Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
78 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
SISTEM PELARASAN
GITAR KLASIK LAMPUNG PEPADUN
Erizal Barnawi,1 Hasyimkan,
2 Agung Hero Hernanda
3
Dosen Prodi Pendidikan Musik, FKIP, Universitas Lampung1,2,3
[email protected] [email protected], [email protected]
Abstrak
Gitar Klasik Lampung or Peting Tunggal is an acculturation music between Portuguese music and
Lampung music. The form of acculturation is the guitar instrument from Portuguese and lyrics, the
tuning system, and grenek from Lampung Pepadun people's culture and intelligence. Gitar Klasik
Lampung Pepadun is also known as a type of vocal instrument performance art which has long been
an instrument of expression and a part of people's lives that are currently following the times.
Until now, Gitar Klasik Lampung Pepadun has developed very rapidly due to the presence of
indirect social media to promote this art. Finally, many young people have emerged to learn and
show their expertise on Instagram and their personal Facebook. Already began to emerge sanggar's
from the original village of Lampung who studied and became a pioneer of the Gitar Klasik
Lampung Pepadun.
Gitar Klasik Lampung Pepadun has a different tuning system than the standard guitar. The tuning
system is called Stem Pal, Stem Kembang kacang, Stem Be, Stem sanak mewang, and Stem
hawayang. Excerpts (tetti ') consist of tetti' pal, Tetti' kembang kacang, tetti' Stambul, tetti'
Keroncong Pandan, tetti' Tiga serangkai, tetti' Las Bas, tetti' Sanak Mewang di Ejan, tetti' Sai Kris,
Tetti 'Hawayang' and Sandung.
Keywords: Gitar Klasik Lampung Pepadun, Tuning system, Acculturation Music
A. Pendahuluan
Persentuhan dan kehadiran suku bangsa lain beserta segala bentuk hasil
kebudayaannya, telah membuat seni pertunjukan yang tumbuh di Lampung adalah sebentuk
seni pertunjukan akulturasi, baik antara suku asli Lampung dengan suku bangsa lain, maupun
antara sesama suku bangsa yang lain. Persentuhan dan pola saling mempengaruhi ini telah
berjalan berabad-abad, sehingga hampir semua bentuk kebudayaan menorehkan warnanya di
wilayah ini, mulai dari kebudayaan megalitikum, Hindu, Budha, Cina, Islam, Portugis, hingga
Belanda.1 Semua memberikan jejaknya masing-masing, termasuk Belanda yang sejak tahun
1608 hingga 1942 menjajah Indonesia, tetapi sedikit sekali persentuhan kebudayaan yang
terjadi, yang mengutip Manuel Saragosa adalah "tiga abad yang tersisa hanyalah sedikit
1 Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), 148, Seperti dikutip oleh
Misthohizzaman, Gitar Klasik Lampung Musik dan Identitas Masyarakat Tulang Bawang (Yogyakarta: Tesis UGM,
2006).
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
79 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
warisan kebudayaan”.2 Oleh karena itu musik tradisional Lampung yang kini kita kenal saat ini
terbentuk melalui proses akulturasi dengan bentuk kesenian suku bangsa lain.
