Final Phantom Pain

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUANSensasi fantom (phantom limb sensation) merupakan istilah untuk sensasi pada anggota badan sesudah amputasi, sering juga disebut nyeri deaferensiasi. Pasien dengan nyeri fantom merasakan nyeri dan disestesia. Lebih dari empat abad ang lalu, seorang ahli bedah Perancis Ambroise Pare sudah melaporkan adanya nyeri fantom yang ditulis pada tahun 1851 dimana pasien setelah beberapa bulan amputasi tungkai, mengeluh nyeri hebat pada daerah kaki yang telah diamputasi, pasien seolah olah masih mempunyai kaki (Keynes 1952). Nyeri fantom juga dilaporkan oleh Herman Melville pad novel Moby Dick tahun 1851. Deskripsi klasik nyeri fantom, secara terperinci oleh Weir Mitchell pada tahun 1872, ia menggunakan istilah halusinasi sensoris untuk fenomena tersebut. Mitchell mencoba merangsang listrik pada ujung amputasi menimbulkan sensasi seolah olah ada gerakan jari. Observasi nyeri fantom oleh Mitchell dilanjutkan oleh Hughling Jackson pada akhir abad 19, ia menyatakan bahwa nyeri fantom biasanya dominan pada tangan atau kaki dimana pasien sadar akan kehilangan salah satu anggotanya. Sensasi gerakan timbul akibat rangsangan pusat kesadaran motoris akibat rangsangan sensoris dari bekas amputasi (Jackson, 1932). Rasa nyeri fantom dapat ditemukan juga pada mata, hidung, lidah, gigi, dan mammae. Akan tetapi seringkali lebih banyak ditemukan rasa nyeri phantom ini pada anggota gerak tubuh sehingga sering disebut dengan phantom limb pain. Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan dari phantom limb pain. Phantom limb pain merupakan gejala sisa setelah diamputasi terjadi lebih dari 80 % pasien. Perubahan pada pusat otak merupakan faktor mayor terjadinya phantom limb pain, bagaimanapun faktor perifer dan psikologikal dapat mempresipitasi terjadinya rasa nyeri ini.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Phantom Limb Pain Amputasi dari anggota gerak tubuh umumnya diikuti dengan adanya sensasi bahwa anggota tubuh yang hilang masih dapat dirasakan, dikenal sebagai phantom sensation. Sensasi ini termasuk posisi, bentuk atau gerakan, rasa hangat atau dingin, rasa seperti tersetrum atau kesemutan. Bila sensasi nyeri dirasakan pada anggota gerak tubuh yang telah diamputasi disebut sebagai phantom limb pain, hal ini dikemukakan oleh Mitchell pada tahun 1872.1 Ambrose Pare seorang ahli bedah militer dari Perancis, pertama kali yang mengemukakan mengenai fenomena post-amputasi. Dia menyebutkan bahwa orang yang diamputasi dapat mengeluh rasa nyeri yang tidak enak pada anggota tubuh yang hilang setelah diamputasi, setelah itu baru Mitchell mempopulerkan istilah phantom limb pain.2 Rasa nyeri ini dapat berhubungan dengan posisi atau gerak tertentu, dapat disebabkan oleh faktor fisik seperti perubahan tekanan atau suhu pada anggota gerak yang telah diamputasi dan faktor psikologi seperti stress emosional. pain. Phantom limb pain seringkali disalahartikan dengan rasa nyeri lainnya yang terjadi di sekitar anggota tubuh yang diamputasi seperti stump Mitchell membedakan beberapa terminologi mengenai fenomena post amputasi. Diantaranya dikenal sebagai phantom limb pain dan stump pain. Phantom limb pain diartikan sebagai sensasi dimana anggota tubuh yang telah diamputasi, dirasakan pasien masih ada dan nyeri. Stump pain yaitu rasa nyeri yang terdapat pada lokasi amputasi.3

2.2 Epidemiologi

2

Phantom limb pain pernah dianggap cukup jarang angka kejadiannya akibat keengganan pasien untuk meyebutkan rasa sakit karena takut dikucilkan. Terdapat banyak laporan mengenai insidensi dari phantom pain, salah satunya ada survei dari 590 pasien yang telah diamputasi, sebanyak 55 % mengeluh adanya phantom pain dan 56 % mengeluh stump pain. Sherman menemukan bahwa 70 % pasien mengeluh rasa phantom limb pain dalam 2 tahun pertama setelah diamputasi. Lebih dari 80 % pasien yang menjalani hemipelviktomi menderita phantom limb pain. Roth dan Sugarbaker menyimpulkan bahwa amputasi pada tingkat yang lebih tinggi dari tungkai bawah, semakin meningkatkan insidensi.3 Jensen et al melaporkan bahwa phantom limb pain terjadi dalam 8 hari setelah amputasi pada 72 % pasien dewasa. Nikolajsen et al menyebutkan insidensi phantom pain tidak menurun dalam 6 bulan setelah amputasi, walaupun terdapat penurunan durasi nyeri yang intermitten. Sebanyak 3 10 % pasien mengeluh nyeri yang kronik dan parah. 3 Sensasi dari phantom pain terdapat pada 85 98 % pasien dalam 3 minggu setelah diamputasi dan sebanyak kurang lebih 8 % pasien tidak mengalami sensasi tersebut sampai 12 bulan setelah amputasi. Sebagian besar sensasi tersebut menghilang setelah 2 3 tahun tanpa pengobatan. Phantom limb pain dirasakan paling kuat pada amputasi di atas siku dan paling lemah pada amputasi di bawah lutut, paling sering terjadi bila diamputasi keduanya. Ada penelitian yang menyatakan bahwa insidensi phantom limb pain bervariasi antara 0 88 %, pada amputasi ekstremitas bawah terjadi sebanyak 72 % dan 51 % pada amputasi ekstremitas atas. Prevalensi pada amputasi di bawah lutut 0 % dibandingkan di atas lutut sebanyak 19 %. Phantom limb pain dilaporkan terjadi secepat paling cepat 1 minggu setelah amputasi dan paling lama 40 tahun setelah amputasi. Rasa nyeri yang dialami satu tahun setelah amputasi terjadi pada 10 % pasien. Sebanyak 50 88 % pasien dengan phantom pain juga mengalami stump pain.2 Insiden phantom limb pain lebih rendah pada anak dari dewasa. Dalam penelitian retrospektif dari 75 pasien anak, 48 % anak yg harus diamputasi akibat kanker dan 12 % anak akibat trauma menderita phantom limb pain. Melzack et al meneliti sekelompok pasien anak yang mengalami kelainan kongenital anggota gerak tubuh atau yang telah diamputasi sebelum umur 6 tahun. Sensasi dari phantom limb terdapat pada 20 % akibat kongenital dan 42 % akibat traumatik. Terdapat juga penelitian pada anak anak berumur 5 19 tahun yang diamputasi3

