Upload
kayana-batik
View
497
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap negara di dunia adalah saling membutuhkan untuk melakukan
hubungan perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan setiap negara tidak
mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Maka perdagangan
internasional dilakukan dengan tujuan memperoleh barang dan/atau jasa
yang tidak dapat dihasilkan didalam negeri, mengimpor teknologi yang lebih
modern dari negara lain, memperluas pasar produk-produk dalam negeri, dan
memperoleh keuntungan spesialisasi. Perdagangan internasional semakin
mudah dilakukan seiring dengan berkembangnya globalisasi, dimana seperti
tidak adanya batas antar negara di dunia.
Hubungan perdagangan internasional, tidak akan pernah terlepas dari
nilai tukar mata uang suatu negara dengan negara lain atau yang biasa
dikenal dengan kurs. Perbedaan kurs pada prinsipnya ditentukan oleh
besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129).
Kurs merupakan salah satu harga penting dalam perekonomian terbuka,
karena ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan
penawaran yang terjadi di pasar. Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur
kondisi perekonomian suatu negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang
stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang
relatif baik atau stabil (Salvator, 1997:10).
Seperti negara-negara lain didunia, Indonesia juga melakukan
hubungan perdagangan dengan negara lain, salah satunya adalah dengan
Negara Jepang. Indonesia-Jepang melakukan hubungan perdagangan baik
dari sektor migas maupun non-migas. Ekspor Indonesia ke Jepang untuk
non-migas, komoditi yang diperdagangkan meliputi hasil-hasil kelautan, bijih
logam, batu bara, kayu, gabus, mesin-mesin listrik, dan alat-alat lainnya.
Sebaliknya, Indonesia mengimpor beberapa komoditas dari Jepang, meliputi
besi dan baja, mesin industri, dan kendaraan bermotor. Setiap tahunnya,
hubungan perdagangan antara kedua negara, mengalami peningkatan
volume. Baik dari sisi ekspor Indonesia ke Jepang maupun Impor Indonesia
1
dari Jepang. Berikut persentase ekspor Indonesia ke Jepang dan impor
Indonesia dari Jepang berdasarkan total nilai ekspor-impor non migas.
Tabel 1: Hubungan Perdagangan antara Indonesia-Jepang
Sumber: Bank Indonesia, data diolah
Dari tabel diatas terlihat bahwa setiap tahun terjadi peningkatan nilai ekspor
dan impor antara Indonesia dan Jepang. Tentunya, ketika melakukan hubungan
perdagangan terjadi kompleksitas system pembayaran. Kompleksitas sistem
pembayaran dalam perdagangan internasional semakin bertambah tinggi dalam
kondisi perekonomian global. Hal tersebut terjadi akibat makin besarnya volume dan
keanekaragaman barang dan jasa yang diperdagangkan. Oleh karena itu, upaya
untuk meraih manfaat dari globalisasi ekonomi harus didahului upaya untuk
menentukan kurs valas pada tingkat yang menguntungkan. Upaya penentuan kurs
valas menjadi pertimbangan penting bagi negara yang terlibat dalam perdagangan
internasional karena kurs valas berpengaruh besar pada biaya dan manfaat dalam
perdagangan internasional (Sri Isnowati, 2002:1).
Di Indonesia, ada tiga sistem yang dipergunakan dalam kebijakan
nilai tukar rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971-1978
dianut sistem tukar tetap (fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara
langsung dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat (USD). Sejak 15 November
2
Tahun Ekspor (%) Impor (%)
2005 7.9 9.7
2006 8.0 6.6
2007 7.8 6.0
2008 6.4 8.7
2009 11.6 12.5
2010 12.9 15.4
2011 15.1 15.0
2012 17.0 16.7
1978 sistem nilai tukar diubah menjadi mengambang terkendali (managed
floating exchange rate) dimana nilai tukar rupiah tidak lagi semata-mata
dikaitkan dengan USD. Dengan sistem nilai tukar ini, meskipun diarahkan ke
sistem nilai tukar mengambang bebas tapi Bank Indonesia masih melakukan
pengendalian secara berkala, selektif, dan pada waktu yang tepat. Sistem
yang ketiga dalah sistem nilai tukar mengambang bebas (purely free floating
exchange rate). Sistem nilai tukar ini, kurang efektif jika diterapkan di
Indonesia karena melihat segala dampak dari sistem itu sendiri dan
kondisi/struktur perekonomian Indonesia yang sulit untuk menerapkannya.
Sehingga kemungkinan Bank Indonesia akan bertahan untuk menerapkan
sistem manage floating axchange rate.
Hubungan perdagangan antara dua negara, secara langsung akan
mempengaruhi nilai tukar mata uang antara dua negara yang bersangkutan.
Seiring dengan meningkatnya nilai impor Indonesia, membuat rupiah
mengalami depresiasi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat
pertumbuhan pendapatan (relative terhadap negara lain) makin besar pula
permintaan akan impor sehingga permintaan akan valuta asing juga
mengalami peningkatan. Kurs valuta asing cenderung meningkat dan harga
mata uang sendiri turun. (Nopirin, 1997:148)
Grafik 1: Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Yen
Grafik 2: Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat
3
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0.002000.004000.006000.008000.00
10000.0012000.0014000.00
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
02000400060008000
100001200014000
Sumber: Bank Indonesia, data diolah
Dari grafik 1 dan 2 dapat dijelaskan bahwa selama periode penelitian,
perubahan nilai tukar rupiah terhadap yen lebih fluktuatif dibandingkan
perubahan nilai tukar anatara rupiah dengan dolar AS. Grafik 1 menjelaskan
bahwa semenjak tahun 2007, rupiah terus mengalami depresiasi terhadap
yen. Bahkan mulai tahun 2009, nilai tukar rupiah terhadap yen selalu diatas
Rp 10,000. Jika dihubungkan dengan tabel 1, ekspor-impor Indonesia ke dan
dari Jepang juga menunjukkan peningkatan. Sementara dari grafik 2 dapat
disimpulkan bahwa pada periode yang sama rupiah cenderung stabil
terhadap dolar. Pada periode penelitian tahun 2008 tengah terjadi krisis
global. Hal ini menyebabkan Indonesia juga terkena dampaknya. Pada tahun
tersebut rupiah mengalami depresiasi terhadap bebarapa mata uang negara
lain.
Namun, dalam jangka pendek perubahan dalam nilai tukar baik itu
depresiasi maupun apresiasi dapat disebabkan oleh banyak faktor baik faktor
fundamental maupun non fundamental. Faktor fundamental atau faktor
ekonomi yang dapat mempengaruhi adalah tingkat inflasi, tingkat suku
bunga, jumlah uang beredar, aliran modal yang masuk maupun keluar, posisi
neraca pembayaran internasional Indonesia serta kebijakan-kebijakan
moneter yang dijalankan pemerintah. Sedangkan faktor non fundamental
antara lain faktor psikologis, faktor sosial-politik dan keamanan negara.
Sehubungan dengan fenomena diatas, maka penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis bagaimana pengaruh variabel perbedaan suku bunga riil,
4
inflasi, cadangan devisa, total nilai ekspor dan total nilai impor terhadap
fluktuasi kurs rupiah Indonesia-yen Jepang.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnnya dapat ditarik
adanya beberapa permasalahan yang dapat dibahas dan diteliti lebih lanjut.
Masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Seberapa besar pengaruh masing-masing variabel dalam mempengaruhi
fluktuasi kurs rupiah terhadap yen?
2. Variabel apakah yang paling dominan mempengaruhi fluktuasi kurs
rupiah terhadap yen?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh variabel perbedaan suku bunga
riil, inflasi, cadangan devisa, total nilai ekspor dan total nilai impor
terhadap fluktuasi kurs rupiah Indonesia-yen Jepang.
2. Untuk mengetahui bariabel yang paling dominan mempengaruhi
perubahan nilai tukar rupiah terhadap yen.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat,
adapun kontribusi penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Output dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah
pemahaman mengenai pengaruh variabel perbedaan suku bunga riil,
inflasi, cadangan devisa, total nilai ekspor dan total nilai impor
terhadap fluktuasi kurs rupiah Indonesia-yen Jepang.
b. Sebagai bahan kajian dan sumbangan pemikiran yang berkaitan
dengan perhitungan seberapa besar pengaruh pengaruh variabel
perbedaan suku bunga riil, inflasi, cadangan devisa, total nilai ekspor
dan total nilai impor terhadap fluktuasi kurs rupiah Indonesia-yen
Jepang.
