10
FILOSOFI MONUMEN AREK LANCOR Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Filsafat Nusantaran Oleh: Hairus Saleh JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012

Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

FILOSOFI MONUMEN AREK LANCOR

Makalah ini

Disusun untuk Memenuhi Tugas Filsafat Nusantaran

Oleh:

Hairus Saleh

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2012

Page 2: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Filosofi Monomen Arek Lancor Pamekasan

Monoment Arek Lancor

Monumen perjuangan yang merupakan tugu peringan

kepahlawanan rakyat Madura dalam mempertahankan

kedaulatan dan kemerdekaan negara republik indonesia.

Monomen itu berbentuk lima celurit yang berdiri tegak di tengah

alun-alun. Kita bisa lihat gambar ini:

Monument itu di apit oleh pusat ibadah dua agama terbesar di

dunia, yaitu masjid agung asy syuhada’ yang merupakan masjid

jami’ Pamekasan (kalau di Jakarta, sebutlah masjid istiqlal) dan

gereja yang merupakan pusat ibadah kristenian terbesar di Pamekasan. Kalau digambarkan

secara geografis, masjid jami’ tersebut terletak di sebelah barat Arek Lancor, sedangkan di

sebelah timur berdiri tegak gereja jami’ umat Kristen.

Kedua umat tersebut hidup berdampingan dengan damai tanpa ada konflik baik dalam

kehidupan keseharian termasuk juga dalam peribadatannya. Mereka beribada dengan tenang

dan tenteram dengan saling menghormati.

Kembali lagi ke Arek Lancor, bahwa ia menjulang di tengah taman yang melingkar sebagai

pusat kota pemekasan. Taman itu dilengkapi dengan jalan yang membentuk lafadz Allah.

Sebenarnya Arek Lancor merupakan bahasa Madura yang dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan menjadi celurit. Lima kobaran itu berbentuk kobaran api yang saling

berhadapatn. Kemudian kalau kita ambil satu dari lima Arek Lancor itu. Kita akan

mendapatkan bahwa bentuk arek itu juga berbentuk tanda Tanya (?) dan terdapat ujung

runcing yang mengarah keatas.

Seluruh yang saya sebutkan tadi sebenarnya tidak hanya sekedar bentuk yang tak bermakna.

Arek Lancor itu merupakan suatu lambang yang mewakili seluruh pribadi masyarakat

Pamekasan pada umumnya. Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat Pamekasan sedikit

banyak kita cukup memahaminya melalui makna yang tertuang dalam Arek Lancor ini.

Sekilas Tentang Arek Lancor

Page 3: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Arek lancor ini merupakan senjata masyarakat Madura pada umumnya, tidak sebatas

digunakan masyarakat Pamekasan. Masyarakat Madura mengenal celurit pada abad ke-8 M.

abad ini adalah abad penindasan pemerintah belanda terhadap masyarakat jawa timur

termasuk juga madura.

Pemerintah belanda menekan masyarakat untuk menjual murah tanah-tanah mereka untuk

ditanami tebu serta masyarakat juga dipaksa untuk bekerja diladangnya tersebut dengan upah

yang tidak sewajarnya. Ngerinya, pemerintah belanda tidak segan-segan memukul, menyiksa

bahkan membunuh mereka yang membangkang terhadap kehendak bebasnya.

Penindasan terus meraja lela sampai lahir seorang tokoh pemberontak yang gagah berani. Ia

adalah sakera. Ini tokoh legendaris masyarakat Madura yang memunyai jasa besar dalam

menulak penindasan dan membela yang lemah.

Sakera sebagai orang yang berani, ia dengan tegas dan tanpa ragu membunuh antek-antek

belanda yang menindas masyarakat lemah. Sedangkang senjata yang digunakannya ialah

celurit. Saat itu lah arek lancor menjadi senjata perjuangan untuk membasmi ketidak adilan

serta penindasan.

Sejak itu lah masyarakat yang awalnya tidak berani melawan sifat Belanda dzalim,

masyarakat mulai berkobar untuk meghadapi penjajah dengan gagah dan berani dengan

menggunakan celurit. Gerakan masyarakat celurit ini lah mampu membuat belanda kwalahan

menganinya. Sehingga ia harus membayar pembunuh bayaran dari pribumi itu sendiri. Cukup

lah kiranya kupasan tentang arek lancor.

Filsafat Arek Lancor

Filsafat Arek Lancor itu tertuang dengan kokoh di dalam monoment itu sendiri. Secara umum

bisa di pilah dalam tema-tema yang akan diuraikan dengan jelas dan kokoh.

