3
Fatwa MUI, Rokok Hukumnya Makruh dan Haram Padang Panjang, 27/1 (Pinmas)- Setelah melalui persidangan yang alot, akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang rokok. Keputusan yang ditetapkan dalam sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia III menyatakan bahwa merokok hukumnya “dilarang” antara haram dan makruh. Namun demikian sidang yang dipimpin oleh Ketua MUI KH Maruf Amin di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Minggu sore (25/1) juga memutuskan, merokok haram hukumnya di tempat umum, untuk ibu-ibu hamil, dan anak-anak. Sekretaris Komisi B1 Dr. Hasanuddin dalam sidang pleno melaporkan, bahwa komisi yang membahas masalah zakat, wakaf dan rokok tidak memperoleh kata sepakat tentang benda berasap itu. Ada beberapa pendapat para ulama tentang rokok. “Seluruh peserta sidang sepakat bahwa rokok hukumnya tidak wajib, sunnah maupun mubah,” katanya. Selain itu lanjutnya, seluruh peserta sepakat bahwa rokok hukumnya dilarang. “Sebagian ada yang menyatakan dilarang karena makruh, dan sebagian lagi menyatakan dilarang karena haram,” ujarnya. “Setuju kalau masalah rokok hukumnya khilaf (masih ada perbedaan pendapat)? kata pimpinan sidang pleno KH Maruf Amin disambut kata “setuju” oleh peserta ijtima. “Setuju kalau merokok haram di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil?,” kembali peserta menjawab serentak, “setujuu!” Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Amin Suma yang menjadi anggota tim perumus komisi B1 mengatakan, umat tidak perlu bingung dengan fatwa MUItersebut. “Hukum merokok itu sendiri telah jelas, dilarang antara makruh dan haram, palu sudah diketok,” katanya. Ia meyakini umat akan cerdas memahami fatwa MUI tersebut, dan pemerintah daerah dapat mengeluarkan aturan terkait fatwa MUI tersebut. Ia menambahkan, hukum merokok dapat kembali lagi dibahas dalam Ijtima Komisi Fatwa MUI IV yang bakal digelar dua tahun lagi.

Fatwa MUI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agama

Citation preview

Fatwa MUI, Rokok Hukumnya Makruh dan Haram

Padang Panjang, 27/1 (Pinmas)- Setelah melalui persidangan yang alot, akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang rokok. Keputusan yang ditetapkan dalam sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-IndonesiaIIImenyatakan bahwa merokok hukumnya dilarang antara haram dan makruh.Namun demikian sidang yang dipimpin oleh KetuaMUIKH Maruf Amin di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Minggu sore (25/1) juga memutuskan, merokok haram hukumnya di tempat umum, untuk ibu-ibu hamil, dan anak-anak.Sekretaris Komisi B1 Dr. Hasanuddin dalam sidang pleno melaporkan, bahwa komisi yang membahas masalah zakat, wakaf dan rokok tidak memperoleh kata sepakat tentang benda berasap itu. Ada beberapa pendapat para ulama tentang rokok.Seluruh peserta sidang sepakat bahwa rokok hukumnya tidak wajib, sunnah maupun mubah, katanya.Selain itu lanjutnya, seluruh peserta sepakat bahwa rokok hukumnya dilarang. Sebagian ada yang menyatakan dilarang karena makruh, dan sebagian lagi menyatakan dilarang karena haram, ujarnya.Setuju kalau masalah rokok hukumnya khilaf (masih ada perbedaan pendapat)? kata pimpinan sidang pleno KH Maruf Amin disambut kata setuju oleh peserta ijtima. Setuju kalau merokok haram di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil?, kembali peserta menjawab serentak, setujuu!Guru BesarUINSyarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Amin Suma yang menjadi anggota tim perumus komisi B1 mengatakan, umat tidak perlu bingung dengan fatwaMUItersebut.Hukum merokok itu sendiri telah jelas, dilarang antara makruh dan haram, palu sudah diketok, katanya.Ia meyakini umat akan cerdas memahami fatwaMUItersebut, dan pemerintah daerah dapat mengeluarkan aturan terkait fatwaMUItersebut.Ia menambahkan, hukum merokok dapat kembali lagi dibahas dalam Ijtima Komisi FatwaMUIIV yang bakal digelar dua tahun lagi.Tergantung pertanyaan dari peminat fatwa kepadaMUImaka pembahasan dengan topik yang sama, katanya.Tidak ada fatwa yang abadi namun fatwa itu bisa berubah, tohUUD1945 saja bisa diamandemen, katanya.KetuaMUISumbar Prof Dr Nasroen Harun mengatakan, masalah rokok memang tidak terdapat dalam Alquran dan Hadits. Karena itu para ulama perlu melakukan ijtihad secara hati-hati melihat maslahat dan kemudharatannya. Ini seperti memutuskan soal Ahmadiyah, kata pria yang juga Direktur Zakat Departemen Agama. (ks)