Budaya akulturasi dapat juga dilihat pada sebuah objek ilmu musik seperti di Provinsi
Lampung yang terdapat pengabungan dua budaya yang pertama budaya portugis dari gitarnya
dan budaya Lampung yang diadopsi dari lirik vocal, grenek vocal, dan sistem tuning serta
teknik petikan dalam gitar klasik Lampungnya.3 Ada kesamaan konsep beberapa daerah yang
memakai kesenian gitar klasik ini seperti Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu penamaan
gitar klasik mereka dengan sebutan Sahilin/Sahilinan, dan di Provinsi Sulawesi Barat
penyebutan gitar klasiknya yakni Sayang-Sayang Mandar.4
Lampung memiliki kebudayaan yang sangat banyak diantaranya musik, dialektika,
dan rupa-rupa corak Lampung. Akan tetapi, di era yang modern saat ini masih banyak
kurangnya tertarik masyarakat terkhusus kaula muda dalam menggemari dan melestarikan
kebudayaan Lampung.5 Salah satunya ialah Gitar Klasik Lampung atau bahasa daerahnya
peting tunggal. Beberapa permasalahannya ialah sulitnya memainkan gitar karena metode
pembelajaran atau literasi yang sangat minim dan masih sangat kurang dalam bentuk notasi
baik angka maupun notasi balok. Akhirnya, menyebabkan pola pelatihan masih menerapkan
oral language atau diucapkan secara langsung oleh pelatih tanpa ada metode atau alat bantu
dalam pelatihannya.6 Disamping itu Gitar Klasik merupakan salah satu instrumen yang dapat
menghasilkan bunyi dengan indah bagi penikmatnya. Menurut Fikra Zaky dalam Wicaksono
mengatakan untuk pemain gitar tunggal (klasik) yang baik tidak hanya memiliki keterampilan
saja, namun juga diperlukan teknik permainan yang baik pula sehingga dalam memainkan
sebuah musik akan lebih sempurna serta untuk bermain gitar klasik diperlukan teknik yang
benar sehingga karya yang dimainkan benar-benar sempurna.7
2 Manuel Saragosa and Ronald Van de Krold, "Most Indonesian Buried Dutch Past a Long Time Ago," dalam
Triyono Bramantyo, Diseminasi Musik Barat di Timur (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2004), xxii. 3 Ricky Irawan, “Ritme Inti Pada Gambus Dan Gitar Lampung Pesisir : Sebuah Kajian Transformasi Musikal”
di sampaikan dalam “Konferensi Internasional VI, Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah. Lampung 24-26 Sepetember
2016 (Lampung: Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia Komisariat Lampung), 461. 4 Philip Yampolsky, “Music of Indonesian 20 dalam Ricky Irawan, “Ritme Inti Pada Gambus Dan Gitar
Lampung Pesisir : Sebuah Kajian Transformasi Musikal” di sampaikan dalam “Konferensi Internasional VI, Bahasa,
Sastra, dan Budaya Daerah. Lampung 24-26 September 2016 (Lampung: Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia
Komisariat Lampung), 462. 5Erizal Barnawi, “Jelajah Bagi Guru; Mengenal Lebih Dekat, Alat Musik Tradisional Lampung” dalam
Majalah Eduspot: Edisi 22/2019, (Bandar Lampung: EDUSPOT, 2019), 11-12. 6 Wawancara langsung dengan pelaku pemetik peting tunggal Nopri pada tanggal 04/01/2020.
7 Herwin Wicaksono, “Praktik individual mayor 1 gitar”, 2004, dalam Fikra Zaky, “Analisis Teknik
Permainan Gitar Pada Komposisi Gitar “Sunburst” Karya Andrew York” dalam Jurnal VIRTUOSO Vol 2, Nov 2019,
100.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
80 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
Berbicara eksistensi Gitar Klasik Lampung sudah banyak di jumpai baik rekaman video
amatir maupun profesional di media aplikasi Youtube, Facebook dan Instagram dengan
keyword “gitar klasik lampung” maka akan banyak sekali muncul beragam petikan khas dari
peting tunggal dan vocalnya. Baik berdialek A (Api) atau yang berdialek O (Nyow) yang sama
banyaknya di aplikasi media sosial tersebut. Akan tetapi peneliti telah mengamati banyaknya
yang bisa bernyanyi dalam lagu-lagu peting tunggal akan tetapi sedikit dan minimnya pemeting
(pemetik gitar) atau pemain yang bisa bermain tunggal (vocal sekaligus bergitar).8 Sebab, pada
sejarahnya bahwa gitar klasik Lampung ini ialah suatu bentuk vocal instrumen tunggal yang
hanya dimainkan oleh seorang saja baik memetiknya, maupun menyanyikannya.9 Maka bentuk
pertunjukkan biasanya ada pesan dari si pemeting untuk menyampaikan isi hati dan kelu kesah
hidupnya dalam memainkan peting tunggal.10
Sebenarnya dari hasil pengamatan penulis bahwa untuk para remaja yang asli Lampung
sangat tinggi minatnya untuk memainkan gitar sambil bernyanyi. Akan tetapi karena teknik dan
caranya yang banyak belum diketahui akhirnya beberapa muli (gadis) dan menganai (bujang)
Lampung hanya bisa mendalami petikan gitarnya saja atau hanya mendalami teknik vocalnya
saja secara otodidak. Akhirnya, bentuk dan wujud asli peting tunggal yang beresensi tunggal
menjadi ganda atau duet dalam pertunjukkannya bukan lagi tunggal. Artinya, apabila ini
dibiarkan secara terus menerus tanpa diberikan solusi dalam metode pembelajarannya maka
akan menjadi hilang pakem atau idiom keaslian dalam pertunjukkan atau penampilannya.