sebelum umur 10 tahun ditemukan 50 % mengalami nyeri. Dalam penelitian Melzack et al, pasien anak yang diamputasi mengalami sensasi phantom pain pada umur rata rata 2.3 tahun. Sebanyak 35 % anak mengalami perbaikan selama 10 tahun setelah diamputasi dan 67 % pasien anak menurun sensasi phantom pain tersebut. peningkatan rasa nyeri selama 10 tahun tersebut.3 2.3 Etiologi Nyeri preamputasi merupakan faktor resiko bagi terjadinya nyeri fantom setelah amputasi. Bahkan nyeri yang dirasakan pada anggota tubuh beberapa bulan sampai tahun sebelum dilakukan amputasi dapat dirasakan kembali sebagai nyeri phantom. Nikolajsen dkk menemukan bahwa nyeri preamputasi yang mencapai skor lebih dari 20 mm pada visual analog scale dihubungkan dengan meningkatknya resiko nyeri fantom, tetapi durasi nyeri preamputasi tampaknya tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri fantom. Visual analog scale adalah garis sepanjang 100 mm dengan tidak nyeri terletak di sebelah kiri (0 mm) dan nyeri paling hebat terletak di sebelah kanan (100 mm). Walaupun angka kejadian kelainan kejiwaan pada pasien yang mengalami nyeri fantom tidak lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mengalami nyeri fantom, stress, kecemasan, dysphoric mood, dan faktor emosional dapat berperan dalam timbulnya nyeri fantom.3 Faktor lain yang berhubungan dengan nyeri fantom adalah kemoterapi, terutama agenagen yang diketahui dapat menyebabkan neurotoksisitas perifer. Penelitian pada pasien anak yang diamputasi, angka kejadian nyeri fantom adalah sebesar 74% pada pasien yang menerima kemoterapi (vincristine atau cisplatin) sebelum amputasi. Angka ini berkurang menjadi 44% pada pasien yang memulai kemoterapinya setelah operasi anggota tubuh, walaupun pada keempat pasien yang menerima kemoterapi postamputasi merasakan nyeri dalam waktu 72 jam setelah kemoterapi. Nyeri fantom dirasakan hanya pada 12% pasein yang tidak dikemoterapi. Masih belum jelas apakah hal ini juga berlaku pada pasien dewasa yang menerima agen kemoterapi yang sama. Dirasakannya kembali nyeri phantom telah dilaporkan selama anestesia spinal dan epidural dengan anestesi lokal. Nyeri fantom juga dapat dipicu oleh metastasis atau rekuren tumor.3 Akan tetapi sebanyak 14 % mengalami

4

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perasaan nyeri fantom4 : 1. Faktor internal : a. Predisposisi genetik b. Anxietas/stres emosional c. Miksi/defekasi d. Penyakit lain (perdarahan serebral, prolaps diskus vertebra) 2. Faktor eksternal : a. Perubahan cuaca b. Sentuhan pada stump c. Penggunaan prosthesis d. Rehabilitasi e. Penatalaksanaan 2.4 Patofisiologi 2.4.1 Perubahan Perifer Pasien yang diamputasi seringkali mengeluhkan nyeri, menjadi sensitif terhadap getaran dan sentuhan pada saraf yang mempersarafi anggota gerak yang diamputasi atau pada anggota gerak yang tersisa yang berdekatan dengan bagian yang diamputasi. Gambaran klasik dapat muncul akibat kerusakan saraf komplit atau parsial adalah tanda Tinel, yang menunjuk kepada nyeri lokal atau menjalar (nyeri pada daerah yang dipersarafi oleh saraf yang rusak) yang muncul akibat respons terhadap stimulasi mekanis pada saraf yang rusak. Sentuhan pada neuroma dapat menimbulkan nyeri pada anggota gerak fantom dan pada anggota gerak yang masih tersisa. Setelah terjadi kerusakan saraf, neuron aferen menunjukkan degenerasi retrograde dan pengecilan, yang terutama melibatkan neuron yang tidak bermielin. Sebagai akibat dari kerusakan, terjadi pembengkakan dan pertumbuhan regeneratif ujung axon yang rusak dan terbentuk neuroma pada anggota gerak yang tersisa (stump) yang membangkitkan aktivitas spontan dan abnormal terhadap stimulus mekanis dan kimiawi. Lepas muatan ektopik dari stump neuroma menggambarkan sumber input afferen abnormal menuju korda spinalis dan merupakan mekanisme potensial bagi timbulnya nyeri. Lepas muatan ektopik dari axon yang bermielin5

