7
RESUME “FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL” DISUSUN OLEH : FAJAR ROYAN SANTOSO (M2A009069) FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO 2009

FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

RESUME

“FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL”

DISUSUN OLEH :

FAJAR ROYAN SANTOSO

(M2A009069)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2009

Page 2: FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

I. PAUL RICOEUR

Pada tahun 50-an dianggap salah seorang ahli terbesar di Prancis tentang Fenomenologi. Ia juga telah membuktikan dirinya seorang yang mengenal filsafat eksistensi dengan baik karena suatu buku tentang Karl Jaspers dan sebuah buku lain yang membandingkan pemikiran Karl Jaspers dengan pemikiran Gabriel Marcel.

Fenomenologi Eksistensial

Istilah “Fenomenologi” itu sendiri belum begitu jelas. Menurut bentuk kata, artinya adalah ilmu tentang fenomenon-fenomenon atau yang tampak. Dengan demikian setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja sudah merupakan fenomenologi. Fenomenologi enjadi rigorous, bila yang dipermaslahkan adalah status itu sendiri dari penempakan benda-benda. Singkatnya, fenomenologi menjadi rigorous, bila diajukan pertanyaan: apakah artinya “menampakkan diri” untuk suatu benda, makhuk hidup, seorang persona, suatu pengalaan sadar, suatu perasaan, suatu gambaran fantasi an sebagainya?.

Fenomenologi eksistensial sama dengan fenomenoogi transcendental, tapi dijadikan metode bagi dan diarahkan pada suatu problematic pokok,yaitu problematic eksisteni.

Fenomenologi yang berorintasi eksistensial ini meliputi bermacam-macam penelitian yang beasal dari pelbagai sumber;

1. Di bawah nama ini dapat ditempatkan peneltian-penelitian terakhir yang dilakukan oleh pendiri fenomenologi dewasa ini(Edmund Husserl). Di situ kita melihat fenomenologi transcendental cenderung ke arah penelitian terhadap segala macam aspek yang menyangkut kebertautan manusia dalam dunia.

2. Di samping itu kita perlu menggali banyak unsure deskripsi rigorous yang terpenda dalam filsafat-filsafat besar di Prancis dan Jerman yang basaldari Kirkegaard dan Nietzsche(juga dari Hegel).

3. Lingkaran ketiga dalam fenomenologi eksisensial dibentuk oleh karya-karya Prancis, yang dapat ditempatkan pada titik temu antara metode fenomenologis yang berasal dari Husserl dan problematic eksistensial yang diterima dari filsafst pasca-Hegelian.

Ketiga orientasi dalam fenomenologi yang baru saja disebut, di bawah ini akan dibicarakan berturut-turut.

I. Belokkan “eksistensial” dari fenomenologi “transendental’.

II. Fenomenlogi implisit dalam filsafat-filsafat eksistensi

Page 3: FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

1. Hegel

Karya besar Hegel yang berjudul Fenomenologi Roh, merupakan salah satu sumber bagi filsafat eksistensi. Dalam buku ini dibahas pengalaman-pengalaman yang paling dramatis umat manusia yang sampai waktu itu hanya disoroti oleh sastra, agama dala pendekatan yang bersifat ekonomis, politis, atau historis.

2. Kirkegaard

Istilah “eksistensi” dalam arti deperti dipakai dalam filsafat masa kini berasal dari Kirkegaard. Yang bereksistensi dalam arti istimewa adalah inidividu yang tampil ke muka dalam kesedihan dan kesepian, dalam keaguan dan keagungan, khususnya dalam kesengsaraan.

3. Nietzsche

Yng mendorong dia bukan lagi keprihatinan untuk membenarkan diri dan mengadakan semacam komunikasi tidak langsungndengan yang lain, seperti pada Kiekegaard. Ynag mendorong dia adalah gairah yang tidak kenal ampun untuk membongkar kebohongan-kebohongan moril dan spiritual yang merupakan fondamen bagi kebudayaan kita.

III. Fenomenologi Eksistensial

Eksistensial tidak pernah melukiskan hanya karena senang melukiskan. Hegel, Kiekeraard, Nietzsche adalah contoh-contoh yang menunjukkan bahwa deskripsi hanya berartim jika dilakukan demi suatu rencana yang besar : menolak suatu keterasingan, menemukan kembali tempat manusia dalam dunia, atau sebaliknya memperoleh kembali dimensi metafisisnya.

Kita memilih sebagai contoh tiga tema yang seolah-olah merupakan tiga melodi yang terdengar dalam fenomenologi eksistensial.

1. Tubuh milik sendiri

Pada Gabriel Mercel tema ini berfungsi sebagai keretakan maupun penamuan kembali: di satu pihak keretakan dengan pemujaan terhadap subyek epistemologis anonym, yang tidak bersituasi, tidak teranca, tidak terpengaruh oleh drama serta kematian pribadi dan di lain pihak ditemukannya kembali tahap konkrit, dipulihkannya suatu pengalaman yang bersifat pribadi dan serentak juga integral dan terentang antara dua kutub, yaitu antara yang jasmani dan yang misterius.