Walaupun kemajuan pertunjukan dalam ranah kreasi dan kreatifitas sangat mendukung untuk
duet dan grup akan tetapi alangkah bijaknya pakemnya didalami terlebih dahulu baru ke ranah
kreasi atau kontemporer.
Dari keterangan di atas harapan peneliti nantinya penelitian ini akan membuat sebuah
metode pembejalaran dengan tetap menerapkan oral language akan tetapi membantu para
pengajar gitar tunggal klasik Lampung untuk menggunakan bahan media transkripsi (notasi
balok atau notasi angka). Dengan demikian akan mempermudah jalannya pembelajaran serta
semakin mudah di pahami oleh si pemain gitar pemula. Selain dari pada itu, menjadikan sebuah
bentuk pendokumentasian dalam pentranskrip notasi dalam gitar klasik Lampung Pepadun.
8Erizal Barnawi, “Eksistensi Gitar Klasik Lampung Tulang Bawang dan Pengembangannya”. Dalam Prosiding
Seminar Nasional: Temu AP2SENI 2019, (Makkasar: Asosisasi Prodi Pendidikan SENDRATASIK Indonesia, 2019),
Hal 52-56. 9 Wawancara dengan Hila Hambala, tanggal 05 Januari 2020 di rumah kediamannya.
10
Wawancara dengan Edi Pulampas, tanggal 21 Januari 2020 di acara Festival Gitar Klasik Lampung yang di
adakan Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
81 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
Sebab, yang diketahui sampai saat ini masih belum banyak para sarjanawan baik di bidang
musik, karawitan, maupun etnomusikologi belum menyentuh penelitian keranah penotasian
pada tiap-tiap petikan dan sistem tuning gitar klasik Lampung Pesisir
B. Metode Penelitian
Penelitian ini secara umum menggunakan model penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus.11
Penggunaan metodelogi kualitatif berdasar pada jenis data penelitian
yang membutuhkan interpretasi konseptual. Dengan kata lain kajian analisis musikologis akan
digunakan dalam menganalsisi petikan dan system tuning. Sedangkan metode studi kasus
dipilih karena memiliki relevansi dengan objek yang dikaji yaitu Gitar Klasik Lampung
Pepadun yang diterapkan oleh para pemain gitar klasik di daerah Pepadun Lampung seperti
Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Way Kanan,
Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Utara.
Data penelitian ini terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara mendalam dengan para informan. Sedangkan
data sekunder merupakan data penunjang yang didapatkan dari hasil mempelajari dokumen
yang berupa artikel, buku dan hasil rekaman audio-visual mengenai Gitar Klasik Lampung
Pepadun. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data penelitian dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain: pertama, mengumpulkan data hasil observasi, wawancara,
catatan dokumen dan rekaman audio-visual kemudian dikelompokkan dalam kategori.
Pengelompokkan kategori dilakukan dengan cara membuat tabel sesuai dengan kategori
pertanyaan. Setelah mendapatkan hasil dari pengkategorian tersebut, maka dilakukanlah
perbandingan dengan data hasil wawancara mendalam.
Langkah kedua, yaitu melakukan analisis berdasarkan metode analisis domain. Pada
tahap ini, hasil data kategori ditempatkan dalam kategori baru berdasarkan ruang, sebab-akibat,
alasan, lokasi, atribut dan sistem. Setelah itu dilakukan reduksi data sesuai dengan keperluan
penelitian. Hasil reduksi tersebut kembali dihubungkan dengan data yang sesuai permasalahan.