5
c. Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi peneliti yang selanjutnya
dalam tema yang sama.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti: untuk menumbuhkembangkan sikap kritis peneliti
terhadap pengaruh variabel perbedaan suku bunga riil, inflasi,
cadangan devisa, total nilai ekspor dan total nilai impor terhadap
fluktuasi kurs rupiah Indonesia-yen Jepang.
b. Bagi Lembaga (BI dan pemerintahan): Dapat dijadikan sumber
informasi tambahan untuk menentukan alat intervensi yang paling
tepat dalam menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
BAB II
KAJIAN TEORI
6
2.1 Landasan Teori
Landasan teori sangat penting digunakan sebagai acuan dalam
melakukan penelitian kuantitatif. Berikut landasan teori yang digunakan
dalam penelitian.
2.1.1 Pengertian Valuta Asing dan Kurs
Valuta asing (valas) atau sering disebut foreign exhange (forex)
adalah mata uang asing dan alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk
melakukan transaksi ekonomi keuangan internasional dan ada catatan nilai
tukar secara resmi dari bank sentral. Kurs adalah pertukaran antara dua mata
uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai mata atau harga
antara mata uang tersebut. Nilai tukar biasanya berubah-ubah, dapat berupa
apresiasi maupun depresiasi. Depresiasi mata uang rupiah terhadap yen
berarti menurunnya nilai rupiah terhadap yen Jepang. Deperisi mata uang
negara membuat harga barang-barang domestik menjadi lebih murah bagi
pihak asing. Sedangkan apresiasi mata uang rupiah terhadap yen artinya
kenaikan harga rupiah terhadap yen Jepang. Hal ini akan menyebabkan
harga barang-barang domestik menjadi lebih mahal bagi pihak luar negeri.
Mata uang yang sering digunakan dalam transaksi perdagangan internasional dianggap sebagai mata uang keras (hard currency).
“Hard currency is a currency that freely traded without may restrictions and for which there is usually strong external demand. Hard currencies are often called freely convertible currencies” (Adwin, 2002:2).
Jadi, mata uang tersebut nilainya stabil dan bahkan cenderung
mengalami apresiasi terhadap mata uang negara lain. Pada umumnya mata
uang keras adalah mata uang dari negara-negara kelompok industri maju,
yaitu dollar-Amerika, yen-Jepang, deutchmark-Jerman, poundsterling-Inggris
dan franc-Perancis. Sebaliknya amta uang yang jarang digunakan untuk
transaksi tersebut dianggap sebagai mata uang lemah (soft currency) yang
nilainya relatif tidak stabil bahkan sering mengalami depresiasi terhadap mata
uang negara lain. Umumnya mata uang ini adalah mata uang negara-negara
7
kelompok negara berkembang. Misalnya rupiah-Indonesia, peso-Filipina,
bath-Thailand.
2.1.2 Teori Paritas Suku Bunga (Interest Rate Parity)
Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian teori paritas suku
bunga menurut beberapa ilmuwan ekonomi, yakni:
1. Paritas suku bunga (interest rate parity) merupakan teori yang paling
dikenal dalam keuangan internasional. Doktrin paritas suku bunga ini
mendasarkan nilai kurs berdasarkan tingkat bunga antar negara yang
bersangkutan. Dalam negara dengan sistem kurs valas bebas, tingkat
bunga domestik (i) cenderung disamakan dengan tingkat bunga luar
negeri (i*) dengan memperhitungkan perkiraan laju depresiasi mata uang
negara yang bersangkutan terhadap negara lain (Baile dan McMohan,
1986:20-26).
2. Interest Rate Parity menyatakan bahwa tingkat bunga relatif menentukan
relativitas antara kurs forward dan kurs spot. Interest Rate Parity (paritas
tingkat suku bunga) menghubungkan tingkat suku bunga domestik dan
luar negeri beserta perubahan nilai tukar yang diharapkan dari nilai mata
uang domestik terhadap mata uang asing (M. Faisal 2001).
3. Perbedaan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah
investasi di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik
maupun dari investor asing, khususnya pada jenis investasi portfolio yang
umunya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini akan
berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di pasar
uang domestik. Apabila dalam suatu negara terjadi peningkatan aliran
modal masuk (capital inflows) dari luar negeri, hal ini menyebabkan
terjadinya perubahan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap
mata uang asing di pasar valuta asing (Madura, 2000, p. 101).
Maka, dapat disimpulkan bahwa teori paritas suku bunga adalah
hubungan antara tingkat suku bunga domestik dan luar negeri yang dapat
berpengaruh pada nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing.
Hubungan tersebut dijelaskan secara matematik dalam persamaan berikut:
8
iD = iF – Et+1 – Et
Et
Dimana:
iD = Tingkat suku bunga riil domestik
iF = Tingkat suku bunga riil asing
Et+1 – Et = Ekspektasi apresiasi mata uang domestik
Et
Artinya, tingkat suku bunga riil domestik dipengaruhi oleh tingkat suku
bunga riil asing dikurangi ekspektasi apresiasi mata uang domestik.
Teori paritas suku bunga terdiri dari dua bentuk yaitu paritas suku
bunga tertutup (covered interest rate parity) dan paritas suku bunga tidak
tertutup (uncovered interest rate parity). Paritas Suku Bunga Tertutup
(Covered Interest Rate Parity) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kurs spot, kurs forward, dan variabel suku bunga. Paritas suku bunga tertutup
ini menjelaskan hubungan yang erat antara suku bunga dengan pergerakan
kurs spot dan kurs forward mata uang tertentu khususnya mata uang keras
(hard currency) seperti dolar Amerika dan Yen Jepang. Paritas suku bunga
tertutup dipandang sebagai dasar yang lebih relevan untuk menjelaskan kurs
valas.
Paritas Suku Bunga Tidak Tertutup (Uncovered Interest Rate Parity)
juga digunakan untuk menganalisis model kurs valas. Dalam teori paritas
suku bunga tidak tertutup, diasumsikan pasar yang efisien terjadi bila kurs
forward merupakan peramal yang tidak bias untuk nilai kurs spot pada masa
yang akan datang. Selanjutnya, konsep yang akan digunakan adalah konsep
paritas suku bunga tertutup.
Dalam menjelaskan keberlakuan teori paritas suku bunga antar negara,
yang paling mudah adalah melalui investasi internasional khususnya
investasi portofolio. Investor yang akan melakukan kegiatan investasi, pasti
terlebih dahulu akan memperhitungkan Expected Return yang akan
diperoleh, baik investasi domestik maupun asing. Untuk dapat dibandingkan,
maka nilai mata uang harus dikonversi ke dalam salah satu mata uang
misalnya dikonversikan ke dalam Rupiah. Dalam teori paritas suku bunga,
9
hasil dari perhitungan Expected Return antara deposito domestik dan
deposito asing adalah sama jika risiko valas diabaikan.
Menurut Baillie dan Mc Mahon (1998) ada beberapa asumsi yang
mendasari terciptanya kondisi paritas suku bunga yaitu:
1. Surat berharga dalam dan luar negeri dianggap mempunyai batas waktu
dan resiko identik.
2. Tidak adanya perbedaan dalam pengendalian/pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap sistem moneter, sistem perpajakan
dan resiko politis.
3. Tidak adanya biaya transaksi dalam valuta asing.
Konsep paritas suku bunga sangat penting karena konsep tersebut
menghubungkan antara kebijakan perubahan suku bunga dengan variabel
kurs yang fluktuasinya dapat mempengaruhi perekonomian. Secara teoritis,
hubungan antara suku bunga dan kurs dapat diuraikan sebagai berikut;
dengan memperhatikan tingkat depresiasi nilai mata uang domestik terhadap
mata uang luar negeri dan suku bunga domestik lebih kecil dari suku bunga
asing, maka akan terjadi pelarian modal ke luar negeri yang pada akhirnya
akan berdampak melemahnya nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang asing. Demikian juga sebaliknya jika suku bunga domestik lebih tinggi
dari suku bunga asing maka diperkirakan akan menarik arus modal masuk
sehingga akan memperkuat nilai tukar mata uang domestik.
2.1.3 Teori Purchasing Power Parity (PPP)
Teori PPP diperkenalkan oleh Gustav Cassel yang menjelaskan
hubungan antara harga komoditi dalam mata uang domestik (lokal) dengan
dengan nilai tukar. Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar akan meyesuaikan
diri dari waktu ke waktu untuk mencerminkan selisih inflasi antara dua
negara, akibat adanya daya beli konsumen untuk membeli produk domestik
akan sama dengan daya beli untuk membeli produk luar negeri. Asumsi
utama yang mendasari teori PPP adalah pasar komoditi merupaka pasar
yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga dan informasi.
(Tucker, 1991).
10
Oleh karena itu, bila indeks harga di kedua negara identik, the law of
one price menjustifikasi teori PPP (Baillie dan McMahon,1990). Artinya bila
produk yang sama dijual pada pasar yang berbeda dan tidak ada hambatan
dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk cenderung
sama pada dua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara
berbeda, harga produk biasanya dinyatakan dala mata uang yang berbeda,
namun harga produknya tetap masih sama. Perbandingan harga hanya
memerlukan suatu konversi satu mata uang ke mata uang lain. Teori PPP
dibedakan benjadi dua, yaitu bentuk Absolute dan bentuk Relatif.
