97
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini banyak sekali berbagai macam penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh profesional konstruksi sehingga banyak merugikan konsumen. Mulai dari kolusi, penipuan serta mutu produk konstruksi yang tidak memenuhi standar. Sebagian besar konsumen merasa tidak puas dengan hasil kinerja para profesional konstruksi. Hal ini mendorong beberapa peneliti dan organisasi konstruksi di dunia untuk melakukan survey. Sehingga dari hasil survey tersebut dibuat beberapa peraturan/ kode etik untuk mengurangi keluhan ketidak puasan konsumen terhadap hasil produk konstruksi. Konstruksi merupakan industri yang hasil produksinya digunakan oleh banyak orang. Dimana 1

ETIKA PROFESI 11

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Selama ini banyak sekali berbagai macam penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh profesional konstruksi sehingga banyak merugikan konsumen. Mulai dari kolusi, penipuan serta mutu produk konstruksi yang tidak memenuhi standar. Sebagian besar konsumen merasa tidak puas dengan hasil kinerja para profesional konstruksi. Hal ini mendorong beberapa peneliti dan organisasi konstruksi di dunia untuk melakukan survey. Sehingga dari hasil survey tersebut dibuat beberapa peraturan/ kode etik untuk mengurangi keluhan ketidak puasan konsumen terhadap hasil produk konstruksi. Konstruksi merupakan industri yang hasil produksinya digunakan oleh banyak orang. Dimana industri konstruksi sangat berhubungan dengan kepuasan dan keselamatan banyak orang. Profesi berasal dari bahasa latin Proffesio yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan apa saja dan siapa saja untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.

1

1.2. Rumusan Masalah Dalam makalah ini akan dibahas mengenai berbagai macam pelanggaran etika profesi berdasarkan hasil survey yang dilakukan beberapa organ yang dilakukan.

1.3. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini antara lain : Menjelaskan pengertian kode etik dalam bekerja. Menjelaskan alasan dibuatnya kode etik profesi dalam industri konstruksi. Menjelaskan Etika Profesi Guru Menjelaskan Etika Profesi PNS

2

BAB II PEMBAHASAN

A. ETIKA PROFESI PROFESIONAL DAN KONSTRUKSI 2.1.Pengertian Konstruksi Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam sebuah bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan infrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area. Walaupun kegiatan konstruksi dikenal sebagai satu pekerjaan, tetapi dalam kenyataannya konstruksi merupakan satuan kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan lain yang berbeda. Pada umumnya kegiatan konstruksi diawasi oleh manajer proyek, insinyur disain, atau arsitek proyek. Orang-orang ini bekerja di dalam kantor, sedangkan pengawasan lapangan biasanya diserahkan kepada mandor proyek yang mengawasi buruh bangunan, tukang kayu, dan ahli bangunan lainnya untuk menyelesaikan fisik sebuah konstruksi. Dalam melakukan suatu konstruksi biasanya dilakukan sebuah perencanaan terpadu. Hal ini terkait dengan metode penentuan besarnya biaya yang diperlukan, rancangbangun, dan efek lain yang akan terjadi saat pekerjaan konstruksi dilakukan. Sebuah jadwal perencanaan yang baik akan menentukan suksesnya sebuah pembangunan terkait dengan pendanaan, dampak lingkungan, keamanan lingkungan konstruksi, ketersediaan material bangunan, logistik, ketidaknyamanan publik terkait dengan adanya penundaan pekerjaan konstruksi, persiapan dokumen dan tender, dan lain sebagainya.

3

2.2. Etika Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidahkaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini : 1. Drs. O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. 2. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. 3. Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika member manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini

4

dapatdibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia : 1. Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil. 2. Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi : 1. Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori. 2. Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya

5

mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian : 1. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. 2. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

6

Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut : 1. Sikap terhadap sesama 2. Etika keluarga 3. Etika profesi 4. Etika politik 5. Etika lingkungan 6. Etika idiologi

Sistem Penilaian Etika : 1. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. 2. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita,niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata. 3. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat : a. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati, niat.

7

b. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti. c. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa Etika Profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi : 1. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik. 2. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik. 3. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik. 4. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

2.3. Profesi Harus kita ingat dan fahami betul bahwa Pekerjaan / Profesi dan Profesional terdapat beberapa perbedaan : 1. Profesi : a. Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus. b. Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu). c. Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup. d. Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.

8

2. Profesional : a. Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya. b. Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu. c. Hidup dari situ. d. Bangga akan pekerjaannya.

Ciri- Ciri Profesi Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu: 1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun. 2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi. 3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat. 4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus. 5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas ratarata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat

9

berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik. Profesi selalu dikaitkan dengan gagasan 'layanan'. Dengan demikian, profesi telah digambarkan sebagai sekelompok orang terorganisir untuk melayani tubuh khusus pengetahuan dalam kepentingan masyarakat (Appelbaum & Lawton, 1990: p4). Demikian pula, Whitbeck (1998: p74) menegaskan bahwa profesi adalah "pekerjaan yang baik memerlukan studi lanjutan dan penguasaan tubuh khusus pengetahuan dan melakukan untuk mempromosikan, menjamin atau menjaga beberapa hal yang secara signifikan mempengaruhi 'kesejahteraan orang lain ". Tanggung jawabnya telah banyak digambarkan sebagai termasuk kepuasan "kebutuhan sosial sangat diperlukan dan bermanfaat" (Johnson, 1991: p63- 64); dan tujuan pelayanan kepada publik (Murdock dan Hughes, 1996, dikutip dalam Fryer, 1997:p31). Seorang profesional beroperasi di dunia orang-orang dengan siapa mereka bekerja, rekan dan spesialis lain, dan orang-orang yang mereka layani, seperti klien mereka dan publik (Pressman, 1997: p10) - hubungan yang telah disebut sebagai "konsensus dan fidusia "(Pressman, (1997). Profesional tidak dibebaskan dari perilaku etis yang umum - seperti, kewajiban, tugas dan tanggung jawab - yang mengikat orang-orang biasa (Johnson, 1991:p131) dan biasanya terikat oleh seperangkat prinsip, sikap atau jenis karakter disposisi yang mengontrol cara profesi dipraktekkan Hal ini telah disebut dan kekhawatiran potensi masalah menghadapi anggota profesi atau

