Upload
fendy-gazze
View
184
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
struktur tubuh ikan belida untuk beradaptasi
Citation preview
BAB II
ISI
A. Aspek biologi ikan belida
Ikan belida tergolong ke dalam kelas Actinopterygii, Ordo Osteoglossiformes,
famili Notopteridae, genus Chitala, spesies Chitala lopis (Nelson 1976; Kottelat et al.
1993; 1997), memiliki sinonim Notopterus chitala dengan nama internasional giant
featherback. Di Indonesia ikan belida dikenal dengan nama belido (Sumatera) atau
pipih (Kalimantan).
Ciri-ciri morfologi ikan belida, berdasarkan Weber dan deBeaufort (1913);
Kottelat et al. (1993; 1997), memiliki badan pipih dan memanjang dengan bagian
punggung yang tampak membesar. Bagian perut berduri ganda dengan bagian ekor
yang juga memanjang. Ukuran sisik kecil, berbentuk sikloid, pada samping badan
membentuk gurat sisi. Bukaan mulut lebar, dibatasi rahang atas depan dan rahang atas.
Rahang atas memanjang sampai bawah atau belakang mata. Sirip punggung kecil,
terletak kira-kira direntang pertengahan sirip dubur yang bersatu dengan sirip ekor.
Sirip perut yang bersatu pada dasarnya kecil (rudiment). Selaput insang (gill
membrane) bersatu pada bagian dasarnya dan bebas dari isthmus dengan jari-jari
selaput insang berjumlah 7-9. Saringan insang tidak banyak, kuat, ada serangkaian
tonjolan pada bagian dalam lengkung insang yang pertama, struktur morfologis ikan
belida.
Pola warna terdiri dari 3 fase yaitu fase maculosus (150-270 mm), seluruh
badan ditutupi bintik bulat kecil. Banyak garis miring berbintik-bintik pada sirip dubur
dan badan bagian belakang dan sebuah bintik hitam pada pangkal sirip badan (fase
borneensis, 300-600 mm), tidak ada tanda-tanda lain kecuali bintik hitam pada
pangkal sirip dada (fase hypselonotus, > 600 mm); beberapa spesimen tidak memiliki
tanda-tanda pada badan (fase lopis, kisaran ukuran tidak dikenal) (Kottelat et al.
1993).
Ikan betina mempunyai bentuk tubuh yang pipih dengan pola pertumbuhan
allometrik, ikan betina lebih gemuk dibandingkan yang jantan (Sunarno, 2002). Untuk
pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, belida memangsa ikan, udang kecil, dan
serangga air yang ada di perairan tempat hidupnya. Oleh karena itu jenis ikan ini
termasuk ke dalam ikan karnivora atau pemakan daging. Aktivitasnya lebih banyak
pada malam hari dan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di sekitar vegetasi.
Dengan demikian ikan belida termasuk ke dalam kelompok hewan nokturnal.
Belida akan memasuki usia dewasa setelah ukuran tubuh lebih dari 50 cm.
Fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan indukan betina dengan bobot 4-6 kg
berkisar antara 1.194-8.320 butir (Adjie & Utomo, 1994). Dalam setahun ikan belida
bisa memijah beberapa kali atau bersifat parsial. Tempat pemijahan biasanya di sekitar
ranting, daun, atau vegetasi yang ada di sekitarnya. Ikan jantan berjuang mulai dari
pembuatan sarang dari bahan ranting dan daun, dilanjutkan dengan menjaga telur
maupun anaknya.
