Upload
azieer-keira-hhelohs
View
18
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
filsafat
Citation preview
I
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat ilmu
yang dibina oleh Bapak Dona sandy Yudasmoro
Di Susun Oleh
Muhammad Faisal Ammar
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA
November 2014
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu saya dengan senang hati
membuat makalah tentang olahraga, untuk memeberikan wawasan mengenai olahraga
dengan kajian secara filosofis besrta tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur
ilmu dan penggolonggan pengetahuan ilmiahnya dan menemukan sub disiplin dalam
bidang ilmu olahraga Olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan.
Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta
dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti
berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat)
UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa
permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri
sendiri”.
Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas
dan dilaksanakan dalam waktu luang”.
Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All”
dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragaka
masyarakat” (Rusli dan Sumardianto,2000: 6).
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala
kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-
potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat
dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus
bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai
karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d.
Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai
karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi,
kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.
B. Rumusan masalah
1. Kajian filosofis tentang olahraga
2. Tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur ilmu dan penggolonggan
pengetahuan ilmiahnya
3. Sub disiplin ilmu dalam olahraga
C. Tujuan
1. Mengetahui kajian filosofis tentang olahraga
2. Mengetahui Tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur ilmu dan
penggolonggan pengetahuan ilmiahnya
3. Sub disiplin ilmu dalam olahraga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian filosofis mengenai olahraga
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai muncul
pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu
olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis
terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat
kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun
sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring
kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai
bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan. Filsafat, dalam hal
ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian
ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga
dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan
ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu yang
berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu,
asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan ilmu. Ontologi merupakan sarana
ilmiah untuk menemukan jalan penanganan masalah secara ilmiah (Van Peursen, 1985:
32). Dalam hal ini ontologi berperan dalam proses konsistensi ekstensif dan intensif
dalam pengembangan ilmu.
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam
usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan
dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh
pengetahuan baru atau mengem bangkan yang telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu
dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan
ilmu pokok dan ilmu cabang dibahas di sini.
Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu
mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan
ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi sehingga secara inheren
mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika, estetika, religius (sisi dalam)
dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi
luar aksiologi). Keduanya merupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan.
Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter
dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan
yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal balik yang
sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi
tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal tersebut.
Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini ontologi,
epistemologi, aksiologi mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam.
Ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi
dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.
1. Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti halnya
sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan
demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang,
atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang
memiliki akar eksistensi ontologis sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam
kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih. Olahraga juga adalah
permainan, senada dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk bermain (homo ludens-
nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak
jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di
masa modern, di mana dalam sejarahnya, selalu mengawal peristiwa keolahragaan itu.
Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri. Mitos dan
agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan
kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga
merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan
transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif
tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka
dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi,
kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan
(Hatab, 1998: 98).
Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisi-puisi
Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan.
Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik,
keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian, drama dan retorika
(Crowell, 1998: 7).
Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal
kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial adalah
mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia. dapat mencapai
kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran melalui pengambilan
resiko dan pengkonfrontasian, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain
dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung
dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir dalam Iliad itu bahwa tanpa
kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-
apa (Hatab, 1998: 98). Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan
atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani
Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung
diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi
keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes
atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan
mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian,
keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Hatab, 1998: 99).
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang
tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam
ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai
analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama baik tentang nasib dan
kepahlawanan dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon. Sekarang,
signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-
statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara
bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan
terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan
religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting
latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang
meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat
olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,
1998: 99).