10

kelompok dan dampaknya terhadap masyarakat (Johnson, 1991:p132) dengan implikasi bahwa keadilan harus dikaitkan tidak hanya untuk klien tapi juga rekanrekan dan publik (Johnson, 1991: p117). Salah satu aspek penting adalah bahwa konflik kepentingan, didefinisikan sebagai bunga yang, jika diikuti, bisa tetap profesional dari pertemuan salah satu kewajiban mereka (Coleman, 1998: P34). Lain adalah profesional yang tepat yang relevan disebut sebagai "Hak Penolakan nurani" yang merupakan hak karyawan untuk menolak untuk mengambil bagian dalam tidak etis melakukan ketika dipaksa untuk melakukannya oleh majikan. Hal ini dapat terjadi dalam pekerjaan atau non-kerja situasi dan mungkin tidak perlu melibatkan melanggar hukum (Whitbeck (1998: P51). Penolakan nurani dapat dilakukan dengan baik hanya tidak berpartisipasi dalam kegiatan yang satu melihat sebagai tidak bermoral, atau mungkin dilakukan dengan harapan membuat protes publik yang akan menarik perhatian pada situasi yang orang percaya yang salah (Whitbeck, 1998). Profesi yang berbeda, bagaimanapun, memiliki reputasi yang berbeda sepanjang etika perilaku yang bersangkutan. Dalam sebuah survei pendapat terbaru umum, misalnya, arsitek dinilai unggul dalam perilaku etis untuk pengacara, beberapa dokter dan hampir semua pengusaha, dengan para ulama berada di peringkat tertinggi Pengacara, tampaknya, diharapkan untuk memprioritaskan kewajiban mereka untuk klien atas kewajiban mereka kepada publik bahkan jika klien mereka bersalah melakukan kejahatan, terlepas dari bagaimana keji kejahatan (Johnson, 1991).

11

2.4. Kode Etik Profesi Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sangsi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum. Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Prinsip- Prinsip Etika Profesi : 1. Tanggung jawab a. Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya. b. Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya. 2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. 3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya. Tujuan Kode Etik Profesi : 1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. 2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota. 3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

12

4. Untuk meningkatkan mutu profesi. 5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. 7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. 8. Menentukan baku standarnya sendiri. Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah : 1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. 2. 3. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang. Proyek konstruksi telah dikritik karena kurang mencapai dalam hal kepuasan klien mengenai layanan yang diberikan oleh anggota tim

konstruksi.Proyek kurang menghormati hal ini yang kemungkinan akan menghasilkan kinerja buruk profesional konstruksi. Federasi survei pada tahun 1997, misalnya, telah menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga klien tidak puas dengan kinerja kontraktor dan konsultan. Selanjutnya, klien juga tidak puas dengan kinerja arsitek. Oleh karena itu, evaluasi kinerja pembangunanpada proyek-proyek penting. Ada banyak penelitian tentang konstruksi, dengan fokus pada aspek yang berbeda dari pengaruh mereka terhadap kinerja proyek. Ini mencakup evaluasi kinerja kontraktor, menyelidiki kebutuhan klien selama proses pembangunan, membahas peran arsitek dan mengidentifikasi keterampilan inti

13

untuk surveyor. Namun, ada kurangnya penelitian membahas isu-isu etika profesi konstruksi. Etika merupakan masalah penting bagi para profesional Sebuah profesi sebagian besar melayani kebutuhan publik. Profesi hanya bisa bertahan jika publik masih memiliki keyakinan padanya. Bagi sebuah profesi untuk mendapatkan kepercayaan publik tergantung pada dua elemen penting, yaitu pengetahuan profesional dan perilaku etis. Oleh karena itu, biaya ketidaktahuan tentang etika berpotensi sangat tinggi. Selain dari mempengaruhi pada profesional sendiri, juga dapat memberi dampak yang signifikan pada kualitas layanan yang disediakan dan juga pada persepsi publik dan citra profesi. Menurut penelitian yang dilakukan di Hong Kong, kesalahan antara praktisi konstruksi telah menyebabkan citra industri memberikan standar pekerjaan yang buruk dan banyaknya malpraktek. Para pelanggar etika konstruksi seperti praktisi dan profesional telah menyebabkan perhatian pemerintah dan kepedulian. Sebuah tingkat kinerja serta etika yang tinggi menunjukkan tingkat kinerja yang profesional dan karenanya, tingkat ketidakpuasan dari klien rendah. Meskipun ada literatur pada kinerja konstruksi dan ketidakpuasan klien, etika profesional hampir pada tingkat yang rendah. Partisipasi surveyor di industri konstruksi meliputi keseluruhan proyek siklus sebagai surveyor kuantitas, surveyor praktek umum dan surveyor bangunan telah spesialisasi yang berbeda. Meskipun Royal Institution Chartered Surveyors (RICS) memiliki Kerajaan Charter status, persepsi masyarakat umum survei profesional yang rendah. Mereka berpikir surveyor yang menawarkan jenis

14

pelayanan yang sama seperti agen perumahan dan juga memiliki tingkat yang sama kepercayaan dan profesionalisme Peraturan RICS Profesional dan Departemen Perlindungan Konsumen telah melaporkan mereka ditangani dengan sekitar 2.700 kasus kesalahan profesional yang melibatkan surveyor di Inggris yang tidak pernah mencapai Profesional Melakukan Panel.Namun, Panel masih harus menyeberang melalui sejumlah besar pelanggaran peraturan, rekening pelanggaran, keluhan tentang penanganan masalah prosedur dan konflik. Kurang dari 10% kasus mencapai Disiplin Panel, dan nama-nama yang dilaporkan dalam Bisnis RICS hanya ujung dari peraturan gunung Steven Gould, Direktur Peraturan RICS telah menyuarakan keprihatinannya, "RICS harus sangat khawatir bahwa masih ada beberapa perusahaan survei yang tampaknya tidak memahami dasar-dasar tentang cara menangani uang klien. Tidak ada niat untuk melakukan hal yang salah tapi pada saat yang sama, tidak ada pemahaman tentang bagaimana melakukan mereka benar dan tidak nyata pengakuan bahwa dalam skenario terburuk; tindakan-tindakan tertentu bisa sangat merusak 'kepentingan' klien. Hal ini semakin menegaskan perlunya penelitian pada etika profesional surveyor. Sebagian besar (90%) berlangganan Kode Etik profesional dan banyak (45%) memiliki Kode Etik Perilaku dalam organisasi yang mempekerjakan mereka, dengan mayoritas (84%) mempertimbangkan praktik etika yang baik menjadi tujuan organisasi penting. 93% dari responden setuju bahwa "Etika Bisnis" harus didorong atau diatur oleh "Pribadi Etika", dengan 84% responden menyatakan bahwa keseimbangan dari keduabpersyaratan klien dan dampak pada

