3
Familiarity Rev. Steven Agustinus-Open Heaven Minsitries Pada saat kita mulai menganggap apa yang Tuhan kerjakan sebagai sesuatu yang biasa, maka ketika Tuhan bergerak, kita akan mulai kehilangan apa yang Tuhan sediakan. Dan sebagai akibatnya, kita mulai membuang apa yang selama ini dibutuhkan oleh orang-orang lain. Saya menyebutnya dengan istilah “familiarity” atau merasa terbiasa. Sebagai satu jemaat, kita tidak boleh mengijinkan familiarity atau perasaan terbiasa itu mulai muncul dalam hidup kita, karena sekali kita menganggap biasa, kita akan kehilangan semua yang Tuhan sudah sediakan bagi kita. Setelah Yesus selesai menceriterakan perumpamaan-perumpamaan itu, Ia pun pergi dari situ. Setibanya di tempat asalNya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: "Dari mana diperolehNya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibuNya bernama Maria dan saudara-saudaraNya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperolehNya semuanya itu?" Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: "Seorang nabi dihormati di mana- mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya." Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakanNya di situ. (Matius 13:53-58) Kita semua tahu bahwa Nazareth adalah tempat di mana Yesus dibesarkan dan semua orang yang ada di sana mengenal Yesus. Ketika Yesus mulai bergerak dalam dimensi kuasa, Alkitab berkata bahwa ke manapun Yesus pergi, mujizat dan tanda-tanda ajaib selalu terjadi. Akan tetapi ketika Ia kembali ke kota asalnya, familiarity membuat orang-orang Nazaret mereka justru menolak Dia dan sebagai akibatnya, tidak banyak mujizat dan tanda ajaib yang Yesus bisa lakukan di sana. Demikian pula, ada banyak hamba Tuhan yang Tuhan pakai dengan luar biasa di berbagai tempat, tetapi ketika mereka kembali ke gereja lokal mereka, ruang lingkup pelayanan yang ada di lokalitas mereka terasa tidak seluas ketika mereka melayani di luar. Apa penyebabnya? Karena ketika seorang hamba Tuhan melayani di tempat lain, banyak orang yang memang menanti-nantikan dan mengharapkan pelayanan si hamba Tuhan, sehingga dengan leluasa aliran Roh bisa terus mengalir lewat hidupnya, sementara di lokalitas di mana ia sering melayani, seringkali tanpa sadar jemaat mulai menganggap pelayanan si hamba Tuhan tersebut sebagai sesuatu yang biasa. Sebagai akibatnya, dinamika roh yang pada awalnya bekerja dengan kuat di tempat itu perlahan tapi pasti mulai memudar dan pada akhirnya akan hilang. Berikut ini adalah beberapa prinsip tentang familiarity: 1. Perasaan terbiasa atau familiarity sesungguhnya hanyalah fenomena psikologi atau kejiwaan belaka, tapi seringkali membuat kita meresponinya secara keliru. Familiarity sebenarnya adalah suatu perasaan yang bisa dan akan dialami oleh semua orang. Ketika seorang rakyat biasa akan bertemu dengan gubernur untuk pertama kalinya, dari jauh-jauh hari ia sudah akan melakukan berbagai macam persiapan, bahkan mungkin sampai menyebabkan ia tidak bisa tidur bermalam-malam. Namun ketika itu sudah menjadi sesuatu yang rutin dan bahkan sering terjadi,

Familiarity

Embed Size (px)

DESCRIPTION

free

Citation preview

Page 1: Familiarity

FamiliarityRev. Steven Agustinus-Open Heaven Minsitries

Pada saat kita mulai menganggap apa yang Tuhan kerjakan sebagai sesuatu yang biasa, maka ketika Tuhan bergerak, kita akan mulai kehilangan apa yang Tuhan sediakan. Dan sebagai akibatnya, kita mulai membuang apa yang selama ini dibutuhkan oleh orang-orang lain. Saya menyebutnya dengan istilah “familiarity” atau merasa terbiasa. Sebagai satu jemaat, kita tidak boleh mengijinkan familiarity atau perasaan terbiasa itu mulai muncul dalam hidup kita, karena sekali kita menganggap biasa, kita akan kehilangan semua yang Tuhan sudah sediakan bagi kita.

Setelah Yesus selesai menceriterakan perumpamaan-perumpamaan itu, Ia pun pergi dari situ. Setibanya di tempat asalNya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: "Dari mana diperolehNya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibuNya bernama Maria dan saudara-saudaraNya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperolehNya semuanya itu?" Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: "Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya." Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakanNya di situ. (Matius 13:53-58)

Kita semua tahu bahwa Nazareth adalah tempat di mana Yesus dibesarkan dan semua orang yang ada di sana mengenal Yesus. Ketika Yesus mulai bergerak dalam dimensi kuasa, Alkitab berkata bahwa ke manapun Yesus pergi, mujizat dan tanda-tanda ajaib selalu terjadi. Akan tetapi ketika Ia kembali ke kota asalnya, familiarity membuat orang-orang Nazaret mereka justru menolak Dia dan sebagai akibatnya, tidak banyak mujizat dan tanda ajaib yang Yesus bisa lakukan di sana.

