Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAMULANG TAHUN 2018
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh :
Sonia Qori Safitri
NIM : 11141010000102
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 / 1440 H
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, April 2019
Sonia Qori Safitri, NIM: 11141010000102
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Pneumonia pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
xvii + 179 halaman, 1 grafik, 9 tabel, 2 bagan, 3 gambar, 6 lampiran
ABSTRAK
Pneumonia balita di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan utama.
Hal ini terlihat dengan tingginya angka morbiditas dan motalitas pneumonia
balita. Salah satu upaya untuk menurunkan kasus pneumonia adalah dengan
mengetahui faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif menggunakan
desain cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 124 responden
dan didapat dengan metode accidental sampling. Data dikumpulkan melalui
wawancara dan observasi lingkungan serta didukung oleh data rekam medis atau
formulir MTBS responden untuk melihat diagnosis, dan buku KIA untuk
memastikan riwayat karakteristik balita. Analisis yang digunakan adalah analisis
univariat dan bivariat (uji chi square dengan α=0,05). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sebanyak 64 (51,6%) responden menderita pneumonia.
Terdapat hubungan signifikan antara BBLR (p=0,015), status gizi (p=0,002),
riwayat imunisasi (p=0,033), konsumsi vitamin A (p=0,001), ventilasi udara
(p=0,004), suhu (p=0,010), dan status merokok anggota keluarga (p=0,003).
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah masih banyak balita yang terkena
pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang berasal dari penderita sendiri dan lingkungannya. Saran bagi
Puskesmas Pamulang untuk memberikan edukasi kepada orangtua terkait upaya
pencegahan pneumonia terutama dalam hal pemberian nutrisi dan kebiasaan
membuka ventilasi udara serta bahaya rokok.
Kata Kunci: Pneumonia balita, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi
vitamin A, ventilasi udara, suhu, status merokok anggota keluarga.
Daftar bacaan : 130 (1996-2018)
ii
FACULTY OF HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
EPIDEMIOLOGY
Undergraduates Thesis, April 2019
Sonia Qori Safitri, NIM: 11141010000102
Factors Associated with Pneumonia in Children Under Five in the Work
Area of Pamulang Health Center in 2018
xvii + 179 pages, 1 graph, 9 tables, 2 charts, 3 pictures, 6 attachments
ABSTRACT
Pneumonia in children under five in Indonesia is still a major health
problem. This can be seen with the high morbidity and mortality of pneumonia.
One effort to reduce pneumonia cases is to know the risk factors that cause
pneumonia. This study aims to determine the risk factors associated with the
incidence of pneumonia in childern under five in the work area of Pamulang
Community Health Center in 2018.
This research was using quantitative method with cross sectional study
design. The number of samples in this study were 124 respondents using the
accidental sampling method. Data was collected through interviews and
environmental observations and supported by respondent's medical records or
MTBS forms to see diagnoses, and MCH books to ascertain the history of the
characteristics of children under five. The analysis used was univariate and
bivariate analysis (chi square test with α = 0.05). The results of this study indicate
that as many as 64 (51.6%) respondents suffered from pneumonia. There was a
significant relationship between LBW (p = 0.002), nutritional status (p = 0.002),
immunization history (p = 0.033), consumption of vitamin A (p = 0.001), air
ventilation (p = 0.004), temperature (p = 0.010) , and smoking status of family
members (p = 0.003).
The conclusion in this study is that there are still many children under five
who are exposed to pneumonia in the working area of the Pamulang Community
Health Center which is influenced by factors that originate from the sufferers
themselves and their environment. Suggestion for Pamulang Health Center to
provide education to parents regarding efforts to prevent pneumonia, especially in
terms of providing nutrition and the habit of opening air vents and the dangers of
smoking
Keywords: pneumonia, children under five, LBW, nutritional status,
immunization status, vitamin A consumption, ventilation, temperature, smoking
status of family members.
Reading list: 130 (1996-2018)
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Fakultas
Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu
Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Mei 2019
Sonia Qori Safitri
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAMULANG TAHUN 2018
SKRIPSI
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi
Jakarta, Mei 2019
SONIA QORI SAFITRI
11141010000102
Pembimbing,
(Catur Rosidati, SKM, MKM)
NIP.197502102008012018
v
LEMBAR PENGESAHAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAMULANG TAHUN 2018
SONIA QORI SAFITRI
11141010000102
Jakarta, Mei 2019
Tim Sidang Skripsi
Ketua,
dr.Yuli Prapanca Satar, MARS
NIP. 19530730 198011 1 001
Anggota
Dela Aristi, MKM Nining Mularsih, SKM, M.Epid
NIP. 19780822 200003 2 002
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Sonia Qori Safitri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan
Tangal Lahir
: Bandung, 27 Januari 1996
Agama : Islam
Alamat : Pondok Cilegon Indah Blok D99 No.12 A
No. Handphone : 0821-7544-4363
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2002-2008
: SDIT Raudhatul Jannah
Cilegon, Banten
2008-2011 : SMPIT Raudhatul Jannah
Cilegon, Banten
2011-2014 : SMA Negeri 1 Cilegon
Cilegon, Banten
2014-sekarang : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Peminatan Epidemiologi
RIWAYAT ORGANISASI
2008-2009
: Anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMPIT Raudhatul
Jannah
2008-2009 : Anggota Pasukan Pengibar Bendera Sang Saka (Paskibraka)
SMPIT Raudhatul Jannah
2012-2013 : Staff Pusat Informasi Konseling-Kesehatan Reproduksi Remaja
SMAN 1 Cilegon
2015-2016 : Staff Biro Kesekretariatan, Pergerakan Anggota Muda IAKMI
(Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia)
vii
2015-2016 : Staff Pengembangan Ekonomi, Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta
2016-2017 : Ketua Departemen Media Informasi dan Komunikasi
(MEDIKOM), Pergerakan Anggota Muda IAKMI (Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia)
2016-2017 : Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM),
Epidemiology Student Association (ESA) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2017-2018 : Wakil Menteri Dalam Negeri, Pergerakan Anggota Muda IAKMI
(PAMI) Nasional
2018-sekarang : Presiden Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) Nasional
WORK EXPERIENCE
2014 : Anggota Divisi Acara “Festival Laut” Greenpeace ft Ocean
Defender (GOR Gelora Bung Karno, Jakarta)
2014 : Anggota Volunteer “Kesmas Untuk Negeri” Lebak, Banten
2015 : Ketua Pelaksana “Pelatihan Sponsorship” UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2015 : Ketua Divisi PHD “FKIK Cup 2015” UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2017 : Penilai Essay Kegiatan Pengenalan Budaya Akademik Kampus
(PBAK) program studi Kesehatan Masyarakat “Public Health Awe
Inspires the Amity Soul of the Youth”
2017 : Petugas Skrinning PJPD kegiatan KKN 008 Etos-PPM UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2018 : Divisi Medical Record @ Krakatau Medika Hospital
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan Nabi besar kita,
Muhammad SAW atas segala limpahan rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2018” Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan seluruh anggota keluarga yang telah memberikan
bantuan baik moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini.
2. Ibu Dr. Zilhadia, MSi, Apt selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Catur Rosidati. S.K.M, MKM selaku pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi
5. Seluruh teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan doa selama penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dari
sempurna sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi
kemajuan dan kesuksesan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Ciputat, April 2019
(Sonia Qori Safitri)
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 7
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8
1. Tujuan Umum: ......................................................................................... 8
2. Tujuan Khusus: ......................................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9
F. Ruang Lingkup ........................................................................................... 9
BAB II .................................................................................................................. 10
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 10
A. Pneumonia ................................................................................................ 10
1. Definisi ................................................................................................... 10
2. Klasifikasi ............................................................................................... 11
3. Etiologi ................................................................................................... 13
4. Epidemiologi .......................................................................................... 15
x
5. Penularan pneumonia ............................................................................. 16
6. Patogenesis ............................................................................................. 17
7. Tanda dan Gejala .................................................................................... 18
8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang .................................................. 19
9. Pencegahan ............................................................................................. 21
B. Sistem Imun .............................................................................................. 22
1. Respon Imun Non-spesifik ..................................................................... 23
2. Respon Imun Spesifik ............................................................................ 24
3. Fungsi Respon Imun ............................................................................... 27
4. Penyimpangan Sistem Imun ................................................................... 28
5. Faktor Pengubah Mekanisme Imun ........................................................ 29
C. Faktor risiko ............................................................................................. 32
1. Usia ......................................................................................................... 32
2. Jenis kelamin .......................................................................................... 33
3. Status gizi ............................................................................................... 34
4. Berat Badan Lahir Rendah ..................................................................... 35
5. Pemberian ASI Eksklusif ....................................................................... 36
6. Riwayat Imunisasi .................................................................................. 38
7. Konsumsi Vitamin A .............................................................................. 40
8. Kepadatan Hunian .................................................................................. 41
9. Ventilasi Udara ....................................................................................... 43
10. Jenis Lantai ......................................................................................... 44
11. Jenis Dinding ...................................................................................... 45
12. Pencahayaan........................................................................................ 47
13. Suhu .................................................................................................... 48
14. Kelembaban Udara ............................................................................. 49
15. Status Merokok Anggota Keluarga..................................................... 50
D. Kerangka Teori ........................................................................................ 52
BAB III ................................................................................................................. 56
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........................... 56
A. Kerangka Konsep ..................................................................................... 56
B. Definisi Operasional ................................................................................... 58
xi
C. Hipotesis ...................................................................................................... 62
BAB IV ................................................................................................................. 64
METODE PENELITIAN ................................................................................... 64
A. Desain Penelitian ...................................................................................... 64
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 64
C. Populasi dan Sampel ................................................................................ 64
1. Populasi Penelitian ................................................................................. 64
2. Sampel .................................................................................................... 64
3. Besar Sampel .......................................................................................... 65
D. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 66
E. Validitas dan Realibilitas ......................................................................... 74
F. Pengolahan Data ...................................................................................... 75
G. Metode Analisis Data .............................................................................. 76
BAB V ................................................................................................................... 79
HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 79
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 79
B. Gambaran Demografi Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 80
C. Gambaran Kasus Pneumonia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang .......................................................................................................... 80
D. Hasil Analisis Univariat ........................................................................... 81
1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2018 ................................................................................... 81
2. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................ 82
E. Hasil Analisis Bivariat ............................................................................. 84
1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan Karakteristik
Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................ 84
2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ................ 87
BAB VI ................................................................................................................. 91
PEMBAHASAN .................................................................................................. 91
A. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 91
xii
B. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ................................................................. 91
C. Gambaran Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Pneumonia pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ....................... 95
1. Usia Balita .............................................................................................. 95
2. Jenis Kelamin Balita ............................................................................... 97
3. Berat Badan Lahir Balita ........................................................................ 98
4. Status Gizi ............................................................................................ 100
5. Riwayat Imunisasi ................................................................................ 102
6. Konsumsi Vitamin A ............................................................................ 106
7. Pemberian ASI Eksklusif ..................................................................... 108
D. Pengaruh antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........... 112
1. Kepadatan Hunian ................................................................................ 112
2. Ventilasi Udara ..................................................................................... 115
3. Pencahayaan ......................................................................................... 117
4. Suhu ...................................................................................................... 119
5. Kelembaban .......................................................................................... 120
6. Status Merokok Anggota Keluarga ...................................................... 122
E. Perspektif Islam Terkait Kejadian Pneumonia pada Balita .............. 124
BAB VII ............................................................................................................. 137
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 137
A. Simpulan ................................................................................................. 137
B. Saran ....................................................................................................... 137
1. Bagi Puskesmas Pamulang ................................................................... 138
2. Bagi Masyarakat Sekitar ...................................................................... 139
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ..................................................................... 139
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 140
LAMPIRAN ....................................................................................................... 155
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penetapan Status Gizi pada Balita .................................................................... 34
Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi pada Balita ........................................................................... 39
Tabel 2.3 Sasaran Sumplementasi Vitamin A .................................................................. 40
Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2018 ...................................................................................... 81
Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tahun 2018
.......................................................................................................................... 82
Tabel 5.3 Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................... 83
Tabel 5.4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Karakteristik Subjek
di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ....................................... 84
Tabel 5.5 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................... 88
Tabel 6.1 Crosstab Riwayat ASI dengan Status Gizi ………………………………………….110
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 52
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 56
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas <10m2 ....... 72
Gambar 4.2 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas 10m2-100m2
.......................................................................................................................................... 72
Gambar 4.3 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas >100m2 ..... 72
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 6.1 Gambaran Kasus Pneumonia Berdasarkan Luas Ventilasi dan
Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018........... 114
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1 Kuesioner Penelitian ................................................................... 156
Lampiran 1.2 Lembar Observasi ....................................................................... 159
Lampiran 1.3 Tabel Perhitungan Status Gizi Balita .......................................... 161
Lampiran 1.4 Output Uji Validitas dan Realibilitas .......................................... 162
Lampiran 1.5 Output Hasil Analisis Data ......................................................... 163
Lampiran 1.6 Dokumentasi ............................................................................... 177
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa balita merupakan periode yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan
mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Depkes RI,
2006). Anak balita merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi buruk dan
penyakit, sehingga harus mendapatkan perlindungan untuk mencegah terjadi
penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan
terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Salah satu penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak balita adalah penyakit
pneumonia (WHO, 2010).
Pneumonia merupakan bentuk infeksi pernapasan akut yang
mempengaruhi paru-paru, dimana alveoli paru-paru terisi dengan cairan
sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk bernafas WHO (2014).
Secara global, pneumonia membunuh hampir satu juta anak-anak berumur
kurang dari 5 tahun setiap tahunnya. Angka tersebut melebihi jumlah kematian
akibat penyakit menular, seperti infeksi HIV, malaria, atau tuberkulosis (CDC,
2017). Laporan UNICEF yang diterbitkan pada tahun 2018 menyebutkan
bahwa pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian pada balita di
dunia dan menyumbang sekitar 16% dari 5,6 juta kematian balita. Pada tahun
2016 pneumonia berhasil menewaskan sekitar 2.400 anak setiap hari dan telah
menewaskan sekitar 880.000 anak di tahun tersebut.
2
Di Indonesia, pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
khususnya pada balita (Kemenkes, 2011). Riset Kesehatan Dasar 2013
menyebutkan lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita
tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka
Belitung (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%). Insiden tertinggi
pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-33 bulan (21,7%).
Pada tahun 2014 terdapat 657.490 kasus pneumonia balita (29,47%) di
Indonesia. Kemudian meningkat pada tahun 2015 sebesar 63,45% dan pada
tahun 2016 menjadi 65,27% (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Berdasarkan
kelompok umur penduduk, period prevalence pneumonia tertinggi tejadi pada
kelompok usia 1-4 tahun, dengan period prevalence pneumonia balita nasional
yaitu sebesar 18,5 per 1000 balita (Riskesdas, 2013).
Banten memiliki angka period prevalence pneumonia balita sebesar 19,4
per 1000 balita (Riskesdas Banten, 2013). Angka period prevalence
pneumonia balita tersebut melebihi angka nasional. Selain itu, jumlah kasus di
Provinsi Banten cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 terdapat
20.475 kasus Pneumonia pada balita di Provinsi Banten yang ditangani.
Sementara, pada tahun 2012 terdapat 25.936 kasus dan terus meningkat
hingga 28.741 kasus (29,32%) di tahun 2015 dan 30.649 kasus (72,95%) pada
tahun 2016 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).
Salah satu daerah di Banten dengan angka pneumonia yang tinggi adalah
Tangerang Selatan. Pada tahun 2012, terdapat 4.705 penderita pneumonia di
Tangerang Selatan. Angka kasus pneumonia balita di Tangerang Selatan
meningkat di tahun 2014 menjadi 6.205 kasus dan menurun di tahun 2015
3
menjadi 5.739 penderita dengan kasus terbanyak berada di wilayah Puskesmas
Pamulang (Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2015).
Puskesmas Pamulang merupakan pusat pemerintahan kota Tangerang
Selatan yang juga padat penduduknya. Dari 26 Puskesmas yang berada di
Kota Tangerang Selatan, 3 Puskesmas dengan kasus pneumonia tertinggi di
tahun 2017 adalah Puskesmas Pamulang (6,75%), Puskesmas Pondok Kacang
Timur (6,59%), dan Puskesmas Sawah Baru (5,44%). Jumlah kasus di
Puskesmas Pamulang pun mengalami peningkatan dari tahun 2015 terdapat
599 kasus, lalu mengalami peningkatan di tahun 2016 menjadi 656 kasus, dan
di tahun 2017 menjadi 1.040 kasus (LB3 Puskesmas Pamulang, 2017).
Pneumonia pada anak balita lebih sering disebabkan oleh virus
pernapasan dan puncakya terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Dari data WHO
dan UNICEF, 50% dari pneumonia disebabkan oleh kuman Streptococcus
pneumonia dan 30% oleh Haemophylus influenza tipe B (Hib), sisanya adalah
oleh virus penyebab lain (Misnadiarly, 2008 dalam Hartanti et al., 2012). Bagi
bayi yang terinfeksi HIV, penyebab paling umum terjadinya pneumonia
adalah Pneumocytis jiroveci yang juga bertanggung jawab atas seperempat
dari seluruh kematian pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV (WHO,
2010).
Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor risiko
pneumonia. Faktor risiko yang sudah teridentifikasi meliputi status gizi, berat
badan lahir rendah (<2.500 gram saat lahir), kurangnya pemberian ASI
eksklusif pada enam bulan pertama kehidupan, imunisasi campak dan
kepadatan rumah (lima atau lebih orang per kamar) (UNICEF/WHO, 2006).
4
Menurut penelitian Anwar dan Dhamayanti (2014) menggunakan data
Riskesdas 2013, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada balita adalah jenis kelamin, tipe tempat tinggal, pendidikan ibu, tingkat
ekonomi/kuintil indeks kepemilikan, kondisi rumah, letak dapur, kebiasaan
membuka jendela dan ventilasi kamar tidur. Berdasarkan Profil Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2012) faktor risiko yang memengaruhi
insidens pneumonia antara lain adalah gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi
udara dalam ruagan, kepadatan hunian, cakupan imunisasi campak yang
rendah, dan BBLR.
Rudan et al. (2008) menyebutkan terdapat 3 kelompok faktor risiko
yang mempengaruhi insidens pneumonia pada anak. Tiga kelompok tersebut
yaitu definite risk factors atau faktor yang selalu ada, likely risk factors atau
faktor yang sangat mungkin ada, dan possible risk factors atau faktor yang
masih mungkin ada. Faktor risiko yang selalu ada terhadap kejadian
pneumonia adalah gizi kurang, BBLR, tidak memberikan ASI, polusi udara
dalam ruang, dan pemukiman padat. Faktor-faktor tersebut perlu mendapatkan
perhatian serius dan dilakukan intervensi segera demi menurunkan angka
kematian balita.
Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh et al. (2009) pada 200 anak
usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai dengan kriteria
WHO di rumah sakit di India menyatakan bahwa faktor risiko terkait dengan
pneumonia adalah kepadatan rumah dan tidak mendapat ASI eksklusif.
Penelitian yang di lakukan Mahalanabis et al. (2002) di rumah sakit anak di
Calcuta India pada 127 anak usia 2-35 bulan sebagai kasus dan 135 anak
5
sebagai kontrol mendapatkan hasil bahwa pemakaian bahan bakar padat
memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,97 kali (OR=3,97 CI : 2,00-
7,88). Ada hubungan antara riwayat asma dengan penyakit pneumonia (OR=
5,49, CI: 2,37- 12,74). Anak yang berasal dari status ekonomi rendah memiliki
risiko terkena pneumonia sebesar 4,95 kali (OR= 4,95, CI: 2,38-10,28), dan
keluarga yang memelihara hewan besar memiliki risiko terkena pneumonia
sebesar 6,03 kali dibanding dengan keluarga yang tidak memelihara hewan
besar (OR= 6,03, CI: 1,13-32,27).
Berdasarkan penelitian di salah satu Rumah Sakit di Jakarta yang
dilakukan Hartanti et al. (2012) pada 138 sampel, terdapat empat faktor risiko
yang berhubungan secara bermakna, yaitu usia balita, riwayat pemberian ASI,
status gizi, dan kebiasaan merokok keluarga. Demikian dengan penelitian di
RSUD Salewangan Maros yang dilakukan Annah et.al. (2012) faktor risiko
pneumonia yang memiliki hubungan bermakna adalah status imunisasi
(OR=2,39; 95%CI: 1,03-5,71), kebiasaan merokok anggota keluarga
(OR=5,31; 95%CI: 2,42-11,65), pemberian ASI eksklusif (OR=2,49; 95%CI:
1,02-5,17), dan penggunaan obat nyamuk bakar (OR=6,34; 95%CI: 2,91-
13,80). Sedangkan pemberian vitamin A tidak memiliki hubungan bermakna
(OR=1,05; 95%CI: 0,48-2,32).
Berdasarkan penelitian tentang faktor risiko pneumonia pada anak balita
di wilayah kerja Puskesmas Sudiang oleh Mokoginta et.al. (2014) didapatkan
hasil yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif (OR: 4,47), jenis
lantai (OR: 3,21), kondisi lantai (OR: 1,97), status gizi (OR: 1,18), dan
ventilasi rumah (OR: 2,03) merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada
6
anak balita. Sedangkan kebiasaan merokok dan pengetahuan ibu bukan
merupakan faktor risiko atau tidak adanya hubungan bermakna.
Dapat disimpulkan bahwa pneumonia pada balita masih menjadi
masalah kesehatan utama. Hal ini terlihat dengan tingginya angka morbiditas
dan mortalitas pneumonia. Salah satu upaya untuk dapat dilakukan intervensi
yang tepat terkalit kejadian pneumonia adalah dengan mengetahui faktor-
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Adapun kasus
tertinggi pneumonia di Tangerang Selatan terdapat di Puskesmas Pamulang.
Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas Pamulang tahun 2018.
B. Rumusan Masalah
Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama yang menyebabkan
kematian pada balita. Di provinsi Banten, angka period prevalens pneumonia
balita berdasarkan diagnosis dan gejala berada diatas rata-rata period
prevalens nasional yaitu sebesar 19,4 per 1000 balita. Angka kasus pneumonia
pun cenderung mengalami kenaikan, hingga terdapat 30.649 kasus (72,95%)
pada tahun 2016 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Dengan kasus tertinggi
di Tangerang Selatan pada tahun 2012, yaitu sebanyak 4.705 kasus. Angka
tersebut meningkat di tahun 2014 menjadi 6.205 penderita, dengan kasus
terbanyak berada di wilayah puskesmas pamulang (Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan, 2015).
Berdasarkan data LB3 Puskesmas Pamulang pada tahun 2017,
didapatkan bahwa kasus pneumonia balita mengalami fluktuasi dan cenderung
meningkat setiap bulannya. Pada bulan Januari terdapat 79 kasus pneumonia
7
balita. Kasus tersebut menurun menjadi 51 kasus di bulan Februari. Pada
bulan Maret terdapat 68 kasus pneumonia dan meningkat menjadi 78 kasus di
bulan April dan 91 kasus di bulan Mei. Pada bulan Juni tidak ditemukan kasus
pneumonia, namun melonjak naik menjadi 115 kasus pada bulan Juli. Pada
bulan Agustus terdapat 105 kasus, dan menurun menjadi 91 kasus pada
September dan naik kembali menjadi 104 kasus di bulan Oktober, 112 kasus
di bulan November, dan 146 kasus di bulan Desember.
Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor risiko
pneumonia. Faktor risiko yang sudah teridentifikasi meliputi status gizi, berat
badan lahir rendah, kurangnya pemberian ASI eksklusif pada enam bulan
pertama kehidupan, imunisasi campak dan kepadatan rumah (UNICEF/WHO,
2006).
Berdasarkan gambaran kejadian pneumonia tersebut, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
pneumonia pada balita di Puskesmas Pamulang sehingga diketahui faktor
risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita dan dapat
dilakukan intervensi yang tepat.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, BBLR,
status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, dan riwayat ASI
eksklusif) pada penderita pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang pada tahun 2018 ?
2. Bagaimana gambaran faktor lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi
udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status merokok anggota
8
keluarga) pada penderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang pada tahun 2018 ?
3. Apakah ada hubungan antara karakteristik balita (usia, jenis kelamin,
BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, dan riwayat
ASI eksklusif) dengan pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
pada tahun 2018 ?
4. Apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kepadatan hunian,
ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status merokok
anggota keluarga) dengan kejadian pneumonia di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang pada tahun 2018 ?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya
pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik balita (usia, jenis
kelamin, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A,
dan riwayat ASI eksklusif) dengan pneumonia balita di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2018.
b. Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (kepadatan
hunian, ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status
merokok anggota keluarga) dengan pneumonia balita di wilayah
kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
9
E. Manfaat Penelitian
Berikut ini adalah manfaat penelitian ini :
1. Bagi Puskesmas Pamulang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
menentukan atau merancang kegiatan pencegahan dan promosi
kesehatan guna mencegah penyakit pneumonia pada balita di wilayah
kerja puskesmas pamulang.
2. Bagi Peneliti Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk melakukan penelitian lanjutan dengan analisis
multivariat untuk mengetahui faktor mana yang lebih berpengaruh. Serta
menjadi pustaka untuk memperluas wawasan.
3. Bagi Masyarakat Pamulang
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
masyarakat tentang pneumonia pada balita. Sehingga masyarakat dapat
melakukan upaya pencegahan terjadinya pneumonia pada lingkungan
sekitar.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit pneumonia pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2018. Penelitian ini dilakukan pada bulan
September 2018 hingga November 2018. Desain studi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah cross sectional. Sumber data penelitian berasal dari data
primer yang dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Kemudian,
dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat dalam penelitian ini.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi paru-paru yang dapat menyebabkan
penyakit ringan hingga berat pada semua kelompok usia. Beberapa jenis
pneumonia dapat dicegah dengan melakukan vaksin, namun, pneumonia
masih menjadi penyebab utama kematian yang menular pada anak-anak
di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia (CDC, 2016).
Pneumonia merupakan bentuk akut dari infeksi saluran pernafasan
bawah, yang secara khusus mempengaruhi paru-paru. Paru-paru terdiri
dari ribuan tabung atau bronkus yang terbagi menjadi saluran udara yang
lebih kecil atau bronkhiolus, yang diujungnya berakhir dengan kantung-
kantung kecil yaitu alveoli. Alveoli mengandung kapiler pembuluh darah
tempat terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Pada seseorang
yang mengalami pneumonia, alveoli di salah satu atau kedua paru-paru
akan terisi dengan cairan atau nanah sehingga membuat asupan oksigen
terbatas dan sulit untuk bernafas. (UNICEF/WHO, 2006).
Secara klinis, pneumonia diartikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau
parasit. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh non
mikroorganisme seperti bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik atau
obat-obatan dan lainnya disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003).
11
2. Klasifikasi
Beberapa sumber mengelompokan pneumonia dalam berbagai
klasifikasi. Klasifikasi pneumonia tersebut dibuat berdasarkan usia,
anatomi, etiologi, gejala klinis dan epidemiologi.
Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita
berdasarkan kelompok usia :
a. Usia anak 2 bulan - < 5 tahun :
1) Batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat
dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah.
2) Pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah
3) Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke depan
b. Usia kurang dari 2 bulan :
1) Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.
2) Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat dan tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.
Menurut Depkes RI (2008), klasifikasi pneumonia berdasarkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut :
a. Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya umum,
atau terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan bunyi
sridor.