2. Ekspresi Filosofis Kultur OlahragaFriederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”) termasuk
filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia Yunani Kuno yang
menghargai atletik sejajar dengan intelek. Nietzsche adalah seorang filsuf kontroversial
yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang tak langsung debat akademis tentang
kaitan pemikiran filsafat dan ilmu keolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti
Richard Schacht, menyebut “filsafat olahraga Nietzscheian” sebagai istilah penting dalam
bahasan ilmiahnya, Nietzsche and Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai
sebagai terlalu maju dan ahistoris, oleh karena pemikir lain seperti Lawrence J. Hatab
(1998: 78) menyatakan bahwa Nietzsche sedikit sekali atau bahkan tak pernah bicara
tentang aktivitas atletik dan olahraga secara langsung. Hatab mengeksplorasi Nietzsche
hanya dalam kaitan pemikirannya yang dapat diasosiasikan dan mengarah pada tema
keolahragaan. Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power,
sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik dan
event-event olahraga (Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa arah pemikiran
yang berhubungan secara historis pada dunia keolahragaan termasuk dalam ekspresi
pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, ilmu keolahragaan memiliki akar filosofisnya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang
menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa hal-hal
tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan atletik
adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting. Ini dapat dilihat dari efek
kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu, pertunjukan olahraga juga dapat
dipahami sebagai tontonan publik yang mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup,
prestasi teatrikal dari keadaan umat manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses
dan gagal. Dari sudut pandang pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa
olahraga dapat menanamkan kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin,
kerja tim, keberanian dan intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius” untuk
diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998: 106), sehingga
filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan
jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki
kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani
Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi
menempati penghargaan kultural terhormat. Namun demikian, Steven Galt Crowell
(1998: 113) dengan mengeksplorasi secara mendalam feneomena olahraga sebagai
tontonan dan permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan
“merusak kesehatan”.
Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk “war on
drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi terkemuka
menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit olahraga.
Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan
keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai
keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya,
sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketiadaartian kecakapan. Tontonan
menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya,ke
dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh Nietzsche
disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan manusia “kurang
segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu banyak memilikinya
keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata besar, mulut besar, perut besar,
segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115).
Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya
menjadi manusia, tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari
penonton yang pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri (teralienasi
- dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan kompetitif seperti ini, tak
ada artinya “aturan urutan juara”: kemenangan di beli dan dibayarkan, olahraga sebagai
tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak dialami sendiri.
3. Deklarasi Ilmu Olahraga
Beberapa pendapat di atas bagaimanapun mencerminkan suatu perhatian filosofis
yang diakronik terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumental di jaman ini
(setidaknya dengan mengukur antusiasme masyarakat awam terhadap tontonan olahraga
baik langsung di stadion maupun di televisi, atau dengan larisnya majalah atau kolom
keolahragaan, berikut fenomena “megasponsor” dan perjudian di dalamnya). Lalu,
bagaimana tuntutan perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di Indonesia khususnya
dan masyarakat akademis dunia pada umumnya? Terdorong oleh rasa ingin mencari
jawaban tepat terhadap pertanyaan: apakah olahraga merupakan ilmu yang berdiri
sendiri, dan sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, maka diselenggarakanlah
pada tahun 1998 di Surabaya suatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan.
Seminar ini mampu melahirkan kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga
yang dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan, sebagai
jawaban bahwa olahraga merupakan ilmu yang mandiri. Sebagai ilmu yang mandiri,
olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan pengorganisasian yang
khas, dan ini dicakup dalam paparan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi
(Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, 2000: 1-2, 6). Dari sini, filsafat ilmu muncul
sebagai suatu kebutuhan.
Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan keolahragaan dengan filsafat
olahraga dengan mencoba mengurai berbagai aspek yang dianggap terkait dengan
berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan, terutama dalam hal dimensi
edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang menggagas filsafat ilmu
keolahragaan dalam tinjauan yang kurang lebih diasalkan pada pendidikan jasmani. C.A.
Bucher dengan bukunya Foundation of Physical Education and Sport (1995), William H.
dalam buku Physical Education and Sport a Changing Society (1987), adalah beberapa
karya yang bernuansa filsafat ilmu keolahragaan, namun pembahasan yang diambil lebih
merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk membangun dasar-dasar
ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi, epistemonogi dan aksiologi
belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.
Aspek pertama, ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmu
keolahragaan yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO
mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan
perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan
Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan
dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia
“Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan
mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6). “Aktivitas”, sebagai
kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak
manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh karena
itu, menurut KDI keolahragaan, obyek material ilmu keolahragaan adalah gerak insani
dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan.
Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan paling mendasar. Penelitian
filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan tak
terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau
tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal.
Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: “oran dum es ut sit
‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa menyehatkan
jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk mencegah timbulnya
pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang kepada perbuatan-perbuatan yang
tidak baik (Noerbai, 2000: 35). Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah
fenomena keolahragaan berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang
fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh
dari medan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang
mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu. Ilmu
keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan multidisipliner,
lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi
vertikal karena merupakan penggabungan beberapa disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai
oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau
ide. Sedangkan pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena
melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan.
Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan membentuik batang
tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu. Inti kajian
ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain dan
Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi,
Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah
Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari
Humaniora terwujud dalam antropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam
Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI
Keolahragaan, 2000: 33-34).
Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu
kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan,
2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi
dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya.
Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis
menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk
dieksplorasi. Ini termasuk dari sisi estetisnya, di mana Randolph Feezell mengulasnya
secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya (Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan
nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-92) membahasnya secara ekstensif dan
komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-118) membahas kaitan olahraga dengan arah
spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara sosiologis membahas dimensi
feminis dalam olahraga. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi
ilmu keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas
menantang.
Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi
ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang Paul Weiss tulis
dalam bukunya Sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin banyak renungan
filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap
olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu dimaknai secara
operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini, fenomena signifikansi dan kejelasan
transkultural dari olahraga menempati salah satu koridor akademis ilmiah yang
membutuhkan lebih banyak penggagas dan kreator ide (Hyland, 1990: 33).
Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini membawa
implikasi logis bagi filsafat untuk mengasah mata pisau “keibuannya”, mengingat dari
sejarahnya, filsafat dianggap mater scientarum: “ibunya ilmu”, dalam memberi tempat
bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau inti isi ilmu keolahragaan sekaligus
mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.
B. Disiplin ilmu dalam olahraga
Ilmu Keolahragaan sebagai suatu disiplin ilmu, diakui dan dibina secara formal
di Indonesia masih relatif belum lama yaitu sejak tahun 1999 ketika Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional membentuk Komisi
Disiplin Ilmu Keolahragaan sebagai Komisi Disiplin Ilmu ke 13, di samping 12
Komisi Disiplin Ilmu lain yang sudah sejak lama dibina melalui Konsorsium Ilmu.
Sebelum dibentuk Komisi Disiplin Ilmu keolahragaan, secara formal keberadaannya
dimasukkan di dalam lingkup ilmu Pendidikan yang dibina melalui Konsorsium Ilmu
Pendidikan. dengan masih mudanya Ilmu Keolahragaan sebagai Disiplin Ilmu di
indonesia, maka masih diperlukan usaha keras para ilmuwan keolahragaan untuk
mempertajam kajian ilmiahnya dan mempertegas wilayah kajiannya agar memperoleh
pengakuan secara luas dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lain yang sudah lebih
dulu berkembangan. Pendalaman mengenai dimensi kajian dan struktur ilmu
keolahragaan perlu dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di lembaga pendidikan
tinggi keolahragaan yang pada dasarnya merupakan ujung tombak pengembangan ilmu
keolahragaan. belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengakui
eksistensi ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmu dengan terminology penamaannya
masing-masing yang beragam, dapat ditemukan yang sudah sedemikian
komprehensif dan mendalam. Fenomena manusia yang melakukan aktivitas fisik
dalam rangka pembentukan dan pendidikan yang sekarang dikenal di Indonesia
sebagai olahraga telah lama dikaji secara ilmiah di berbagai negara di seluruh dunia.
Perkembangan kajian di berbagai negara cukup bervariasi, baik ditinjau dari segi fokus
dan tema kajian maupun tingkat kepesatan kemajuannya. Melalui ilmuwan keolahragaan
yang dimiliki, ada negara-negara yang sudah mampu melakukan kajian secara intensif
dan mendalam , tetapi banyak juga yang masih terbelakang. Kajian ilmiah secara intensif
terhadap fenomena keolahragaan umumnya lebih mampu dilakukan oleh negara-negara
yang telah memiliki budaya ilmiah yang baik asil kajian tentang keolahragaan telah
disusun dalam struktur keilmuan sebagai suatu disiplin akademik atau disiplin ilmu.
Dengan obyek material dan formal yang sama, ternyata struktur keilmuan yang dibuat
dan terminology disiplin ilmunya cenderung beragam di setiap negara. Hal ini
dipengaruhi oleh dasar pengelompokan disiplin ilmu yang digunakan, dan tentu juga
dipengaruhi oleh faktor kebahasaan khususnya kosa kata dalam bahasa yang dipakai oleh
setiap negara.
Perkembangan Terminologi Ilmu Keolahragaan
Secara internasional, kajian mengenai fenomena keolahragaan memiliki sejarah
panjang, melalui berbagai tahapan perkembangan mulai dari kajian yang relatif masih
sederhana sampai sekarang yang sudah menjadi sangat kompleks. Terminologi yang
digunakan untuk penamaan kajian fenomena keolahragaanpun juga mengalami
perubahan dari masa kemasa.
