Upload
auliya-jayanti
View
3.215
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
i
SKRIPSI
EVALUASI PENCAPAIAN PROGRAM
SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)
PILAR PERTAMA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUNGGING
KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2008-2010
Oleh:
AULIYA JAYANTI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2012
ii
SKRIPSI
EVALUASI PENCAPAIAN PROGRAM
SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)
PILAR PERTAMA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUNGGING
KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2008-2010
Oleh:
AULIYA JAYANTI
NIM 100710174
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2012
iii
PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan
diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
pada tanggal 23 Februari 2012
Mengesahkan
Universitas Airlangga
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S.
NIP. 195603031987012001
Tim Penguji :
1. Arief Hargono, drg., M.Kes
2. Prof. Soedjajadi, dr., M.S., Ph.D
3. Endah Yudiantini, dr., M.M
iv
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Oleh:
AULIYA JAYANTI
NIM 100710174
Surabaya, 27 Februari 2012
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Departemen, Pembimbing,
Sudarmaji, S.KM., M.Kes
NIP 197212101997021001
Prof. Soedjajadi Keman, dr., M.S., Ph.D
NIP 195203151979031008
v
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Auliya Jayanti
NIM : 100710174
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenjang : Sarjana (S1)
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul :
“EVALUASI PENCAPAIAN PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS
MASYARAKAT (STBM) PILAR PERTAMA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PUNGGING KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2008-2010”
Apabila suatu saat nanti terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surabaya, 27 Februari 2012
Auliya Jayanti
NIM 100710174
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya skripsi dengan judul “EVALUASI
PENCAPAIAN PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT
(STBM) PILAR PERTAMA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUNGGING
KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2008-2010”, sebagai salah satu
persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan kuliah di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.
Dalam skripsi ini dijabarkan bagaimana hasil evaluasi dari program STBM
di wilayah kerja Puskesmas Pungging. Sehingga dari hasil evaluasi dapat
diketahui faktor input, proses, dan output dari pelaksanaan program tersebut pada
tahun 2008-2010. Dari hasil tersebut disusun rekomendasi untuk pelaksanaan
program selanjutnya.
Hasil dari penelitian ini pelaksanaan program Stop BABS belum berhasil
dikarenakan oleh empat faktor yaitu metode yang kurang baik, lingkungan baik
manusia maupun fisik, dan kurangnya anggaran. Padahal buang air besar
sembarangan dapat berakibat buruk bagi masyarakat itu sendiri, namun
masyarakat belum memprioritaskan pembangunan jamban.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Prof. Soedjajadi Keman, dr., M.S., Ph.D, selaku dosen
pembimbing yang telah sabar dan telaten memberikan petunjuk, koreksi, serta
saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan tidak lupa pula penulis
sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga
2. Sudarmaji, S.KM., M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
3. Kedua orang tua (Papa Anam dan Mama Elly), saudara saya yang tiada
hentinya memberikan cinta, semangat serta bantuan yang sangat berarti. I
always love my mom, pap, big bro, Rio dan keluarga besar Bani Sail.
4. Bu Endik, Bu diah, Bu Titis, Pak Jaka, Pak Yusron atas izin penelitian di
Kabupaten Mojokerto dan tak pernah lelah membantu dalam penyusunan
skripsi ini. Peluk hangat untuk bapak dan ibu.
5. Shelly, Mbak Dian, Raras, Slipi, d’coster (Irma, Wulan, Nana, Putu),
indro, Novie Putri, Mbak Rizki plus Rara cantik, Mas Raka, Koko Tito
atas dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. Love u all.
6. Intan, Lilik, Retty, Sani, Mbak Nurma sebagai konsultan saya serta teman
seperjuangan akhir, Anita, Eros, dan Icha sexy. Sukses buat kita semua..
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu terselesaikannya penyusunan proposal skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan
baik dari segi materi maupun penulisannya, oleh karena itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat saya harapkan guna perbaikan.
Surabaya, Februari 2012
vii
ABSTRACT
Construction of Water Supply and Sanitation in Indonesia in the last 15
years are still focused on the development of facilities but is not accompanied by
public awareness. While the government has set a decentralization in the hope of
community participation in health development increased. The aim of this study
was to evaluated national program in 2008 : the Community-Led Total Sanitation
(CLTS) program especially the first pillar and to identify factors causing the
failure of the implementation of the program.
This type of research was the evaluation of qualitative approaches.
Interviews were conducted purposively to those who know the program was in the
working area of Pungging Public Health Center Mojokerto. Secondary data
obtained from the health profile of the district health office and Pungging public
health center Mojokerto.
Achievement of program outcomes, managing the program has conducted
more than 6 triggers the village but there is no village that reached the state of
Open Defecation Free (ODF). MDGs target of 67%, Pungging public health
center still cover 65%. Identification of factor inputs and processes were still
founddiscrepancies with the guidelines.
The conclusion could be drawn was the achievement of program CLTS
first pillar in the working area Pungging public health centers does not meet the
target number of ODF villages. The lack factors such as methods have not been
going well, the lack of budget and physical and human environments that does not
support.
Keywords: Program Evaluation, CLTS, and ODF
viii
ABSTRAK
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) di
Indonesia dalam 15 tahun terakhir masih berfokus pada pembangunan sarana
namun tidak disertai kesadaran masyarakat. Sedangkan pemerintah telah
menetapkan desentralisasi dengan harapan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan kesehatan meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengevaluasi program nasional STBM tahun 2008: program Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM) terutama pilar pertama dan mengidentifikasi faktor
penyebab dari kegagalan pelaksanaan program.
Jenis penelitian ini adalah evaluasi dengan pendekatan kualitatif.
Wawancara dilakukan secara purposive kepada pihak yang mengetahui program
tersebut di wilayah kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto. Data
sekunder diperoleh dari profil kesehatan dari dinas kesehatan Kabupaten
Mojokerto dan Puskesmas Pungging.
Hasil pencapaian program, Pelaksana program telah melaksanakan
pemicuan lebih dari 6 desa namun belum ada desa yang mencapai keadaan Open
Defecation Free (ODF). Dari target MDGs 67%, Puskesmas Pungging masih
mencakup 65%. Identifikasi faktor input dan proses didapatkan masih adanya
ketidaksesuaian dengan pedoman.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah pencapaian program STBM pilar
pertama di wilayah kerja Puskesmas Pungging belum memenuhi target jumlah
desa ODF. Faktor penyebab kegagalah antara lain metode yang belum berjalan
dengan baik, kurangnya anggaran dan lingkungan fisik maupun manusia yang
belum mendukung.
Kata kunci: Evaluasi program, STBM, dan ODF
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERSETUJUAN iv
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS v
KATA PENGANTAR vi
ABSTRACT vii
ABSTRAK viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 5
1.3 Pembatasan dan Rumusan Masalah 8
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 9
2.1 Tujuan Umum 9
2.2 Tujuan Khusus 9
2.3 Manfaat 9
2.3.1 Bagi peneliti lain 9
2.3.2 Bagi masyarakat 10
2.3.3 Bagi pemerintah 10
2.3.4 Bagi peneliti 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 11
3.1 Puskesmas 11
3.1.1 Konsep Puskesmas 11
3.1.2 Fungsi Puskesmas 11
3.1.3 Wilayah kerja Puskesmas 12
3.1.4 Fasilitas penunjang 12
3.2 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) 14
3.2.1 Sejarah STBM 14
3.2.2 Pengertian STBM 15
3.2.3 Pilar STBM 19
3.2.4 Pilar pertama Stop BABS 20
3.2.5 Indikator pilar pertama STBM 28
3.2.6 Buang air besar sembarangan ditinjau dari kesehatan
lingkungan 28
3.3 Evaluasi Program 32
3.3.1 Pengertian evaluasi program 32
3.3.2 Macam evaluasi 33
3.3.3 Tujuan evaluasi 34
3.3.4 Mekanisme evaluasi 35
x
3.3.5 Formulasi sumber dan jenis informasi yang dibutuhkan36
BAB IV KERANGKA KONSEP 38
BAB V METODE PENELITIAN 41
5.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian 41
5.2 Obyek Penelitian 41
5.3 Lokasi Penelitian 42
5.4 Waktu Penelitian 42
5.5 Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Cara
Pengukuran Variabel 43
5.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 45
5.7 Teknik Analisis Data 46
BAB VI HASIL 47
6.1 Input Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010 47
6.1.1 Sumber daya manusia 47
6.1.2 Anggaran 49
6.1.3 Sistem kebijakan operasional 51
6.1.4 Metode 51
6.1.5 Peralatan 52
6.1.6 Waktu 53
6.1 Proses 54
6.2 Hasil 60
6.3 Penyebab 63
BAB VII PEMBAHASAN 64
7.1. Input Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010 64
7.1.1 Sumber daya manusia 64
7.1.2 Anggaran 65
7.1.3 Sistem kebijakan operasional 66
7.1.4 Metode 71
7.1.5 Peralatan 72
7.1.6 Waktu 72
7.2. Proses Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010 73
7.3. Hasil Cakupan Pada Pelaksanaan Program Stop BABS
di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010 77
7.4. Penyebab Tidak Berhasilnya Program Stop BABS
di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010 77
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 81
8.1 Kesimpulan 81
8.2 Saran 81
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
1.1 Jumlah Desa yang Terpicu Tiap Wilayah Kerja Puskesmas
di Kabupaten Mojokerto Tahun 2010
4
5.1 Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Cara
Pengukuran
43
6.1 Rekapitulasi Hasil Monitoring Evaluasi Program Stop
BABS di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging
60
6.2 Proporsi Jumlah KK yang Menggunakan Sarana Jamban di
Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto
61
6.3 Hasil Cakupan Pelaksanaan Program Stop BABS di
Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
62
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar Halaman
3.1 Transmisi Penyakit Melalui Tinja 30
4.1
Kerangka Konseptual Evaluasi Pencapaian Program
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto Tahun
2008-2010
38
6.1. Hasil Cakupan Pelaksanaan Program Stop BABS (Sarana
Jamban) di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun
2008-2010
61
6.2. Hasil Cakupan Pelaksanaan Program Stop BABS (Jamban
Sehat) di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-
2010
62
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Pelaksanaan STBM
Lampiran 2 Kepmenkes RI nomor 852/MENKES/SK/IX/2008 tentang Strategi
Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Lampiran 3 Surat Pengantar dari Kampus Universitas Airlangga untuk Ijin
Penelitian di Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto
Lampiran 4 Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Kabupaten Mojokerto
Lampiran 5. Lembar Panduan Wawancara Kepada Petugas Sanitarian
Puskesmas Pungging dan Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Daftar Arti Lambang
% : persen
Daftar Arti Singkatan
3R : Reduce, Reuse, and Recycle
AMPL : Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
BAB : Buang Air Besar
BABS : Buang Air Besar Sembarangan
CLTS : Community-Led Total Sanitation
CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun
Depkes : Departemen Kesehatan
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KK : Kepala Keluarga
KLB : Kejadian Luar Biasa
MDGs : Millenium Development Goals
Menkes : Menteri Kesehatan
NGO : Non-Government Organization
No. : Nomor
ODF : Open Defecation Free
PAM-RT : Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga dan Makanan Sehat
PMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa
PSRT : Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RI : Republik Indonesia
SDM : Sumber Daya Manusia
SK : Surat Keputusan
SKN : Sistem Kesehatan Nasional
STBM : Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
SToPS : Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi
TOGA : Tokoh Agama
TOMAS : Tokoh Masyarakat
TPS : Tempat Pengumpulan Sampah sementara
TSSM : Total Sanitation and Sanitation Marketing
UU : Undang-undang
VERC’s : Village Education Resource
WSLIC II : Water and Sanitation for Low Income Communities in Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh
semua komponen bangsa yang memiliki tujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang
sehingga diharapkan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya (Sistem Kesehatan Nasional tahun 2009). Pelaksanaan
pembangunan kesehatan harus dilakukan secara berkesinambungan agar
dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang tersirat dalam UU RI No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan pada awalnya hanya dititikberatkan pada
upaya kuratif kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah
keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan
mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat terpadu dan
berkesinambungan.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai lini terdepan pada
pembangunan kesehatan juga memiliki tugas pembinaan peran serta
masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menyelengarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah tertentu. Pelayanan yang dilaksanakan adalah upaya preventif
2
dan kuratif secara terpadu, menyeluruh, dan dijangkau oleh wilayah kerja
kecamatan atau sebagai kecamatan di kotamadya atau kabupaten (Chayatin
dan Wahid, 2009).
Sejak tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan suatu ketetapan
desentralisasi. Desentralisasi merupakan pemberian kewenangan
pemerintahan atau urusan negara kepada rakyat. Desentralisasi digunakan
untuk pemerataan kesehatan melalui reformasi kesehatan atau merupakan alat
untuk meningkatkan kualitas pemerataan kesehatan, menjadi lebih efisien dan
efektif sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Hal tersebut ditandai
dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
(Mishra, dalam Achmadi, 2008).
Pemerintah telah memberikan ketetapan desentralisasi namun dari
masyarakat belum ada partisipasi dalam pembangunan kesehatan. Tidak
adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan menyebabkan
perencanaan pembangunan hanya sebuah perencanaan belaka dan tidak
memberikan hasil yang nyata. Contoh nyata pada pembangunan Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) di Indonesia 15 tahun terakhir masih
terfokus pada pembangunan sarana umum namun tidak disertai kesadaran
masyarakat dan pemerintah dalam hal perilaku hidup bersih dan sehat. Hal
tersebut dapat dilihat dari rasa kepemilikan masyarakat terhadap sarana yang
terbangun masih rendah, sehingga berdampak pada penggunaan sarana yang
tidak efektif dan efisien, termasuk pemeliharaannya (Ditjen PP dan PL, 2010).
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui kementrian kesehatan
mencanangkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai
3
program nasional. STBM merupakan program pemerintah dalam rangka
memperkuat upaya membudayakan hidup bersih dan sehat, mencegah
penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan
masyarakat, serta mengimplementasikan komitmen pemerintah untuk
meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar berkesinambungan dalam
pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Upaya
sanitasi berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852 /Menkes
/SK /IX /2008 yang disebut Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),
meliputi: tidak buang air besar (BAB) sembarangan, mencuci tangan pakai
sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah
dengan benar, serta mengelola limbah air rumah tangga dengan aman (Ditjen
PP dan PL, 2011).
Program STBM tergolong program yang baru dilaksanakan dan tidak
adanya subsidi pada program ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan.
Pelaksanaan program STBM dimulai dari pilar pertama yaitu Stop Buang Air
Besar Sembarangan (Stop BABS). Fokus pertama dilakukan pada Stop BABS
karena pilar tersebut berfungsi sebagai pintu masuk menuju sanitasi total serta
merupakan upaya untuk memutus rantai kontaminasi kotoran manusia
terhadap air baku minum, makanan, dan lainnya. Program ini lebih
menekankan pada perubahan perilaku kelompok masyarakat dengan metode
pemicuan. Pemicuan dilaksanakan dengan cara fasilitasi kepada masyarakat
dalam upaya memperbaiki keadaan sanitasi di lingkungan mereka hingga
mencapai kondisi Open Defecation Free (ODF). Kondisi ODF ditandai
dengan 100% masyarakat telah mempunyai akses BAB di jamban sendiri,
4
tidak adanya kotoran di lingkungan mereka, serta mereka mampu menjaga
kebersihan jamban. Di Jawa Timur, sebanyak 19 kabupaten masih berada di
bawah rata-rata desa ODF (10,28 desa). Dari 19 kabupaten tersebut tambahan
akses ke jamban sehat di Kabupaten Mojokerto masih rendah yaitu 5.204 jiwa
dimana jauh dibawah rata-rata jatim sebesar 40.363 jiwa. Berikut pelaksanaan
program Stop BABS di Kabupaten Mojokerto sampai tahun 2010.