tampaknya timbul lebih awal dan lebih bersifat ritmis, sedangkan C-fibers cenderung menunjukkan pola yang lambat dan ireguler. Peningkatan eksitabilitas saraf yang rusak yng mengakibatkan timbulnya lepas muatan ektopik tampaknya disebabkan oleh perubahan pada komponen elektrik dari membran sel.5 Nyeri fantom seringkali dirasakan segera setelah dilakukan amputasi, sebelum terbentuk neuroma. Hal ini menandakan bahwa mungkin terdapat sumber aktivitas ektopik lain pada sistem saraf perifer pada tingkat yang lebih proksimal dari anggota gerak yang tersisa. Sumber lepas muatan ektopik lainnya adalah ganglion radiks dorsalis (GRD). Lepas muatan ektopik dari GRD dapat bergabung dengan aktiitas ektopik yang berasal dari neuroma. Proses crossexcitation dapat menyebabkan depolarisasi dan aktivasi neuron di sekitarnya, sehingga memperkuat pelepasan muatan ektopik secara keseluruhan. Sistem saraf simpatis dapat memicu dan memperkuat aktivitas neuronal ektopik yang berasal dari neuroma dan juga yang berasal dari GRD. Hal ini dapat menjelaskan timbulnya nyeri phantom saat seseorang merasakan stress emosional. Faktor lain seperti suhu, tingkat oksigenasi, dan inflamasi lokal pada neuroma dan GRD juga dapat berperan.5 Pada beberapa pasien, peran sistem saraf simpatis pada timbulnya nyeri fantom didukung oleh fakta bahwa agen penghambat adrenergik dapat mengurangi nyeri fantom dan injeksi adrenalin pada neuroma dapat memperhebat nyeri fantom dan parestesia pada beberapa pasien.5 Dapat disimpulkan bahwa kerusakan dan reorganisasi ujung saraf yang disertai perubahan aktivitas pada GRD menjadi sumber yang potensial dari nyeri dan menimbulkan aktivitas abnormal, termasuk nyeri fantom.5

2.4.2 Perubahan Sentral : Medula Spinalis Anestesia lokal pada stump atau pleksus, atau anestesia epidural tidak dapat menghilangkan nyeri fantom pada semua pasien yang diamputasi. Walaupun bukti adanya

6

perubahan pada tingkat spinal pada manusia masih kurang, data percobaan pada hewan menunjukkan bahwa sistem saraf pusat berperan terdapat terjadinya nyeri neuropatik.5 Peningkatan aktivitas nociceptor perifer yang berhubungan dengan nyeri inflamasi menyebabkan perubahan kemampuan reaksi neuron pada radiks dorsalis pada medula spinalis, sebuah proses yang disebut sebagai sensitisasi sentral. Hipereksitabilitas sentral yang sama seperti sensitisasi dapat pula dipicu oleh kerusakan saraf, seperti yang terjadi pada amputasi. Hubungan antara medula spinalis dengan kerusakan saraf meliputi peningkatan rangsangan terhadap neuron pada radiks dorsalis, perubahan struktural pada ujung sentral dari neuron sensorik primer dan menurunnya proses inhibisi medula spinalis.5 Proses pada sistem saraf pusat yang dapat berperan pada terjadinya hipereksitabilitas medula spinalis yang terjadi setelah kerusakan saraf adalah downregulation dari reseptor opioid, baik pada ujung saraf aferen primer maupun pada neuron spinalis. Hal ini menambah proses disinhibisi akibat penurunan jumlah aktivitas inhibitor GABA dan glycine. Sebagai tambahan, kolesistokinin, inhibitor endogen dari reseptor opiat, mengalami upregulasi pada saraf yang rusak, sehingga menambah efek disinhibisi. Perubahan medula spinalis yang diakibatkan karena kerusakan saraf salah satunya adalah serabut aferen yang memiliki ambang rangsang rendah menjadi terhubung dengan neuron spinal asendens yang menghantarkan informasi nosiseptif menuju supraspinal. Normalnya, substansi P hanya diekspresikan oleh serabut C aferen dan A aferen, yang kebanyakan adalah nosiseptor. Ekspresi substansi P oleh serabut A yang dipicu karena kerusakan saraf membuat ny menjadi seperti nosiseptor. Sebagai contoh, aktivitas normal atau ektopik dari serabut A dapat memicu dan mempertahankan sensitisasi pusat. Ketika hal ini terjadi, input serabut A normal yang berasal dari perifer, input ektopik dan input dati aferen berambang rangsang rendah yang masih utuh dapat berperan dalam menimbulkan nyeri fantom.5 Mekanisme yang dapat dihubungkan dengan terjadinya nyeri phantom adalah invasi area medula spinalis yang secara fungsional ditempati oleh serabut aferen yang rusak. Sebagai contoh, pada percobaan terhadap neuroma pada kucing dan tikus, terdapat perluasan area receptive pada kulit yang bedekatan dengan bagian yang mengalami denervasi pada anggota gerak, dan juga perubahan aktivitas pada area yang berdekatan ini menuju area pada medula spinalis yang sebelumnya mewakili bagian tubuh yang secara fungsional mengalami deaferensiasi oleh karena terjadi lesi pada serabut saraf. Pada pasien yang diamputasi, tanda hipereksitabilitas dapat ditemukan pada dermatom yang berdekatan dengan bagian anggota gerak7

