ESTETIKA ISLAM: ANALISIS NOVEL KHOTBAH DI ATAS BUKIT …
89
ESTETIKA ISLAM: ANALISIS NOVEL KHOTBAH DI ATAS BUKIT KARYA KUNTOWIJOYO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh: ZAYNUL FAIZ NIM: 11150331000081 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M
ESTETIKA ISLAM: ANALISIS NOVEL KHOTBAH DI ATAS BUKIT …
BUKIT KARYA KUNTOWIJOYO
Oleh:
FAKULTAS USHULUDDIN
Nama : Zaynul Faiz
Tempat dan tanggal lahir : Sumenep, 23 Januari 1996
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1)
di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah
dicantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli
saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Jakarta.
BUKIT KARYA KUNTOWIJOYO
Oleh:
FAKULTAS USHULUDDIN
DI ATAS BUKIT KARYA KUNTOWIJOYO” telah di ujikan dalam Sidang
Munaqasyah pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 24 Juli
2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Strata
Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Ciputat, 24 Juli 2020
Dra. Tien Rohmatin, MA Dra. Banun Binaningrum, M. Pd
NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19680618 199903 2 001
Anggota
NIP: 19610614 199203 1 002 NIP: 19691216 199603 1 002
Pembimbing
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
B Be
T Te
J Je
Kh Ka dan ha
D De
R Er
Z Zet
S Es
s es dengan garis di bawah
d de dengan garis di bawah
t te dengan garis di bawah
z zet dengan garis di bawah
koma terbalik di atas hadap kanan
Gh ge dan ha
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha
Kajian Estetika Islam terhadap Novel Khotbah di Atas Bukit
Karya
Kuntowijoyo ini dilatar belakangi oleh jarangnya diadakan kajian
secara mendalam
terhadap nilai sebuah karya sastra, mengingat karya sastra
merupakan salah satu
media penyampaian hikmah dan pemikiran yang kerap dipakai oleh para
sufi dan
filsuf terdahulu. Oleh sebab itu menyadari pentingnya pemikiran
Kuntowijoyo
maka penulis tertarik untuk mengkaji adakah nilai-nilai estetika
islam dalam Novel
Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo.
Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif dengan kajian
pustaka (library
reseach). Sumber primer berupa buku Novel Khotbah di Atas Bukit
Karya
Kuntowijoyo, dan sumber-sumber sekunder lainnya yang memiliki
kaitan dengan
kajian yang dilakukan baik berupa buku ilmiah, artikel, jurnal dan
sumber lainnya.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan berulang-ulang
secara
mandiri dan pengklarifikasian terhadap Novel Khotbah di Atas Bukit
Karya
Kuntowijoyo yang berkaitan dengan Tawajjud, Tajarrud, Tazkiyah
al-Nafs, Sarana
Transenden dan Hikmah.
Teknik analisa data menggunakan deskriptif dan menggunakan
pendekatan
filosofis. Hasil kajian menunjukkan bahwa Estetika Islam dalam
Novel Khotbah di
Atas Bukit Karya Kuntowijoyo diantaranya adalah ditemukannya banyak
gagasan
transendental yang disajikan oleh Kuntowijoyo melalui percakapan
dan ungkapan-
ungkapan tokoh dalam novel tersebut.
Kata kunci: Estetika Islam, Khotbah di Atas Bukit,
Kuntowijoyo
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan
nikmat-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Salawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para
sahabat,
dan pengikutnya.
Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo. Penulis banyak mendapatkan
saran,
masukan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka
skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana
Agama (S. Ag.) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Allah, Muhammad, Khadijah, ‘Aisyah, Jibril, Khidir, Rumi dan
semesta.
2. Eppa’ dan Emma’ terkasih, Moh. Jakfar dan Rahiyah yang
senantiasa
mendoakan dan memberkati penulis setiap waktu. Kakak-kakak
terbaik
Jamal D. Rahman, Maftuhah Jakfar, Moh. Khalili, Ali Fikri
Ariyanto,
Khairil Fathir dan Imamul Khair serta semua keluarga yang
selalu
mendoakan keberhasilan dan ketabahan penulis.
3. Bapak Kusen, Ph. D., dosen pembimbing skripsi yang memberikan
banyak
arahan, bimbingan dan pengetahuan baru kepada penulis sehingga
mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
4. Dra. Tien Rohmatin, M. A. dan Dra. Banun Binaningrum, M. Pd.,
selaku
Ketua dan Sekretaris Prodi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Semua dosen Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, yang telah
memberikan
vii
selama masa perkuliahan.
tak henti-henti.
8. Teman-teman Republik Filsafat 2015, terima kasih banyak atas
kisah
bahagia dan harunya serta beberapa ketidakjelasannya.
9. Para petani tembakau dan biji kopi serta semua pihak yang
telah
memberikan inspirasi, doa dan semangat yang tidak pernah
putus
diberikan kepada penulis.
Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Penulis
mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan skripsi ini,
semoga skripsi
ini mampu memberikan kebahagiaan dan manfaat kepada siapapun yang
hendak
dan berkenan menikmatinya.
LEMBAR PENGESAHAN
............................................................................
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
....................................................................
iv
B. Batasan dan Rumusan Masalah
........................................................ 5
C. Tujuan Penelitian
.............................................................................
5
D. Manfaat Penelitian
...........................................................................
6
E. Tinjauan Pustaka
..............................................................................
6
F. Metode Penelitian
............................................................................
9
G. Sistematika Penulisan
......................................................................
11
BAB II ESTETIKA ISLAM
BAB III: BIOGRAFI KUNTOWIJOYO DAN DESKRIPSI UMUM
NOVEL KHOTBAH DI ATAS BUKIT
A. Biografi Kuntowijoyo
3. Pokok-pokok Pikiran
...................................................................
30
ix
3. Khotbah di Atas Bukit dalam Khazanah Sastra Indonesia
............ 50
BAB IV: HASIL KAJIAN ESTETIKA ISLAM DALAM NOVEL KHOTBAH
DI ATAS BUKIT KARYA KUNTOWIJOYO
A. Tawajjud
..........................................................................................
53
B. Tajarrud
..........................................................................................
57
Salah satu masalah serius terkait hubungan estetika dan seni
ialah
menyangkut teori nilai.1 Kaum materialis cenderung mengatakan
nilai-nilai
bersifat subjektif. Menurut Benedetto Croce bahwa bahwa karya seni
atau benda
seni tak pernah ada, sebab seni itu ada dalam jiwa penanggapnya.2
Itu artinya
nilai seni atau tidaknya suatu nilai seni tergantung dari
masing-masing individu.
Dalam konteks inilah nilai seni disebut subjektif.
Sebaliknya menurut kaum idealis bahwa nilai-nilai seni itu
bersifat
objektif. Menurut Clive Bell (1851-1964) yang mengemukakan
pandangannya
yang bersifat formal bahwa esensi seni adalah bentuk. Bentuk adalah
ciri objektif
karya seni berupa penggabungan dari berbagai unsur seperti garis,
warna dan
volume dalam seni lukis. Unsur-unsur ini mengungkapkan tanggapan
khas
semacam perasaan estetis.3
Karya sastra merupakan seni bahasa, melalui pendekatan pada
aspek
kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan
pemakaian
bahasa yang lain. Sastra juga merupakan bentuk seni, jika didekati
dari aspek
keseniannya, dalam kaitannya dan pertentangannya dengan
bentuk-bentuk seni
lain. Dari aspek inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau
estetik.4
Diskursus tentang estetika merupakan bahasan yang abstrak, setiap
orang
1 Dikutip dari Ideologi Sastra Selangkangan; Kritik terhadap novel
Ayu Utami dan Eka
Kurniawan oleh Kusen, Ph. D. 2 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni,
(Bandung: Penerbit ITB, 2000), h. 31. 3 The Liang Gie, Filsafat
Seni, (Yogyakarta: PUBIB, 2005), h. 16 4 Prof. Dr. A. Teeuw, Sastra
dan Ilmu Sastra, (Jakarta Pusat, PT. Dunia Pustaka Jaya,
1984), h. 346
memiliki cara pandang yang berbeda-beda tentang keindahan dan tolak
ukur
keindahan itu sendiri. Sebagian orang menganggap bahwa seni
merupakan
bagian terluar dari ilmu ilmiah karena seni tidak dapat dihitung
dan dirumuskan,
keindahan tidak dapat diketahui dengan logika dan perumusan yang
baku karena
karya seni memuat jiwa seniman yang menciptakannya.
Plato mengartikan seni sebagai sebuah hasil imitasi (mimesis),
namun
karya imitasi tersebut harus memiliki proporsi dan keteraturan yang
tepat.
Aristoteles memandang bahwa estetika merupakan “the poetics”
yang
merupakan sumbangan terhadap teori sastra dari teori estetika,
tetapi secara
prinsip Aristoteles dan Plato memiliki pemahaman yang sama
yakni
menghadirkan konklusi bahwa seni adalah sebuah proses produksi
meniru alam.1
Pada bagian ini proses pencarian pengetahuan mengenai estetika
ataupun nilai
seni bersifat murni, dimana tidak ada latar belakang kepentingan
atau bahkan
doktrin paham atau agama tertentu yang mempengaruhi proses berpikir
dalam
mencari kesimpulan dan cara pandang soal estetika.
Berbeda dengan periode estetika abad pertengahan yang merupakan
abad
gelap, dimana doktrin gereja menghalangi kreativitas para seniman
dalam
berkarya seni, doktrin gereja mulai berkembang dan berpengaruh kuat
pada
masyarakat yang kemudian membelenggu kreativitas para seniman saat
itu.
Gereja Kristen lama cenderung memusuhi seni dan menolak
refleksi
filosofis terhadap hal itu. Seni hanya mengabdi kepada kepentingan
gereja dan
kehidupan surgawi, sebab gereja memiliki asumsi bahwa seni itu
hanya
memperjuangkan bentuk visual yang sempurna. Manusia merupakan
pusat
1 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, Pengantar
Estetika, (Bandung:
Rekayasa Sains, 2004) h. 75
3
penciptaan, segala karya akan kembali kepada manusia itu sendiri
sebagai
subject matter-nya.2
Seni Islam merupakan perwujudan budaya yang bersyarat
estetika,
didalamnya ada priksa, rasa, karsa, intuisi dan karya. Islam
sendiri tidak
menjelaskan dalam bentuk teori ataupun ajaran yang terperinci
mengenai seni
dan estetika. Perkara penciptaan karya seni tidak secara eksplisit
dijelaskan
dalam al-Qur’an, sebab seni dikelompokkan menjadi urusan dunia dan
diatur
sendiri oleh manusia.3
Sebagai pecinta keindahan yang sejati, mereka meyakini bahwa
karya
seni yang memiliki kualitas dan mutu yang tinggi akan mampu
membangkitkan
cinta yang yang telah tidur dalam hati, baik cinta yang bersifat
duniawi dan
indrawi maupun cinta yang ilhiyyah dan raniyyah.4 Islam sendiri
merupakan
agama yang bersumber dari sebuah keindahan, sebutlah al-Qur’an
sebagai
pedoman bagi pemeluknya tersusun dari pilihan kata, bunyi, dan
alunan yang
indah.
Kuntowijoyo masyhur namanya sebagai sastrawan, budayawan, dan
ahli
sejarah, ia merupakan guru besar di Universitas Gadjah Mada,
penulis dari
berbagai judul buku, baik karya ilmiah, novel, puisi maupun cerpen,
ia adalah
pemikir sekaligus penulis buku-buku tentang Islam dan aktivis
Muhammadiyah.
