Sebagai gambaran pasir peneluran di
wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.10 di bawah ini.
Gambar I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di (a) tepi sungai dan (b)
rawa Vrienschap
Tingginya jumlah jejak namun tidak diikuti oleh keberhasilan dalam
proses peneluran atau membuat sarang dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk
bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang
masih basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari
gelap, dan 5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit
yang biasa menandakan hujan akan turun.
Umumnya, kura-kura air tawar dalam membuat sarang lebih memilih
tempat berpasir, tinggi dan terbuka, namun dapat mencari habitat alternatif seperti
tanggul jika habitat bersarang dalam waktu lama tidak tersedia (Bodie 2001). Di
daerah tropika, kura-kura air tawar bertelur di musim kemarau pada pasir yang
terkumpul (bank sand) atau timbul (Alvarenga 2010) yang tidak tersedia selama
musim penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008). Pada kura-kura punggung
lunak (softshell turtles) seperti Charadrius melodus dan Sterna antillarum secara
khusus menempati gundukan pasir yang tinggi, Trachemys scripta dan softshell
turtles (Apalone mutica dan A. spinifera) menggunakan habitat bersarang pasir
yang terbuka, dan Podocnemis unifilis yang menggunakan pasir terbuka dan
tinggi sebagai habitat persarangannya (Bodie 2001).
Di wilayah Obokain, tekstur pasir halus hanya didapati pada 1 pasir
peneluran saja namun pada pasir tersebut didapati jumlah jejak (201) dan sarang
(106) terbanyak (Tabel I.3). Jumlah jejak dan sarang yang tinggi pada pasir halus
a b
41
di wilayah Obokain ternyata tidak diikuti tingginya jumlah jejak dan sarang di
wilayah Bor (Rawa) yang didominasi tekstur pasir halus (11 site). Sedikitnya
jumlah jejak maupun sarang di wilayah Bor (rawa) diduga akibat faktor alam
(eksternal) yang meliputi pasir peneluran di wilayah ini belum mencapai kondisi
pasir yang cukup ideal untuk adanya aktifitas persarangan akibat endapan lumpur
dan basahnya pasir peneluran akibat luapan sungai (banjir), dan akibat faktor
individu (internal) yaitu akibat dari tingkah laku bersarang dari labi-labi moncong
babi itu sendiri.
Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir dapat memberikan
kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang. Pasir yang padat
umumnya menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang
yang terdapat pada pasir tidak padat. Pasir yang padat umumnya masih terkena
dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat banjir. Penyu akan
menghindari pasir yang basah dan padat dan bergerak mencari pasir yang
permukaannya gembur. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah sarang
penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM) Jamursba
Medi didapati lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering
mengalami limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005)
mendapati berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di
bagian barat pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania
akibat semakin meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat
pantai. Peningkatan konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir
menjadi lebih padat yang dihindari oleh penyu Tempayan.
C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi
Habitat pasir peneluran di Sungai Vriendschap menyebar disepanjang
sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir yang
terdapat di wilayah rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) tersebut terlihat atau
muncul saat debit sungai turun, tetapi tertutup atau tenggelam saat debit air sungai
meningkat. Peningkatan debit air terutama disebabkan oleh hujan di wilayah
pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai Baliem dan Sungai Seng
42
kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap. Sebaran pasir
peneluran yang berhasil terdata selama penelitian dapat dilihat pada Gambar I.11.
Gambar I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys
insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap
Tabel I.6 memperlihatkan sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa)
mempunyai tutupan vegetasi yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang
berada di wilayah tepi sungai (Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang
dominan menutupi pasir peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis
rumput seperti Ludwigia scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan
Pragmintes karka. Diluar jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus
lauterbachii terlihat bersama-sama mendominasi wilayah rawa.
Sifat rumput yang ringan memudahkannya terbawa air dan mengendap
pada wilayah dengan perairan yang lebih tenang, seperti rawa. Rumput-rumput
tersebut kemudian tertahan pada kumpulan pasir yang ada dan tumbuh menyebar
cukup cepat saat sungai surut yang dapat mengakibatkan pasir tertutup oleh
rumput. Keterikatan antar rumput dalam penyebarannya di pasir peneluran juga
menyebabkan mengumpulnya berbagai serasah dan lumpur yang terbawa aliran
air saat meluap sehingga ikut mendukung pertumbuhan dan penyebaran terutama
jenis Pandanus sp. Pada proses peneluran labi-labi, lumpur yang terkumpul
43
menyebabkan permukaan pasir menjadi lebih padat (kompak) saat kering
sehingga mempengaruhi keberadaan sarang atau pemilihan bersarang labi-labi.
Díaz-Zorita dan Grosso (2000), kekompakan tanah menurun sejalan dengan
turunnya kandungan lumpur namun turunnya kekompakan tanah menaikkan total
kandungan karbon organik. Roth (1997) juga mendapati pada tekstur tanah
lempung berpasir dan dengan sebagian besar berlumpur, kepadatan menurun
bertahap kearah kedalaman sampai pada batas kepadatan permukaan tanah.
Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai lebih banyak di dominasi jenis
Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum spontaneum dan
Cyperus rotundus. Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan menyebar pada
pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai saat meluap.
Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang sebarannya.
Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara mengelompok pada
pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai) sampai Sumo
namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis Cyperus
rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup banyak
pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada wilayah
pemanfaatan Obokain). Beberapa jenis vegetasi yang mendominasi pasir
peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.12.
(a) (b) (c)
44
(d) (e) (f)
(g) (h) Keterangan : (a) Ludwigia scandens; (b) Scirpus glosus; (c) Ischaemum timoriense; (d) Pragmintes
karka; (e) Sacharum spontaneum; (f) Cyperus rotundus; (g) Casuarina rumphiana; dan (h)
Pandanus lauterbachii.
Gambar I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi
moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap
Triantoro dan Rumawak (2010) mengidentifikasi beberapa jenis vegetasi
yang terdapat di sekitar pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) meliputi Intsia
bijuga ok., Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica
Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus spaericus K., Gymnacranthera
paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp, Pandanus
lauterbachii K.Sch & Warb., Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius
Sol. dan Freycinetia funicularis Mar. Sedangkan Jenis vegetasi yang terdapat di
sekitar muara Sungai Baliem dan hulu Sungai Vriendschap meliputi Casuarina
rumphiana, Duabanga moluccana Blume, Anthocephalus cadamba,
Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variagata, Premna corymbosa,
Dysoxylum moltissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus
polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Daemonorops melanochaetes
Blume dan Calamus scipionum Lour.
45
Diantara tumbuhan di tepi Sungai atau Rawa Vriendschap yang
diperkirakan menjadi sumber makanannya adalah Pandanaceae (Pandanus
polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Pandanus lauterbachii), Sagu
(Metroxylon sp), Premna corymbosa, Dysoxylum moltissimum, Syzygium verstegi,
Ipomoea aquatica (kangkung air) dan Pragmintes karka (rumput air) (Triantoro
dan Rumawak 2010). Hasil analisa makanan dari perut Labi-labi moncong babi
di Australia, ditemukan remah-remah buah pandan batu, daun Melaleuca spp, biji,
akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air
tawar (Thiaridae sp), Water boatmen (Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes
scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-
semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari
pohon Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus
racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium
cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett 1989). Buah
pandan dari beberapa jenis, setelah tua jatuh dan masuk kedalam sungai yang
akan menjadi makanan bagi labi-labi.
Tabel I.4 memperlihatkan kepadatan sarang sebesar 2.76 sarang/Ha dan
kepadatan jejak sebesar 5.74 jejak/Ha pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi,
lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.23/Ha dan jejak sebesar
4.19/Ha pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Demikian pula apabila
didasarkan pada perimeter (Tabel I.5), terlihat kepadatan sarang sebanyak 9.00
sarang/Km dan jejak sebanyak 18.70 jejak/Km pada pasir peneluran yang terdapat
vegetasi, lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.75 sarang/Km dan
jejak sebesar 13.63 jejak/Km pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Hasil ini
memberikan gambaran bahwa pasir dengan adanya vegetasi memberikan
kontribusi terhadap keberadaan sarang maupun jejak dari Labi-labi moncong babi.
Jumlah sarang yang tinggi pada pasir yang mempunyai luas tutupan vegetasi besar
bukan menyimpulkan bahwa sarang C. insculpta diletakkan pada pasir yang
tertutup oleh vegetasi (dibawah tajuk pohon) tetapi keberadaan sarang-sarang
tersebut berada pada pasir peneluran yang terbuka (terkena sinar matahari secara
langsung) namun pada wilayah pasir peneluran tersebut terdapat tutupan vegetasi
yang cukup luas. Caputo et al. (2005), penutupan vegetasi dan ketinggian di atas
46
permukaan sungai menunjukkan relevansi yang besar dalam menentukan
distribusi spasial sarang Podocnemis unifilis, dimana tidak ada sarang yang
ditemukan pada daerah yang sangat tertutup, satu sarang ditemukan pada daerah
tertutup menengah sedangkan semua sarang lainnya ditemukan pada daerah
berpasir yang terbuka. Berbeda dengan sifat bersarang Labi-labi moncong babi
yang memilih pasir terbuka, pada jenis Colombian Slider Turtles (Trachemys
callirostris callirostris) sarangnya selalu diletakkan dibawah tutupan vegetasi
yang diduga untuk mengurangi tekanan suhu udara yang panas saat induk betina
bertelur, mengurangi kemungkinan deteksi sarang oleh pemangsa, dan menjaga
inkubasi telur-telur dari lingkungan ekstrim (Restrepo et al. 2006), tetapi kura-
kura tidak selalu menggunakan strategi menempatkan sarang ditengah vegetasi
untuk mengurangi deteksi pemangsa (Junior 2009).
Jenis vegetasi yang terdapat pada pasir peneluran ikut memberikan
sumbangan bagi kehadiran sarang maupun jejak yang ditemukan. Terdapat
perbedaan sifat penutupan vegetasi antara pasir peneluran di wilayah rawa dengan
pasir peneluran di tepi sungai akibat perbedaan jenis vegetasi penyusun. Pada
pasir peneluran di wilayah rawa lebih di dominasi oleh rerumputan dengan
pertumbuhan yang rapat seperti Scirpus glosus (rumput pisau), Ischaemum
timoriense dan Pragmintes karka, sedangkan pada pasir peneluran di wilayah tepi
sungai sifat penutupan vegetasi diselingi pepohonan dan rumput. Sifat penutupan
rapat yang terjadi pada pasir peneluran yang terdapat di tepi sungai disebabkan
telah terjadi pembentukan pulau vegetasi pada pasir peneluran dengan
memberikan ruang pasir peneluran di sekeliling vegetasi, sementara sifat
penutupan yang tidak rapat terjadi apabila jenis vegetasinya tumbuh secara
menyebar dalam kelompok-kelompok (rumpun-rumpun) kecil atau tunggal
dengan memberikan ruang pasir peneluran di antara kelompok-kelompok vegetasi
atau di celah-celah vegetasi yang ada. Jenis yang mengelompok (berumpun) diisi
oleh jenis Sacharum spontaneum (tebu air) sedangkan jenis Cyperus rotundus
pertumbuhannya menyebar. Walaupun pertumbuhannya menyebar namun
batangnya yang kecil dan lemah masih bisa diterobos oleh induk labi-labi untuk
melakukan persarangan dicelah-celahnya dan tidak mengurangi tingginya
intensitas cahaya matahari.
47
Keberadaan vegetasi juga merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi proses kecepatan penguapan air pada pasir peneluran. Keberadaan
air terikat pada pasir peneluran berfungsi menjaga kelembaban dari pasir itu
sendiri dan kelembaban tersebut tetap diperlukan terkait dengan kebutuhan induk
Carettochelys insculpta dalam membuat sarang. Doody et al. (2003b)
mendapatkan bahwa Carettochelys insculpta memilih pasir persarangan secara
acak yang didasarkan pada aspek ketinggian, temperatur dan kedalaman air,
dengan pasir terdapat sarang mempunyai kelembaban lebih tinggi dibanding pasir
tanpa adanya sarang. Lebih lanjut disampaikan bahwa pasir dimana didapati
sarang mempunyai suhu yang sama dengan pasir tanpa sarang tetapi pasir dengan
adanya sarang mempunyai kelembaban lebih tinggi dibanding pasir tanpa ada
sarang. Pada Taman Nasional Kakadu, sarang-sarang dibangun pada semua pasir-
pasir permanen maupun yang tidak permanen di Billabong (rawa), yang bersih
dan berdekatan dengan air, dan menggunakan semua kumpulan atau gundukan
pasir berdekatan dengan air (Georges dan Kennett 1989).
3.2.4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Peneluran Carettochelys
insculpta di Sungai Vriendschap
Hasil analisis secara statistik regresi linier untuk melihat sejauh mana
pengaruh parameter-parameter lingkungan yang meliputi luasan pasir (V1),
panjang pasir (Perimeter) (V2), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) (V3),
bentuk permukaan pasir (Shape Index) (V4), tekstur pasir (V5) dan luasan tutupan
vegetasi penutup pasir (V6) terhadap keberadaan sarang dan jejak induk pada pasir
peneluran di Sungai Vriendschap, memberikan persamaan sebagai berikut :
Y1 = – 41 – 3.86 V1 + 24.2 V2 + 31 V3 - 0.9 V4 – 0.04 V5 + 43.5 V6
Y2 = 275 – 3.48 V1 + 0.2 V2 – 297 V3 + 52.4 V4 – 5.52 V5 + 86.6 V6
Dimana : Y1 = Jumlah Sarang dan Y2 = Jumlah Jejak Induk
Analisis Regresi : Jumlah Sarang vs Area, Perimeter, Fractal Dimensi, Shape
Index, Ukuran Butir pasir, dan Luas Tutupan Vegetasi.
Predictor Coef SE Coef T-Value P-Value VIF
Constant -41.3 142.6 -0.29 0.774
48
Area (ha) -3.864 2.665 -1.45 0.155 17.679
Perimeter (km) 24.22 19.86 1.22 0.230 24.062
FD 31.1 168.9 0.18 0.855 21.557
SI -0.93 33.48 -0.03 0.978 24.474
Ukpasir -0.038 1.512 -0.02 0.980 1.209
LTupVeg (ha) 43.483 9.113 4.77 0.000 1.221
*). S = 11.7475 R-Sq = 48.3% R-Sq(adj) = 40.8%
Analisis Regresi : Jumlah Jejak Induk vs Area, Perimeter, Fractal Dimensi, Shape
Index, Ukuran Butir pasir, dan Luas Tutupan Vegetasi.
Predictor Coef SE Coef T-Value P-Value VIF
Constant 275.3 366.6 0.75 0.457
Area (ha) -3.479 6.849 -0.51 0.614 17.679
Perimeter (km) 0.25 51.05 0.00 0.996 24.062
FD -296.8 434.2 -0.68 0.498 21.557
SI 52.43 86.06 0.61 0.546 24.474
Ukpasir -5.516 3.886 -1.42 0.163 1.209
LTupVeg (ha) 86.55 23.42 3.70 0.001 1.221
*). S = 30.1929 R-Sq = 31.6% R-Sq(adj) = 21.6%
Dari 6 parameter yang diregresikan terhadap jumlah sarang dan jumlah
jejak induk terlihat bahwa nilai P-value hanya menunjukkan 1 (satu) parameter
yang memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah jejak induk dan sarang
yaitu parameter luas tutupan vegetasi (P-value = 0.000; P-value = 0.001; α = 0.05;
n = 48). Nilai R-Sq (adj) untuk regresi jumlah sarang sebesar 40.8% dan untuk
jumlah jejak induk sebesar 21.6% menunjukkan bahwa model persamaan ini
kurang bagus apabila diimplementasikan.
Persamaan regresi yang dihasilkan di atas merupakan hasil regresi dengan
data yang belum menyebar secara normal, sehingga perlu dilakukan proses
normalisasi data (transformasi). Setelah proses transformasi data dilakukan,
pengecekan kenormalan data hasil regresi dilakukan menggunakan Kolmogorov-
Smirnov dengan hasil menunjukkan sebaran data masih belum menyebar secara
normal (Lampiran 6 dan 7), bahkan nilai R-Sq (adj) dari hasil regresi setelah
49
proses normalisasi menunjukkan hasil yang negatif dengan nilai – 4.13% untuk
jumlah sarang dan nilai – 2.56% untuk jumlah jejak induk. Proses normalisasi
data yang dilakukan ternyata tidak berhasil mendapatkan sebaran data yang
normal pula, sehingga dengan pertimbangan kestabilan model dan nilai R-Sq (adj)
yang dihasilkan pada persamaan regresi sebelum dilakukan transformasi data
lebih baik maka data dan persamaan yang digunakan adalah yang belum
mengalami proses normalisasi (transformasi) dengan persamaan regresi seperti
diatas.
Analisis selanjutnya menggunakan statistik regresi stepwise terhadap
keenam parameter tersebut memberikan hasil bahwa parameter yang paling
berpengaruh terhadap jumlah sarang dan jejak induk labi-labi moncong babi
adalah parameter luas tutupan vegetasi dengan nilai R-Sq (adj) adalah 39.0%
untuk jumlah sarang dan 20.3% untuk jumlah jejak induk. Persamaan regresi
yang dihasilkan setelah menggunakan statistik regresi stepwise adalah :
Y1 = – 1.02 + 46.6 V6 dan Y2 = 5.21 + 77.1 V6
Proses pengecekan sebaran data dilakukan pula setelah tahapan stepwise,
yang dilakukan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengecekan
menunjukkan sebaran data menyebar tidak normal dan perlu dilakukan
transformasi data. Proses transformasi dan dan pengecekan sebaran data hasil
transformasi menunjukkan sebaran datanya tidak menyebar normal pula dengan
nilai R-Sq (adj) adalah – 0.47% untuk jumlah sarang dan – 0.78% untuk jumlah
jejak induk. Dengan pertimbangan kestabilan model dan nilai R-Sq (adj) yang
dihasilkan pada persamaan regresi sebelum dilakukan transformasi data lebih
baik, maka data dan persamaan yang digunakan adalah yang belum mengalami
proses normalisasi (transformasi) dengan persamaan regresi setelah tahapan
stepwise seperti diatas.
Nilai R-Sq (adj) sebesar 40.8% untuk jumlah sarang dan 21.6% untuk
jumlah jejak induk menginformasikan bahwa masih terdapat faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi keberadaan jumlah sarang maupun jejak induk.
Analisis regresi dari enam parameter di uji memberikan gambaran bahwa pasir
peneluran dengan adanya tutupan vegetasi memberikan pengaruh sangat nyata,
yang berarti pasir peneluran dengan adanya tutupan vegetasi memberikan
50
kontribusi lebih baik bagi keberadaan sarang dan jejak induk Labi-labi moncong
babi dibandingkan pasir peneluran tanpa vegetasi. Berbeda dengan induk betina
jenis Spotted turtle (Clemmys guttata) yang menunjukkan mereka lebih memilih
kondisi substrat untuk sarang dibandingkan lokasi untuk bersarang (Rasmussen
dan Litzgus 2010b), induk betina Labi-labi moncong babi dalam membuat sarang
dipengaruhi oleh adanya tutupan vegetasi pada pasir peneluran.
51
4. SIMPULAN
Pola sebaran sarang dan jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah
Sungai Vriendschap adalah mengelompok dengan lokasi pasir peneluran yang
paling dipilih berada pada wilayah adat Obokain (bagian tengah sungai
Vriendschap). Dengan kondisi pemanfaatan C. insculpta yang tinggi di Sungai
Vriendschap (Indonesia) dan Sungai Kikori (PNG), didapati ukuran induk betina
dewasa, diameter telur dan berat telur di Sungai Vriendschap (Indonesia) masih
lebih baik dibandingkan ukuran induk betina dewasa, diameter telur dan berat
telur di Sungai Kikori (PNG). Faktor luas tutupan vegetasi memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap keberadaan jumlah sarang dan jejak induk betina, yang
tergambarkan dari kepadatan jumlah sarang dan jejak induk betina lebih tinggi
pada pasir peneluran bervegetasi dibanding pasir peneluran tanpa vegetasi.