MUI dan Fatwa Pengharaman MerokokolehAbd Moqsith Ghazali

Jika perumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam, maka menerapkan hukum memerlukan analisis sosial-ekonomi-politik; apakah sebuah fatwa potensial menggulung sumber daya ekonomi masyarakat atau tidak, misalnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversial. Melalui Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III, 24-25 Januari 2009, di Sumatera Barat, ditetapkan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Sebagai bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi yang bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya (itsmuhu akbaru min naf`ihi).

Dengan fatwa ini, para ulama dan kiai pesantren terlibat dalam pro dan kontra. Beberapa guru besar agama Islam dan ulama termasuk pengurus MUI daerah menolak pengharaman itu. Bahkan, Institute For Social and Economic Studies (ISES) Indonesia menyelenggarakan pertemuan tandingan yang diikuti para ulama kontra fatwa MUI, para buruh perusahaan rokok, dan petani tembakau, di Padang Panjang. Mereka meminta pencabutan fatwa MUI tersebut, karena dikhawatirkan akan menghancurkan ekonomi masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada bisnis tembakau ini. (detikNews, 25/01/2009 ).

Dalam konteks itu, saya kira beberapa hal berikut perlu diketahui dan menjadi bahan renungan.Pertama,keharaman rokok tak ditunjuk langsung oleh Alquran dan Hadits, melainkan merupakan hasil produk penalaran para pengurus MUI, sehingga bisa benar atau keliru. Dengan demikian, keharaman rokok tak sama dengan keharamankhamr. Jika haramnya meminumkhamrbersifatmanshushah(ditunjuk langsung oleh teks Alquran), maka keharaman merokok bersifatmustanbathah(hasil ijtihad para ulama). Menurut para ulama ushul fikih, kata haram biasanya digunakan untuk jenis larangan yang tegas disebut Alquran dan Hadits. Sementara larangan yang tak tegas, tak disebut haram melainkanmakruh tahrim.

Kedua,yang menjadi causa hukum (`illat al-hukm)nya, demikian menurut ulama MUI, adalah karena merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. Dengan menggunakan mekanismemasalikul `illatdalam metode qiyas ushul fikih, alasan mencelakan diri sendiri tak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagaiillat al-hukm. Ia terlalu umum (ghair mundhabith). Sebab, sekiranya mencelakan diri sendiri ditetapkan sebagai causa hukum, maka semua barang yang potensial menghancurkan tubuh bisa diharamkan. Gula yang dikonsumsi dalam waktu lama bisa menimbulkan diabetes. Begitu juga makanan lain yang mengandung kolesterol tinggi bisa diharamkan karena akan menyebabkan timbulnya beragam penyakit. Karena itu, diperlukan keahlian sekaligus kehati-hatian dalam menentukan alasan hukum pengharaman sebuah tindakan. Para ahli ushul fikih sepakat bahwa causa hukum sebuah perkara, di samping ditetapkan nash Alquran dan Hadits, juga diputuskan oleh ulama yang telah memenuhi kualifikasi seorang mujtahid.

Ketiga,merumuskan hukum (istinbath al-hukm) dan menerapkan hukum (tathbiq al-hukm) adalah dua subyek yang berbeda. Jika perumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam, maka menerapkan hukum memerlukan analisis sosial-ekonomi-politik; apakah sebuah fatwa potensial menggulung sumber daya ekonomi masyarakat atau tidak, misalnya. Dari sini jelas bahwa mengharamkan rokok ketika kondisi perekonomian masyarakat lagi sekarat tak cukup bijaksana. Banyak orang yang setuju perihal pelarangan rokok. Namun, yang mereka tolak adalah fatwa pelarangan itu dikeluarkan disaat masyarakat dilanda krisis. Kita tahu, kondisi makro ekonomi Indonesia ambruk sebagai akibat lanjutan dari krisis yang berlangsung di hulu, Amerika Serikat. Begitu juga, sektor riil masih belum pulih ketika diterjang badai krisis tahun 1997.

Dengan alasan-alasan itu, saya berharap para pengurus MUI meninjau ulang fatwa pengaharaman merokok. MUI perlu memeriksa kembali argumen pelarangannya yang belum kukuh sambil mencari momentum yang tepat untuk graduasi pembatasan merokok.Wallahu A`lam bi al-Shawab[]