Ia merupakan pemikir Islam yang jujur, cerdas dan
berintegritas.
Banyak karya Kuntowijoyo mengungkapkan kegelisahan
eksistensial
(keberadaan) dan hakikat kemanusiaan, dalam banyak karya yang
mengandung
2 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, Pengantar
Estetika, h. 76 3 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira,
Pengantar Estetika, (Bandung:
Rekayasa Sains, 2004) h. 172. 4 Diungkapkan oleh Imam al Ghazali
sebagaimana dikutip oleh Abdul Hadi WM,
Tasawuf Yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 9.
4
transendensi manusia,5 Kuntowijoyo seringkali memasukkan nilai
nilai
transendensi ke dalam karya-karyanya yang kemudian menjadikan
karyanya
mengandung banyak nilai-nilai eksistensi dan transenden.
Novel Khotbah di Atas Bukit karangan Kuntowijoyo sarat dengan
nilai
pemikiran filsafat, didalamnya pembaca akan dihadapkan dengan
uraian yang
luas mengenai hakikat kehidupan, nasib manusia dan soal-soal
kebahagian yang
disampaikan melalui karya sastra. Dalam salah satu bagian novel
disebutkan oleh
Humam kepada Barman, “Tinggalkan segala milikmu. Apa saja yang
menjadi
milikmu, sebenarnya memilikimu”,6 kalimat ini jika direnungkan dan
dihayati
maknanya akan mampu menghasilkan pesan moral yang menyatakan
bahwa
harta yang kita miliki tidak seutuhnya merupakan hal yang di atur
dan
dimanfaatkan segala potensinya oleh kita, akan tetapi sebaliknya
pemilik harta
pun juga akan ikut diatur oleh harta atau benda yang ia miliki
dengan kata lain
harta atau apapun yang dimiliki akan menuntut untuk dirawat dan
dijaga dengan
baik, yang otomatis akan mengambil sebagian kehidupan si pemilik
harta untuk
menjaganya dan masih banyak kalimat-kalimat indah yang
didalamnya
mengandung nilai-nilai moral dan kehidupan yang kental, novel ini
juga layak
dijadikan sebagai sebuah kritik terhadap kehidupan modern yang
penuh dengan
prilaku materialis-pragmatis dan oleh karena itu penulis menganggap
pada titik
inilah dimensi estetika Islam perlu digalakkan sebagai sarana dalam
menggali
nilai-nilai, pesan-pesan dan hikmah yang disampaikan lewat
keindahan karya
novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
5 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo,
t.th) h. 16. 6 Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (Yogyakarta:
Penerbit Bentang Anggota IKAPI,
2008) h. 64.
Dari hal diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
melakukan
penelitian mengenai estetika Islam dalam novel Khotbah di Atas
Bukit Karya
Kuntowijoyo guna menemukan gagasan pokok dari Estetika Islam
yang
terkandung didalamnya, adapun hasil dari penelitian ini diharapkan
akan mampu
untuk dijadikan sebagai sebuah tawaran baru dalam pengambilan sikap
bagi
siapa pun untuk menjunjung kehidupan yang lebih baik dan sesuai
fitrah manusia
dilahirkan dan tumbuh di bumi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis membatasi
skripsi ini
pada pembahasan seputar Estetika Islam dalam karya Novel Khotbah di
Atas
Bukit karya Kuntowijoyo.
Berdasarkan pada latar belakang dan batasan masalah tersebut di
atas,
penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagaimana
berikut:
1. Bagaimana Estetika Islam?
2. Bagaimana Estetika Islam dalam novel Khotbah di Atas Bukit
karya
Kuntowijoyo?
Tujuan penelitian ini mengacu terhadap rumusan masalah skripsi
ini.
Berdasarkan rumusah masalah di atas, peneliti menulis skripsi ini
dengan tujuan
sebagai berikut:
2. Untuk mengetahui Bagaimana Estetika Islam dalam novel Khotbah
di
Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
6
3. Mendapatkan gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Aqidah
dan
Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Nilai-nilai estetika Islam dalam novel Khotbah di Atas Bukit
diharapkan
menjadi tambahan bahan bacaan bagi siapapun yang ingin
memperdalam
pengetahuan bagi siapa saja yang ingin mendalami estetika
Islam.
D. Manfaat Penelitian
Studi Aqidah dan Filsafat Islam dan dapat dijadikan solusi
bagi
problematika kehidupan sehari-hari;
pihak yang berkepentingan;
3. Secara praktis dapat menjadi bahan pemikiran dan renungan
bagi
masyarakat untuk memahami tujuan hidup yang baik ditengah
pengaruh
kehidupan yang modern saat ini;
4. Menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan tepat terkait
Estetika
Islam dalam novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo;
dan
5. Memberikan ruang atau sumbangsih pengetahuan kepada
peneliti
berikutnya.
7
penelitian yang telah ada, baik mengenai kekurangan dan kelebihan
yang ada
pada penelitian sebelumnya. Selain itu juga memiliki andil besar
dalam
mendapatkan informasi yang ada sebelumnya tentang teori-teori yang
berkaitan
dengan judul yang digunakan untuk mendapatkan landasan teori
ilmiah. Sejauh
penelusuran dan pengamatan penulis keberbagai literatur
kepustakaan
Kuntowijoyo ditemukan beberapa tulisan atau hasil penelitian.
Untuk
mendukung kajian yang lebih integral seperti yang telah penulis
uraikan di latar
belakang masalah, maka penulis akan berusaha untuk melakukan
analisis lebih
awal terhadap pustaka atau pun karya yang memiliki relevansi
terhadap topik
yang akan diteliti. Berikut adalah daftar penelitian yang sudah
ada:
1. Estetika Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Estetika Islam:
Arsitektur
Masjid Perspektif Sayyed Hossein Nasr”.
b. Shaibatul ‘Islamiyah dkk., 2015, American Scientific
Publishers
dengan judul “Al-Jamaal As A Concept of Islamic Aesthetics:
From
the Perspectives of Religion and Art”.
c. Mir’atul Izzatillah tahun 2019, Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul “Estetika Islam: Tinjauan
Terhadap Syair Wasiat Renungan Masa Karya Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid”.
8
a. Skripsi Lina Santiana tahun 2016 di program studi Aqidah
dan
Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden
Fatah
Palembang, “Refleksi Etika Kebahagiaan dalam Novel Khotbah di
Atas Bukit Karya Kuntowijoyo (Studi Etika Dalam Perspektif
Epikuros)”.
Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Strukturalisme
Transendental
Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit”.
c. Skripsi Titik Indriyana tahun 2005 Program Studi
Komunikasi
Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang
dengan judul “Pesan-pesan Dakwah, dalam Novel Khotbah di Atas
Bukit Karya Kuntowijoyo”.
Perbedaan dari penelitian ini adalah lebih fokus kepada
penelitian
Estetika Islam dalam novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo,
dilihat
dari unsur-unsur estetika Islam, alur, tokoh, latar dan temanya.
Sedangkan dalam
penelitian skripsi Ahmad Hujaeri “Estetika Islam: Arsitektur Masjid
Perspektif
Sayyed Hossein Nasr” memfokuskan objek penelitiannya terhadap
arsitektur
masjid dalam perspektif Sayyed Hossein Nasr, Shaibatul ‘Islamiyah
dkk. dengan
judul “Al-Jamaal As A Concept of Islamic Aesthetics: From the
Perspectives of
Religion and Art” ialah meneliti khusus tentang keindahan sebagai
konsep
estetika Islam dari sudut pandang agama dan seni, Skripsi Mir’atul
Izzatillah
dengan judul “Estetika Islam: Tinjauan Terhadap Syair Wasiat
Renungan Masa
Karya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid”
mengkhususkan objek penelitiannya terhadap Syair Wasiat Renungan
Masa
9
Karya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Skripsi
Lina
Santalina “Refleksi Etika Kebahagiaan dalam Novel Khotbah di Atas
Bukit
Karya Kuntowijoyo (Studi Etika Dalam Perspektif Epikuros)”, lebih
fokus
membahas persoalan studi etika dalam perspektif Epikorus, Skripsi
Amrizal
“Strukturalisme Transendental Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di
Atas
Bukit” tidak membahas khusus estetika melainkan strukturlisme
transendental,
sedangkan skripsi Titik Indriyana dengan judul “Pesan-pesan Dakwah,
dalam
Novel Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo” cenderung ke
pencarian pesan
pesan dakwah yang ada dalam novel Khotbah di Atas Bukit Karya
Kuntowijoyo.
Maka, dengan demikian penelitian ini termasuk langkah awal dan
belum
dikaji sepenuhnya oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
research (studi kepustakaan), karena obyek penelitian ini adalah
literatur, yaitu
mengusahakan sintesis atas Novel Khotbah di Atas Bukit karya
Kuntowijoyo.
Penelitian ini bersifat analisis-deskriptif-kritis yaitu dengan
mengumpulkan data
yang telah ada.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian: data
primer
dan data sekunder. Sumber data primernya berupa pemikiran
Kuntowijoyo, baik
yang dibukukan maupun tidak, khususnya novel Khotbah di Atas Bukit
sebagai
objek penelitian. Sedangkan, sumber data sekundernya, yaitu semua
buku yang
10
dianggap berkenaan dengan penelitian ini, baik itu secara langsung
atau tidak,
terutama yang menyangkut soal Estetika Islam dalam novel Khotbah di
Atas
Bukit karya Kuntowijoyo.
Kemudian data yang diperoleh akan diolah dengan
langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Pengolahan data dengan cara editing, yaitu data-data yang
telah
dihimpun diperiksa kembali secara cermat dan teliti dari segi
kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, dan pengertian,
kesesuaian satu sama lain, relevansi, dan keseragaman data.
b. Pengorganisasian data, yaitu pengaturan dan penyusunan
data
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk
dideskripsikan.
Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Kemudian, hasil
analisis
ini diharapkan mampu menjawab beberapa pokok permasalahan
dalam penelitian ini.
Setelah semuanya selesai, kemudian penulis menyajikan penelitian
ini
dalam bentuk laporan atas hasil yang telah diperoleh dari
penelitian tersebut.
Tentunya, dengan cara deskriptif-analisis, yaitu penulis berupaya
memaparkan
11
secara jelas tentang hasil dari penelitian terhadap Novel Khotbah
di Atas Bukit
karya Kuntowijoyo.
Mengenai pedoman penulisan dan transliterasi dalam penulisan
skripsi
ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis
Dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality
Development
and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun
2007, dengan tim penulis Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman
Fathurrahman, M.
Syairozi Dimyati, Netty Hartati, Syopiyansyah Jaya Putra.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar memuat tiga bagian utama, yaitu pendahuluan,
isi, dan
penutup. Berdasarkan uraian dan tujuan penelitian ini, maka
sistematika
pembahasan penelitian ini disusun sebagaimana berikut:
Bab pertama, memuat latar belakang masalah untuk menjelaskan
secara
akademik mengapa penelitian ini penting dilakukan. Pada bagian
pendahuluan
ini juga diuraikan beberapa alasan mengapa penulis memilih tema
Estetika Islam
dalam Novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, apa yang
menarik dan
dianggap unik dari tema tersebut. Selanjutnya dirumuskan beberapa
rumusan
masalah atau problem akademik yang hendak dipecahkan dalam
penelitian ini
sehingga jelaslah masalah yang akan dijawab. Sedangkan tujuan
dan
signifikansinya dimaksudkan untuk menjelaskan pentingnya penelitian
ini dan
kontribusinya bagi perkembangan keilmuan. Kajian pustakan
disertakan untuk
menghindari plagiasi atau pencangkokan karya dari penelitian
sebelumnya.