15

masyarakat harus dipertahankan. Tidak ada responden mengetahui adanya kasus majikan berusaha untuk memaksa mereka karyawan untuk memulai, atau berpartisipasi dalam, perilaku yang tidak etis. Meskipun demikian, semua responden telah menyaksikan atau mengalami beberapa derajat perilaku tidak etis, dalam bentuk perilaku tidak adil (81%), kelalaian (67%), konflik kepentingan (48%), kolusi (44%), penipuan (35%), kerahasiaan dan kepatutan melanggar (32%), penyuapan (26%) dan pelanggaran etika lingkungan (20%). Untuk profesi membangun dan merancang, nilai tak terhitung kehidupan manusia tuntutan tidak kurang dari pertimbangan moral tertinggi dari mereka yang mungkin resiko sebaliknya (Mason, 1998: p2 Insinyur, arsitek, manajer proyek dan kontraktor, oleh karena itu, memiliki hak dasar nurani profesional (Martin dan Schinzinger, 1996). Sebuah aspek penting dari etika dalam industri konstruksi "Etika pribadi" - sering ditafsirkan oleh para profesional konstruksi sebagai hanya mengobati lain dengan tingkat yang sama kejujuran bahwa mereka ingin diperlakukan (Badger dan Gay, 1996). Telah menyarankan, bagaimanapun, bahwa profesional pada umumnya cenderung percaya bahwa kewajiban mereka untuk klien mereka jauh lebih besar daripada tanggung jawab mereka kepada orang lain, seperti publik (Johnson, 1991: p28 Ada juga beberapa kasus di mana kritik telah dibuat mengenai kepatuhan terhadap standar etika, tidak ada yang lebih dari keracunan asbes skandal yang mempengaruhi banyak pekerja pada 1960-an (Coleman, 1998:p70) Hari ini, profesional bangunan mendapatkan integritas dan kehormatan sampai batas tertentu melalui profesional badan-badan seperti Australian Institute

16

of Building (2001) yang misinya termasuk yang dari mencerminkan anggotanya '"... cita-cita untuk pendidikan, standar dan etika...". Ini diwujudkan dalam kode praktek yang mendefinisikan peran dan tanggung jawab profesional (Harris et al, 1995) dan merupakan landasan apapun. Meskipun banyak laporan independen dan investigasi dilakukan dan menegaskan bahwa asbes itu berakibat fatal, penggunaan dalam industri bangunan tetap sangat tinggi sampai penggunaan itu benar-benar dilarang (Coleman, 1998). Program etika (Calhoun dan Wolitzer, 2001). Tentu saja, kode saja cukup untuk memastikan perilaku etis dan mereka perlu dilengkapi dengan penugasan tanggung jawab fungsional (misalnya, etika perwira) dan majikan pelatihan. Efektivitas ini telah menjadi obyek paling penelitian empiris sampai saat ini, dengan penekanan khusus pada tender kolusif, yang didefinisikan sebagai "perjanjian ilegal antara peserta tender yang menghasilkan tawaran yang tampaknya kompetitif, penetapan harga, distribusi atau pasar skema yang menghindari semangat bebas kompetisi dan menipu klien "(Zarkada-Fraser, 2000) dan termasuk tawaran-potong tawaran-belanja, harga tutup, biaya tersembunyi dan komisi dan kompensasi untuk peserta tender yang gagal (Ray et al, 1999; Zarkada-Fraser dan Skitmore, 2000) bersama-sama dengan "penarikan" (Zarkada, 1998: p36) di mana sebuah tenderer menarik tawaran mereka setelah berkonsultasi dengan peserta tender lainnya.

17

2.5.Etika Industri Konstruksi Dalam hal profesi individu, seringkali diasumsikan bahwa arsitek tidak hanya berbakat dalam desain dan konstruksi bangunan, tetapi juga etika tertinggi kaliber untuk contoh, telah ditelusuri kembali ini untuk American Institute of Architects Kode Etik ditetapkan pada tahun 1947. Kode etik saat ini berkisar pada konsep "umum yang baik adalah benar "untuk hal-hal tidak didasarkan pada hukum (Pressman, 1997: p52). Demikian pula, KodePerilaku Profesional, terdiri dari Prinsip, Aturan dan Catatan. Arsitek telah ditemukan ingin di kali, bagaimanapun, sebuah jajak pendapat baru-baru ini tentang etika dalam arsitektur dilakukan oleh majalah Arsitektur Progresif, 1987 mengutip jenis utama dari perilaku yang tidak etis dalam arsitektur menjadi: Menyembunyikan kesalahan konstruksi dan mencuri orang lain menggambar Melebih-lebihkan pengalaman dan prestasi akademik di resume dan aplikasi

untuk komisi Pengisian klien untuk bekerja tidak dilakukan, biaya tidak dikeluarkan atau

berlebihan janji-janji palsu kemajuan seperti yang dilakukan oleh beberapa arsitek menyesatkan klien dalam manajemen proyek Keterlibatan dalam konflik kepentingan Untuk manajer proyek, salah satu elemen penting dari profesi mereka adalah pertimbangan etika dan tanggung jawab sosial (Fryer, 1997: p13). Harus ada ada konflik antara moralitas dan manajemen yang baik "... Itupenting bahwa manajer proyek melakukan pekerjaan mereka secara etis ...". Ini dari Pembukaan Kode

18

Etik bagi Manajer Proyek (Walker, 1989), menegaskan lingkup kode etik yang tepat diperlukan oleh manajer proyek. Kontraktor konstruksi juga diharapkan untuk berperilaku secara etis. Sebuah terakhir wawancara survei profesional konstruksi menunjukkan peran penting etika melakukan bermain di kontraktor konstruksi (Badger dan Gay, 1996), suatu mengejutkan Bahkan mengingat bahwa orang yang bekerja di industri konstruksi dua kali lebih mungkin mempertahankan cedera utama dan lima kali lebih mungkin untuk dibunuh, daripada rata-rata untuk semua industri (Davis, 2001). Menjadi jujur dan realistis juga dikatakan sebagai dasar aspek integritas profesional, terutama ketika membuat klaim dan estimasi (Johnson, 1991: p114). Berbeda dengan arsitek, bagaimanapun, kontraktor konstruksi memiliki reputasi perilaku tidak etis, masalah utama yang, menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh jurnal Penelitian Bangunan dan Informasi (Pilvang dan Sutherland, 1998), tinggi tingkat perselisihan antara pemilik dan pembangun. Mereka umumnya miskin perilaku telah dikatakan berasal dari masuknya perusahaan konstruksi baru dengan baru orang yang tidak memiliki etika bangunan konstruksi, dengan keserakahan menjadi salah satu utama faktor yang menyebabkan perilaku yang tidak etis (Ritchey, 1990 Sebagai tanggapan, telah ada panggilan dari masyarakat kontraktor sendiri untuk "menyingkirkanorangorang dalam tengah-tengah kitayang tidak melakukan hal yang benar "(Master Builder, 1997: P25). Ada juga pindah ke yang lebih besar swa-regulasi. Queensland Pembangun Guru, misalnya, dimulai drive untuk lisensi semua pembangun untuk memberikan beberapa jaminan integritas mereka. Demikian