Teori PPP Absolute menyatakan bahwa harga dari dua produk
homogen di negara-negara yang berbeda akan sama jika diukur dalam valuta
yang sama. Kurs valuta asing dinyatakan dalam nilai harga kedua negara:
St = Pt / Pt*
Dimana:
St = Kurs spot
Pt dan Pt* = harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua negara.
(* menunjukkan luar negeri).
Dengan kata lain, teori PPP absolute menerangkan kurs spot
ditentukan oleh harga relatif dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan
oleh indeks harga). Dalam kaitannya dengan inflasi (kenaikan harga produk
secara umum) dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini suatu negara yang
mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang tinggi seharusnya mengurangi
nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang negara lain yang tingkat
inflasinya lebih rendah. Sementara itu, teori PPP Relatif mengatakan
persentase perubahan kurs nominal antara dua negara akan sama dengan
persentase peubahan inflasi di antara kedua negara. Dengan kalimat lain,
PPP Relatif menerangkan bahwa harga-harga dan kurs mengalami
perubahan sedemikian rupa sehingga nisbah daya beli domestik dan luar
negeri dari setiap negara tetap bertahan. Apabila dinyatakan dalam konteks
11
future, harapan perubahan kurs valuta asing sama dengan harapan
perbedaan inflasi:
∆ St = ∆ Pt - ∆ P*t
Dimana:
∆ St = harapan perubahan kurs
PPP Relatif ini penting karena ia dapat diterapkan sementara PPP
absolut tidak, asalkan faktor-faktor penyebab deviasi PPP absolut dari waktu
ke waktu cukup stabil, perubahan-perubahan persentase tingkat-tingkat
harga relatif rnasih dapat mem-perkirakan perubahan persentase kurs. Selain
itu, bentuk relatif teori paritas daya beli ini merupakan versi alternatif yang
memperhitungkan kemungkinan ketidaksempurnaan pasar seperti biaya
transportasi, tarif, dan kuota, sehingga produk yang sama di negara yang
berbeda tidak perlu menjadi sama bila diukur dengan mata uang yang sama.
Dengan dermikian, versi ini menyatakan bahwa tingkat perubahan dalam
harga-harga produk seharusnya agak sama bila diukur dengan mata uang
yang sama (Madura, 2000:215).
Madura (2000) mengatakan bahwa:
"Country with high inflation rates have de-preciating currencies, and over the long run, the rate of depreciation of the ex-change rate is approximately equal to the differential in national inflation rates.”
Menurut Lindert dan Kindleberger (1988:363), dalam jangka panjang
dapat diperkirakan bahwa ada hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar
yang didukung oleh kenyataan bahwa barang-barang dan jasa dapat dibeli di
suatu negara atau di ne-gara lainnya sehingga hipotesis PPP lebih relevan
jika diaplikasikan untuk mengamati pergerakan atau fluktuasi nliai tukar
dalam jangka panjang daripada jangka pendek. Untuk menunjukkan
terjadinya konflik antara stabilisasi harga dalam negeri dengan stabilisasi nilai
tukar, PPP merupakan suatu temuan yang sangat berharga.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar dan Hubungannya
12
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar adalah
faktor-faktor atau kondisi seperti faktor fundamental, faktor analisis, faktor
psikologis dan faktor spekulasi. Sedangkan secara tidak langsung,
panawaran dan permintaan dari suatu mata uang dipengaruhi oleh:
1. Posisi Neraca Pembayaran atau Balance of Payment
Neraca Pembayaran (balance of payment) adalah ukuran semua
transaksi antara penduduk dalam negeri dengan penduduk luar negeri
selama periode waktu tertentu. Neraca pembayaran dibagi menjadi dua
komponen yaitu neraca berjalan dan neraca modal. Neraca berjalan
(current account) adalah ukuran perdagangan barang dan jasa
internasional suatu negara. Komponen utamanya adalah neraca
perdagangan, yaitu selisih antara ekspor dan impor. Jika impor lebih
tinggi dari ekspor maka yang terjadi adalah defisit neraca perdagangan.
Sebaliknya jika ekspor lebih tinggi dari impor, yang terjadi adalah surplus
neraca perdagangan. Neraca modal (capital account) mencerminkan
perubahan-perubahan dalam kepemilikan aset jangka pendek dan jangka
panjang. Investasi luar negeri jangak panjang mengukur semua investasi
modal antar negara, termasuk investasi asing langsung dan pembelian
sekuritas yang yang berjangka waktu jatuh tempo lebih dari 1 tahun.
Investasi asing jangka pendek mengukur arus dana yang diinvestasikan
dalam sekuritas-sekuritas berjangka waktu kurang dari 1 tahun.
Hasil surplus menunjukkan adanya aliran dana valuta asing yang
masuk netto di dalam perekonomian negara melalui transaksi financial &
asset, sedangkan hasil defisit menandakan telah terjadi aliran dana
keluar netto ke luar negeri (Krugman, 2000:23). Ketika posisi neraca
pembayaran menunjukkan surplus maka akan mendorong apresiasi mata
uang domestik.
2. Selisih Tingkat Inflasi
Pengertian mengenai inflasi dalam ruang lingkup ilmu ekonomi
banyak sekali dijumpai. Menurut Lehner adalah keadaan dimana terjadi
kelebihan permintaan terhadap barang dalam suatu perekonomian
secara keseluruhan. Sedangkan FW Paish memberikan penjelasan
mengenai inflasi sebagai suatu kondisi dimana pendapatan nasional
13
meningkat jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan peningkatan barang
dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian. Boediono ( 19992)
mendefinisikan inflasi sebagai suatu proses kenaikan harga-harga secara
umum dan berlangsung secara terus-menerus dalam periode tertentu.
Dalam beberapa pengertian diatas, perlu digaris bawahi bahwa definisi
inflasi mencakup aspek-aspek berikut:
a. Tendency, yaitu berupa kecenderungan harga-harga untuk
meningkat, artinya dalam suatu waktu tertentu dimungkinkan
terjadinya penurunan harga tetapi secara keseluruhan mempunyai
kecenderungan (trend) meningkat.
b. Sustained, kenaikan harga yang terjadi tidak hanya berlangsung
dalam waktu tertentu saja, melainkan secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama.
c. General level of price, harga dalam konteks inflasi dimaksudkan
sebagai harga barang-barang secara umum, bukan dalam artian satu
atau dua jenis barang.
Ketika terjadi kenaikan tingkat inflasi yang mendadak dan besar di
suatu negara akan menyebabkan meningkatnya impor oleh negara
tersebut terhadap berbagai barang dan jasa dari luar negeri, sehingga
makin diperlukan banyak valuta asing untuk membayar transaksi impor
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap
valuta asing (Madura, 2000:210). Kenaikan tingkat inflasi juga bisa
mempengaruhi ekspektasi masyarakat dalam memegang suatu mata
uang karena kenaikan inflasi dapat mengurangi nilai riil suatu mata uang.
Tingkat inflasi domestik yang melebihi tingkat inflasi luar negeri akan
mengakibatkan nilai kurs domestik terdepresiasi terhadap mata uang
asing.
3. Selisih Tingkat Suku Bunga
Menurut John Maynard Keynes tingkat bunga adalah imbalan jasa
(harga) yang harus dibayar kepada si penabung agar ia bersedia untuk
melepaskan bagian tabungan yang ditahan (disimpan) dalam bentuk
dana likuid, untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam investasi. Dengan
14
kata lain, tingkat bunga adalah harga yang harus dibayar agar dana
likuiditas itu tidak disimpan melainkan dilepaskan untuk investasi.
Menurut Mankiw (1999), suku bunga adalah ukuran atau tariff yang
menunjukkan seberapa banyak yang harus dibayarkan oleh peminjam
kepada pemberi hutang yang merupakan selisih dari yang dipinjam.
Menurut Nopirin (1992), tingkat suku bunga tidak lain adalah harga yang
terjadi di pasar uang dan pasar modal. Jadi, tingkat suku bunga juga
mempunyai fungsi alokatif dalam perekonomian khususnya dalam
penggunaan uang dan modal.
Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan
nilai investasi di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik
maupun investor asing, khususnya pada jenis-jenis investasi portofolio,
yang umumnya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini
akan berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di
pasar domestik. Tingkat suku bunga riil pada umumnya lebih sering
dibandingkan antar negara guna mengukur pergerakan nilai tukar mata
uang.
4. Nilai Ekspor dan Impor
Di dalam pasar bebas perubahan kurs tergantung pada beberapa
faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawarang valuta asing.