Langkah ketiga, data hasil reduksi dianalisis berdasarkan kerangka teori yang digunakan oleh
konsep Alan P Marriam untuk mengetahui system tuning dan petikan yang digunakan Cikdin
Syahri SM dan Damanhori. Hasil analisis tersebut akan dihubungkan dengan kerangka
11
John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 135.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
82 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
pemikiran Karl Edmund Prier SJ tentang suatu bentuk musik gitar klasik Lampung Pepadun
yang berada dan hidup dimasyarakat. Keempat adalah membuat kesimpulan hasil analisis.
C. Pembahasan
Kajian musikal ini difokuskan pada sistem penyeteman/pelarasan (tuning system), lagu,
teknik petikan, dan bentuk penyajian gitar klasik Lampung Pepadun serta transkripsi notasi
balok untuk membantu proses belajar gitar klasik berbasis literasi. Hasil pengamatan dan
penelitian penulis bahwa terdapat enam steman dan sepuluh petikan. Keenam steman yang
terdapat pada gitar klasik Lampung Pepadun, adalah (1) steam pal; (2) steam kembang kacang;
(3) steam be; (4) steam hawaiang; (5) steam sanak mewang; dan (6) steam sandung. Petikan
gitar klasik Lampung Pepadun terdiri atas: (1) petikan pal; (2) petikan kembang kacang; (3)
petikan stambul; (4) petikan keroncong pandan; (5) petikan tiga serangkai; (6) petikan las bas;
(7) petikan sanak mewang di ijan; (8) petikan sai kris; (9) petikan hawaiang; dan 10) sandung.
Sistem pelarasan gitar yang digunakan masyarakat Lampung Pepadun dalam
memainkan lagu-lagu klasik Lampung berbeda dengan dari yang lazimnya penalaan gitar
standar. Sistem penalaan ini ditinjau dari segi praktis empiris, mengedepankan semangat
mencari kemudahan dan efisiensi dalam memetik gitar, yang hal itu diakui para pelakunya.
Tinjauan praktis terhadap teknik penjarian memang mengutamakan efisiensi dalam berkarya,
mengolah kondisi secara minimal untuk mencapai hasil maksimal. Pembahasan sistem
pelarasan didahulukan karena menurut Supanggah, melalui laras jauh lebih mudah mengenali
musik dibandingkan lewat kualitas suara, komposisi musik, bentuk, ritme, atau pola permainan
musikal.12
Sistem pelarasan Gitar Klasik Lampung Pepadun adalah (1) stem pal; (2) stem kembang
kacang; (3) stem be; (4) stem hawaiang; dan (5) stem sanak mewang di ejan, dengan tinggi
nada dawai masing-masing sebagai berikut.
Tabel 1.
Sistem pelarasan dawai gitar klasik Lampung Pepadun (1--5) dan sistem pelarasan gitar
standar.
No Nama Sistem Pelarasan Tinggi Nada Dawai Ke
1 2 3 4 5 6
1 Stem Pal e’ c’ g d Bb F
2 Stem Kembang Kacang e’ b f# c# A F#
3 Stem Be e’ b g d A G
4 Stem Hawayang d’ b g d A G
12
Supanggah, Rahayu. Bothekan Karawitan I (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002), 85.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
83 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
5 Stem Sanak Mewang di Ejan e’ b g d B G
6 Stem Standar e’ b g d A E
Sistem pelarasan berbeda juga dikenal oleh marga lain, seperti oleh masyarakat Abung
Siwo Migo di Lampung Utara dan etnis lain, seperti masyarakat Mandar di Sulawesi Selatan.
Demikian juga halnya dengan masyarakat Manado, bahkan di Hawaii, hampir setiap kepala
keluarga memiliki sistem pelarasan mereka sendiri-sendiri.13
Dawai pertama disebut bernada e’ sebagai pemudah perbandingan, karena pada
praktiknya gitar klasik Lampung Pepadun dapat dilaras sesuai keinginan pemainnya, yakni
dapat bernada e’ dan dapat juga bukan. Dawai pertama selalu menjadi patokan dalam melaras,
baik melaras untuk permainan Gitar Klasik Lampung Pepadun maupun melaras gitar lain di
seluruh dunia.
