67
FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG PEMAKZULAN PRESIDEN DALAM TINJAUAN TATANEGARA ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: MUHAMMAD AZKA FACHRI NIM: 1111043100025 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H/2018M

FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA

TENTANG PEMAKZULAN PRESIDEN

DALAM TINJAUAN TATANEGARA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMMAD AZKA FACHRI

NIM: 1111043100025

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H/2018M

Page 2: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan
Page 3: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan
Page 4: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan
Page 5: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

ABSTRAK

Muhammad Azka Fachri, NIM: 1111043100025, Fatwa Bahtsul Masail

Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan

Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Mazhab

Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. xv + 52 halaman + 10 halaman lampiran.

Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan mengenai pemakzulan

Presiden dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama

(LBM-PBNU). Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat dan menganalisis fatwa

Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama dalam sistem ketatanegaraan Islam, apakah di

sana terdapat persamaan atau perbedaan tentang mekanisme pemkazulan kepala

Negara. Pada dasarnya pemakzulan kepala Negara haruslah sesuai dengan

konstitusi yang berlaku pada suatu wilayah (Negara) dan harus memperhatikan

akibat yang akan terjadi bila memakzulkan pemimpin Negara.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis

penelitian normatif yakni metode analisis yang memaparkan hukum yang telah

tertulis dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan oleh para

‘ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan

perbedaan, serta penelitian ini kepustakaan (library research) yaitu dengan

mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ini.

Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa

kepala Negara yang diangkat secara sah tidak ada alasan yang dibenarkan untuk

dimakzulkan kecuali jika nayata-nyata melanggar konstitusi. Fatwa ini diperkuat

oleh beberapa yuridis Islam seperti Imam al-Mawardi, Taqiyuddin al-Nabhani,

Imam al-Nawawi dan Wahbah Zuhaili. Adapun alasan yang menjadikan Presiden

berhenti menurut ketatanegaraan Islam adalah. Menurut pendapat dari Abdul

Qadim Zallum terdapat dua klasifikasi pemberhentian khalifah: 1. Perubahan

keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, seperti

murtad dari Islam, gila total dan ditawan musuh yang kuat. 2. Perubahan keadaan

khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun

dia tidak boleh mempertahankan jabatannya, seperti kehilangan ‘adalah-nya,

mengganti jenis kelamin dan mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak

dapat lagi mengurusi urusan umat sesuai dengan pikirannya sendiri.

Pembimbing : 1. Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A

2. Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.A

Daftar Pustaka : 1983-2015 Tahun

Page 6: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

vi

بسم اهلل الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allâh Subhânahu Wata’âla yang telah melimpahkan

rahmat, nikmat, taufik, hidayah dan ‘inayah-Nya, terucap dengan tulus dan

ikhlas Alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan

pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Salâwat seiring salâm semoga selalu tercurah limpahkan kepada insân pilihan

Tuhan Nabî akhir zamân Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para

keluarga, sahâbat dan umamatnya. Amin.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat

jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang

maksimal dari penulis. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis

didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri

karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan semata-

mata hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua

pihak. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas

Syarî’ah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarî’ah

dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh

Jakarta;

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA selaku

Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab;

Page 7: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

vii

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Dosen Penasehat

Akademik Penulis;

4. Bapak Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A dan Dr. Hj. Afidah

Wahyuni, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik;

5. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri

(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan

mengajarkan ‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum

Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm

Negeri Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;

7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang telah

mencintai saya dengan segenap jiwa dan raga, memberikan segala

yang mereka bisa, baik doa maupun dukungan sehingga dengan ridha

mereka saya bisa sampai seperti ini;

8. Adik-adikku tercinta dan seluruh keluarga besar yang terus menerus

memberikan semangat yang luar biasa;

9. Teman-teman Mahasiswa/i Perbandingan Mazhab Fakultas Syarî’ah

dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2011;

10. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi

ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan

balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan

Page 8: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

viii

menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 2 Maret 2018

MUHAMMAD AZKA FACHRI

NIM: 1111043100025

Page 9: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................... v

KAT PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................ 5

C. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 6

1. Batasan Masalah ............................................................ 6

2. Rumusan Masalah ......................................................... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6

1. Tujuan Penulisan ........................................................... 6

2. Manfaat Penelitian ......................................................... 6

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................... 7

F. Kerangka Konseptual ......................................................... 9

G. Metode Penelitian ................................................................ 10

1. Jenis Penelitian .............................................................. 11

Page 10: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

x

2. Sumber Data .................................................................. 11

3. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 12

4. Pengolaan Data .............................................................. 12

5. Tehnis Penulisan Skripsi ............................................... 12

H. Sistematika Penulisan .......................................................... 12

BAB II MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

KEPALA NEGARA

A. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara .......................... 14

1. Syarat-syarat Pengangkatan Kepala Negara .................. 18

2. Aturan-aturan Pengangkatan Kepala Negara ................ 20

B. Mekanisme Pemakzulan Kepala Negara ............................. 22

C. Syarat-syarat Pemakzulan Kepala Negara ........................... 23

D. Hukum Pemakzulan Kepala Negara .................................... 25

BAB III FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA

TENTANG PEMAKZULAN KEPALA NEGARA

A. Pengertian Bahtsul Masail ................................................... 28

B. Kedudukan Fatwa Bahtsul Masail ....................................... 29

C. Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masail............................ 33

D. Fatwa Bahtsul Masail Tentang Pemakzulan........................ 36

BAB IV PEMAKZULAN KEPALA NEGARA DALAM FATWA

BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA DAN HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

Page 11: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

xi

A. Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama Tentang

Pemakzulan Presiden ........................................................... 38

B. Pemakzulan Presiden Menurut Hukum Tata Negara Islam 39

C. Persamaan dan perbedaan fatwa Bahtsul Masail NU dan

Hukum Tata Negara Islam Tentang Pemakzulan Presiden . 42

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 46

B. Saran-saran .......................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 49

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 53

Page 12: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI1

1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis

(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.

Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai

berikut:

ARAB LATIN

Kons. Nama Kons. Nama

Alif Tidak dilambangkan ا

Ba b Be ب

Ta t Te ت

Tsa ts Te dan es ث

Jim j Je ج

Cha h Ha dengan dengan bawah ح

Kha kh Ka dan ha خ

Dal d De د

Dzal dz De dan zet ذ

Ra r Er ر

Zay z Zet ز

Sin s Es س

Syin sy Es dan ye ش

Shad s Es dengan garis bawah ص

Dhat d De dengan garis bawah ض

1 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSH-

UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.

Page 13: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

xiii

Tha t Te dengan garis bawah ط

Dzha z Zet dengan garis bawah ظ

„ Ain„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Ghain gh Ge dan ha غ

Fa f Ef ف

Qaf q ki ق

Kaf k Ka ك

Lam l El ل

Mim m Em م

Nun n En ن

Wawu w We و

Ha h Ha هـ

Hamzah ‟ Apostrof ء

Ya y Ye ي

2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab

yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi

vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan

‒ a fathah

‒ i Kasrah

‒ i dammah

Page 14: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

xiv

Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan

dengan gabungan huruf sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan

ي ‒ ai A dan I

و ‒ au A dan U

3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat

dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf

dan tanda macron (coretan horisontal):

آ â A dengan topi di atas

î I dengan topi di atas ‒ى

û U dengan topi di atas ‒و

4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (ال),

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qomariyyah, Misalnya:

al-ijtihad = اإلجتهاد

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

5. tah mati atau yang dibaca seperti ber-h

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,

sedangkan ûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya

.( y h l-hilâl atau y l hilâl = رؤية الهالل )

6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

Page 15: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

xv

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

فعةالش = al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-Syuf‟ah

Page 16: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Campur aduk masalah keagamaan dengan kepentingan-kepentingan yang

lain, merupakan suatu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk

dipecahkan. Apalagi terkait masalah agama dengan politik kenegaraan. Karena

memang hal itu mempunyai multi tafsir, dan analisis serta sudut pandang yang

berbeda dari para pemikir.1 Dalam banyak hal, bisa ditemukan kenyataan-

kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara, terutama semenjak

berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.

Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M, umat Islam

telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang

meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan, lebih-lebih sejak terbebasnya

dunia Islam dari Kolonialisme Barat, dunia Islam telah mempraktekan sistem

polotik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat dari kenyataan sejarah,

umat Islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal. Kedua bentuk

Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi

yang dihadapinya.2

Wacana tentang hubungan antara Islâm dan politik, atau Islam dan negara

senantiasa menarik untuk dikaji. Karena wacana tersebut juga melibatkan

berbagai kalangan, baik itu dari kiai, politisi, akademisi, partai maupun negara,

dan juga melintasi rentang waktu yang panjang dalam sejarah politik di Negara

Indonesia ini. Wacana tersebut telah melahirkan berbagai bentuk konflik dan

kompromi yang mencerminkan kekuatan sekaligus kelemahan kelompok Islam itu

1 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di

Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004) h. 7. 2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 198.

Page 17: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

2

sendiri. Dengan kekuatan dan kelemahan itu, Islam diharapkan bisa lebih kongkrit

berperan dalam kehidupan bernegara.3

Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 M,4 ketika

konsepsi negara bangsa atau nasional belum muncul. Dengan demikian, negara

yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad SAW dan

Khulafaur Rasyidin5 serta kaum muslimin awal bukanlah suatu negara dalam

konsepsi negara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat

manusia yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan

syari’at Islam dan dilaksanakan sesuai dengan tata pemerintahan Islam. Meskipun

demikian, negara pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin telah memenuhi unsur-

unsur sebagaimana negara dalam pengertian sempit, yakni;

1. Adanya warga negara, yang terdiri dari warga negara Muslim dan kaum

dzimmi (warga negara non-muslim yang tinggal menetap di wilayah Islam

dan mendapat perlindungan, dengan kewajiban membayar jizyah) serta

musta’min (warga negara asing non-muslim yang tinggal sementara dalam

wilayah Islam dan mendapat perlindungan, tanpa kewajiban membayar

jizyah;

2. Wilayah yang terdiri dari daratan, udara dan lautan, yang semula hanya

wilayah Madinah dan sekitarnya, kemudian pasca fathu Mekkah meliputi

semenanjung Arabia dan sekitarnya;

3. Pemerintah, dalam hal ini yang memiliki kewenangan melaksanakan dan

menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad

SAW dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.

Dalam sebuah negara tentunya harus mempunyai seorang pemimpin,

dijelaskan dalam kitab Raudhatu at-Thalibin wa 'Umdatu al-Muftin, bahwa

mendirikan imâmah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang

3 Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, Cet. II, (Bandung:

Mizan, 1990), h. 13-14. 4 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH-UII,

2007), h. 219. 5 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, h. 138.

Page 18: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

3

layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka

imamah itu wajib diusahakan.6

Seorang kepala negara juga bisa berhentikan atau dimakzulkan.

Diperbolehkan bagi masyarakat atau penduduk untuk mencopot atau memkzulkan

seorang pemimpin atau imam dengan sebab yang mewajibkannya, seperti jika

ditemukan darinya suatu yang menetapkan kekacauan atau kerusakan keadaan

umat muslim, dan menjadi rendah atau hina di mata agama.7

Di samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah

harus diberhentikan oleh mahkamah madzalim, seperti ketika ia tidak dapat

melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adalah-nya, yaitu

telah melakukan kefasikan secara terang-terangan. Termasuk pula jika seorang

khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak mengubah undang-

undang negara yang berasal dari syari’ah menjadi undang buatan manusia. Dari

‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

تكم الذین تحبونھم و یحبونكم و یصلون علیكم و تصلون علیھم و شرار خیار أئم

تكم الذین تبغضونھم و یبغضونكم و تلعنونھم و یلعنونكم قیل یا رسول للا أ أئم

یف قال ال ما أقاموا یكم الص ة ن (.رواه مسلم. )نابذھم بالس8

Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun

mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka.

Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun

membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.

Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan

pedang?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan

shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan “menegakkan shalat” dalam hadits ini adalah

menegakkan hukum-hukum Islam.9 Ini sejalan dengan hadits lain yang

diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari

6 Imam al-Nawawi, Raudhat al-Talibin wa 'Umdatu al-Muftin, (Beirut: al-Maktab al-

Islami, 1405), h. 369. 7 H. Sarmidi Husna, Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul

Ulama’, (Jombang: Lembaga Ta’lif wa al-Nasyr PBNU, 2015), h. 135. 8 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. 2, (t.tp: Daaru Thayyibah, 2006), h. 182.

9 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmu’ al-Fatawa, Juz. 12, (Riyadh: Daar al-

Wathon, 1992), h. 130.

Page 19: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

4

penguasa yang menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al- Shamit

ra, berkata:

علینا وأن أثرة رھنا وعسرنا ویسرنا و مك نا و الطاعة ي منشط مع و ایعنا على الس ب

ا بو ه مر أھل ع األ ال نناز رواه . )ھان بر یه ا عندكم من للا اح إال أن تروا كفر

(.مسلم10

Artinya: “Kami membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi

atau kami benci, keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan,

dan tidak mencabut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat

kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki dalil jelas dari Allah.” (HR Muslim).

Namun dalam praktek kepemimpinan Khulafaur Rasyidin ditandai dengan

penurunan tahta khalifah dengan cara yang kejam yaitu melalukan pembunuhan

terhadap khalifah, terutama Usman dan Ali. Pada masa Usman ada upaya untuk

menuntut khalifah Usmam meletakkan jabatan yang dikepalai oleh Amir Ibn

Abdillah al Tamimi.11

Menurut Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,

seorang Khalifah manakala telah menunaikan hak-hak Allah (dengan menerapkan

dan menjaga Syari’at Islam secara totalitas) dan hak-hak umat (Al-Marwadi

menyebutkan ada 10 tugas Khalifah), maka ia mempunyai dua hak atas umat

(rakyat). Yakni ia harus ditaati dan rakyat juga harus menolongnya selama ia tidak

‘berubah’. Sebaliknya, jika terjadi perubahan dalam diri Khalifah maka dia harus

diberhentikan dan tidak wajib untuk ditaati.12

Perubahan di dalam Khalifah yang mengakibatkan dia harus diberhentikan

itu ada dua: Pertama: Perubahan yang dapat secara langsung menurunkan dia dari

jabatannya, kehilangan hak-haknya dan tidak ada kewajiban umat untuk

menaatinya lagi. Kedua: perubahan yang tidak secara langsung mengeluarkan

dirinya dari jabatan Khalifah, namun secara syar’i dia tidak boleh melanjutkan

jabatannya.

10

Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 186. 11

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.

427. 12

A. Djasuli, Fiqh Siyasah, (Bogor, Kencana, 2003), h. 95-96.

Page 20: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

5

Adapun pembahasan ini juga menjadi kajian dalam sidang komisi bahtsul

masail dîniyah waqi’iyah Muktamar Ke-33 NU, para kiai memutuskan bahwa

mayoritas ulama’ berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan

pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar konstitusi.

Ulama’ sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia

menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang

dibenarkan.13

Oleh karna itu perlu diketahui apa penyebab dan faktor-faktor yang bisa

memakzulkan Presiden dalam tatanegara Islam dan apa saja yang dibahas dalam

Bahstul Masail Nahdhatul Ulama’. Sehingga kita dapat mengetahui perbedaan dan

persamaannya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat

tema tersebut kedalam bentuk tulisan (skripsi) dengan judul “Fatwa Bahstul

Masail Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden dalam Tinjauan

Ketatanegaraan Islam’’.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka

identifikasi masalahnya sebagai berikut:

1. Apa itu pemakzulan?

2. Bagaimana proses pengangkatan pemimpin/presiden?

3. Bagaimana proses pemakzulan?

4. Bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang pemakzulan presiden?

5. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan dilakukannya pemakzulan?

6. Bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata negara Islam?

7. Apa saja persamaan dan perbedaan antara fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul

Ulama dan hukum ketatanegaraan Islam tentang Pemakzulan

(pemberhentian) kepala negara?

13

Sarmidi Husna & Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul

Ulama, h.132.

Page 21: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

6

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan Identifikasi Masalah yang penulis kemukakan di atas, agar

permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya

hanya sekitar mengenai pemakzulan Presiden dalam tinjauan ketatanegaraan

Islam, dan terbatas pada fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ saja.

2. Rumusan Masalah

Berdasaran pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan pokok

permasalahan skripsi ini adalah bagaimana fatwa bahtsul masail Nahdhatul

Ulama’ dalam tinjauan ketatanegaran Islam tentang pemakzulan presiden. Pokok

permasalahan di atas diurai dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang pemakzulan presiden?

2. Bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata negara Islam?

3. Apa saja persamaan dan perbedaan antara fatwa Bahtsul Masail

Nahdhatul Ulama dan ketatanegaraan Islam tentang Pemakzulan

(Pemberhentian) pemimpin?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang temakzulan

presiden.

b. Untuk mengetahui bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata

Negara Islam.

c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara fatwa bahtsul masail

Nahdhatul Ulama dan hukum Tata Negara Islam tentang pemakzulan

(pemberhentian) presiden.

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat dan

kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud terbagi menjadi dua:

Page 22: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

7

a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya keislaman mengenai

pemakzulan presiden yang secara langsung dapat merespon kenyataan

yang terjadi pada masa kini.

b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan tentang

pandangan hukum tata negara Islam terkait dengan pemakzulan Presiden.

c. Menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan

Mazhab.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap beberapa

penelitian, peneliti menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, yang memiliki beberapa kesamaan. Meskipun penelitian

sebelumnya yang peneliti temukan memiliki kesamaan dengan yang sedang

peneliti lakukan, namun penelitian tersebut tetap memiliki beberapa perbedaan.

Beberapa penelitian tersebut antara lain, sebagai berikut:

1. Jurnal karya Agustina Nurhayati yang berjudul Sistem Politik dan

Demokrasi Islam. Jurnal ini menyimpulkan bahwa al-Mawardî

menyatakan bahwa rakyat juga berhak memecat kepala

negara/khalifahnya. Hak itu boleh dipakai ketika seorang kepala

negara melakukan dua kesalahan. Yang pertama adalah pelanggaran

dalam kejujuran. Pelanggaran kejujuran ini mencakup dua hal, yaitu

masalah kehormatan dirinya dan kesetiaan terhadap negara dan

masalah keyakinan keagamaan. Kedua, kekurangan panca indra yang

menyebabkan hilangnya kesanggupannya untuk menjalankan tugas

dan kewajibannya. Tentang kekurangan panca indra, Al-Mawardî

membagi dalam tiga macam: (a) hilangnya panca indra, (b) hilangnya

anggota badan dan (c) hilang kebebasan. Selain itu dijelaskan pula

mengenai ketatanegaraan Islâm khususnya pada masa Nabi

Muhammad SAW dan khulafaur Rosidin, kekuasaan kepala negara

Page 23: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

8

mencakup bidang agama dan bidang keduniaan (sebagai kepala

pemerintahan dan sebagai kepala negara).14

2. Skripsi yang berjudul Mekanisme Pembuktian dalam Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, karya Yuli

Andreansyah Arba’i, Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Skripsi ini

menyimpulkan bahwa pengaturan mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam PMK 21 tahun 2009 belum sempurna

atau belum lengkap. Khususnya yang berkaitan dengan proses

pembuktian.15

3. Jurnal karya Hotma P. Sibuea yang berjudul “Pemberhentian

Presiden/Wakil Presiden pada Masa Jabatan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.

Jurnal tersebut menjelaskan bahwa Keputusan MK adalah mengikat

MPR sehingga jika MK memutuskan Presiden/Wakil Presiden terbukti

melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus melakukan Sidang MPR

untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden tersebut. Jika MPR

tidak melaksanakan putusan MK atau mengabaikan putusan MK

tersebut, sikap yang demikian merupakan perbuatan yang melanggar

asas-asas hukum yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara

yaitu asas negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan.

Pelanggaran terhadap asas-asas tersebut di atas akan merusak tatanan

kehidupan berbangsa dan bernegara.

14

Agustina Nurhayati, Sistem Politik dan Demokrasi Islam, (Jakarta: Mardhika, 2003), h.

36. 15

Yuli Andreansyah Arba’i, Mekanisme Pembuktian Dalam Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia,

(Jakarta: UIN Jakarta, 2015), h. 9.

Page 24: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

9

4. Jurnal Rechts Vinding, Badan Pembinaan Hukum Nasional-

Kementerian Hukum dan HAM RI, yang berjudul Pemakzulan

Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,

menjelaskan bahwa pengaturan mengenai pemakzulan dalam

konstitusi adalah hal yang tepat dan sangat sesuai dengan prinsip

negara hukum dan demokrasi, dan merupakan konsekuensi logis

ketika ingin mewujudkan suatu pemerintahan yang stabil sesuai

dengan praktik sistem pemerintahan presidensial.16

Dari skripsi dan jurnal yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat

bahwa skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di jurnal

pertama fokus pembahasannya mengenai pemberhentian presiden menurut al-

Mawardi, kemudian skripsi kedua fokus pembahasannya mengenai mekanisme

pembuktian dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dan proses pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan jurnal ketiga fokus pembahasannya

mengenai pengaturan pemakzulan dalam konstitusi di Indonesia sudah sangat

tepat di berlakukan di Indonesia dan sangat sesuai dengan prinsip negara hukum

dan demokrasi, kemudian jurnal yang keempat fokus pembahasannya tentang

tahapan-tahapan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD

1945. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada hasil bahtsul masail

Nadhlatul Ulama’ (NU) mengenai pemakzulan Presiden dalam ketatanegaraan

Islam.

F. Kerangka Konseptual

Dengan mengetahui mengetahui bahwa presiden merupakan salah satu

syarat dan keharusan akan adanya pada suatu negra, karena pada dasarnya Negara

terbentuk dari masyarakat yang memiliki multi-kultural, jelas sosok seorang

pemimpin merupakan hal yang sangat penting. Maka hal ini menjadi perhatian

yang sangat serius untuk meneliti tentang pemakzulan Presiden dalam tinjauan

ketatanegaraan Islam, terkhusus dalam Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’.

Kerangka konseptual akan digambarkan dalam diagram di bawah ini:

16

Eko Nour Kristiyanto, Jurnal Rechts Vinding Volume 3 Nomer 3, Desember 2013.

Page 25: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

10

G. Metode Penelitian

Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta

mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang

sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis

penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi

tercapainya hasil yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas

metode penelitiannya, mulai dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik

pengolahan datanya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ Tentang

Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan

Islam

Pengangkatan dan

Pemberhentian Kepala Negara

Menurut Tata Negara Islam

Fatwa Bahtsul Masail

Nahdhatul Ulama

Mekanisme Penngangkatan

Kepala Negara

Pengertian dan Kedudukan Fatwa

Bahtsul Masail

Analisis

Kesimpulan Hukum

Faktor-faktor yang menyebabkan

dilakukannya Pemakzulan Presiden

Metode Penetapan Fatwa Bahtsul

Masail NU

Mekanisme Pemakzulan

Kepala Negara

Syarat-syarat dan Hukum

Pemakzulan Kepala Negara

Page 26: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

11

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research) pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum

normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini,

acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.17

Kaitannya

dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh)

yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan

oleh para ‘ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan

dan perbedaan. Yang menjadi objek penelitian pustaka ini adalah fatwa bahtsul

masail Nahdhatul Ulama’ tentang pemakzulan presiden dalam tinjauan

ketatanegaraan Islam serta melihat pendapat-pendapat para ulama dan melihat

dalil-dalil yang digunakan dalam mengeluarkan argument dan fatwa dalam

menyikapi permasalah ini.

2. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri menjadi (3) tiga, yaitu

sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.

a. Sumber data primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung

dengan objek penelitian. Sumber primer dalam penelitian ini adalah

fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ tentang pemakzulan

(pemberhentian) Kepala Negara.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat menjelaskan

data-data primer dalam hal ini adalah:

1) kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah karya

al-Mawardî.

2) Kitab Nadzam al-Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani.

3) Kitab Nidzam Al-Hukmi fi al-Islam karya Abdul Qadim Zallumy.

4) Kitab al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Muhammad Abu Zahrah.

17

Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 118.

Page 27: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

12

5) Kitab Qowanin al-Wizarah wa Siyasah al-Mulk karya Imam al-

Mawardy.

6) Kitab Raudah al-Talibin wa Umdat al-Muftin karya Imam al-

Nawawi.

7) Kitab al-Mawaqif al-Mukotobat karya Imam al-Nawawi.

8) Kitab Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaily.

c. Sumber data tersier, meliputi kamus-kamus dan ensiklopedia Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data

kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta

mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang

peneliti gunakan adalah dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik

berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.

4. Pengelolaan Data

Teknik pengelolaan data adalah proses penyederhanaan data ke dalam

bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan

kepada orang lain.18

Pada tahapan ini, data yang diperoleh dari fatwa dan hukum

tata Negara Islam tentang pemakzulan (pemberhentian) kepala Negara diolah dan

dimanfaatkan sedemikian rupa hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran

yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.

Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif, yaitu

menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu

gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

5. Tehnis Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri Syarif Hidâyatullâh

Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”

18

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.

244.

Page 28: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

13

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri

dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I pendahuluan, bab ini menjelaskan tentang standar karya tulis ilmiah, yaitu

menerangkan alasan kenapa masalah tersebut layak untuk dijadikan sebuah

penelitian. Selanjutnya mengidentifikasi masalah-masalah umum yang berkaitan

dengan judul penelitian dan membuat suatu pembatasan dan rumusan dari

identifikasi masalah tersebut agar penelitian lebih terarah. Terakhir, menerangkan

tujuan dan manfaat dari penelitian serta menentukan metode yang akan digunakan

dalam penelitian.

BAB II tinjauan teoritis tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian

kepala negara, bab ini merupakan suatu pengantar bagi pembaca dalam

memahami teori mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Presiden.

Menjelaskan tentang pengangkatan kepala negara, mekanisme pemakzulan kepala

negara, syarat pemakzulan kepala negara dan huku pemakzulan kepala negara.

BAB III tinjauan umum fatwa bahtsul masâil nahdhatul ulama’, bab ini

menerangkan tinjauan umum mengenai fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’.

Pembahasan pada bab ini terdiri dari pengertian Bahtsul Masail Nahdhatul

Ulama’, kedudukan fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’, metode penetapan

fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’, fatwa Bahtsul Masâil Nahdhatul ulama’.

BAB IV tinjauan ketatanegaraan Islam dan fatwa bahtsul masail nahdhatul ulama’

tentang pemakzulan (pemberhentian) kepala negara, bab ini menguraikan kajian

mengenai bagaimana pemakzulan Presiden menurut fatwa Bahtsul Masail

Nahdhatul Ulama’ dan ketatanegaraan Islam serta melihat persamaan dan

perbedaan di antara keduanya.

BAB V penutup, bab in berisi kesimpulan yang berupa pernyataan singkat dari

hasil penelitian, dan saran sebagai rekomendasi penelitian yang menurut penulis

dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Page 29: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

14

BAB II

MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

KEPALA NEGARA

A. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara

Pebedaan mengenai pemerintahan Islam telah menjadi perdebatan yang

panjang setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Apakah Islam memerintahkan

adanya kepala Negara, siapa yang berhak menjadi kepala Negara, apa yang

menjadi kekuasaan kepala Negara dan bagaimana cara pengangkatan kepala

Negara.1

Persoalan tersebut muncul karena al-Qur’an maupun hadits sendiri sebagai

sumber hukum Islam tidak menjelaskan secara tegas mengenai sistem

pemerintahan dalam Islam, Konsepsi kekuasaan dalam Islam dan kedaulatan serta

ide-ide tentang konstitusi.2

Apabila membicarakan tentang kepala negara, maka terlepas dari

kedaulatan dan kekuasaan, baik dalam pengertian Islam maupun dalam pengertian

Barat. Menurut konsep kedaulatan rakyat yang diwujutkan dalam demokrasi

sebagai dasar penyelenggaraaan pemerintahan suatu negara, rakyat berhak untuk

menentukan sendiri jalanya pemerintahan negara. Untuk itu prinsip musyawarah

sebagai suatu proses pengambilan keputusan secara bersama dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara hanya dapat diwujudkan melalui kedaulatan rakyat.

Makna kedaulatan dalam Islam bersandarkan pada makna kekuasaan yang

tertinggi ada pada Allah SWT. Allah SWT memiliki kekuasaan yang mutlak

terhadap alam beserta isinya. Hal ini tercantum dalam Surat Ali Imran ayat 189

yang artinya: “Kepunyaan Allah-lah Kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu”.

1 Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gama

Media Pratama, 2001), h. 44. 2 Yusril Ihza Mahendra, “Harun Nasution tentang Islam dan Kenegaraan”, dalam

Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam, (Jakarta: LSAF, 1989), h. 219.

Page 30: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

15

Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhalifahan, keimamahan dan

keamiran dalam sejarah Islam terutama pada masa Al-Khulafa’ al-Rosidin disebut

khalifah, imam atau amir. Arti kata khalifah, yang bentuk jamaknya khulafa’ atau

khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah seorang pengganti yaitu seseorang

yang mengantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan,3 atau orang yang

menggantikan (kedudukan) orang yang sebelumnya atau juga orang yang

mengantikan kedudukan orang lain.

Khalifah juga bisa berarti al-sulthan al-a’dzam (kekuasaan paling besar

atau paling tinggi). Dalam bahasa inggris khalifah disebut wakil (deputy),

pengganti (successor), penguasa (vicegerent), titel bagi pemimpin tertinggi

komunitas muslim (title of the supreme head of the Muslim Community), sebagai

pengganti Nabi (Khalifat Rasul Allah).4 Institusi khalifah itu disebut kekhalifahan.

Sejarah timbulnya istilah khalifah dan institusi khilafah bermula sejak

terpilihnya Abu Bakar (573-634) sebagai pemimpin umat Islam menggantikan

Nabi Muhammad SAW sehari setelah Nabi wafat. Kemudian berturut-turut

terpilih Umar bin Khattab (581-644), Utsman bin Affan (576-656) dan Ali bin

Abi Talib (601-661).5

Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW tidak memberikan tuntunan tentang

bagaimana suksesi yang harus dilakukan oleh umatnya untuk memilih dan

mengangkat kepala negara. Nabi Muhammad SAW menyerahkan urusan ini

sepenuhnya kepada umat, asalkan tidak melanggar pesan-pesan moral yang

terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Kalau dilihat dalam pengangkatan khalifah/kepala negara pada masa

Khlufa al-Rosidin, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama negara Islam

melalui sidang musyawarah di Bani Sa’idah, Umar bin Khatâb sebagai khalifah

kedua diangkat menjadi khalifah dengan pencalonan, Utsman bin Affân dipilih

sebagai khalifah ketiga berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh tim formatur

3 Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-

Qur’an, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 199. 4 Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1994), h. 49. 5 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,

1966, Cetakan Pertama), h. 919.

Page 31: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

16

dari majelis Syura, dan Ali bin Abi Talib dipilih sebagai khalifah keempat

berdasarkan pilihan yang dilakukan oleh sisa-sisa majelis syura.6

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ternyata dari pengalaman praktik

pengangkatan khalifah/kepala negara dalam Islam tidak selalu sama dan tidak

selalu seragam dalam sejarah.

Pada tataran praktis ini, bentuk dan pelaksanaan pemerintah tidak selalu

sama dalam sejarah umat Islam, karena dalam al-Qur’an dan dalam kenyataan

sejarah Nabi Muhammad SAW sendiri tidak memberikan tuntunan praktis tentang

bagaimana suksesi yang harus dilakukan dan bagaimana umatnya menjalankan

kehidupan politik dan kenegaraan.

Islam amat menekankan soal kepemimpinan. Menurut Islam,

kepemimpinan manusia yang dalam hal ini adalah seorang kepala negara

merupakan perpanjangan kekuasaan Allah yang dibebankan di pundak para Nabi

dan orang-orang pilihan-Nya. Oleh sebab itu, setiap kepala negara harus benar-

benar mematuhi apa-apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Nabi dan Rasul, juga sebagai

imam (pemimpin).7 Dan setelah beliau wafat Umat Islam mengangkat Abu Bakar

sebagai imam mereka. Oleh karena itu adalah logis bahwa dalam masyarakat yang

telah terbentuk dalam suatu komunitas sosial keagamaan yang demikian baik telah

memenuhi unsur kenegaraan, mengangkat pemimpin yang mengurus dan

mengatur berbagai kepentingan administrasi dan kenegaraan.

Namun memang secara tegas tidak ada nash yang menunjukan tentang

pengangkatan dan penggantian imam (kepala negara). Al-Qur’an hanya secara

umum memberikan isyarat mengenai prinsip musyawarah dalam setiap urusan

atau hal, termasuk masalah pemilihan kepala negara ini.8

Mengenai mekanisme pemilhan atau pengangkatan kepala negara ini ada

beberapa pendapat. Munawir Sjadzali ketika menjelaskan pendapat Ibnu Khaldun

6 Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, h. 51.

7 Muntoha, Kriteria Kepala Negara dalam Sistem Politik Islam (Telaah Sosio-Historis

Terhadap Hadits Politik), (Yogyakarta: UII Pres, 1996), h. 1. 8 Abdul Qadim Zalum, Nizam al-Hukmi fi al-Islam, (Beirut: Dar Ibn al-Kutaibah, 2002,

Cet. Pertama), h. 46.

Page 32: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

17

mengenai mekanisme pengangkatan kepala negara menyebutkan salah satu syarat

untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang

calon harus dipilih oleh ahlu halli wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai

kompetensi. Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara

akan sangan membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang

birokrasi, termasuk di dalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang

dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) Kekuatan

tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari

setiap ancaman atau gangguan dari luar.9

Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, Khilafah adalah aqad atas dasar

sukarela dan pilihan. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk menerima jabatan

khilafah, dan tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memilih khalifah. Seorang

yang berhak menjadi khalifah adalah sesorang yang diangkat oleh kaum Muslim.

Orang yang dibaiat sebagai Khalifah tidak disyaratkan kecuali memenuhi syarat

baiat in’iqad, dan tidak harus memiliki syarat keutamaan. Yang diperlukan adalah

syarat-syarat in’iqad.10

Pengangkatan khalifah sebagai kepala negara, dianggap sah jika

memenuhi tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan

memiliki kemampuan. Apabila jabatan khalifah kosong, atau karena meninggal

atau mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat

seorang pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari dengan dua malamnya

sejak kekosongan jabatan khalifah.11

Menurut Imam al-Mawardi, mekanisme/suksesi kekhalifahan tersebut

dapat dilakukan dengan dua cara:

1. Pemilihan dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, hal ini didasarkan atas

naiknya Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah atas

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI

Press, 1990), h. 102. 10

Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar

Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002), h.342. 11

Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, 346.

Page 33: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

18

terbentuknya dewan formatur ahlul halli wal aqdi oleh khalifah

sebelumnya (Umar bin Khattab).