53
Daftar Pustaka
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor. Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Alvarenga CCED. 2010. Nesting Ecology, Harvest and Conservation of the Pig-
nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in the Kikori Region, Papua New
Guinea [disertasi]. Canberra : Institute for Applied Ecology University of
Canberra Australia.
Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta. Kanisius.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Data Rata-rata
Bulanan Curah Hujan dan Hari Hujan 2010 dan 2011 [laporan]. Wamena :
Stasiun Meteorologi Wamena.
Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to
Ecosystem. fourth edition. United Kingdom. Blackwell Publising.
Bodie JR. 2001. Stream and Riparian Management for Freshwater Turtles.
Journal of Environmental Management 62, 000 – 000.
Bolten AB. 1999. Research and Management Techniques for the Conservation of
Sea Turtles. Di dalam Eckert KL, Bjorndal KA, Abreu-Grobois FA,
Donnelly M, editors. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group
Publication No. 4. Pp 110 – 114.
Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay
(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-
based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –
92.
Carriére MA, Bulté G, Blouin-Demers G. 2009. Spatial Ecology of Northern
Map Turtles (Graptemys geographica) in a Lotic and a Letic Habitat.
Journal of Herpetology, Vol. 43, No. 4, pp. 597 – 604.
Díaz-Zorita M, Grosso GA. 2000. Effect of Soil Texture, Organic Carbon And
Water Retention on The Compactability of Soils From The Argentinean
Pampas. Soil & Tillage Research 54 : 121 – 126.
Doody JS, Georges A, Young JE. 2000. Monitoring Plan for the Pig-nosed
Turtle in the Daly River, Northern Territory. Applied Ecology Research
Group and CRC for Freshwater Ecology [laporan]. University of Canberra.
Doody JS, Young JE, Georges A. 2002. Sex Differences in Activity and
Movements in the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta, in the Wet-
Dry Tropics of Australia. Copeia 1 : 93 – 103.
Doody JS, Georges A, Young JE. 2003a. Twice Every Second Year :
Reproduction in The Pig-Nosed Turle, Carettochelys insculpta, in the Wet
Dry Tropics of Australia. Journal Zoology London 259 : 179 – 188.
Doody JS, West P, Georges A. 2003b. Beach Selection in Nesting Pig-Nosed
Turtles, Carettochelys insculpta. Shorter Communications. Journal of
Herpetology 37 : 178 – 182.
54
Doody JS, Sims RA, Georges A. 2003c. Gregarious Behavior of Nesting Turtles
(Carettochelys insculpta) Does Not Reduce Nest Predation Risk. Copeia 4
: 894–898.
Doody JS, Pauza M, Stewart B, Camacho C. 2009. Nesting Behaviour of the
Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta, in Australia. Chelonian
Conservation and Biology 8 : 185 – 191.
Gee GW, Bauder JW. 1986. Methods of Soil Analysis. Part 1. Physical and
Mineralogical Methods. Second Edition. Di dalam : Klute A, editor.
American Society of Agronomy, Inc and Soil Society of America, Inc.
Madison, Wisconsin USA.
Georges A, Kennett R. 1989. Dry-season Distribution and Ecology of
Carettochelys insculpta (Chelonia : Carettochelydidae) in Kakadu National
Park, Northern Australia. Aust. Wildl. Res. 16 : 323 – 335.
Georges A, Guarino F, Bito B. 2006. Freshwater Turtles of The TransFly Region
of Papua New Guinea. Notes on Diversity, Distribution, Reproduction,
Harvest and Trade. Wildlife Research 33 : 373 – 384.
Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys
insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :
Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,
Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and
Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and
Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.
5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,
http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.
Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with
Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.
Wildlife Research 35 : 700 – 711.
Godley BJ, Broderick AC, Hays GC. 2001. Nesting of Green Turtles (Chelonia
mydas) at Ascension Island, South Atlantic. Biological Conservation 97 :
151-158.
Google Earth. 2011. Google Earth. http://www.google.com/earth/index.html [17
Agustus 2011].
IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.
<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
Junior PDF. 2009. Environmental Factors Effects in Turtles Reproduction. Acta
Amazonica 39 : 319 – 334.
Karavas N, Georghiou K, Arianoutsou M, Dimopoulos D. 2005. Vegetation and
Sand Characteristics Influencing Nesting Activity of Caretta caretta on
Sekania Beach. Biological Conservation 121 : 177 – 188.
Kamel SJ dan Mrosovsky N. 2005. Repeatability of Nesting Preferences in The
Hawksbill Sea Turtle, Eretmochelys imbricata, and Their Fitness
Consequences. Animal Behaviour 70 : 819–828.
55
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, a primer on Methods and
Computing. Canada. A Wiley-Interscience Publication.
Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona
MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological
Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International
Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.
McGarigal K, Marks BJ. 1995. FRAGSTATS : Spatial Pattern Analysis Program
for Quantifying Landscape Structure. Portland : U.S. Department of
Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. 122 p.
Miller JD, Dinkelacker SA. 2008. Reproductive Structures and Strategies of
Turtles. Di dalam : Wyneken J, Godfrey MH, Bels V, editors. Biology of
Turtles. Boca Raton. CRC Press.
Pike DA. 2008. Environmental Correlates of Nesting in Loggerhead Turtles,
Caretta caretta. Animal Behaviour 76 : 603 – 61.
Rasmussen ML, Litzgus JD. 2010a. Habitat Selection and Movement Patterns of
Spotted Turtles (Clemmys guttata) : Effects of Spatial and Temporal Scales
of Analyses. Copeia 1 : 86 – 96.
Rasmussen ML, Litzgus JD. 2010b. Patterns of Maternal Investment in Spotted
Turtles (Clemmys gluttata) : Implications of Trade Offs, Scales of
Analyses, and Incubation Substrates. Ecoscience 17 : 47 – 58.
Restrepo A, Pineros VJ, Paez VP. 2006. Nest Site Selection by Colombian Slider
Turtles, Trachemys callirostris callirostris (Testudines : Emydidae), in the
Mompos Depression, Colombia. Chelonian Conservation and Biology 5 :
249 – 254.
Roe JH, Brinton AC, Georges A. 2009. Temporal and Spatial Variation in
Landscape Connectivity for a Freshwater Turtle in a Temporarally
Dynamic Wetland System. Ecological application, 19(5), pp. 1288 – 1299.
Roth CH. 1997. Bulk Density of Surface Crusts : Depth Functions and
Relationship to Texture. Catena 29 : 223 – 237.
Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and
Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta
marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist
154 : 383 – 397.
Schodde R, Mason I, Wolfe TO. 1972. Further Records of the Pitted-Shelled
Turtle (Carettochelys insculpta) from Australia. Trans. R. Soc. S. Aust.
Vol. 96, Part 2.
Triantoro RGN, Kuswandi R. 2005. Faktor yang Berpengaruh Pada Kualitas
Habitat Peneluran Penyu Di Suaka Margasatwa Jamursba Medi. Info
Hutan Vol. II No. 2.
56
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong
Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari : Hasil Penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan.
UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.
[27 January 2011].
Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic
Press.
Walde AD, Bider JR, Masse D, Saumure RA, Titman RD. 2007. Nesting
Ecology and Hatching Success of the Wood Turtle, Glyptemys insculpta, in
Québec. Herpetological Conservation and Biology 2 : 49 – 60.
Wood PJ, Hudson MD, Doncaster CP. 2009. Impact of Egg Harvesting on
Breeding Success of Black-Headed Gulls, Larus ridibundus. Acta
Oecologica 35 : 83 – 93.
59
Lampiran 1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi
moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai
Vriendschap
No.
Lab No. Lapang
Tekstur
Fr. I Fr. II Fr. III Fr. IV Fr. V Fr. VI Fr. VII Fr. VIII Fr. IX Fr. X
………………………(%)……………………
E.1 Wil P1 MB Pasir 1 - 0.30 43.79 42.61 4.14 3.27 1.03 0.87 0.32 3.67
E.2 Wil P1 MB Pasir 2 - - 3.78 55.82 21.06 10.99 1.55 1.10 1.04 4.66
E.3 Wil P1 MB Pasir 3 - 0.11 1.86 35.84 29.48 11.22 15.61 0.37 0.60 4.91
E.4 Wil P1 MB Pasir 4 - 0.10 9.82 39.72 22.05 12.04 10.74 0.79 0.89 3.85
E.5 Wil P1 MB Pasir 5 - - 0.63 46.53 26.45 18.44 3.39 1.32 1.70 1.54
E.6 Wil P1 MB Pasir 6 - - 6.34 63.47 12.78 9.06 0.54 1.37 1.04 5.40
E.7 Wil P1 MB Pasir 7 - - 15.16 69.33 3.49 1.64 2.95 1.56 2.04 3.83
E.8 Pasir 1 BOR 2.30 34.91 51.27 1.84 0.09 0.69 2.02 1.32 2.44 3.12
E.9 Pasir 2 BOR 17.67 49.39 22.71 0.35 0.08 2.40 2.26 1.17 2.28 1.69
E.10 Pasir 3 BOR - 0.83 59.78 27.04 3.49 2.02 2.57 0.44 0.23 3.60
E.11 Pasir 4 BOR 39.98 37.20 11.68 2.88 0.27 1.11 1.53 0.34 2.46 2.55
E.12 Pasir 5 BOR 4.95 38.19 25.64 21.39 2.12 1.02 2.62 0.42 2.13 1.52
E.13 Pasir 6 BOR 1.41 23.89 55.56 10.59 1.22 1.39 0.84 0.89 0.28 3.93
E.14 Pasir 1 Indama 26.79 18.03 14.65 16.75 3.77 9.78 3.58 2.71 2.13 1.81
E.15 Pasir 2 Indama 7.55 33.54 34.53 14.48 1.26 4.03 0.79 0.76 0.51 2.55
E.16 Pasir 3 Indama 32.31 35.99 7.27 8.56 2.13 6.29 2.14 1.03 0.93 3.35
E.17 Pasir 4 Indama 14.14 19.39 40.46 17.23 1.40 2.23 1.96 0.28 0.85 2.06
E.18 Pasir 5 Indama 18.80 45.58 23.57 5.23 0.37 1.72 0.29 1.03 0.95 2.46
E.19 Pasir 6 Indama 4.76 34.39 46.83 6.79 0.26 2.29 1.48 0.88 0.47 1.85
E.20 Wil P1 LT Pasir 1 - - 1.32 69.18 15.67 4.88 0.77 1.46 0.86 5.86
E.21 Wil P1 LT Pasir 2 - - 1.51 58.35 21.43 10.46 0.48 0.68 0.37 6.72
E.22 Wil P1 LT Pasir 3 - - 0.54 15.55 45.25 25.05 1.76 2.40 3.53 5.92
E.23 Wil P1 LT Pasir 4 - - 0.84 11.21 50.35 25.15 3.53 1.02 1.22 6.68
E.24 Wil P1 LT Pasir 5 - - 0.73 60.68 21.05 10.76 0.62 2.96 1.33 1.87
E.25 Wil P1 LT Pasir 6 - - 2.06 65.88 16.32 9.28 0.98 1.14 2.02 2.32
E.26 Wil P1 LT Pasir 7 - - 0.68 52.63 28.76 11.94 1.53 0.35 1.92 2.19
E.27 Wil P1 LT Pasir 8 - - 0.45 51.29 29.21 13.11 0.36 0.89 1.03 3.66
E.28 Wil P1 LT Pasir 9 - 0.42 0.84 29.54 42.43 17.43 2.47 2.47 0.92 3.48
60
No.
Lab No. Lapang
Tekstur
Fr. I Fr. II Fr. III Fr. IV Fr. V Fr. VI Fr. VII Fr. VIII Fr. IX Fr. X
………………………(%)……………………
E.29 Wil P2 S. Pasir 1 22.82 42.01 17.66 2.73 0.76 11.28 0.22 0.86 0.48 1.18
E.30 Wil P2 SS. Pasir 2 47.79 15.18 9.08 13.16 5.14 5.52 0.52 1.49 1.21 0.91
E.31 Wil P2 SS. Pasir 3 3.46 3.68 17.76 52.29 10.34 7.28 1.78 1.19 1.01 1.21
E.32 Wil P2 SS. Pasir 4 39.56 23.16 13.48 14.84 2.29 3.95 1.01 0.27 0.78 0.66
E.33 Wil P2 SS. Pasir 5 24.77 28.93 32.75 6.85 1.65 0.86 1.04 0.81 0.41 1.93
E.34 Wil P2 SS. Pasir 6 - 0.18 2.14 9.81 15.34 57.32 5.21 5.31 2.31 2.38
E.35 Wil P2 SS. Pasir 7 - 0.06 0.49 9.96 36.60 40.64 5.62 2.52 2.07 2.04
E.36 Wil P2 Bak. Pasir 8 - 0.81 0.91 12.98 30.43 45.36 2.19 2.35 0.95 4.02
E.37 Wil P2 An. Pasir 9 20.63 36.39 28.19 7.81 0.98 2.07 0.72 0.85 1.10 1.26
E.38 Wil P2 BU. Pasir 10 5.66 18.63 64.19 6.41 0.69 1.65 0.46 0.18 0.32 1.81
E.39 Wil P2 BU. Pasir 11 19.77 53.70 19.72 2.44 0.38 1.24 0.26 1.11 0.44 0.94
E.40 Wil P2 BU. Pasir 12 2.95 36.55 52.82 3.29 0.34 1.03 1.10 0.46 10.63 0.83
E.41 Wil P2 BU. Pasir 13 20.22 32.16 23.73 19.56 1.42 0.85 0.08 0.56 0.44 0.98
E.42 Wil P2 BU. Pasir 14 0.19 21.38 68.49 6.01 0.34 0.21 0.78 1.14 0.76 0.70
E.43 Wil P3 KW Pasir 1 1.63 19.97 58.79 13.49 1.12 1.21 2.04 0.49 0.42 0.84
E.44 Wil P3 KW Pasir 2 4.29 29.87 44.07 10.79 4.66 3.04 1.01 0.38 1.14 0.75
E.45 Wil P3 KW Pasir 3 16.03 17.24 35.17 21.95 4.26 2.91 0.60 0.33 0.95 0.56
E.46 Wil P3 KW Pasir 4 6.85 7.52 43.93 28.29 7.13 0.86 2.72 0.57 0.99 1.14
E.47 Wil P3 KW Pasir 5 0.24 4.13 65.62 19.69 1.44 5.11 1.02 1.34 0.47 0.94
E.48 Wil P3 KW Pasir 6 4.51 20.78 58.34 8.39 1.39 2.76 1.62 0.61 0.86 0.74
E.49 Wil P3 KW Pasir 7 - 0.12 4.46 37.36 24.98 21.57 7.06 1.17 1.52 1.76
Keterangan :
Fr I : Pasir Sangat Kasar (2 – 1 mm)
Fr II : Pasir kasar (1 – 0.5 mm)
Fr III : Pasir Sedang (0.5 – 0.25 mm)
Fr IV : Pasir Halus ( 0.25 – 0.1 mm)
Fr V : Pasir Sangat Halus (0.1 – 0.05 mm)
Fr VI : Debu Kasar (0.05 – 0.025 mm)
Fr VII : Debu Sedang (0.025 – 0.005 mm)
Fr VIII : Debu Halus (0.005 – 0.002 mm)
Fr IX : Liat Kasar (0.002 – 0.0005 mm)
Fr X : Liat Halus (≥ 0.0005 mm)
61
Lampiran 2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat
Tanggal (2011)
Suhu Lingkungan
Lokasi Keterangan Pagi Siang Malam
T (°C) RH (%) T (°C) RH (%) T (°C) RH (%)
8-Nov
Suhu 25,5 86 30,6 63 25,4 92 Rawa Bor Tanggal 7 malam hujan
waktu : 06.00 13.00 20.00
9-Nov
Suhu 24,9 96 30,4 54 25,9 95 Rawa Bor
waktu : 06.00 13.30 20.00
10-Nov
Suhu 24,0 99 38,0 35 26,2 92 Rawa Bor
waktu : 06.00 13.00 20.00
11-Nov
Suhu - - - - 26,1 85 S. Vriendschap
(Muara Demi)
waktu : - - 19.00
12-Nov
Suhu 24,3 87 31,9 59 25,8 86 S. Vriendschap
hujan malam di daerah
gunung, sungai banjir, pasir terendam waktu : 06.00 14.00 20.30
13-Nov
Suhu 23,5 93 31,5 64 25,1 88 S. Vriendschap hujan lebat jam 18.00
waktu : 06.00 12.00 20.00
14-Nov
Suhu 24,3 92 36,2 47 24,9 86 S. Vriendschap
pagi hari sungai kembali
banjir waktu : 06.15 13.00 19.50
15-Nov
Suhu 24,8 83 27,9 65 24,2 96 S. Vriendschap sampai malam sungai belum
surut waktu : 06.00 13.00 21.00
16-Nov
Suhu 23,7 96 - - 25,5 83 S. Vriendschap
sungai surut di pagi hari,
pasir peneluran mulai terlihat,
hujan deras 19.00 - 24.00 waktu : 06.00 - 20.50
17-Nov
Suhu 23,7 86 30,0 73 23,6 84 S. Vriendschap
sungai kembali banjir, pagi - siang mendung, sore - malam
cerah waktu : 06.15 13.10 20.05
18-Nov
Suhu 24,3 89 34,1 50 24,5 93 S. Vriendschap
pagi-malam cerah,
permukaan sungai mulai turun waktu : 06.03 13.05 20.35
19-Nov
Suhu 24,0 96 39,4 41 26,3 89 S. Vriendschap hujan lebat di daerah Sumo
waktu : 05.58 13.10 20.15
20-Nov
Suhu 24,2 91 41,4 52 27,0 83 S. Vriendschap
permukaan sungai meningkat, hujan sebabkan
tidak ada peneluran waktu : 06.05 13.30 20.10
21-Nov
Suhu - - 32,9 60 26,2 95 S. Vriendschap
waktu : - 13.10 20.00
22-Nov
Suhu 25,3 98 33,0 56 24,8 96 S. Vriendschap
hujan subuh, tidak deras ± 30 menit waktu : 06.00 13.00 20.00
23-Nov
Suhu 25,8 92 - - 26,2 97 S. Vriendschap cerah
waktu : 06.00 - 20.00
24-Nov
Suhu 24,7 90 31,5 66 25,1 88 S. Vriendschap hujan jam 02.00 - 08.00
waktu : 06.00 13.35 20.05
25-Nov
Suhu 25,2 98 42,1 41 28,6 79 S. Vriendschap malam hujan ringan
waktu : 06.00 13.00 20.10
26-Nov
Suhu 26,2 92 34,9 55 - - S. Vriendschap
waktu : 06.00 13.00 -
62
Lampiran 3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape
index, fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi.