Bahwa valuta asing diperlukan guna melakukan transaksi pembayaran
atas perdagangan antar negara baik impor maupun ekspor. Makin
produktif suatu negara dalam menghasilan barang dan jasa sedangkan
permintaan akan barang dan jasa tersebut didalam negaranya kurang
dari penawaran, maka nilai ekspor negara tersebut akan makin tinggi.
Ketika transaksi pembayaran dilakukan maka akan melibatkan valuta
asing. Ekspor akan mendorong suplay valuta asing didalam negeri
meningkat. Namun disisi lain, demand mata uang domestik akan
menyusul meningkat. Hal ini dikarenakan valuta asing yang diterima
eksportir akan ditukar kembali ke dalam mata uang domestik. Tingginya
permintaan mata uang domestik akan berdampak pada apresiasi mata
uang domestik terhadap mata uang asing.
15
Kondisi sebaliknya, ketika pertumbuhan pendapatan (relatif
terhadap negara lain) makin tinggi, akan meningkatkan kemampuan
untuk impor. Hal ini akan berdampak makin besar pula permintaan akan
valuta asing. Kurs valuta asing cenderung meningkat dan harga harga
mata uang sendiri akan turun. (Nopirin, 1997:148)
2.2 Penelitian Terdahulu
1. Tri Wibowo dan Hidayat Amir (2001) dalam “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah”. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan Model Messed an Rogoff. Dari pengujian atas beberapa
model menghasilkan model terbaik bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi besaran nilai tukar rupiah terhadap US$ adalah selisih
pendapatan riil Indonesia dan Amerika, selisih inflasi Indonesia dan
Amerika, selisih suku bunga Indonesia dan Amerika serta nilai tukar
rupiah terhadap US$ satu bulan sebelumnya (lag -1).
2. Adwin Surya Atmaja (2002) dalam “Analisa Perserakan Nilai Tukar
Rupiah Terhadap Dolar Amerika Setelah Diterapkannya Kebijakan Sistem
Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan
menganalisis tentang hubungan berbagai variabel ekonomi, yaitu inflasi,
tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di
Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran
internasional Indonesia, dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika. Dari analisis data diperoleh hasil bahwa
hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika,
sedangkan variabel-variabel yang lainnya tidak. Dengan koefisien
determinasi sebesar 32.5% mengindikasikan bahwa 67.5% dari variabel
terikat dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel bebas yang
digunakan dalam penelitian ini.
3. Iqbal Abdillah, Ramli, Wahyu Aryo Pratomo, Jhon Tafbu Ritonga (2007)
dalam “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fluktuasi Nilai Tukar
Rupiah”. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian adalah
jumlah uang beredar, inflasi, dan tingkat suku bunga dengan observasi
16
penelitian mulai Januari 2000 sampai dengan Desember 2004. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa jumlah uang beredar, inflasi dan suku
bunga mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
fluktuasi nilai tukar rupiah.
4. Agus Budi Santoso (2008) dalam ”Kemampuan Inflasi pada Model
Purchasing Power Parity dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Dolar Amerika Serikat”. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis hubungan antara variabel inflasi, pendapatan nasional dan
tingkat suku bunga dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat. Metode yang digunakan adalah Error Corection Model (ECM).
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek inflasi berpengaruh
secara positif namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap fluktuasi kurs
rupiah terhadap dolar AS. Disisi lain, variabel pendapatan nasional dan
tingkat suku bunga berpengaruh secara signifikan terhadap fluktuasi kurs
rupiah terhadap dolar AS.
5. I Wayan Wardita (2008) dalam “Pengaruh Selisih Suku Bunga Bank
Indonesia dengan Suku Bunga Internasional, inflasi, dan Cadangan Emas
Terhadap Kurs Rupiah Terhadap US Dollar”. Hasil dari penelitian
menujukkan bahwa secara parsial variabel selisih suku bunga BI dengan
suku bunga internasional dan inflasi mempunyai hubungan yang tidak
signifikan dengan fluktuasi kurs hanya variabel cadangan emas yang
mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap fluktuasi kurs.
Sedangkan secara simultan, ketiga variabel mempunyai pengaruh yang
signifikan dengan variabel terikat yakni kurs rupiah terhadap dolar AS.
6. Triyono (2008) dalam “Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dolar
Amerika”. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh variabel
jumlah uang beredar, inflasi, tingkat suku bunga SBI dan nilai impor
Indonesia Terhadap Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS. Metode
analisis yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM). Hasil dari
estimasi menggunakan ECM bahwa dalam jangka panjang variabel
inflasi, tingkat suku bunga SBI dan nilai impor berpengaruh secara
signifikan dengan hubungan yang positif terhadap nilai tukar rupiah
17
terhadap dolar AS. Sedangkan jumlah uang beredar mempunyai
hubungan negatif terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
7. Doni (2009) dalam “Dampak Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Jumlah
Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Dolar Amerika pada Emiten di Bursa
Efek Indonesia”. Penelitian ini bertujuan mengukur seberapa jauh
pengaruh tingkat inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar dalam
mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.Hasil penelitian
adalah secara parsial tingkat inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan nilai tukar.
Sebaliknya ketika dilakukan regresi secara simultan, ketiga variabel
mempunyai pengaruh yang signifikan. Hasil lain menunjukkan bahwa
terdapat hubungan kausalitas antara variabel inflasi dan jumlah uang
beredar terhadap nilai tukar.
8. Grisvia Agustin (2009) dalam “Analisis Paritas Daya Beli pada Kurs
Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat Periode September 1997-
Desember 2007 dengan Menggunakan Metode Error Correction Model”.
Hasil analisis menunjukkan keberlakuan teori PPP di Indonesia. Bahwa
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, perbedaan tingkat harga
diantara kedua negara, jumlah uang beredar dan nilai impor akan
berpengaruh secara positif terhadap nilai tukar mata uangnya.
Sedangkan selisih tingkat suku bunga dan cadangan devisa berpengaruh
negatif terhadap perubahan kurs antara rupiah terhadap dolar. Variabel
nilai ekspor tidak berpengaruh secara signifikan.
9. Apip Supriadi (2010) dalam “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Nilai Tukar di Indonesia Periode 1990-2008”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pendapatan nasional,
inflasi, dan tingkat bunga terhadap nilai tukar di Indonesia periode 1990-
2008. Alat analisis menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian anai
adalah pendapatan nasional, inflasi, dan tingkat suku bunga secara
simultan berpengaruh terhadap nilai tukar di Indonesia.
10. Yunika Murdayanti (2012) dalam “Pengaruh Gross Domestic Product,
Inflasi, Suku Bunga, Money Supply, Current Account, dan Capital Account
Terhadap Nilai Kurs Rupiah Indonesia – Dollar Amerika”. Periode
18
penelitian adalah mulai Agustus 1998 sampai Desember 2001. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa money supply menjadi satu-satunya
variabel yang terdapat multikolinieritas sehingga dikeluarkan dari regresi
linier. Variabel Gross Domestic Product, Inflasi, Suku Bunga, Money
Supply, dan Capital Account mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan kurs sedangkan current account tidak berpengaruh
signifikan.
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan landasan teori
di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
1. Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel bebas yaitu
selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi, cadangan devisa, nilai ekspor
dan nilai impor terhadap variabel terikat yakni nilai tukar rupiah terhadap
yen.
2. Diduga variabel nilai ekspor paling berpengaruh terhadap perubahan nilai
tukar rupiah terhadap yen.
2.4 Kerangka Berfikir
Berdasarkan atas telaah teori serta hasil penelitian terdahulu, maka
dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut.
19
Kurs Rp/¥
Ekspektasi Rp/¥
Supply&Demand Valuta Asing
Selisih Suku Bunga
Selisih tingkat Inflasi
Cadangan Devisa
Nilai Ekspor Nilai Impor
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskripsi
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui berapa
besar pengaruh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam
mempengaruhi variabel terikat yakni fluktuasi kurs rupiah terhadap yen.
Variabel-variabel tersebut disusun menjadi sebuah model yang diestimasikan
menggunakan alat analisis regresi, selanjutnya hasilnya dideskripsikan.
3.2 Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini adalah fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah
Indonesia dan yen Jepang. Penelitian dilakukan diantara kedua negara
karena perubahan nilai tukar antara rupiah dengan yen lebih fluktuatif
dibandingkan perubahan nilai tukar rupiah dengan mata uang negara lain.
Penelitian dilakukan selama periode kuartal I 2005 sampai kuartal I 2012
dikarenakan didalam penelitian ini ingin diketahui kondisi nilai tukar mata
uang diantara kedua negara 4 tahun sebelum krisis global dan 4 tahun
sesudahnya.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh dari publikasi yang diterbitkan lembaga-lembaga
terkait. Seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Bank of Japan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data berupa metode kepustakaan yaitu dengan
membaca literatur-literatur, jurnal ilmiah dan penelitian-penelitian lain yang
berkaitan dan menunjang baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan penelitian ini.