12
bagaimana proses dan prosedur serta langkah-langkah yang akan
ditempuh
penulis dalam penelitian ini, sehingga sampai kepada tujuan
menjawab problem-
problem akademik yang menjadi kegelisahan penulis.
Bab kedua, merupakan uraian landasan teori, didalamnya
membahas
tentang gambaran umum estetika Islam yang berisi pengertian dari
segi bahasa
maupun istilah serta pandangan tokoh, esensi estetika Islam dan
sejarah estetika
Islam.
Bab ketiga, membahas tentang biografi Kuntowijoyo sebagai
pengarang
Novel Khotbah di Atas Bukit, sejarah kehidupan Kuntowijoyo dari
masa lahir,
latar belakang pendidikan, pokok-pokok pikiran, karya yang telah
dihasilkan,
dan deskripsi umum Novel Khotbah di Atas Bukit.
Bab keempat, adalah menjelaskan hasil analisis Novel Khotbah di
Atas
Bukit karya Kuntowijoyo, pembahasan dalam bab ini adalah tentang
tujuan
pencipataan novel, metode penyampaian gagasan, dan simbol-simbol
estetika
Islam dalam Novel Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
Bab kelima adalah penutup berisi kesimpulan yang merupakan
jawaban
rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri saran-saran kontruktif bagi
penelitian
lebih lanjut dan lebih sistematis.
13
menggunakan tiga metode pendekatan; (a) etimologi, (b) leksikologi,
(c) pendapat
pakar. Secara etimologi, estetika islam terdiri dari dua kata yaitu
estetika dan
islam. Kata estetika sendiri diambil dari Bahasa Yunani kuno, yaitu
aistheton
yang berarti “kemampuan melihat lewat pengindraan”.1 Maksudnya
ialah
kemampuan melihat keindahan atau karya seni.
Secara leksikologi estetika diartikan sebagai (a) cabang filsafat
yang
menelaah dan membahas persoalan tentang seni dan keindahan serta
respon
manusia terhadapnya; (b) kepekaan terhadap seni dan keindahan.2
Dalam Kamus
Dewan, kata Estetika berarti cabang falsafah yang mengkaji konsep
yang
memiliki kaitan dengan keindahan, cita rasa, dan lain-lain.3
Estetika dalam
pandangan Abdul Hadi W.M. sebagaimana yang tertuang dalam bukunya
yang
berjudul Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas, memiliki makna
sebagai
pengetahuan tentang objek-objek penikmatan indra. Karya manusia
yang
dimaksudkan sebagai objek penikmatan indra adalah sebuah karya
seni.4
Sedangkan Islam secara etimologi berasal dari kata salima,
yaslamu,
salmatan yang artinya seseorang yang selamat, berhasil serta mampu
terlepas
dari kesalahan, kerusakan, bencana dan kerusakan; menjadi harta
yang murni bagi
1 Jakob Sumardjo. Filsafat Seni, (Bandung: Penerbit ITB, 2000) h.
24-25. 2 Umi Basiroh dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990) h.
236. 3 Hajah Noresah bt. Baharom, B. Sc., M. A. dkk, Kamus Dewan
Edisi Ketiga, Dewan
Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, (Selangor Darul Ehsan, 2000) h.
345. 4 Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas
(Yogyakarta: Matahari 2004)
h. 227.
seseorang.1 Sedangkan secara leksikologi Islam berarti agama yang
diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW berpedoman pada kitab suci al-Qur’an, yang
diturunkan
ke dunia melalui wahyu Allah SWT.2 Fakhruddn al-Rz (w. 606 H.)
ketika
menafsirkan kata Islam dalam surah li ‘Imrn: 19 mengutip perkataan
seorang
tokoh ahli linguistik yang bernama Ibn al-Anbar (w. 328 H.):
: :
3
Makna dari muslim adalah orang yang beribadah dengan murni
karena
Allah, makna ini bersumber dari kata asalnya, yaitu salima.
Pengertian ini diambil
dari penjelasan para ahli bahasa tentang makna salima; sesuatu
tunduk pada
seseorang, artinya murni karena-Nya. Maka dari itu kata islam
maknanya adalah
pemurnian agama dan keyakinan terhadap Allah SWT.
Dari penjabaran diatas mengenai estetika dan islam yeng
kemudian
digabung menjadi kata majemuk yakni estetika islam merupakan
kepekaan dan
respon manusia mengenai persoalan seni dan keindahan dalam islam
yang
berpedoman kepada al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW
yang
bertujuan untuk mencapai kesadaraan ilhyah.
. Adapun estetika islam menurut Ismail Raji al-Faruqi adalah
pendapat
tentang keindahan yang muncul dari pandangan dunia tawd yang
merupakan
ajaran pokok islam. Yaitu keindahan yang dapat membawa kesadaran
manusia
1 Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’I dan Fr. Bernard Tottel al-Yasu’I,
al-Munjid, (Bayrut: Dar
el-Machreq, 2005), h. 347. 2 Umi Basiroh dkk, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 340. 3 Fakhruddn al-Rz, Mafth al-Ghaib, (Beirut: Dr
Ihy’ al-Turast al-‘Arab, 1999),
jilid 7, h. 172.
Bagi Nasr seni dalam islam mempunyai landasan pengetahuan yang
diilhami
nilai-nilai spiritual, keindahan adalah bentuk dari keteraturan
yang tak terbatas
untuk mencapai kesempurnaan ilahi.5
Seni juga berkaitan dengan soal-soal moral dan agama. Dalam
buku
Kmiy‘u al-Sa’dah (kimia kebahagiaan) Imam al-Ghazali menyebutkan
bahwa
dampak yang ditimbulkan oleh karya seni terhadap jiwa sangat besar,
dan
karenanya karya seni bisa menentukan moral dan penghayatan
keagamaan
seseorang.6
mampu memberikan banyak kontribusi dalam mengawal perkembangan
islam,
sehingga tidak mengherankan jika sampai saat ini khazanah keislaman
banyak
disampaikan melalui karya, baik dalam bentuk anekdot-anekdot,
cerita
perumpamaan, ragam alegori dan puisi-puisi.
B. Esensi Estetika Islam
Tanpa adanya sumber dari al-Qur’an dan barakah Nabi, tidak akan
ada
seni dalam islam. Sebuah karya seni dapat dikategorikan sebagai
estetika islam
bukan hanya karena diciptakan oleh seorang muslim, tetapi juga
karena dilandasi
4 Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika
Islam Penerjemah
Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1999) h. viii. 5
Sayyed Hossein Nasr, Spiritulitas dan Seni Islam Penerjemah Drs.
Sutejo, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1993) h. 18-24. 6 Sebagaimana dikutip oleh Abdul
Hadi WM, Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas
(Yogyakarta: Matahari 2004) h. 33-34.
16
oleh wahyu ilahi. Seni islam melarutkan realitas-realitas batin
wahyu islam dalam
dunia bentuk dan, karena ia keluar dari dimensi batin islam.
Menuntun manusia
masuk ke ruang batin wahyu ilahi. Seni islam adalah buah dari
spiritualitas islam.7
Islam memiliki tujuan untuk membawa pemeluknya dari kegelapan
syirik
kepada jalan tauhid, pergerakan dari kegelapan menuju cahaya tauhid
disini
disebut sebagai upaya pencerahan. Ia merupakan proses naik dari
bawah ke atas,
dari sementara menuju kekal, dari luar ke dalam dan dari “yang
banyak” menuju
Yang Satu. Objek yang bermacam-macam di alam fenomena (syahdah)
adalah
“yang banyak”, “yang sementara” dan dapat dipandang mata melalui
bentuknya
yang beraneka ragam.8 Maka dapat disimpulkan bahwa islam bertujuan
untuk
menyelamatkan pengikutnya dari kegelapan menuju cahaya tauhid,
yakni menuju
Allah SWT.
hanya bersifat sementara, dan apabila seseorang hanya
menggunakan
perlengkapan indranya maka ia tidak akan mendapatkan hakikat yang
abadi dari
segala sesuatu “yang banyak”, dia akan tersesat dalam sesuatu “yang
banyak”, dan
tidak akan dapat melaksanakan perjalanan menuju kekal, menuju Yang
Satu.9
Sebaliknya apabila seseorang mampu menfungsikan akal dan kalbunya
dengan
baik, maka ia akan mampu mendobrak dunia yang dipenuh dengan
bentuk-bentuk
yakni “yang banyak” dan akan sampai kepada hakikat keindahan murni
Yang
Satu.
Dalam tradisi islam pengucapan estetik dalam bentuk karya
sastra
7 Sayyed Hossein Nasr, Spiritulitas dan Seni Islam Penerjemah Drs.
Sutejo, h. 17-18. 8 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya
Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016) h.
346. 9 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h.
346.
17
mempunyai makna sejauh pengucapan dapat dijadikan sulk atau jalan
kerohanian
menuju hakikat hidup yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan estetik
dalam sastra
ataupun seni dapan dijadikan sebagai sarana dalam “mendaki” menuju
alam
transendental (alam lht).
Sebagai suluk atau pendakian dari alam rendah (alam nst) ke
alam
tinggi (alam lht) ungkapan estetik khususnya dalam karya sastra
memiliki
fungsi yang sekaligus menjadi penciri estetika islam, yakni sebagai
berikut:
(1) Tawajjud, yaitu membawa penikmat mencapai jiwa yang damai
(mumainnah) dan mampu mencapai keabadian dari Yang Abadi.
(2) Tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu
yang
berasal dari alam benda itu sendiri
(3) Tadzkiyah al-Nafs, yaitu penyucian dari pemberhalaan terhadap
bentuk-
bentuk.
(4) Seni sebagai sarana transenden, melampaui dunia bentuk melalui
bentuk-
bentuk formal itu sendiri.
(5) Menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita
bersikap
adil dan benar terhadap tuhan, sesama manusia, lingkungan sosial,
alam
tempat hidup dan diri kita sendiri.
(6) Sarana efektif menyebarkan pemikiran, gagasan, pengetahuan,
dan
informasi yang berguna bagi kehidupan.
(7) Menyampaikan puji-pujian, sarana perenungan serta pemusatan
pikiran dan
hati (tafakkur) kepada Yang Satu.10
Penghasil karya yang sudah sampai kepada hakikat keindahan Yang
Satu
10 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika dan
Religiusitas, (Yogyakarta:
Matahari, 2004), h. 57-59.
akan senantiasa menghasilkan karya-karya yang inspiratif, unggul
dan mendalam
sebab ia telah mengenal makna-makna dari mana semua inspirasi karya
seni yang
unggul berasal, serta pengetahuan dan teknik yang tinggi, maka
dengan sendirinya
hasil karya tersebut akan menjadi karya yang inspiratif dan
senantiasa
memberikan makna kepada penikmatnya.11
Menurut filsuf muslim seperti Ibnu Sina dan al-Jurjani karya
seni
khususnya puisi dipandang sebagai sebuah persembahan mimesis
(mubaqah),
yaitu sebuah ekspresi dari perasaan dan pikiran seorang penyair
yang berupaya
mengungkapkan perasaan dengan pikiran dan daya imajinasi. Karena
besarnya
peranan pikiran dan imajinasi serta campur tangan perasaan, maka
tiruan yang
dibuat oleh penyair bukanlah tiruan yang pantas dipandang
sederhana.12
Didalam tradisi islam istilah yang sering digunakan untuk
keindahan
estetis adalah jaml dan husn, kedua istilah tersebut diambil dari
al-Qur’an dan
hadis, diantara hadis yang mengandung dua istilah tersebut adalah
hadis yang
menyatakan bahwa keindahan batin (jaml) bersifat universal dan
memperkaya
rohani, sebab didalamnya terdapat hikmah dan jalan menuju tauhid.