Penyesuaian tinggi nada dawai pertama pada gitar klasik Lampung biasanya dilakukan
dengan beberapa pertimbangan, yaitu penyesuaian: (1) terhadap ambitus suara penyanyi; dan
(2) terhadap ketegangan dawai yang rentan memutuskan dawai gitar, pada saat bermain lebih-
lebih pada saat bermain kolektif. Dalam permainan kolektif, pelarasan merujuk pada gitar yang
terendah kekuatan dawai dan kondisi organologinya.
Pola pelarasan itu menyiratkan keterbukaan terhadap unsur asing yang datang dari luar
lingkungannya, menyerap, kemudian mengolahnya menjadi pertunjukan yang tidak
mengindikasikan kelemahan salah satu komponennya, tetapi lebih menunjukan kekuatan
kolektif yang muncul dari sekumpulan keadaan yang berbeda-beda kekuatannya itu. Sikap
kolektivitas itu menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap hadirnya pendatang dan sekaligus
menghormati tatanan yang sudah mapan apabila memasuki wilayah lain. Prinsip toleransi ialah
mencari persamaan dalam perbedaan dan toleransi itulah wujud pandangan hidup masyarakat
Lampung Pepadun nemui nyimah ‘suka menerima tamu dan suka memberi sesuatu kepada
orang lain’.
Penyamaan laras gitar yang dimiliki dengan gitar orang lain juga dapat dimaknai karena
dilandasi falsafah nengah nyappur ‘ke tengah dan bergaul’, yaitu kehendak untuk masuk ke
tengah komunitas lain dan bergaul aktif di dalamnya dengan menghormati segala aturan
komunitas tersebut. Selain itu, munculnya kesadaran dan kiat untuk mengolah bahan yang ada
(gitar dengan kemampuan terendah) dan menampilkannya dengan tampilan terbaik, yang pada
13
Menurut Ricardo D. Trimillos kepala Asian Studies University of Hawai’i.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
84 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
dasarnya didorong oleh positivisme penafsiran atas pi’il pasenggiri, yakni upaya menjaga
kebesaran nama, keagungan martabat, dan menjunjung tinggi harga diri.
Dalam genre Gitar Klasik Lampung Pepadun dikenal sembilan lagu dengan petikan atau
tetti’, yang masing-masing bermelodi baku dan biasanya dimainkan dengan pelarasan tertentu.
Kesembilan lagu tersebut adalah tetti’ pal, tetti’ kembang kacang, tetti’ stambul, tetti’
keroncong pandan, tetti’ tiga serangkai; tetti’ sanak mewang di ejan; tetti’ las bas; tetti’ satu
kris; dan tetti’ hawaiang. Kesembilan tetti’ itu dimainkan dalam sistem pelarasan tertentu.
Selain itu, dikenal juga beberapa istilah lain seperti terlihat pada table berikut.
Tabel 2
Nama sistem pelarasan (steam) dan petikan (tetti’) gitar klasik Lampung Pepadun
Nama
Pelarasan
(Steman)
No Nama tetti’ atau petikan menurut versi
Daman Hori B.S. Cikdin Syahri SM Masyarakat
Stem pal 1 Pal Pal Pal
Kembang
Kacang
2 Kembang Kacang Kembang Kacang Kembang Kacang
Stem B
3 Stambul Be Stambul Mol Stambul
4 Keroncong Pandan Keroncong Pandan Keroncong Pandan
5 Tiga Serangakai Tiga Serangkai Tiga Serangkai
6 Las Bas Las Bas Las Bas
7 Satu Kris Satu Kris Satu kris
8 Serai Kasih Cerai Kasih Sri Kasih
9 Hawayang Hawayang Hawayang
Hawayang 10 Hawayang Hawayang Hawayang
Sanak Mewang 11 Serai Kasih Cerai Kasih Sri Kasih
Domisili
Narasumber
Lampung Utara Tulang Bawang Lampung Pepadun
Ada dua jenis sistem pelarasan, yaitu stem pal dan stem kembang kacang masing-
masing hanya digunakan untuk memainkan satu tetti’. Stem pal dengan tetti’ pal dan stem
kembang kacang dengan tetti’ kembang kacang, sedangkan tujuh tetti’ lainnya biasa dimainkan
dalam stem be. Tetti’ hawaiang dahulu biasa dimainkan dengan sistem pelarasan stem
hawaiang, tetapi dilakukan oleh seniman pelakunya atau masyarakatnya, antara lain karena
lupa akan istilah aslinya atau karena ingin memperkenalkan istilah baru. Istilah baru itu
menjadi mapan jika masyarakatnya tidak lagi dapat mengendalikan terhadap istilah yang
diajukan seniman karena seniman tersebut dianggap memiliki otoritas sosial menyangkut hal-
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
85 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
hal yang berkaitan dengan kesenian tersebut. Istilah baru dapat terjadi karena dorongan
psikologi seniman itu dalam membentuk atau mempertahankan sosial dirinya di masyarakat.