Tabel 1.1 Jumlah Desa yang Terpicu Tiap Wilayah Kerja Puskesmas di
Kabupaten Mojokerto Tahun 2010
No. Puskesmas Jumlah desa Jumlah desa terpicu Jumlah desa ODF
1. Sooko 15 0 0
2. Trowulan 9 0 0
3. Tawangsari 7 0 0
4. Puri 16 6 0
5. Gayaman 12 6 0
6. Bangsal 17 2 0
7. Gedeg 10 1 0
8. Lespadangan 4 0 0
9. Kemlagi 12 6 0
10. Kedungsari 8 0 0
11. Dawarblandong 18 10 2
12. Kupang 9 0 0
13. Jetis 7 2 0
14. Mojosari 11 2 0
15. Modopuro 8 0 0
16. Pungging 12 7 0
17. Watukenongo 7 0 0
18. Ngoro 13 0 0
19. Manduro 6 0 0
20. Dlanggu 16 0 0
21. Kutorejo 9 0 0
22. Pesanggrahan 8 0 0
23. Pacet 10 4 0
24. Pandan 10 0 0
25. Trawas 13 0 0
26. Gondang 18 0 0
27. Jatirejo 19 0 0
Jumlah 304 46 2 Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto Tahun 2010
5
Hampir sebagian besar (63%) Puskesmas belum melaksanakan program
STBM di wilayah kerjanya. Puskesmas yang telah melaksanakan program
antara lain Gedeg, Bangsal, Jetis, Mojosari, Pacet, Puri, Gayaman, Kemlagi,
Pungging, dan Dawarblandong. Target pencapaian yang ditetapkan oleh
MDGs adalah 67% masyarakat sudah mempunyai akses BAB di jamban sehat.
Adanya target MDGs tersebut, Provinsi Jawa Timur melakukan program
percepatan yaitu tahun 2014 sudah mencapai kondisi 100% ODF. Dari
kebijakan provinsi ditindaklanjuti oleh Kabupaten Mojokerto dengan target
pencapaian tiap tahun terdapat 2 desa ODF setiap Puskesmas di Mojokerto.
Oleh karena program telah berjalan 3 tahun sehingga terpenuhinya target
pada saat tiap Puskesmas telah berhasil melaksanakan pemicuan hingga
tercapai ODF untuk 6 desa. Pada tabel 1.1 belum ada Puskesmas yang telah
memenuhi target yaitu pemicuan pada 6 desa dan keenam desa mencapai
kondisi ODF.
Pelaksanaan program STBM pilar pertama di wilayah kerja Puskesmas
Pungging belum mencapai target program. Hal ini mendorong penulis untuk
mengevaluasi program tersebut, mengidentifikasi faktor penyebab masalah
tidak tercapainya program melalui pendekatan sistem. Puskesmas yang akan
menjadi obyek penelitian adalah Puskesmas Pungging karena sudah
melakukan pemicuan lebih dari 6 desa namun belum sampai pada keadaan
ODF.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam model ekologi, faktor lingkungan yang terdiri dari fisik, biologi,
dan sosial selalu berhubungan dengan faktor Host dan Agent. Lingkungan
6
fisik, biologi, dan sosial yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit
(Mukono, 2006).
Program STBM dilaksanakan pada tahun 2008. Salah satu kecamatan
yang melaksanakan program tersebut adalah Kecamatan Pungging.
Puskesmas Pungging terletak di Kecamatan Pungging dengan wilayah kerja
12 desa yaitu Desa Pungging, Tunggal Pager, Randuharjo, Sekar Gadung,
Kalipuro, Lebak Sono, Banjar Tanggul, Janti Langkung, Tempuran, Mojorejo,
Purworejo, dan Curahmojo. Luas wilayah kerja Puskesmas Pungging adalah
48,06 Km2 dengan jumlah penduduk 46.724. Penduduk perempuan lebih
banyak daripada penduduk laki-laki yaitu 28.048 penduduk wanita dan
18.796 penduduk laki-laki. Ditinjau dari ukuran komponen demografi, rasio
jenis kelamin penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pungging sebesar 67.
Angka tersebut jauh dari 100 dimana dapat menimbulkan masalah karena di
wilayah ini kekurangan penduduk laki-laki. Akibatnya antara lain kekurangan
tenaga laki-laki untuk melaksanakan pembangunan dalam hal ini
pembangunan jamban (Mantra, 2007 dan Slamet, 2006).
Mayoritas penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pungging bekerja
sebagai petani dalam suatu kelompok tani. Menurut Sugiarto, tingkat
kesejahteraan rumah tangga petani masih belum masuk kategori sejahtera.
Indikasi tersebut disebabkan karena total pengeluaran yang terdiri dari
pengeluaran untuk konsumsi (pangan, bukan makanan) dan biaya produksi
yang dikeluarkan rumah tangga lebih besar dari pendapatan. Hal ini juga
dapat memicu lemahnya kesanggupan masyarakat untuk memenuhi kondisi
sanitasi.
7
Data tahun 2010 yang diperoleh dari Puskesmas Pungging
menunjukkan, kepemilikan sarana jamban sebesar 71% dengan persentase
pengguna jamban sebesar 51%, persentase kepemilikan sarana air bersih
sebesar 59% dimana sebagian besar (68%) menggunakan sumur gali dan
persentase pengguna sebesar 71%, serta di wilayah kerja Puskesmas
pungging memiliki satu Tempat Pengumpulan Sampah sementara (TPS).
Data tersebut menunjukkan sarana air bersih masih belum menjangkau
seluruh penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pungging dan diikuti dengan
penggunaan sarana jamban yang rendah dimana belum memenuhi target
MDGs yaitu 67%. Hasil pelaksanaan evaluasi dari Mukherjee dan
Josodipoero (2000), ketersediaan supply air dalam rumah tangga merupakan
salah satu faktor motivator yang dapat mendorong naiknya permintaan
jamban keluarga.
Rendahnya persentase pengguna jamban menunjukkan masih adanya
masyarakat yang buang air besar sembarangan. Menurut Chandra (2007),
Buang air besar sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air,
tanah, udara, makanan, dan perkembangbiakan lalat. Sesuai dengan model
ekologi, ketika lingkungan buruk akan menyebabkan penyakit. Penyakit yang
dapat terjadi akibat kontaminasi tersebut antara lain tifoid, paratiroid, disentri,
diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi
gastrointestinal lain, serta infeksi parasit lain. Pada daftar sepuluh penyakit
terbanyak pada pelayanan kesehatan rawat jalan Puskesmas Pungging,
penyakit diare termasuk di dalam daftar tersebut.
8
Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) di Puskesmas
Pungging yang berhubungan secara langsung dalam pelaksanaan program
Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas Pungging namun tidak aktif antara
lain dana sehat, Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL), maupun
Satuan Karya Bhakti Husada (SBH).
Program nasional STBM pilar pertama bertujuan untuk mengajak
masyarakat untuk menggunakan jamban sehingga tidak ada lagi masyarakat
yang buang air besar sembarangan. Namun dari data sekunder yang
didapatkan masih banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang buang
air besar sembarangan. Untuk mengetahui hasil program STBM yang lebih
detail perlu dilakukan evaluasi. Tujuan dari evaluasi program STBM adalah
sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program dan
perencanaan program yang akan datang (Supriyanto dan Damayanti, 2007).
1.3 Pembatasan dan Rumusan Masalah
Pelaksanaan program STBM masih fokus pada pilar pertama sehingga
dalam proposal ini peneliti hanya akan mengevaluasi pilar pertama yaitu Stop
BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Rumusan masalah dari penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimana Hasil Pencapaian Program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM) khususnya pilar pertama di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto?
2. Apabila hasil pencapaian program STBM pilar pertama belum
mencapai target, apa saja penyebabnya?
9
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi program Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM) pilar pertama, Stop BABS di wilayah
kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto.
2.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan input dari program STBM pilar pertama di Wilayah
kerja Puskesmas Pungging
2. Mendeskripsikan proses dari program STBM pilar pertama di Wilayah
kerja Puskesmas Pungging
3. Mendeskripsikan output dari program STBM pilar pertama di Wilayah
kerja Puskesmas Pungging dan membandingkan dengan target
4. Mendeskripsikan faktor penyebab tidak berhasilnya program STBM pilar
pertama di wilayah kerja Puskesmas Pungging
2.3 Manfaat
2.3.1 Bagi peneliti lain
1. Sebagai sarana pengaplikasian teori evaluasi dan sanitasi yang telah
didapatkan selama perkuliahan.
2. Sebagai bahan untuk melaksanakan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan program STBM
10
2.3.2 Bagi masyarakat
Sebagai sarana informasi tentang manfaat adanya program STBM bagi
masyarakat sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program STBM.
2.3.3 Bagi pemerintah
1. Sebagai sarana informasi tentang hasil evaluasi program nasional
pemerintah yang dijalankan di wilayah kerja Puskesmas Pungging
berdasarkan pencapaian program
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan masyarakat
untuk persiapan meningkatkan kesehatan masyarakat
3. Sebagai sarana pertimbangan untuk pihak lintas sektor program
STBM terutama di wilayah kerja Puskesmas Pungging.
2.3.4 Bagi peneliti
1. Sebagai sarana mempelajari program nasional STBM yang
dicanangkan untuk kesehatan masyarakat
2. Sebagai sarana melatih kemampuan mengevaluasi program nasional
kesehatan masyarakat yang dicanangkan oleh pemerintah pada
pelaksanaannya di wilayah kerja Puskemas Pungging
3. Sebagai sarana untuk mempelajari pelaksanaan program terutama
STBM, sehingga nantinya dalam dunia kerja dapat melaksanakan
program dengan lebih baik.
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Puskesmas
3.1.1 Konsep Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah suatu unit
pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan
kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang
kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah tertentu (Chayatin dan Wahid, 2009).
3.1.2 Fungsi Puskesmas
Ada tiga fungsi pokok Puskesmas, diantaranya adalah sebagai
berikut (Chayatin dan Wahid, 2009):
1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu
kepada masyarakat di wilayah kerjanya
Proses dalam melaksanakan fungsinya dilakukan dengan cara:
1. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri
12
2. Memberikan petunjuk kepada masyarakat bagaimana menggali dan
menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Memberi bantuan yang bersifat bimbingan teknik materi dan rujukan
medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat
4. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
5. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam
melaksasnakan program Puskesmas.
3.1.3 Wilayah kerja Puskesmas
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari
kecamatan. Dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas, terdapat faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor kepadatan penduduk, luas
daerah geografis, dan keadaan infrastruktur lainnya. Puskesmas
merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II, sehingga pembagian
wilayah kerja Puskesmas ditetapkan oleh Bupati, dengan memperhatikan
saran teknis dari Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi. Sasaran
penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30 ribu
penduduk pada setiap Puskesmas (Chayatin dan Wahid, 2009).
3.1.4 Fasilitas penunjang
Wilayah kerja Puskesmas yang meliputi kecamatan, tidak dapat
terjangkau apabila hanya ditangani oleh pihak Puskesmas sendiri. Oleh
karena itu, perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih
sederhana yang disebut Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling
(Chayatin dan Wahid, 2009).
13
1. Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu lebih sering dikenal sebagai pustu atau
pusban, merupakan unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan
berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan puskesemas dalam ruang lingkup wilayah
yang lebih kecil. Setiap Puskesmas memiliki beberapa Puskesmas
pembantu di wilayah kerjanya, namun adakalanya Puskesmas tidak
memiliki Puskesmas pembantu khususnya di daerah perkotaan.
2. Puskesmas keliling
Puskesmas keliling merupakan unit pelayanan kesehatan
keliling dilengkapi kendaraan bermotor roda empat atau perahu
motor, peralatn kesehatan, peralatan komunikasi, serta sejumlah
tenaga yang berasal dari Puskesmas. Puskesmas keliling berfungsi
menunjang dan membantu kegiatan Puskesmas dalam wilayah yang
belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan.
Kegiatan Puskesmas keliling diantaranya adalah sebagai berikut
(Chayatin dan Wahid, 2009):
a. memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah
terpencil atau daerah yang tidak atau sulit dijangkau oleh pelayanan
Puskesmas
b. melakukan penyelidikan tentang kejadian luar biasa (KLB)
c. Dapat diperguanakan sebagai alat transportasi penderita dalam
rangka rujukan bagi kasus darurat
14
d. Melakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan alat audio
visual.
3. Bidan desa
Pada setiap desa yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatannya,
ditempatkan seorang bidan di desa tersebut dan bertanggung jawab
langsung kepada kepala Puskesmas. Wilayah kerja bidan desa adalah
satu desa dengan jumlah penduduk rata-rata 3000 jiwa. Tugas utama
bidan desa adalah membina peran serta masyarakat melalui pembinaan
posyandu dan pembinaan kelompok dasawarsa serta pertolongan
persalinan di rumah penduduk.
3.2 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
3.2.1 Sejarah STBM
STBM merupakan adopsi dari keberhasilan pembangunan sanitasi
total dengan menerapkan model CLTS (Community-Led Total Sanitation).
Pendekatan CLTS berasal dari evaluasi oleh Kamal Kar mengenai
WaterAid dari VERC’s (Village Education Resource). Hasil dari evaluasi
adalah penemuan pendekatan CLTS dengan metode PRA pada tahun 2000.
Sejak tahun 2000, melalui pelatihan langsung oleh Kamal Kar dan
dukungan dari banyak lembaga serta dibantu dengan kunjungan lintas
Negara, CLTS telah menyebar ke organisasi lain di Bangladesh dan Negara
lain di Asia selatan dan asia tenggara, afrika, amerika latin, dan timur
tengah. Lembaga atau instansi yang mensponsori pelatihan ini oleh Kamal
Kar antara lain the WSP-World Bank, CARE, Concern, WSLIC II (Water
and Sanitation for Low Income Communities in Indonesia), the Bill and
15
Melinda Gates Foundation-supported Total Sanitation and Sanitation
Marketing project in East Java, the Social Fund for Development in Yemen,
the Irish NGO Vita Refugee Trust International working in Ethiopia, Plan
International and UNICEF(Kar, K and Chambers, R, 2008).
Uji coba implementasi CLTS di 6 kabupaten di Indonesia pada
tahun 2005. Pada Juni 2006, Departemen Kesehatan mendeklarasikan
pendekatan CLTS sebagai strategi nasional untuk program sanitasi. Pada
september 2006, program WSLIC memutuskan untuk menerapkan
pendekatan CLTS sebagai pengganti pendekatan dana bergulir di seluruh
lokasi program (36 kabupaten). Pada saat yang sama, beberapa LSM mulai
mengadopsi pendekatan ini. Mulai Januari sampai Mei 2007, Pemerintah
Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia merancang proyek
PAMSIMAS di 115 kabupaten. Program ini mengadopsi pendekatan CLTS
dalam rancangannya (Kepmenkes, 2008).
Bulan Juli 2007 menjadi periode yang sangat penting bagi
perkembangan CLTS di Indonesia, karena pemerintah bekerja sama dengan
Bank Dunia mulai mengimplementasikan sebuah proyek yang mengadopsi
pendekatan sanitasi total bernama Total Sanitation and Sanitation
Marketing (TSSM) atau Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS),
dan pada tahun 2008 diluncurkannya sanitasi total berbasis masyarakat
(STBM) sebagai strategi nasional (Kepmenkes, 2008).
3.2.2 Pengertian STBM
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah pendekatan,
strategi dan program untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
16
pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Perilaku higiene dan
sanitasi yang dimaksud antara lain tidak buang air besar sembarangan,
mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang
aman, mengelola sampah dengan benar dan mengelola limbah cair rumah
tangga dengan aman. Perilaku tersebut merupakan rangkaian kegiatan
sanitasi total. Selanjutnya rangkaian perilaku tersebut disebut sebagai pilar
STBM. Kelima pilar tersebut merupakan satu kesatuan kegiatan namun
perlu diprioritaskan pilar mana yang paling mendesak. Prioritas
berdasarkan criteria: 1) luasnya akibat (dampak) yang ditimbulkan oleh
prilaku itu; (2) kemampuan masyarakat untuk menanggulangi; (3)
keterdesakan untuk ditanggulangi; (4) keterdesakan, akibat yang akan
timbul apabila persoalan tidak segera ditanggulangi(Menkes, 2008 dan
Ditjen PP dan PL, 2011).
STBM dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat dimana
masyarakat sadar, mau dan mampu untuk melaksanakan sanitasi total yang
timbul dari dirinya sendiri, bukan melalui paksaan. Melalui cara ini
diharapkan perubahan perilaku tidak terjadi pada saat pelaksanaan
program melainkan berlangsung seterusnya (Depkes RI, 2009).
Metode yang digunakan dalam STBM adalah metode pemicuan.