Sedangkan
keindahan zahir (husn) tidak jarang hanya memukau (sihr), seseorang
yang tidak
cukup pengetahuannya dan penglihatan batinnya sering terperdaya
oleh sekedar
yang tampak, tetapi orang arif dapat menembus keindahan zahir dan
mampu
menemukan hakikat dari keindahan.13
Sebagai dzat Yang Zahir, tuhan dapat dijadikan perenungan estetis
dalam
perenungan tersebut diharapkan agar membawa kita kepada
bentuk-bentuk
keindahan dan kebenaran yang lebih hakiki atau lebih tinggi.
Sebagaimana bentuk
11 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h. 347. 12
Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas,
h. 33-34. 13 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika dan
Religiusitas, h. 38.
19
(surah) menuju hakikat bentuk (makna) yang menjelaskan dari mana
manusia
berasal.14
Dalam menilai sebuah karya seni Islam, asas cinta sangat
penting
kehadirannya. Cinta dalam diri manusia sebagai penghasil karya
seni, ialah
kecenderungannya akan keimanan, ketakwaan, kebahagiaan dan
hasratnya untuk
menegakkan kebaikan dan menentang segala keburukan dan
kezaliman.15
C. Sejarah Estetika Islam
ilmu pengetahuan yuridis dan teologi, baik keduanya berhubungan
erat dengan
hukum ilahi maupun masalah penegasan dan pembelaan prinsip-prinsip
keimanan
dalam islam. Namun secara pribadi seorang teolog seperti al-Ghazali
telah
menulis tentang keindahan. Beberapa penulis yang ahli tentang ilmu
hukum (fiqh)
seperti Bah’ al-Din al-Amil bahkan membangun taman-taman yang
indah,
namun risalah-risalah tentang tentang teologi (kalm) atau ilmu
hukum (fiqh)
yang memberikan penjelasan tentang masalah-masalah seni dan
estetika islam
tidak dikenal dan tidak pernah ditemukan.16
Namun ada beberapa pendapat mengenai kapan estetika dalam islam
mulai
tumbuh dan berkembang, salah satunya sebagaimana dijelaskan dalam
buku
Islamic Art: an Introduction yang bahwa seni islam khususnya sastra
tumbuh dan
berkembang sejak dinasti Umayyah (661-750) kemudian dilanjutkan ke
dinasti
14 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika dan
Religiusitas, h. 229-230. 15 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.,
Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas, h. 231. 16 Sayyed Hossein
Nasr, Spiritulitas dan Seni Islam Penerjemah Drs. Sutejo, h.
16.
20
Ismail Raji al-Fruq menyebutkan bahwa karya sastra sudah
dapat
ditemukan pada abad pertama hijriyah yang ditandai dengan Qubbah
al-Sakhrah
dari ‘Abdul Malik di Yerussalem yang memiliki banyak ciri dan sifat
seni islam,
masa ini jauh sebelum sufisme berkembang dan membangun interpretasi
simbolik
terhadap seni islam.18
Sedangkan Abdul Hadi WM menjelaskan bahwa seni islam sudah
ada
sejak abad ke-9 dan abad ke-10. Estetika islam muncul bersaman
dengan
ditemukannya terjemahan buku Poetics karangan Aristoteles yang pada
akhirnya
hal ini menarik perhatian pemikir islam saat itu, selanjutnya
estetika lebih banyak
mendapatkan perhatian dari kalangan sufi dan kalangan pemikir yang
memiliki
kecenderungan dengan tasawuf seperti al-Ghzal, Ibn al-‘Arab, Jall
al-Din al-
Rmi, Suhrawardi, dan lain-lain, mereka memiliki pendapat bahwa
karya estetika
yang baik adalah karya yang dapat dirujuk kepada ayat-ayat
al-Qur’an.19 Kaum
sufi berpandangan bahwa estetika merupakan salah satu jalan rohani
yang yang
dapat mendekatkan manusia dengan penciptanya yang maha
indah.20
Berbagai tokoh memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang
sejarah
estetika islam pertama kali muncul, David James dalam bukunya
berpedapat
bahwa seni islam berkembang sejak dinasti Umayyah (661-750)
kemudian
dilanjutkan ke dinasti Abbasiyyah (750-1258), dan di India
(926-1186), sementara
Ismail Raji al-Fruq berpendapat bahwa seni islam sudah bisa
ditemukan pada
abad pertama hijriyah yang ditandai dengan Qubbah al-Sakhrah dari
‘Abdul
17 David James, Islamic Art: an Introduction, (London: Hamlyn,
1974), h. 8-9. 18 Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan
Ekspresi Estetika Islam, h. 26. 19 Abdul Hadi WM, Hermeneutika,
Estetika dan Religiusitas h. 35. 20 Lingga Agung, Pengantar Sejarah
dan Konsep Esetetika, (Yogyakarta: Penerbit PT
Kanisius, 2017), h. 89.
21
Malik di Yerussalem serta Abdul Hadi WM seorang intelektual muslim
Indonesia
berpendapat bahwa estetika islam sudah ada sejak abad ke-9 dan abad
ke-10
muncul bersaman dengan ditemukannya terjemahan buku Poetics
karangan
Aristoteles yang kemudian pada akhirnya estetika islam disini lebih
banyak
mendapat perhatian dari intelektual muslim yang cenderung terhadap
tasawuf,
sehingga dapat disimpulkan bahwa seni islam sudah ada sejak lama
dan
kehadirannya memiliki pengaruh penting bagi perkembangan kehidupan
manusia.
Dalam buku Cakrawala Budaya Islam karangan Abdul Hadi WM
disebutkan bahwa sebelum islam diturunkan di tanah arab,
kesusastraan
khususnya puisi sudah berkembang dengan pesat dilingkungan
masyarakat sekitar
saat itu. Walaupun karya tersebut tidak dibukukan dan diarsipkan
secara rapih
namun bukan berarti mereka tidak mengenal dunia tulis menulis.
Karya-karya
penyair terkemuka saat itu dituliskan pada kain yang bagus
menggunakan tinta
emas kemudian digantungkan di dinding-dinding Ka’bah, salah satu
penulis
masyhur kala itu adalah Imrul Qais, puisi-puisi pilihan terkemuka
tersebut dikenal
sebagai mu’allaqat dan bentuk sajaknya dinamakan qasdah atau
puji-pujian.21
Hal inilah yang kemudian membekali masyarakat arab mulai
mencintai
dan melahirkan karya-karya yang memiliki mutu tinggi, serta
mengandung
kesadaran baru. Pada zaman islam inilah puji-pujian ditujukan
kepada pribadi
rasulullah bukan lagi kepada kemontokan tubuh gadis cantik, dan
rasa kesukuan
yang sempit. Ini melahirkan sebuah genre baru yang disebut
al-Mad’ih al-
Nabawiyyah atau Na’tiyah (pujian) dalam bahasa Persia.22 Sejak
islam turun di
tanah arab secara perlahan berhasil mengubah tatanan masyarakat
yang awalnya
21 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2016)
h. 18. 22 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h.
18.
22
amoral sudah mulai terkikis, ditandai dengan puji-pujian yang biasa
mereka
lantunkan sudah terarah kepada kepribadian nabi.
Pada zaman islam, penulisan karya sastra mulai berkembang
seiring
dengan berkembangnya masyarakat madani yang dibangun nabi di
Madinah
setelah hijrah, diantara pelopornya adalah Al ibn Ab lib yang
khotbah dan
wejangan-wejangannya dituturkan dalam bahasa sastra yang indah. Al
ibn Ab
lib dapat disebut sebagai pelopor penulisan sajak-sajak yang
bernapaskan
islam. Kegemaran masyarakat muslim terhadap sastra saat itu juga
erat kaitannya
dengan gairah mengkaji bahasa dan nilai sastra dalam al-Qur’an,
yakni dengan
cara menyimak wacana dengan pemahaman yang mendasar sehingga
mampu
melahirkan sebuah pengetahuan dan wawasan budaya baru yang
luas.23
Kemudian di periode selanjutnya sejak abad ke 10 dan 11 M
beriringan
dengan maraknya pembelajaran terhadap falsafah Yunani dan
kebangkitan sastra
Persia memiliki dampak terhadap perkembangan sastra yang bertambah
subur, hal
ini juga didorong oleh gairah pengkajian sastra dikalangan
intelektual, ilmuan dan
filsuf serta munculnya berbagai teori sastra yang inspiratif bagi
penciptaan. Di
antara pemikir dan ahli teori sastra terkemuka yang telah
memberikan sumbangsih
dalam teori dan kajian sastra ialah al-Frab, Ibn Sina, al-Baqillni,
Qudmah,
Abd al-Qhir al-Jurjni dan lain-lain.24
Sejak abad ke-13 M pembahasan teoritis sastra di teruskan oleh
para
penulis sufi, seperti Imam al-Ghzali, Ibn ‘Arab dan Mauln Jall
al-Dn al-
Rmi. Salah satu kemajuan yang menandakan pembaruan dalam sastra
ialah
23 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h. 18-19. 24
Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h. 19.
23
ketika dikaitkannya sastra dengan adab, hal ini ada ketika zaman
pemerintahan
Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M), bahkan di masa selanjutnya
sastra lebih di
identikkan dengan adab, dalam kesusastraan Melayu Islam,
karya-karya disebut
sebagai sastra adab ialah semua karangan yang berkenaan dengan
etika, sosial
politik, pemerintahan, hukum dan ketatanegaraan.25
25 Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., Cakrawala Budaya Islam, h.
19-20.
24
A. Biografi Kuntowijoyo
1. Riwayat Hidup
anak kedua dari sembilan bersaudara, dibesarkan dalam lingkungan
keluarga Jawa
yang beragama islam, ia menikah dengan Susilaningsih, lulusan IAIN
Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Dikaruniai dua orang anak bernama Punang
Amaripuja dan
Alun Paradipta.1 Kuntowijoyo merupakan sosok yang pernah menulis
dan
mengenalkan sastra profetik dalam sastra Indonesia.2
Ayah Kuntowijoyo adalah seorang dalang dan pembaca macapat,
sedangkan eyang buyut-nya adalah seorang kha (penulis mushaf
al-Qur’an
dengan tangan). Posisi ayahnya sebagai seorang dalang dan eyang
buyut sebagai
penulis mushaf al-Qur’an tampaknya berpengaruh terhadap
perkembangan
kepribadian Kuntowijoyo, khususnya perkembangan kesastrawanannya.
Karya-
karyanya kental sekali dengan budaya jawa, khususnya tradisi dalang
dan islam.3
Sewaktu sekolah tingkat dasar pada pertengahan tahun 1950-an ia
sering
mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta, asuhan Mansur Samin
dan
1 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, Sastrawan Indonesia,
(Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999) h. 15. 2 Maman S. Mahayana, dkk., Apa & Siapa
Penyair Indonesia, (Jakarta Barat: Yayasan
Hari Puisi, 2018), h. 335. 3 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan
Dunianya, (Jakarta: Grasindo, 2005) h. 3.