Teknik pelarasan gitar klasik Lampung Pepadun umunya dilakukan sebagai berikut: 1)
menentukan tinggi nada dawai pertama; 2) menyamakan tinggi nada dawai kedua dengan
dawai pertama dengan menekan fret tertentu; 3) menyamakan tinggi nada dawai ketiga dengan
dawai kedua dengan menekan fret tertentu; 4) menyamakan tinggi nada dawai keempat dengan
dawai ketiga dengan menekan fret tertentu; 5) menyamakan tinggi nada dawai kelima dengan
dawai keempat dengan menekan fret tertentu; dan 6) menyamakan tinggi nada dawai keenam
dengan dawai kelima dengan menekan fret tertentudan menjadi pemandu vokal dalam
bernyanyi satu bait; dan bait selanjutnya mengulang melodi, tetapi dengan syair baru dan tidak
ada refrain.
1. Stem Pal (Tetti’ Pal)
Gabat-Gibut14
Gabat-Gibut kain celana yang mengipas-ngipas ke lantai
(Gabat Gibut)
Celano jaman tano Celana zaman sekarang
(jaman tano)
Geleu no cut berai Namanya celana model cut brai
(cut berai)
Cawo tiyan sanak modow Kata mereka anak muda
14
Cikdin Syahri, “Gabat-Gibut” dalam album kaset lagu-lagu Daerah Lampung. (Kotabumi: Sai Betik Records,
1997), Link youtube https://www.youtube.com/watch?v=IwuMI9D9HrM.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
86 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
2. Stem Kembang Kacang (Tetti’ Kembang Kacang)
Ragah Baleu15
Laki-Laki Duda (ditinggal istri meninggal)
Lamen kak debei-debei Jika telah sore hari
Nyak mejeng benahhabou Saya duduk di pelataran
(Nyak mejeng benahhabou)
Ngenangken nasib direi Mengenangkan nasib diri
(Nasib direi)
Ragah baleu lagi modou Menjadi duda masih muda
Ngenangken nasib direi Mengenangkan nasib diri
(Nasib direi)
Ragah baleu lagi modou Menjadi Duda masih muda
3.1. Stem Be (Tetti’ Tiga Serangkai)
Dang Mewang16
Jangan Menangis
Dang niku mewang- mewang Janganlah kamu menangis-nangis
Dang mewang baayuk-ayuk Janganlah kamu nangis tersedu-sedu
Niku lain kubuang Kamu bukan kubuang
Taday agoumu lak? mak tengguk Keinginanmu belum sampai
15
Cikdin Syahri, “Ragah Baleu” dalam album kaset lagu Daerah Lampung. (Kotabumi: Sai Betik Records,
1997). Link youtube https://www.youtube.com/watch?v=RUeImoRIUQU. 16
Cikdin Syahri, “Dang Mewang” dalam album klasik Lampung Tulang Bawang. (Tanjung Karang: Sai Betik
Records, 1999).
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
87 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
3.2. Stem Be (Sai Kris)
Mejong di puppik tebing17
‘Duduk di bibir tebing’
Mejong di puppik tebing ‘Duduk di bibir tebing’
(Mejong di puppik tebing)
Nyincing telesan basoh ‘Memegang kain basahan basah’
(Di puppik tebing) ‘Di bibir tebing’
Nyincing telesan basoh ‘Memegang kain basahan basah’
Wat ingok kilu bimbing ‘Ketika minta bimbing’
(kilu bimbing) ‘Minta bimbing’
Makwat sangon kak jawoh ‘Kalau tidak, memang (kita) sudah (berpisah) jauh’
(kilu bimbing) ‘Minta bimbing’
Makwat sangon kak jawoh ‘Kalau tidak, memang (kita) sudah (berpisah) jauh’.