12
b. Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak
usia 2 bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih dan
anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit atau
lebih).
c. Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke
pneumonia, atau pneumonia berat.
Hockenberry dan Wilson (2009) mengklasifikasikan pneumonia
berdasarkan predileksi infeksi yaitu :
a. Pneumonia lobaris: peradangan pada semua atau sebagian besar
segmen paru dari satu atau lebih lobus paru, kemungkinan disebabkan
oleh adanya obstruksi bronkus, misalnya pada aspirasi benda asing
atau adanya proses keganasan.
b. Bronkopneumonia: sumbatan yang dimulai dari cabang akhir
bronkiolus oleh eksudat mukopurulen dan berkonsolidasi di lobulus
yang disebut juga pneumonia lobular
c. Pneumonia interstitial: proses peradangan pada dinding alveolus
(interstitial) dan peribronkial serta jaringan interlobularis.
Menurut perhimpunan dokter paru Indonesia (2003), pneumonia yang
terjadi di rumah sakit dikelompokan menjadi
a. Pneumonia nosocomial/Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yaitu
pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit
dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah
sakit
13
b. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu pneumonia yang
terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakel.
3. Etiologi
Data mengenai patogen spesifik penyebab pneumonia masih
terbatas. Diketahui bahwa bakteri Streptococcus pneumoniae adalah
penyebab yang paling sering ditemukan dari pasien, terutama pada anak-
anak. Etiologi tersering kedua adalah Haemophilus influenzae tipe B
(Hib) dan etiologi virus tersering adalah Respiratory Syncytial Virus
(RSV) (WHO, 2014). Uji coba di Afrika menunjukan bahwa 50% kasus
pneumonia berat disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Dan sekitar
20% kasus pneumonia berat dari Bangladesh, Chilie, dan Gambia
disebabkan oleh Hib. Selain itu pneumonia juga dapat disebabkan oleh
RSV dan influenza bakteri lain seperti Staphylococcus aureaus dan
Klebsiella pneumoniae atau jamur Pneumocystis jiroveci (PCP)
khususnya pada anak-anak dengan AIDS (UNICEF-WHO, 2006).
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan
bahwa Streptococcus pneumonia dan Haemophylus influenza merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara
berkembang. Jenis bakteri ini ditemukan pada dua per tiga dari hasil
isolasi yaitu 73,9% aspirasi paru dan 69,1% hasil isolasi spesimen darah.
Sedangkan di negara maju pneumonia pada anak umumnya disebabkan
oleh virus (Depkes RI, 1996).
Streptococcus pneumoniae atau sering disebut juga pneumococcus
merupakan bakteri gram positif yang merupakan penghuni normal dari
14
saluran pernafasan bagian atas manusia (sekitar 5-40%). Bakteri ini
memiliki kemampuan untuk menularkan, melekat pada sel inang,
menginvasi sel inang dan jaringan, mampu untuk meracuni, dan mampu
untuk menghindar dari sistem kekebalan inang. Pneumococcus dapat
hidup berbulan-bulan dalam sputum yang kering terlindung matahari.
Mampu tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 ºC. Pada suhu 50ºC
bakteri mati dalam satu jam. Dapat juga mati dalam larutan fenol dan
antiseptic biasa, dan sensitif terhadap penisilin (Hedlund, 2005).
Pneumococcus sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu
pertahanan tubuh menurun, bakteri akan segera memperbanyak diri dan
menyebabkan kerusakan. Patogenesis pneumococcus berawal dari
melekatnya bakteri pada epitel faring yang kemudian bereplikasi dan
proses lolosnya kuman dari fagositosis oleh makrofag. pneumococcus
menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dalam
jaringan. Setelah membentuk koloni, bakteri dapat menyebar langsung ke
saluran pernapasan. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran
pernapasan, selanjutnya masuk ke bronkhiolus dan alveoli sehingga
menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema
dalam alveoli dan jaringan interstitial. Bakteri pneumococcus dapat
meluas melalui porus Kohn dari alveoli ke alveoli di seluruh lobus
(Muttaqin, 2008)
Selain itu juga penularan penyakit karena bakteri ini dapat melalui
inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar, aliran
darah dari infeksi di tubuh orang lain, migrasi (perpindahan) organisme
15
langsung dari infeksi di dekat paru-paru, dan menular melalui percikan air
ludah (Hedlund, 2005).
4. Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan
penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun
(anak balita). Pneumonia disebut sebagai pembunuh nomer satu di dunia
karena hampir satu dari lima anak balita meninggal dan lebih dari 2 juta
anak di negara berkembang meninggal setiap tahunnya. Pneumonia di
negara berkembang disebut penyakit yang terabaikan (the neglegted
disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease) karena
begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat
sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia (Said,
2010).
Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terserang
pneumonia. Laporan UNICEF yang diterbitkan pada tahun 2018
menyebutkan bahwa pneumonia masih menjadi penyebab utama
kematian pada balita di dunia dan menyumbang sekitar 16% dari 5,6 juta
kematian balita. Pada tahun 2016 pneumonia berhasil menewaskan
sekitar 2.400 anak setiap hari dan telah menewaskan sekitar 880.000 anak
di tahun tersebut. Berdasarkan kelompok umur penduduk, period
prevalence pneumonia tertinggi tejadi pada kelompok usia 1-4 tahun.
Insiden pneumonia di Amerika berkisar antara 4-5 juta kasus per
tahun, dengan kurang lebih 25% membutuhkan perawatan di rumah sakit
(Waterer GW et al., 2004). Di Eropa, insiden pneumonia berkisar 1,2-
16
11,6 kasus per 10.000 populasi per tahun, dengan angka yang sedikit
lebih tinggi pada populasi pria dan umur yang sangat tua. Angka
perawatan di rumah sakit berkisar antara 22%-51% disertai dengan angka
kematian 0,1-0,7 per 1000 orang (Almirall J et al., 2000). Persebaran
pneumonia di dunia tidaklah seimbang, adanya angka yang lebih tinggi
pada negara berkembang atau negara dengan pendapatan rendah jika
dibandingkan dengan negara maju. Disebutkan juga sebanyak 74%
insiden pneumonia anak terjadi hanya pada 15 negara, dengan angka
lebih dari 50% terjadi hanya pada 6 negara : India, Cina, Pakistan,
Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria (Xu J et al., 2009).
Pneumonia di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat khususnya pada balita (Kemenkes, 2011). Riset Kesehatan
Dasar 2007 mengungkapkan bahwa pneumonia merupakan penyebab
terbesar kedua kematian bayi di Indonesia (15,5%) setelah diare (25,2%).
Pada tahun 2014 terdapat 657.490 kasus pneumonia balita (29,47%) di
Indonesia. Kemudian meningkat pada tahun 2015 sebesar 63,45% dan
pada tahun 2016 menjadi 65,27% (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).
Pneumonia menempati 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun
2010 dengan Case Fatality Rate (CFR) 7,60% (Kementrian Kesehatan RI,
2012).
5. Penularan pneumonia
Agen penyakit dapat mencapai paru-paru balita melalui rute yang
berbeda. Namun, pada umumnya pneumonia dapat terjadi karena agen
penyakit telah berada di hidung atau tenggorokan sehingga terhirup ke
17
paru-paru dan menyebabkan infeksi. Selain itu agen penyakit juga dapat
menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin dan radang paru-
paru bisa menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah
lahir (UNICEF/WHO, 2006).
6. Patogenesis
Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami
gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian
bawah. Dalam keadaan sehat tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru, karena adanya mekanisme pertahanan paru.
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Terdapat beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai
permukaan yaitu melalui inokulasi langsung, penyebaran melalui
pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi dipermukaan
mukosa. Inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 µm
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveolus dan
terjadilah proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme. Hal ini merupakan awal infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil secret orofaring
sebagian besar terjadi pada orang normal waktu tidur juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alcohol dan pemakai obat (drug abuse).
Pad pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
18
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas
bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada
beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.
Agen penyebab pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer
yaitu aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan
penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Dan aspirasi serta
inhalasi agen infeksius yang merupakan cara penyebaran tersering
penyebab pneumonia. Sementara penyebaran secara hematogen jarang
terjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
7. Tanda dan Gejala
Balita penderita pneumonia dapat memiliki gejala yang beragam
tergantung pada usia dan penyebab infeksi. Pneumonia bakteri biasanya
menyebabkan anak-anak menjadi sakit parah dengan demam tinggi dan
napas cepat. Sedangkan infeksi virus sering terjadi secara bertahap dan
dapat memburuk seiring berjalannya waktu. Beberapa gejala umum
pneumonia pada balita adalah napas cepat atau sulit, batuk, demam,
menggigil, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan napas tersengal-
sengal (UNICEF/WHO, 2006)
Pneumonia dapat ditandai dengan adanya napas cepat dan napas
sesak, karena paru yang meradang secara mendadak. Batas napas cepat
adalah jika frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak
usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai
19
kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1
tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002).
Selain gejala tersebut, penderita pneumonia juga dapat mengalami
batuk, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga, dan demam. Serta terlihat
adanya retraksi interkostal, nyeri dada, penurunan bunyi nafas, pernafasan
cuping hidung, sianosis, batuk kering kemudian berlanjut ke batuk
produktif dengan adanya ronkhi basah. Pada pemeriksaan kardiovaskuler
akan didapatkan gejala takikardi dan pada pemeriksaan neurologis
terdapat nyeri kepala, gelisah, dan susah tidur (Kemenkes, 2012).
8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pneumonia dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
pemeriksaan fisik secara umum berdasarkan gambaran klinis, dan dengan
pmeriksaan penunjang yaitu rontgen dada dan tes laboratorium untuk
mengkonfirmasi penyakit tersebut, termasuk tingkat keparahan, lokasi
infeksi serta penyebabnya (UNICEF/WHO, 2006).
Gambaran klinis biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40℃, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2003).
WHO (2009) menjelaskan gambaran klinis pneumonia dibagi dalam:
a. Pneumonia ringan
Ditandai dengan adanya batuk atau sulit bernapas, napas cepat :
Usia < 2 bulan : ≥60 kali/menit
Usia 2 bulan – 11 bulan : ≥50 kali/menit
20
Usia 1-5 tahun : ≥40 kali/menit
b. Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas, ditambah dengan salah satu gejala:
1) Kepala terangguk-angguk
2) Pernapasan cuping hidung
3) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
4) Rontgen dada menunjukan gambaran infiltrate luas,
konsolidasi, dan lainnya.
Selain itu bisa juga ditemukan gambaran klinis napas cepat, suara
merintih/grunting pada bayi, terdengar ronki atau crackles pada
auskultasi, suara pernafasan menurun, serta suara pernapasan bronkial.
Pada pemeriksaan radiologis atau rontgen dada, dapat berupa
infiltrate hingga konsolidasi dengan “air broncogram”, penyebab
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Namun foto toraks
saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia.
Pemeriksaan tersebut hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis
etiologi. Seperti gambaran pneumonia lobaris sering disebabkan oleh
Steptococcus pneumonia, gambaran infitrat bilateral atau
bronkopneumonia sering disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/µ atau terkadang mencapai 30.000/µ.
Dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
21
9. Pencegahan
Negara-negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi dalam
upaya mengontrol infeksi saluran pernapasan akut yang dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia anak (WHO,
2003). Keenam strategi tersebut yaitu, pemberian imunisasi, memberikan
kemoprofilaksis, memperbaiki nutrisi, mengurangi polusi lingkungan,
mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung, serta
memperbaiki cara perawatan anak.
Pada tahun 2009, WHO dan UNICEF telah membuat rencana aksi
Global Action Plan for the Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan
pengendalian pneumonia. Dimana hal tersebut bertujuan untuk
mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk
melindungi, mencegah, dan mengobati pneumonia pada anak dengan
tindakan berikut :
a. Melindungi anak-anak dari pneumonia termasuk mempromosikan
pemberian ASI eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi
udara di dalam rumah.
b. Mencegah pneumonia dengan pemberian vaksin
c. Mengobati pneumonia yang difokuskan pada upaya bahwa setiap
anak sakit memiliki akses perawatan yang tepat dan baik dari
petugas kesehatan berbasis masyarakat atau fasilitas kesehatan jika
penyakitnya bertambah serta mendapatkan antibiotik dan oksigen
yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.
22
B. Sistem Imun
Sistem imun merupakan sistem yang sangat kompleks dengan berbagai
peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Untuk melaksanakan
fungsi imunitas, di dalam tubuh terdapat suatu sistem limforetikuler. Sistem
ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar di seluruh
tubuh seperti, sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran
napas, saluran cerna, dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas
bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu
rangsangan sesuai sifat dan fungsinya masing-masing (Roitt, 1990).
Konsep imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dengan
kemampuan untuk mengenal suatu zat asing terhadap dirinya, yang
selanjutnya tubuh akan melakukan tindakan dalam bentuk netralisasi,
melenyapkan atau memasukkannya ke dalam proses metabolisme yang dapat
menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri.
Ada atau tidaknya tindakan oleh tubuh (respon imun) tergantung dari
kemampuan sistem limforetikuler untuk mengenali zat asing atau tidak (Roitt,
1990).
Jika tubuh terpapar zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua jenis
respon imun yaitu, respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.
Meskipun proses kedua respon imun tersebut berbeda, namun telah dibuktikan
bahwa kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan efektivitas masing-
masing. Respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu
komponen dengan komponen lain yang terdapat dalam sistem imun. Interaksi
23
tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa dan memiliki kerja sama
yang erat (Roitt, 1990).
1. Respon Imun Non-spesifik
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap
dan memiliki respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada
individu yang sehat. Respon imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam
menghadapi infeksi dan tidak perlu menerima pajanan sebelumnya.
Bersifat non-spesifik karena tidak ditujukan pada patogen atau mikroba
tertentu, mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan mampu
melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial. Respon imun non-
spesifik merupakan imunitas bawaan dan telah berfungsi sejak lahir.
Mekanisme imun non-spesifik untuk mempertahankan diri terhadap
masuknya antigen adalah dengan cara menghancurkan antigen tersebut
melalui proses fagositosis. Sel utama yang berperan dalam proses
fagositosis oleh imunitas non-spesifik adalah sel mononuklear (monosit
dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit, sel Natural
Killer (NK) dan sel mast. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap
antigen, mengolah, dan selanjutnya mempresentasikannya kepada sel T
yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Agar terjadi fagositosis, sel-sel
fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel
bakteri, atau partikel bakteri tersebut melekat pada permukaan fagosit.
Untuk mencapai kondisi tersebut maka fagosit harus bergerak menuju
sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator
tertentu yang disebut dengan faktor leukotaktik atau kemotaktik yang
24
berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrophil, makrofag
atau komplemen yang telah berada di lokasi bakteri (Kresno, 2010).
Selain fagositosis, mekanisme lain dari respon imun non-spesifik
adalah reaksi inflamasi (peradangan). Reaksi ini terjadi akibat
dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti
histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit, vasoactive amine
yang dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal
komponen-komponen komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari
mastosit dan basofil. Mediator-mediator ini akan merangsang bergeraknya
sel-sel polymorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta
meningkatkan permiabilitas dinding vaskuler yang mengakibatkan
eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut dengan
respons inflamasi akut (Abbas dan Lichtman, 2007).
2. Respon Imun Spesifik
Respon imun spesifik merupakan suatu sistem yang dapat mengenali
antigen atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Antigen yang pertama
kali masuk akan diingat oleh sistem imun spesifik dan jika antigen yang
sama masuk kembali dalam tubuh maka antigen tersebut akan dikenal
lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Disebut sebagai respon imun
spesifik karena sistem tersebut hanya menghancurkan benda asing yang
sudah ada sebelumnya. Sistem imun spesifik disebut pula dengan sistem
imun yang didapat, dimana sel imun yang berperan penting adalah limfosit
B dan sel limfosit T (Latifah, 2017).
25
Respon imun ini bertindak sebagai respon imun lini kedua. Respon
imun spesifik diperlukan untuk melawan antigen dari imunitas non-
spesifik. Antigen tersebut merupakan substansi berupa protein dan
polisakarida yang mampu merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh
(antibodi). Tubuh kita seringkali dapat membentuk kekebalan dengan
sendirinya. Setelah memiliki kekebalan, tubuh akan kebal terhadap
penyakit tersebut walaupun terinfeksi beberapa kali. Seperti pada campak
atau cacar air, penyakit tersebut biasanya hanya menjangkit manusia sekali
dalam seumur hidupnya. Hal ini terjadi karena tubuh telah membentuk
kekebalan primer. Dimana kekebalan tersebut diperoleh dari B limfosit
dan T limfosit (Kresno, 2010). Respon imun spesifik terdiri dari sistem
spesifik humoral dan seluler.
a. Respon imun spesifik seluler
Dalam imunitas seluler yang berperan adalah limfosit T atau sel T
yang berasal dari sumsum tulang dan dimatangkan dalam kelenjar
timus. Sel T menyerang antigen yang berada di dalam sel. Fungsi
utama sistem imun spesifik seluler adalah untuk pertahanan terhadap
virus, bakteri, jamur dan keganasan di intra seluler (yang sulit
dijangkau oleh antibodi). Sel T bermacam-macam jenisnya,
berdasarkan fungsinya secara umum terdapat tiga golongan utama dari
sel T. terdapat sel T sitotoksik (Tc) yang merupakan sel efektor dari
killing sel, sel T helper (Th) yang dikenal juga sebagai CD4 dan sel T
suppressor (Ts) atau dikenal juga sebagai CD8 (Latifah, 2017).
26
b. Respon imun spesifik humoral
Dalam imunitas humoral yang berperan adalah B limfosit atau sel
B. dimana fungsi utamanya adalah mempertahankan tubuh terhadap
infeksi bakteri, virus, dan melakukan netralisasi toksin. Dibuat di
sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi (pluripotent
stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang. Sel B menyerang
antigen yang ada di cairan antar sel. Terdapat 3 jenis sel B yaitu,
limfosit B plasma yang memproduksi antibodi, limfosit B pembelah
yang menghasilkan limfosit dalam jumlah yang banyak secara cepat,
dan limfosit B memori yang mengingat antigen yang pernah masuk ke
tubuh (Latifah, 2017).
Respon imun humoral, diawali dengan diferensiasi sel B menjadi
satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibodi spesifik
dalam darah. Pada respon imun humoral juga berlaku respon imun
primer yang membentuk klon sel B memori. Setiap klon limfosit
diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu (clonal selection). Antibodi ini akan berikatan dengan
antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat
mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen
tersebut. Agar sel B berdiferensiasi dan membentuk antibodi
diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang oleh sinyal-
sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang dilepaskan oleh
makrofag, merangsang produksi antibodi. Selain oleh sel T-helper,
produksi antibodi juga diatur oleh sel T-penekan (T-supresor),
27
sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan yang
dibutuhkan (Abbas dan Lichtman, 2007).
3. Fungsi Respon Imun
a. Pertahanan
Fungsi pertahanan menyangkut pertahanan terhadap antigen dari luar
tubuh seperti masuknya mikroorganisme dan parasit ke dalam tubuh.
Terdapat dua kemungkinan yang terjadi akibat hasil pertahanan tubuh
melawan mikroorganisme tersebut yaitu, tubuh mampu melawan dan
terhindar dari penyakit atau sebaliknya (Gunawan, 2013).
b. Homeostatis
Homeostatis adalah keseimbangan yang ideal dalam tubuh yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dengan cara berinteraksi
dengan seluruh sistem yang terdapat dalam tubuh. Sehingga imunitas
berfungsi untuk menjaga keseimbangan homeostatis agar bekerja
dengan baik (Gunawan, 2013).
c. Perondaan
Fungsi perondaan menyangkut perondaan di seluruh bagian tubuh
terutama ditujukan untuk memantau pengenalan terhadap sel-sel yang
berubah menjadi abnormal melalui proses mutase. Perubahan sel
tersebut dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh zat-zat
kimia tertentu, radiasi, atau infeksi virus. Fungsi perondaan dari sistem
imun bertugas untuk selalu waspada dan mengenal adanya perubahan-
perubahan dan selanjutnya secara cepat akan membuang hasil yang
baru timbul pada permukaan sel abnormal (Gunawan, 2013).
28
4. Penyimpangan Sistem Imun
Seperi sistem lainnya dalam tubuh, sistem imun pun dapat
mengalami penyimpangan di seluruh jaringan komunikasi baik berbentuk
morfologis ataupun fungsional. Gangguan morfologis seperti tidak
berkembangnya secara normal kelenjar timus sehingga mengakibatkan
defisiensi pada limfosit T. Sedangkan gangguan fungsional merupakan
perwujudan dari lumpuhnya mekanisme respon imun terhadap suatu
antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respon imun dapat
berbentuk sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun hipersensitifitas tipe
lambat, dimana semua ini terkadang menimbulkan kerugian pada jaringan
tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gangguan fungsi pertahanan sistem
imun (Abbas dan Lichtman, 2007).
Gangguan fungsi homeostatis pada sistem imun dapat menimbulkan
kelainan yang dinamakan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan karena
sistem imun melihat konfigurasi dari tubuh sendiri sebagai benda asing,
sehingga respon imun ditujukan kepada jaringan tubuh sendiri dan terjadi
kerusakan. Selain itu jika fungsi perondaan mengalami gangguan maka
akan mengakibatkan tidak bekerjanya sistem pemantauan terhadap
perubahan sel tubuh. Sehingga akhirnya sel abnormal tersebut berkembang
biak diluar kendali yang dapat menimbulkan penyakit yang bersifat ganas
(Gunawan, 2013).
29
5. Faktor Pengubah Mekanisme Imun
Selain faktor genetik, terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi mekanisme imun seperti faktor metabolic, lingkungan,
gizi, anatomi, fisiologi, usia dan mikroba (Almatsier, 2009).
a. Faktor Metabolik
Beberapa hormon dapat mempengaruhi respon imun tubuh, seperti
pada keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme yang akan
mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap infeksi. Demikian
pula pada orang-orang yang mendapat pengobatan dengan steroid
sangat mudah mendapat infeksi maupun virus. Steroid akan
menghambat fagositosis, produksi antibodi dan menghambat proses
inflamasi. Hormon kelamin yang masuk ke dalam golongan hormon
steroid seperti andogen, estrogen dan progesterone diduga sebagai
faktor pengubah terhadap respon imun. Hal ini tercermin dari adanya
perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan perempuan yang
mengidap penyakit imun tertentu (Abbas dan Lichtman, 2007).
b. Faktor Lingkungan
Kenaikan angka kesakitan terhadap penyakit infeksi sering terjadi
pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Hal ini dapat
disebabkan karena masyarakat dengan tingkatan tersebut lebih banyak
dihadapkan pada bibit penyakit karena buruknya lingkungan
sekitarnya. Menurunnya daya tahan tubuh juga dapat disebabkan
karena buruknya keadaan gizi (Abbas dan Lichtman, 2007).
30
c. Faktor Gizi
Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun.
Tubuh membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan yang
dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh.
Keenam komponen tersebut yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin,
mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat penting untuk
berfungsinya sistem imun secara normal. Kekurangan gizi penyebab
utama timbulnya imunodefisiensi (Abbas dan Lichtman, 2007).
d. Faktor Anatomi
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba
biasanya terdapat pada kulit dan selaput lendir yang melapisi bagian
permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tersebut, bertindak sebagai
imunitas alamiah dengan menyediakan suatu rintangan fisik yang
efektif. Dalam hal ini kulit lebih efektif daripada selaput lendir.
Adanya kerusakan pada permukaan kulit atau pada selaput lendir akan
lebih memudahkan timbulnya suatu penyakit (Abbas dan Lichtman,
2007).
e. Faktor Fisiologi
Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan
yang kurang menguntungkan untuk sebagian besar bakteri patogen.
Demikian pula dengan air kemih yang normal akan membilas saluran
kemih sehingga menurunkan kemungkinana infeksi oleh bakteri. Pada
kulit juga dihasilkan zat yang besifat bakterisida. Di dalam darah
terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara non-spesifik.
31
Faktor humoral lainnya adalah properdin dan inferno yang selalu siap
untuk menanggulangi masuknya zat asing (Abbas dan Lichtman,
2007).
f. Faktor Usia
Berhubungan dengan perkembangan sistem imun sudah mulai
dirasa sejak dalam kandungan, maka efektifitasnya juga diawali dari
keadaan yang lemah dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Walaupun demikian tidak berarti pada usia lanjut, sistem imun akan
bekerja secara maksimal. Tetapi sebaliknya, fungsi imun pada usia
lanjut akan mulai menurun dibandingkan dengan orang yang lebih
muda, walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem imunnya. Hal
tersebut disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara
umum juga jelas berkaitan dengan menyusutnya kelenjar timus.
Keadaan tersebut akan mengakibatkan perubahan-perubahan respon
imun seluler dan humoral. Pada usia lanjut risiko akan timbulnya
berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan bertambah,
misalnya risiko menderita penyakit autoimun, penyakit keganasan,
sehingga memudahkan tersinfeksi oleh suau penyakit (Abbas dan
Lichtman, 2007).
g. Faktor Mikroba
Berkembangnya koloni mikroba yang tidak patogen pada
permukaan tubuh, baik diluar maupun didalam tubuh, akan
mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan untuk membantu
produksi natural antibodi. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat
32
pula membantu menghambat pertumbuhan kuman patogen.
Pengobatan dengan antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat
mematikan pertumbuhan flora normal, dan sebaliknya dapat
menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen (Abbas dan Lichtman,
2007).
C. Faktor risiko
Berikut faktor risiko penyakit pneumonia pada balita :
1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko pada beberapa penyakit. Usia
rentan dalam kehidupan manusia adalah usia balita, dimana sistem imun
pada rentang usia tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan usia
selanjutnya (Khomsan dan Anwar, 2008). Usia yang muda seperti balita
memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang belum sempurna, hal ini
menyebabkan balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti
influenza dan pneumonia (Utami, 2014).
Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) balita yang berusia ≤ 12
bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk mengalami pneumonia
dibandingkan dengan balita berusia ≥ 12 bulan (95% CI: 1,58-6,64).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Hananto (2004) yang
menyebutkan bahwa anak usia ≤ 12 bulan mempunyai risiko pneumonia
sebesar 2,30 kali (95% CI : 1,59-3,33) dibandingkan dengan responden
yang berusia > 12 bulan.
33
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin atau seks menurut Hananto (2004) adalah perbedaan
antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.
Dalam program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang
mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004).
Adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan memiliki hormone 17 β-estradiol yang akan menstabilisasi
dan meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi dengan cara
mengeluarkan mediator inflamasi yang sangat berguna ketika terjadi
respon inflamasi saat terjadi infeksi. Sedangkan hormon testosteron pada
laki-laki memiliki sedikit aktivitas untuk menghambat pengeluaran
interleukin sehingga akan mengganggu respon inflamasi ketika terjadi
infeksi (Falagas, 2007)
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anwar dan Dhamayanti (2014)
didapatkan hasil bahwa risiko pneumonia meningkat secara bermakna
pada kelompok balita laki-laki (OR=1,11, 95% CI:1,04-1,192). Hasil
penelitian Rasyid (2013) mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih
berisiko 2,76 kali dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan (95%
CI: 1,82-4,17).
Sunyantaningkamto et al. (2004) mengatakan bahwa anak laki-laki
1,5 kali lebih berisiko dibandingkan anak perempuan (OR= 1,47, 95% CI:
1,06-2,04). Dikatakan, hal ini dapat terjadi karena diameter saluran
pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
34
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak
laki-laki dan perempuan.