19

pula Inggris kontraktor telah memperkenalkan konsumen didorong inisiatif yang disebut "Mark Kualitas 'dengan tujuan membedakan antara 'Nakal' pembangun dan organisasi terkemuka, seperti ditunjukkan dalam The Majalah dariFederation of Master BuildersBiro Bisnis dan EkonomiPenelitian telah menggambarkan sebuah inisiatif serupa di Amerika Serikat, untuk mengekang perilaku tidak etis oleh kontraktor, yang disebut JenderalAsosiasi Kontraktor / AmerikaAsosiasi subkontraktor (AGC / ASA) yang bertujuan untuk alamat yang berbeda masalah dalam industri konstruksi.

2.6.Kinerja proyek konstruksi 2.6.1. Pengukuran kinerja konstruksi Indikator kinerja tradisional untuk proyek konstruksi telah waktu, biaya. Sebuah pengukuran yang lebih baru diperkenalkan keberhasilan proyek adalah tingkat pencapaian tentang tujuan proyek yang ditetapkan oleh berbagai pihak untuk itu De Wit (1988) menyatakan, proyek ini dianggap sebagai keberhasilan keseluruhan jika proyek tersebut memenuhi spesifikasi kinerja teknis dan / atau untuk dilakukan, dan jika ada tingkat kepuasan yang tinggi tentang hasil antara orang-orang kunci dalam organisasi induk, kunci orang di tim proyek dan pengguna kunci atau klien dari usaha pembuat keputusan pada apakah proyek ini sukses adalah klien. Pentingnya klien telah diidentifikasi dalam beberapa ulasan dan laporan Pada tahun 1981, Roger Flanagon menyatakan 'partai penting dalam konstruksi industri klien Bangunan adalah tentang mendapatkan itu tepat bagi klien karena dia adalah hanya orang yang penting di akhir hari 'Latham (1994)

20

telah menempatkan klien pada 'inti dari proses dan kebutuhan mereka harus dipenuhi oleh industri Baru-baru ini, Boyd dan Kerr (1998) menyatakan bahwa 'baru-baru ini doktrin yang 'berfokus pada klien' telah mengangkat peran klien dalam properti dan konstruksi industri untuk posisi seperti Tuhan. Hal ini dapat, oleh karena itu, dikatakan bahwa kepuasan klien adalah kriteria yang paling penting bagi keberhasilan proyek. 2.6.2. Tingkat kinerja konstruksi Meskipun penting, kinerja industri konstruksi rendah, diukur dalam hal baik tradisional atau indikator kepuasan klien. Misalnya, survei dilakukan oleh Forum Klien Konstruksi menemukan bahwa lima puluh delapan persen dari responden mengalami overruns program pada proyek- proyek mereka dengan panjang keterlambatan rata-rata empat puluh delapan hari dari titik penyelesaian diantisipasi untuk aktual tanggal menyelesaikan Di depan anggaran, klien secara kritis ketidakmampuan industri untuk menjaga anggaran kontrak yang disepakati; tiga puluh dua persen dari proyek melebihi setuju jumlah Akhirnya, lima puluh tujuh persen dari klien mengalami cacat pada proyek mereka cukup untuk menyebabkan penundaan proyek penyerahan Klien sering tidak puas dengan pengiriman proyek dan situasi ini telah ada selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, lebih dari 20 tahun yang lalu, direktur managing Slough Perkebunan menyatakan pandangannya 'bahwa tujuan industri adalah untuk memuaskan kebutuhan saya tetapi gagal untuk melakukannya. Kritiknya difokuskan pada industri bangunan kegagalan untuk mengantarkan barang tepat waktu, dan pada harga yang wajar. Sir Michael Latham (1994) melaporkan menyatakan bahwa

21

"klien tidak selalu mendapatkan apa yang mereka minta dan tingkat kepuasan klien dalam industri konstruksi lebih rendah dari industri. Meningkatkan kinerja untuk memuaskan klien masih fokus dari sejumlah pasca-laporan Latham (misalnya CCF, 1998; CIB, 1996, 1997; Egan, 1998) dan di terakhir Sir John Egan mengungkapkan "keprihatinan yang mendalam bahwa industri secara keseluruhan bawah mencapai dan mengatakan bahwa' kebutuhan untuk meningkatkan dalam konstruksi jelas.

2.7. Literatur review atas surveyor Pengetahuan profesional dan standar etika keduanya karakteristik penting dari kompeten surveyor Namun, literatur sebelumnya konsentrat pada pembahasan pengetahuan khusus surveyor. Hal ini juga berbeda dari penelitian pada peserta konstruksi lainnya, tetapi berfokus lebih pada hubungan antara surveyor dan kinerja proyek konstruksi. Sebaliknya, berfokus pada 'surveyor' sendiri. Wilayah utama pertama dari penelitian tentang surveyor membahas peran surveyor. Dalam 1983, RICS (1983) menerbitkan panduan resmi pertama pada peran kuantitas surveyor di Inggris. Dokumen ini berisi daftar peran dan tanggung jawab kuantitas surveyor (QS). Hodgetts (1989) juga telah membahas peran QS Australia. Sejak itu, RICS telah menerbitkan lebih lanjut tentang peran perubahan surveyor dalam dua dekade terakhir Mereka telah membahas tantangan perubahan untuk survei profesional dan mendiskusikan apa yang adalah peran baru