Pada zaman Mesir Kuno, di kota Sparta dan Athena sudah dikenal aktivitas
jasmani yang sistematik dengan maksud dan tujuan untuk membentuk tubuh yang
baik, kuat, tahan, lincah, dan pemberani, yang disebut Gymnastics. Gymnastics
berarti athletics atau bentuk latihan yang dilakukan di gymnasium. Dikemudian hari
beberapa negara antara lain Jerman, Swedia, Denmark, dan Amerika menggunakan
istilah gymnastics dengan pengertian yang lebih spesifik yaitu suatu latihan formal,
calisthenics, dan aktivitas yang menggunakan alat. Pada abad 18 muncul istilah Physical
Culture yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh,
atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematik. Buku berjudul Physical
Culture telah ditulis oleh Charles Wesley Emerson yang edisi ke 9 nya diterbitkan di
Boston pada tahun 1904. Pada abad 19 muncul istilah Physical Training yang digunakan
di Amerika dalam latihan militer, untuk menamai program latihan dan aktivitas fisik
yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta
keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada abad 19 muncul istilah Physical Education
yang digunakan diperguruan tinggi di Amerika Serikat. Istilah ini kemudian semakin
popular dan digunakan sampai saat ini disamping istilah-istilah lain yang muncul. Dalam
perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah Physical Education sebagai
nama suatu disiplin akademik tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih
tepat. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada
tahun 1927 dalam bukunya yang berjudul The New Physical Education, dan
diungkapkan kembali pada tahun 1938 dalam bukunya yang berjudul New
Directions in Physical Education.Pada tahun 1935 S.C. Staley menulis buku
berjudul The Curriculum in Sport, dan pada tahun 1939 menulis buku lagi berjudul
Sport Education. Buku-buku tersebut menandai adanya istilah baru yaitu Sport. Pada
tahun 1971 dalam Convensi Detroit dibuat pernyataan bahwa agar memperoleh status
yang lebih baik di dalam kurikulum sekolah, nama Physical Education harus
diganti. Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang
dirasakan bahwa nama Physical Education tidak sesuai lagi dengan keluasan
spektrum bidang studi dan keragaman layanan profesional yang dapat dilakukan.
Pada tahun 1973 American Academy of Physical Education melakukan kajian
mendalam untuk mencari nama baru, dan memunculkan beberapa alternatif nama
yaitu: 1) Kinesiology; 2) Kinetics; 3) Physical Education and Sport; 4) Physical
Education and Dance; dan 5) Movement Art and Sciences. Dari 5 alternatif
tersebut, nama Movement Art and Sciences dinilai paling tepat untuk dipilih.
Pemikiran lain yang menonjol adalah oleh Prof. Dr. Herbert Haag,M.S. dari
Jerman yang mengembangkan konsep Sport Sciences, dan oleh Prof. Dr. K.
Rijsdorp dari Belanda yang mengembangkan konsep Gymnologie, serta oleh Claude
Bouchard, PhD. dari Kanada yangmengembangkan konsep Physical Activity
Sciences. Kajian atas konsepkonsep keilmuan yang dihasilkan para ahli tersebut
menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang dibuatnya. Namun
karena pada hakekatnya obyek kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik
benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling
melengkapi. Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di Indonesia
cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara internasional. Hasil kajian
yang ditulis para ahli dari negara-negara maju diadopsi dan digunakan sebagai
referensi pengembangan kajian. Dalam hal terminology untuk menamai bidang studi
keolahragaan yang digunakan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Mula-
mula digunakan nama Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi
Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
Sedangkan istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin
ilmunya adalah Ilmu Keolahragaan. Untuk sampai pada tahap diakuinya Ilmu
Keolahragaan sebagai disiplin ilmu telah melalui perjuangan dan jalan panjang,
yang berujung pada diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu
Keolahragaan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam forum yang dihadiri oleh para
ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah
dicanangkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi Ilmu Keolahragaan. Berdasarkan
hasil Seminar dan Lokakarya tersebut yang ditindaklanjuti dengan pembentukan
dan berfungsinya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, maka dapat dihasilkan
dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana
Pengembangannya. Dokumen ini dapat digunakan sebagai acuan pengembangan
selanjutnya.