ΣSarang ΣJejak Area (m2) Perim (m) SI FD Ukpasir Ltupveg Pasir
0 0 12548.22 614.494 1.37141 1.06693 5 1019.77 Psr 9 LT
0 1 14130.35 615.833 1.29517 1.05413 4 6930.86 Psr 6 MB
1 6 14520.07 606.736 1.25880 1.04803 2 0 Psr 9 An
3 4 19491.86 678.611 1.21516 1.03946 4 521.226 Psr 8 LT
1 1 25196.69 848.145 1.33579 1.05714 6 83.789 Psr 8 Bak
0 0 2160.33 254.943 1.37127 1.08224 6 0 Psr 7 SS
0 0 10255.38 467.471 1.15403 1.03102 4 633.678 Psr 7 LT
0 0 4293.202 404.609 1.54378 1.10382 4 0 Psr 7 KW
0 1 54140.11 973.986 1.04649 1.00834 3 0 Psr 6 S.Bor
0 6 1358.792 194.731 1.32068 1.07711 6 0 Psr 6 SS
0 4 4420.239 384.667 1.44645 1.08795 3 0 Psr 6 MK
1 8 8267.925 447.616 1.23069 1.04602 4 339.658 Psr 6 LT
1 8 13729.4 806.429 1.7206 1.11392 3 27.406 Psr 6 KW
1 4 25244.37 759.796 1.19551 1.03523 2 0 Psr 5 S.Bor
1 3 13736.82 537.154 1.14577 1.02856 3 0 Psr 5 SS
0 4 21333.31 706.796 1.20978 1.03821 2 276.446 Psr 5 MK
0 2 174.477 98.998 1.87369 1.24329 4 0 Psr 5 MB
0 0 69771.77 1504.735 1.42416 1.06341 4 5313.317 Psr 5 LT
0 0 6223.008 645.716 2.04636 1.16393 3 0 Psr 5 KW
0 1 26245.57 711.184 1.09747 1.01828 1 0 Psr 4 S.Bor
1 50 11365.72 545.727 1.27973 1.05282 1 0 Psr 4 SS
6 50 34339.75 917.017 1.23714 1.04075 3 0 Psr 4 MK
0 0 4160.981 337.074 1.30637 1.06414 4 0 Psr 4 MB
0 0 5916.274 634.23 2.0614 1.16657 5 0 Psr 4 LT
0 1 23137.13 879.805 1.44601 1.07340 3 243.673 Psr 4 KW
0 0 17480.59 643.013 1.21585 1.04001 3 0 Psr 3 S.Bor
106 201 32180.58 1298.58 1.80972 1.11430 4 9781.921 Psr 3 SS
0 0 4176.701 360.992 1.39644 1.08010 2 0 Psr 3 MK
0 0 51871.21 1035.987 1.13719 1.02368 4 5749.874 Psr 3 MB
0 0 3831.029 386.349 1.56049 1.10787 5 0 Psr 3 LT
3 64 7202.527 446.494 1.31526 1.06171 3 0 Psr 3 KW
0 0 60810.52 1162.477 1.17851 1.02982 2 0 Psr 2 S.Bor
0 105 4283.409 252.237 0.96351 0.99111 1 0 Psr 2 SS
2 7 5450.278 552.054 1.86944 1.14544 3 0 Psr 2 MK
0 0 785.006 191.248 1.70648 1.16035 4 0 Psr 2 MB
0 0 12230.35 701.751 1.58637 1.09806 4 0 Psr 2 LT
1 1 143288.4 2281.197 1.5066 1.06904 3 0 Psr 2 KW
0 0 43889.68 1062.68 1.26812 1.04444 3 0 Psr 1 S.Bor
0 7 7295.947 527.959 1.54525 1.09785 2 1301.109 Psr 1 SS
0 0 17632.66 865.184 1.62888 1.09980 1 1907.922 Psr 1 MK
3 4 89285.88 1480.186 1.23841 1.03752 3 4687.057 Psr 1 MB
63
ΣSarang ΣJejak Area (m2) Perim (m) SI FD Ukpasir Ltupveg Pasir
0 0 1129.206 191.146 1.42206 1.10018 4 0 Psr 1 LT
1 6 51764.07 1475.924 1.62177 1.08909 3 0 Psr 1 KW
0 0 14901.22 643.612 1.31811 1.05749 3 0 Psr 14 BU
0 0 39724.05 1309.876 1.64302 1.09378 2 0 Psr 13 BU
0 0 30837.34 1051.652 1.49718 1.07809 3 0 Psr 12 BU
0 0 55301.09 1125.655 1.19668 1.03288 2 0 Psr 11 BU
0 0 35309.91 895.613 1.19155 1.03347 3 0 Psr 10 BU
64
Lampiran 4 Pola sebaran sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai
Vriendschap
A. Tabel sebaran frekuensi sarang Labi-labi moncong babi
No xi xi² fi (N) xi.fi (n) xi².fi
1 0 0 33 0 0
2 1 1 9 9 9
3 2 4 1 2 4
4 3 9 3 9 27
5 4 16 0 0 0
6 5 25 0 0 0
7 6 36 1 6 36
107 106 11236 1 106 11236
JUMLAH 48 132 11312
B. Metode Ratio Ragam
Nilai Tengah ( x ) : = =
= 132/48 = 2.75
Keragaman (S2) : S
2 =
= [11312 – (2.75)(132)] / 48 – 1
= 10949 / 47 = 232.957
C. Metode Indeks
Index of Dispertion (ID) : ID = S2 / x = 232.957 / 2.75 = 84.712
Index of Clumping (IC) : IC = ID – 1 = 84.712 – 1 = 83.712
Green index (GI) : GI = IC / (n – 1) = 83.712 / (132-1)
= 83.712 / 131 = 0.639
xi
ii
f
fx .
N
n
1
.).(2
N
nxfx ii
65
Lampiran 5 Pola sebaran jejak induk Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai
Vriendschap
A. Tabel sebaran frekuensi sarang Labi-labi moncong babi
No xi xi² fi (N) xi.fi (n) xi².fi
1 0 0 23 0 0
2 1 1 6 6 6
3 2 4 1 2 4
4 3 9 1 3 9
5 4 16 5 20 80
6 5 25 0 0 0
7 6 36 3 18 108
8 7 49 2 14 98
9 8 64 2 16 128
51 50 2500 2 100 5000
65 64 4096 1 64 4096
106 105 11025 1 105 11025
202 201 40401 1 201 40401
JUMLAH 48 549 60955
B. Metode Ratio Ragam
Nilai Tengah ( x ) : = =
= 549 / 48 = 11.438
Keragaman (S2) : S
2 =
= [60955 – (11.438)(549)] / 48 – 1
= 54675.538 / 47 = 1163.309
C. Metode Indeks
Index of Dispertion (ID) : ID = S2 / x = 1163.309 / 11.438 = 101.706
Index of Clumping (IC) : IC = ID – 1 = 101.706 – 1 = 100.706
Green index (GI) : GI = IC / (n – 1) = 100.706 / (549-1)
= 83.712 / 548 = 0.184
xi
ii
f
fx .
N
n
1
.).(2
N
nxfx ii
66
Lampiran 6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir,
perimeter, shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas
tutupan vegetasi.
Regression Analysis: Jmlh Srg versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,
Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
The regression equation is
Jmlh Srg = - 41 - 3.86 Area (ha) + 24.2 Perimeter (km) - 0.9 SI + 31 FD - 0.04 Ukpasir + 43.5 Ltupveg (ha)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -41.3 142.6 -0.29 0.774
Area (ha) -3.864 2.665 -1.45 0.155 17.679
Perimeter (km) 24.22 19.86 1.22 0.230 24.062
SI -0.93 33.48 -0.03 0.978 24.474
FD 31.1 168.9 0.18 0.855 21.557
Ukpasir -0.038 1.512 -0.02 0.980 1.209
Ltupveg (ha) 43.483 9.113 4.77 0.000 1.221
S = 11.7475 R-Sq = 48.3% R-Sq(adj) = 40.8%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 6 5290.9 881.8 6.39 0.000
Residual Error 41 5658.1 138.0
Total 47 10949.0
Source DF Seq SS
Area (ha) 1 35.3
Perimeter (km) 1 1850.5
SI 1 37.4
FD 1 39.6
Ukpasir 1 185.8
Ltupveg (ha) 1 3142.2
Unusual Observations
Obs Area (ha) Jmlh Srg Fit SE Fit Residual St Resid
2 1.4 0.00 29.71 5.88 -29.71 -2.92R
17 0.0 0.00 -2.21 10.49 2.21 0.42 X
18 7.0 0.00 22.88 4.79 -22.88 -2.13R
27 3.2 106.00 53.06 8.30 52.94 6.37RX
37 14.3 1.00 -9.69 9.14 10.69 1.45 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage
6050403020100-10-20-30
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI1
Pe
rce
nt
Mean 2.405483E-15
StDev 10.97
N 48
KS 0.197
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI1Normal
67
Transformasi data :
General Regression Analysis: Jmlh Srg+1 versus Area (ha), Perimeter (km),
Shape Index, Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -2
The 95% CI for lambda is (*, -1.065)
Regression Equation
Jmlh Srg+1^-2 = -0.0727689 - 0.0410059 Area (ha) + 0.471659 Perimeter (km) + 0.0684055 SI - 0.972892
FD + 0.00784339 Ukpasir + 0.044390 Ltupveg (ha)
Coefficients
Term Coef SE Coef T P
Constant -0.072769 4.85905 -0.014976 0.988
Area (ha) -0.041006 0.09079 -0.451680 0.654
Perimeter (km) 0.471659 0.67662 0.697080 0.490
SI 0.068405 1.14075 0.059965 0.952
FD -0.972892 5.75506 -0.169050 0.867
Ukpasir 0.007843 0.05151 0.152268 0.880
Ltupveg (ha) 0.044391 0.31045 0.142990 0.887
Summary of Model
S = 0.400208 R-Sq = 9.17% R-Sq(adj) = -4.13%
PRESS = 9.41960 R-Sq(pred) = -30.29%
Analysis of Variance
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Regression 6 0.66263 0.66263 0.110438 0.689518 0.659200
Area (ha) 1 0.35308 0.03268 0.032676 0.204014 0.653880
Perimeter (km) 1 0.27011 0.07783 0.077828 0.485921 0.489686
SI 1 0.02648 0.00058 0.000576 0.003596 0.952475
FD 1 0.00375 0.00458 0.004577 0.028578 0.866589
Ukpasir 1 0.00593 0.00371 0.003714 0.023186 0.879722
Ltupveg (ha) 1 0.00327 0.00327 0.003275 0.020446 0.886999
Error 41 6.56683 6.56683 0.160167
Total 47 7.22945
Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response
Obs Jmlh Srg+1^-2 Fit SE Fit Residual St Resid
17 -1.00000 -1.07683 0.357402 0.076834 0.42666 X
27 -0.00009 -0.47774 0.282859 0.477657 1.68712 X
37 -0.25000 -0.49786 0.311469 0.247860 0.98630 X
Fits for Unusual Observations for Original Response
Obs Jmlh Srg+1 Fit
17 1 0.96366 X
27 107 1.44678 X
37 2 1.41725 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
1.00.50.0-0.5-1.0
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI2
Perc
ent
Mean -1.64220E-16
StDev 0.3738
N 48
KS 0.237
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI2Normal
68
Stepwise Regression : Jmlh Srg versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,
Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Jmlh Srg on 6 predictors, with N = 48
Step 1
Constant -1.021
Ltupveg (ha) 46.6
T-Value 5.57
P-Value 0.000
S 11.9
R-Sq 40.30
R-Sq(adj) 39.00
Mallows Cp 3.4
Regression Analysis: Jmlh Srg versus Ltupveg (ha)
The regression equation is
Jmlh Srg = - 1.02 + 46.6 Ltupveg (ha)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -1.021 1.849 -0.55 0.583
Ltupveg (ha) 46.635 8.369 5.57 0.000 1.000
S = 11.9203 R-Sq = 40.3% R-Sq(adj) = 39.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 4412.7 4412.7 31.05 0.000
Residual Error 46 6536.3 142.1
Total 47 10949.0
Unusual Observations
Obs Ltupveg (ha) Jmlh Srg Fit SE Fit Residual St Resid
2 0.693 0.00 31.30 5.40 -31.30 -2.95RX
18 0.531 0.00 23.76 4.14 -23.76 -2.13R
27 0.978 106.00 44.60 7.70 61.40 6.75RX
29 0.575 0.00 25.79 4.48 -25.79 -2.33RX
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
6040200-20-40
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI3
Pe
rce
nt
Mean -4.07082E-16
StDev 11.79
N 48
KS 0.349
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI3Normal
69
Transformasi Data :
General Regression Analysis: Jmlh Srg+1 versus Ltupveg (ha)
Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -2
The 95% CI for lambda is (*, -1.045)
Regression Equation
Jmlh Srg+1^-2 = -0.760749 + 0.243921 Ltupveg (ha)
Coefficients
Term Coef SE Coef T P
Constant -0.760749 0.060973 -12.4769 0.000
Ltupveg (ha) 0.243921 0.275981 0.8838 0.381
Summary of Model
S = 0.393113 R-Sq = 1.67% R-Sq(adj) = -0.47%
PRESS = 8.20012 R-Sq(pred) = -13.43%
Analysis of Variance
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Regression 1 0.12072 0.12072 0.120718 0.78116 0.381383
Ltupveg (ha) 1 0.12072 0.12072 0.120718 0.78116 0.381383
Error 46 7.10873 7.10873 0.154538
Lack-of-Fit 14 2.72260 2.72260 0.194471 1.41881 0.200895
Pure Error 32 4.38613 4.38613 0.137067
Total 47 7.22945
Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response
Obs Jmlh Srg+1^-2 Fit SE Fit Residual St Resid
2 -1.00000 -0.591691 0.178233 -0.408309 -1.16531 X
27 -0.00009 -0.522147 0.254061 0.522060 1.74029 X
29 -1.00000 -0.620497 0.147701 -0.379503 -1.04170 X
Fits for Unusual Observations for Original Response
Obs Jmlh Srg+1 Fit
2 1 1.30003 X
27 107 1.38390 X
29 1 1.26949 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
1.00.50.0-0.5-1.0
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI4
Perc
ent
Mean 1.734723E-16
StDev 0.3889
N 48
KS 0.418
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI4Normal
70
Lampiran 7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir,
perimeter, shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas
tutupan vegetasi.
Regression Analysis: Jmlh Jejak versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,
Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
The regression equation is
Jmlh Jejak = 275 - 3.48 Area (ha) + 0.2 Perimeter (km) + 52.4 SI - 297 FD - 5.52 Ukpasir + 86.6 Ltupveg(ha)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 275.3 366.6 0.75 0.457
Area (ha) -3.479 6.849 0.51 0.614 17.679
Perimeter (km) 0.25 51.05 0.00 0.996 24.062
SI 52.43 86.06 0.61 0.546 24.474
FD -296.8 434.2 -0.68 0.498 21.557
Ukpasir -5.516 3.886 -1.42 0.163 1.209
Ltupveg (ha) 86.55 23.42 3.70 0.001 1.221
S = 30.1929 R-Sq = 31.6% R-Sq(adj) = 21.6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 6 17299.8 2883.3 3.16 0.012
Residual Error 41 37376.0 911.6
Total 47 54675.8
Source DF Seq SS
Area (ha) 1 108.3
Perimeter (km) 1 3738.0
SI 1 535.2
FD 1 199.4
Ukpasir 1 270.0
Ltupveg (ha) 1 12448.9
Unusual Observations
Obs Area (ha) Jmlh Jejak Fit SE Fit Residual St Resid
2 1.4 1.00 63.47 15.11 -62.47 -2.39R
17 0.0 2.00 -17.60 26.96 19.60 1.44 X
27 3.2 201.00 91.16 21.34 109.84 5.14RX
33 0.4 105.00 24.69 15.30 80.31 3.09R
37 14.3 1.00 -28.86 23.50 29.86 1.57 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
100500-50
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI1
Pe
rce
nt
Mean -7.33487E-14
StDev 28.20
N 48
KS 0.227
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI1Normal
71
Transformasi Data :
General Regression Analysis: Jmlh Jejak+1 versus Area (ha), Perimeter (km),
Shape Index, Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -0.5
The 95% CI for lambda is (-0.825, -0.275)
Regression Equation
Jmlh Jejak+1^-0.5 = -0.25145 - 0.0216933 Area (ha) + 0.00943328 Perimeter (km) - 0.10662 SI -
0.0471626 FD - 0.0703477 Ukpasir + 0.30992 Ltupveg (ha)
Coefficients
Term Coef SE Coef T P
Constant -0.251450 4.00382 -0.06280 0.950
Area (ha) -0.021693 0.07481 -0.28999 0.773
Perimeter (km) 0.009433 0.55753 0.01692 0.987
SI -0.106620 0.93997 -0.11343 0.910
FD -0.047163 4.74213 -0.00995 0.992
Ukpasir -0.070348 0.04244 -1.65742 0.105
Ltupveg (ha) 0.309920 0.25581 1.21154 0.233
Summary of Model
S = 0.329769 R-Sq = 10.53% R-Sq(adj) = -2.56%
PRESS = 7.70469 R-Sq(pred) = -54.60%
Analysis of Variance
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Regression 6 0.52502 0.52502 0.087503 0.80465 0.572159
Area (ha) 1 0.01506 0.00915 0.009145 0.08410 0.773284
Perimeter (km) 1 0.01043 0.00003 0.000031 0.00029 0.986583
SI 1 0.12469 0.00140 0.001399 0.01287 0.910244
FD 1 0.00003 0.00001 0.000011 0.00010 0.992113
Ukpasir 1 0.21519 0.29873 0.298732 2.74703 0.105069
Ltupveg (ha) 1 0.15962 0.15962 0.159621 1.46782 0.232627
Error 41 4.45864 4.45864 0.108747
Total 47 4.98366
Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response
Obs Jmlh Jejak+1^-0.5 Fit SE Fit Residual St Resid
17 -0.577350 -0.790695 0.294497 0.213345 1.43775 X
27 -0.070360 -0.532746 0.233074 0.462386 1.98203 X
37 -0.707107 -0.962867 0.256649 0.255760 1.23512 X
Fits for Unusual Observations for Original Response
Obs Jmlh Jejak+1 Fit
17 3 1.59949 X
27 202 3.52338 X
37 2 1.07862 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
0.80.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6-0.8
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI2
Perc
ent
Mean -1.29526E-16
StDev 0.3080
N 48
KS 0.189
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI2Normal
72
Stepwise Regression : Jmlh Jejak versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,
Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)
Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0.05
Response is Jmlh Jejak on 6 predictors, with N = 48
Step 1
Constant 5.206
Ltupveg (ha) 77
T-Value 3.61
P-Value 0.001
S 30.4
R-Sq 22.03
R-Sq(adj) 20.34
Mallows Cp 2.8
Regression Analysis: Jmlh Jejak versus Ltupveg (ha)
The regression equation is
Jmlh Jejak = 5.21 + 77.1 Ltupveg (ha)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 5.206 4.722 1.10 0.276
Ltupveg (ha) 77.06 21.37 3.61 0.001 1.000
S = 30.4419 R-Sq = 22.0% R-Sq(adj) = 20.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 12047 12047 13.00 0.001
Residual Error 46 42629 927
Total 47 54676
Unusual Observations
Obs Ltupveg (ha) Jmlh Jejak Fit SE Fit Residual St Resid
2 0.693 1.00 58.61 13.80 -57.61 -2.12RX
27 0.978 201.00 80.58 19.67 120.42 5.18RX
29 0.575 0.00 49.51 11.44 -49.51 -1.76 X
33 0.000 105.00 5.21 4.72 99.79 3.32R
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
100500-50
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI3
Pe
rce
nt
Mean -5.66214E-15
StDev 30.12
N 48
KS 0.362
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI3Normal
73
Transformasi Data :
General Regression Analysis : Jmlh Jejak+1 versus Ltupveg (ha)
Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -0.5
The 95% CI for lambda is (-0.855, -0.295)
Regression Equation
Jmlh Jejak+1^-0.5 = -0.715565 + 0.18337 Ltupveg (ha)
Coefficients
Term Coef SE Coef T P
Constant -0.715565 0.050701 -14.1133 0.000
Ltupveg (ha) 0.183370 0.229490 0.7990 0.428
Summary of Model
S = 0.326890 R-Sq = 1.37% R-Sq(adj) = -0.78%
PRESS = 5.66567 R-Sq(pred) = -13.68%
Analysis of Variance
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Regression 1 0.06822 0.06822 0.068223 0.638448 0.428380
Ltupveg (ha) 1 0.06822 0.06822 0.068223 0.638448 0.428380
Error 46 4.91544 4.91544 0.106857
Lack-of-Fit 14 1.38817 1.38817 0.099155 0.899556 0.567393
Pure Error 32 3.52726 3.52726 0.110227
Total 47 4.98366
Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response
Obs Jmlh Jejak+1^-0.5 Fit SE Fit Residual St Resid
2 -0.70711 -0.588474 0.148209 -0.118633 -0.40717 X
27 -0.07036 -0.536194 0.211263 0.465834 1.86745 X
29 -1.00000 -0.610129 0.122820 -0.389871 -1.28696 X
Fits for Unusual Observations for Original Response
Obs Jmlh Jejak+1 Fit
2 2 2.88766 X
27 202 3.47821 X
29 1 2.68631 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
0.80.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6-0.8
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI4
Pe
rce
nt
Mean -3.70074E-17
StDev 0.3234
N 48
KS 0.290
P-Value <0.010
Probability Plot of RESI4Normal
74
Lampiran 8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat.