Filsafat Ketuhanan

Tuhan dalam pandangan masyarakat Pamekasan merupakan sosok yang sangat sakral.

Keberadaannya tidak dapat diganggu gugat. Tidak boleh satu pun masyarakat yang

menafikan keberadaannya. Ia adalah pangeran yang mengatur seluruh alam dan yang

mempunyai kekuasaan penuh terhadap alam semesta.

Karena Tuhan merupakan sosok yang memunyai kekuasaan penuh terhadap alam termasuk

juga manusia, masyarakat Pamekasan memosisikanNya pada titik tertinggi dari kehidupan. Ia

adalah tujuan akhir dari hidup manusia. Oleh karena itu, di setiap langkah dan amal perbuatan

Page 4: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

mereka selalu dikaitkan dengan Tuhan. Tidak ada perbuatan yang tidak ditujukan pada Tuhan

yang maha esa.

Tuhan itu merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Ia tersirat di setiap ujung arek lancor yang

menjulang ke atas. Ujung itu adalah ujung terakhir dan teratas yang merupakan titik temu

dari seluruh aktivitas arek lancor yang ada sebagai monoment Pamekasan.

Tuhan yang dianut ialah tuhan yang maha esa, karena satu arek lancor hanya mempunyai satu

ujung. Lima arek yang berjejer kokoh tampaknya menggambarkan lima dasar keagamaan

yang selalu dijadikan pegangan, yaitu rukun islam, karena pendiri kabupaten ini adalah

muslim dan masyarakatnya rata-rata adalah muslim. Tetapi meskipun mereka muslim,

mereka tetap menerima dan menghargai penganut agama lain. Ini terlihat kehidupan yang

damai antar umat beda agama.

Bagi masyarakat Pamekasan konsep ketuhanan itu, merupakan konsep yang melandasi

seluruh hidupnya. Dengan demikian seluruh pembahasan selanjutnya juga dilandaskan pada

ketuhanan ini.

Humanisme Masyarakat Pamekasan

Masyarakat Pamekasan tidak hanya stagnan dan terpaku pada masalah yang vertical saja,

karena ia sadar bahwa hidup ini tidak hanya semata-mata untuk Tuhan dan menafikan yang

lain. Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan akan Tuhan yang maha esa,

mereka juga menurunkan nilai-nilai keTuhanan pada prilaku dalam berhubungan antara

sesama manusia, tidak hanya itu bahkan mereka sangat menghargai alam sebagai makhluk

Tuhan.

Itu artinya, masyarakat Pamekasan menjunjung nilai humanisme yang tinggi. Humanisme

yang dimaksud ialah perlakuan terhadap sesama manusia sebagaimana seharus yang menurut

Zawawi Imron nilai-nilai kemanusiaan itu sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan

dan juga Madura pada umumnya.1

Dalam bermasyarakat, masyarakat Pamekasan berprilaku sebagaimana yang telah

diperintahkan Tuhan secara implisit, saling menyayangi, membantu dan menghargai terutama

tamu, di Pamekasan dikenal dengan istilah ngormat tamoi. Bagi masyarakat Pamekasan,

tamu itu bagaikan raja. Bagaimana ketika raja mampir ke rumah warganya, maka seperti

itulah posisi dan status tamu bagi mereka.

1 Suryadi, Celurit Baja atau Celurit Emas, http://achsuryadi.blogdetik.com

Page 5: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Bagi orang Pamekasan, bertamu berarti menghargai (oreng namoi reyah artenah ngargeih).

Oleh karena itu setiap orang yang bertamu kepada orang lain, secara implisit orang itu sudah

sangat menghargai orang lain dang mengakuinya sebagai salah satu dari bagian hidupnya.

Karena penamu telah menghargai yang ditamui, tuan rumah meresponnya dengan kebaikan

yang lebih, yaitu dengan memosisikannya sebagaimana raja.

Mayoritas masyarakat Pamekasan adalah kalangan menengah kebawah dalam segi ekonomi.

Mereka yang berada di ekonomi menengah kebawah, tentunya untuk makan enak atau

membeli makanan saja itu sudah sangat berat. Tetapi ketika tamu mampir kepada mereka,

apalagi dari luar daerah, mereka pasti membelikan sang tamu sesuatu yang tidak pernah ia

makan dalam kesehariannya. Bahkan seandainya mereka pun hanya mempunyai satu piring

nasi untuk dimakan satu hari tersebut, tamu lah yang harus didahulukan. Lebih baik tuan

rumah yang tidak makan dari pada tamu yang harus terlantar. Begitu lah orang Pamekasan

memperlakukan tamu.

