Upload
muhammad-yahya-shobirin
View
38
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Enzim merupakan biomolekul yang mengkatalis reaksi kimia, di mana hampir semua enzim
adalah protein. Pada reaksi-reaksi enzimatik, molekul yang mengawali reaksi disebut substrat,
sedangkan hasilnya disebut produk.[1] Cara kerja enzim dalam mengkatalisis reaksi kimia
substansi lain tidak merubah atau merusak reaksi ini.[2]
Peran enzim dalam metabolisme
Metabolisme merupakan sekumpulan reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup untuk
menjaga kelangsungan hidup.[3] Reaksi-reaksi ini meliputi sintesis molekul besar menjadi
molekul yang lebih kecil (anabolisme) dan penyusunan molekul besar dari molekul yang lebih
kecil (katabolisme). Beberapa reaksi kimia tersebut antara lain respirasi, glikolisis, fotosintesis
pada tumbuhan, dan protein sintesis. Dengan mengikuti ketentuan bahwa suatu reaksi kimia akan
berjalan lebih cepat dengan adanya asupan energi dari luar (umumnya pemanasan), maka
seyogyanya reaksi kimia yang terjadi pada di dalam tubuh manusia harus diikuti dengan
pemberian panas dari luar. Sebagai contoh adalah pembentukan urea yang semestinya
membutuhkan suhu ratusan derajat Celcius dengan katalisator logam, hal tersebut tidak mungkin
terjadi di dalam suhu tubuh fisiologis manusia, sekitar 37° C. Adanya enzim yang merupakan
katalisator biologis menyebabkan reaksi-reaksi tersebut berjalan dalam suhu fisiologis tubuh
manusia, sebab enzim berperan dalam menurunkan energi aktivasi menjadi lebih rendah dari
yang semestinya dicapai dengan pemberian panas dari luar. Kerja enzim dengan cara
menurunkan energi aktivasi sama sekali tidak mengubah ΔG reaksi (selisih antara energi bebas
produk dan reaktan), sehingga dengan demikian kerja enzim tidak berlawanan dengan Hukum
Hess 1 mengenai kekekalan energi.[4] Selain itu, enzim menimbulkan pengaruh yang besar pada
kecepatan reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Reaksi-reaksi yang berlangsung
selama beberapa minggu atau bulan di bawah kondisi laboratorium normal dapat terjadi hanya
dalam beberapa detik di bawah pengaruh enzim di dalam tubuh.[5]
Pemanfaatan enzim sebagai alat diagnosis
Pemanfaatan enzim untuk alat diagnosis secara garis besar dibagi dalam tiga kelompok:
1. Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat penyakit
tertentu.
Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu jaringan mengikuti prinsip bahwasanya
secara teoritis enzim intrasel seharusnya tidak terlacak di cairan ekstrasel dalam jumlah yang
signifikan. Pada kenyataannya selalu ada bagian kecil enzim yang berada di cairan ekstrasel.
Keberadaan ini diakibatkan adanya sel yang mati dan pecah sehingga mengeluarkan isinya
(enzim) ke lingkungan ekstrasel, namun jumlahnya sangat sedikir dan tetap. Apabila enzim
intrasel terlacak di dalam cairan ekstrasel dalam jumlah lebih besar dari yang seharusnya, atau
mengalami peningkatan yang bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan terjadi kematian
(yang diikuti oleh kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-besaran. Kematian sel
ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia (yang merusak tatanan
lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi (virus), berkurangnya aliran darah
sehingga lisosom mengalami lisis dan mengeluarkan enzim-enzimnya, atau terjadi perubahan
komponen membrane sehingga sel imun tidak mampu lagi mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel
asing, dan akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit autoimun) dan mengakibatkan kebocoran
membrane.
Contoh penggunaan enzim sebagai petanda adanya suatu kerusakan jaringan adalah sebagai
berikut:
Peningkatan aktivitas enzim renin menunjukkan adanya gangguan perfusi darah ke
glomerulus ginjal, sehingga renin akan menghasilkan angiotensin II dari suatu protein serum
yang berfungsi untuk menaikkan tekanan darah
Peningkatan jumlah Alanin aminotransferase (ALT serum) hingga mencapai seratus kali
lipat (normal 1-23 sampai 55U/L) menunjukkan adanya infeksi virus hepatitis, peningkatan
sampai dua puluh kali dapat terjadi pada penyakit mononucleosis infeksiosa, sedangkan
peningkatan pada kadar yang lebih rendah terjadi pada keadaan alkoholisme.