No.
Latitude Longitudinal Altitude
1 WAYPOINT 610 -4.95543572 139.30648204 34.00
2 WAYPOINT 923 -4.95494320 139.30607082 44.00
3 WAYPOINT 699 -4.95185120 139.30485670 29.00
4 WAYPOINT 698 -4.95221162 139.30515435 29.00
5 WAYPOINT 697 -4.95341417 139.30534235 30.00
6 WAYPOINT 696 -4.95342289 139.30534336 30.00
7 WAYPOINT 695 -4.95342876 139.30535057 30.00
8 WAYPOINT 694 -4.95344946 139.30536398 30.00
9 WAYPOINT 693 -4.95342792 139.30539407 30.00
10 WAYPOINT 692 -4.95398456 139.30616789 31.00
11 WAYPOINT 691 -4.95377661 139.30577972 32.00
12 WAYPOINT 609 -4.95545777 139.30650224 34.00
13 WAYPOINT 690 -4.95371441 139.30562046 32.00
14 WAYPOINT 689 -4.95349565 139.30548476 32.00
15 WAYPOINT 688 -4.95362489 139.30537848 32.00
16 WAYPOINT 687 -4.95377820 139.30528116 31.00
17 WAYPOINT 686 -4.95382338 139.30540161 32.00
18 WAYPOINT 685 -4.95382187 139.30540228 32.00
19 WAYPOINT 684 -4.95387367 139.30531830 32.00
20 WAYPOINT 683 -4.95390586 139.30532785 33.00
21 WAYPOINT 682 -4.95392011 139.30542206 33.00
22 WAYPOINT 681 -4.95392882 139.30536171 33.00
23 WAYPOINT 608 -4.95553178 139.30656712 34.00
24 WAYPOINT 680 -4.95394265 139.30537948 33.00
25 WAYPOINT 679 -4.95379765 139.30565986 32.00
26 WAYPOINT 678 -4.95382070 139.30559758 34.00
27 WAYPOINT 677 -4.95390083 139.30556598 33.00
28 WAYPOINT 676 -4.95398842 139.30552382 33.00
29 WAYPOINT 675 -4.95397601 139.30554318 33.00
30 WAYPOINT 674 -4.95394978 139.30566589 34.00
31 WAYPOINT 673 -4.95402798 139.30558124 34.00
32 WAYPOINT 672 -4.95403921 139.30565106 33.00
33 WAYPOINT 671 -4.95400443 139.30559666 34.00
34 WAYPOINT 922 -4.93435582 139.30386211 42.00
35 WAYPOINT 607 -4.95556950 139.30659520 34.00
36 WAYPOINT 670 -4.95405522 139.30555307 34.00
37 WAYPOINT 669 -4.95405271 139.30535769 33.00
38 WAYPOINT 668 -4.95412773 139.30545006 34.00
39 WAYPOINT 667 -4.95412052 139.30545299 34.00
40 WAYPOINT 666 -4.95414072 139.30545215 34.00
41 WAYPOINT 665 -4.95420517 139.30546967 34.00
42 WAYPOINT 664 -4.95417760 139.30542843 35.00
43 WAYPOINT 663 -4.95417726 139.30542885 34.00
44 WAYPOINT 662 -4.95416712 139.30547738 35.00
45 WAYPOINT 661 -4.95415019 139.30558174 35.00
46 WAYPOINT 921 -4.93428734 139.30364862 42.00
47 WAYPOINT 606 -4.95508703 139.30608088 34.00
48 WAYPOINT 660 -4.95415480 139.30558409 36.00
49 WAYPOINT 659 -4.95415295 139.30558870 36.00
50 WAYPOINT 658 -4.95415346 139.30559062 36.00
51 WAYPOINT 657 -4.95402555 139.30567947 36.00
52 WAYPOINT 656 -4.95410199 139.30570613 36.00
53 WAYPOINT 655 -4.95410342 139.30571157 36.00
54 WAYPOINT 654 -4.95404801 139.30578014 36.00
55 WAYPOINT 653 -4.95411322 139.30574611 36.00
56 WAYPOINT 652 -4.95418212 139.30573848 36.00
57 WAYPOINT 651 -4.95425421 139.30575290 36.00
75
No.
Latitude Longitudinal Altitude
58 WAYPOINT 920 -4.93399825 139.30356313 41.00
59 WAYPOINT 605 -4.95509039 139.30609169 34.00
60 WAYPOINT 650 -4.95420484 139.30577947 36.00
61 WAYPOINT 649 -4.95431447 139.30569322 37.00
62 WAYPOINT 648 -4.95434096 139.30569666 36.00
63 WAYPOINT 647 -4.95439880 139.30580160 37.00
64 WAYPOINT 646 -4.95455554 139.30578827 37.00
65 WAYPOINT 645 -4.95455462 139.30578953 37.00
66 WAYPOINT 644 -4.95463676 139.30589262 38.00
67 WAYPOINT 643 -4.95463282 139.30591869 38.00
68 WAYPOINT 642 -4.95465998 139.30588097 38.00
69 WAYPOINT 641 -4.95471681 139.30578123 38.00
70 WAYPOINT 919 -4.93414803 139.30340203 40.00
71 WAYPOINT 604 -4.95493180 139.30607527 34.00
72 WAYPOINT 907 -4.86581985 139.33179782 48.00
73 WAYPOINT 378 -5.12615087 139.08790539 9.00
74 WAYPOINT 640 -4.95471739 139.30578316 38.00
75 WAYPOINT 639 -4.95475427 139.30578425 38.00
76 WAYPOINT 638 -4.95479132 139.30580168 38.00
77 WAYPOINT 637 -4.95478973 139.30580629 38.00
78 WAYPOINT 636 -4.95466618 139.30611500 38.00
79 WAYPOINT 635 -4.95474514 139.30602464 38.00
80 WAYPOINT 634 -4.95476106 139.30608935 38.00
81 WAYPOINT 633 -4.95482175 139.30600301 37.00
82 WAYPOINT 632 -4.95482150 139.30600285 37.00
83 WAYPOINT 631 -4.95494052 139.30602749 36.00
84 WAYPOINT 701 -4.95600603 139.30761695 28.00
85 WAYPOINT 918 -4.93393471 139.30327236 38.00
86 WAYPOINT 603 -4.95493147 139.30605716 34.00
87 WAYPOINT 906 -4.86573930 139.33190737 48.00
88 WAYPOINT 916 -4.93247626 139.31306602 49.00
89 WAYPOINT 058 -5.12595473 139.08681180 14.00
90 WAYPOINT 630 -4.95499676 139.30604459 35.00
91 WAYPOINT 629 -4.95506164 139.30607828 35.00
91 WAYPOINT 628 -4.95511302 139.30610904 36.00
93 WAYPOINT 627 -4.95513028 139.30610485 35.00
94 WAYPOINT 626 -4.95515618 139.30614743 35.00
95 WAYPOINT 625 -4.95520539 139.30616420 35.00
96 WAYPOINT 624 -4.95529155 139.30626721 35.00
97 WAYPOINT 623 -4.95529172 139.30626813 35.00
98 WAYPOINT 622 -4.95537680 139.30631490 35.00
99 WAYPOINT 621 -4.95537428 139.30631960 35.00
100 WAYPOINT 955 -5.03084259 139.29502297 28.00
101 WAYPOINT 944 -5.02499261 139.29445543 32.00
102 WAYPOINT 403 -5.15051479 139.05679135 16.00
103 WAYPOINT 911 -4.88585377 139.33201524 47.00
104 WAYPOINT 169 -5.11996184 139.21141852 21.00
105 WAYPOINT 700 -4.95688939 139.30765953 28.00
106 WAYPOINT 917 -4.93396380 139.30236326 37.00
107 WAYPOINT 602 -4.95523280 139.30618440 34.00
108 WAYPOINT 905 -4.86508735 139.33167561 46.00
109 WAYPOINT 865 -4.93255413 139.31296972 40.00
110 WAYPOINT 865 -4.93255413 139.31296972 40.00
111 WAYPOINT 057 -5.12654674 139.08667887 14.00
112 WAYPOINT 702 -4.83270806 139.33922670 55.00
113 WAYPOINT 620 -4.95542197 139.30637249 35.00
114 WAYPOINT 619 -4.95538191 139.30643736 34.00
115 WAYPOINT 618 -4.95538962 139.30644977 35.00
116 WAYPOINT 617 -4.95539985 139.30644650 34.00
117 WAYPOINT 616 -4.95539742 139.30645823 35.00
76
No.
Latitude Longitudinal Altitude
118 WAYPOINT 615 -4.95543648 139.30644264 34.00
119 WAYPOINT 614 -4.95544586 139.30644038 34.00
120 WAYPOINT 613 -4.95543840 139.30639872 34.00
121 WAYPOINT 612 -4.95546439 139.30639520 34.00
122 WAYPOINT 611 -4.95551191 139.30644248 34.00
123 WAYPOINT 930 -4.95560361 139.30651431 45.00
124 WAYPOINT 929 -4.95540823 139.30655454 45.00
125 WAYPOINT 928 -4.95544209 139.30637567 44.00
126 WAYPOINT 927 -4.95523439 139.30629445 45.00
127 WAYPOINT 926 -4.95523129 139.30621466 45.00
128 WAYPOINT 925 -4.95499768 139.30618750 45.00
129 WAYPOINT 924 -4.95501654 139.30610594 44.00
77
Makalah II
INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta
(Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP
KABUPATEN ASMAT, PAPUA
Richard Gatot Nugroho Triantoro
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Pascasarjana IPB
Email : [email protected]
ABSTRACT
One of the exploited natural resources of Papua is pig nosed turtle (Carettochelys
insculpta). Continuous demand for wildlife, high the economy value, and the low
availability of animal from breeding farm, has made the utilization of C. insculpta
from nature increased. Although report stated financial benefit for local people
from the sale of C. insculpta, but it is feared that the uncontrollable intensity of
their utilization in nature will lead to population decline and extinction of this
species. This study aims to assess the intensity of C. insculpta utilization by
communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua.
Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25
November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region
can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River),
Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled
different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai
and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Collaboration
with non-local hunter occurred in the Bor (marsh) and Obokain, whereas in the
Indama and Sumo there is no collaboration. Extraction of nature is the main
source of local communities and intensive land use has not been made. Eggs at the
harvesting location are traded barter system, combination of barter system with
direct sales of hatchlings, and hatchling sales system directly to the buyer. The
intensity of utilization is very high for eggs (> 75%), whereas females turtles were
captured only local consumption. Egg harvesting is done on a whole nest without
exception, usually in the morning starting at 04.00 am. Females turtles were
captured simultaneously while collecting eggs.
78
1. PENDAHULUAN
Di Papua dan Papua Barat terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik
masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup
harmonis bersama alam (Indrawan et al. 2007). Masyarakat dari anggota
kelompok etnik tersebut banyak yang masih hidup secara tradisional dengan
melakukan aktifitas kegiatan yang menyatu dengan alamnya seperti memancing
dan berburu sesuai kebutuhan kesehariannya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam berupa tumbuhan dan satwa liar dilakukan secara terkontrol alami dimana
pemanfaatan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sub sistence). Dari
berbagai satwa liar yang dimanfaatkan dari alam, kura-kura air tawar maupun
labi-labi merupakan salah satu kelompok satwa liar yang dimanfaatkan untuk
pemenuhan hidup mereka.
Diantara kelompok kura-kura air tawar, Carettochelys insculpta (Labi-labi
moncong babi) merupakan salah satu satwa yang telah dimanfaatkan sebagai
sumber makanan (sumber protein) secara turun temurun oleh penduduk asli di
bagian Selatan Papua, terutama bagi masyarakat yang pemukimannya berada di
lokasi yang jauh dari pemerintahan. Labi-labi moncong babi merupakan salah
satu sumber daya yang penting bagi penduduk lokal di selatan Papua dan
dimanfaatkan sebagai sumber protein hewan secara turun temurun (IUCN 2010;
Triantoro dan Rumawak 2010), sementara penduduk lokal di PNG mengkonsumsi
kura-kura air tawar dan telur-telurnya secara teratur (Georges et al. 2008b). Dari
segi budaya, penduduk lokal di wilayah sungai Vriendschap dahulu menggunakan
Labi-labi moncong babi sebagai mas kawin (Triantoro dan Rumawak 2010).
Dari segi ekonomi, labi-labi merupakan salah satu jenis reptil yang sudah
mempunyai nilai ekonomi tinggi tidak terkecuali jenis C. insculpta. Jenis ini
dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 dan belum
diberikan kuota pemanfaatan walau telah dimasukkan dalam Apendiks 2 CITES
(Dirjen PHKA 2007, 2008; Kemenhut 2010, 2011, 2012), namun dalam
kenyataannya, perdagangan illegal terhadap C. insculpta tetap terjadi dan dapat
ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan luar negeri seperti di Jakarta
79
(Shepherd dan Nijman 2007; Daniel 2011) dan Singapura (Goh dan O’Riordan
2007). Nilai ekonomi labi-labi cenderung semakin meningkat seiring permintaan
pasar yang terus meningkat pula namun tidak dapat dipenuhi dari usaha
penangkaran. Akibatnya pemanenanan dari alam untuk konsumsi perdagangan
ikut meningkat tanpa memandang apakah jenis yang diambil dari alam merupakan
jenis endemik, dilindungi atau tidak dilindungi. Di seluruh dunia, spesies kura-
kura banyak menghadapi ancaman eksploitasi untuk makanan, obat, dan
perdagangan hewan peliharaan, dan juga dari perusakan habitat dan penyakit
(Leuteritz et al. 2005). Amfibi dan reptil biasanya di panen secara luas dan
sebagian besar untuk konsumsi (makanan dan obat-obatan rakyat), perdagangan
mewah (kulit, perhiasan, dan barang antik), dan perdagangan hewan peliharaan
(Vitt dan Calwell 2009). Harga hidupan liar yang dijual illegal sangat
menggiurkan dan memberikan insentif ekonomi yang kuat bagi para pemburu dan
penyelundup untuk terlibat, termasuk masyarakat lokal, beberapa lembaga
pemerintahan dan penegak hukum dengan perannya masing-masing sebagai
pemburu, pembeli, perantara dan penjual (Kartikasari et al. 2012).
Di Indonesia, C. insculpta hanya didapati tersebar di Selatan Papua mulai
dari Danau Yamur, Kaimana (BBKSDA Papua II, personal communication)
sampai ke Merauke dengan perkiraan populasi tinggi terdapat di Sungai
Vriendschap, Kabupaten Asmat. Statusnya yang dilindungi dan dengan wilayah
sebaran populasi yang terbatas, tidak menyurutkan penghentian perburuan
terhadap spesies ini akibat permintaan pasar perdagangan. Pemanfaatan dari alam
oleh masyarakat yang dahulu dilakukan secara sub sistence berubah menjadi
pemanfaatan yang berlebihan akibat meningkatnya permintaan pasar dan nilai
ekonomi C. insculpta. Perburuan, pengumpulan dan perdagangan illegal hidupan
liar Papua adalah sumber utama perdagangan illegal hidupan liar karena
banyaknya jenis endemik yang menarik dan unik (Kartikasari et al. 2012).
Tingkat eksploitasi (perburuan) C. insculpta sangat tinggi di Indonesia dan Papua
New Guinea (PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri
hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap
penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Spesies ini diekspor dalam
jumlah besar untuk perdagangan hewan internasional langsung dari selatan Irian
80
Jaya (Papua), Indonesia (IUCN 2010), penangkapan biasanya dilakukan pada
musim peneluran (Georges et al. 2008b; Triantoro dan Rumawak 2010).
Perburuan di alam terutama dilakukan terhadap telur-telurnya pada musim
peneluran setiap tahunnya dan pemanfaatan daging induk labi-labi sebagai
dampak ikutannya. Dikuatirkan, perburuan yang dilakukan tanpa memperhatikan
aspek konservasi, membuat salah satu jenis labi-labi yang berada di Papua ini
rentan terhadap kepunahan. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan
fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke
jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009). Minimnya informasi pemanfaatan
C. insculpta di alam dan tingginya perburuan mendasari dilakukannya penelitian
ini yang bertujuan untuk mengetahui: 1) wilayah pemanfaatan adat C. insculpta,
2) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem ekonomi di
lokasi pemanfaatan, 3) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 4) pengumpulan
telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.
Kegiatan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap yaitu : Pertama,
inventarisisasi wilayah pemanfaatan adat dan suku apa saja yang berprofesi
sebagai pencari pada masing-masing wilayah. Pada konteks ini wilayah adat
memberikan gambaran batas wilayah pemanfaatan antara suku adat yang
mempunyai hak pemanfaatan dan wilayah atau suku adat mana yang
berkolaborasi dengan pencari non lokal. Kedua, melihat pola pemanfaatan lahan
dan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di wilayah pemanfaatan serta sistem
ekonomi yang terjadi saat pemanenan telur dilakukan. Pola pemanfaatan lahan
dan sumber daya alam memberikan informasi terkait kondisi habitat hidup dan
peneluran C. inscupta, sedangkan sistem ekonomi memberikan gambaran sistem
perdagangan yang terjadi di wilayah pemanfaatan. Ketiga, menguji intensitas
pemanfaatan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat di wilayah Sungai
Vriendschap yang meliputi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan : 1) apakah
perburuan dilakukan terhadap telurnya atau induk saja atau kepada kedua bagian
ini?, 2) apakah perburuan telur dilakukan terhadap sarang-sarang yang diprediksi
rusak akibat luapan air sungai?, atau 3) apakah perburuan dilakukan pada
keseluruhan sarang tanpa terkecuali? Intensitas pemanfaatan memberikan
gambaran seberapa tinggi pemanfaatan C. insculpta yang dilakukan oleh
81
komunitas masyarakat saat musim peneluran. Keempat, mendeskripsikan pola
pengumpulan telur dan pemanfaatan induk C. insculpta. Pada penelitian ini
digambarkan bagaimana proses pencarian dan penandaan sarang sampai
pengambilan telurnya, dan bagaimana penangkapan induk dilakukan, jumlah
ditangkap dan prosesnya sampai dikonsumsi.
83
2. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar II.1)
yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten
Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di sepanjang
Sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain,
Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar, tidak
termasuk alur-alur sungai atau anakan sungai disekitarnya. Penelitian dilakukan
dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada
dalam rentang waktu puncak musim peneluran.
Gambar II.2 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di
wilayah Sungai Vriendschap.
