14
FENOMENA BELANJA BAJU BEKAS MELALUI E- BUSINESS DI INDONESIA Dosen Pengampu: IAN Dibuat oleh: Christina 212007025 FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2010

Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

  • Upload
    kezia

  • View
    183

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

FENOMENA BELANJA BAJU BEKAS MELALUI E-BUSINESS DI INDONESIA

Dosen Pengampu:IAN

Dibuat oleh:Christina

212007025

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNISUNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA2010

Page 2: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

PENDAHULUAN

Berbelanja barang bekas bukan lagi hal yang aneh. Baju bekas tercatat ikut

membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Selain merefleksikan posisi

keuangan anak-anak muda yang terbatas, ia juga menggambarkan gairah akan gaya pakaian-

pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko

baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak 1 buah saja

sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita

membeli baju di mall atau supermarket karena baju-baju yang dijual di sana rata-rata dibuat

secara massal. Selain memberi kesan lebih personal, dengan memakai baju-baju bekas,

sejarah dan nilai-nilai lama yang dibawa oleh baju-baju tersebut seolah-olah dikosongkan

atau dihilangkan karena dimaknai secara berbeda dan diberi nilai-nilai baru, serta diisi

dengan sejarah baru.

Di Indonesia sendiri, kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata. Pasar

baju bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul

daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dsb. Toko baju bekas di sini lazim disebut

dengan toko baju impor, karena memang baju-baju bekas itu asalnya dibawa dalam karung-

karung besar dari pelabuhan. Jenis barang yang dijual di toko macam ini bermacam-macam,

mulai dari kaos, hem, jaket, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover.

Harga barang-barang yang dijual di kota-kota yang dekat dengan pelabuhan biasanya lebih

murah daripada di kota-kota lain. Penampilan baju bekas kerap diidentikkan dengan

kelompok bergaya traveller atau new age. Kaos bertumpuk-tumpuk, rompi bekas dengan

beberapa lubang di sudut-sudutnya, sweater bekas, dan celana yang dijahit sendiri dari kain-

kain perca. Anak muda mempunyai anggaran yang terbatas untuk membeli pakaian, lagipula

pakaian tidak menempati posisi penting dari eksistensi mereka. Sehingga bagi mereka

pakaian pun bisa diwariskan dari kakak tertua ke adik dan saudara-saudara yang lain. Di

Inggris, gaya pakaian bekas (second hand dress) ini banyak dipakai juga oleh kelompok indie

dan para mahasiswa di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka biasanya memakai t-shirt bekas,

jumper, atau jaket bekas dari kain wol. Di Indonesia, konsumen terbesar baju-baju bekas

adalah anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda ini kadang bersikap malu-malu kalau

ketahuan membeli baju bekas. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas di Indonesia ini

juga didorong oleh respon sebagian besar masyarakat yang menganggap baju-baju bekas

adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya, juga berkesan

kumuh karena dibeli di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi.

Page 3: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

Tersedianya lokasi-lokasi ini memberi akses kepada para pembeli untuk mencari

kebutuhan mereka melalui barang bekas yang harganya jauh lebih murah daripada barang

yang masih baru dengan kondisi yang masih baik.

Bahkan para penjual barang bekas mulai menjual barang dagangan mereka melalui

media internet. Hal ini disebabkan karena berkembangnya teknologi informasi (komputer dan

telekomunikasi) semacam internet dan website yang menawarkan berbagai keuntungan bagi

para pengusaha yang dapat menggunakan akses tersebut. Untuk itu, para pengusaha mulai

menjual barang dagangan mereka yaitu barang-barang bekas melalui internet atau e-business.

Beberapa hal yang menyebabkan banyak pengusaha melakukan e-business karena

luasnya jangkauan pemasaran yang dapat dicapai melalui internet, memungkinkan pengusaha

menerapkan mass customization untuk produknya, mengurangi biaya transportasi, dan lain-

lain. Sedangkan bagi para konsumen, alasan mereka mau berbelanja lewat internet karena

dapat mengakses selama 24 jam, dapat mengakses lebih dari satu pemasok pada saat

bersamaan untuk melakukan pilihan, dapat berkomunikasi dengan konsumen lain, biaya

transportasi tidak perlu dikeluarkan, dan lain-lain.