22

dikembangkan untuk surveyor. Daerah penelitian kedua utama lainnya menyelidiki keterampilan inti dan kompetensi surveyor. RICS (1985) telah menghasilkan daftar layanan yang tersedia dari Chartered Surveyor Kuantitas Pada 1990-an, RICS diterbitkan beberapa laporan yang ditujukan untuk membicarakan persyaratan pasar untuk survei profesi dan juga menangani keterampilan inti dan pengetahuan yang seharusnya surveyor kuantitas Keterampilan dan pengetahuan adalah 'praktis' keterampilan, seperti komputasi, pengukuran dan lain-lain kontrak, yang penting bagi mereka untuk dapat melakukan 'tangan-' tugas. Jenis penelitian ini tidak terbatas ke Inggris Nkado dan Kotze (2000) telah melakukan penelitian serupa di Afrika Selatan. Ada juga ada kekurangan metode penelitian yang menyelidiki untuk meningkatkan surveyor ' kualitas dan mempromosikan layanan mereka Ashworth (1994) telah membahas apa jenis program pendidikan dan pelatihan surveyor kuantitas mungkin bisa membantu dan meningkatkan kualitas layanan mereka McNamar (1999) telah membahas bagaimana penelitian dapat menjadi strategi pemasaran untuk layanan kuantitas survei. Procter dan Rwelamila (1999) telah mempelajari bagaimana untuk memberikan kualitas layanan untuk surveyor kuantitas di Afrika Selatan. Literatur ini berfokus pada masalah bagaimana meningkatkan pengetahuan profesional dan keterampilan teknis surveyor Namun, elemen kunci kedua profesi, yaitu kode etik, telah diabaikan. Ada pekerjaan akademis terbatas pada etika untuk memiliki penelitian dilakukan di daerah ini. Yang pertama mempelajari persepsi standar etika

23

surveyor kuantitas profesional dan konstituen penting mempengaruhi pembuatan keputusan etis. Namun, penelitian ini tidak mencerminkan seluruh gambar untuk profesi seperti survei difokuskan pada mempelajari survei tertentu divisi. Juga, kedua makalah mempelajari etika profesional sebagai subjek 'berdiri sendiri' dan mengabaikan hubungannya dengan masalah lain, seperti kinerja proyek konstruksi.

2.8. Etika profesional dan surveyor Profesional adalah kelompok terorganisir orang yang telah sistematis dan umum pengetahuan yang dapat diterapkan untuk berbagai masalah. their Selain itu, mereka perilaku secara ketat dikontrol oleh kode etik yang didirikan dan dipelihara oleh asosiasi profesional dan belajar sebagai bagian dari pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai seorang profesional. Akhirnya, mereka harus memiliki kepedulian untuk kepentingan mereka klien dan masyarakat daripada kepentingan pribadi ketika mereka menawarkan layanan mereka. Etika dalam penggunaan umum berarti filosofi perilaku manusia dengan penekanan pada pertanyaan moral yang benar dan Etika profesional. Namun, selalu terikat dengan konsep yang lebih praktis dan harapan dari masyarakat, kompetensi tanggung jawab, suka dan kesediaan untuk melayani publik RICS juga telah mendirikan persyaratan yang sama untuk surveyor. Selain mencapai standar yang diperlukan pelayanan di bidang spesialis mereka, itu adalah diharapkan anggota akan memahami pentingnya RICS profesional etika dan bersedia untuk memenuhi standar yang dibutuhkan dari

24

mereka (Salah satu isu-isu inti untuk RICS etika profesional adalah bahwa 'mengamankan klien' kepentingan '. The Para Etika Profesional Partai Kerja juga telah menekankan pandangan ini: ia mengatakan bahwa 'Etika profesional adalah memberikan seseorang terbaik untuk memastikan bahwa klien kepentingan benar dirawat, tetapi dengan begitu kepentingan umum yang lebih luas juga diakui dan dihormati. RICS mendefinisikan etika sebagai seperangkat prinsip moral meluas melampaui kode resmi perilaku Ia juga mengatakan bahwa kesediaan anggota untuk mengikuti prinsip-prinsip ini adalah salah satu kunci untuk ekspansi profesi Berlatih dan memberikan saran kepada klien secara etis profesional adalah salah satu alasan utama orang memilih untuk jawaban pada anggota mengakui badan profesional. Dengan mengikuti kode etika profesional, anggota menyelesaikan konflik yang tak terelakkan antara kepentingan dari profesional, klien dan masyarakat pada umumnya Namun, etika bukan teks tetap yang bisa dipelajari sekali. 'Etis standar' adalah dinamis masalah Tindakan tertentu dapat etis saat ini atau dalam masyarakat khususnya dan dalam tertentu situasi, tapi mungkin bisa dipandang secara berbeda oleh orang lain atau di lain waktu. Oleh karena itu, diperlukan untuk terus meninjau perilaku dalam rangka untuk mengikuti dengan terus-menerus mengubah standar Selain itu, penilaian pribadi juga diperlukan bila etika dilema menghadapi Dengan cara yang sama seperti yang dilakukan lembaga-lembaga profesional lainnya; RICS menyediakan satu set Aturan Perilaku mana semua anggota harus mengikuti secara ketat. Lembaga ini telah diperbarui Aturan Perilaku secara teratur untuk tetap sejalan dengan sosial yang berubah lingkungan

25

Dokumen-dokumen menutupi area standar pribadi dan profesional, melakukan kegiatan profesional dan professional bisnis rincian praktek, dan kerjasama, konflik kepentingan, profesional ganti rugi asuransi, aturan account anggota ', belajar seumur hidup dan disiplin prosedur. Selain itu, pedoman etika lainnya-isu terkait disediakan. masalah meliputi prosedur penanganan keluhan, mendirikan sebuah perusahaan survei, perlindungan terhadap pencucian uang, kepemilikan file bisnis, dan pengangkatan sebuah locum untuk menutupi pekerjaan jika surveyor sedang pergi. Sebagai bagian dari ini, RICS telah merancang prinsipprinsip inti sembilan etika, yang merupakan 'Alasan' untuk Aturan Perilaku. Tujuan dari prinsip-prinsip adalah untuk membantu surveyor di keraguan tentang bagaimana menangani keadaan yang sulit, atau dalam situasi di mana ada bahaya bahwa profesionalisme anggota dapat dikompromikan. Ini sembilan prinsip adalah: bertindak dengan integritas, selalu jujur, terbuka dan transparan dalam urusan Anda, bertanggung jawab untuk semua tindakan Anda, tahu dan bertindak dalam keterbatasan Anda, obyektif sepanjang waktu, tidak pernah

mendiskriminasikan orang lain, menetapkan contoh yang baik dan memiliki keberanian untuk membuat berdiri. Surveyor diharapkan tidak hanya untuk menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang prinsip-prinsip ini, tetapi juga memiliki komitmen untuk memenuhi etika standar dan mempertahankan integritas profesi. Sembilan prinsip dan kode etik melayani tujuan yang sama yaitu untuk memberikan layanan profesional untuk memastikan bahwa kepentingan klien terjaga dan kepentingan umum dianggap.