Demikian pula, ada banyak hamba Tuhan yang Tuhan pakai dengan luar biasa di berbagai tempat, tetapi ketika mereka kembali ke gereja lokal mereka, ruang lingkup pelayanan yang ada di lokalitas mereka terasa tidak seluas ketika mereka melayani di luar. Apa penyebabnya? Karena ketika seorang hamba Tuhan melayani di tempat lain, banyak orang yang memang menanti-nantikan dan mengharapkan pelayanan si hamba Tuhan, sehingga dengan leluasa aliran Roh bisa terus mengalir lewat hidupnya, sementara di lokalitas di mana ia sering melayani, seringkali tanpa sadar jemaat mulai menganggap pelayanan si hamba Tuhan tersebut sebagai sesuatu yang biasa. Sebagai akibatnya, dinamika roh yang pada awalnya bekerja dengan kuat di tempat itu perlahan tapi pasti mulai memudar dan pada akhirnya akan hilang.

Berikut ini adalah beberapa prinsip tentang familiarity:

1. Perasaan terbiasa atau familiarity sesungguhnya hanyalah fenomena psikologi atau kejiwaan belaka, tapi seringkali membuat kita meresponinya secara keliru.

Familiarity sebenarnya adalah suatu perasaan yang bisa dan akan dialami oleh semua orang. Ketika seorang rakyat biasa akan bertemu dengan gubernur untuk pertama kalinya, dari jauh-jauh hari ia sudah akan melakukan berbagai macam persiapan, bahkan mungkin sampai menyebabkan ia tidak bisa tidur bermalam-malam. Namun ketika itu sudah menjadi sesuatu yang rutin dan bahkan sering terjadi, maka kalaupun orang tersebut diminta secara mendadak untuk menghadap sang gubernur, tanpa persiapanpun ia bisa segera mengiyakannya, karena ia sudah mulai ‘terbiasa’, dan ini adalah sesuatu yang wajar dan lazim dialami oleh semua orang.

Yang seringkali menjadi persoalan adalah, ketika rasa terbiasa itu mulai muncul, tanpa kita sadari respon kita mulai berbeda. Ketika kita pertama kali mengikuti ibadah di sebuah gereja dan mengalami jamahan Roh, hal itu membuat kita menjadi penuh semangat dan keantusiasan, tapi dengan berjalannya waktu dan kita selalu mengalami jamahan RohNya, kitapun mulai merasa “biasa” dan menganggap jamahan Roh sebagai sesuatu yang “wajar”. Tanpa kita sadari, respon kita mulai berubah, di sinilah titik kejatuhan kebanyakan orang, karena ketika kita mulai berasa terbiasa, biasanya kitapun mulai meresponi secara sambil lalu. Saya percaya, ada banyak hal luar biasa yang Tuhan sudah sediakan bagi kita, tapi seringkali

Page 2: Familiarity

kita justru kehilangan perkara-perkara ilahi yang Tuhan sudah sediakan tadi karena hal yang luar biasa tersebut kita anggap biasa.

Karena itu, ini saatnya kita terus meminta agar Tuhan memberikan hati yang selalu haus dan lapar akan Dia dan pastikan dari waktu ke waktu kita datang dalam ibadah dengan pengharapan yang baru dan persiapan penuh. Jangan menganggap ibadah, hadirat Tuhan, ataupun FirmanNya sebagai sesuatu yang biasa, karena begitu kita menganggap biasa, tanpa sadar kita mulai menutup diri dan menolak anugerah yang seadng tercurah. Ketika Yesus pergi ke Galilea, banyak mujizat terjadi di sana dan orang-orang Galilea merasa diberkati, Yesus datang menjadi anugerah bagi penduduk Galilea. Di Nazaret pun sesungguhnya Yesus bisa menjadi anugerah, tetapi karena respon mereka yang manusiawi, apa yang sebetulnya bisa menjadi anugerah tidak menjadi anugerah bagi mereka.

2. Seringkali, respon-respon yang manusiawi akan mulai muncul pada saat kita justru mulai dekat dengan sumber kegerakan yang ada.