Metode pemicuan ini dilaksanakan oleh tim fasilitator dengan cara
memicu masyarakat dalam lingkup komunitas terlebih dahulu untuk
memperbaiki sarana sanitasi sehingga tercapai tujuan dalam hal
memperkuat budaya perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat serta
mencegah penyakit berbasis lingkungan. Faktor-faktor yang harus dipicu
17
antara lain rasa jijik, rasa malu, takut sakit, aspek agama, privacy, dan
kemiskinan. Setelah pemicuan faktor tersebut terlaksana, dibentuklah
komite dari komunitas tersebut. Komite dibentuk agar rencana aksi dari
masyarakat yang terpicu dapat berjalan dengan baik. Selain itu monitoring
dari tim fasilitator juga harus diterapkan. Kegiatan terus dilakukan sampai
tercapai kondisi desa bebas buang air besar sembarangan (ODF/ Open
Defecation Free) (Ditjen PP dan PL, 2011).
Terdapat 4 Parameter desa ODF antara lain:
1. Semua rumah tangga mempunyai jamban yang memenuhi syarat
kesehatan.
2. Semua sekolah yang berada diwilayah tersebut mempunyai jamban
yang memenuhi syarat kesehatan dan program perbaikan hygiene.
3. Semua sarana jamban digunakan dan dipelihara.
4. Lingkungan tempat tinggal bebas dari kotoran manusia.
Tujuan umum dari program STBM adalah memicu masyarakat
sehingga dengan kesadarannya sendiri mau menghentikan kebiasaan
buang air besar di tempat terbuka pindah ke tempat tertutup dan terpusat.
Sedangkan tujuan khusus dari program STBM antara lain (Dinas
Kesehatan Profinsi Jatim):
1. Memfasilitasi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengenali
permasalahan kesehatan lingkungannya sendiri
2. Memfasilitasi masyarakat untuk menganalisis masalah kesehatan
lingkungan mereka dengan memicu perasaan jijik, malu, takut sakit,
rasa dosa, dan lain sebagainya sehingga muncul kesadaran untuk
18
merubah perilakunya kearah perilaku hidup bersih dan sehat dengan
meninggalkan kebiasaan bab di tempat terbuka.
3. Memunculkan kemauan keras masyarakat untuk membangun jamban
yang sesuai dengan keinginannya dan kemamuan mereka tanpa
menunggu bantuan.
Fasilitasi didefinisikan sebagai tindakan yang mempromosikan,
membantu, menyederhanakan, atau mempermudah suatu tugas.
Keterampilan fasilitasi pendidik kesehatan akan membantu membentuk
keseluruhan pengalaman peserta menjadi lebih berarti, bermanfaat, dan
produktif, membantu peserta untuk memberikan kontribusinya dan bekerja
sebagai suatu kelompok, serta menyederhanakan tugas kelompok sehingga
mudah tercapai dan dilaksanakan (Widyastuti, 2008).
Dalam program ini masyarakat dilibatkan dalam suatu aktivitas.
Keadaan ini dapat memberi stimulasi, sehingga terjadi partisipasi.
Partisipasi selanjutnya menimbulkan interaksi antar anggota masyarakat
sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan pada dirinya sehingga timbul
kesadaran tentang keadaan dirinya tersebut atau terjadi realisasi.
Kesadaran atau realisasi inilah yang kemudian menimbulkan keinginan
ataupun dorongan untuk berubah, yakni mengubah keadaannya yang jelek
menjadi baik. Keadaan inilah yang menunjukkkan motif pada diri seorang
telah terbentuk. Atas dasar motif inilah akan terjadi perubahan perilaku
(Slamet, 2006).
Prinsip dari program nasional STBM antara lain non-subsidi,
kebersamaan, keberpihakan terhadap kelompok miskin, keberpihakan pada
19
lingkungan, prinsip tanggap kebutuhan, kesetaraan jender, pembangunan
berbasis masyarakat, dan keberlanjutan (Kepmenkes RI, 2010 dan Ditjen
PP dan PL, 2011).
3.2.3 Pilar STBM
Tujuan STBM dapat tercapai dengan terpenuhinya beberapa pilar
agar kondisi sanitasi total sebagai prasyarat keberhasilan STBM tercapai.
Beberapa pilar tersebut antara lain (Kemenkes RI, 2010 dan Ditjen PP dan
PL,2011):
a) Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS)
Kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak
membuang air besar di ruang terbuka atau di sembarang tempat.
Tujuan dari pilar ini adalah mencegah dan menurunkan penyakit diare
dan penyakit lainnya yang berbasis lingkungan.
b) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
Perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air yang
mengalir pada 5 waktu kritis. Lima waktu kritis tersebut antara lain
sebelum makan, sesudah makan, setelah BAB atau kontak dengan
kotoran, setelah mengganti popok bayi, dan sebelum memberikan
makan bayi. Tujuan jangka panjang dari pilar kedua adalah untuk
berkontribusi terhadap penurunan kasus diare pada anak balita di
Indonesia.
20
c) Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga dan Makanan Sehat (PAM-
RT)
Suatu proses pengolahan, penyimpanan, dan pemanfaatan air minum
dan air yang digunakan untuk produksi makanan dan keperluan oral
lainnya. Tujuan dari pilar ketiga adalah untuk mengurangi kejadian
penyakit yang ditularkan melalui air minum.
d) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PSRT)
Proses pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga dengan prinsip
3R (Reduce, Reuse, and Recycle)
e) Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga (PALRT)
Proses pengolahan air limbah pada tingkat rumah tangga untuk
menghindari terciptanya genangan yang berpotensi menimbulkan
penyakit berbasis lingkungan
Kelima pilar tersebut diatas perlu dilakukan untuk menjamin
tercapainya kondisi sanitasi total. Namun, pada pelaksanaan STBM di
wilayah kerja Puskesmas Pungging, dari kelima pilar masih melaksanakan
pilar pertama. Pelaksanaan kegiatan hanya dilakukan pada pilar pertama
atau Stop BABS dimaksudkan agar fokus pada satu kegiatan dan
mendapatkan hasil yang maksimal. Pada saat masyarakat telah sadar
bahwa berperilaku hidup bersih dan sehat sangat perlu dilakukan, maka
pelaksanaan keempat pilar selanjutnya akan lebih mudah dijalankan.
3.2.4 Pilar pertama Stop BABS
Standar teknis pemicuan dan promosi Stop BABS terdiri dari
persiapan, pemicuan, dan paska pemicuan.
21
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan meliputi: Advokasi kepada Pemangku
kepentingan secara berjenjang, Identifikasi Masalah dan Analisis
situasi, Penyiapan fasilitator dan Peningkatan kapasitas kelembagaan.
a. Advokasi kepada pemangku kepentingan secara berjenjang
Advokasi dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari
Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat (TOMAS), Tokoh Agama
(TOGA), dan penyandang dana agar stakeholder yang terlibat
dalam kegiatan ini memahami prinsip-prinsip yang berlaku pada
pengelolaan Stop BABS. Dukungan mereka sangat penting karena
merupakan panutan masyarakat. Sehingga para tokoh masyarakat
perlu ditumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang konsep
STBM terlebih dahulu sebelum melaksanakan pemicuan. Upaya
menggalang dukungan tokoh masyarakat diharapkan adanya
kontribusi dalam proses pelaksanaan program mulai perencanaan
hingga terwujudnya desa ODF (Ditjen PP dan PL, 2011).
Advokasi adalah upaya persuasi yang mencakup kegiatan-
kegiatan penyadaran dan rasionalisasi terhadap orang lain yang
dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu
program atau kegiatan yang dilaksanakan. Tujuan umum dari
advokasi adalah diperolehnya komitmen dan dukungan dalam
upaya kesehatan baik berupa kebijakan, tenaga, dana, saran,
kemudahan, keikutsertaan dalam kegiatan maupun berbagai bentuk
lainnya sesuai keadaan dan suasana (Wijono, 2010).
22
b. Identifikasi masalah, kebutuhan dan analisis situasi
Bersama masyarakat mengidentifikasi masalah yang terjadi
di wilayah kerja Puskesmas Pungging terutama tentang kejadian
diare yang cukup tinggi. Tidak semua desa dapat mejadi lokasi
pemicuan. Lokasi pemicuan lebih efektif apabila daerah itu penuh
dengan kekumuhan, belum pernah ada pembangunan sarana
sanitasi dengan pendekatan subsidi, dan pernah menjadi daerah
dengan angka kejadian diare yang cukup tinggi (Ditjen PP dan PL,
2011).
Identifikasi masalah dilakukan dengan menemukan suatu
kesenjangan antara apa yang diharapkan atau yang telah
direncanakan. Sedangkan analisis situasi merupakan langkah yang
sangat diperlukan dalam suatu proses perencanaan karena jika
dilakukan dengan tepat maka kita dapat mendefinisikan masalah
sesuai dengan realita yang kita harapkan (Supriyanto dan
Damayanti, 2007)
c. Penyiapan Fasilitator
Dalam rangka mensosialisasikan program dan
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk kegiatan Stop BABS,
maka diperlukan tenaga fasilitator yang handal, trampil dan
memahami prinsip fasilitasi yang benar. Tugas utama fasilitator
adalah mempersiapkan dan melakukan pemicuan kepada
masyarakat. Proses penyiapan fasilitator dapat dilakukan melalui
seleksi yang dilanjutkan dengan pelatihan. Substansi pelatihan
23
adalah ketrampilan, pengetahuan, dan sikap sebagai fasilitator serta
langkah pemicuan untuk pilar Stop BABS. Pelatihan fasilitator ini
biasanya ada dua macam yaitu pelatihan bagi pelatih (Training Of
Trainers) dan pelatihan bagi fasilitator.
Pengembangan SDM kesehatan melalui pendidikan dan
pelatihan (diklat) merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan
dalam suatu departemen, instansi, atau organisasi agar pengetahuan
(knowledge), kemampuan (ability), dan ketrampilan(skill) mereka
sesuai tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan. Tenaga yang telah
menduduki suatu jabatan atau pekerjaan tertentu di instansi yang
bersangkutan perlu mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan. Diklat merupakan suatu bentuk
investasi pada sumber daya manusia untuk mencapai tingkat
produktivitas yang optimum (Adisasmito, 2008).
d. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
Peningkatan kapasitas kelembagaan yang dimaksud adalah
proses pemahaman lebih lanjut mengenai kebijakan nasional
AMPL, STBM dan pilar Stop BABS. Sasarannya adalah
lembaga/institusi (Pemerintah dan Non Pemerintah) yang
mempunyai kaitan langsung dengan program STBM.
Untuk kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan ini
Pemerintah Daerah melalui SKPD-nya dapat bekerja sama dengan
kabupaten lain atau lembaga lain yang bertanggung jawab terhadap
program AMPL dan STBM. Proses pelaksanaannya dapat
24
menyertakan personil dari semua SKPD terkait seperti dari unsur
Dinas Kesehatan, Bappeda, Pemberdayaan Masyarakat Desa
(PMD) atau nama lain yang sejenis, Dinas Pekerjaan Umum,
Perguruan Tinggi, LSM dan organisasi masyarakat lainnya (Ditjen
PP dan PL, 2011).
Kerjasama lintas sektor diperlukan karena program-
program mereka langsung bersentuhan dengan masyarakat yang
notabene memiliki multimasalah, sehingga dalam penanganannya
pun harus multidimensi dari berbagai peran institusi yang sinergis.
Beberapa program pembangunan akan dapat tercapai apabila ada
kerjasama dengan sektor lain (Adisasmito, 2008).
2. Tahap pemicuan
Tahap pemicuan terdiri dari 10 langkah antara lain:
a. Pengantar pertemuan
Ketua tim fasilitator menyampaikan tujuan kedatangan,
menjalin keakraban dengan komunitas. Tim fasilitator terdiri dari:
1. Leader fasilitator : fasilitator utama
2. Co fasilitator : membantu fasilitator dalam berproses
3. Process fasilitator : perekam proses dan hasil
4. Environment setter: penjaga suasana diskusi
Tujuan dari kedatangan tim fasilitator yaitu belajar tentang
kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan
lingkungan dan menyampaikan dengan tegas bahwa kegiatan ini
tanpa subsidi.
25
b. Pencairan suasana
Bertujuan untuk menciptakan suasana akrab antara fasilitator
dengan komunitas sehingga setiap individu dalam komunitas bisa
terbuka/ jujur tentang kondisi lingkungan mereka. Pencairan
suasana bisa dilakukan dengan permainan.
c. Identifikasi istilah-istilah yang terkait dengan sanitasi(sanitasi
umum dan kotoran manusia)
Leader fasilitator menanyakan beberapa pertanyaan yang dapat
menarik perhatian komunitas untuk mengeluarkan suaranya.
Komunitas menyebutkan penggunaan bahasa sehari-hari
mengenai buang air besar dan kotoran manusia.
d. Pemetaan sanitasi
Pemetaan sanitasi adalah pemetaan sederhana yang dilakukan
oleh komunitas untuk mengetahui lokasi BABS. Hal yang ada di
peta antara lain lokasi rumah, batas kampong, jalan desa, lokasi
kebun, sawah, kali, lapangan, rumah penduduk (diberi tanda mana
yang punya dan tidak punya jamban), serta lokasi BABS.
e. Transect walk
Transect walk berfungsi untuk memicu rasa jijik. Transect
dilakukan dengan cara mengajak masyarakat untuk menganalisis
keadaan sanitasi secara langsung di lapangan dengan menelusuri
lokasi pemicuan dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Memicu rasa jijik bisa dengan cara menawarkan air minum yang
26
telah dikotori dengan rambut. Kemudian rambut dianalogikan
sebagai kaki lalat yg telah hinggap di kotoran manusia.
f. Menghitung volume kotoran tinja
Perhitungan kotoran adalah menghitung bersama jumlah kotoran
manusia yang dihasilkan dapat membantu mengilustrasikan
betapa besarnya permasalahan sanitasi. Perhitungan dilakukan
dengan satuan gram.
g. Alur kontaminasi
Penentuan alur kontaminasi yang dilakukan oleh komunitas
menggunakan media gambar sketsa kontaminasi dari kotoran ke
mulut. Tim fasilitator memberikan kebebasan kepada komunitas
dalam menyusun alur kontaminasi.
h. Simulasi air yang terkontaminasi
Tim fasilitator menggunakan rambut ditempelkan ke tinja yang
dianalogikan seperti kaki lalat yang hinggap di tinja. Kemudian
rambut dicelupkan ke air minum. Tim fasilitator memicu rasa jijik
ke peserta dengan meminta mereka untuk meminum air tersebut.
i. Diskusi dampak (sakit, malu, takut, dosa)
Setelah dilakukan langkah sebelumnya, tim fasilitator mengajak
diskusi dengan komunitas berupa pertanyaan-pertanyaan yang
dapat membakar rasa sakit, malu, takut dan dosa. Pertanyaan
mengenai kemana mereka BAB keesokan hari, siapa saja yang
akan mandi di sungai yang banyak orang BAB.
27
j. Menyusun rencana program sanitasi
Tujuan dari tahap ini adalah memfasilitasi masyarakat
untuk menyusun rencana kerja kegiatan. Mulai dari membentuk
kelompok kegiatan sanitasi (yang selanjutnya disebut KOMITE).
Anggota masyarakat yang telah lebih dulu berkeinginan merubah
kebiasaan BABnya dapat menjadi calon kuat untuk menjadi
natural leader. Demikian pula para tokoh masyarakat, tokoh
agama atau kader yang ada di desa.
Mencatat semua rencana individu tiap keluarga untuk
menghentikan kebiasaan buang air besar di tempat terbuka sesuai
dengan komitmen mereka. Gambar peta pada saat pemetaan
disalin dalam kertas. Pada sesi ini terdapat kendala pada komite
yaitu masalah dana untuk keluarga yang tidak mampu. Maka
tugas fasilitator adalah membantu memecahkan masalah dengan
memberitahukan cara yang telah dilakukan di desa lainnya dalam
kabupaten.