2.2. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi : luas wilayah yang di panen
(sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo), jumlah induk di panen,
jumlah sarang di panen, frekuensi perburuan (pengambilan), dan data responden
84
yang menyangkut pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku,
dan pengalaman berburu
2.3. Metode Pengumpulan Data
Pendataan difokuskan pada para pencari atau pemburu telur yang ditemui
di sepanjang Sungai Vriendschap. Metode yang digunakan dalam pendataan
adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur
yaitu wawancara yang didasarkan pada daftar pertanyaan kunci (tanpa
menggunakan kuisioner yang harus diisi secara langsung oleh responden), dan
teknik observasi yaitu pengamatan langsung dilapangan. Teknik wawancara tidak
terstruktur dilakukan untuk mengumpulkan data responden yang menyangkut
pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku, dan pengalaman
berburu, sedangkan teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data luas
wilayah yang di panen (sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo),
jumlah induk di panen, jumlah telur di panen, dan frekuensi perburuan
(pengambilan), dengan mengikuti aktifitas pencari atau pemburu telur. Metode
ini digunakan agar bisa mendapatkan informasi pemanfaatan secara aktual
dilapangan karena obyek yang di teliti adalah satwa yang dilindungi namun
pemanenan illegal di alam terus terjadi. Wawancara dilakukan setelah selesai
dilakukan pendataan sarang atau di waktu luang saat tidak mengambil data
persarangan akibat banjir dalam suasana tidak formil dan informasi yang di dapat
di catat kemudian setelah selesai diskusi. Jumlah pencari telur di lokasi perburuan
yang dapat di wawancarai sebanyak 12 orang. Sebanyak 11 responden
merupakan masyarakat lokal yang berdiam disekitar Sungai Vriendschap dan 1
responden merupakan masyarakat non lokal (pendatang). Keterbatasan jumlah
responden disebabkan para pencari banyak yang pergi meninggalkan lokasi
pencarian atau bersembunyi akibat aktifitas patroli yang dilakukan oleh pihak
BKSDA Asmat.
Pengambilan data intensitas pemanfaatan dilakukan pada 3 (tiga) lokasi
yang dipilih di wilayah Sungai Vriendschap yaitu wilayah pemanfaatan Bor yang
berada pada bagian rawa, wilayah pemanfaatan Obokain yang berada pada bagian
tengah sungai, dan wilayah pemanfaatan Sumo yang terdapat pada bagian hulu
85
sungai. Pada tiap wilayah terdapat lebih dari 1 (satu) kelompok pencari telur
sehingga dalam pendataan sampling wilayah pemanfaatan mengikuti wilayah
pemanfaatan dari salah satu kelompok pengumpul atau pemilik wilayah adat,
sehingga luas wilayah pemanenan adalah gambaran dari luas wilayah dari salah
satu kelompok atau pemilik wilayah adat. Masing-masing sampling lokasi
pemanfaatan kemudian dipetakan luas wilayah perburuan atau pemanenannya dan
ditampilkan secara visual. Pemilihan lokasi pemanfaatan didasarkan pembagian
Sungai Vriendschap yaitu pada bagian hulu (Sumo), tengah (Obokain), dan
mendekati hilir (Bor rawa) dimana pada masing-masing wilayah pemanfaatan
terdiri atas 6 (enam) pasir peneluran. Pendataan sampling wilayah pemanfaatan
dilakukan masing-masing selama 1 hari. Jumlah sarang di panen pada wilayah
Bor (rawa) dihitung selama 4 hari, pada wilayah Obokain selama 5 hari dan pada
wilayah Sumo selama 3 hari. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas
pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan berdasarkan persentase pemanfaatan
jumlah sarang pada tiap lokasi terpilih (Tabel II.1). Para kelompok pemburu telur
disepanjang sungai dan rawa Vriendschap di data asal (kampung/kecamatan)
mereka untuk mendapatkan akses perburuan ke Sungai Vriendschap.
Tabel II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi moncong babi
Kelas Kriteria
Sangat tinggi : Jika lebih dari 75% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Tinggi : Jika sebesar 51-75% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Menengah : Jika sebesar 26-50% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Rendah : Jika sebesar 1-25% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Sangat rendah : Jika penduduk tidak memanfaatkan sarang labi-labi
moncong babi
Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009)
2.4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengolah data
dalam bentuk tabulasi terlebih dahulu. Hasil analisis kemudian disajikan dalam
bentuk tabel, grafik dan gambar.
87
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta
Wilayah pemanfaatan di sepanjang Sungai Vriendschap terbagi atas 5
(lima) wilayah pemanfaatan berdasarkan wilayah adat yaitu wilayah Bor (Rawa),
Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo. Sebaran wilayah pemanfaatan telur
dan induk C. insculpta disajikan pada Gambar II.2 dibawah ini yang diwakili oleh
wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo. Letak wilayah pemanfaatan Bor
(Sungai) berada diantara Bor (Rawa) dengan Obokain dan wilayah pemanfaatan
Indama berada diantara Obokain dengan Sumo.
Gambar II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Carettochelys
insculpta pada wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah
Sungai Vriendschap.
Wilayah Bor (rawa) secara adat berada dibawah wilayah adat Suku
Betkuar, namun kelompok pencari tahun 2011 di dalam kawasan ini juga terdiri
dari Suku Mapi dan Ternate. Pada wilayah Obokain secara adat berada dibawah
wilayah adat Suku Diai dan Dini dengan kelompok pencari didalamnya terdapat
88
Suku Jawa, Kei, Madura dan Batak. Sementara pada wilayah pemanfaatan
Indama dan Sumo, secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Momuna
namun tidak didapati pencari dari luar suku. Pola pemanfaatan pada wilayah Bor
(rawa) dan Obokain masih terlihat adanya kerjasama dengan pencari telur dari
luar masyarakat lokal, sedangkan pada wilayah Sumo pencarian telur dilakukan
murni oleh masyarakat lokal. Pencari telur diluar masyarakat adat berasal dari
wilayah Jinak, Waganu, Atsy, maupun Agats, dan ijin untuk berburu telur dan
lokasi pencarian dapat berubah sejalan dengan ijin yang diberikan oleh suku adat
kepada mereka. Pendataan jejak induk yang naik ke pasir untuk bersarang
ditemukan sebanyak 19 jejak di wilayah Bor (Rawa), 6 jejak di wilayah Bor
(Sungai), 379 jejak di wilayah Obokain, 65 jejak di wilayah Indama, dan 80 jejak
di wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 7 sarang di
wilayah Bor (Rawa), 1 sarang di wilayah Bor (Sungai), 110 sarang di wilayah
Obokain, 8 sarang di wilayah Indama, dan 6 sarang di wilayah Sumo.
3.1.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem
Ekonomi
Hasil pendataan terhadap pekerjaan responden (pencari telur) diluar
musim peneluran, diperoleh masyarakat setempat masih bergantung kepada
sumberdaya alam yang terlihat dari tingginya pekerjaan berupa ekstraksi langsung
dari hutan, seperti yang terlihat pada Gambar II.3, sedangkan hasil pendataan
responden terhadap tingkat pendidikan menunjukkan bahwa secara keseluruhan
masyarakat lokal belum mendapatkan pendidikan. Responden lokal yang
mengenyam pendidikan hanya 1 (satu) orang dengan tingkat pendidikan sampai
Sekolah Dasar (SD) sedangkan responden lokal lainnya sama sekali tidak
mengenyam pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA hanya
ditemukan pada responden (pencari telur) dari luar. Gambaran sebaran
pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanenan telur dapat dilihat
pada Gambar II.4.
89
Keterangan : PG : Pencari Gaharu; PB : Pencari Buaya; Sekdes : Sekretaris Desa; PP : Penebang
Pohon; P : Pedagang.
Gambar II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan
pekerjaan
Gambar II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan
pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai
Vriendschap.
Pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal baik untuk
pertanian, perikanan maupun peternakan di sekitar wilayah pemanfaatan telur
belum dilakukan, namun pada wilayah perkampungan lahan pertanian sudah
diupayakan oleh masyarakat lokal walau bukan berupa pertanian intensif.
Beberapa produk pertanian yang pernah dikembangkan maupun dijual oleh
masyarakat meliputi kacang panjang (Vigna sinensis), kacang tanah (Arachis
hypogaea), jagung (Zea mays), ketimun (Cucumis sativus), gambas (Luffa
acutangula), cabe (Capsicum sp.), pisang (Musa sp.), ubi kayu (Manihot
esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Caladium sp.). Hasil
pertanian ada yang sebagian kecil dijual ke Jinak, namun lebih sering digunakan
41.67
8.338.33
8.33
8.33
16.67
8.33
PG
PG, PB
PG, Sekdes
PG, Sekdes, PP
PG, P
Bertani
Aparat
83.33
8.33
0
8.33
100
0 0 0
0
20
40
60
80
100
Tidak Sekolah SD SMP SLTA
Tingkat
Pendidikan
Frekuensi
Pemanenan
%
90
untuk kebutuhan sendiri karena jauhnya akses untuk menjual dengan jumlah yang
tidak ekonomis sebagai sumber pendapatan. Dari segi kualitas habitat, tidak
adanya pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal pada wilayah
Sungai Vriendschap menyebabkan kondisi habitat peneluran C. insculpta tidak
mengalami penurunan kualitas akibat adanya campur tangan manusia.
Beberapa jenis sumberdaya alam berupa tumbuhan digunakan pula untuk
kebutuhan hidup (makanan) masyarakat lokal di Sungai Vriendschap yang
meliputi sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus sp), sedangkan jenis
sumberdaya alam berupa satwa liar meliputi kura-kura (Carettochelys insculpta,
Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa), buaya (Crocodylus cf novaeguineae),
babi hutan (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp), ular karung (Acrocordus
arafurae), ikan gurame (Osphronemus goramy) dan ulat sagu (Rhynchophorus
ferruginenus). Pemanfaatan satwa liar yang telah bernilai ekonomi (uang tunai)
bagi masyarakat lokal di Sungai Vriendschap adalah kulit buaya dan telur C.
insculpta.
Dari segi perdagangan, penjualan telur oleh pencari lokal dilakukan
dengan sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung
tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli. Sistem barter yang
dilakukan sampai saat ini adalah kesepakatan sejumlah telur yang di barter dengan
satu set perahu. Jumlah telur yang dibarter dengan satu set perahu untuk tahun
2011 berkisar 2 – 4 ember dimana barter telur sebanyak 2 ember didapati di
wilayah Bor, 3 ember di wilayah Obokain dan 4 ember di wilayah Sumo, dengan
jumlah telur tiap ember ± 1.500 butir. Untuk penjualan langsung dalam bentuk
tukik, diperoleh harga tukik tahun 2011 di wilayah sungai Vriendschap berkisar
Rp 15.000 – 20.000 (rata-rata Rp 17.500), sedangkan apabila dijual diluar wilayah
Vriendschap seperti di Jinak, Waganu, Atsy maupun Agats mencapai kisaran
harga Rp 30.000 – 50.000 (rata-rata Rp 40.000).
3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta
Responden yang berhasil di data di Sungai Vriendschap, dipetakan
sebarannya berdasarkan suku dan kampung seperti disajikan pada Gambar II.5,
sedangkan sebaran umur dan pengalaman perburuan telur responden dapat dilihat
pada Gambar II.6.
91
Gambar II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap berdasarkan (a) suku dan (b) kampung
Gambar II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur
Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.
Hasil pendataan sarang yang di panen, diperoleh pemanenan untuk
mendapatkan nilai ekonomi dilakukan terhadap telur-telurnya saja. Pemanenan
tidak dibedakan antara sarang yang baik, sarang yang kemungkinan rusak akibat
tergenang luapan sungai saat banjir, ataupun sarang yang dimungkinkan rusak
akibat predator alami. Seluruh sarang yang ditemukan kemudian dibongkar dan
telur-telurnya diambil tanpa menyisakan sebutirpun telur dalam sarang atau
menyisakan satupun sarang yang utuh. Kondisi tersebut mengakibatkan
pemanenan sarang atau telur C. insculpta mencapai 100%. Dengan persentase
pemanfaatan sarang yang mencapai 100% dan didasarkan atas kelas pemanfaatan
sarang yang ditunjukkan pada Tabel II.4, maka intensitas pemanenan sarang atau
telur di wilayah Sungai Vriendschap termasuk dalam kelas pemanfaatan sangat
tinggi karena keseluruhan sarang di panen tanpa terkecuali dan terjadi diseluruh
wilayah pemanfaatan.
8.338.33
8.33
25.00
41.67
8.33
Mapi
Betkuar
Diai
Dini
Momuna
Madura
8.338.33
33.33
8.33
33.33
8.33
BorBetkuarObokainIndamaSumoJinak
16.67
33.33
8.33
0.00
25.00
16.67 20 - 2526 - 3031 - 3536 - 4041 - 4546 - 50
8.33
16.67
25.00
50.00
0
10
20
30
40
50
60
1 Tahun 2 - 3
tahun
4 - 5
Tahun
≥ 6
Tahun
1 Tahun
2 - 3 tahun
4 - 5 Tahun
≥ 6 Tahun
a b
92
3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta
Pemanenan telur C. insculpta dilakukan pada musim peneluran yaitu di
bulan Agustus – Desember dengan puncak peneluran pada bulan September –
November. Pencari telur berada di wilayah peneluran pada rentang waktu 3-4
bulan dengan frekuensi perburuan telur dilakukan setiap hari apabila kondisi
dilokasi memungkinkan (baik). Kondisi di lokasi yang mendukung perburuan
telur apabila sungai tidak banjir, langit cerah tanpa ada kilatan cahaya, dan tidak
turun hujan. Waktu pengumpulan telur (pemanenan) dimulai pagi hari pada jam
04.00 saat matahari belum terbit dengan menggunakan senter sebagai penerang.
Pengecekan keberadaan sarang dilakukan dengan menusuk-nusuk pasir
menggunakan tongkat yang ujungnya sudah diberi besi atau menggunakan
tongkat kayu yang ujungnya sudah dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan
penusukan. Sarang yang ditemukan kemudian ditandai atau langsung diambil.
Dalam sekali pemanenan apabila sarang yang ditemukan sedikit maka sarang
langsung digali dan diambil telurnya, sedangkan apabila sarang yang ditemui
banyak maka sarang-sarang yang ditemui ditandai terlebih dahulu menggunakan
tongkat kecil yang ujungnya sudah diberi penanda (label) menyerupai bendera
berbahan pita, tali rafia atau bungkus mie instan. Masing-masing label pada
tongkat berbeda-beda yang merupakan ciri pembeda diantara pencari telur.
Apabila tongkat penanda masih belum cukup maka digunakan batang rumput tebu
(Pragmintes karka), ranting, atau batang tumbuhan lainnya yang dapat digunakan
sebagai penanda. Sarang yang telah ditandai tersebut tidak boleh dibongkar dan
diambil telurnya oleh pencari lainnya karena telah ada komitmen bersama bahwa
tidak boleh mengambil telur dari sarang yang sudah ditandai oleh pencari yang
telah menandai terlebih dulu. Komitmen ini dapat dikontrol apabila sekali
pemanenan dalam jumlah sedikit tetapi apabila dalam jumlah banyak sulit
mengontrolnya karena ada yang mencari untung dengan membuang tongkat
penanda, membongkar sarang dan mengambil telurnya. Telur dikumpulkan
dalam suatu wadah (ember) dengan bagian bawahnya dilapisi terlebih dahulu
dengan pasir dan ditutup bagian atasnya dengan pasir pula setelah selesai
pengumpulan telur.
93
Pemanenan terhadap induk betina C. insculpta umumnya dilakukan secara
bersamaan pada saat melakukan pengecekan terhadap sarang dan ditujukan untuk
pemenuhan pangan para pecari (lokal) selama melakukan perburuan telur. Jumlah
induk betina yang ditangkap tidak terbatas jumlahnya didasarkan atas
pertimbangan jumlah anggota pencari (keluarga) dan sebagai persediaan makanan
apabila tidak mendapatkan induk di hari berikutnya. Induk yang ditangkap saat
pengecekan sarang adalah induk yang selesai membuat sarang tetapi belum
sempat kembali ke air atau induk yang terlambat naik ke pasir (menjelang pagi).
Apabila ditemui maka induk segera dibalik dengan plastron menghadap ke atas
yang membuatnya tidak bisa bergerak kembali ke sungai. Selain pemanenan
induk yang dilakukan saat pengecekan sarang di pagi hari, pemanenan induk juga
dilakukan pada saat matahari tenggelam dimana induk terlihat mulai bermain atau
berkumpul di air dekat tepi pasir.
Pada keseluruhan responden, didapati semuanya mengkonsumsi daging
dari induk betina sedangkan yang pernah menjualnya sebanyak 4 (empat)
responden dimana jumlah yang pernah dijual masing-masing responden sebanyak
1 (satu) ekor dengan harga jual Rp 50.000. Penjualan induk dilakukan atas
pesanan dengan lokasi penjualan induk dilakukan di Jinak bersamaan saat
masyarakat kesana membeli kebutuhan hidup.
3.2. Pembahasan
3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta
Pemanfaatan masyarakat lokal terhadap telur dan induk C. insculpta pada
wilayah Sungai Vriendschap dilakukan selama musim peneluran yaitu pada bulan
Agustus – Desember. Pada rentang bulan tersebut masyarakat lokal keluar dari
kampungnya dan membuat bivak (pondok) disepanjang sungai untuk
memudahkan proses pemanenan karena jarak yang cukup jauh antara lokasi
kampung dengan Sungai Vriendschap. Sebaran dan luas wilayah pemanfaatan
terjadi di seluruh wilayah sungai mulai dari muara Vriendschap (pertemuan
dengan Sungai Catarina) sampai ke hulu Sungai Vriendschap yang bertemu
dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng, yang meliputi sungai utama, anak
sungai, rawa-rawa dan aliran-aliran air dimana terdapat kumpulan pasir.
94
Jumlah pasir peneluran yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap
meliputi wilayah pemanfaatan Bor (Rawa) sebanyak 15 dengan total luas pasir
peneluran sebesar 30.38 Ha dan pada wilayah Bor (Sungai) sebanyak 6 dengan
total luas pasir peneluran sebesar 22.78 Ha. Pada wilayah pemanfaatan Obokain
jumlah pasir peneluran yang terdata sebanyak 14 dengan total luas pasir peneluran
sebesar 28.82 Ha, pada wilayah Indama sebanyak 6 dengan total luas pasir
peneluran sebesar 8.74 Ha, dan pada wilayah pemanfaatan Sumo jumlah pasir
peneluran yang terdata sebanyak 7 dengan total luas pasir peneluran sebesar 24.96
Ha. Pada wilayah Bor (Sungai) dan Sumo jumlah pasir yang terdata lebih sedikit
karena saat pendataan terdapat beberapa pasir peneluran sudah muncul tetapi
masih tergenang oleh air.
Dari 5 (lima) wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap terlihat bahwa
pencari telur di wilayah adat Obokain mempunyai peluang mendapatkan
penghasilan lebih baik dari para pencari telur di 4 (empat) wilayah lainnya (Bor
rawa, Bor sungai, Indama dan Sumo) disebabkan jumlah sarang cukup banyak
terdapat pada wilayah tersebut. Jumlah sarang yang tinggi pada wilayah Obokain
dapat berkaitan dengan pemilihan tempat peneluran yang mereka sukai dan sifat
C. insculpta yang melakukan pergerakan seperti reptile pada umumnya yaitu
kembali ketempat dimana mereka menetas. Berkaitan dengan sifat penyu yang
umumnya menunjukkan kesetiaan pada satu atau dua tempat bersarang setiap
tahunnya (Rowe et al. 2005), maka lokasi pemanfaatan di wilayah Obokain
Sungai Vriendschap diprediksi merupakan pemilihan tempat bersarang yang
disukai oleh C. insculpta. Pergerakan yang dilakukan C. insculpta ke wilayah
Obokain dipengaruhi oleh gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil
seperti migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja
dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa
(Rowe 2005; Vitt dan Calwell 2009).