Peningkatan jumlah tripsinogen I (salah satu isozim dari tripsin) hingga empat ratus kali
menunjukkan adanya pankreasitis akut, dan lain-lain.
2. Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis.
Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk mencari petanda
(marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan suatu senyawa petanda yang
dicari dapat diketahui dan diukur berapa jumlahnya. Kelebihan penggunaan enzim sebagai suatu
reagensia adalah pengukuran yang dihasilkan sangat khas dan lebih spesifik dibandingkan
dengan pengukuran secara kimia, mampu digunakan untuk mengukur kadar senyawa yang
jumlahnya sangat sedikit, serta praktis karena kemudahan dan ketepatannya dalam mengukur.
Contoh penggunaan enzim sebagai reagen adalah sebagai berikut:
Uricase yang berasal dari jamur Candida utilis dan bakteri Arthobacter
globiformis dapat digunakan untuk mengukur asam urat.
Pengukuran kolesterol dapat dilakukan dengan bantuan enzim kolesterol-oksidase yang
dihasilkan bakteri Pseudomonas fluorescens.
Pengukuran alcohol, terutama etanol pada penderita alkoholisme dan keracunan alcohol
dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alcohol dehidrogenase yang dihasilkan
oleh Saccharomyces cerevisciae, dan lain-lain.
3. Enzim sebagai petanda pembantu dari reagensia.
Sebagai petanda pembantu dari reagensia, enzim bekerja dengan memperlihatkan reagensia lain
dalam mengungkapkan senyawa yang dilacak. Senyawa yang dilacak dan diukur sama sekali
bukan substrat yang khas bagi enzim yang digunakan. Selain itu, tidak semua senyawa memiliki
enzimnya, terutama senyawa-senyawa sintetis. Oleh karena itu, pengenalan terhadap substrat
dilakukan oleh antibodi. Adapun dalam hal ini enzim berfungsi dalam memperlihatkan
keberadaan reaksi antara antibodi dan antigen. Contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:
Pada teknik imunoenzimatik ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay), antibodi
mengikat senyawa yang akan diukur, lalu antibodi kedua yang sudah ditandai dengan enzim
akan mengikat senyawa yang sama. Kompleks antibodi-senyawa-antibodi ini lalu
direaksikan dengan substrat enzim, hasilnya adalah zat berwarna yang tidak dapat diperoleh
dengan cara imunosupresi biasa. Zat berwarna ini dapat digunakan untuk menghitung jumlah
senyawa yang direaksikan. Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah
peroksidase, fosfatase alkali, glukosa oksidase, amilase, galaktosidase, dan asetil kolin
transferase.
Pada teknik EMIT (Enzim Multiplied Immunochemistry Test), molekul kecil seperti
obat atau hormon ditandai oleh enzim tepat di situs katalitiknya, menyebabkan antibodi tidak
dapat berikatan dengan molekul (obat atau hormon) tersebut. Enzim yang lazim digunakan
dalam teknik ini adalah lisozim, malat dehidrogenase, dan gluksa-6-fosfat dehidrogenase.
Pemanfaatan enzim di bidang pengobatan
Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim sebagai obat, pemberian
senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim dengan demikian suatu efek tertentu
dapat dicapai (enzim sebagai sasaran pengobatan), serta manipulasi terhadap ikatan protein-ligan
sebagai sasaran pengobatan.
1. Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim untuk mengatasi
defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh manusia untuk mengkatalis rekasi-
reaksi tertentu. Berdasarkan lamanya pemberian enzim sebagai pengobatan, maka keadaan
defisiensi enzim dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu keadaan defisiensi enzim yang bersifat
sementara dan bersifat menetap. [6] Contoh keadaan defisiensi enzim yang bersifat sementara
adalah defisiensi enzim-enzim pencernaan. Seperti yang diketahui, enzim-enzim pencernaan
sangat beragam, beberapa di antaranya adalah protease dan peptidase yang mengubah protein
menjadi asam amino, lipase yang mengubah lemak menjadi asam lemak, karbohidrase yang
mengubah karbohidrat seperti amilum menjadi glukosa serta nuklease yang mengubah asam
nukleat menjadi nukleotida.[7] Adapun defisiensi enzim yang bersifat menetap menyebabkan
banyak kelainan, yang biasanya juga disebut sebagai kelainan genetic mengingat enzim
merupakan protein yang ditentukan oleh gen. Contoh kelainan akibat defisiensi enzim antara lain
adalah hemofilia. Hemofilia adalah suatu keadaan di mana penderita mengalami kesulitan
penggumpalan darah (cenderung untuk pendarahan) akibat defisiensi enzim-enzim terkait
penggumpalan darah. Saat ini telah diketahui ada tiga belas faktor, sebagian besar adalah
protease dalam bentuk proenzim, yang diperlukan dalam proses penggumpalan darah. Pada
penderita hemofilia, terdapat gangguan/defisiensi pada faktor VIII (Anti-Hemophilic Factor),
faktor IX, dan faktor XI. Kelainan ini dapat diatasi dengan transfer gen yang mengkode faktor
IX.[8] Diharapkan gen tersebut dapat mengkode enzim-enzim protease yang diperlukan dalam
proses penggumpalan darah.
2. Enzim sebagai sasaran pengobatan merupakan terapi di mana senyawa tertentu digunakan
untuk memodifikasi kerja enzim, sehingga dengan demikian efek yang merugikan dapat
dihambat dan efek yang menguntungkan dapat dibuat. Berdasarkan sasaran pengobatan, dapat
dibagi menjadi terapi di mana enzim sel individu menjadi sasaran dan terapi di mana enzim
bakteri patogen yang menjadi sasaran.
a) Pada terapi di mana enzim sel individu sebagai sasaran kinerja terapi, digunakan senyawa-
senyawa untuk mempengaruhi kerja suatu enzim sebagai penghambat bersaing. Contoh penyakit
yang dapat diobati dengan terapi ini adalah:
Diabetes Melitus. Pada penyakit Diabetes Melitus, senyawa yang diinduksikan adalah
akarbosa (acarbose), di mana akarbosa akan bersaing dengan amilum makanan untuk
mendapatkan situs katalitik enzim amilase (pankreatik α-amilase) yang seyogyanya akan
mengubah amilum menjadi glukosa sederhana. Akibatnya reaksi tersebut akan terganggu,
sehingga kenaikan gula darah setelah makan dapat dikendalikan.[9]
Penumpukan cairan. Enzim anhidrase karbonat merupakan enzim yang mengatur
pertukaran H dan Na di tubulus ginjal, di mana H akan terbuang keluar bersama urine,
sedangkan Na akan diserap kembali ke dalam darah. Adalah senyawa turunan sulfonamida,
yaitu azetolamida yang berfungsi menghambat kerja enzim tersebut secara kompetitif
sehingga pertukaran kation di tubulus ginjal tidak akan terjadi. Ion Na akan dibuang keluar
bersama dengan urine. Sifat ion Na yang higroskopis menyebabkan air akan ikut keluar
bersamaan dengan ion Na; hal ini membawa keuntungan apabila terjadi penumpukan cairan
bebas di ruang antar sel (udem). Dengan kata lain senyawa azetolamida turut berperan dalam
menjaga kesetimbangan cairan tubuh.[10]
Pengendalian tekanan darah diatur oleh enzim renin-EKA dan angiosintase. Enzim renin-
EKA berperan dalam menaikkan tekanan darah dengan menghasilkan produk angiotensin II,
sedangkan angiosintase bekerja terbalik dengan mengurangi aktivitas angiotensin II. Untuk
menghambat kenaikan tekanan darah, maka manipulasi terhadap kerja enzim khususnya
EKA dapat dilakukan dengan pemberian obat penghambat EKA (ACE Inhibitor).
Mediator radang prostaglandin yang dibentuk dari asam arakidonat melibatkan dua
enzim, yaitu siklooksigenase I dan II (cox 1 dan cox II). Ada obat atau senyawa tertentu
yang mempengaruhi kinerja cox 1 dan cox II sehingga dapat digunakan untuk mengurangi
peradangan dan rasa sakit.