3. Paska pemicuan
Tahap ini tim fasilitator melakukan pendampingan untuk
menjaga komitmen komite mengenai rencana pembangunan sarana
sanitasi. Hal yang dilakukan adalah memantau perkembangan
perubahan perilaku, bimbingan teknis dengan menyampaikan tangga
sanitasi dan opsi teknologi. Pendampingan dilaksanakan selambat-
lambatnya 5 hari setelah pemicuan. Selain kepada komite, tim
fasilitator juga mengadvokasi sasaran tidak langsung yaitu kepala desa
28
dan perangkatnya. Pendampingan dilakukan hingga desa mencapai
kondisi ODF. Desa yang telah mencapai status ODF akan
mendapatkan sertifikasi dan penghargaan. Upaya untuk menjaga
kondisi ODF dengan mengadakan lomba tingkat kecamatan.
pemantauan dilaksanakan melalui 2 (dua) mekanisme yaitu:
Pemantauan yang dilaksanakan oleh masyarakat secara partisipatif
untuk menilai kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat, dan
pemantauan yang dilaksanakan secara berjenjang mulai dari
kecamatan sampai ke pusat.
3.2.5 Indikator pilar pertama STBM
Terkait dengan penilaian kinerja program, maka diperlukan
indikator yang dapat dijadikan acuan dalam penilaiannya. Indikator pilar
pertama / Stop BABS yang digunakan sebagai acuan di Kabupaten
Mojokerto adalah sebagai berikut:
1. Proporsi KK yang BAB di jamban sehat sebesar 67%
2. Jumlah desa yang telah ODF (Open Defecation Free) yaitu dalam
satu tahun setiap wilayah kerja Puskesmas terdapat 2 desa yang
telah dipicu dan mencapai keadaan ODF (Open Defecation Free)
yaitu dalam satu desa 100% bebas dari perilaku buang air besar
sembarangan.
3.2.6 Buang air besar sembarangan ditinjau dari kesehatan lingkungan
Ekskreta manusia terutama feses merupakan hasil akhir dari proses
yang berlangsung dalam tubuh manusia dimana terjadi pemisahan dan
pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Ditinjau dari
29
kesehatan lingkungan, feses dapat menjadi masalah apabila dalam
pembuangannya tidak baik dan sembarangan. Buang air besar
sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, udara,
makanan, dan perkembangbiakan lalat. Penyakit yang dapat terjadi akibat
kontaminasi tersebut antara lain tifoid, paratiroid, disentri, diare, kolera,
penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi
gastrointestinal lain, serta infeksi parasit lain. Penyakit tersebut dapat
menjadi beban kesakitan pada komunitas dan juga menjadi penghalang
bagi tercapainya kemajuan di bidang sosial dan ekonomi. Pembuangan
kotoran manusia yang baik merupakan hal yang mendasar bagi keserasian
lingkungan (Chandra, 2009).
Faktor yang mendorong kegiatan pembuangan tinja secara
sembarangan antara lain tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan
di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan kebiasaan buruk dalam
pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi (Chandra,
2007).
Proses pemindahan kuman penyakit dari tinja yang dikeluarkan
manusia sebagai pusat infeksi sampai inang baru dapat melalui berbagai
perantara, antara lain air , tangan, serangga, tanah, makanan, susu serta
sayuran. Menurut Anderson dan Arnstein (Suparmin dan Soeparman,
2002), terjadinya proses penularan penyakit diperlukan faktor sebagai
berikut :
1. Kuman penyebab penyakit
2. Sumber infeksi (reservoir) dari kuman penyebab
30
Tinja
(Sumber infeksi)
Tanah
Air
Tangan
Serangga/ tikus
Makanan,
susu, sayuran
Manusia
(inang baru)
sakit
mati
3. Cara keluar dari sumber
4. Cara berpindah dari sumber ke inang
5. Cara masuk ke inang yang baru
6. Inang yang peka (susceptible)
Gambar 3.1 Transmisi Penyakit Melalui Tinja
Sumber: Suparmin dan Soeparman, 2002
Sumber terjadinya penyakit, dengan melihat gambar 3.1 Transmisi
penyakit melalui tinja adalah tinja. Dengan demikian untuk memutus
terjadinya penularan penyakit dapat dilaksanakan dengan memperbaiki
sanitasi lingkungan. Tersedianya jamban merupakan usaha untuk
memperbaiki sanitasi dasar dan dapat memutus rantai penularan penyakit
(Suparmin dan Soeparman, 2002).
Jamban merupakan tempat yang aman dan nyaman untuk
digunakan sebagai tempat buang air besar. Jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang mencegah kontaminasi ke badan air, kontak antara
manusia dan tinja, bau yang tidak sedap, membuat tinja tidak dapat
31
dihinggapi serangga, serta binatang lainnya, dan konstruksi dudukannya
dibuat dengan baik, aman, dan mudah dibersihkan (WSP-EAP, 2009).
Faktor yang mempengaruhi ukuran jarak yang aman antara jamban
dengan sumber air minum (Chandra, 2007):
1. Faktor Hidrobiologi
faktor hidrobiologi ini meliputi kedalaman air tanah, arah dan
kecepatan aliran tanah serta lapisan tanah yang berbatu dan berpasir
memerlukan jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan jarak yang
diperlukan untuk daerah yang lapisan tanahnya terbentuk dari tanah
liat.
2. Topografi Tanah
topografi tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah dan sudut
kemiringan tanah.
3. Metereologi
Di daerah yang curah hujannya tinggi, jarak sumur harus lebih jauh
dari jamban.
4. Jenis Mikroorganisme
bakteri pathogen lebih tahan pada tanah basah dan lembab. Cacing
dapat bertahan pada tanah yang lembab dan basah selama 5 bulan,
sedangkan pada tanah yang kering hanya dapat bertahan selama 1
bulan.
5. Kebudayaan
Terdapat kebiasaan masyarakat yang membuat sumur tanpa
dilengkapi dengan dinding sumur.
32
6. Frekuensi Pemompaan
akibat makin banyaknya air sumur yang diambil untuk keperluan
orang banyak, laju aliran air tanah menjadi lebih cepat untuk mengisi
kekosongan.
Pada program STBM, tidak berfokus pada membangun jamban
melainkan menyadarkan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan
kemudian dengan kesadaran tersebut mereka berinisiatif untuk
membangun jamban sesuai dengan kemampuannya. Pemilihan jamban
tidak tergantung pada pelaksana program, melainkan berdasarkan
kemampuan kelompok terpicu. Kelompok terpicu diberikan kebebasan
dalam menentukan jenis jamban yang akan mereka bangun.
3.3 Evaluasi Program
3.3.1 Pengertian evaluasi program
Evaluasi program STBM perlu dilaksanakan sejak awal
perencanaan, saat pelaksanaan, dan hasilnya. Hal ini dimaksudkan agar
dapat mengetahui gambaran menyeluruh tentang upaya yang telah
dilakukan dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Adanya
evaluasi dapat digunakan untuk mengetahui pelaksanaan dan hasil
program telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau belum, dan
untuk mengetahui adanya peluang, hambatan, dan kendala yang dihadapi
untuk bahan pertimbangan pelaksanaan program yang akan datang.
Evaluasi terutama didasarkan atas pemikiran yang rasional dan
data yang terukur, agar dalam pengambilan keputusan dalam upaya
menyelesaikan persoalan atau upaya peningkatan pelayanan berdasarkan
33
penilaian obyektif yang dapat diperjanggungjawabkan. Kegiatan evaluasi
adalah melakukan penilaian dengan membandingkan antara hasil yang
didapat dengan rencana nilai standar atau dengan membandingkan suatu
nilai sebelum dan sesudah eksperimen atau intervensi program (Wijono,
2007).
3.3.2 Macam evaluasi
Secara umum evaluasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif.
1. Evaluasi formatif : evaluasi yang dilakukan pada tahap pelaksanaan
program dengan tujuan memperbaiki program yang sedang berjalan
dan didasarkan oleh kegiatan sehari-hari, bulan bahkan tahun atau
waktu relative pendek. Evaluasi formatif dapat dilakukan setiap saat
selama program berjalan. Manfaat utama dari evaluasi formatif adalah
untuk memberikan umpan balik pada manajer program tentang
kemajuan hasil yang dicapai beserta hambatan-hambatan yang
dihadapi.
2. Evaluasi sumatif : evaluasi yang dilakukan untuk melihat hasil
keseluruhan dari suatu program yang telah selesai dilaksanakan atau
pada saat tahun anggaran selesai. Hasil dari evaluasi sumatif adalah
penilaian keberhasilan program. Evaluasi sumatif dilakukan pada
akhir program atau sekurang-kurangnya 5 tahun setelah program
dijalankan untuk jenis hasil program yang berupa dampak.
34
3.3.3 Tujuan evaluasi
Tujuan diadakannya evaluasi program STBM yang khusus
pada pilar pertama antara lain (Wijono, 2007; Supriyanto dan
Damayanti, 2007):
1. Supaya penyandang dana yang berkepentingan mengetahui bahwa
program terlaksana sesuai dengan pembiayaan yang telah dikeluarkan.
2. sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program
dan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program dan
perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan
memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan
program yang lalu selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperbaiki
kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan datang.
3. sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber dana, daya, dan
manajemen (resources) saat ini serta di masa-masa mendatang. Tanpa
adanya evaluasi akan terjadi pemborosan penggunaan sumber dana
dan daya yang sebenarnya dapat diadakan penghematan serta
penggunaan untuk program-program lain.
4. Memperbaiki pelaksanaan dan perencanaan kembali suatu program.
Sehubungan dengan hal ini perlu adanya kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antara lain mengukur kemajuan terhadap target yang
direncanakan, menentukan sebab dan faktor di dalam maupun di luar
yang mempengaruhi pelaksanaan program.
35
3.3.4 Mekanisme evaluasi
Proses kegiatan evaluasi secara keseluruhan dapat disimpulkan atas
empat dimensi atau langkah kegiatan yaitu (Supriyanto dan Damayanti,
2007):
1. Dimensi kegiatan berpikir secara konseptual
Kegiatan disini meliputi: a). formulasi tujuan, sasaran, dan manfaat
evaluasi. b). formulasi sumber dan informasi yang dibutuhkan. c).
formulasi kriteria yang akan digunakan. d). formulasi model atau
kerangka kerja atau rancang bangun.
2. Dimensi kegiatan operasional
Kegiatan disini meliputi kegiatan pengumpulan informasi baik melalui
kegiatan wawancara, observasi, nominal group technique, dan lain-
lain. Jenis informasi bisa primer maupun sekunder.
3. Dimensi kegiatan penilaian
Kegiatan disini meliputi kegiatan: a). formulasi derajat keberhasilan.
b). formulasi dan identifikasi masalah. c). formulasi faktor-faktor
penunjang dan penghambat program. d). formulasi sebab
ketidakberhasilan program.
4. Dimensi kegiatan tindak lanjut
Kegiatan disini meliputi kegiatan: a). formulasi atau rekomendasi
tindak pemecahan. b). mekanisme umpan balik. c). Mekanisme
kebutuhan informasi tambahan. d). Feedback hasil evaluasi kepada
institusi yang membutuhkan. d). follow up atau monitoring dari
pelaksanaan tindak koreksi atau pemecahan masalah.
36
3.3.5 Formulasi sumber dan jenis informasi yang dibutuhkan
Semua informasi yang masuk perlu dianalisis dan dipilih menurut
kebutuhan dan tujuan dilaksanakan kegiatan evaluasi. Untuk mendapatkan
informasi yang tepat, adekuat, dan sesuai dengan tujuan evaluasi, dapat
digunakan beberapa pendekatan. Salah satu pendekatan tersebut adalah
pendekatan sistem manajemen. Komponen yang ada pada sistem adalah
input, proses, output, effect atau outcome, dan impact atau dampak. Dalam
penelitian ini evaluasi hanya sampai pada output. Berikut penjelasan dari
setiap komponen sistem (Wijono, 2007; Supriyanto dan Damayanti, 2007):
1. Masukan (input)
Yaitu komponen atau unsur program yang diperlukan, termasuk
metode, peralatan, anggaran, sumber daya manusia, dan sistem
kebijaksanaan nasional yang harus dikembangkan.
2. Proses
Kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijaksanaan, sesuai
dengan strategi umum atau operasional. Hal ini mengenai frekuensi
kegiatan, siapa yang terlibat di dalam masing-masing program.
Dipandang dari sudut manajemen yang diperlukan adalah pelaksanaan
dari fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian.
3. Keluaran (output)
Kegiatan yang telah dilaksanakan (dalam jumlah dan waktu) sesuai
dengan target yang ditetapkan, diukur hasil pencapaian dari program.
37
Masalah ada pada hasil kerja (output, efek, dan dampak), maka
penyebab masalah ada pada upaya orgranisasi (proses dan input)
(Supriyanto dan Damayanti, 2007).
38
BAB IV
KERANGKA KONSEP
Gambar 4.1 Kerangka Konseptual Evaluasi Pencapaian Program Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pungging Kabupaten Mojokerto Tahun 2008-2010
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
1. Proporsi KK yang
BAB di jamban sehat
2. Proporsi desa yang telah
ODF (Open Defecation
Free)
Proses
pemicuan
Paska
pemicuan
Perencanaan
Output
2. proporsi rumah tangga
mengelola sampahnya
dengan benar
3. proporsi rumah tangga
telah menerapkan PAM
dan makanan yang
aman
4. proporsi fasilitas cuci
tangan (air, sabun,
sarana cuci tangan),
sehingga semua orang
mencuci tangan dengan
benar
5. proporsi rumah tangga
mengelola limbah
dengan benar
Input
Sumber daya
manusia ( man )
Anggaran (money)
Sistem
kebijaksanaan
nasional
Metode ( Method )
Peralatan( Machine)
Waktu ( Time )
39
Evaluasi yang akan dilakukan menggunakan pendekatan sistem yaitu input
proses output. Pencapaian suatu program dipengaruhi input yang meliputi:
a. sumber daya manusia (Man)
sumber daya manusia dalam program Stop BABS merupakan pelaksana dari
program termasuk pemegang program beserta tim fasilitator.
b. anggaran (Money)
anggaran yang digunakan dalam melaksanakan program Stop BABS mulai
dari persiapan hingga tercapainya kondisi ODF
c. sistem kebijaksanaan nasional
sistem kebijaksanaan nasional merupakan aturan tertulis yang digunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan program Stop BABS
d. Metode (Method)
Dalam pelaksanaan kerja diperlukan metode-metode kerja. Suatu tata cara
kerja yang baik akan memperlancar jalannya pekerjaan. Metode yang
digunakan dalam proses yaitu metode pemicuan
e. Peralatan (Machine)
Semua peralatan yang digunakan untuk mempermudah dan memperlancar
pelaksanaan program Stop BABS serta menciptakan efisiensi kerja
f. Waktu (Time)
Waktu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah waktu yang telah
ditetapkan untuk mencapai kondisi ODF.
40
Input akan ditransformasikan menjadi output melalui proses yang meliputi:
1. Perencanaan
Perencanaan dilakukan sebelum melaksanakan pemicuan dengan
mengacu pada input. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap ini
antara lain Advokasi kepada Pemangku kepentingan secara berjenjang,
Identifikasi Masalah dan Analisis situasi, Penyiapan fasilitator dan
Peningkatan kapasitas kelembagaan.
2. Pemicuan
Pemicuan meliputi pengantar pertemuan, pencairan suasana, identifikasi
istilah-istilah yang terkait dengan sanitasi, pemetaan sanitasi, transect
walk, menghitung volume kotoran tinja, alur kontaminasi, simulasi air
yang terkontaminasi, diskusi dampak dan menyusun rencana program
sanitasi.
3. Paska pemicuan
Paska pemicuan meliputi pendampingan dalam pelaksanaan rencana
program dari komite, bimbingan teknis, serta advokasi sasaran tidak
langsung.
Output dari program STBM dibagi menjadi lima sesuai dengan pilar STBM.
Namun, karena pelaksanaan baru pada pilar pertama sehingga output yang akan
diteliti adalah proporsi KK yang BAB di jamban sehat sebesar 67% dan jumlah
desa yang telah Open Defecation Free (ODF) yaitu dalam satu tahun setiap
wilayah kerja Puskesmas terdapat 2 desa yang telah dipicu dan mencapai keadaan
Open Defecation Free (ODF) yaitu dalam satu desa 100% bebas dari perilaku
buang air besar sembarangan.