17
Lagu dari masyarakat Lampung Wai Kanan dan Sungkai yang juga melestarikan gitar klasik Lampung
Pepadun. Ciptaan None Name. Diperkirakan lirik ini adalah lagu Lampung yang hidup di tengah masyarakat dan
dirangkai menjadi lagu yang utuh.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
88 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
3.3. Stem Be (Tetti’ Stambul)
Tiyuh Menggalou18
Kampung Menggala
Sangon tiyuh Menggalou Di (Kampung) Menggala Tempat
(Sangon tiyuh Menggalou)
Enou pok kelahiran Tempat daku dilahirkan
(kelahiran)
Tapi direi ku tano Tapi diriku sekarang
Melap tengah rantawan Hilang di tanah rantauan
3.4. Stem Be (Tetti’ Keroncong Pandan)
Juwarih Diatei19
Terbayang di hati
Waktu Malam Jemahat Waktu malam Jumat
(waktu malam jemahat)
Kirou-kirou jam tujeu (jam tujeu) Sekitar pukul tujuh
Wat Bakhou ulun lewat Saat ada orang yang lewat
Juwarih nyak bakhou meu Jelas sekali itu adalah suaramu
(lewat juwarih nyak bakhou meu)
18
Daman Hori B.S, “Tiyuh Menggalou” dalam album kelasik Lampung Menggala Tulang Bawang: Wawai
Atei – Tegou Beriring (Kotabumi: Sai Betik Record, 1999), side A no 5. 19
Daman Hori B.S, “Juwarih Diatei” dalam album kelasik Lampung Menggala Tulang Bawang: Wawai Atei –
Tegou Beriring (Kotabumi: Sai Betik Record, 1999), side B no 1.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
89 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
3.5. Stem Be (Tetti’ Las Bas)
Mak Wayah Mulei Lagei Usahlah kau mulai lagi
Matei kak ngagak taduk Alangkah indah si jantung pisang
(ngagak taduk)
Sayang dilakep tebak Sayang tertutup dedaunan pisang
Janjei kak agon tengguk Janji akan segera ditunaikan
(agou tengguk)
Tanggal satu bulan pak Tanggal satu bulan keempat
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
90 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
3.6. Stem Be (Tetti’ Sanak Mewang Di Ejan)
Pagun di Carey Atey Masih tersimpan dalam hati
Yang goyang atei cadang Rapuh hati nan rawan
Dawah iduh debingei Tak jejak siang atau pun malam
(dawah iduh debingei)
Nikeu tabayang-bayang Dirimu merasuk pikiran
Mak lopou jak lem matey Tak kikis hingga usia padam
(Nikeu tabayang-bayang
Mak lopou jak lem matey)
3.7. Stem Be (Tetti’ Hawayang)
Jaman Anak Ram Na'an20
Masa Anak Kita Kelak
Telebak ngacing bukeu Lewat buku yang kau pegang
(telebak ngacing bukeu)
Laju nulis di anak ejan Di anak tangga kusiratkan pesan
(nggak ejan)
Cintaku jamo nikeu Cintaku kepada dinda tersayang
(Jamou nikeu)
Gegoh pakeu nandok papan Bagai paku menancap di papan
20
Raja Tihang Aneu, “Jaman Anak Ram Na’an” dalam Raja Tihang Aneu, 1997, 7.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
91 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
D. Kesimpulan
Gitar Klasik Lampung adalah pengabungan dua kebudayaan besar dunia. Pertama
kebudayaan Portugis dan yang kedua kebudayaan Lampung. Kebudayaan Portugisnya dari
instrumen Gitar Klasik dan kebudayaan Lampung dari lirik, teknik vocal (grenek), teknik
petikan dan sistem pelarasan. Selain itu, kostum menjadi daya tarik dalam pertunjukan serta
sajian yang di buat bukan hanya vocal instrumen saja melainkan bergrup bahkan di sampai saat