3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem
Ekonomi
Secara umum, mata pencaharian masyarakat lokal di Sungai Vriendschap
masih berupa peramu dimana kebutuhan pokoknya masih bergantung cukup
95
tinggi terhadap sumberdaya alam. Kondisi seperti ini umum ditemui pada
masyarakat lokal di Papua yang akses menuju dan keluar wilayahnya cukup jauh
atau sulit. Gambar II.3 menunjukkan 41.67% responden murni berprofesi sebagai
pencari gaharu dan 16.67% murni berprofesi sebagai petani. Diluar kedua profesi
murni ini, profesi sebagai pencari gaharu merupakan profesi yang juga dilakukan
oleh responden lainnya yang tidak bekerja sebagai pencari gaharu murni. Saat
musim peneluran, responden mengalihkan profesinya dengan mencari telur dan
kembali ke profesi semula saat musim peneluran selesai. Profesi perburuan telur
dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomi langsung berupa uang tunai agar bisa
memenuhi kebutuhan bahan makanan, transportasi dan simpanan uang.
Diantara masyarakat lokal yang masih bersifat peramu di bagian Selatan
Papua adalah masyarakat Suku Kamoro (Muller 2005), menggantungkan
kebutuhan hidupnya dengan berburu seperti babi, menangkap ikan dan meramu
sepanjang tahun, dan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar musiman seperti
buah-buahan, sayuran hutan hujan, kura-kura, dan sejumlah jenis burung musim
tertentu. Etika kerja masyarakat Papua yang hidup berkelompok di daerah rawa
mengandalkan sagu untuk kelangsungan hidupnya (misalnya, masyarakat Asmat,
Kamoro, Waropen, Bauzi, dan Inawatan) yang berpusat pada upaya-upaya untuk
memenuhi kebutuhan mendesak (misalnya, mengumpulkan cukup makanan untuk
kebutuhan sehari) dan tidak melakukan kerja sebagai investasi untuk masa depan
(Kartikasari et al. 2012).
Mengkonsumsi telur sebagai sumber protein pada masyarakat lokal sudah
tidak menjadi prioritas utama karena telur lebih diutamakan dijual atau ditetaskan
terlebih dahulu untuk dijual dalam bentuk tukik. Konsumsi telur hanya dilakukan
terhadap telur yang diprediksi tidak menetas (rusak) atau pada saat kebutuhan
bahan makanan sudah tidak ada dan belum sempat mencari di hutan. Masyarakat
lokal yang tidak mempunyai perahu atau perahu lama yang dimiliki sudah rusak
ataupun alasan lainnya yang mendesak, maka pada tahap awal penjualan telur
dilakukan dengan sistem barter dimana sejumlah telur ditukar dengan satu set
perahu (perahu lengkap dengan mesinnya). Keuntungan bagi masyarakat lokal
dengan sistem barter adalah mereka dapat memperoleh barang barterannya
terlebih dahulu walau belum menyerahkan atau melengkapi jumlah telur. Setelah
96
jumlah telur tercukupi untuk barter dengan perahu yang dibutuhkan maka telur
selebihnya yang terkumpul ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik. Jumlah
(penjualan) telur yang dilakukan dengan sistem barter tidak ada ketentuan atau
standar, semuanya tergantung kepada tawar menawar antara pemilik modal yang
juga merangkap pencari telur dari luar dengan masyarakat lokal yang mempunyai
wilayah adat sekaligus sebagai pencari telur lokal. Kondisi tersebut
mengakibatkan terdapat perbedaan antara jumlah telur yang dibarter pada setiap
wilayah pemanfaatan atau pada setiap kelompok pencari telur.
Pada kondisi sebelumnya, pencari lokal hanya menjual sejumlah telur
secara barter dengan satu set perahu. Apabila jumlah telur barter telah tercukupi
dan ada kelebihannya maka dilakukan barter kembali (berulang) seperti
kesepakatan semula. Kekurangan jumlah telur untuk melengkapi nilai barter telur
dan perahu akan ditebus oleh pencari telur pada tahun berikutnya. Sistem barter
seperti ini dapat memberikan surplus perahu kepada masyarakat lokal tetapi tidak
memberikan nilai simpanan dari segi keuangan. Saat ini sistem yang digunakan
oleh pencari lokal dengan pencari dari luar meliputi 3 (tiga) model yaitu sistem
barter murni, kombinasi sistem barter dan jual tukik, dan sistem menjual tukik
murni. Sistem barter murni masih didapati pada para pencari lokal yang baru
pertama kali mencoba peruntungan dalam pemanenan telur, sedangkan kombinasi
sistem barter dan jual tukik serta sistem menjual tukik murni didapati pada pencari
lokal yang sudah mempunyai pengalaman pencarian dalam beberapa tahun.
Sistem kombinasi maupun sistem menjual tukik murni dirasakan oleh beberapa
kelompok masyarakat lokal lebih memberikan keuntungan karena selain
mendapatkan perahu dan dukungan logistik (bahan makanan dan bensin),
kelebihan keuntungan dapat diterima dalam bentuk uang tunai yang dapat
disimpan maupun digunakan untuk membeli kebutuhan hidup seperti bahan
makanan dan bahan bakar minyak (bensin) dalam mendukung sarana transportasi.
Penjualan tukik ada yang dilakukan sendiri oleh pencari lokal (sistem menjual
tukik murni) dan ada yang menjualnya berkolaborasi dengan pencari dari luar
(tukik dijualkan oleh pencari dari luar).
Dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 diperoleh jumlah sarang
disepanjang wilayah Sungai Vriendschap sebanyak 132 buah dengan rata-rata
97
jumlah telur setiap sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34),
sehingga dari 132 sarang diperoleh rata-rata jumlah telur yang dipanen adalah
2.647 butir (kisaran = 924 – 4.488). Didasarkan pada asumsi jumlah sarang yang
terdata, harga jual rata-rata tukik di wilayah Sungai Vriendschap, dan seluruh
telur yang dipanen berhasil menetas, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul
dari hasil penjualan tukik di sepanjang Sungai Vriendschap dalam rentang waktu
8 – 25 November 2011 sebesar Rp 46.322.500 dengan kisaran Rp 16.170.000 –
78.470.000. Apabila didasarkan pada harga tukik di Jinak, Waganu, Atsy maupun
Agats, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul dari hasil penjualan tukik
sebesar Rp 105.880.000 dengan kisaran Rp 36.960.000 – 179.360.000. Nilai
perhitungan ini merupakan simulasi sederhana dengan asumsi yang melekat
didalamnya. Dalam kenyataannya penghasilan bersih setiap kelompok pencari
dapat berbeda disebabkan : 1) Nilai jual yang berlaku saat penjualan karena
masing-masing pencari mempunyai jalur tersendiri dalam memasarkan telur
maupun tukik, 2) persentase tetas telur yang dipanen, 3) perbedaan jumlah telur
yang berhasil dipanen, dan 4) pengeluaran terhadap bahan makanan, bahan bakar
minyak (bensin), dan kebutuhan lain yang digunakan selama musim perburuan.
C. insculpta diekspor dalam jumlah besar untuk perdagangan hewan
internasional langsung dari Selatan Irian Jaya (Papua), Indonesia, dieksploitasi
dan dikonsumsi secara lokal di Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), dan
terancam punah oleh hilangnya habitat dan degradasi di Australia (IUCN 2010),
serta diperdagangkan illegal di Indonesia, Singapura, Jepang, Thailand, China,
USA dan Eropa (Georges et al. 2008a). Di dalam negeri tepatnya di pasar
Kemuning, Jakarta, C. insculpta dijual dengan harga Rp 800.000 (Daniel 2011)
dan di luar negeri khususnya di Singapura, C. insculpta di jual illegal secara
sembunyi-sembunyi dengan tidak menempatkan atau memajang di toko hewan
peliharaan dengan harga jual tahun 2007 berkisar 25 – 50 dolar Singapura untuk
panjang kerapas < 5 cm dan harga 100 dolar Singapura untuk panjang kerapas 5 –
10 cm (Goh dan O’Riordan 2007). Dengan kurs 1 $ Singapura sebesar Rp 7.500
(kurs tanggal 25 Juli 2012) dan mengacu pada harga C. insculpta tahun 2007,
maka harga jual tukik C. insculpta di Singapura berkisar Rp 187.500 – 375.000
untuk ukuran kerapas < 5 cm, sedangkan anakan yang mempunyai ukuran sedikit
98
lebih besar (5 – 10 cm) diperoleh harga jualnya sebesar Rp 750.000. Untuk C.
insculpta yang dijual di Singapura, ukuran kerapas < 5 cm masih tergolong
ukuran tukik (anakan) hasil penetasan.
Pekerjaan masyarakat lokal yang bergantung dari sumberdaya alam tidak
terlepas dari pendidikan yang dimiliki. Pemukiman yang jauh dari pemerintahan
dan tingkat pendidikan yang rendah memberikan kontribusi bagi alternatif
pekerjaan yang dapat dilakukan. Tingkat pendidikan yang rendah juga dapat
memberikan dampak negatif bagi pemahaman tentang keberlanjutan populasi
suatu spesies. Hubungan pendidikan rendah dengan intensitas pemanfaatan
sangat tinggi (100%) yang diperlihatkan gambar II.4 tidak berarti menunjukkan
bahwa pendidikan rendah akan memberikan dampak intensitas pemanfaatan yang
tinggi pula, karena tidak ada jaminan dengan pendidikan tinggi dapat mengurangi
tingkat intensitas pemanfaatan telur, namun sulit untuk melihat korelasi diantara
keduanya karena tidak didapati sebaran intensitas pemanfaatan diluar intensitas
sangat tinggi (100%). Korelasi antara faktor-faktor lainnya seperti umur, suku,
kampung, pekerjaan pencari telur, frekuensi pemanenan, waktu perburuan dan
pengalaman perburuan telur terhadap intensitas pemanfaatan juga tidak dapat
dilakukan dengan alasan serupa.
Intensitas pemanenan telur yang sangat tinggi, tingkat pendidikan yang
rendah, nilai jual tukik yang terus meningkat seiring permintaan pasar, dan
pemanfaatan terhadap induk betina sebagai sumber protein secara bersamaan di
wilayah Sungai Vriendschap, secara perlahan dapat menyebabkan hilangnya
generasi dan akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis dari Labi-labi
moncong babi. Kemungkinan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin
terjadi karena hasil penelitian Eisemberg et al. (2011) di kawasan Kikori (PNG)
yang masyarakatnya melakukan pemanenan dan pemanfaatan Labi-labi moncong
babi seperti di wilayah Sungai Vriendschap, mendapati adanya penurunan ukuran
populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasikan dari
kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi
oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang di
panen.
99
3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta
Pada Gambar II.5 memperlihatkan sebaran responden didominasi oleh
Suku Momuna. Suku Betkuar hanya dijumpai di wilayah Bor (Rawa) sedangkan
Suku Mapi dijumpai di wilayah Bor (Rawa) dan Bor (Sungai). Suku Diai, Dini
dan Madura dijumpai di wilayah Obokain, dan Suku Momuna dijumpai di
wilayah Indama dan Sumo. Semua suku merupakan suku asli setempat kecuali
Suku Mapi yang berasal dari Kabupaten Mapi dan tinggal di Kampung Bor, dan
Suku Madura yang tinggal di kampung Jinak. Semua suku tinggal di wilayah
Sungai Vriendschap kecuali Suku Betkuar dan Suku Madura. Kampung Betkuar
letaknya tidak jauh dari Bor (Rawa) dan secara adat mengklaim bahwa wilayah
Bor (Rawa) merupakan wilayah adatnya, sedangkan Kampung Jinak letaknya jauh
dari Sungai Vriendschap.
Menurut BPS dan Bappeda Provinsi Papua Barat (2011), penduduk usia
produktif adalah penduduk berusia 15 - 64 tahun sedangkan penduduk usia tidak
produktif adalah penduduk yang berusia 0 – 14 tahun dan usia 64 tahun ke atas.
Gambar II.6 memperlihatkan bahwa seluruh umur responden (pencari telur)
berada pada kisaran umur produktif (20 - 50 tahun). Hal ini menggambarkan telur
C. insculpta memberikan rangsangan nilai ekonomi (jual) kepada masyarakat
lokal untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan mereka tanpa menyadari
pemanenan yang berlebihan di alam dapat menyebabkan turunnya populasi
bahkan kepunahan dari spesies bersangkutan. Sebaran pengalaman perburuan
responden memperlihatkan 50% responden mempunyai pengalaman berburu telur
lebih > 6 tahun. Pengalaman responden yang didapati memperlihatkan adanya
tren bahwa para responden telah lama menggeluti perburuan cukup lama. Tren
tersebut menggambarkan pula bahwa pekerjaan perburuan telur memberikan
dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal sehingga terus
dilakukan di setiap musim peneluran, namun dikuatirkan menjadi salah satu
penyebab turunnya populasi bahkan kepunahan spesies C. insculpta.
Pemanenan telur yang mencapai intensitas sangat tinggi disebabkan
pemanfaatan telur bukan lagi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan
tetapi lebih digunakan untuk pemenuhan nilai ekonomi masyarakat akibat dari
tingginya nilai ekonomi hasil penjualan anakan C. insculpta (tukik). Pemanfaatan
100
telur sebagai sumber pangan hanya dilakukan terhadap telur-telur yang
mengalami kerusakan atau diprediksi tidak menetas. Manusia merupakan faktor
utama yang menyebabkan rusaknya sarang dan hilangnya telur di alam yang dapat
berdampak pada putusnya generasi dan kepunahan labi-labi moncong babi
kedepannya. Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan
berlebihan terhadap spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola
yang serupa dimana suatu sumber daya ditemukan, pasar komersial
dikembangkan untuk sumber daya tersebut dan penduduk lokal dikerahkan untuk
mendapatkan dan menjual sumber daya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi
mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk
eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan
punah.
3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta
Maraknya pemanenan telur C. insculpta tidak terlepas dari tingginya nilai
jual telur maupun tukiknya yang berdampak terhadap semakin baiknya
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mencari dan memanen telur C.
insculpta sudah merupakan suatu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cukup
baik bagi masyarakat lokal, dan dengan kondisi saat ini pekerjaan perburuan telur
dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama bagi mereka. Pekerjaan ini lebih
menguntungkan bagi masyarakat lokal karena jaminan mendapatkan uang dari
telur atau tukik cukup baik dengan hanya melakukan pengecekan sarang dan
pengumpulan telur di pagi hari menggunakan perahu. Berbeda dengan pekerjaan
sebagai pencari gaharu yang penuh resiko keluar masuk hutan atau rawa dalam
rentang waktu 3 - 6 minggu namun hasil yang didapatkan tidak pasti, kadang
beruntung bisa membawa pulang kayu gaharu untuk dijual, kadang pula tidak
mendapatkan apa-apa.
Pada beberapa komunitas masyarakat lokal, sumber daya kura-kura air tawar
mempunyai nilai yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein maupun
digunakan dalam ritual-ritual adat. Pemanfaatan kura-kura air tawar C. insculpta
sebagai sumber pakan oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap
(Asmat) telah berlangsung secara turun temurun (Triantoro dan Rumawak 2010),
101
dengan tingkat eksploitasi C. insculpta (di Indonesia dan PNG) sangat tinggi
sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan
internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa
unik ini (Georges et al. 2008a). Triantoro dan Rumawak (2010) mendeskripsikan
pemanfaatan secara turun temurun oleh penduduk lokal di wilayah Sungai
Vriendschap dapat dilihat dari budaya pemanfaatan induk C. insculpta sebagai
hantaran mas kawin kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai
permintaan pihak perempuan. Hantaran tersebut kemudian dimasak dan
dikonsumsi bersama-sama antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Lebih
jauh disampaikan bahwa saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku karena
semuanya lebih dihargai dengan uang akibat dari nilai ekonomi yang dapat
diperoleh masyarakat lokal dari penjualan telur. Masyarakat lokal mulai
mendapat nilai ekonomi dari telur Labi-labi moncong babi sejak sekitar tahun
2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan
perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008
diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Adanya pendapatan dari nilai telur
juga diikuti dengan semakin tingginya pemanfaatan daging Labi-labi moncong
babi oleh masyarakat lokal karena masyarakat lokal biasanya ke lokasi peneluran
dalam waktu cukup lama dengan bekal seadanya dan berharap atas bahan
makanan dari alam.
Penangkapan induk betina dalam jumlah besar biasa dilakukan oleh
masyarakat lokal sedangkan masyarakat non lokal (pencari luar) menangkap
apabila menginginkan variasi menu makanan di lokasi pencarian. Induk dewasa
ditangkap secara intensif terutama di saat musim peneluran, sebelum atau sesudah
induk bertelur dan membalikkan punggungnya (Georges et al. 2008b).
Penangkapan juga biasa dilakukan penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap
(Asmat) di musim peneluran saat induk labi-labi naik untuk bertelur, di tepi air
atau sungai, atau sehabis bertelur (Triantoro dan Rumawak 2010). Pencarian
induk dapat dilakukan juga dengan menyisiri tepi pasir menggunakan perahu.
Pemanenan seperti ini dilakukan apabila telah cukup lama tidak mendapati induk
pada saat pengecekan sarang atau telah kehabisan bahan makanan. Induk yang
telah ditangkap kemudian diangkut menggunakan perahu dan dimasukkan
102
kedalam kurungan (kandang) sederhana diatas tanah yang dibuat menggunakan
batang-batang kayu dengan membentuk persegi atau lingkaran. Pemanfaatan
induk C. insculpta di wilayah Sungai Vriendschap mengikuti jumlah kelompok
pencari, apabila dalam kelompok pencari terdapat 5 kepala keluarga maka
minimal induk yang di konsumsi dalam sehari adalah 5 induk betina.
Pemanfaatan induk betina C. insculpta lebih didasarkan pada keinginan
untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber makanan (protein) dibanding
untuk mendapatkan uang (dijual) atau alasan budaya. Beberapa alasan
masyarakat lokal mengkonsumsi daging Labi-labi moncong babi saat perburuan
adalah : 1) ingin mengkonsumsi daging, 2) persediaan bahan makanan dalam
proses perburuan telur terbatas, dan 3) ingin menghemat bahan makanan.
Georges et al. (2008b), C. insculpta disukai karena ukuran telur yang besar dan
mempunyai daging yang banyak. Sebagai gambaran pemanfaatan induk oleh
masyarakat lokal sebagai sumber makanan dapat dilihat pada Gambar II.7.
Keterangan : a. Sekumpulan kerapas Labi-labi moncong babi; b. Pemanfaatan induk Labi-labi
moncong babi untuk di konsumsi.
Gambar II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys
insculpta di wilayah Sungai Vriendschap
Dalam pengolahan terhadap daging, plastron akan dihilangkan agar bisa
mendapatkan daging beserta isi perutnya (usus, hati, jantung), dan biasanya akan
dimasak (direbus) bersama dengan ubi dan sayuran lainnya, sedangkan
pengolahan terhadap telur biasanya di rebus dan bisa dimakan langsung, dimasak
dengan nasi atau sagu, ataupun sebagai bahan penyusun biskuit dan kue (Georges
et al. 2008b). Pengolahan daging labi-labi pada masyarakat lokal di wilayah
Sungai Vriendschap (Asmat), dilakukan dengan cara dibakar diatas bara atau api,
bakar batu dan rebus dengan sedikit perbedaan dalam cara pengolahan dimana
a b
103
sebelum dimasak ada bagian daging yang dilepas dahulu dari plastron sebelum
dimasak (bakar dan rebus) dan ada bagian daging yang ditinggalkan pada plastrón
untuk dibakar bersama plastronnya (Triantoro dan Rumawak 2010).