3. Status gizi
Status gizi merupakan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan
zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk
anak balita, aktivitas, pemeliharan kesehatan, dan penyembuhan bagi
yang menderita sakit serta proses biologis lainnya di dalam tubuh
(Depkes RI, 2008).
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, Berat Badan (BB), dan
Tinggi Badan (TB). Variabel BB dan TB tersebut disajikan dalam bentuk
tiga indikator antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB). Gizi kurang dan gizi buruk adalah ststus gizi yang didasarkan
pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan KMK nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang
standar antopometri penilaian status gizi pada anak adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Penetapan Status Gizi pada Balita
Indeks Kategori
Status Gizi
Ambang Batas (Z-Score)
Berat Badan menurut Gizi Buruk ≤ -3 SD
Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan ≤ -2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Sumber : Kemenkes,2011
35
Dalam penelitian Efni (2014) didapatkan hasil adanya hubungan
yang bermakna antara status gizi dengan kejadian pneumonia (p value=
0,022; OR= 9,1; 95% CI: 1,03-8). Hal ini sejalan dengan penelitian Utami
(2014) yang menyebutkan bahwa balita dengan status gizi kurang
berisiko 2,98 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita dengan
status gizi baik.
Status gizi kurang dan gizi buruk dapat menyebabkan gangguan
imunitas. Gangguan tersebut berupa penurunan imunitas yang disebabkan
oleh menurunnya aktivitas leukosit untuk memfagosit atau membunuh
agen penyebab pneumonia. Selain itu kekurangan protein juga dapat
menyebabkan atrofi timus, dimana timus adalah organ yang memproduksi
sel limfosit yang berperan dalam pertahanan tubuh dari benda asing
(Gozali, 2010).
4. Berat Badan Lahir Rendah
BBLR atau Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memperhitungkan masa gestasi
(Depkes,2005). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan
mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi, anak, serta
memberikan dampak panjang untuk kehidupan dimasa depan (Sembiring,
2017).
Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-
bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
36
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya (Hartanti et al., 2012).
BBLR merupakan kasus prematuritas, bayi lahir dengan prematuritas
menyebabkan immaturitas sistem imun berupa penekanan pembentukan
gamma globulin oleh sistem limfoid. Selain itu immaturitas sistem imun
akan menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa penurunan
aktivitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk sitokin
sehingga terjadilah kegagalan sistem kekebalan humoral (Bratawidjaja,
2006).
Dalam penelitian Rasyid (2013) didapatkan hasil OR=1,62 (95% CI:
1,09-2,41) yang berarti terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian
pneumonia. Begitupula dalam penelitian Utami (2014) menyatakan
bahwa bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gram lebih berisiko 4,4
kali terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan
berat badan >2500 gram (OR=4,4, 95% CI: 1,14-16,86).
5. Pemberian ASI Eksklusif
Pada saat bayi baru lahir, secara alamiah mendapatkan kekebalan
tubuh dari ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat
turun setelah kelahiran bayi. Sedangkan selama periode bayi baru lahir
hingga berusia 4 bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri
secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan
tubuhnya sendiri menjadi lambat dan akan terjadi kesenjangan.
Kesenjangan daya tahan tubuh dapat diatasi dengan pemberian ASI
(Utami, 2001).
37
ASI eksklusif adalah tidak memberikan makanan atau miniman lain
(termasuk air putih) selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin
atau mineral tetes) (Kemenkes RI, 2014). Pedoman internasional yang
menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup
bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI mengandung nutrisi,
antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk
bertahan dan berkembang serta sebagai sistem kekebalan tubuh anak yang
baik (UNICEF/WHO, 2006).
ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi walaupun
ibu dalam kondisi kurang gizi sekalipun, dan mampu mengatasi infeksi
melalui sel fagosit (pemusnah) dan immunoglobulin (antibodi). ASI juga
mengandung komponen lain yang memberi efek perlindungan, seperti
sitokin, laktoferin, lisozim, dan musin (IDAI, 2013)
Menurut Annah et al. (2012), tidak memberikan ASI eksklusif
merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak usia 6-59 bulan
dengan nilai OR= 2,49 (95% CI: 1,20-5,17). Begitu pula dengan
penelitian Hartanti et al. (2012) pada balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif mempunyai peluang mengalami pneumonia 4,47 kali dibanding
balita yang mendapatkan ASI eksklusif (95% CI: 1,68-11,80).
Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Mokoginta et al. (2013)
yang menjelaskan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
berisiko 4,47 kali mengalami pneumonia 95% CI: 1,64-12,1). Oleh sebab
38
itu, pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang baik untuk mencegah
terjadinya penyakit pneumonia dan lainnya.
6. Riwayat Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh
secara aktif terhadap suatu antigen. Dengan imunisasi atau pemberian
vaksin, tubuh akan mengaktifkan sistem imun spesifik yang berperan
untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap satu jenis agen infeksi
melalui mekanisme memori. Adanya sel memori akan memudahkan
pengenalan antigen pada pajanan yang kedua, sehingga jika seseorang
terpajan antigen yang sama tidak akan terjadi penyakit. (Judarwanto,
2009).
Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia
dengan dua cara. Pertama, vaksinasi yang membantu mencegah anak-
anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan
pneumonia, seperti Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi
yang dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia
sebagai komplikasi dari penyakit seperti campak dan pertussis
(UNICEF/WHO, 2006).
Status Imunisasi balita di Indonesia dapat dilihat berdasarkan
lengkap atau tidaknya imunisasi, baik imunisasi dasar maupun imunisasi
lanjutan yang diberikan pada balita (Kemenkes, 2015). Berikut jadwal
imunisasi pada balita :
39
Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi pada Balita
Usia Jenis Vaksin
0-7 hari HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
Imunisasi
Dasar
2 bulan DPT-HB-Hib 1,
Polio 2
Jadwal
Imunisasi
3 bulan DPT-HB-Hib 2,
Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3,
Polio 4
9 bulan Campak
Imunisasi 18
bulan
DPT-HB-Hib
Lanjutan 24
bulan
Campak
Sumber : Kemenkes, 2015
Hasil penelitian Rasyid (2013) menemukan bahwa anak balita yang
tidak mendapatkan imunisasi lengkap (tidak imunisasi campak dan DPT)
berpotensi untuk terkena campak yang selanjutnya akan berpotensi
menjadi pneumonia (OR= 1,61, 95% CI: 1,02-2,54). Penelitian yang
dilakukan Utami (2014) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat imunisasi dengan kejadian pneumonia (p value : 0,007 OR:4,4;
95% CI: 1,15-16,89).
Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan
terhindar dari penyakit campak dan pneumonia yang merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada anak yang mengalami
penyakit campak. Begitupun dengan vaksin DPT. Pemberian vaksin DPT
dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai
40
komplikasi dari pertusis. Maka dari itu imunisasi campak dan DPT sangat
penting untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia (UNICEF/WHO,
2006).
7. Konsumsi Vitamin A
Terdapat dua jenis kapsul vitamin A, yaitu kapsul biru (dosis
100.000 IU) diberikan untuk bayi berumur 6-11 bulan dan kapsul merah
(dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan serta ibu nifas.
Pemberian kapsul vitamin A dilakukan secara serentak. Untuk bayi usia
6-11 bulan Februari atau Agustus. Dan untuk anak balita usia 12-59 bulan
pada bulan Februari dan Agustus (Kemenkes RI, 2016). Berikut sasaran
suplementasi vitain A :
Tabel 2.3 Sasaran Sumplementasi Vitamin A
Sasaran Dosis Frekuensi
Bayi 6-11 blan Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali
Balita 12-59 bulan Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali
Ibu Nifas (0-42 hari) Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali
Sumber : Depkes RI, 2009
Pemberian vitamin A kepada ibu nifas ditujukkan untuk
meningkatkan kandungan vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6
bulan. Kapsul vitamin A merah dikonsumsi oleh ibu nifas sebanyak 2
kali. Kapsul pertama diberikan untuk dikonsumsi segera setelah
melahirkan dan kapsul kedua diminum 24 jam sesudah konsumsi kapsul
pertama (Depkes RI, 2009)
Kemenkes RI (2016) mengatakan bahwa kekurangan vitamin A
dalam tubuh yang berlangsung lama dapat menimbulkan masalah
kesehatan yang berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan
41
kematian pada balita, hal ini disebabkan karena vitamin A memiliki peran
dalam pembentukan, produksi, dan pertumbuhan sel darah merah, sel
limfosit, antibodi, juga integritas sel epitel pelapis tubuh.
Kekurangan vitamin A akan menyebabkan integritas mukosa epitel
terganggu dikarenakan hilangnya sel goblet penghasil mukus. Hal
tersebut berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap patogen
(Almatsier, 2009). Selain itu, vitamin A juga merupakan antioksidan yang
menangkal radikal bebas dan dapat memperbaiki jaringan/sel yang telah
dirusak oleh radikal bebas. Kekurangan antioksidan dapat menyebabkan
supresi imun yang mempengaruhi mediasi sel T dan respon imun adaptif (
Brambilla D. et al., 2008). Retinol pada vitamin A juga berpengaruh pada
diferensiasi limfosit B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral.
Hasil penelitian Utami (2014) di Lampung, mengatakan bahwa anak
yang tidak mendapatkan vitamin A berisiko 2,23 kali terkena pneumonia
dibandingkan dengan anak yang diberikan vitamin A (OR= 2,23, 95% CI:
1,01-4,95). Menurut Kartasasmita (2010), anak yang tidak mendapatkan
vitamin A memiliki risiko meninggal akibat pneumonia lebih tinggi, dan
anak yang menderita pneumonia yang tidak pernah mendapatkan vitamin
A juga terbukti lebih lama mengalami sakit dibandingkan penderita
pneumonia yang mendapatkan suplemen vitamin A.
8. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak
42
dianjurkan untuk digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur
kecuali anak usia 5 tahun.
Kepadatan hunian dalam rumah menurut Kasjono (2011) adalah satu
orang minimal menempati luas rumah 9 m2 agar dapat mencegah
penularan penyakit termasuk penularan penyakit ISPA dan juga dapat
melancarkan aktivitas di dalamnya. Keadaan tempat tinggal yang padat
dapat meningkatkan faktor polusi udara di dalam rumah (Maryunani,
2010).
Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang
banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang.
Kepadatan hunian ini memungkinkan penularan bakteri atau virus dari
penghuni satu ke penghuni lainnya (Yuwono, 2008).
Selain itu, kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu
ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas tubuh yang akan
meningkatkan kelembaban akibat uap air dari keringat dan pernafasan
tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah
penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam
ruangan. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah
maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau
bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan
menurun dan diikuti oleh peningkatan CO ruangan dan dampak dari
peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah
(Yusup dan Sulistyorin, 2005).
43
Berdasarkan analisa multivariat di Kabupaten Kubu Raya yang
dilakukan Sartika et al (2011). Didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
pneumonia. Responden yang memiliki hunian tidak memenuhi syarat
berisiko 16,335 kali lebih besar tertular pneumonia dibandingkan dengan
responden yang memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat (95%
CI: 2,88-77,79).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Utami (2014)
yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian pneumonia (OR: 3,55, 95%CI: 1,54-8,21).
9. Ventilasi Udara
Ventilasi udara memiliki fungsi untuk menjaga agar aliran udara
dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan Oksigen (O2) yang
diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi udara
akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah dan kadar karbon
dioksida (CO2) yang bersifat racun bagi penghuni menjadi meningkat.
Selain itu ventilasi udara juga berfungsi untuk membebaskan udara ruang
dari bakteri patogen karena akan terjadi aliran udara yang terus menerus
serta dapat menjaga kelembaban udara tetap optimum (Notoatmodjo,
2007).
Ventilasi udara berkaitan dengan kelembaban rumah, yang
mendukung daya hidup virus maupun bakteri. Kelembaban dalam
ruangan rumah yamg terlalu rendah ataupun tinggi dapat menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan mikroorganisme (Amin, 2014). Ruangan
44
dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat menyebabkan
kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit
ataupun pernafasan (Yuwono, 2008). Selain itu, ventilasi udara yang
cukup dan terbuka akan menyebabkan masuknya sinar matahari ke dalam
rumah.
Dimana sinar matahari dapat membunuh virus atau bakteri, sehingga
akan mengurangi risiko terjadinya pneumonia (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang menyebutkan rumah harus
dilengkapi dengan ventilasi minimal 10% luas lantai dengan sistem
ventilasi silang. Keadaan ventilasi udara yang kurang akan berpengaruh
terhaap fungsi fisiologis pernafasan terutama bayi dan balita.
Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) dikatakan bahwa balita
yang tinggal di rumah yang tidak memiliki ventilasi mempunyai peluang
2,5 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di
rumah yang memiliki ventilasi (OR= 2,5, 95% CI: 1,23-5,09). Hal ini
sejalan dengan penelitian Utami (2014), didapatkan hasil OR=2,61 (95%
CI: 1,54-8,21) yang berarti ventilasi udara memiliki hubungan bermakna
dengan kejadian pneumonia.
10. Jenis Lantai
Lantai harus cukup kuat untuk manahan beban di atasnya. Bahan
untuk lantai yang biasa digunakan yaitu ubin, kayu plesteran, atau bambu
dengan syarat-syarat tidak licin, stabil tidak lentur waktu diinjak,
permukaan lantai harus rata dan mudah dibersihkan (Dinata, A. et al.,
45
2014). Lantai yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan pedoman
teknis penilaian rumah sehat ialah jenis lantai yang kedap air.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Padmonobo et al (2012)
lantai yang tidak kedap air (jenis lantai tanah) dapat mempengaruhi
kelembaban di dalam rumah dan kelembaban dapat mempengaruhi
berkembang biaknya kuman penyebab penyakit. Lantai rumah yang
terbuat dari tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi
berdebu. Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi
udara dalam rumah (indoor air pollution).
Penelitian Anggiani et al (2016) menyebutkan bahwa balita yang
tinggal di rumah dengan jenis lantai rumah tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko 4,265 kali lebih tinggi menderita pneumonia
dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai
rumah memenuhi syarat (p value : 0.009, OR: 4.265, 95% CI: 1.531-
11.886). hal tersebut sejalan dengan penelitian Padmonobo et al (2012)
yang mengatatakan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan lantai
tidak permanen mempunyai risiko menderita pneumonia 2,635 kali lebih
besar dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan lantai
permanen (p value: 0.008, OR: 2.635, 95% CI: 1.341-5.178).
11. Jenis Dinding
Dinding rumah masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai jenis,
ada yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, dan bersifat
permanen (plester). Untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu atau papan kayu masih dapat ditembus oleh udara, secara
46
penghawaan akan bagus namun dapat meningkatkan kelembaban ruang
dan tidak terjamin dari segi kebersihan. Debu yang terbawa masuk dan
menempel pada dinding dapat menjadi media yang baik untuk
mikroorganisme menempel dan berkembang, sehingga berpotensi
menimbulkan gangguan pada kesehatan terutama pernapasan (Anthony,
2008; Sinaga, 2012). Konstruksi dinding yang baik adalah dinding
rumah yang kedap air serta mudah dibersihkan, konstruksi kuat, serta
tidak berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
Dinding yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan pedoman
teknis penilaian rumah sehat adalah dinding yang permanen dan kedap
air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Padmonobo et
al (2012) yaitu dinding yang tidak memenuhi syarat akan mempengaruhi
kelembaban dalam ruangan. Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat
menyebabkan kelembaban dalam ruangan menjadi tidak normal.
Kelembaban tidak normal ini akan menjadi prakondisi pertumbuhan
kuman maupun bakteri yang dapat menimbulkan penyakit bagi
penghuninya.
Padmonobo et al (2012) mendapatkan hasil OR: 3.034 (95% CI:
1.490-6.177) dengan nilai p value: 0.003 yang menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara jenis dinding dengan penyakit pneumonia pada
balita. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Juni et al. (2016) yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jenis dinding
dengan kejadian pneumonia pada balita (OR: 6.6, 95% CI: 1.79-24.57, p
value: 0.004).
47
12. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja
yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif (Kepmenkes
RI No. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri). Menurut Mukono (2000) bahwa cahaya
yang cukup kuat untuk penerangan di dalam rumah merupakan kebutuhan
manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya
buatan dan cahaya alami.
Pencahayaan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke
dalam ruangan melalaui jendela, celah-celah atau bagian ruangan yang
terbuka. Pencahayaan alami siang hari dikatakan baik apabila pada pukul
08.00 hingga pukul 16.00 waktu setempat, terdapat cukup banyak cahaya
yang masuk ke dalam ruangan. Serta distribusi cahaya di dalam ruangan
cukup merata atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu (SNI-
03-2396-2001).
Kebutuhan kadar pencahayaan yang dipersyaratkan menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam Rumah yaitu minimal 60 Lux.
Pemenuhan kebutuhan cahaya untuk penerangan alamiah sangat
ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Nilai pencahayaan yang terlalu
tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan.
Menurut penelitian Padmonobo et al (2012), rumah yang sehat
memerlukan pencahayaan (cahaya sinar matahari) yang cukup, tidak
kurang dan tidak lebih. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah
48
terutama cahaya alami matahari selain menyebabkan kurang nyaman juga
merupakan tempat atau media yang baik untuk hidup dan berkembang
biaknya penyakit. Cahaya sangat penting selain berguna untuk
mengurangi kelembaban dan dapat membunuh bakteri-bakteri patogen
seperti bakteri tuberculosis, penyakit mata dan penyakit saluran
pernapasan.
Dalam penelitian Padmonobo et al (2012) dikatakan bahwa balita
yang tinggal di rumah dengan pencahayaan kamar buruk mempunyai
risiko menderita pneumonia 2,202 kali lebih besar dibandingkan dengan
balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan baik (OR: 2.202, 95%
CI: 1.130-4.292, p value: 0.030). Hal ini sesuai dengan penelitian
Pangandaheng et al. (2013) yang mengatakan bahwa anak balita yang
tinggal di rumah dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,82 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan
yang memenuhi syarat (p value: 0,04; OR: 2,82; 95% CI: 1.01-7.86).
13. Suhu
Suhu merupakan derajat panas dan dingin udara pada waktu dan
tempat tertentu (Ahmad, 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman
Penyehatan Udara dalam Rumah menetapkan syarat suhu dalam ruangan
yang baik adalah 18ºC-30 ºC. Perubahan suhu udara dalam rumah
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ventilasi yang tidak memenuhi
syarat, kepadatan hunian, dan bahan serta struktur bangunan. Suhu dalam
49
ruang rumah yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan.
Suhu udara dalam rumah yang terlalu tinggi dapat memungkinkan bakteri
tumbuh dan berkembangbiak dengan baik di dalam rumah. seperti
Streptococcus pneumoniae yang mampu tumbuh secara optimal pada
suhu 31ºC-37ºC.
Penelitian Darmawati et al. (2016) mengatakan terdapat hubungan
antara suhu dengan insiden pneumonia pada anak balita (p value: 0.00;
OR: 12.727; 95% CI: 4.581-35.362). Hal ini sejalan dengan penelitian
Sari et al. (2014) yang menunjukan bahwa anak balita yang tinggal di
rumah dengan suhu rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 12,5 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang
tinggal di rumah dengan suhu memenuhi syarat ( p value: 0.01; OR:
12.571; 95% CI: 1.535-102.970).
14. Kelembaban Udara
Kelembaban merupakan persentase kandungan uap air yang ada di
udara. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangbiakan faktor etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri
dan jamur (Suryani, 2015). Patogen penyebab pneumonia tersebut
membutuhkan suhu dan kelembaban yang optimal untuk
berkembangbiak. Pada kelembaban tertentu memungkinkan
pertumbuhannya terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati.
Begitupula sebaliknya, patogen tersebut dapat tumbuh dan
50
berkembangbiak dengan sangat cepat apabila kelembaban udara terlalu
tinggi taupun terlalu rendah (Padmonobo et al., 2012).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/
Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Rumah
menetapkan syarat kelembaban yaitu antara 40% - 60% Rh. Kelembaban
berkaitan dengan ventilasi, karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan
mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi.
Berdasarkan penelitian Padmonobo et al. (2012) kelembaban kamar
balita merupakan faktor risiko yang dominan terhadap kejadian
pneumonia pada balita (OR: 2.671, 95% CI: 1.061-6.724, p value: 0.037).
Begitu pula dengan penelitian Kusumawati et al. (2015) mengatakan
bahwa balita yang tinggal dalam hunian yang lembab memiliki risiko
sebesar 3,231 kali mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita
yang tinggal di hunian tidak lembab.
15. Status Merokok Anggota Keluarga
Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan
gangguan kesehatan kepada perokok saja, namun juga berdampak pada
orang-orang disekitarnya yang tidak merokok seperti bayi, balita, anak-
anak dan ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif karena ada anggota
keluarga mereka yang merokok di dalam rumah (Sartika et al., 2011).
Dari sebatang rokok akan dihasilkan asap samping 2 kali lebih
banyak dari asap utama. Asap samping tersebut yang kemudian akan
mencemari lingkungan rumah dan terhirup oleh anggota keluarga
51
termasuk bayi dan balita. Semakin sering menghisap asap rokok maka
akan semakin rentan terkena infeksi karena asap tersebut mengandung zat
yang dapat menurunkan kekebalan tubuh (WHO,2010).
Satu batang rokok yang dibakar akan menghasilkan sekitar 5000 mg
gas (92%) dan bahan-bahan partikel padat (8%) yang berupa droplet
aerosol cair dan partikel tar padat submikroskopik. Asap rokok
mengandung ribuan komponen kimia, termasuk 1.015 spesies reaktif
dalam fase gas, khususnya oksida nitrogen (NO), oksidan yang dihasilkan
tembakau menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat
dalam sel paru-paru. Oksidan dalam asap rokok mempunyai jumlah yang
cukup untuk memainkan peranan yang besar untuk terjadinya kerusakan
saluran nafas. Oksidan asap tembakau menghabiskan antioksidan
intraseluler dalam sel paru (in vivo) melalui mekanisme yang dikaitkan
terhadap tekanan oksidan (Britton dan Edwards, 2007)
Asap rokok dapat menurunkan fungsi silia, merusak sel epitel bersilia
yang akan diubah menjadi sel-sel skuamosa, dan menurunkan sistem
imunitas humoral/seluler (Sunyataningkamto et al., 2004). Menurut
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), sistem imunitas humoral
sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas atas).
Berdasarkan penelitian Annah et al. (2012) didapatkan hasil bahwa
balita dengan anggota keluarga yang merokok berisiko terkena
pneumonia 5,31 kali dibandingkan dengan balita yang anggota
keluarganya tidak merokok OR = 5,31 (95% CI: 2,42-11,65). Begitupun
dalam penelitian Hartanti et al. (2012) yang menyebutkan adanya
hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian
pneumonia pada balita dengan nilai OR= 2,53 (95% CI: 1,27-5,04).
52
D. Kerangka Teori
Sumber : (Khomsan dan Anwar, 2008;Hartanti, 2011; Falagas, 2007; Bratawidjaja, 2006;
Judarwanto, 2009; Brambilla, D. et al., 2008; Almatsier, 2009; Sunyataningkamto, 2004;
Yuwono, 2008; Yusup dan Sulistyorin, 2005)
Pneumonia
Faktor Lingkungan :
Kepadatan Hunian
Ventilasi Udara
Jenis Lantai
Jenis Dinding
Pencahayaan
Suhu
Kelembaban Udara
Anggota Keluarga Merokok
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Karaktristik Balita :
Usia
Jenis Kelamin
Status Gizi
Berat Badan Lahir Rendah
Pemberian ASI Eksklusif
Riwayat Imunisasi
Konsumsi Vitamin A
53
Dari kerangka teori diatas dapat dijelaskan bagaimana mekanisme
variabel independen (usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi, ASI eksklusif,
riwayat imunisasi, pemberian vitamin A, status merokok keluarga, ventilasi udara
dan kepadatan hunian) dapat menjadi risiko terjadinya pneumonia (variabel
dependen).
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa usia, jenis kelamin, BBLR, ASI
eksklusif, riwayat imunisasi, pemberian vitamin A, dan status gizi akan
menyebabkan gangguan fungsi imunitas sehingga host menjadi rentan atau
terkena pneumonia. Pada usia balita sistem imunitas yang terbentuk belum
sempurna. Pada balita sebenarnya sudah terdapat sel limfosit T (sistem imun
seluler) namun, sel T yang ada berupa sel T naif, dimana sel tersebut tidak akan
merespon terhadap suatu paparan antigen tertentu. Selain itu pada balita kadar IgG
(sebagai respon antibodi) belum bekerja optimal. Sehingga mengakibatkan respon
imunitas pada saluran pernafasan juga tidak optimal dan terjadinya infeksi.
Jenis kelamin mempengaruhi imunitas host karena terdapat perbedaan
humoral antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki hormon yang akan
menstabilisasi dan meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi yaitu dengan
cara mengeluarkan mediator inflamasi. Sedangkan laki-laki memiliki hormon
testosteron yang justru menghambat dikeluarkannya interlukein, hal tersebut akan
mengganggu respon inflamasi ketika terjadi infeksi.
Bayi dengan BBLR mwemiliki immaturitas sistrm imun berupa
penekanan pembentukan gamma globulin oleh sistem limfoid. Selain itu,
immaturitas sistem imun akan menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa
54
penurunan aktivitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk sitokin
sehingga terjadilah kegagalan sistem kekebalan humoral.
Dalam ASI terdapat sel-sel penting seperti leukosit, makrofag, neutrophil
yang berguna untuk sistem imun (terutama proses fagosit atau pemusnahan sel
infeksius). Selain itu terdapat juga faktor protektif yang terlarut dalam ASI seperti
enzim lisozim, laktoferin, sitokin, dan protein yang dapat mengikat B12, faktor
bifdus serta enzim-enzim dan antioksidan.
Riwayat imunisasi yang dimaksud dalam variabel ini adalah imunisasi
campak dan DPT, karena penyakit-penyakit tersebut akan menyebabkan balita
terserang pneumonia. Pemberian imunisasi merupakan pemberian antigen pada
tubuh. Balita tidak akan menjadi sakit karena antigen tersebut dilemahkan atau
dimatikan. Dengan pemberian imunisasi/antigen tersebut, akan memicu system
imun seluler dan humoral yang akan mengingat antigen tersebut. Sehingga jika
suatu hari nanti terdapat antigen yang serupa menyerang tubuh balita, balita tidak
akan mengalami sakit tersebut.
Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang mempunyai peranan penting
dalam pemeliharaan sel epitel (diferensiasi sel) terutama sel goblet yang dapat
mengeluarkan mukus/lendir. Bakteri atau virus yang masuk ke tubuh akan
diserang dan dikeluarkan melalui mukus sebagai bentuk pertahanan tubuh.
Gizi kurang/buruk akan mempengaruhi aktivitas leukosit untuk
memfagosit/membunuh agen pneumonia. Selain itu gizi kurang/buruk dapat
menyebabkan atrofi timus (penyusutan) akibat kekurangan protein. Timus
berfungsi untuk pematangan sel T yang nantinya digunakan untuk melawan
infeksi. (imunitas seluler).
55
Selain itu, asap rokok juga mempengaruhi imunitas. Asap rokok
mengandung zat berbahaya seperti nikotin, tar, CO, NO, dsb. Zat-zat tersebut
merupakan oksidan yang dihasilkan dari tembakau. Oksidan tersebut akan
menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat dalam sel paru-paru.