41
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluatif yakni menilai
output suatu program yang sedang dilakukan dibandingkan dengan target
yang telah ditentukan. Hasil dari penilitian ini dapat digunakan untuk
perbaikan dan atau peningkatan program tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dimana lebih
bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar,
tidak menekankan pada angka. Alasan menggunakan metode ini karena
masalah penelitian belum jelas serta untuk memastikan kebenaran data. Pada
program STBM belum diketahui permasalahannya maka peneliti akan
melakukan evaluasi program tersebut juga memastikan kebenaran data STBM
yang ada (Sugiyono, 2011).
Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan tentang pelaksanaan
program STBM khususnya pilar pertama yaitu Stop BABS. Pedoman yang
digunakan sebagai alat evaluasi adalah KEPMENKES RI No.
852/MENKES/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat dan Pedoman pelaksanaan sanitasi total berbasis masyarakat
(STBM) yang disusun oleh Dirjen PP dan PL Tahun 2011.
5.2 Obyek Penelitian
Obyek penelitian diambil secara purposif yaitu semua yang berperan pada
pelaksanaan program Stop BAB antara lain kepala sub bidang penyehatan
lingkungan Dinkes Kabupaten Mojokerto, petugas penanggung jawab
42
program STBM di wilayah kerja Puskesmas Pungging, penerima program
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) atau komite pemicuan, dan
perangkat desa di wilayah kerja Puskesmas Pungging yang telah
melaksanakan program.
5.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto,
Puskesmas Pungging, tepatnya di wilayah kerja Puskesmas Pungging.
Adapun alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:
a. Kabupaten Mojokerto telah melaksanakan program STBM sejak tahun
2008 namun belum ada Puskesmas yang memenuhi target program
b. Puskesmas Pungging telah melakukan pemicuan lebih dari 6 desa namun
adalah Puskesmas Dawarblandong dan Puskesmas Pungging. Namun
kedua Puskesmas tersebut belum ada desa yang mencapai kondisi ODF.
Diantara kedua Puskesmas tersebut, Puskesmas Pungging belum pernah
berhasil menciptakan kondisi ODF di satu desa.
5.4 Waktu Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2011.
Kemudian dilanjutkan penyusunan hasil skripsi pada bulan November 2011
sampai Januari 2012.
43
5.5 Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel
Tabel 5.1. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Cara Pengukuran
No. Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran Indikator
1. Input Komponen atau
unsur program yang
diperlukan
1) Sumber
daya
manusia
Pelaksana dari
program termasuk
pemegang program
beserta tim fasilitator
wawancara Berjumlah 5 dan
aktif sampai
tercapainnya kondisi
ODF. Terdiri dari
Leader fasilitator,
Co fasilitator,
Process fasilitator ,
Environment setter:
2) Anggaran Anggaran yang
digunakan dalam
melaksanakan
program Stop BABS
mulai dari persiapan
hingga tercapainya
kondisi ODF
wawancara Berdasarkan
pengajuan ke dinas
kesehatan baik
berasal dari APBN,
APBD, Pihak
Swasta, BLN, dan
Sumber lain yang
sah dan tidak
mengikat.
3) Peralatan Semua peralatan
yang digunakan
untuk mempermudah
dan memperlancar
pelaksanaan program
Stop BABS serta
menciptakan
efisiensi kerja
Wawancara
dan
observasi
Adanya gambar
sketsa kontaminasi
dari kotoran ke
mulut, daftar hadir,
dan peta hasil
pemetaan
4) Waktu Waktu yang telah
direncanakan untuk
mencapai kondisi
ODF hingga 67%
wawancara Sampai tahun 2011
dengan 2 kali
pemicuan hingga
mencapai kondisi
ODF
5) Sistem
Kebijak-
sanaan
operasional
Aturan tertulis yang
digunakan sebagai
acuan dalam
pelaksanaan program
Stop BABS
Wawancara
dan
penelusuran
dokumen
Sesuai dengan yang
ada di pedoman
STBM
6) Metode Cara kerja untuk
mencapai tujuan
Wawancara Pelaksanaan
pemicuan
Dilanjutan ke …
44
No. Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran
Indikator
2. Proses Jalannya suatu
rogram mulai dari
perencanaan hingga
monitoring
1) Perencana-
an
Advokasi kepada
Pemangku
kepentingan secara
berjenjang,
Identifikasi Masalah
dan Analisis situasi,
Penyiapan fasilitator
dan Peningkatan
kapasitas
kelembagaan
Wawancara Dilaksanakannya
program oleh
fasilitator dan
adanya dukungan
pemangku
kepentingan
2) Pemicuan meliputi pengantar
pertemuan,
pencairan suasana,
identifikasi istilah-
istilah yang terkait
dengan sanitasi,
pemetaan sanitasi,
transect walk,
menghitung volume
kotoran tinja, alur
kontaminasi,
simulasi air yang
terkontaminasi,
diskusi dampak dan
menyusun rencana
program sanitasi.
Wawancara
dan
observasi
Adanya daftar
anggota yang terpicu
3) Paska
pemicuan
pendampingan
dalam pelaksanaan
rencana program
dari komite,
bimbingan teknis,
serta advokasi
sasaran tidak
langsung.
Wawancara
dan
observasi
- Dilaksanakan
selambat-
lambatnya 5 hari
setelah pemicuan
- Adanya data
pemetaan terbaru
Lanjutan Tabel 5.1.
Dilanjutan ke …
45
No. Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran
Indikator
3. Output Hasil pencapaian
dari program
1) Proporsi
KK yang
BAB di
jamban
sehat
Perbandingan jumlah
KK yang BAB di
jamban sehat dengan
jumlah KK
keseluruhan
Data
sekunder
Sebesar 67% pada
tahun 2010
2) Jumlah
desa yang
telah ODF
Banyaknya desa
yang telah mencapai
kondisi ODF
Data
sekunder
dua desa tiap tahun
mulai tahun 2008
5.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data digunakan teknik wawancara dengan
menggunakan panduan indepth interview dan dokumen sebagai instrumen
penelitian.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data primer
Data primer yang diperlukan diperoleh dari wawancara indepth
interview. Wawancara tidak terstruktur ditujukan pada petugas sanitarian,
dan masyarakat yang telah mengikuti pemicuan dengan panduan indepth
interview. Sedangkan dalam melakukan identifikasi penyebab masalah
dilakukan diskusi dengan beberapa pihak yang sangat memahami
program Stop BABS untuk membuat diagram ishikawa.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu data pencapaian hasil program STBM
khususnya pilar pertama tahun 2008-2010 yang diambil dari Puskesmas
Pungging serta data geografi, topografi dan kependudukan dari kantor
Kecamatan Pungging.
Lanjutan Tabel 5.1.
46
5.7 Teknik Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari wawancara akan dianalisis secara deskriptif
yaitu tentang evaluasi program Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas
Pungging. Evaluasi dilaksanakan dengan menilai faktor input, proses dan
output dibandingkan dengan target. Hasil pencapaian program Stop BABS
dari tahun 2008 hingga 2010 disajikan dalam bentuk grafik tren. Sehingga
dapat diliat sejauh mana tujuan program Stop BABS telah dicapai. Hasil
pencapaian juga dibandingkan dengan target program Stop BABS. Dari hasil
tersebut dapat diketahui sejauh mana pencapaian program Stop BABS di
wilayah kerja Puskesmas Pungging. Kemudian disusun faktor penyebab dari
tidak berhasilnya program menggunakan metode diagram ishikawa
berdasarkan hasil penilaian input dan proses.
47
BAB VI
HASIL
6.1 Input Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
Input merupakan komponen atau unsur program yang diperlukan,
termasuk metode, peralatan, anggaran, sumber daya manusia, dan sistem
kebijaksanaan nasional yang harus dikembangkan.
6.1.1 Sumber daya manusia
Dalam pelaksanaan program Stop BABS di wilayah kerja
Puskesmas Pungging dibutuhkan beberapa tenaga sanitarian. Program
Stop BABS dapat berjalan dengan adanya pemegang program.
Pemegang program Stop BABS bekerja sebagai sanitarian di
Puskesmas Pungging. Pendidikan terakhir yang telah ditempuh tenaga
sanitarian adalah D1 SPPH sanitasi. Petugas sanitarian bekerja sebagai
tenaga sanitarian sejak tahun 1985, Namun baru menangani program
STBM pada tahun 2008 karena program tersebut baru dicanangkan
pada tahun tersebut. Sebelum tahun 2008, program yang berkaitan
dengan sarana sanitasi hanya inspeksi sarana sanitasi. Petugas sanitarian
saat ini selain mempunyai tugas dalam hal penyehatan lingkungan juga
menangani keuangan yaitu JPSBK (Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan).
48
Pelaksanaan program STBM dilakukan dengan cara pemicuan di
lapangan, petugas sanitarian dibantu tenaga sanitarian dari Puskesmas
lainnya dalam satu kabupaten. Selain tenaga sanitarian, bidan desa,
kader, PKK, dan bagian pemberdayaan di kecamatan ikut menjadi
fasilitator. Jumlah tenaga sanitarian yang dibutuhkan dalam satu tim
minimal 5 orang dengan pembagian tugas sebagai leader fasilitator, co-
fasilitator , environment center, content fasilitator, dan process
fasilitator. Satu orang tenaga sanitarian dapat merangkap dua tugas
sekaligus. Fasilitator yang akan melakukan pemicuan di lapangan sudah
pernah mengikuti pelatihan sebelumnya baik dilatih oleh provinsi
maupun dari dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto sendiri. Berikut
hasil wawancara di Puskesmas Pungging:
“…minimal kan 5 orang, ada yang jadi apa, lead, co lead,
maringono bagian itu suasana, gitu lho. Pokoknya lima itu
terpakai semua kan. Minimal kan 5….”
“…ini yang pernah ikut pelatihan ini dari PKK ada, sama
dari bangdes itu apa y, kaurbang itu lho, yang dilatih. Yang
nglatih dari dinkes..”
Menurut pihak dinas kesehatan, Puskesmas Pungging termasuk
aktif pada program STBM. Petugas sanitarian Puskesmas Pungging
sudah melaksanakan dengan baik. Berkaitan dengan jumlah fasilitator,
sesuai dengan pedoman yang ada yaitu terdapat leader fasilitator , co-
fasilitator, environment center, content fasilitator, dan process
fasilitator. Walaupun menurut dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto,
fasilitator tidak harus sejumlah 5 orang, karena keterbatasan dana.
Berikut hasil wawancara di dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto,
49
“…tergantung, gak ada minimal. Tapi idealnya ada yang
namanya leader, co, recordernya. Ada 5 orang itu. Ideal lho
ya…”
“ …Gak semuanya dilatih. Tapi sanitariannya semua sudah
dilatih, ada yang sekali ada yang dua kali. Rata-rata sudah
semua. Yang memberi pelatihan dari provinsi dan
kabupaten. Dari program CLTS…”
“ …fasilitator tu sebelum turun ke lapangan, dia akan
mendapatkan pelatihan dulu dan sertifikat fasilitator. Seperti
itu …”
Pada pedoman pelaksanaan STBM, dalam melaksanakan
kegiatan PHBS dan Stop BABS diperlukan tenaga fasilitator yang
handal, trampil dan memahami prinsip fasilitasi yang benar. Fasilitator
harus mengikuti pelatihan baik pelatihan bagi pelatih/ Training of
Trainers maupun pelatihan bagi fasilitator. Hal ini sudah dilaksanakan
oleh pemegang program Stop BABS di Puskesmas Pungging.
Pemegang program telah mengikuti pelatihan bersama semua tenaga
sanitarian di Kabupaten Mojokerto. Semua fasilitator yang berperan
dalam pelaksanaan program yaitu bidan desa, kader, PKK, dan bagian
kaurbang kecamatan juga sudah mengikuti pelatihan fasilitator oleh
dinas kesehatan provinsi Jawa Timur maupun dinas kesehatan
Kabupaten Mojokerto.
6.1.2 Anggaran
Anggaran dalam melaksanakan program Stop BABS digunakan
mulai dari persiapan hingga tercapainya kondisi ODF. Anggaran untuk
melaksanakan program ini tidak ada secara khusus. Tiap tahun dana
berasal dari sumber yang berbeda. Tahun 2009 berasal dari APBD 1
dan tahun 2011 berasal dari dana Bantuan Operasional Kesehatan
50
(BOK). Sedangkan pada tahun 2010 tidak ada anggaran, sehingga
pemegang program tidak melaksanakan kegiatan pemicuan. Selain itu
anggaran hanya cukup digunakan pada saat perencanaan sampai
pelaksanaan pemicuan di lapangan yaitu untuk keperluan konsumsi,
uang lelah tim, dan peralatan yang digunakan. sedangkan untuk
monitoring dilakukan pada saat petugas melakukan program yang
lainnya. Menurut pemegang program di wilayah kerja Puskesmas
Pungging alokasi dana tersebut kurang, hal ini juga disampaikan oleh
pihak dinas kesehatan bahwa anggaran untuk program ini kurang.
Berikut hasil wawancara di dinas kesehatan:
“….kita keterbatasan dana. APBD itu tahun 2009, tahun
2010, 2011 zero…. Temen-temen kan terbenturnya masalah
anggaran. Alasannya itu, tapi kemarin sudah disikapi
dengan dana BOK. Mudah-mudahan ini dimanfaatkan bener
oleh temen-temen. Dana BOK ini digunakan untuk
monitoring…”
Berdasarkan penjelasan dari pihak dinas kesehatan, dana yang ada
pada tahun 2011 yang berasal dari BOK merupakan solusi untuk
mengatasi tidak adanya dana untuk monitoring. Namun, pada kenyataan
di lapangan masih kekurangan dana baik untuk pelaksanaan pemicuan
di lapangan maupun untuk monitoring.
Sesuai dengan pedoman, pemegang program telah melakukan
pengajuan ke dinas kesehatan mengenai anggaran yang dibutuhkan
namun, anggaran yang turun masih belum mencukupi untuk
pelaksanaan mulai dari perencanaan hingga tercapainya kondisi ODF.
51
6.1.3 Sistem kebijakan operasional
Berdasarkan penelusuran dokumen dan hasil wawancara, sistem
kebijaksanaan operasional yang digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan program Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas Pungging
masih kurang. Petugas sanitarian tidak mempunyai dokumen-dokumen
yang menjadi acuan yang fokus pada program STBM terutama
pedoman pemantauan dan evaluasi, dokumen pedoman pengelolaaan
pengetahuan maupun dokumen pedoman teknis program STBM. Hal ini
dikarenakan dokumen-dokumen tersebut masih dalam proses
penyusunan dan baru selesai pada bulan Oktober 2011. Petugas
sanitarian hanya memiliki handout yang didapat dari pelatihan antara
lain sosialisasi program SToPS/Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi,
tahapan pemicuan di komunitas oleh Team fasilitator dinas kesehatan
provinsi Jawa Timur dan Community Led Total Sanitation (CLTS),
Serta pedoman dari kamal karl. Sehingga dalam hal sistem
kebijaksanaan operasional, pemegang program belum memiliki
dokumen pedoman yang seharusnya dimiliki sebagai pedoman
pelaksanaan.
6.1.4 Metode
Metode yang digunakan dalam program Stop BABS adalah
pemicuan. Pemicuan yang dilakukan oleh pemegang program dengan
cara memfasilitasi masyarakat tanpa mempengaruhi pengetahuan
mereka. Fasilitator memahami bahasa lokal dan budaya masyarakat
sehingga masyarakat dengan mudah menyampaikan seberapa besar
52
pengetahuan mereka dan kendala dalam membangun sarana sanitasi.
Fasilitator berusaha untuk menciptakan agar masyarakat merasa
membutuhkan sarana sanitasi hingga mereka membangun jamban
dengan usaha sendiri. Fasilitator memicu rasa jijik, malu, takut sakit,
dan dosa. Namun hanya sedikit masyarakat yang merasa membutuhkan
dan mampu membangun jamban dengan usaha sendiri. Masyarakat
masih meminta dana kepada fasilitator. Monitoring dan evaluasi belum
dilaksanakan sesuai dengan pedoman.
Metode yang dilaksanakan oleh pemegang program sudah sesuai
dengan pedoman. Namun pelaksanaan monitoring dan evaluasi belum
dilaksanakan sesuai dengan pedoman. Monitoring hanya dilaksanakan
oleh pemegang program dan dinas kesehatan sedangkan dari
masyarakat sendiri belum tergerak untuk peduli pada lingkungannya.