2. Pencalonan yang dilakukan oleh Imam atau Khalifah sebelumnya, seperti

pencalonan khalifah Umar bin Khattab yang dilakukan oleh Khalifah

pendahulunya (Abu Bakar Siddiq).12

3. Sedangkan proses pengangkatan Abu Bakar Siddiq melalui pembaiatan

oleh Umar bin Khattab diikuti oleh Abu Ubaidah dan para sahabat lainnya

seperti Basyir bin Saad dan para pengikutnya.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf mekanisme pengangkatan kepala Negara

dilakukan dengan cara:

1. Penunjukan langsung oleh Allah. Muhammad SAW sebagai Nabi dan

Rasul memang dipilih langsung oleh Allah, tapi sebagai kepala Negara

beliau dipilih oleh para pemuka masyarakat madinah.

2. Memangku jabatan/penetapan seorang pemimpin melalui metode

pemilihan oleh dewan ahli yang lazim disebut ahlu halli wa al-aqdi.

3. Penunjukan oleh pemimpin sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Abu

Bakar dalam memilih Umar bin al-Khattab sebagai pengganti dirinya.

4. Revolusi atau kudeta yang dilakukan oleh sikap penentangan Muawiyah

terhadap Ali dimulai dari Ali dibai’at menjadi khalifah pengganti Ustman

bin Affan. Bahkan, kelompok Mua’wiyah kemudian disebut sebagai fi’ah

bagiyah (Kelompok Pemberontak) oleh kaum Sunni maupun Syi’i karena

memerangi khalifah Ali bin Abi Thalib yang telah diba’iat secara sah oleh

kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.13

1. Syarat-syarat Pengangkatan Kepala Negara

Imam Abdul Qodim Zalumi dalam kitabnya Nizam al-Hukmi fi al-Islam,

menjelaskan mengenai syarat-syarat pengangkatan kepala Negara, beliau

membaginya dalam 2 kriteria yaitu syarat in’iqad (syarat keabsahan akad

khilafah) dan syarat afdhaliyah (syarat-syarat keutamaan). Syarat In’iqad (syarat

12

Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al- Wilâyat al-Diniyyah, (Beirut: Dar

al-Fikr, 1966), h. 4. 13

Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Cet. II, diterjemahkan oleh Zainuddin

Adnan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 78-79.

Page 34: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

19

keabsahan akad khilafah) adalah: Muslim, Laki-laki, Baligh, Merdeka, Berakal,

Adil, Sehat jasmani dan rohani, seminimal mungkin ia masih dapat berdiri.

Sedangkan Syarat Afdaliyah (syarat-syarat keutamaan) adalah syarat-syarat yang

mengesahkan terwujudnya akad khilafah. Selain ketujuh syarat ini tidak ada

syarat lain yang layak dijadikan syarat in'iqad, meskipun mungkin saja

menjadi syurut afdaliyat (syarat-syarat keutamaan). Syarat afdaliyah ini bisa

ditetapkan jika didukung oleh nash-nash yang sahih atau termasuk kategori

hukum yang ditetapkan dengan nash yang sahih pula. Hal itu karena syarat-syarat

terwujudnya akad khilafah untuk seorang khalifah itu harus memiliki dalil yang

mengandung tuntutan yang tegas yang mengisyaratkan wajibnya syarat tersebut.

Oleh karena itu, jika suatu dalil tidak mengandung perintah yang tegas, maka

persyaratan itu akan menjadi syarat afdaliyah, bukan syarat in'iqad (syarat sahnya

akad khilafah). Dan tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah

tegas selain tujuh syarat ini. Oleh karena itu, tujuh syarat ini sajalah yang menjadi

syarat sahnya akad khilafah. Selain tujuh syarat itu hanya menjadi

syarat afdaliyah semata.14

Abu Ja’al Hanbali menyebutkan syarat pengangkatan Kepala Negara ada

empat syarat, yaitu:

1) Keturunan Orang Quraisy.

Memang tidak hanya beliau saja yang menyebut akan kriteria yang

satu ini, kebanyakan para ulama pun memasaukan kriteria terebut. Hal

ini menegaskan bahwa Quraisy adalah suku yang memiliki kekuatan

dan pengaruh yang kuat, sehingga akan mudah untuk menjadi

pemimpin

2) Memiliki syarat-syarat seorang Hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal,

berilmu, dan adil.

3) Mampu memegang kendali di dalam maslah-masalah peperangan,

siyasah, dan pelaksanaan hukuman.

4) Orang yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.15

14

Abdul Qadim Zalum, Nizam al-Hukmi fi al-Islam, h. 49-51. 15

Abu Ja’la, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 2000), h. 6.

Page 35: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

20

Sedangkan Ibnu Khaldun menyebutkan syarat pengangkatan Kepala

Negara juga ada empat syarat, yaitu:

1) Memiliki Ilmu pengetahuan

2) Adil

3) Mampu melaksanakan tugas, termasuk kearifan

4) Sehat jasmani dalam arti panca inderanya dan anggota badan lainnya.16

2. Aturan-aturan Pengangkatan Kepala Negara

Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga

menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah

dengan bai’at. Bai’at menurut Ibnu Khaldun adalah “perjanjian orang berbai’at

untuk taat melakukan sumpah kepada pemimpinnya bahwa ia akan

menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa

perintah yang disenangi atau tidak disenangi.”17

Kesimpulan ini didasarkan pada

baiat kaum Muslimin kepada Rasulullah SAW dan perintah beliau kepada kita

untuk membaiat seorang khalifah. Bai’at kaum Muslimin kepada Rasulullah SAW

bukanlah bai’at atas kenabian, tetapi bai’at atas pemerintahan. Masalah bai’at ini

juga tercantum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Allah SWT berfirman dalam surat al-Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi:

نات ي باييعنك على أن ل يشريكن بياللهي شيئا ول يسريق إيذا جاءك المؤمي ن ول ي زنيني ول يا أي ها النبي

ينك في معروف ف باييعهن ي قت لن أولدهن ول يأتيني بيب هتان ي فتيينه ب ني أيدييهين وأرجليهين و ل ي عصي

(.21: سورة املمتحنة. )…واست غفير لن الله

Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang

beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan

mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan

berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang

mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan

mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan

16

A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu

Syari’ah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 31. 17

A. Rahman Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van

Heave, 2006), h. 179.

Page 36: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

21

mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka” (QS. al-Mumtahanah {60}:

12)

Syarat-syarat yang disebutkan dalam ayat ini adalah syarat dalam

pembaiatan wanita, dimana mereka berbaiat untuk menjalankan kewajiban yang

berlaku bagi laki-laki maupun wanita di setiap waktu, adapun laki-laki maka

kewajiban mereka berbeda-beda sesuai keadaan mereka dan tingkatan mereka dan

yang harus mereka kerjakan. Maka Nabi SAW menjalankan perintah Allah

tersebut, oleh karenanya ketika wanita datang, maka Beliau membaiat mereka dan

mewajibkan mereka memenuhi syarat-syarat itu, menutupi kesedihan mereka dan

memintakan ampun kepada Allah untuk mereka terhadap hal yang mungkin

terjadi berupa sikap kurang memenuhi hak, serta memasukkan mereka ke dalam

golongan kaum mukmin.

Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang

mengatakan:

أ ن ع معي و الطاعةي في منشطينا و اي عنا على الس ب : ال ق -رضي اهلل عنه -تي امي الص ني ب ة اد عب دي ي لي الو بي

نامكر نا أث رة و يسرينا و عسرينا و هي ن اهلل اهله إيل أن ت روا كفرا ب و ع األ مر أ لن نازي وأن علي حا عيندكم مي

.18(متفق عليه)" .…هان ب ر هي ي في

Artinya: “Dari Abi al-Walid Ubadah bin al-Shamit R.A., Berkata: Kami membaiat

untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci, keadaan

lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut

kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang

kalian memiliki dalil jelas dari Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kepatuhan rakyat ketika telah memilih seseorang untuk menjadi khalifah

adalah wajib dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan senang atau susah serta

dalam keadaan sempit maupun lapang. Namun, ketika melihat kekufuran yang

benar-benar nyata pada diri seorang khalifah, maka rakyat bisa mencabut

kekuasaan tersebut dari pemegangnya yang sesuai dalil yang jelas dari Allah.

18

Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Syarah Riyadh al-Shalihin, Jilid II, (Riyadh: Madar

al-Wathan li al-Nasr, 2010), h. 419.

Page 37: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

22

Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa bai’at

merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah

memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam

pengangkatan al-khulafa’ al-rasyidun.

B. Mekanisme Pemakzulan Kepala Negara

Mengenai mekanisme pemakzulan, dalam Islam tidak ditemukan

penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqih

siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian

kepala negara. Karena kepala Negara memiliki peranan yang penting dalam

memimpin suatu wilayah.

Kelompok Mu’tazilah, kalangan Khawarij, dan Zaidiyah berpendapat

bahwa kepala negara yang telah menyimpang dan tidak layak lagi menjabat, maka

ia diberhentikan dengan paksa, diperangi atau dibunuh. Golongan Khawarij

berpendapat, “Kepala negara yang telah berubah perilaku baiknya dan

menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib dipecat atau dibunuh.”19

Sedangkan

kelompok Mu’tazilah percaya bahwa kepala negara dapat digantikan apabila

berbuat fasik, meskipun belum sampai pada tingkat murtad atau zalim.20

Abu

Bakr al-Asam, pemuka Mu’tazilah juga berpendapat menyingkirkan kepala

negara yang durhaka dengan kekuatan senjata adalah wajib, apabila telah

ditemukan kepada negara lainnya yang lebih adil sebagai penggantinya.21

Menurut Al-Baghdadi sebagaimana dikutip oleh J Suyuthi Pulungan

menjelaskan bahwa seorang kepala negara yang tanpa cacat dan tindakannya tidak

bertentangan dengan syari'at umat wajib mendukung dan mentaatinya. Tapi bila ia

menyimpang dari ketetapan syari'at, masyarakat harus memilih di antara dua

tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat salah kepada

kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.

Menurut Al-Juwaini, kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh

19

Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII

Press, 2007) h. 276. 20

Mumtaz Ahmad, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Penerjemah Ena Hadi, Cet III,

(Bandung: Mizan 1996), h. 104. 21

Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan,h. 276.

Page 38: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

23

memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam

dirinya yang membolehkannya untuk itu. Hal ini telah menjadi kesepakatan.

Apabila ia fasiq dan fajir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil), maka

memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada dasar

hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.22

Pemberhentian kepala negara dari jabatannya menurut Imam Al-Mawardi

yaitu ketika kepala negara telah keluar dari kompetensi sebagai kepala negara,

yang dimaksud keluar dari kompetensi disini adalah pemimpin telah melakukan

perbuatan yang merugikan negara/rusaknya kridibilitas kepala negara dan

terjadinya ketidak lengkapan pada anggota tubuh.23

C. Syarat-syarat Pemakzulan Kepala Negara

Jika khalifah telah melaksanakan semua hak-hak umat yang menjadi

kewajibannya, maka ia berhak mendapatkan haknya dari umat yaitu untuk ditaati

dan ditolong selagi ia tetap dalam kebenaran. Khalifah berhak memegang tugas

sebagai kekhalifahan sampai meninggal akan tetapi ada beberapa kondisi yang

dapat menjadikan khalifah kehilangan haknya dan terancam untuk dimakzulkan.

Kondisi tersebut adalah:24

1. Cacat dalam keadilan

Adapun cacat dalam keadilan atau fisik terbagi menjadi dua bagian,

yaitu:

a) Pertama, fasik karena syahwat terkait dengan tindakan-tindakan

tubuh , maksudnya mengerjakan larangan dan kemungkaran karena

mengikuti syahwat dan tunduk kepada hawa nafsu. Karena

kefasikan ini ia tidak dapat duduk mejadi khalifah, dan jika ia telah

didaulat menjadi khalifah maka ia harus dengan rela hati

diturunkan. Jika ia telah kembali kepada keadilan, ia tidak dapat

menjadi khalifah kecuali dengan bai’at yang baru. Ada sebagian

ulama’ fiqh yang berpendapat bahwa jika khalifah terjatuh dalam

22

J Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1995), h. 261-262. 23

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Dar al-Falah, 2007), h.26. 24

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.26.