Selain itu bahan-bahan berbahaya tersebut mampu menurunkan poliverasi limfosit
T dan limfosit B yang mengakibatkan menurunnya produktifitasantibodi protektif
dalam memperkuat system imun (mempengaruhi system imun melawan respon
inflamasi).
Sedangkan faktor lingkungan hunian saling berkaitan. Pencahayaan,
ventilasi udara, kepadatan hunian, akan mempengarhi suhu dan kelembaban
udara. Suhu yang tinggi dan udara yang lembab dapat memicu tumbuhnya bakteri
atau virus penyebab pneumonia. Jenis lantai dan jenis dinding pun akan
menyebabkan kelembaban udara. Kelembaban udara disebabkan karena
penguapan cairan tubuh dari kulit ataupun pernafasan. Semakin padat hunian
maka pengeluaran panas tubuh pun semakin besar, begitupula jika disertai
ventilasi yang kurang maka tidak akan ada sirkulasi udara sehingga kelembaban
meningkat. Pencahayaan yang terlalu tinggi pun akan mempengaruhi suhu yang
akan berakibat pada kelembaban udara. Sedangkan pencahayaan sendiri
dipengaruhi oleh ventilasi udara. Ventilasi yang baik akan menyebabkan
pencahayaan yang cukup.
56
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko apa yang
berhubungan dengan penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas
Pamulang Tangerang Selatan tahun 2018. Faktor yang diteliti terkait dengan
kejadian pneumonia yaitu terdiri dari usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi,
ASI eksklusif, riwayat imunisasi, dan konsumsi vitamin A, serta faktor
Pneumonia
Karakteristik Balita
Usia
Jenis Kelamin
BBLR
Status Gizi
Riwayat Imunisasi
Konsumsi Vitamin A
ASI Eksklusif
Faktor Lingkungan
Ventilasi Udara
Kepadatan Hunian
Pencahayaan
Suhu
Kelembaban Udara
Status Merokok
Anggota Keluarga
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
57
ventilasi udara, kepadatan hunian, pencahayaan, suhu, kelembaban udara,
dan status merokok anggota keluarga. Variabel independen yang diambil
merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan terhadap kejadian
pneumonia berdasarkan penelitian sebelumnya. Untuk faktor jenis lantai dan
jenis dinding rumah tidak diteliti. Hal ini disebabkan karena jika dilihat
keadaan rumah masyarakat di wilayah kerja puskesmas pamulang memiliki
jenis lantai dan jenis dinding yang sama, sehingga data yang dihasilkan
dapat bersifat homogen.
58
B. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
1 Pneumonia Infeksi saluran pernafasan.
Ditetapkan oleh dokter puskesmas dan
di register dinyatakan sebagai
penderita pneumonia dalam buku
MTBS
Telaah dokumen Register
MTBS
pasien
0 : Sakit pneumonia
1 : Bukan sakit pneumonia
Ordinal
2 Status gizi Keadaan status gizi balita yang
dihitung dari berat badan (kg) per usia
(bulan) balita (BB/U) berdasarkan
formula MTBS
Wawancara Kuesioner 0 : Gizi buruk-kurang (BB/TB
≤ -3 SD s/d ≤ -2 SD)
1 : Gizi baik-lebih ( BB/TB –
2SD s/d > 2 SD)
(Kemenkes RI, 2011)
Ordinal
3 Usia Lama hidup anak yang dihitung sejak
lahir sampai survei dilakukan, dihitung
dalam bulan
Telaah dokumen Kuesioner 0 : ≤ 12 bulan
1 : 13-59 bulan
Ordinal
4 Jenis kelamin Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan ciri fisik
biologi yang tidak dapat ditukar
Telaah dokumen Kuesioner 0 : Laki-laki
1 : Perempuan
Nominal
5 Berat badan
lahir
Berat badan lahir bayi sewaktu
dilahirkan
Diketahui dari catatan pasien
Telaah dokumen Kuesioner 0 : BBLR (≤ 2500 gram)
1 : Tidak BBLR (>2500 gram)
Ordinal
6 Riwayat
Imunisasi
Lengkap tidaknya anak mendapatkan
imunisasi Campak dan DPT sesuai
dengan usianya
Telaah dokumen
dan wawancara
Kuesioner 0 : Tidak lengkap, jika salah
satu imunisasi campak / DPT
tidak terpenuhi (sesuai
kebutuhan usianya).
1 : Lengkap, jika imunisasi
campak dan DPT terpenuhi
Ordinal
59
(sesuai kebutuhan usianya).
(Buku Panduan MTBS, 2015)
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
7 Konsumsi
vitamin A
Pemberian vitamin A dua kali dalam
satu tahun sesuai dengan usia anak.
Anak usia 6-11 bulan diberikan kapsul
biru dengan frekuensi 1 kali, usia 12-
59 bulan diberi kapsul merah dengan
frekuensi 2 kali. Serta ibu nifas diberi
kapsul merah dengan frekuensi 2 kali
segera setelah melahirkan dan
menyusui anaknya sehingga kebutuhan
vitamin A anak usia 0-6 bulan
terpenuhi.
(Kemenkes, 2016)
Telaah dokumen
dan wawancara
Kuesioner 0 : Balita yang tidak
menkonsumsi atau
mengkonsumsi vitamin A
(untuk usia 6-59 bula). Ibu
nifas yang menkonsumsi
vitamin A dan menyusui
anaknya (untuk anak usia 0-6
bulan). Sesuai frekuensi
sasaran.
1 : Balita yang menkonsumsi
vitamin A (untuk usia 6-59
bula). Ibu nifas yang
menkonsumsi vitamin A dan
menyusui anaknya/memberi
susu formula (untuk anak usia
0-6 bulan). Sesuai frekuensi
sasaran.
(Buku panduan MTBS, 2015)
Ordinal
8. Pemberian
ASI Ekslusif
Tidak memberi makanan atau
minuman lain, termasuk air putih,
selain menyusi paling sedikit 6 bulan
(kecuali obat-obatan, mineral tetes)
Kemenkes RI, 2014
Wawancara Kuesioner 0 : Tidak ASI eksklusif
1 : ASI eksklusif
Ordinal
60
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
9. Kepadatan
Hunian
Jumlah penghuni dalam suatu rumah
dibandingkan dengan luas rumah
responden. Minimal 8m2/orang kecuali
usia 5 tahun ( KMK Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999)
Wawancara dan
observasi
Lembar
observasi
0 : Padat (< 8 m2/jiwa)
1 : Tidak Padat ( ≥ 8
m2/jiwa)
Nilai tersebut merupakan hasil
pembagian antara luas rumah
dengan jumlah penghuni.
(KMK Nomor 829/Menkes/SK/
VII/1999 )
Ordinal
10 Ventilasi
udara
Kategori luas jendela dan lubang angin
rumah yang berfungsi dan digunakan
sebagai aliran udara dari luar ke dalam
rumah dan sebaliknya, yaitu ≥10%
dari luas lantai.
(PerMenKes RI No. 1077/ Menkes/
Per/ V /2011)
Wawancara dan
observasi
Kuesioner 0 : Tidak sesuai (<10 % dari luas
lantai)
1 : Sesuai (≥ 10% dari luas lantai)
Ordinal
11 Pencahayaan Hasil pengukuran terhadap intensitas
cahaya alami di dalam ruangan yang
sering didiami oleh balita dimana
kebutuhan kadar pencahayaan yang
dipersyaratkan yaitu minimal 60 Lux.
( Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam
Rumah).
Observasi Lux meter 0 : Kurang (<60 lux)
1 : Cukup (>60 lux)
Ordinal
61
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
12 Suhu Hasil pengukuran derajat panas dan
dingin udara pada ruangan yang sering
didiami oleh balita, dengan syarat suhu
dalam ruangan yang baik adalah 18ºC-
30 ºC.
(Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam
Rumah)
Observasi Thermohi
grometer
0 : Tidak memenuhi syarat
(<18ºC atau > 30ºC)
1 :Memenuhi syarat (18ºC-30 ºC)
Ordinal
13 Kelembaban
Udara
Hasil pengukuran persentase
kandungan uap air pada ruangan yang
sering didiami oleh balita dengan
syarat kelembaban yaitu antara 40% -
60% Rh.
(Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam
Rumah menetapkan)
Observasi Thermohi
grometer
0 : Tidak memenuhi syarat (<40%
atau >60% Rh)
1 :Memenuhi syarat ( 40%-60%
Rh)
Ordinal
14 Status
merokok
anggota
keluarga
Terdapat anggota keluarga responden
yang merokok di dalam rumah
Wawancara Kuesioner 0 : Ada
1 : Tidak ada
Ordinal
62
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
3. Ada hubungan antara BBLR dengan kejadian pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
4. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
5. Ada hubungan antara riwayat imunisasi dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
6. Ada hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kejadian pneumonia
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
7. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018
8. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
9. Ada hubungan antara ventilasi udara dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
10. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian pneumonia pada balita
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018
11. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
63
12. Ada hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
13. Ada hubungan antara status merokok anggota keluarga dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
64
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik dengan
pendekatan cross sectional, dimana variabel dependen (usia, jenis kelamin,
BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, ASI eksklusif,
ventilasi udara, kepadatan hunian, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status
merokok anggota keluarga) dan variabel independen (pneumonia) diobservasi
secara bersamaan dalam satu waktu.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan September - November 2018.
Adapun lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh balita
yang mendapatkan pelayanan di poli MTBS Puskesmas Pamulang selama
periode bulan Oktober-November 2018.
2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah balita
yang berobat di Puskesmas Pamulang selama periode Oktober-November
2018 dan terpilih sebagai sampel sesuai dengan krteria :
a. Pasien balita usia 0-59 bulan.
b. Tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
65
c. Orang tua balita bersedia menjadi responden.
d. Responden berada di rumah saat dilakukan observasi.
Cara pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan non-probability sampling menggunakan teknik accidental sampling.
Accidental sampling merupakan pengambilan sampel secara aksidental atau
kebetulan. Pada penelitian ini, peneliti mengambil responden yang berobat di
Puskesmas Pamulang selama periode bulan Oktober-November 2018 yang
ditemui di lapangan saat itu juga. Hal ini dikarenakan periode infeksi
pneumonia yang cukup singkat, sehingga apabila digunakan teknik sampling
secara random yang membutuhkan frame sampling maka dikhawatirkan kasus
pneumonia sudah sembuh. Jika demikian maka hasil yang didapat akan
homogen karena tidak adanya kasus atau kasus hanya sedikit
3. Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus
beda dua proporsi.
n = ( 𝑍1−𝛼/2 √2�̅�(1−�̅�)+ 𝑍1−𝛽√𝑃1(1−𝑃1) + 𝑃2(1−𝑃2) )2
(𝑃1− 𝑃2)2
n : jumlah atau besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian
Z1-α/2 : Derajat kepercayaan 95% = 1,96
Z1-β : Kekuatan uji 80% = 0,84
=�̅� : Proporsi rata-rata (P1+P2)/2
P1 : proporsi penderita pneumonia yang memiiki anggota keluarga
merokok
P2 : proporsi penderita pneumonia yang tidak memiliki anggota
66
keluarga merokok
Besar P1 dan P2 diambil dari hasil penelitian sebelumnya. Setelah masing-
masing variabel independen didapatkan besar sampel, kemudian ditetapkan
besar sampel pada penelitian ini, diambil dari perhitungan maksimal.
Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus uji hipotesis beda
dua proporsi didapatkan jumlah sampel minimal responden adalah sebanyak
56, untuk menghindari drop out maka besar sampel dikali 2 dan ditambah
10% dari total sampel. Sehingga total sampel yang dibutuhkan adalah 124
responden.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Sumber data diperoleh melalui data primer. Data primer didapat
dari hasil wawancara terstruktur dan observasi menggunakan kuesioner
dan lembar observasi. Dan didukung oleh buku KIA, rekam medis, atau
register MTBS untuk mendapat data terkait diagnosis dan riwayat
karakteristik balita.
2. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah, wawancara dan
observasi. Peneliti melakukan pengimpulan data pada bulan Oktober-
November 2018. Langkah pertama yang peneliti lakukan adalah
mengumpulkan data karakteristik balita di Puskesmas Pamulang. Peneliti
ikut berbaur dengan wali pasien di ruang tunggu poli MTBS Puskesmas
Pamulang dan mengambil responden secara accidental, yaitu seluruh wali
dengan balita yang masuk dalam kriteria penelitian diminta kesediaannya
67
untuk menjadi responden. Responden yang bersedia selanjutnya diberikan
informed consent untuk ditanda tangani. Selanjutnya peneliti akan
mewawancarai responden terkait identitas wali dan responden seperti, nama
orang tua, nama balita, alamat rumah, no.hp, tanggal lahir balita, jenis
kelamin, dan riwayat pneumonia sebagai informasi tambahan.
Lalu selain itu peneliti menanyakan pertanyaan terkait pemberian
ASI eksklusif dan informasi terkait status merokok anggota keluarga.
Peneliti juga menanyakan apakah wali masih menyimpan buku KIA untuk
melihat data terkait berat badan saat lahir dan riwayat imunisasi serta
pemberian vitamin A. Jika wali balita sudah tidak menyimpan buku KIA
maka peneliti menanyakan berat badan balita, riwayat imunisasi, dan
pemberian vitamin A langsung pada ibu/wali balita, lalu setelahnya dicek
ulang dengan melihat formulir MTBS.
Setelah melakukan wawancara dengan responden, peneliti
menunggu hingga jam kerja Puskesmas selesai dan meminta izin untuk
melihat form MTBS dan rekam medis pasien untuk melihat data terkait
diagnosis penyakit, berat badan balita, dan mengecek informasi terkait
riwayat imunisasi dan keadaan-keadaan lainnya sebagai informasi
tambahan.
Proses wawancara tersebut dilakukan hingga mencapai jumlah
sampel yang dibutuhkan yaitu 124 sampel. Namun, karena adanya beberapa
kendala seperti alamat yang susah dicari, responden yang tidak ada di
tempat, dan responden yang tidak merespon ketika akan dilakukan
68
observasi maka dilakukan pengambilan sampel kembali di puskesmas
untuk memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan.
Dalam proses observasi dan pengukuran lingkungan, peneliti
dibantu oleh enumerator melakukan kunjungan ke rumah responden untuk
mengukur variabel faktor lingkungan. Peneliti dengan enumerator
mengukur luas rumah dengan menggunakan meteran, namun untuk
beberapa rumah dengan luas yang cukup besar peneliti menanyakan
langsung pada responden, apabila responden tidak mengetahui luas
rumahnya maka peneliti mengukur sendiri. Berikut cara yang dilakukan
untuk mengukur variabel lingkungan :
a. Status merokok anggota keluarga
Variabel tersebut diukur menggunakan kuesioner dengan
melakukan wawancara dengan orangtua/wali responden. Terdapat 4
pertanyaan terkait anggota keluarga yang merokok. Kuesioner ini
dimodifikasi dari penelitian sebelumnya terkait faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita yang
dilakukan di RSUD Pasar Rebo Jakarta oleh (Hartanti et al, 2012).
b. Kepadatan hunian
Variabel tersebut diukur menggunakan lembar observasi
dengan melakukan wawancara terkait jumlah penghuni. Selain itu
dilakukan pula pengukuran menggunakan roll meter untuk mengetahui
luas lantai rumah. Kepadatan hunian ditentukan dari hasil perhitungan
dengan rumus :
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑢𝑛𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ
69
Hunian dikatakan padat apabila didapatkan nilai < 8m2 / jiwa.
Cara mengukur luas lantai rumah sendiri adalah dengan
mengukur luas lantai setiap ruangan yaitu panjang lantai dan lebar
lantai lalu dikalikan. Kemudian hasil dari luas setiap ruangan itu
dijumlahkan. Perhitungan luas disesuaikan dengan bentuk ruangan
rumah. Apabila terdapat kesulitan dalam mengukur luas lantai rumah
karena bentuk rumah yang beraneka macam, maka dapat ditanyakan
kepada penghuni rumah luas rumah tersebut atau melihat dokumen
rumah.
c. Ventilasi udara
Variabel tersebut diukur menggunakan lembar observasi
dengan melakukan observasi terkait ventilasi udara yang ada di rumah
responden. Luas ventilasi udara ditentukan dengan membandingkan
jumlah seluruh luas ventilasi udara yang digunakan dengan 10% luas
lantai. Apabila jumlah luas ventilasi udara melebihi 10% luas lantai
maka ventilasi tersebut memenuhi syarat. Luas ventilasi diukur dari
seluruh lubang pengawahan yang digunakan di dinding rumah
responden. Karena betuk ventilasi dapat beraneka macam, maka
pengukuran dan perhitungan disesuaikan dengan bentuk ventilasi yang
ada. Apabila ventilasi berbentuk segitiga maka hitung dengan rumus
luas segitiga yaitu ½ x alas x tinggi, apabila berbentuk persegi maka
hitung dengan rumus luas persegi yaitu sisi x sisi, apabila persegi
panjang maka hitung dengan rumus luas persegi panjang yaitu panjang
x lebar, dan apabila lingkaran maka hitung dengan rumus luas
70
lingkaran yaitu π x r2, apabila belah ketupat maka hitung dengan rumus
luas belah ketupat, yaitu ½ x diagonal1 x diagonal2, dan rumus lainnya
sesuai dengan bentuk ventilasi.
d. Suhu dan Kelembaban Udara
Variabel suhu dan kelembaban udara diukur menggunakan alat
ukur Thermohygrometer. Yang digunakan memiliki akurasi suhu
sebesar ± 1ºC dan kelembaban ± 5%. Pengambilan data suhu dan
kelembaban udara dalam ruangan dilakukan selama 10 menit di
ruangan yang sering didiami balita. Berikut cara kerja pengukuran
suhu dan kelembaban:
1) Masukkan dan pasang baterai lalu tekan tombol On/Off selama 3
detik untuk menghidupkan alat.
2) Masukkan sensor kelembaban dan suhu pada stop kontak di sisi
alat.
3) Letakkan alat dan pegang sensor suhu dan kelembaban pada area
yang akan diukur yakni di titik tengah atau epicentrum.
4) Tekan tombol kelembaban dan suhu untuk melihat hasil
pengukuran
5) Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban ruangan tersebut
setiap menitnya selama 10 menit
6) Hitung rata-rata dari nilai suhu dan kelembaban dalam ruangan
7) Matikan alat dengan tombol On/Off selama 3 detik dan lepaskan
baterai
71
e. Pencahayaan
Pengukuran pencahayaan ini dilakukan dengan menggunakan
alat luxmeter yang hasilnya dapat langsung dibaca. Alat tersebut dapat
mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Kemudian energi
listrik dalam bentuk arus digunakan untuk menggerakan jarum skala,
dimana pada alat digital energi listrik akan diubah menjadi angka yang
dapat dibaca pada layar monitor.
Pengambilan data pencahayaan dilakukan berdasarkan SNI 16-
7062-2004. Berdasarkan SNI tersebut penentuan titik pengukuran
terbagi menjadi dua, yakni penerangan setempat dan penerangan
umum. Penerangan setempat dilakukan pada objek kerja seperti meja
kerja atau peralatan kerja lainnya, sedangkan penerangan umum
dilakukan pada tituk potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan
pada setiap jarak tertentu dengan tinggi satu meter dari lantai.
Pengukuran pencahayaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pengukuran penerangan umum, karena ruangan yang paling sering
ditempati balita bukan termasuk objek kerja. Berikut cara kerja
pengukuran pencahayaan:
a) Menghitung luas area pengukuran
b) Menentukan titik pengukuran di titik tengah dengan
ketentuan sebagai berikut:
(1) Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi dengan
memotong titik garis horizontal panjang dan lebar ruangan
adalah pada jarak setiap 1 (satu) meter.
72
Gambar 4.1 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan
Umum dengan Luas <10m2
(2) Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter
persegi dengan memotong titik garis horizontal panjang dan
lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 (tiga) meter.
Gambar 4.2 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan
Umum dengan Luas 10m2-100m2 (3) Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi dengan memotong
titik horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6
meter.
Gambar 4.3 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan
Umum dengan Luas >100m2
c) Masukkan dan pasang baterai lalu tekan tombol On/Off selama 3
detik untuk menghidupkan alat.
73
d) Masukkan sensor cahaya pada stop kontak di sisi alat.
e) Tekan tombol pencahayaan untuk melihat data pengukuran
f) Pegang alat dan buka penutup sensor cahaya, kemudian letakkan
alat dan sensor cahaya di tempat yang akan dilakukan
pengukuran pencahayaan dengan tinggi 1 meter dari lantai.
g) Arahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang diukur kuat
penerangannya.
h) Lihat hasil pengukuran dan tunggu hingga angka pada layar
stabil.
i) Catat hasil pengukuran pada lembar pengukuran.
j) Lakukan pengukuran kedua dan ketiga di titik pengukuran yang
sama.
k) Tutup kembali sensor cahaya.
l) Matikan alat dengan tombol On/Off selama 3 detik dan lepaskan
baterai.
m) Ulang langkah-langkah tersebut di titik-titik pengukuran yang
lainnya.
3. Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen pasien (rekam medis/register MTBS, buku KIA), kuesioner,
lembar observasi, roll meter, luxmeter, dan thermohygrometer.
74
E. Validitas dan Realibilitas
1. Validitas Data
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang
terdapat di dalam kuesioner sudah dapat mengukur variabel yang ingin
diukur atau tidak. Pengujian validitas terkait pengukuran karakteristik
rumah sehat yang dilakukan dengan cara mengkalibrasi semua alat ukur
secara berkala sebelum digunakan untik mengukur lingkungan rumah
responden.
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS. Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai Corrected
Item-Total Correlation dengan r-tabel. Apabila r hitung lebih besar dari r
tabel maka item pertanyaan tersebut valid. Nilai r tabel kuesioner pada n
= 35 dan α = 0.05 adalah 0,3610 yang didapatkan dari nilai df (n-2). Uji
validitas dilakukan pada pertanyaan riwayat ASI eksklusif dan status
merokok anggota keluarga.
Pada variabel status merokok anggota keluarga semua pertanyaan
valid (didapatkan nilai 0,804). Sedangkan hasil uji validitas untuk
kuesioner riwayat ASI eksklusif terdapat 2 butir pertanyaan yang tidak
valid (didapatkan nilai dengan rentang 0,212-0,820) , yaitu pertanyaan
B11 (poin b dan poin c). Pertanyaan tersebut tidak valid karena memiliki
nilai r hitung < r table. Oleh karena itu pertanyaan tersebut diubah
menjadi pertanyaan baru.
75
2. Reliabilitas Data
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui alat ukur yang
digunakan dalam penelitian dapat terjaga konsistensinya, baik dari hasil
pertama hingga pengukuran selanjutnya ataupun dilakukan secara
berulang-ulang hasilnya tetap konsisten. Pengujian reliabilitas alat
dilakukan dengan cara mengukur objek berulang kali untuk menghasilkan
data yang konsisten dan lebih akurat.
Uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan angka Cronbach
alpha dengan nilai Cronbach alpha minimal yaitu 0,6. Jika nilai Cronbach
alpha lebih besar dari 0,6, maka kuesioner dapat dikatakan reliabel,
begitupula sebaliknya. Hasil uji reliabilitas yang dilakukan pada
kuesioner ASI eksklusif mendapat hasil 0,751 dan status merokok
anggota keluarga didapatkan nilai Cronbach alpha 0,835. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner riwayat ASI eksklusif
dan status merokok anggota keluarga reliabel.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu :
1. Editing, yaitu suatu tahapan pemeriksaan kembali kebenaran dan
kelengkapan data yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kuesioner atau data diri yang belum lengkap atau
terlewat dalam pengisiannya. Peneliti melakukan proses editing
setelah proses wawancara selesai dan melanjutkan ke tahap
selanjutnya.
76
2. Coding, yaitu proses pemberian kode numerik terhadap data
penelitian yang terdiri dari beberapa kategori. Pengubahan data yang
berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk angka bertujuan untuk
mempermudah analisis data dan mempercepat entry data.
3. Entry, yaitu tahapan peneliti memindahkan dan memasukkan data
dari kuesioner ke sistem komputer atau program analisis data. Data
yang dientry ke sesuai dengan kode yang telah diberi pada masing-
masing jawaban responden.
4. Cleaning, yaitu proses pemeriksaan kembali data yang telah
dimasukkan ke program komputer sehingga dapat diketahui apabila
ada kesalahan data yang dientry untuk diperbaiki sesuai dengan data
yang telah dikumpulkan.
G. Metode Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan metode analisis untuk variable
tunggal. Ditujukan untuk menganalisis distribusi ukuran kasus sampel
dari variable tunggal (Lapau, 2013). Analisis univariat ini dilakukan
untuk memperoleh gambaran/deskripsi pada masing-masing variabel
independen (usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi,
konsumsi vitamin A, pemberian ASI eksklusif, kepadatan hunian,
ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban udara, dan status
merokok anggota keluarga) maupun varibel dependen (pneumonia balita).
77
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada pada umumnya bertujuan untuk menguji
perbedaan dan menguji hubungan antara dua variabel penelitian yang
digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti bertujuan untuk menguji ada
tidaknya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
Analisis bivariate juga memberikan hasil terhadap hipotesis yang
diajukan oleh peneliti. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua variabel adalah uji Chi-Square.
Uji statistik dilakukan untuk melihat nilai p value dan nilai risiko
dari setiap kategori variabel. Hasil uji statistik diketahui dengan melihat p
value yang dibandingkan dengan nilai α (alpha) = 0,05. Jika p value ≤
0,05 maka disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara variabel
independen dengan variabel dependen, sedangkan jika p value > α maka
disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel
dependen dengan variabel independen. Sedangkan untuk nilai risiko
menggunakan Prevelance Ratio (PR) dengan ketentuan :
1. PR < 1 berarti faktor risiko akan menurunkan risiko orang yang
terpajan untuk terkena penyakit (faktor protektif).
2. PR = 1 berarti faktor risiko bukan merupakan penyebab ataupun
pencegah penyakit
3. PR > 1 berarti faktor risiko akan meningkatkan risiko orang yang
terpajan untuk terkena penyakit (faktor risiko).
78
Penelitian ini menggunakan nilai PR untuk memperlihatkan derajat
hubungan antara variabel dependen dan independen. Nilai ini
menggunakan derajat kemaknaan sebesar 95%.
79
79
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Puskesmas Pamulang terletak pada 6 ° 12’ Lintang Selatan dan 106 °
48’ Bujur Timur dengan luas wilayah 7,4 km2.
Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah :
Bagian Batas Wilayah
Barat Puskesmas Setu dan Puskesmas Benda Baru
Timur Puskesmas Pondok Cabe Udik dan Puskesmas
Pisangan
Selatan Kota Depok
Utara Puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur
Pada awalnya terdapat empat wilayah kelurahan yang masuk ke
dalam wilayah kerja Pusksmas Pamulang yaitu, Kelurahan Pondok Cabe
Udik, Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Kelurahan Pamulang Barat, dan
Kelurahan Pamulang Timur. Namun, sesuai dengan keputusan Kepala
Dinas Kesehatan Kota Tngerang Selatan, mulai bulan Mei 2017, sejak
beroperasinya Puskesmas Pondok Cabe Udik, maka wilayah kerja
Puskesmas Pamulang hanya meliputi 2 kelurahan yaitu, Kelurahan
Pamulang Timur dan Kelurahan Pamulang Barat.