20
3.5 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari yang kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi
populasi bukanlah hanya orang, tetapi juga obyek berupa benda-benda alam
yang lain. Populasi juga bukanlah sekedar jumlah yang ada pada obyek
ataupun subyek yang dipelajari, melainkan meliputi seluruh karakteristik
ataupun sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek tersebut (Sugiyono, 2005).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perilaku perubahan nilai tukar
rupiah terhadap yen sepanjang waktu.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini adalah perubahan kurs rupiah
terhadap dolar selama periode 2005-2012.
3.6 Definisi Variabel Operasional
Variabel operasional adalah variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian yang digunakan sebagai sumber data. Berikut variabel-variabel
operasional yang digunakan adalah:
1. Nilai tukar atau kurs
Harga mata uang yang terhadap mata uang negara lain atau banyaknya
mata uang yang harus dikorbankan untuk mendapatkan mata uang
lainnya. Kurs yang digunakan adalah nilai kurs rupiah terhadap yen
(IDR/JPY). Data diperoleh dari kepustakaan Bank Indonesia (BI).
2. Selisih tingkat suku bunga riil
Harga yang dibayarkan per satuan mata uang yang dipinjam per periode
waktu tertentu, dinyatakan dalam persentase. Tingkat suku bunga yang
digunakan adalah tingkat suku bunga yang ditentukan oleh masing-
masing pemegang otoritas moneter diantara kedua negara. Tingkat suku
bunga Indonesia menggunakan BI rate yakni yang dikelurkan oleh Bank
Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter Indonesia. Tingkat suku
bunga Jepang menggunakan tingkat suku bunga yang dikeluarkan ole)h
Bank of Japan. Tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh pemegang
21
otoritas moneter adalah tingkat suku bunga acuan yang selanjunya untuk
diimplementasikan ke tingkat suku bunga deposito.
Tingkat suku bunga riil diperoleh dengan mengurangi suku bunga
nominal dengan inflasi yang terjadi. Selisih tingkat suku bunga riil
diperoleh dari tingkat suku bunga riil Indonesia dikurangi tingkat suku
bunga riil Jepang.
λ = λr – λr*
Dimana:
λ = Selisih tingkat suku bunga
λr = Tingkat suku bunga riill Indonesia
λr* = Tingkat suku bunga riil Jepang
3. Selisih tingkat inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh dan
berlangsung terus-menerus selama periode tertentu. Data tingkat inflasi
yang digunakan adalah data inflasi bulanan yang dikeluarkan oleh BPS
dan diolah menjadi kuartalan. Selisih tingkat inflasi diperoleh dari
mengurangi tingkat inflasi Indonesia dengan tingkat inflasi Jepang.
Π = π – π*
Dimana:
Π = Selisih inflasi
Π = Tingkat inflasi Indonesia
π* = Tingkat inflasi Jepang
4. Posisi cadangan devisa
Simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter.
Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam
beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro
atau yen dan digunakan untuk menjamin kewajibannya, yaitu mata uang
lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di
bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan. Dalam penelitian
ini variabel yang digunakan adalah posisi cadangan devisa.
5. Nilai ekspor
Nilai ekspor ditentukan oleh kombinasi dari perkembangan harga dan
volume ekspor. Perkembangan harga dan perkembangan volume
22
tersebut, pada gilirannya, ditentukan masing-masing oleh sejumlah faktor
yang berbeda. Indonesia sebagai negara kecil di pasar global untuk
hampir semua produk ekspor, artinya Indonesia adalah price taker, maka
perkembangan harga adalah faktor eksogen bagi Indonesia. Sedangkan
perkembangan volume ditentukan oleh faktor-faktor dari sisi suplai
domestik. Nilai ekspor yang digunakan dalam penelitian adalah nilai
ekspor non migas hasil hubungan perdagangan Indonesia ke Jepang.
Data nilai ekspor diperoleh dari BPS dan Bank Indonesia.
6. Nilai impor
Nilai impor ditentukan oleh kombinasi dari perkembangan harga dan
volume impor Indonesia dari luar negeri. Nilai impor lebih dipengaruhi dari
peningkatan pendapatan nasional suatu negara. Nilai impor yang
digunakan adalah nilai impor non migas Indonesia dari Jepang. Data nilai
impor diperoleh dari BPS dan Bank Indonesia.
3.7 Metode Analisis
Berdasar pada tujuan penelitian yang pertama yaitu untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas yang terdiri dari selisih
suku bunga riil, selisih tingkat inflasi, cadangan devisa, nilai ekspor dan nilai
impor berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat yakni
perubahan nilai tukar rupiah terhadap yen dapat dilakukan dengan metode
analisis regresi berganda. Sedangkan untuk tujuan yang kedua yaitu variabel
mana yang mempunyai pengaruh paling dominan bila dibandingkan dengan
variabel yang lainnya dalam mempengaruhi perubahan nilai tukar rupiah,
dapat diselesaikan menggunakan metode analisis regresi parsial. Untuk
mengetahui pengaruh secara simultan digunakan uji-F dan untuk mengetahui
pengaruh secara parsial digunakan uji-t.
Model dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
Kurs=β0+ β1SSBR+ β2SINF+β3CADEV +β4 EKS+β5 IMP+ε
Dimana:
Kurs = Nilai tukar rupiah terhadap yen
SSBR = Selisis suku bunga riil Indonesia-Jepang
SINF = Selisih tingkat inflasi Indonesia-Jepang
23
Cadev = Cadangan devisa Indonesia
Eks = Nilai ekspor Indonesia ke Jepang
Imp = Nilai impor Indonesia dari Jepang
3.8 Uji Asumsi Klasik
Di dalam model regresi klasik, untuk memperoleh nilai pemerkira yang tidak
bias dan efisien dari persamaan regresi linear berganda dengan metode
kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square, OLS), maka dalam
menganalisa data haruslah dipenuhi asumsi-asumsi klasik. Asumsi klasik
tersebut diantaranya adalah:
1) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi linear yang sempurna antara variabel-variabel
bebas (Gujarati, 2004). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi diantara variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas didalam model regresi adalah sebagai berikut:
1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris
sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel bebas banyak
yang tidak signifikan mempengaruhi variabel terikat.
2. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel bebas dengan
melakukan regresi antar variabel bebasnya. Jika antar variabel bebas
nilai R2 lebih besar dari nilai R2 model utama, maka hal ini merupakan
indikasi adanya multikolinearitas. Tidak adanya korelasi yang tinggi
antar variabel bebas tidak berarti bebas dari multikolinearitas.
Multikolinearitas dapat disebabkan karena adanya efek kombinasi dua
atau lebih variabel bebas.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan
lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur
variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan
oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama
dengan nilai VIF tinggi dan menunjukkan adanya kolonieritas yang
tinggi. Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau
sama dengan nilai VIF diatas 10.
24
2) Uji Heteroskedatisitas
Uji heteroskedatisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidak samaan variance dari residual atau pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu pengamatan atau
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah
yang homoskedastisitas. Kebanyakan data crossection mengandung
situasi heteroskedastisitas karena data ini menghimpun data mewakili
sebagai ukuran (kecil, sedang, dan besar). Berikut ini cara untuk
mendeteksi ada tau tidaknya heteroskedastisitas (Gujarati, 2004):
a. Uji Park. Setelah dilakukan uji park jika masing-masing variabel
menunjukkan hasil tidak signifikan pada tingkat 5% maka model
empiris yang digunakan tidak terdapat masalah heteroskedatisitas.
b. Uji Glejser. Setelah dilakukan pengujian jika koefisien variabel
independen lebih besar dari 5% maka dapat disimpulkan ada
heteroskedatisitas.
3) Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi
normal ataukah tidak. (Gujarati: 2004) untuk uji model regresi yang baik
adalah memiliki distribusi data yang normal atau tidak, dapat dilakukan
dengan cara:
a. Melihat nilai Jarque Bera Test. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih
besar dari 5% maka distribusi error adalah normal artinya model yang
digunakan lolos uji normalitas.
4) Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t
dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) (Gujarati, 2004).
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu
berkaitan satu sama lain. Ada beberapa cara yang digunakan untuk
25
mendeteksi ada atau tidaknya korelasi, salah satunya yaitu dengan uji
Durbin-Watson (DW-test).
a. Nilai DW kurang dari 1,10 ada auto korelasi
b. Nilai DW1,10 sampai 1,54 tanpa kesimpulan
c. Nilai DW 1,55 sampai 2,46 tidak ada korelasi
d. Nilai DW 2,46 sampai 2,90 tanpa kesimpulan
e. Nilai DW Lebih dari 2,90 ada autokorelasi
3.9 Uji Statistik
Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada
tidaknya korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil
regresi berganda akan diketahui besarnya koefisien masing-masing variabel.
Dari besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari variabel-variabel
bebas, baik secara terpisah maupun bersama-sama terhadap variabel terikat.
