3
Trend pemilihan golput di sumsel Trend pemilih Golput yang keluar sebagai pemenang dalam beberapa penyelenggaraan pemilukada di Indonesia akhir-akhir ini, sudah seharusnya menjadi kerisauan yang dicarikan solusinya oleh semua stakeholder pemilukada di Sumatera Selatan. Namun jika di lihat sebagai gambaran pada pemilukada tahun 2008 silam, sebesar 29% masyarakat sumsel dinyatakan Golput. Persentase Golput tinggi semacam itu pun terjadi di kabupaten/kota yang ada di Sumsel, yang baru-baru ini usai melaksanakan pemilukada. Seperti, pemilukada kota Pagaralam putaran kedua sebanyak 25 %, Prabumulih 23.5%, Muara Enim 23.7% dan yang terbaru adalah pemilukada kota Palembang sebesar 35%. Dalam menyoroti masalah tingginya Golput semacam ini, Selalu yang sering dikatakan sebagai penyebab utama kurang lancarnya pemilu, karena tidak mendapatkan undangan pemilu, atau sebagian lagi mengungkapkan apatisme masyarakat terhadap persoalan yang berbau politiklah sebagai penyebabnya. Sehingga, mereka menjadi Golput dalam pemilukada. Secara teoritis, semakin tingginya angka Golput pada dasarnya selain berpotensi melumpuhkan demokrasi itu sendiri, juga menjadikan mandat yang diberikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih memiliki legitimasi yang lemah. Tetapi, persoalan menjadi lain saat masalah ini dibenturkan pada rasionalitas masyarakat dalam memilih. Masyarakat tak bisa disalahkan sepenuhnya, saat mereka bersikap mana keuntungan dan mana kerugian sebelum memutuskan suaranya akan diberikan kepada kandidat mana. Masyarakat bebas menentukan pilihannya. Demi keuntungan maksimal yang diperoleh. Pada dasarnya, masyarakat kita lebih menyukai “hasil” apa yang bisa diperoleh dari pemilukada. Ketimbang bagaimana “proses” pemilukada itu berlangsung. Konten inilah keuntungan maksimal yang diinginkan oleh masyarakat dalam menentukan pilihannya. Dan persoalan konten ini juga yang nampaknya terlupakan oleh para kandidat dan parpol yang tengah bertarung dalam pemilukada Sumsel..

esay pemilu sumsel

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: esay pemilu sumsel

Trend pemilihan golput di sumsel

Trend pemilih Golput yang keluar sebagai pemenang dalam beberapa penyelenggaraan pemilukada di Indonesia akhir-akhir ini, sudah seharusnya menjadi kerisauan yang dicarikan solusinya oleh semua stakeholder pemilukada di Sumatera Selatan.

Namun jika di lihat sebagai gambaran pada pemilukada tahun 2008 silam, sebesar 29% masyarakat sumsel dinyatakan Golput. Persentase Golput tinggi semacam itu pun terjadi di kabupaten/kota yang ada di Sumsel, yang baru-baru ini usai melaksanakan pemilukada. Seperti, pemilukada kota Pagaralam putaran kedua sebanyak 25 %, Prabumulih 23.5%, Muara Enim 23.7% dan yang terbaru adalah pemilukada kota Palembang sebesar 35%.

Dalam menyoroti masalah tingginya Golput semacam ini, Selalu yang sering dikatakan sebagai penyebab utama kurang lancarnya pemilu, karena tidak mendapatkan undangan pemilu, atau sebagian lagi mengungkapkan apatisme masyarakat terhadap persoalan yang berbau politiklah sebagai penyebabnya. Sehingga, mereka menjadi Golput dalam pemilukada.

Secara teoritis, semakin tingginya angka Golput pada dasarnya selain berpotensi melumpuhkan demokrasi itu sendiri, juga menjadikan mandat yang diberikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih memiliki legitimasi yang lemah.

Tetapi, persoalan menjadi lain saat masalah ini dibenturkan pada rasionalitas masyarakat dalam memilih. Masyarakat tak bisa disalahkan sepenuhnya, saat mereka bersikap mana keuntungan dan mana kerugian sebelum memutuskan suaranya akan diberikan kepada kandidat mana. Masyarakat bebas menentukan pilihannya. Demi keuntungan maksimal yang diperoleh.