yang mengalami denervasi, yang mungkin menunjukkan penyebaran hipereksitabilitas spinal dari segmen denervasi menuju segmen yang berada di rostral dan kaudal dari area denervasi. Reorganisasi pemetaan spinal anggota gerak juga terjadi pada batang otak dan kortikal.5 2.4.3 Perubahan Sentral : Batang otak, Thalamus, dan Korteks Beberapa pengamatan yang dilakukan pada pasien yang diamputasi menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada tingkat supraspinal merupakan hal yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh, pasien dengan paraplegia yang mengalami kerusakan setinggi medula spinalis dapat mengalami nyeri pada bagian bawah tubuhnya, walaupun relevansi fenomena ini dengan nyeri fantom belum jelas.5 Perubahan supraspinal yang berkaitandengan terjadinya nyeri fantom melibatkan batang otak, thalamus, dan korteks serebri. Terdapat bukti bahwa axonal sprouting pada korteks terlibat dalam perubahan reorganisasional yang diamati pada percobaan pada monyet. Stimulasi thalamus membuktikan bahwa reorganisasi mungkin juga terjadi pada tingkat thalamus dan berhubungan erat dengan persepsi anggota gerak fantom dan juga nyeri fantom. Percobaan pada monyet menunjukkan bahwa perubahan pada korteks berasal dari batang otak dan thalamus. Perubahan pada tingkat subkortikal dapat juga berawal dari korteks, yang mempunyai hubungan eferen yang kuat dengan thalamus dan struktur di bawahnya.5 2.4.3.1 Reorganisasi Kortikal Pandangan baru terhadap nyeri phantom datang dari penelitian yang menunjukkan adanya perubahan pada fungsi dan struktur arsitektural korteks somatosensori primer yang diakibatkan amputasi dan deaferensiasi pada monyet. Pons dkk melaporkan bahwa terjadi reorganisasi kortikal yang lebih besar setelah deaferensiasi radiks dorsalis, dengan area yang merepresentasikan pipi pada korteks somatosensorik mengambil alih area yang mewakili lengan dan tangan dalam hitungan sentimeter.5 Dari dasar inilah, Ramachandran dkk mengatakan bahwa sensasi yang dirasakan pada bagian tubuh fantom berhubungan dengan proses reorganisasi pada korteks somatosensori. Mereka menyebut fenomena ini sebagai topographical remapping.8

Sensasi alih fantom pada pasien yang diamputasi tangannya dapat ditimbulkan dari ibu jari kaki, yang mempunyai area somatosensorik yang jauh dari area tangan pada korteks somatosensorik. Hal ini menunjukkan bahwa area lain dapat terlibat dalam terjadinya sensasi alih. Telah dilaporkan bahwa sensasi alih fantom hanya muncul pada sebagian kecil pasien yang diamputasi, sedangkan nyeri fantom lebih umum terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sensasi alih fantom dan nyeri fantom berhubungan dengan proses sentral yang berbeda. Halligan dkk memebuktikan bahwa topographical remapping dapat berubah dari waktu ke waktu. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang dilakukan amputasi anggota gerak atasnya menunjukkan pergeseran dari area mulut menuju tangan pada korteks somatosensori. Penelitian lain menunjukkan bukti bahwa perubahan korteks ini kurang berhubungan dengan sensasi alih fantom, dan lebih berkaitan dengan nyeri fantom. Semakin besar pergeseran area mulut ke arah area yang sebelumnya mewakili area lengan, semakin jelasa nyeri fantom yang dirasakan.5 2.4.3.2 Perubahan umpan balik sensorik dan motorik Sensasi nyeri abnormal dapat berhubungan dengan ketidaksesuaian

(incongruence) antara input motorik dengan umpan balik sensorik dan aktivasi yang saling berkaitan antara lobus frontalis dan parietalis. Sesuai dengan fakta tersebut, sebuah penelitian menggunakan cermin untuk menciptakan perbedaan antara gerakan yang sebenarnya dengan gerakan yang terlihat (gerakan yang terlihat di cermin berbeda dengan gerakan di belakang cermin jika kedua lengan melakukan gerakan yang berbeda). Peneliti melaporkan adanya parestesia yang disertai dengan rasa nyeri dan yang tidak disertai rasa nyeri sebagai akibat dari ketidaksesuaian gerakan dan mengusulkan bahwa ketidaksesuaian sensorimotor dapat menyebabkan sensasi abnormal seperti yang terlihat pada banyak nyeri neuropatik. Akan tetapi, peranan gangguan sentral ini dalam proses motorik terjadinya nyeri fantom masih harus dibuktikan lebih lanjut.5 Anggota gerak yang telah diamputasi dapat dirasakan masih utuh, sama seperti anggota gerak normal, atau mengecil sehingga bagian proksimal dari ekstremitas dirasakan seakan menghilang atau memendek, dengan bagian distalnya terasa mengapung di dekat bagian yang buntung. Terkadang, pasien merasakan anggota geraknya yang9

hilang membengkak atau membesar dibandingkan dengan anggota geraknya yang masih utuh. Fenomena ini disebut sebagai telescoping. Derajat telescoping (seberapa pendek anggota gerak fantom dirasakan) berkaitan dengan derajat reorganisasi.6

Gambar 1. Telescoping Nikolajsen, L, and T.S Jensen. "Phantom Limb Pain." Br J Anaesth, 2001: 107-16.

