Upload
famela-asditaliana
View
53
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Diferential Diagnose
Citation preview
ANGIOFIBROMA
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis
terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak,
tetapi secara klinis tumor ini bersifat tumor ganas karen mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma
nasofaring sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan,
merupakan 0,05% dari tumor keala dan leher. Biasanya ditemukan pada laki-laki dan remaja
antara usia 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebi dari 25 tahun.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
radiologis. Trias gejala tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan
massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.
Penanganan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor),
radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving,
kraniotomi. Pengobatan lain seperti pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi
dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberi sebelum operasi untuk mengecilkan
tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi.
ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii
yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding
lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glosso-
faringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea
asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan feromen laserum yang terletak dekat bagian lateral
atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah
satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung
adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan
reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa
reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor
tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan
nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%
positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti
langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
GEJALA KLINIS
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul
rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan
ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial.
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung
terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau
karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah
besar.
PATOGENESIS
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat
dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori
tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena
ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan
teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor
progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial
immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP
dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya
antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas
adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada
anak atau remaja laki-laki.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga hidung, sinus
maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada
pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium
pterigomaksila dan orbita. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal
dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri
anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.
PENYEBARAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur
sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat
diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura
orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui
fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tu-
mor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium.
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi.
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk
biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik,
bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika
gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor
direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di
ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis.
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang
tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda
antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda
ini sering sulit untuk dikenali.
CT SCAN
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau
invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama
pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi
ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.
Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.
PENGOBATAN
EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut
dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam
pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk
menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat
tumor.
OPERASI
Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).
Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.
Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan
jalan masuk posterior ke tumor.
Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan
perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk
jalan masuk.
Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan
sinus-sinus paranasali.
RADIOTERAPI
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi
modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar
Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun,
kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
HORMONAL
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II
sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara
rutin.
PROGNOSIS
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang
sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat
adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System
mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan
merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring
oleh AJC.
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris,
fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :
Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang.
Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan
destruksi tulang.
Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar
menyisakan lateral ke sinus kavernosus.
Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pitu-
itary.
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan
melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa
erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid);
perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
sinus kavernosus.
Karsinoma Nasofaring11
Karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering
ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor
ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim,
payudara dan kulit.
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini,
disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala
tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor
ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut.
Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga
berbunyi atau rasa nyeri di telinga.
Lokasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut
merupakan daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba
Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi membuka
tuba, sehingga fungsi tuba terganggu dan mengakibatkan gangguan pendengaran berupa
menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga
akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu
kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini.
KLASIFIKASI WHO
1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi
2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi
GEJALA DINI
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana
tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga :
gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak
nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga.
Gejala Hidung
Epistaksis. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus. Sumbutan hidung yang menetap
terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala
menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya
ingus kental.
Gejala mata
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, VI, sehingga
tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien ke dokter mata.
Gejala saraf
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran
melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jakson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrome unilateral.
Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering
ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis
sangat buruk.
STADIUM
Stadium T = Tumor
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002).
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T1 - Tumor terbatas di nasofaring
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2b : disertai perluasan ke parafaring
T3 – Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
N = Nodule
N – Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX- pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula .
N2 - .metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula
N3 - metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau
terletak didalam fossa supraklavikula.
N3a : ukuran lebih dari 6 cm
N3b : di dalam fossa supraklavikula
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
MX – metastase jauh tidak dapat dinilai
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .
Stadium :
Stadium O : T1s dan N0 dan M0
Stadium I : T1 No Mo
Stadium II A : T2a dan No dan Mo
Stadium II B : T1 N1 Mo
T2a N1 Mo
T2b No, N1 Mo
Stadium III : T1 N2 dan M0
T2a, T2b N2 Mo
T3 N2 Mo
Stadium IVa : T4 N0, N1, N2 dan M0
IVb : semua T N3 Mo
IVc : semua T semua N M1
Penatalaksanaan
Stadium I : radioterapi
Stadium II & III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
KARSINOMA FARING
Definisi
Tumor ganas pada Nasofaring. Kanker nasofaring merupakan keganasan pada leher
dan kepala yang terbanyak ditemukan di Indonesia (60 persen). Untuk mendiagnosis secara
dini sangatlah sulit, karena tumor ini baru menimbulkan gejala pada stadium-stadium akhir.