Page 39: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

24

kefasikan dan sebelum dimakzulkan khalifah telah bertaubat maka

ia berhak melanjutkan kekhalifahan.25

b) Kedua, adalah terkait dengan keyakinan yang ditafsirkan dengan

syubhat. Ia menafsirkan syubhat dengan tidak sesuai kebenaran.

Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Sebagian mengatakan

bahwa syubhat menyebabkan seseorang dilarang diangkat menjadi

khalifah dan membatalkan imamah yang dipimpinnya. Sebagian

besar ulama’ basrah berkata, “Sesungguhnya syubhat tidak

menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi khalifah dan ia

tidak harus mundur dari kekhalifahan, sebagaimana syubhat tidak

membatalkan jabatan hakim dan saksi.” Jumhur fuqaha’

menetapkan kaidah umum bahwa umat Islam berhak meurunkan

khalifah dari jabatannya dengan alasan ia telah melakukan

kefasikan atau syubhat atau hal-hal lain yang bisa dijadikan alasan

legal untuk melepas dari jabatannya.26

2. Cacat tubuh pada khalifah

Adapun cacat tubuh pada khalifah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a) Pertama, hilangnya salah satu dari panca indra (naqshul hawas).

Orang yang tidak mempunyai kemampuan melihat tidak boleh

diangkat menjadi khalifah, begitu juga jika kecacatan itu terjadi

setelah ia menjabat sebagai khalifah maka ia harus turun dari

jabatannya. Adapun cacat tuli dan bisu ulama’ bersepakat bahwa

orang yang tuli dan bisu tidak dapat diangkat mejadi khalifah.

Akan tetapi mereka berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut

terjadi setelah menjabat menjadi khalifah. Sebagian berpendapat

bahwa ia tetap sah menjadi khalifah dan sebagian yang lain

membatalkan.

b) Kedua, hilangnya anggota badan (naqshul a’dha’i). Hilangnya

sebagian anggota tubuh ada yang mengakibatkan pengangkatan

25

Said Hawwa, Al-Islam, (Jakarta: al-I’tisham, 2005), h.499. 26

Said Hawwa, Al-Islam, h.499.

Page 40: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

25

khalifah tidak sah baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau

sesudah bai’at. Yang termasuk kategori ini adalah hilangnya

anggota badan yang menyebabkan pekerjaan tidak bisa

dilaksanakan. Seperti hilangnya kedua tangan, hilangnya kedua

kaki. Ada perbedaan pendapat ulama’ apabila anggota badan yang

hilang tidak mengganggu pekerjaan.

c) Ketiga, tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan aktivitas

kekhalifahan (naqshut tasharruf). Kondisi ini bisa terjadi karena

adanya pihak lain yang mengendalikan (al-hijr) atau karena adanya

tekanan dan paksaan dari pihak lain (al-Qahr). Maksud al-hijr

adalah adanya pihak lain semisal kawan atau saudara khalifah yang

mengendalikan dan berperan dalam menetukan kebijakan

kekhalifahan. Akan tetapi jika yang mengendalikan termasuk orang

salih dan kebijakan yang diambil bermanfaat dan tepat untuk

kemaslahatan umat maka hal tersebut tidak mengganggu

kedudukan khalifah.27

D. Hukum Pemakzulan Kepala Neagara

Jika seseorang menduduki kepemimpinan negara Islam tidak berarti

bahwa ia tetap akan menjadi kepala negara tanpa ada yang boleh menggangu

gugat. Apapun yang terjadi, dan apapun yang ia lalukan, jika bertentangan dengan

syari’at Islam, maka bisa diberhentikan.28

Khalifah secara otomatis akan

diberhentikan, manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan

perubahan yang langsung mengeluarkan dari jabatan khilafah.

Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan

dalam dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari

jabatan khilafah, namun menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya.29

Para Yuris Muslim menyebutkan bahwa integritas pribadi (al-‘adalah) yang rusak

27

Said Hawwa, Al-Islam, h.500-501. 28

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Terjemah dari Musthalah

Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 174. 29

Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin Sejarah dan Realitas

Empirik; Terjemah dari Moh. Mahfud Wachid, Kitab Nidhamul Hukmi fil Islam, (Bangil: Al-

Izzah, 1996, Cet. Pertama), h. 135.

Page 41: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

26

dan cacat fisik, merupakan alasan yang sah diberhentikannya kepala negara.

Alasan lain berhentinya seorang khalifah adalah karena meninggal dunia,

pengunduran diri, tertawan musuh, murtad, hilang akal karena pikun atau gila.

Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun

zalim, lebih bagik bagi rakyat daripada mereka harus hidup tanpa kepala Negara.

Dia meminjam suatu ungkapan bahwa “enam puluh tahun dibawah kepala

Negara yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa kepala Negara”.

Bahkan dia memberi dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya.

Demi ketentraman dan menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi

alasan utama untuk tidak menjatuhkan kepala Negara yang melakukan

penyimpangan.30

Abdul Qadim Zallum membuat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:

1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari

jabatannya, yaitu terdiri dari;

a) Kalau khalifah murtad dari Islam:31

Apabila imam keluar dari

agama Islam riddah (seperti jika ia secara terus terang

mengeluarkan kata-kata kufur atau mengingkari salah satu prinsip

agama Islam, atau mendustakan al-Qur’an atau menafsirkan ayat

al-Qur’an menurut seleranya sendiri dan bertentangan dengan

maksud yang disepakati, atau melakukan perbuatan yang jelas-jelas

menunjukkan kekufuran maka dengan sendirinya keabsahan

imamah-nya telah gugur.32

b) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan/33

hilang akal; apabila imam kehilangan akal atau terganggu

mentalnya sehingga membuatnya gila dalam waktu pendek atau

lama maka imam dalam hal ini keluar dari imamah dan berhak

diberhentikan.34

30

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Seejarah dan Pemikiran, Cetakan

ke-5, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 89. 31

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275. 32

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 176. 33

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 276. 34

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 174.

Page 42: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

27

c) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat,35

yaitu jatuh di bawah

kekuasaan dan cengkraman musuh, ia digerakkan olehnya

semaunya sehingga tidak bisa mengatur lagi urusan kaum

muslimin sebagaimana yang dikehendaki.36

2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis

mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh

mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari:

a) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan

kefasikan terang-terangan.

b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau

waria.37

c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh

terkadang gila.

35

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275. 36

Taqqiyuddin al-Nabhâni, Sistem Pemerintahan Islâm; Doktrin Sejarah dan Realitas

Empirik; h. 139. 37

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275.

Page 43: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

28

BAB III

FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA

TENTANG PEMAKZULAN KEPALA NEGARA

A. Pengertian Bahtsul Masail

Selama ini NU dianggap sangat hati-hati dalam merespon perkembangan

hukum yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sebagian pengamat menganggap

wacana pemikiran hukum NU mengarah pada proses penutupan ijtihad. Ide-ide

baru yang dikembangkan dalam pemikiran hukum NU sekarang ini menjadi lebih

progresif dan transformatif dengan tawaran pemikiran-pemikiran para Kiai NU

khususnya kalangan muda yang sangat terbuka dan kritis dengan wacana-wacana

baru yang berkembang sekarang ini. Mereka mengembangkan pemikiran kritis

yang interpretatif, metodologis dan filosofis.1

Dengan pemikiran yang interpretatif atas teks-teks fikih yang ada, para

kiai akan mengetahui latar pemikiran khazanah-khazanah klasik yang telah

menjadi bahan perbincangan primer kiai. Begitu juga secara metodologis,

pemikiran fiqih tidak lagi terkungkung dengan rujukan teks (qauli) saja, tetapi

harus diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) konteks. Atau dengan kata

lain berfikih tidak harus secara teks (madzhab qauli) tetapi juga dengan

metodologi yang kontekstual (manhaj). Sedangkan wacana filosofis merupakan

alternatif baru dalam mengembangkan fikih manhaji yang mulai dipakai oleh para

kiai NU.2

Pembahasan masalah-masalah duniawi yang berhubungan dengan konteks

fikih tentunya untuk menghasilkan suatu hukum, dalam organisasi Nahdhatul

Ulama‟ dikenal dengan nama Bahtsul Masail.

Bahtsul Masail adalah pembahasan permasalahan dalam masyarakat yang

diselesaikan dengan solusi fikih bersandarkan pada kitab-kitab fikih, metode ini

berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama‟ dan pesantren-pesantren salaf. Dengan

kata lain Bahtsul masail merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang

1 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LkiS, 1994), h. v.

2 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, h. vi.

Page 44: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

29

muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam

agama. Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fikih dan kalangan

profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya.3

Dengan demikian dalam mengkaji dan menetapkan jawaban permasalahan

yang dihadapi, NU membahasnya dengan cara-cara yang dipegang oleh madzhab,

yakni dengan menelusuri dahulu penjelasan-penjelasan ulama‟ dalam kitab-kitab

madzhab yang berkaitan dengan permaslahan tersebut, dengan tetap memegang

pada sumber-sumber hukum Islam Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah; al-Qur‟an, al-

Hadits, Ijma‟ dan Qiyas. Inilah yang dilakukan NU dalam proses istinbath hukum

dalam Bahtsul Masa‟il.4

B. Kedudukan Fatwa Bahtsul Masail

Mengenai sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa‟il di

lingkungan Nahdhatul Ulama sesuai dengan keputusan Munas Alim „Ulama

Nahdlatul „Ulama yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16–20

Rajab 1412 H./21–25 Januari 1992 M. yaitu:

1. Ketentuan Umum

a. Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu’tabarah, yaitu

kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai engan akidah Ahl al-

sunnah wa al-Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke XXVII).5

b. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qauli adalah mengikuti

pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab

tertentu.

c. Yang dimaksud bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab

dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang

telah disusun oleh imam madzhab.6

d. Yang dimaksud dengan istinbat adalah mengeluarkan hukum

syari‟at dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id

fiqhiyyah.7

3 Kata Pengantar oleh KH. Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fiqih NU, editor M.

Imadun Rahmat, (Jakarta: LAKSPENDAM NU, 2002), h. x-xi. 4 LP. Ma‟arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulamâ’, edisi II, (Semarang: LP. Ma‟arif NU,

2002), h. 54. 5 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, dalam

Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il,

(Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 174. 6 Imam Yahya, Akar Sejarah Bathsul Masa’il: Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun

Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, (Jakarta:

Lakpesdam, 2002), h. 7-8. 7 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 182.

Page 45: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

30

e. Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab.

f. Yang dimaksud dengan wajh adalah pendapat ulama madzhab.

g. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara kolektif

untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa

qaul/wajah.8

h. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazha’iriha)

adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum

dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah

dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah

“jadi”).9

i. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk

membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul”

masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil

pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.

j. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu

bahtsul masa‟il oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau

Muktamar NU.

2. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum

a. Prosedur Penjawaban Masalah

Keputusan bahtsul masa‟il di likungan NU dibuat dalam kerangkan

bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan

mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur

penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:

1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab dan

di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah

qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.

2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab dan

di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan

taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.

3) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang

memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-

masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya.

4) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak

mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbat jama’i

dengan prosedur bermadzhab secara manhaji olah para

ahlinya.10

b. Hirarki dan sifat keputusan bahtsul masail

1) Seluruh keputusan bahtsul masa‟il di lingkungan NU yang

diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam

8 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 177.

9 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 179.

10 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 168-169.

Page 46: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

31

keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur oraganisasi

maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan

tidak saling membatalkan.

2) Suatu hasil keputusan bahtsul masa‟il dianggap mempunyai

kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus

Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama

maupun Muktamar.