26

B. ETIKA PROFESI GURU 1. PENGERTIAN ETIKA Dibawah ini merupakan beberapa pengertian dari etika: (Keraf ,1998) Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos (tunggal) atau ta etha (jamak) yang berarti watak, kebiasaan dan adat istiadat. Pengertian ini berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun suatu masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. (Muslich ,1998) Etika sebagai filsafat moral atau ilmu yang mendekatkan pada pendekatan kritis dalam melihat dan memahami nilai dan norma moral yang timbul dalam kehidupan masyarakat. 2. PENGERTIAN PROFESI Profesi berasal dari bahasa latin Proffesio yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan apa saja dan siapa saja untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. (Syaiful,2000) Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel The Limit of Teaching

27

Proffesion, profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama. Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.

3. DUA PRINSIP ETIKA PROFESI GURU (Soetjipto,1999) Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada

kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien.

28

Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya. Kesimpulannya adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.

4. TUNTUTAN SEORANG GURU Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah(Suharsimi,1980): 1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.

29

2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik. Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eksklusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal yang baik. Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru,

30

KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya. Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru. Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.

5. ETIKA KEGURUAN (Suharsimi,1993)Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal

31

untuk sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut: 1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79, Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan). 2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmuilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya. 3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya. 4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul. 5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal.

32

6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik. 7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki. 8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka. 9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar. Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8, Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat. Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina. Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum seorang guru, ciriciri itu tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek berikut(Soetjipto,1999): 1. Tahap pencapaian ilmiah 2. Pengetahuan umum dan keluasan bacaan 3. Kecerdasan dan kecepatan berfikir 4. Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi 5. Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan 6. Kekuatan sahsiah

33

7. Memelihara penampilan(mazhar) 8. Positif dan semangat optimisme 9. Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message) Dari uraian di atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan sahaja di dalam sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasigenerasi umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah,

professionalisme dan kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman

34

dan kebanggaan. Sebab Allah S.W.T telah mewajibkan kepada diriNya sendiri dalam surah al-Nahl ayat ke 97, la tidak akan mensia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik Setelah berpanjang lebar tentang kode etika keguruan dalam pandangan pendidikan Islam, marilah kita tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang menjamin bahwa bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan maka masyarakat akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan akan hidup dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang bermaksud, Katakanlah (wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang dihararamkan kepadamu oleh Tuhanmu. Hendaklah berbuat baik kepada kedua ibu bapa. Janganlah kamu membunuh anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah yang memberi mereka dan kamu rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara buruk yang terang-terangan dan yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri yang dihararamkan kamu membunuhnya kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu berakal. Jangan kamu mendekati harta anak yatim kecuali untuk yang lebih baik sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah ukuran dan timbangan dengan adil. Allah tidak memberi beban seseorang kecuali yang disanggupinya. Jika kamu berkata, maka berbuat adillah walaupun kepada sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain nescaya kamu

35

bercerai-berai dari jalanNya. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu bertaqwa Ayat-ayat ini mengandungi sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam kehidupan individu dan kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan perlembagaan Ilahi dalam pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya adalah sebagai berikut(Suharsimi,1993); 1. Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T. 2. Berbuat baik kepada ibu bapa. 3. Jangan membunuh anak kerana takut miskin. 4. Jangan mendekati perkara-perkara buruk. 5. Jangan membunuh manusia. 6. Jangan mendekati harta anak-anak yatim. 7. Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil. 8. Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari kemampuannya. 9. Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada kaum kerabat. 10. Sempumakanlah janjimu dengan Allah S.W.T. Selepas uraian tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman

36

sikap (attitude) yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan. Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai yang biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik atau buruk, percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan fakta atau ketrampilan. Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai syaratsyarat yang berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan. 1. Pertama sekali nilai itu mestilah mempunyai model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru, seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Itu syarat pertama. Syarat yang kedua

37

kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari, ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, seorang guru atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau anaknya, haruslah ia sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka terjadi pertikaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru sebagai perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan memancing tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya. 2. Oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur, jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada matematik sebab ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau sikap ini dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan dengan matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan ciri kesempumaan

38

dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat penghayatan nilainilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa nilai-nilai itu. 3. Semua guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab guru-guru sama ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian besarnya termasuk dalam kawasan kurikulum informal. Sebagaimana setiap guru, apapun yang diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid, maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guruguru matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya, mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati

39

agama, sebaliknya murid-murid semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama. Inilah sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilainilai. Oleh sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan tersebut. Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah lewat masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang bermotivasi dan berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam pelajaran agama itu sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang berdiam di negeri-negeri Timur. Pengamalan nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan seharisehari. Sebab penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di bawah, Kelima : Peringkat Perwatakan Keempat : Peringkat Organisasi

40

Ketiga : Peringkat Penilaian Kedua : Peringkat Gerak balas Pertama : Peringkat Penerimaan Bila nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ juga telah dinyatakan perakuan yang sepuluh (al-Wisaya al-Asyarah) tentang segala kerjanya seorang muslim yang tercantum dalam al-Quran (al-Anam: 151-153).

C. ETIKA PROFESI PNS 2.1 Definisi Pelayanan Publik Pelayanan publik atau pelayanan umum adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara). Apalagi saat ini masyarakat semakin sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga

41

negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengontrol apa yang dilakukan pemerintahannya. Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, maupun perusahaan pengangkutan. 2. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara sehingga klien/pengguna mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan. 3. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat sekunder adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan. Terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggara pelayanan publik tersebut, yaitu: 1. Adaptabilitas layanan. Artinya derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.

42

2. Posisi tawar pengguna/klien Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik. 3. Tipe Pasar Menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan hubungannya dengan penggguna/klien. 4. Kontrol Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna atau penyelenggara pelayanan. 5. Sifat pelayanan Menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan. Oleh sebab itu, pelayanan publik harus dilakukan secara profesional sehingga mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri. Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) dengan ciri sebagai berikut: 1. Efektif Lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.

43

2. Sederhana Prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, dan tidak berbelit-belit. 3. Transparan Adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan, dan pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik tersebut. 4. Efisiensi Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap

memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan. 5. Keterbukaan Berarti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak. 6. Ketepatan waktu Kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 1. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.