Pemanfaatan induk yang tinggi secara terus menerus pada setiap musim
peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat berdampak bagi turunnya
populasi kedepannya, tetapi apabila pemanfaatan dilakukan dengan bijaksana
dapat memberikan kesempatan C. insculpta melakukan regenerasi dan mendapat
nilai pemanfaatan yang berkesinambungan. Eksploitasi komersial secara teratur
menyebabkan pemanenan yang berlebihan dan merupakan kepedulian utama
konservasi, namun konsumsi keluarga lokal juga menggerus populasi dari spesies
yang ditargetkan ketika penduduk lokal tergantung pada satwa liar sebagai sumber
utama dari sumber protein (Vitt dan Caldwell 2009). Pada masyarakat lokal di
Sungai Vriendschap, pemanfaatan saat ini tidak memberikan kesempatan C.
insculpta untuk melakukan regenerasi karena seluruh telur diambil (dipanen) dan
induknya di konsumsi. Pemanfaatan berkesinambungan dapat terjadi apabila telur
tidak diambil seluruhnya dari alam dan konsumsi induk dapat dikurangi.
Kepercayaan (legenda) pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap bahwa
Labi-labi moncong babi merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah
akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain yang dimunculkan dalam bentuk
Labi-labi moncong babi jantan dan betina, tidak memberikan dampak positif bagi
konservasi Labi-labi moncong babi karena legenda ini sudah hampir hilang dan
tidak ada pantangan dalam mengkonsumsinya (Triantoro dan Rumawak 2010).
Pada komunitas masyarakat Aborigin, intensitas pemanenan terhadap induk kura-
kura leher ular (Chelodina rugosa) cukup rendah dan hal tersebut dapat
memberikan kesempatan bagi C. rugosa untuk bertahan dan berkembangbiak
dengan baik karena pemanenannya dilakukan atas dasar kebutuhan ritual budaya
(Fordham et al. 2006). Perbedaan jumlah individu juga didapati berbeda antara
daerah pemujaan (veneration area) yang tidak tereksploitasi dengan daerah
pemanenan (harvest area) dimana dengan luas area relatif sama di setiap lokasi,
jumlah kura-kura darat Kinixys homeana dan Kinixys erosa ditemui jauh lebih
banyak di daerah pemujaan dibandingkan jumlah kura-kura darat yang ditemui di
daerah panen (Luiselli 2003).
104
Pemanfaatan C. insculpta sebagai sumber makanan oleh masyarakat lokal
tidaklah mengherankan karena wilayah mereka di dominasi oleh sungai dan rawa
yang memungkinkan sumber makanan alaminya berasal dari satwa yang hidup di
air. Disamping itu, pemanfaatan satwa dari kelompok kura-kura besar atau penyu
sebagai sumber makanan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang berdiam di
wilayah Sungai Vriendschap tetapi banyak dilakukan pula oleh masyarakat
dibanyak tempat dengan intensitas pemanfaatan yang berbeda. Magnino et al.
(2009) menyampaikan bahwa berkenaan dengan konsumsi dari berbagai jenis
reptil liar yang ditangkap, daging dan telur penyu mungkin yang paling banyak
dieksploitasi di seluruh dunia. Selanjutnya Caputo et al. (2005) menyampaikan
bahwa eksploitasi terhadap penyu sebagai sumber makanan telah lama dianggap
faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan populasi.
105
4. SIMPULAN
Pemanfaatan sumberdaya labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
telah dilakukan oleh masyarakat tradisional yang membagi wilayah pemanfaatan
menjadi 5 (lima) wilayah adat. Dari tiga wilayan adat yang diamati, ada dua
wilayah yang bekerjasama dengan pencari telur dari luar sedangkan pada satu
wilayah adat tidak didapati adanya kerjasama. Perburuan telur yang terjadi
menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter,
kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem
penjualan tukik langsung kepada pembeli. Perburuan dan perdagangan terutama
dilakukan terhadap telurnya karena adanya nilai ekonomi, sedangkan perburuan
terhadap induknya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan makanan. Pemanenan
telur dilakukan terhadap keseluruhan sarang di seluruh wilayah adat tanpa
menyisakan satupun sarang yang utuh berisi telur di alam.
Pemanfaatan telur yang sangat tinggi diduga dapat memberikan dampak
negatif bagi kelestarian Labi-labi moncong babi di alam. Pendidikan masyarakat
lokal yang rendah, tingginya ketergantungan terhadap sumber daya alam,
tingginya permintaan untuk perdagangan (illegal), tidak adanya sumber
pendapatan yang tetap, dan belum adanya manajemen pengelolaan yang
menunjang pemanfaatan berkelanjutan, mendorong pemanenan terus berlangsung.
107
Daftar Pustaka
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi Papua Barat. 2011. Penduduk Asli Papua Di Provinsi
Papua Barat. Manokwari. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi
Papua Barat.
Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay
(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-
based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –
92.
Daniel S. 2011. Perdagangan Reptilia Sebagai Binatang Peliharaan Di DKI
Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-
KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-
KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.
Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an
Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle
(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation
144 : 2282 – 2288.
Fordham D, Georges A, Corey B, Brook BW. 2006. Feral Pig Predation
Threatens the Indigenous Harvest and Local Persistence of Snake-necked
Turtles in Northern Australia. Biological Conservation.
[GOK] Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar Lingkungan Blok Kasuri PSC
di Kabupaten Fakfak dan Bintuni [Laporan Akhir]. Manokwari :
Kerjasama BP Migas dan UNIPA.
Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys
insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :
Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,
Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and
Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and
Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.
5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,
http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.
Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with
Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.
Wildlife Research 35 : 700 – 711.
108
Goh TY, O’Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still
Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short
communication).
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2
(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.
<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February
2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January
2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to
31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
Leuteritz TEJ, Lamb T, Limberaza JC. 2005. Distribution, Status, and
Conservation of Radiated Tortoises (Geochelone radiata) in Madagascar.
Biological Conservation 124 : 451–461
Luiselli L. 2003. Comparative Abundance and Population Structure of Sympatric
Afrotropical Tortoises in Six Rainforest Areas: the Differential Effects of
“Traditional Veneration” and of “Subsistence Hunting” by Local People.
Acta Oecologica 24 : 157–163
Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona
MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological
Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International
Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.
Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Ismoyo F, Kilmaskossu A,
Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S,
penerjemah; Wanggai F, Sumule A, Editors. Manokwari. Universitas
Negeri Papua. Terjemahan dari : The Biodiversity of New Guinea.
Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and
Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta
marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist
154 : 383 – 397.
Shepherd CR, Nijman V. 2007. An Overview of The Regulation of The
Freshwater Turtles and Tortoise Pet Trade in Jakarta, Indonesia. Traffic
Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia.
109
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong
Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.
[27 January 2011].
Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic
Press.
113
Lampiran 1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah
Sungai Vriendschap
Nama responden : Umur :
Suku :
Tempat tinggal :
Pendidikan : (Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA)
1. Pekerjaan utama : PNS, POLRI, TNI, bertani, berburu (jenis utama), pedagang
2. Pekerjaan sampingan :
bertani : jenis komoditi, konsumsi, jual
berburu : jenis satwa, konsumsi, jual (dimana)
berdagang : jenis diperdagangkan, lokasi
3. Pemanfaatan Labi-labi moncong babi :
Telur : Konsumsi (per hari), Jual (telur/tukik), harga jual telur, harga jual
tukik, pengambilan telur (sarang baik, sarang kemungkinan rusak oleh
banjir/tergenang, keseluruhan sarang)
Induk : Konsumsi (per hari), Jual (induk/bagian, dimana), harga jual
(induk/bagian)
Alasan menjual, alasan konsumsi
Frekuensi perburuan : setiap hari, 2-4 hari sekali, ≥ 5 hari sekali
Lama di lokasi perburuan : 1-7 hari, 8 – 21 hari, > 21 hari
Seberapa lama mendalami perburuan Labi-labi moncong babi : 1 tahun, 1-
3 tahun, > 3 tahun
115
PEMBAHASAN PARIPURNA
Sebaran sarang dan intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta
Pola sebaran sarang C. insculpta di Sungai Vriendschap adalah
mengelompok (aggregate dispersion) dimana pemilihan habitat bersarang berada
pada pasir peneluran di wilayah adat Obokain. Sebaran kelompok terjadi ketika
individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin bertahan dalam) bagian
tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu individu menarik atau
memunculkan lainnya mendekat ke lingkungan tersebut (Begon et al. 2006).
Sarang yang berkelompok terjadi sebagai akibat dari komunikasi sosial diantara
induk betina yang melakukan aktifitas peneluran. Keberhasilan induk sebelumnya
dalam bersarang dapat menarik induk lainnya untuk bersarang pula. Interaksi
sosial mungkin menjadi fitur biasa dari kehidupan sehari-hari individu, terutama
bagi individu yang hidup dalam kelompok atau menduduki wilayah yang
berbatasan atau dapat terjadi sekali sehari, seminggu sekali, dan bahkan hanya
setahun sekali selama musim reproduksi pada kepadatan spesies rendah (Vitt dan
Caldwell 2009). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi
menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan,
sementara disisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh
manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan
(Sus sp) dan biawak (Varanus sp).
Reptil besar sangat rentan terhadap pemusnahan oleh manusia karena
mereka biasanya digunakan sebagai makanan, memiliki kulit yang berharga,
relatif mudah untuk diburu, dan memiliki sejarah kehidupan yang membuat sulit
masyarakat untuk mempertahankan pemanenan terhadap satwa besar terus-
menerus (Vitt dan Caldwell 2009). Intensitas pemanfaatan telur C. insculpta yang
sangat tinggi oleh manusia di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri
bagi pelestariannya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi mulai berkurang,
harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan,
menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan punah (Indrawan et al.
2007). Dengan pola sebaran sarang yang mengelompok, secara tidak langsung
116
memberikan kemudahan bagi manusia untuk memanen telur-telur karena waktu
yang dibutuhkan lebih cepat dan biaya operasional yang lebih kecil.
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari perdagangan C. insculpta sangat tinggi
bagi masyarakat lokal dengan tingkat pendidikan yang rendah. Dampaknya
adalah masyarakat belum berhenti melakukan pemanenan sebelum populasinya di
alam habis atau permintaan pasar terhadap jenis ini menurun. Kemungkinan
kedua sulit untuk diharapkan karena permintaan pasar tidak pernah berhenti
sebelum sumber daya habis, sementara melarang masyarakat lokal untuk tidak
melakukan pemanenan sumber daya yang telah memberi mereka nilai ekonomi
secara langsung hanya menciptakan konflik-konflik baru. Gambaran nilai
ekonomi yang beredar di lokasi pemanenan dapat dilihat dari perhitungan
sederhana jumlah telur yang dapat dihasilkan dalam satu musim peneluran. Hasil
penelitian selama 18 hari didapatkan jumlah sarang sebanyak 132 sarang, jumlah
telur rata-rata tiap sarang adalah 20 butir, harga jual rata-rata tukik di Vriendschap
adalah Rp 17.500 dan harga jual rata-rata tukik di luar Vriendschap adalah Rp
40.000. Dengan asumsi 1) setiap 18 hari (3 minggu) jumlah sarang yang dipanen
adalah tetap sebanyak 132 sarang, 2) puncak musim peneluran selama 3 (tiga)
bulan (12 minggu) antara September dan November, maka jumlah sarang yang
dihasilkan sebanyak 528 sarang, 3) jumlah total telur dari 528 sarang adalah
10.560 butir, dan 4) semua telur menetas menjadi tukik, maka nilai ekonomi yang
beredar di wilayah Vriendschap sebanyak Rp 184.800.000 dan diluar wilayah
Vriendschap sebanyak 422.400.000. Nilai asumsi tersebut dapat berubah sejalan
dengan banyaknya telur atau sarang yang dapat di panen setiap tahunnya, naiknya
harga tukik, dan keberhasilan tetas tukik.
Dari sisi populasi, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama
34 hari (15 Oktober – 19 November) sebanyak 720 sarang (Triantoro dan
Rumawak 2010) dan tahun 2011 selama 18 hari (8 – 25 November) sebanyak 132
sarang, maka jumlah rata-rata sarang tahun 2009 sebanyak 21 sarang/hari dan
jumlah rata-rata sarang tahun 2011 sebanyak 7 sarang/hari. Perbedaan jumlah
sarang yang cukup menyolok pada tahun 2009 dengan tahun 2011 dapat
mengindikasikan adanya penurunan populasi atau dapat juga disebabkan pengaruh
iklim. Populasi sarang selama 34 hari tahun 2009 memberikan gambaran jumlah
117
sarang masih cukup baik, namun intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi dapat
mempengaruhi umur induk dan kualitas telur yang dihasilkan seperti yang terjadi
pada pemanfaatan telur di Sungai Kikori (PNG) yang menyebabkan penurunan
kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 (Georges et al. 2008b) dan
penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang
terindikasikan dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan
yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk
betina yang di panen (Eisemberg et al. 2011).
Dari penelitian ini terlihat adanya benturan dua kepentingan antara
perlindungan dan pemanfaatan yang sangat tinggi. Perlu dilakukan manajemen
pengelolaan yang dapat memadukan dua kepentingan agar fungsi perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan dapat berjalan bersama.
Manajemen Pengelolaan Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap
Habitat merupakan fungsi penting bagi satwa liar sebagai tempat
perlindungan, mencari makan, melakukan perkawinan, aktifitas bertelur, dan
pergerakan dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya populasi. Populasi
yang baik ditandai dengan stabilnya populasi di alam bahkan cenderung
meningkat sampai batas kemampuan daya dukung habitatnya. Semakin tinggi
populasi semakin tinggi pula persaingan dalam memperoleh fungsi dari habitat
sehingga menimbulkan persaingan dalam satu jenis atau antar jenis. Untuk
mengatur keseimbangan habitat dan populasi satwa liar di alam maka dibutuhkan
pengelolaan terhadap kawasan dengan baik. Sistem pengelolaan yang terencana,
tersusun dan termonitoring dengan baik dapat mendukung konservasi satwa liar di
alam. Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1990 menjelaskan kegiatan
konservasi dilakukan melalui kegiatan 1) perlindungan sistem penyangga
kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Kawasan Vriendschap adalah suatu wilayah yang terdiri dari Sungai
Vriendschap sebagai sungai utama serta alur-alur sungai dan rawa yang sangat
banyak menyertai didalamnya. Panjang Sungai Vriendschap ± 110 km yang
118
dimulai dari bagian hulu (pertemuan dengan muara Sungai Baliem dan Sungai
Seng) sampai ke bagian hilir atau muara yang bertemu dengan muara Sungai
Catarina. Aksesibilitas ke wilayah Sungai Vriendschap cukup terbuka yang dapat
dijangkau dari Kabupaten Asmat dan Yahukimo, namun frekuensinya lebih tinggi
dari Kabupaten Asmat. Wilayah ini bukan merupakan kawasan konservasi tetapi
didalamnya terdapat beberapa jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi dan
sebagai sumber makanan bagi masyarakat lokal, diantaranya Buaya (Crocodilus
cf novaeguineae), Kura-kura Dada Merah (Emydura subglobosa), Labi-labi Irian
(Pelochelys bibroni), dan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)
(Triantoro dan Rumawak 2010). Diantara keempat jenis tersebut, Buaya dan
Labi-labi Moncong Babi merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan
perundangan di Indonesia. Keduanya dilindungi berdasarkan SK Mentan No.
327/Kpts/Um/5/1978 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 (Noerdjito
dan Maryanto 2001).
Beberapa tahun terakhir ini Sungai Vriendschap menjadi suatu tempat
tujuan perburuan satwa liar dari jenis C. insculpta dengan intensitas pemanfaatan
sangat tinggi (> 75%). Tingkat eksploitasi (perburuan) yang sangat tinggi (di
Indonesia dan PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasok bagi industri
hewan peliharaan internasional dilaporkan pula oleh Georges et al. (2008a) dan
IUCN (2010). Pemanfaatan berlebihan tanpa memperhitungkan umur induk dan
laju pertumbuhan di alam dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi dan
mempercepat kepunahan jenis. Kemusnahan jenis adalah suatu peristiwa alami
tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh manusia seringkali mempercepat proses
kepunahan jenis (Alikodra 2010). Kondisi tersebut bertolak belakang dengan
kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar yang termasuk
Appendix CITES tahun 2007 dan 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan kuota
export Apendix II dari jenis tumbuhan dan satwa liar asal Indonesia tahun 2010 –
2012 (Kemenhut 2010, 2011, 2012), dimana ijin untuk penangkapan dari alam liar
dan ekspor perdagangannya belum diberikan. Dapat disimpulkan bahwa
penangkapan dan perdagangan terhadap C. insculpta sifatnya illegal. Beberapa
penangkapan dalam upaya menggagalkan perdagangan illegal (penyelundupan) C.
insculpta telah dilakukan seperti yang tergambarkan pada Tabel 1 dibawah ini.
119
Tabel 1 Kasus-kasus penggagalan perdagangan illegal Carettochelys insculpta di
Indonesia
No. Penangkapan
Instansi Sumber Tanggal Jumlah (ekor)
1. 14-03-2005 7.275 BKSDA Jawa Timur Tempointeraktif.com (2005)
2. 12-02-2009 12.247 SPORC dan KSDA
wilayah Timika
Sawabi-Kompas.com (2009);
Kemenhut-Dephut.go.id
3. 09-03-2010 464 Stasiun Karantina Ikan
Merauke
MeraukePos.com (2010)
4. 06-01-2011 744 KSDA wilayah Merauke Suara Pembaharuan (2011)
5. 25-01-2011 500 Polrestabes Surabaya Arifin-Okezone.com (2011)
6. 26-01-2012 1.495 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)
7. 06-02-2012 690 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)
8. 06-03-2012 1.882 KSDA wilayah Jayapura USS-BBKSDA Papua (2012)
Membendung maraknya pemanfaatan illegal C. insculpta di alam sangat
sulit dilakukan disebabkan luasnya wilayah Sungai Vriendschap dengan
banyaknya alur atau anak sungai. Upaya yang sudah dilakukan sampai sejauh ini
oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua selaku
institusi pengelola, masih berupa patroli pengamanan di musim peneluran. Patroli
yang dilakukan belum memberikan hasil optimal terhadap berkurangnya
pemanenan maupun perdagangan illegal. Beberapa faktor yang mempengaruhi
belum optimalnya patroli pengamanan meliputi :
1. Patroli tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Celah diantara waktu
patroli pertama dengan jadwal patrol berikutnya dapat dimanfaatkan oleh para
pencari telur.
2. Patroli dilakukan menggunakan speed boat. Kemampuan speed boat untuk
kegiatan patroli di Sungai Vriendschap tidak optimal karena hanya dapat
memasuki Sungai Vriendschap dengan mesin 40 PK dalam kondisi
permukaan air sungai meningkat akibat hujan (banjir) dan tidak dapat
menjangkau alur-alur sungai yang sangat banyak.
3. Patroli hanya dapat dilakukan pada sungai utama. Informasi kegiatan patroli
biasanya sudah diketahui oleh para pencari telur sehingga sebelum tim patroli
sampai di lokasi, para pencari sudah pergi meninggalkan pondok di tepi
sungai dan membuat pondok baru ditempat yang sulit dijangkau dengan speed
boat dan tidak terlihat dari sungai utama.
4. Membutuhkan biaya yang besar. Biaya yang dibutuhkan untuk sekali
melakukan patroli ke wilayah Vriendschap tidak sedikit karena menyangkut
120
biaya sewa speed boat, bahan bakar minyak, dan biaya operasional dilokasi.
Apabila dalam sebulan dilakukan patroli 2 (dua) kali maka selama 4 (empat)
bulan (musim peneluran) dibutuhkan minimal 8 (delapan) kali kegiatan
patroli.
5. Hukuman tidak dapat diberlakukan kepada para pencari telur. Pencari telur di
dominasi oleh penduduk lokal walau terdapat pula penduduk bukan lokal.