2.4.3.3 Pain memory hipotesis Terkadang, nyeri pada anggota tubuh fantom serupa dengan nyeri yang timbul pada bagian tubuh tersebut sebelum dilakukan amputasi. Telah dikemukakan bahwa memori akan nyeri yang terbentuk sebelum dilakukan amputasi merupakan pemicu yang kuat terhadap timbulnya nyeri fantom.5 Telah diketahui bahwa korteks somatosensori terlibat dalam memproses nyeri. Telah dilaporkan juga bahwa nyeri phantom dapat menghilang setelah dilakukan operasi10

pengangkatan bagian korteks somatosensori, dan bahwa stimulasi terhadap area ini dapat membangkitkan nyeri fantom. Jika memori nyeri somatosensori telah terbukti memiliki hubungan neural dengan struktur spinal dan supraspinal, seperti pada korteks somatosensori, deaferensiasi yang terjadi kemudian dan invasi zona yang diamputasi oleh input dari sekitarnya dapat mengaktivasi neuron yang mengkode nyeri. karena area korteks yang menerima input dari perifer tampaknya tetap sesuai dengan area asalnya, aktivitas pada area korteks yang mewakili anggota tubuh yang diamputasi dialihkan menuju anggota tubuh ini dan dapat diinterpretasikan sebagai sensasi fantom dan nyeri fantom.5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nyeri kronik yang dirasakan sebelum dilakukan amputasi dapat memprediksi nyeri fantom yang akan terjadi kemudian, yang mendukung hipotesis pain memory. Tetapi, sampel penelitian ini mengikutsertakan hanya sedikit amputasi traumatik dan kebanyakan adalah pasien yang diamputasi karena mengalami nyeri dalam jangka waktu lama. Pada pasien tersebut ingatan akan nyeri sudah terbentuk sejak waktu yang lama. Pada pasien yang mengalami amputasi traumatik, faktor-faktor tambahan yang berhubungan dengan operasi, seperti jenis anestesi dan nyeri pre- dan paska operasi dapat berperan. Didasarkan pada fakta bahwa input nosiseptif tidak sepenuhnya dihalangi dengan anestesia sentral, anestesi perifer ditambahkan saat sebelum dan selama operasi berlangsung untuk mencegah sensitisasi sentral. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa analgesia tidak secara signifikan mengurangi angka kejadian nyeri fantom. Untuk itu hipotesis pain memory masih harus dibuktikan lebih lanjut.5 Dapat disimpulkan bahwa penjelasan di atas menandakan bahwa terdapat berbagai macam mekanisme yang terjadi sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri fantom dan di dalamnya termasuk bagian perifer, medula spinalis dan otak. Proses ini bermula dari perifer, kemudian berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai ke korteks serebri. Keterlibatan korteks serebri dapat mungkin dapat menjelaskan nyeri fantom yang pada beberapa pasien dirasakan sangat nyata.5

11

Gambar 2. Mekanisme Perifer dan Sentral Terjadinya Nyeri Fantom Flor, Herta, Lone Nikolajsen, and T.S Jensen. "Phantom limb pain: a case of maladaptive CNS plasticity?" Nature Reviews, 2006: 873-881.

Gambar 3. Perubahan Korteks pada Nyeri Fantom Flor, Herta, Lone Nikolajsen, and T.S Jensen. "Phantom limb pain: a case of maladaptive CNS plasticity?" Nature Reviews, 2006: 873-881.

2.5 Diagnosis12

Diagnosis nyeri fantom belum ada yang spesifik. Pada umunya diagnosis ditegakkan melalui anamnsesis riwayat pasien, gejala yang timbul,dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun, keadaan sebelum maupun sesudah amputasi juga ikut menentukan faktor risiko dan prognosis dari nyeri fantom ini. Gejala yang timbul dapat berupa sensasi kesemutan, kram, panas, dan dingin di bagian ekstremitas yang telah teramputasi.7 Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk memastikan adanya penyebab lain dari nyeri yang ditimbulkan selain nyeri karena ekstrimitas yang teramputasi. Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan seperti CT scan dan MRI.

2.6 Penatalaksanaan13

Tatalakasana pada nyeri fantom belum ada yang spesifik. Pada umunya penatalaksanaan ini melibatkan terapi psikologis juga. Namun secara garis besar dibagi menjadi tatalaksana non medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan bedah. 2.6.1 Penatalaksanaan medikamentosa Tatalaksana medikamentosa meliputi pengunaan obat-obatan terutama golongan analgetik, neuroleptik,, anticonvulsants, antidepressants, beta-blockers.2.6.1.1

Antidepresan.