25
Budiman S. Hartojo. Mentornnya M. Saribi Arifin dan M. Yusmanam,
membuat
Kuntowijoyo kecil terdorong untuk menulis karya sastra.1
Masa kecil Kuntowijoyo tepat berada di saat zaman pergolakan,
yaitu
ketika agresi Belanda tahun 1947 dan 1948. Tahun 1956, ia
menamatkan Sekolah
Rakyat (SR). Sejak kecil, ia aktif mengikuti kegiatan-kegiatan
keagamaan, yaitu
belajar agama ke surau yang dilakukan sehabis zuhur sepulang
sekolah hingga
selepas asar. Malamnya, sehabis isya, ia kembali ke surau untuk
mengaji. Saat
menjalani kehidupan surau inilah, Kuntowijoyo mulai belajar menulis
puisi,
berdeklamasi dan mendongeng. Di surau ini pula ia mengenal
Muhammadiyah,
kemudian memasuki kepanduan Hizb al-Waan. Bakatnya dalam
berdeklamasi,
mementaskan drama, dan menulis puisi semakin tumbuh dan berkembang
ketika
ia bergabung dan ikut serta dalam organisasi Pelajar Islam
Indonesia (PII). Selain
belajar mengaji dan deklamasi, Kuntowijoyo biasa menyimak siaran
sastra di
Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Di siang hari, ia sering
menyempatkan
diri pergi ke Gedung Perpustakaan dan melahap banyak buku Karl
Marx.
Ketertarikannya pada dunia bacaan bertambah ketika ia belajar di
SMP.2
Tamat SMP (1959), lalu ia pindah ke Solo dan melanjutkan sekolah
SMA
di sana dan tamat tahun 1962, Saat SMA inilah ia mulai melahap
karya-karya
Charles Dickens dan Anton Chekov. Dengan bekal itu Kuntowijoyo pada
tahun
1964 menulis novel pertamanya, “Kerata Api yang Berangkat di Pagi
Hari”, yang
kemudian dimuat dengan bersambung dalam Harian Djihad tahun
1966.3
1 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, Sastrawan Indonesia, h.
15. 2 M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak-jejak
Pemikiran Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Relegia, 2005), h. 30. 3 Abdul Rozak Zaidan dan
Nikmah Sunardjo, Sastrawan Indonesia, h. 15.
26
Ia masuk Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
tamat
strata satu pada tahun 1969. Pada masa-masa Kuntowijoyo aktif
menjadi
mahasiswa bakat tulis-menulisnya semakin berkembang. Berbagai
tulisannya baik
berupa puisi, cerpen, novel, essai, dan naskah drama bertebaran di
berbagai media
massa, seperti majalah Sastra Horison, Kompas, Republika, Bernas,
dan lainnya.4
Di masa kuliah pula ia akrab dengan dunia seni dan teater karena
semenjak kecil
hidup di lingkungan dunia seni dari ayahnya. Kunto bahkan pernah
menjabat
skretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup
Mantika,
hingga tahun 1971. Di organisasi ini, ia berkesempatan bergaul
dengan beberapa
seniman dan kebudayaan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’ban Asa,
Ikranegara,
Chaerul Umam, dan Salim Said.
Ia kemudian diangkat sebagai dosen dan mengajar di almamaternya.
Tak
lama kemudian ia mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Gelar M.A.
diperoleh
dari The University of Connecticut Amerika Serikat tahun 1974 dan
gelar doktor
ia dapatkan dari Columbia University tahun 19805 dengan disertasi
berjudul
Social Change In an Agrarian Society: Madura (1850-1940).6
Selanjutnya, ia
banyak berkiprah dalam dunia pendidikan, diskusi, seminar dan
menulis artikel
tentang sosial-budaya serta banyak karya sastra dalam bentuk cerita
pendek, prosa
dan puisi.7
tulisan-tulisannya-pun juga bernuansa islami, Kuntowijoyo juga ikut
dalam
4 Dr. Eduardus Nugroho, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Bekasi:
PT. Delta Pamungkas,
2004) h. 183. 5 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, Sastrawan
Indonesia, h. 15. 6 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical
Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008), h. 17. 7 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, Sastrawan
Indonesia, h. 15.
27
1980, ia menyatu dengan pondok pesantren yang menetapkan dirinya
sebagai
kiai.8
yang sangat berjasa bagi perkembangan Muhammmadiyah. Menurutnya
kritik
Kuntowijoyo sangat pedas tetapi pemikirannya yang sangat
mendasar.9
Tahun 2001 Kuntowijoyo dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu
Sejarah
pada Fakultas Ilmu Budaya UGM melalui pidato pengukuhan
berjudul
“Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia:
Mitos,
Ideologi, dan Ilmu”. Selain aktif mengajar dan menulis, Kuntowijoyo
juga aktif di
beberapa organisasi seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dan
Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta.
Kuntowijoyo adalah orang yang sederhana, meskipun menjabat
sebagai
guru besar, rumah tempat tinggalnya terkesan sederhana dan tidak
mewah. Ia
menderita penyakit radang selaput otak sejak tahun 1990, namun itu
tak menjadi
alasan baginya untuk berhenti menulis dan melahirkan banyak
karya.
Ia mendapatkan banyak penghargaan sastra bergengsi
diantaranya
Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta tahun
1986, Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan
Bahasa untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga tahun
1994,
Penghargaan ICMI tahun 1995, Cerpen Terbaik Kompas tiga kali
berturut-turut
yakni tahun 1995, 1996 dan 1997, Asean Award on Culture tahun 1997,
Satya
8 Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,
(Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), h. 179. 9 Sriyanto, Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya
Bagi Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2011), h.
19.
28
Lencana Kebudayaan RI tahun 1997, Penerbit Mizan Award tahun
1998,
Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari
Menristek tahun
1999, dan SEA Write Award tahun 1999.10
Binhad Nurohmat mengungkapkan pendapatnya mengenai
Kuntowijoyo,
dalam tulisannya yang berjudul “Realisme Udik Kuntowijoyo”.
Binhad
menyatakan,
banyak orang dengan cara membangun cara pandang baru, dan dia
menuliskannya penuh daya sentuh sehingga mampu mengajak untuk
semakin menukik ke kedalaman pengertian untuk menemukan inti
kenyataan dari dalam batinnya.’11
Kuntowijoyo terus berkarya hingga detik-detik akhir hayatnya.
Akhirnya
pada Selasa, 22 Februari 2005 guru besar ini wafat di Rumah Sakit
Dr. Sardjito
Yogyakarta setelah mengalami komplikasi penyakit sesak napas,
diare, dan ginjal.
2. Latas Belakang Intelektual
menggunakan pendekatan proses pembelajaran dan pengalaman
organisasi yang
diikutinya sejak kecil, dalam biografi di atas disebutkan bahwa
Kuntowijoyo kecil
hidup dilingkungan yang agamis, ia merupakan keturunan seniman dan
penulis
mushaf al-Qur’an.
Selain masuk Sekolah Dasar, Kuntowijoyo juga dimasukkan ke
sekolah
agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Di Madrasah inilah, Kunto
kecil sangat
kagum kepada guru ngajinya, yakni Ustadz Mustajab yang piawai
menerangkan
tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah-olah ia ikut
mengalami peristiwa
10 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, Sastrawan Indonesia, h.
18. 11 Binhad Nurohmat, “Realisme Udik Kuntowijoyo (1943-2005)”,
Kompas, 20 Maret
2005, h. 17.
yang disampaikan oleh gurunya. Sejak itu, Kuntowijoyo tertarik
dengan sejarah,
yang hingga kemudian ditekuni dan serius terjun mendalami ilmu
sejarah. Di
Madrasah inilah bakat menulis Kuntowijoyo sudah mulai tumbuh.
Kedua
gurunya, Sariamsi Arifin (penyair) dan Yusmanam (pengarang)
telah
membangkitkan gairah Kuntowijoyo untuk menulis. Hingga akhirnya
Kunto kecil
sangat gemar membaca dan menulis.12
Ia merupakan lulusan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
Aktivis
Muhammadiyah, aktif di beberapa organisasi seperti Ikatan
Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dan anggota Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan
(PPSK).
Gelar Magisternnya diperoleh dari The University of Connecticut
Amerika Serikat
tahun 1974 dan gelar doktor ia dapatkan dari Columbia University
tahun 1980.
Cetusan-cetusan pemikiran Kuntowijoyo salah satunya bersumber
dari
pengaruh para filosof baik barat maupun timur yang tidak bisa
dipungkiri ikut
mewarnai hampir semua ide-ide Kuntowijoyo. Hal ini bisa dilihat
dalam buku
Kuntowijoyo yang berjudul Penjelasan Kuntowijoyo (Historical
Explanation),
dengan piawai Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk melakukan
“wisata
akademik”, yakni dengan mengamati bagaimana sejarawan bekerja
(historians at
work) dan membekali para pembaca dengan “panduan wisata” yang
berupa
rangkaian “review” konkret atas berbagai karya sejarawan.
Karya Kuntowijoyo antara lain ialah mengenai fenomena sejarah
kesadaran sosial umat Islam, tentang transformasi umat Islam dalam
menyikapi
perkembangan global dengan industrialisasinya, serta bagaimana agar
umat Islam
mampu dalam melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik.
Perubahan
12 Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, h.
180.
30
sebagaimana yang terkandung dalam QS. li ‘Imrn (3) Ayat 110.
Perwujudan sikap menurut Kuntowijoyo adalah objektifikasi
yang
merupakan perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan
ke dalam
perbuatan rasional, sehingga orang luarpun dapat menikmati tanpa
harus
menyetujui nilai-nilai asal.13 Dengan tetap berpegang teguh pada
Al-Qur’an,
Kuntowijoyo menawarkan bentuk penafsiran ajaran Islam yang lebih
fungsional
yang mampu menjadi titik pijak penerapan ajaran Islam itu sendiri.
Mampu
diterapkan dalam realitas masa kini.14
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan
intelektual
Kuntowijoyo dilatar belakangi oleh buku-buku yang ia baca,
lingkungan belajar,
serta pengalaman hidupnya, terkhusus lagi hampir setiap gagasan
Kuntowijoyo
didasarkan kepada al-Qur’an. Ia merupakan akademisi yang handal,
penulis dari
banyak buku sastra mapun buku ilmiah yang gagasan-gagasannya
menarik untuk
terus didiskusikan.
utuh, sudut pandangnya mengenai problematika agama, ilmu dan seni
senantiasa
mengupayakan untuk membangun wacana yang menyeluruh, beliau
tidak
membatasi diri dengan wacana saja, tetapi selalu berupaya untuk
menawarkan
13 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 68-69. 14 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu Epistemologi,
Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007), hlm. 27.
31
kehidupan keseharian umat.15
holistik, hal ini tidak dapat dipisahkan dari kepribadiannya.16
Disini penulis
mengklasifikasikan pokok-pokok pemikiran Kuntowijoyo kedalam enam
pokok,
yaitu:
Indonesia yang secara konsisten berusaha melakukan upaya
reaktualisasi dan
kontekstualisasi nilai-nilai Islam di Indonesia. Walaupun upaya
Kuntowijoyo
lebih menekankan pada aspek konseptual atau teoritis daripada
praktis, tetapi
usaha itu terbukti bisa mempengaruhi gerakan-gerakan transformatif
ataupun
kebijakan pemerintah.17 Namun, jika melihat bukunya yang berjudul
Paradigma
Islam: Interpretasi Untuk Aksi, maka upaya transformatif pemikiran
Islam
Kuntowijoyo tidak hanya berada pada dataran konseptual saja, tetapi
juga pada
dataran praktis ditandai dengan reaktualisasi islam dengan lima
program
reinterpretasi yang bertujuan untuk memerankan kembali misi
rasional dan
empiris islam.
struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami
ketentuan-
ketentuan tertentu di dalam al-Qur’an. Selama ini kita melakukan
penafsiran yang
bersifat individual ketika memahami, misalnya, sebuah ayat yang
menyatakan
15 Suminto A. Sayuti, Selamat Jalan, Kuntowijoyo…, Majalah Horison,
Mei 2005, h. 5. 16 Suminto A. Sayuti, Selamat Jalan, Kuntowijoyo…,
h. 5 17 Mohammad Rusdi, “Objektifikasi Sebagai Paradigma Ijtihad
Alternatif: Studi
Pemikiran Kuntowijoyo“, asy-Syir’ah, Vol. 39, No. 1, Tahun 2005.,
h. 31.