3) Sifat keputusan dalam bahtsul masa‟il tingkat Munas dan

Muktamar adalah:

a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan

sebelumnya dan/atau,

b) Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan

mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.

c. Kerangka Analisis Masalah

Terutama dalam memecahkan masalah sosial, bahtsul masa‟il

hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah (yang

sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara lain sebagai

berikut:

1) Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari

berbagai faktor):

a) Faktor ekonomi

b) Faktor budaya

c) Faktor politik

d) Faktor sosial dan lainnya

2) Analisa dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan

oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari

berbagai aspek) antara lain:

a) Secara sosial ekonomi

b) Secara sosial budaya

c) Secara sosial politik

d) Dan lain-lain

3) Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah

mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala

bidang). Di samping putusan fikih/yuridis formal, keputusan ini

juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif

a) Status hukum (al-ahkam al-khamsah/sah-batal)

b) Dasar dari ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

c) Hukum positif

4) Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus

dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas). Kemudian

siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di

mana hal itu hendak dilakukan, serta serta bagaimana

mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan

rencana.

Page 47: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

32

a) Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara

dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah).

b) Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan

kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan

forum seperti pengajian dan lain-lain).

c) Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).

d) Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan

masyarakat lingkungan dan seterusnya).11

3. Petunjuk Pelaksanaan

a. Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah

1) Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang

sama maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.

2) Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:

a) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau

yang lebih kuat.

b) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan

Muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat

diselesaikan dengan memilih:

(1) Pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhani

(alNawawi dan Rofi‟i).

(2) Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja.

(3) Pendapat yang dipegang oleh al-Rifa‟i saja.

(4) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama

(5) Pendapat ulama yang terpandai.

(6) Pendapat ulama yang paling wara‟.

b. Prosedur Ilhaq

Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam

kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur

ilhaq al-Masa’il bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan

dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq

oleh para mulhiq yang ahli.

c. Prosedur Istinbat

Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak

adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab,

maka dilakukan istinbat secara jama’i, yaitu dengan

mempraktekkan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah oleh

para ahlinya.12

11

Marzuki Wahid, Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU, Tatapan reflektif, dalam

Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il,

(Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 82. 12

Khotib Sholeh, Menyoal Efektifitas Bahtsul Masa’il, dalam Imdadun Rahmat (eds.),

Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), h.

238.

Page 48: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

33

C. Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masail

Dalam kalangan NU, metode penetapan hukum diartikan bukan

mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur‟an

dan al-Sunnah, tetapi dilakukan dengan memaparkan secara dinamis nash-nash

yang telah dielaborasi fuqoha’ kepada persoalan (waqi’iyah) yang dicari

hukumnya.13

Dalam menghadapi masalah serius kekinian yang di masa lalu

peristiwa itu belum pernah terjadi, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar

Nahdhatul Ulama (LBM-PBNU) selalu meminta penjelasan terlebih dahulu

kepada para ahlinya.14

Sistem pengambilan keputusan bahtsul masail NU dibuat dalam kerangka

bermadzab pada salah satu madzab empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi).

Adapun metode yang digunakan dalam kerja bahtsul masail ada tiga macam,

ketiga metode tersebut diterapkan secara berjenjang, yaitu:

1. Metode qouli

Metode ini suatu cara penetapan hukum yang digunakan oleh ulama‟

NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari

jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari madzab empat.15

Prosedur

penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:

a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan

hanya terdapat satu qoul/wajh maka dipakailah qoul/wajh itu.

b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan

disana ada lebih dari satu qoul/wajh maka dilakukan taqrîr jama’i

(upaya kolektif untuk menetapkan pilihan) untuk memilih satu

qoul/wajh.16

13

Imâm Yahya, Metode Ijtihâd NU, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 47. 14

Soleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, (Surabaya: Khalistha, 2007), h.

36. 15

Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 84. 16

Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis, h. 86.

Page 49: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

34

Contoh:

Penerapan metode Qauliy adalah keputusan Muktamar I

(Surabaya, 21-23 September 1926).17

(Soal): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk

pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu

semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?

(Jawab): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan

“sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun

kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).

Adapun prosedur pemilihan qaul/wajh ketika dalam satu masalah

dijumpai beberapa qaul/wajh dilakukan dengan memilih salah satu

pendapat dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Mengambil pendapat yang lebih maslahah dan lebih kuat

2) Menyelesaikan dengan cara memilih:

a) Pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (Imam al-

Nawawi dan Imam al-Rafi‟i)

b) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama‟

c) Pendapat ulama‟ yang terpandai

d) Pendapat ulama‟ yang paling wara’.18

2. Metode ilhaqi

Metode ilhaq yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang belum

dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang telah dijawab oleh

kitab. Metode ini dipakai apabila metode qouli tidak dapat

dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab

mu’tabar. Prosedur ilhâq adalah dengan memperhatikan ketentuan

sebagai berikut:

a) Mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya)

b) Mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya)

17

Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, Juz I, (Semarang: Toha

Putra, t.th), h. 9. 18

Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999,

(Yogyakarta, LKiS, 2004, Cet. Pertama), h. 119.

Page 50: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

35

c) Wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan

mulhaq ‘alaih).

Contoh:

Penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada

Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hukum

jual-beli petasan.19

(Soal): Sahkah jual beli petasan untuk merayakan hari Raya

atau Penganten dan lain sebagaina?

(Jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada

maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan

hati dengan suara petasan itu.

Metode penjawaban permasalahan secara ilhaqi ini dalam

prakteknya mirip qiyas, oleh karena itu dinamakan metode qiyas

versi NU. Ada perbedaan mengenai qiyas dan ilhaq. Qiyas adalah

menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan

sesuatu yang sudah ada ketetapannya berdasarkan nash al-Qur‟an

dan al-Sunnah, sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum

sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah

ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar).20

3. Metode manhaji

Metode manhaji adalah metode dengan mengikuti jalan pikiran dan

kaidah penetapan hukum yang disusun oleh imam madzhab dengan

menggunakan kaidah-kaidah pokok (al-Qowaid al-Ushuliyah). Metode

manhaji ini dilakukan dengan melalui ijtihad jama’i (upaya pemilihan

secara kolektif berdasarkan kaidah ushuliyyah). Metode ini dipakai

apabila kasus fiqih tersebut tidak bisa dipecahkan dengan ilhaq maka

NU memutuskan: “dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhâq

karena tidak adanya mulhâq bih sama sekali dalam kitâb maka

dilakukan penetapan hukum secara jama’i”. Secara sederhana dalam

19

Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, h. 24-25. 20

Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 84-89.

Page 51: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

36

metode ini, NU menggunakan beberapa metode yaitu metode bayani,

ta’lili (qiyasi) dan istislahi.21

Contoh:

Penerapan metode manhajiy/istimbat adalah keputusan

kongres/Muktamar I (1926):22

(Soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?

(Jawab): Dapat!

D. Fatwa Bahtsul Masail Tentang Pemakzulan

Ulama‟ sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia

menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang

dibenarkan. Permasalahan muncul ketika seorang pemimpin seperti presiden,

gubenrnur atau bupati dipilih dengan basis dukungan suara terbanyak. Apalagi

dukungan suara terbanyak dianggap segala-galanya. Anggapan seperti ini

berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Sebagaimana

yang sering terjadi di masyarakat, kesalahan sedikit seorang pemimpin digunakan

alasan untuk upaya memberhentikan kepemimpinannya. Atau sebaliknya

pemimpin yang melakukan kesalahan besar, oleh karena mempunyai dukungan

politik dan suara yang besar tetap dipertahankan. Hal seperti ini terjadi baik pada

kepemimpinan di tingkat pusat, propinsi dan daerah. Satu sisi bisa membuat

pemimpin hati-hati, tapi di sisi lain pemimpin yang lain merasa tenang karena

mendapat dukungan kuat sekalipun mengabaikan kebenaran.23

- Masalah:

1. Apa sebab-sebab pemimpin boleh diberhentikan?

2. Jika seorang pemimpin telah melakukan hal-hal yang

menyebabkan ia bisa diberhentikan, bagaimana proses tahapan

pemberhentiannya?

- Jawaban:

1. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang

menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata

melanggar konstitusi

21

Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, (Jakarta:

Lembaga Ta‟lif Wan Nasyr PBNU, 2016), h. 153. 22

Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, h. 16-17. 23

Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, h. 132-133.

Page 52: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

37

2. Apabila telah terbukti dan ditetapkan secara hukum pemimpin

maka boleh dimakzulkan dengan cara:

a) Direkomendasikan untuk mengundurkan diri

b) Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau

bertaubat maka bisa dimakzulkan dengan aturan yang

konstitusional selama tidak menimbulkan madharrat yang

lebih besar.

c) Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum

melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat diberhentikan,

maka proses tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan

konstitusi yang ada.24

- Dasar pengambilan keputusan:

1. Raudhah al-Talibin, Juz VIII, hlm. 369-370

2. Al-Mawaqif

3. Syarh al-Nawawi ‘ala Sahih Muslim

4. Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, Juz 5, hlm. 331

24

Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, h. 133-134.

Page 53: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

38

BAB IV

PEMAKZULAN KEPALA NEGARA

DALAM FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA

DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM

A. Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden

Dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama

(LBM-PBNU) tentang pemakzulan (pemberhentian) Kepala Negara,

menyimpulkan dua point khusus. yaitu:

1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang

menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata

melanggar konstitusi,

2. Apabila telah terbukti dan ditetapkan secara hukum pemimpin maka boleh

dimakzulkan dengan cara:

a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;

b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertaubat

maka bisa dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional selama

tidak menimbulkan madharrat yang lebih besar;

c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum

melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat diberhentikan, maka

proses tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan konstitusi

yang ada.1

Dari fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama

(LBM-PBNU) di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang

menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata

melanggar konstitusi;

2. Pemimpin yang telah nyata-nyata melanggar konstitusi dapat

dimakzulkan dengan cara direkomendasikan untuk mengundurkan diri

dari jabatannya;

3. Pemimpin yang telah nyata-nyata melanggar konstitusi, jika tidak enggan

untuk mengundurkan diri, maka dapat dimakzulkan sesuai dengan

1 Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, (Jakarta:

Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 2016), h. 133-134.

Page 54: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

39

konstitusional yang berlaku di wilayah tersebut dengan syarat tidak

menimbulkan mudharat yang lebih besar; dan

4. Proses pemberhentian pemimpin yang telah terbukti dan ditetapkan secara

hukum telah melakukan hal-hal yang menyebabkan ia dapat diberhentikan

sesuai dengan tahapan konstitusi yang ada.

Imam al-Nawawi dalam kitabnya Raudhatu al-Thalibin wa Umdatu al-

Muftin berpendapat bahwa tidak ada alasan yang membenarkan untuk

menurunkan seorang pemimpin dari jabatannya dengan tanpa sebab. Apabila hal

tersebut terjadi, maka ia masih berstatus sebaga pemimpin yang sah meskipun ia

mengundurkan diri. Namun, jika ia mengundurkan diri dengan alasan bahwa ia

sudah tidak mampu untuk menegakan segara urusan untuk umat, maka hal

tersebut dapat dibenarkan. Kemudian, jika seorang pemimpin menunjuk orang

lain untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin sebelum ia mengundurkan

diri, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, Imam al-Mutawallî

berkata: pengunduran dirinya sah, karena keadaan tersebut dapat membahayakan

kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Kedua, Imam al-Mawardi berpendapat tidak

sah, karena seseorang yang menggantikannya tersebut tidak mewakili pemimpin

secara pribadi akan tetapi mewakili umat.2

Menurut Al-Juwaini, kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak

boleh memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu

dalam dirinya yang membolehkannya untuk itu. Hal ini telah menjadi

kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fajir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil),

maka memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada

dasar hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.3

B. Pemakzulan Presiden Menurut Hukum Tata Negara Islam

Konsep ketatanegaraan Islam mengharuskan dan mewajibkan untuk

menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar hukumnya dalam

menjalankan roda pemerintahan. Hubungan yang erat antara Islam dan politik

2 Imam al-Nawawi, Raudhatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftin, Juz. IX, Cet. III,

(Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1991), h. 48. 3 J Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Pt. Raja

Grafindo Persada, 1995), h. 261-262.