2. Gambaran Poli MTBS
Poli MTBS merupakan poli khusus yang ada di Puskesmas
Pamulang untuk menangani pasien dengan rentang usia 0-5 tahun. Namun
80
karena keterbatasan tenaga kerja, saat dilakukannya penelitian, praktik poli
MTBS disatukan dengan poli lansia. Kecuali pada hari sabtu, praktik poli
MTBS dipisah karena adanya tenaga tambahan. Di poli MTBS pasien bayi
dan balita akan ditimbang dan diukur suhu badannya oleh perawat sembari
menunggu antrian. Setelah itu akan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
oleh dokter yang bertugas. Dokter ditemani oleh satu perawat yang
bertugas mencatat dan merekap form serta rekam medis pasien. Pasien
akan ditindak sesuai dengan diagnosa yang diberikan oleh dokter.
B. Gambaran Demografi Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Jumlah Penduduk di wilayah Kerja Puskesmas Pamulang pada tahun
2017 sebanyak 102.310 jiwa dengan rincian jumlah penduduk Kelurahan
Pamulang Barat sebanyak 60.365 jiwa. Menurut kelompok umur 0-4 tahun
terdapat 2.227 balita laki-laki dan 2.179 balita perempuan. Jumlah
penduduk Kelurahan Pamulang Timur sebanyak 41.945 jiwa. Menurut
kelompok umur 0-4 tahun terdapat 1.889 balita laki-laki dan 1.868 balita
perempuan. Adapun tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Pamulang
Barat adalah 14.511 jiwa/km2 dan kepadatan Pamulang Timur 16.195
jiwa/km2 (BPS, 2018).
C. Gambaran Kasus Pneumonia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang
Kecamatan Pamulang memiliki 4 Puskesmas, yaitu Puskesmas
Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Pondok Cabe Udik,
dan Puskesmas Pamulang. Puskesmas tersebut merupakan puskesmas
yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tngerang Selatan.
81
Puskesmas Pamulang merupakan puskesmas dengan penemuan
pneumonia paling tinggi di Tangerang Selatan. Penjaringan terhadap
penyakit pneumonia balita dilakukan di poli MTBS khusus balita dari usia
0-5 tahun. Kasus pneumonia balita di Puskesmas Pamulang pun masih
mengalami fluktuasi. Pada tahun 2014 terdapat 1000 balita yang
mengalami pneumonia, lalu pada tahun 2015 terdapat 599 balita terkena
pneumonia. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya (Profil
Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2015). Namun, pada tahun 2016
meningkat menjadi 656 balita yang terkena pneumonia dan melonjak pada
tahun 2017 menjadi 1.040 kasus pneumonia balita (LB3 Puskesmas
Pamulang, 2017).
D. Hasil Analisis Univariat
1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Gambaran kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Pneumonia Frekuensi (n) Presentase (%)
Ya 64 51,6
Tidak 60 48,4
Total 124 100
Berdasarkan tabel 5.1 diatas, diketahui bahwa dari 124
responden lebih dari setengahnya terkena pneumonia (51,6%).
82
2. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pneumonia pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
a) Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Gambaran karakteristik balita di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Tahun 2018
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Usia
Usia ≤12 bulan 41 33,1
Usia 13-59 bulan 83 66,9
Jenis Kelamin
Laki-laki 62 50
Perempuan 62 50
BBLR
Ya (≤2500 gram) 15 37
Tidak (>2500 gram) 26 63
Status Gizi
Gizi kurang 57 46
Gizi baik 67 54
Riwayat Imunisasi
Tidak lengkap 60 48,4
Lengkap 64 51,6
Konsumsi Vitamin A
Tidak konsumsi 60 48,4
Konsumsi 64 51,6
ASI Eksklusif
ASI tidak eksklusif 62 50
ASI eksklusif 57 46
Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian
besar responden balita berusia lebih dari satu tahun (66,9%),
jumlah balita berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berjumlah
sama. Dari 41 responden berusia bayi, lebih banyak balita yang
83
lahir dengan berat badan normal (63%), dan terdapat 57 balita
dengan status gizi kurang (46%).
Variabel riwayat imunisasi merupakan keterangan lengkap
atau tidaknya balita mendapatkan imunisasi campak dan DPT, dan
balita dengan riwayat imunisasi tidak lengkap ada sebanyak 60
balita (48,4%), sedangkan variabel konsumsi vitamin A dibagi
menjadi dua kategori, tidak konsumsi dan konsumsi, dan lebih dari
50% balita mengkonsumsi vitamin A (51,6%). Serta terdapat 57%
balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
b) Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2018
Gambaran faktor lingkungan di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.3 Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2018
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Kepadatan Hunian
Padat 37 29,8
Tidak padat 87 70,2
Ventilasi Udara
Tidak sesuai 67 54
Sesuai 57 46
Pencahayaan
Kurang 79 63,7
Cukup 45 36,3
Suhu
Tidak memenuhi syarat 48 38,7
Memenuhi syarat 76 61,3
Kelembaban
Tidak memenuhi syarat 74 59,7
Memenuhi syarat 50 40,3
84
Status Merokok Anggota Keluarga Ada 89 71,8
Tidak ada 35 28,2
Berdasarkan tabel 5.3 dapat terlihat bahwa pasien balita yang
memiliki hunian padat sebanyak 37 balita (29,8%). Hunian balita yang
memiliki ventilasi sesuai standar rumah sehat ada sebanyak 57 balita
(46%). Dan hanya 45 balita (36,3%) balita yang memiliki pencahyaan
yang cukup di ruangan yang paling sering dihuni oleh balita.
Sebagian besar balita (61,3%) memiliki suhu ruangan yang
memenuhi syarat, namun terdapat 74 balita (59,7%) yang sering berada
di ruangan yang kelembabannya tidak memenuhi syarat. Serta terdapat
89 balita (71,8%) balita yang memiliki anggota keluarga merokok.
E. Hasil Analisis Bivariat
1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan
Karakteristik Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2018
Gambaran kejadian pneumonia pada balita berdasarkan faktor
lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah sebagai
berikut:
Tabel 5.4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan
Karakteristik Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2018
Karakteristik
Diagnosis Total PR (95% CI) p value
Pneumonia Bukan
Pneumonia
n % n % n %
Usia
Usia ≤12 bulan 16 39 25 61 41 100 0,675 0,075
85
Usia 13-59 bulan 48 57,8 35 42,2 83 100 (0,441-1,032)
Jenis Kelamin
Laki-laki 28 45,2 34 54,8 62 100 0,778 0,208
Perempuan 36 58,1 26 41,9 62 100 (0,550-1,100)
BBLR
Ya (≤2500 gram) 10 66,7 5 33,3 15 100 2,889 0,015
Tidak (>2500
gram) 6 23,1 20 76,9 26 100 (1,314-6,351)
Status Gizi
Gizi kurang 38 66,7 19 33,3 57 100 1,718 0,002
Gizi baik 26 38,8 41 61,2 67 100 (1,208-2,443)
Riwayat Imunisasi
Tidak lengkap 37 61,7 23 38,3 60 100 1,462 0,033
Lengkap 27 42,2 37 57,8 64 100 (1,031-2,073)
Konsumsi Vitamin A
Tidak konsumsi 40 66,7 20 33,3 60 100 1,778 0,001
Konsumsi 24 37,5 40 62,5 64 100 (1,236-2,557)
ASI Eksklusif
ASI tidak
eksklusif 34 54,8 28 45,2 62 100 1,042 0,855
Eksklusif 30 52,6 27 47,4 57 100 (0,746-1,455)
Berdsarkan tabel 5.4 diatas, dapat diketahui bahwa trdapat 39% balita
berusia dibawah 1 tahun yang terkena pneumonia, sedangkan terdapat
57,8% balita diatas 1 tahun yang terkena pneumonia. Hasil uji statistik
menunjukkan p value 0,075 artinya tidak terdapat hubungan signifikan
antara usia dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 0,675, artinya
balita dengan usia ≤ 12 bulan berisiko lebih rendah 0,675 kali untuk terkena
pneumonia.
86
Sedangkan menurut jenis kelamin, terdapat 45,2% balita laki-laki yang
terkena pneumonia, sedangkan balita dengan jenis kelamin perempuan
yang terkena pneumonia yaitu sebesar 58,1%. Hasil uji statistik
menunjukkan p value 0,208 artinya tidak terdapat hubungan signifikan
antara jenis kelamin dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR
0,778, artinya responden dengan jenis kelamin laki-laki berisiko lebih
rendah 0,778 kali untuk terkena pneumonia.
Menurut berat badan lahir, bayi dengan BBLR dan terkena pneumonia
ada sebanyak 66,7%, sedangkan bayi dengan berat badan lahir normal
(tidak BBLR) dan terkena pneumonia yaitu sebesar 23,1%. Hasil uji
statistik menunjukkan nilai p value 0,015 artinya terdapat hubungan
signifikan antara BBLR dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR
3,125, artinya bayi dengan BBLR berisiko 3,125 kali untuk terkena
pneumonia.
Menurut status gizi, balita dengan status gizi kurang dan pneumonia
yaitu sebesar 66,7%, sedangkan balita dengan status gizi baik sebanyak
38,8% terkena pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value
0,002 artinya terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan
pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,718, artinya responden dengan
status gizi kurang berisiko 1,718 kali untuk terkena pneumonia
Menurut riwayat imunisasi, balita yang imunisasi campak dan DPTnya
tidak lengkap sebanyak 61,7% terkena pneumonia, sedangkan balita yang
mendapat imunisasi campak dan DPT lengkap hanya 42,2% yang terkena
pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,033 artinya
87
terdapat hubungan signifikan antara riwayat imunisasi dengan pneumonia.
Selain itu, diperoleh nilai PR 1,462, artinya responden yang riwayat
imunisasi campak dan DPTnya tidak lengkap berisiko 1,462 kali untuk
terkena pneumonia.
Menurut konsumsi vitamin A, balita yang tidak mengkonsumsi vitamin
A sesuai dengan kebutuhannya dan terkena pneumonia yaitu sebesar
66,7%, sedangkan balita yang mengkonsumsi vitamin A hanya 37,5% yang
terkena pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,001
artinya terdapat hubungan signifikan antara konsumsi vitamin A dengan
pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,778, artinya responden yang
tidak mengkonsumsi vitamin A berisiko 1,778 kali untuk terkena
pneumonia.
Sedangkan menurut pemberian ASI eksklusif menunjukan bahwa
pneumonia lebih banyak menyerang balita yang tidak ASI eksklusif, yaitu
sebesar 54,8%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,855 artinya
tidak terdapat hubungan signifikan antara pemebrian ASI eksklusif dengan
pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,042, artinya responden yang
tidak ASI eksklusif berisiko 1,042 kali untuk terkena pneumonia.
2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Gambaran kejadian pneumonia pada balita berdasarkan faktor
lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah sebagai berikut:
88
Tabel 5.5 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Faktor Lingkungan
Diagnosis Total PR (95% CI) p value
Pneumonia Bukan
Pneumonia
n % n % n %
Kepadatan Hunian
Padat 17 45,9 20 54,1 37 100 0,850 0,531
Tidak padat 47 54 40 46 87 100 (0,570-1,268)
Ventilasi Udara
Tidak sesuai 43 64,2 24 35,8 67 100 1,742 0,004
Sesuai 21 36,8 36 63,2 57 100 (1,186-2,558)
Pencahayaan
Kurang 39 49,4 40 50,6 79 100 0,889 0,577
Cukup 25 55,6 20 44,4 45 100 (0,630-1,253)
Suhu
Tidak memenuhi
syarat 32 66,7 16 33,3 48 100 1,583 0,010
Memenuhi syarat 32 42,1 44 57,9 76 100 (1,137-2,204)
Kelembaban
Tidak memenuhi
syarat 41 55,4 33 44,6 74 100 1,204 0,361
Memenuhi syarat 23 46 27 54 50 100 (0,838-1,732)
Status Merokok Anggota Keluarga
Ada 54 60,7 35 39,3 89 100 2,124 0,003
Tidak ada 10 28,6 25 71,4 35 100 (1,225-3,680)
Berdasarkan tabel 5.5 diatas, dapat diketahui balita yang tinggal di
hunian padat dan terkena pneumonia yaitu sebesar 45,9%, sedangkan
balita yang tinggal di hunian tidak padat dan terkena pneumonia sebanyak
54%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,531 artinya tidak
terdapat hubungan signifikan antara kepadatan hunian dengan pneumonia.
Selain itu, diperoleh nilai PR 0,850, artinya responden dengan hunian yang
padat berisiko lebih rendah 0,850 kali untuk terkena pneumonia.
Selain itu balita yang tinggal di hunian dengan luas ventilasi yang
tidak sesuai dengan standar dan terkena pneumonia yaitu sebesar 64,2%,
89
sedangkan balita yang tinggal di hunian dengan luas ventilasisi yang
sesuai dengan standar ada sebesar 36,8% yang terkena pneumonia. Hasil
uji statistik menunjukkan nilai p value 0,004 artinya terdapat hubungan
signifikan antara ventilasi udara dengan penyakit pneumonia. Selain itu,
diperoleh nilai PR 1,742, artinya responden yang memiliki luas ventilasi
tidak sesuai berisiko 1,742 kali untuk terkena pneumonia.
Diketahui pula balita yang sering berada di ruangan yang memiliki
pencahayaan kurang dan terkena pneumonia yaitu sebesar 49,4%,
sedangkan balita yang sering berada di ruangan dengan pencahayaan
cukup dan terkena pneumonia ada sebanyak 55,6%. Hasil uji statistik
menunjukkan p value 0,577 artinya tidak terdapat hubungan signifikan
antara pencahayaan dengan penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai
PR 0,889, artinya responden dengan pencahayaan ruangan yang kurang
berisiko lebih rendah 0,889 kali untuk terkena pneumonia.
Balita yang sering berada di ruangan yang memiliki suhu tidak
memenuhi syarat dan terkena pneumonia yaitu sebesar 66,7%, sedangkan
balita yang sering berada di ruangan dengan suhu memenuhi syarat dan
terkena pneumonia ada sebanyak 42,1%. Hasil uji statistik menunjukkan p
value 0,010 artinya terdapat hubungan signifikan antara suhu dengan
penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,583, artinya
responden dengan pencahayaan ruangan yang kurang berisiko 1,583 kali
untuk terkena pneumonia.
Sedangkan balita yang sering berada di ruangan yang memiliki
kelembaban tidak memenuhi syarat dan terkena pneumonia yaitu sebesar
90
55,4%, sedangkan balita yang sering berada di ruangan dengan
kelembaban yang memenuhi syarat dan terkena pneumonia ada sebanyak
46%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,361 artinya tidak
terdapat hubungan signifikan antara kelembaban dengan penyakit
pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,204, artinya responden dengan
pencahayaan ruangan yang kurang berisiko 1,204 kali untuk terkena
pneumonia.
Balita yang berasal dari keluarga yang memiliki anggota keluarga
perokok dan terkena pneumonia yaitu sebesar 60,7%, sedangkan balita
yang anggota keluarganya bukan perokok dan terkena pneumonia yaitu
sebesar 28,6%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,003 artinya
terdapat hubungan signifikan antara status merokok anggota keluarga
dengan penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 2,124, artinya
responden yang memiliki anggota keluarga yang merokok berisiko 2,124
kali untuk terkena pneumonia.
91
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakit pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
tahun 2018. Pada penelitian ini tentu tidak luput dari beberapa kekurangan
yang menjadi suatu keterbatasan dalam penelitian ini. Dengan keterbatasan ini
diharapkan dapat dilakukan perbaikan pada penelitian yang akan datang.
Keterbatasan yang ada pada penelitian ini adalah peneliti melihat diagnosis
pasien berdasarkan form MTBS atau rekam medis pasien untuk mengambil
data status penyakit pneumonia balita. Namun, penentuan diagnosis
pneumonia oleh dokter hanya dilakukan dengan cara melihat gambaran klinis
pasien dan menghitung frekuensi nafas balita dan tidak selalu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Dimana cara diagnosis tersebut memiliki kelemahan,
karena banyak penyakit dan sindrom yang memiliki tanda klinis dan gejala
yang menyerupai pneumonia.
B. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang terjadi di paru-
paru (Depkes RI, 2013). Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan
dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia dibawah lima tahun
(anak balita). Di negara berkembang pneumonia merupakan
92
‘penyakit yang terabaikan’ atau ‘penyakit yang terlupakan’ (the forgotten
disease) karena banyak anak yang meninggal karena pneumonia namun sangat
sedikit perhatian yang diberikan (Said, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 51,6%
penderita pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Hal ini
sejalan dengan penelitian Warni et al (2013) bahwa sebanyak 64,9% balita di
Puskesmas Kotabumi Kabupaten Lampung menderita pneumonia. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Agustyana et al (2018) juga menunjukkan
angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 51% balita terkena pneumonia di
wilayah kerja Puskesmas Bergas Kota Semarang.
Berdasarkan kelompok usia penduduk, period prevalens pneumonia
yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun (0,2%), kemudian meningkat
pada usia 45-54 tahun (0,2%) dan terus meninggi pada usia berikutnya
(Rikesdas, 2013). Penelitian ini menunjukkan bahwa pneumonia lebih banyak
terjadi pada balita berusia 13-59 bulan (57,8%). Hal ini didukung oleh
penelitian Pamungkas (2012) di wilayah Indonesia Timur dengan
menggunakan data Riskesdan 2007 yang menunjukkan bahwa balita dengan
kelompok usia 12-59 bulan lebih banyak mengalami pneumonia (5,9%).
Begitupun dengan penelitian Anwar & Dharmayanti (2014) dengan
menggunakan data Riskesdas 2013 yang menunjukkan bahwa proporsi balita
yang mengalami pneumonia dengan usia 12-59 bulan lebih tinggi (4,3%)
dibandingkan dengan bayi usia dibawah 12 bulan.
Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa lebih banyak balita berjenis
kelamin perempuan yang mengalami pneumonia (58,1%). Namun, penelitian
93
lain menunjukkan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita laki-laki
seperti penelitian di China oleh Zhunge et al (2011) yaitu pneumonia pada
laki-laki sebesar (51,9%). Begitu pula dengan penelitian Nirmolia et al (2017)
di India yang menunjukkan bahwa lebih banyak balita laki-laki yang terkena
pneumonia (52,94%). Penelitian yang dilakukan Amin (2015) terdapat 58%
balita laki-laki mengalami pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Ngesep
Kota Semarang.
Tingginya angka kasus pneumonia balita ini dapat terjadi karena
berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik karakteristik balita itu sendiri
maupun faktor lingkungannya. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa
sebagian besar balita tinggal di hunian rumah yang tidak padat (70,2%).
Namun, kebiasaan mereka untuk membuka ventilasi masih sangat buruk,
sehingga tidak adanya sirkulasi udara yang memadai di hhunian tersebut. Hal
ini dapat dibuktikan dengan hasil yang didapat bahwa sebesar 54% responden
tinggal di hunian dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat.
Selain itu, 63,7% reponden sering berada di ruangan dengan
pencahayaan yang kurang dan 59,7% responden sering berada di ruangan
dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat pula. Kondisi lingkunganpun
diperburuk karena adanya anggota keluarga yang merokok (71,8%), dimana
hal ini dapat membuat balita rentan terkena penyakit akibat paparan asap
rokok yang mengandung racun.
Secara geografis, kasus pneumonia lebih banyak terjadi di daerah erban
atau perkotaan. Seperti penelitian (Zhuge et al., 2018) di China, didapatkan
hasil bahwa sebesar 75,6% kasus pneumonia pada balita terjadi di daerah
94
urban. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Guantari et al (2012) di
Bali, menunjukkan bahwa kasus pneumonia cenderung lebih tinggi di daerah
urban (21,9%) dibandingkan di daerah rural (13,5%). Penelitian tersebut
mendukung hasil dari penelitian ini, dimana wilayah kerja Puskesmas
Pamulang merupakan daerah perkotaan.
Tingginya kasus di daerah perkotaan dapat dikarenakan suhu daerah
perkotaan lebih tinggi sehingga balitanya menjadi lebih berisiko terkena
pneumonia. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas industri di sekitar hunian
penduduk yang menghasilkan polutan dan memicu terbentuknya udara kering
sehingga dapat meningkatkan suhu udara dalam ruangan di daerah perkotaan
(Dando et al., 2014). Namun demikian, balita di wilayah kerja puskesmas
Pamulang sebagian besarnya sering berada di ruangan dengan suhu yang
memenuhi syarat (61,3%), karena daerah pamulang bukan merupakan daerah
industri melainkan daerah perumahan, dimana lingkungan setempatnya tidak
terpapar aktivitas pabrik yang tinggi dan juga masih terdapat pepohonan tinggi
yang menyejukkan.
Kasus pneumonia pada balita ini memerlukan penanganan yang tepat
dan upaya intervensi yang baik agar balita terhindar dari pneumonia yang
dapat menyebabkan kematian. Upaya intervensi terhadap pneumonia pada
anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi
dilakukan terhadap patogen penyebab pneumonia yang merupakan
pencegahan spesifik. Sedangkan pencegahan non-imunisasi merupakan
pencegahan non-spesifik misalnya dengan mengatasi berbagai faktor risiko
95
seperti polusi udara dalam ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat,
perbaikan gizi, dan sebagainya (Said, 2010).
Selain dengan menghindari atau mengurangi faktor risiko dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu, dengan pendidikan kesehatan di
komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal
memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan
antibiotika yang benar dan efektif, serta waktu untuk merujik yang tepat dan
segera bagi kasus pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI
eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan
polusi udara dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko
(Kartasasmita, 2010).
C. Gambaran Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Pneumonia pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
1. Usia Balita
Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya
pneumonia maupun kematian akibat pneumonia. Bayi atau balita yang
lebih muda usianya lebih berisiko mengalami kematian akibat pneumonia.
Antara 152.000 dan 490.000 bayi berusia <1 tahun di seluruh dunia
meninggal karena pneumonia setiap tahun (Hooven and Polin, 2017).
Menurut Utami (2014) bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan
tubuh yang masih lemah dibandingkan orang dewasa, sehingga balita
masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti influenza
dan pneumonia.
96
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 57,8% balita berusia
lebih dari 1 tahun menderita pneumonia. Hasil penelitian ini pun
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan
pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Didapatkan pula
hasil bahwa balita berusia kurang dari satu tahun berisiko lebih rendah
0,675 kali untuk mengalami pneumonia dibanding balita berusia diatas
satu tahun. Hal serupa juga ditunjukkan dari hasil penelitian Utami (2014)
di Lampung yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara
usia dengan kejadian pneumonia pada balita (p value: 0,84).
Dalam penelitian ini kategori usia dibagi menjadi dua kelompok yaitu
usia ≤12 bulan dan usia 13-59 bulan. Dari 124 responden, sebanyak 83
balita berusia 13-59 bulan (69,4%). Tidak adanya hubungan antara usia
dengan pneumonia pada balita dapat disebabkan karena banyak faktor
yang bisa menyebabkan pneumonia, sehingga faktor usia bukanlah faktor
utama. Banyaknya penderita pneumonia yang justru terjadi pada anak
diatas satu tahun dapat terjadi karena faktor risiko lain yang ikut berperan.
Balita diatas satu tahun memerlukan asupan gizi dan vitamin lebih,
tidak cukup bergantung pada ASI saja. Sehingga riwayat ASI eksklusif,
pemenuhan vitamin A, status gizi saat ini turut mempengaruhi keadaan
balita berusia diatas 1 tahun. Riwayat ASI tidak eksklusif, vitamin yang
tidak terpenuhi, dan keadaan status gizi yang kurang banyak ditemui pada
balita dalam penelitian ini. Kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi daya
tahan tubuh balita di usia tersebut. Daya tahan tubuh yang terganggu
menyebabkan balita rentan terserang pneumonia dikarenakan
97
ketidakmampuan tubuh menghadapi serangan kuman penyebab
pneumonia (Setyanti, 2016).
2. Jenis Kelamin Balita
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan
signifikan antara jenis kelamin dengan pneumonia balita di wilyah kerja
Puskesmas Pamulang. Selain itu, didapatkan pula hasil bahwa balita
berjenis kelamin laki-laki berisiko lebih rendah 0,778 kali untuk
mengalami pneumonia dibandingkan balita berjenis kelamin perempuan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami
(2014) di Lampung yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan pneumonia pada balita (p value: 0,43).
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Pamungkas
(2012) di wilayah Indonesia bagian timur melalui data Riskesdas 2007
yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan pneumonia balita.
Pada penelitian ini jenis kelamin responden sama rata antara laki-laki
dan perempuan (50%). Untuk kasus pneumonia lebih banyak terjadi pada
balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 58,1%. Hasil
penelitian ini pun sejalan dengan penelitian Domili dan Nontji (2013) di
Gorontalo, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian pneumonia balita.
Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan pneumonia dapat
terjadi karena jenis kelamin bukanlah faktor utama terjadinya pneumonia.
Pneumonia dapat menyerang karena adanya penurunan sistem imun pada
98
balita dan didukung oleh lingkungan yang buruk. Sistem imun dipengaruhi
oleh genetik, umur, metabolik, lingkungan, dan nutrisi, anatomis,
fisiologis, dan mikrobiologi (Almatsier, 2009).
Sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi sistem imun secara
signifikan dalam kasus ini. Jenis kelamin memegang peran penting jika
dikaitkan dengan gangguan imunitas pada penyakit autoimun seperti
hashimoto thyroiditis, graves disease, dan sebagainya. Hal ini berkaitan
dengan hormone steroid (androgen, estrogen dan progesterone) yang akan
menghambat fagositosis, produksi antibodi, dan menghambat proses
inflamasi (Suardana, 2017).
3. Berat Badan Lahir Balita
Pada bayi dengan BBLR pembentukan zat anti kekebalan masih
kurang sempurna dan berisiko terkena penyakit infeksi terutama
pneumonia sehingga risiko kematian menjadi lebih besar dibanding
dengan berat badan lahir normal (Hartanti et al., 2012). Berat badan lahir
yang rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya, karena dengan berat lahir yang kurang dibutuhkan waktu
untuk mencapai berat badan normal.
Balita yang diteliti pada variabel BBLR ini dibatasi dengan rentang
usia 0-12 bulan. Dimana terdapat 41 responden yang terpilih dan sebanyak
37%-nya lahir dengan BBLR. Dilakukannya select cases dalam analisis
dikarenakan jangka waktu dari saat lahir hingga usia balita saat kini terlalu
jauh. Dimana balita juga telah mengalami banyak perubahan dan
99
perkembangan sehingga variabel BBLR menjadi tidak relevan untuk balita
berusia diatas satu tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% balita yang lahir
dengan berat badan rendah menderita pneumonia. Didapatkan pula hasil
yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara berat badan lahir
rendah dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang. Selain itu, diperoleh nilai PR 2,889 artinya balita yang lahir
dengan berat badan rendah berisiko 2,889 kali untuk mengalami
pneumonia dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan
normal.
Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Utami (2014)
di Lampung yang menyebutkan adanya hubungan antara berat badan lahir
dengan kejadian pneumonia (p value: 0,021). Penelitian ini didukung pula
oleh hasil penelitian Rasyid (2013) di Bandung dan penelitian Pamungkas
(2012) di wilayah Indonesia bagian Timur dengan data Riskesdas tahun
2007 yang mengatakan adanya hubungan antara berat badan lahir dengan
pneumonia balita.