B. Habitat
Belida merupakan ikan air tawar dari divisi primer, yaitu kelompok ikan yang
sama sekali tidak mempunyai toleransi terhadap salinitas (Darlington, 1957). Oleh
karena itu, jenis-jenis ikan dari divisi primer bisa digunakan sebagai petunjuk tentang
sejarah perkembangan bumi beserta sebaran faunanya (zoogeografi). Misalnya,
berdasarkan sebaran ikan belida yang bisa ditemukan di perairan wilayah Sumatera
dan Kalimantan maka bisa disimpulkan bahwa kedua pulau tersebut dulunya pernah
bersatu. Hal ini sejalan dengan pendapat Kottelat et al. (1993) bahwa pada jaman es
sekitar 12.000 tahun yang lalu daratan utama Asia dan Indonesia bagian barat
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) adalah menyatu, diantara Sumatera dan Kalimantan
terdapat sungai purba yaitu Sungai Sunda Raya. Bahkan bila dikaji lebih jauh bisa
diduga bahwa nenek moyang (ancient) ikan belida sudah ada sebelum benua Asia dan
Afrika terpisah. Habitat ikan belida pada perairan sungai, danau dan paparan banjir
dengan arus yang lambat sampai tenang. Berdasarkan bentuk tubuhnya (ekomorfologi)
yang pipih bisa diduga bahwa belida menyukai perairan yang terdapat vegetasi untuk
bersembunyi.
Ikan belida banyak ditemui di sungai yang banyak terdapat ranting atau kayu
dan perairan rawa banjiran yang berhutan (Adjie & Utomo, 1994). Ikan belida pada
siang hari biasa bersembunyi diantara vegetasi yang terdapat di habitatnya. Jenis ikan
ini sebenarnya relatif tehan terhadap kondisi perairan yang kurang menguntungkan
(rendah oksigen) karena bisa menghirup udara langsung dari udara.
C. Penyebaran
Penyebaran famili Notopteridae menurut Inuoe et al. (2009), meliputi
kawasan Afrika terutama bagian tengah (tropika), Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Kawasan Afrika meliputi negara-negara seperti; Kongo, Gabon, Zaire, Kamerun,
Republik Afrika Tengah, Sudan, Nigeria, Pantai Gading, Benin, Gambia, Cad dan
Sinegal. Kawasan Asia Selatan meliputi negara India, Banglades dan Pakistan.
Sedangkan kawasan Asia Tenggara meliputi negara-negara; Myanmar, Thailand
(Sungai Choupraya), Kamboja dan Laos (DAS Mekong), Malaysia dan Indonesia.
Penyebaran Notopteridae menurut Inoue et al. (2009). Penyebaran ikan belida
di wilayah Indonesia meliputi sungai-sungai besar beserta daerah aliran sungai, daerah
banjiran dan danau yang terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Penyebaran jenis ikan tersebut diperkirakan terjadi pada zaman pleistosen, saat terjadi
susut laut akibat pendinginan suhu global. Pada saat itu Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Jawa merupakan satu daratan dengan banyak sungai panjang mengalir berhulu di
Sumatera dan Jawa dengan muara di wilayah sebelah utara dan selatan Kalimantan.
D. Makanan
Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh
makanan yang tersedia, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan
diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk menjalankan metabolisme
tubuhnya. Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena
pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme terhadap
makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai kuantitas dan
kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia,
habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur
ikan, periode harian mencari makanan dan jenis kompetitor (Hickley 1993 dalam
Satria dan Kartamihardja 2002).
Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam lambungnya
(Weatherley dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Natarajan dan Jhingran dalam
Effendie (1997) menyatakan bahwa untuk menentukan jenis organisme makanan yang
dimanfaatkan oleh ikan digunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance),
yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik.
Nikolsky (1963) mengkategorikan makanan kedalam 4 kelompok, yaitu: (1) makanan
utama, makanan yang paling banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2)
makanan pelengkap, makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan
dengan jumlah yang sedikit; (3) makanan tambahan, makanan yang jarang ditemukan
dalam saluran pencernaan dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti,
makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia.
Struktur anatomis pencernaan ikan berdasarkan jenis makanannya terlihat
pada Tabel 1. Ikan belida atau Chitala lopis oleh Welcomme (1979) dikelompokkan
ke dalam predator besar, pemakan ikan segala ukuran, udang dan kepiting. Adjie dan
Utomo (1994) menginformasikan komposisi makanan ikan belida di Lubuk Lampam
(Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan) terdiri dari: ikan kecil (50.02%) dan udang
(21.87%). Adjie dkk. (1999) melaporkan makanan ikan belida di Sungai Batanghari
Provinsi Jambi terdiri dari Ikan (50.02-78.94%), udang (3.61-21.87%), serangga
(0.09%), cacing (0.01%), gastropoda (0.01%), bahan tumbuhan (0.62-6.99%) dan
tidak teridentifikasi (0.62- 6.99%).