44

2. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang. Cara-cara yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik yang profesional adalah sebagai berikut: 1. Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya, 2. Memperlakukan pengguna pelayanan sebagai customers, 3. Berusaha memuaskan pengguna pelayanan sesuai dengan yang diinginkan mereka, 4. Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas, 5. Menyediakan alternatif bila pengguna pelayanan tidak memiliki pilihan lain.

2.2 Etika Pelayanan Publik Etika pelayanan publik merupakan suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Atau dengan kata lain penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang telah ada sebagai tanggung jawab aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Fokus utama dalam etika pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik telah mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika (agar manusia mencapai kehidupan yang baik).

45

Apabila dikaitkan dengan birokrasi maka etika birokrasi merupakan panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut: 1. Perilaku pelayan publik (Pegawai Negeri) harus sejalan dengan misi pelayanan publik dari instansi tempat mengabdi. 2. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diandalkan. 3. Warga Negara memperoleh perlakuan tanpa pandang bulusesuai dengan ketentuan hukum dan keadilan. 4. Sumber daya digunakan secara tepat, efisien, dan efektif. 5. Prosedur pengambilan keputusan adalah transparan bagi publik, dan tersedia sarana bagi publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan. Ada dua aspek penting penentu/tuntutan kinerja prima: 1. Keunggulan teknis (profesionalisme) yaitu efisiensi, produktivitas, dan efektifitas. 2. Keunggulan moral (etika) yaitu integritas, obyektifitas, atau imparsialitas, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan atau keputusan pelayanan publik, karena pelayanan publik ditujukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan

46

Negara. Etika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan sebagai criteria untuk menilai baik-buruknya keputusan. Selain itu, hubungan etika dan pelayanan publik tercermin dalam kenyataan bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya publik kepada birokrasi (sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan yang diamanatkan oleh warga negara). Kemudian, nilai-nilai tertinggi yang harus diacu oleh aparatur pelayanan publik (birokrasi) adalah nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 (konstitusi), dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sedangkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah : PP No. 42 Tahun 2004 (Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS), UU No.8 Tahun 1974 Jo UU No. 43 Tahun 1999 (Pokok-Pokok Kepegawaian), PP No.30 Tahun 1980 (Peraturan Disiplin PNS), dan UU No.25 Tahun 2009 (Pelayanan Publik).

2.3 Masalah Pelayanan Publik Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut: a. Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut.

47

b. Belum informatif.Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat. c. Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. d. Belum responsif.Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali. e. Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. f. Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan. g. Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain

48

pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi

penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

2.4 Solusi Masalah Pelayanan Publik Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal

49

yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penetapan Standar Pelayanan Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya. 2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

50

Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat

menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;

Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;

Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahanperubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;

Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan; Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;

3. Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena

51

itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik; 4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upayaupaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.

52

2.5 Pengalaman Pribadi Pelayanan Publik 1. Pelayanan SKCK di Polres X Ketika daftar ulang di salah satu PTK di Jakarta, terdapat suatu persyaratan untuk mengumpulkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Saya pun menuju Polres X untuk mengurusnya. Sesampai di sana banyak orang yang antre entah untuk tujuan apa. Setelah mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk mengurus SKCK, saya pun mengantre di suatu tempat yang mereka sebut sentra pelayanan. Melihat banyaknya orang yang mengantre saya sempat pesimis SKCK tersebut akan selesai dalam 1-2 hari. Kemudian, saya mendapat telepon dari salah satu teman yang ikut mengurus SKCK untuk keperluan yang sama. Teman tersebut meminta saya untuk langsung ke salah satu ruang di lantai atas yang ternyata merupakan ruang Kapolres bekerja. Di sana setelah semua syarat yang dibutuhkan dipenuhi dalam waktu beberapa menit SKCK pun dikeluarkan. Saya pun kemudian baru tahu bahwa proses pengurusan SKCK tersebut berlangsung cepat karena teman saya mengenal orang dalam. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam pelayanan publik dalam hal ini di Polres X terdapat birokrasi yang cukup panjang dan lama yang menguras waktu dan tenaga. Padahal apabila beberapa rantai birokrasi yang tidak perlu dapat diputus maka pengurusan SKCK tersebut akan lebih cepat dan hemat energi. Hal ini terbukti ketika kita mengenal orang dalam maka pengurusan akan lebih mudah. Seharusnya, kualitas pelayanan publik di Polres X tersebut ditingkatkan sehingga semua orang memiliki hak yang sama mendapatkan pelayanan yang mudah dan cepat.

53

2. Pelayanan Publik Jasa Transportasi KA Letak antara rumah dan kampus saya yang sangat jauh (berada di luar kota dengan jarak 1000 km) membuat saya memilih untuk kost di dekat areal kampus. Karena hal itu pula ketika pulang dari tempat kost ke rumah ketika liburan panjang dan berangkat kembali dari rumah ke tempat kost ketika liburan usai, saya memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta api karena lebih cepat dan relatif hemat biaya (kelas ekonomi). Memang kami hanya mengeluarkan uang berkisar Rp 30.000,00 Rp 40.000,00 untuk sekali perjalanan dari Jakarta ke Surabaya namun apakah pantas dengan membayar sejumlah uang yang sama ada lebih banyak penumpang yang harus rela duduk/tidur di lantai kereta dengan beralaskan koran maupun berdiri di lorong-lorong gerbong hanya karena kalah cepat dengan penumpang yang akhirnya duduk di kursi kereta api. Apalagi pada saat liburan akhir tahun, hampir selalu diberlakukan tiket bebas tanpa nomor tempat duduk sehingga penumpang pasti berebut kursi di dalam kereta api. Dengan cara ini pula tiket dapat dicetak tak terbatas sehingga dapat memaksimalkan pemasukan. Akibatnya, para penumpang tidak mendapatkan pelayanan publik yang semestinya. Menurut saya, pada liburan akhir tahun maupun hari biasa sebaiknya tiket dicetak sesuai kapasitas tempat duduk sehingga yang tidak mendapat tiket bisa mencari moda transportasi lain dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan. 3. Pelayanan Publik Jasa Perbankan di Bank Y Pada saat itu saya ingin membuka rekening atas nama saya sendiri. Kemudian, saya menuju bank yang terletak tidak jauh dari rumah saya. Di sana