6.1.5 Peralatan
Peralatan digunakan untuk mempermudah dan memperlancar
pelaksanaan program Stop BABS serta menciptakan efisiensi kerja.
Peralatan yang digunakan oleh petugas sanitasi dalam menjalankan
program Stop BABS antara lain gambar sketsa kontaminasi dari
kotoran ke mulut, spidol warna-warni, kertas manila, buku dan bulfoin,
serta kertas daftar hadir kelompok pemicuan. Gambar sketsa
kontaminasi dari kotoran ke mulut didapatkan pada waktu petugas
sanitarian mengikuti pelatihan kemudian diperbanyak sendiri untuk
kegiatan pemicuan di lapangan. Gambar sketsa tersebut digunakan
untuk menggali seberapa besar tingkat pengetahuan mereka terhadap
53
pencemaran makanan oleh karena buang air besar sembarangan. Spidol
dan kertas manila digunakan untuk pemetaan kondisi desa mereka.
Berikut hasil wawancara di Puskesmas Pungging::
“Kit kita dapat dari dinas, kita perbanyak sendiri, kita
fotokopi sendiri”
Peralatan yang digunakan oleh pemegang program Stop BABS
sudah sesuai dengan pedoman. Pada penulusuran dokumen ditemukan
adanya gambar sketsa kontaminasi dari kotoran ke mulut, daftar hadir
dan peta hasil pemetaan dari tiap dusun yang telah melakukan pemicuan.
6.1.6 Waktu
Waktu yang ditetapkan untuk mencapai kondisi 100% ODF di
wilayah kerja Puskesmas Pungging tahun 2014. Kabupaten Mojokerto
menetapkan suatu keputusan setiap Puskemas melakukan program
pemicuan dua kali dalam satu tahun. Dua sasaran pemicuan
dilaksanakan sampai pada tahap ODF. Sedangkan petugas sanitarian
mempunyai perhitungan sendiri mengenai idealnya dilakukan pemicuan
yaitu 4 desa dilakukan pemicuan dalam setahun.
Berikut hasil wawancara di Puskesmas Pungging:
“ …Sakjane kurang, sebetulnya 4. Saiki 12, 2011.
Misalkan gae 4, 12 dibagi 4 berarti kan 3. Ngitung e ngunu
ae lho, aku gak gae rata-rata, jadi 3 desa itu berapa dusun…”
Berikut hasil wawancara di dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto:
“ …kebijakan didorong oleh tingkat 1 tahun 2014 itu
ODF tingkat kabupaten, kabupaten lho ya. Ditindaklanjuti
kabupaten, tiap tahun harus 2 komunitas di Kabupaten
Mojokerto. Satu Puskesmas 2 komunitas ODF 2011 ini.
Kalau komunitas biasanya dusun… saya berharap dari
dusun merambat ke yang lain…”
54
Berdasarkan kesepakatan dari Kabupaten, pelaksanaan pemicuan
seharusnya dilaksanakan 2 kali dalam satu tahun hingga mencapai
kondisi ODF. Sedangkan pemegang program belum melaksanakan
dengan baik. Pemegang program melaksanakan pemicuan lebih dari 2
desa namun belum ada satu pun desa yang mencapai kondisi ODF.
6.1 Proses Program STBM Tahun 2008-2010 di Wilayah Kerja Puskesmas
Pungging Kabupaten Mojokerto
Proses program STBM meliputi perencanaan, pemicuan, dan paska
pemicuan. Berikut penjelasan secara rinci proses tersebut.
1. Perencanaan
Tahap perencanaan meliputi Advokasi kepada Pemangku
kepentingan secara berjenjang, Identifikasi Masalah dan Analisis situasi,
Penyiapan fasilitator dan Peningkatan kapasitas kelembagaan.
Advokasi kepada pemangku kepentingan seperti pemerintah
daerah, tokoh agama dan penyandang dana sudah dilakukan baik oleh
dinas kesehatan maupun pemegang program Stop BABS di wilayah
kerja Puskesmas Pungging namun tanggapan mereka kebanyakan
kurang. Mindset mereka masih pada program bersubsidi sedangkan
program Stop BABS merupakan program non subsidi. Berikut hasil
wawancara dengan pemegang program Stop BABS di wilayah kerja
Puskesmas Pungging:
“pokok e yang mlaku saradan karo njlopo. Pak polo e rodok
enak. Sekarang itu pemicuan tergantung dari kepala dusun
sama kepala desa. Jadi kalau kepala dusun sama kepala desa
itu dia mau menggerakkan masyarakat, insyaAllah bisa
berjalan. Jadi dukungan dari perangkatlah harus ada. Kalau
ndak ada dukungan ndak akan jalan.”
55
Hasil wawancara dengan pemegang program, kepala Dusun
Saradan dan Jlopo saja yang memberi dukungan pada program Stop
BABS, mereka mampu menggerakkan masyarakat. Sedangkan kepala
dusun lainnya masih mengharapkan subsidi dari stakeholder yang peduli
dengan lingkungan.
Berikut hasil wawancara dari salah satu tokoh masyarat:
“….wong wis gak onok dana e, wis percuma ngunu iku.
Wong kondisi masyarakat e gak mampu, wong2 ngenteni
bantuane…”
Kebanyakan tokoh masyarakat mengatakan hal yang sama seperti
salah satu hasil wawancara tersebut. Tokoh masyarakat juga masih
menunggu bantuan dari luar. Mereka menganggap kondisi masyarakat
yang tidak mampu hanya bisa menunggu bantuan dari luar.
Dari hasil wawancara tersebut pelaksanaan advokasi belum sesuai
dengan pedoman. Pada pedoman diharapkan adanya dukungan dari
pemangku kepentingan secara berjenjang mulai dari pemerintah daerah,
swasta, LSM, perguruan tinggi, sekolah maupun masyarakat. Sedangkan
pelaksanaan di wilayah kerja Puskesmas Pungging belum ada dukungan
dari masyarakat setempat.
Identifikasi masalah, kebutuhan dan analisis situasi juga sudah
dilakukan oleh pemegang program beserta fasilitator lainnya sesuai
dengan pedoman. Pemilihan lokasi pemicuan dilakukan dengan cara
membandingkan data lama dan data baru kepemilikan jamban kemudian
diambil wilayah yang kepemilikan jamban paling rendah.
56
Berikut hasil wawancara dengan pemegang program Stop BABS di
wilayah kerja Puskesmas Pungging:
“…Kita kan pendataan dulu, kita sama bidan sama kader.
Perencanaan saya desa purworejo, sebelum kita melakukan
pemicuan kan butuh data baru, data lama. Dari hasil
pendataan mana yang kurang, trus titiknya ambil titik dusun
apa titik RT untuk dipicu itu RT mana yang jambannya masih
kurang banyak…”
Fasilitator sudah mendapatkan pelatihan bagi fasilitator baik
pemegang program maupun bidan desa, kader, PKK, dan bagian
kaurbang kecamatan. Pemegang program mendapatkan pelatihan bagi
fasilitator selama 45 jam dalam 4 hari sedangkan bidan desa, kader,
PKK, dan bagian kaurbang kecamatan mendapatkan pelatihan dari dinas
kesehatan Kabupaten Mojokerto yang telah mengikuti training of
trainers. Pelatihan yang didapatkan oleh pemegang program dengan
bidan desa, kader, PKK maupun bagian kaurbang kecamatan berbeda.
Pemegang program memiliki sertifikat namun yang lain hanya
mendapatkan piagam.
Berikut hasil wawancara di dinas kesehatan:
“…fasilitator tu sebelum turun ke lapangan, dia akan
mendapatkan pelatihan dulu dan sertifikat fasilitator. Seperti
itu. Seharusnya pelatihan fasilitator itu 4 hari, 45 jam kalau
gak salah. Itu bisa mendapatkan sertifikat. 4 hari… La
kabupaten gak punya anggaran jadi dimampatkan menjadi 2
hari Cuma mendapatkan piagam…”
Sesuai dengan pedoman, sebelum tim fasilitator melakukan
fasilitasi di lapangan harus pernah mengikuti pelatihan sebagai fasilitator
baik dari kabupaten maupun provinsi.
57
Usaha peningkatan kapasitas kelembagaan sudah dilakukan oleh
dinas kesehatan kepada bupati, dinas PU cipta karya, perguruan tinggi
terutama ITS. Namun tanggapan dari bupati dan dinas PU masih kurang,
hal ini dapat diketahui dari kurangnya alokasi anggaran dari bupati dan
dinas PU yang masih tetap melaksanakan pembangunan jamban.
Sedangkan menurut petugas sanitarian, jamban yang dibangun oleh
dinas PU belum memenuhi syarat kesehatan. Mahasiswa dari perguruan
tinggi terutama ITS sering melakukan penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Pungging, juga praktek kerja lapangan. Berikut hasil
wawancara di dinas kesehatan:
“…Kalau lintas sektor kita terkadang berbenturan mbak,
misalnya dengan PU Cipta Karya ya,, mereka malah
membangun, mereka membangun jamban. Padahal kita
nggak bangun jamban, kita merubah perilaku mereka…”
Berikut hasil wawancara dengan pemegang program Stop BABS di
wilayah kerja Puskesmas Pungging:
“ iku biyen digae praktek”
“…Tapi dibangun itu digunakan ta? Ndak mungkin…
biarpun buat rumah tangga itu dia mbangunnya tu Cuma se
,,,, halah saya tahu sendiri dipacul morongunu ditutup yo
sudah. Kalau kesehatan kan masih sesuai..”
Pelaksanaan peningkatan kapasitas kelembagaan menurut pedoman
dilaksanakan pada tingkat kabupaten dengan adanya proposal STBM di
kabupaten kemudian dilakukan kajian lingkungan yang mendukung pada
kabupaten sasaran dan mengembangkan kemitraan dengan organisasi
non pemerintah. Peran masyarakat adalah pelaku utama, motivator, dan
58
fasilitator STBM dalam penyusunan rencana aksi, pelaksana,
pemantauan dan evaluasi dari rencana aksi yang telah tersusun.
2. Pemicuan
Berdasarkan pengamatan peneliti pada saat pelaksanaan program,
tahapan pemicuan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pungging
selalu melakukan tahapan pengantar pertemuan, pencairan suasana,
identifikasi istilah-istilah yang terkait dengan sanitasi (sanitasi umum
dan kotoran manusia), pemetaan sanitasi, transect walk, penghitungan
alur kontaminasi, diskusi dampak, dan menyusun rencana program
sanitasi di akhir kegiatan pemicuan. Namun tahapan tersebut tidak
dilaksanakan sesuai urutan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi
wilayah. Terutama untuk transect walk dilaksanakan sesuai dengan
kondisi sasaran. Apabila sasaran yang diundang tidak datang maka tim
fasilitator langsung melakukan transect walk. Hal ini sudah sesuai
dengan pedoman yang ada, dimana pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan kondisi wilayah setempat pada saat pelaksanaan pemicuan.
3. Paska pemicuan
Pendampingan untuk menjaga komite mengenai rencana program
sanitasi sudah dilaksanakan oleh pemegang program. Namun tidak
dilakukan oleh tim fasilitator secara keseluruhan. Hanya pemegang
program yang turun ke lokasi untuk melakukan monitoring. Monitoring
dilakukan bersamaan dengan program penyehatan lingkungan yang
lainnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya dana untuk melakukan
59
monitoring program Stop BABS. Sehingga tidak semua komunitas
terpicu mendapatkan monitoring.
Berikut hasil wawancara dengan pemegang program Stop BABS di
wilayah kerja Puskesmas Pungging:
“… sebagian sudah, sebagian belum. Tapi yo kebanyakan
tetep hasilnya, ndak ada tambahan. Monitoring iya tapi
hasilnya tetap. Yang terpicu dia mbangun, yang ndak terpicu
bahkan tambah mbangun. Masalahnya apa??, dana…. Nomor
satu dana… “
“laporan e ae gak tau gawe”
Jadi untuk program Stop BABS tidak ada laporan khusus.
Pemegang program tidak membuat laporan hasil pelaksanaan program.
Laporan yang ada hanya laporan program terdahulu yaitu program SToPS
(Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi) dan laporan hasil pemeriksaan
sarana dan pemakai jamban keluarga, jamban jamak serta Mandi, Cuci,
dan Kakus (MCK).
Dalam pedoman, pemantauan dan evaluasi setidaknya memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Masyarakat penting dilibatkan dalam memantau kemajuan dan
mengevaluasi dampak, bersama-sama dengan pemerintah daerah
2. Akurat yaitu informasi yang disampaikan harus menggunakan data
yang benar, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan
3. Informasi hasil pemantauan harus tersedia tepat waktu untuk
membuat perbaikan program dengan segera.
Dari hasil wawancara, pemantauan yang dilaksanakan di wilayah
kerja Puskesmas Pungging untuk program Stop BABS belum dilaksanakan
dengan baik yaitu masyarakat belum terlibat dan laporan tidak tersedia.
60
6.2 Hasil Pencapaian Program Stop BABS Tahun 2008-2010 di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto
Output dari program Stop BABS ada dua yaitu jumlah desa yang telah
ODF dan proporsi KK yang BAB di jamban sehat.
A. Jumlah Desa ODF
Berdasarkan penelusuran dokumen dan wawancara pada tokoh
masyarakat di desa, belum ada desa yang mencapai kondisi ODF.
Terdapat satu desa yaitu desa Purworejo hampir mencapai desa ODF
namun satu dusun masih banyak yang melakukan Buang Air Besar
Sembarangan (BABS). Berikut data hasil monitoring evaluasi
program Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas Pungging.
Tabel 6.1 Rekapitulasi Hasil Monitoring Evaluasi Program Stop
BABS di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging
No Nama desa Jumlah
Dusun
Jumlah Dusun
Terpicu Keterangan
1 Kalipuro 5 1 belum ada yg ODF
2 Randuharjo 6 1 belum ada yg ODF
3 Pungging 7 1 belum ada yg ODF
4 Mojorejo 3 1 belum ada yg ODF
5 Banjartanggul 3 1 belum ada yg ODF
6 Curahmojo 2 1 belum ada yg ODF
7 Purworejo 2 2 1 dusun ODF
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto
Target pencapaian desa ODF sampai tahun 2010 di Kabupaten
Mojokerto adalah 6 desa. Dari tabel 6.1 tidak ada desa yang mencapai
kondisi ODF. Sehingga target untuk desa ODF belum tercapai.
B. Proporsi KK yang BAB di jamban sehat
Cakupan pelaksanaan program Stop BABS dapat dilihat dari
jumlah KK yang menggunakan sarana jamban dibandingkan dengan
61
35%
50%
72%
0%
20%
40%
60%
80%
2008 2009 2010
Hasil Cakupan Sarana Jamban
hasil cakupan
Linear (hasil cakupan)
jumlah rumah/KK yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pungging.
Target pencapaian berdasarkan target MDGs yaitu 67%. Berikut hasil
cakupan pelaksanaan program Stop BABS ,
Tabel 6.2 Proporsi Jumlah KK yang menggunakan Sarana Jamban di
Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Kabupaten Mojokerto
No Uraian Hasil cakupan per tahun
2007 2008 2009 2010
1. Jumlah kk yang menggunakan
sarana jamban
3597 3664 6312 9073
2. Jumlah rumah seluruhnya 10566 10566 12623 12623
3. %rumah dengan sarana jamban 34.04 34.67 50.00 71.88 Sumber: Laporan tahunan Puskesmas Pungging tahun 2008-2010
Proporsi KK yang memiliki jamban kemudian
ditransformasikan dalam bentuk grafik agar dapat dilihat
perkembangannya. Hasil tersebut dibandingkan dengan garis linear.
Gambar 6.1. Hasil Cakupan Pelaksanaan Program Stop BABS (Sarana
Jamban) di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Tahun
2008-2010
Hasil cakupan program STBM pilar pertama mulai tahun 2008-
2010 adalah 35%, 50%, dan 72%. Angka tersebut menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan akses sarana sanitasi terutama dalam hal ini
62
jamban. Peningkatan cakupan program dari tahun 2008 ke tahun 2009
mengalami peningkatan sebesar 15%. Sama halnya dengan cakupan
pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 22%.
Hasil cakupan pada Tabel 6.1 merupakan gambaran secara
keseluruhan baik jamban sehat maupun jamban yang belum
memenuhi syarat. Karena pada program Stop BABS dimulai dari
sarana yang tradisional kemudian berkembang menjadi jamban sehat.