E. Pertumbuhan
Pengertian pertumbuhan secara umum adalah perubahan dimensi (panjang,
berat, volume, jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu maupun komunitas
(Effendie 2002). Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi
kesehatan individu, populasi, dan lingkungan (Moyle and Cech 2004). Pertumbuhan
ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan
penyakit (Effendie 1997), serta umur dan maturitas (Moyle and Cech 2004). Faktor
eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan
yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu,
oksigen terlarut, kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle and Cech 2004).
Pertumbuhan ikan direfleksikan melalui model pertumbuhan dan tipe
pertumbuhan. Beberapa metode perhitungan yang digunakan untuk menentukan
model pertumbuhan yaitu: Plot Gulland and Holt, Plot Ford-Walford, Metode
Chapman dan Plot Von Bertalanffy. Plot Gulland and Holt memiliki keunggulan nilai
Δt (interval waktu) tidak perlu menjadi konstanta. Keunggulan Plot Ford-Walford
adalah dapat mengestimasi nilai L∞ (Panjang Asimptote) dan K (koefisien
pertumbuhan) secara cepat, akan tetapi melalui metode yang dikembangkan oleh
Chapman, diketahui bahwa Plot Ford-Walford hanya bisa diaplikasikan jika observasi-
observasi yang dilakukan bersifat berpasangan karena nilai Δt menjadi suatu
konstanta. Metode yang dianggap lebih baik dari metode di atas adalah Plot Von
Bertalanffy karena dapat mengestimasi nilai K yang rasional, dengan catatan
digunakan suatu estimasi yang rasional dari L∞ (Sparre dan Venema 1999). Ikan
belida memiliki tipe pertumbuhan allometrik positif berdasarkan penelitian (Salam
and Sarif 1997) di Banglades.
F. Reproduksi
Reproduksi pada ikan berhubungan erat dengan fekunditas dan gonad sebagai
alat reproduksi seksualnya. Aspek biologi reproduksi menurut Nikolsky (1963), terdiri
dari rasio kelamin, frekuensi pemijahan, waktu pemijahan, ukuran ikan pertama kali
matang gonad dan tempat memijah. Ikan belida melakukan pemijahan di hutan rawa,
terbukti pada perairan tersebut banyak ikan yang sudah matang gonad (siap memijah)
(Utomo dan Asyari 1999), waktu pemijahannya diketahui terjadi pada bulan
November-Januari (Adjie dan Utomo 1994). Secara bertahap induk yang sudah
matang gonad beruaya dari sungai menuju daerah rawa banjiran, terutama hutan rawa
yang banyak ditumbuhi tanaman dengan substrat keras, seperti pohon-pohon yang
sudah mati sebagai tempat menempelkan telur.
Induk yang matang gonad adalah induk yang telah melakukan fase
pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase
pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning
telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau
nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir,
sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut
fase istirahat (dorman). Menurut Woynarovich and Horvath (1980), bila rangsangan
diberikan pada saat ini akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah
atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Bila kondisi
lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut
akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel
ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia.
Induk ikan belida menempelkan telurnya pada benda-benda yang berada 1.5-2
m, dibawah permukaan air, termasuk pada batang kayu baik yang masih hidup
maupun yang sudah mati (Adjie dan Utomo 1994). Batang kayu merupakan rumpon
bagi ikan kecil dan udang yang merupakan makanan utama ikan ini, sehingga pada
waktu melakukan pemijahan mudah mendapatkan makanan. Balon (1975) dalam
Welcomme (1979), menambahkan ikan belida termasuk kelompok ikan yang
membangun sarang dengan apa saja dan dimana saja, sejauh memenuhi strategi
reproduksinya. Ikan belida memiliki jumlah telur 260-6080 butir dengan diameter 0.15
– 3.76 mm di Sungai Batanghari Provinsi Jambi (Adjie dkk. 1999), 1194-8320 butir
telur dengan diameter telur 1.5-3.0 mm di Lubuk Lampam Provinsi Sumatera Selatan
(Adjie dan Utomo 1994) dan 1000 – 6000 butir telur di Kolam Patra Tani (Sunarno
dkk. 2003). Ukuran pertama kali ikan belida matang gonad adalah 40-50 cm (Sunarno
dkk. 2003).