Gejala-gejala pada stadium awal penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit lainnya.
Dimana letak dari tumor ini tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di dasar
tengkorak, dan sukar sekali dilihat jika bukan dengan ahlinya. Presentase untuk bertahan
hidup dalam 5 tahun juga terlihat mencolok, hal ini dilihat dari stadium I (76 %), stadium II
(50 %), stadium III (38 %) dan stadium lanjut atau IV (16,4%).
Epidemiologi
Penyakit ini banyak ditemukan pada ras cina terutama yang tinggal di daerah selatan.
Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga
sering timbul di Negara-negara asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-
orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet
nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.
Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab dari kanker nasofaring adalah infeksi virus
Epstein Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan kadar antivirus Virus Epstein
Barr didapatkan cukup tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah letak geografis yang
sudah disebutkan diatas, penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki walaupun
alasannya belum dapat dibuktikan hingga saat ini. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap, bumbu masakan, bahan pengawet,
masakan yang terlalu panas, air yang memiliki kadar nikel yang cukup tinggi, dan kebiasaan
seperti orang Eskimo yang mengawetkan ikannya dengan menggunakan nitrosamine.
Tentang faktor keturunan sudah banyak diteliti tetapi hingga sekarang belum dapat ditarik
kesimpulan. Satu hal lagi yang penting diketahui adalah bahwa penyakit ini seringkali
menyerang masyarakat dengan golongan sosial yang rendah, hal ini mungkin berkaitan
dengan kebiasaan dan lingkungan hidup di sekitar orang-orang tersebut
Gejala dan Tanda
Gejala klinis karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu,
Gejala nasofaring, gejala ini dapat berupa perdarahan melalui hidung yang ringan hingga be-
rat, atau sumbatan pada hidung
Gejala Telinga, ini merupakan gejala dini yang timbul karena asal tumor dekat sekali dengan
muara tuba eustachius, sehingga pembesaran sedikit pada tumor akan menyebabkan tersum-
batnya saluran ini dan menimbulkan gejala pada telinga seperti, telinga nyeri, telinga
berdenging, rasa tidak nyaman.
Gejala Mata, pertumbuhan tumor ini dapat menyebabkan gangguan pada saraf-saraf di otak
salah satunya adalah keluhan pada mata berupa pandangan ganda.
Gejala di leher, Metastasis, gejala ini dapat dilihat pada beberapa stadium akhir kanker naso-
faring berupa pembesaran atau benjolan di leher.
Untuk pemeriksaan tambahan, sejak ditemukan CT-scan sangat membantu dalam diagnosis
tumor-tumor di daerah kepala dan leher sehingga tumor primer yang terletak di belakang dan
tersembunyi dapat ditemukan. Pemeriksaan lain seperti serologi IgA anti EA dan IgA anti
VCA di Indonesia telah menunjukan kemajuan dalam medeteksi karsinoma.
Untuk diagnosis pasti Karsinoma Nasofaring ditegakan dengan melakukan biopsy nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. 3 bentuk tersering
dari karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel squamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
Penatalaksanaan
Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tamba-
han yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, ke-
moterapi, dan vaksin antivirus.
Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi seperti, mulut terasa kering, ja-
mur pada mulut, rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat tim-
bul. Oleh karena itu dapat dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktiv-
itas dan berusaha menjaga kebersihan pada mulut dan gigi.
Pemberian vaksin pada penduduk dengan resiko tinggi dapat dilakukan untuk mengurangi
angka kejadian penyakit ini pada daerah tersebut
ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL
DEFINISI
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya ke sinus
paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit
dihentikan.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain juvenile angiofibroma, juvenile
nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor,
tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.
ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii
yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dind-
ing lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glos-
sofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus pet-
rosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri
faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lat-
eral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring
atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian
posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor
bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina,
berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari
pertumbuhan tumor.
EPIDEMIOLOGI
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis
JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang
usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,05% dari semua tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya
dari satu atau dua pasien untuk 2.000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The
Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per
15.000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan
bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
ETIOLOGI
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di
turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang
berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau
embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri
maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan
delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti
Her-2/neu oncogene.
Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan
asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidung.
Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen
(RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung
memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan
menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana
memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan
RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada
75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil
menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif
sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek
posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan
endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan
menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai
tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua
lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan
bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke
anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada
satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang
lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-
erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura
orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien
yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan
pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan
dengan JNA.
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak
lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda
sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran
mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang
berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik,
angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh
darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan
dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik
dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika
terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi
batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi
trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang
melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan
kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan
karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur
sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat
diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fis-
sura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita
melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor
berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.
GEJALA KLINIK
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling
sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah
(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi
(unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kra-
nial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhin-
orrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hy-
posmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk
pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonen-
capsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau
bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini menca-
pai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),
terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi
(cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan
setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pem-
bengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda
bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan pengli-
hatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
DIAGNOSIS
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature
fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis.
Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan
elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan
tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi
sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik,
bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika
gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor
direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di
ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis
Foto Sinar-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman
dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung
pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan
terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang
besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada
kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
Angiografi
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini
terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.
Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat
adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System
mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan
merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring
oleh AJC :
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris,
fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan keter-
libatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi su-
perior dari tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial fossa/ptery-
goid base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke si-
nus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.
Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan
kerusakan tulang.
Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar;
sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau
fossa pituitari.
DIAGNOSIS BANDING
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma,
encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel
skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma (carcinoma).
10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, ter-
atoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous
cell carcinoma)
11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).
PENATALAKSANAAN
Terapi Medis
Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I
dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak
digunakan secara rutin.
o Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone re-
ceptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II
hingga 44%.
o Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) se-
belum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek
samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).
o Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
o Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari
mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan
dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari
stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat
bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik
(seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya.
Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit
intrakranial atau kasus rekuren.
o Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi ra-
diasi.
o Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi
yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan ra-
dioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
o Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive)
atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik un-
tuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan
morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
o External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial
yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digu-
nakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua
tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan
lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.
Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut
dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat
dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja
cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan
untuk mengangkat tumor.
Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan un-
tuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki
akses posterior terhadap tumor.
Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan per-
luasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk
jalan masuk.
Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus
(en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga
hidung dan sinus paranasal.
KOMPLIKASI
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan
transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi
keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai
hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di
fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari
arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-
rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari
JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan
dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang
sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.
Kondisi yang harus dilakukan pasien untuk dibawa ke gawat darurat .
Mencari perawatan medis melalui dokter atau ruang gawat darurat jika :
a. Anda tidak dapat menghentikan perdarahan setelah lebih dari 15 sampai 20 menit
dengan penekanan pada hidung
b. Anda mengalami episode berulang dari perdarahan.
c. Perdarahannya cepat & kehilangan darah dalam jumlah banyak ( melebihi secangkir
kopi)
d. Pendarahan disebabkan oleh cedera, seperti jatuh atau pukulan lain pada hidung atau
wajah.
e. Anda merasa lemah dan pingsan.
f. Darah keluar melalui bagian belakang tenggorokan dan bukan melalui hidung
walaupun Anda sedang dalam kondisi duduk dan kepala agak menunduk kedepan
( Hal ini sering terjadi pada orang tua dan dengan pasien tekanan darah tinggi).
sumber : clevelandclinic.org
TUMOR HIDUNG DAN SINONASAL
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang
jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya
sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang
dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor
yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan,
apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah
lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit.
1. DEFINISI
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi
yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan
vestibulum nasi.
2. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per
10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada
10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar
2 : 1.
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil
industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,
minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi
keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.
Banyak laporan mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-
pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok,
makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan,
sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.
Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000
penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di Jepang
dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika
Serikat.
Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan pada
anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu 7 : 100.000 pada
pasien dalam delapan dekade.
Rousch (1999) memperkirakan bahwa di atas 80% dari semua tumor ganas pada
manusia dihubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini kemungkinan
tinggi, bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-pasien
yang terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.
Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan pembuat
furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini, agen yang
berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan juga meningkatkan
kanker hidung.
Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari kavum
nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum. Untuk tumor
yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.
3. JENIS HISTOPATOLOGI
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah
sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial
yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan
lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau
adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.
Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adeno-
karsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah
hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan
osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum,
plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini.
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat
ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia
fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.
4. Klasifikasi Tumor :
A. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip
dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma,
pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya.
Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih
sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya
rinotomi lateral atau maksilektomi media.
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa
yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan
mendorong bola mata ke anterior.
B. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul
oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid
(15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.
Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga
sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi
jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.
Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang
sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.
Karsinoma Sel Skuamosa
Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang
mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah
ini. Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih
struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga
hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari
sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-
laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus
hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90%
akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat
metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube
kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik.
Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah
diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-
kasus yang dapat direseksi.
Adenokarsinoma
Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung
dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus.
Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling
banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini
muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara histologis
menjadi tingkat tinggi dan rendah.
Melanoma Maligna
Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit,
merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area
tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga
hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma
sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan.
Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi
tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi
sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya
beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi
paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan
insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.
Keseluruhan prognosisnya buruk.
Estesioneuroblastoma
Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius
yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke
paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung.
CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial.
C. Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik,
neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus
lakrimal).
5. PEMERIKSAAN
A. Gejala dan Tanda :
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,
sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga
mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala - gejalanya dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. Gejala Nasal : gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor
ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
b. Gejala Orbital : perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,
protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
c. Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak
pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
d. Gejala Fasial : perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
e. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media
maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi
trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
B. Pemeriksaan Fisik :
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring
melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda
tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah
merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial
berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
C. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram
atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan
normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos
toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau
melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena
akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan
angiografi.
STAGING :
Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di
Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di
sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal
tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa
keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit sekitar
hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus
paranasal.
Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1,
tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, yakni tumor meluas ke orbita, sinus
sphenoid dan frontal dan atau rongga intracranial.
Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak
diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa
leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2
(diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter terbesar lebih
dari 6 cm). Metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada
metastasis). Adapun pembagian sistem TNM menurut Simson, adalah sebagai berikut :
T : Tumor.
T—1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T—2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
T—3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.
d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.
T—4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b. Invasi ke fosa pterigoid.
c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra lateral.
d. Invasi ke lamina pterigoid.
e. Invasi ke selule etmoid posterior.
f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.
N : Kelenjar Getah Bening Regional.
N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.
N—2 : Tidak dapat digerakkan.
M : Metastasis.
M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.
Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadiumnya, yaitu stadium dini (stadium 1
dan 2) dan stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam
stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung
dan sinus paranasal sudah terkena tumor.
Stadium :
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1
T2a
T2b
N1
N1
N0,N1
M0
M0
M0
Stadium III T1T2a,T2b
T3
N2N2N2
M0M0M0
Stadium IV A T4 N0,N1,N2 M0Stadium IV B Semua T N3 M0Stadium IV C Semua T Semua N M1
7. PENATALAKSANAA
Pada tumor jinak dilakukan eksterpasing sebersih mungkin. Pada tumor ganas,
terapi merupakankombinasi operasi, radioterapi (sesudah atau sebelim
operasi), dan kemoterapi. Kadang-kadang setelah operasi diperlukan
rekontruksi dengan protese (bedah plastik) dan rehabilitasi.
Terapi
Tumor jinak:
Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain:
1. Rinotomi lateral
2. Caldwell-Luc
3. Pendekatan trans-palatal
Tumor ganas:
1. Pembedahan:
Reseksi:
o Rinotomi lateral
o Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau
dengan kombinasi deseksi leher radikal)
Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi.
2. Radiasi:
Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif
Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misalnya Karsinoma Anaplastik
undifferentiated)
3. Kemoterapi:
Dilakukan atas indikasi tertentu (misalnya Tumor sangat besar/inop-
erable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi)
8. PROGNOSIS
Prognosis meningkat pada pasien penyajian dengan primary ethmoid, awal lesi
diobati dengan baik radiasi dan pembedahan, dan dengan sejarah terbalik
papilloma.20 SCCA lain seperti kepala dan leher, getah bening keterlibatan
node adalah langka dan selektif getah bening node diseksi tidak menganjurkan
. Tingkat ketahanan hidup 5 tahun adalah 60-64%, dan tingkat kekambuhan
diperkirakan 31%.