Pada umumnya antidepresan yang digunakan adalah golongan trisiklik. Cara kerja antidepresan trisiklik ini adalah dengan memodifikasi neurotransmitter yang dapat menyebabkan nyeri. Selain itu juga dapat memberikan aefek penenang dan membatu tidur. Contoh obat golongan ini seperti amitriptilin dan nortiptilin.8 Amitriptyline biasanya digunakan sebagai antidepresan tetapi menurut penelitian obat ini juga efektif dalam mengatasi rasa nyeri fantom. Namun dapat terjadi efek samping dari penggunaannya seperti mulut kering, konstipasi, berkeringat, kesulitan buang air kecil, gangguan penglihatan, dan sakit kepala. Efek samping ini akan berangsur-angsur menghilang setelah penggunaan selama 7-10 hari karena tubuh sudah mulai terbiasa. Sebuah penelitian pernah menemukan salah satu efek dari amitriptilin adalah perubahan kepribadian bahkan pernah dilaporkan beberapa orang yang mengkonsumsi obat ini cenderung ingin meyakiti dirinya sendiri dan memiliki keinginan bunuh diri.9 2.6.1.2 Antikonvulsan. Obat Epilepsi seperti gabapentin (Neurontin) dan carbamazepine (Carbatrol, Tegretol) sering digunakan untuk mengobati nyeri. Mereka bekerja dengan memperlambat kerusakan saraf atau mencegah sinyal nyeri yang tidak terkontrol. Karbamazepin adalah obat lain yang sering digunakan dan awalnya merupakan obat epilepsi. Karbamazepin dapat membantu mengurangi aktivitas sistem saraf dimana dapat mengurangi sinyal rasa sakit. Efek samping dari karbamazepin adalah pusing, kelelahan, gangguan keseimbangan, kesulitan mengendalikan gerakan, mual muntah, sakit kepala,14

penglihatan kabur.10 Terdapat sebuah penelitian mengenai gabapentin dengan efek placebo. Dari penelitian disebutkan setelah 6 minggu, monoterapi gabapentin lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi rasa sakit post amputasi nyeri fantom.11 2.6.1.3 Opioid Seperti kodein dan morfin, dapat menjadi pilihan bagi sebagian orang. Namun golongan opioid ini dapat menyebabkan ketergantungan dan memiliki efek samping seperti konstipasi dan sedasi.122.6.1.4

Analgetik

NSAID juga dapat digunakan untuk meredakan nyeri. NSAID yang biasa digunakan adalah acetaminophen, ibuprofen, ketorolac.12 2.6.1.5 Calcitonin Calcitonin juga dapat digunakan untuk mengurangi nyeri fantom. Jika nyeri fantom sudah muncul, pengobatan dengan kalsitonin intravena dapat dimulai. 100 sampai 200 IU kalsitonin dapat diberikan dengan cara infus jangka pendek sampai 5 kali setiap 3 hari. Efek samping yang dapat timbul adalah mual dan muntah, kemerahan, hipotensi jangka pendek.13

2.6.1.6 Obat-obatan anestesi Obat-obatan anestesi juga dapat digunakan seperti lidocaine, bupivacaine, rovipacain, ketamin. Dosis anjuran maksimal bupivakain (150 mg) akan tercapai setelah 5 sampai 6 jam. Dengan aplikasi terus menerus dari anestesi local, terdapat risiko efek samping terhadap kardiovaskular meningkat dan neurotoksik.14

2.6.2 Penatalaksanaan non medikamentosa15

Dalam tatalaksana non medikamentosa dapat dibagi menjadi 2 yaitu tatalaksana non invasive dan invasive. 2.6.2.1 Tatalaksana non-medikamentosa non-invasif2.6.2.1.1 Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Stimulasi saraf yaitu dengan Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS). TENS merupakan sebuah perangkat listrik kecil yang terhubung ke rangkaian elektroda yang bekerja dengan mengirimkan energi listrik lemah melalui kulit di tempat sekitar nyeri dimana hal ini akan menganggu sinyal nyeri untuk menuju ke otak. TENS diduga bekerja dalam dua cara yaitu impuls listrik akan mengganggu perjalanan sinyal rasa sakit ke otak dan impuls listrik juga merangsang pelepasan neurotransmiter penghilang rasa sakit yang dikenal sebagai endorfin. Cara kerja TENS adalah dengan memberikan tegangan listrik arus lemah terhadap kulit melalui elektroda yang ditempatkan di dekat sumber rasa sakit. Listrik dari elektroda merangsang saraf di daerah yang terkena lalu mengirimkan sinyal ke otak dan memberikan persepsi bahwa nyeri tersebut normal. TENS tidak menyakitkan dan mungkin terapi yang efektif untuk nyeri fantom.152.6.2.1.2

Electric Artificial Limb.

Anggota tubuh buatan yang disebut prostesis myoelectric dikendalikan oleh sinyalsinyal listrik yang terjadi selama aktivasi otot motorik volunteer di anggota tubuh yang tersisa. Maka prostesis myoelectric dapat mengurangi nyeri fantom.162.6.2.1.3

Mirror Box.