Dengan menggunakan prinsip pengaruh senyawa terhadap enzim, maka enzim yang
berfungsi untuk memecah AMP siklik (cAMP) yaitu fosfodiesterase (PD) dapat dihambat
oleh berbagai senyawa, antara lain kafein (trimetilxantin), teofilin, pentoksifilin, dan
sildenafil. Teofilin digunakan untuk mengobati sesak nafas karena asma, pentoksifilin
digunakan untuk menambah kelenturan membran sel darah merah sehingga dapat memasuki
relung kapiler, sedangkan sildenafil menyebabkan relaksasi kapiler di daerah penis sehingga
aliran darah yang masuk akan bertambah dan tertahan untuk beberapa saat.
Penyakit kanker merupakan penyakit sel ganas yang harus dicegah penyebarannya. Salah
satu cara untuk mencegah penyebarannya adalah dengan menghambat mitosis sel ganas.
Seperti yang diketahui, proses mitosis memerlukan pembentukan DNA baru (purin dan
pirimidin). Pada pembentukan basa purin, terdapat dua langkah reaksi yang melibatkan
formilasi (penambahan gugus formil) dari asam folat yang telah direduksi. Reduksi asam
folat ini dapat dihambat oleh senyawa ametopterin sehingga sintesis DNA menjadi tidak
berlangsung. Selain itu penggunaan azaserin dapat menghambat biosintesis purin yang
membutuhkan asam glutamate. 6-aminomerkaptopurin juga dapat menghambat
adenilosuksinase sehingga menghambat pembentukan AMP (salah satu bahan DNA).
Pada penderita penyakit kejiwaan, pemberian obat anti-depresi (senyawa) inhibitor
monoamina oksidase (MAO inhibitor) dapat menghambat enzim monoamina oksidase yang
mengkatalisis oksidasi senyawa amina primer yang berasal dari hasil dekarboksilasi asam
amino. Enzim monoamina oksidase sendiri merupakan enzim yang mengalami peningkatan
jumlah ada sel susunan saraf penderita penyakit kejiwaan.
b) Pada terapi di mana enzim mikroorganisme yang menjadi sasaran kerja, digunakan prinsip
bahwa enzim yang dibidik tidak boleh mengkatalisis reaksi yang sama atau menjadi bagian dari
proses yang sama dengan yang terdapat pada sel pejamu. Hal ini bertujuan untuk melindungi sel
pejamu, sekaligus meningkatkan spesifitas terapi ini. Karena yang dibidik adalah enzim
mikroorganisme, maka penyakit yang dihadapi kebanyakan adalah penyakit-penyakit infeksi.
Contoh terapi dengan menjadikan enzim mikroorganisme sebagai sasaran kerja antara lain:
Pada penyakit tumor, sel tumor dapat dikendalikan perkembangannya dengan
menghambat mitosisnya. Mitosis sel tumor membutuhkan DNA baru (purin dan pirimidin
baru). Proses ini membutuhkan asam folat sebagai donor metil yang dapat dibuat oleh
mikroorganisme sendiri dengan memanfaatkan bahan baku asam p-aminobenzoat (PABA),
pteridin, dan asam glutamat. Suatu analog dari PABA, yaitu sulfonamida dan turunannya
dapat dimanfaatkan untuk menghambat pemakaian PABA untuk membentuk asam folat.
Penggunaan antibiotika, yaitu senyawa yang dikeluarkan oleh suatu mikroorganisme di
alam bebas dalam rangka mempertahankan substrat dari kolonisasi oleh mikroorganisme lain
dalam memperebutkan sumber daya, juga berperan dalam terapi. Contohnya adalah
penisilin, suatu antibiotik yang menghambat enzim transpeptidase yang mengkatalisis
dipeptida D-alanil D-alanin sehingga peptidoglikan di dinding sel bakteri tidak terbentuk
dengan sempurna. Bakteri akan rentan terhadap perbedaan tekanan osmotik sehingga
gampang pecah.
Perbedaan mekanisme sintesis protein antara mikroorganisme dan sel pejamu juga dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu prinsip terapi. Penggunaan antibiotika tertentu dapat
menghambat sintesis protein pada mikroorganisme. Contohnya antara lain:
Ø Tetrasiklin yang menghambat pengikatan asam amino-tRNA pada situs inisiator subunit 30S
dari ribosom sehingga asam amino tidak dibawa oleh tRNA.
Ø Streptomisin yang berikatan langsung dengan subunit 50S dari ribosom sehingga laju sintesis
protein berkurang dan terbentuk protein yang tidak semestinya akibat kesalahan baca kodon
mRNA.