Para pencari telur telah mengetahui bahwa jenis C. insculpta merupakan jenis
yang dilindungi dan sanksi dapat diberikan apabila ditemui
memperdagangkannya. Namun masyarakat lokal secara budaya telah
memanfaatkan telur dan induk secara turun temurun, dan secara adat
merupakan wilayah mereka. Pelarangan hanya memberikan antipati terhadap
petugas dan menciptakan konflik dengan institusi terkait.
6. Banyaknya akses jalur bagi para pencari, pengumpul dan pedagang. Tim
patroli akan mengalami kesulitan dalam menutup ruang gerak pencari,
pengumpul dan pedagang telur atau tukik karena banyaknya alur sungai yang
dapat digunakan untuk bersembunyi atau membawa hasil pemanenan.
Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga satwa liar yang dilindungi
berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia dari pemanfaatan yang tidak
bertanggungjawab. Petugas mempunyai persepsi bahwa pemanfaatan satwa
dilindungi adalah melanggar hukum dan perlu dilakukan tindakan sanksi secara
bertahap. Namun keefektifan kegiatan patroli kedepannya dapat dipertimbangkan
kembali karena setelah menggunakan biaya yang tinggi, sanksi yang diberikan
kepada para pencari telur masih sulit dilakukan. Keterbatasan penindakan dapat
disebabkan 3 prinsip yaitu : 1) wilayah Sungai Vriendschap bukan merupakan
wilayah konservasi, 2) Labi-labi moncong babi sudah sejak lama telah
dimanfaatkan sebagai sumber makanan bagi masyarakat lokal, dan 3) hak
masyarakat lokal atas pemanfaatan di wilayah adat mereka. Sanksi dapat
diberikan apabila dasar pengenaan sanksi jelas dimana masyarakat dapat
memanfaatkan sumber daya mereka tetapi melanggar aturan yang telah disepakati
bersama. Biaya yang hendaknya digunakan untuk patroli dapat di kelola untuk
mendapatkan manajemen pengelolaan yang berpihak kepada masyarakat lokal,
dan berfungsinya perlindungan, pengawetan sumber daya alam dan monitoring.
121
Secara budaya masyarakat lokal telah memanfaatkan C. insculpta sebagai
sumber makanan hewani. Pemanfaatan yang bersifat tradisional (sub sistence)
juga mempunyai pengaruh sangat kecil bagi penurunan populasi di alam. Akan
tetapi tingginya permintaan pasar perdagangan satwa dan nilai ekonomi dari satwa
liar khususnya C. insculpta, telah merubah pola pemanfaatan masyarakat lokal
dari sub sistence menjadi intensif terutama terhadap telur-telurnya. Keseluruhan
telur pada semua sarang yang ditemukan dipanen dan tidak dikonsumsi karena
lebih bernilai ekonomi apabila ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik,
sementara induk dimanfaatkan sebagai sumber pakan selama berada di lokasi
pencarian.
Mengantisipasi tingkat pemanenan yang tinggi di alam dan perdagangan
illegal terhadap telur maupun tukik, maka alternatif pengelolaan kedepannya
dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu :
1. Pengelolaan Berbasis Kawasan
Pengelolaan kawasan dapat dilakukan dengan menetapkan seluruh atau
sebagian wilayah di Sungai Vriendschap sebagai kawasan konservasi. Sistem
pengelolaan yang menetapkan seluruh wilayah sebagai kawasan konservasi
rentan terhadap konflik antara institusi pengelola sumber daya alam dengan
masyarakat lokal karena masyarakat sebagai pemegang wilayah ulayat
mempunyai kesempatan yang kecil untuk mendapatkan insentif. Pada sistem
pengelolaan yang menetapkan sebagian wilayah sebagai kawasan konservasi
juga dapat memicu konflik antara masyarakat lokal dengan institusi dan
diantara masyarakat lokal itu sendiri karena sebagian masyarakat yang
wilayahnya menjadi kawasan konservasi lebih sulit mendapatkan insentif
dibandingkan yang tidak digunakan sebagai kawasan konservasi.
Konsekuensi pengelolaan berbasis kawasan juga memberikan tugas dan
tanggungjawab bagi institusi pengelola untuk selalu berada di wilayah
pemanenan selama musim peneluran. Dibutuhkan personil yang tidak sedikit
dan dengan kendaraan dan biaya operasional tinggi untuk menutup ruang
gerak para pencari telur dari alur-alur sungai yang begitu banyak.
122
2. Pengelolaan Berbasis Jenis
Pengelolaan berbasis jenis disini adalah memberikan ruang dan peluang
insentif bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan jenis satwa liar sebagai
sumber ekonomi dengan kesadaran atas pemanfaatan yang berkelanjutan
karena masyarakat lokal diberikan kewenangan untuk memanfaatkan jenis
satwa liar di wilayah adatnya secara legal dan terkontrol (terbatas).
Pemanfaatan dapat dilakukan dengan sistem kuota secara merata untuk
memberikan rasa keadilan bagi seluruh pencari. Bantuan pihak pengelola
dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman konservasi kepada
masyarakat lokal sangat dibutuhkan di awal pembentukan pola pemanfaatan
jenis ini terkait pembatasan panen, pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan
jenis dipanen dan jenis lainnya yang dilindungi dan terancam di alam, dan
adanya kemungkinan penghentian pemanenan akibat turunnya populasi.
Monitoring dan pengawasan perdagangan secara ketat pada pengumpul dan
monitoring populasi di alam perlu diwujudkan dan dilaksanakan dengan
tanggungjawab untuk menjamin kestabilan populasi di alam. Para pakar
dibidangnya dapat dimintai bantuan dan pendapatnya terkait peningkatan dan
penurunan populasi, kondisi fisik habitat hidup dan peneluran, kesehatan,
metode untuk mengatasi permasalahan, dan lainnya.
Manajemen pengelolaan merupakan jembatan yang menghubungkan
perbedaan persepsi antara masyarakat lokal dengan institusi pengelola. Terkait
manajemen pengelolaan terhadap C. insculpta, pengelolaan jenis lebih
memungkinkan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Pengelolaan untuk menjamin kelangsungan hidup jenis langka dan terancam
adalah tugas utama yang umum dari pelestarian alam dan pelestarian populasi
jenis mungkin menghendaki strategi yang berbeda dari strategi yang cocok bagi
perlindungan ekosistem (MacKinnon et al. 1993). Pemberian kuota terhadap
pemanfaatan telur atau tukik merupakan tindakan pemberdayaan dan memberikan
asas manfaat bagi masyarakat lokal atau adat dan negara. Perbincangan dengan
beberapa masyarakat lokal yang juga sebagai pengumpul telur, ada ketertarikan
untuk memanfaatkan secara legal dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
pemanenan yang telah disepakati bersama institusi pengelola dan adanya
123
pendampingan. Jumlah kuota yang diberikan belum dapat diakomodir dalam
penelitian ini dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, namun sisi positif
yang diharapkan dengan adanya pemberian kuota adalah :
1. Masyarakat lokal mendapat insentif secara legal
2. Telur tidak di panen seluruhnya dari sarang alami atau sebagian hasil tetasan
(tukik) dapat dilepas kembali ke alam
3. Menyelamatkan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor alam dan
pemangsa
4. Monitoring pemanenan maupun penjualan dapat lebih mudah pada pengumpul
resmi
5. Perdagangan illegal dapat di tekan atau diminimalkan
6. Negara mendapat devisa dari penjualan satwa liar
7. Meminimalkan konflik, membangun kemitraan dan sinergisitas antara institusi
pengelola dengan masyarakat lokal
C. insculpta merupakan satwa yang dilindungi namun bukan berarti
pemberian kuota tidak dapat diberikan. Sebagai pembanding dapat dilihat pada
jenis Crocodylus novaeguineae yang dilindungi namun diperbolehkan kuota
tangkap dan ekspor untuk pemanfaatan kulitnya dan Crocodylus porosus yang
diperbolehkan kuota tangkap untuk pembesaran (Dirjen PHKA 2007, 2008;
Kemenhut 2010, 2011), sedangkan kuota ekspor untuk kulit C. porosus
diperbolehkan kembali pada tahun 2012 (Kemenhut 2012). Indonesia sendiri
termasuk Negara yang belum mengembangkan secara professional potensi-
potensi satwaliarnya, baik untuk diekspor, rekreasi berburu, ataupun untuk
atraksi-atraksi di taman nasional (Alikodra 2010). Suatu jenis tumbuhan dan
satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi
kriteria 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam pada
jumlah individu di alam, 3) daerah penyebaran yang endemik (PP No 7 Tahun
1999), dan 4) tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan (UU No. 5 Tahun
1990).
Pemberian kuota merupakan salah satu sistem pengelolaan satwa liar yang
bertujuan memanfaatkan sumber daya alam sebagai 1) sumber pemberdayaan
ekonomi bagi perseorangan atau badan usaha milik bersama dan 2) sebagai
124
sumber devisa bagi Negara, dengan mempertimbangkan kelestarian jenis di alam.
Pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa peyelenggaraan
dan pemanfaatan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk
kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Kuota terhadap C. insculpta harus
diimbangi dengan manajemen pengelolaan yang baik dari BBKSDA Papua
sebagai mandat pengelolaan terhadap satwa dan tumbuhan dilindungi dari alam.
Insentif yang diperoleh masyarakat dari sumber daya alam yang dimiliki secara
tidak langsung memberikan fungsi pengawetan terhadap C. insculpta dan
pengawasan di habitat alami dapat dilakukan secara sadar dan sukarela karena
adanya rasa memiliki. Tugas BKSDA Papua juga secara tidak langsung menjadi
lebih mudah dalam mengontrol pemanfaatan di lapangan dan monitoring populasi.
Monitoring secara ketat harus dilakukan setiap tahun untuk mengetahui apakah
populasi meningkat, menurun atau stabil. Tercapainya kerjasama pengelolaan
sumber daya alam (C. insculpta) antara institusi pengelola dengan masyarakat
lokal merupakan tindakan nyata terhadap UU No. 41 Tahun 1999 pasal 60 dimana
1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan,
dan 2) masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan
kehutanan.
Paradigma pengelolaan dengan melarang pemanfaatan sudah saatnya
dirubah menjadi mitra dengan masyarakat demi kesejahteraan terutama
masyarakat yang terpencil dan tanggungjawab bersama terhadap satwa liar atau
ekosistemnya. Secara umum, hubungan terbaik antara penduduk asli dan
pengelola terjadi apabila penduduk asli melihat bahwa kawasan yang dilindungi
membantu memelihara budaya mereka dan memberi manfaat nyata (misalnya
kesempatan kerja dan penghasilan) (MacKinnon 1993). Konvensi Ramsar (2008)
menegaskan pula pentingnya manajemen pengelolaan terkait mata pencaharian
masyarakat pada wilayah lahan basah yang mencakup :
1. Tindakan untuk memelihara manfaat yang diberikan oleh lahan basah untuk
pembangunan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, terutama yang
tidak mampu.
2. Penggunaan secara bijak manajemen dan pengembalian lahan basah harus
membantu terciptanya peluang untuk meningkatkan mata pencaharian
125
masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada lahan basah,
masyarakat pinggiran dan rentan.
3. Manajemen lahan basah yang berkesinambungan harus didukung oleh
pengetahuan lokal (indigeneous) dan tradisional, tanggapan dari identitas
alami yang berhubungan dengan lahan basah, pengurusan yang dilakukan
melalui insentif ekonomis dan diversifikasi berdasarkan dukungan untuk mata
pencaharian.
Mengelola spesies agar dapat terus dimanfaatkan dan sekaligus menjaga
populasinya di alam tidaklah semudah membalikkan tangan, sedikit kesalahan
mungkin menciptakan peluang percepatan penurunan populasi. Vitt dan Caldwell
(2009) menyatakan komersialisasi satwa liar memiliki potensi efek samping
negatif dan fokus pada satu kelompok spesies telah mengakibatkan pengabaian
spesies benar-benar terancam punah, terutama yang memiliki distribusi kecil dan
demografi kurang fleksibel, seperti Crocodylus sinensis dan Crocodylus
mindorensis. Selanjutnya, komersialisasi satu kelompok spesies menciptakan
pasar untuk semua jenis dan menjadi ancaman serius bagi spesies langka.
127
Daftar Pustaka
Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka
Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. PT.
Penerbit IPB Press.
[Anonim]. 9 Maret 2010. 464 Kura-kura Moncong Babi Disita di Bandara
Mopah. MeraukePos.com
[Anonim]. 6 Januari 2011. Penyelundupan 744 Kura-kura Moncong Babi
Digagalkan. Suara Pembaruan.com
Arifin N. 25 Januari 2011. Polisi Gagalkan Penyelundupan Kura-Kura Moncong
Babi. Okezone.com
Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to
Ecosystem. 4th
edition. United Kingdom. Blackwell Publising.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-
KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-
KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.
Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an
Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle
(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation
144 : 2282 – 2288.
Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys
insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :
Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,
Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and
Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and
Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.
5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,
http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.
Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with
Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.
Wildlife Research 35 : 700 – 711.
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2
(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.
<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
128
[Kemenhut]. 6 Maret 2009. SPORC dan Polisi Timika Sita 12.247 Ekor Kura-
Kura Moncong Babi, SPORC Anoa Sulawesi Tangkap 31 Penangkap Ikan
di TN Bunaken [Siaran Pers]. Dephut.go.id
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February
2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January
2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to
31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
Konvensi Ramsar. 2008. Deklarasi Changwon Untuk Kesejahteraan Manusia
dan Lahan Basah. Korea.
MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, alih bahasa. Yogyakarta.
Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing Protected
Areas in the Tropics.
Noerdjito M, Maryanto, I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-
undangan Indonesia. Cibinong. Puslit Biologi – LIPI, The Nature
Conservancy dan USAID.
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 : Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.
Raharjo IJ. 14 Maret 2005. Penyelundupan Kura-kura Papua Digagalkan.
Tempointeraktif.com
Sawabi IGN. 10 Maret 2009. 12.247 Kura-kura Moncong Babi Disita.
Kompas.com
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong
Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
[UU] Undang-undang Republik Nomor 5 Tahun 1990 : Tentang Konservasi
Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 : Tentang
Kehutanan. Jakarta.
[USS] Unit Sidik SPORC. 2012. Unit Register Kasus SPORC Brigade Kanguru
Provinsi Papua Bulan Juli 2012 [laporan]. Balai Besar Konservasi Sumber
Daya Alam Papua. Kementerian Kehutanan.
129
Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic
Press.
131
RANGKUMAN SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Induk betina Labi-labi moncong babi melakukan aktifitas peneluran pada
pasir yang terkumpul di rawa dan disepanjang sungai. Jejak induk dan sarang
yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap menggambarkan bahwa Labi-labi
moncong babi memilih melakukan pergerakan ke wilayah peneluran dan
membangun sarang secara berkelompok. Pemilihan lokasi bersarang terdapat
pada bagian tengah dari panjang sungai, tepatnya berada di wilayah Obokain.
Jarak sarang yang dibangun dari tepi sungai di wilayah Sungai Vriendschap
didapati mempunyai jarak paling jauh apabila dibandingkan dengan lokasi
peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah PNG dan Utara Australia (Kikori,
Daly dan Alligator). Umur induk betina yang melakukan aktifitas bertelur di
wilayah Sungai Vriendschap (Indonesia) lebih tua dibandingkan dengan umur
induk yang melakukan aktifitas bertelur di wilayah Kikori (PNG). Kualitas telur
yang dihasilkan juga didapati masih lebih baik pada wilayah Sungai Vriendschap
apabila dibandingkan dengan kualitas telur pada wilayah Kikori dan Daly. Pada
habitat peneluran, pasir yang dipilih untuk membangun sarang tidak terikat
kepada luasan pasir, perimeter, kompleksitas bentuk bentang pasirnya, keteraturan
bentuk permukaan pasirnya, maupun ukuran tekstur pasirnya namun pasir yang
dipilih terikat pada pasir yang terdapat vegetasi dibandingkan pasir tanpa vegetasi.
Pemanfaatan Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap
terutama dilakukan terhadap telurnya karena adanya insentif nilai ekonomi yang
dapat diperoleh masyarakat lokal. Pemanenan telur dilakukan berdasarkan
wilayah adat dan tidak diperbolehkan memanen diluar wilayah adatnya. Wilayah
adat pemanenan terdiri atas wilayah Bor (rawa) yang berada dibawah adat suku
Betkuar, wilayah Bor (sungai), wilayah Obokain yang berada dibawah adat suku
Diai dan Dini, dan wilayah Indama dan Sumo yang berada dibawah adat suku
Momuna. Pemenuhan kebutuhan hidup bagi pencari lokal di lokasi pemanenan
telur masih bergantung kepada sumber daya alam, tidak terkecuali pemanfaatan
induk Labi-labi sebagai sumber pakan. Pada masing-masing wilayah adat
dimungkinkan pemanenan dilakukan sendiri oleh pencari lokal (masyarakat adat)
132
maupun adanya kerjasama dengan pencari non lokal (masyarakat pendatang).
Kerjasama pemanenan dengan pencari dari luar maupun tidak, telah membentuk
sistem perdagangan tersendiri di wilayah perburuan yaitu sistem barter, kombinasi
antara sistem barter dan penjualan tukik langsung, dan sistem penjualan tukik
langsung. Intensitas pemanfaatan telur yang terjadi tergolong sangat tinggi.
Manusia menjadi faktor utama penyebab hilangnya generasi Labi-labi moncong
babi karena seluruh sarang yang ditemui di wilayah Sungai Vriendschap digali
dan diambil telurnya tanpa memberikan kesempatan sarang yang utuh di alam
untuk menetas secara alami. Pemanenan telur dilakukan pagi hari sebelum
matahari terbit dan induknya ditangkap setelah menyelesaikan peneluran dan
belum sempat kembali ke sungai. Jumlah induk yang ditangkap disesuaikan
dengan jumlah kelompok pencari telur (keluarga) dan sebagai persediaan sumber
pakan untuk satu atau dua hari kedepannya.
B. Saran
Informasi terhadap jenis Labi-labi moncong babi di Indonesia masih
sangat kurang sementara tekanan pemanfaatan di alam sangat tinggi. Beberapa
hal yang dapat disarankan untuk mendukung pengelolaan jenis ini adalah :
1. Monitoring populasi yang dilakukan di alam dan di sentra-sentra pengumpul
atau pedagang (illegal) lokal. Pengecekan silang dari hasil monitoring dapat
memberikan evaluasi terhadap populasi sarang di alam, banyaknya telur yang
diperdagangkan, trend tingkat kedewasaan induk yang melakukan aktifitas
bertelur, trend kualitas telur yang dihasilkan dan tercapainya fungsi
pengawasan.
2. Penelitian mengenai pergerakan Labi-labi moncong babi dapat memberikan
gambaran luas wilayah jelajah dan sebarannya. Koridor-koridor yang
digunakan sebagai penghubung dapat diketahui dan faktor pembatas yang
menghambat sebarannya dapat diprediksi. Radio telemetry merupakan salah
satu alat yang dapat digunakan dalam penelitian ini.
3. Membangun kemitraan dan mengurangi konflik dengan masyarakat lokal
(adat) sangat diperlukan bagi kelangsungan jenis Labi-labi moncong babi.
Penyuluhan dalam memberikan pemahaman mengenai pentingnya jenis ini
133
bagi sistem ekologi dan sumber daya (ekonomi) masyarakat, diharapkan dapat
menjalin terciptanya kemitraan tersebut.
4. Mendukung pemanfaatan Labi-labi moncong babi oleh masyarakat adat secara
berkelanjutan, maka diperlukan penelitian mengenai penetasan alami dan semi
alami. Hasil penelitian ini memberikan gambaran keberhasilan penetasan dan
kemungkinan penyelamatan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor
alam dan predator. Persentase tetas yang diperoleh juga memberikan
gambaran banyaknya telur atau tukik yang dapat dimanfaatkan dan banyaknya
tukik yang dilepas kembali ke alam liar (habitatnya).