Perangkat ini berisi cermin dimana orang tersebut kemudian melakukan latihan simetris, sambil menonton bergerak anggota tubuh utuh dan membayangkan bahwa mereka benar-benar menggerakkan bagian tubuh yang teramputasi atau sudah tidak ada. Studi telah menemukan bahwa latihan ini membantu mengurangi nyeri fantom pada sejumlah besar orang. Jadi terapi Mirror box ini akan memunculkan ilusi gerakan dan sentuhan pada16

anggota tubuh yang sudah tidak ada dengan menginduksi jalur somatosensori dan motorik antara ekstrimitas yang teramputasi dan ekstrimitas yang masih ada. 17 Anggota tubuh yang utuh ditempatkan pada satu sisi cermin, dan di hadapan pasien, sedangkan anggota badan diamputasi ditempatkan di sisi lain dari pandangan. Pasien melihat ekstrimitas yang utuh melalui cermin dan mengirim perintah motor kepada kedua ekstrimitas untuk membuat gerakan simetris. Gerakan ini memberikan umpan balik otak positif bahwa esktrimitas telah bergerak. Menurut Penelitian Rogers-Ramachandran percaya bahwa jika otak menerima umpan balik visual dari ekstrimitas yang bergerak, maka anggota tubuh yang teramputsi akan menjadi seakan-akan tidak lumpuh. Dari penelitian juga didapatkan 8 dari 10 pasien yag mengalami nyeri fantom telah berkurang intensitas nyerinya dengan teknik mirror box ini.18,19 2.6.2.1.4 Akupunktur.

National Institutes of Health telah menemukan bahwa akupunktur dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk beberapa jenis rasa sakit kronis. Diperkirakan bahwa akupunktur merangsang sistem saraf pusat untuk melepaskan endorfin alami tubuhmenghilangkan rasa sakit.8,12

2.6.2.2 Tatalaksana Non-medikamentosa Minimal Invasif

Suntikan. Kadang-kadang menyuntikkan obat analgetik steroid - bius lokal, atau keduanya dapat mengurangi nyeri fantom.12

Spinal cord stimulation. Teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan elektroda kecil di sepanjang sumsum tulang belakang kemudian sebuah arus listrik kecil dikirimkan ke sumsum tulang belakang yang kadang-kadang bisa meringankan rasa sakit.8

Sistem pengiriman intratekal. Prosedur ini memungkinkan pengobatan dengan mengirimkan langsung obat ke dalam cairan tulang belakang. Hal ini dapat

17

bermanfaat bagi orang yang mengalami nyeri dengan obat oral tetapi efek samping tak tertahankan.20 2.6.3 Penatalaksanaan Bedah

Deep-brain stimulation adalah teknik bedah yang digunakan untuk mengurangi nyeri fantom. Sebelum operasi, pasien menjalani imaging otak seperti scan PET dan MRI untuk menentukan lokasi di mana rasa sakit berasal. Operasi kemudian dilakukan dengan bius lokal, karena umpan balik pasien selama operasi diperlukan. Dalam studi yang dilakukan oleh Bittar dkk., Frekuensi radio elektroda dengan empat titik kontak ditempatkan pada otak.21 Setelah elektroda berada di tempat, lokasi kontak ditempatkan sesuai dengan di mana pasien merasa rasa sakit berkurang. Setelah lokasi ditentukan, elektroda ditanamkan. Setelah operasi primer, operasi sekunder dengan anestesi umum dilakukan. Sebuah aliran generator subkutan ditanamkan ke dada di bawah klavikula untuk merangsang elektroda. Ditemukan bahwa semua tiga pasien diteliti telah merasakan penurunan intesitas nyeri yang memuaskan dari stimulasi otak dalam. Sakit belum sepenuhnya dihilangkan, namun intensitas telah berkurang lebih dari 50%. 22

Stump revision or neurectomy. Jika nyeri fantom dirangsang oleh iritasi saraf pada ekstrimitas yang termaputasi, maka tindakan bedah reseksi atau revisi terkadang dapat membantu. Namun dengan memotong saraf juga mempunyai risiko untuk memperburuk rasa nyeri pada daerah tersebut. 21

18

2.7 Prognosis Prognosis terutama tergantung pada awal terapi. Jika terapi dimulai pada hari-hari pertama atau minggu setelah amputasi, tingkat keberhasilan akan menjadi 80-90%, jika terapi dimulai kemudian tingkat keberhasilan diharapkan hanya 30%, jadi harus dimulai sedini mungkin, idealnya sebelum operasi.23 Untuk bagian bawah kaki anestesi spinal atau epidural19

adalah pilihan yang baik, sedangkan untuk anggota tubuh bagian atas, blok saraf regional dapat diterapkan. Keuntungan ini tidak hanya untuk pengobatan profilaksis rasa nyeri fantom, tetapi juga merupakan analgesia pascaoperasi yang nyaman. Jika nyeri fantom sangat tajam, terapi anticonvulsive dapat ditambahkan. Pilihan lainnya adalah penggunaan TENS. Namun, studi Gnezdilov 6 pada 24 pasien dengan nyeri phantom menunjukkan bahwa hanya 25% dari pasien yang merasakan adanya penurunan intensitas nyeri dengan menggunakan TENS.24 Awal pengobatan nyeri fantom pada pasien setelah amputasi dapat mengurangi insiden nyeri kronis dari 60-85% menjadi 10 - 20%. Sebuah terapi sebanding menggunakan bupivakain akan menyebabkan konsentrasi plasma beracun. Ropivacaine tidak hanya kurang beracun tetapi juga memberikan keuntungan dari blokade motor yang kurang intensif sehingga dapat membatasi bahaya blok saraf frenikus. 25