Ø Kloramfenikol yang menyaingi mRNA untuk duduk di ribosom
Ø Neomisin B yang mengubah pengikatan asam amino-tRNA ke kompleks mRNA ribosom.
3. Interaksi protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. Pengobatan dengan sasaran interaksi
protein-ligan mengacu kepada prinsip interaksi sistem mediator-reseptor, di mana apabila
mediator disaingi oleh molekul analognya sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor,
sehingga efek dari mediator tersebut tidak terjadi. Contoh pengobatan dengan menjadikan
interaksi protein-ligan sebagai sasarannya antara lain:
a) Pengendalian tekanan darah yang diatur oleh hormon adrenalin. Reseptor yang terdapat pada
hormon adrenalin, yaitu α-reseptor dan β-reseptor dapat dihambat oleh senyawa-senyawa yang
berbeda. Penghambatan pada β-reseptor dapat menimbulkan efek pelemasan otot polos dan
penurunan detak jantung. Obat-obatan yang bekerja dengan cara tersebut dikenal sebagai β-
blocker.
b) Penggunaan antihistamin untuk tujuan tertentu. Histamin merupakan turunan asam amino
histidin yang berperan sangat luas, mulai dari neuromediator, mediator radang pada kapiler,
meningkatkan pembentukan dan pengeluaran asam lambung HCl, kontraksi otot polos di
bronkus, dan lain-lain. Tidak jarang ketika misalnya terjadi peradangan yang memicu
pengeluaran histamin, terjadi efek-efek lain seperti sakit perut dan lain-lain. Untuk itu
dikembangkan senyawa spesifik yang mampu bekerja sebagai pesaing histamin, yaitu
antihistamin. Dengan adanya antihistamin ini, maka respon yang ditimbulkan akibat kerja
histamin dapat ditekan.
Faktor enzim menjadikan kita selain hidup juga hidup lebih lama.
Homeostasis adalah proses fisiologis amat penting yang terjadi pada
kehidupan. Proses homeostasis seharusnya berjalan dengan seimbang antara
faktor yang merusak dan memperbaiki. Apabila homeostasis terganggu, maka seseorang akan
menjadi sakit. Salah satu bahan yang penting dalam peristiwa homeostasis adalah enzim.
Pengamatan Dr. Hiromi Shinya, MD juga diperkuat teori Dr. Howel menunjukan bahwa apabila
enzim ini habis, maka kehidupan pun akan berakhir. Hal-hal yang dapat mengakibatkan enzim
habis dalam tubuh manusia adalah gaya hidup yang terkait dengan konsumsi manusia atas
alkohol, tembakau (rokok), obat-obatan, dan aneka bahan makanan-minuman lainnya.
Jumlah Enzim adalah Kunci Kesehatan. Enzim adalah katalis protein yang dibentuk di dalam sel-
sel makhluk hidup. Singkatnya enzim adalah sebuah unsur yang diperlukan oleh makhluk hidup
agar dapat hidup. º% Contoh : sebuah kuncup tumbuh ari biji tanaman karena adanya enzim yang
bekerja. Enzim juga yang bekerja ketika kuncup itu tumbuh menjadi sehelai daun. Aktivitas
tubuh manusia juga didukung oleh banyak enzim. Pencernaan dan penyerapan, metabolisme sel-
sel lama yang diganti oleh sel-sel baru, penguraian racun dn detoksifikasi, semua adalah hasil
fungsi enzim. Setiap enzim hanya memiliki satu fungsi.
Enzim bertanggung jawab atas seluruh fungsi makhluk hidup. Gerakan jari tangan, pernafasan,
dan degup jantung, semua aktifitas berkat kerja enzim. Namun, sistem ini akan menjadi tidak
efisien jika setiap enzim yang digunakan untuk suatu aktivitas tertentu diproduksi dalam bentuk
finalnya dari permulaan, tanpa memperdulikan kebutuhan tubuh yang terus berubah-ubah (Teori
Dr. Hiromi Shinya, MD tentang enzim).
Jika teori ini benar, pada saat suatu organ atau bagian tubuh menggunakan persediaan enzimnya
secara berlebihan, tubuh akan mengalami kesulitan mempertahankan homeostasis
(keseimbangan sistem tubuh), memperbaiki sel-sel, dan menjaga sistem saraf, sistem endokrin,
dan sistem kekebalan tubuh karena organ tersebut menghabiskan enzim pangkal, oleh karena itu,
mengakibatkan kekurangan enzim di area-area lain.