Page 4: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

KAJIAN TEORI

Implementasi e-business menuntut pergeseran paradigma secara fundamental, dari

yang semula marketplace yang menekankan interaksi secara fisik antara penjual dan pembeli

menjadi marketspace yang mengandalkan transaksi elektronik (Rayport & Sviokla,1995).

Pergeseran ini ditandai dengan perubahan dari geographic business model (location based)

menjadi global business model (virtual marketspace).

Dalam traditional marketplace, lalu lintas informasi, produk/jasa, dan pembayaran

bersifat fisik (location based). Dengan kata lain, model bisnis yang berlaku adalah

geographic business model. Sebaliknya, dalam dunia virtual marketplace, aliran informasi

produk, proses komunikasi antara produsen dan konsumen, distribusi barang/jasa dan

transaksi berlangsung dalam dunia maya/virtual. Dalam dunia virtual, batas-batas geografis

sudah tidak lagi relevan, karena model bisnisnya adalah global business model. Setiap orang

yang memiliki akses ke internet dapat mengambil bagian dalam model bisnis mutakhir ini,

misalnya dengan melakukan browsing di internet untuk mencari informasi mengenai produk,

produsen, dan harga, men-down load perangkat lunak atau data tertentu, mengirim e-mail

kepada produsen, melakukan chatting dengan konsumen lain, melakukan transaksi

pembayaran dengan aneka fasilitas mutakhir (seperti kartu kredit, smart card, internet

interface maupun automatic ordering), dan sebagainya.

Istilah marketspace tidak hanya terbatas pada internet, tapi juga TV kabel dan

database online, serta segala sesuatu yang mengubah customer interface dari fisik menjadi

virtual (virtual marketspace).

Berbeda halnya dengan traditional marketplace yang mengandalkan atom-based

products (benda fisik yang bisa disentuh dengan panca indera), distribusi fisik dan tempat

transaksi; marketspace justru lebih berupa bit-based products (seperti kode-kode instruksi

atau bahasa komputer, perangkat lunak semacam netscape atau internet explorer) yang

didistribusikan secara elektronik dalam ruang maya.

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumen

adalah karakteristik pribadi, lingkungan, sistem pemasok, dan stimulus (pemasaran dan non

pemasaran). Berdasarkan tujuan pembeliannya, konsumen e-business bisa dibedakan menjadi

dua: (1) konsumen individual, yang melakukan pembelian untuk keperluan konsumsi pribadi

dan/ atau rumah tangganya; dan (2) konsumen organisasional, yang melakukan pembelian

untuk tujuan dijual lagi, disewakan, di proses lebih lanjut, digunakan untuk melayani

Page 5: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

masyarakat, dan tujuan bisnis atau organisasional lainnya. Tipe konsumen organisasional

inilah yang paling banyak berbelanja melalui internet.

Sementara itu, berdasarkan tipe pembeliannya, konsumen bisa dikelompokkan

menjadi empat macam: (1) impulsive buyers, yaitu konsumen yang membeli produk dengan

cepat; (2) patient buyers, yaitu konsumen yang membeli produk setelah melakukan berbagai

perbandingan atas harga, pemasok, model produk, maupun aspek lainnya; (3) analytical

buyers, yaitu konsumen yang melakukan penelitian khusus sebelum membuat keputusan

untuk membeli produk atau jasa tertentu; dan (4) window shoppers, yaitu yang hanya

melakukan browsing.

Perilaku tipe-tipe konsumen e-business di atas mencerminkan pengalaman berbelanja

spesifik secara online. Pengalaman tersebut bisa berupa dua kemungkinan: valuable

experience (mengerjakan atau melakukan browsing) dan valueless experience (sekedar

melakukan browsing). Dalam konteks pemasaran, kedua pengalaman ini dikenal dengan

istilah utilitarian shopping experience dan hedonic shopping experience. Pemahaman

mengenai kedua tipe pengalaman berbelanja ini berguna dalam perancangan layout dan

desain situs perusahaan.