Page 55: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

40

merupakan suatu hal yang tidak bisa dibantahkan lagi. Keterkaitan ini mulai

terwujud dalam hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah yang

membawa misi Ilahiah, oleh karena Rasulullah SAW. pada saat itu belum

mendapat kekuatan dan kekuasaan untuk menyebarkan agama Islam, baik dari

sisi kekuatan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan untuk

menguasai Mekkah.4

Prinsip egaliter yang dimiliki oleh Islam harus dapat dipraktekkan

kedalam kehidupan bernegara. Islam sebagai agama, tidak memberikan contoh

bernegara yang spesifik untuk dijalankan, yang ada hanya cara menjalankan

proses bernegara yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.5 Oleh karena itu

prinsip musyawarah dan tanggung jawab menjadi asas utama dalam konsep

ketatanegaraan Islam yang menjadi jalan untuk dapat menegakkan keadilan, serta

menjaga kedaulatan bersama.6 Selain kedua hal tersebut, prinsip persamaan dan

prinsip kebebasan juga menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan untuk dapat

menghindarkan perbedaan kelas serta perbuatan sewenang-wenang yang

ditunjukkan oleh pemerintah, dan untuk menjaga roda pemerintahan yang

mengedepankan transparansi dengan dapat mengkritik kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh kepala negara atau khalifah jika kebijakannya tidak sesuai

dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.

Khalifah sebagai pemimpin, wakil Allah swt. dalam hal memimpin umat

Islam untuk menjalankan sistem pemerintahan dan proses bernegara yang dipilih

oleh perwakilan rakyat atau ahlul halli wal aqdi melalui cara sistem vote atau

dengan cara pem-bai’at-an. Khalifah atau kepala negara sebagai pemimpin harus

dapat menjadi panutan dan mencontohkan sikap yang tercantum dalam al-Qur’an

dan al-Sunnah. Hal demikian wajar karena sebagai pemimpin telah lolos dari

syarat dan ketentuan untuk menjadi khalifah atau kepala negara telah disepakati

4 Moch. Qasim Mathar, Politik dalam Sorotan: Ketegangan antara Pemikiran dan Aksi,

(Makassar: Melania Press, 2004), h. 37. 5 Qamaruddin Khan, Political Concept in the Qur’an terj. Taufik Adnan Amal, Teori

Poliik Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka: 1987), h. 9 dan 12; dikutip dalam J. Suyuthi Pulungan,

Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 54 6 Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik

Hukum Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 30.

Page 56: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

41

bahwa untuk menjadi pemimpin negara mempunyai syarat yaitu adil, memiliki

kemampuan untuk berijtihad untuk dapat menyelesaikan kasus, semua panca

inderanya sehat dan baik, semua organ tubuhnya sehat dan baik, memiliki ide dan

gagasan yang mumpuni untuk dapat membangun negara, serta yang terakhir yaitu

memiliki sikap keberanian untuk menjaga kedaulatan negara dan hukum syara‟.7

Keenam syarat tersebut merupakan perjanjian atau kontrak sosial dari

masyarakat yang dipimpin oleh Al-Mawardi pada saat itu. Syarat-syarat tersebut

dapat saja berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan negara yang menjadikan

bangsanya sebagai negara yang mendasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai

landasan bernegaranya. Namun, keenam syarat itu dapat saja memberhentikan

khalifah atau kepala negara jika salah satu dari syarat yang disebutkan tadi

dilanggar, atau melanggar kontrak sosial yang telah disepakati bersama oleh

rakyat yang dipimpinya. Dari beberapa pendapat ulama, setidaknya terdapat dua

belas faktor yang menyebabkan khalifah atau kepala negara untuk dapat

dimakzulkan:

1. Melanggar Syari’at Islam.

2. Melanggar konstitusi.

3. Melanggar hukum.

4. Menyimpang dari keadilan

5. Kehilangan panca indera dan/atau organ-organ tubuh lainnya.

6. Kehilangan wibawa dan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh

orangorang dekatnya.

7. Tertawan musuh.

8. Menjadi fasik atau jatuh ke dalam kecenderungan syahwat.

9. Mengganti kelamin.

10. Sakit jiwa yang tidak bisa disembuhkan atau cacat mental

11. Menderita sakit keras yang tidak ada harapan untuk dapat sembuh total.

12. Murtad dari Islam.8

Faktor-faktor tersebut merupakan alasan yang tidak dapat disangkal lagi

jika keduabelas hal tersebut, atau satu bahkan beberapa diantara faktor tersebut

terbukti dilakukan oleh seorang khalifah, maka pemakzulan tersebut harus

7 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, terj. Khalifurrahman Fath dan

Fathurrahman, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press,

2015, Cet. Pertama), h. 11. 8 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 183.

Page 57: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

42

dilaksanakan pemberhentian kepala negara, dan menggantikannya dengan

pemimpin atau kepala negara yang baru untuk dapat menjalankan kembali roda

pemerintahan negara.

Prosedur pemberhentian khalifah atau kepala negara dapat dilakukan

dengan terlebih dahulu mendapatkan usul dari rakyat atau dari ahlul halli wal

aqdi kemudian lembaga tersebut memberikan wewenang kepada mahkamah

mazhalim untuk mengkroscek apakah benar atau tidak benar bahwa khalifah telah

melanggar dari ketentuan hukum Islam dan/atau telah melakukan perbuatan yang

tidak bermoral. Jika mahkamah mazhalim memutuskan bahwa benar khalifah

atau kepala negara tersebut melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan tersebut,

maka sidang istimewa dilaksanakan oleh lembaga ahlul halli wal aqdi untuk

memberikan keputusan pemakzulan yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota

lembaga tersebut. Setelah dimakzulkan, penggantian jabatan kepala negara

tersebut harus diisi, tidak boleh kosong. Oleh sebab itu, pengisian jabatan

tersebut dapat diisi oleh wakilnya jika ada, namun bila tidak ada, jabatan tersebut

diisi oleh ketua majelis syura atau ahlul halli wal aqdi.9

Jadi, prosedur pemakzulan kepala negara atau khalifah yang terdapat

dalam sistem ketatanegaraan Islam dapat berbeda-beda, tergantung dari situasi

dan kondisi negara tersebut, juga tergantung dari mazhab/aliran yang dianutnya

karena hal itu punya pengaruh yang kuat dalam proses bernegaranya, namun al-

Qur’an dan al-Sunnah tetap menjadi dasar hukum dan dasar pijakan untuk

melakukan hal tersebut. Selain itu, pemikiran politik dan konstitusi yang dimiliki

oleh negara tersebut juga tidak kalah pentingnya untuk mempengaruhi jalannya

roda pemerintahan.

C. Persamaan dan Perbedaan Fatwa Bahtsul Masail NU dan Hukum

Hukum Tata Negara Islam Tentang Pemakzulan Presiden

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di Indonesia

memiliki hak untuk dapat dipilih kembali oleh rakyat hanya untuk satu kali saja.

Khalifah sebagai kepala negara dalam Islam memiliki dua peran sekaligus, yaitu

sebagai pemimpin negara untuk menjalankan kehidupan pemerintahan serta

9 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), h. 189.

Page 58: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

43

melayani masyarakat yang dibantu oleh para pembantunya dalam pemerintahan,

serta menjadi pemimpin agama yaitu untuk menjaga marwah dan menegakkan

hukum Allah di muka bumi. Sedangkan presiden sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan, hanya memiliki peran untuk dapat menjalankan roda

pemerintahan, baik yang sifatnya internasional, maupun nasional. Hal ini

merupakan resiko dari pluralitas agama yang dimiliki oleh Indonesia, meskipun

mayoritas penduduknya adalah Islam. Untuk itu presiden haruslah menjaga

keberagamaan tersebut. Yang paling penting dari peran presiden adalah

menjalankan tugas dan wewenang, serta melaksanakan amanat yang diberikan

oleh konstitusi dan undang-undang.

Terkait masalah pemakzulan, khalifah sebagai kepala negara dapat saja

dimakzulkan, namun proses peradilan politik tersebut tergantung dari negara

Islam yang menganutnya. Penyusun mengambil contoh dari dinasti Abbasiyah

dan negara Iran yang pernah melakukan proses pemakzulan. Pada era dinasti

Abbasiyyah, pernah terjadi pemakzulan terhadap khalifah Rasyid Billah yang

dimakzulkan oleh ahlul halli wal aqdi karena telah melakukan ketidakadilan,

pembunuhan brutal, serta meminum khamr.10

Kemudian pada tahun 1981 Imam

Khomeini sebagai ketua Dewan Faqih memakzulkan presiden pertama Iran

karena dianggap oleh Parlemen Iran tersebut telah melakukan gerakan

perlawanan terhadap ulama.11

Dapat kita lihat persamaan konsep pemakzulan kepala Negara dalam

fatwa Bahtsul Masail Nahdahtul Ulama dan Ketatanegaraan Islam yaitu melalui

ahlul halli wal aqdi atau dewan faqih (parlemen Iran), sedangkan dalam fatwa

Bahtsul masail NU adalah sesuai dengan konstitusi yang ada yang di Indonesia

dikenal dengan DPR/MPR. Akan tetapi perbedaannya adalah, pada kedua contoh

praktek peradilan politik dari sistem ketatanegaraan Islam tersebut tidak

menggunakan lembaga yudikatif untuk mengkaji dan menguji pemakzulan yang

diusulkan oleh rakyat atau melalui lembaga perwakilan, seperti yang tercantum

10

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam, h. 186. 11

https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr. Diakses tanggal 18 Juni 2017

pukul 14.56 WIB.

Page 59: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

44

dalam konstitusi Indonesia. Disamping itu, kriteria cacat fisik bagi seorang

presiden yang membolehkan untuk dimakzulkan dalam fatwa lembaga bahtsul

masail NU tidak disebutkan, sedangkan dalam ketatanegaraan islam disebutkan

secara rinci mengenai hal tersebut.

DPR sebagai lembaga legislatif Indonesia merupakan lembaga yang

memiliki tugas untuk dapat membuat produk hukum di Indonesia, kemudian

melakukan pengganggaran untuk memberikan dana kepada pemerintah untuk

dapat menjalankan programnya yang mensejahterahkan rakyat, membangun

negara baik dari sumber daya manusia, maupun sumber daya alam. Selain kedua

tugas tersebut, DPR memiliki tugas untuk mengawasi kebijakan pemerintah

(checks and balances). Jika melakukan kesalahan dalam melakukan kebijakan,

atau melakukan pelanggaran hukum dan/atau konstitusi, maka DPR memiliki hak

untuk meminta keterangan terhadap hal tersebut, jika tidak ditanggapi, maka hal

ini memungkinkan DPR untuk melakukan pemakzulan terhadap presiden. Hal

serupa dapat dilakukan oleh lembaga ahlul halli wal aqdi atau biasa juga disebut

sebagai majelis syura dalam konsep ketatanegaraan Islam untuk dapat

memakzulkan kepala negara atau khalifah. Praktik peradilan politik yang oleh

lembaga perwakilan rakyat pada sistem ketatanegaraan Islam ini dilakukan dalam

rangka pengawasan terhadap perilaku khalifah, serta membuat perundang-

undangan atau produk hukum yang belum tercantum dalam al-Qur’an dan al-

Sunnah untuk menjawab problematika umat.