Enzim pangkal, dapat menjadi jenis enzim apapun. Saat makanan yang mengandung enzim
dikonsumsi, enzim pangkal disimpan dalam tubuh, siap untuk digunakan kapanpun dibutuhkan.
Jumlah enzim pangkal di dalam tubuh menentukan apakah sistem kekebalan tubuh berfungsi
dengan baik atau tidak. Tanpa henti, tubuh manusia bekerja untuk mempertahankan
keseimbangan sistem tubuh. Itulah sebabnya, jika sejumlah besar radikal bebas yang sangat
beracun terkumpul dalam tubuh (pada kasus kemoterapi), enzim-enzim pangkal seluruh tubuh
berubah menjadi enzim-enzim yang menangkal racun radikal-radikal bebas tersebut. Tubuh
berusaha keras menetralisasi kerusakan terbesar yang disebabkan oleh radikal bebas.
Efek samping yang banyak dikenal dari kemoterapi adalah hilangnya nafsu makan, mual, dan
rambut rontok, tetapi saya yakin semua gejala itu muncul karena enzim pangkal dalam jumlah
besar tengah digunakan untuk menangkal racun. Jumlah enzim pangkal yang terpakai dalam
proses detoksifikasi setelah kemo tentu saja sangat besar.
Jika jumlah enzim pencernaan yang dimiliki seseorang tidak cukup, orang itu mengalami
kehilangan nafsu makan. Pada saat yang sama, metabolisme sel melambat karena kurangnya
enzim metabolisme dan selaput mukus di lambung, dan ususpun menjadi tidak teratur sehingga
menyebabkan rasa mual. Defisiensi enzim metabolisme menyebabkan kulit bersisik, kuku rapuh
dan rambut rontok.
Kadar enzim pangkal berkurang bersamaan dengan bertambahnya usia. Ada sekitar 5.000 jenis
enzim yang bekerja dalam tubuh manusia. Dapat dibagi dua kategori luas : 1 enzim-enzim yang
dibuat di dalam tubuh dan 2 enzim-enzim yang datang dari luar dalam bentuk makanan. Di
antara enzim-enzim yang dibentuk di dalam tubuh, sekitar 3.000 jenis dibuat oleh bakteri-bakteri
usus.
Orang yang memiliki karakteristik lambung dan usus yang baik adalah menyantap banyak
makanan segar yang mengandung banyak enzim. Hal ini tidak hanya berarti mengkonsumsi
enzim dari luar, tetapi juga menciptakan lingkungan usus yang kondusif bagi bakteri-bakteri usus
untuk memproduksi enzim secara aktif.
Sementara orang yang memiliki karakteristik dan ciri-ciri lambung serta usus yang buruk adalah
kebiasaan-kebiasaan gaya hidup yang mempercepat habisnya enzim. Kebiasaan menggunakan
alkohol dan tembakau (rokok). Terlalu banyak makan, mengkonsumsi makanan yang
mengandung bahan tambahan makanan. Lingkungan yang menyebabkan stres, dan penggunaan
obat-obatan, semua menguras enzim dalam jumlah besar. Hal lain yang menguras enzim dalam
jumlah besar antara lain menyantap makanan basi yang memproduksi racun dalam usus besar,
terkena sinar ultraviolet dan gelombang elektromagnetik yang menghasilkan radikal bebas
sehingga memerlukan detosifikasi oleh enzim, serta stres secara emosi.
Mendesak bagi kita mengetahui cara meningkatkan dan bukannya menguras enzim-enzim tubuh.
Karena jika tubuh memiliki enzim yang banyak, energi untuk hidup dan sistem kekebalan pun
meningkat.
Mengetahui bagaimana membatasi penipisan secara tidak seharusnya enzim pangkal yang
berharga adalah rahasia untuk menyembuhkan penyakit dan menjalani hidup berumur panjang
dan sehat:
1. Mengunyah dengan baik 30-50 kali setiap makan, sangatlah penting. Mengunyah
menstimulasi sekresi air liur. Enzim-enzim pencernaan yang terdapat dalam air liur, jika
tercampur dengan makanan selama dikunyah, meningkatkan pencernaan dan penyerapan
karena penguraian makanan berlangsung dengan lancar.
2. Enzim-enzim yang berharga sensitif terhadap panas dan akan terurai pada suhu 48®-
115®C.