Bayi dengan BBLR mempunyai risiko morbiditas yang lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi dengan berat badan lahir normal. Bayi dengan
BBLR lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan
sakit saluran pernapasan lainnya. Hal ini dikarenakan sistem pembentukan
organ belum sempurna (Kartasasmita, 2010).
Sebesar 37%-80% kasus BBLR merupakan kasus prematuritas (Rudan,
2008). Bayi lahir dengan prematuritas menyebabkan immaturitas sistem
100
imun dimana bayi tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trisemester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi
kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan.
Dimana hal tersebut menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa
penurunan aktifitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk
sitokin dan akan terjadi kegagalan dari sistem kekebalan humoral (Garina,
2016). Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki
perlindungan seperti bayi normal, sehingga bayi BBLR mudah terkena
infeksi, salah satunya pneumonia (Fikri, 2016).
Namun kasus BBLR tidak hanya terjadi pada bayi prematur, bayi
cukup bulan juga dapat mengalami BBLR dikarenakan hambatan
pertumbuhan selama kehamilan. Hal itu dapat terjadi karena pengaruh
faktor ibu, faktor kehamilan dan faktor janin (Manuaba, 2010). Dimana
bayi dengan BBLR memerlukan perawatan khusus karena memiliki
permasalahan pada sistem tubuhnya disebabkan oleh kondisi yang belum
stabil (Surasmi et al., 2003).
4. Status Gizi
Beberapa studi mengatakan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan
kapasitas kekebalan tubuh untuk merespon infeksi pneumonia termasuk
gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan
menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004).
Pemberian nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
balita dapat mencegah anak terkena penyakit infeksi sehingga
pertumbuhan dan perkembangan anakpun menjadi optimal (Utami, 2014).
101
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% balita
dengan status gizi kurang mengalami pneumonia. Ditunjukkan pula bahwa
terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan pneumonia balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Selain itu, diperoleh pula hasil yang
menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang berisiko 1,718 kali
untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status
gizi baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Utami (2014) di Lampung yang menyebutkan bahwa adanya hubungan
antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita (p value: 0,012).
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Pamungkas (2012) di wilayah
Indonesia bagian Timur dengan menggunakan data Riskesdas tahun 2007
yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara status gizi balita
dengan kejadian pneumonia pada balita.
Berdasarkan SK Antropometri status gizi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah keadaan status gizi balita yang dihitung dengan
melihat standar antropometri berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan
RI tahun 2010 berdasarkan indeks berat badan per umur (BB/U). balita
dikatakan memiliki gizi kurang apabila memiliki ≤ -3 standar deviasi
hingga < -2 standar deviasi. Dan dikatakan gizi baik apabila memiliki 2
standar deviasi hingga > 2 standr deviasi. Dalam penelitian ini terdapat
46% balita dengan status gizi kurang.
Menuut Wardlaw et al (2006), anak-anak yang kekurangan gizi
terpapar pada risiko yang lebih tinggi terkena pneumonia, terutama
102
mereka yang memiliki ASI eksklusif yang tidak memadai. Penerapan zat-
zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan anak dipengaruhi oleh
usia, keadaan fisik, kondisi kesehatan fisiologis pencernaan, tersedianya
makanan, dan aktivitas dari anak sendiri (Maryani dan Muliani, 2010).
Gizi memegang peranan yang penting dalam membantu dan
membangun suatu proses pertumbuhan yang baik dan optimal. Keadaan
zat gizi tergantung dari konsumsi yang ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas gizi yang diperlukan oleh tubuh. Dalam keadaan zat gizi yang
baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri
terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun.
(Simanjutak, 2007).
Penurunan zat gizi makro dan mikro pada makanan mempengaruhi
fungsi imun tubuh melalui beberapa kegiatan dalam saluran cerna, timus,
dan limfa. Kekurangan protein dapat menyebabkan atrofi timus sehingga
mengganggu produksi sel T yang berfungsi untuk melawan antigen asing.
Timus adalah salah satu organ limfoid primer yang memproduksi sel T.
Selain itu kekurangan protein juga dapat mengganggu produksi antibodi
sebagai imunitas humoral (Almatsier, 2009).
5. Riwayat Imunisasi
Manfaat dari imunisasi diantaranya adalah dapat mencegah beberapa
penyakit infeksi penyebab kematian dan kecacatan serta mengurangi
penyebaran infeksi termasuk pneumonia. Imunisasi membantu
103
mengurangi kematian anak dari pneumonia dengan dua cara. Pertama,
vaksinasi yang membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang
berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia, seperti
Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi yang dapat
mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai
komplikasi dari penyakit seperti campak dan pertussis (UNICEF/WHO,
2006). Imunisasi yang berhubungan dengan pneumonia diantaranya
imunisasi DPT dan campak (Kartasasmita, 2010). Campak adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat
dikatakan ringan karena dapat sembuh sendiri. Namun, dapat diakatakan
berat pula jika terjadi berbagai komplikasi seperti pneumonia dan bahkan
dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak
dengan gangguan sistem imun.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan
memberikan vaksinasi dapat menurunkan kematian akibat pneumonia
sebagai hasil dari komplikasi campak. Begitupun imunisasi DPT yang
diberikan sebagai upaya menghindari difteri, pertussis, dan tetanus
sehingga diharapkan terhindar pula dari pneumonia sebagai komplikasi
dari pertusis (Kartasasmita, 2010).
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara
riwayat imunisasi campak dan DPT dengan pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Diperoleh pula hasil yang
menunjukkan bahwa balita yang riwayat imunisasinya tidak lengkap
104
berisiko 1,462 kali untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan
balita dengan riwayat imunisasi campak dan DPT lengkap.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rasyid (2013) di Bandung yang menemukan bahwa anak balita dengan
status imunisasi tidak lengkap (tidak imunisasi campak dan DPT) lebih
berisiko 1,6 kali (p value: 0,023). Hasil penelitian ini juga didukung oleh
Rianawati (2014) di Jakarta Selatan yang mengatakan bahwa terdapat
hubungan antara riwayat imunisasi campak dan DPT dengan pneumonia
pada balita (p value: 0,012).
Riwayat imunisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
lengkap tidaknya balita mendapatkan imunisasi campak dan DPT sesuai
keperluan usianya. Dimana imunisasi campak dilakukan 2 kali saat usia 9
bulan dan 24 bulan, serta DPT saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
Dari 124 responden terdapat 48,4% balita status imunisasinya tidak
lengkap. Dan bahwa sebanyak 61,7% balita yang riwayat imunisasi
campak dan DPTnya tidak lengkap, menderita pneumonia.
Imunitas tubuh belum terbentuk sempurna pada periode bayi dan
balita. Untuk meningkatkan respon imun spesifik maka dibutuhkan
paparan antigenik dan perbaikan molekular selama masa balita untuk
membangun perlindungan yang lebuh kuat. Oleh karena itu pentingnya
melakukan imunisasi, agar tubuh dapat membuat pertahanan terhadap
infeksi. Selain itu, secara struktural, paru-paru pada bayi masih memiliki
kekurangan utama dalam fungsi penghalang penting yang memberikan
garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Kurangnya relatif makrofag
105
alveolar residen, ditambah dengan gangguan pembersihan mukosiliar
puing, sangat memungkinkan pembentukan kolonisasi awal oleh patogen
(Walzer and Walzer, 1993).
Pemberian imunisasi dengan dua dosis vaksin campak melalui
imunisasi dasar dan lanjutan serta dengan tiga dosis vaksin DPT selama
masa kanak-kanak bertujuan untuk menimbulkan sistem kekebalan tubuh
pada bayi dan balita sehingga mampu mencegah timbulnya suatu
penyakit tertentu baik pada perorang maupun kelompok. Dalam hal ini
yaitu penyakit campak dan pertusis. Dimana dengan demikian diharapkan
dengan dilakukannya imuniasasi tersebut dapat mencegah balita terkena
campak dan pertussis sehingga tidak terjadi komplikasi pneumonia
(Nirmolia et al, 2017).
Tambunan S, et al (2012) mengatakan bahwa riwayat status imunisasi
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada
balita. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa
bayi dan balita yang memiliki status imunisasi lengkap apabila terkena
pneumonia diharapkan perkembangan penyakitnya tidak menjadi parah.
Cara yang terbukti efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi
campak dan pertusisi (DPT).
Pemberian imunisasi campak dan DPT akan mempengaruhi sistem
imun balita. Hal ini terjadi juga karena pemberian imunisasi dapat
membantu tubuh membentuk pertahanan spesifik yang akan melindungi
tubuh itu sendiri dari penyakit. Secara alamiah tubuh telah memiliki
pertahanan terhadap patogen, meliputi pertahanan non-spesifik dan
106
pertahanan spesifik. Dalam pertahanan spesifik terdapat suatu sel yang
disebut sel memori, yang berfungsi untuk mengingat patogen yang pernah
masuk. Sehingga apabila patogen sudah pernah masuk dalam tubuh,
imunitas spesifik akan cepat bereaksi. Kondisi inilah yang digunakan
dalam prinsip imunisasi (Hardinegoro, 2011).
Dengan dilakukannya imunisasi diharapkan daya tahan tubuh menjadi
lebih kuat melawan patogen yang masuk ke dalam tubuh. Karena jika
daya tahan tubuh lemah akan menyebabkan virus yang masuk berhasil
menyebabkan kesakitan. Seperti halnya dengan virus pneumonia yang
mudah menyerang balita dalam keadaan lemah, sehingga balita terjangkit
pneumonia sebagai bentuk komplikasi dari penyakit campak atau
pertusis. Dengan pemberian imunisasi campak efektif mencegah sekitar
11% kematian akibat komplikasi (pneumonia balita) dan imunisasi DPT
mencegah 6% kematian akibat komplikasi (pneumonia balita) ( Maryani
dan Muliani, 2010).
6. Konsumsi Vitamin A
Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi
saluran pernapasan dari infeksi kuman (Kartasasmita, 2010). Defisiensi
vitamin A berhubungan dengan gangguan imunitas humoral dan seluler,
keratinisasi epitel saluran nafas, dan penurunan sekresi mukus yang
berakibat pada melemahnya sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Pemberian suplemen vitamin A dapat menurunkan keparahan infeksi
saluran nafas dan komplikasi lain akibat campak serta menurunkan angka
kematian balita (Utami, 2014).
107
Hasil penelitian ini meunjukkan bahwa 66,7% balita yang tidak
mengkonsumsi vitamin A menderita pneumonia. Selain itu diperoleh
hasil bahwa terdapat hubungan signfikan antara konsumsi vitamin A
dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
Balita yang tidak mengkonsumsi vitamin A sesuai kebutuhannya berisiko
1,778 kali untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang
mengkonsumsi vitamin A sesuai kebutuhan usianya. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2014) di Lampung yang
mengatakan bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan
kejadian pneumonia balita (p value: 0,047).
Berdasarkan Kemenkes (2016) yang dimaksud konsumsi vitamin A
pada penelitian ini adalah balita mengkonsumsi/mendapatkan vitamin A
sesuai kebutuhan usia balita. Pada balita usia 6-11 bulan diberikan kapsul
biru dengan frekuensi 1 kali, pada usia 12-59 bulan diberi kapsul merah
dengan frekuensi 2 kali. Dan pada balita kurang dari 6 bulan dipastikan
bahwa ibunya ketika nifas diberi kapsul merah dengan frekuensi 2 kali
segera setelah melahirkan dan menyusui anaknya sehingga kebutuhan
vitamin A anak usia 0-6 bulan terpenuhi.
Vitamin A memiliki peran penting dalam mengatur berbagai aspek
dari fungsi imun, termasuk komponen imunitas non-spesifik (seperti
fagositosis, yaitu pemeliharaan pada permukaan mukosa) dan imunitas
spesifik (seperti perubahan respon antibodi). Vitamin A yang berbentuk
retinol dan retinoat dapat memelihara integritas permukaan pada epitel,
seperti paru-paru dan kulit, serta produksi sekresi mukosa. Mukosa
108
berfungsi untuk melindungi sel-sel epitel dari serbuan mikroorganisme
dan partikel lain yang berbahaya. Benda asing yang masuk ke saluran
pernapasan akan terbawa keluar bersama mukus karena adanya epitel
yang menyapu mukus keluar. Kekurangan vitamin A akan menghalangi
fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel
epitel bersisik dan kering. Sehingga menyebabkan membran mukosa
tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna dan mudah
terserang bakteri sehingga terjadilah pneumonia (Keperien et al., 2013).
Selain itu, jika terjadi defisiensi vitamin A, maka akan berpengaruh
terhadap penurunan jumlah leukosit, sirkulasi komplemen dan antibodi,
rusaknya fungsi sel T dan menurunnya resistensi immunogenik tumor.
Vitamin A merupakan faktor esensial yang berfungsi untuk
perkembangan sistrem limfoid dan perkembangan mukosa pada saluran
pencernaan dan pernapasan. Meskipun mekanismenya belum diketahui
secara pasti, namun vitamin A sangat berpengaruh terhadap sistem
kekebalan tubuh. Hal ini dapat terjadi karena retinol pada vitamin A
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leokosit
yang berperan dalam kekebalan humoral). Dapat disimpulkan, vitamin A
memiliki pengaruh yang besar terhadap mekanisme protektif spesifik
dan non-spesifik, yaitu respon humoral terhadap bakteri, imunitas
mukosal, aktivitas sel NK, dan fagositosis (Azrimaidaliza, 2007).
7. Pemberian ASI Eksklusif
ASI diketahui memiliki zat yang unik dan bersifat anti infeksi. ASI
juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi
109
patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama
pada bulan pertama kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan
keparahan penyakit infeksi termasuk pneumonia (Pamungkas, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 54,8% balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif mengalami pneumonia. Diperoleh pula hasil
bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara ASI eksklusif dengan
pneumonia pada balita di wilayah kerja Pusksmas Pamulang. Hasil uji
menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
berisiko 1,042 kali untuk mengalami pneumonia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pamungkas (2012) di wilayah Indonesia bagian Timur melalui data
Riskesdas tahun 2007 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna
antara pemberian ASI eksklusif dengan pneumonia balita. Namun,
didapatkan nilai OR sebesar 1,03 yang berarti balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif berisiko menderita pneumonia 1,03 kali
lebih besar.
Berdasarkan Kemenkes RI (2014) yang dimaksud dengan
pemberian ASI eksklusif pada penelitian ini adalah balita hanya diberi
ASI tanpa memberi makanan atau minuman lain termasuk air putih,
kecuali obat, vitamin, mineral tetes dan ASI yang diperas selama 6
bulan. Dari 124 responden balita yang telah mencapai usia diatas 6 bulan
sebanyak 119. Sehingga untuk variabel ASI eksklusif hanya
menggunakan 119 sampel dan didapatkan hasil sebanyak 62 balita tidak
mendapatkan ASI eksklusif. Ibu balita memberikan ASI secara
110
predominan (disamping ASI, anak diberi sedikit air minum atau
minuman cair lainnya seperti teh, dsb), ada juga ibu yang tidak
memberikan ASInya sama sekali karena tidak keluar. Beberapa balita
sudah diberi makanan kurang dari usia 6 bulan, terutama pemberian
buah pisang dan biskuit (pemberian ASI parsial).
Pada penelitian ini pneumonia lebih banyak menyerang balita yang
tidak mendapat ASI eksklusif. Pentingnya pemberian ASI dikarenakan
ASI merupakan komponen penting bagi anak. Kandungan dalam ASI
yang diminum bayi selama pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi
kebutuhan anak. Bahkan bayi yang baru lahir yang hanya mendapat
sedikit ASI pertama (kolostrum) tidak memerlukan tambahan cairan
karena bayi dilahirkan dengan cukup cairan di dalam tubuhnya (Hartanti
et al, 2012). Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih
banyak dari susu matang (matur). Dari kandungan zat kekebalan
tersebutlah yang membuat ASI dapat melindungi bayi dan anak dari
penyakit infeksi, misalnya diare, ootis media, dan infeksi saluran
pernapasan akut bagian bawah (Kemenkes RI, 2014).
Penilaian di lima negara Asia (Vietnam, Timor Leste, Filipina,
Indonesia, Kamboja) tentang faktor-faktor yang terkait dengan
kurangnya pemberian ASI eksklusif mengidentifikasi bahwa pekerjaan
ibu, rendahnya pendidikan ibu, dan ibu yang bekerja jauh dari rumah
merupakan faktor risiko untuk menghentikan pemberian ASI. Selain itu
bayi yang dilahirkan secara caesar juga berisiko untuk menggunakan
susu formula. Berdasarkan studi di Vietnam menunjukkan ibu lebih
111
cenderung menggunakan susu formula sejak lahir setelah operasi caesar
(77%), karena rasa sakit pasca operasi dan ketakutan bahwa antibiotik
dapat ditransfer ke bayi melalui ASI (Nguyen et al., 2016).
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian pneumonia pada balita dapat disebabkan
karena adanya faktor lain yang menyertainya. Seperti hasil yang
didapatkan pada penelitian ini :
Tabel 6.1 Crosstab Riwayat ASI dengan Status Gizi
Riwayat ASI eksklusif
Tidak Iya
Gizi kurang 26 29
Gizi cukup 36 28
Pada tabel 6.1 dapat dilihat bahwa balita dengan ASI eksklusif
lebih banyak yang memiliki status gizi kurang (29 responden). Dan
balita dengan ASI tidak eksklusif lebih banyak memiliki status gizi
cukup (36 responden).
Balita dengan riwayat ASI eksklusif seharusnya memiliki sistem
imun yang lebih kuat, namun ternyata setelah lepas ASI justru balita
tersebut memiliki gizi kurang. Begitupun pada balita yang ASI tidak
eksklusif, yang seharusnya daya tahan tubuhnya tidak cukup kuat namun
karena pemenuhan gizinya baik maka membuat balita itu memiliki status
gizi cukup dimana hal itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya.
Kondisi seimbang seperti inilah yang berkemungkinan membuat
variabel ASI menjadi tidak berhubungan.
Terdapatnya kondisi tersebut dapat terjadi karena pola asuh ibu
yang kurang, dan asupan gizi yang tidak seimbang ketika anak mulai
112
memasuki usia 6 bulan keatas. Sedangkan pada usia diatas 6 bulan,
penting untuk memberikan makanan pendamping ASI yang memiliki
gizi seimbang. Pemberian nutrisi yang tepat pada bayi akan
mengoptimalkan pertumbuhannya. Asupan nutrisi yang utama pada bayi
diperoleh dari makanan pendamping ASI, sedangkan memasuki usia 6
bulan, nutrisi pada bayi diperoleh dari makanan pendamping ASI.
Sehingga pola asuh ibu sangat menentukan kesehatan balita (Sutomo &
Dwi, 2010).
D. Pengaruh antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
1. Kepadatan Hunian
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.
Semakin padat, maka perpindahan penyakit semakin cepat dan mudah
khususnya penyakit melalui udara. Selain itu kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat karena jumlah penghuni yang banyak dengan lahan huni
yang sempit menyebabkan kurangnya pertukaran udara di dalam rumah
yang dapat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah (Syani et al.,
2015).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 54% balita yang tinggal di
hunian tidak padat, menderita pneumonia. Hasil penelitian inipun
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara kepadatan
hunian dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang. Balita yang tinggal di hunian padat berisiko lebih rendah 0,850
kali untuk mengalami pneumonia.
113
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Darmawati et al (2016) di wilayah kerja Puskesmas Yosomulyo Kota
Metro. Didapatkan hasil p value 0,546 yang berarti tidak ada hubungan
antara kepadatan hunian dengan insiden pneumonia pada anak balita. Hasil
serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Pangandaheng et al (2013) di
wilayah kerja Puskesmas Tobelo Kabupaten Halmahera Utara, dan
penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih et al (2015) di Semarang yang
menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian rumah dengan kejadian pneumonia pada balita.
Kepadatan hunian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketika
satu hunian rumah dengan luas yang tidak seberapa namun di huni oleh
banyak jiwa, yang dihitung dengan berpedoman pada KMK Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999. Kepadatan hunian dalam penelitian ini dihitung
berdasarkan luas lantai per jumlah penghuni. Dikatakan tidak padat
apabila hasil perhitungan mendapatkan angka ≥8 m2/jiwa, dan dikatakan
padat apabila hasil perhitungan mendapatkan angka <8 m2/jiwa. Dari 124
responden, sebanyak 29,8% balita tinggal di hunian yang padat (<8
m2/jiwa). Dan 45,9% balita dengan hunian padat, menderita pneumonia.
Variabel kepadatan hunian erat kaitannya dengan ventilasi udara.
Kondisi rumah yang terlalu padat dan ventilasi kurang dapat
meningkatkan suhu udara di dalam rumah sehingga rumah terasa panas
karena upa air yang dihasilkan dari metabolisme dan benda-benda di
dalam rumah. Semakin banyak penghuni yang ada di dalam suatu ruangan
114
kemungkinan akan meningkatkan risiko penularan penyakit terutama
balita yang memang masih rentan (Depkes RI, 2000).
Hasil penelitian ini menunjukkan grafik sebagai berikut :
Grafik 6.1 Gambaran Kasus Pneumonia Berdasarkan Luas
Ventilasi dan Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2018
Grafik 6.2 diatas tersebut menunjukkan balita yang tinggal di hunian
tidak padat yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dan terkena
pneumonia lebih banyak (34 orang) dibandingkan dengan balita pada
hunian padat yang ventilasinya tidak memenuhi syarat dan pneumonia (9
orang). Ventilasi tidak memenuhi syarat yang dimaksud adalah apabila
hasil perhitungan luas ventilasi yang didapat kurang dari 10% luas lantai
rumah. dan ventilasi yang akan dihitung adalah ventilasi yang berfungsi
atau digunakan. Dalam penelitian ini, apabila responden tidak membuka
ventilasinya maka ventilasi tersebut tidak akan dihitung, sehingga akan
masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat. Begitupun apabila memang
ventilasi yang digunakan juga hanya sedikit atau jika dihitung dan
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Padat Tidak Padat
Pn
eum
on
ia
Hunian
Ventilasi Tidak memenuhisyarat
Ventilasi memenuhi syarat
115
dibandingkan dengan luas lantai rumah didapatkan hasil kurang dari
10%nya.
Grafik diatas menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara
kepadatan hunian dan pneumonia balita dapat disebabkan karena
kebiasaan membuka ventilasi pada sebagian besar responden yang
memiliki hunian padat. Sedangkan, ventilasi yang lancar dibutuhkan untuk
menghindari kurangnya kadar O2, bertambahnya CO2, suhu yang
meningkat dan kelembaban udara yang beratambah akibat penguapan air
dari kulit dan napas manusia, yang akan mempengaruhi
perkembangbiakan kuman penyebab pneumonia (Fikri, 2016).
2. Ventilasi Udara
Ventilasi udara berfungsi sebagai sarana sirkulasi untuk udara segar
masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah dengan tujuan untuk
menjaga kelembaban udara di dalam ruangan. Rumah yang tidak
dilengkapi dengan ventilasi akan mengakibatkan suplai udara segar dalam
rumah sangat minim. Kecukupan udara segar dalam rumah sangat
dibutuhkan oleh penghuninya, karena kurangnya suplai udara akan
berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernapasan penghuni, terutama
bayi dan balita (Utami, 2014).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan antara ventilasi udara dengan pneumonia pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang tinggal di hunian dengan ventilasi
udara yang tidak sesuai standar berisiko 1,742 kali untuk mengalami
116
pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di hunian dengan
ventilasi sesuai standar.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yuwono (2008) di Semarang yang mengatakan bahwa terdapat hubungan
antara luas ventilasi dengan kejadian pneumonia balita (p value: 0,001).
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sartika et
al (2011) di Kalimantan Barat dan penelitian yang dilakukan Pramudiani
& Prameswari (2011) dikatakan bahwa terdapat hubungan antara luas
ventilasi rumah dan pneumonia balita, serta luas ventilasi merupakan
faktor risiko terjadinya pneumonia.
Berdasarkan Permenkes RI (2011), ventilasi udara yang sesuai dalam
penelitian ini adalah responden yang memiliki ≥10% luas ventilasi
dibandingkan dengan luas lantai rumah. Luas ventilasi disini meliputi luas
lubang angina dan luas jendela yang terbuka/digunakan. Dari 124
responden, sebanyak 54% balita tinggal di rumah yang ventilasi udaranya
tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai). Dan sebanyak 64,2% balita
yang tinggal di hunian dengan ventilasi udara yang tidak sesuai standar,
menderita pneumonia.
Luas ventilasi udara yang tidak memenuhi syarat dapat disebabkan
karena tipe rumah yang kecil dan kepemilikan tanah yang sempit.
Ventilasi udara hanya terdapat di bagian depan rumah saja karena pada
bagian samping sudah berhimpitan dengan dinding rumah tetangga. Selain
itu tidak jarang responden yang memang tidak membuka jendela/pintu dan
menutup ventilasi udara sehingga tidak ada proses pertukaran udara dalam
117
rumah dan tidak ada sinar matahari yang masuk yang dapat membunuh
bakteri atau virus (Notoadmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2007), kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun akan meningkat. Selain itu, kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan akan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapannya.
Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen.
3. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan pencahayaan yang cukup.
Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah terutama cahaya alami
matahari dapat menyebabkan rumah menjadi tidak nyaman dan menjadi
media yang baik untuk bakteri dan kuman berkembangbiak. Cahaya juga
sangat penting untuk mengurangi kelembaban dan dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen bakteri TB, penyakit mata dan penyakit saluran
pernapasan (Padmonobo, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 49,4% balita yang sering
berada di ruangan dengan pencahayaan kurang, menderita pneumonia.
Hasil penelitian inipun menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan
antara pencahayaan dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan
pencahayaan yang kurang berisiko lebih rendah 0,889 kali untuk
mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang sering berada di
118
ruangan dengan pencahayaan cukup. Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Caesar (2014) yang mengatakan bahwa
tidak adanya hubungan bermakna antara pencahayaan dengan pneumonia
balita di wilayah kerja Puskesmas Ngesep Banyumanik Semarang (0,614).
Berdasarkan Kemenkes RI (2011) pencahayaan yang baik pada
penelitian ini adalah pencahayaan dengan nilai minimal 60 lux. Dari 124
responden, balita sering berada di ruangan dengan pencahayaan kurang
sebanyak 63,7%. Dan sebanyak 49,4% balita yang memiliki pencahayaan
kurang mengalami pneumonia. Hal tersebut yang menyebabkan pada
variabel pencahayaan tidak terdapat hubungan.
Pencahayaan yang diteliti dalam penelitian ini adalah cahaya alami
matahari. Peneliti mengukur ruangan yang sering ditempati balita
berdasarkan cahaya yang ada (tidak menyalakan lampu atau penerangan
buatan lain). Variabel pencahayaan diukur antara pukul 08.00-16.00 WIB,
dimana penerangan cahaya alami siang hari dimanfaatkan pada waktu
tersebut. Pada waktu tersebut, cahaya yang masuk ke dalam ruangan
melalui bukaan atau celah dapat berasal dari cahaya langit dan cahaya
matahari langsung (Suwantoro, 2006).
Pencahayaan dapat dipengaruhi oleh tata letak perabotan dalam
ruangan dan bidang pembatas ruangan (Syam & Rony, 2016). Tidak
adanya hubungan antara pencahayaan dengan kejadian pneumonia pada
balita dapat terjadi karena pada kelompok yang pencahayaannya kurang
lebih banyak yang bukan sakit pneumonia. Namun, jika dilihat dari jumlah
119
penderita pneumonia balita, lebih banyak terjadi pada balita dengan
pencahayaan kurang (39 responden).
