19
TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. 1 Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). 1 International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. 1 B. ETIOLOGI Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. 1 8

EPILEPSI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Anak

Citation preview

Page 1: EPILEPSI

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang

terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan

serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku

atau emosional yang intermiten dan stereotipik.1

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan

epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).1

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International

Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi

epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi

yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. 1

B. ETIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang

yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik

jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.

Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak.1

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan

listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor

fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit

atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat

menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.1

Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia

serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor

penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf

pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik,

penyakit trauma kepala, dan lain-lain.1

Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-

macam penyakit diantarnya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor

otak, perdarahan ota, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak,

8

Page 2: EPILEPSI

kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit,

demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.1

Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah:1

a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama

b. Kejang demam kompleks

c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor

resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.1

Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat

kejang demam mempunyai resiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi usia 7 tahun

dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.1

C. KLASIFIKASI1

Klasifikasi epilepsi:

a. Bangkitan parsial/fokal

1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

a) Dengan gejala motorik

b) Dengan gejala sensorik

c) Dengan gejala otonomik

d) Dengan gejala psikis

2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran

b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.

3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan

umum

b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan

umum

c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum.

b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

1) Bangkitan lena (absence)

9

Page 3: EPILEPSI

Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi

mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik

pada mata, dagu dan bibir.

2) Bangkitan mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat

umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih

ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.

3) Bangkitan tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan

ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi

bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang

tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena

tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak

sensitif, dan pupil dilatasi.

4) Bangkitan atonik

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya

kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau

menyeluruh sehingga pasien terjatuh.

5) Bangkitan klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang

kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.

6) Bangkitan tonik klonik

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat

kemudian diikuti oleh gerakan klonik

D. EPIDEMIOLOGI

Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi

yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok

umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi

dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-

50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering

juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan

sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.2

10

Page 4: EPILEPSI

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur

dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh

gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden

terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. 3

World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju

berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000

ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara berkembang adalah

suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di

antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.3

E. PATOFISIOLOGI

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya

perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan

jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian

intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui

akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan

menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian

inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar

dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim

sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga

terjadilah epilepsi.1

Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas

listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang

penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali

bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas

yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi

otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural

otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 1

F. MANIFESTASI KLINIS4

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :

1) Kejang parsial

11

Page 5: EPILEPSI

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau

satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan

kesadaran penderita umumnya masih baik.

a) Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,

psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana,

kesadaran penderita masih baik.

b) Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi

yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme

2) Kejang umum

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau

kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan

kesadaran penderita umumnya menurun.

a) Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.

Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,

sehingga sering tidak terdeteksi.

b) Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,

leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c) Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.

Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

d) Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan

total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami

deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase

klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas

fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan

peningkatan denyut jantung.

e) Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang

yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

12

Page 6: EPILEPSI

f) Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami

jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

G. DIAGNOSIS1

Ada 3 langkah untuk mendiagnosis epilepsi, yaitu:

a) Langkah pertama: Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal

meupakan bangkitan epilepsi

b) Langkah kedua: Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah

bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.

c) Langkah ketiga: tentukan sindom epilepsi apa yang ditunjukan oleh bangkitan

tadi, atau epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang

(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform

pada EEG.

Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai

berikut :

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan

perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan

(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti

dan merupakan kunci diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

a) Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk / berdiri / berbaring / tidur /

berkemih.

b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).

c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan

tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,

pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.

d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh

gelisah, atau Todd’s paresis.

e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan

pola bangkitan.

13

Page 7: EPILEPSI

2) Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit

neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang

mungkin menjadi penyebab.

3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar

bangkitan.

4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.

b. Pemerikaan fisik dan neurologis

Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,

pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan

awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan

ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia,

hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan

timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan

glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi

hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.

2) Elektro ensefalografi (EEG)

Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di

otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang

sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau

epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien

epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan

untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya

lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya:

a) Asimetris irama dan voltase gelombng pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

14

Page 8: EPILEPSI

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

c) Adanya gelombang yng biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,

dan gelombag lambat yang timbul secara paroksismal.

3) Rekaman video EEG

Pemeriksaan video EEG ini berhasil membedakan apakah serangan

kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama erekaman

dilakukan secara teru menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil

rekaman dapat menunjukan gambaran serangan kejang epilepsi.

4) Pemeriksaan radiologis

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan

istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya

kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi,

namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur

pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih

spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil

diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma

kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi

pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan

kiri.

5) Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian

juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan

kejang yang bukan epilepsi

H. TATALAKSANA4

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

15

Page 9: EPILEPSI

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang

adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan

mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan

berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan

diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg

bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang

setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua

kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita

dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas

dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan

kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus -

menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan

menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk

mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.

Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila

serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien

tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita

epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang

biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,

fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara

teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun

serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan

kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda

keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan

menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang

menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.

16

Page 10: EPILEPSI

Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap

pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak

fokus infeksi :

a. Lobektomi temporal

b. Eksisi korteks ekstratemporal

c. Hemisferektomi

d. Callostomi

3) Terapi nutrisi

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang

kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat

mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik

dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet

ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,

tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol

terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-

anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana

efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan

yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak

terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori

harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang

yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

I. PROGNOSIS1

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,

faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis

epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan

obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.

Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan

pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan

remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan

terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk

penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.

Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas

serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas

serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk

17

Page 11: EPILEPSI

menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu

mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor

prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja /

dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai

penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang

lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah

pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital.

Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit

susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

18

Page 12: EPILEPSI

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonima. Tinjauan pustaka. [serial online], 2012. [cited 17 March

2015]. Available from

URL:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-

inaalfatah-7080-3-babii.pdf

2. Anonima. Tinjauan pustaka. [serial online], 2013. [cited 19 March

2015]. Available from

URL: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-2-7.pdf

3. Raharjo TB. [serial online], 2012. [cited 20 March 2015]. Available

from

URL: http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf

4. Setiaji A. Epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cited 20 March

2015]. Available from:

URL:http://eprints.undip.ac.id/44421/3/

ADRIAN_SETIAJI_22010110130154_Bab2KTI.pdf.

5. Unversitas hasanuddin. Standar pelaynan medis kesehtan medis.

Makassar: 2012. Hal. 95.

6. Penyakit epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cited 20 March

2015]. Available from:

URL: Penyakit Epilepsi Pada Anak _ Artikel Kesehatan Anak.html

7. Waspadai epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cied 20 March

2015]. Available from:

URL:

http://www.readersdigest.co.id/sehat/info.medis/waspadai.epilepsi.pad

a.anak/005/001/194

19