G. Kualitas Perairan
Ikan belida membutuhkan kondisi lingkungan perairan untuk hidup, tumbuh
dan berkembangbiak. Kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan ikan belida
termasuk faktor fisika (suhu perairan, turbidity, kedalaman dan arus), kimia (oksigen
terlarut, pH, kesadahan dan amoniak) dan biologi perairan (riparian vegetasi).
Suhu perairan berpengaruh terhadap sintasan, reproduksi, pertumbuhan
organisme muda dan kompetisi (Krebs 1985). Bagi ikan yang hidup di perairan tawar,
perubahan suhu perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah
untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Menurut Wibowo dan
Sunarno (2006) suhu perairan yang sering dijumpai ikan belida berkisar antara 27–30
0C. Turbidity menggambarkan sifat optik air, turbidity yang tinggi dapat
mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan, daya lihat
organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya di dalam air. Kecepatan
arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman, dan kelebaran dasar,
dinyatakan dengan satuan meter per detik (Odum 1963). Kedalaman perairan
dinyatakan dengan satuan meter, merupakan nilai variabel yang berkaitan langsung
dengan volume badan perairan.
Oksigen terlarut atau Disolved Oxigen (DO) merupakan gas O2 yang terlarut
dalam perairan (Jeffris and Mills 1996 in Effendi 2003). Konsentrasi oksigen terlarut
berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang
masuk kedalam air (Effendi 1997). Kandungan oksigen perairan yang sesuai untuk
ikan belida > 2 ppm (Wibowo dan Sunarno 2006).
Parameter pH air menunjukkan reaksi basa atau asam terhadap titk netral pH
7,0 (Schmittou 1991). Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, pada
suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi dan
bersifat toksik, dimana amonia yang tidak terionisasi lebih mudah diserap tubuh
organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut dalam Effendi 1997).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar
7–8.5 (Effendi 2003). Ikan belida bisa hidup pada pH rendah maksimal pada pH 4
(Wibowo dan Sunarno 2006). Kristanto dan Subagja (2008), menduga terdapat
keterkaitan antara pH dan konduktivitas perairan dengan penempelan telur ikan belida.
Kesadahan adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau
dikenal dengan sebutan acid –neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di
dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Kesadahan berperan sebagai buffer
perairan terhadap perubahan pH yang drastis, kesadahan yang baik berkisar antara 40–
500 mg/L CaCO3 (Effendi 1997). Ikan belida beradaptasi pada kondisi perairan yang
memiliki kesadahan relatif rendah Adjie dkk. (1999).
H. Fluktuasi Asimetrik
Faktor lingkungan dapat menyebabkan perubahan struktur morfologis,
reproduksi dan kemampuan bertahan hidup ikan, sebagai mekanisme adaptasi
terhadap perubahan lingkungan (fenotipic plastisity) (Stearns 1983). Respon adaptif
yang dilakukan ikan terhadap lingkungan memiliki konsekuensi. Hal ini dapat terlihat
pada perbedaan bentuk, ukuran, jumlah dan ciri-ciri morfologi yang lain pada organ
tubuh yang berpasangan antara organ bagian kiri dan bagian kanan (Wilkins et al.
1995).
Perbedaan fenotip pada individu pada organ tubuh yang berpasangan dapat
menunjukkan fluktuasi asimetrik, yaitu adanya perbedaan antara karakter sisi kiri dan
sisi kanan yang menyebar secara normal dengan rata-rata yang mendekati nol sebagai
akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van
Valen 1962).