54

saya mengambil nomor antrian untuk kategori customer service. Perlu diketahui nomor antrian dibagi dalam dua kategori yaitu antrian di teller untuk nasabah yang ingin menyetor atau menarik uangnya dan antrian di customer service untuk nasabah yang ingin membuka atau menutup rekening maupun ada masalah dengan rekeningnya. Kita semua pasti tahu bahwa pelayanan di customer service pasti akan lebih lama dibanding teller. Hal ini terjadi karena proses misalnya proses membuka rekening membutuhkan waktu lama karena nasabah diwajibkan mengisi berkas-berkas tertentu untuk tujuan administrasi. Lain halnya dengan di teller di mana nasabah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyetor atau menarik uangnya. Dan ketika itu saya harus menunggu 2 jam lebih untuk mendapatkan pelayanan untuk membuka rekening yang saya inginkan. Di sini kita melihat bahwa Bank Y belum maksimal dalam hal pelayanan publik. Fenomena ini pasti sudah berulang kali terjadi sehingga Bank Y seharusnya melakukan antisipasi misalnya dengan menambah jumlah loket di antrian customer service menjadi dua kali lipat dibandingkan antrian di teller sehingga nasabah tidak perlu menunggu lama dan kualitas pelayanan publik dapat lebih ditingkatkan. 4. Pelayanan Publik Jasa Transportasi Bus Antar Kota Ketika liburan semester saya memutuskan untuk pulang kampung ke Jember. Karena tidak ada kereta api yang dari Jakarta langsung ke Jember maka saya pun transit dulu di Surabaya. Saat itu masih pagi dan kereta ke Jember baru ada sore hari sehingga saya memutuskan untuk naik bus antar kota ke Jember. Salah satu ketidaknyamanan menggunakan moda transportasi bus adalah bahwa tarif ditentukan di dalam bus sehingga penumpang mau tidak mau harus

55

membayar sejumlah uang yang ditetapkan. Selain itu apabila penumpangnya sedikit maka ketika sampai di Probolinggo semua penumpang dioper ke bus lain yang hampir penuh kemudian perjalanan kembali dilanjutkan ke Jember. Para penumpang pasti merasakan ketidaknyamanan karena harus pindah dari bus satu ke bus lain di tengah perjalanan. Belum lagi apabila mereka sedang tertidur atau membawa barang yang cukup banyak. Di sini para penumpang tidak mendapat pelayanan publik yang semestinya. Sebaiknya, para pengelola jasa transportasi bus antar kota telah memberitahukan tarif sebelum penumpang naik dan juga ada pemberitahuan jelas kepada para penumpang bahwa akan dioper ke bus lain atau tidak perlu mengoper sama sekali. Dengan demikian, para penumpang dapat merasakan pelayanan publik yang semakin baik. 5. Pelayanan Publik Jasa Rumah Makan Z Dalam perjalanan dari Jogjakarta ke Jember karena sudah waktunya makan siang dan untuk melepas lelah kami transit di Rumah Makan Z di daerah Nganjuk. Seperti biasa setelah memesan menu kami duduk dan menunggu pesanan disajikan. Tidak berapa lama makanan yang kami pesan disajikan. Kami pun langsung menyantap makanan yang disajikan. Kemudian minuman yang kami pesan pun sampai dan beberapa saat kemudian minuman yang tidak kami pesan juga sampai di meja kami. Kami menolaknya dan meminta pelayan memberikannya ke meja lain yang mungkin memesannya. Namun, pelayan tersebut malah membawa minuman tersebut kembali ke dalam. Sampai kami selesai dengan makanan dan minuman kami ternyata orang-orang yang duduk di belakang meja kami hanya mendapatkan makanan tanpa minuman yang mereka

56

pesan. Ini menunjukkan pelayanan publik yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seharusnya, mereka memberi nomor pada tiap meja sehingga saat ada yang memesan makanan atau minuman langsung dapat diketahui dari meja mana pesanan tersebut berasal dan dapat segera disajikan. Sehingga tiap pelanggan tidak ada yang merasa dikecewakan dan kualitas pelayanan publik meningkat.

57

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 1. Pelayanan publik masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi yang bertele-tele. 2. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang memadai. 3. Desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi. 4. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sangsi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum. Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.

58

3.2 Saran

1. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures, pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama dengan pihak swasta. 2. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara pelayanan publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi, empati, dan etika yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang tepat bagi aparat penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 3. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas KKN.

59

DAFTAR PUSTAKA

Ashworth, A. (1994) Education and training of quantity surveyors. Construction Ashworth, A. (1994) Pendidikan dan pelatihan surveyor kuantitas. Konstruksi Papers , 37. Papers, 37. Belassi, W. and Tukel, OI (1996) A new framework for determining critical Belassi, W. dan Tukel, OI (1996) Sebuah kerangka kerja baru untuk menentukan penting success/failure factors in projects. International Journal of Project Management , keberhasilan / kegagalan faktor dalam proyek. Jurnal Manajemen Proyek, Boyd, D. and Kerr, E. (1998) An analysis of developer-clients perception of Boyd, D. dan Kerr, E. (1998) Analisis pengembang-klien persepsi consultants. Proceedings of ARCOM, September 9-11, 1998: The University of konsultan Prosiding Arcom September 9-11, 1998:. Universitas

60

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan ............................................................................................ BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ A. ETIKA PROFESI PROFESIONAL DAN KONSTRUKSI ......... 1. Pengertian Kontruksi ............................................................... 2. Etika ........................................................................................ 3. Profesi ..................................................................................... 4. Kode Etika Profesi .................................................................. 5. Etika Industri Konstruksi ........................................................ 6. Kinerja Proyek Konstruksi ...................................................... 7. Literatur Review atas Surveyor ............................................... 8. Etika Profesional dan Surveyor ............................................... B. ETIKA PROFESI GURU ............................................................. 1. Pengertian Etika ...................................................................... 2. Pengertian Profesi ................................................................... 3. Dua Prinsip Etika Profesi Guru ............................................... 4. Tuntutan Seorang Guru ...........................................................

i ii 1 1 2 2 3 3 3 4 8 12 18 20 22 24 27 27 27 28 29

ii 61

5. Etika Keguruan ........................................................................ C. ETIKA PROFESI PNS ................................................................. 1. Defenisi Pelayanan Publik ...................................................... 2. Etika Pelayanan Publik ........................................................... 3. Masalah Pelayanan Publik ...................................................... 4. Solusi Masalah Pelayanan Publik ........................................... 5. Pengalaman Pribadi Pelayanan Publik .................................... BAB III PENUTUP ........................................................................................ 3.1 Kesimpulan .................................................................................... 5.2 Saran .............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

31 41 41 45 47 49 53 58 58 59 60

62 iii