Selain itu pencahayaan bukanlah merupakan faktor utama
pneumonia pada balita, melainkan didukung oleh faktor lingkungan lain
seperti suhu, ventilasi udara, dan sebagainya. Bila sinar matahari dapat
masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur, dan suhu udara optimal
maka risiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang (Musadad,
2006).
4. Suhu
Hasil penelitian ini menunjkkan bahwa terdapat hubungan signifikan
antara suhu dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan suhu tidak
memenuhi syarat berisiko 1,583 kali untuk mengalami pneumonia
dibandingkan dengan balita yang sering berada di ruangan dengan suhu
memenuhi syarat. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Darmawati et al (2016) di wiilayah kerja Puskesmas Yosomulyo Kota
Metro, yang menunjukkan adanya hubngan antara suhu dengan kejadian
pneumonia pada balita (p value: 0,00).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agustyana et al (2018) di Semarang yang mengatakan ada hubungan
antara suhu dengan kejadian pneumonia pada balita (p value 0,016).
Tingginya suhu udara dapat disebabkan karena adanya perubahan kondisi
iklim akibat aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil yang
mempengaruhi efek gas rumah kaca yang mengakibatkan peningkatan
120
suhu. Selain itu kurangnya vegetasi di daerah perumahan tersebut juga
dapat mempengaruhi peningkatan suhu udara di dalam ruangan. Hal ini
karena vegetasi dapat mengabsorbsi CO2 di udara sebesar 30%
(Kumbasari et al., 2017).
Berdasarkan Permenkes RI (2011), suhu yang memenuhi syarat
dalam penelitian ini adalah suhu ruangan antara 18ºC-30 ºC. Dari 124
responden, 38,7% balita sering berada di ruangan dengan suhu yang tidak
memenuhi syarat (< 18ºC atau >30 ºC). Dan sebanyak 66,7% balita yang
sering berada di ruangan dengan suhu yang tidak memenuhi syarat,
menderita pneumonia.
Suhu udara sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri, virus, dan jamur yang merupakan penyebab
penyakit pneumonia. Seperti bakteri pneumococcus yang menjadi
penyebab tersering pneumonia, memiliki rentang suhu optimm dimana
bakteri tersebut dapat tumbuh pesat yaitu suhu 31-37ºC. Hal inilah yang
menyebabkan suhu sebagai faktor risiko pneumonia. Jika balita semakin
sering berada pada ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka
waktu panjang maka akan berpeluang terkena pneumonia (Syani et al.,
2015).
5. Kelembaban
Kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme penyakit. Ruangan dengan kelembaban
udara yang tinggi dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen. Kemudian, mikroorganisme yang hidup di ruangan lembab
121
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara yang terhirup oleh
saluran pernapasan sehingga akan mengakibatkan infeksi pada saluran
pernapasan (Gould dan Brooker, 2003).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan
signifikan antara kelembaban dengan pneumonia pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat berisiko 1,204 kali untuk
mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang sering berada di
ruangan dengan kelembaban yang memenuhi syarat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pramudiani & Prameswari (2011) di yang menemukan bahwa tidak
adanya hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian
pneumonia pada balita (p value: 0,183). Penelitian ini didukung pula
dengan penelitian Kurniasih et al (2015) di Semarang yang menunjukkan
tidak adanya hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian
pneumonia pada balita (p value: 1,00).
Berdasarkan Permenkes RI (2011), kelembaban yang memenuhi
syarat dalam penelitian ini adalah kelembaban dengan nilai 40%-60% Rh.
Dari 124 responden, sebanyak 59,7% balita sering berada di ruangan
dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat (<40% atau >60%). Dan
sebanyak 55,4% balita yang sering berada di ruangan dengan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat, menderita pneumonia.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan dengan teori yang ada.
Tidak adanya hubungan antara kelembaban dengan kejadian pneumonia
122
pada balita dapat dikarenakan keterkaitan antara suhu dengan kelembaban.
Daerah penelitian cenderung memiliki suhu tinggi sehingga sebagian besar
ruangan rumah responden memiliki kelembaban yang rendah. Namun,
tidak cukup rendah sehingga beberapa ruangan tetap masuk dalam
kategori tidak memenuhi syarat. Penelitian ini didukung dengan teori yang
menyatakan bahwa tingkat kelembaban yang rendah tidak berhubungan
dengan kejadian pneumonia karena bakteri patogen penyebab pneumonia
dapat tumbuh pada kelembaban relatif yaitu 85%, apabila tingkat
kelembaban ruangan rendah mengakibatkan metabolisme bakteri terhenti
(Yusuf et al., 2016).
6. Status Merokok Anggota Keluarga
Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi perokoknya saja, tetapi juga
berbahaya bagi orang disekitarnya yang secara tidak langsung menghisap
(perokok pasif). Para perokok pasif lebih rentan terhadap berbagai bahaya
rokok bila menghirup asap sidestream, yaitu asap rokok yang dihasilkan
secara sendirinya dan bukan hasil hisapan pemiliknya dibanding dengan
mereka yang menghisap asap mainstream, atau asap yang dihasilkan dari
hisapan perokok aktif (Husaini, 2007).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan signifikan
antara status merokok anggita keluarga dengan pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang memiliki anggota
keluarga perokok berisiko 2,124 kali untuk mengalami pneumonia
dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki anggota keluarga
perokok. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
123
Wardani (2014) di Magelang yang mengatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara paparan asap rokok dengan pneumonia balita. Selain itu
penelitian ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Aprilioza et al
(2015) di Bandung dan penelitian Putri (2017) di Surakarta yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan merokok
orangtua dan kejadian pneumonia pada balita.
Status merokok anggota keluarga dalam penelitian ini adalah ada
atau tidaknya anggota keluarga yang merokok dalam keluarga responden.
Dari 124 responden, sebanyak 71,8% memiliki anggota keluarga yang
merokok. Dan sebanyak 60,7% balita yang memiliki anggota keluarga
perokok, menderita pneumonia. Sebagian besar anggota keluarga yang
merokok adalah ayah dan saudara dari responden yang tinggal dalam satu
rumah. Dan berdasarkan keterangan saat wawancara, sebagian besarnya
merupakan perokok berat. Dimana mereka menghabiskan 1 bungkus
rokok dalam satu hari, meskipun anggota keluarga tersebut jarang
merokok di dalam rumah namun asap rokok tetap menempel pada pakaian
dan terhirup balita saat masuk ke rumah dan main bersama.
Adanya seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar
risiko anggota keluarga yang menderita sakit, seperti gangguan
pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina
pectoris serta dapat meningkatkan risiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita (Wardani, 2016). Balita yang orangtuanya merokok
lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma,
pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam
124
asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu, dan bakteri yang
tertumpuk dan tidak dapat dikeluarkan, serta menyebabkan bronchitis
kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru yang mengakibatkan daya
pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan
pecahnya kantong udara (Wardani, 2016).
Kebiasaan merokok di dalam rumah merupakan salah satu masalah
kesehatan yang kian mengkhawatirkan. Sumber asap rokok di dalam
ruangan (indoor) lebih membahayakan daripada di luar ruangan (outdoor)
karena sebagian besar orang menghabiskan 60-90% waktunya selama satu
hari penuh di dalam ruangan. Populasi yang rentan terhadap asap rokok
adalah anak-anak, karena mereka menghirup udara lebih sering daripada
orang dewasa. Selain itu organ anak-anak masih rentan terhadap gangguan
dan masih berkembang sehingga jika terkena dampak buruk maka
perkembangan organnyapun jadi terganggu (Depkes, 2008).
E. Perspektif Islam Terkait Kejadian Pneumonia pada Balita
Kesehatan merupakan salah satu faktor penentu seseorang dalam
kehidupan. Sejak zaman Rasulullah pun kesehatan sudah menjadi aspek
penting dalam berislam. Kesehatan jasmani dan rohani merupakan rahmat
yang setinggi-tingginya yang dilimpahkan Allah SWT atas hambanya. Segala
harta dan kekayaan, kebesaran dan kemuliaan tidak ada gunanya apabila ia
tidak disertai dengan badan dan penghidupan yang sehat. Dengan kesehatan
jasmani dan rohani akan memberikan perasaan bahagia kepada semua
manusia. Dalam hal ini dikatakan bahwa badan dan roh yang sehat adalah
125
pokok segala bahagia dan kesenangan. Seperti hadits riwayat berikut:
Artinya :
“Dua kenikmatan yang banyak manusia menjadi rugi (karena tidak
diperhatikan), yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)
Kesehatan adalah dasar yang sangat penting untuk terwujudnya kekuatan
seorang mukmin. Tanpa kesehatan manusia tidak dapat melakukan kegiatan
yang menjadi tugas serta kewajibannya yang menyangkut kepentingan diri
sendiri, keluarga, dan masyarakat maupun tugas dan kewajian melaksanakan
ibadah kepada Allah SWT. Selain itu kesehatan juga merupakan amanah
yang wajib kita syukuri dengan cara menjaga, memelihara, merawat dan
harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang diridhoi Allah
SWT.
Ajaran islam mengajarkan supaya hidup sehat baik jasmani dan rohani.
Untuk itu umat islam harus melaksanakan berbagai upaya untuk senantiasa
menjaga kesehatannya seperti pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat,
juga upaya memahami ilmu kesehatan maupun upaya untuk berobat,
memelihara kesehatan, mencegah terjangkitnya penyakit dan sebagainya.
Seperti yang tertuang dalam surah Ar-Ra’d ayat 11:
126
Artinya :
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaga atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali taka da perlindungan bagi mereka selain Dia”.
(QS. Ar-Ra’d ayat 11)
Segala sesuatu yang terjadi termasuk kesakitan memang takdir Allah.
Takdir sebagai salah satu rukun iman telah disepakati oleh jumhur ulama
sebagai suatu kewajiban setiap muslim untuk meyakininya, namun kita
sebagai umat islam tidak dapat menyerah begitu saja kepada takdir, tetapi
harus ada upaya kearah perbaikan tersebut. Contoh kasus yang dijumpai
dalam sejarah islam adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah
Umar bin Khatab. Diwaktu Umar bin Khatab menarik tentaranya dari Syiria
karena daerah tersebut terjangkit wabah sampar, sebagian sahabat keberatan
atas kebijaksanaan tersebut, mereka menganggap Khalifah Umar melarikan
diri dari takdir Allah, terhadap anggapan tersebut Khalifah Umar menjawab
dengan tegas : “Ya aku lari dari kehendak Allah, tetapi menuju kehendak
Allah”. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tidak berarti menentang
takdir Allah, tetapi justru berusaha supaya terhindar dari musibah yang buruk
yaitu penyakit wabah sampar.
Dengan pemahaman takdir seperti itu, islam menganjurkan dan
cenderung mewajibkan seseorang untuk mampu memelihara kesehatan baik
127
perorangan, keluarga maupun masyarakat. Penyakit yang menimpa seseorang
selalu dirasakan sebagai sesuatu yang menyusahkan. Untuk menhindarinya,
sebaiknya mengambil langkah pencegahan. Dimana penjagaan diri pada
waktu sehat lebih baik daripada pengobatan pada waktu sakit. Maka dari itu
penting sekali untuk melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit
termasuk pneumonia yang masih menjadi masalah utama pada anak balita.
Pencegahan terhadap anak merupakan bentuk kewajiban orang tua
terhadap amanah yang telah diberikan Allah SWT. Islam memandang anak
sebagai karunia yang mahal harganya, dimana karunia tersebut harus dijaga
dan dilindungi oleh orangtua. Islam telah memberikan perhatian yang besar
terhadap perlindungan anak dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya,
menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan
martabatnya, serta menjaga kesehatannya.
Penyakit pneumonia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko.
Faktor risiko pasti yang dapat mempengaruhi kejadian pneumonia adalah
malnutrisi, berat badan lahir rendah, ASI non eksklusif, kurangnya imunisasi
campak, dan polusi udara di dalam rumah (WHO, 2008). Hal tersebut dapat
mempengaruhi terjadinya pneumonia karena dapat menyebabkan imunitas
anak terganggu, maka dari itu sangat diperlukan upaya pencegahan terhadap
anak agar tidak terkena pneumonia.
Menjaga kesehatan anak dapat dimulai dengan pemberian ASI. Islam
memberikan hak pada seorang anak bayi untuk mendapatkan ASI maksimal
selama dua tahun. Sebagaimana Allah SWT telah memerintahkan untuk
128
memberikan ASI eksklusif yang memiliki banyak manfaat seperti dijelaskan
dalam surah Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warisanpun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosan bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas adalah menekankan bahwa
ASI sangat penting bagi bayi. Melalui ASI, secara teoritis dalam ilmu
kesehatan, dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi dan secara psikologis, anak
129
merasakan kasih saying, kelembutan, dan perhatian dari orang tuanya. ASI
merupakan makanan yang ideal untuk balita terutama untuk bulan-bulan
pertama kehidupan. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan
penyediaan energi bagi balita sehingga balita dapat memiliki status gizi
normal dan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi serta antibodi sehingga
balita dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi seperti pneumonia
(Sitorus, 2015).
Al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu
kandung ataupun bukan, merupakan makanan terbaik untuk bayi hingga dua
tahun. Dimana dua tahun merupakan batas maksimal dari kesempurnaan
penyusuan. Penyusuan yang selama dua tahun tersebut walaupun
diperintahkan tapi bukan kewajiban. Namun demikian, memberi ASI adalah
anjuran yang sangat ditekankan seakan-akan itu adalah perintah wajib
(Ruslaeni, 2009).
Pada ayat tersebut juga disinggung tentang peran sang ayah untuk
mencukupi keperluan sandang dan pangan si ibu, agar si ibu dapat menyusui
anaknya dengan baik. Dan apabila ayah menyediakan makanan yang baik dan
bergizi untuk sang istri maka ASI yang diberikan untuk bayi pun akan
mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi.
Keputusan untuk menyapih seorang anak sebelum dua tahun harus
dilakukan dengan persetujuan bersama antara suami dan istri dengan
mengutamakan kepentingan terbaik bagi sang bayi. Pengambilan keputusan
tersebut harus didasarkan pada penghormatan atas perintah Allah dan
pelaksanaan hokum-Nya. Serta tidak bertujuan untuk meremehkan perintah-
130
Nya. Demikian pula jika seorang ibu tidak bisa menyusui, dapat diputuskan
untuk menyusukan bayinya pada wanita lain, sehingga haknya untuk
mendapat ASI tetap tertunaikan.
Selain melalui ASI, pemenuhan zat gizi juga didapat dari asupan
makanan anak. Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi
kelangsungan hidup manusia. Makanan merupakan sumber energi, sehingga
pertumbuhan tubuh manusia sangat tergantung pada makanan yang
dikonsumsinya, begitu juga dengan kondisi kesehatan. Jika apa yang kita
makan itu baik dan bergizi nantinya akan berdampak pada kondisi kesehatan
yang baik pula. Melihat arti pentingnya makanan bagi manusia, Islam
menaruh perhatian besar soal makanan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan secara berulang kata tha’am yang diartikan
makanan, dan juga perintah untuk makan, ẚkala. Perintah makan bagi
manusia tentunya dalam arti makanan yang oleh Islam disebut makanan yang
halal serta diikuti sifat thayyib. Istilah thayyiban artinya makanan yang baik,
yaitu yang mengandung gizi dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh dan
tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Dalam surah Abasa
ayat 24-32 dijelaskan bahwa kita dianjurkan umtuk memerhatikan makanan
serta minuman.
131
Artinya:
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya
Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.
Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan
buah-buahan serta rumput-rumputan. Untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-biantang ternakmu” (Q.S. ‘Abasa: 24-32).
Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa memperhatikan
makanan dan minuman yang kita konsumsi. Masalah penyakit yang timbul
dalam tubuh manusia sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang tidak
sehat. Rasulullah SAW, memberi perhatian besar pada masalah penyakit
yang disebabkan oleh makanan tidak sehat, berlebih-lebihan, dan tidak
mengandung gizi atau tidak memenuhi syarat untuk kesehatan. prinsip
terpenting yang diajarkan rasulullah adalah apa yang dimakan haruslah
seimbang, sederhana, dan menjaga tubuh agar tidak mudah terserang
penyakit (Ilahi, 2015).
Allah SWT juga menganjurkan dalam surah An-Nahl ayat 69 untuk
memakan buah-bahan dan madu untuk menjaga kesehatan. Buah-buahan
memiliki banyak manfaat bagi kesehatan sehingga balita diatas 6 bulan dapat
diberi makan buah-buahan dan madu yang mempunyai manfaat untuk
menambah nafsu makan. Sehingga dengan begitu akan memperbaiki status
gizi balita yang kurang dan mempertahankan status gizi balita yang baik.
Selain itu, madu dipercaya memiliki khasiat yang baik, dimana dapat
132
digunakan sebagai obat untuk penyakit saluran pernapasan seperti pilek, dan
keluhan ISPA lainnya (An-Najjar & Kahil, 2012).
Artinya:
“Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan, lalu tempuhlah jalan
Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir”.
(Q.S. AN-Nahl: 69)
Selain memperhatikan gizi balita, orang tua juga harus memperhatikan
lingkungan sekitar balita. Lingkungan adalah amanat. Allah SWT
mewajibkan para hamba-Nya untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan
keindahan lingkungannya. Peduli dengan lingkungan yang sehat akan
menciptakan kehidupan yang sehat pula. Ajaran Islam sangat memperhatikan
masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu
kesehatan.
Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan kebersihan
disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-
thaharat meruakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk
menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri. Seperti halnya
kebanyakan ulama membagi thaharat menjadi dua yaitu, rohani dan lahiriah.
133
Kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan pikiran.
Sedangkan kesucian lahiriah meliputi kebersihan badan, pakaian, tempat
tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan manusia dalam urusan
kehidupan (Anam, 2016).
Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Baihaqi berikut :
Artinya :
“Agama Islam itu (agama) yang bersih, maka hendaklah kamu menjaga
kebersihan, karena sesungguhnya tidak akan masuk 133anja kecuali orang-
orang yang bersih”. (HR. Baihaqi)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari
iman. Allah SWT adalah dzat yang baik, bersih, mulia, dan bagus. Karena
Allah menyukai hal-hal demikian. Sebagai umat islam, maka sudah
sepatutnya untuk memiliki sifat yang demikian pula terutama dalam hal
kebersihan tempat tinggal. Adapun dalam menjaga balita terhindar dari
pneumonia salah satunya dengan memperhatikan lingkungan tempat tinggal.
Karena sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh balita adalah di dalam
rumah. Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat berikut :
Artinya :
“Sesungguhnya Allah itu baik, mencintai kebaikan, bahwasanya Allah itu
bersih, menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan,
134
Dia Maha Indah menyukai keindahan, karena itu bersihkan tempat-
tempatmu”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT adalah dzat yang
Maha Baik, Maha Suci, danMaha Indah. Dia mencintai kebaikan, kesucian,
kemuliaan, dan keindahan. Agar kita dicintai Allah maka hendaklah kita
senantiasa berbuat kebaikan, menjaga kesucian (kebersihan lahir dan batin),
mengagungkan Allah SWT dan berbuat kemuliaan terhadap 134anjan
manusia dan menjadikan tempat tinggal dan lingkungannya terlihat teratur,
tertib, dan indah.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sangat penting terutama untuk
menjaga diri agar tetap sehat, dan mengurangi risiko diri kita maupun orang
terdekat terserang penyakit. Seperti dalam upaya pencegahan pneumonia,
karena pneumonia merupakan penyakit infeksi, maka untuk mengurangi
risiko hendaklah orang tua menjaga kebersihan diri, keluarga dan lingkungan
agar tidak menjadi tempat tumbuhnya bakteri atau kuman. Selain itu perlunya
pembiasaan membuka ventilasi udara penting pula untuk menjaga lingkungan
rumah agar tetap segar dan terhindar dari penyakit pernapasan seperti
pneumonia.
Selain itu, sebagai orang tua perlu juga memperhatikan kebiasaan buruk
yang akan berdampak pada kesehatan anak. Salah satu yang paling sering
dijumpai dan sulit ditinggalkan adalah kebiasaan merokok orang tua.
Merokok atau yang dalam 134anjan Arab disebut tadkhin mengakibatkan
berbagai macam penyakit. Tidak hanya menyerang orang yang merokok saja,
tetapi orang di sekitarnya pun akan terkena dampaknya.
135
Islam tidak melarang siapapun melakukan tindakan yang berkaitan
dengan kebiasaan seseorang selama hal tersebut tidak merugikan pihak lain.
Namun, islam mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan kegiatan yang
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan seperti diketahui bahwa
merokok sejatinya merupakan kebiasaan yang merusak kesehatan. Maka
dapat dinilai bahwa rokok adalah kebiasaan yang tidak baik dilakukan bagi
umat muslim. Hadits tentang larangan merokok memang tidak dituliskan
secara
jelas. Namun, Allah SWT telah menerangkan dalam surah Al-A’raaf ayat 157
yaitu :
Artinya :
“(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(135anjang) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
136
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raaf: 157)
Dari ayat tersebut telah menjelaskan bahwa Allah SWT telah
menghalalkan segala yang baik bagi umat manusia dan mengharamkan yang
buruk bagi manusia. Secara ilmu pengetahuan dan kesehatan, rokok
merupakan barang yang berpotensi untuk membuat kondisi pemakainya dan
orang sekitarnya menjadi menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa merokok
adalah kebiasaan yang tidak baik serta dilarang oleh Allah SWT. Dampak
dari merokok juga telah disebutkan pada kemasan rokok itu sendiri. Dalam
ayat yang lain Allah berfirman :
Artinya :
“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-
Baqarah: 195)
Dalam surat Al-Baqarah tersebut menjelaskan kepada kita sebagai umat
islam untuk tidak menggunakan apapun untuk menghancurkan diri kita
sendiri. Sebagaimana firman Allah tersebut, kita mengetahui bahwa rokok
sebenarnya dapat membunuh manusia secara perlahan. Maka dari itu sebagai
orang tua sudah sepatutnya memberikan contoh dan suritauladan yang baik
bagi anak. Hentikan kebiasaan buruk seperti merokok demi diri sendiri dan
juga keluarga.
137
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Lebih dari 50% balita di Puskesmas Pamulang mengalami pneumonia.
2. Gambaran karakteristik balita terhadap pneumonia yaitu, sebagian besar
balita yang terkena pneumonia berusia > 1 tahun, berjenis kelamin
perempuan, lahir dengan berat badan normal, memiliki status gizi kurang,
riwayat imunisasi tidak lengkap, tidak mengkonsumsi vitamin A, dan
tidak mendapatkan ASI eksklusif.
3. Gambaran faktor lingkungan terhadap pneumonia yaitu, sebagian besar
balita yang terkena pneumonia tinggal di hunian tidak padat, memliki
ventilasi udara yang tidak sesuai, memiliki ruangan dengan pencahayaan
kurang, suhu yang tidak memenuhi syarat, kelembaban ruangan yang
tidak memenuhi syarat, dan adanya anggota keluarga yang merokok.
4. Ada hubungan antara karakteristik balita (BBLR, status gizi, riwayat
imunisasi, dan konsumsi vitamin A) dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
5. Ada hubungan antara faktor lingkungan (ventilasi udara, suhu, dan status
merokok anggota keluarga) dengan kejadian pneumonia pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.
B. Saran
Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
138
1. Bagi Puskesmas Pamulang
a) Mengadakan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai
anak balita mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif, pemberian
vitamin A, pemenuhan gizi optimal, dan pentingnya imunisasi
campak dan DPT untuk balita. Kegiatan edukasi dapat berupa
komunikasi interaktif antara petugas dengan orangtua balita yang
berobat, dan penayangan video pada layar di ruang tunggu pasien
sehingga sembari menunggu, pasien dan wali dapat melihat video
tersebut.
b) Pemberian makanan pendamping ASI kepada balita dengan gizi
buruk yang datang berobat ke puskesmas seperti biskuit balita atau
buah-buahan dan susu.
c) Melakukan skrinning vitamin A (apabila ada balita yang belum
mendapatkan vitamin A, maka diberi sesuai usianya).
d) Memberi edukasi dan pemahaman kepada orang tua balita tentang
pentingnya kebiasaan membuka jendela/ventilasi untuk sirkulasi
udara
e) Membuat program kerja yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan
seperti membuka jendela 8 jam sehari (pagi-sore) dan bekerja sama
dengan pemangku kebijakan setempat untuk mengadakan monitoring
dan evaluasi.
f) Diadakannya ruang khusus konseling tentang ‘stop merokok’ sebagai
upaya mengurangi atau memberhentikan konsumsi rokok pada
139
orangtua balita yang diketahui merokok, dilakukan usai pemeriksaan
sebagai syarat mendapatkan resep obat.
g) Koordinasi dengan lintas sektor terkait pemantauan balita pneumonia,
seperti kader atau bidan desa untuk memastikan bahwa pasien
tersebut kontrol ulang atau dinyatakan sembuh.
1. Bagi Masyarakat Sekitar
a) Membiasakan untuk membuka ventilasi udara atau pintu, sehingga
terdapat sirkulasi udara yang baik dan sinar matahari dapat masuk dan
membunuh bakteri penyebab penyakit.
b) Rajin membersihkan lingkungan rumah dan menghindarkan anak dari
asap rokok atau polusi udara lainnya. Jangan membiasakan merokok
di dalam rumah tempat anak bermain.
c) Menjaga asupan gizi anak, mulai dari pemenuhan ASI, gizi seimbang,
dan kebutuhan vitamin serta mineral. Dan lengkapi imunisasi dasar
anak.
d) Memperhatikan tata letak bangunan rumah (kecukupan ventilasi
udara, membuat celah atau memasang kaca transparan untuk
masuknya cahaya matahari, dan sebagainya).
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a) Melakukan penelitian dengan sampel yang lebih besar dengan analisis
multivariat untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi
kejadian pneumonia pada balita.
b) Melakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti etiologi pneumonia
pada balita, dengan populasi yang berbeda.
140
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., dan Lichtman A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology.
Edisi ke 6. WB Saunders Company Saunders. Philadelpia.
Ahmad, D. 2018. Pengertian Suhu Udara. Artikel www.sridati.com diakses pada 3
Oktober 2018 (09:40).
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Almirall J, Bolíbar I, Vidal J, Sauca G, Coll P, Niklasson B, et al. 2000.
Epidemiology Of Community-Acquired Pneumonia In Adults: A
Population Based Study. Eur Resp J. 12:757–63.
Amin, K. Z. 2014. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan kejadian Pneumonia
Berulang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ngasrep Kota
Semarang Tahun 2014. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
An-Najjar, Zaglul dan Kahil, Abdul Daim. 2012. Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah
Al- Quran dan Hadits 5: Mukjizat Ilmiah tentang Gaya Hidup, Kesehatan,
dan Pengobatan. PT. Ikrarmandiri Abadi. Jakarta.
Annah, I., R. Nawi, dan J. Ansar. 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Anak
Umur 6-59 Bulan di RSUD Salewangan Maros Tahun 2012. Artikel
Penelitian. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin. Makassar
Anwar, A. dan I. Dharmayanti. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(8): 359-365.
Aprillioza, A., D. S. Argadireja, dan Y. Feriandi. 2015. Hubungan Kebiasaan
Merokok pada Orang tua di Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada
141
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Plered. Prosiding Pendidikan Dokter.