Perlakuan yang demikian itu bukan semata-mata karena kebiasaan yang kemudian

melahirkan kewajiban mutlak untuk terus melayani tamu sebaik mungkin, tetapi karena

memang seharusnya tamu itu diperlakukan demikian. Tamu di sini dipandang tidak sebagai

selain tamu, sehingga tamu itu sendiri menjadi utuh sebagai tamu.

Dalam konsep filsafat, apa yang tampak pada masyarakat Pamekasan ini sudah sangat

rasional, karena telah memperlakukan sesuatu sebagaimana adanya dan sebagaimana

seharusnya. Perlakuan sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya itu tampak pada

tamu yang tidak diperlakukan sebagai kuli bangunan, tidak pula sebagai pencuri dan juga

pembunuh.

Humanisme masyarakat Pamekasan ini memang tidak dapat dipisahkan antara hubungan

vertikal dan horizontal. Hubungan ini tampak pada simbol arek lancor. Bangunan monomen

arek lancor meruncing keatas yang kemudian melebar kebawah. Agar lebih jelas kita bisa

mengandaikan atau menganalogikan selayaknya segi tiga yang tegak dan kokoh. Lambang

melebar dari bawah menunjukkan hubungan horizontal antar sesama manusia dan tidak luput

dengan makhluk. Simbol itu terus mengerucut ke atas menunjukkan adanya hubungan yang

tak terpisahkan antara hubungan horizontal dan vertikal. Segala hubungan yang horizontal –

segala urusan keduniaan- itu terus bermuara pada satu titik yang nantinya bertemu di ujung

arek lancor. Ujung itu merupakan titik tertinggi sebagai lambang ketuhanan.

Page 6: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Sebenarnya masih banyak lagi humanisme yang bisa kita ungkap secara jelas dan baik dalam

sub ini. Tetapi tentang celurit yang diklaim sebagai alat yang memicu kekerasan dan watak

orang Pamekasan/Madura yang menakutkan2 akan kita bahas di sub khusus. Pembahasan ini

merupakan inti dari pembahasan arek lancor karena ini adalah antitesa dari klaim tersebut

karena memang klaim ini tidak sesuai dengan falsafah arek lancor yang sudah tertanam di

tengah-tengah kota Pamekasan.

Semangat Nasionalisme Masyarakat Pamekasan

Tampaknya banyak sejarah yang terlupakan oleh bangsa ini. Bahwa masih banyak pahlawan

kemerdekaan yang tertimbun tanah. Mereka yang tak pernah diingat sedikipun oleh bangsa.

Bahkan senjata yang menjadi salah satu senjata hebat –celurit- dari sebrang surabaya pun ikut

tertepis jauh dari nilai perjuangan dan bahkan berubah statusnya menjadi senjata yang begitu

hina dan menakutkan. Ini lah pembelokan sejarah yang harus segera diluruskan.

Gerakan penolak penindasan dan penjajahan yang dipelopori sakera merupakan bukti nyata

tentang keterlibatan secara intens masyarakat Pamekasan dalam memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia. Membangun manusia yang manusiawi melalui falsafah arek lancor

yang sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan juga merupakan sumbangan besar

terhadap perkembangan bangsa Indonesia.

Selain itu, keterlibatan para kiai dan masyarakat dalam mencetak kaum intelektual yang kritis

dan hidup, tidak kering dari nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, melalu pondok pesantren

dan pendidikan ke tingkat pendidikan setinggi mungkin merupakan langkah strategis yang

sangat menentukan masa depan bangsa ini.

Tidak hanya itu, semangat pengamlikasian Pancasila sebagai landasar dasar bangsa ini sudah

masyarakat Pamekasan usahakan melalui pengakuan, pelaksanaan dan perlindungan terhadap

tuhan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradap dan seterusnya. Hidup damai

bersama masyarakat beda agama, kultur, ras dan sebagainya sudah mereka laksanakan

dengan baik, terbukti dengan berdekatannya gereja dengan masjid dan tetap utuhnya tempat

sembahyang orang Budha yang ada di pesisir talang siring. Itu semua tercantum dalam

falsafah arek lancor kebanggaan masyarakat Pamekasan dan Madura.

Asapok Angin Abental Ombek

2 Hairus Saleh, Citra Madura di Mata Dunia, sabdakhairuss.blogspot.com

Page 7: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Asapok angin abental ombek ini merupakan satu dari ribuan teori falsafah yang sudah lama

menjadi landasan hidup masyarakat Pamekasan atau Madura secara keseluruhan tanpa harus

menghilangkan nilai-nilai falsafah yang lain.