ini dipadukan orgen tunggal. Kesemuaan tersebut dinamakan musik Akulturasi. Serta, masih
banyak juga di provinsi Lampung jenis musik akulturasi semacam ini.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat 6 sistem pelarasan dan 10 petikan
yang ada di dalam Gitar Klasik Lampung Pepadun. Ke 6 sistem pelarasan tersebut yakni 1)
Stem Pal dengan sistem pelaran (e’, c’, g, d, Bb, F); 2) Stem Kembang Kacang dengan sistem
pelarasan (e’, b, f#, c#, A, F#); 3) Stem Be (e’, b, g, d, A, G); 4) Stem Hawayang (d’, b, g,
d, A, G); 5) Stem Sanak Mewang di Ejan dengan sistem pelarasan (e’, b, g, d, B, G); 6) Stem
Sandung (Stem Pal dan Stem Be). Sedangkan untuk 10 petikan yakni 1) Petikal Pal; 2) Petikan
Kembang Kacang; 3) Petikan Sai Kruis; 4) Petikan Stambul; 5) Petikan Sanak Mewang di
Ejan; 6) Petikan Kerocong Pandan; 7) Petikan Las Bas; 8) Petikan Hawayang; 9) Petikan Tiga
Serangkai; dan 10) Petikan Sandung. Untuk nuansa lagu biasanya berisi nasehat, peristiwa diri,
dan pengalaman pribadi si pelaku Gitar Klasik Lampung Pepadun.
Daftar Pustaka
Barnawi, Erizal. 2019 .“Jelajah Bagi Guru; Mengenal Lebih Dekat, Alat Musik Tradisional
Lampung”. (Bandar Lampung: EDUSPOT).
Barnawi, Erizal. 2019. “Eksistensi Gitar Klasik Lampung Tulang Bawang dan
Pengembangannya”. (Makkasar: Asosisasi Prodi Pendidikan SENDRATASIKI Indonesia).
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Erizal Barnawi, dkk
92 | Jurnal Warna Vol. 4, No. 1, Juni (2020)
Bramantyo, Triyono. Diseminasi Musik Barat di Timur. (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif & Desain Riset. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Cikdin Syahri, “Gabat-Gibut” dalam album kaset lagu-lagu Daerah Lampung. (Kotabumi: Sai Betik
Records, 1997), Link youtube https://www.youtube.com/watch?v=IwuMI9D9HrM.
Cikdin Syahri, “Ragah Baleu” dalam album kaset lagu Daerah Lampung. (Kotabumi: Sai Betik
Records, 1997). Link youtube https://www.youtube.com/watch?v=RUeImoRIUQU.
Cikdin Syahri, “Dang Mewang” dalam album klasik Lampung Tulang Bawang. (Tanjung Karang:
Sai Betik Records, 1999).
Daman Hori B.S, “Tiyuh Menggalou” dalam album kelasik Lampung Menggala Tulang Bawang:
Wawai Atei – Tegou Beriring (Kotabumi: Sai Betik Record, 1999), side A no 5.
Daman Hori B.S, “Juwarih Diatei” dalam album kelasik Lampung Menggala Tulang Bawang:
Wawai Atei – Tegou Beriring (Kotabumi: Sai Betik Record, 1999), side B no 1.
Hidayah, Zulyani. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Irawan, Ricky. 2016. “Ritme Inti Pada Gambus Dan Gitar Lampung Pesisir : Sebuah Kajian
Transformasi Musikal. (Lampung: Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia Komisariat
Lampung).
Rahayu.Supanggah. 2002. Bothekan Karawitan I. (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia).
Raja Tihang Aneu, “Jaman Anak Ram Na’an” dalam Raja Tihang Aneu, 1997, 7.
Misthohizzaman, 2006. Gitar Klasik Lampung Musik dan Identitas Masyarakat Tulang Bawang.
Yogyakarta: Tesis UGM.
Yampolsky, Philip. “Music of Indonesian 20
Zaky, Fikra. 2019. “Analisis Teknik Permainan Gitar Pada Komposisi Gitar “Sunburst” Karya
Andrew York”. Jurnal VIRTUOSO Vol 2, Nov, 100.