Target dari program Stop BABS adalah proporsi KK yang
menggunakan jamban sehat. Berikut data proporsi KK yang
menggunakan jamban sehat,
Tabel 6.3. Hasil Cakupan pelaksanaan program Stop BABS di
wilayah kerja Puskesmas Pungging tahun 2008-2010
No. Uraian hasil cakupan pada tahun
2008 2009 2010
1 jumlah kk dengan jamban sehat 2572 5211 8194
2 jumlah rumah seluruhnya 10566 12623 12623
3 proporsi rumah dengan sarana
jamban 24 41 65
Sumber: Laporan tahunan Puskesmas Pungging tahun 2008-2010
Proporsi KK yang memiliki jamban sehat kemudian
ditransformasikan dalam bentuk grafik agar dapat dilihat
perkembangannya.
63
Gambar 6.2. Hasil Cakupan pelaksanaan program Stop BABS
(jamban sehat) di wilayah kerja Puskesmas Pungging
tahun 2008-2010
Hasil cakupan jamban sehat di wilayah kerja Puskesmas
Pungging mengalami peningkatan mulai tahun 2008 sampai tahun
2010 serta segaris dengan garis linear. Namun masih belum memenuhi
target pencapaian tahun 2010 yaitu 67%. Pencapaian pada tahun 2010
masih 65%.
6.3 Penyebab Tidak Berhasilnya Program Stop BABS di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
Berdasarkan identifikasi input, proses, dan output diperoleh
permasalahan tidak berhasilnya program Stop BABS.
Masalah utama dari program Stop BABS adalah target 6 desa yang
belum tercapai. Sedangkan faktor-faktor dari permasalahan tersebut antara
lain: metode, anggaran dan lingkungan.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
2008 2009 2010
Hasil cakupan jamban sehat
64
BAB VII
PEMBAHASAN
7.1. Input Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
Input merupakan komponen atau unsur program yang diperlukan,
termasuk metode, peralatan, anggaran, sumber daya manusia, dan sistem
kebijaksanaan nasional yang harus dikembangkan.
7.1.1 Sumber daya manusia
Sumber daya manusia dalam pelaksanaan program Stop BABS
sudah sesuai dengan pedoman yaitu pemegang program dengan latar
belakang pendidikan sanitasi, tim fasilitator terdiri dari 5 orang yang
telah mengikuti pelatihan dan terdapat tukang sanitasi yaitu pemegang
program itu sendiri. Dan sebaiknya pelaksanaan program Stop BABS
juga mengikutsertakan pemegang program promosi kesehatan dan
juga gizi.
Namun pemegang program memiliki beban ganda yaitu
sebagai penanggung jawab program serta memegang keuangan. Daftar
Susunan Pegawai (DSP) menurut Adisasmito (2008) menyatakan
bahwa tenaga sanitarian yang dibutuhkan untuk Puskesmas pedesaan
sejumlah satu sanitarian. Puskesmas Pungging sudah memenuhi
kriteria tersebut, namun tenaga sanitarian tersebut juga bertanggung
jawab dalam hal keuangan (JPSBK/ Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan). Seharusnya terdapat tenaga khusus yang bertanggung
jawab sebagai bendahara.
65
7.1.2 Anggaran
Anggaran untuk pelaksanaan program Stop BABS di wilayah
kerja Puskesmas Pungging belum tersedia anggaran khusus tiap
tahunnya. Anggaran dari APBD belum tersedia tiap tahun dan tidak
ada dana dari lembaga donor. Sumber pembiayaan utama untuk
pelaksanaan tingkat kecamatan dan masyarakat seharusnya berasal
dari APBD dan masyarakat sendiri. Sedangkan sumber pembiayaan
alternatif bisa diperoleh dari donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Perusahaan milik negara dan swasta publik diwajibkan
menyisihkan dana untuk manfaat sosial baik melalui kegiatan program
kemitraan bina lingkungan (PBKL) bagi perusahaan milik Negara dan
corporate social responsibility (CSR) untuk perusaaan swasta publik
(Ditjen PP dan PL, 2011).
Anggaran yang berasal dari masyarakat sendiri juga tidak ada
karena kondisi ekonomi dari masyarakat rata-rata memiliki kondisi
ekonomi yang rendah. Penghasilan mereka berasal dari hasil bertani
dalam kelompok tani. Sehingga penghasilan dari bertani di tiap lahan
dibagi dalam satu kelompok tani. Menurut Sugiarto (2008), tingkat
kesejahteraan rumah tangga petani masih belum masuk kategori
sejahtera. Indikasi tersebut disebabkan karena total pengeluaran yang
terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi (pangan, bukan makanan) dan
biaya produksi yang dikeluarkan rumah tangga lebih besar dari
pendapatan. Hal ini juga dapat memicu lemahnya kesanggupan
masyarakat untuk memenuhi kondisi sanitasi.
66
Program Stop BABS memang program non subsidi tapi dalam
pelaksanaannya tetap membutuhkan dana untuk keperluan konsumsi,
uang lelah tim, peralatan, dan monitoring. Tidak adanya anggaran
dikarenakan program Stop BABS belum menjadi prioritas utama di
bidang kesehatan. Anggaran yang tidak mencukupi kebutuhan
fasilitator menyebabkan pelaksanaan program Stop BABS tidak
optimal. Seperti halnya kegiatan monitoring yang dilaksanakan hanya
pada saat melakukan program yang lain. Menurut damayanti dan
supriyanto (2007) tanpa didukung kemampuan dalam menyusun
anggaran, dikhawatirkan pelaksanaan program-program kesehatan
akan mengalami kendala. Permasalahan yang sering terjadi terutama
berkaitan dengan kurang efisiensinya anggaran, dimana di satu sisi
ada program yang mendapat suplai dana terlalu besar, sedang di sisi
yang lain terdapat program yang kekurangan dana. Dalam hal ini
program Stop BABS masih belum menjadi program prioritas di
Puskesmas Pungging.
7.1.3 Sistem kebijakan operasional
Sistem kebijaksanaan operasional merupakan aturan tertulis yang
digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan program Stop BABS. Di
Puskesmas Pungging, hanya mempunyai dokumen dari pelatihan yaitu
berupa handout pada pelatihan, pedoman dari kamal karl. Sedangkan
dokumen-dokumen sebagai acuan yang fokus pada program STBM
sesuai pedoman pelaksanaan STBM antara lain:
67
1) Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2010-2014
Dokumen ini menjelaskan mengenai target Pemerintah Indonesia
selama 5 (lima) tahun ke depan, termasuk target untuk
pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL).
Untuk Program STBM, dokumen RPJMN ini menjadi rujukan
sekaligus kekuatan pendukung.
2) Dokumen Millenium Development Goals (MDGs) 2015
Dokumen ini menjelaskan mengenai kesepakatan
Internasional. Salah satu kesepakatannya adalah untuk
mengurangi separuh proporsi penduduk yang belum mendapatkan
akses terhadap air minum dan sanitasi pada tahun 2015.
Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) atau Millenium
Development Goals (MDGs) adalah 8 tujuan pembangunan
global yang telah disepakati oleh 189 negara-negara anggota
PBB untuk dicapai pada tahun 2015. Strategi Nasional STBM
adalah strategi Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk
menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) ke
7 (tujuh) dimana Indonesia mempunyai target untuk
menurunkan proporsi penduduk yang tidak punya akses
terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta
fasilitas sanitasi dasar sebanyak separuhnya pada tahun 2015
dan target TPM ke 4 (empat) adalah menurunkan Angka
Kematian Anak Balita sebesar dua-pertiganya antara 1990-2015.
68
Kedelapan Tujuan Pembangunan Milenium tersebut
adalah sebagai berikut: (i) Menanggulangi Kelaparan dan
Kemiskinan; (ii) Akses terhadap Pendidikan Dasar bagi Semua;
(iii) meningkatkan Kesadaran Jender dan Pemberdayaan
Perempuan; (iv) Menurunkan Angka Kematian Anak; (v)
Meningkatkan Kesehatan Ibu; (vi) Memerangi HIV/AIDS,
Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya; (vii) Memastikan
Keberlanjutannya Lingkungan Hidup; dan (viii)
Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan.
3) Dokumen Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(Permenkes RI Nmor 852/MENKES/SK/IX/2008).
Dokumen Strategi Nasional STBM ini menjelaskan
mengenai 6 (enam) strategi utama untuk menjamin terciptanya
kondisi sanitasi total dalam rangka menurunkan penyakit diare
dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan
sanitasi dan perilaku. Keenam Strategi Nasional STBM yang
dimaksud adalah: (i) Penciptaan lingkungan yang kondusif; (ii)
Peningkatan kebutuhan; (iii) Peningkatan penyediaan; (iv)
Pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management); (v)
Pembiayaan; dan (vi) Pemantauan dan Evaluasi.
4) Dokumen Kebijakan Nasional AMPL-BM
Dokumen ini menjelaskan mengenai 11 (sebelas) prinsip
dasar pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat (AMPL-BM). Kebijakan Nasional tersebut
69
telah menjadi payung hukum untuk pelaksanaan pembangunan
AMPL-BM di Indonesia, demikian juga untuk STBM. Kesebelas
prinsip dasar pembangunan AMPL-BM adalah: (i) Air Sebagai
Benda Sosial dan Benda Ekonomi; (ii) Pilihan yang
Diinformasikan sebagai Dasar dalam Pendekatan Tanggap
Kebutuhan; (iii) Pembangunan Berwawasan Lingkungan; (iv)
Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS); (v)
Keberpihakan pada masyarakat miskin; (vi) Peran perempuan
dalam pengambilan keputusan; (vii) Akuntabilitas Proses
Pembangunan; (viii) Peran Pemerintah sebagai Fasilitator; (ix)
Peran Aktif Masyarakat; (x) Pelayanan optimal dan tepat sasaran;
dan (xi) Penerapan prinsip pemulihan biaya.
5) Dokumen Pedoman Pemantauan dan Evaluasi
Dokumen pedoman ini menjelaskan mengenai konsep dan
proses pelaksanaan (tata laksana) pemantauan dan evaluasi, yang
akan menjadi acuan para pelaku STBM mulai dari Tingkat
Nasional sampai pada Tingkat Desa/Masyarakat. Lingkup
penjabarannya meliputi: (i) Konsep Pemantauan dan Evaluasi; (ii)
Kerangka kerja; (iii) Prinsip, (iv) Mekanisme; (v) Umpan balik
dan rekomendasi; dan (vi) Pelaporan.
6) Dokumen Pedoman Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge
Management)
Dokumen pedoman ini menjelaskan mengenai strategi
pengelolaan pengetahuan yang meliputi input, proses, output data
70
dan indikator kinerja. Pedoman ini dapat dijadikan acuan bagi
pelaku STBM yang akan berkontribusi dalam meningkatkan
kapasitas melalui pengetahuan yang berbasis STBM.
7) Dokumen Pedoman Teknis program STBM
Dokumen teknis ini pada dasarnya merupakan kumpulan
panduan teknis dari kegiatan STBM di tingkat masyarakat.
Pedoman ini terdiri dari: (i) Standar minimum pelaksanaan
STBM; (ii) Standar minimum teknis pemicuan dan promosi; (iii)
Standar minimum verifikai desa STBM; (iv) Deklarasi STBM;
dan (v) Standar minimum mempertahankan desa yang sudah
STBM. Semua pedoman ini dapat dijadikan acuan bagi pelaku
STBM yang akan mengelola program STBM khususnya di satuan
komunitas.
Petugas sanitarian minimal harus mempunyai tiga dokumen dari
7 dokumen di atas, yaitu Dokumen Pedoman Pengelolaan
Pengetahuan (Knowledge Management), Dokumen Pedoman
Pemantauan dan Evaluasi, Dokumen Kebijakan Nasional AMPL-BM,
Dokumen Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(Permenkes RI Nmor 852/MENKES/SK/IX/2008. Karena dokumen
tersebut merupakan standar minimal yang harus dilakukan dalam
pelaksanaan program Stop BABS mulai dari standar minimum
perencanaan, teknis pemicuan, hingga standar minimum
mempertahankan desa yang sudah STBM. Selain itu dokumen
pedoman teknis program STBM lebih mudah dipahami oleh pelaksana
71
pemicuan daripada terjemahan pedoman dari kamal karl. Dokumen
tersebut telah dirancang sesuai keadaan yang ada di Indonesia
sedangkan pedoman dari kamal karl berbeda dengan kondisi sanitasi
yang ada di Indonesia.
7.1.4 Metode
Metode yang digunakan dalam program Stop BABS adalah
pemicuan. Pemicuan lebih dikenal dengan metode Participatory Rural
Appraisal (PRA). PRA merupakan metode yang menumbuhkan
partisipasi keluarga secara aktif dengan pengetahuan mereka dan
diharapkan mereka mampu membuat analisa dan perencanaan tentang
kondisi mereka. Inti dari metode ini adalah learning by doing dan
teamwork. Berbeda dengan penyuluhan, dalam metode PRA
masyarakat lebih aktif dalam program tersebut. Fasilitator hanya
sebagai media perantara untuk menumbuhkan semangat masyarakat
dalam mengikuti program. Metode PRA bertujuan untuk mewujudkan
kerjasama yang solid antara anggota pemicuan, fasilitator maupun
instansi terkait program Stop BABS serta semua masyarakat beserta
tokoh masyarakat. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama dalam
mencapai tujuan desa ODF (http://go.worldbank.org/AKGNZ7Z4B0).
Metode tersebut telah dilaksanakan oleh petugas sanitarian Puskesmas
Pungging. Namun partisipasi masyarakat dalam membuat
perencanaan masih kurang karena masih memiliki mindset
dibangunkan jamban oleh pemerintah. Hal ini karena pendapatan
mereka yang masih kurang dan kebutuhan akan jamban bukan
72
merupakan kebutuahan yang utama. Menurut Neolaka (2008),
kesadaran lingkungan hidup adalah keadaan tergugahnya jiwa
terhadap sesuatu, dalam hal ini terhadap lingkungan hidup, dan dapat
terlihat pada perilaku dan tindakan masing-masing individu. Metode
sudah dilaksanakan namun kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
hidup masih belum ada. Sehingga tidak ada upaya untuk membangun
jamban.
7.1.5 Peralatan
Peralatan berguna untuk mempermudah dan memperlancar
pelaksanaan program Stop BABS serta menciptakan efisiensi kerja.
Peralatan yang digunakan petugas sanitarian Puskesmas Pungging
sudah lengkap mulai dari gambar sketsa kontaminasi dari kotoran ke
mulut, spidol warna-warni, kertas manila, buku, dan bulfoin serta
kertas daftar hadir kelompok pemicuan. Namun gambar sketsa
kontaminasi dari kotoran ke mulut tidak dimodifikasi sesuai kondisi
sanitasi wilayah kerja Puskesmas Pungging. Gambar sketsa digunakan
untuk menggali seberapa besar tingkat pengetahuan mereka terhadap
pencemaran makanan oleh karena buang air besar sembarangan.
7.1.6 Waktu
Target waktu untuk mencapai kondisi 100% ODF di wilayah kerja
Puskesmas Pungging adalah tahun 2014. Namun untuk mencapai
tersebut, pemegang program tidak setuju dengan keputusan dari
kabupaten. Pemegang program berpendapat pemicuan dilakukan pada
4 desa dalam satu tahun. Sedangkan dinas kesehatan Kabupaten
73
Mojokerto menyampaikan 2 desa tiap tahun. Berdasarkan wawancara
pada dinas kesehatan, hal yang disampaikan sebenarnya minimal 2
desa dalam setahun hingga mencapai kondisi desa ODF. Namun
pelaksanaan di wilayah kerja Puskesmas Pungging belum ada desa
yang telah mencapai kondisi ODF.
7.2. Proses Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
1. Perencanaan
Advokasi kepada pemangku kepentingan secara berjenjang
penting dilakukan karena mereka merupakan panutan masyarakat.
Kontribusi mereka dalam proses pelaksanaan program mulai
perencanaan hingga terwujudnya desa ODF sangat penting. Pemangku
program seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama
dan penyandang dana. Wijono (2010) menjelaskan Advokasi adalah
upaya persuasi yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran dan
rasionalisasi terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh
terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan.