Secara etimologi istilah asapok angin abental ombek itu berarti berselimut angin dan

berbantal ombak. Ada pun secara terminologi istilah itu ialah masyarakat Pamekasan itu tidak

mudah menyerah untuk mendapatkan impian luhur yang didambakan. Walau dinginnya angin

laut yang menusuk sumsung tulang di malam hari, dan meskipun ombak yang

bergelimpangan menerka perjalanannya, mereka tak pernah gentar sedikit pun untuk terus

melaju.

Biarlah orang lain mengatakan tidak mungkin membuktikan ketidak kerasan masyarakat

Pamekasan, tetapi masyarakat Pamekasan akan terus berusaha sekeras mungkin untuk

mencapai angan yang sudah lama dinilai miring masyarakat. Ini lah yang dimaksud dengan

keteguhan hati dan pendirian masyarakat Pamekasan yang pantang menyerah.

Tetapi harus ditekankan lagi bahwa keteguhan itu tidak hanya keteguhan yang tanpa

berlandasankan nilai-nilai luhur dan bijak. Nilai-nilai luhur yang menjadi ukuran masyarakat

Pamekasan ialah nilai filosofis dari arek lancor yang sebagian telah kita bahasa di atas. Nilai-

nilai yang melekat pada arek lancor itu dijalankan dengan baik oleh masyarakat Pamekasan

tanpa ada satupun pertentangan.

Keteguhan ini sepenuhnya temsimbolkan dalam monomen arek lancor yang berdiri gagah

tanpa bergeser sedikipun meskipun panas, angin, hujan dan petir menyambar sekalipun,

kecuali sudah waktunya roboh, maka itu sudah persoalan lain. Monumen Arek Lancor berdiri

tegak di atas landasan yang kokoh melukiskan keteguhan dan kesiap-siagaan rakyat Madura

dalam menghadapi setiap tantangan.3

Celurit dan Kekerasan

Celurit adalah satu dari berbagai senjata bangsa yang agung. Senjata ini memunyai kontribusi

besar dalam memberantas penindasan dan penjajahan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai

kemanusiaan masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Madura. Tetapi menjadi sangat

menyedihkan ketika salah satu bagian dari sejarah itu dimarjinalkan. Segala peranan

pentingnya diubah menjadi sumber mala petaka, kekerasan dan sebagainya.

Berdasarkan sejarah, bahwa masyarakat Pamekasan atau Madura berasal dari masyarakat

yang beragama hindu dan islam setelah masuknya putra-putera Rio Lembu Petang. Nenek

3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pamekasan

Page 8: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

moyang yang berasal dari hindu ialah raja Sangka. Ia adalah raja yang menjadikan Madura

sebagai nama pulau di seberang Surabaya itu.4 Kita pun harus tahu bahwa beliau beserta

keluarganya adalah orang yang sangat menghargai warganya. Puteranya, pangeran Jira berani

–dengan persetujuan sang ayah- mengorbankan nyawanya demi keselamatan seluruh

masyarakatnya dari keterpurukan. Pengorbanan ini merupakan personifikasi dari nilai

kemanusia yang begitu agung. mereka adalah orang-orang yang sangat menyayangi sesama.

Setelah masuknya kerajaan Majapahit yang pada waktu itu sudah masuk islam, dibawah

kepemimpinan nyai banu (putri Rio mango) kerajaan itu mengalami kejayaan yang luar

biasa.5 Karena nyai banu yang saat menyayangi dan menghargai masyarakatnnya. Ini juga

menampakkan bahwa masyarakat Pamekasan dan Madura itu memunyai solidaritas yang

tinggi.

Selain itu, bentuk perlawanan terhadap penindasan Belanda itu sudah merupakan bukti bahwa

masyarakat Madura sangat menentang perlakuan yang tidak adil dan kekerasan kolonial

Belanda atas masyarakat pribumi pada umumnya.

Bentuk arek lancor itu sendiri juga yang tidak memungkinkan masyarakat Madura

menggunakan celurit sebagai alat kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Bentuk arek

lancor yang menyerupai tanda tanya itu merupakan satu simbol bahwa orang Madura

khususnya Pamekasan –ketika hendak menggunakan celurit- akan selalu bertanya, apakah

langkah yang ia lakukan untuk menggunakan celurit itu sudah benar?, apakah penggunaan

celurit itu sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah tertanam sejak dahulu kala

itu?