Secara prinsip, proses pengambilan keputusan konsumen online tidak jauh berbeda

dengan proses keputusan offline, yaitu terdiri atas lima tahap: identifikasi masalah, pencarian

informasi internal dan eksternal (khususnya lewat internet), evaluasi alternatif, keputusan

pembelian, dan perilaku purna beli (Kotler, 2000). Kelima tahap ini bisa di fasilitasi dengan

fasilitas CDSS (Customer Decision Support System) dan fasilitas internet serta Web generik.

Fasilitas CDSS mendukung pengambilan keputusan spesifik dalam proses keputusan,

sedangkan teknologi generik menyediakan informasi dan meningkatkan komunikasi. Kendati

demikian, perilaku konsumen di internet jauh lebih kompleks dibandingkan perilaku

konsumen offline, karena adanya pengaruh teknologi Web. Kepuasan pelanggan internet,

misalnya, dipengaruhi oleh beraneka ragam faktor berikut:

a. Dukungan logistik

b. Layanan pelanggan

c. Daya tarik penetapan harga

d. Web site store front, yang ditentukan oleh beberapa elemen, seperti keamanan

(privasi dan keamanan transaksi); reliabilitas sistem; kecepatan operasi; kemudahan

penggunaan; konten dan kualitas (diantaranya format, reliabilitas, kelengkapan dan

ketepatan waktu).

Page 6: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

Faktor trust merupakan salah satu faktor kritis dalam e-commerce, terutama

menyangkut competence trust dan goodwill trust. Transaksi melalui internet tidak bisa jalan

tanpa adanya faktor kepercayaan. Apalagi pihak-pihak yang terlibat belum tentu bisa bertatap

muka secara langsung. Faktor kepercayaan ini sangat sukar dibangun, namun sangat mudah

sekali dirusak. Oleh karena itu dibutuhkan tiga faktor utama dalam rangka membangun dan

mempertahankan trust, yaitu kepuasan pelanggan, reputasi dan itikad baik pemasok, serta

pengakuan dari pihak ketiga.

Dalam tahap-tahap proses pengambilan keputusan pembelian, konsumen mungkin

saja membutuhkan bantuan tertentu, misalnya menyangkut informasi mengenai karakteristik

produk yang dibutuhkan dan berbagai alternatif merk. Untuk itu dibutuhkan aktivitas layanan

pelanggan yang di rancang secara khusus guna memuaskan konsumen. Dalam konteks e-

business, bentuk layanan pelanggan yang bisa diberikan setiap situs meliputi: menjawab

setiap pertanyaan pelanggan dan calon pelanggan, menyediakan fasilitas pencarian dan

perbandingan, misalnya dalam bentuk search engines, menyediakan informasi teknis yang

bersifat interaktif dan user-friendly kepada para pelanggan, memberikan kemudahan bagi

pelanggan untuk melacak status pesanan (contohnya FedEx dan jasa kurir lainnya) atau

rekeningnya (seperti di Internet Banking berbagai bank nasional maupun internasional),

memudahkan konsumen untuk melakukan customization atas produk yang di pesannya dan

melakukan pemesanan melalui online, dan lain-lain.

Page 7: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN

Di Indonesia, konsumen terbesar baju-baju bekas adalah anak-anak muda. Tetapi

anak-anak muda ini kadang bersikap malu-malu kalau ketahuan membeli baju bekas. Sikap

malu-malu dari konsumen baju bekas di Indonesia ini juga didorong oleh respon sebagian

besar masyarakat yang menganggap baju-baju bekas adalah sesuatu yang menjijikkan karena

tidak jelas asal-usul sejarahnya, juga berkesan kumuh karena dibeli di tempat-tempat yang

sempit penuh sesak dengan karung-karung isi.

Memang benar harga baju bekas jauh lebih murah dibanding jika kita membeli baju

baju baru. Dengan uang Rp100.000 misalnya, kita bisa mendapatkan 3-5 helai baju,

dibandingkan jika kita membeli baju baru hanya akan mendapat 1 helai baju saja.