Tujuan umum dari advokasi adalah diperolehnya komitmen dan
dukungan dalam upaya kesehatan baik berupa kebijakan, tenaga, dana,
saran, kemudahan, keikutsertaan dalam kegiatan maupun berbagai
bentuk lainnya sesuai keadaan dan suasana.
Advokasi sudah dilaksanakan oleh pemegang program, namun
dukungan dari kepala dusun dan kepala desa kebanyakan tidak ada.
Kemungkingan hal ini karena advokasi belum dilaksanakan dengan
baik. Berdasarkan hasil penelitian supracayaningsih (2010), program
74
Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (StoPS) mengalami kemajuan
pesat dengan adanya peran pemerintah desa, seperti pendampingan
dengan keterlibatan seluruh elemen masyarakat melalui pertemuan
forum desa setiap 3 bulan sekali yang dihadiri oleh tokoh agama dan
masyarakat yg biasa BABS. Selain itu juga dilakukannya arisan
jamban dan pembangunan jamban secara gotong royong. Sedangkan
komitmen dari pemangku kepentingan belum tampak pada
pelaksanaan Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas Pungging. Hal
ini dikarenakan, permasalahan di desa yang multimasalah sedangkan
bagi tiap desa untuk masalah BABS belum menjadi prioritas masalah.
Identifikasi masalah, kebutuhan dan analisis situasi sudah
dilakukan sebelum melaksanakan pemicuan di lapangan. Identifikasi
dilakukan dengan cara membandingkan data lama dan data baru
kepemilikan jamban kemudian diambil wilayah yang kepemilikan
jamban paling rendah. Menurut Damayanti dan Supriyanto (2007),
identifikasi masalah dilakukan dengan menemukan suatu kesenjangan
antara apa yang diharapkan atau yang telah direncanakan.
Pelatihan untuk fasilitator sudah dilaksanakan baik pemegang
program maupun anggota tim fasilitator di Trawas selama 4 hari yang
diselenggarakan oleh dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto dengan
pembicara dari dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur. Menurut
Adisasmito (2008), Pengembangan SDM kesehatan melalui
pendidikan dan pelatihan (diklat) merupakan kegiatan yang harus
dilaksanakan dalam suatu departemen, instansi, atau organisasi agar
75
pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan ketrampilan
(skill) mereka sesuai tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan. Tenaga
yang telah menduduki suatu jabatan atau pekerjaan tertentu di instansi
yang bersangkutan perlu mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan. Diklat merupakan suatu bentuk
investasi pada sumber daya manusia untuk mencapai tingkat
produktivitas yang optimum.
Usaha peningkatan kapasitas kelembagaan sudah dilakukan oleh
dinas kesehatan kepada bupati, dinas PU cipta karya, dan perguruan
tinggi. namun, tanggapan dari bupati dan dinas PU cipta karya masih
kurang. Kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan ini Pemerintah
Daerah melalui Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)-nya dapat
bekerja sama dengan kabupaten lain atau lembaga lain yang
bertanggung jawab terhadap program AMPL dan STBM. Proses
pelaksanaannya dapat menyertakan personil dari semua SKPD terkait
seperti dari unsur Dinas Kesehatan, Bappeda, Pemberdayaan
Masyarakat Desa (PMD) atau nama lain yang sejenis, Dinas Pekerjaan
Umum, Perguruan Tinggi, LSM dan organisasi masyarakat lainnya
(Ditjen PP dan PL, 2011).
Kerjasama lintas sektor diperlukan karena program-program
mereka langsung bersentuhan dengan masyarakat yang notabene
memiliki multimasalah, sehingga dalam penanganannya pun harus
multidimensi dari berbagai peran institusi yang sinergis. Beberapa
program pembangunan akan dapat tercapai apabila ada kerjasama
76
dengan sektor lain (Adisasmito, 2008). Namun dalam pelaksanaannya
dinas PU yang terkait dengan program Stop BABS belum terdapat
koordinasi dalam melaksanakan tugas. Koordinasi dapat
diintegrasikan oleh kelompok kerja teknis seperti Kelompok Kerja Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) dan Tim teknis
STBM. Oleh karena Pokja AMPL masih baru terbentuk sehingga
pelaksanaannya masih belum berjalan dengan baik.
2. Pemicuan
Pelaksanaan pemicuan di beberapa desa yang telah dilaksanakan
pemicuan oleh petugas Puskesmas Pungging sudah dilaksanakan
sesuai pedoman, mulai dari pengantar pertemuan, pencairan suasana,
identifikasi istilah-istilah yang terkait dengan sanitasi (sanitasi umum
dan kotoran manusia), pemetaan sanitasi, transect walk, penghitungan
alur kontaminasi, diskusi dampak, dan menyusun rencana program
sanitasi di akhir kegiatan pemicuan.
3. Paska Pemicuan
Pendampingan di beberapa desa yang telah dilaksanakan
pemicuan oleh petugas Puskesmas Pungging setelah pelaksanaan
belum dilaksanakan dengan baik. Tidak semua fasilitator mengikuti
pendampingan. Hanya pemegang program yang melakukan
pendampingan. pendampingan juga dilaksanakan setelah lebih dari 5
hari setelah pemicuan. Selain itu, masyarakat juga belum terlibat
dalam pemantauan. Hal ini dikarenakan oleh pedoman teknis
pelaksanaan STBM masih belum tersedia sehingga cara pemantauan
77
maupun pelaporan masih belum diketahui oleh pemegang program.
Sedangkan masyarakat sendiri memiliki kesibukan tersendiri dan tidak
menganggap bahwa program ini merupakan program yang dapat
bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Mereka
mempunyai mindset bahwa program Stop BABS bukan menjadi
tanggung jawab masyarakat melainkan tanggung jawab pemegang
program.
7.3. Hasil Cakupan Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah
Kerja Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
Hasil cakupan program Stop BABS meliputi jumlah desa yang telah
mencapai kondisi ODF dan proporsi KK yang BAB di jamban sehat. Target
yang ditentukan oleh dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto adalah dua
desa ODF tiap tahun yang dilaksanakan oleh tiap Puskesmas. Sampai tahun
2010 belum ada desa yang mencapai kondisi ODF. Sehingga untuk target
MDGs juga belum terpenuhi.
7.4. Penyebab Tidak Berhasilnya Program Stop BABS di Wilayah Kerja
Puskesmas Pungging Tahun 2008-2010
Berdasarkan identifikasi penyebab masalah melalui diagram ishikawa
pada gambar 7.1, diperoleh faktor penyebab belum berhasilnya program
antara lain faktor lingkungan, sumber daya manusia, metode, dan anggaran.
1. Lingkungan
Faktor manusia meliputi komite yang tidak aktif dan
kurangnya stakeholder dikarenakan oleh kesadaran lingkungan
yang kurang. Tidak adanya kesadaran lingkungan menyebabkan
perilaku buang air besar sembarangan. Menurut Chandra (2007)
78
Faktor yang mendorong kegiatan pembuangan tinja secara
sembarangan antara lain tingkat sosial ekonomi yang rendah,
pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan
kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari
generasi ke generasi.
Sedangkan lingkungan fisik berkaitan dengan supply air.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Mukherjee and
Josodipoero (2000) Rumah tangga yang terletak jauh dari fasilitas
sumber air biasanya enggan untuk membangun jamban. Air
merupakan kebutuhan sanitasi dasar dalam membangun jamban.
Karena jamban yang diinginkan masyarakat adalah jamban dengan
septic tank sehingga air sangat diperlukan.
2. Metode
Kerjasama lintas sektor dan monitoring evaluasi belum
berhasil karena individu program, mindset, dan pokja AMPL
belum berjalan maksimal. Program lintas sektor mempunyai tugas
dalam membangun jamban sedangkan dinas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan cara merubah perilaku. Seharusnya
kedua pihak dapat bekerja sama secara sinergis. Dinas kesehatan
melakukan upaya perubahan perilaku dan dengan bantuan pokja
AMPL melakukan kerjasama dalam hal pembangunan sarana
jamban untuk membantu masyarakat yang kurang mampu.
Monitoring dilakukan oleh dinas kesehatan, petugas
sanitarian Puskesmas, dan masyarakat itu sendiri. Dinas kesehatan
79
dan petugas sanitarian telah melakukan monitoring dan evaluasi.
Sedangkan masyarakat terutama komite tidak melaksanakan
monitoring. Peran petugas sanitarian Puskesmas dan Dinas kehatan
dalam monitoring berfungsi untuk mengontrol jalannya paska
pemicuan. Begitu juga masyarakat yang bertindak sebagai komite
juga sebaiknya aktif dalam melakukan monitoring.
3. Anggaran
Kondisi masyarakat yang kurang secara ekonomi dan tidak
adanya stakeholder yang peduli akan program ini tidak akan
terwujud pembangunan jamban.
Dari identifikasi faktor penyebab tersebut, ditemukan akar
permasalahan yaitu program Stop BABS masih belum menjadi prioritas
masalah di wilayah kerja Puskesmas Pungging serta masyarakat masih
belum berperan aktif dalam program ini karena status ekonomi yang rendah.
80
Masyarakat tidak
berperan aktif
Mindset membangun
jamban walaupun
tidak sesuai dengan
standar kesehatan
Gambar 7.1. Diagram Ishikawa untuk Program Stop BABS di Wilayah Kerja Puskesmas Pungging Sumber: hasil diskusi dengan pihak yang memahami program Stop BABS di wilayah kerja Puskesmas Pungging
Manusia
Pemda
Prioritas
kebutuhan rendah
masyarakat
Fisik
Supply air
kurang
ANGGARAN
LINGKUNGAN
METODE
TARGET 6
DESA ODF
BELUM
TERCAPAI
Belum
menjadi
prioritas
program
Komite tidak
aktif
Kesadaran
kurang terpaksa
Stakeholder
Urgentcy program
rendah
Permasalah
an desa
kompleks
fasilitator
Beban ganda
Mindset pada
pembangunan
Kebiasaan
Masyarakat
Sosial
ekonomi
rendah
Kerjasama
lintas sektor
Pokja AMPL
belum berjalan
maksimal
Monev
81
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1. Pelaksanaan program STBM pilar pertama atau Stop BABS di wilayah
kerja Puskesmas Pungging belum berhasil.
2. Pada identifikasi faktor input terdapat ditemukan bahwa tidak adanya
anggaran khusus, sehingga petugas tidak dapat menjalankan monitoring
dengan baik, serta petugas mempunyai beban kerja ganda dan belum
mempunyai pedoman pelaksanaan dari kementrian karena pedoman
pelaksanaan dan teknis masih dalam bentuk draft.
3. Pada proses pelaksanaan ditemukan bahwa advokasi kepada kepala
desa,dusun maupun tokoh masyarakat belum berhasil. Selain itu, juga
tidak ada kerjasama lintas sektor.
4. Hasil pelaksanaan program sebesar 65 % dimana tidak mencapai target
(67%) dan belum ada desa yang mencapai kondisi ODF.
5. Faktor penyebab belum berhasilnya program antara lain anggaran,
lingkungan, dan metode.
8.2 Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Pelaksanaan program Stop BABS hendaknya difokuskan pada satu
desa hingga mencapai kondisi ODF. Setelah tercapai kondisi ODF,
desa tersebut dapat dijadikan sebagai Desa Percontohan Kesehatan
82
Lingkungan (DPKL) sehingga dapat menjadi motivasi bagi desa lain
untuk mencapai kondisi ODF.
b. Hendaknya ada peningkatan koordinasi dengan kepala desa atau tokoh
masyarakat dalam penggalangan anggaran baik dari Anggaran Dana
Desa (ADD), swadaya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), maupun bantuan dari swasta.
c. Mendirikan forum peduli kesehatan. Pada forum tersebut merupakan
wadah untuk menampung saran dari berbagai pihak mengenai
program Stop BABS, membantu menggalang dana dan lain
sebagainya.
2. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebaiknya dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto lebih mengupayakan
agar anggaran untuk program STBM lebih diutamakan mengingat
waktu pencapaian target sampai tahun 2014 dan permasalahan yang
ditimbulkan akibat BABS berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
b. Upaya advokasi pada lintas sektor lebih ditingkatkan lagi melalui
seminar bersama sektor yang terkait. Dalam seminar disampaikan
hasil dan hambatan dari pelaksanaan program STBM di Kabupaten
Mojokerto serta menyampaikan bahwa program saling berkaitan
dengan sektor lain yaitu dalam pemasaran sanitasi atau pembangunan
sarana jamban.
83
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2008. Horison baru kesehatan masyarakat di Indonesia. Rineka
Cipta. Jakarta
Adisasmito, W. 2008. Sistem Kesehatan. PT RajaGrafindo Persada . Jakarta
Anonymous. 2011. Participatory rural appraisal (PRA).
http://go.worldbank.org/AKGNZ7Z4B0 . diunduh tanggal 2 january 2012
Chandra, B, 2007. Pengantar kesehatan lingkungan. Penerbit buku kedokteran
EGC . Jakarta
__________. 2009. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Penerbit buku
kedokteran EGC . Jakarta
Chayatin, N dan Wahid I.M. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat:Teori dan
aplikasi. Salemba Medika . Jakarta
Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Stop Buang Air Besar Sembarangan (STOP
BABS) , Ditjen PP dan PL bekerjasama dengan Pokja AMPL Pusat,
Depkes RI . Jakarta
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
Dinkes. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto 2010. Dinkes Kabupaten
Mojokerto. Mojokerto
Ditjen PP dan PL. 2010. Pedoman Umum Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(draft 03). Menkes RI. Jakarta
Ditjen PP dan PL. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Program STBM (draft 02).
Menkes RI. Jakarta
Ditjen PP dan PL. 2011. Pedoman Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM). Depkes RI. Jakarta
FKM Unair, 2011. Pedoman Penulisan dan Tata Cara Ujian Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya
Kar, K and Chambers, R . 2008. Handbook on Community-Led Total Sanitation.
Plan UK. London
Kepmenkes RI No. 852/Menkes/SK/IX/2008. 2008. Strategi nasional sanitasi
total berbasis masyarakat. Depkes RI . Jakarta
Kumala, P.1995. Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer(terjemahan). EGC
Jakarta
Mantra, I. B, 2007. Demografi umum. Pustaka pelajar . Yogyakarta
84
Mukherjee, N dan Josodipoero, R.I. 2000. “Menjual jamban?” “Bukan, Menjual
Gaya Hidup” , pelajaran yang dipetik dari masyarakat yang bersanitasi-
sebuah cerita sukses di Indonesia. Disitasi pada tanggal 14 January 2012.
http://www.waspola.org/file/pdf/publications/study_isitselling_ind.pdf
Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University
Press. Surabaya
Nazir, M, 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor
Neolaka, A. 2008. Kesadaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Priyono, E. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Indonesia. Percik.
Media informasi Air minum dan penyehatan lingkungan. Desember 2008.
Jakarta
Slamet, J. S . 2006. Kesehatan lingkungan. Gadjah mada university press.
Yogyakarta
Sugiarto, 2008. Dinamika pembangunan pertanian dan perdesaan: tantangan dan
peluang bagi peningkatan kesejahteraan petani disampaikan dalam
seminar nasional. Bogor. Disitasi tanggal 14 january 2012.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MS_B6.pdf
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R dan D. Alfabeta.
Bandung
Suparmin dan Soeparman, 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. EGC.
Jakarta.
Supracayaningsih. 2010. Implementasi Program Sanitasi Total dan Pemasaran
Sanitasi (SToPS) dalam Pembuatan Jamban di Desa Sembung
Kecamatan Perak Kabupaten Jombang. Skripsi. Universitas Airlangga.
Surabaya
Supriyanto, S. dan Damayanti N. A. 2007. Perencanaan dan Evaluasi. Airlangga
University Press. Surabaya
Undang-undang No. 36. 2009. Kesehatan. Depkes RI. Jakarta
Widyastuti, P (ed). 2008. Metode Pendidikan kesehatan masyarakat. EGC.
Jakarta
Wijono, D. 2007. Evaluasi Program Kesehatan dan Rumah Sakit. CV. Duta
Prima Airlangga. Surabaya
________.2009. Manajemen program dan kepemimpinan Kesehatan. CV. Duta
Prima Airlangga. Surabaya
________.2010. Manajemen program promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat. CV. Duta Prima Airlangga. Surabaya
85
WSP-EAP. 2009.Information on Improved Latrine Options. World Bank Office.
Jakarta.