2. Kebebasan

Tema “kebebasan” menampilkan kontras-kontraslebih besar lagi daripada tema”tubuh milik sendiri” dan menguhka ketergatungan metode deskriptif pada intensi

Page 4: FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

eksistensial di bidang fenomenologi ini. Alasannya jelas: dengan membahas kebebasan, status ontologism manusia dipermasalahkan.

3. Orang Lain

Tema “Orang Lain” meneghkan analisa kita tentang hubungan antara metode fenomenologis dan intensi ontologism dalam fenomenologi eksistensial. Bagaimanapun, entah dibicarakan tentang orang lain atau kebabasan atau tubuh miik sendiri, fenomenologi eksistensial adalah wilayah yang sudah terarah. Dalam fenomenologi eksistensial iru tidak dilukiskan apa saja, hanya karena orang senang mengadakan analisa-analisa yang cemerlang.

II. EMMANUEL LEVINAS

Pada bulan Februari dan maret 1981 Radio Prancis menyiarkan serangkaian wawancara dengan Emmanuel Levinas. Pewawancara adalah Philippe Nemo, yang dikenal sebagai wakil terkemuka dari generasi filsuf Prancis lebih muda. Kemudian wawancawa-wawancara itu diolah kembali dan dilengkapi untuk diterbitkan sebagai buku. Hasilnya, suatu buku kecil yang dapat dipandang sebagai semacam singkatan dari tema-tema tepenting dalam pemikiran Levinas. Judul bukunya”Etika dan Tak Berhingga” memang cocok untuk menunjukkan inti refleksi filosofis Levinas.

WAJAH DAN TANGGUNG JAWAB

1. Wajah

Philippe Nemo : Dalam Totalitas dan Tak Berhingga, Anda dengan panjang lebar berbicara tentag wajah. Itulah salah satu diantara tema-tema yang paling banyak Anda singgung. Apakah isinya dan apakah tujuannya fenomenologi Wajah itu, maksudnya, analisa itu tentang apa yang terjadi bila saya memandang orang lain dari muka ke muka?

Emmanuel Levinas : Saya tidak tau apakah dapat dikatakan “fenomenologi”, karena fenomenologi melukiskan apa yang tampak. Demikian juga saya tanyakan dalam hati kecil saya apakah dapat dikatakan bahwa suatu pandangan diarahkan ke wajah, karena pandangan adalah pengenalan atau persepsi. Saya bepikir bahwa akses kepada wajah dari semula bersifat etis, Bila anda melihat suatu hidung, suatu dahi, dan Anda dapat melukiskannya, maka Anda mengarahkan diri kepada orang lain bagaikan kepada sebuh objek. Cara yang paling baik untuk berjumpa dengan orang lain ialah tidak memperhatikan warna matanya sekalipun! Bila kita melihat warna mata, kita tidak mengadakan relasi sosial dengan orang lain. Tentu saja, relasi dengan wajah bias saja didominasi oleh persepsi, tetapi apa yang khusus menandai wajah tidak dapat direduki kepada cara pendekatan itu.

Page 5: FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

2. Tanggung Jawab kepada Orang Lain

PH. N. : Dalam Karya besar Anda yang dipublikasikan terakhir, Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi , Anda berbicara tentang tanggung jawab moril. Husserl telah berbicara tentang tangung jawab, tetapi tentang tanggung jawab atas kebenaran; Heidegger tentang berbicara tentang otentisitas; dan anda sendiri, apakah yang Anda maksudkan dengan tanggung jawab? E.L.: Dalam buku tersebut saya berbicara tentang jawab sebagai struktur hakiki, pertama dan fundamental dari subyektivitas. Karena disitu saya menguraikan subyejtivitas dalam konteks etis. Etika di situ buka sekedar tambahan pada suatu basis eksistensial yang sudah terdapat sebelumnya. Dalam etika, dimengerti sebagai tanggung jawab, dibuat tenunan sendiri dari subyektivitas.

Hubungan dengan orang lain hanya terjalin sebagai tanggung jawab, entah tanggung jawab itu diterima atau ditolak, entah orang tahu bagaimana menerimanya atau tidak, entah orang dapat berbuat sesuatu konkrit untukOrang lain utau tidak.

Tanggung jawab ialah apakah yang secara eksklusif bertumpu pada saya dan yang –secara manusiawi- tidak dapat saya tolak. Beban ini adalah martabat tertinggi yang unik. “Aku” itu tidak dapat ditukar; saya adalah “Aku’’hanya sejauh saya bertanggung jawab. Saya dapat mensubtitusi diri bagi saya. Itulah identitas saya yang tak terasingkan sebagai subyek. Justru dalam arti inilah Dostoyevski mengatakan : “Kita semua bertanggung jawab atas segalanya dan atas semua orang dihadapan seua orang dan saya lebih ari semua orang lain”.