BAB III20

KESIMPULAN

Phantom limb pain diartikan sebagai sensasi dimana anggota tubuh yang telah diamputasi, dirasakan pasien masih ada dan nyeri. Phantom limb pain seringkali disalahartikan dengan rasa nyeri lainnya yang terjadi di sekitar anggota tubuh yang diamputasi seperti stump pain. Insidensi phantom limb pain bervariasi antara 0 88 %, pada amputasi ekstremitas bawah terjadi sebanyak 72 % dan 51 % pada amputasi ekstremitas atas. Faktor yang menyebabkan nyeri fantom ini dapat berasal dari faktor luar maupun dalam tubuh. Terdapat berbagai macam mekanisme yang terjadi sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri fantom dan di dalamnya termasuk bagian perifer, medula spinalis dan otak. Proses ini bermula dari perifer, kemudian berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai ke korteks serebri. Keterlibatan korteks serebri dapat mungkin dapat menjelaskan nyeri fantom yang pada beberapa pasien dirasakan sangat nyata. Pada umunya diagnosis ditegakkan melalui anamnsesis riwayat pasien, gejala yang timbul,dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Tatalakasana pada nyeri fantom belum ada yang spesifik. Pada umunya penatalaksanaan ini melibatkan terapi psikologis juga. Namun secara garis besar dibagi menjadi tatalaksana non medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan bedah. Prognosis terutama tergantung pada awal terapi. Jika terapi dimulai pada hari-hari pertama atau minggu setelah amputasi, tingkat keberhasilan akan menjadi 80-90%, jika terapi dimulai kemudian tingkat keberhasilan diharapkan hanya 30% jadi harus dimulai sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA21

1. Lancet. Phantom limb pain : characteristics, causes and treatment. The Lancet Neurology Vol 1, July 2002.2. Manchikanti L, Singh V. Managing Phantom Pain. Pain Physician Vol 7, No3, 2004. 3. Rhodes, Lee-Ann. "Phantom Limb Pain." Malawer, 2001: 369-378. 4. Nikolajsen, L, and T.S Jensen. "Phantom Limb Pain." Br J Anaesth, 2001: 107-16. 5. Flor, Herta, Lone Nikolajsen, and T.S Jensen. "Phantom limb pain: a case of maladaptive

CNS plasticity?" Nature Reviews, 2006: 873-881.6. Sumitani, Masahiko, et.al. "Phantom limb pain in the primary motor cortex: topical

review." J Anesth, 2010: 24:337341. Holten, Keith B. 2008. Managing chronic pain: Whats the best approach? journal of family practice medicine. December 2008 Vol. 57, No. 12: 806-811 Black, Lance M. 2009. What is the best way to manage phantom limb pain? Journal of Family Practice, 58(3) 2009: 155+. Maarten Van Kleef MD.2009. Evidence-Based Guidelines for Interventional Pain Medicine according to Clinical Diagnoses. Volume 9, Issue 4, pages 247251, July/August 20097. 21 Elliott F, Little A, Milbrandt W. Carbamazepine for phantom limb phenomena. N

Engl J Med 1976; 295: 678 Bone M.2002. Gabapentin in postamputation phantom limb pain: a randomized, double-blind, placebo-controlled, cross-over study. Reg Anesth Pain Med. 2002 Sep-Oct;27(5):481-6. Halbert, J.; Crotty, M.; Cameron, I. D. (2002), "Evidence for the optimal management of acute and chronic phantom pain: A systematic review", Clinical Journal of Pain 18 (2): 84928. Jaeger H, Maier C. Calcitonin in phantom limb pain: a doubleblind study. Pain 1992; 48:

2127 Nikolajsen L, Ilkjaer S, Christensen JH, Kroner K, Jensen TS. Randomized trial of epidural bupivacaine and morphine in prevention of stump and phantom pain in lower-limb amputation. Lancet. 1997;350:13537.9. Katz J. Melzack R. Auricular transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) reduces

phantom limb pain. J Pain Symptom Manage 1991; 6: 7383 Murray, C. (2009), Amputation, Prosthesis Use, and Phantom Limb Pain22

MacLachlan, Malcolm; McDonald, Dympna; Waloch, Justine (2004), "Mirror Treatment of Lower Limb Phantom Pain: A Case Study", Disability and Rehabilitation 26 (14/15): 901904 Ramachandran, V. S.; Hirstein, William (2008), "The Perception of Phantom Limbs: The D. O. Hebb Lecture", Brain 121 (1): 1603163 Ramachandran, V. S.; Rogers-Ramachandran, D. (April 1996), "Synaesthesia in Phantom Limbs Induced with Mirrors", Proceedings of the Royal Society of London B-Biological Sciences 263 (1369): 37738610. Sherman RA, Glenda GM. Concurrent variation of burning phantom limb and stump pain

with near surface blood flow in the stump. Orthopedics 1987; 10: 139540211. Saris SC, Iacono RP, Nashold BS Jr. Successful treatment of phantom pain with dorsal

root entry zone coagulation. Appl Neurophysiol 1988; 51: 18897 Bittar, Richard G.; Otero, Sofia; Carter, Helen; Aziz, Tipu Z. (May 2005), "Deep Brain Stimulation for Phantom Limb Pain", Journal of Clinical Neuroscience 12 (4): 39940412. Kooijman CM, Dijkstra PU, Geertzen JHB, Elzinga A, Schans CP. Phantom pain and

phantom sensations in upper limb amputees: an epidemiological study. Pain 2000; 87: 334113. Lundeberg T. Relief of pain from nine phantom limbs by peripheral stimulation. J Neurol

1985; 232: 798214. Lierz P, Schroegendorfer K, Choi S, Felleiter P, Kress HG. Continous blockade of both

brachial plexus with ropivacaine in phantom pain: a case report. Pain 1998; 78: 1357

23