Faktor yang mengakibatkan kepala negara atau khalifah secara umum

yang telah dibahas pada subbab sebelummnya, memiliki dua belas faktor yaitu,

1.) melanggar syari’at, 2.) melanggar konstitusi, 3.) melanggar hukum, 4.)

menyimpang dari keadilan, 5.) kehilangan panca indera, atau organ tubuh

lainnya, 6.) kehilangan wibawa dan kebebasan bertindak karena telah dikuasai

oleh orang-orang dekatnya, 7.) tertawan musuh, 8.) menjadi fasik atau jatuh ke

dalam kecenderungan syahwat, 9.) mengganti kelamin, 10.) menderita sakit gila

atau cacat mental, 11.) menderita sakit keras yang tidak ada lagi harapan untuk

sembuh, dan 12.) murtad dari Islam. Dari kedua belas faktor tersebut, penyusun

akan membagi dan mengkorelasikan klasifikasi tersebut terhadap enam faktor

Page 60: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

45

pemakzulan atau pemberhentian presiden di Indonesia, seperti pengkhianatan

terhadap negara berkaitan dengan melanggar konstitusi dan hukum, kemudian

korupsi, penyuapan, serta tindak pidana berat sama halnya dengan melanggar

hukum. Pada faktor tindak pidana berat dapat juga dikorelasikan dengan

perbuatan melanggar hukum dan fasik atau jatuh pada kecenderungan syahwat.

Perbuatan tercela sebagai perbuatan yang tidak bermoral dapat kita korelasikan

juga pada perbuatan fasik, kemudian kehilangan wibawa atau telah dikuasai oleh

orang-orang terdekatnya, dan yang paling krusial adalah penggantian kelamin.

Faktor terakhir yaitu tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil

presiden, dapat kita hubungan mengenai faktor kesehatannya, seperti kehilangan

panca indera, menderita sakit gila atau cacat mental, dan sakit keras yang tidak

dapat disembuhkan lagi.

Page 61: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

46

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Fatwa Bahtsul Masail

Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan

Islam, penulis menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi inti dari

pembahasan skripsi ini.

1. Dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama

(LBM-PBNU) tentang pemakzulan (penurunan) kepala Negara

disimpulkan bahwa, pemakzulan kepala Negara dapat dilakukan apabila

telah terbukti melanggar konstitusi yang telah ada. Jika telah terbukti

melanggar konstitusi, maka dapat dimakzulkan dengan beberapa cara,

yaitu:

a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;

b. Apabila enggan, dimakzulkan sesuai dengan aturan konstitusional

yang ada selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar

c. Tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan konstitusi yang

ada.

2. Pemakzulan Presiden dalam ketatanegaraan Islam dapat dilakukan apabila

kepala Negara tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang membuat dia

dapat dimakzulkan, yaitu:

a. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari

jabatannya, yaitu terdiri dari:

1) Kalau Khalifah murtad dari Islam

2) Kalau Khalifah gila total dan tidak dapat disembuhkan

3) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat.

b. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis

mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh

mempertahankan jabatannya, yaitu terdiri dari:

1) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya

Page 62: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

47

2) Khalifah berubah bentuk kelaminnya

3) Khalifah menjadi gila namun tidak parah

4) Cacat anggota tubuhnya atau sakit keras yang tidak dapat

diharapkan kesembuhannya

5) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi

menangani urusan kaum muslimin menurut pikirannya sendiri,

yang sesuai dengan hukum syara’.

3. Persamaan dan perbedaan dalam fatwa bahtsul masail NU dan hukum

ketatanegaraan Islam tentang pemakzulan presiden adalah sebagai

berikut:

a. Persamaan

Dalam ketatanegaraan Islam Proses pemakzulan presiden melalui

ahlul halli wal aqdi dalam fatwa Bahtsul Masail NU disebutkan

“sesuai dengan konstitusi yang ada” dalam artian yang di Indonesia

dikenal dengan DPR/MPR.

b. Perbedaan

Dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak menggunakan lembaga

yudikatif untuk mengkaji dan menguji pemakzulan yang diusulkan

oleh rakyat atau melalui lembaga perwakilan, sedangkan dalam fatwa

tersebut secara tidak langsung menyebutkan “sesuai dengan konstitusi

yang ada” menggunakan lembaga yudikatif dalam proses pemakzulan

presiden.

B. Saran-saran

Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini,

yaitu:

1. Kepada kepala Negara atau pejabat negara lainnya diharapkan agar bisa

melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik tidak melanggar

konstitusi yang telah berlaku, agar tidak terjadi pemakzulan karena

menyalahgunakan wewenangnya dengan tidak baik dan bijak, karena hal

ini bisa memberikan kerugian terhadap negara dan mencoreng martabat

pejabat negara.

Page 63: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

48

2. Seorang presiden seharusnya mampu mewakili aspirasi masyarakat dalam

mengemban amanatnya sebagai kepala Negara dalam mewujudkan

kemaslahatan bagi masyarakat, bukan mewakili kepentingan politik atau

partai tertentu. Karena, pada dasarnya pemimpin akan mem-

pertanggungjawabkan amanatnya di dunia maupun di akhirat kelak.

Page 64: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

49

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Pustaka

Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahannya.

Ahmad, Mumtaz. Masalah-masalah Teori Politik Islâm. Penerjemah Ena Hadi,

Cet III. .Bandung: Mizân 1996.

Ahmad, Zainal Abidîn. Ilmu Politik Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Al-Haitâmî, Ibnu Hajar. Tuhfatul Minhâj fî Syarh al-Minhâj. Kairo:

Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ, 1938.

Al-Mawardî, Imâm. Al-Ahkâm al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, Terj.

Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara

dan Kepemimpinan dalam Takaran Islâm”. Jakarta: Gema Insani, 2000.

__________, al-Ahkâm al-Sultâniyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1966.

Al-Nabhânî, Taqiyuddin. Nizâm al-Hukmi fi al-Islâm. Beirut: Dâr Ibn al-

Kutaibah, 1996.

Al-Nawawî, Imâm. Raudhat al-Tâlibîn wa 'Umdatu al-Muftîn. Beirut: al-Maktab

al-Islâmî, 1405 H.

__________, Syarah Matan al-Arba’în an-Nawawî Fî al-Ahâdîtsi al-Sahîhah al-

Nubuwah, Cet. IV. Damaskus: Maktabah Dâr al-Fatih, 1984.

Al-Tabarî, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarîr. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi

Al-Qur’ân, Juz I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Sâlih. Syarah Riyadh al-Shalihîn, Jilid II. Riyâdh:

Madar al-Wathân li al-Nasr, 2010.

Al-Qâsimî, Zâfir. Nidzâm al-Hukmi Fi al-Syarî’ah wa al-Tarîkh al-Islamî.

Lebanon: Dâr al-Nufâs, t.th.

Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. I.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Anshâr, Ahmad Muhtadi. Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis. Yogyakarta: Teras, 2012.

Arba’i, Yuli Andreansyah. Mekanisme Pembuktian dalam Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta, 2015.

Page 65: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

50

Aripudin, Acep. Pengembangan Metode Dakwah: Respons Da’i Terhadap

Dinamika Kehidupan Beragama di Kaki Ciremai, Cet. I. Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 2011.

Asshiddiqie, Jimly. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi (Laporan Penelitian). Jakarta: Kerjasama MKRI dengan

Konrad Adenauer Stiftung , 2005.

Azzâm, Salîm. Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islâm, Cet. II.

Bandung: Mizân, 1990.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and

Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern St.

Paul, Minn.: West Group, 1991.

Dahlân, Abdul Azîz. Ensiklopedi Hukum Islâm 2. Jakarta: PT. Ikhtiâr Baru Van

Hoeve, 1966.

Fadeli, Soleiman dan Mohammad Subhan. Antologi NU. Surabaya: Khalistha,

2007.

Faris, Muhammad Abdul Qadîr Abu. Sistem Politik Islâm, Terjemah dari

Musthalah Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam. Jakarta: Robbani

Press, 1999.

Fattah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-orang NU, Cet. I. Yogyakarta: LKIS

Pelangi Aksara, 2006.

Harits, Ahmad Busyairi. Islâm NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia. Surabaya:

Khalista, 2010.

Hawwa, Said. Al-Islam. Jakarta: al-I’tishâm, 2005.

Husna, Sarmidi dan Muhammad Yunus. Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul

Ulamâ’. Jombang: Lembaga Ta’lîf wa al-Nasyr PBNU, 2015.

Indrayana, Denny. Negara Antara ada dan Tiada: Reformasi Hukum

Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas, 2008.

Iqbâl, Muhamad. Fiqih Siyâsah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islâm. Jakarta:

Gama Media Pratama, 2001.

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan

Refleksi, Cet. III. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Khalifah, Ibrahim bin Yahya. al-Siyasah al-Syar’iyah. Iskandariyah: Maassisah

Syabab al-Jami’ah, 1983.

Page 66: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

51

Kristiyanto, Eko Nour. Jurnal Rechts Vinding, Volume 3, Desember 2013.

LP. Ma’arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulamâ’, Edisi II. Semarang: LP.

Ma’arif NU, 2002.

Mahendra, Yusril Ihza. “Harun Nasution tentang Islâm dan Kenegaraan”, dalam

Refleksi Pembaruan Pemikiran Islâm. Jakarta: LSAF, 1989.

Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta, LkiS, 1994.

__________, Kritik Nalar Fiqih NU. Jakarta: LAKSPENDAM NU, 2002.

Moten, Abdul Rashid. Ilmu Politik Islam. Bandung: Pustaka, 2001.

Mufid, Nur dan Nur Fuad. Beda Al-Ahkâm al-Sultaniyah Mencermati Konsep

Kelembagaan Politik Era Abasiyah. Surabaya: Pustaka Progresif, 2000.

Muntoha, Kriteria Kepala Negara dalam Sistem Politik Islâm (Telaah Sosio-

Historis Terhadap Hadîts Politik). Yogyakarta: UII Pres, 1996.

Nurhayati, Agustina. Sistem Politik dan Demokrasi Islâm. Jakarta: Mardhika,

2003.

Pulungan, Suyûti. Fiqih Siyâsah Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1994.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. KAMUS BAHASA INDONESIA.

Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Rais, Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan. Yogyakarta, FH-

UII Press, 2007.

Roestandi, Ahmad. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Siyâsah, Pengantar Ilmu Politik Islâm. Surakarta:

Pustaka Setia, 2016.

Selian, Muhammad Ali Hanifah. ”Pemakzulan Kepala Negara Menurut Hukum

Islâm (Studi Kasus Presiden Abdurrahman Wahid)”. Disertasi S2 Sekolah

PascaSarjana Universitas Islam Negri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011.

Shoffân, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islâm: Mencari Solusi Perdebatan

Tradisionalisme dan Liberalisme. Jogjakarta: Ircisod, 2006.

Page 67: FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41679/1/MUHAMMAD... · Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan

52

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.

Soehartoto, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya , Cet. IX.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015.

Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, Cet.

I. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.

Tim Bina Karya Guru dan Syaein N.S, Bina sejarah Kebudayaan Islâm. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2009.

Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013. Ciputat: Biro

Administrasi Akademik dann Kemahasiswaan UIN Jakarta , 2012.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM-FSH UIN Jakarta,

2012.

Tsânî, Burhân. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.

Yahya, Imâm. Metode Ijtihâd NU. Semarang: Walisongo Press, 2009.

Yusuf Qardâwi, Teori Politik Islam, Terj. Masrohi N. Surabaya: Risalah Gusti,

1995.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz. I, Cet. II. Damaskus: Dar

al-Fikr, 1985.

Zalûm, Abdul Qadîm. Nizâm al-Hukmi fi al-Islâm. Beirut: Dâr Ibn al-Kutaibah,

2002.

B. Dari Internet

Nurrohman, Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masâil NU, diakses pada tanggal

24April 2017 dari: http://nujabar.or.id/1152/metode-penetapan-fatwa-

bahtsul-masail-nu/

Zuhrâni, Fatwa Ulamâ’ Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran Kontemporer,

artikel diakses pada 24 April 2017, dari

http://wacanaislam.blogspot.co.id/2008/09/fatwa-ulama-indonesia-

terhadap-isu-isu.html.