Fluktuasi asimetri seringkali digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas
perkembangan sebagai bentuk ekspresi gen, yakni kemampuan untuk mengatur
perkembangan dan menghasilkan target fenotipe meskipun ada gangguan lingkungan
(Waddington 1942; Van Valen 1962). Individu yang memiliki nilai fluktuasi asimetri
rendah memiliki keuntungan selektif dibandingkan dengan individu yang memiliki
nilai fluktuasi asimetri tinggi dan untuk itu nilai fluktuasi asimetri dipandang sebagai
bagian dari fitness (Jones 1987). Clarke (1995) melaporkan beberapa studi yang
mengungkapkan hubungan antara simetri individu dan komponen fitness seperti
kemampuan bertahan hidup, fekunditas, pertumbuhan dan kesuksesan kawin. Dalam
suatu kajian nilai fluktuasi asimetri dan fekunditas pada ikan brook stickleback (Culea
inconstans) ditemukan bahwa betina dengan perhitungan jari-jari lemah sirip dada
yang asimetrik menghasilkan lebih sedikit telur dibandingan betina yang memiliki
karakter simetrik (Hechter et al. 2000). Betina dengan jari-jari lemah sirip dada yang
simetrik memiliki 15% lebih banyak telur dalam sarang dibandingkan betina dengan
jumlah jari-jari lemah sirip dada yang asimetrik. Ovari betina simetri, memiliki rata-
rata lebih berat 6.5% dibandingkan ovari ikan yang asimetrik.
BAB. V
DAFTAR PUSTAKA
B.A. Whitton, Phylum Cyanophyta (Cyanobacteria), in: Jhon, D.M. B.A. Whitton,
A.J. Brook (Eds.), The freshwater alga flora of The British Isles: an
identification guide to freshwater and terestrial algae, Cambridge
University Press, Cambridge, 2002.
H.C. Bold, M.J. Wynne, Introduction to the algae structure and reproduction, 2nd ed.,
Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1985.
H.P Hutagalung, D. Setiapermana, S.H. Riyono (Eds.), Metode analisis air laut,
sedimen dan biota. Buku 2. Pusat Riset dan Pengembangan Oseanologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 1997.
L. Geitler, Cyanophyceae, Koeltz Scientific Books, Koenigstein, 1985.
M. Fakhrudin, Pendekatan ekohidrologi untuk pelestarian situ di Jabotabek. Gunawan
Pratama et.al 2000. Laporan teknik; Proyek riset, Pengembangan dan
pendayagunaan biota darat tahun 1999/2000. Pusat Riset & Pengembangan
Biologi – LIPI, Bogor, 2000.
M. Sachlan, Planktonologi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1982.
M.M Watanabe, M. Kawachi, M. Hiroki, F. Kasai (Eds.), NIES-Collection. List of
strains. 8th ed., Microalgae and Protozoa. Microbial Culture Collection,
National Institute for Environmental Studies (NIES), Environmen Agency,
Japan, 2004.
M.M. Allen, Methods for cyanophyceae. in: J. R. Stein, (Eds.), Handbook of
phycological methods: culture methods and growth measurements,
Cambridge University Press, Cambridge, 1973.
N.B. Prihantini, Proceeding of Limnology National Seminar, Bogor, 2002.
Nofdianto, M. Badjoeri, Lukman, S.N. Satryo, Kondisi fisika-kimia beberapa situ di
sekitar Bogor, Jawa Barat. Dalam: F. Sulawesty, G.S. Haryani, H.
Wibowo, I.D.A. Sutapa, M. Fakhrudin, Nofdianto, T. Crisamadha, T.
Widiyanto (Eds.), Hasil-hasil riset Puslitbang Limnologi tahun 1998/1999.
Puslitbang Limnologi-Lembaga Ilmu.
P.R. Bell, Green plants their origin and diversity, Sioscorides press, Portland, 1992.
P.Sze, A biology of the algae, 3rd ed., WCB. McGraw-Hill, Boston 1998.