Universitas Islam Bandung: 325-328.
Agustyana, Koni., et al. 2018. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian
Pneumonia pada Balita di Daerah Perkotaan (Studi Wilayah Kerja
Puskesmas Bergas). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 176-185..
Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, Imunitas dan Kaitannya dengan Penyakit
Infeksi. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1(2): 90-96.
Bratawidjaja, K. G. 2006. Immunologi Dasar. Edisi ke-7. Balai Penerbit FK UI.
Jakata
Brambilla, D., et al. 2008. The Role Antioxidant Aupplement in Immune System
Neoplastic, and Neurodegenerative Disorders a Point of View for an
Assesment of The Risk/Benefit. England: Biomed Central Ltd 7(39): 1-9.
Britton, J., dan Edwards, F. 2007. Tobacco Smoking, harm reduction, and nicotine
product regulation. Lancet 317(9610): 441-445.
Chandra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2016. Pneumonia an Infection
of The Lungs. https://www.cdc.gov/dotw/pneumonia/. 20 Juli 2018 (19:09)
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. Pneumonia.
https://www.cdc.gov/dotw/pneumonia/. 20 Juli 2018 (14:31)
Dando CLS., Koamesah S.M.J., Dedy M.A.E. 2014. Analisis Faktor Risiko
Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Noemuke
Kabupaten Timur Tengah Selatan Januari 2013-Juli 2014. Cendana Med
Journal. 5(2):106-115.
142
Darmawati, Ayu Tri., Elvi Sunarsih, dan Inoy Trisnaini. 2016. Hubungan Faktor
Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan Insiden Pneumonia pada Anak
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Yosomulyo Kota Metro. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat. 7(1): 6-13.
Depkes RI. 2002. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional
Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2006 Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak ditingkat Pelayanan Kesehatan.
Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.
Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.
Depkes RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A.
Direktorat Jendral Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada
Balita. Direktorat Jendral PPM&PLP. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2016. Profil Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan 2015. Dinkes. Tangerang Selatan.
143
Domili M.F.H., dan Nontji W. V. N. A. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mogoloto.
Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo.
Efni, Y., R. Machmud, D. Pertiwi. 2014. Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Air Tawar Barat
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(2): 365-370.
Falagas, M. E., 2007. Sex Differences In The Incidence and Severity of
Respiratory Tract Infections. Tufts University School of Medicine.
Boston.
Fitria, et al. 2013. Merokok dan Oksidasi DNA. Jurnal Sains Medika. 5(2): 113-
120.
Fikri, B. A. 2016. Analisis Faktor Risiko Pemberian ASI dan Ventilasi Kamar
terhadap Kejadian Pneumonia Balita. The Indonesian Journal of Public
Health. 11(1): 14-27.
Garina, L. A., S. F. Putri, dan Yuniarti. 2016. Hubungan Faktor Risiko dan
Karakteristik Gejala Klinis dengan Kejadian Pneumonia pada Balita.
Global Medical and Health Communication. 4(1): 26-31.
Guantari, Ni Luh., Agung Wiwiek, dan I Wayan. 2012. Perbandingan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Puskesmas 1 Ubud dan
Puskesmas II Denpasar Selatan Januari-Oktober 2012. Jurnal Publikasi.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali.
Gozali, A. 2010. Hubungan antara Status Gizi dengan Klasifikasi Pneumonia pada
Balita di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
144
Gould D dan Broker C. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. EGC. Jakarta
Gunawan, J. Rahma. 2013. Pengaruh Pemberian Gabungan Ekstrak Phaleria
Macrocarpa dan Phyllanthus Nirori Terhaap Limfoblas Limfapada Mencit.
Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang.
Hananto, M. 2004. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Balita di 4 Provinsi di Indonesia. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.
Hartanti, S., N. Nurhaeni, dan D. Gayatri. 2012. Faktor Risiko Terjadinya
Pneumonia pada Anak Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 15(1): 13-
20.
Hedlund, J.M., Mats Kalin, dan Ake Ortqvist. 2005. Streptococcus Pneumoniae:
Epidemiology, Risk Factors and Clinical Features. Semir Respir Crit Care
Med. 26(6): 563-574.
Hockenberry, M.J., dan Wilson, D. 2009. Wong’s Essentials of Pedriatic Nursing.
8nd ed. Elsevier Mosby. St. Louis Missouri.
Hooven, T.A., Polin, R.A., 2017. Pneumonia. Seminars in Fetal & Neonatal Med.
22, 206–213.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2013. Nilai Nutrisi Air Susu Ibu.
www.idai.or.id. 27 Juli 2018 (13:56).
Iskandar, A., S. Tanuwijaya, dan L. Yuniarti. 2015. Hubungan jenis Kelamin dan
Usia Anak Satu sampai Lima Tahun dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). Global Medical and Health Communication.
3(1): 1-6.
Ilahi, Takdir M. 2015. Revolusi Hidup Sehat Ala Rasulullah. Katahati. Yoyakarta.
145
Jenkins SG, Brown SD, Farrell DJ. Trends In Antibacterial Resistance Among
Streptococcus Pneumoniae Isolated In The USA: update from PROTEKT
US Years 1-4. Annals of clinical microbiology and antimicrobials.
1008;7:1. PubMed PMID: 18190701. Pubmed Central PMCID:
PMC2261084. Epub 1008/01/15. Eng.
Judarwanto, W. 2009. Imunologi Vaksin. Children Allergy Clinic Information
Education Network. https://childrenallergyclinic/imunologi. 27 Juli 2018
(18:56).
Kasjono, H. S. 2011. Penyehatan Pemukiman. Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Kartasasmita, B.C. 2010. Pneumonia Pembunih Balita. Buletin Jendela
Epidemiologi. 3(22): 6.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pneumonia Balita. Buletin Jendela
Epidemiologi. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Modul Tatalaksana 145anjang145 Pneumonia.
Kemenkes RI. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Banten 2013. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2012. Direktorat Jenderal P2PL. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Kemenkes RI. Jakarta
146
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Menkes Canangkan Crash Program Campak
Diintegrasikan Bulan Pemberian Kapsul Vitamin A. www.depkes.go.id .
20 Juli 2018 (19:19)
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016.
Kemenkes RI. Jakarta
Kemenerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002.
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industi.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.19 Nopember 2002. Menteri
Kesehatan. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1990.
Persyaratan Kesehatan Perumahan..20 Juli 1999. Menteri Kesehatan.
Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1995/Menkes/SK/XII/2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak..30 Desember 2010. Menteri Kesehatan RI 2011. Jakarta.
Keperien J, Bastiaan S, et al. Development of The Immune System Early Nutrion
and Consequences for Later Life. www.IntechOpen.com. 1 Januari 2019
(14:50).
Khomsan, A. dan F. Anwar. 2008. Sehat itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat
dengan Makanan Tepat. Cetakan I. PT Mizan Publika. Jakarta.
Kumbasari T.A., Budiyono Astoria N. 2017. Perbandingan Kejadian Pneumonia
pada Balita yang Tinggal di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah ditinjau
147
dari Faktor Iklim Kota Semarang Tahun 2012-2016. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 5(5):898-905.
Kurniasih, E., Suhartono, Nurjazuli. 2015. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik
Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita (Studi Kasus di Wilayah
Kerja Puskesmas Candi Lama Kecamatan Candisari Kota Semarang).
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 3(1):2356-3346.
Kresno, S. Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. UI
Press. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Lapau, Buchari. 2013. Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Laporan Bulanan 3 (LB3) Puskesmas Pamulang. 2017.
Mahalanabis, et al. 2002. Risk Factors For Pneumonia In Infants And Young
Children And The Role Of Solid Fuel For Cooking : A Case-Control
Study. Epidemiol. Infect. 129: 65-71
Maryani, L & Muliani, R. 2010. Epidemiologi Kesehatan Pendekatan Penelitian.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak. CV. Trans Info Media. Jakarta.
Mokoginta, D., A. Arsin, dan D. Sidik. 2013. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia
Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar.
Artkel Penelitian. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Salemba Medika. Jakarta.
148
Musadad, Anwar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Penularan
TB Paru Kontak Serumah. Jurnal Ekologi Kesehatan. 5(3): 486-496.
Mukono, H.J., 2000. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya Univ.
Airlangga.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.
Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Rineka Cipta.
Jakarta.
Nurnajiah, M., Rusdi, dan Desmawati. 2016. Hubungan Status Gizi dengan
Derajat Pneumonia pada Balita di RS. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 5(1): 250-255.
Nirmolia, Nabanita et al. 2017. Prevalence and Risk Factors of Pneumonia in
Under Five Children Living in Slums of Dibrugarh Town. Clinical
Epidemiology and Global Health. 4(196):1-4.
Nguyen, T.K.P., et al. 206. Risk Factors for Child Pneumonia-Focus on The
Western Pacific Region. Pediatric Respiratory Reviews. 7.
Padmonobo, H., O. Setiani, dan T. Joko. 2012. Hubungan Faktor-Faktor
Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia di Wilayah Kerja
Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia. 11(2): 194-198.
Patria, M. A. 2016. Faktor Risiko Pneumonia paa Balita di Indonesia:
148anjang148e Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan
Masyarakat. Jurmal Kesehatan Masyarakat. 10(2): 57-62.
149
Pamungkas, D. R. 2012. Analisis Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di 4
Provinsi di Wilayah Indonesia Timur (Analisis Data Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2007). Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Pangandaheng, Febbryani., Ricky C. Sondakh., dan Janno Bernadus. 2013.
Hubungan Antara Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tobelo
Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Publikasi. Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Pramudiyani, N. A., G. N., dan Prameswari. 2011. Hubungan antara Sanitasi
Rumah dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 6(2): 71-78.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1077/Menkes/Per/V/2011.
Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. 27 Mei 2011. Menteri
Kesehatan. Jakarta.
Pitaloka, S. L. Dyah. 2015. Beberapa Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kematian Pasien Pneumonia Komunitas di RSUP Kanadi Semarang.
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang.
Putri, A. Febriani. 2017. Hubungan antara Keberadaan Anggota Keluarga yang
Merokok dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Usia 1-4 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Tawangsari Sukoharjo. Publikasi Ilmiah.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
150
Rasyid, Z. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia
Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar. Jurnal Kesehatan
Komunitas. 2(3): 136-140
Rudan, I., et al. 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia.
Bulletin of the World Health Organization. 86(5): 408-416.
Ruslaeni. 2009. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Bayi dan Balita di RSUD
Labuang Baja Makassar Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Ilmu kesehatan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Roitt I. Maurice. 1990. Pokok-pokok Ilmu Kekebalan. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Said, M. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak Balita dalam Rangka Pencapaian
MDG4. Buletin Jendela Epidemilogi. 3: 16-21.
Sartika, M.H. D., O. Setiani, N. Endah W. 2012. Faktor Lingkungan Rumah dan
Praktik Hidup Orang Tua yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia
pada Anak Balita di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2011. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 11(2): 153-159.
Sembiring, Juliana Br. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra
Sekolah. Deepublish. Yogyakarta.
Setyani, C Andhika. 2016. Alasan Utama Balita Paling Rentan Terserang
Pneumonia. www.cnnindonesia.com. 20 Januari 2019 (10:23).
Sinaga, L. A. F. S., Suhartono, dan Hanani D. Y. 2009. Analisis Kondisi Rumah
Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 8(1): 26-34.
151
Sitorus. 2015. Perintah Pemberian ASI Eksklusif dalam Al-Quran dan
Manfaatnya. www.indonesiapositif.com 19 Januari (11:00).
Sommer A, Katz J, Tarwotjo I: Increased risk of respiratory disease and diarrhea
in children with preexisting mild vitamin A deficiency. Am J Clin Nutr
1984; 40:1090- 1095.
Srikandi,G., Bahaqi,A., Muzayyanah,N. 2011. Hubungan Riwayat BBLR
Terhadap Status Gizi Anak Balita di Puskesmas Gondosari Kabupaten
Kudus. Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pedidikan Pendekatan
Kuantitatif,Kualitatif, Dan R&D. ALFABETA. Bandung.
Sunyataningkamto, et, al. 2004. The Role of Indoor Air Poluution and Other
Factors In The Incidence Of Pneumonia In Under-Five Children.
Paediatrica Indonesiana, 44 (1-2): 25-29.
Suardana, I. K. 2017. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. ANDI.
Yogyakarta.
Sutomo, B & Dwi, Y.A. 2010. Makanan Sehat Pendamping ASI. E-book diakses
https://books.google.co.id/. 5 Mei 2019 (7:08 AM)
Suwantoro, Hajar. 2006. Pencahayaan Alami pada Ruang Kuliah Labtek IX B
Jurusan Teknik Arsitektur ITB. USU Repository. Universitas Sumatra
Utara.
Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi.
Jakarta : EGC.
152
Syam, Dedi Mahyudin dan Ronny. 2016. Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan
Sebagai Faktor Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan
Balaesang Kabupaten Donggala. Higiene. 2(3): 133-139.
Syani, Fauziah El., Budiyono., dan Mursid Raharjo. 2015. Hubungan Faktor
Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Penyakit Pneumonia Balita dengan
Pendekatan Analisis Spasial di Kecamatan Semarang Utara. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 3(3): 732-744.
Tiewsoh, et al. 2009. Factors determining the outcome of children hospitalized
with severe pneumonia. Research article. BMC Pediatrics. 9(15): 1-8.
The United Nations Children’s Fund (UNICEF)/World Health Organization
(WHO). 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children. New York
Thayyib, Besti. 2015. Pengertian Makanan Sehat Menurut Pandangan Islam.
www.abiummi.com. 20 Januari (15;30).
Utami, D. 2014. Determinan Kejadian Pneumonia Berat Pada Balita di RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Wardani, N. K., S. Winarsih, dan T. Sukini. 2014. Hubungan antara Paparan Asap
Rokok dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Desa Pucung Rejo Kabupaten Magelang Tahun 2014. Jurnal
Kebidanan. 5(10): 30-37.
Warni, Reftia. Fitri Ekasari., dan Lolita Sary. 2013. Huungan Lingkungan Fisik
Rumah dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas
Kotabumi II Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara
Tahun 2013. Jurnal Dunia Kesmas 2(3): 179-185.
153
Wardlaw, Tessa., Peter Salama et al. 2006. Pneumonia: The Leading Killer of
Children. The Lancet, 368.
Waterer GW, Kessler LA, Wunderink RG. 2004. Medium-term survival after
hospital with community-acquired pneumonia. Am J Resp Crit Care Med.
169:910-4
Walzer, P.D., Walzer, M., 1993. Pneumocystis, Pneumonia, Second Edition,.
CRC Press.
Widayat, A. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pneumonia pada
Balita di Wilayah Puskesmas Mojogedang II Kabupaten Karanganyar.
Artikel Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
WHO. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Terjemahan Widjaja, A.C. EGC. Jakarta.
WHO. 2014. Pneumonia Fact Sheet. http://www.who.int/mediacentre/. 1 Agustus
2018 (10:35).
WHO dan UNICEF. 2009. Global Action Plan for Prevention and Action of
Pneumonia (GGAP)
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. WHO Indonesia. Jakarta.
WHO. 2010. Pneumonia. www.who.int/mediacentre/. 20 Maret (09:20).
WHO. 2010. Risiko Sakit dan Belanja Kesehatan Perokok dan Bukan Perokok.
www.ino.searo.who.int/. 30 Juli 2018 (20:26).
Xu J, Kochanek KD, Tejada-Vera B. 2009. Deaths: preliminary data for 2007.
National vital statistics reports 58(1).
Yusup dan Sulistyorin. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan
Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1(2).
154
Yusuf M., Putu I., Nurtamio T. 2016. Hubungan Lingkungan Rumah dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Masyarakat Pesisir
Kelurahan Abadi. Jurnal Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Halu
Oleo; 3(2): 239-248.
Yuwono, T. A. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis. Universitas
Dipenogoro. Semarang.
Zhuge, Y., Qian, H., Zheng, X., Huang, C., Zhang, Y., Zhang, M., Li, B., Zhao,
Z., Deng, Q., Yang, X., Sun, Y., Wang, T., Zhang, X., Sundell, J., 2018.
Residential risk factors for childhood pneumonia: A cross-sectional study
in eight cities of China. Environmental Int. 116, 83–91.
LAMPIRAN
156
Lampiran 1.1 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAMULANG TAHUN 2018
Assalamu’alaikum wr.wb
Saya Sonia Qori Safitri, mahasiswi semester akhir peminatan
Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian terkait dengan “Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018”. Secara umum, tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor risiko terjadinya pneumonia pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat agar mengetahui faktor apa saja
yang dapat menyebabkan anak balita terserang pneumonia sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan.
Dengan demikian, peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memberikan informasi sesuai dengan
pertanyaan yang ada di dalam kuesioner dan lembar observasi di bawah ini.
Bapak/Ibu berhak menerima atau menolak keikutsertaan dalam penelitian ini.
Selain itu, Bapak/Ibu dapat memastikan bahwa informasi yang telah Bapak/Ibu
berikan terjamin kerahasiaannya dan Bapak/Ibu berhak untuk mengakses hasil
penelitian ini dengan menghubungi No. Telepon 082175444363
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan ini, saya BERSEDIA ikut sera dalam penelitian ini.
Pamulang, ……………….. 2018
Peneliti Responden
(________________) (_________________)
157
KUESIONER PENELITIAN
No. Responden :
Tanggal wawancara :
A. Identitas Responden
A.1. Nama Orang tua :
A.2. Nama Balita :
A.3. Alamat :
A.4. No. Tlp/Hp :
A.5. Usia Balita : bulan
A.6. Diagnosis medis : 0. Pneumonia 1. Bukan pneumonia
A.7. Jenis Kelamin : 0. Laki-laki 1. Perempuan
A.8. Riwayat Pneumonia : 0. Iya 1. Tidak
B. Faktor Risiko
No Pertanyaan Jawaban Kode
BBLR dan Status Gizi (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)
B1 Berapa berat badan anak ibu sewaktu dilahirkan ? gram
B2 Berapa berat anak ibu sekarang ? kg
B3 Status gizi anak _____ SD 0. Kurang / Buruk
1. Baik / Lebih
Riwayat Imunisasi (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)
B4 Apakah anak ibu pernah mendapat imunisasi campak
?
0. Tidak
1. Ya, usia……...bulan
B5 Apakah anak ibu pernah mendapat imunisasi
a. DPT 1 0. Tidak 1. Ya, usia….
b. DPT 2 0. Tidak 1. Ya, usia….
c. DPT 3 0. Tidak 1. Ya, usia….
Konsumsi Vitamin A (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)
B6 Apakah anak ibu telah mengkonsumsi kapsul vitamn
A di tahun ini ?
a. 6 bulan-11 bulan : kapsul biru
0. Tidak 1. Ya
158
b. 12-59 bulan : kapsul merah ____ kali
B7 Untuk responden usia 0-6 bulan
Apakah saat ibu dalam masa nifas mengkonsumsi
vitamin A dua kali ?
0. Tidak 1. Ya
B8 Apakah ibu memberikan ASI untuk anak ibu ? 0. Tidak 1. Ya
B9 Apakah ibu memberikan susu formula untuk anak ibu
?
0. Tidak 1. Ya
Pemberian ASI Eksklusif
B10 Apakah ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) ?
Bila Ya, berapa lama ?
0. Tidak 1. Ya
_____ bulan
B11 Pada usia 0-6 bulan setelah lahir, apakah ibu
memberikan minuman lain selain ASI ?
a. Susu Formula
b. Air Putih
c. Lainnya,sebutkan….
0. Ya 1. Tidak
0. Ya 1. Tidak
0. Ya 1. Tidak
B12 Pada usia 0-6 bulan setelah lahir, apakah ibu
memberikan makanan lain selain ASI ?
a. Bubur bayi
b. Buah-buahan, sebutkan ….
c. Biscuit
d. Lainnya, sebutkan ….
0. Ya 1. Tidak
0. Ya 1. Tidak
0. Ya 1. Tidak
0. Ya 1. Tidak
Status Merokok Anggota Keluarga
B13 Apakah ada anggota keluarga yang merokok ? 0. Ya 1. Tidak
B14 Dimana biasanya bapak/ibu merokok ?
a. Di rumah
b. Di kantor
c. LainnyA, sebutkan …..
B15 Seberapa sering bapak/ibu merokok di dalam rumah ?
B16 Berapa jumlah orang yang merokok dalam rumah ? _____ orang
159
Lampiran 1.2 Lembar Observasi
LEMBAR OBSERVASI RUMAH
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAMULANG TAHUN 2018
C Observasi Rumah
No Pertanyaan Jawaban Kode
C1 Luas lantai rumah :
P : ____ m L : ____ m
Luas : ____ m2
C2 Jumlah orang yang tinggal di rumah ? ____ jiwa
C3 Kepadatan rumah : 0. Padat
1. Tidak
C4 Adakah ventilasi udara rumah ?
Jika ada, berapa buah ……..
0. Tidak 1.
Ya
C5 Adakah ventilasi udara / jendela yang
terbuka ?
Berapa buah …….
0. Tidak 1. Ya
C6 Luas ventilasi rumah yang terbuka ?
Persegi 159anjang : P :….. m L :
…….. m
Persegi : S :….. m
Segitiga : a : ….. m t : ……..
m
Jajar genjang : a : ….. m t : …….
M
Luas total …..
m2
160
Trapesium : sisi sejajar : ….. m t
: ….. m
Layang-layang/ belah ketupat: d1: …. M
d2: ….m
F. Pengukuran Pencahayaan
Ruang / Titik
Pengukuran
Hasil Pengukuran Pencahayaan (lux) Rata-rata
Pengukuran
1
Pengukuran
2
Pengukuran
3
G. Pengukuran Kelembaban Udara
Menit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-
rata
Kode
Suhu
Kelembaban
161
Lampiran 1.3 Tabel Perhitungan Status Gizi Balita
Standar BB/U untuk anak laki-laki
Standar BB/U untuk anak
perempuan
162
Lampiran 1.4 Output Uji Validitas dan Realibilitas
1. Uji Validitas dan Realibilitas Riwayat ASI Eksklusif
2. Uji Validitas dan Realibilitas Status Merokok Anggota Keluarga
163
Lampiran 1.5 Output Hasil Analisis Data
1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2018
Diagnosis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Pneumonia 64 51.6 51.6 51.6
Bukan Pneumonia 60 48.4 48.4 100.0
Total 124 100.0 100.0
2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan Karakteristik
Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
1. Usia Balita
Klasifikasi usia balita
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
<=12 bulan 41 33.1 33.1 33.1
13-59 bulan 83 66.9 66.9 100.0
Total 124 100.0 100.0
164
2. Jenis Kelamin Balita
Jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Laki-laki 62 50.0 50.0 50.0
Perempuan 62 50.0 50.0 100.0
Total 124 100.0 100.0
165
3. Berat Badan Lahir Balita
166
4. Status Gizi Balita
Status gizi anak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Gizi kurang 57 46.0 46.0 46.0
Gizi cukup 67 54.0 54.0 100.0
Total 124 100.0 100.0
167
Risk Estimate Status Gizi
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status gizi
anak (Gizi kurang / Gizi
cukup)
3.154 1.508 6.597
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.718 1.208 2.443
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .545 .360 .824
N of Valid Cases 124
5. Riwayat Imunisasi Balita
Kelengkapan Imunisasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak Lengkap 60 48.4 48.4 48.4
Lengkap 64 51.6 51.6 100.0
Total 124 100.0 100.0
168
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelengkapan
Imunisasi (Tidak Lengkap /
Lengkap)
2.205 1.074 4.524
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.462 1.031 2.073
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .663 .452 .973
N of Valid Cases 124
6. Konsumsi Vitamin A
Konsumsi vitamin A
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak 60 48.4 48.4 48.4
Iya 64 51.6 51.6 100.0
Total 124 100.0 100.0
169
Risk Estimate Konsumsi Vit.A
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi
vitamin A (Tidak / Iya) 3.333 1.594 6.970
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.778 1.236 2.557
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .533 .356 .800
N of Valid Cases 124
7. Riwayat ASI Eksklusif
Riwayat ASI eksklusif
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak 62 50.0 52.1 52.1
Iya 57 46.0 47.9 100.0
Total 119 96.0 100.0
Missing System 5 4.0
Total 124 100.0
170
Risk Estimate Riwayat ASI Eksklusif
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat ASI
eksklusif (Tidak / Iya) 1.093 .531 2.248
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.042 .746 1.455
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .953 .647 1.405
N of Valid Cases 119
3. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor
Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018
1. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Padat 37 29.8 29.8 29.8
Tidak padat 87 70.2 70.2 100.0
Total 124 100.0 100.0
171
Risk Estimate Kepadatan Hunian
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kepadatan
hunian (Padat / Tidak padat) .723 .334 1.565
For cohort Diagnosis =
Pneumonia .850 .570 1.268
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia 1.176 .809 1.709
N of Valid Cases 124
2. Ventilasi Udara
Luas ventilasi yang terbuka
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak sesuai 67 54.0 54.0 54.0
Sesuai 57 46.0 46.0 100.0
Total 124 100.0 100.0
172
Risk Estimate Luas Ventilasi
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Luas
ventilasi yang terbuka
(Tidak sesuai / Sesuai)
3.071 1.474 6.400
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.742 1.186 2.558
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .567 .389 .827
N of Valid Cases 124
3. Pencahayaan
Pencahayaan dalam ruangan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Kurang 79 63.7 63.7 63.7
Cukup 45 36.3 36.3 100.0
Total 124 100.0 100.0
173
Risk Estimate Pencahayaan
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Pencahayaan dalam
ruangan (Kurang / Cukup)
.780 .374 1.627
For cohort Diagnosis =
Pneumonia .889 .630 1.253
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia 1.139 .769 1.687
N of Valid Cases 124
4. Suhu
Suhu ruangan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak memenuhi syarat 48 38.7 38.7 38.7
Memenuhi syarat 76 61.3 61.3 100.0
Total 124 100.0 100.0
174
Risk Estimate Suhu
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Suhu
ruangan (Tidak memenuhi
syarat / Memenuhi syarat)
2.750 1.295 5.841
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.583 1.137 2.204
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .576 .369 .897
N of Valid Cases 124
5. Kelembaban
Kelembababan ruangan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak memenuhi syarat 74 59.7 59.7 59.7
Memenuhi syarat 50 40.3 40.3 100.0
Total 124 100.0 100.0
175
Risk Estimate Kelembaban
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Kelembababan ruangan
(Tidak memenuhi syarat /
Memenuhi syarat)
1.458 .709 2.998
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 1.204 .838 1.732
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .826 .576 1.184
N of Valid Cases 124
6. Status Merokok Anggota Keluarga
Adanya anggota keluarga yang merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Iya 89 71.8 71.8 71.8
Tidak 35 28.2 28.2 100.0
Total 124 100.0 100.0
176
Risk Estimate Status Merokok Anggota Keluarga
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Adanya
anggota keluarga yang
merokok (Iya / Tidak)
3.857 1.652 9.004
For cohort Diagnosis =
Pneumonia 2.124 1.225 3.680
For cohort Diagnosis =
Bukan Pneumonia .551 .395 .768
N of Valid Cases 124
177
Lampiran 1.6 Dokumentasi
Buku KIA
Rekam medis
Lembar rekam medis
Form MTBS
178
Form MTBS
Ruang tunggu pasien poli MTBS
Mengukur pintu (ventilasi yang
digunakan)
179
Mengukur pencahayaan
Mengukur luas rumah
Mengukur suhu dan kelembaban
Alat ukur suhu dan kelembaban