Ketika kita mulai menjadi akrab dengan seseorang, biasanya kita tidak bisa lagi menghargai orang tersebut sebagaimana dia adanya. Demikian pula, ketika kita untuk pertama kalinya mengikuti ibadah yang mengalirkan kehidupan Roh, kita mungkin menganggap ibadah tersebut sebagai sesuatu yang serius; ketika kita mulai terbiasa mengikuti ibadah yang sama, biasanya tanpa sadar kita akan mulai menganggap aliran Roh yang ada sebagai sesuatu yang ‘biasa’. Familiarity itulah yang seringkali akan membuat kita mulai memunculkan respon-respon yang manusiawi. Selama kita bisa memastikan aliran kehidupan Roh selalu mengalir dalam hidup kita, kita akan selalu terjaga dari jebakan familiarity.

3. Kita bisa menghindari familiarity jika setiap kali kita menghadiri ibadah, kita datang dengan pengharapan yang besar, kehausan dan kelaparan akan Tuhan, dan kesediaan untuk berubah.

Setiap kali kita datang beribadah, datanglah dengan pengharapan yang besar dan jangan ijinkan kita terjebak dalam familiarity. Karena ketika kita datang dalam ibadah dengan pengharapan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam hidup kita, dalam setiap ibadah kita pasti akan mengalami hal-hal yang luar biasa itu.

Pengkhotbah 4:17 berkata, “Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat.” Dengan kata lain, ketika kita hendak beribadah, pastikan kita datang dengan pengharapan tertentu karena kita sendiri juga yang akan menikmati manfaatnya. Jika kita datang dengan keberadaan kita yang kosong dan tanpa pengharapan, kita sama seperti orang bodoh yang mempersembahkan korban karena hal itu tidak ada gunanya bagi kita.

Ketika kita ingin membuat gula cair, kita menuang gula pasir yang ada ke dalam air lalu dipanaskan. Sampai titik didih tertentu, seluruh gula pasir itu akan mencair, air yang ada kini terasa manis. Jika panasnya ditambahkan, sampai titik tertentu gula cair yang ada akan menjadi jenuh. Bagaimana jika kita tidak ingin agar gula itu menjadi jenuh? Kita hanya tinggal menambahkan air saja atau meningkatkan panasnya lebih lagi. Demikian pula kita; meskipun setiap kali kita datang beribadah dengan pengharapan yang besar dan sesuatu yang ilahi selalu kita alami, lambat laun kita akan mencapai satu titik rohani di mana kita mulai merasa jenuh–ini adalah sesuatu yang wajar.

Tapi ketika kejenuhan mulai kita alami, itu saatnya kita mulai mengambil tindakan aktif, kita harus menambah ‘air yang baru’, kehausan dan kelaparan akan Tuhan yang lebih lagi. Bagi orang yang haus dan lapar akan Tuhan, apapun yang Tuhan firmankan akan ia responi secara ilahi, tapi bagi orang yang tidak haus dan lapar akan Tuhan, perkara-perkara barupun akan ia anggap biasa. Jangan sampai rasa haus dan lapar akan Tuhan itu hilang dari hidup kita. Karena itu, begitu rasa lapar dan haus akan Tuhan mulai sirna dari hidup kita, ambillah waktu untuk berpuasa karena hanya itulah yang akan mengembalikan rasa haus dan lapar akan Tuhan yang kita miliki. Kehausan dan kelaparan akan Tuhan menjagai kita untuk tidak terjebak dalam familiarity.

4. Ketika sebuah gereja lokal bisa terus menanggulangi roh familiarity atau perasaan terbiasa, gereja yang bersangkutan akan terus mengalami terobosan yang lebih besar.

Page 3: Familiarity

Selama kita terus menjaga hati kita selalu haus dan lapar akan Tuhan, kita datang dalam ibadah dengan pengharapan, dan kita mengijinkan untuk hidup kita terus mengalami perubahan lewat kuasa firman dan kuasa RohNya, terobosan besarpun akan terus kita alami dalam hidup kita. Saya percaya rahim profetik, sebuah dimensi rohani di mana Tuhan memiliki keleluasaan dan keterbukaan untuk bergerak di tengah umatNya dan jemaat memiliki keterbukaan untuk meresponi apa yang DIA firmankan, sudah tercipta di tengah-tengah kita; keterbukaan dan respon kitalah yang menentukan seberapa jauh akan meraih apa yang menjadi janjiNya bagi diri dan jemaat kita.

Karenanya datanglah dengan pengharapan yang besar, dengan kehausan dan kelaparan akan Tuhan, dan keterbukaan untuk berubah, karena ketika engkau ijinkan semua hal ini ada dalam hidupmu, Tuhan pasti akan bergerak; ada banyak terobosan besar akan terjadi; ada banyak keilahian yang akan Dia curahkan. Ketika engkau meresponi apa yang Tuhan kerjakan, anugerah akan mulai mengalir dalam hidupmu; dan ketika anugerah mengalir, sesuatu yang ilahi akan mulai terjadi dalam hidup kita. Perubahan akan dengan mudah terjadi, mujizat akan kita alami – apapun yang menjadi kebutuhanmu akan Dia jawab.