Hakikat Ilmu Keolahragaan
Ilmu keolahraga pada dasarnya mempunyai akar pada pengetahuan yang
melingkupi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat multidimensi. Hidup dan
kehidupan manusia selalu berada dalam dimensi kelahiran, pertumbuhan-
perkembangan, dan kematian; dimensi fisikal, mental, dan emosional; dimensi
biologis, personal, dan behavioral dimensi individual dan sosial; dimensi ruang dan
waktu; dimensi natural, humanitis, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji fenomena
keolahragaan, dan yang berolahraga adalah manusia, karena itu ilmu keolahragaan
memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya
keberadaan manusia. Ilmu Keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu pendahuluan
yang mengkaji tentang manusia dalam berbagai dimensinya, melalui pemfokusan
kajian pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan,
dan segala seluk-beluk yang menyertainya. Ilmu Keolahragaan dapat diartikan
sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi tentang fenomena
keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu
yang berdiri sendiri pada hakekatnya Ilmu Keolahragaan dapat didukung dengan
kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kajian ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan
tentang apa sebenarnya yang menjadi obyek studiilmu keolahragaan yang dianggap
unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lain. Kajian epistemologis dilakukan untuk
menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara dan sistem kajian yang dipergunakan
untuk mengembangkan ilmu keolahragaan. Sedangkan kajian aksiologis dilakukan
untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya nilai-nilai yang diberikan oleh
ilmu keolahragaan bagi kemaslahatan hidup umat manusia.
Kajian ontologis dapat menunjukkan bahwa studi ilmu keolahragaan memiliki
obyek material yaitu gerak manusia (human movement) dan obyek material yaitu
gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dengan obyek studi
tersebut kajian ilmu keolahragaan menjadi sangat kompleks karena di dalam obyek
studi itu terkandung dimensi biologis, psikologis, budaya, dan antropologis.
Sementara itu, gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan telah
menjelma dalam spektrum aktivitas jasmani yang luas, yang meliputi: play, games,
physical education and health, sport, dance, recreation and leisure. Kajian ilmu
keolahragaan menjadi semakin kompleks ketika berbagai aktivitas jasmani tersebut
berkorelasi dan berinteraksi dengan aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, ideologi,
politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa. Kajian epistemologis dapat
menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dapat dikembangkan melalui beberapa
pendekatan kajian dan metode penelitian. Ada 4 pendekatan kajian yang dapat
digunakan yaitu pendekatan: 1) multi-disiplin; 2) inter-disiplin; 3) lintas-disiplin;
dan 4) trans-disiplin. Pendekatan multi-disiplin merupakan pendekatan dimana
berbagai disiplin ilmu dengan perspektifnya masing-masing tanpa kesatuan konsep
mengkaji fenomena keolahragaan. Pendekatan interdisiplin merupakan pendekatan
dimana dua atau lebih disiplin ilmu berinteraksi dalam bentuk komunikasi ide atau
konsep yang kemudian dipadukan untuk mengkaji fenomena keolahragaan.
Pendekatan lintasdisiplin merupakan pendekatan dimana aspek-aspek yang ada
dalam fenomena keolahragaan menjadi pusat orientasi penyusunan konsep secara
terpadu dengan menggunakan teori-teori beberapa disiplin ilmu yang relevan. Dengan
pendekatan lintas disiplin, batas-batas disiplin ilmu sumbernya menjadi tersamar atau
tidak tampak.. Pendekatan transdisiplin merupakan pendekatan yang relatif baru
dalam pengembangan ilmu, yaitu pendekatan dimana suatu disiplin ilmu dikembangkan
dengan menggunakan metode, teknik, atau cara-cara yang telah lazim digunakan oleh
disiplin ilmu lain.
Dari aspek metodologis dalam penelitian keolahragaan dapat digunakan 3
pendekatan yaitu pendekatan: 1) positivistik-empirik; 2) fenomenologis; dan 3)
hermeneutik. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil
observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara
peneliti dengan obyek yang diteliti. Pendekatan fenomenologis menekankan pada
pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian
ditafsirkan dan diberi makna. Pendekatan hermeneutic menekankan pada pemaparan
pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas obyek kajian dengan
menggunakan teori yang sudah ada.
Kajian aksiologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya
dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilainilai positif berkenaan
dengan realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal.