Untuk melakukan uji atas hipotesa, dilakukan dengan cara:
1. Uji Statistik Simultan (F-test)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-
sama terhadap variabel terikat (Gujarati: 2004). Hipotesis nol dan
hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik F adalah sebagai
berikut:
H0= Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
H1= Variabel bebas secara tidak bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan
nilai F hitung dengan nilai F tabel. Nilai F hitung dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut :
Fhit =
R2/ ( k−1 )(1−R2 )/ (n−k )
26
Nilai F tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi () dan
derajat bebas sebesar n-k- (dimana n jumlah observasi, k = jumlah
variabel bebas). Adapun ketentuan untuk menerima atau menolak adalah
sebagai berikut :
H0 akan ditolak jika nilai F hitung F tabel
H0 akan diterima jika nilai F hitung F tabel
2. Uji Statistik Parsial (t-test)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat. Hipotesis nol
dan hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik t adalah sebagai
berikut (Gujarati, 2004).
H0 = Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
H1 = Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan
nilai t hitung dengan nilai t tabel. Nilai t hitung dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut:
t hit =
b−BSb
Nilai t tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi () dan
derajat bebas sebesar n-k- (dimana n jumlah observasi, k jumlah
variabel bebas). Adapun ketentuan dari uji ini adalah :
H0 akan ditolak jika nilai t-hitung t-tabel
H0 akan diterima jika nilai t-hitung t-tabel
3. Koefisien Determinan
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil
berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variasi
variabel terikat amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-
variabel bebas memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
27
untuk memprediksi variasi variabel terikat. Secara umum koefisien
determinasi untuk data silang (crossection) relatif rendah karena adanya
variasi yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk
data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien
determinasi yang tinggi.
3.10 Tahapan Analisis
Untuk memulai penelitian, terlebih dahulu dilakukan pencarian data-
data yang diperlukan dari sumber-sumber yang terpercaya dan relevan
dengan topik yang akan diteliti yakni data kurs antara rupiah-yen, data tingkat
suku bunga Indonesia dan Jepang, Inflasi Indonesia dan Jepang, Cadangan
devisa Indonesia, nilai ekspor Indonesia dari Jepang dan nilai impor
Indonesia dari Jepang. Selain itu juga dilakukan pencarian literatur dan
jurnal-jurnal ilmiah yang dapat digunakan sebagi acuan dalam melakukan
penelitian.
Setelah data-data yang diperlukan diperoleh, tahap selanjutnya
adalah mengelompokkan variabel-variabel tersebut kedalam kelompok
negara yang bersangkutan. Langkah selanjutnya adalah melakukan
perhitungan selisih tingkat suku bunga riil dan inflasi diantara kedua negara.
Selanjutnya menentukan model estimasi yang akan digunakan untuk
diregresi. Selanjutnya dilakukan estimasi dengan menggunakan alat analisis
regresi. Untuk menilai apakah model yang digunakan tepat, maka
serangkaian uji asumsi klasik harus dilakukan agar hasil penelitian valid.
BAB IV
28
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pengujian atas model penelitian adalah menggunakan model regresi
berganda. Yakni merupakan model regresi yang digunakan untuk jenis
penelitian yang mempunyai variabel bebas lebih dari atau sama dengan dua.
Dengan menggunakan Eviews, diperoleh hasil pengolahan data sebagai
berikut:
Tabel 2: Hasil Regresi Model Utama
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
SSBR -124.3966 136.7593 0.909602 0.3725
SINF 349.1618 201.0757 1.736470 0.0959
CADEV -9.108807 2.525127 3.607267 0.0015
EKS -0.076429 0.025829 -2.959087 0.0070
IMP 0.044727 0.013739 3.255545 0.0035
C 7058.746 1817.705 3.883328 0.0000
R-squared 0.841210 F-statistic 13.17506
Adjusted R-squared 0.684952 Prob(F-stat) 0.000004
Durbin-Watson stat 1.322560
Sumber: data sekunder, diolah dengan Eviews
4.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
Setelah dilakukan serangkaian pengujian asumsi klasik untuk menguji
ketepatan model yang digunakan dalam penelitian maka diperoleh hasil
sebagai berikut:
4.2.1 Uji Multikolinearitas
Untuk menguji apakah terdapat korelasi antar variabel bebasnya.
Penilaian terdapat maslah multikolinearitas atau tidak dapat dilakukan
dengan melihat nilai R2 dari regresi parsial terhadap masing-masing variabel
bebas. Hasil dari regresi tersebut menunjukkan bahwa masing-masing
regresi parsial mempunyai nilai R2 yang lebih kecil dari nilai R2 regresi utama.
Maka model regresi yang digunakan bebas dari masalah multikolinearitas.
29
4.2.2 Uji Heteroskedasitas
Uji heteroskedatisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidak samaan variance dari residual atau pengamatan ke
pengamatan yang lain. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan uji
Park. Setelah dilakukan uji park jika masing-masing variabel menunjukkan
hasil tidak signifikan pada tingkat 5% maka model empiris yang digunakan
tidak terdapat masalah heteroskedatisitas. Hasil uji park pada model
diperoleh bahwa masing-masing variabel bebas tidak signifikan pada tingkat
5%. Maka model empiris bebas heteroskedasitas.
4.2.3 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal
ataukah tidak. (Gujarati: 2004). Untuk memperoleh hasilnya dapat dilakukan
dengan melihat nilai Probabilitas Jarque Bera. Jika nilai probabilitas Jarque
Bera lebih besar dari 5% maka distribusi error adalah normal artinya model
yang digunakan lolos uji normalitas. Hasil estimasi diperoleh nilai Probabilitas
Jarque Bera adalah 0.06122 artinya tidak signifikn pada tingkat 5% sehingga
distribusi error model adalah normal.
4.2.4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t
dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) (Gujarati, 2004). Masalah
autokorelasi dapat didetekdi dengan melihat nilai Durbin-Watson dari hasil
regresi. Nilai DW penelitian adalah 1.322560 maka tidak dapat disimpulkan
apakah terdapat masalah autokorelasi didalam model regresi.
4.3 Analisis Hasil Penelitian
Dari hasil estimasi dengan menggunakan program Eviews didapat
persamaan regresi penelitian adalah:
Y=7058 ,7−124 ,4 SSBR+339 ,2SINF−9 ,1CADEV−0 ,07 EKS+0 ,04 IMP+ε
30
Hasil penghitungan dengan menggunakan α = 5%, menunjukkan
bahwa terdapat dua variabel bebas yang tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat. Variabel bebas tersebut adalah selisih tingkat suku
bunga dan selisih inflasi diantara Indonesia dan Jepang. Sedangkan variabel
bebas yang lain mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar
rupiah terhadap yen. Nilai R-squared 0,84 menunjukkan bahwa variabel
bebas secara keseluruhan memberikan pengaruh sebesar 84% terhadap
variabel terikat sehingga 16% dari perubahan nilai tukar rupiah terhadap yen
dipengaruhi oleh variabel bebas lain diluar model. Konstanta penelitian
adalah 7058.746 artinya ketika tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi
variabel terikat maka nilai kurs rupiah terhadap yen adalah Rp 7.058,746.
4.3.1 Selisih Tingkat Suku Bunga Riil
Dari hasil estimasi diketahui bahwa koefisien variabel bebas selisih
tingkat suku bunga riil negatif atau berlawanan arah yakni -124.3966 artinya
ketika terjadi kenaikan selisih tingkat suku bunga riil antara Indonesia dan
Jepang sebesar 1%, maka akan mendorong apresiasi rupiah terhadap yen
sebesar 124.4%. Kondisi ini sesuai dengan teori bahwa apabila tingkat suku
bunga suatu negara lebih tinggi dibandingkan negara lain (tingkat suku bunga
internasional) maka akan mendorong apresiasi mata uang domestik. Hal ini
dikarenakan spekulan akan berspekulasi positif terhadap mata uang
domestik atau investor akan berfikir bahwa investasi di domestik lebih
menguntungkan sehingga permintaan mata uang domestik akan naik yang
akhirnya berdampak pada apresiasi mata uang domestik. Sebaliknya apabila
tingkat suku bunga suatu negara lebih rendah dari pada tingkat suku bunga
negara lain maka mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi.
Namun, hasil observasi menunjukkan tingkat probabilitas variabel selisih
tingkat suku bunga riil sebesar 0.3725 artinya tidak signifikan dalam derajat
kepercayaan 5%.
Bank Indonesia memilih menempuh kebijakan moneter yang
diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menambah tekanan
terhadap inflasi dan melemahnya nilai tukar. Namun demikian upaya
menstabilkan kembali nilai tukar dan laju inflasi dilakukan dengan tetap
31
menjaga agar kenaikan suku bunga yang terlalu dras-tis dan berlebihan
dapat dihindarkan (Agustin, 2009).