3. Makanan terbaik ; (a). yang tumbuh di tanah subur dan kaya mineral, (b). tanpa
menggunakan zat-zat kimia pertanian maupun pupuk kimia, (c). yang dimakan segera
setelah dipanen.
4. Semakin segar sayuran, buah-buahan, daging dan ikan semakin banyak pula enzim yang
dikandungnya (jadi terasa lezat saat dimakan).
5. Sangat penting mengetahui bagaimana cara memilih makanan yang tepat, cara
memasaknya dan cara menyantapnya.
6. Makanan segar dianggap baik bagi tubuh karena, selain mengandung banyak enzim,
mereka tidak teroksidasi (terjadi saat zat berikatan dengan oksigen). Radikal bebas
terbentuk saat makanan teroksidasi memasuki tubuh. Radikal bebas dapat menghancurkan
DNA dalam sel-sel sehingga menyebabkan kanker dan banyak masalah kesehatan lainnya.
7. Radikal bebas sering diperlakukan sebagai penjahat, pada kenyataannya juga berfungsi
penting, yaitu mampu membunuh virus, bakteri, jamur dan menekan infeksi.
8. Saat radikal bebas meningkat terlalu banyak, tubuh kita dilengkapi dengan senjata untuk
menetralisasinya, yaitu enzim antioksidan. Jenis enzim yang menjalankan fungsi ini
disebut SOD (super-oksida dismutase).
9. SOD saat melewati usia 40 tahun menurun, saat SOD mulai berkurang seiring usia,
enzim-enzim pangkal mulai melawan radikal bebas yang berlebihan. Jika enzim pangkal
kemudian tidak tersedia dalam tubuh, maka enzim pangkal tidak dapat mencegah
gangguan kesehatan yang disebabkan radikal bebas. Maka menjadi sebuah kepentingan
untuk menghindari makanan yang teroksidasi dan memakan makanan yang segar yang
penuh enzim, selain membatasi jumlah radikal bebas yang dihasilkan, juga dapat
membatasi pengurangan enzim pangkal dalam tubuh. Hal ini akan menghasilkan suatu
siklus positif yang secara teratur akan meningkatkan energi kehidupan kita.
Titik berat Diet dan Gaya Hidup Keajaiban Enzim menekankan pentingnya makanan. Menyantap
makanan yang mengandung enzim menciptakan lingkungan usus yang menyebabkan bakteri-
bakteri usus dapat memproduksi enzim.
Orang-orang yang makanannya banyak mengandung enzim juga memiliki enzim tubuh dalam
jumlah tinggi.
Materi ini disusun dengan penuh motivasi agar dapat memberikan kebaikan.....
Tanggapan dan Pendapat :
DR. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP(K), Menkes RI 2004 s.d. 2009
“Membuka paradigma baru tentang diet dan pola hidup sehat”
Prof. dr. Sudjono Aswin, Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM
“Menawarkan kehidupan yang lebih sehat dan panjang...sangat inspiratif, sederhana dan mudah
dicerna oleh siapa pun.”
Prof. Dr. dr. Muhammad Amin, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
“Dr. Shinya memberikan kunci emas agar manusia dapat menikmati hidup yang sehat. “
Sekilas Tentang Dr. Hiromi Shinya, MD
Bagi para gastroenterologis dan ahli bedah di seluruh dunia, Dr. Hiromi Shinya, MD tidak perlu
dikenalkan lagi. Sebagai seorang pelopor pembedahan menggunakan kolonoskop (dialah yang
mengembangkan teknik tersebut yang diberi nama sesuai dengan namanya dan membantu
merancang peralatan yang digunakan), Dr. Hiromi Shinya, MD dikenal luas sebagai salah
seorang dokter terkemuka di dunia.
Dr. Hiromi Shinya, MD telah berpraktik kedokteran selama lebih dari empat puluh tahun,
mengobati para presiden, perdana menteri, bintang film, musisi dan banyak lagi pasien lain yang
tidak terkenal. Dokter ini telah memeriksa lambung dan usus lebih dari 300.000 orang pasien.
Saat ini, Dr. Hiromi Shinya, MD menjabat sebagai Profesor Klinis Pembedahan di Albert
Einstein College of Medicine, New York City, dan Kepala Unit Endoskopi Bedah di Beth Israel
Medical Centre.