Ferdian Dewantara (1112011135)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011

Citation preview

1TUGAS STUDI KASUS HUKUM HUMANITERSOMETIMES IN APRIL(studi kasus)OlehFERDIAN DEWANTARA1112011135FAKULTAS HUKUMBANDAR LAMPUNGUNIVERSITAS LAMPUNG2013BAB I KASUS POSISIFAKTA-FAKTAFakta Tentang Film Sometimes In AprilFilm Sometimes In April adalah objek penelitian dari studi kasus yang akan penulis kerjakan sebagai nilai untuk UTS mata kuliah Hukum Humaniter, dikarenakan film ini sarat dengan kajian Hukum Humaniter Internasional (HHI). Selanjutnya penulis akan lebih memfokuskan kepada pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum humaniteryang ada dalam objek penelitian ini, didalam film Sometimes In April.Film Sometimes In April adalah film yang menampilkan perpecahan antar suku/etnis yaitu suku Hutu dan Suku Tutsi dimana suku hutu melakukan pembantaian kepada suku tutsi dari pandangan seorang mantan Kapten Tentara Rwanda bernama Augustin Muganza. Film ini diawali pada tahun 2004, ketika Augustin Muganza yang bekerja sebagai Guru di sekolah dimana ia bekerja mulai menceritakan kepada murid-muridnya tentang perang antara suku hutu dan suku tutsi yang membuka kembali ingatan kelam yang terjadi pada saat itu, yaitu dimulai pada bulan April 1994 dimana terjadi pembantaian masal kepada suku tutsi yan dilakukan oleh suku hutu. Awalnya Augustin adalah merupakan seorang Kapten Tentara Rwanda yang berasal dari suku Hutu yang hampir kehilangan seluruh anggota keluarnya karena peristiwa tersebut, bahkan Augustin masuk dalam orang yang akan dieksekusi oleh suku Hutu dikarenakan istrinya adalah orang dari suku Tutsi.Augustin adalah orang yang memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya, dan dikarenakan ia memiliki istri dari suku Tutsi dan anak yang memiliki darah keturunan suku Tutsi. Dia menceritakan bahwa adiknya merupakan penyiar radio dirwanda yang merupakan sekutu dari milisi hutu, dari siaran radio itulah terjadi provokasi-provokasi yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pembantaian oleh suku Hutu kepada suku tutsi.Dirwanda suku Hutu merupakan suku mayoritas sehingga mendapat provokasi-provokasi tersebut mereka mulai bertindak melakukan sweeping kedalam rumah-rumah, sekolah bahkan tempat ibadah dan mencari suku Tutsi lalu membantai orang-orang dari suku tutsi tersebut, mereka melakukan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan banyak korban tak berdosa berjatuhan tidak hanya orang dewasa saja tetapi wanita, orang tua dan anak-anak pun tidak lepas dari pembantaian tersebut.Augustin pun menceritakan konflik batin yang terjadi antara ia dengan saudara kandungnya sendiri. Dimana ia menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya melawan idielisme adiknya yang menjunjung tinggi nilai kesukuannya yaitu suku Hutu.Fakta tentang perang antara suku Hutu dan Suku TutsiKonflik yang terjadi di Rwanda bukanlah konflik yang begitu saja terjadi hanya dikarenakan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, atau sematamata adanya rasa superior yang dimiliki oleh salah satu suku yang ada di Rwanda. Konflik dan gesekan yang terjadi antara dua suku ini sudah berakar dimulai dari saat mereka dijajah oleh Belgia.Permulaan adalah saat Belgia menjadi penguasa di Rwanda, di mana dari masalah inilah yang menyebabkan konflik di Rwanda terjadi, dan benar benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi atau membedabedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu Twa. Belgia membuat Tutsi, sebagai suku minoritas dibandingkan Hutu, menjadi suku yang lebih superior. Mereka diberikan kewenangan untuk berkuasa dan memerintah. Belgia memilih Tutsi karena dari sudut pandang Belgia, Tutsi terlihat lebih Eropa secara fisik untuk mereka.Pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu dimulai. Terbunuhnya Presiden menjadikan Rwanda seketika menjadi horor untuk para Tutsi yang dituduh telah merekayasa pembunuhan Presiden, namun sampai kasus ini selesai ternyata tidak bisa dibuktikan bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Tutsi. Pembantaian dilakukan oleh para Hutu sekitar 100 hari. Pembantain tersebut dipermudah dengan salah satu bentuk diskriminasi yang dibentuk saat Hutu berkuasa yaitu kartu penduduk yang mencantumkan identitas suku penduduk (siapa yang merupakan suku Tutsi akan mendapatkan kesulitan dalam pekerjaan, pendidikan, dan lain lain). Para Hutu memblok setiap jalan dan memeriksa orangorang yang lewat dan membunuh setiap Tutsi yang mereka temukan.Jumlah korban diperkirakan sekitar 800.000 orang, dibunuh dengan brutal dengan golok atau alatalat pertanian lain oleh para Hutu ekstrimis, bahkan pembunuhan yang mereka lakukan tidak segan - segan dilakukan di gereja.PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETASuku/Etnis HutuSuku/Etnis TutsiBAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIKMASALAH HUKUMFilm Sometimes In April merupakan salah satu film dakumenter yang diambil dari kisah nyata yang terjadi pembantaian massal yang dilakukan oleh suku hutu kepada suku Tutsi dirwanda. Sehingga penulis ingin merumuskan masalah mengenai latar belakang terjadinya pembantaian tersebut ?Dan pelanggaran apa sajakah yang dilakukan suku hutu yang terjadi dalam film Sometimes In April tersebut ?TINJAUAN TEORITIKIstilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu Internasional Humanitarian Law. Istilah lain yang kadang-kadang dipakai ialah hukum sengketa bersenjata (the law of armed conflict). Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang (armed forces) dibanyak negara biasanya digunakan istilah hukum perang. H.Suwardi Martowirono. 2001. Hukum Humaniter. Makalah. Jakarta. hlm 1J.G. Starke J.G. Starke. 1992. Pengantar Hukum Internasional: Terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja. Edisi kesepuluhan Jilid II. Sinar Grafika. Jakarta. hlm 728 berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum perang dalam perkembangan sejarahnya disebut hukum perang namun sekarang disebut istilah Hukum Humaniter Internasional.Bila dilihat dari kacamata sumber hukum yang dapat digunakan, maka Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu:Hukum Den Haag, menekankan pada cara-cara yang dianggap patut dalam peperangan yang menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dan melaksanakan operasi militer, yaitu dengan jalan member batasan-batasan tertentu mengenai sarana yang boleh dan tidak boleh dipakai untuk menundukkan lawan.Hukum Jenewa, menekankan pada aspek non-kombatan yang disusun guna melindungi personel militer yang tidak lagi ikut berperang dengan alasan tertentu, misalnya luka dan sebagainya serta juga untuk melindungi warga sipil yang tidak terlibat aktif. ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008, hlm. 4.Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang paling utama sebenarnya adalah pada konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang merupakan perlindungan bagi korban perang yang telah diterima secara luas oleh Negara-negara di dunia. Untuk melengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999, hlm. 33.Banyak dari konflik-konflik bersenjata yang dewasa ini berlangsung adalah konflik bersenjata non-internasional, dan konflik bersenjata jenis ini belum diatur secara cukup rinci oleh HHI Perjanjian. Hanya perjanjian internasional dalam jumlah terbatas saja yang berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional, yaitu Konvensi Senjata Konvenvional Tertentu sebagaimana telah diamandemen, Statuta Pengadilan Pidana Internasional, Konvensi Ottawa tentang Pelarangan Ranjau Darat Antipersonil, Konvensi Senjata Kimia, Konvensi Den Haag tentang Perlindungan Benda Budaya beserta Protokol Kedua-nya dan, sebagaimana telah disebutkan di atas, Protokol Tambahan II 1997 untuk Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa tersebut. Walaupun Pasal 3 Ketentuan Yang Sama ini mempunyai arti yang secara fundamental penting, pasal tersebut hanya memberikan kerangka yang sangat dasar berupa standar-standar minimum. Protokol Tambahan II merupakan pelengkap yang berguna bagi Pasal 3 tersebut, tetapi masih belum cukup rinci dibandingkan dengan aturan-aturan yang mengatur konflik bersenjata internasional sebagaimana terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I. Jean-Marie Henckaerts. Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik Bersenjata. Cambridge University Press. Volume 87 Nomor 857 Maret 2005. Hlm 3-4Prinsip Humanity melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akbat perang. Ahmad Baharudin Naim. Hukum Humaniter Internasional. Bandar Lampung : Universitas Lampung. 2010. Hlm 32BAB III TUNTUTAN PELANGGARANUntuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bab sebelumnya maka penulis menggunakan berbagai instrument Hukum Humaniter Internasional yaitu Statuta Roma, Konvensi Den Haag 1907 dan juga Konvensi Jenewa 1949 prtokol tambahan II.Mahkamah yang bertempat di Arusha, Tanzania yang dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamana PBB No. 955 tangal B November 1994.tujuannya untuk mengadili orang-orang yang melakukan genosida di Rwanda dan mengadili warga Negara Rwanda yang melakukan genosida dan pelanggaran serupa lainnya diwilayah Negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan pada tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994Yurisdiksi dari Mahkamah Kriminal Ruanda ditujukkan untuk kejahatan-kejahatan sebagai berikut :Genosida;Kejahatan terhadap kemanusiaan;Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa, 1949 dan Protocol Tambahan II 1977. Ria Wierma Putri, 2011. Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung. Bandar lampung. Hlm15.STATUTA ROMA 1998Pada tahun 1998, masyarakat Internasional sepakat membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 . Semangat pembentukan ICC sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma 1998 diantaranya untuk memerangi impunitas dan bahwa kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagai the most serious crimes of concern to the international community as a whole. Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes), yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the 28 crime of aggression ). Pasal 5 Statuta Roma 1998. Berbeda dengan pengadilan internasional sebelumnya yang bersifat ad hoc, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen. Pasal 3(1) Statuta Roma.Elemen dari kejahatan Genosida sebagaimana disebut pada pasal 6 dari statuta Roma adalah :Untuk keperluan Statuta ini, genosida berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan misalnya :Membunuh anggota kelompok tersebut;Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok yangDiperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran kelompok tersebut;Memindahan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok itu kepada kelompok lain. Rhona K.M Smith. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. PUSHAM UII. Yogyakarta. Hlm 328KONVENSI DEN HAAG 1907Konvensi Den Haag 1907 Op.Cit.Ria Wierma Putri, hlm 8. merupakan hasil konferensi Perdamaian ke-II sebagai kelanjutan dari konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag, adalah :Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan InternasionalKonvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Hutang yang berasal dari perjanjian perdata.Konvensi III tentang Memulai Cara PerangKonvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang Di Daratdilengkapi dengan Peraturan Den Haag.Konvensi V tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di DaratKonvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan peperangan.Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Musuh Menjadi Kapal Perang.Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Laut Otomatis di Dalam Laut dll.Aturan yang mengatur tentang Cara Berperang dan Senjata berperang dapat ditemukan dalam pasal-pasal di dalam Konvensi Den Haag 1907 antara lain :Pasal 23 : Sebagai tambahan atas larangan-larangan yang ditentukan oleh Konvensikonvensi khusus, maka secara khusus dilarang untuk:menggunakan racun atau senjata beracun;membunuh atau melukai secara kejam orang-orang atau tentara dari pihak musuh;membunuh atau melukai lawan yang telah meletakkan senjatanya, atau yang tidak lagi memiliki alat pertahanan, atau yang telah menyerah;menyatakan bahwa perlindungan tidak akan diberikan ;menggunakan senjata, proyektil, atau bahan-bahan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu;menyalahgunakan bendera perdamaian, bendera nasional, atau tanda militer dan seragam musuh, dan juga atribut-atribut pembeda dari Konvensi Jenewa;menghancurkan atau menyita harta benda milik musuh, kecuali jika penghancuran atau penyitaan tersebut diperlukan bagi kepentingan militer;menyatakan penghapusan, penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya hak-hak pembelaan warga negara pihak musuh dalam suatu pengadilan.Suatu Pihak Belijeren sebaliknya, dilarang menghasut warga negara pihak lawan untuk ikut serta dalam operasi peperangan yang ditujukan kepada negara mereka, meskipun mereka telah bekerja pada Belijeren sebelum dimulainya peperanganPasal 27 : Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempattempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer.Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada pihak penyerang.Pasal 50 : Tidak ada hukuman yang bersifat umum, finansial atau sebaliknya, yang dapat dibebankan kepada penduduk atas tindakan individu yang tidak dapat dianggap sebagai tanggung jawab kolektif.KONVENSI JENEWA 1949Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu Ibid. hlm 9:Protokol Tambahan I, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.Protokol Tambahan II, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.Dalam konflik bersenjata noninternasional, praktik Negara mendua arti mengenai apakah anggota kelompok oposisi bersenjata dianggap sebagai anggota angkatan bersenjata ataukah sebagai orang sipil untuk tujuan yang terkait dengan peraturan mengenai perilaku permusuhan. Pada khususnya tidak jelas apakah anggota kelompok oposisi bersenjata adalah orang sipil yang kehilangan perlindungan dari penyerangan bilamana mereka berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan atau apakah anggota kelompok semacam itu dapat dikenai penyerangan. Ketidakjelasan semacam ini juga tercermin dalam HI Perjanjian. Protokol Tambahan II, misalnya, tidak berisi definisi tentang "orang sipil" ataupun tentang "penduduk sipil" walaupun kedua istilah ini digunakan dalam beberapa aturan. Protokol Tambahan II, pasal 13-15 dan 17-18.Ada bebrapa pasal-pasal didalam konvensi jenewa mengenai pelanggaran yang terjadi, yaitu :Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi.Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan :pembunuhan disengaja;penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan;percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat;penghancuran yang luas; dantindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.BAB IV ANALISIS PELANGGARANGENOSIDAPengalaman sejumlah pengadilan tersebut telah jelas memberikan pesan bahwa para pelaku kejahatan-kejahatan serius harus dibawa ke pengadilan dan diadili. Sejumlah instrumen HAM internasional telah dibentuk untuk memastikan adanya penghukuman bagi para pelaku kejahatan-kejahatan serius. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, misalnya genosida dan penyiksaan, juga telah diakui sebagai jus cogens atau peremptory norms yang karenanya pelaku kejahatan tersebut merupakan adalah musuh semua umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap para pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes). Lihat Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1 08 Februari 2005).Kewajiban untuk melakukan penghukuman ini, yang tertuang dalam sejumlah instrumen HAM internasional, juga yurisdiksi internasional, yaitu berdasarkan pelanggaran-pelanggaran tertentu, mewajibkan untuk dituntut di dalam negeri, maupun memberikan kemungkinan pelaku pelanggaran tersebut dapat diproses di pengadilan di luar negeri. Hal ini misalnya dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (The Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), yang memberikan kewajiban utama untuk penuntutan pelaku kepada negara dimana pelanggaran terjadi, tetapi juga menentukan bahwa pengadilan lainnya, termasuk pengadilan internasional, memiliki yurisdiksi. Heri Sucipto. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Volume VIII No. 1 Tahun 2012. Jakarta. hlm 61KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAANMenurut F.S. Suwarno F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2, hlm. 203. terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi militerisme. Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Rusman, Rina, "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter", Jakarta, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2, 2004. Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat terjadi pada konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional. Pietro Vierri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, hlm. 35. Sejumlah model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik. Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60.Dalam hal ini, tidak hanya instrumen hukum internasional yang dapat digunakan dalam hal pertanggungjawaban, sesungguhnya negara juga berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia warga yang berada dibawah kekuasaannya, jadi ada kemungkinan hukum nasional sebuah negara juga dapat dipakai. Tami Rusli, Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Era Globalisasi, vol. 2 no. 2, hlm. 116, Jurnal Keadilan Progresif (2011).BAB V KESIMPULANTindakan yang dilakukan oleh suku Hutu kepada Suku Tutsi adalah tindakan Genosida atau pembantaian.Suku Hutu melakukan berbagai pelanggaran yaitu Genosida dan kejahatan terhadap kemanusian.Adanya unsur kesengajaan dan sikap membiarkan dari beberapa pihak yang menimbulkan akibat konflik tersebut meluas, sehingga pelanggaran HAM tersebut dilakukan jelas tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.DAFTAR PUSTAKAMartowirono , H.Suwardi. 2001. Hukum Humaniter. Makalah. Jakarta. Starke , J.G.. 2008. Pengantar Hukum Internasional: Terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja. Edisi kesepuluhan Jilid II. Sinar Grafika. JakartaICRC, Hukum Humaniter Internasional.Permanasari, Arlina, 1999. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, Henckaerts , Jean-Marie. 2005. Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik Bersenjata. Cambridge University Press. Naim, Ahmad Baharudin. 2010. Hukum Humaniter Internasional. Bandar Lampung : Universitas Lampung. Baca Statuta Roma 1998.Smith, Rhona K.M. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. PUSHAM UII. Yogyakarta. Putri, Ria Wierma, 2011. Hukum Humaniter Internasional, Bandar lampung: Penerbit.Universitas Lampung.Protokol Tambahan II, pasal 13-15 dan 17-18.Sucipto, Heri. 2012. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. JakartaSuwarno, F.S., 2005. Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS. Rusman, Rina, 2004. "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter", Jakarta, Jurnal HAM Komisi HAM Vierri, Pietro, .2012. Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain".Rusli, Tami, 2011 . Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Era Globalisasi, Jurnal Keadilan Progresif.