Upload
fanny-florence
View
112
Download
76
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Anak
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
atau emosional yang intermiten dan stereotipik.1
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).1
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. 1
B. ETIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak.1
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan
listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor
fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit
atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat
menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.1
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia
serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor
penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf
pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik,
penyakit trauma kepala, dan lain-lain.1
Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-
macam penyakit diantarnya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor
otak, perdarahan ota, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak,
8
kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit,
demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.1
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah:1
a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor
resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.1
Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat
kejang demam mempunyai resiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi usia 7 tahun
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.1
C. KLASIFIKASI1
Klasifikasi epilepsi:
a. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala otonomik
d) Dengan gejala psikis
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
9
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir.
2) Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
3) Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi
bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang
tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena
tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, dan pupil dilatasi.
4) Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau
menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
5) Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik
D. EPIDEMIOLOGI
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi
yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok
umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi
dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-
50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering
juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan
sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.2
10
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur
dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh
gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden
terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. 3
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000
ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara berkembang adalah
suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di
antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.3
E. PATOFISIOLOGI
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian
inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar
dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim
sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga
terjadilah epilepsi.1
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang
penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali
bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas
yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi
otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural
otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 1
F. MANIFESTASI KLINIS4
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
11
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana,
kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
12
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
G. DIAGNOSIS1
Ada 3 langkah untuk mendiagnosis epilepsi, yaitu:
a) Langkah pertama: Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
meupakan bangkitan epilepsi
b) Langkah kedua: Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
c) Langkah ketiga: tentukan sindom epilepsi apa yang ditunjukan oleh bangkitan
tadi, atau epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform
pada EEG.
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut :
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti
dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a) Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk / berdiri / berbaring / tidur /
berkemih.
b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).
c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan
tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.
d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, atau Todd’s paresis.
e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan
pola bangkitan.
13
2) Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
b. Pemerikaan fisik dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan
awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan
ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia,
hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan
timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi
hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di
otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang
sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau
epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya:
a) Asimetris irama dan voltase gelombng pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
14
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yng biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombag lambat yang timbul secara paroksismal.
3) Rekaman video EEG
Pemeriksaan video EEG ini berhasil membedakan apakah serangan
kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama erekaman
dilakukan secara teru menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil
rekaman dapat menunjukan gambaran serangan kejang epilepsi.
4) Pemeriksaan radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan
istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi,
namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur
pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih
spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma
kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan
kiri.
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian
juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan
kejang yang bukan epilepsi
H. TATALAKSANA4
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
15
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas
dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus -
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila
serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang
biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara
teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan
kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda
keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan
menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
16
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak
fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol
terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana
efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan
yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak
terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori
harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang
yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
I. PROGNOSIS1
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis
epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan
obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan
pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan
remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan
terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas
serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
17
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja /
dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai
penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang
lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah
pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital.
Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit
susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonima. Tinjauan pustaka. [serial online], 2012. [cited 17 March
2015]. Available from
URL:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-
inaalfatah-7080-3-babii.pdf
2. Anonima. Tinjauan pustaka. [serial online], 2013. [cited 19 March
2015]. Available from
URL: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-2-7.pdf
3. Raharjo TB. [serial online], 2012. [cited 20 March 2015]. Available
from
URL: http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf
4. Setiaji A. Epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cited 20 March
2015]. Available from:
URL:http://eprints.undip.ac.id/44421/3/
ADRIAN_SETIAJI_22010110130154_Bab2KTI.pdf.
5. Unversitas hasanuddin. Standar pelaynan medis kesehtan medis.
Makassar: 2012. Hal. 95.
6. Penyakit epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cited 20 March
2015]. Available from:
URL: Penyakit Epilepsi Pada Anak _ Artikel Kesehatan Anak.html
7. Waspadai epilepsi pada anak. [serial online], 2012. [cied 20 March
2015]. Available from:
URL:
http://www.readersdigest.co.id/sehat/info.medis/waspadai.epilepsi.pad
a.anak/005/001/194
19