4.3.2 Selisih Tingkat Inflasi
Koefisien yang dihasilkan dari estimasi model utama untuk variabel
selisih tingkat inflasi adalah positif atau searah yakni dengan nilai koefisien
349.1618 artinya setiap kenaikan selisih inflasi akan menyebabkan nilai tukar
rupiah naik yang berarti mendepresiasi kurs rupiah terhadap yen sebesar
349.17%. Dengan tingkat signifikansi sebesar 0.0959 lebih besar dari 5%.
Meskipun tidak signifikan dalam derajat kepercayaan 5%, namun arah
koefisiennya sesuai dengan teori paritas daya beli relatif dimana semakin
tinggi inflasi di Indonesia maka nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
akan makin terdepresiasi.
Pengaruh tingkat harga terhadap nilai tukar berlangsung cukup cepat
atau tingkat harga cenderung bersifat fleksibel. Sifat tingkat harga yang
ternyata fleksibel ini antara lain dipicu oleh kebijakan administered price oleh
pemerintah dalam periode penelitian yang beberapa kali mengalami
perubahan (kenaikan harga). Kebijakan-kebijakan administered price oleh
pemerintah antara lain berupa kenaikan tarif dasar listrik, harga bahan bakar
minyak dan air minum meningkatkan cost of production yang ditanggung oleh
produsen. Di sisi lain, kondisi sosial yang tidak sepenuhnya stabil merespon
dampak administered price tersebut secara cepat sehingga menimbulkan
tuntutan-tuntutan kenaikan upah dan gaji akibat besarnya ekspektasi inflasi
yang terbentuk. Kombinasi dari hal-hal tersebut menyebabkan tingkat harga
bergerak menyesuaikan secara lebih cepat atau fleksibel
Dilihat dari penyebabnya, kenaikan tingkat harga atau tingkat inflasi
yang terjadi adalah merupakan kombinasi dari imported inflation akibat
depresiasi nilai tukar, gangguan pasokan dan distribusi barang-barang
kebutuhan pokok, kenaikan harga karena kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan (administered price) dan melonjaknya uang beredar
akibat ekspansi moneter. Selain itu, tingginya laju inflasi juga disebabkan
ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung berlebihan. Dalam
hubungannya dengan nilai tukar, tingkat harga memiliki hubungan timbal
32
balik atau kausalitas. Sehingga implikasi dari hubungan ini adalah depresiasi
nilai tukar perlu dikendalikan untuk menekan laju inflasi dan demikian pula
inflasi perlu ditekan agar tidak memicu depresiasi. (Agustin, 2009).
4.3.3 Cadangan Devisa
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel cadangan devisa
berpengaruh secara negatif signifikan artinya nilai tukar rupiah terhadap yen
mempunyai hubungan saling berkebalikan dengan cadangan devisa. Dengan
nilai koefisien sebesar -9.108807 dan nilai probabilitas 0.0015 maka setiap
ada kenaikan cadangan devisa Indonesia sebesar 1% akan berpengaruh
pada penurunan nilai tukar rupiah artinya rupiah terapresiasi (berhubungan
negatif) sebesar 9.11%. Kondisi ini sesuai dengan teori bahwa cadangan
devisa dan kurs mempunyai hubungan negatif atau berlawanan arah. Makin
besar jumlah cadangan devisa yang dimiliki maka kepercayaan luar negeri
atas kemampuan negara kita untuk mengatasi external shocks akan
meningkat sehingga dapat menekan berspekulasi atas mata uang domestik
sehingga nilai tukar akan menguat.
Semenjak 1997, pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang
intervensi dan menganut system nilai tukar mengambang bebas. Walaupun
Indonesia telah menganut sistem nilai tukar mengambang bebas, otoritas
moneter masih melakukan intervensi dengan melepas cadangan devisa di
pasar valas. Kegiatan intervensi valas ini masih tetap dilakukan dengan
maksud untuk menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing
mengingat pasar ini belum sempurna dan belum rasional.
Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, selain faktor
permintaan dan penawaran, nilai tukar juga digerakkan oleh political and
social (unrest) news. Sehingga apabila sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar, maka bukan correct price yang diperoleh, melainkan hasil
dari market failure.
4.3.4 Nilai Ekspor
Variabel nilai ekspor mempunyai hasil koefisien senilai -0.076429 dan
probabilitas 0.0070 artinya bahwa variabel ini berpengaruh secara negatif
signifikan. Setiap kenaikan variabel nilai ekspor sebesar 1% akan
33
mengakibatkan apresiasi rupiah sebesar 0.076% (berhubungan negatif).
Hasil estimasi atas variabel nilai ekspor juga mendukung teori yang ada
menganai ekspor-impor, yakni bahwa peningkatan nilai ekspor domestik ke
asing akan mendorong apresiasi rupiah. Makin banyak ekspor yang
dilakukan sebuah negara maka permintaan akan mata uang domestik akan
meningkat sehingga mata uangnya apresiasi.
Dari sisi penawaran, sumber utama pasokan valuta asing di pasar
adalah devisa hasil ekspor, sterilisasi valuta asing oleh bank sentral, dan
aliran modal masuk asing baik berupa penanaman modal asing (foreign
direct investment), investasi portofolio maupun pinjaman luar negeri. Namun
surplus perdagangan sektor ekspor masih belum mampu memberikan
dampak apresiasi terhadap rupiah akibat kondisi pasar valuta asing domestik
yang masih tetap tipis. Selain itu sektor ekspor sendiri masih banyak
mengalami hambatan. Hambatan-hambatan tersebut tidak saja datang dari
luar negeri atau faktor eksternal akibat makin ketatnya persaingan
perdagangan namun juga datang dari dalam negeri. Sehingga kinerja ekspor
yang semula diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian tidak dapat
mengoptimalkan momentum depresiasi rupiah yang terjadi.
Dari sisi eksternal, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia
terutama di negara-negara tujuan ekspor dan turunnya harga-harga
komoditas utama mengakibatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas
kurang mampu menyumbang devisa. Khusus untuk ekspor nonmigas, selain
disebabkan sisi permintaan yang menurun, penurunan harga ekspor yang
lebih rendah daripada harga pada tingkat wajar juga disebabkan oleh
semakin ketatnya persaingan harga dian-tara negara-negara asia yang mata
uangnya juga mengalami depresiasi. Penurunan ekspor juga dipengaruhi
oleh adanya penetapan syarat-syarat tambahan bagi produk ekspor
Indonesia seperti penerapan persyaratan ramah lingkungan dan
perlindungan hak konsumen. Dari sisi internal, menurunnya ekspor antara
lain dipengaruhi oleh terjadinya gangguan pada produksi dan distribusi yang
disebabkan oleh faktor ketidakpastian sehu-bungan dengan masih maraknya
aksi mo-gok buruh, gangguan keamanan dan masih belum pulihnya fungsi
intemediasi perbankan.
34
4.3.5 Nilai Impor
Variabel total nilai impor memiliki koefisien regresi sebesar 0.044727.
Hal ini berarti bahwa hubungan antara variabel total nilai impor dan nilai tukar
adalah serah (positif). Dimana pertumbuhan variabel nilai impor sebesar 1%
akan mengakibatkan pertumbuhan nilai tukar (depresiasi) rupiah sebesar
0.045%. Hubungan ini sesuai dengan teori dimana pertumbuhan pasca impor
yang berarti meningkatnya pemba-yaran kepada eksportir asing akan mengu-
rangi pasokan valuta asing di dalam negeri sehingga mendepresiasi nilai
tukar. Penga-ruh depresiasi yang dipengaruhi oleh total nilai impor pada
perubahan nilai tukar dise-babkan masih besamya kandungan impor pada
bahan baku maupun barang modal yang dipergunakan oleh industri dalam
negeri.
4.4 Analisa Dengan Pendekatan Statistik
Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada
tidaknya korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil
regresi berganda yang telah dilakukan, diketahui besarnya koefisien masing-
masing variabel. Dari besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari
variabel-variabel bebas, baik secara terpisah maupun bersama-sama
terhadap variabel terikat. Untuk melakukan uji atas hipotesa, dilakukan
dengan cara:
4.4.1 Uji F (F-test)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel terikat (Gujarati: 2004). Dengan tingkat
signifikansi α=0.005 dan derajat kebebasan df=23 dan hipotesis statistik yang
akan diuji adalah:
H0= Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
H1= Variabel bebas secara tidak bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat.
Dengan ketentuan:
35
H0 akan ditolak jika nilai F hitung F tabel
H0 akan diterima jika nilai F hitung F tabel
Setelah dilakukan perhitungan maka nilai F hitung yang diperoleh
adalah 31,5. Nilai F hitung lebih kecil dari F tabel yakni 35,172 sehingga H0
diterima.