Karena adanya rasa malu karena membeli baju bekas di pasar-pasar baju bekas. Maka

muncullah sebuah bisnis baju bekas melalui e-business. Dengan adanya e-business, maka

para konsumen tidak perlu malu karena masyarakat tidak akan mengetahui bahwa itu

merupakan baju bekas. Konsumen hanya perlu mengakses internet dan mendapat kesempatan

untuk memilih baju yang ingin dibeli. Sudah banyak layanan internet seperti website yang

menawarkan jasa untuk membeli dan menjual baju bekas.

Alasan lain mengapa bisnis baju bekas secara virtual bisa laku di Indonesia, karena

Indonesia sebagai negara berkembang memberikan layanan internet yang semakin mudah dan

murah. Hal inilah yang mendorong pembeli serta penjual bertransaksi lewat e-business.

Akan tetapi dalam berbelanja melalui e-business, faktor trust merupakan salah satu

faktor kritis, terutama menyangkut competence trust dan goodwill trust. Transaksi melalui

internet tidak bisa jalan tanpa adanya faktor kepercayaan. Apalagi pihak-pihak yang terlibat

belum tentu bisa bertatap muka secara langsung. Faktor kepercayaan ini sangat sukar

dibangun, namun sangat mudah sekali dirusak. Oleh karena itu dibutuhkan tiga faktor utama

dalam rangka membangun dan mempertahankan trust, yaitu kepuasan pelanggan, reputasi

dan itikad baik pemasok, serta pengakuan dari pihak ketiga.

Sedangkan secara prinsip, proses pengambilan keputusan konsumen online tidak jauh

berbeda dengan proses keputusan offline, yaitu terdiri atas lima tahap: identifikasi masalah,

pencarian informasi internal dan eksternal (khususnya lewat internet), evaluasi alternatif,

keputusan pembelian, dan perilaku purna beli (Kotler, 2000).

Sementara itu, berdasarkan tipe pembeliannya, konsumen bisa dikelompokkan

menjadi empat macam: (1) impulsive buyers, yaitu konsumen yang membeli produk dengan

cepat; (2) patient buyers, yaitu konsumen yang membeli produk setelah melakukan berbagai

Page 8: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

perbandingan atas harga, pemasok, model produk, maupun aspek lainnya; (3) analytical

buyers, yaitu konsumen yang melakukan penelitian khusus sebelum membuat keputusan

untuk membeli produk atau jasa tertentu; dan (4) window shoppers, yaitu yang hanya

melakukan browsing.

Perilaku tipe-tipe konsumen e-business di atas mencerminkan pengalaman berbelanja

spesifik secara online. Pengalaman tersebut bisa berupa dua kemungkinan: valuable

experience (mengerjakan atau melakukan browsing) dan valueless experience (sekedar

melakukan browsing). Dalam konteks pemasaran, kedua pengalaman ini dikenal dengan

istilah utilitarian shopping experience dan hedonic shopping experience. Pemahaman

mengenai kedua tipe pengalaman berbelanja ini berguna dalam perancangan layout dan

desain situs yang menjual baju bekas. Oleh karena itu, para pengusaha harus memperhatikan

perilaku konsumen untuk membuat situs internet yang dapat menarik perhatian konsumen

sehingga konsumen akan membeli dari situs tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan

adanya persaingan dengan pesaing, karena persaingan tersebut akan sangat terbuka.

Konsumen akan membandingkan harga, layanan, dan kualitas dari produk dan jasa yang

ditawarkan penjual. Akan lebih baik dan dipercaya jika penjual memberikan garansi produk

untuk setiap pembelian yang terjadi.

Page 9: Fenomena Belanja Baju Bekas Melalui e

SUMBER

http://dasmitz.blogspot.com/2007/12/10-prospek-e-business-di-indonesia.html http://www.pungkalit.co.cc/2009/08/gedebage-fenomena-barang-bekas-di-kota.html http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/03530778/dunia.internet.kita http://rinangxu.wordpress.com/2007/03/05/identitas-baju-bekas/ http://www.clothesagency.com/cms/how_to_sell