32
larangan untuk hidup berlebih-lebihan. Dari penafsiran individual
terhadap
ketentuan ini sering timbul sikap untuk mengutuk orang yang hidup
berfoya-foya,
yang memiliki vila-vila di Puncak, atau memiliki banyak simpanan
deposito di
bank-bank luar negeri. Sesungguhnya kecaman semacam itu benar
adanya.
Namun yang lebih mendasar dan penting untuk dikaji adalah mencari
sebab-sebab
struktural kenapa gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul
dalam konteks
sistem sosial dan sistem ekonomi, dengan upaya ini, penafsiran kita
terhadap
gejala hidup mewah lebih dikembangkan pada perspektif sosial, pada
perspektif
struktural.
Program kedua adalah mengubah cara berpikir subjektif ke cara
berpikir
objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif
ini adalah untuk
menyuguhkan islam pada cita-cita objektif. Ketentuan zakat
misalnya, secara
subjektif tujuan zakat memang diarahkan untuk “pembersihan” harta
kita dan juga
jiwa kita. Tetapi sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat lpada
intinya adalah
tercapainya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial itulah yang
menjadi sasaran
objektif dikeluarkannya ketentuan untuk berzakat. Dari reorientasi
semacam ini
kita dapat mengembangkan tesis yang lebih luas bahwa islam
benar-benar ingin
memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang didalamnya
zakat
merupakan salah satu metode yang ditawarkan.
Program ketiga adalah mengubah islam yang normatif menjadi
teoretis,
selama ini kita cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat al-Quran pada
level
normatif dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk
mengembangkan
norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Secara
normatif kita
mungkin hanya mampu mengembangkan tafsiran moral ketika ketika
memahami
konsep tentang fuqar dan maskn. Kaum fakir dan miskin paling-paling
hanya
kita lihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani, sehingga kita
wajib
memberikan sedekah, infaq atau zakat kepada mereka. Melalui
pendekatan
teoretis dimungkinkan kita akan lebih dapat memahami konsep tentang
kaum
fakir dan kaum miskin pada konsep yang lebih real, lebih faktual,
sesuai dengan
kondisi-kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan cara itu
kita dapat
mengembangkan konsep yang lebih tepat tentang siapa sesungguhnya
yang
dimaksud sebagai fuqar dan maskn itu; pada kelas sosial dan ekonomi
apa
33
mereka berada dalam suatu masyarakat, dan sebagainya. Demikianlah
jika kita
berhasil memformulasikan islam secara teoretis, maka akan banyak
disiplin ilmu
yang secara orisinil dapat dikembangkan menurut konsep-konsep
al-Quran.
Kemudian pada program yang keempat adalah mengubah pemahaman
yang a-historis menjadi historis. Selama ini pemahaman kita
mengenai kisah-
kisah yang ada di al-Quran cenderung sangat bersifat a-historis,
padahal maksud
al-Quran menceritakan kisah-kisah tersebut adalah justru agar kita
berpikir
historis. Misal kisah tentang bangsa Israel yang tertindas pada
zaman Fir‘aun
sering kita pahami pada konteks zaman itu, kita tidak pernah
berpikir bahwa apa
yang disebut kaum yang tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang
zaman dan
pada setiap sistem sosial.
Program kelima yaitu barangkali bisa disebut sebagai simpul dari
empat
program sebelumnya yaitu bagaimana merumuskan formulasi-formulasi
wahyu
yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang
spesifik dan
empiris. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa Allah mengecam
orang-orang
melakukan sirkulasi kekayaan hanya dikalangan kaum kaya. Pernyataan
ini jelas
bersifat umum dan normatif. Oleh karena itu kita perlu mengartikan
pernyataan
itu kepada pengertiannya yang spesifik dan empiris. Artinya kita
harus
menerjemahkan pernyataan ayat tersebut ke dalam realitas sekarang:
bahwa Allah
mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan
ekonomi
politik, dengan menerjemahkan pernyataan yang umum kepada hal yang
spesifik
untuk menatap gejala yang empiris maka pemahaman kita kepada islam
akan
selalu menjadi kontekstual, sehingga ia akan mampu menumbuhkan
kesadaran
mengenai realitas sosial.”18
dijadikan modal optimis dalam menghadapi masa depan masyarakat yang
lebih
rasional dengan adanya agama islam. Melalui adanya lima program
reinterpretasi
18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:
Penerbit Mizan,
1993) h. 283-285
ini pula maka Kuntowijoyo sangat pantas disebut sebagai cendikiawan
yang
konsen dalam menyumbangkan hasil pikirnya dalam hal
keagamaan.
b. Bidang Politik
fungsional, dalam arti mengurus kepentingan bersama, yaitu
kesejahteraan, keadilan dan demokrasi. Wacana politik baru
harus
dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Islam, politik baru
yang
mempertimbangkan perubahan-perubahan sosiologis harus
dimulai.
Kalau tidak, akan terjadi kesenjangan antara institusi dan
basis
sosialnya. Indonesia bukan lagi lahan bagi persekongkolan
politik
kaum elite. Memulai tradisi politik baru memang tidak mudah,
akan
ada kekuatan-kekuatan yang mencoba mengambil dasar-dasar
politik
lama.’ -Kuntowijoyo.19
dan fungsional serta mampu menghadirkan kesejahteraan, keadilan dan
demokrasi
yang memiliki dampak perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam konteks politik Indonesia pula Kuntowijoyo berpendapat
bahwa
umat islam terutama kaum cendikiawannya harus mampu memadukan
kepentingan nasional dan kepentingan islam. Kuntowijoyo berpendapat
dengan
dilakukannya hal ini akan menjadi langkah yang strategis agar umat
islam tidak
dijadikan bulan-bulanan dari perjalanan sejarah. Untuk itu umat
islam harus
kembali memegang posisinya sebagai golongan yang “menggerakkan
sejarah,”
dan bukan sebagai “beban sejarah.”20
Ia pun tidak menyepakati dikumandangkannya tujuan-tujuan sosial
politik
islam dalam cara yang formalistik dan legalistik. Sebaliknya, ia
lebih tertarik
kepada masalah-masalah yang memiliki dampak yang lebih nyata
bagi
kesejahteraan masyarakat politik Indonesia secara keseluruhan.
Sebagaimana
19 “Kiblat Baru Politik Kaum Santri”, Pesan, No. 1, 1992, h. 24.
Sebagaimana dikutip
oleh Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Penerbit
Paramadina, 1998), h. 175. 20 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi
Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Paramadina,
1995), h. 236.
perhatiannya kepada kepada tema-tema yang bercorak inklusif dan
objektif. Lebih
dari itu, ia juga mengemas agenda sosial politik mereka dalam
bahasa yang
dimengerti dan di dukung oleh masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.21 Untuk
itu dicarikanlah upaya-upaya pendekatan yang lebih mampu untuk
diterima dan
memiliki implikasi yang nyata terhadap masyarakat secara umum,
sehingga
gagasan yang dikemas mudah dimengerti dan sesuai dengan kebutuhan
rakyat.
c. Bidang Sosial
Salah satu pokok pikiran Kuntowijoyo di bidang sosial dapat
di
representasikan dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP), Ilmu Sosial
Profetik
merupakan sebuah paradigma baru yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo
yang
menurutnya cara pandang ilmu sosial tersebut tidak cukup jika hanya
berhenti
menjadi kerangka teoritis dan metodologis saja, tetapi upaya
interpretasi, refleksi
dan aksi harus selalu ada.22 Ilmu Sosial Profetik tidak hanya
menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial tetapi juga memberikan petunjuk kearah
mana
transformasi sosial itu dilakukan, untuk apa dan untuk siapa. Sebab
itu, ilmu
sosial profetik bukan hanya sekedar mengubah berdasarkan cita- cita
etik dan
profetik saja. Dalam pengertian ini, ilmu sosial profetik secara
sengaja memuat
kandungan nilai dari cita-cita yang diidamkan masyarakatnya.23
Profetik dalam
21 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Penerbit Paramadina,
1998), h. 213. 22 Suminto A. Sayuti, Selamat Jalan, Kuntowijoyo…,
h. 5. 23 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1993), h.
289.
36
hal ini yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo merujuk pada konteks
Al-Qur’an, 24
dalam Q.S li ‘Imrn ayat 110, yang berbunyi:
“Kamu (umat islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Gagasan kuntowijoyo ini selain sebagai respon atas pemahaman
keagamaan yang tradisional juga merupakan reaksi terhadap mandeknya
ilmu
sosial akademis yang hanya beroperasi pada teori untuk menjelaskan
suatu
fenomena sosial, oleh karena itu Kuntowijoyo menambahkan
transformasi sosial
dengan diarahkan sesuai dengan cita-cita yang profetis. Demikianlah
Ilmu Sosial
Profetik, penafsiran ilmu sosial yang tidah hanya berkutat pada
penjelasan dan
mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberikan arah perubahan
berlandaskan
kepada cita-cita etik dan perubahan tertentu.25
Kemudian muara akhirnya dari konsep ISP ini adalah untuk
mengarahkan,
mendorong, mengubah dan merekonstruksi berbagai kenyataan sosial
yang sesuai
dengan nilai-nilai keagamaan yang telah diisyaratkan dalam wahyu
islam. Hal itu
pula yang menjadikan tiga konsep Etika Profetik berikut ini menjadi
menjadi
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya tersebut:
amar-ma‘rf
(humanisasi), nah-munkar (liberasi), dan tuminu billah
(transendensi). Amar-
ma‘rf merupakan upaya pemanusiaan sesuai dengan peran dalam budaya,
nah-
munkar sebagai upaya pembebasan manusia dari sistem budaya yang
menindas
24 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), h. 87. 25 Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 534.
dan memperbudak, tuminu billah berwujud menjadi perlawanan yang
intelektual,
kreatif, religius, dan spiritual terhadap budaya-budaya sekuler
yang kemudian
membawanya kedalam ruang keyakinan bernama agama (islam).26
d. Bidang Sejarah
Ilmu sejarah di artikan oleh Kuntowijoyo sebagai ilmu tentang
perubahan.
Sejarah sebagai ilmu akan bermanfaat dalam perencanaan dan
penilaian,
sedangkan untuk pelaksanaan dan pengawasan, tergantung pada
“kelincahan”
sejarawan. Ada tiga metode untuk memahami perencanaan dan
penilaian.
Pertama, sejarah perbandingan, yaitu membandingkan pembanguanan di
satu
tempat dengan tempat lain. Kedua, untuk mengetahui masa tertentu,
orang dapat
belajar paralelisme sejarah, yaitu kesejajaran antara masa lalu dan
masa tertentu
yang ingin diketahui. Ketiga, untuk mengetahui persoalan yang akan
timbul akibat
pembangunan, seseorang dapat belajar dari evolusi sejarah.27
Sejarah dikenalkan oleh Kuntowijoyo sebagai kritik sosial, di
samping
sejarah sebagai sistem dan transformasi dalam historiografi
Indonesia.
Kuntowijoyo tidak takut pada pengaruh elemen keagamaan dalam
proses
pembangunan konsepsi pemikiran sejarah. Cara pandang
kesejarahan
Kuntowijoyo yang seperti ini merupakan satu kesatuan dengan
konsepsi ilmu
pengetahuan, khususnya etika profetik yang dikembangkan dalam
banyak
karyanya. Berdasarkan konsep inilah, menurut Kuntowijoyo sejarah
dapat di
dikategorikan sebagai ilmu nafsiyyah atau humaniora yang
“berhubungan dengan
makna”.28
26 Suminto A. Sayuti, Selamat Jalan, Kuntowijoyo…, h. 5. 27
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2013), h. 147-148. 28 Bambang Purwanto, “Membincangkan Kembali
Historiografi Indonesiasentris, Sebuah
Pemikiran Awal”, Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah ke-9
yang diselenggarakan oleh
38
Sejarah sebagai ilmu yang memiliki hubungan atau keterkaitan
dengan
makna disini adalah bahwa sejarah tidak hanya dibentuk untuk
mengetahui dan
menjelaskan perubahan pada masyarakat melainkan memberi petunjuk
kemana
arah transformasi itu dilakukan. Oleh karena itu sejarah dimaknai
sebagai profetik
berarti tidak sekedar melakukan perubahan melainkan perubahan yang
dicita-
citakan oleh umat.
sebagai sejarawan dengan metode mengubah premis-premis normatif
al-Qur’an
menjadi pokok-pokok pemikiran sejarah yang empirik dan rasional
kemudian
dijadikannya sebuah metodologi. Kuntowijoyo menjadikan agama
sebagai
inspirasi dan fondasi bagi sebuah formulasi ilmu pengetahuan untuk
kemajuan
dan membebaskan umat manusia.29
budaya merupakan sistem yang memiliki koherensi. Bentuk-bentuk
simbolis yang
berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik
dan kepercayaan
memiliki kaitan erat dengen konsep epistimologis dari sistem
pengetahuan
masyarakatnya. Sistem simbol dan epistimologi juga tidak
terpisahkan dari sistem
sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama,
mobilitas sosial,
organisasi kenegaraan, dan seluruh prilaku sosial.30
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata, Jakarta 5-7
Juli 2011, h. 6. 29 Bambang Purwanto, “Membincangkan Kembali
Historiografi Indonesiasentris, Sebuah
Pemikiran Awal”, h. 7. 30 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat,
(Yogyakarta: PT. Tria Wacana Yogya, 1987),
h. xi.
Budaya yang ada dalam masyarakat tradisional, akan terjadi
dikotomi
sosial dan budaya antara golongan bangsawan dan petani. Adan budaya
istana dan
ada budaya rakyat yang masing-masing memiliki lembaga, simbol dan
normanya
sendiri. Juga dalam masyarakat kapitalis mempunyai dikotomi budaya,
yakni
budaya tinggi dan popular, dengan lembaga, simbol dan norma
masing-masing.
Dan yang perlu diingat adalah sekalipun dikotomi itu ada, ada pula
mobilitas
budaya keatas ataupun mobilitas budaya kebawah yang menyebabkan
lembaga,
simbol dan normanya mengalami transformasi.31
f. Bidang Sastra
Pemikiran-pemikiran tersebut dapat diidentifikasi dari
pernyataan-pernyatan yang
ada dalam karya tersebut, misal dalam karya novel bisa diperhatikan
dari kalimat-
kalimat yang diucapkan tokoh-tokohnya. Pemikiran pengarang juga
kadang tidak
selalu tertulis jelas dalam teks, kadang bersifat tersirat seperti
diungkapkan
melewati peristiwa-peristiwa dan alur yang ada di dalamnya, atau
juga lewat
sikap-sikap yang diperankan oleh para tokohnya. Hal ini dilatar
belakangi oleh
pengalaman yang dimiliki oleh pengarang karya tersebut dan
mempengaruhi
seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya.
Sama halnya dengan Kuntowijoyo, dikalangan akademisi beliau
dikenal
sebagai intelektual dan penulis banyak menyampaikan hasil pikirnya
dalam
bentuk gagasan menggunakan karya sastra dan juga esai. Kuntowijoyo
menggagas
sebuah pemikiran yang dinamakan sastra profetik. Gagasan sastra
profetik ini
ditegaskannya lewat sebuah tulisan, Kuntowijoyo menyebutnya sebagai
maklumat
31 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7.
40
Indonesia.
saja menyerap dan mengekspresikan, tetapi juga memberi arah kepada
realitas.
Kuntowijoyo menyebut sastra profetik sebagai sastra dialektik, yang
berarti sastra
berhadapan dengan realitas, menghadirkan penilaian dan sebuah
kritik sosial
secara beradab. Oleh karena itu menurutnya sastra profetik
merupakan sastra yang
terlibat dalam sejarah kemanusiaan.32
a) Epistemologi Struktualisme Transendental
keterbatasan akal-pikiran manusia serta mencapai pengetahuan yang
lebih tinggi,
dengan itu sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran
kitab-kitab
suci atas realitas.
Epistimologi disebut strukruralisme transendental sebab pertama
kitab-
kitab suci merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan dijadikan
sebagai
petunjuk bagi orang-orang yang beriman, kedua kitab-kitab suci itu
adalah
struktur dan agama-agama yang diajarkan juga merupakan struktur,
dalam makna
lain struktur disini merupakan sebuah kesatuan, konsisten (taat
atas) ke luar,
artinya struktur yang satu tidak bertententangan dengan struktur
yang lainnya,
sama halnya dengan kitab suci yang satu juga tidak jauh lebih baik
dari kitab suci
32 Sigit Purnomo, Etika Profetik Pada Novel Mantra Pejinak Ular
Karya Kuntowijoyo
Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasinya Pada Pembelajaran
Sastra di SMA, Skripsi,
(FTIK UIN Jakarta, 2015), h. 37.
41
lainnya, artinya mereka sejajar, Islam juga mengajarkan tentang
kalimah saw
(titik temu atau konsensus) yang tertuang dalam al-Qur’an,
3:6433
Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan
Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka
berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa
Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
b) Sastra Sebagai Ibadah
Al-Qur’an dan Islam merupakan sebuah struktur, struktur adalah
keutuhan
(wholeness), sebagaimana diungkapkan oleh Jean Piaget.34 Dalam
islam utuh
diistilahkan sebagai kaffah, keutuhan dalam islam maknanya tidak
dapat
disusutkan kedalam terlaksananya rukun islam, melainkan harus juga
meliputi
seluruh mu’amalahnya. Jadi seorang penulis karya sastra yang rajin
salatnya,
berzakat dengan tertib dan berhaji dengan duit halal tidaklah
kaffah islamnya jika
pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah.35 Jadi sastra
sebagai ibadah
adalah sastra sebagai bagian dari muamalah yang musti diniatkan
sebagai ibadah.
Tuhanlah yang menghendaki manusia agar bekerja untuk manusia,
tidak
hanya mengabdi kepada tuhan saja. Bagi-Nya kesadaran ketuhanan saja
belum
berarti kaffah kalau tidak disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra
Profetik
mengendaki kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusian.36
c) Keterkaitan Antarkesadaran
33 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, (Yogyakarta: Diva Press,
2019), h. 3. 34 Jean Piaget, Structuralism, (New York Paper: Harper
& Row Publisher, 1970),
sebagaimana dikutip oleh Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik,
(Yogyakarta: Diva Press,
2019), h. 4. 35 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, h. 4. 36
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, h. 6-7.
42
kemanusiaan, sebagaimana ajaran agama islam yang ditegaskan dalam
Surat Ali
‘Imran ayat 112 yang memang mengharuskan adanya hablun min Allah
wa
hablun min al-ns, hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan
manusia.37
Dua kesadaran tersebut harus memiliki keseimbangan, tidak
dibenarkan
apabila salah satu dimenangkan dan satu diabaikan. Kesadaran
ketuhanan yang
biasa di aplikasikan dalam bentuk sufisme yang ekstrim, ‘uzlah
(mengasingkan
diri), wadat (tidak kawin) dan kerahiban dilarang dalam islam.
Sebaliknya
perjuangan untuk –sesama– manusia dalam bentuk kemerdekaan,
demokrasi dan
hak asasi manusia harus juga memperhatikan hak-hak tuhan. Oleh
karena itu,
memperluas ruang batin, serta mengunggah kesadaran ketuhanan dan
kesadaran
kemanusiaan sebagai tugas kemanusiaan Sastra Profetik.38
Dalam sastra profetik kontowijoyo juga menghendaki konsep yang
dia
sebut sebagai etika profetik, etika ini disebut profetik karena
ingin meniru
perbuatan nabi, Sang Prophet. Hal ini dilatar belakangi oleh
Muhammad Iqbal
dalam Membangun kembali Pikiran Agama Islam mengutip ungkapan
seorang
sufi yang memiliki kekaguman terhadap nabi dalam peristiwa
Isra-Mi‘rj. Yang
meskipun nabi telah sampai di puncak paling tinggi yang menjadi
dambaan para
ahli mistik, tapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas
tugas
kerasulannya.39
Sama halnya dengan Novel Khotbah di Atas Bukit, perwujudan
estetik
gagasan kuntowijoyo mengenai sastra transedental sangat tampak
dalam novel ini,
melalui novel ini Kuntowijoyo benar-benar menyajikan sastra sebagai
simbol,
37 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, h. 7. 38 Kuntowijoyo,
Maklumat Sastra Profetik, h. 8. 39 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra
Profetik, h. 8-9.
43
pengarang novel menyuguhkannya peristiwa dengan pilihan kata dan
konsep yang
baik, sehingga novel ini tampak lebih bernilai karenanya.
4. Karya-Karya
antara lain:40
1. Karya di Bidang Sejarah, Politik, Agama, Sosial dan Budaya
Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985)
Identitas Politik Umat Islam (1987)
Budaya dan Masyarakat (1987)
Radikalisasi Petani (1994)
Metodologi Sejarah (1994)
Bingkai Strukturalisme Transendental (2001)
Budayadan Politik (2002)
(2002)
40 Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo, h. 16.
44
2. Karya-karya di bidang sastra
a. Naskah Drama
(1973)
c. Novel
Pasar (1972)
Impian Amerika (1997)
Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997)
Hampir Sebuah Subversi (1997)
B. Deskripsi Umum Novel Khotbah di Atas Bukit
1. Identitas Novel Khotbah di Atas Bukit
Khotbah di Atas Bukit merupakan sebuah karya fiksi yang ditulis
oleh
Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dalam harian Kompas sebagai
cerita
bersambung pada tahun 1971, kemudian terbit sebagai buku oleh
Pustaka Jaya
pada tahun 1976 dengan 146 halaman. Kemudian, Penerbit Bentang
Budaya
Yogyakarta melakukan 4 kali cetak ulang novel ini, yakni Juli 1996
(cetakan I),
Mei 1997 (cetakan II), September 1997 (cetakan III) dan September
2000
(cetakan IV)41. Sedangkan novel yang penulis pegang sebagai buku
utama dalam
penyusunan skripsi ini merupakan cetakan pertama pada September
2008 yang
diterbitkan oleh Penerbit Bentang Anggota IKAPI (PT. Bentang
Pustaka)
Yogyakarta dengan tebal iv + 198 halaman atau 20,5 cm.
2. Sinopsis Novel Khotbah di Atas Bukit
Khotbah di Atas Bukit mengisahkan kehidupan modern ditengah
hiruk-
pikuk materialistis-hedonis yang dipertentangkan dengan ketenangan
jiwa dalam
sepi pengasingan. Barman tua yang letih dalam kehidupan kota merasa
perlu
menyepi ke bukit bersama Popi muda cantik agar dapat menikmati sisa
hidup.
Akan tetapi pertemuannya dengan Humam menyebabkan Popi dan sisa
hidupnya
tak bermakna sama sekali. Dengan kalimat “Bunuhlah dirimu!” yang
diajarkan
Humam, Barman masuk pada kehidupan sunyi misterius.
41 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Khotbah di Atas Bukit
(1976)”
diakses pada Selasa, 25 Februari 2020 dari
Beberapa kritikus menggap novel ini sebagai representasi gagasan
filsafat
dan tasawuf. Dalam novel ini Kuntowijoyo mempertentangkan dua
kutub:
material dan spiritual, dunia fisik dan dunia batin, kota dan desa,
hiruk-pikuk dan
sepi dalam latar (waktu dan kultur) kehidupan manusia modern.
Budaya Jawa dan
Islam menjadi tekstur seluruh jalinan peristiwa dan tokoh-tokoh
novel tersebut.
Novel ini merupakan kritik tajam terhadap kehidupan modern yang
sesak dengan
sikap pragmatis-materialis.42
Barman adalah laki-laki tua pensiunan diplomat. Ia hidup
bersama
anaknya Bobi, sedang istrinya meninggal dunia sejak Bobi masih
kecil. Meskipun
kehidupan Barman selalu mewah, tetapi ia merasa kehidupannya
membosankan,
ditambah anak satu-satunya yang ia miliki telah beristri dan sibuk
dengan
keluarganya, hal itulah yang membuat kehidupan Barman terasa sepi
dan
membosankan.
dengan menyenangkan, Bobi mengusulkan Barman agar tinggal di sebuah
vila
miliknya dengan ditemani seorang perempuan cantik dan cerdas.
Pendamping
perempuan itu akan melayani Barman dengan baik, vila Barman
terletak di sebuah
bukit, usul itu sebenarnya tidak disetujui oleh Dosi istri Bobi
karena usia
mertuanya sudah cukup tua. Namun, demi kebahagiaan hidup mertuanya
Dosi
menyetujui usul Bobi tersebut.
Semua kebutuhan Barman untuk tinggal di vila telah disediakan,
Bobi
telah mengatur segalanya. Dengan itu, Bobi mengira bahwa ayahnya
akan hidup
Bahagia dan tinggal menikmati masa tuanya dan dapat menuntaskan
segala
42 Wan Anwar, Kuntowijoyo Menjejak Bumi, Menjangkau Langit, Majalah
Horison, Mei
2005, h. 27
kebutuhan yang ia miliki bersama Popi, perempuan pendamping
Barman.
Ternyata perkiraan itu keliru. Setelah beberapa hari tinggal di
vila yang ia miliki
di atas bukit, Barman mulai merasakan kebosanan. Ia berpikir bahwa
aktifitas dan
ketersediaan segala kebutuhannya itu tidak mampu membuat jiwanya
tenang dan
bahagia, Barman tak menemukan kebahagiaan puncak karenanya.
Awalnya
Barman berniat menyembunyikan apa yang ia rasakan kepada Popi
yang
cenderung akan menyakiti hati Popi. Popi yang cantik telah
melayaninya dengan
sangat baik. Sebenarnya Barman merasa kasihan kepada Popi karena
setiap kali
berhubungan badan dengannya, Barman selalu tidak berdaya, namun
Popi mampu
memendam hasrat batinnya dengan sangat baik. Namun Barman merasa
gelisah
karena ia selalu gagal menikmati hubungan pada malam-malamnya
bersama Popi.
Untuk menghilangkan kepenatan itu, Barman memilih berkeliling
bukit
dengan naik kuda. Dalam perjalanannya, Barman bertemu dengan
seorang laki-
laki tua. Laki-laki tua itu memiliki wajah yang hampir mirip dengan
Barman.
Lelaki tua itu bernama Humam. Selain itu, usia Humam tampaknya
hampir sama
dengan usia Barman. Humam mengaku kepada Barman sebagai penjaga
bukit, ia
mengatakan bahwa tinggal di kota sangat membosankan bagi dirinya,
sehingga ia
memilih tempat sepi seperti di bukit. Pertemuan Barman dengan Humam
hampir
terjadi setiap hari semenjak mereka bertemu, dari pergaulan itu
Barman
beranggapan bahwa Humam adalah sosok yang mengesankan yang sudah
tak
peduli dengan kehidupan duniawi. Ia tak mau terikat oleh berbagai
keinginan
duniawi, termasuk juga hasratnya kepada perempuan. Sikap Humam
yang
bertolak belakang dengan Barman ini menandakan bahwa Humam telah
mampu
48
menikmati hidup dengan penuh kebebasan dan merdeka, sementara
Barman masih
masih terbelenggu dengan berbagai kebutuhannya.43
Setiap pertemuan yang berlangsung dengan Humam seringkali
diisi
dengan percakapan-percakapan yang mengejutkan, tak terduga,
mengesankan,
sarat dengan pemikiran filosofis dan mendasar, dan hal ini ternyata
berpengaruh
terhadap diri Barman. Humam banyak mengajarkan banyak hal kepada
Barman,
salah satunya dalam percakapannya dengan Barman, ia menyuruh
untuk
meninggalkan segala apa yang dimiliki Barman, Humam menyebutkan apa
saja
yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu.44 Barman semakin
bingung,
setelah mendapatkan beberapa pelajaran dari Humam yang salah
satunya adalah
bahwa apapun yang menjadi milikmu adalah belenggu bagimu.45 Dari
sinilah
Barman mulai bingung dan merasakan banyak kegelisahan dalam
dirinya. Barman
merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya dan ia tak kunjung
menemukannya.
Humam meninggal dan Barman menjalankan ajaran Humam secara
misterius. Barman mendapat warisan rumah yang ditempati Humam dulu.
Ia
memutuskan untuk tinggal dirumah warisan Humam itu dan meninggalkan
Popi
sendirian di vila yang ia miliki. Barman senang dan bahagia hidup
di tempat
Humam. Pada saat itu pula, ia ingin juga berbagi kebahagiaan dengan
orang-orang
di pasar, dan pada suatu malam datanglah ia ke pasar tepatnya
dipemberhentian
bis, malam bermandikan cahaya, binar-binar lampu listrik berbaur
dengan cahaya
yang tumpah dari bulan, dibagian yang tak berlampu, bulan
menyelimuti malam,
menjadikannya kekuningan. Hidup sedang berhenti di stasiun ini,
pikir Barman
43 Erli Yetti, Religiusitas dalam Novel Sastra Indonesia; Studi
Kasus Khotbah Di Atas
Bukit Karya Kuntowijoyo, Jurnal Sawomanila, 2012, h. 58. 44
Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, (Yogyakarta: Penerbit Bentang
Anggota IKAPI,
2008), h. 64. 45 Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, h. 64.
49
ketika dia melihat truk yang teronggok di atas aspal. Ia ingin
berbicara dengan
seseorang di pasar, siapa-pun juga. Ada sesuatu yang mesti
dikatakannya. Hidup
dungu seperti ini adalah dosa, pikirnya. Orang-orang yang disiang
hari hilir mudik
dan melepaskan hidup siang hari tanpa mengambil kebijaksanaan. Itu
dosa
menurutnya.46
Dungu dalam hening malam. Kebekuan manusia adalah warna hidup
yang
terkutuk. Barmanpun berpikir, barang kali mereka sekarang sedang
melepaskan
diri dari kesibukan dan lupa bahwa mereka itu menderita, tetapi
bila mereka
terbangun, mereka akan kembali mengejar hidup, mengejar-ngejar
secara abadi.
Semacam mesin-mesin yang berputar tak henti-hentinya.47
Setiap ia bertemu dengan orang-orang yang sedang tertidur di
pinggir-
pinggir pasar itu, ia selalu bertanya, “Berbahagiakah engkau?
Berbahagiakah
engkau?” Setelah esok harinya pasar gempar, karena orang-orang
sama-sama
menceritakan mimpinya bertemu dengan lelaki tua berjubah putih
menunggangi
kuda sambil berbisik “Berbahagiakah engkau” dan akhirnya dari
banyaknya
percakapan yang ada, mereka berkesimpulan bahwa mereka tidak
benar-benar
bermimpi. Mendengar kebahagiaan itu mereka berbondong-bondong ke
rumah
Barman dan meminta kebahagiaan. Orang-orang pasar ini kemudian
merelakan
diri mereka untuk menjadi pengikut Barman dan menjadikannya
penunjuk jalan
menuju kebahagiaan.
Hingga suatu hari Barman mengajak para pengikutnya ini untuk
pergi
kepuncak bukit, sesampainya dibukit Barman menyampaikan khotbahnya
“Hidup
46 Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, h. 121. 47 Kuntowijoyo,
Khotbah di Atas Bukit, h. 122.
50
ini tidak berharga untuk dilanjutkan, bunuhlah dirimu”. Mendengar
itu semua
orang-orang ricuh, dan histeris menangis terisak sambil berkata
“kami menderita,
kami sengsara”. Mereka mengeluh, suara perempuan dan laki-laki
menjerit-jerit
melengking.48
Di tengah-tengah jeritan dan isakan tangis orang-orang itu tanpa
disadari
Barman telah tidak ada diantara mereka. Barman telah terjatuh
kebawah bukit
ditengah-tengah kabut yang begitu tebal. Terperosok bersamaan
dengan kuda
putih yang di tunggangnya.
Khotbah di Atas Bukit menceritakan Barman yang tua pergi ke
gunung
bersama seorang perempuan muda yang cantik bernama Popi yang
memang
disediakan oleh anaknya yang bernama Bobi untuk menemani dalam
menjalani
masa tua Barman. Apa yang kemudian terjadi? Hidup menampakkan
semua
rahasia melalui kisahnya, Sunyi mengajarkan banyak makna dan
perjalanan
Barman dalam mencari ketenangan hidup di atas bukit mampu
mengajaknya
berkenalan dengan hakikat hidup yang seharusnya, dan Barman
merasakan
perburuan spiritual yang indah karenanya. Khotbah laki-laki tua itu
di atas bukit,
dihadapan para pengagum dan para pengikutnya yaitu “bunuhlah
dirimu” dan
“hidup ini tidak perlu dilanjutkan lagi”. Kuntowijoyo
mengisahkannya dalam
novel tersebut dengan lembut dan penuh makna.
3. Khotbah di Atas Bukit Dalam Khazanah Kesusastraan
Indonesia
Novel Kuntowijoyo yang berjudul Khotbah di Atas Bukit ini
merupakan
karya yang patut di anggap berbeda dari karya sastra pada umumnya
di dalam
khazanah perkembangan sastra di Indonesia. Kuntowijoyo sendiri
sebagai penulis
48 Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, h. 175-176.
51
karya-karyanya terhadap masalah-masalah kerohanian tanpa meniadakan
kritik
sosial.49
Perwujudan estetik gagasan kuntowijoyo mengenai sastra
transedental
paling ketara dalam novel ini, melalui novel ini sastra benar-benar
disajikan
sebaga