Disamping nilai-nilai pembentukan dan pendidikan sebagai nilai-nilai utama, nilai
survival bagi kehidupan umat manusia merupakan nilai yang lebih esensial. Nilai-nilai
lain sebagai nilai ikutannya adalah berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam
membentuk kehidupan masyarakat dan umat manusia dalam kebersamaan tanpa
mamandang perbedaan suku, ras, bangsa, agama, dan budaya. Dalam skala yang
lebih bersifat sektoral, memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya
dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan
ketahanan bangsa.
C. Dimensi ilmu dalam olahraga
Kajian mengenai tubuh pengetahuan (body of knowledge) ilmu keolahragaan,
dengan meminjam konsep Herbert Haag, dapat diidentifikasi adanya 3 dimensi
tubuh pengetahuan, yaitu: 1) dimensi bidang teori; 2) dimensi kajian; dan 3) dimensi
disiplin olahraga.
Dimensi Bidang Teori (Theory Field)
Dimensi bidang teori dalam ilmu keolahragaan meliputi:
1. Filsafat Olahraga
2. Sejarah Olahraga
3. Pedagogi Olahraga
4. Psikologi Olahraga
5. Sosiologi Olahraga
6. Biomekanika Olahraga
7. Kedokteran Olahraga
Selain ke 7 bidang teori yang sudah mapan tersebut, berkembangbidang
teori lain yang bersifat spesifik yaitu:
1. Belajar Gerak (Motor Learning)
2. Perkembangan Gerak (Motor Development)
3. Teori Bermain (Play Theory)
4. Teori Gerak (Movement Theory)
5. Teori Latihan (Training and Coaching Theory)
Termasuk dalam bidang teori yang saat ini mengalami perkembangan adalah:
1. Manajemen Olahraga
2. Infrastruktur Olahraga
3. Industri Olahraga
4. Komunikasi dan Media Massa Olahraga
5. Ekonomi Olahraga (Sport Economy)
6. Hukum Olahraga (Sport Law)
7. Politik Olahraga (Sport Politics)
Dimensi Kajian (Research)
Dimensi kajian meliputi berbagai aspek teoritis dan aspek empiris yang ada
dalam fenomena keolahragaan, yang merupakan permasalahan yang perlu dikaji
sebagai upaya pendalaman dan pengembangan tubuh pengetahuan ilmu
keolahragaan. Tema-tema umum yang dikaji meliputi antara lain:
1. Olahraga bagi anak-anak dan pemuda
2. Olahraga dan prestasi
3. Olahraga, rekreasi, dan pengisian waktu luang
4. Olahraga dan aktivitas di alam terbuka
5. Olahraga, musik dan tari
6. Olahraga dan kesegaran jasmani
7. Olahraga bagi usia lanjut
8. Olahraga dan gender
9. Olahraga bagi penyandang tuna
10. Olahraga dan terapi kesehatan
11. Olahraga, etika, dan estetika
12. Olahraga dan produktivitas kerja
Tema-tema lain dapat berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat akan layanan profesional yang dilandaskan pada penerapan ilmu
keolahragaan.
Dimensi Disiplin Olahraga (Sport Discipline)
Dimensi disiplin olahraga meliputi jenis atau cabang-cabang olahraga yang sudah ada
yaitu:
1. Atletik
2. Senam
3. Beladiri
4. Renang dan loncat indah
5. Sepakbola
6. Bolabasket
7. Bolavoli
8. Bolatangan
9. Bulutangkis
10. Tenismeja
11. Tenis
12. dan sebagainya yang berjumlah setidaknya 49 cabang olahraga prestasi dan
banyak macam olahraga kesehatan, olahraga penyandang tuna, olahraga
penjelajahan alam, dan olahraga tradisional.
DAFTAR RUJUKAN
Bouchard, Claude; McPherson, Barry D.; and Taylor, Albert W. (Eds). 1992. Physical
Activity Sciences. Champaign: Human KineticsBooks,Brooks, George A.
(Ed). 1981. Perspectives on The Academic Discipline of Physacal Education.
Illinois: Human Kinetics Publishers.
Bucher, Charles A. 1972. Foundatins of Physical Education. Saint Louis: The C.V. Mosby
Company. Chu, Donald. 1982. Dimensions of Sport Studies. New york: John
Wiley & Sons, Inc.Coakley, Jay and Dunning, Eric. (Eds). 2006. Handbook
of Sport Studies. London: Sage Publications.
http://www.academia.edu/1224192/DASAR-DASAR_FILOSOFIS_ILMU_OLAHRAGA