4.4.2 Uji t (t-test)
Uji t dilakukan untuk melihat derajat signifikansi koefisien-koefisien
masing-masing variabel bebas dalam penelitian secara terpisah terhadap
variabel terikat. Dengan tingkat signifikansi α=0.005 dan derajat kebebasan
df=23, maka didapat perbandingan nilai t tabel dan t hitung sebagai berikut:
Tabel 3: Nilai t tabel dan t hitung
Variabel t Tabel t Hitung
Selisih Suku Bunga Riil 2,069 1,906
Selisih Tingkat Inflasi 2,069 2,005
Cadangan Devisa 2,069 1,452
Nilai Ekspor 2,069 0,963
Nilai Impor 2,069 1,008
Sumber: Data diolah
Dengan hipotesis statistic penelitian adalah sebagai berikut:
H0 = Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
H1 = Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
Dengan ketentuan:
H0 akan ditolak jika nilai t-hitung t-tabel
H0 akan diterima jika nilai t-hitung t-tabel
36
Maka dari nilai t-hitung dapat diketahui bahwa nilai t untuk semua
variabel berada dibawah nilai t tabel, sehingga dari hal ini dapat dikatakan
bahwa semua variabel bebas yakni selisih suku bunga riil, selisih inflasi,
cadangan devisa, nilai ekspor dan nilai impor secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat yakni nilai tukar rupiah terhadap yen atau
dengan demikian maka H0 diterima.
4.4.3 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Setelah dilakukan regresi
berganda, diperoleh Nilai R2 model adalah 0,84 menunjukkan bahwa variabel
bebas secara keseluruhan memberikan pengaruh sebesar 84% terhadap
variabel terikat sehingga 16% dari perubahan nilai tukar rupiah terhadap yen
dipengaruhi oleh variabel bebas lain diluar model.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan
bahwa:
37
1. Seluruh variabel yang meliputi variabel selisih suku bunga riil di Indonesia
dengan Jepang, selisih tingkat inflasi Indonesia dengan Jepang, cadangan
devisa, nilai ekspor dan nilai impor secara bersama-sama berpengaruh
pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
2. Variabel nilai ekspor memberikan pengaruh paling besar secara parsial
terhadap variabel terikat ditunjukkan dengan hasil uji t yang paling
signifikan.
3. Variabel selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Jepang berpengaruh
secara negatif signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap Yen Jepang.
Peningkatan pada selisih siku bunga riil di Indonesia menyebabkan nilai
tukar Rupiah terhadap Yen Jepang mengalami apresiasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa suku bunga masih relevan dijadikan sebagai
piranti kebijakan moneter untuk mempengaruhi fluktuasi nilai tukar dan
juga investasi asing.
4. Variabel selisih tingkat Inflasi di Indonesia dan Jepang tidak berpengaruh
secara positif signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap Yen Jepang.
Dalam prakteknya para investor tidak hanya memperhatikan ekspektasi
inflasi, namun juga memperhatikan keadaan perekonomian yang sedang
terjadi dinegara tersebut terutama sektor riil, sehingga kepercayaan
investor menjadi hal yang lebih penting dalam menanamkan modalnya.
5. Variabel cadangan devisa di Indonesia berpengaruh secara negatif
signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap Yen Jepang. Peningkatan
cadangan devisa sutu negara menyebabkan nilai tukar negara tersebut
apresiasi. Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk mengurangi
gejolak nilai tukar yang berlebihan. Intervensi tersebut dengan melakukan
kecukupan cadangan devisa.
6. Variabel total nilai ekspor memiliki pengaruh yang negatif namun tidak
signifikan terhadap nilai tukar. Peningkatan nilai ekspor dapat membawa
dampak apresiasi nilai tukar rupiah namun masih besarnya kendala dari
internal maupun eksternal yang dihadapi sektor ekspor serta devisa hasil
ekspor yang tidak seluruhnya kembali ke dalam negeri mengakibatkan
sektor ekspor belum mampu memberikan kontribusi dalam menambah
pasokan valuta asing untuk mengapresasi nilai tukar rupiah.
38
7. Variabel total nilai impor memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap
nilai tukar. Masih besarnya ketergantungan produksi dalam negeri
terhadap barang modal dan bahan baku yang diimpor memberikan
kontribusi besarnya impor yang selanjutnya memberikan dampak
depresiasi terhadap nilai tukar karena mengurangi penawaran valuta asing
di dalam negeri untuk pembayaran impor dalam valuta asing.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian ini adalah:
1. Perlunya menjaga kestabilan tingkat harga yang merupakan cerminan dari
tingkat inflasi, hal ini dikarenakan perbedaan tingkat inflasi dapat
memperburuk nilai tukar rupiah baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Oleh karena itu, kebijakan moneter dengan sasaran tunggal yaitu
pengendalian inflasi (inflation targeting) perlu didukung dan dilaksanakan
di Indonesia. Namun demikian, kebijakan pengendalian inflasi yang
dilakukan haruslah dengan tetap menjaga output loss yang seminimal
mungkin.
2. Bagi pemerintah perlu dilakukan upaya dan kebijakan-kebijakan untuk
meningkatkan ekspor baik migas maupun non-migas mengingat devisa
dari ekspor masih sangat diperlukan untuk menambah pasokan devisa
pada sisi supply yang dapat menahan fluktuasi nilai tukar yang berlebihan.
3. Bagi penelitian selanjutnya agar mampu menyajikan data yang lebih bisa
memberikan gambaran yang lebih nyata yakni dengan periode waktu
penelitian diperpanjang, dan menambah variabel ekonomi lainnya,
sehingga dapat terlihat perilaku nilai tukar yang lebih nyata.
39
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Iqbal dkk, (Vol. 2 No.1, Januari 2007), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah, MEPA Ekonomi, LIPI.
Agustin, Grisvia, (Vol. 1 No. 1, 2009), Analisis Paritas Daya Beli Pada Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Periode September 1997-Desember
40
2007 Dengan Menggunakan Metode Error Correction Model, JESP, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi : Universitas Negeri Malang.
Atmadja, Adwin Surja, (Vol. 4, No.1, Mei 2002: 69-78), Analisa PergerakanNilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Setelah Diterapkannya Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Fakultas Ekonomi : Universitas Kristen Petra
Bank Indonesia http://www.bi.go.id/ diakses pada tanggal 1 Juni 2012
Bank of Japan. http://www.boj.or.jp/en/statistics/dl/depo/tento/te120530.pdf. diakses pada 1 Juni 2012
Data Inflasi BPS http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=03¬ab=6 diakses pada tanggal 1 Juni 2012
Doni, 2009, Dampak Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Dollar Amerika Pada Emiten Di Bursa Efek Indonesia.
Gujarati, Damodar N. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York : The Mc Graw-Hill Companies, 2001
Isnowati, Sri. (Vol.9 No.1 Maret 2002). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika: Pendekatan Moneter 1987-1991. Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Krugman, Paul R dan Maurice Obstfeld, Ekonomi Internasional, Jilid 1, Edisi Kelima, Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia, 2001
Kurs Bank Indonesia http://www.ortax.org/ortax/?mod=kursbi&page=neg&id=SGD&jenis=_&search=2005-6-4&search_2=2012-6-29 diakses pada tanggal 1 Juni 2012
Levi, Maurice D, 2001, Keuangan Internasional. Yogyakarta : Andi
Madura, Jeff. 2000. International Management. USA: South-Western College Publishing
Murdayanti, Yunika, (Vol. X No. 1, Maret 2012), Pengaruh Gross Domestic Product, Inflai, Suku Bunga, Money Supply, Current Acount dan Capital Account Terhadap Nilai Kurs Rupiah Indonesia-Dollar Amerika, Ecosains, Dosen Fakultas Ekonomi : Universitas Negeri Jakarta.
Salvator, Dominick. 1997. International Economics, Sixth Edition. New York: John Wiley & Sons Inc
Santoso, Agus Budi, (Vol. 15 No. 1, Maret 2008), Kemampuan Inflasi Pada Model Purchasing Power Parity Dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah Terhadap
41
Dollar Amerika Serikat, Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, Fakultas Ekonomi : Universitas Stikubank Semarang.
Sugiyono, Prof. Dr, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta
Supriadi, Apip, (Vol. 2 No. 1, Juni 2010), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Di Indonesia Periode 1990-2008, Magister Manajemen, Dosen Fakultas Ekonomi : Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Triyono, (Vol. 9, No. 2, Desember 2008), Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wardita, I Wayan, (Vol. 6 No.2, 2008), Pengaruh Selisih Suku Bunga Bank Indonesia Dengan Suku Bunga Internasional, Inflasi, Dan Cadangan Emas Terhadap Kurs US Dollar, Forum Manajemen, Dosen STIMI “Handayani” : Denpasar
Wibowo, Tri dan Hidayat Amir, (Vol. 9 No. 4, Desember 2005), Faktor-Faktor Ynang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Jakarta : Departemen Keuangan RI.
42