Pada dasarnya, masyarakat kita lebih menyukai “hasil” apa yang bisa diperoleh dari pemilukada. Ketimbang bagaimana “proses” pemilukada itu berlangsung. Konten inilah keuntungan maksimal yang diinginkan oleh masyarakat dalam menentukan pilihannya. Dan persoalan konten ini juga yang nampaknya terlupakan oleh para kandidat dan parpol yang tengah bertarung dalam pemilukada Sumsel..

Sudah saatnya pula para kandidat dan parpol yang bertarung dalam pemilukada mengubah atraksi kampanyenya. Dari atraksi yang bak Drama pada Film Korea. Dari luar nampak bagus dan mempesona, begitu dekat dan mencintai rakyat saat berkampanye. Tapi, menghilang dan tenggelam saat pemilukada usai dilakukan.

Belum lagi ditambah dengan kemasan atraksi saling umbar klaim data kuantitatif keberhasilan memimpin. Berlomba-lomba menjadi yang terbanyak menebar spanduk dan baliho disepanjang jalan. Tak lupa untaian kata-kata indah Seolah menjadi kata sakti yang dapat menyelesaikan semua masalah masyarakat di Sumsel. inilah bentuk rutinitas yang senantiasa tersaji dalam tiap kali penyelenggaraan pemilukada di Indonesia.

Bagi pemilih yang rasional sajian atraksi semacam ini jelas tak lagi menarik. Selain karena merasa telah bosan kemasan dengan atraksi yang ada, masyarakat merasa tak

Page 2: esay pemilu sumsel

ada keuntungan yang bisa didapat. Bagi kandidat yang keluar sebagai pemenang, memang lebih diuntungkan. Sebab, punya kesempatan untuk membuktikan kemasan dari atraksinya sebagai sebuah keseriusan atau drama picisan.

Bahkan bagi sebagian masyarakat momentum pemilukada dianggap sebagai momentum mendulang rezeki. Sementara, demi mendulang suara para kandidat dan parpol rela melakukan apa saja. Termasuk memenuhi semua yang diinginkan masyarakat tadi. Walau minim dari misi pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. atau walau harus menabrak aturan main yang ada.

itulah kehidupan politik. Namun, bukan itu kontens yang sebenarnya dari kehidupan politik. Seperti kata Aristoteles (Riyanto, 2011: 36), Politik adalah ilmu yang “agung”. Punya kedudukan yang sangat mulia, karena merangkum semua aspek kehidupan manusia. Sebagai, Ilmu yang agung berkedudukan mulia maka sudah semestinya praktek-praktek  berpolitik (baca: kampanye) yang dijalankan, dapat mencerahkan dan mencerdaskan.

Maka pada dasarnya tak terlampau sulit untuk mencari hilir dari maraknya money politic dalam pemilukada. Yang bermuara pada mahalnya biaya pemilukada. Semua terdapat pada persoalan kemasan “kontek” yang ditampilkan para kandidat dalam mendulang suara. Sementara, “konten” berpolitik yang sejatinya alat untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat seperti kata aristoteles terlupakan. Salah satu bentuknya adalah pendidikan politik bagi masyarakat.

Sudah seharusnya, para kandidat dan parpol yang bertarung dalam pemilukada Sumsel lebih memperhatikan “konten” berpolitiknya. Menyentuh sisi rasionalitas masyarakat melalui pendidikan politik yang menghadirkan pencerdasan bagi masyarakat luas. Tak semata demi mendulang suara, namun juga bagian dari itikad menggugah kesadaran, meningkatkan derajat pengetahuan hingga melakukan pemberdayaan masyarakat kita.

Terbangunnya kesadaran masyarakat akan peran dan fungsi dalam kehidupan bernegara sejatinya lebih mahal harganya ketimbang kekuasaan. Dengan kesadaran yang dimaksud, harapannya lahir kembali sikap tanpa pamrih masyarakat dalam kehidupan bernegara. Memilih kandidat bukan karena keuntungan uang yang bisa didapat sesaat namun karena keuntungan kesejahteraan yang bisa dirasakan berkelanjutan.

Dan semua ini hanya mungkin terwujud, jika para kandidat dan parpol punya itikad yang ikhlas mengawali perubahan dalam cara berpolitiknya. Berpolitik yang lebih memperhatikan “konten”. Berpolitik yang menyajikan pencerahan dan pencerdasan. Jadi, dapat disimpulkan persoalan Golput dalam pemilukada tak semata karena persoalan administrasi dan apatisme semata, melainkan persoalan memahami pilihan rasional masyarakat.