Upload
icha-stevany
View
8
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kedokteran
Citation preview
Emphysema
Definisi
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan
pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The
American Thorack society 1962).
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis
dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan
enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru :
1. CLE (Centrilobular Emphysema atau Centroacinar)
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya
pada region paru-paru atas. Inflamasi berkembang sampai bronkiolus tetapi biasanya kantong
alveolar tetap bersisa. (Suradi. 2004. ...).
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan
episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan
gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang
tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
2. PLE (Panlobular Emphysema atau Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya juga merusak paru-paru
bagian bawah. (Suradi. 2004. ...). Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan
alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal
dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini
mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan
pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, tetapi dapat juga dikaitkan dengan
emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya
devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-
antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami
(Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak
membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang
hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini
sering disebut centriacinar emfisema, sangat sering sering timbul pada perokok. (Suradi.
2004. ...)
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.
Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu
inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat
penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus
tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara
dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumotorak spontan.
Etiologi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diantaranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E
(IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada
keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi
antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Struktur paru akan berubah dan timbul emfisema.
Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel sel PMN, dan marofag alveolar
(pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok
dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu
sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun.
Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase
akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Terdapat hubungan yang
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV). (Nowak,2004). Rokok
secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya
perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus
dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan
alveoli pecah. Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear
melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti
tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan
asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi,
polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia
menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu
besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding alveolar
dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat
dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya
destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan
tertahan di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru-paru (bullae). Proses ini
akan mengakibatkan peningkatan ventilator pada dead space atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru untuk
melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan perfusi oksigen dan penurunan
ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema di anggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika
hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis
kronis dan merokok. (Suradi. 2004. ...).
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran
nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang
berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang
menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada
enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan
elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa-
1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan
elastin paru dan menimbulkan emfisema.
Manifestasi Klinik
Penampilan umum
1. Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
2. Bibir tampak kebiruan
3. Tekanan darah menurun
4. Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir
5. Usia 65-75 tahun
Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi pada
saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin
parah
4. Proses peradangan yang kronis
pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas
pada pasien.
9. Sering mengalami infeksi ulang
pada saluran pernapasan
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama emfisema adalah meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran
napas agar tidak terjadi hipoksia. Penatalaksanaan emfisema paru dilakukan secara
berkesinambungan untuk mencegah timbulnya penyulit, meliputi:
Pendekatan terapi mencakup:
1. Pemberian terapi untuk meningkatan ventilasi dan menurunkan kerja napas
2. Mencegah dan mengobati infeksi
3. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
4. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernapasan yang
edekuat
5. Dukungan psikologis
6. Edukasi dan rehabilitasi klien (Suradi. 2004. 60).
Edukasi yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk mengenali
gejala dan faktor-faktor pencetus kekambuhan emfisema paru.
Jenis obat yang di berikan berupa:
1. Bronkodilators
Obat-obat bronkodilator dan mukolitik agar dahak mudah dikeluarkan.
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan
untuk membantu dalam bronkodilatasi.
Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan edema
mukosa, dan mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi
3. Terapi infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati pada
saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi.
4. Kortikosteroid
Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang
sekresi.
5. Terapi oksigenasi (Suradi. 2004. 60).
Sumber :
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
2. Mills,John& Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta: EGC
3. Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepala:
Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE.