33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia. Setelah Al- Qur’an selesai diturunkan, maka tidak akan ada lagi kitab suci yang diturunkan sesudahnya. Sebagai kitab suci terakhir, kaum Muslimin harus terus menjaga kesucian kitab ini sebagaimana layaknya menghormati sesuatu yang sangat berharga. Karena kitab suci ini diturunkan untuk menjadi kitab hidayah atau petunjuk bagi umat manusia, agar manusia bisa hidup selamat di dunia sampai akhirat. Penyepelean terhadap tugas ini akan membawa implikasi yang sangat serius baik bagi kehidupan kaum muslimin sendiri maupun bagi umat manusia secara keseluruhan. Jika kitab suci ini tercemar atau terkena perubahan oleh tangan-tangan manusia, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi alat pengukur kebenaran satu ideologi dan nilai-nilai kehidupan. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengontrol (muhaimin) bagi kehidupan keagamaan manusia masa lalu. Jika Al-Qur’an sudah tercemar atau 1

Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

Embed Size (px)

DESCRIPTION

i

Citation preview

Page 1: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat

manusia. Setelah Al-Qur’an selesai diturunkan, maka tidak akan ada lagi kitab

suci yang diturunkan sesudahnya. Sebagai kitab suci terakhir, kaum Muslimin

harus terus menjaga kesucian kitab ini sebagaimana layaknya menghormati

sesuatu yang sangat berharga. Karena kitab suci ini diturunkan untuk menjadi

kitab hidayah atau petunjuk bagi umat manusia, agar manusia bisa hidup selamat

di dunia sampai akhirat. Penyepelean terhadap tugas ini akan membawa implikasi

yang sangat serius baik bagi kehidupan kaum muslimin sendiri maupun bagi umat

manusia secara keseluruhan. Jika kitab suci ini tercemar atau terkena perubahan

oleh tangan-tangan manusia, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi alat pengukur

kebenaran satu ideologi dan nilai-nilai kehidupan.

Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengontrol

(muhaimin) bagi kehidupan keagamaan manusia masa lalu. Jika Al-Qur’an sudah

tercemar atau terkena perubahan, sudah tidak lagi kitab suci berfungsi sebagai alat

pengontrol. Ketiadaan alat ukur atau pengontrol ini akan menyebabkan hilangnya

kepercayaan masyarakat terhadap kitab suci. Manusia pada akhirnya akan

memilih jalan kehidupannya sendiri tanpa ada kontrol dari sumber kebenaran,

yaitu agama yang diridlai oleh Allah. Jika hal ini berlangsung lama, maka

kehidupan akan menunju kepada kehancuran. Padahal agama diturunkan oleh

Allah adalah untuk mengarahkan manusia menuju ke jalan yang benar.

Pengalaman kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelajaran yang sangat

berharga bagi kita sekalian. Orang Yahudi dan Nasrani telah kehilangan sumber

ajaran mereka yang asli, karena ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung

jawab, sehingga Kitab Taurat dan Injil tidak lagi asli sebagaimana yang

diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Ketidakaslian kedua kitab

1

Page 2: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

suci tersebut membawa dampak yang sangat serius dalam kehidupan keagamaan

kedua umat tersebut, antara lain adalah hambarnya hubungan antara kedua kitab

suci tersebut dengan kehidupan mereka.

Dengan demikian maka kaum Muslimin dituntut untuk terus menjaga

keaslian kitab suci Al-Qur’an dengan seluruh kemampuan yang ada, yaitu dengan

memperbanyak ahli Al-Qur’an yang selalu berkhidmat kepada Al-Qur’an, baik

dari segi redaksi, bacaan maupun penafsirannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Mushaf Alquran?

2. Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an?

3. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an?

4. Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an?

5. Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf?

6. Beberapa Terbitan Mushaf?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Mushaf Alquran

2. Untuk mengetahui Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an

3. Untuk mengetahui Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an

4. Untuk mengetahui Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an

5. Untuk mengetahui Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf

6. Untuk mengetahui Beberapa Terbitan Mushaf

2

Page 3: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mushaf Alquran

Kata Mushaf  atau Shuhuf  berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata

shuhuf  bentuk jamak dari shahifah yang berarti selembar bahan yang digunakan

untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah

tidak terjilid

Mushaf  al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat catatan tentang

ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan

dalam satu buku khusus.

Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan

tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf

merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal

secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik

baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan bacaan

dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya sesuai dengan

pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.

Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam.

Namun nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu

diseragamkan menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf

Utsmani. Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas

penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam

pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan

pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf

sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh

lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan

pemikiran.

3

Page 4: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

B. Keragaman Penulisan al-Qur’an

Catatan-catatan al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih berserakan

dikumpulkan oleh Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar Shiddiq.

Kumpulan catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu Bakar,

maka mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf tsb

disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.

Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak

masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai

mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing,

atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang

terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf

Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.

C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an

Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan

sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan

di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai

bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering

saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai

bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-

kelompok  dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing.

Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.

Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi

di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat.

Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat

fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari

kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru

menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama

terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di

4

Page 5: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam

atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam

peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang

membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa

atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.

Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada

Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan

membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu

riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn

Mas’ud yang menolaknya.

Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan

Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong

muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui

tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi

ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai

penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam

membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak

masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah

Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk

mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh

Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll

            Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2

atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar

yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini

dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang

berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibaka

5

Page 6: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

D. Penerbitan Al-Qur’an

Pada masa Nabi, Al-Qur’an telah ditulis keseluruhan oleh para sahabat

penulis wahyu. Namun masih berserakan di benda-benda yang bisa ditulis seperti

kulit binatang, pelepah kurma, batu-batu putih yang tipis, tulang-belulang, dan

lain sebagainya. Lalu pada masa Abu Bakar Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf

yang sudah berurutan ayat dan surahnya. Namun belum ada titik, harakat (baris),

nama surah, tanda waqaf, juz, hizb, rubu’, tsumun, tanda ayat sajadah, penomoran

ayat, tanda-tanda bacaan tertentu seperti isymam, imalah dan lain sebagainya.

Khat yang digunakan adalah khat Kufi yang kaku, sebagai kelanjutan dari khat

Nabthi sebagai pelanjut dari khatnya bangsa Smith, yaitu induk dari bangsa-

bangsa Arab, Israel dan lain sebagainya yang telah berkembang pada masa pra-

Islam.

Pada pertengahan abad pertama hijrah, terjadi perubahan pada penulisan

mushaf, yaitu digunakannya titik sebagai tanda baca seperti yang dilakukan oleh

Abul Aswad ad-Du’ali (w 69 H). Titik yang digunakan oleh Abul Aswad masih

terbatas pada akhir kalimat. Titik Abul Aswad ini akhirnya disempurnakan oleh

Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w 170 H) sebagaimana harakat yang ada sekarang

ini. Pada akhir abad pertama ada dua orang yang berjasa dalam memberikan tanda

titik untuk huruf-huruf yang sama tulisannya seperti huruf jim, ha’ dan kha’ dan

lain sebagainya. Dua orang tersebut yaitu Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi (w 89 H)

dan Yahya bin Ya’mur al-‘Udwani ( w 129 H).

Nashr bin ‘Ashim juga berjasa dalam membagi Al-Qur’an menjadi beberapa

bagian (juz). Namun demikian apa yang dilakukan Nashr masih sebatas teori,

tetapi belum dicantumkan dalam mushaf. Dari penelitian diketahui bahwa mushaf

yang ditulis pada abad pertama, mushaf al-Hasan al-Basri (w 110 H) begitu juga

mushaf-mushaf yang ditulis pada abad kedua dan ketiga hijri belum ada tanda

pembagian Al-Qur’an menjadi beberapa juz. Baru pada pertengahan abad

keempat hijri ditemukan mushaf yang sudah menggunakan teori Nashr bin

‘Ashim tersebut (lihat Ath-Thawil, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad Abdullah,

6

Page 7: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

Fann at-Tartil wa ‘Ulumuh, Madinah: Mujamma’ Malik Fahd, 1999 M/1420 H,

Jilid I, hal. 66)

Pada mulanya Al-Qur’an ditulis dengan khat Kufi, kemudian muncul khat

Tsulutsi dan kemudian khath Naskh. Dengan khath Naskh inilah Abu Ali bin

Muqlah menulis mushafnya, dari semenjak itu penulisan mushaf menggunakan

khat Naskh.

Jika pada mulanya Al-Qur’an ditulis pada kulit binatang, maka pada

permulaan abad kedua hijri mushaf ditulis di atas kertas. Lalu pada tahun 1431 M

muncul mesin cetak. Di kota Hamburg di Jerman Al-Qur’an dicetak pertama kali.

Lalu muncul mushaf cetakan Italia pada abad ke-16 M. Pada tahun 1308 H,

muncul mushaf cetakan Cairo yang ditekuni oleh Syekh Ridhwan bin Muhammad

al-Mukhallati. Dalam cetakan ini mushaf ditulis dengan Rasm Utsmani,

dicantumkan juga jumlah ayat pada masing-masing surah, tanda waqaf, tanda

baca, dan lain sebagainya. Lalu pada tahun 1337 H muncul mushaf cetakan

Kementerian Pendidikan (Wizaratul Ma’arif) Mesir, yang ditashih oleh para

ulama Al-Azhar. Pada tahun 1342 H, Raja Fuad I membentuk tim pentashih

mushaf dari ulama Al-Azhar. Pada tahun-tahun berikutnya Universitas Al-Azhar

membentuk tim sendiri untuk mengawal pencetakan Al-Qur’an.

Lalu pada tahun 1403 H berdiri Mujamma’ Malik Fahd di Madinah untuk

penerbitan Mushaf dalam skala besar. Pada tahun 1404 dibentuk tim pentashih

mushaf dengan 15 anggota yang terdiri dari ulama qira’at, tafsir, bahasa, fiqh, dan

lainnya. Dari Mujamma’ Malik Fahd inilah terbit mushaf Al-Qur’an dalam skala

massif dan dengan berbagai macam riwayat, seperti riwayat Hafsh, Duri, Abu

‘Amr, dan Warsy (ibid., hal. 69-70).

Akan halnya di Indonesia, pada mulanya para ulama masih menggunakan

tulisan tangan, kemudian datanglah mushaf dari luar negeri seperti dari India yang

dikenal dengan mushaf Bombay, dan Turki yang dikenal dengan mushaf

Bahriyah. Dari kedua mushaf inilah kaum muslimin di Indonesia membaca Al-

Qur’an. Kemudian pada dekade 1980-1990-an muncul mushaf-mushaf yang

7

Page 8: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri seperti Mushaf Istiqlal, Mushaf Sundawi,

Mushaf At-Tin, dan lain sebagainya.

E. Etika Penerbitan Mushaf

Pada bagian pertama dari tulisan ini penulis kemukakan tentang perlunya

kaum muslimin menjaga keaslian dan kehormatan mushaf, maka sebagai tindak

lanjutnya penulis akan kemukakan pokok-pokok dalam penerbitan mushaf.

Namun sebelum itu penulis ingin mengemukakan bahwa jika penerbit akan

menerbitkan mushaf, maka pertanyaannya adalah: apakah penerbit tersebut akan

menerbitkan mushaf yang sudah ada dan sudah mendapatkan pengesahan dari

sebuah lembaga yang berkompeten atau akan menerbitkan mushaf yang baru

sama sekali? Jika menerbitkan mushaf yang sudah ada, maka tidak banyak yang

dilakukan kecuali hanya meminta pengesahan baru dari lembaga yang

berkompeten. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa penerbit di India di mana

mereka kebanyakan mengkopi dari mushaf yang sudah ada. Begitu juga di Turki,

Syria, Mesir, dan lainnya.

Di Turki, mereka menggunakan mushaf terbitan “Bahriyah” (percetakan

Angkatan Laut Turki). Diduga kuat bahwa mushaf terbitan “Menara Kudus”

adalah copy dari mushaf Bahriyah Turki. Di Siria, Iran, Sudan, dan Saudi saat ini,

penerbitannya mengacu pada khat karya Usman Thaha. Hanya saja pada

penerbitan Madinah ada sedikit perubahan menyangkut waqaf dan lainnya. Di

Mesir, mereka lebih cenderung menerbitkan mushaf hasil kerja Syekh Ridhwan

al-Mukhallati.         

Jika yang akan dilakukan oleh penerbit adalah menerbitkan mushaf yang baru

sama sekali, maka beberapa pokok persoalan yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Pertama: Rasm

Menurut jumhur ulama, mushaf Al-Qur’an harus ditulis dengan rasm

usmani. Persoalan ini memang diperselisihkan oleh ulama. Ada yang

mengatakan bahwa penulisan Al-Qur’an adalah tawqifi, yaitu menuliskan dan

8

Page 9: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

meniru apa adanya dari gaya tulisan yang ditulis pada masa sahabat Usman

bin Affan. Ada juga yang berpendapat bahwa menulis mushaf tidak mesti

dengan rasm usmani, tetapi boleh juga dengan rasm imla’i. Semuanya

mempunyai alasannya masing masing. Imam Malik dan lainnya termasuk

orang mengharuskan penulisan Al-Qur’an dengan rasm pertama (al-katbah al-

ula) (lihat As-Sayuthi, Al-Itqan, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 167). Fatwa ulama

Al-Azhar pada tahun 1355 H mengaruskan pemakaian rasm usmani pada

setiap penerbitan mushaf (lihat Al-Hamd, Ghanim Qadduri, Rasm Al-Mushaf,

Baghdad, 1982, hal. 609).

Hemat penulis, jika Al-Qur’an ditulis untuk buku pelajaran, tafsir, di

majalah dan lainnya yang bukan berupa mushaf, bisa menggunakan rasm

imla’i atau istilahi. Namun jika ditulis di mushaf, lebih diutamakan memakai

rasm usmani. Hal ini karena beberapa pertimbangan, antara lain:

a. Demi menjaga keaslian, keotentikan dan kemurnian Al-Qur’an. Jika

ditulis dengan rasm imla’i, akan terjadi perubahan terus-menerus.

b. Bacaan (qira’at) yang sah adalah jika qira’at tersebut mengikuti rasm

usmani, baik secara hakiki atau masih mirip.

c. Mushaf yang ditulis dengan rasm usmani masih menyimpan bacaan-

bacaan lain yang juga mutawatir. Jika ditulis dengan rasm imla’i, bacaan-

bacaan lain tidak tertampung lagi.

d. Dengan rasm usmani maka terjadi hubungan emosional antara kita dengan

generasi awal, karena seakan-akan kita membaca mushaf para sahabat.

e. Rasm usmani merupakan khazanah intelektual dan khazanah budaya yang

sangat mahal untuk ditinggalkan. Dengan rasm usmani kita bisa melihat

sejarah tulisan pada generasi awal dan sejarah penulisan Al-Qur’an pada

masa itu. Hal ini bisa dijadikan lahan penelitian yang sangat berharga.

Jika sudah ditetapkan penulisannya dengan rasm usmani, maka yang

harus diperhatikan adalah rasm usmani menurut riwayat siapa? Apakah

riwayat Abu ‘Amr ad-Dani atau Abu Dawud Sulaiman bin Najah? Atau

9

Page 10: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

mengacu kepada kesepakatan keduanya? Sebab ada banyak perbedaan di

antara keduanya. Contoh yang konkret adalah mushaf Jamahiriyyah yang

dicetak pada masa pemerintahan Mu’ammar al-Qadzdzafi menggunakan

riwayat Qalun dari segi bacaan dan menggunakan riwayat ad-Dani dari segi

rasm usmani-nya. Sementara mushaf riwayat Hafsh cetakan Mujamma’ Malik

Fahd di Madinah menggunakan rasm usmani dengan mengacu kepada

kesepakatan keduanya dan menarjihkan riwayat Abu Dawud pada banyak

tempat.

2. Kedua: Tidak mencampuradukkan antara ayat Al-Qur’an dengan bukan ayat

Al-Qur’an.

Sebagaimana diketahui, pada saat awal Al-Qur’an diturunkan, Nabi

melarang para sahabatnya menulis sesuatu selain Al-Qur’an melalui

sabdanya:

الرسول ( أحاديث في األصول )32/ 8جامع

 : [ ص - -: الله رسول� �َّن� أ عنه الله رضي الخدري سعيد :33أبو - قال[ - وسلم عليه الله صلى

: القرآَّن» - غير عني كتب ومن ، عني تكتبوا ال قال رواية وفي القرآَّن غير عني 5بوا تكت ال

]: : [ - ، م5تعِّم6دا قال أحسبه هِّمام قال علي� كذب ومن ، ج ح�ر� وال عني وح�د6ثوا �ِّم@ُح5ه @ي ف�ل

. .» مسلم �خرجه أ النار من مقعده @ �و�أ �ب �ت @ي ف�ل

Artinya: Janganlah kamu menulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an.

Barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an, hapuskanlah.

Pada saat Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an, baik pada masa Abu Bakar

atau masa Usman, beliau dan teman-temannya sangat hati-hati dalam menulis

Al-Qur’an. Bacaan yang telah dinasakh tidak akan dimasukkan, karena bacaan

yang dinasakh tidak lagi disebut Al-Qur’an. Memasukkan sesuatu yang bukan

Al-Qur’an ke dalam Al-Qur’an akan membawa konsekuensi tersendiri. Atas

dasar ini juga para ulama generasi pertama tidak menyetujui adanya tanda-

tanda selain ayat Al-Qur’an itu sendiri, seperti pemberian tanda pada setiap

10

Page 11: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

sepuluh ayat (ta’syir), tanda titik (nuqath), penamaan surah, dan lain

sebagainya. Sahabat Ibnu Mas’ud pernah berkata:

: الله كالم � إال E شيئا فيه تكتبوا ال القرآَّن، دوا جر6 قال مسعود، ابن عن وي ور5

ص " " الِّمصاحف في داود أبي ابن عن 155 - 154أخرجه كهيل، بن سلِّمة عن طرق من

" " : : ومنها ، منه ليس ما به تلبسوا وال القرآَّن، جردوا الله عبد قال قال الزعراء أبي

" : " " وال: القرآَّن جردوا بلفظ وآخر ، فيه ليس ما به تخلطوا وال القرآَّن جردوا بلفظ

." E شيئا به تلبسوا

Artinya: Janganlah mencampuradukkan Al-Qur’an dengan yang

bukan Al-Qur’an. Berkata lagi: sendirikanlah Al-Qur’an

Abu Ruzain memberikan alasan tentang penulisan komentar pada awal

surah bahwa surah ini dimulai dengan ayat ini dan diakhiri dengan ayat ini.

Aku khawatir ada orang yang menganggap bahwa tulisan tersebut juga berasal

dari langit. (Lihat Ibn Abi Dawud, dalam Al-Mashahif, Kairo: Muassasah

Qurthubah, hal. 138).

Akan halnya dengan tafsir, maka seorang mufasir bisa saja ‘menyelang-

nyelingi’ ayat dengan penafsirannya sebagaimana yang kita lihat dalam tafsir

Al-Jalalain. Jika demikian maka ayat-ayat Al-Qur’an harus dibedakan dengan

tafsir, misalnya dengan memberikan tanda kurung terhadap ayat-ayat Al-

Qur’an.

3. Ketiga: Qira’at

Menulis Al-Qur’an harus mengikuti riwayat bacaan (qira’at) yang

mutawatir seperti qira’at tujuh dan sepuluh. Kemudian tentukan juga

riwayatnya, seperti Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh, atau Qira’at Nafi’ riwayat

Qalun. Untuk bisa menulis Al-Qur’an dengan riwayat yang mutawatir harus

memperhatikan kaidah pada bacaan imam qira’at yang menjadi acuannya.

Hal ini mau tidak mau harus merujuk kepada kitab-kitab qira’at yang

mu’tabarah, seperti an-Nasyr, asy-Syathibiyyah, al-Buduraz-Zahirah dan

lain sebagainya.

11

Page 12: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

4. Keempat: Penomoran ayat

Jika telah ditentukan satu riwayat, maka konsekuensi lainnya adalah

penomoran ayat harus mengacu kepada riwayat tersebut. Misalnya riwayat

Hafsh dari ‘Ashim sebagaimana yang berlaku saat ini. Jumlah ayat dalam Al-

Qur’an dalam riwayat ini adalah 5236 ayat sesuai dengan penghitungan

ulama Kufah. Jika dengan riwayat Warsy atau Qalun keduanya dari Imam

Nafi’, maka jumlah ayatnya adalah 6217 atau 6214 menurut penghitungan

ulama Madinah. Jika akan menulis mushaf riwayat lainya maka juga harus

mengikuti cara penghitungan ayat pada riwayat tersebut, yaitu cara

penghitungan Basri, Syami, Makki.

5. Kelima: Tanda Baca

Sebaiknya menggunakan tanda baca yang sudah masyhur di kalangan

masyarakat seperti baris kasrah, dhammah, fathah dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan tanda baca lainnya seperti idgham bighunnah, iqlab,

ikhfa’ dan lainnya. Dalam catatan penulis ada perbedaan antara penulisan

tanda baca antara mushaf Bombay, mushaf Bahriyah, dan mushaf Mesir.

Mushaf Mesir yang bermula ditangani oleh Syekh Ridhwan al-Mukhallati

menjadi acuan bagi mushaf terbitan Mesir, Syria, dan Saudi Arabia.

Sementara tanda-tanda baca yang ada pada mushaf Bombay dan mushaf

Bahriyah digunakan oleh Mushaf Standar Indonesia. Pada hemat penulis,

mengingat tanda baca adalah bukan bagian dari rasm usmani, tetapi hasil

ijtihad dari para ulama setelah masa sahabat, maka hal itu sah-sah saja untuk

digunakan.

6. Keenam: Tanda Waqaf

Penggunaan tanda-tanda waqaf juga perlu diperhatikan. Ada banyak

perbedaan antara tanda waqaf pada mushaf Bahriyah dan mushaf Bombay

dan mushaf terbitan Mesir, Syria dan Madinah. Tanda waqaf yang banyak

digunakan adalah sebagai berikut:

الالزم: الِّمد م

12

Page 13: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

اولى: الوصل صلى

اولى: الوقف قلى

الجائز: الوقف ج

الفاصلة: عند اال الِّمِّمنوع الوقف عالمة ال

: الِّمعانقة وقف عالمة

7. Ketujuh: Tanda juz, hizb, ruku’, tanda sajdah, imalah, saktah, tashil.

Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an dibagi menjadi 30 juz. Setiap juz

terbagi menjadi 2 hizb. Dan setiap hizb terbagi menjadi 4 bagian. Dengan

demikian setiap juz terbagi menjadi 8 bagian. Pada setiap mushaf, awal juz

selalu berada di halaman kiri paling atas.

Sementara tanda sajdah diberikan pada 15 tempat (al-A’raf: 206, ar-

Ra’ad:15, an-Nahl: 50, al-Isra’: 106, Maryam: 58, al-Hajj: 18, al-Furqan: 60,

an-Naml: 26, as-Sajdah: 15, Shad: 410, Fussilat: 38, an-Najm: 62, al-

Insyiqaq:21, dan al-‘Alaq: 19). Inilah yang digunakan dalam mushaf standar

Kementerian Agama. Ada lima tempat yang diperselisihkan para ulama, yaitu

sajdah kedua pada Surah al-Hajj: 77. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah

bukan tempat sujud, menurut Imam Syafi’i dan lainnya merupakan tempat

sujud). Dalam Surah Shad, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah ada sujud,

menurut Imam Syafi’i tidak ada sujud). Surah an-Najm, al-Insyiqaq dan

al-‘Alaq, menurut Imam Malik bukan tempat sujud, menurut Imam Syafi’i,

Abu Hanifah merupakan tempat sujud.

Tanda imalah pada riwayat Hafsh ada pada satu tempat saja (Hud:41).

Tanda saktah pada riwayat Hafsh ada pada empat tempat (Kahf: 1, Yasin: 52,

al-Qiyamah: 27, al-Mutahffifin: 14). Tanda tashil ‘baina baina’ ditaruh pada

Surah Fushshilat: 44.

8. Kedelapan: Khat

Khat yang digunakan hendaklah memakai khat Naskh, karena inilah

khat yang sangat masyhur dalam penulisan mushaf. Huruf-hurufnya terang

13

Page 14: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

dan mudah dibaca oleh orang awam. Al-Wazir Ibn Muqlah adalah orang

yang pertama menulis mushaf dengan khat Naskh, kemudian diikuti oleh Ibn

al-Bawwab (w 413 H) dan Yaqut al-Musta’shimi (w 698 H). Ketiganya bisa

dikatakan guru dari penulis khat Naskh pada periode berikutnya.

9. Kesembilan: Penulis mushaf

Penulis mushaf, di samping mempunyai keahlian dalam bidang seni

kaligrafi, seharusnya juga mempunyai dasar-dasar ilmu rasm usmani, ilmu

tajwid, ilmu qira’at, ilmu tafsir, waqf dan ibtida’, dan ulumul Qur’an pada

umumnya. Diutamakan adalah mereka yang hapal Al-Qur’an.

10. Kesepuluh: Pemeriksaan ulang

Al-Qur’an yang sudah ditulis hendaknya diperiksa kembali secara

berulang-ulang oleh tim ahli agar jangan sampai terjadi kesalahan walaupun

sedikit, sehingga pada saat diterbitkan sudah tidak ada lagi satu kesalahan

pun. Teknik pemeriksaan bisa berbeda antara satu negara dengan negara

lainnya. Kalau di Indonesia ditangani oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur’an yang selalu bersidang secara berkala untuk memeriksa mushaf yang

akan diterbitkan di Indonesia. Sementara di Mujamma’ Malik Fahd di

Madinah, naskah yang akan dijadikan master diteliti oleh tim senior yang

terdiri dari masyayikh ahli qira’at, tafsir dan spesialis lain yang dibutuhkan.

Mereka bersidang secara berkala. Naskah yang sudah ditashih oleh satu orang

diserahkan kepada anggota lain untuk ditashih secara bergiliran, sampai

beberapa kali. Setelah mendapatkan persetujuan, pada saat setelah mushaf

naik cetak, masih ada lagi tim yunior yang akan melihat kesahihan halaman,

sebelum akhirnya dibubuhi stempel yang bernomor oleh pemeriksa yang

bersangkutan. Agar jika terjadi kesalahan, pemberi stempel itulah yang

bertanggung jawab.

F. Beberapa Terbitan Mushaf

14

Page 15: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

Dalam pengamatan penulis, penerbitan mushaf Al-Qur’an mengalami

kemajuan yang cukup signifikan pada dekade ini. Apalagi dengan teknologi

komputer saat ini. Ada beberapa penerbitan mushaf yang beredar yang akan

penulis kemukakan di sini, yaitu:

1. Mushaf Tajwid

Mushaf ini diterbitkan pertama kali oleh Islamic Book Sevice, New

Delhi, pada tahun 2002, dan terus mengalami cetak ulang. Di Indonesia

mushaf ini dipublikasikan oleh Lautan Lestari. Dalam mushaf ini penerbit

menggunakan warna-warna tertentu untuk menandai satu bacaan. Seperti

bacaan ikhfa’ dengan warna biru muda, qalqalah dengan merah tua, idgham

bighunnah dengan biru muda, dan lain sebagainya. Mushaf terbitan ini tidak

ada masalah, karena tidak ada tanda baru kecuali pewarnaan bacaan yang

ada. Hal ini untuk mempermudah bacaan bagi pemula.

2. Mushaf Tahajjud

Mushaf ini ditulis untuk mereka yang ingin membaca Al-Qur’an pada

salat tahajjud. Setiap pojoknya ada tanda akhir ayat, sehingga memungkinkan

mengakhiri bacaan pada akhir ayat kemudian rukuk. Biasanya mushaf ini

formatnya agak besar dan diletakkan di depan imam dan bisa dibaca secara

langsung.

3. Mushaf Alifi dan Mushaf Wawi

Kedua mushaf ini ditulis oleh orang India yang memulai setiap

barisnya dengan huruf alif atau waw. Ciri tulisannya seperti mushaf-mushaf

India lainnya. Mushaf ini bisa menjadi kemukjizatan lain dari Al-Qur’an.

4. Mushaf dengan huruf Lati

Menulis mushaf dengan huruf Latin diperselisihkan di antara ulama.

Banyak yang melarangnya, karena bisa mengacaukan bacaan. Namun ada

juga yang membolehkan jika teks Arabnya masih disertakan. Di antara

mushaf model ini yang terbit di Indonesia mencantumkan juga arti setiap

kosakatanya dalam bahasa Indonesia.

15

Page 16: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

5. Mushaf dengan terjemah

Mushaf dengan terjemah sudah banyak dilakukan oleh kaum muslimin

di seluruh dunia. Penulisan mushaf masih menggunakan tulisan Arab baik

dengan rasm usmani atau imla’i. Mushaf ini banyak membantu pembaca

mengetahui arti kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.

6. Mushaf dengan tafsir

Mushaf ini sudah banyak diterbitkan di Syria dan Mesir. Mushaf yang

di pinggirnya ada tafsir dilakukan oleh Ustadz Na’im al-Himshi dari Syria.

Ada juga yang menggunakan ikhtisar dari Tafsir ath-Thabari, atau Tafsir al-

Jalalain dan lain sebagainya. Kadangkala juga dirangkai dengan kitab

Asbabun-Nuzul karya Al-Wahidi an-Naisaburi.

7. Mushaf dengan makna Jawa gandul (jenggotan)

Mushaf ini judulnya Al-Qur’an Al-Karim, Tamba Ati. Makna Jawanya

dengan tulisan Arab pegon dikerjakan oleh Mifathul Huda Jr dari Kediri.

Mushaf ini ditulis untuk kalangan santri yang terbiasa memaknai satu

ungkapan dalam kitab kuning. Oleh karena itu pada halaman depan ditulis

juga فسانترين على maksudnya mushaf dengan makna عنى ala pesantren.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Diterbitkan pertama kali pada

tahun 2002. Bagi kalangan pesantren mushaf ini bisa menolong dalam

membaca Al-Qur’an disertai makna Jawanya.

8. Mushaf untuk anak-anak (I Love My Al-Qur’an)

Mushaf ini terbitan Pelangi Mizan, Bandung. Mushafnya

menggunakan ayat pojok. Ada isyarat bacaan dengan tajwid seperti bacaan

dengung dengan huruf berwarna hijau. Hanya saja di pinggirnya ada

komentar terhadap ayat-ayat yang ada secara global. Setiap ayat dikomentari

dengan memberi judul lalu disertai ungkapan, misalnya, hikmah ayat: 58-59.

Semuanya dikemas dengan bahasa anak-anak, gampang dicerna, disertai

16

Page 17: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

dengan ilustrasi untuk membantu pemahaman. Ada terjemahan kata dengan

bahasa Indonesia dan Inggris disertai dengan gambarnya. Contohnya, kata

diartikan dengan they grieve, mereka bersedih hati. Ada gambar tiga يُحزنوَّن

orang yang bercucur air mata. Kata: diartikan dengan بقرة a cow, seekor

sapi, lalu ada gambar sapi. Ada juga rubrik “Kamu Perlu Tahu”, “Lihat

Juga”, “Untuk Ayah-Ibu”, “Rambu Baca”, dan “Peta”. Buku ini terbit dalam

15 jilid, setiap jilid terdiri dari 2 juz yang memiliki warna berbeda. Dilihat

dari penampilannya, karya ini cukup inovatif karena selama ini terjemahan

atau penafsiran hanya ditujukan untuk orang dewasa dan dengan bahasa

orang dewasa. Mushaf ini khusus dirancang untuk anak anak. Ini adalah

terobosan yang sebelumnya belum ada di Indonesia.

17

Page 18: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaum muslimin ditantang untuk mensosialisasikan Al-Qur’an kepada

masyarakat dengan berbagai macam cara dan metode, bagaimana agar Al-Qur’an

bisa sampai kepada masyarakat, dimulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas.

Namun demikian, nilai kesucian dan sakralitas Al-Qur’an harus tetap

dipertahankan agar wibawanya dan sentuhannya bisa merasuk ke dalam hati para

pembacanya.

Terhadap mushaf model ini penulis mempunyai pendapat sebagai berikut.

Pertama, jika di pinggirnya tidak ada lukisan, tetapi cukup mencantumkan

penafsirannya saja, atau untaian hikmahnya saja tidak menjadi soal, karena seperti

Al-Qur’an terjemah. Meskipun demikian, penafsirannya harus ditelaah oleh tim

ahli. Kedua, jika mushafnya dipisahkan dari komentar yang ada gambarnya, hal

itu juga tidak menjadi masalah. Ketiga, jika tetap sebagaimana yang ada, yaitu

mushafnya di tengah sedangkan gambarnya di pinggir maka ada catatan,

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kesalahan dan

kekhilafan, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan dari para pembaca

berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi acuan

kami kedepan dalam membuat makalah.

18

Page 19: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Puji syukur kehadiran Allah swt, yang telah melimpahkan petunjuk,

binbingan dan kuatan jepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan baikdan

berjalan lancar sesuai dengan dengan yang harapkkan. Salawat dan salam semoga

dilimpahkan oleh -Nya kepada junjungan kita Nabi besar muhammad saw, para

sahabat dan pengikutnya yang setia sepannjang zaman, dan semoga kita

mendapatkan syapaatnya di yaumil Akhir Amir...

Mungkin juga dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kesalahan yang

ataupun yang tidak disengaja kami mengucapkan naaf yang sedalam-dalamnya, Akhir

kata ocapkan terima kasih.

Bengkulu, Mei 2014

Penulis

19

Page 20: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ...........................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................1

C. Tujuan........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Mushaf Alquran ......................................................3

B. Keragaman Penulisan al-Qur’an ...............................................4

C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an ...................4

D. Penerbitan Al-Qur’an ................................................................5

E. Etika Penerbitan Mushaf ...........................................................8

F. Beberapa Terbitan Mushaf ........................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................14

B. Saran..........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

20

i

Page 21: Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit

al-Ahali, 1991)

Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980)

nomor  hadis 1354.

Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001)

Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz I, h.

157, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, juz II

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz VI, h. 225, Ibn Katsir al-

Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz I, h. 261, al-Suyuthi, al-Itqan ..., juz I, h. 58, dan

Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an,

Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf  (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz I, h. 255, al-Suyuthi,

al-Itqan, Opcit, juz I,

Abu Dawud, Mashahif  Sajistan,  hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi

Makrifat, Op Cit,

21

ii