Maka sebenarnya, kalau pun celurit-celurit masih bergelimpangan di rumah warga –meskipun

sekarang sudah mulai lenyap-, itu hanyalah budaya belaka. Itu merupakan bentuk

penghormatan masyarakat kepada pejuang legendarisnya. Masyarakat mengabadikan senjata

itu agar tidak lupa terhadap sejarahnya sendiri yang merupakan jatidirinya, bahwa di balik

celurit itu menyimpan sejuta kenangan dan makna yang penting bagi masyarakat. Nilai-nilai

di balik itu –seperti membela kaum lemah dari penindasan- yang nantinya selalu menyertai

setiap langkahnya.

Tentang logat dan intonasi bicara orang Madura yang nilai keras -dalam arti marah-marah-

yang sudah diklaim masyarakat, penulis juga akan meluruskannya. Benar teori Ibn Khaldun

dalam muqoddimahnya, bahwa karakter seseorang itu dibentuk oleh keadaan geografisnya.

4 Redaksi, Asal Mula Nama Pulau Madura, http://skripsiplus.blogspot.com5 Farhat Hidayat, Sejarah Pamekasan Madura, http://panoramabudayamadura.blogspot.com

Page 9: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Sama halnya dengan masyarakat Madura. Ucapan orang Madura yang demikian sebenarnya

tidak pas dinilai keras sebagaimana arti di atas yaitu dalam arti marah-marah, tetapi lebih

tepat dimaknai keras dalam arti lantang, volume suara yang tinggi. Alasannya ialah karena

masyarakat Madura yang hidup dipinggir pantai.

Di pantai, angin bertiup jauh lebih kencang dari pada di daratan jauh dari laut. Karena angin

yang kencang itu selalu membawa gelombang-gelombang suara searah dengan arah aging,

sehingga suara pembicara tidak dapat didengar dengan jelas oleh lawan bicara. Hal ini

menuntut pembicara untuk menaikkan nadanya agar dapat berinteraksi dengan lebih baik.

Keadaan itu terjadi sepanjang hidupnya, sehingga kebiasaan itu menjadi melekat dalam

benaknya sampai keadaan wilayah lain mampu mengkikisnya.

Oleh karena itu, penulis juga sangat keberatan dengan tulisan Latief Wiyata yang melukiskan

masyarakat Madura dengan kekerasan sebagaimana yang telah ditulis dalam bukunya

“Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura”. Di dalamnya ia mengatakan

bahwa kekerasan itu sendiri sudah menjadi bagian dari budaya Madura.6 Klaim ini jelas

sangat lemah mengingat penelitian lapangannya masih banyak celah.

Kelemahan di antara kelemahan-kelemahan itu yaitu, dia bukan orang Madura asli. Dia hanya

peneliti yang meneliti di 7 desa kecil itu pun hanya di kabupaten Bangkalan sebagai untuk

keperluan tesis. Sedangkan kabupaten Bangkalan terdiri dari 17 kecamatan7 yang tiap

kecamatan terdiri dari kurang lebih 20 desa8. Itu berarti jumlah desa keseluruhan ialah 340

desa. Dengan demikian hanya 0.02 % dari seluruh jumlah desa di Bangkalan yang ia teliti, itu

pun tidak disebutkan jumlah masyarakat yang diwawancarai. Jumlah itu terlalu kecil

mendapakan hasil yang valid dan diterima dengan baik, meskipun sudah sesuai dengan teori

penelitian, apalagi kalau nanti hasil penelitiannya dijustifikasikan atau dijadikan ukuran

kekerasan di Madura yang terdiri dari 1000 desa lebih dan jutaan warga. Untuk itu, penulis

sangat ragu terhadap hasil penelitian tersebut, mengingat penulis makalah ini lahir dan hidup

di Madura selama 20 tahun lebih dan juga sudah berpetualang ke berbagai wilayah di sana.

Tampaknya sangat diperlukan penelitian ulang yang lebih akurat, yang dilakukan orang

Madura itu sendiri karena merekalah yang jauh lebih paham tentang dirinya sendiri.

6 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Malang: LkiS Pelangi Aksara, 2002), h. 9

7 http://www.bangkalankab.go.id/8 Godam, Daftar Nama Kecamatan/Kelurahan/Desa & Kode Pos di Kota/Kabupaten Bangkalan Jawa Timur (JATIM), http://organisasi.org

Page 10: Filosofi monomen arek lancor pamekasan

Penelitian itu yang nantinya akan menjadi antitesa terhadap karya Latif Wiyata itu yang

kemudian akan merombak seluruh penilaian miring terhadapnya. Sekian